ABI.

this blog is belong to cuupidly on twitter for writing au đź’—

30

“CAAAIT!”

Ruangan bernuansa merah muda milik Caithlyn itu akhirnya mendapatkan tamu selain Kenneth dan Kean. Bagi Caithlyn, kamarnya adalah tempat sakral. Hanya orang tertentu saja yang dapat masuk.

Tanpa babibu, Icel langsung memeluk Caithlyn. Mata yang membengkak dan kantong mata hitam jelas tercetak, menandakan bahwa Caithlyn jelas menangis semalaman sampai tertidur.

“Yaampun,” Icel melepaskan pelukan mereka, matanya mengelus bagian bawah mata Caithlyn. “Sayangku.” rautnya sedih bukan main.

Bagi Caithlyn, Icel adalah teman satu-satunya. Meski ada Winny dan Nina, Icel yang paling dekat dengan Caithlyn.

Kiel hanya berdiam diri di depan kamar Caithlyn yang tergolong rapih. Ukuran kamarnya tidak terlalu besar, namun sangat nyaman. Caithlyn bahkan memiliki walk in closet, meski tidak ada kamar mandi dalam kamar.

“Masuk, Ki.”

Kiel mengangguk, melangkahkan kakinya saat si empunya kamar mempersilahkan dirinya masuk ke dalam kamar pribadinya. Memilih tidak mau mengganggu Caithlyn dan Icel yang sedang pacaran, Kiel memilih duduk di sofa kecil dekat dengan pintu walk in closet milik Caithlyn.

“Lo nangis semaleman ya? Jadi jelek gini.” suara Icel pelan.

Caithlyn hanya terdiam, “Jelek kaya monster, ya? Makanya Kak Iel selingkuh.”

“Enggaklah!” Icel menyanggah. “Kamu tuh cantik, mau nangis kaya gini cantik. Yang jelek karena nangisin cowok bangsat itu aja.”

“Kenapa ya, Cel?” Caithlyn memegang tangan Icel yang masih mengelus bawah matanya. “Aku kurang apa?”

“Gak ada! You already enough.”

“Terus kenapa dia selingkuh, Cel?”

“Sorry nih nimbrung,” Kiel menyela obrolan keduanya. Baik Icel dan Caithlyn menoleh pada Kiel bersamaan. “Orang selingkuh itu karena dia mau selingkuh, Caith. Lo udah cukup buat Kak Daniel, dia aja yang nggak bersyukur dapetin elo.”

Caithlyn menahan tangisnya.

“Iya, bener Cait. Bukan lo yang kurang, tapi Daniel yang kurang.”

“Nangis aja Caith, perlu gue keluar dulu?”

“Nggak perlu, Ki.” cegah Caithlyn. Mau bagaimanapun, Kiel sudah merupakan satu paket dengan Icel.

“Nangis aja kalo emang mau nangis, Caith.”

Caithlyn memeluk Icel. Isak tangis dari Caithlyn mulai terdengar, membuat Icel mulai mengelus perlahan punggung Caithlyn.

“Lo boleh nangis, Cait. Gue di sini terus. Tapi yang perlu berhenti adalah lo menyalahkan diri sendiri,” suara Icel pelan, ia bahkan merasa bahwa dirinya sendiri akan menangis. “Sayangku, he never deserves you. Dia yang salah, bukan lo. He will never worth your tears, jadi cukup sampai sekarang aja lo nangisin dia, ya?”

Kiel berdiri, mengelus perlahan pundak Caithlyn. “Lo ngobrol dulu sama Icel, take my girlfriend sampe lo puas nangis ya, Caith. Gue mau sebat sekalian ke kamar Kenneth.”

Caithlyn hanya diam, tidak menjawab. Ia masih merasa sebuah batu mengganjal. Sesak. Membuat mulutnya susah untuk terbuka karena sungguh, sangat berat.

Kiel mengacak perlahan rambut Icel. “Call me if you or Caithlyn need anything, okay?”

Icel mengangguk.

Icel perlahan mulai mengelus rambut Caithlyn. “You always enough, Caithlyn. You always be that enough for everyone. I promise you.”

28

“Sialan,” Kiel keluar kamar sambil sedikit terseok. “Ini kalo Icel tau pasti ngambek, dah.”

“Ide siapa lagian mau segala nemuin Gideon tengah malem,” Jamian menyahut. “Udah jelas Gideon bakal susah tumbangnya ya bangsat.”

Iya. Daripada main PUBG, mereka —Kiel, Jamian, Yoel, dan Sam memutuskan untuk menggeruduk apartemen Gideon. Lagi-lagi, Rendy tidak ikut karena dia harus mengantarkan adiknya lomba pada pagi ini.

Yoel dan Sam belum nampak batang hidungnya, sepertinya mereka belum sadar. Ruang tamu apartemen Gideon terlihat berantakan —sangat berantakan, membuat Jamian dan Kiel sedikit merasa bersalah.

“Gue mau nemuin Icel siang ini, mau ke rumah Caithlyn.” Kiel membuka suara.

“Caithlyn itu temen kelas lo, kan? Anak Ilkom?”

“Iya.”

“Lengket bener Icel sama dia.”

“Ya kan temenan sejak SMP,” Kiel menyenderkan badannya pada sofa Gideon. “Dia punya pacar, hubungannya seems fine, tapi ternyata lakinya selingkuh.”

Jamian menatap Kiel. “Serius?”

“Caithlynnya masih mencari kebenaran.”

Jamian menyisir rambutnya dengan jari. “Orang-orang kenapa ya pada jahat-jahat?” Ia memejamkan matanya sejenak. “Udah ada orang dalem surga apa gimana?”

“Kayanya gitu,” Kiel nyengir. “Gue mandi dulu. Lo di sini nungguin Gideon, Sam, sama Yoel bangun kan?”

Jamian mengangguk, “Santai aja.”

“Gue tinggal gak papa?”

“Ya gak papa, lah.”

Kiel berdiri. “Gue mandi dulu.”

“Iya, lo udah bilang.”

“Tai.”

17

“Loh, ada Grishelda, toh?” ucap seorang dengan perawakan jangkung sambil menenteng sekantong belanjaan. “Untung aja gue beliin banyak snack.”

Grishelda —atau Icel, spontan menoleh kemudian tersenyum lebar. “Hai, Kak Dan. Long time no see.”

“Iya juga.”

“Lagi sibuk Kak?”

Daniel mengangguk. “Biasa, TA. Lo gimana Cel? Aman?”

“Aman.”

“Masih sama Kiel, kan?”

“Masih kok, masih.”

“By the way, where is my Princess?” ucap Daniel, bertepatan dengan Caithlyn berjalan memasuki ruang tamunya.

“Your Princess is here!” ucapnya, kegirangan. Caithlyn memekik seperti anak kecil saat melihat sesuatu yang dia senangi.

Caithlyn berlari kecil menuju arah Daniel. Spontan, laki-laki yang memang bertubuh jauh lebih tinggi daripada Caithlyn itu membuka lebar-lebar tangannya, kemudian mengangkat badan mungil pacarnya saat perempuan itu memeluk serta masuk ke dalam rengkuhannya.

“Elah, gini amat yak nasib ngontrak?” Icel menyahuti kemudian terkekeh.

Bagi Icel, Caithlyn dan Daniel ini merupakan role mode dia dalam berpacaran. Hubungan mereka tipikal hubungan healthy relationship yang mungkin untuk saat ini jarang dilakukan oleh dua insan manusia yang sedang berhubungan.

Caithlyn dan Daniel sama-sama menoleh pada Icel sambil terkekeh pelan.

“Gue buka yak snack dari lo Kak.”

“Ambil aja Cel.”

Caithlyn terkekeh, wajahnya menatap Daniel yang sedari tadi ternyata sudah menatapnya.

“I miss you, Pumpkin.”

Senyum Caithlyn mengembang. “I miss you too!”

Daniel ikut tersenyum, memangkas jarak antara wajahnya dengan Caithlyn dan mengecup sekali bibir merah muda Caithlyn.

“STOP GAK ATAU GUE AKAN TERUS MERASA JOMBLO PADAHAL PUNYA PACAR!”

Caithlyn dan Daniel menoleh, kemudian tertawa bersama. Begitu juga dengan Icel.

4

“Jadi, gimana lo sama Yessi, De?” ucap Yoel saat yang lain terfokus pada ponsel masing-masing. Hanya Gideon yang melamun, nampaknya dia juga sedang menghindari ponselnya.

“Selesai.”

“Beneran selesai, atau gimik?” Jamian menyahut, tanpa berusaha menatap Gideon maupun Yoel. Mereka semua tahu bahwa Jamian paling anti dengan Yessi.

“Beneran,” Gideon menghembuskan nafasnya perlahan. “Dia belum move on dari Harris.”

“Gue bilang juga apa,” Kiel menyahuti. “Dia belum lupain Harris sepenuhnya.”

“Ya nggak munafik ya De, tapi mereka udah pacaran empat tahun, loh?” kini, Sam yang berbicara. “Sejak awal lo pacaran sama Yessi, gue udah tau ujungnya bakal begini.”

“Iya, De. Empat tahun tuh bukan waktu yang sebentar,” Yoel membenarkan posisi duduknya. “Jamian, Rendy, sama Sam kan udah pernah bahas ini.”

Gideon hanya diam, matanya menatap satu persatu temannya. “Sorry, emang gue yang bego.”

“Tabiatnya manusia jatuh cinta emang bego sih.”

“Gue baru denger ini cewek bolak-balik fall out love mulu,” omongan Kiel terhenti saat makanan mereka datang. Sam yang dipojok pun menerima sambil menggeser mangkok bubur satu persatu sampai pada dirinya sendiri. Kiel membenarkan posisi duduknya. “Soalnya cewek tuh, manusia yang pake perasaan.”

“Yang selalu bisa bilang fall out love emang bukan cowok doang, tapi cewek tuh nggak sekejam itu juga buat bilang. Iya gak sih? Menurut lo?” kata Sam. Tangannya sibuk mengaduk bubur. Iya, dia tim bubur diaduk.

“Cewek justru lebih kejam, cuman mereka gak akan ngemis balik ke cowok dan seharusnya, lo cowok yang pake logika, gak nerima dia dengan segampang itu lagi dong?” Jamian angkat bicara.

Gideon sedari tadi hanya sibuk menuangkan saus-sausan untuk buburnya. Saat ini, opininya hanya akan dinilai sampah oleh Jamian —dan Gideon merasa bahwa, ya, opininya memang sampah. Terhalang perasaannya untuk Yessi, tentu saja.

“Gue rasa ini emang yang terbaik buat lo deh De,” Yoel berucap, tangannya mulai menjelajahi saus-sausan yang ada di meja. “Lo boleh jatuh cinta sama siapa aja, tapi begonya, please, abis sama Yessi aja ya? Lain kali begonya ditaker, dikit aja, jangan kebanyakan.”

“And I'm pretty sure that Yessi will never moving on from Harris,” Jamian mulai memejamkan matanya sambil menggenggam kedua tangannya satu sama lain —siap berdoa. “Pegang omongan gue.”

25

Siang di hari libur ini ramai sekali orang berlalu lalang. Ada yang sedang bingung mau mencari makan, mengobrol santai, dan banyak hal lain yang dilakukan.

“Jadi! Mau kasih Cherry hadiah apa?” tanya Kathrine. Matanya sudah tertuju pada beberapa toko barang branded yang ada di mall tersebut.

Kenneth melirik Kathrine. “Enaknya apa ya Kak? Gue masih bingung.”

“Purse?”

“Ken? Kath?”

Tatapan mata mereka mengarah kepada seorang yang memanggil, dan Kathrine mendapati Hakiel sedang berjalan kearah mereka.

Dengan Jericho.

Kathrine mendelik, tangannya mencubit pelan Kenneth yang kemudian hanya dibalas tatapan aneh kepada Kathrine.

“Ayo pergi!” bisik Kathrine.

Kenneth mengerutkan alisnya. “Kemana? Nunggu di sapa dulu ini sama Bang Kiel.”

Tanpa sadar, Kathrine menatap Jericho yang berusaha mengedarkan tatapannya. Canggung.

“Eh Bang Jer, tumben mau ke mall?”

“Dipaksa sama Kiel, dia mau beli sesuatu buat Rhesa.”

“Eh gue juga mau beli sesuatu buat Cherry!” Kenneth tersenyum sumringah. Tanpa susah payah mencari alasan untuk ngacir berdua, Jericho sudah mengatakannya. “Gue bareng Bang Kiel deh nyarinya.”

“H-hah?”

Kenneth menatap Kathrine. “Lo sama Bang Jer dulu ya Kak, gue mau keliling bentar sama Bang Kiel. Bentaran aja kok.”

Kathrine mendelik, Jericho kebingungan.

Kiel terkekeh pelan, menatap Jericho kemudian Kathrine secara bergantian. “Da-ah!”

Oh sialan. Mereka berdua udah ngerencanain ini ya?

“Loh, kok gue lo tinggalin sama pacar lo sih?” Jericho menyela.

Kenneth dan Kiel berhenti sejenak, sementara Kathrine kebingungan.

Pacar?

“Pacar siapa?”

“Pacar lo, Ken?”

“Lo kira ini film Sweet Home Alabama? Kathrine kakak gue, Bang!”

“Yeu Jericho, ngide banget lo monyet!”

Jericho melongo sejenak, kemudian merasakan malu yang sangat luar biasa.

Sialan. Ternyata mereka kakak beradik?

First Meet.

Karena sadar tidak enak membuat orang yang baru ia kenal menunggu, Grishelda berlari kecil menuju lobi apartemennya setelah keluar dari lift. Lobi kosong, hanya ada beberapa satpam saja. Sementara itu, lumayan banyak mobil yang terparkir di depan lobi apartemen, namun hanya ada satu mobil; sebuah mobil Range Rover.

Isel terkesiap awalnya, namun ia segera berjalan menuju mobil tersebut sambil menenteng tottebag putih milik Aji tersebut.

Dari dalam, Marcel menatap Isel. Bagi Marcel, ia sama seperti yang ada difoto, mustahil sulit menemukannya. Ia menurunkan kacanya saat Isel menuju mobilnya, dan kemudian meraih sesuatu dari jok belakang.

“Halo, Marcel ya?”

Marcel mengangguk, melempar senyum sembari melepas kacamatanya. Ia juga membuka sedikit pintu mobilnya, kemudian meloncat keluar saat Isel berada dihadapannya.

“Maaf ya nunggu!”

“Nggak apa Kak,” Marcel terkekeh, kemudian menerima uluran Isel yang merupakan titipan Aji. “Makasih ya Kak. Maaf Aji ngerepotin.”

“Eh! Enggak kok, nggak papa. Kalau gitu, saya —”

“— tunggu bentar Kak.”

Isel terdiam, kemudian melihat Marcel memasukan setengah badannya. Ia meletakan tottebag putih Aji, dan mengambil sebuah tottebag cokelat.

Isel terkesiap saat Marcel menyodorkannya.

“Buat?”

“Buat Kakak. Tadi yang ada sejalanan cuman Starbucks, jadi bisanya drive thru ke Starbucks. Terus, saya juga nggak tau Kak Isel suka dingin atau hangat, saya kasih dua-duanya, sama cookies, siapa tau nggak suka sama menu yang saya pesan. Terus, saya kasih gulanya terpisah, siapa tau Kakak nggak suka manis.”

Isel melongo sejenak, matanya menatap Marcel tak percaya.

Karena melihat Isel diam, Marcel makin menyodorkan tottebag tersebut kemudian tersenyum.

“M-makasih ya Cel.”

“Sama-sama Kak. Saya izin duluan.”

Isel mengangguk, kemudian setelah Marcel masuk ke dalam mobilnya, Isel minggir dan berdiri di depan lobi sambil melongo. Mencerna apa yang baru dia dapatkan, sampai-sampai dia tidak sadar bahwa sedari tadi Jonathan terus menatapnya dari dalam mobilnya.

“Hendery, right?” tanya seorang dengan mobil putih yang dia parkir didepan jalanan bandara.

Hendery, yang datang dengan dirinya sendiri —tanpa manager dan bodyguard menoleh dengan panik, kemudian terkekeh menatap siapa yang menjemputnya.

Mereka bersalaman dan memeluk diri. “My man!” sapa Hendery.

“God, you panicked.”

“Yeah, kinda. Who's told you to pick me up? Kun Ge? Crystal?” tanya Hendery sambil ikut Chenle berjalan.

“Kun, at first. But I chat Crystal jiejie, and she agreed about that. She doesn't told you?”

Hendery menggeleng, meletakkan kopernya dibagasi mobil Chenle. “No. Crystal only said that someone will pick me up. No name.”

Chenle terkekeh. “I told her to not told you that it will be me.”

Hendery dan Chenle pun masuk ke dalam mobil, kemudian Chenle langsung menjalankan mobil saat keduanya sudah siap.

“So, you know where she at?”

Chenle mengangguk sambil menjalankan Tesla putih kesayangannya itu.

“O-okay. I need to confirm to her.”

“You should.”

Hendery mengangguk, kemudian menelfon Crystal.

“Jie—”

“MY LOVE, HENDERY! Are you landed yet?”

“Yeah, on my way to your hotel.”

“Good. With Chenle, right? Just tell the receptionist your name and they will take you to the room. Invite Chenle too, we should dinner together this night. Okay?”

Hendery mengangguk, secara spontan. “Okay, Jie.”

“Then, see you tonight?”

“Where are you now?”

“I'm sorry, I have to do something for job. We going to Bali after my job done. You okay?”

“Yeah, sure.”

“Okay. Tell Kun if you are already here.”

“Sure. See you tonight?”

“See you my love!”

Telfon terputus, Hendery menoleh pada Chenle. “Tonight we will have a dinner and she invited you. You okay?”

Chenle mengangguk, “Sure.”

“Can I go to your Apartment? Kun said, you have a little daughter now?”

Chenle tertawa. “Yeah, sure. You can see my little daughtie.”

Mereka kemudian membicarakan hal random, mulai dari bagaimana rasanya hidup sendiri dan bagaimana Indonesia bagi Chenle.

“Hendery, right?” tanya seorang dengan mobil putih yang dia parkir didepan jalanan bandara.

Hendery, yang datang dengan dirinya sendiri —tanpa manager dan bodyguard menoleh dengan panik, kemudian terkekeh menatap siapa yang menjemputnya.

Mereka bersalaman dan memeluk diri. “My man!” sapa Hendery.

“God, you panicked.”

“Yeah, kinda. Who's told you to pick me up? Kun Ge? Crystal?” tanya Hendery sambil ikut Chenle berjalan.

“Kun, at first. But I chat Crystal jiejie, and she agreed about that. She doesn't told you?”

Hendery menggeleng, meletakkan kopernya dibagasi mobil Chenle. “No. Crystal only said that someone will pick me up. No name.”

Chenle terkekeh. “I told her to not told you that it will be me.”

Hendery dan Chenle pun masuk ke dalam mobil, kemudian Chenle langsung menjalankan mobil saat keduanya sudah siap.

“So, you know where she at?”

Chenle mengangguk sambil menjalankan Tesla putih kesayangannya itu.

“O-okay. I need to confirm to her.”

“You should.”

Hendery mengangguk, kemudian menelfon Crystal.

“Jie—”

“MY LOVE, HENDERY! Are you landed yet?”

“Yeah, on my way to your hotel.”

“Good. With Chenle, right? Just tell the receptionist your name and they will take you to the room. Invite Chenle too, we should dinner together this night. Okay?”

Hendery mengangguk, secara spontan. “Okay, Jie.”

“Then, see you tonight?”

“Where are you now?”

“I'm sorry, I have to do something for job. We going to Bali after my job done. You okay?”

“Yeah, sure.”

“Okay. Tell Kun if you are already here.”

“Sure. See you tonight?”

“See you my love!”

Telfon terputus, Hendery menoleh pada Chenle. “Tonight we will have a dinner and she invited you. You okay?”

Chenle mengangguk, “Sure.”

“Can I go to your Apartment? Kun said, you have a little daughter now?”

Chenle tertawa. “Yeah, sure. You can see my little daughtie.”

Mereka kemudian membicarakan hal random, mulai dari bagaimana rasanya hidup sendiri dan bagaimana Indonesia bagi Chenle.

— Saturday

“Dimana Bang Jo?” tanya Haje sambil menyeret koper milik Ody itu. Sambil berjalan, dia tetap menatap sahabatnya sejak cilik itu agar tidak hilang dalam pandangannya.

Ody mendongak, menatap sahabatnya itu. “Mm, Starbucks.”

“Yuk?” Haje menjulurkan tangannya yang kosong. Ia meringis, mengerti bahwa hal itu akan membuat Ody sedikit lebih tenang.

Ody tersenyum kecil, kemudian menggandeng tangan Haje dan berjalan menuju Starbucks bersamaan.

Ody dan Johnny bukanlah dua kakak beradik yang dekat dan akrab. Tanpa Ody sadari, Haje adalah 'segala-galanya' semenjak dulu. Yang selalu ada saat Ody butuh, yang paling mengerti Ody. Pada Johnny, Ody tidak berbicara gamblang layaknya dia berbicara pada Haje. Mungkin, karena perbedaan umur mereka yang lumayan jauh membuat mereka asing.

Johnny masuk ke dalam kehidupan Ody saat perempuan itu masuk SMA. Rasanya sangat canggung, sama saja seperti sekarang. Apalagi, Johnny bekerja di luar kota, membuat jarak 'jauh' yang ada, semakin jauh. Bagi Ody, Johnny adalah kakak yang baik dan bagi Johnny, Ody adalah adiknya yang pendiam. Jadi, Johnny terus menerus mendekati Ody karena Johnny merasa hal itu harus. Dan Ody, menghargai soal itu. Meski, keduanya masih canggung.

Sampailah Ody dan Haje didepan Starbucks. Mata mereka berdua mencari sosok Johnny, dan, ya, mereka menemukan laki-laki itu sedang berbicara dengan seorang perempuan.

“Siapa?” bisik Haje pelan.

Ody mengendikkan bahunya, tanda dia juga tidak tahu tentang perempuan itu.

Haje berjalan masuk lebih dahulu, yang disusul oleh Ody.

“Kak?

Johnny yang sedang menatap serius perempuan dihadapannya itu pun menoleh, kemudian langsung berdiri. “Ody!”

Ody terkekeh, kemudian menghampiri Johnny dan masuk ke dalam rentangan lengan Johnny. Johnny pun memeluk adiknya itu, kemudian mencium sejenak puncak kepala Ody. “Gimana? Capek?”

Ody menggelengkan kepalanya. “Enggak, kok.”

Johnny melepaskan pelukannya, kemudian menarik sedikit tubuh Wendy. “Ody, kenalin. Dia Wendy, pacar Kakak.”

Ody tersenyum, kemudian mengulurkan tangan. Bukannya membalas uluran tangan Ody, Wendy langsung memeluk badan Ody. “Astaga, kamu kecil dan manis banget!” sapanya, sambil memeluk Ody.

Ody mendelik sejenak, namun kemudian segera mengerjapkan matanya dan memeluk balik tubuh wanita itu.

Wendy melepaskan pelukannya, “Ody, aku Wendy! It's nice to meet you! No wonder why Johnny always said that I will like you!”

Ody terkekeh pelan. “Kak Wendy, nice to meet you too, Kak.”

Wendy menatap Haje, “Pacar kamu?”

“Pacar?” Haje menjawab spontan, membuat Ody terkekeh.

“Bukan, Wen. Haje ini sahabatnya Ody sejak kecil.”

Wendy ber-oh ria. “Then, let's go home? Aku bakalan masakin kalian makanan enak, let's go!” kata Wendy sambil merangkul Ody dan Haje.

Johnny menggelengkan kepalanya sambil terkekeh, kemudian ikut berjalan dibelakang mereka sambil menggeret koper milik Ody.

— Monday

“Gimana?” tanya Haje saat Ody baru saja membukakan pintu untuk laki-laki itu.

Ody memutar matanya malas, kemudian, meninggalkan pintu tanpa menutupnya. Ia tahu bahwa tanpa dipersilahkan pun, Haje akan masuk ke dalam rumahnya.

Rumah dengan desain minimalis itu nampak makin sepi semenjak tiga bulan yang lalu. Orang tua Ody meninggal dunia karena sebuah kecelakaan beruntun. Hal itu lah yang membuat rumah ini nampak sangat sepi setiap harinya. Meski nampak tidak seperti ada kehidupan di dalamnya, rumah itu masih sangat rapih dan bersih karena setiap hari Ody membersihkannya.

“Gue datang dengan damai ya,” Haje masuk, kemudian duduk di sofa berwarna putih itu sambil memainkan ponselnya. “Lagian, lo nggak kesepian disini? Kan enak disana sama Abang lo, lo bisa ada temen ngobrol tiap waktu.”

“Gue masih mikir, Je.”

“Kelamaan Ody,” Haje menatap gadis yang duduk disebrangnya itu. “Lo nggak kasihan sama Bang Jo? Nungguin lo tiap hari, ngawatirin lo tiap hari?”

“Ya..,” Ody menghela nafas, membayangkan wajah Abangnya itu. “Kasihan.”

“Iya makanya. Bang Jo baik tau masih nawarin, kalo gue jadi abang lo udah gue seret.”

Ody menghela nafas, kemudian mengedarkan pandangannya pada rumah yang sudah dia tinggali selama delapan belas tahun ini.

“Terus yang jagain rumah ini, siapa?” Ody menatap Haje yang sedang memainkan ponselnya. Laki-laki itu mendongak, menatap Ody. “Gue udah janji sama mereka buat terus ngejagain rumah ini.”

“Percaya sama gue, Dy. Bang Jo udah mikirin semuanya, pasti. Dia nggak pernah main-main soal lo, gue tau itu,” Haje kemudian ikut mengedarkan pandangannya pada sekitaran rumah Ody. “Lagipula, gue yakin seratus persen, orang tua lo bakalan lebih seneng lo nggak ada jarak lagi sama Bang Jo.”

Ody terdiam. Benaknya membenarkan perkataan Haje dan mulai menyadari bahwa memang dia seharusnya ikut bersama Jo, walinya. Kasihan Jo jika harus terus menerus memikirkan bagaimana nasib Ody yang jauh darinya dan tanpa bimbingan orang yang lebih tua. Jo pasti sering kebingungan.

“Oke. Besok bantu gue beberes selesai lo kelas,” Ody berdiri. “Gue mau nge-chat Kak Jo sekarang.”

Haje tersenyum. “Aye aye, Captain!”