30
“CAAAIT!”
Ruangan bernuansa merah muda milik Caithlyn itu akhirnya mendapatkan tamu selain Kenneth dan Kean. Bagi Caithlyn, kamarnya adalah tempat sakral. Hanya orang tertentu saja yang dapat masuk.
Tanpa babibu, Icel langsung memeluk Caithlyn. Mata yang membengkak dan kantong mata hitam jelas tercetak, menandakan bahwa Caithlyn jelas menangis semalaman sampai tertidur.
“Yaampun,” Icel melepaskan pelukan mereka, matanya mengelus bagian bawah mata Caithlyn. “Sayangku.” rautnya sedih bukan main.
Bagi Caithlyn, Icel adalah teman satu-satunya. Meski ada Winny dan Nina, Icel yang paling dekat dengan Caithlyn.
Kiel hanya berdiam diri di depan kamar Caithlyn yang tergolong rapih. Ukuran kamarnya tidak terlalu besar, namun sangat nyaman. Caithlyn bahkan memiliki walk in closet, meski tidak ada kamar mandi dalam kamar.
“Masuk, Ki.”
Kiel mengangguk, melangkahkan kakinya saat si empunya kamar mempersilahkan dirinya masuk ke dalam kamar pribadinya. Memilih tidak mau mengganggu Caithlyn dan Icel yang sedang pacaran, Kiel memilih duduk di sofa kecil dekat dengan pintu walk in closet milik Caithlyn.
“Lo nangis semaleman ya? Jadi jelek gini.” suara Icel pelan.
Caithlyn hanya terdiam, “Jelek kaya monster, ya? Makanya Kak Iel selingkuh.”
“Enggaklah!” Icel menyanggah. “Kamu tuh cantik, mau nangis kaya gini cantik. Yang jelek karena nangisin cowok bangsat itu aja.”
“Kenapa ya, Cel?” Caithlyn memegang tangan Icel yang masih mengelus bawah matanya. “Aku kurang apa?”
“Gak ada! You already enough.”
“Terus kenapa dia selingkuh, Cel?”
“Sorry nih nimbrung,” Kiel menyela obrolan keduanya. Baik Icel dan Caithlyn menoleh pada Kiel bersamaan. “Orang selingkuh itu karena dia mau selingkuh, Caith. Lo udah cukup buat Kak Daniel, dia aja yang nggak bersyukur dapetin elo.”
Caithlyn menahan tangisnya.
“Iya, bener Cait. Bukan lo yang kurang, tapi Daniel yang kurang.”
“Nangis aja Caith, perlu gue keluar dulu?”
“Nggak perlu, Ki.” cegah Caithlyn. Mau bagaimanapun, Kiel sudah merupakan satu paket dengan Icel.
“Nangis aja kalo emang mau nangis, Caith.”
Caithlyn memeluk Icel. Isak tangis dari Caithlyn mulai terdengar, membuat Icel mulai mengelus perlahan punggung Caithlyn.
“Lo boleh nangis, Cait. Gue di sini terus. Tapi yang perlu berhenti adalah lo menyalahkan diri sendiri,” suara Icel pelan, ia bahkan merasa bahwa dirinya sendiri akan menangis. “Sayangku, he never deserves you. Dia yang salah, bukan lo. He will never worth your tears, jadi cukup sampai sekarang aja lo nangisin dia, ya?”
Kiel berdiri, mengelus perlahan pundak Caithlyn. “Lo ngobrol dulu sama Icel, take my girlfriend sampe lo puas nangis ya, Caith. Gue mau sebat sekalian ke kamar Kenneth.”
Caithlyn hanya diam, tidak menjawab. Ia masih merasa sebuah batu mengganjal. Sesak. Membuat mulutnya susah untuk terbuka karena sungguh, sangat berat.
Kiel mengacak perlahan rambut Icel. “Call me if you or Caithlyn need anything, okay?”
Icel mengangguk.
Icel perlahan mulai mengelus rambut Caithlyn. “You always enough, Caithlyn. You always be that enough for everyone. I promise you.”