alden
....
Alden terbangun di tempat yang asing. Saat dia pertama kali membuka matanya, dia sama sekali tidak mengenali langit-langit kamarnya sendiri, atau memang ini bukan kamarnya?
Tapi Alden sedikit merasa familiar dengan tempat ini.
Bangsat. Alden mengumpat di dalam hati. Dia tidak tahu apakah ini mimpi atau asli. Atau sekarang dia diam-diam dibuang Kakaknya sendiri. Opini yang terakhir sangat tidak masuk akal.
Seolah mendapatkan sesuatu, Alden buru-buru mengecek ponselnya dan melihat bahwa benda ini mati kehabisan baterai, dan sekali lagi Alden memaki di dalam hatinya sendiri.
Dia mengedarkan pandangan, mencari jam, tapi dia tahu di kamar ini tidak mungkin ada jam, karena ini adalah kamar....
Alden membulatkan matanya. Pandangannya mengedar sepenuhnya tanpa ragu dan hampir mengenali suasana ini. Alden segera tahu bahwa ini kamarnya Arazki.
Lebih tepatnya, kamar lamanya.
Dan di sini dia tidak akan menemukan jam karena Arazki tidak pernah memasang jam di kamarnya, entah apa alasannya, lagipula itu sama sekali bukan urusannya.
Mengingat nama Arazki entah kenapa Alden rasanya ingin memukuli setiap inci dari tempat ini.
Oh lagipula bukankah ini mimpi? Jadi, apakah dia bisa menghancurkan tempat ini saja sekarang? Bagaimana kalau membakarnya? Tidak akan berimbas pada apa-apa, kan?
Alden mengusap wajahnya dan menghela kasar. Dia segera menghalau pemikiran itu ketika dia ingat bahwa di sebelah kamar Arazki itu kamarnya sendiri.
Jadi dia harus apa sekarang? Duduk diam di sini sampai dirinya terbangun dari mimpinya?
Oh tentu saja, dia hanya perlu melakukan itu.
“Arazki bangsat, Arazki anjing, asu, babi, monyet, Arki brengsek, bajingan, keparat, sialan, Arazki jancok.”
Tentunya setelah dia puas mengumpat untuknya.
Cahaya terang muncul di sudut matanya, membuat Alden refleks menoleh, dan melihat pintu kamar mandi yang terbuka. Tapi bukan itu yang membuat dirinya terdiam.
Melainkan sebuah bocil yang keluar dari sana, berdiri dengan tatapan tanpa emosi yang juga membalas tatapan tak berekspresi dari Alden.
Tidak ada yang bicara di antara keduanya, sampai kemudian, anak itu tiba-tiba masuk kembali ke kamar mandi dan menutup pintunya dengan kencang.
Alden belum sempat mencerna apa yang baru saja dilihatnya, ketika selanjutnya dia melihat anak itu kembali keluar dengan beberapa botol shampo, sabun, odol kodomo, sikat gigi di tangannya, kemudian dia melemparkan satu persatu ke arahnya.
“Woy!” Alden tentu saja beranjak dari tempatnya duduk untuk menghindar, tapi sialnya, kakinya menginjak sebuah mobil mainan dan alhasil dia tergelincir karena itu.
Alden jatuh terduduk dengan sangat-sangat tidak terhormat.
Ketika dia akan bangkit, Alden ditodong oleh sebuah moncong pistol.
Dia tidak bisa melihat berapa kisaran umur bocah yang menodongnya ini, tapi dari dekat seperti ini, Alden bisa melihat wajahnya dengan jelas meski lampu kamar dimatikan.
Wajah itu ... dia tentu saja mengenalinya dengan jelas.
“Angkat tangan!”
Arazki.
Mendengar suara cempreng yang sangat jauh dengan suara Arazki yang biasanya berat dan datar, Alden menggigit bibir bagian dalamnya, berusaha tidak tertawa. Dia ingat ini dengan jelas, Arazki dan obsesinya menjadi seorang detektif kepolisian.
Alden entah kenapa menurut saja. Seperti waktu itu.
“Tembak,” ujar Alden. Sukses membuat anak di depannya membulatkan matanya.
“Tembak aja, Ki.”
Arazki di hadapannya sedikit membuka mulutnya, tapi tidak ada suara yang keluar. Namun tangannya perlahan turun, menjauhkan pistol mainan itu dari wajah Alden.
Alden melihat anak itu sedikit terpaku, manik gagaknya sedikit melebar tapi ekspresi di wajahnya tidak berubah sedikitpun, tetap netral. Dia juga menangkap anak itu sedikit mengambil ancang-ancang.
Alden menggosok rambutnya sendiri. Sepertinya mimpinya kali ini akan sedikit merepotkan.
“Siapa?”
Alden mengangkat kembali tatapannya dan memandang Arazki di hadapannya yang mengulang pertanyaannya, “Siapa?”
Alden entah kenapa tersenyum miring. “Menurut lo?”
Dia tidak akan repot-repot mengganti gaya bicaranya.
Dan sekali lagi, Alden dapat melihat Arazki tertegun. Dia mundur dua langkah, tapi kemudian maju lagi, menatapnya dalam diam, lalu tiba-tiba mengalihkan tatapannya ke arah lain.
Alden dengan sabar menunggunya. Dia sepertinya ingin mengatakan sesuatu dan tengah berjuang untuk itu.
“Al....”
Alden mendengar anak itu mengatakan sesuatu, tapi dia menggantung kalimatnya, kemudian menggelengkan kepalanya, seolah dia tengah bergelut dengan pikirannya sendiri.
Seolah tau akan mengatakan apa, Alden menjawab, “Iya, bener.”
Arazki kali ini menatapnya secara keseluruhan. Seperti meneliti sesuatu, dari rambut, wajahnya, dan sampai ke ujung kakinya.
Dia kemudian mengangguk mengkonfirmasi.
Setelah keheningan itu, Arazki tidak mengatakan apapun lagi, dia berjalan pergi ke meja belajarnya dan menghidupkan lampu belajarnya kemudian mengatur kecerahannya, lalu membuka bukunya.
Seolah kejadian barusan tidak pernah terjadi.
Anak ini bahkan dengan cepat mengerti situasinya dan tidak penasaran sama sekali tentang dirinya. Ekspektasi Alden telah diinjak sepenuhnya.
Alden ingin terkejut, tapi dia ingat bahwa ini Arazki.
Arazki yang keras kepala, Arazki yang egois.
Dan dia adalah Arazki yang sama.
Mengingat itu entah kenapa membuat Alden merasa ingin menghancurkan sesuatu lagi.
Alden menghela panjang nafasnya. Dia bangun, duduk di kasurnya dan diam di sana. Menunggu waktu sampai dirinya terbangun dari mimpinya.
Tapi setelah beberapa menit keheningan yang cukup panjang, Alden mulai tidak sabar. Kapan dirinya akan bangun? Ini benar-benar mimpi buruknya.
Dia ingin membuka ponselnya, tapi benda itu sudah mati. Apakah dia harus meminta charger ke anak yang dia tahu pasti belum memegang ponsel.
“Arazki Razkan Pradipta. Sembilan tahun. Tiga Juni. Gemini. Darah A. Anak ke empat dari delapan bersaudara.”
Alden sedikit dikejutkan oleh perkenalan tiba-tiba itu.
Dia lantas menoleh dan melihat Arazki sudah duduk menghadap pada dirinya yang mungkin sedari tadi tengah melamun.
Alden tidak mengerti kenapa dia tiba-tiba memberitahukan biografinya sendiri. Tapi dengan informasi itu seolah menjawab beberapa pertanyaan di kepalanya.
Ini berarti dia berada di delapan tahun yang lalu.
Aneh memang, tapi beginilah yang dia lihat sekarang.
Alden tidak ingin membalasnya, tapi melihat Arazki berusaha menyembunyikan satu tangannya yang mengepal di belakang tubuhnya, Alden menangkap sesuatu.
“Panggil aja Alden.”
Arazki terdiam beberapa saat lalu mengangguk kecil.
“Dari mana?” Dia akhirnya berani menanyakan pertanyaan di kepalanya.
“Lo pikir gue tau?” Alden tidak peduli apakah perkataannya ini terdengar judes atau tidak, dia masih kesal dengan Arazki. Meski yang di hadapannya ini versi Arazki yang lugu, tapi tetap saja sama.
“Dari kapan?”
“Gak tau.”
“Gimana caranya?”
“Gak tau.”
“Sampe kapan?”
“Gak tau.”
Kemudian sunyi, tidak ada lagi pertanyaan yang keluar membuat Alden ikut-ikutan bungkam.
Namun dia merasakan sebuah keanehan. Arazki bahkan tidak sedikitpun merasa skeptis kepadanya, dia percaya begitu saja dengannya.
Alden tahu anak di umur segini masih gampang dibodohi, tapi ini Arazki. Tidak mungkin dia dapat percaya begitu saja.
“Beneran Alden?”
Kan.
“Kalo bukan kenapa? Kalo iya kenapa?” Alden membalik pertanyaannya.
Arazki sedikit mengalihkan wajahnya, kemudian kembali mengangkat kepalanya dan menatapnya lagi.
“Mau nanya lagi.”
Alden tersenyum. Benar-benar bukan Arazki sekali minta izin dulu seperti ini.
“Ambilin gue minum dulu.” Dan Alden dengan tidak tahu dirinya menyuruh anak kecil itu.
Mengejutkannya, Arazki tidak protes sama sekali. Dia meraih tas ransel yang digantung di kursinya, lalu mengeluarkan sebuah botol minum dari sana, kemudian dia melemparnya pada Alden yang langsung ditangkap dengan cekatan.
Arazki kemudian kembali bertanya. “Alden?”
Alden mengusap sudut bibirnya dengan punggung tangannya, tidak menatap Arazki yang urung percaya dan mengatakan, “Kalo gak percaya ya udah. Gue tau, sih, ini kayak gak masuk akal? Lo juga pasti bingung kan? Sama.”
But thanks lo udah ngerti situasi gue. Alden ingin mengatakan itu, tapi dia mengurungkan niatnya. Padahal biasanya mudah untuk mengucapkannya namun untuk kali ini entah kenapa lidahnya terasa kelu.
Alden menghargai usaha Arazki yang mencoba percaya kepadanya ketika dia menyadari bahwa Arazki masih sulit menerima fakta ini.
Anak itu kemudian berdiri dari kursinya. Dia berjalan ke arah lemari, mengeluarkan sebuah kotak hitam kecil di tangannya, kemudian mendekat kepada Alden, duduk di sampingnya.
“Boleh tanya?”
Alden merasakan perasaan buruk.
“Kenapa ngasih ini?”
Arazki membuka kotak itu dan memperlihatkan sebuah peluit plastik berwarna kuning.
“Hm.” Alden berusaha keras menghindar dan mencari topik lain. Jika diingat lagi, dia malu juga.
KENAPA YA DIA NGASIH ITU? MANA DIA TAU.
“Keren aja, sih.” Meski nadanya datar, Alden bersumpah dia ingin mengubur dirinya sendiri.
Arazki di sebelahnya hanya diam dengan pandangan yang lurus ke peluit di dalam kotak hitamnya. Tidak bereaksi apapun membuat Alden entah kenapa menjadi canggung.
Tolong bicara sesuatu.
“Hm.”
Mendengar gumaman itu, Alden refleks menoleh. Menunduk hanya untuk melihat ekspresi Arazki sekarang, tidak ada apapun, dan tidak berbicara apapun. Tapi dia jadi menyadari kebodohannya sendiri.
Di hari dia memberikan benda sakral itu kepada Arazki sebagai hadiah ulang tahunnya, dia ingat Arazki tidak mengatakan apapun. Hanya menyemburkan kalimat penghinaan, “Aneh.”
Ya memang aneh, sih. Terus kenapa ujung-ujungnya malah disimpan?
Kalau dipikir-pikir, apa Arazki yang di masa depan masih menyimpannya atau tidak ya? Mungkin sudah dibakar.
“Aku....”
Alden mengernyitkan alisnya. Dia merasa tidak asing dengan gaya bicara ini, tapi karena sudah lama tidak mendengarnya dia jadi merasa sedikit aneh.
Arazki berhenti lagi. Dia kemudian melanjutkan setelah membuang kembali wajahnya ke arah lain. “Aku ... kayak gimana?”
Pertanyaan ini terdengar ambigu, tapi Alden mengerti ke mana arahnya.
“Lo? Ngeselin, emosian, sombong, arogan, keras kepala, egois, pokoknya ngeselin aja sih.”
Arazki sedikit tercenung pada jawaban itu dan meski hanya melihat dari sudut matanya dan Arazki menatap ke objek yang lain, Alden masih dapat menangkap dengan jelas emosinya di matanya, meski dia tidak menunjukkannya secara gamblang.
Alden lantas menjatuhkan dirinya sendiri ke atas ranjang itu dan menutup kedua matanya dengan lengannya. Menunjukkan bahwa dia tidak ingin menjawab pertanyaan lagi.
Kenapa juga dia sedikit merasa bersalah padahal yang dia katakan itu fakta?
“Alden.”
“Hm.” Alden tidak bergerak sedikitpun, tapi dia refleks menjawab panggilan itu dengan dengungan rendah. Meski enggan, dia tetap menunggu Arazki berbicara selanjutnya.
“Kamu....” Arazki menggantung kalimatnya lagi, terlihat ragu untuk mengatakannya. Tapi pada akhirnya dia tetap melanjutkan. “Kamu benci ... aku?”
Pertanyaan itu entah kenapa membuat lidah Alden terasa kelu.
Dia ingin mengatakan sesuatu, tapi dia merasakan suaranya tidak bisa keluar sedikitpun. Jadi dia hanya membiarkan rahangnya menggantung, sedikit terbuka tanpa suara.
Seperti menyadari sebuah hal, Arazki ingin mengatakan sesuatu lagi, tapi dia dikejutkan oleh suara ketukan pintu dan suara panggilan berikutnya yang menyahut.
“Kak, robot Aden udah selesai?”
Alden bangun lantaran terkejut, dan hanya bisa diam di tempatnya. Jantungnya berdegup kencang, dia panik sendiri entah karena apa. Namun masih tetap menjaga dirinya agar tetap terlihat tenang.
Arazki menatapnya sebentar, lalu dia kemudian menjawab, “Belum, nanti!”
“Tapi Aden mau pake sekarang.”
Arazki gelisah. Dia kembali kepada Alden di sebelahnya. “Nanti.” Entah dia tengah bicara kepadanya atau bicara pada Alden di depan pintu.
Arazki sudah siap untuk beranjak kalau-kalau Alden mengetuk pintu lagi. Tapi karena tidak ada suara apapun, dan langkah kaki perlahan menjauh, dia akhirnya menghela nafas lega.
Arazki kemudian tertawa. Yang mengundang tatapan heran dari Alden, tapi dia juga entah kenapa ikut tertawa kemudian.
Setelah mereka dapat reda dari tawanya, Arazki kembali mendongak. Lagi-lagi menatap Alden dengan penuh rasa penasaran. “Mau tan—”
Alden menghela nafasnya. “Dari tadi lo terus yang nanya, sekali-kali gue.”
Arazki menelan kembali pertanyaannya dan menganggukkan kepalanya. “Sekali-kali,” gumamnya, seolah memahami.
“Lo....” Alden menatap Arazki dari atas ke bawah. Tidak yakin apakah dia harus menanyakan ini. Masalahnya, tidak mungkin dia menanyakan “Lo anggep gue apa?” Pada anak ini, kan?
“Kalo semisal, adek lo itu ngikutin lo terus, lo bakal kesel?”
Alden dapat melihat Arazki sedikit mengernyitkan dahinya, namun wajahnya perlahan kembali netral ketika dia akhirnya menangkap siapa yang sedang dibicarakan Alden.
“Jawab jujur. Gue nanya serius.”
Arazki mengerjapkan matanya berkali-kali, nampak sekali bahwa dia terkejut lantaran Alden mengetahui dia akan menjawab dengan omong kosong.
“Kesel.” Arazki menunjukkan raut kesal kepada Alden, memperlihatkan bahwa dia tidak main-main. “Pengen usir jauh-jauh.”
“Oh.” Alden sudah cukup dengan jawabannya. Yah, lagipula apa yang dia harapkan?
“Soalnya takut.”
Alden kembali menatap Arazki ketika anak itu ternyata belum selesai bicara.
“Kalo ngikutin terus ... nanti kamu....” Arazki menolehkan kepalanya ke samping sehingga Alden hanya bisa melihat tangan kecilnya meremat seprai. “... Alden ... tiba-tiba jadi jauh.”
“Terus aku gak bisa nyusul Alden.”
Alden tidak dapat menahan dirinya sendiri untuk tidak membulatkan matanya ketika mendengar penuturan yang lugu dan polos dari mulut Arazki kecil di hadapannya.
Mungkin jika Alden seusianya, dia tidak akan mengerti Arazki bicara apa.
Tapi karena yang mendengarkan adalah Alden yang sekarang, dia tidak perlu bertanya-tanya lagi. Dia mengerti secara keseluruhan.
“Oke. Thanks info.” Dia refleks tersenyum pada jawaban itu.
Arazki tidak akan pernah mengatakan ini kepadanya. Tapi karena yang di hadapannya ini bukan Alden Adiknya, dia tidak ada alasan untuk ragu menjawab pertanyaan darinya.
“Emangnya kenapa?” Arazki ragu bertanya, tapi tetap mencoba percaya diri.
“Gak ada. Cuma lagi mikirin alur cerita.”
“Kamu besarnya jadi penulis?”
“Ogah, gak dulu. Cerita hidup sendiri aja miris, sok-sokan mau ngatur hidup orang lain.”
Arazki menatapnya penuh harap. Baiklah, dia tidak mendengarkannya.
Kemudian hening. Tidak ada lagi salah satu dari mereka yang berbicara. Alden larut dalam pikirannya sendiri, masih memikirkan kapan dia akan terbangun dari mimpinya.
Sementara Arazki nampak gelisah. Dan Alden merasa terganggu dengan itu.
“Kalo mau ngomong tuh ngomong.”
“Hm.” Arazki bergumam. Dia mengeratkan genggamannya di kotak hitam itu.
Sementara Alden diam menunggu dan mencoba sabar. Ini bukan Arazki brengsek yang tidak apa-apa jika dimaki.
Tapi karena dari tadi Arazki tak kunjung bicara, Alden berdecak. “Ck! Kebiasaan banget sih lo! Jelek banget.”
“Kamu besarnya bawel ya?”
“An—ak kecil gak boleh banyak tanya.” Alden mengurungkan niatnya untuk mengumpat.
“Tapi kata Kak Tian malu bertanya sesat di jalan?”
“Itu omongannya yang sesat.”
“Oh.”
Kenapa lo percaya?
“Lo mau ngomong apa tadi?” Alden mulai jengah.
“Emm.”
Ditatapnya anak di sampingnya yang kali ini sepenuhnya menundukkan kepala, memandang kotak di atas pangkuannya.
“Boleh gak ... kalo ... emm.” Jari-jari tangannya menggaruk-garuk dengan lembut di atasnya. Seperti mencoba mengisyaratkan sesuatu.
Alden menghela nafas panjang. Dia menarik tangan Arazki tiba-tiba, kemudian membawanya ke atas kepalanya.
“Pegang aja. Gue gak gigit.”
Arazki tentu terkejut, tapi dia dengan cepat menyesuaikan ekspresinya.
Alden sedikit menunduk agar Arazki bisa menggapai puncak kepalanya, namun dia tidak melewatkan setiap detikpun perubahan emosi Arazki di matanya.
Alden dulu tidak mengerti bahkan kesal lantaran Arazki suka sekali mengacak rambutnya.
Tapi melihat bagaimana mata yang polos itu memancarkan binar kesenangan dan perasaan bangga terhadap dirinya, Alden jadi bertanya-tanya,
Apa Arazki selalu melihat dirinya dengan pandangan seperti ini?
“Hm, udah.” Arazki menjauhkan tangannya.
“Oh.” Alden juga ikut menjauh. Dia kembali menghempaskan tubuhnya sendiri ke atas ranjang dan menutup kedua matanya. Dia ingin mencoba bermimpi dalam mimpi.
Arazki tiba-tiba tertawa. Membuat Alden mau tak mau membuka kembali matanya dan menatap punggung kecilnya yang bergetar lantaran tertawa.
“Napa lo tiba-tiba ketawa?”
“Bener.”
“Hah?” Alden memiringkan kepalanya, mencoba melihat Arazki lebih jelas meski dia duduk membelakanginya.
“Kamu beneran Alden.”
“Jadi dari tadi lo belum percaya? Anj—ah, dahlah.”
Alden membiarkan Arazki tertawa. Namun kemudian anak itu berhenti sendiri lantaran dia mendengar ketukan di pintunya.
“Nak, makan dulu.”
Tidak hanya Arazki, Alden juga membulatkan matanya kala mendengar suara Papanya.
“Nanti.”
“Kamu dari tadi di kamar terus. Kamu kenapa? Gak sakit kan? Papa masuk ya?”
Arazki dengan cepat berlari mendekat ke arah pintu.
Dia memutar kunci untuk mengunci pintunya dan menghasilkan suara 'Klik' lalu menarik kenop pintu berkali-kali dengan cepat. “Pintunya gak bisa dibuka.”
“Hah? Kenapa?”
“Kekunci.”
Alden melihat Arazki melirikkan matanya, menyuruhnya untuk bersembunyi ke kamar mandi.
“Hah? Kok bisa? Kamu coba menjauh dari pintu dulu. Papa coba dobrak.”
Alden mengerti kode itu dan akhirnya bangkit lalu pergi dengan enggan. Dia mengerti karena Arazki mencoba melindunginya.
Dimanapun dan kapanpun, Arazki akan selalu melindunginya.
Alden tahu itu. Dan meski Arazki tidak mengatakannya atau menunjukkannya secara terang-terangan, Alden akan tetap mengetahui itu.
Arazki tetaplah Arazki.
***
Alden kali ini benar-benar terbangun di kamarnya sendiri. Dia menarik nafas panjang dan menghembuskannya dengan kasar sembari mengusap wajahnya.
Mimpi yang aneh, mewakili perasaannya yang aneh. Dan dirinya sendiri yang juga aneh.
Semuanya aneh. Jadi Arazki jauh lebih aneh.