daisyellow

Bohongnya Malik dan Hilman


“Maaf, Malik enggak maksud bohong.”

Hilman serasa ditarik pada masa lalu, saat dirinya hanya mampu menunduk dan tidak berani menatap sang lawan bicara yang sedang menatapnya penuh tanya. Perbedaannya, posisi yang ia alami kini tertukar. Dirinya jadi orang yang dibohongi, dan Malik jadi pemeran dirinya di masa lalu.

Kata-kata Malik persis sama seperti yang ia lontarkan dulu. Kata-kata pembuka untuk segala dusta yang sudah Hilman lakukan di belakang si mantan pacar.

“Maaf, Hilman enggak maksud bohongin Mas.”

Tubuh Hilman rasanya seperti diguyur air es. Hanya mampu membeku di tempat seiring hatinya berdetak tidak karuan. Oh … jadi seperti ini rasanya dibohongi. Jadi seperti ini rasanya jadi Mas Rian.

Hilman sama sekali tidak menyukainya.

Perlu beberapa waktu agar Hilman bisa temukan kembali suaranya untuk membalas ucapan Malik. Hilman edarkan pandangan pada sekeliling bengkel usang yang kembali jadi tujuan untuk mereka bisa bicara tanpa adanya pengganggu, memakan detik demi detik hanya agar hatinya siap.

“Bohong apa aja sama Aa, Lik?” Mau bagaimanapun, yang Hilman mau memang kejelasan. Pait sekalipun ia siap untuk telan.

Malik mainkan celana jeans miliknya yang bolong di area lutut, buah dari resah karena pada akhirnya semua rahasia miliknya dan Yohan harus disebar oleh mulutnya sendiri.

“You are not my first kiss.”

Hening. Hilman butuh proses ucapan Malik.

“Malik bohong soal itu, A.”

Hilman tarik napas panjang. “Terus? Ada hubungannya sama kejadian dua hari lalu, Lik?”

Dari sudut matanya Hilman lihat Malik mengangguk lemah.

“Jelasin.”

“Aku emang ngehindarin sesuatu. Aku ngehindar dari seseorang.”

“Pacar kamu yang lain?”

“Demi Tuhan a, bukan!” Malik menjawab cepat dan panik, tidak mau jika Hilman langsung tarik kesimpulan bahwa dirinya mendua. “Bukan, Yohan bukan pacar aku.”

Oh … namanya Yohan. Lelaki yang sedang Malik hindari, namanya Yohan. Batin Hilman dalam hati.

“Terus? Mantan kamu?”

Malik menggeleng. Ia tarik tangan Hilman untuk digenggam, untuk buat tiap kalimat yang keluar dari mulutnya lebih meyakinkan. “Aku sama Yohan enggak pernah pacaran. Aku sama dia cuma penasaran, a. Ciuman aku sama dia cuma hasil dari penasaran. Aku enggak suka sama dia, tiap ciuman yang aku lakuin, aku bayangin kalau ciuman itu sama kamu.”

Tawa Hilman keluar tanpa suara. Jenis tawa kosong karena menertawakan ironi hidup. “Pas pacaran sama aa, kamu masih berhubungan sama dia?” Ini adalah pertanyaan yang paling penting. Waktu saat Malik dan Yohan bermain-main sangatlah penting agar Hilman bisa putuskan langkah apa yang bisa ia ambil.

Malik kembali menggeleng ribut. “I stop with him long ago. Aku berhenti saat tahu kalau aa udah mulai buka hati buat aku. Sumpah demi Tuhan, a. Tapi ternyata Yohan enggak mau, ternyata Yohan malah nyimpen rasa dan enggak mau stop. Jadi aku berusaha ngehindar dari dia. Mangkanya pas kemarin ada acara, aku milih buat enggak ikut.”

Ada sedikit kelegaan yang Hilman rasa saat mendengar ucapan Malik. Bahwa ketika mereka mulai memupuk rasa, bahwa ketika Hilman mulai percaya, Malik sudah berhenti mencoba dengan Yohan.

Hilman menunduk, menatap dua tangannya yang masih Malik tangkup. Ia sudah dewasa, ia sedikit paham bahwa Malik masih remaja dan penasaran miliknya masihlah banyak. Hidupnya belum penuh dengan pengalaman, Malik juga hanyalah remaja yang masih perlu belajar.

Tapi Hilman ingin tekankan sesuatu pada Malik. Hilman ingin hubungannya yang sudah dibangun bersama Malik punya pondasi bernama kejujuran.

“Padahal kamu enggak perlu bohong sama aa. Aa juga bisa coba untuk paham misal kamu cerita, aa ngerti kamu masih remaja tanggung dan banyak hal yang mau kamu tau. Tapi kenapa kamu sampe bohong sih, Lik?”

Mendengar nada kecewa dari mulut Hilman buat mata Malik memanas. Malik paling tidak ingin buat Hilman kecewa, Malik hanya ingin Hilman bahagia. Dan begitu saja, tenggorokannya memanas saat ingin ucap kata. Dan begitu saja, air mata Malik keluar saat berbicara.

“Karena Malik enggak mau ngecewain aa.” Malik berujar dengan suara parau. “Karena Malik mau keliatan sempurna buat aa. Malik ngerasa enggak pantes buat aa kalau aa tahu Malik begini.”

Hilman kembali terdiam mendengar tiap ucapan Malik. Ia lihat tubuh Malik semakin menunduk. Malik sembunyikan wajahnya di paha Hilman dengan dua tangan Hilman masih ia genggam. Malik cium bergantian tiap buku jari Hilman.

Hilman lepas satu tangannya dari genggaman Malik, dan Hilman gunakan tangan itu untuk menyisir rambut yang lebih muda. Kepalanya mendongak menahan tangis melihat bahu Malik yang bergetar begitu hebatnya. Hilman tidak sanggup saat ia mendengar bisikan Malik yang terdengar begitu putus asa.

“Jangan tinggalin Malik, a. Malik sayang banget sama aa. Maaf Malik enggak sempurna, Maaf kalau Malik udah bikin aa kecewa. Tapi tolong … tolong banget jangan tinggalin Malik.”

“Buktiin, Lik. Biar aa bisa percaya.”

Hilman putuskan untuk beri kesempatan. Karena ternyata ada perbedaan antara dirinya yang dulu dengan Malik. Malik masih ingin coba dan berjuang, bohongnya ini untuk jaga hubungannya dengan Hilman. Sedangkan bohongnya Hilman, dulu ia lakukan untuk lepas dari Mas Rian.

Penasaran

Cw // ciuman, mempertanyakan mengenai orientasi seksual


Sesungguhnya, sulit untuk mencari penjelasan yang paling tepat untuk menggambarkan hubungan antara Malik dan Yohan. Keduanya melakukan hal-hal yang sudah lewat garis batas jika hanya berstatus sebagai teman, namun jelas … dua insan ini juga tidak layak mendapat titel sepasang kekasih. Karena awal mula hubungan mereka merupakan buah dari rasa penasaran, bukan lahir dari rasa kasih sayang yang diluapkan dalam bentuk kegiatan seksualitas.

Semua berawal dari obrolan keduanya di pinggir lapang basket, dengan langit malam yang berjanji bahwa apapun yang terjadi malam ini selamanya akan jadi rahasia. Yohan yang bercerita mengenai Tria— cewek dengan status mantan ketua osis — yang baru saja memutuskan hubungan dengannya. Curahan hati Yohan malam itu ditimpali kisah Malik yang tidak kelewat sedih, apalagi jika bukan cerita mengenai dirinya yang kembali ditolak oleh A Hilman.

Dua remaja, suasana remang, dan hati yang patah. Malam itu, rasa penasaran Yohan ia utarakan dalam sebuah pertanyaan. “Lo kok bisa suka cowok sih, Lik?”

Malik hanya mampu menggedikan bahu, “Gatau, mungkin emang gue udah terlahir kayak gini?”

“Oh …” Yohan mengangguk, meskipun jawaban Malik dirasa kurang memuaskan, tapi Yohan masih bisa bertanya demi menuntaskan rasa penasaran, “lo … apa pernah bayangin nyium dia? Maksud gue, no offense ya … enggak pernah kebayang sih gue nyium laki.” Ia tertawa pelan di akhir. Karena sepanjang 18 tahun masa hidupnya, Yohan tidak pernah merasakan ketertarikan kepasa sesama lelaki.

Malik arahkan kepalanya ke atas, padahal langit malam hanya menampilkan titik-titik kecil cahaya, tapi yang Malik lihat adalah wajah manis milik Hilman yang dihiasi tahi lalat layaknya rasi bintang. Bibirnya tersenyum, “nyium a Hilman? Lo mungkin bakalan jijik kalau tahu itu hal yang paling sering gue mimpiin, Om.”

“Have you?”

Malik arahkan pandangannya pada Yohan yang sedang menopang dagu dengan dua lutut miliknya ditekuk. “Have what?”

“Kiss him?” Yohan bertanya polos.

Dan Malik tertawa kencang dibuatnya. “Om … A Hilman aja terus-terusan nolak gue. Gimana ceritanya gue udah pernah ciuman sama dia? Kocak lo.”

Yohan ikut tertawa, “what about another men? Have you tried kissing with a men?”

Malik menggeleng. “A Hilman kayaknya cowok pertama yang buat gue berkeinginan dan punya pikiran seksual tentang cowok, Om.”

“Gue juga belum pernah ciuman sama cowok, Lik.” Entah apa maksud Yohan berkata seperti itu, tapi yang jelas hanya satu, Yohan begitu penasaran.

“Ya kan emang lo preferensi seksualnya ke cewek? Aneh kalau lo suka cewek tapi malah pernah ciuman sama cowok?”

Pandangan Yohan jadi serius, ia tatap Malik tepat di kedua matanya. “Maksud gue … gue enggak tahu? Bisa jadi gue juga ternyata punya ketertarikan sama cowok, tapi ya karena gue belum pernah ngerasa ada keintiman ke cowok, mangkanya enggak pernah kepikiran ke sana?”

Harusnya, harusnya obrolan mereka berhenti di sana. Harusnya Malik tolak ajakan Yohan untuk coba-coba. Harusnya, malam itu ciuman pertama mereka tidak pernab terjadi.

Tapi kembali, Malik juga hanya remaja yang hanya bisa membayangkan bagaimana rasanya berciuman dengan pria. Pada tiap malamnya Malik memimpikan Hilman dan kecupan kecupan yang ia beri, dan mimpi juga bayangan tidaklah cukup. Malik butuh rasa, Malik butuh sesuatu yang nyata.

Maka saat bibirnya dan bibir Yohan bertemu, yang Malik bayangkan adah bibir tebal Hilman dengan segala kelembutannya yang ia tahu hanya sekedar dari memori yang matanya ia tangkap. Yang Malik imajinasikan adalah Hilman, yang Malik tahu bahwa saat ini ciumannya adalah bersama Hilman, bukan Yohan.

Hubungan mereka bertahan selama hampir tiga bulan. Hubungan yang sulit dijelaskan karena hubungan ini hanya buah dari rasa penasaran.

Sampai akhirnya Malik dapat kepastian bahwa Hilman balik menginginkan dirinya, bahwa akhirnya usahanya untuk mendapatkan Hilman tidak berujung pada kesia-siaan semata. Dan Malik putuskan untuk akhiri hubungan rumit yang ia jalin bersma Yohan.

Tapi sayang, Yohan gagal beri batas kejelasan. Yohan, yang baru pertama kali berhubungan dengan lelaki, malah jatuh hati kepada Malik.

Menurut KBBI, kata “kebetulan” punya arti tidak dengan sengaja terjadi. Tapi apa betul ada kebetulan di bumi ini? Bukannya tiap-tiap manusia sudah punya garis takdir yang siap dijalani? Bukannya tiap-tiap manusia memang tidak pernah tahu apa yang akan terjadi pada dirinya sampai ia jalani takdir yang sudah ditentukan?

Maka saat Hilman mengarahkan motor miliknya untuk sampai di rumah Bang Tiandra, Malik pikir apa ini kebetulan karena jalan yang kini sedang ia lalui sudah Malik hapal di luar kepala? Apa ini juga kebetulan, saat motor miliknya berhenti di sebuah rumah berlantai dua yang cukup sering ia kunjungi?

“Ini … rumah Bang Tian?” Tanya Malik saat Hilman sudah turun dari motor.

Hilman membuka helm miliknya, lalu ia serahkan helm itu pada Malik yang masih betah nangkring di atas motor.

“Iya. Turun yuk? Ikut aja ke dalem.”

Malik dengan cepat menggeleng. “Enggak usah deh, aku di sini aja. Malu haha.”

“Yaudah, aa juga enggak lama kok. Bentar ya.”

Padahal, malu bukan alasan utama Malik enggan ikut Hilman untuk masuk ke dalam rumah ini. Tapi satu sosok remaja seusianya yang Malik begitu Hindari.

Sosok remaja yang mengekor Hilman di belakang saat ia sudah selesai berurusan dengan Tendra. Sosok remaja yang menggendong tas besar dan bersiap masuk ke dalam mobil jika saja pandangannya tidak menangkap Malik.

“Lah, Malik?”

Sapaan dari Geo tentu saja mengalihkan perhatkan Hilman dan Tendra yang sedang berbincang asik di depan pintu rumah sembari Tendra menunggui Hilman yang sedang memakai sepatu.

“Hilman? Kok bisa dianterin Malik? Siapanya lo tuh?” Tendra yang memang belum mengetahui fakta bahwa Malik mengenal teman kerjanya itu bertanya diiringi senyum menyeringai.

“Pacar hehe.” Jawab Hilman malu-malu. Kemudian matanya memperhatikan Geo yang menghampiri Malik dengan wajah penuh bingung.

Hilman yang merasa bahwa ada yang tidak beres, cepat-cepat berpamitan pada Tendra yang masih saja asik menggodanya karena berpacaran dengan daun muda. Kemudian Hilman hampiri dua remaja yang terlihat sedang mengobrol serius.

“Dih anjir lu ya, ada urusan tuh ternyata jalan sama pacar lu?”

“Ya gimana…”

“Wah bener-bener, ini terakhiran anak basket pada kumpul, Lik. Jalan sama pacar mah bisa kapan aja, lu yang bener aja sih.”

Malik menghela napas panjang, sungguh ia tidak tahu harus mengelak seperti apa lagi.

“Emang … mau ada acara apa?” Hilman yang sedari tadi sudah mendengar percakapan keduanya bertanya penasaran. Dilihatnya Malik dan Geo secara bergantian, menunggu mana diantara keduanya yang akan menjelaskan.

Melihat Malik yang hanya diam sambil menunduk, membuat Geo akhirnya pilih buka suara.

“Anak basket ada acara staycation di puncak, Kak. Kumpul terakhiran sebelum pada masuk kuliah, sekalian ngerayain ulang tahun temen. Tapi Malik katanya gak bisa, ada urusan.”

“Urusan…?” Hilman menaikkan sebelah alisnya, menunggu Malik menjelaskan mengapa hal ini bisa terjadi.

Jangan bilang, urusan yang Malik maksud adalah mencari sepatu bersama dirinya. Jangan bilang, urusan yang Malik maksud itu adalah urusan yang dibuat-buat.

Malik langsung menyerahkan helm kepada Hilman tanpa berniat memperpanjang obrolan. “Udah kan ketemu Bang Tendranya?”

Perasaan Hilman begitu campur aduk melihat Malik yang terlihat begitu serba salah. Kemudian ia meminta Hilman untuk segera naik ke atas motor dengan menggerakkan matanya.

Setelah motornya menyala, tepat sebelum tangannya menarik gas, Malik berucap pada Geo. “Sorry banget, Ge. Gue emang enggak bisa pergi. Salam aja buat yang lain. Have fun, Ge.”

Hari itu, motor Malik tidak jadi sampai tujuan. Hari itu, sepatu yang Malik cari juga tidak didapatkan. Hari itu, Hilman memaksa untuk pulang.

Selamat Ulang Tahun

Cw // kissing


Aa Hilman Gue udh di rumah

Satu pesan dari Hilman membuat Malik dengan segera melangkahkan kakinya menuju rumah yang lebih tua. Tidak butuh dari lima menit bagi Malik untuk sampai di rumah Hilman akibat rumah mereka yang bersebrangan.

“Malem tante,” Malik sapa tante Jihan yang sedang sibuk melipat pakaian di depan tv.

“Malik, malem. Gih sana Aji nya ada di kamar.” Jihan langsung menyuruh Malik menuju kamar milik Aji, akibat dari seringnya waktu yang Malik habiskan di sana.

Padahal, malam ini yang mau ia temui bukan Aji.

“Kalau A Hilman di mana ya?”

“Oh … Hilman? Palingan lagi mandi di kamarnya. Sana gih tungguin aja.” Kemudian mata Jihan menangkap sebuag kotak yang Malik pegang. “Mau kasihkan itu ya? Apaan tuh?” Tanya Jihan dengan nada jahil.

Malik tertawa kecil, “balas budi dari Malik karena A Hilman udah sering bantuin Malik.”

Jihan mengangguk, “iya atuh sana, mau nunggu di kamar Aji apa di atas? Si Aji paling lagi main game.”

“Malik ke atas ya, tante?”

“Iya, mangga.”

Sebetulnya ini bukan pertama kali Malik memasuki kamar milik Hilman. Namun karena malam ini ia mempunyai tujuan khusus, dirinya merasa … gugup.

Suara keran air yang menyala jadi pertanda bahwa Hilman belum selesai membersihkan diri. Malik pilih duduk di tepi ranjang, ia buka gawai miliknya dan men-scroll twitter, membalas mentionan Jeno sembari membunuh waktu.

Mungkin lima menit, mungkin sepuluh menit, mungkin juga sebelas menit, Malik tidak begitu tahu pasti saat Hilman keluar dari kamar mandi. Menyebabkan kamar miliknya kini menguarkan wangi mint yang Malik kira berasal dari sabun mandi yang Hilman gunakan.

“Malik? Dari kapan nunggu di sini? Enggak nunggu di kamar Aji?” Hilman mendekat dengan satu tangan sibuk mengeringkan rambutnya yang basah. Yang lebih tua mengenakan kaos putih polos dan celana training hitam.

Malik tersenyum kecil, kemudian menggeleng. Gawai yang sedari Malik mainkan ia simpan di saku celana. “Belum lama kok. Sini,” ujar Malik sembari menepuk-nepuk area kosong di sebelahnya, “duduk di sini, a.”

Begitu Hilman sudah mendudukkan diri di sampingnya, Malik beri kotak yang tadi ia bawa.

“Apa?” Hilman bertanya bingung sembari menerima kotak tersebut.

Malik tidak langsung menjawab, tangannya mengambil handuk kecil yang sudah tergeletak begitu saja di atas kasur saat Hilman memegang kotak yang Malik beri. Kemudian, Malik arahkan Hilman untuk duduk menyamping. Dan dengan perlahan, Malik usap rambut basah Hilman dengan perlahan, dengan penuh perhatian.

“Hadiah buat lo.”

Hilman tertawa, “kan lo yang lagi ulang tahun? Kenapa gue yang dikasih kado? Dasar aneh.” Kepalanya terus menunduk karena ; 1) memperhatikan kotak yang Hilman beri dan kini berada di pangkuannya. 2) mempermudah Malik untuk mengeringkan rambut miliknya.

“Hadiah karena dengan sabar selalu ada buat gue. Hadiah karena lo udah percaya sama gue. Hadiah karena lo bikin gue enggak nyerah.”

Karena memang betul, Hilman ada di sana, untuknya, hingga ia bisa diterima di kampus impiannya.

“Dari awal juga gue percaya kalau lo enggak akan nyerah, lik. Lo aja yang udah gue lepeh berkali-kali tetep ngejar gue. Apalagi ini, kan? Baru gagal sekali masa nyerah.”

Malik memajukan tubuhnya hingga kini punggung milik Hilman dan dada miliknya menempel. Malik simpan dagunya di pundak Hilman.

“Terus ini ngapain…”

Tangan Malik tidak lagi sibuk mengusap rambut Hilman yang sudah agak mengering, tapi kini Malik gunakan untuk memeluk batang tubuh yang lebih tua. “Minta jatah lima menit gue. Jatah peluk gue.” Bisiknya dengan suara rendah.

Hilman hanya bisa menghela napas panjang sambil perlahan pipinya berubah merah. “Ini boleh gue buka?”

Jawaban Malik berikan berupa anggukan yang dapat Hilman rasa di pundaknya.

Di sana, ada sebuah crochet berbentuk bunga matahari. Dan Hilman sukses dibuat tersenyum lebar.

“Gemes …” Hilman bergumam, jemarinya menyentuh perlahan benda yang Malik beri.

Malik menoleh sedikit hingga bibirnya berada persis di hadapan telinga Hilman. “Tadinya gue mau beliin bunga yang asli. Tapi pasti bakalan layu. Gue mau hadiah dari gue bisa lo kenang dalam waktu yang lama.”

Ketika Hilman merasa napas Malik begitu menggelitik telinga juga lehernya, Hilman ikut menoleh dan menyebabkan jarak wajah mereka semakin dekat. “Thank you.”

“Anything for you, a.”

Mata mereka berpandangan, jemari Malik mengerat memeluk tubuh Hilman, dan kemudian, Malik sampailan tujuan awal mengapa ia datang.

“Lo bilang waktu itu bakalan nerima gue ketika gue jadi maba, kan?”

Hilman mengangguk.

“Tanggal 23 nanti gue ospek, a.”

“Jadiannya berarti nanti pas tanggal 23 dong.” Canda Hilman dengan tawa kecilnya.

“Gue mau hadiah dari lo.”

Mata Hilman membola tidak terima. “Ih, tuhkan. Lo tuh gimana sih …” tubuhnya hendak menjauh, namun Malik tahan hingga kini punggungnya semakin rapat dengan dada yang lebih muda. “t..tadi katanya lagi enggak mau apa-apa? Sekarang kok minta?” Hilman berkata terbata akibat gugup yang tiba-tiba melanda.

“Relax …” ujar Malik sambil tertawa kecil, “gue enggak mau hadiah berupa barang.”

“Hng? Terus?”

“Gue mau jadian sekarang. Saat di ulang tahun gue. I'm 19, and I'm going to college.”

“Lik …”

“Please, be my boyfriend?”

Dan ketika rahangnya diraih oleh Malik hingga kepalanya semakin terputar, Hilman dengan mata sayunya hanya sanggup mengangguk mengiyakan. “Okay.”

“Can I kiss you now?”

“Hmm. Boleh.”

Hilman pejamkan mata saat wajah keduanya saling bertemu di pertengahan. Karena posisinya agak kurang nyaman, Hilman sandarkan kepalanya di pundak yang lebih muda. Menerima ciuman dari Malik dengan mata yang terpejam.

Malik menunduk, mencium balik Hilman dengan tempo lambat. Seolah ia ingin berlama-lama berciuman dengan yang lebih tua. Dan Malik, melakukannya dengan mata yang terbuka.

Malik dapat lihat dengan jelas bagaimana bulu mata milik Hilman sedikit bergetar dari jarak sedekat ini. Malik juga dapat lihat bagaimana bibir mereka berdua membuka dan menutup dengan seirama. Malik perhatikan rona merah di pipi Hilman yang begitu menggemaskan.

“Gue sayang sama lo, a.” Malik berucap saat bibir keduanya terputus. Menyisakan Hilman yang bersandar di dadanya dengan napas masih memburu. Malik kecup puncak kepala yang kini dapat ia sebut sebagai kekasih hatinya. “Gue sayang banget sama lo.”

Hilman mengangguk, tangannya ikut mengeratkan pelukan Malik yang belum terlepas. “Hm, aa juga sayang sama Malik. Selamat ulang tahun, Malik.”


Sehabis menyantap seafood, Hilman mengajak Malik menuju ruang belajar sekaligus ruang kerjanya di lantai dua. Malik peluk erat sepanjang jalan buku tebal berisi latihan dan materi UTBK itu bagai hidupnya ada di sana.

Hingga kini Malik belum berani tatap Hilman di kedua mata, bahkan ketika keduanya sudah duduk berhadapan dengan batas sebuah meja. Ia terlalu malu, ia malu karena sudah bicara bahwa dirinya menyerah.

“Malik,” Panggil Hilman pertama kali memecah hening di jam sembilan malam. Dengan sabar Hilman tunggu respon dari Malik yang kini terlihat sibuk membuka lembar demi lembar buku tebal yang sudah terdapat banyak coretan di sana.

“Lik …,” Hilman panggil kembali Malik ketika ia belum juga dapat jawaban. Tangan kanan Hilman dengan pelan menutup buku milik yang lebih muda. Karena percuma, buku itu hanya Malik pandang, bukan Malik kerjakan. “udah, belajarnya udah dulu.”

“Terus kenapa lo ngajak gue ke sini? Bukannya buat belajar ya? Gue juga ngajak ketemu lo kan biar lo ngebimbing gue.”

“Tapi yang mau gue bimbing kayaknya lagi capek. Yang mau gue bimbing keliatannya lebih butuh istirahat dibanding belajar.” Hilman jelaskan pelan. Takut dirinya menyinggung perasaan Malik.

Mendengar ucapan Hilman, Malik tertawa pahit. “Lo juga capek, a. Lo baru balik kerja dan nyanggupin buat nemenin gue. Buat bantuin gue.”

Hilman sandarkan tubuhnya di kursi putar, memperhatikan Malik yang sedang menatapnya penuh rasa bersalah. “Capeknya gue beda, Lik. Hari ini cuma badan gue yang capek karena abis kerja. Tapi lo capek badan juga pikiran.”

Malik tidak menjawab. Kepalanya menunduk kembali.

“Lo beneran mau nyerah?”

”...”

“Lo beneran mau berhenti, Lik?”

Bibir Malik sedikit bergetar mendengar pernyataan dari Hilman. Padahal yang Hilman ucapkan adalah pengakuannya sendiri. Tapi ketika orang lain yang mengungkapkan kenapa rasanya … lebih sakit?

“Gue takut.”

“Takut apa?”

“Gue takut gagal lagi.”

Hilman menyikap dua tangannya di dada, dalam diamnya begitu khusu mendengar pengakuan dari Malik.

“Gue udah yakin banget bisa tembus snmptn. Tapi lo liat kan, a. Merah, gue dapet merah.” Tangan Malik mengepal saat ia bercerita, menahan kecewa pada diri sendiri yang ia baru berani keluarkan. “Gue takut gagal lagi.”

Melihat tubuh Malik yang mulai bergetar, Hilman bangkit dari duduknya. Kemudian Hilman putari meja yang menghalangi mereka, hingga tubuhnya sampai di hadapan si anak SMA. Dalam hitungan detik, tubuh Malik sudah berada dalam pelukan Hilman, dan wajahnya yang basah karena tangis sudah ia sembunyikan di perut yang lebih tua.

Malik remat erat kaos milik Hilman ketika tangis semakin susah ia bendung. Kemudian ia merasakan jemari Hilman dengan begitu lembut usap rambut pensek miliknya.

“Kalau misal gagal, ya udah gagal. Inget kan kata gue? Sukses itu susah diraihnya, jalannya pait dan bikin sakit. Misal lo gagal, inget aja lo belom sampe tujuan. Gagal itu bagian dari perjalanan, Lik, bukan akhir yang akan lo dapet.” Hilman berujar perlahan hingga tiap katanya hanya Malik yang mampu dengar. Ia terus usap rambut Malik berharap beri ketenangan.

“Tapi kalau misal lo mau berhenti, juga enggak apa-apa. Lo bisa berhenti lewat jalan itu dan cari jalan lain. Kayak lo maunya ngambil swasta ketika lo takut gagal di utbk. Semua jalan hidup lo, lo yang nentuin, Malik. Karena lo sendiri yang jalanin dan lo yang paling tahu bates diri lo sampe mana.”

Malik mendongak, perkataan dari Hilman semuanya lebih bisa Malik terima. Matanya yang basah menangkap mata Hilman yang sedari tadi sudah menunduk menatapnya.

“Makasih, a.” Malik berbisik, “gue mau nyoba dulu sampe gue tau bates gue abis di mana.”

Hilman usap kedua pipi Malik sambil mengangguk mengiyakan, “anak pinter.”

Jika memang Malik sudah merasa jalan yang dilalui terlampau berat, ia tidak lagi takut untuk berhenti dan mulai cari jalan yang baru. Seperti kata Hilman, jalan hidupnya, dirinya sendiri yang berhak tentukan.

Cw // kissing


Mark masih berusaha keras untuk sampai di alam mimpi. Tubuhnya berguling, ke kanan, ke kiri, mencoba cari posisi agar tubuhnya terasa nyaman. Namun kembali, matanya terbuka lebar, otaknya tidak bisa ia kosongkan. Karena kini, pikirannya hanya bisa tertuju pada satu kejadian.

Kejadian yang waktu itu, adalah kejadian yang belum mampu Mark lupakan. Kejadian di mana setelah lima tahun berpisah, tubuh miliknya bersama tubuh milik Donghyuck kembali sedekat jari manis dan kelingking.

Semua berawal dari kepulangan dirinya di kota kecil yang sudah menjadi saksi hidup sejak ia lahir hingga usia 18. Kembalinya Mark tentu saja mendapat sambutan dari kawannya semasa SMA, yang mana; tentu saja ada Donghyuck di dalamnya.

Karena Donghyuck sudah jadi separuh hidup Mark ketika usia remaja. Donghyuck adalah mantan pacarnya semasa SMA.

Mereka berkumpul di salah satu tempat ngopi. Begitu basic, tapi tetap jadi tujuan karena memang usaha tempat minum kopi dengan bangunan yang terlihat baru 80% jadi sedang marak-maraknya. Jadi daripada susah, yasudah … mereka memilih berkumpul di mana saja yang gampang untuk didatangi. Karena bagi Jeno, Jaemin, juga Renjun, (Donghyuck tidak termasuk karena ia tidak terlalu peduli), yang terpenting adalah momen bersama Mark. Sahabat mereka yang sudah lama tidak tampak batang hidungnya.

Kelimanya menghabiskan lima jam penuh untuk mengobrol ditemani gelas kopi yang isinya tinggal setengah. Menceritakan kehidupan masing-masing dan pekerjaan yang mana begitu memuakkan. Kabar Mark diterima jadi PNS dan mengharuskannya pulang. Usaha kain yang Jaemin sedang rintis, kabar Jeno dan Renjun yang sudah siap menikah di tahun depan. Dan di sana, ada Donghyuck yang banyak diam tanpa berniat bercerita banyak.

Mark terus-terusan mencuri pandang pada Donghyuck yang terlihat tidak nyaman di kursi pojoknya. Mark rindu. Tidak bisa dipungkiri bahwa dirinya rindu. Putusnya dengan Donghyuck lima tahun lalu, tidak berarti bahwa ia sudah lupa.

Mark terus melihat, Mark terus memperhatikan, dari Donghyuck yang tangannya tidak bisa diam memainkan ujung sedotan, hingga saat Donghyuck terlihat terburu-buru membereskan barang bawaannya.

“Guys …” ucapan Donghyuck menyita perhatian ke empatnya yang masih asik berbicara, “kayaknya gue musti balik duluan.”

Jaemin yang dijadikan tebengan tentu saja dibuat heran, “lah, lo balik pake apa? Bareng aja lagi nanti sama gua.”

“Gampang. Di grab juga bisa. Masih belum kemaleman.” Donghyuck bangkit dari duduknya, mengacungkan jempol sebelum badannya berbalik untuk pulang, “duluan ya. Sorry enggak bisa lama. Tiba-tiba disuruh balik sama si mamah.”

“Aku anter.”

Suara yang begitu familiar membuat langkah Donghyuck terhenti. Badannya berbalik kaku, “hh..hah? Gausah Mark, aku bisa balik sendiri.”

“Jaaah awas clbk.”

Tidak menghiraukan penolakan Donghyuck juga ucapan menggoda dari yang lain, Mark hanya memberi senyum dan lekas menyampirkan tas miliknya.

“Yuk, aku anter pulang.” Ajak Mark saat langkahnya sudah sama dengan Donghyuck.

Tidak mungkin Donghyuck menolak ketika Mark menantinya dengan senyum penuh harap. Jadi yang Donghyuck lakukan adalah mengangguk, dan berjalan berdampingan sampai ke parkiran.

“Diem aja dari tadi.” Mark mulai pembicaraan saat mobil miliknya membelah jalan. Berharap suasana canggung di antara mereka lekas hilang.

Tertawa pelan, Donghyuck sandarkan kepala miliknya di sandaran kursi, menatap lurus pada kendaraan-kendaraan yang berada di depan mata dibanding pada sang lawan bicara. “Enggak ada yang mau diomongin.”

“Kamu apa kabar?”

Donghyuck mengedikkan bahu, “gini-gini aja, Mark.”

Mark menoleh sekilas, kemudian mengangguk perlahan.

“Selamat btw, udah diangkat jadi PNS.”

“Hm, makasih banyak.”

“Kenapa milih penempatan di sini?” Kenapa kamu harus balik lagi?

Mark lagi-lagi menoleh ke arah Donghyuck meskipun hanya sekilas, melihat sisi wajah milik Donghyuck karena si pemuda masih betah melihat ke arah depan. “Bunda udah sakit-sakitan. Aku mau sekalian ngurus dia, Hyuck. Ayah kan juga udah enggak ada. Kayaknya udah cukup aku ngejar pendidikan dan pengalaman kerja di kota.”

Ada jeda di sana. Mark pertimbangkan apakah sebaiknya kalimat yang sudah berada di ujung tenggorokan harus ia ucap atau lebih baik ia telan kembali. Tapi Mark pikir, berada di satu ruang yang sama dengan Donghyuck dan hanya berduaan merupakan kesempatan yang sedang Tuhan berikan kepadanya untuk perbaiki keadaan.

“Dan karena aku kangen kamu.”

Perkataan Mark barusan membuat perut Donghyuck terasa mulas. Kangen? Mark? Kangen pada dirinya? Tolong bilang bahwa ini sebatas ungkapan basa-basi saja.

“Mana ada kamu kangen aku?”

Karena selama lima tahun berpisah, Mark sama sekali tidak pernah coba hubungi Donghyuck. Bahkan nomor miliknya diganti, juga semua media sosial yang ia punya dinonaktifkan. Jadi sekali lagi, mana mungkin seorang Mark Lee kangen pada dirinya?

“I miss you.”

Donghyuck tidak lagi menjawab dan bicara hingga pagar besi putih milik rumahnya terkena sorot lampu mobil Mark. Membuka seatbelt miliknya, Donghyuck bersiap untuk keluar.

“Makasih udah nganterin.” Donghyuck ucapkan terimakasih, karena itu adalah hal terakhir yang bisa ia lakukan.

“Hyuck,” Mark tahan lengan Donghyuck yang hendak membuka handle pintu, membuat Donghyuck kini menghadap penuh pada dirinya. “I miss you.”

Jika saja Mark tahu bahwa dalam hati Donghyuck juga berteriak rindu. Tapi Donghyuck pilih diam, mulutnya sama sekali tidak ingin menyuarakan betapa besar rasa rindu miliknya yang sudah ada sejak pertama kali Mark pergi.

Mungkin karena rindu yang tidak dibicarakan menyebabkan suasana hati keduanya menjadi sedikit melankolis. Hingga tubuh mereka yang pilih bertindak, karena hal selanjutnya yang terjadi adalah wajah mereka kemudian saling mendekat.

Mark lihat mata sendu Donghyuck yang sedari dulu selalu terlihat indah itu perlahan menutup, bibirnya terbuka perlahan dengan hembusan napas hangat bisa Mark rasa di pipi miliknya.

“I really miss you, Hyuck.” Mark berbisik, tangannya kemudian memaku rahang Donghyuck, memastikan bahwa wajah miliknya tidak akan menjauh. “And I wanna kiss you so bad …” bisiknya dengan bibir menempel di telinga yang lebih muda, “can I kiss you?”

Donghyuck lingkarkan dua tangannya di leher milik Mark, kepalanya kemudian mengangguk cepat.

Dan datangnya izin dari Donghyuck buat Mark pagut bibir bawah si pemuda dengan gerak perlahan. Menyesapnya dengan lembut takut-takut Donghyuck merasakan sakit. Mark terus ciumi mulut Donghyuck, membuka dan menutup seirama dengan bibir tebal milik yang lebih muda.

Namun saat pikiran Donghyuck baru saja akan melayang karena kenikmatan yang Mark berikan, tiba-tiba begitu saja kenyataan menghantam dirinya bagai kilat yang menyambar. Kenyataan bahwa; mereka tidak lagi bersama dan keduanya bukanlah apa-apa.

Donghyuck langsung beri jarak, ujung lengan kemejanya ia gunakan untuk menghapus liur Mark yang tersisa di ujung bibir. Kemudian handle pintu ia buka cepat.

“Good night, Mark.” Dan Donghyuck ucapkan selamat malam, tanpa menoleh ke belakang.

Mark pikir Donghyuck ingin lekas pergi karena yang lebih muda masih memendam membenci, hingga ciuman pun tidak bisa menahannya. Yang sebenarnya terjadi adalah, Donghyuck memilih pergi sebelum harapan kembali bersama Mark semakin membesar. Karena ia terlalu takut, semakin besar harapan yang dipunya, semakin besar juga kecewa yang dipupuk.

Donghyuck langsung berlari ke kamar mandi, berdiri di depan wastafel dengan air keran yang segera ia nyalakan. Donghyuck bilas bibir miliknya, sekali, dua kali, tiga kali hingga Donghyuck gosok bibirnya begitu kuat hanya agar ia tidak lagi merasakan halus dari bibir Mark ada di sana. Donghyuck menangis dengan dua jemari tidak henti menggosok-gosok bibir miliknya.

Donghyuck terus menangis, mengis dan menangis sampai dering telpon berhenti dan terganti oleh suara milik Renjun.

“Halo?”

“Jun …” suaranya bergetar. Ia tidak bisa menahan sendirian.

“Lah lo kenapa nangis?”

Donghyuck perlukan beberapa saat untuk persiapkan diri, takut-takut pengakuannya ini akan Renjun hakimi, meski Doyoung tshu betul bahwa Renjun bukanlah seorang teman yang sepeti itu. “Gue ciuman … sama Mark.” Donghyuck mengaku pada akhirnya.

Ada hening di sana ketika Renjun mencerna perkataan Donghyuck. “Beneran cinta lama belum kelar?” Renjun berusaha cairkan suasana, namun sepertinya langkah yang diambil tidak tepat karena yang Renjun dapat adalah tangis Donghyuck yang makin terdengar pilu.

“Dia maksa lo?” Renjun bertanya ketika Donghyuck belum ucap lagi kata.

“Enggak.”

“Terus kenapa?”

“Gatau, Jun. Gue takut. Gue takut gue balik ngarep, taunya tadi Mark cuma kebawa perasaan. Lo tau seberapa susah gue lupain dia, Jun. Terus tiba-tiba dia muncul lagi, mau nganter gue balik, dan ngajak gue ciuman. Jun … jujur gue bingung banget.”

“Hyuck, tenang ya? Udah, udah, lo jangan nangis. Mungkin Kak Mark minta ciuman ya karena dia juga masih suka sama lo?”

Mendengar dugaan Renjun, tawa pahit Donghyuck keluarkan, “Setelah lima tahun ngilang? Setelah gitu aja mutusin gue? Apa iya dia masih suka sama gue kalau semua akses buat ngehubungin dia aja dia putus, Jun? Apa iya gue tanya?”

Tidak ada jawaban, tapi Donghyuck dapat dengar Renjun hela napas panjang.

“Gue benci sama diri gue yang nge-iyain gitu aja ciuman tadi.”

“Jangan nyalahin diri lo sendiri gitu ah.” Renjun menyergah cepat, ia tahu jelas Donghyuck dan kebiasaannya menyalahkan diri.

“Gue enggak mau ketemu Kak Mark lagi.”

“Then don’t. Lupain kejadian tadi, oke? Jangan lo pikirin terus. Problabilitas lo ketemu Kak Mark kecil kok, karena lo berdua bakalan sibuk kerja.”

“Oke, Jun. Makasih banyak udah dengerin gue. Dan jangan bilang ke Jeno.”

Dapat Donghyuck dengar Renjun tertawa pelan, “iyaaa. Sekarang lo merem, tidur. Lupain kejadian tadi.”

Donghyuck mengangguk, meski ia tahu Renjun tidak akan melihat dirinya sedang mengangguk. Dan telpon ia putus.

Seperti kata Renjun, yang perlu Donghyuck lakukan sekarang adalah pejamkan mata, berusaha untuk tertidur, lalu lupakan kejadian tadi.

[]

Tapi bagaimana Donghyuck akan lupa jika kini setiap hari dirinya bisa melihat wajah Mark?

Dari semua kemungkinan yang terjadi dalam hidup Donghyuck, mengapa satu tempat kerja dengan mantan kekasih adalah hal yang harus menjadi bagian dari takdirnya? Donghyuck tidak mengira, bahwa Mark berhasil mengisi formasi di sekolah yang sudah menjadi tempat Donghyuck bekerja selama satu tahun. Tidak ada kecurigaan berarti, hanya desas-desus selama dua bulan ke belakang bahwa SMA 78 akan kedatangan tenaga pengajar baru. Donghyuck yang begitu jarang memasuki kantor dan lebih sering menghabiskan waktu di antara buku-buku tentu tidak tahu menahu akan siapa tenaga pengajar baru yang Pak Doyoung maksud tiap beliau mampir ke perpustakaan.

Selama tiga hari pertama saat Mark resmi menjadi guru di SMA 78, selama itu pula Donghyuck berusaha menghindar agar tidak terjadi kontak berarti di antara mereka.

Sampai akhirnya, Mark mendatangi Donghyuck ketika jam pelajaran berlangsung. Berkata bahwa dirinya memerlukan buku kimia untuk bahan ajar dan mengharuskan Donghyuck membantu Mark yang belum hapal rak mana yang musti ia tuju.

“Ini Pak, bukunya.”

Sebuah buku dengan gambar tabel periodik sebagai sampul Donghyuck ulurkan pada seseorang yang masih begitu betah berdiri mematung di hadapannya.

Melihat bahwa lawan bicaranya masih saja bergeming, Donghyuck goyang-goyangkan buku yang ia pegang tepat di depan mata orang tersebut. “Pak, ini bukunya.” Donghyuck kembali berujar.

Lawan bicaranya sedikit tergagap sebab kesadarannya baru saja kembali. Karena hanya dengan melihat Donghyuck, begitu banyak yang dirinya pikirkan hingga kenyataan kini sedikit bias.

“Eh … iya. Makasih banyak, Hyuck. Apa enggak bisa kamu panggil nama aja?” Diterimanya buku yang sedari tadi Donghyuck berusaha berikan.

Donghyuck menggeleng, “enggak bisa. Bapak guru di sini. Kita rekan kerja.” Donghyuck lihat lagi buku kimia yang kini sudah berada di tangan Mark, lalu bergumam, “padahal bisa nyuruh siswa. Ngapain repot-repot ke perpustakaan?”

Mark tertawa pelan, suasana perpustakaan yang sepi karena sedang jam pelajaran membuat keadaan mereka berdua menjadi bertambah canggung. Mark usap tengkuknya yang ia rasa mulai keluarkan keringat. “Karena aku mau ngomong sesuatu?” Ucapnya tidak yakin, “kenapa kamu ngehindar?”

Ah … Donghyuck paham betul arah pembicaraan ini akan dibawa kemana.

“Siapa yang ngehindar?”

“Kamu, Donghyuck. Kenapa ngehindar dari aku? Apa gara-gara kejadian waktu itu?” Mark remat ujung buku yang sudah ia pegang, meredakan gugup yang tiba-tiba menyerang. Ia kembali mengusap tengkuknya, mengelap keringat yang berada di sana.

Donghyuck pilih tidak menjawab. Ia hanya mampu menunduk. Segala alasan yang akan terlontar tidak bisa Donghyuck ungkap.

“Kejadian yang waktu itu, …” Mark memulai perlahan. Sial. Padahal tiga hari dirinya sudah coba merangkai kata untuk ia sampaikan di hari ini. Tapi kembali, saat melihat Donghyuck, otaknya begitu saja susah berfungsi. “Hyuck, soal yang waktu itu aku minta maaf, tapi aku enggak …”

Donghyuck tatap Mark yang masih berusaha melanjutkan kalimatnya. Ia paling tidak suka berada pada situasi menunggu dengan jantung miliknya yang terasa akan meledak. Untuk apa permintaan maaf Mark ucap? Apa ia menyesal? Apa Mark waktu itu hanya terbawa suasana seperti yang ia duga? Apa Mark sama sekali tidak berharap kembali?

Jadi Donghyuck dengan cepat dahului apa yang mungkin akan Mark bicarakan. Sebelum hatinya patah dua kali, sebelum harapannya tinggi kembali.

“Aku enggak …”

“Kita bisa lupain itu.” Donghyuck berucap dengan mata memejam rapat.

Dan ekspresi Mark yang seketika meredup tidak sempat Donghyuck lihat karena dengan cepat Mark ubah raut wajah miliknya.

“Oh, okay.”

Donghyuck tarik napas panjang sebelum ia membuka matanya kembali. Menatap Mark dan menganggukan kepalanya cepat.

“Iya, okay. Udah?”

“Udah.” Mark bergerak gelisah, tidak tahu harus bertindak bagaimana setelah mendengar ucapan Donghyuck. “Kalau gitu, aku … aku ke kelas dulu.”

“Silahkan.”

Aku gak bisa lupain ciuman kita.

Padahal hanya 6 kata, Mark. Tapi kenapa sulit sekali untuk kamu ucap?


To be continued ...

Pulang


Dengan laju mobil Hilman yang mulai memelan, jadi tanda kalau perjalanan hari ini sudah usai. Malik di bangku kemudia melihat Hilman yang sudah terlelap tidur di jalan pulang. Hari ini senyum Malik tidak henti luntur, yang paling membuat Malik bahagia, senyumnya ada balik yang menyapa. Senyum indah milik Hilman sambut senyum miliknya.

Malik harap dirinya tidak salah membaca situasi. Jadi lebih baik ia pastikan langsung agar ia tidak salah ambil langkah.

“A, bangun. Udah nyampe.” Malik usap pelan bahu Hilman, usaha membangunkan yang lebih tua.

Dan usaha Malik berhasil, mata Hilman mengerjap pelan.

“Maaf malah gue tinggal tidur.”

“Santai, a.”

“Makasih ya, Lik.” Hilman berucap sembari membuka seatbelt miliknya.

Malik lakukan hal yang sama, “gue juga makasih banget, a.”

Hilman tertawa pelan. “Iya, sama-sama.”

“A.” Malik kembali memulai sebelum dirinya pamit pulang.

“Ya?”

“Gue enggak salah baca situasi kan?”

Alis hilman naik sebelah, “maksudnya?”

“Kalau lo udah buka hati buat gue.”

Hilman pandang Malik dengan senyum kecil, kemudian menggeleng sebagai jawaban.

“Gelengan lo nih buat ngejawab pertanyaan gue yang mana, a?”

“Kalau lo salah baca situasi.”

Jantung Malik berpacu cepat. Serius enggak sih ini a Hilman?

“Serius?”

“Iya, Malik.”

Giliran Malik yang tidak bisa sembunyikan senyum lebarnya. “Yaudah, lo mau pacaran sama gue?”

Hilman terlihat berpikir sebentar sebelum menjawab, “nunggu lo jadi maba dulu.”

Yang lebih muda menampilkan ekspresi tidak percaya, “kelamaan dong, a.”

“Nunggu lo maba atau enggak sama sekali, Lik.”

“Yaudah, oke.”

Jawaban pasrah malik membuat Hilman tertawa puas. Ya Tuhan, ini bocah gemes amat. Ia berucap dalam hati.

“Pulang gih. Betah amat di mobil aa.”

“Nanti dulu. Masih kangen.”

“Lo seharian sama gue, gimana kangennya sih?”

“Ya itu namanya orang jatuh cinta, a.”

Hilman rotasikan kedua matanya.

“Berarti gue belum bisa minta cium, ya?”

Mendengar pertanyaan Malik, Hilman pukul pelan bahu yang lebih muda. “Ciam cium ciam cium. Cium nih sepatu aa.”

“Hahaha becanda, a.”

Tapi ya kalau dikasih beneran, Malik sangat bersedia.


Jika ada perasaan Malik yang lebih besar dibanding cintanya untuk Hilman, itu adalah rasa takut. Malik takut ada hal buruk yang terjadi pada Hilman hingga yang lebih tua mengirim pesan hanya berupa lokasi dan permintaan tolong untuk dijemput, tanpa ada penjelasan berlanjut darinya.

Malik kendarai motor miliknya dengan kecepatan tinggi. Ia tahu ini bahaya, tapi dirinya tidak sanggup membayangkan bahwa Hilman juga sedang dalam keadaan bahaya.

Tidak sampai lima belas menit, dirinya sampai di stasiun. Malik langsung coba hubungi Hilman, menanyakan keberadaan yang lebih tua ada di mana. Saat Hilman membalas bahwa dia ada di mini market depan, Malik langsung berlari ke sana.

Malik melihat Hilman yang duduk di kursi dalam dengan sebotol teh tarik yang Malik tahu sangat Hilman suka. Ia dekati pria yang lebih tua, sambil matanya menelusuri tubuh milik Hilman takut-takut ada luka di sana.

“A Hilman.” Malik memanggil Hilman yang sedari tadi terus menundukkan kepalanya.

Hilman menengadah, kelegaan langsung membanjiri diri ketika dilihatnya Malik berdiri di hadapannya. “Malik…” ucap Hilman lirih.

“Lo enggak apa-apa?”

Hilman hanya sanggup menggeleng sebagai jawaban.

Tapi dari sorot matanya, Malik tahu jelas bahwa Hilman sedang ketakutan.

“Gue mau pulang…”

Malik mengangguk cepat, “iya, iya. Kita pulang.”

Malik ulurkan tangan miliknya yang dingin karena terkena angin malam. Dan Hilman raih tangan itu dan merubahnya menjadi hangat.

Sebelum menaiki motor, Malik buka jaket miliknya, ia berikan jaket itu pada Hilman. “Dipake, dingin.”

“Gue gapapa.”

“A, pake.”

Pada akhirnya jaket milik Malik membalut tubuh gemetar Hilman.

Dan di atas motor yang lebih muda, di antara kendaraan lain yang mengiringi, Hilman berpikir mana mungkin karma miliknya berwujud seperti ini.

Berwujud pada remaja 18 dengan hati yang begitu tulus. Berwujud pada remaja 18 yang melakukan apapun untuk dirinya. Berwujud pada remaja 18 yang bisa memberikan nyaman dan tidak memaksanya untuk bercerita.

Hilman pikir, mana mungkin karmanya berada pada Malik.

Karena memang, Hilman. Karma milikmu bisa saja berwujud lain selain kehilangan. Bisa jadi rasa takut, atau apapun yang membuat kamu kalut.

Maka Hilman peluk erat tubuh Malik yang masih memakai seragam putih abu. Hilman lingkarkan kedua tangannya pada tubuh tegap remaja yang rela menghadapi dingin untuk dirinya.

Hilman sandarkan kepala miliknya di punggung lebar Malik.

“Makasih, Lik.” Hilman berkata pelan. Tapi cukup untuk Malik dengar.

Malik lepas satu tangannya dari stang motor, ia remat kedua tangan Hilman yang melingakar di perut miliknya. Berujar tanpa kata bahwa apapun, apapun akan ia lakukan untuk Hilman.


Kalian inget nggak sama kejadian Batu Petir Ponari? Orang-orang percaya kalau batu yang dipegang sama anak usia 10 tahun itu bisa nyembuhin berbagai penyakit cuma dengan cara dicelup ke dalam air dan air itu kita minum. Secara logika, ya mana mungkin? Tapi nyatanya pasien bocah itu dulu bisa sampe ratusan. Banyak faktor yang bikin banyak orang lebih memilih percaya batu dibanding pengobatan dokter, beberapa di antaranya; sugesti dan keputus asaan.

Dulu Hilman sempet ngetawain, akan kepercayaan orang yang dia pikir cukup nyeleneh. Percaya batu bisa nyembuhin, percaya zodiak, percaya kalau batu kristal bisa membawa aura positif dan sugesti-sugesti lainnya yang kurang masuk di akal.

Tapi sekarang dia juga percaya dan tersugesti akan sesuatu, dia percaya karma. Hilman enggak bisa lagi dengan seenaknya ngetawain kepercayaan orang, karena kini juga dirinya mulai tersugesti.

Hilman nunggu dengan tenang di dalam mobil, di depan sebuah rumah asing yang kata Malik adalah rumah temennya. Lima menit kemudian Malik terlihat, masih dengan seragam pramuka yang udah acak-acakan juga tas ransel yang dia sampirkan di satu bahu. Dan betul kata Aji, Hilman bisa lihat dengan jelas buku-buku jari punya Malik yang luka ketika yang lebih muda masuk ke dalam mobilnya.

“Pasang seat belt.” Hilman ngomong dengan pandangan yang masih belum beranjak dari dua tangan Malik.

Malik ngelakuin apa yang diperintah Hilman tanpa banyak kata. Wajahnya langsung natap ke luar jendela, sama sekali enggak mau lihat mukanya Hilman.

Tujuan Hilman kali ini bukan langsung pulang ke rumah, tapi dia bawa mobilnya ke arah sebuah bengkel lumayan besar yang udah lama enggak kepake. Hilman parkir mobilnya di sana.

Keresek warna putih Hilman ambil dari jok belakang, yang isinya tentu saja kapas sama obat merah buat ngobatin luka Malik. Cuma buat penanganan pertama, karena dia belum tahu tadi kondisinya kayak gimana. Kalau misal parah betul, Hilman lebih milih buat bawa Malik ke rumah sakit.

“Diapain ini tangannya?” Tanya Hilman sembari mulai meraih jari jemari Malik, melihat dengan seksama luka di buku jarinya kayak gimana.

“Mukul tembok belakang lab ips.” Jawab Malik jujur. Karena ia bisa apa selain ngomong jujur pas tangannya dipegang lembut kayak gini sama Hilman. Jawabannya, Malik enggak bisa apa-apa selain nurut.

Hilman tetesin obat merah di atas kapas, terus dia usapin pelan di buku jari punya Malik yang luka. “Salah apa emang temboknya sampe lo pukulin?”

Malik cuma bisa menggeleng. Dia liatin wajah Hilman yang lagi fokus ngobatin lukanya.

Malik mau selamanya bisa lihat wajah Hilman sedeket ini.

“Lo kenapa, Lik?” Hilman kembali bertanya. Lukanya sudah diobati, kini Hilman tiup-tiup pelan kedua tangan Malik.

“Gue gapapa, a.”

“Enggak tidur berapa hari? Udah berapa bungkus rokok yang lo abisin?”

Malik cuma bisa diam. Dan Hilman ngehela napas panjang.

“Lo marah sama gue?”

“Iya,” kini Malik jawab cepat.

“Kalau lo marah sama gue, kenapa malah nyakitin diri sendiri?”

Hilman baru sadar, usia Malik baru 18 jalan ke 19, dan Malik yang usianya masih belia ini belum paham gimana cara nyalurin amarah yang dia punya dengan benar.

Malik diam beberapa saat, kemudian menjawab lirih, “Gue enggak mau marahin lo, a.”

Hati mana yang tidak remuk mendengar ucapan tulus dari remaja ini. Hilman remuk dan Hilman takut.

“Lik, marah aja sama aa gapapa.”

“Gue gak mau.”

“Setelah gue sering nolak lo? Bahkan setelah gue jalan sama yang lain?”

“Gue percaya lo bisa buka hati buat gue.”

Hilman simpen tangan Malik yang sedari tadi enggak sadar terus dia pegang.

“Gue terlalu takut, Malik. Gue takut lo adalah bentuk karma yang akan dateng ke gue.”

Hilman percaya karma. Setelah ia diceritakan Mamah bahwa Bapak adalah seorang perundung semasa sekolah, karma Bapak datang dalam bentuk Aji yang dari SD selalu dibully.

“Gue percaya sama karma. Karena lo juga pasti tau kata pepatah, apa yang kita tanam ya itu apa yang kita tuai. Iyakan? What comes around goes around, Lik.”

“Dulu gue pacaran sama orang yang lebih tua. Beda umur gue sama dia 10 tahun. Sama kayak lo, gue dulu juga masih SMA.” Hilman sempat tertawa, tertawa ngetawain dirinya sendiri kalau tiap nginget masa lalu. “But guess what… gue putusin dia, karena kita LDR. Gue nemu berbagai macam orang di kampus, gue ikut organisasi kampus, dan lo tau? Salah satunya bisa bikin gue nyaman dan mutusin pacar gue yang udah 3 tahun bareng sama gue.”

Malik cuma bisa diem dengerin Hilman. Meskipun matanya udah mulai memanas karena rasanya dia mau nangis.

“Malik, I've been there.” Hilman ngomong sambil ketawa kecil, “gue pernah jadi remaja 18 yang enggak tahu kalau masa depannya masih panjang. Mungkin lo sekarang bisa ngomong suka sama gue, tapi gue ingetin, ini cuma cinta monyet yang pasti bakalan ilang.”

Tapi apa dua tahun menyukai Hilman bisa dibilang cinta monyet?

“Lo ngerti kan kenapa kita enggak bisa jadi? Gue terlalu takut, Lik. Gue takut lo ngelakuin hal yang sama kayak gue dulu. Dan gue udah ditahap capek ngerasa ditinggal.”

“Gue mau pulang.” Hanya itu yang Malik ucapkan, tidak ada sepatah katapun ia membahas curahan hati dari Hilman.

“Oke. Kita balik.”

Tapi sesaat sebelum Malik buka pintu mobil, sesaat sebelum dia masuk ke rumah, Malik tatap Hilman dalam.

“Kayaknya lo lupa akan satu hal.”

“Apa?”

“Kalau gue bukan lo. Jadi stop berasumsi kalau gue sama kayak lo, a. Gue Malik dan bukan Hilman 7 tahun yang lalu.”

Kini giliran Hilman yang enggak bisa berkata-kata.


Jadi orang baik kedengerannya super keren. Bisa bikin lo punya banyak relasi, bikin hidup lo lebih mudah, bikin lo disayang sama banyak orang. Gue mau jadi orang baik. Gue selalu mau dibilang jadi orang baik selain oleh kedua orang tua gue. Gue butuh validasi, dan validasi itu nyatanya cuma ingin gue denger dari satu orang.

Mark. Kak Mark. Kak Mark Lee.

Cuma dari dia.

Cuma dari mulut dia.

Dan gue bisa dapet validasi itu. Di satu sore pas ujan lebat ditambah petir yang lagi mau pamer sama kilatnya.

Kak Mark dateng ke rumah, dalam keadaan yang paling gue benci. Tatapan matanya kosong, seluruh badannya basah. Hujan jelas jadi penyebab tubuhnya menggigil, tapi gue lebih jelas tahu yang bikin badannya gemeter parah adalah bukan karena hujan.

“Nih, minum kopi susunya. Mumpung masih anget.”

Kak Mark dan ketidaksukaannya pada teh membuat gue muter otak harus ngasih apa biar bikin dia anget. Pilihannya jatuh sama handuk kering dan baju ganti, juga segelas kopi susu favorit dia. Gue mau kasih pelukan, tapi jelas itu enggak bisa.

“Makasih, Hyuck.” Gue liat Kak Mark nyeruput kopinya dengan enggan.

“Kenapa sih sampe ujan-ujanan gini?”

“Putus sama Kak Jo.”

“I always told you that he's a bad person.”

Mark senyum, jenis senyum kecut karena gue paham dalam hati pasti dia mengiyakan perkataan gue.

“Bener. Jahat banget. Gue abis putus sama orang jahat, Hyuck.

“Yaudah, syukur deh lo putus. Abisin tuh kopi. Lo udah makan?”

Kak Mark gelengin kepalanya.

“Mami lagi di toko. Belom bikin makan siang. Gue masakin indomie, mau?”

“Boleh.”

Maka tanpa kata gue beranjak dari duduk. Berharap dengan semangkuk indomie ditambah telur juga cabe rawit bisa bikin hati Kak Mark membaik.

“Hyuck.”

“Hm?”

“Makasih udah jadi orang baik.”

Gue orang baik. Tapi kenapa malah Bang Jo yang dapet kepercayaan buat lo kasih cinta?

“Buset, kemana-mana berdua mulu gue perhatiin. Udah jadian ya?”

Pertanyaan penuh selidik dari Renjun dapetin reaksi berbeda dari gue dan Kak Mark.

“Apaan? Hahaha.” Kak Mark cuma ketawa aja sambil ngetikin tugas di laptopnya.

Sedangkan gue, nanggepin pertanyaan dari Renjun dengan jadi susah tidur. Gue mikir semaleman, akan gimana jadinya kalau gue sama Kak Mark beneran pacaran.

Tapi bukannya emang dari dulu begitu? Gue yang selalu berandai-andai dan Kak Mark yang cuma bisa ketawa abai. Karena gue enggak sepenting itu buat lo, ya?


“Dealova mulu lo puter. Ganti kek anjing.”

Sorry, Jun. Gue enggak mau.


Katanya, orang kalau lagi mabok omongannya suka dateng dari hati paling dalam.

Gue setengah percaya, setengahnya lagi memohon agar kepercayaan itu bohong adanya.

Soalnya sekarang gue lagi dengerin ocehan Kak Mark yang lagi teler. Cuma karena dia abis nenggak dua gelas sambuca.

“Hyuck … lo udah tahu … kalau gue sayang banget sama pacar gue yang sekarang? Hehehehe.”

Udah. Gue udah tahu karena lo bilang hal ini lebih dari empat kali dalam rentan waktu sepuluh menit.

“Iya, Kak.”

“Gue sayang banget sama Jaemin. Baik … dia baik banget ke gue sampe gue baik juga, dia pokoknya baik lo paham kan baik yang indah dan baik.”

Makin ngaco, bahkan pola kalimatnya udah enggak beraturan. Tapi yang jelas tujuan kalimatnya sama, nyampein kalau pacarnya yang baru itu baik banget sama dia.

“Iya, Kak. Gue turut seneng.”

Gue turut seneng lo menemukan orang baik lainnya. Bahkan dia bisa ya sampe ngisi hati lo.

Thanks hehehe. Happy birthday ya Hyuck sekali lagi.”

Di hari ulang tahun gue, apa boleh gue minta satu hal sama Tuhan meskipun gue udah jarang banget berdo'a? Gue cuma mau minta contekan, sedikit aja. Selain jadi baik, hal apa lagi yang harus gue punya biar bisa bikin Kak Mark jatuh cinta?


Lima tahun Tuhan enggak ngasih jawaban apa-apa sama gue. Sampai kemudian jawabannya dateng, saat gue menghadiri hari pernikahan Kak Mark dan Jaemin.

Enggak ada. Jawabannya enggak ada. Enggak ada hal khusus yang harus gue punya untuk ngebuat Kak Mark jatuh cinta. Karena cintanya memang buat orang lain.

FIN