Cw // kissing
Mark masih berusaha keras untuk sampai di alam mimpi. Tubuhnya berguling, ke kanan, ke kiri, mencoba cari posisi agar tubuhnya terasa nyaman. Namun kembali, matanya terbuka lebar, otaknya tidak bisa ia kosongkan. Karena kini, pikirannya hanya bisa tertuju pada satu kejadian.
Kejadian yang waktu itu, adalah kejadian yang belum mampu Mark lupakan. Kejadian di mana setelah lima tahun berpisah, tubuh miliknya bersama tubuh milik Donghyuck kembali sedekat jari manis dan kelingking.
Semua berawal dari kepulangan dirinya di kota kecil yang sudah menjadi saksi hidup sejak ia lahir hingga usia 18. Kembalinya Mark tentu saja mendapat sambutan dari kawannya semasa SMA, yang mana; tentu saja ada Donghyuck di dalamnya.
Karena Donghyuck sudah jadi separuh hidup Mark ketika usia remaja. Donghyuck adalah mantan pacarnya semasa SMA.
Mereka berkumpul di salah satu tempat ngopi. Begitu basic, tapi tetap jadi tujuan karena memang usaha tempat minum kopi dengan bangunan yang terlihat baru 80% jadi sedang marak-maraknya. Jadi daripada susah, yasudah … mereka memilih berkumpul di mana saja yang gampang untuk didatangi. Karena bagi Jeno, Jaemin, juga Renjun, (Donghyuck tidak termasuk karena ia tidak terlalu peduli), yang terpenting adalah momen bersama Mark. Sahabat mereka yang sudah lama tidak tampak batang hidungnya.
Kelimanya menghabiskan lima jam penuh untuk mengobrol ditemani gelas kopi yang isinya tinggal setengah. Menceritakan kehidupan masing-masing dan pekerjaan yang mana begitu memuakkan. Kabar Mark diterima jadi PNS dan mengharuskannya pulang. Usaha kain yang Jaemin sedang rintis, kabar Jeno dan Renjun yang sudah siap menikah di tahun depan. Dan di sana, ada Donghyuck yang banyak diam tanpa berniat bercerita banyak.
Mark terus-terusan mencuri pandang pada Donghyuck yang terlihat tidak nyaman di kursi pojoknya. Mark rindu. Tidak bisa dipungkiri bahwa dirinya rindu. Putusnya dengan Donghyuck lima tahun lalu, tidak berarti bahwa ia sudah lupa.
Mark terus melihat, Mark terus memperhatikan, dari Donghyuck yang tangannya tidak bisa diam memainkan ujung sedotan, hingga saat Donghyuck terlihat terburu-buru membereskan barang bawaannya.
“Guys …” ucapan Donghyuck menyita perhatian ke empatnya yang masih asik berbicara, “kayaknya gue musti balik duluan.”
Jaemin yang dijadikan tebengan tentu saja dibuat heran, “lah, lo balik pake apa? Bareng aja lagi nanti sama gua.”
“Gampang. Di grab juga bisa. Masih belum kemaleman.” Donghyuck bangkit dari duduknya, mengacungkan jempol sebelum badannya berbalik untuk pulang, “duluan ya. Sorry enggak bisa lama. Tiba-tiba disuruh balik sama si mamah.”
“Aku anter.”
Suara yang begitu familiar membuat langkah Donghyuck terhenti. Badannya berbalik kaku, “hh..hah? Gausah Mark, aku bisa balik sendiri.”
“Jaaah awas clbk.”
Tidak menghiraukan penolakan Donghyuck juga ucapan menggoda dari yang lain, Mark hanya memberi senyum dan lekas menyampirkan tas miliknya.
“Yuk, aku anter pulang.” Ajak Mark saat langkahnya sudah sama dengan Donghyuck.
Tidak mungkin Donghyuck menolak ketika Mark menantinya dengan senyum penuh harap. Jadi yang Donghyuck lakukan adalah mengangguk, dan berjalan berdampingan sampai ke parkiran.
“Diem aja dari tadi.” Mark mulai pembicaraan saat mobil miliknya membelah jalan. Berharap suasana canggung di antara mereka lekas hilang.
Tertawa pelan, Donghyuck sandarkan kepala miliknya di sandaran kursi, menatap lurus pada kendaraan-kendaraan yang berada di depan mata dibanding pada sang lawan bicara. “Enggak ada yang mau diomongin.”
“Kamu apa kabar?”
Donghyuck mengedikkan bahu, “gini-gini aja, Mark.”
Mark menoleh sekilas, kemudian mengangguk perlahan.
“Selamat btw, udah diangkat jadi PNS.”
“Hm, makasih banyak.”
“Kenapa milih penempatan di sini?” Kenapa kamu harus balik lagi?
Mark lagi-lagi menoleh ke arah Donghyuck meskipun hanya sekilas, melihat sisi wajah milik Donghyuck karena si pemuda masih betah melihat ke arah depan. “Bunda udah sakit-sakitan. Aku mau sekalian ngurus dia, Hyuck. Ayah kan juga udah enggak ada. Kayaknya udah cukup aku ngejar pendidikan dan pengalaman kerja di kota.”
Ada jeda di sana. Mark pertimbangkan apakah sebaiknya kalimat yang sudah berada di ujung tenggorokan harus ia ucap atau lebih baik ia telan kembali. Tapi Mark pikir, berada di satu ruang yang sama dengan Donghyuck dan hanya berduaan merupakan kesempatan yang sedang Tuhan berikan kepadanya untuk perbaiki keadaan.
“Dan karena aku kangen kamu.”
Perkataan Mark barusan membuat perut Donghyuck terasa mulas. Kangen? Mark? Kangen pada dirinya? Tolong bilang bahwa ini sebatas ungkapan basa-basi saja.
“Mana ada kamu kangen aku?”
Karena selama lima tahun berpisah, Mark sama sekali tidak pernah coba hubungi Donghyuck. Bahkan nomor miliknya diganti, juga semua media sosial yang ia punya dinonaktifkan. Jadi sekali lagi, mana mungkin seorang Mark Lee kangen pada dirinya?
“I miss you.”
Donghyuck tidak lagi menjawab dan bicara hingga pagar besi putih milik rumahnya terkena sorot lampu mobil Mark. Membuka seatbelt miliknya, Donghyuck bersiap untuk keluar.
“Makasih udah nganterin.” Donghyuck ucapkan terimakasih, karena itu adalah hal terakhir yang bisa ia lakukan.
“Hyuck,” Mark tahan lengan Donghyuck yang hendak membuka handle pintu, membuat Donghyuck kini menghadap penuh pada dirinya. “I miss you.”
Jika saja Mark tahu bahwa dalam hati Donghyuck juga berteriak rindu. Tapi Donghyuck pilih diam, mulutnya sama sekali tidak ingin menyuarakan betapa besar rasa rindu miliknya yang sudah ada sejak pertama kali Mark pergi.
Mungkin karena rindu yang tidak dibicarakan menyebabkan suasana hati keduanya menjadi sedikit melankolis. Hingga tubuh mereka yang pilih bertindak, karena hal selanjutnya yang terjadi adalah wajah mereka kemudian saling mendekat.
Mark lihat mata sendu Donghyuck yang sedari dulu selalu terlihat indah itu perlahan menutup, bibirnya terbuka perlahan dengan hembusan napas hangat bisa Mark rasa di pipi miliknya.
“I really miss you, Hyuck.” Mark berbisik, tangannya kemudian memaku rahang Donghyuck, memastikan bahwa wajah miliknya tidak akan menjauh. “And I wanna kiss you so bad …” bisiknya dengan bibir menempel di telinga yang lebih muda, “can I kiss you?”
Donghyuck lingkarkan dua tangannya di leher milik Mark, kepalanya kemudian mengangguk cepat.
Dan datangnya izin dari Donghyuck buat Mark pagut bibir bawah si pemuda dengan gerak perlahan. Menyesapnya dengan lembut takut-takut Donghyuck merasakan sakit. Mark terus ciumi mulut Donghyuck, membuka dan menutup seirama dengan bibir tebal milik yang lebih muda.
Namun saat pikiran Donghyuck baru saja akan melayang karena kenikmatan yang Mark berikan, tiba-tiba begitu saja kenyataan menghantam dirinya bagai kilat yang menyambar. Kenyataan bahwa; mereka tidak lagi bersama dan keduanya bukanlah apa-apa.
Donghyuck langsung beri jarak, ujung lengan kemejanya ia gunakan untuk menghapus liur Mark yang tersisa di ujung bibir. Kemudian handle pintu ia buka cepat.
“Good night, Mark.” Dan Donghyuck ucapkan selamat malam, tanpa menoleh ke belakang.
Mark pikir Donghyuck ingin lekas pergi karena yang lebih muda masih memendam membenci, hingga ciuman pun tidak bisa menahannya. Yang sebenarnya terjadi adalah, Donghyuck memilih pergi sebelum harapan kembali bersama Mark semakin membesar. Karena ia terlalu takut, semakin besar harapan yang dipunya, semakin besar juga kecewa yang dipupuk.
Donghyuck langsung berlari ke kamar mandi, berdiri di depan wastafel dengan air keran yang segera ia nyalakan. Donghyuck bilas bibir miliknya, sekali, dua kali, tiga kali hingga Donghyuck gosok bibirnya begitu kuat hanya agar ia tidak lagi merasakan halus dari bibir Mark ada di sana. Donghyuck menangis dengan dua jemari tidak henti menggosok-gosok bibir miliknya.
Donghyuck terus menangis, mengis dan menangis sampai dering telpon berhenti dan terganti oleh suara milik Renjun.
“Halo?”
“Jun …” suaranya bergetar. Ia tidak bisa menahan sendirian.
“Lah lo kenapa nangis?”
Donghyuck perlukan beberapa saat untuk persiapkan diri, takut-takut pengakuannya ini akan Renjun hakimi, meski Doyoung tshu betul bahwa Renjun bukanlah seorang teman yang sepeti itu. “Gue ciuman … sama Mark.” Donghyuck mengaku pada akhirnya.
Ada hening di sana ketika Renjun mencerna perkataan Donghyuck. “Beneran cinta lama belum kelar?” Renjun berusaha cairkan suasana, namun sepertinya langkah yang diambil tidak tepat karena yang Renjun dapat adalah tangis Donghyuck yang makin terdengar pilu.
“Dia maksa lo?” Renjun bertanya ketika Donghyuck belum ucap lagi kata.
“Enggak.”
“Terus kenapa?”
“Gatau, Jun. Gue takut. Gue takut gue balik ngarep, taunya tadi Mark cuma kebawa perasaan. Lo tau seberapa susah gue lupain dia, Jun. Terus tiba-tiba dia muncul lagi, mau nganter gue balik, dan ngajak gue ciuman. Jun … jujur gue bingung banget.”
“Hyuck, tenang ya? Udah, udah, lo jangan nangis. Mungkin Kak Mark minta ciuman ya karena dia juga masih suka sama lo?”
Mendengar dugaan Renjun, tawa pahit Donghyuck keluarkan, “Setelah lima tahun ngilang? Setelah gitu aja mutusin gue? Apa iya dia masih suka sama gue kalau semua akses buat ngehubungin dia aja dia putus, Jun? Apa iya gue tanya?”
Tidak ada jawaban, tapi Donghyuck dapat dengar Renjun hela napas panjang.
“Gue benci sama diri gue yang nge-iyain gitu aja ciuman tadi.”
“Jangan nyalahin diri lo sendiri gitu ah.” Renjun menyergah cepat, ia tahu jelas Donghyuck dan kebiasaannya menyalahkan diri.
“Gue enggak mau ketemu Kak Mark lagi.”
“Then don’t. Lupain kejadian tadi, oke? Jangan lo pikirin terus. Problabilitas lo ketemu Kak Mark kecil kok, karena lo berdua bakalan sibuk kerja.”
“Oke, Jun. Makasih banyak udah dengerin gue. Dan jangan bilang ke Jeno.”
Dapat Donghyuck dengar Renjun tertawa pelan, “iyaaa. Sekarang lo merem, tidur. Lupain kejadian tadi.”
Donghyuck mengangguk, meski ia tahu Renjun tidak akan melihat dirinya sedang mengangguk. Dan telpon ia putus.
Seperti kata Renjun, yang perlu Donghyuck lakukan sekarang adalah pejamkan mata, berusaha untuk tertidur, lalu lupakan kejadian tadi.
[]
Tapi bagaimana Donghyuck akan lupa jika kini setiap hari dirinya bisa melihat wajah Mark?
Dari semua kemungkinan yang terjadi dalam hidup Donghyuck, mengapa satu tempat kerja dengan mantan kekasih adalah hal yang harus menjadi bagian dari takdirnya? Donghyuck tidak mengira, bahwa Mark berhasil mengisi formasi di sekolah yang sudah menjadi tempat Donghyuck bekerja selama satu tahun. Tidak ada kecurigaan berarti, hanya desas-desus selama dua bulan ke belakang bahwa SMA 78 akan kedatangan tenaga pengajar baru. Donghyuck yang begitu jarang memasuki kantor dan lebih sering menghabiskan waktu di antara buku-buku tentu tidak tahu menahu akan siapa tenaga pengajar baru yang Pak Doyoung maksud tiap beliau mampir ke perpustakaan.
Selama tiga hari pertama saat Mark resmi menjadi guru di SMA 78, selama itu pula Donghyuck berusaha menghindar agar tidak terjadi kontak berarti di antara mereka.
Sampai akhirnya, Mark mendatangi Donghyuck ketika jam pelajaran berlangsung. Berkata bahwa dirinya memerlukan buku kimia untuk bahan ajar dan mengharuskan Donghyuck membantu Mark yang belum hapal rak mana yang musti ia tuju.
“Ini Pak, bukunya.”
Sebuah buku dengan gambar tabel periodik sebagai sampul Donghyuck ulurkan pada seseorang yang masih begitu betah berdiri mematung di hadapannya.
Melihat bahwa lawan bicaranya masih saja bergeming, Donghyuck goyang-goyangkan buku yang ia pegang tepat di depan mata orang tersebut. “Pak, ini bukunya.” Donghyuck kembali berujar.
Lawan bicaranya sedikit tergagap sebab kesadarannya baru saja kembali. Karena hanya dengan melihat Donghyuck, begitu banyak yang dirinya pikirkan hingga kenyataan kini sedikit bias.
“Eh … iya. Makasih banyak, Hyuck. Apa enggak bisa kamu panggil nama aja?” Diterimanya buku yang sedari tadi Donghyuck berusaha berikan.
Donghyuck menggeleng, “enggak bisa. Bapak guru di sini. Kita rekan kerja.” Donghyuck lihat lagi buku kimia yang kini sudah berada di tangan Mark, lalu bergumam, “padahal bisa nyuruh siswa. Ngapain repot-repot ke perpustakaan?”
Mark tertawa pelan, suasana perpustakaan yang sepi karena sedang jam pelajaran membuat keadaan mereka berdua menjadi bertambah canggung. Mark usap tengkuknya yang ia rasa mulai keluarkan keringat. “Karena aku mau ngomong sesuatu?” Ucapnya tidak yakin, “kenapa kamu ngehindar?”
Ah … Donghyuck paham betul arah pembicaraan ini akan dibawa kemana.
“Siapa yang ngehindar?”
“Kamu, Donghyuck. Kenapa ngehindar dari aku? Apa gara-gara kejadian waktu itu?” Mark remat ujung buku yang sudah ia pegang, meredakan gugup yang tiba-tiba menyerang. Ia kembali mengusap tengkuknya, mengelap keringat yang berada di sana.
Donghyuck pilih tidak menjawab. Ia hanya mampu menunduk. Segala alasan yang akan terlontar tidak bisa Donghyuck ungkap.
“Kejadian yang waktu itu, …” Mark memulai perlahan. Sial. Padahal tiga hari dirinya sudah coba merangkai kata untuk ia sampaikan di hari ini. Tapi kembali, saat melihat Donghyuck, otaknya begitu saja susah berfungsi. “Hyuck, soal yang waktu itu aku minta maaf, tapi aku enggak …”
Donghyuck tatap Mark yang masih berusaha melanjutkan kalimatnya. Ia paling tidak suka berada pada situasi menunggu dengan jantung miliknya yang terasa akan meledak. Untuk apa permintaan maaf Mark ucap? Apa ia menyesal? Apa Mark waktu itu hanya terbawa suasana seperti yang ia duga? Apa Mark sama sekali tidak berharap kembali?
Jadi Donghyuck dengan cepat dahului apa yang mungkin akan Mark bicarakan. Sebelum hatinya patah dua kali, sebelum harapannya tinggi kembali.
“Aku enggak …”
“Kita bisa lupain itu.” Donghyuck berucap dengan mata memejam rapat.
Dan ekspresi Mark yang seketika meredup tidak sempat Donghyuck lihat karena dengan cepat Mark ubah raut wajah miliknya.
“Oh, okay.”
Donghyuck tarik napas panjang sebelum ia membuka matanya kembali. Menatap Mark dan menganggukan kepalanya cepat.
“Iya, okay. Udah?”
“Udah.” Mark bergerak gelisah, tidak tahu harus bertindak bagaimana setelah mendengar ucapan Donghyuck. “Kalau gitu, aku … aku ke kelas dulu.”
“Silahkan.”
Aku gak bisa lupain ciuman kita.
Padahal hanya 6 kata, Mark. Tapi kenapa sulit sekali untuk kamu ucap?
To be continued ...