Darkizhit

&

“Penumpang diingatkan untuk tetap duduk. Tolong jangan meninggalkan tempat duduk Anda.”

“Kami sarankan Anda tetap memasang sabuk pengaman sepanjang penerbangan. Pastikan Anda sudah mengencangkan sabuk pengaman Anda.”

Alden menoleh pada Arazki yang sekali lagi tidak menampilkan ekspresi apapun selain bosan. Sungguh, apakah dia tidak merasa ada sesuatu yang salah dengan pesawat ini? Apa dia tidak peka?

“Pantesan Kayana beralih ke Galen.”

Mendengar kalimat sontak membuat Arazki dengan cepat menoleh dan menatap Alden dengan tatapan “Lo yakin pengen dipukulin di sini?”

Tapi Alden menggedik tidak peduli dan malah kembali memandangi ke sekitarnya, sembari mengatakan, “Lo ngerasa goyang gak sih?”

“Pesawatnya tiktokan kali.”

“Anjing, gue serius.”

Alden menghela jengah. Jujur, dia sedari tadi merasa ada yang tidak beres sehingga dirinya secara jelas tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya sejak pesawat lepas landas.

Namun karena Arazki yang notabenenya Arazki, orang ini bahkan terlihat biasa saja, jadi Alden berusaha menepis semua pikiran buruknya jauh-jauh.

Tapi mendengar pengumuman dan instruksi yang sama dari pramugari untuk yang kesekian kalinya, meski nadanya tenang, namun Alden cukup mengerti bahwa sesuatu yang salah pasti sedang terjadi.

“Kalo mau boker, ke sana dah.”

“Anjing! Lo masa gak ngerasa?” Alden kembali menatap Arazki. Kali ini, dia benar-benar tidak bisa menyembunyikan ekspresi resahnya.

“Ngerasa lo kebelet boker?”

“Serius, anjing!” Alden berteriak lantaran frustrasi atas sikap Arazki yang tidak bisa mengerti situasi dan karena suaranya terlalu tinggi, semua orang yang berada tak jauh dengan kursinya mendengar dirinya.

Tapi Alden dengan cepat menarik diri dan bersikap tenang kembali seolah-olah tidak ada yang terjadi.

“Ki, ini pesawatnya turbulensi gak sih?” Alden bertanya dengan nada pelan, nyaris seperti berbisik, ketika sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Arazki agar Kakaknya dapat mendengar pertanyannya.

Namun Alden malah melihat Arazki tertawa pelan, sembari menatap ke luar jendela.

“Ya wajar. Namanya juga lagi lepas landas.” Arazki menanggapi ini seperti sesuatu yang biasa saja. Dia terlihat tidak minat sama sekali dengan pertanyaannya.

Maka Alden ikut diam. Dia juga menatap ke sekitarnya, kemudian terpikirkan sesuatu yang membuatnya kembali memandang pada Arazki.

“Lo takut mati gak?”

Pertanyaan itu entah kenapa membuat Alden sendiri merasa tenggorokannya dicekik begitu kencang. Sementara dia melihat Arazki kali ini menatapnya, tapi tidak menjawabnya dan malah balik bertanya.

“Lo?”

Alden berdecak, namun dia tetap menjawab, “Dikit, sih.”

“Kenapa takut?”

“Yaa, dosa gue masih banyak soalnya.”

“Ya udah syahadat sekarang.”

“Gue banyak dosa, bukan murtad.”

Arazki menggedikkan bahunya. Kembali memilih untuk menatap keluar seperti Alden adalah sesuatu yang membosankan untuk dia lihat.

“Ki, lo belum jawab gue.”

Alden di sana mengangkat kepalanya. Dingin menjalar ke seluruh tubuhnya ketika dihadapkan dengan kehampaan, sementara dia tersenyum pahit pada kekosongan.

“Alden.” Aristian yang duduk di sebelahnya menepuk pundaknya. Tapi Alden tetap tidak tertarik untuk mengalihkan pandangannya pada tembok putih di depan mereka.

“Ki, lo belum jawab gue.” Alden mengulangi, masih dengan senyum yang sama di wajahnya. Masih dengan tatapan yang sama hampanya ke hadapan.

Aristian menghela nafas sedih. Dia sedikit menoleh ke samping hanya untuk mengusap ke sudut matanya yang terasa panas dan perih.

Kemudian dia kembali menatap Adiknya. “Al, gue pulang dulu ya? Besok gue bareng Azuno ke sini.”

“Please, besok liatnya ke gue ya, jangan ke sana?”

“Arki belum jawab gue.”

“Gue ngerti, Al ... tapi Arki....” Aristian berhenti dan menggigit bibirnya sendiri. Dia menatap Alden sambil berusaha tersenyum. “Nanti ya. Lo harus bisa pulang dulu.”

“Arki belum jawab gue.”

Aristian tidak tahu lagi harus berkata apa selain maaf dan memeluk Alden di sampingnya. Segala yang dia tahan sebelumnya pada akhirnya runtuh begitu saja dan Aristian menyerah.

Tetapi Alden tetap tidak bergerak di posisinya. Masih menatap ke ruang kosong di depannya, tidak menunjukkan ekspresi apa-apa, dan tidak mengeluarkan sedikitpun kalimat selain,

“Ki ... lo belum jawab gue....” Dengan suara lirih.

Yang pada akhirnya, pertahanannya juga ikut hancur.

wansut


“Nunggu Arazki?”

Kayana sontak menarik fokusnya dari ponselnya dan tetap mengenali Alden meski wajah itu terhalang helm fullface, duduk di motornya, tepat di depannya yang tengah berdiri di dekat gerbang parkiran.

Kayana tersenyum. “Iya. Dia lagi di gor sih bentar doang—”

“Naik.”

“Hah?”

Kayana mengerjapkan matanya, tidak mengerti dan terkejut.

“Naik,” ulang Alden.

“Tapi Razki—”

“Dia lagi briefing buat lomba hari sabtu. Gak bakal sebentar. Tapi dia udah bilang ke gue, lo ikut gue, ke rumah.”

Kayana masih sulit mencerna perkataan Alden, tapi mengerti. Dia hanya tidak yakin apakah harus naik atau tetap menunggu saja di sini.

“Kalo lo nunggu di sini, gue digebugin.”

Seperti bisa membaca pikirannya, Alden menjawab keraguan Kayana. Membuat gadis itu tertawa pelan.

“Beneran gak apa-apa? Nanti Naya cem—”

“Naya tau lo demennya Arazki. Bucin Arazki. Bulol Arazki.”

“Heh! Gak gitu ya!”

“Oh? Jadi gak demen Arazki? Nice info, entar gue sampein.”

“Gak gitu maksud gue—”

“Naik.”

Kayana sedikit berdecak lantaran Alden main memotong ucapannya, tapi dia tetap mengikuti kata-katanya sebelum Alden benar-benar marah. Dia tidak tahu batas kesabaran cowok ini sebesar apa, tapi dia tidak ingin mengujinya.

“Pake.” Alden menyerahkan helm kepada Kayana.

“Dari motor Arazki.” Seolah menjawab pertanyaan di kepala Kayana, gadis itu kali ini tersenyum lalu menerimanya. Dan Alden memerhatikan itu.

Setelah Kayana naik ke atas motornya, Alden mulai menjalankan motornya. Meninggalkan area parkiran dan berjalan pulang menuju ke rumah.

Selama di perjalanan, tidak ada yang memulai pembicaraan. Keduanya terdiam karena tidak tahu dan merasa tidak perlu berbicara. Tapi Alden sesekali melirikkan matanya untuk melihat ke kaca spion.

Dia sebenarnya sedari tadi sudah curiga.

“Den, lo gak ngelamun kan?” Kayana bertanya memastikan ketika dia merasakan motor yang dikendarai Alden perlahan melambat.

“Sialan,” umpat Alden, tidak menjawab Kayana, tapi gadis itu merasa umpatannya tertuju kepadanya.

Dia melirik ke kaca spion lagi dan melihat motor misterius di belakang mereka ikut memperlambat laju motornya.

Alden berdecak di balik kaca helm fullface-nya. “Kay, gue gak bakal ngomong dua kali. Pegangan.”

“Hah?” Kayana sebenarnya mendengar ucapan Alden, dia hanya terkejut sekali lagi.

Tanpa merespon ucapan Kayana, Alden menancap gas secepat mungkin. Melajukan motornya dengan kecepatan yang tinggi.

Dan karena itu pula, Kayana refleks melingkarkan tangannya di pinggang Alden.

“DENNN? KENAPA TIBA-TIBA NGEBUT?! GUE GAK NYANGKA LO TERNYATA BEGINI ORANGNYA!” Kayana berteriak di balik punggungnya, salah paham.

Tapi Alden tidak ingin repot menjawabnya. Dia hanya melirikkan matanya, melihat bahwa motor di belakangnya benar-benar mengejar mereka. Alden tentu saja menancap gasnya dengan kecepatan yang semakin tinggi.

“ALDENNN! ASLI GUE BILANGIN ARAZKI!”

“Kita diikutin.”

“APAA?”

Alden berdecak sekali lagi. Dia melirik lagi dan melihat motor di belakang mereka semakin mendekat.

Kalau sendirian, Alden bisa saja nekat menyerempet motor itu. Tapi karena kali ini ada Kayana bersamanya, dia tidak bisa melakukan itu.

Melupakan rencananya, Alden kembali tancap gas tapi sayang, motor di belakang mereka berhasil menyusulnya dan kini telah berada tepat di sebelah mereka.

Alden mencoba menendang motor di sampingnya, tapi kakinya dihalau dan karena ada dua orang dewasa di motor itu, Alden kesulitan menjatuhkan mereka.

“Alden awas!” Kayana yang mengeratkan pegangannya berteriak, Alden melihat ke depan dan melihat sebuah pajero putih yang tiba-tiba muncul dari arah berlawanan. Alden langsung membanting stir ke arah kanan.

Tapi Alden salah perhitungan, karena tepat di sisi lainnya, mobil lain melaju.

Kali ini Alden tidak bisa menghindar.

***

Arazki berdecak sekali lagi ketika melihat Alden belum membalas pesannya. Anak itu biasanya akan menjawab dengan cepat karena tidak pernah lepas dari ponselnya, kecuali jika dia ketiduran.

Dia sudah menitipkan Kayana pada Alden, dan dia hanya ingin memastikan apakah Alden mengingat pesannya atau tidak. Tapi pesannya diabaikan sejak tiga puluh menit yang lalu.

Arazki beralih ke kontak lain, kali ini Kayana, dia juga belum membaca pesannya sejak sejam yang lalu.

Ini membuat Arazki berpikiran buruk. Apakah Alden lupa pada perkataannya, dan Kayana jadi marah karena terlalu lama menunggunya di sini?

Arazki mematikan panggilan telepon ketika memastikan bahwa nomor Kayana tidak aktif.

Dia berdecak lagi. Kali ini menelepon Alden, dan nomornya juga tidak aktif.

Sekarang daripada perasaan buruk, Arazki merasakan kejanggalan. Kejanggalan yang buruk.

Mencoba menghalau segala pemikiran negatifnya, Arazki memutuskan untuk pulang ke rumah dan melihat sendiri apakah Alden mendengarnya atau tidak.

Tapi saat dia baru memutar kunci motornya, ponselnya berdering. Dan Arazki segera merogoh saku jaketnya untuk melihat nama “Alden” tertera di layar.

“Lo mati?”

Pertanyaan itu keluar tanpa ragu dari mulut Arazki. Biasanya Alden akan menjawab, “Anjing!”, tapi kali ini tidak ada sahutan.

Arazki menjauhkan ponselnya hanya untuk melihat bahwa telepon sudah terputus.

“Bangsat.” Arazki mengumpat karena itu. Dia berniat akan melempar ponselnya ke tanah, tapi melihat panggilan dari orang yang sama kembali masuk, Arazki mengurungkan niatnya.

“Lo—”

“Kayana di pabrik garam deket pelabuhan. Ke sana sekarang—”

'Buk!'

Arazki refleks membulatkan matanya ketika mendengar suara pukulan yang kencang dan Alden berhenti bicara.

Namun Arazki masih mencoba untuk tetap tenang.

“Lo ngapain?”

“Pergi ke sana! Kayana gak ada di sini! Lo gak usah ke sini, di sini—”

'Buak!'

'Bugh!'

Mendengar suara pukulan yang datang bertubi-tubi dari seberang, Arazki mengeratkan cekalannya. Dia tidak mengerti situasinya, apa yang terjadi? Otaknya mendadak tidak berfungsi.

“AL?!” Arazki berteriak pada teleponnya. Tapi tidak ada suara lain selain suara seseorang yang dipukuli dan Alden yang sesekali mengaduh dan mengumpat.

“Bangsat! Jangan bercanda! Lo dimana, anjing? Kayana dimana?!” Arazki mulai menjadi panik. Dia sudah tidak peduli lagi dengan ekspresi di wajahnya saat ini, dia hanya membutuhkan jawaban dari Alden.

Kemudian suara helaan nafas panjang yang begitu dekat membuatnya semakin bingung.

“Kalian semua itu nyusahin banget.”

Mendengar suara itu, Arazki menjadi semakin tersulut. “Lo—”

“Sayang banget tadi Adek kamu ngerusak rencana saya, kita ubah permainannya aja, gimana?”

“Main sama orang-orangan sawah sana, anjing!”

“Pilih adek kamu atau cewek itu?”

“Maksud—”

“Malam ini jam delapan. Lewat dari itu, mati. Datang sendiri, jangan biarin orang lain tau apalagi polisi. Ngelanggar, terima konsekuensi.”

Telepon terputus kemudian.

Arazki menatap ponselnya dengan ekspresi kesal. Dia mencoba menghubungi lagi nomor Alden, tapi nomornya kembali tidak aktif.

Cowok itu mendesah jengah. Dia membuka riwayat telepon Alden terakhir kali, berniat melacak lokasi terakhirnya dari sana.

Lalu tak lama kemudian ponselnya kembali berdering, tapi kali ini bukan dari Alden melainkan Aristian.

Arazki menimang apakah dia harus mengangkatnya atau mengabaikannya saja. Tapi kalau diabaikan, dia takut Aristian malah jadi curiga dan akhirnya mengetahui sesuatu.

“Halo? Arki, kenapa ya nomor Alden gak aktif? Kamu tau gak dia ke mana?”

Nafas Arazki tercekat di tenggorokan. Dia bisa saja meminta bantuan Aristian sekarang, tapi mengingat peringatan dari orang tadi, Arazki tidak bisa melakukan itu.

“Sama gue.”

“Oh, kalo gitu bisa kasihin dulu gak hp nya ke Alden—”

“Toilet.”

Arazki memaki dirinya sendiri di dalam hati saat tak kunjung mendengar Aristian berbicara. Sialan, dia sudah terlanjur kalut.

“Oh ... ya udah deh. Kalian lagi di mana? Kenapa hape nya Alden dimatiin?”

“Di gor. Lowbat.”

“Oh ya udah kalo gitu. Cepet pulang ya udah mau maghrib, nanti kemaleman, oh iya hati-hati pulangnya! Jangan ngebut-ngebut, santai aja. Oke, gue tutup ya—”

“Sebentar.”

Arazki menggigit lidahnya sendiri, kalau sudah begini dia tidak bisa mengurungkan niatnya.

“Kenapa, Ki?”

“Alden—” Arazki menggigit bibirnya. Semua kalimatnya yang kusut tersangkut di tenggorokannya. Dadanya terasa sesak, seolah oksigen di sekitarnya menghilang begitu saja.

“Arki? Arki, hei, kenapa?” Arazki tidak sadar dia telah bernafas dengan berat, dan Aristian di teleponnya berujar khawatir karena itu.

“Alden ... sempet nanya. Gimana sama ... Papa ... kerjaannya.”

Ada keheningan di antara keduanya. Arazki yang terdiam karena tidak mengerti apa yang telah dirinya sendiri ucapkan, dan Aristian yang juga tidak mengerti ada apa.

Lalu tiba-tiba Aristian terkekeh. “Kenapa emangnya?”

“Gak tau.” Arazki berujar lirih.

“Baik-baik aja. Gak usah khawatir, kenapa juga tiba-tiba kepikiran gini? Gak kalian banget mikirin ginian, kan?”

“Hm.”

“Ya udah kalo gak ada lagi gue tutup ya teleponnya. Inget, jangan kemaleman. Pulangnya jangan ngebut-ngebut. Hati-hati.”

Arazki tidak menjawab itu dan langsung memutuskan sambungan telepon kemudian. Dia melihat sekilas jam yang tertera di ponselnya, pukul 4:52 sore.

Arazki seharusnya mengatakan, “Alden sama Kayana hilang.” Tapi kalimat penuh peringatan dari orang tadi terus berputar di kepalanya, membuatnya malah mengatakan omong kosong bodoh seperti barusan.

“Bangsat!” Arazki akan memasukkan ponselnya kembali ke dalam sakunya, tapi benda itu kembali berdering.

Melihat nama Alden terpampang di sana, Arazki dengan cepat menjawab telepon.

“Jam tujuh.”

“Apaan sih bangsat tiba-tiba—”

“Kamu ngeremehin saya. Saya udah kasih kamu keringanan, tapi kamu ngelunjak. Kamu pikir saya gak tau kamu mau ngomong apa barusan ke Aristian?”

Arazki terpaku di tempatnya. Orang ini menyadap ponselnya?

“Atau kamu mau Aristian juga?”

Arazki mengepalkan tangannya. “Lo—Apaan, sih? Lo siapa? Ada masalah apa sama gue? Urusan sama gue jangan bawa orang lain, anjing! Pengecut, lo! Sampe mereka kenapa-napa, gue patahin tulang lo satu-satu!”

Nafas Arazki memburu karena emosi. Dia tidak peduli lagi dengan orang-orang yang melihatnya di sini seperti ini, dia hanya ingin membunuh orang ini.

Dan seolah tidak mendengarkan ocehan Arazki tadi, orang itu buru-buru mengakhiri percakapan. “Malam ini jam tujuh. Lewat dari itu mati.”

“Jangan bawa orang lain.”

“Fuck!” Arazki melempar ponselnya ke tanah hingga hancur.

Pergi ke mana?

Dia harus pergi ke mana dulu? Alden? Kayana?

Masalahnya posisi mereka saling berlawanan. Butuh waktu hampir satu jam untuk sampai ke salah satu tempat dari posisinya saat ini.

Setelah pergi menemukan salah satunya, bisakah dia pergi menemukan yang lainnya?

Arazki melirik jam di tangannya. Pukul 4:58 sore, dia sudah menyia-nyiakan enam menitnya hanya untuk hal yang tidak berguna, padahal dia harus bergerak cepat.

Dia lantas memasang helm fullface-nya dan menyalakan motornya. Tanpa pikir panjang langsung membelah udara sore itu dengan kecepatan yang tinggi.

Dia tidak peduli lagi. Dia harus bisa sampai sebelum pukul enam.

wansut [riil]


Alden terbangun karena mendengar ketukan pada pintunya. Seolah kebiasaan, dia melirik ke jendela, memandangi langit di luar yang terlihat gelap. Dari kaca jendelanya yang basah, sepertinya habis hujan.

Tok tok tok!

Ketukan itu terdengar lagi. Kali ini terdengar lebih tidak sabar. Dan dari sana Alden tahu siapa yang berdiri di depan pintunya.

Tidak peduli, Alden memutar posisinya, kembali bergelung pada selimutnya dan menutup matanya lagi.

Namun setelah beberapa menit berlalu, dia tidak merasakan kantuk lagi, tapi ketukan di pintunya masih ada. Alden mencibir di dalam hati tentang betapa sabarnya Arazki.

Ketika matanya melirik ke arah jam di atas nakas, Alden mengingat sesuatu yang membuatnya refleks terbangun.

Tok tok—

“IYA IYA, GUE UDAH BANGUN, ANJING!”

Alden mengusap wajahnya dengan kasar dan ketukan di pintunya akhirnya berhenti.

Dia tidak mengerti kenapa Arazki hanya mengetuk pintunya dan tidak mengingatkannya untuk menjemput Nadira. Pasti sengaja.

Dengan malas, dia segera bangkit. Melihat ke ponselnya, ada pesan dari Aristian dan yang lainnya. Tapi yang terbaca hanya pesan dari Aristian.

“Jemput Nad jangan lupa.”

“Nad jangan lupa.”

“Nad.”

“Nad jam 4 jangan lupa.”

“Udah jam 4.”

Sialan!

Dia melihat ke arah jam di ponselnya. Pukul 4:32 sore. Dan Arazki pasti sudah berdiri sejak pukul 4 tadi, di sana, mengetuk pintunya dengan malas tanpa berniat bicara apapun.

Orang aneh.

Setelah menghela kasar, Alden pun bangkit. Tidak peduli dengan penampilannya, dia meraih jaket dan kunci motornya serta dompet di atas meja, lalu keluar dari kamarnya.

Saat menuruni tangga, dia melihat Arazki ternyata sudah berada di dapur, membuka kulkas untuk mengambil sesuatu. Alden menggedik tidak peduli dan berjalan menuju pintu sembari memerhatikan di rak sepatu, sepatunya tidak ada.

Pergi ke mana sepatunya?

“Hujan.”

“Anjing!” Alden berjengit kaget. Arazki tau-tau sudah berada di belakangnya dengan sekotak minuman di mulutnya.

“Kata Tian bawa jas hujan.”

“Tau.”

Arazki diam kemudian. Dia memerhatikan Alden dalam kebisuan, kemudian tiba-tiba tersenyum.

Alden yang sedang malas terlibat perdebatan dengan Arazki lantas mengabaikannya dan pergi menuju garasi.

Dia memasang helmnya sendiri dan membawa satu lagi untuk Nadira, kemudian menyalakan motornya dan berjalan keluar garasi.

Namun kemudian dia teringat sesuatu lagi. Dia belum pakai alas kaki.

“Anjing!” Alden merutuki kebodohannya sendiri dan meninggalkan motornya di depan garasi. Dia berjalan dengan tergesa-gesa, melangkah kembali ke arah pintu.

Namun karena terlalu fokus pada tujuan “buru-buru” nya, Alden lupa kalau lantai teras rumahnya licin karena hujan yang besar.

Alhasil, dia terpeleset. Laki-laki itu jatuh terduduk dengan suara gedebuk keras.

Beruntungnya, Arazki yang tengah duduk di ruang tengah melihat itu.

Dia lalu tertawa. Tidak kencang, tapi Alden masih dapat mendengarnya.

“Brengsek! Jangan ketawa!” Alden meringis, dahinya mengernyit kesal dan menahan sakit. Juga menahan rasa malu yang tak terbendung lagi.

Sialan, kenapa harus Arazki yang melihat ini?!

Mencoba bertindak seolah tak terjadi apa-apa, Alden dengan cepat menyambar alas kakinya dari atas rak sepatu dan memakainya. Kemudian pergi dari sana.

Dan Arazki masih tertawa. Bangsat!

***

Alden bersandar di motornya sembari memainkan ponselnya. Dia mencari keberadaan Nadira tapi sepertinya anak itu betah berada di tempat les nya.

Dia membaca lagi pesan terakhir dari Nadira yang terkirim lima menit yang lalu.

Nadira Bentaaaarrr lagi Plissss Lagi sama temennn Plisss ya🥺🥺🥺

Alden berdecak. Apanya yang bentar lagi?

Dia sudah bela-belain ngebut ke sini, tidak ingin Nadira sampai terlalu lama menunggu.

Nadira Kan lo juga yang datengnya telat, ya udah gue masuk lagi sama temen gue😤

Malah nyalahin lagi.

Alden menghela nafasnya. Sebenarnya dia tidak apa-apa menunggu di sini, sampai malam juga tidak masalah, dia malah tidak ingin pulang dan bertemu Arazki. Orang itu pasti akan menertawakannya lagi.

“Anjing.” Alden memaki pada udara. Cekalan di ponselnya menguat. Rasanya ingin meninju seseorang.

Orang-orang yang lewat di sana dan memerhatikannya otomatis bergidik ngeri dan langsung membuang tatapan mereka.

Jujur saja, Alden risi. Dari tadi dia terus diperhatikan orang-orang, padahal dia tidak melakukan hal aneh apapun. Dia juga tidak pargoy? Kenapa orang-orang terus menatapnya?

Alden tidak ingin geer dan mendengus tidak peduli.

“Kak Alden!”

Nadira sudah berdiri di sebelahnya, bersiap mengomelinya tapi Alden bergerak lebih cepat untuk mencubit pipinya.

“Ah—Apaan sih, Kak? Sakit ih lepasin! Lepasin!”

“Lo lama.”

Nadira cemberut. “Ya Kak Alden lagian ditungguin dari tadi gak dateng-dateng, ya udah gue balik lagi ke kelas! Gue tau, lo ketiduran kan? Ngaku!”

Alden tidak ingin repot-repot menjawabnya lalu menengadahkan tangannya ketika dia merasakan rintik hujan mengenai kulit wajahnya.

Dia buru-buru mengeluarkan sesuatu dari paperbag yang digantung di stang motornya, dan menyerahkannya pada Nadira.

“Pake.”

“Hah? Apaan nih?”

“Jas hujan.”

“Hah? Gue udah gede ya, gak—”

“Gue bilangin Tian.”

Nadira mendegus tidak suka dan dengan terpaksa menerimanya. “Ngaduan ih! Males banget!”

“Kak Alden juga harus pake!” Nadira menyerahkan itu kembali kepada Alden.

“Hm. Cuma satu.”

“Boong! Lo sengaja kan cuma bawa satu, Kak! Ya udah gue juga gak pake!”

“Ya udah. Mandi hujan.”

“Ya udah, bagus dong!”

Alden menghela nafasnya melihat Nadira yang begitu keras kepala.

Dia kemudian melepas jaketnya, melingkarkannya di tubuh Nadira lalu menarik ritsleting sampai ke lehernya, tak lupa pula menyerahkan helm kepadanya. Jaketnya kebesaran, tapi dia tidak peduli.

“Kak—”

“Naik.”

Alden tidak menunggu ceramah dari Nadira lagi dan membuyarkan gadis itu yang tercengang atas tindakannya.

Catat ini. Alden kesurupan.

“Eh, Nad! Udah mau pulang?”

Kemudian dua orang gadis yang tidak dikenalnya datang menyapa Nadira.

Nadira lantas menjawab, “Iya, gue udah dijemput ini Kakak gue! Jangan diliatin lama-lama, Kakak gue gigit soalnya, hehe.”

Alden mendengus saja dan sekali lagi tidak peduli ketika dua temannya Nadira memandang ke arahnya, seperti dia sudah terbiasa dengan tatapan itu.

“Oh iya, lo berdua pulang naik apa?”

“Gue? Gue ngekos tuh deket situ tuh, tinggal jalan juga nyampe.” Syakira menjawabnya lebih dulu.

Selanjutnya Dara di sebelahnya menimpali, “Gue dijemput Papa. Tapi gue mau main dulu ke rumah dia. Lo mau ikut?”

“Oh, oke! Kapan-kapan aja gue main. Hati-hati ya!”

“Lo juga hati-hati. Dah, kita duluan.” Syakira menatap pada Alden dan mencoba tersenyum sopan. “Pamit pulang, Kak.”

Alden hanya mengangguk, kemudian dua gadis itu akhirnya pergi dari sana.

“Kak.”

“Hm.”

Nadira menatapnya lagi. Mengerjap-ngerjapkan matanya, dan itu malah membuat Alden semakin jengah.

“Ngomong apa, buruan!”

“Kak, sendal lo kenapa?”

Alden refleks menunduk, melihat ke arah sandalnya, dan dia baru sadar kalau dia sudah memakai sepasang yang berbeda.

Sandal berwarna hitam dan satunya berwarna hijau muda sedikit memiliki hak di bawahnya. Benda nyentrik menjijikan ini milik Andeiro bukan sih?

Harusnya dia bisa merasakan kalau sandalnya tertukar.

Tapi anjing, kenapa dia bisa tidak sadar?!

“Baju lo juga kebalik ya?”

Alden melirik ke kaca spion dan melihat dari sana.

Brengsek! Pantas saja dari tadi orang-orang melihatnya dengan tatapan aneh!

“Lo kenapa dah, Kak?”

“Udah, buruan naik. Keburu hujan.”

Alden segera mengalihkan topik pembicaraan dan Nadira justru meledak dengan tawa.

“Kak, tunggu bentar, bentar, mau gue foto.” Gadis itu berjuang menyelasaikan kalimatnya sementara dia terus tertawa.

“Gue tinggal.”

“Bentar ih foto doang, selfie deh selfie.”

Nadira masih tertawa, seperti puas melihatnya seperti ini. Ingin sekali dia menarik jaket itu kembali tapi mana mungkin dia melakukan itu.

Alhasil dia hanya bisa mendengus pasrah. “Naik. Keburu hujan.”

Nadira perlahan reda dari tawanya dan mengusap sudut matanya yang berair. Dia tersenyum kepadanya. “Kan ada jas hujan.”

“Gue bakar.”

“Dih. Dikit-dikit ngebakar, kayak Kak Arki.”

“Naik!”

“Iya, iya, elah, galak banget sih kenapa? Belum dichat Kak Na—”

Alden menghidupkan mesin motornya dan Nadira segera bungkam lalu dengan cepat naik ke atas motornya. Alden benar-benar akan meninggalkannya jika dia bicara lagi.

Sepasang kakak beradik itu kemudian pergi dari sana. Membelah udara dingin yang dihasilkan karena hujan sebelumnya.

Selama di perjalanan, tidak ada yang berbicara. Alden fokus pada jalanan, sesekali berhenti ketika lampu sudah merah dan berjalan kembali saat lampu kembali menunjukkan warna hijau.

Setelah perjalanan yang cukup panjang, Alden memarkirkan kembali motornya ke dalam garasi sementara Nadira sudah masuk ke dalam rumah.

Tadinya mereka memutuskan untuk mampir sejenak ke minimarket di sekitar rumahnya, tapi karena Alden menolak dan beralasan akan turun hujan, keduanya jadi tidak jadi ke sana.

Karena benar saja, tepat saat mereka memasuki kawasan rumah mereka, hujan kembali turun dengan sangat deras.

Tapi karena itupula Nadira jadi ngambek, namun Alden tidak peduli.

Saat dia akan masuk ke dalam rumah, Arazki berdiri di hadapannya, sepertinya tadi dia hendak pergi ke kamarnya tapi melihat kedatangannya, dia malah tersenyum kepadanya.

Tersenyum seperti tadi.

Sialan ternyata Kakaknya ini sudah tahu dan dia sengaja diam!

“Lo—” Alden berdecak. Dia masih terbayang-bayang dengan kejadian sore tadi.

Memalukan sialan!

Dengan kesal, Alden melengos pergi. Mengabaikan Arazki yang terus menatapnya. Dia juga mengikutinya di belakangnya.

Sampai di lantai atas, Alden masuk ke kamarnya dan kemudian membanting pintunya tepat di depan wajah Arazki yang terus tersenyum.

Alden melempar dirinya sendiri ke atas kasur, tidak peduli dengan bajunya yang terbalik.

Hari ini sial! Sangat sial!

Dia ingin lompat saja dari jendela kamarnya, tapi ketukan pada pintunya menghilangkan segala impiannya.

Alden tidak menanggapinya dan hanya membiarkan pintu itu terus diketuk dan diketuk.

Lalu lama kelamaan semakin heboh sendiri dan Alden yang tidak tahan lagi lantas berdiri mendekati pintu, membuka pintunya hanya untuk melihat Arazki menatapnya dengan wajah sehari-harinya.

“Apaan? Kalo gak ada apa-apa sana—”

“Keluar.”

“Hah?”

“Keluar.”

Kalau Alden gila, maka Arazki jauh lebih gila.

“Lo tuh kenapa sih an—”

Isn't your room.

Alden refleks menoleh ke belakang dan mengedarkan pandangannya lalu melihat bahwa suasana kamar ini berbeda dengan miliknya.

Dia melirik lagi ke Arazki, laki-laki itu tersenyum lagi.

“Anjing, stop!” Alden keluar dari kamar Arazki. Dan pergi ke kamarnya sendiri. Dia membanting pintu kamarnya dengan sangat kencang sampai-sampai Nadira berteriak dari kamarnya.

“APAANSIH LO BERDUA TUH APAAN LAGI?!”

Alden dapat mendengar Arazki tertawa sebelum kemudian suara itu hilang saat dia yakin bahwa Arazki sudah masuk ke kamarnya.

Dia menendang kasurnya, meninju bantalnya, lalu membanting dirinya sendiri ke atas kasur sembari merutuki kebodohannya sendiri.

Apa-apaan kesialan hari ini?!

Hari yang sangat sial! Benar-benar sangat sial!

Brengsek!

Mengingat semua kejadian hari ini, Alden benar-benar merasa malu.

Mencoba mengalihkan ingatan kelamnya, Alden membuka ponselnya dan melihat sebuah pesan suara dari Arazki. Bodohnya Alden, dia malah membukanya.

Dia sudah menduga ini, Arazki tertawa di sana. Terdengar tenang, tapi menyebalkan bagi Alden.

“Bangsat!” Alden membanting ponselnya sendiri ke lantai. Membayangkan bahwa yang dia banting barusan itu adalah Arazki.

Tapi kemudian dia mendapat sebuah ide yang mana membuatnya segera meraih kembali ponselnya yang masih menyala dan menampilkan roomchat dari Arazki.

Dengan perasaan kesal dia lalu membalas pesan dari Arazki.

“Thanks. Udah gue save. Besok gue jual ke base.”

Pesan baru masuk tak lama kemudian.

Arazki Anjing Hapus

Dua pesan itu muncul di layar pop-up-nya dan begitu singkat, tapi berhasil membuat Alden tersenyum kali ini.

Dia melihat ponselnya berdering dan terus berdering, Alden mengabaikan panggilan itu. Sekarang dia yang tertawa.

Kalau dipikir-pikir ternyata harinya tidak terlalu sial. Ini lumayan juga.

alden

....

Alden terbangun di tempat yang asing. Saat dia pertama kali membuka matanya, dia sama sekali tidak mengenali langit-langit kamarnya sendiri, atau memang ini bukan kamarnya?

Tapi Alden sedikit merasa familiar dengan tempat ini.

Bangsat. Alden mengumpat di dalam hati. Dia tidak tahu apakah ini mimpi atau asli. Atau sekarang dia diam-diam dibuang Kakaknya sendiri. Opini yang terakhir sangat tidak masuk akal.

Seolah mendapatkan sesuatu, Alden buru-buru mengecek ponselnya dan melihat bahwa benda ini mati kehabisan baterai, dan sekali lagi Alden memaki di dalam hatinya sendiri.

Dia mengedarkan pandangan, mencari jam, tapi dia tahu di kamar ini tidak mungkin ada jam, karena ini adalah kamar....

Alden membulatkan matanya. Pandangannya mengedar sepenuhnya tanpa ragu dan hampir mengenali suasana ini. Alden segera tahu bahwa ini kamarnya Arazki.

Lebih tepatnya, kamar lamanya.

Dan di sini dia tidak akan menemukan jam karena Arazki tidak pernah memasang jam di kamarnya, entah apa alasannya, lagipula itu sama sekali bukan urusannya.

Mengingat nama Arazki entah kenapa Alden rasanya ingin memukuli setiap inci dari tempat ini.

Oh lagipula bukankah ini mimpi? Jadi, apakah dia bisa menghancurkan tempat ini saja sekarang? Bagaimana kalau membakarnya? Tidak akan berimbas pada apa-apa, kan?

Alden mengusap wajahnya dan menghela kasar. Dia segera menghalau pemikiran itu ketika dia ingat bahwa di sebelah kamar Arazki itu kamarnya sendiri.

Jadi dia harus apa sekarang? Duduk diam di sini sampai dirinya terbangun dari mimpinya?

Oh tentu saja, dia hanya perlu melakukan itu.

“Arazki bangsat, Arazki anjing, asu, babi, monyet, Arki brengsek, bajingan, keparat, sialan, Arazki jancok.”

Tentunya setelah dia puas mengumpat untuknya.

Cahaya terang muncul di sudut matanya, membuat Alden refleks menoleh, dan melihat pintu kamar mandi yang terbuka. Tapi bukan itu yang membuat dirinya terdiam.

Melainkan sebuah bocil yang keluar dari sana, berdiri dengan tatapan tanpa emosi yang juga membalas tatapan tak berekspresi dari Alden.

Tidak ada yang bicara di antara keduanya, sampai kemudian, anak itu tiba-tiba masuk kembali ke kamar mandi dan menutup pintunya dengan kencang.

Alden belum sempat mencerna apa yang baru saja dilihatnya, ketika selanjutnya dia melihat anak itu kembali keluar dengan beberapa botol shampo, sabun, odol kodomo, sikat gigi di tangannya, kemudian dia melemparkan satu persatu ke arahnya.

“Woy!” Alden tentu saja beranjak dari tempatnya duduk untuk menghindar, tapi sialnya, kakinya menginjak sebuah mobil mainan dan alhasil dia tergelincir karena itu.

Alden jatuh terduduk dengan sangat-sangat tidak terhormat.

Ketika dia akan bangkit, Alden ditodong oleh sebuah moncong pistol.

Dia tidak bisa melihat berapa kisaran umur bocah yang menodongnya ini, tapi dari dekat seperti ini, Alden bisa melihat wajahnya dengan jelas meski lampu kamar dimatikan.

Wajah itu ... dia tentu saja mengenalinya dengan jelas.

“Angkat tangan!”

Arazki.

Mendengar suara cempreng yang sangat jauh dengan suara Arazki yang biasanya berat dan datar, Alden menggigit bibir bagian dalamnya, berusaha tidak tertawa. Dia ingat ini dengan jelas, Arazki dan obsesinya menjadi seorang detektif kepolisian.

Alden entah kenapa menurut saja. Seperti waktu itu.

“Tembak,” ujar Alden. Sukses membuat anak di depannya membulatkan matanya.

“Tembak aja, Ki.”

Arazki di hadapannya sedikit membuka mulutnya, tapi tidak ada suara yang keluar. Namun tangannya perlahan turun, menjauhkan pistol mainan itu dari wajah Alden.

Alden melihat anak itu sedikit terpaku, manik gagaknya sedikit melebar tapi ekspresi di wajahnya tidak berubah sedikitpun, tetap netral. Dia juga menangkap anak itu sedikit mengambil ancang-ancang.

Alden menggosok rambutnya sendiri. Sepertinya mimpinya kali ini akan sedikit merepotkan.

“Siapa?”

Alden mengangkat kembali tatapannya dan memandang Arazki di hadapannya yang mengulang pertanyaannya, “Siapa?”

Alden entah kenapa tersenyum miring. “Menurut lo?”

Dia tidak akan repot-repot mengganti gaya bicaranya.

Dan sekali lagi, Alden dapat melihat Arazki tertegun. Dia mundur dua langkah, tapi kemudian maju lagi, menatapnya dalam diam, lalu tiba-tiba mengalihkan tatapannya ke arah lain.

Alden dengan sabar menunggunya. Dia sepertinya ingin mengatakan sesuatu dan tengah berjuang untuk itu.

“Al....”

Alden mendengar anak itu mengatakan sesuatu, tapi dia menggantung kalimatnya, kemudian menggelengkan kepalanya, seolah dia tengah bergelut dengan pikirannya sendiri.

Seolah tau akan mengatakan apa, Alden menjawab, “Iya, bener.”

Arazki kali ini menatapnya secara keseluruhan. Seperti meneliti sesuatu, dari rambut, wajahnya, dan sampai ke ujung kakinya.

Dia kemudian mengangguk mengkonfirmasi.

Setelah keheningan itu, Arazki tidak mengatakan apapun lagi, dia berjalan pergi ke meja belajarnya dan menghidupkan lampu belajarnya kemudian mengatur kecerahannya, lalu membuka bukunya.

Seolah kejadian barusan tidak pernah terjadi.

Anak ini bahkan dengan cepat mengerti situasinya dan tidak penasaran sama sekali tentang dirinya. Ekspektasi Alden telah diinjak sepenuhnya.

Alden ingin terkejut, tapi dia ingat bahwa ini Arazki.

Arazki yang keras kepala, Arazki yang egois.

Dan dia adalah Arazki yang sama.

Mengingat itu entah kenapa membuat Alden merasa ingin menghancurkan sesuatu lagi.

Alden menghela panjang nafasnya. Dia bangun, duduk di kasurnya dan diam di sana. Menunggu waktu sampai dirinya terbangun dari mimpinya.

Tapi setelah beberapa menit keheningan yang cukup panjang, Alden mulai tidak sabar. Kapan dirinya akan bangun? Ini benar-benar mimpi buruknya.

Dia ingin membuka ponselnya, tapi benda itu sudah mati. Apakah dia harus meminta charger ke anak yang dia tahu pasti belum memegang ponsel.

“Arazki Razkan Pradipta. Sembilan tahun. Tiga Juni. Gemini. Darah A. Anak ke empat dari delapan bersaudara.”

Alden sedikit dikejutkan oleh perkenalan tiba-tiba itu.

Dia lantas menoleh dan melihat Arazki sudah duduk menghadap pada dirinya yang mungkin sedari tadi tengah melamun.

Alden tidak mengerti kenapa dia tiba-tiba memberitahukan biografinya sendiri. Tapi dengan informasi itu seolah menjawab beberapa pertanyaan di kepalanya.

Ini berarti dia berada di delapan tahun yang lalu.

Aneh memang, tapi beginilah yang dia lihat sekarang.

Alden tidak ingin membalasnya, tapi melihat Arazki berusaha menyembunyikan satu tangannya yang mengepal di belakang tubuhnya, Alden menangkap sesuatu.

“Panggil aja Alden.”

Arazki terdiam beberapa saat lalu mengangguk kecil.

“Dari mana?” Dia akhirnya berani menanyakan pertanyaan di kepalanya.

“Lo pikir gue tau?” Alden tidak peduli apakah perkataannya ini terdengar judes atau tidak, dia masih kesal dengan Arazki. Meski yang di hadapannya ini versi Arazki yang lugu, tapi tetap saja sama.

“Dari kapan?”

“Gak tau.”

“Gimana caranya?”

“Gak tau.”

“Sampe kapan?”

“Gak tau.”

Kemudian sunyi, tidak ada lagi pertanyaan yang keluar membuat Alden ikut-ikutan bungkam.

Namun dia merasakan sebuah keanehan. Arazki bahkan tidak sedikitpun merasa skeptis kepadanya, dia percaya begitu saja dengannya.

Alden tahu anak di umur segini masih gampang dibodohi, tapi ini Arazki. Tidak mungkin dia dapat percaya begitu saja.

“Beneran Alden?”

Kan.

“Kalo bukan kenapa? Kalo iya kenapa?” Alden membalik pertanyaannya.

Arazki sedikit mengalihkan wajahnya, kemudian kembali mengangkat kepalanya dan menatapnya lagi.

“Mau nanya lagi.”

Alden tersenyum. Benar-benar bukan Arazki sekali minta izin dulu seperti ini.

“Ambilin gue minum dulu.” Dan Alden dengan tidak tahu dirinya menyuruh anak kecil itu.

Mengejutkannya, Arazki tidak protes sama sekali. Dia meraih tas ransel yang digantung di kursinya, lalu mengeluarkan sebuah botol minum dari sana, kemudian dia melemparnya pada Alden yang langsung ditangkap dengan cekatan.

Arazki kemudian kembali bertanya. “Alden?”

Alden mengusap sudut bibirnya dengan punggung tangannya, tidak menatap Arazki yang urung percaya dan mengatakan, “Kalo gak percaya ya udah. Gue tau, sih, ini kayak gak masuk akal? Lo juga pasti bingung kan? Sama.”

But thanks lo udah ngerti situasi gue. Alden ingin mengatakan itu, tapi dia mengurungkan niatnya. Padahal biasanya mudah untuk mengucapkannya namun untuk kali ini entah kenapa lidahnya terasa kelu.

Alden menghargai usaha Arazki yang mencoba percaya kepadanya ketika dia menyadari bahwa Arazki masih sulit menerima fakta ini.

Anak itu kemudian berdiri dari kursinya. Dia berjalan ke arah lemari, mengeluarkan sebuah kotak hitam kecil di tangannya, kemudian mendekat kepada Alden, duduk di sampingnya.

“Boleh tanya?”

Alden merasakan perasaan buruk.

“Kenapa ngasih ini?”

Arazki membuka kotak itu dan memperlihatkan sebuah peluit plastik berwarna kuning.

“Hm.” Alden berusaha keras menghindar dan mencari topik lain. Jika diingat lagi, dia malu juga.

KENAPA YA DIA NGASIH ITU? MANA DIA TAU.

“Keren aja, sih.” Meski nadanya datar, Alden bersumpah dia ingin mengubur dirinya sendiri.

Arazki di sebelahnya hanya diam dengan pandangan yang lurus ke peluit di dalam kotak hitamnya. Tidak bereaksi apapun membuat Alden entah kenapa menjadi canggung.

Tolong bicara sesuatu.

“Hm.”

Mendengar gumaman itu, Alden refleks menoleh. Menunduk hanya untuk melihat ekspresi Arazki sekarang, tidak ada apapun, dan tidak berbicara apapun. Tapi dia jadi menyadari kebodohannya sendiri.

Di hari dia memberikan benda sakral itu kepada Arazki sebagai hadiah ulang tahunnya, dia ingat Arazki tidak mengatakan apapun. Hanya menyemburkan kalimat penghinaan, “Aneh.”

Ya memang aneh, sih. Terus kenapa ujung-ujungnya malah disimpan?

Kalau dipikir-pikir, apa Arazki yang di masa depan masih menyimpannya atau tidak ya? Mungkin sudah dibakar.

“Aku....”

Alden mengernyitkan alisnya. Dia merasa tidak asing dengan gaya bicara ini, tapi karena sudah lama tidak mendengarnya dia jadi merasa sedikit aneh.

Arazki berhenti lagi. Dia kemudian melanjutkan setelah membuang kembali wajahnya ke arah lain. “Aku ... kayak gimana?”

Pertanyaan ini terdengar ambigu, tapi Alden mengerti ke mana arahnya.

“Lo? Ngeselin, emosian, sombong, arogan, keras kepala, egois, pokoknya ngeselin aja sih.”

Arazki sedikit tercenung pada jawaban itu dan meski hanya melihat dari sudut matanya dan Arazki menatap ke objek yang lain, Alden masih dapat menangkap dengan jelas emosinya di matanya, meski dia tidak menunjukkannya secara gamblang.

Alden lantas menjatuhkan dirinya sendiri ke atas ranjang itu dan menutup kedua matanya dengan lengannya. Menunjukkan bahwa dia tidak ingin menjawab pertanyaan lagi.

Kenapa juga dia sedikit merasa bersalah padahal yang dia katakan itu fakta?

“Alden.”

“Hm.” Alden tidak bergerak sedikitpun, tapi dia refleks menjawab panggilan itu dengan dengungan rendah. Meski enggan, dia tetap menunggu Arazki berbicara selanjutnya.

“Kamu....” Arazki menggantung kalimatnya lagi, terlihat ragu untuk mengatakannya. Tapi pada akhirnya dia tetap melanjutkan. “Kamu benci ... aku?”

Pertanyaan itu entah kenapa membuat lidah Alden terasa kelu.

Dia ingin mengatakan sesuatu, tapi dia merasakan suaranya tidak bisa keluar sedikitpun. Jadi dia hanya membiarkan rahangnya menggantung, sedikit terbuka tanpa suara.

Seperti menyadari sebuah hal, Arazki ingin mengatakan sesuatu lagi, tapi dia dikejutkan oleh suara ketukan pintu dan suara panggilan berikutnya yang menyahut.

“Kak, robot Aden udah selesai?”

Alden bangun lantaran terkejut, dan hanya bisa diam di tempatnya. Jantungnya berdegup kencang, dia panik sendiri entah karena apa. Namun masih tetap menjaga dirinya agar tetap terlihat tenang.

Arazki menatapnya sebentar, lalu dia kemudian menjawab, “Belum, nanti!”

“Tapi Aden mau pake sekarang.”

Arazki gelisah. Dia kembali kepada Alden di sebelahnya. “Nanti.” Entah dia tengah bicara kepadanya atau bicara pada Alden di depan pintu.

Arazki sudah siap untuk beranjak kalau-kalau Alden mengetuk pintu lagi. Tapi karena tidak ada suara apapun, dan langkah kaki perlahan menjauh, dia akhirnya menghela nafas lega.

Arazki kemudian tertawa. Yang mengundang tatapan heran dari Alden, tapi dia juga entah kenapa ikut tertawa kemudian.

Setelah mereka dapat reda dari tawanya, Arazki kembali mendongak. Lagi-lagi menatap Alden dengan penuh rasa penasaran. “Mau tan—”

Alden menghela nafasnya. “Dari tadi lo terus yang nanya, sekali-kali gue.”

Arazki menelan kembali pertanyaannya dan menganggukkan kepalanya. “Sekali-kali,” gumamnya, seolah memahami.

“Lo....” Alden menatap Arazki dari atas ke bawah. Tidak yakin apakah dia harus menanyakan ini. Masalahnya, tidak mungkin dia menanyakan “Lo anggep gue apa?” Pada anak ini, kan?

“Kalo semisal, adek lo itu ngikutin lo terus, lo bakal kesel?”

Alden dapat melihat Arazki sedikit mengernyitkan dahinya, namun wajahnya perlahan kembali netral ketika dia akhirnya menangkap siapa yang sedang dibicarakan Alden.

“Jawab jujur. Gue nanya serius.”

Arazki mengerjapkan matanya berkali-kali, nampak sekali bahwa dia terkejut lantaran Alden mengetahui dia akan menjawab dengan omong kosong.

“Kesel.” Arazki menunjukkan raut kesal kepada Alden, memperlihatkan bahwa dia tidak main-main. “Pengen usir jauh-jauh.”

“Oh.” Alden sudah cukup dengan jawabannya. Yah, lagipula apa yang dia harapkan?

“Soalnya takut.”

Alden kembali menatap Arazki ketika anak itu ternyata belum selesai bicara.

“Kalo ngikutin terus ... nanti kamu....” Arazki menolehkan kepalanya ke samping sehingga Alden hanya bisa melihat tangan kecilnya meremat seprai. “... Alden ... tiba-tiba jadi jauh.”

“Terus aku gak bisa nyusul Alden.”

Alden tidak dapat menahan dirinya sendiri untuk tidak membulatkan matanya ketika mendengar penuturan yang lugu dan polos dari mulut Arazki kecil di hadapannya.

Mungkin jika Alden seusianya, dia tidak akan mengerti Arazki bicara apa.

Tapi karena yang mendengarkan adalah Alden yang sekarang, dia tidak perlu bertanya-tanya lagi. Dia mengerti secara keseluruhan.

“Oke. Thanks info.” Dia refleks tersenyum pada jawaban itu.

Arazki tidak akan pernah mengatakan ini kepadanya. Tapi karena yang di hadapannya ini bukan Alden Adiknya, dia tidak ada alasan untuk ragu menjawab pertanyaan darinya.

“Emangnya kenapa?” Arazki ragu bertanya, tapi tetap mencoba percaya diri.

“Gak ada. Cuma lagi mikirin alur cerita.”

“Kamu besarnya jadi penulis?”

“Ogah, gak dulu. Cerita hidup sendiri aja miris, sok-sokan mau ngatur hidup orang lain.”

Arazki menatapnya penuh harap. Baiklah, dia tidak mendengarkannya.

Kemudian hening. Tidak ada lagi salah satu dari mereka yang berbicara. Alden larut dalam pikirannya sendiri, masih memikirkan kapan dia akan terbangun dari mimpinya.

Sementara Arazki nampak gelisah. Dan Alden merasa terganggu dengan itu.

“Kalo mau ngomong tuh ngomong.”

“Hm.” Arazki bergumam. Dia mengeratkan genggamannya di kotak hitam itu.

Sementara Alden diam menunggu dan mencoba sabar. Ini bukan Arazki brengsek yang tidak apa-apa jika dimaki.

Tapi karena dari tadi Arazki tak kunjung bicara, Alden berdecak. “Ck! Kebiasaan banget sih lo! Jelek banget.”

“Kamu besarnya bawel ya?”

“An—ak kecil gak boleh banyak tanya.” Alden mengurungkan niatnya untuk mengumpat.

“Tapi kata Kak Tian malu bertanya sesat di jalan?”

“Itu omongannya yang sesat.”

“Oh.”

Kenapa lo percaya?

“Lo mau ngomong apa tadi?” Alden mulai jengah.

“Emm.”

Ditatapnya anak di sampingnya yang kali ini sepenuhnya menundukkan kepala, memandang kotak di atas pangkuannya.

“Boleh gak ... kalo ... emm.” Jari-jari tangannya menggaruk-garuk dengan lembut di atasnya. Seperti mencoba mengisyaratkan sesuatu.

Alden menghela nafas panjang. Dia menarik tangan Arazki tiba-tiba, kemudian membawanya ke atas kepalanya.

“Pegang aja. Gue gak gigit.”

Arazki tentu terkejut, tapi dia dengan cepat menyesuaikan ekspresinya.

Alden sedikit menunduk agar Arazki bisa menggapai puncak kepalanya, namun dia tidak melewatkan setiap detikpun perubahan emosi Arazki di matanya.

Alden dulu tidak mengerti bahkan kesal lantaran Arazki suka sekali mengacak rambutnya.

Tapi melihat bagaimana mata yang polos itu memancarkan binar kesenangan dan perasaan bangga terhadap dirinya, Alden jadi bertanya-tanya,

Apa Arazki selalu melihat dirinya dengan pandangan seperti ini?

“Hm, udah.” Arazki menjauhkan tangannya.

“Oh.” Alden juga ikut menjauh. Dia kembali menghempaskan tubuhnya sendiri ke atas ranjang dan menutup kedua matanya. Dia ingin mencoba bermimpi dalam mimpi.

Arazki tiba-tiba tertawa. Membuat Alden mau tak mau membuka kembali matanya dan menatap punggung kecilnya yang bergetar lantaran tertawa.

“Napa lo tiba-tiba ketawa?”

“Bener.”

“Hah?” Alden memiringkan kepalanya, mencoba melihat Arazki lebih jelas meski dia duduk membelakanginya.

“Kamu beneran Alden.”

“Jadi dari tadi lo belum percaya? Anj—ah, dahlah.”

Alden membiarkan Arazki tertawa. Namun kemudian anak itu berhenti sendiri lantaran dia mendengar ketukan di pintunya.

“Nak, makan dulu.”

Tidak hanya Arazki, Alden juga membulatkan matanya kala mendengar suara Papanya.

“Nanti.”

“Kamu dari tadi di kamar terus. Kamu kenapa? Gak sakit kan? Papa masuk ya?”

Arazki dengan cepat berlari mendekat ke arah pintu.

Dia memutar kunci untuk mengunci pintunya dan menghasilkan suara 'Klik' lalu menarik kenop pintu berkali-kali dengan cepat. “Pintunya gak bisa dibuka.”

“Hah? Kenapa?”

“Kekunci.”

Alden melihat Arazki melirikkan matanya, menyuruhnya untuk bersembunyi ke kamar mandi.

“Hah? Kok bisa? Kamu coba menjauh dari pintu dulu. Papa coba dobrak.”

Alden mengerti kode itu dan akhirnya bangkit lalu pergi dengan enggan. Dia mengerti karena Arazki mencoba melindunginya.

Dimanapun dan kapanpun, Arazki akan selalu melindunginya.

Alden tahu itu. Dan meski Arazki tidak mengatakannya atau menunjukkannya secara terang-terangan, Alden akan tetap mengetahui itu.

Arazki tetaplah Arazki.

***

Alden kali ini benar-benar terbangun di kamarnya sendiri. Dia menarik nafas panjang dan menghembuskannya dengan kasar sembari mengusap wajahnya.

Mimpi yang aneh, mewakili perasaannya yang aneh. Dan dirinya sendiri yang juga aneh.

Semuanya aneh. Jadi Arazki jauh lebih aneh.

prologue

....

“Lo gak bisa.”

“Bisa.”

“Lo gak bisa.”

“Bisa.”

“Ck!” Arazki menarik kerah seragam Alden dari belakang, menariknya berhenti. “Ngerti gak gue bilang gak bisa tuh gak bisa!”

Alden menepis tangannya, tidak menjawab pertanyaan itu lagi dan berlalu pergi dari gor itu.

Ini adalah tempatnya Arazki dan tidak ada siapapun lagi di sini sekarang, tapi bukan berarti Alden tidak berani padanya.

Arazki di belakangnya berdecak sekali lagi. Dia meninju dinding di sampingnya untuk meluapkan emosinya yang hari ini entah kenapa tidak bisa dia kontrol lagi.

Alden terpaksa berhenti karena aksinya, tapi tetap bergeming, tidak mengatakan sepatah katapun, hanya menatap Kakaknya di sana.

“Kenapa lo ikut campur urusan gue terus?” Arazki mendesis. Nafasnya memburu, dia masih berusaha menahan dirinya sendiri untuk tidak semakin termakan amarahnya sendiri.

“Gue gak suka,” putus Arki. Manik kelam itu memandangnya dengan tajam dan dingin.

Namun seolah tidak terpengaruh sedikitpun, Alden hanya memuntahkan sebuah kalimat, “Terserah.” Dan berbalik lagi untuk pergi.

Arazki mengusap kasar wajahnya. “Lo emang anjing ya!” Arazki menahan Alden sekali lagi, dan untuk terakhir kalinya, Alden menepis tangan itu.

Bugh!

Alden terdorong dan jatuh terduduk setelah dipukul mundur beberapa langkah. Dia tidak meringis ketika Arazki dengan cepat menarik kerah seragamnya dengan kasar, memaksanya berdiri.

Dia dapat melihat dengan jelas amarah yang tajam dari mata Arazki.

“Lo bangsat!” Arazki berteriak di depan wajahnya. Dia mengangkat bogemnya yang mengepal erat tapi tidak kunjung melayangkannya.

“LO BANGSAT!” Arazki mengulang kalimatnya dengan nada yang lebih tinggi, seolah semua kemarahannya terlampiaskan dari sana. Dia akhirnya melepaskan dan mendorong Alden.

Stop ikut campur urusan gue!” Arazki mendorong bahunya. “Gue gak suka!”

“Gue gak suka lo ngikutin gue terus! Gue gak suka lo ganggu urusan gue terus! Gue gak suka lo atur-atur gue terus! Emangnya lo siapa? Lo bukan siapa-siapa!”

“Gue gak suka lo ada di hidup gue!”

Alden tidak bereaksi sedikitpun, tapi kalimat itu menusuknya. Kemarahan Arazki selanjutnya tidak lagi dia dengar, tapi dia membalas semua tatapan Arazki yang menudingnya.

Ketika Arazki berhenti bicara, dia terlihat sedikit linglung dengan nafas yang tersengal-sengal, tapi dia menggertakkan giginya, tangan semakin mengepal erat di samping tubuhnya, dan dia meninju lagi dinding di sampingnya.

Dan Alden hanya diam menatap Arazki, keheningan mengisi ruangan itu, sebelum akhirnya dia berinisiatif untuk membuka suara.

“Gak usah geer.”

Arazki tidak menatap Alden, tapi Alden tahu, di keheningan ini Arazki mendengarkan suaranya dengan jelas. Jadi dia melanjutkan ucapannya.

“Gue gak harus jadi siapa-siapanya lo buat ikut campur urusan lo.”

“Ini kemauan gue sendiri, ini juga buat gue sendiri. Jadi lo gak berhak ngatur-ngatur gue.” Alden dapat melihat Arazki dengan tatapannya yang kali ini dia bungkam sepenuhnya.

Dia tidak peduli lagi apa yang dipikirkannya sekarang. Jika Arazki bisa keras kepala, kenapa dirinya tidak bisa?

Jika Arazki sendiri bisa egois, kenapa dirinya juga tidak bisa?

Persetan jika habis ini dia akan dipukuli habis-habisan. Alden tidak ingin mengalah lagi dan membiarkan dirinya terus-terusan berada di bawah bayangan Arazki. Alden pantas dan mampu, jadi Arazki harus melihat itu.

Namun di luar dugaannya, Arazki tidak mengatakan apapun lagi, tidak membalas apapun lagi. Dia hanya bergeming di tempatnya, diam dengan tatapan yang Alden sendiri tidak bisa tebak artinya.

Tapi Alden tak ingin ambil pusing dan menjadikan ini sebagai kesempatan untuk pergi. Setelah dia mengusap sudut bibirnya dengan punggung tangannya, dia pula beranjak dari sana dan tidak peduli lagi apa yang akan dilakukan Arazki selanjutnya.

***

“Eh, Bang, menurut lo, mending—”

Andeiro segera membungkam mulutnya sendiri ketika Alden berlalu begitu saja melewatinya.

Sebenarnya bukan itu yang membuatnya langsung dengan cepat merapatkan kembali bibirnya, dia hanya entah kenapa merasakan aura tajam yang menusuk darinya.

Tentu saja, dia tidak bisa main-main dengan itu. Maka dia dengan cepat sadar dan menarik dirinya sendiri.

Aristian yang tengah duduk di sofa, menonton siaran berita di televisi tentu saja mengernyitkan dahinya ketika melihat Alden yang baru datang sudah membawa aura permusuhannya sendiri.

“Kenapa?” tanyanya, pada Andeiro.

“Gak tau, Kak, dateng-dateng udah begitu.” Andeiro juga heran. Apalagi dia sendiri juga tidak tahu habis pergi kemana Kakaknya itu, mengingat ini hari Sabtu. Alden biasanya hanya akan menghabiskan akhir pekan ini dengan bermalas-malasan di kamarnya sendiri.

“Abis berantem sama Kak Azka kali.” Nadira yang tidak tahu apa-apa sebenarnya seenaknya menyahut di sebelah Aristian.

“Dih, bocil sok tau.”

“Lo tuh bocil! Cebol!”

“Yeu, tinggian gue dari pada lo, ya!”

“Kalo gue terlahir cowok, gue jamin bakal lebih tinggi dari lo!”

“Tapi kenyataannya lo terlahir sebagai cewek, mana pendek, bulol lagi. Lagian juga gue gak bakal biarin lo ngalahin gue!”

“Tetep bakal gue kalahin.”

“Gak bisa!”

“Bisa!”

Aristian yang tahu bahwa perdebatan ini akan berlangsung panjang, tidak berniat melerainya. Dia beranjak dari duduknya dan pergi ke dapur, meninggalkan keduanya. Lebih baik dia membuat makan malam.

Oh dan tentang makan malam, bukankah seharusnya Arazki sudah pulang beberapa jam yang lalu?

Aristian tak ingin berprasangka buruk, tapi melihat Alden seperti itu tadi, dia jadi tidak bisa menyangkal pemikirannya sendiri.

Apakah keduanya bertengkar lagi?

Aristian hanya bisa menghela nafas pasrah pada kemungkinan itu.

Kesalahan


Alden mematikan ponsel milik Arazki dan meletakkannya ke dalam saku celananya, mengabaikan notifikasi yang masih memenuhi layar ponsel itu. Pikirnya itu tidak penting, paling hanya Andeiro.

Lelaki itu menghela nafasnya, lalu mengusap rambutnya dengan gerakan tergesa. Mengeluh pada sakit yang mendera kepalanya. Untuk yang kesekian kalinya, dia menyesal mengikuti Arazki.

Lagipula cowok kalau diajak ke tempat seperti itu tidak mungkin tidak minum! Ah, ini hanya alasan saja, sih. Dia sedikit tergoda. Dan sekarang dia menyesalinya.

Alden menenggelamkan kepalanya ke atas meja, di antara lipatan tangannya. Lagi-lagi memikirkan Nadira. Apa dia baik-baik saja?

Yah, tentu saja tidak. Anak itu pasti sudah melihat beritanya.

Sekarang apa yang harus dia lakukan?

“Oi, tidur mulu lo! Yeu, remaja jompo!”

Tepukan kasar di bahunya sukses membuat Alden tersentak, tapi tidak membuatnya bergerak. Dari logatnya juga dia tahu itu siapa, hanya teman sekelasnya, tidak penting. Lagipula dia tidak akan ingat namanya.

“Ges, dia aja nih yang jadi perwakilannya.”

Mendengar kalimat itu, Alden sontak saja bangun, duduk dengan posisi tegak sembari menatap orang yang barusan menepuk pundaknya dengan tatapan bertanya yang menghakimi.

“Oh iya, bisa, sih, tapi Aldennya mau gak?”

“Tenang aja, mau dong pasti!”

“Hah? Apaan? Tiba-tiba ngatur?” Alden tidak habis pikir. Dia hanya tiduran loh dari tadi, kenapa masih kena juga?

“Panitia buat bulan bahasa. Kebetulan tahun ini Osis ngasih sistem buat susun panitia dari perwakilan kelas. Katanya biar mempererat silaturahmi sekalian.”

“Ini lo, kan, paling nolep di sini. Gih, berbaur.”

Lah, udah nunjuk, ngatur, ngehina pula?

“Gak dulu,” tolak Alden, mentah-mentah.

“Lah, ayo dong, Den! Lagian ini, kan, buat kebaikan lo sendiri.”

Kebaikan, kebaikan, matamu!

“Udah kali, Ja! Kalo dia gak mau ya gak usah dipaksa.” Salah satu teman sekelasnya yang perempuan menimpali dengan nada jutek. Tapi Alden berterima kasih pada itu.

Laki-laki yang ternyata bernama Reja itu lantas menatap ke arahnya. “Gimana, sih? Terus siapa yang mau?”

“Lo aja gimana?”

“Dih ogah!”

“Nahkan.”

“Lagian kenapa, sih, lo gak mau?” Reja kembali bertanya pada Alden yang tentu saja, dia tidak akan mendapat jawaban apa-apa.

“Ya udah, sih, Ja. Ketosnya Aristian, ketua penyelenggaranya Riana, perwakilan kelas XI MIPA 1 Azuno, masa panitianya pihak Nadira semua. Enak banget tuh cewek problematik dapet banyak pion.”

Suasana kelas mendadak mencekam ketika salah satu siswi di kelas itu menyuarakan isi kepalanya begitu saja. Dan Alden, sama-sama ikut bungkam tanpa berminat untuk melihat siapa yang bicara.

Seolah tidak peduli, Alden lantas bangkit dari bangkunya. Beranjak pergi begitu saja meninggalkan ruangan kelas.

“Woy, Den! Lo mau kemana?”

Dan mengabaikan pertanyaan teman-teman di kelasnya. Meninggalkan mereka tenggelam dalam atmosfer yang mencekam.


“Gue penasaran, lo dapet foto itu dari mana?”

Seorang perempuan dengan rambutnya yang lurus dan dibiarkan tergerai tertawa pelan menanggapi pertanyaan temannya. “Random aja, sih. Mirip soalnya. Lagian merekanya juga tolol semua, gampang banget dibodohin.”

“Gue masih nyimpen satu, sih, tapi yang itu agak ....”

“Biarin aja, nanti kirim ke gue, mumpung lagi seru.”

“Lo ... masih suka sama Raga?”

Pertanyaan itu praktis melunturkan senyum di bibirnya. Dia berhenti di anak tangga ke tiga untuk berbalik menghadap kedua temannya di belakangnya.

“Gue gak ngerti, kenapa cewek cupu yang bisanya ngerengek doang, bisa dapetin semuanya? Gak ngerti, aneh banget.”

“Ya elah, lo masih gak terima, kan, gara-gara tuh cewek, Andeiro ngejauhin lo?” Salsa menanggapi Adel dengan santai.

Adel mendengus pada pernyataan itu. Sementara satu temannya lagi—Tiara—tertawa, merasa lucu.

“Gue gak peduli. Gue bakal bikin dia nyesel udah ngusik gue.”

“Pake foto editan jelek begitu doang gak bakal bikin dia kena mental.”

Ketiga cewek itu sontak menatap ke asal suara, dimana seorang lelaki berdiri tepat di hadapan mereka—di hadapan Adel lebih tepatnya.

“Gak mau ngedrama gue, hapus.”

“Hah? Apaan tiba-tiba nyuruh ngehapus? Hapus apaan, sih!?” Adel berteriak pada Arazki dengan suaranya yang melengking.

“Anjing,” umpatnya, berisik banget nih suara cewek ngelebihin suara speaker bapaknya. “Tolol.”

Arazki merebut ponsel di tangan salah satu dari mereka bertiga.

“Apaan, sih, tiba-tiba ngerebut hp orang?” Adel mencoba menggapai ponsel milik temannya kembali, tapi tidak berhasil lantaran Arazki menahan kedua tangannya.

“Apa pinnya?”

“Hah? Lo pikir kita bakal ngasih? Gak jelas banget lo lagian, balikin!”

“Oke.” Arazki menyimpan menyimpan ponsel itu ke sakunya. Dia malas berhadapan dengan cewek, apalagi tante-tante girang kayak gini. Kalo males ngasih pin, ya sudah ponselnya dia bawa pulang.

“WTF?”

Kan, berisik banget emang ini sirine ambulan.

“Arazki, awas aja lo! Abis adek lo, cewek lo itu yang bakal ngerasain balesan atas kelakuan lo ke gue—”

Adel terkesiap begitu dalam sepersekian detik kemudian, Arazki mendorongnya ke dinding. Mencengkeram kedua pergelangan tangannya dalam satu cekalan, sementara satu lengannya mendorong ke lehernya.

“Mulut lo bacot banget, perlu gue patahin?” tekan Arazki. Irisnya menyorot tajam. “Denger ya, dari tadi gue udah nyoba baik sama lo, tapi lo emang bajingan.”

“Lo pikir karena lo cewek, gue bakal segan sama lo? Is not my own business. Gue bisa patahin tangan sama kaki lo sekarang juga, kalo perlu lo gue bikin cacat di sini.”

Gadis dalam cekalannya meronta, namun usahanya melepaskan tangan Arazki dari mencekal lehernya terasa seperti meniup nasi yang sudah dingin.

Arazki sepertinya tidak main-main dengan perkataannya.

Tepat ketika Adel merasa bahwa hidupnya akan benar-benar berakhir di sana, Arazki secara mengejutkan melepaskan cengkeramannya dari gadis itu.

Dia menghujami dua gadis lainnya dengan tatapan dingin yang menusuk, seolah matanya itu adalah sebuah pedang es yang mampu menusuk dada mereka semua sekarang juga.

Melayangkan sebuah peringatan jika mereka berani macam-macam.

Merasa itu sudah cukup untuk membuat keduanya bungkam, Arazki berbalik menjauh untuk menuruni tangga.

Namun siapa sangka, saat kakinya menuruni anak tangga ke dua, sebuah tangan menyentuh punggungnya, berusaha mendorongnya dengan kencang.

Tetapi Arazki yang refleksnya cepat bahkan menyadari sebelum tangan itu menyentuh punggungnya. Dia tentu saja menghindar dan melihat Adel limbung ke depan karena terkejut.

Arazki sontak membulatkan matanya, begitu pula dengan dua orang lainnya di sana yang refleks mereka menjerit.

Kejadian itu terjadi begitu cepat hingga akhirnya gadis yang akan mendorongnya itu jatuh ke depan dan berguling-guling di tangga, lalu menabrak dinding pembatas di depannya.

Kedua temannya berteriak histeris, lalu berlari mendekati teman mereka yang tak sadarkan diri dengan darah mengerikan di kepalanya.

“Adel! Adel ... bawa Adel ke UKS! Tolongin Adel!”

Dan dengan pemandangan itu, Arazki membeku di tempatnya.

xii

...

“Oagi, bro!”

Arjun menyapa Arki dan Adhitama. Dengan sengaja memelesetkan kata “Pagi” untuk memancing emosi pihak lain, tapi tidak ada tanggapan apapun tentu saja.

Arjun lantas duduk. Dia sudah memutar kursinya menjadi menghadap pada Arki. Di sampingnya, Adhitama terlihat serius pada ponsel milik Arki.

“Lagi ngapain lo?” Arjun mengintip ke sebelahnya, dan memperhatikan layar yang memperlihatkan seorang gadis kartun dengan rambut panjang, gaun bunga, dan pipi memerah. Dia berdiri di bawah pohon, tangan terkunci dalam doa.

Kemudian layar secara bertahap menjadi gelap dan beberapa baris teks perlahan muncul.

Besok adalah kencanku bersamanya.

Akankah dia datang?

Apa dia akan suka biskuit bunga sakura yang ku buat untuknya?

”....” Sekali lagi, rahang Arjun jatuh ke lantai.

“Ki, bajingan itu gak datang,” ujar Adhitama, tiba-tiba. Rahangnya mengeras.

Arjun kembali memerhatikan layar ponselnya yang menunjukkan bahwa gadis muda itu menangis di bawah guyuran hujan.

“Kenapa?” tanya Arki.

Adhitama menggeleng. “Dia bilang bakal datang telat soalnya dia ada meeting penting di perusahaannya. Terus ada tiga pilihan jawaban.”

“Lo pilih apa?”

“Ya gue tegur dia lah!”

Arki mengerutkan dahinya. “Minta maaf.”

“Hah?”

“Minta maaf sama bajingan itu.”

What the—Tapi, kan—”

“Lo pengen dapetin cinta bajingan itu atau gak?”

“Persetan!” Adhitama berdecak dan dengan enggan mengetikkan beberapa rangkaian kalimat permintaan maaf dalam kolom pesannya.

Arjun : “....”

Dua orang ini sedari tadi terlihat begitu serius hanya karena sebuah permainan kencan?

Dan apa-apaan percakapan ini?

“Brengsek, kalo Nad dapet cowok kayak gini, gue tonjok cowoknya, gue patahin kakinya, gue bikin cacat!” Adhitama menggerutu sendiri.

“Wes, wes bro! Mending kantin.” Arjun merangkul Adhitama di lehernya, mencekiknya.

“Gue gak ikut.” Adhitama menghempas tangan Arjun dari lehernya. Dia menyerahkan ponsel itu kembali pada Arki. “Tapi gue nitip.”

“Anjing!” umpat Arjun. “Yuk, Ki, kantin! Sebelum masuk?”

Arki hanya mengangguk sembari menutup ponselnya dan memasukkannya ke dalam saku. Dia lantas beranjak dan mengikuti Arjun di belakangnya.

“Kayak biasa ya, Jun!”

“Ogah, jing! Beli sendiri!”

Kedua remaja itupun akhirnya sampai di kantin, setelah Arjun mengajaknya muter-muter satu sekolah, hanya untuk melewati koridor kelas 12 IPS yang berada di lantai atas, hanya untuk modusin gebetannya.

“Gue belum berani nembak, nanti aja deh, pas purnasiswa,” ujar Arjun, setelah dia cerita panjang lebar tentang betapa sempurnanya gadis yang dia cintai, namun ternyata dia tetap tidak berani mengutarakan perasaannya.

“Lo mau confess di atas panggung?”

“Ya gak gitu juga, sih, anjing! Tapi ... boleh juga sih ide lo.” Arjun mesem-mesem sendiri. Dia sampai di kantin langganan mereka, yang jaraknya sebenarnya tidak jauh dari kelas mereka, itu hanya berada di belakang kelasnya, tinggal muter aja.

“Bu Neng, mau nasi kuning satu, es teh satu!” teriak Arjun.

“Masih pagi Nak Arjun, jangan beli es, yang lain aja.” Bu Neng si Ibu Kantin yang selalu memerhatikan anak-anak di sana berseru dengan nada bercanda tapi tidak ingin dibantah.

Arjun cengengesan. “Ya udah deh, air putih, dingin tapi.”

Ibu kantin itu hanya bisa menggeleng pasrah. “Arjun, Arjun.”

Arjun menoleh ke samping dan dia baru mengingat ada orang lain di sebelahnya. “Eh, Ki, lo mau apa?”

Arki tidak menjawab itu. Dia hanya menatap beberapa makanan ringan yang tersaji di depan matanya, tapi tidak ada keinginan untuk mengambil salah satunya.

Pesanan Arjun sudah selesai. Dia membayar pesanannya, setelah tangannya mengambil beberapa bungkus roti pesanan Adhitama.

“Roti mau?” tanya Arjun, dia menyodorkan satu pada Arki.

Arki tetap tidak membuka suara, tapi tangannya meraih beberapa buah permen lolipop, dan permen lainnya.

“Itu aja? Oh, oke, sama itu, Bu, jadi berapa?”

“Dek Arki kamu tuh sarapan ya makan nasi, makan permen terus? Nanti di kelas, laper pas pelajaran, jadi gak bisa belajar. Itu ambil roti tuh, udah gak usah bayar, buat kamu sarapan!”

Arjun tertawa di sampingnya. “Tuh, Dek, dengerin, Dek!”

Arki hanya mendengus pada Arjun yang meledeknya dan mau tidak mau menerima saja karena terus dipaksa.

Keduanya lantas pergi setelah berterima kasih dan membayar tentunya, kecuali Arki yang uangnya terus-terusan ditolak oleh Ibu Kantin mereka.

Buk!

Arki sedikit terdorong dan melihat ke balik pundaknya, Bara dan satu orang yang tidak dia kenali baru saja lewat dan dengan sengaja menabraknya.

“Anjing tuh orang!” Arjun akan meladeninya, tapi Arki menendang kakinya dan menyuruhnya untuk mengabaikan mereka.

Dengan perasaan gondok, Arjun mengatakan, “Oke, asal baliknya lewat kelas IPS!”

”....”


Hari ini adalah jadwal piketnya Arki, dan karena dia sudah tidak bisa lari lagi, jadi Arki menunggu sampai gadis-gadis itu selesai menyapu kelas agar dia bisa membuang sampahnya.

“Udah tuh, buang!” titah Difani, ketika dia menjadi yang terakhir menumpahkan debu ke dalam sana dan pergi untuk bersiap pulang.

Arki mendengus pada tong sampah yang hampir penuh di hadapannya. Tidak ada orang lain selain dirinya, jadi dia terpaksa harus melakukan ini sendirian.

Setelah ini dia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak kembali lagi ke kelasnya setelah waktu solat Jumat.

Duk!

Arki terkesiap ketika tong sampah yang akan dia angkat ditendang hingga isinya berceceran ke atas lantai.

“Eh, sorry.” Bara si pelaku tersenyum polos. “Kesandung.”

Arki menghela nafasnya.

“Astaga, Barongsai!” Difani berteriak dengan melengking sembari berlari mendekat dengan sapu di tangannya. “Bersihin lagi!”

Tapi Bara justru mendelik kepada Arki, tersenyum mengejek. “Tuh, bersihin! Kelas lo, kan?”

Tanpa menunggu balasan, laki-laki itu kemudian beranjak pergi. Tapi sekali lagi, suara hantaman keras menabrak pada punggungnya. Kali ini, berhasil membuat Bara mengaduh.

“Bangsat!” Dia kembali berbalik, hanya untuk melihat Arki di sana, tersenyum miring.

“Kesandung,” ujarnya, dengan tanpa rasa bersalah.

Bara melotot, wajahnya dipenuhi amarah ketika mengetahui bahwa si brengsek yang tidak tahu malu itu baru saja menendangnya dengan tong sampah.

Tapi dia menelan kembali amarah itu dengan pahit dan berlalu meninggalkannya tanpa sepatah kata sedikitpun.

“KIII?!” Difani berteriak.

Dan Arki yang baru sadar kalau ulahnya telah membuat satu koridor kotor oleh sampah, ingin pergi saja.


Arki dalam perjalanan pergi ke toilet, ketika dia kemudian berpapasan dengan gurunya yang akhir-akhir ini sering sekali dia lihat.

Dia bahkan muak melihatnya.

Tapi Arki entah kenapa sedikit menganggukkan kepalanya ketika Alya yang berjalan ke arah yang berlawanan dengannya menyadari keberadaannya.

Alya juga yang paham dengan sapaan itu membalas dengan anggukan kecil, kemudian berlalu dengan pandangan lurus ke depan, seolah kegiatan sapa menyapa itu tidak pernah terjadi.

Arki sejenak menghentikan langkahnya, terlihat memikirkan sesuatu, tapi kemudian dia kembali melanjutkan perjalanannya setelah beberapa detik terdiam di tempatnya.

Ketika dia berbelok, dia sampai di koridor menuju toilet, dan Arki langsung disambut sesuatu yang menyebalkan.

“Oh, jadi kerjaan lo sekarang caper sama guru?”

Di depan matanya, Bara, dan dua orang lainnya yang tidak ingin Arki tahu siapa namanya sudah berdiri menguasai jalan seolah wilayah itu milik mereka sendiri. Satu orang lainnya fokus pada ponselnya, tenang, tanpa peduli kehadirannya.

Tapi Arki tidak berniat meladeni mereka dan akhirnya memutuskan untuk kembali.

“Gue tebak, dia pasti deketin wali kelasnya biar bisa lulus bebas tanpa syarat.” Bara selalu memulai dengan kata-katanya yang seperti admin lambeturah, dan Arki tidak mengerti kenapa orang ini terus-terusan mencari ribut dengannya. Arki sendiri tidak pernah minat berkelahi dengan orang banyak bicara sepertinya.

“Atau jangan-jangan ada yang lain?”

Arki otomatis berhenti melangkah, tapi tidak berbalik sedikitpun. Dia dapat merasakan Bara tersenyum di balik punggungnya, sehingga Arki dengan cepat ingin kembali pergi dari sana.

“Hei.” Arki diam-diam mengepalkan tangannya ketika tubuhnya sekali lagi malah tertarik untuk mendengarkan omong kosong orang itu.

“Lo ada hubungan apa sama guru lo itu?”

Pertanyaan yang membuat ketegangan semakin menyelimuti mereka.

Arki menghela panjang nafasnya yang terasa berat, tapi tinjunya semakin mengerat di samping tubuhnya.

“Bacot.” Baik, Arki tidak ingin emosi di sini. Jadi dia memutuskan pergi berlari dari sana.

Namun sekali lagi, pertanyaan lain meluncur dan membekukannya di tempatnya.

“Udah ngapain aja lo sama guru lo?”

Arki membuka mulutnya, tapi tidak untuk menjawab. Dia meraup oksigen dari sana kemudian menghembuskannya, lalu dia berbalik menghadap Bara yang merendahkannya.

Arki tiba-tiba bertanya, “Lo tau gak, berapa keliling lapangan sekolah ini?”

Bara terdiam, begitu juga dengan dua temannya yang lain, dan Arkana yang sedari tadi terlihat tidak berminat ikut campur sedikitpun kini ikut melirikkan matanya.

“Negatif empat puluh dua.” Arki tidak berekspresi apapun, tapi dari nada bicaranya, dia jelas terdengar tengah menyombongkan dirinya sendiri.

Bara : “....”

Dua temannya yang lain : “....”

“Lo gak tau kan?” Arki melengos setelahnya. Merasa bahwa orang-orang di hadapannya ini bodoh, tidak punya otak, tidak berguna.

Arkana : “....”

“Itu yang gue lakuin sama wali kelas gue.” Arki tanpa melakukan apapun lagi, dia berbalik dan melenggang pergi dari sana.

Meninggalkan Bara dan yang lainnya, terdiam dengan wajah tidak habis pikir.


Sudah sepuluh menit berlalu sejak bel tanda berakhirnya waktu istirahat berbunyi.

Arki belum kembali ke kelasnya. Dia berputar-putar ke tempat sepi di dekat kantor fakultas, menemukan tangga kosong dan duduk di tangga.

Dia menarik permen lolipop dengan bungkus oranye dari sakunya, merobek bungkusnya, dan menjejalkan permen ke dalam mulutnya.

Dengan permen lolipop di mulutnya, Arki menatap ke ponselnya. Kembali membuka aplikasi permainan dating simulator di sana, dan layar kembali menunjukkan seorang gadis kartun yang tersipu, lalu dua pilihan jawaban memenuhi layar di bawahnya.

Sebelum dia dapat memilih jawaban, suara langkah kaki mendekat. Dentingan hak sepatu pantofel di atas lantai.

Arki tidak melihat ke atas, tetapi orang yang lewat berhenti.

“Arki, ngapain kamu?!” Bu Hilmi dengan buklet ujian di tangannya, menyentaknya.

Tapi Arki tidak terkesan sama sekali dan hanya mengangkat kepalanya untuk membalas tatapan yang mengarah kepadanya.

Bagi Bu Hilmi, Arki hanyalah citra buruk di matanya—kenakalan bandel dengan kualitas buruk yang banyak. Apalagi mengingat bagaimana anak itu seringkali menentangnya.

Semua amarahnya keluar dengan segera. “Kamu pikir sekolah ini tempat apa? Merokok di sekolah? Baru aja kemarin Ibu kasih kamu hukuman buat sadar diri dan jadi pribadi yang lebih baik lagi, gak bisakah kamu sadar diri sedikit?”

Bu Hilmi banyak belajar dan tahu seperti apa kebiasaan remaja yang membangkang. Dan sekarang di tangga, dia melihatnya dengan sesuatu di mulutnya, sebelum akhirnya melompat ke kesimpulan buruk.

Bu Hilmi belum selesai berbicara ketika Arki tiba-tiba tersenyum.

“Saya harus sadar diri?” Pemuda itu berdiri, satu tangan menempel ke dinding. Dia tinggi dan kurus dan enak dipandang. “Menurut Ibu saya orangnya kayak gimana?”

Dalam mulut Arki, permen lolipop itu begitu manis hingga memuakkan, tetapi kata-kata yang diucapkannya tidak seindah itu. “Bu Hilmi, mata Ibu rusak?”

Melihat bahwa itu adalah sebuah permen lolipop, Bu Hilmi tidak mengatakan apapun lagi. Dia mencoba menghindari Arki tapi langkahnya terhenti lantaran Arki memblokir jalannya.

“Ibu lagi buru-buru, saya juga lagi buru-buru. Gimana kalo minta maaf sekarang?”

“Minta maaf,” kata Arki lagi. “Untuk tuduhan bolos kelas yang kemarin juga, minta maaf dua kali terus pergi.”

Bu Hilmi memandang rendah Arki di dalam hatinya. Tentu saja, dia tidak akan merendahkan dirinya seperti itu.

Arki kembali bicara, “Apa itu susah? Sebagai guru, harusnya Ibu bisa ngasih contoh yang baik-baik. Ibu salah, Ibu nuduh saya yang gak-gak, tapi Ibu gak bisa minta maaf?”

Bu Hilmi terdiam di tempatnya.

Arki memancarkan aura yang tajam dan berbahaya, seolah-olah semua energi yang biasanya dia simpan dalam dirinya sekarang dilepaskan, menyelimutinya.

Bu Hilmi merasakan tekanan yang kuat.

Tepat ketika dia berpikir Arki akan meledak, remaja itu tiba-tiba mengambil dua langkah ke samping dan bersandar di dinding, membuka jalan baginya.

Arki mengunyah permen lolipop di mulutnya sampai hanya tongkat yang tersisa.

Bu Hilmi membeku selama beberapa detik setelah akhirnya dia berjalan melewatinya.

Dan ketika dia berbalik, Arki memanggilnya lagi, “Karena nilai saya buruk?”

Di tikungan tangga, Bu Hilmi sedikit menoleh. Dari sudut pandangnya, dia tidak bisa melihat ekspresi Arki.

Arki mencengkeram tongkat plastik putih dan berkata, “Karena nilai saya buruk, saya, menurut Ibu, kayak gimana?”

Bu Hilmi tiba-tiba merasa seperti sepasang tangan yang tak terlihat memegang lehernya. Dia ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak bisa berbicara.


Alya menatap dalam diam Arki yang mencoret-coret kertas di atas meja. Kertas yang berisi soal yang diberikannya kepada Arki untuk dia kerjakan seperti biasa.

Namun melihat Arki hanya sekadar menuliskan angka secara acak dan berantakan, Alya bernisiatif untuk mengambil kembali soalnya.

“Ini caranya begini.” Alya menjelaskan bagaimana memecahkan masalah soal aljabar di soal nomor satu. Dia sedikit melirik, melihat Arki tidak mengatakan apapun dan hanya mendengarkan. Tidak dapat menyangkal bahwa anak ini hari ini sedikit aneh.

Kemana kritik omong kosong itu pergi?

“Udah ngerti?” tanya Alya.

Arki hanya mengangguk dalam diam. Dia kembali mengambil kertas soal itu dan secara mengejutkan dia mulai mengerjakan.

Tapi kemudian dia berhenti, alisnya yang mengernyit menunjukkan bahwa dia berusaha mengingat lagi jalan pengerjaannya dan tidak tahu apa lagi yang tengah dia pikirkan.

Alya sekali lagi yang mengawasinya, menyadari adanya perubahan emosi yang begitu kentara. Dia mengerti anak ini sedang ada masalah, tapi tidak berniat untuk bertanya.

“Ibu.”

Alya sedikit terkesiap begitu Arki memanggilnya dengan suara yang nyaris pelan, dia biasanya tidak perlu memanggilnya jika ingin menumpahkan omong kosongnya.

“Menurut Ibu.” Arki menjeda kalimatnya. Dia mengangkat kepala untuk menatap gurunya, dan melanjutkan, “Saya orangnya kayak gimana?”

xi

...

Adhitama baru saja membantu gurunya ini membawa beberapa tumpuk buku dari kelas IPS, lalu dia diwawancarai setelah meletakkan buku-buku itu ke atas mejanya.

“Adhit, saya tau anak remaja kayak kamu pasti suka main game, kan? Kamu paling deket sama Arki, dia sering main hp di kelas dan gak fokus belajar, kamu tau mungkin apa yang suka dia mainin di hp nya?”

Alya bertanya ini bukan tanpa alasan. Melihat kelakuannya yang di luar batas wajar, dia tergerak untuk melakukan eksperimen lain pada muridnya yang satu itu.

“Love Nikki,” jawab Adhitama.

Alya cukup terkejut tapi tidak membuatnya mengeluarkan reaksi apapun.

“Permainan apa itu?” tanya Alya, mencoba memastikan.

“Saya kurang tertarik sama game ini, tapi adik saya suka main ini juga. Jadi saya tau, itu permainan mendandani karakter perempuan ... ya, kayaknya begitu.”

Dia pikir Adhitama akan menjawab Mobile Legend, atau Genshin Impact, atau sejenisnya, sesuatu yang berbau aksi seperti itu, bukankah laki-laki memang menyukai hal seperti itu?

Alya tidak pernah menyangka bahwa ternyata Arki memiliki selera yang begitu polos dan murni.

”....”

Alya menyipitkan mata skeptis. “Arki suka main itu?”

Adhitama mengangguk. “Yang sering saya lihat, dia sering buka aplikasi itu di kelas.”

Wow, Alya tidak percaya, tapi baiklah. “Arjun juga suka main itu?”

“Gak, Bu, Arjun lebih suka game dari Moonton, saya juga suka ini.”

“Oh, begitu. Ya udah, terima kasih, kamu boleh kembali ke kelas, Adhit. Jangan main game di jam pelajaran!”

Adhitama mengiyakan lalu berpamitan dengan sopan kemudian beranjak pergi dengan berbagai macam pertanyaan di kepalanya salah satunya, kenapa gurunya menanyakan hal itu padanya? Tapi karena Adhitama tidak ingin repot-repot memikirkannya, dia mengabaikan itu.


Saat Adhitama sedang dalam perjalanan ke kelasnya, tiba-tiba seseorang datang dari belakangnya, menabrak punggungnya dan berteriak untuk menyapanya.

Orang itu adalah perempuan, menyebalkan, berisik, mengganggu, dan sayangnya dia adalah Adiknya sendiri.

“Kenapa, Nad?” Adhitama setelah menghela nafasnya berusaha untuk sabar.

“Hehe, gak ada.” Nadhifa terkekeh, menjawab seperti itu tapi tetap mengikuti langkah Adhitama di sampingnya.

Adhitama melirik pada buku kecil dan pena di tangan Adiknya, kemudian membiarkannya saja.

Tepat saat ia sampai dan akan memasuki kelasnya, Nadhifa menarik tangannya.

Adhitama sekali lagi menatap Adiknya, kali ini dengan alis terangkat satu. “Apaan?”

Mengesankannya Nadhifa tidak menjawab itu, dia menyeret Kakaknya menjauh dari pintu, mendorong Kakaknya ke dinding di samping pintu, dan dia merapat di sebelahnya.

Keduanya sudah seperti sepasang penguntit.

“Temen Kakak yang waktu itu—”

“Gak boleh.”

”—Gue mau ketemu—”

“Gak boleh.”

“Ngapain lo berdua? Lagi ngintip ya? Gue aduin Pak Puriman!” Arjun tiba-tiba muncul dari belakang mereka, dengan Arki di sampingnya.

Nadhifa membeku, Adhitama menghela nafasnya, bingung harus tertawa atau menangis.

“Kak—” Nadhifa menelan kata-katanya begitu dia berhadapan langsung dengan orang yang dicarinya.

Sementara itu Arki, tidak menunjukkan ekspresi apa-apa

Adhitama menghela pelan. “Cepetan ngomong, keburu bel!” Dia mendorong pelan pundak Nadhifa, kemudian menatap Arki. “Adek gue mau ngomong sama lo.”

Arki mengangguk paham. Dia lantas menunggu gadis di depannya berbicara.

Arjun yang melihat pemandangan ini mulai memikirkan sebuah alur bergenre skandal dan cinta terlarang.

“Gue....” Tanpa disangka-sangka, Nadhifa tersipu. Dia mengangkat bukunya dan menutupi sebagian wajahnya.

Arjun dan Adhitama saling melempar tatapan.

Nadhifa terdiam sejenak kemudian menarik nafas dalam-dalam untuk menetralkan ekspresinya.

“Gue mau minta tanda tangan lo, Kak!” Nadhifa mendorong buku dan pulpen ke hadapan Arki begitu saja.

Arjun : “....”

Adhitama : “....”

Arki hanya mengangguk dan mengambil pena tanpa komentar apapun.

Nadhifa tersenyum senang, matanya berbinar. Dia menerima bukunya kembali ketika Arki selesai menandatangani bukunya.

Dengan senyum yang masih bertahan di wajahnya, dia mengatakan, “Gue baru kali ini ngeliat tanda tangan sejelek ini.”

Pujian yang membuat Arki mendengus.

Arjun mengatupkan mulutnya serapat mungkin untuk mencegahnya tertawa sekarang juga.

“Tapi gak apa-apa.” Nadhifa menutup bukunya, kemudian tersenyum seanggun mungkin. Dia berterima kasih pada Arki sebelum kemudian melambai kepadanya.

“Lo gak mau minta tanda tangan gue?” tanya Arjun.

“Tanda tangan lo gak laku, konsumen gue lebih tertarik sama Kak Arki,” jawab Nadhifa.

”....”

“Lo kayak mau dagang—”

“Emang, gue mau jual tanda tangan ini.”

Arjun : “....”

Adhitama : “....”

Ide pasar macam apa lagi ini?

Sementara itu Arki melenggang pergi setelah tugasnya selesai.


Karena mata pelajaran hari ini adalah penjaskes, mau tidak mau, anak-anak kelas 12 MIPA 5 seluruhnya berkumpul di lapangan indoor sekolah mereka.

Dengan dipimpin oleh Gusto selaku kepala Gym—Seksi olahraga mereka, semuanya melakukan pemanasan sementara Pak Yadi yang kejam dan menolak memberikan libur pada mereka belum datang.

“Gus, hari ini olahraganya apa?” tanya Farhan.

“Lo nanya gue?”

Farhan berdecih, kemudian berteriak pada Gusto karena pertanyaan yang tidak terjawab.

Dan tepat setelah Gusto mengakhiri pemanasan mereka, guru olahraga datang dengan segerombol manusia lain di belakangnya.

“Hari ini latihan gabungan. Berhubung besok Bapak gak bisa hadir, kelas MIPA 1 Bapak tarik ke sini.”

Semua orang sontak menunjukkan tatapan 'Kenapa gak diliburin aja sehari?!' di mata mereka, tapi tentu tidak ada yang berani mengatakan itu.

Guru ini memang terlampau disiplin.

Tepat ketika Pak Yadi akan melakukan absen, Arki mengangkat tangannya, membuat berpasang-pasang mata serentak menatap kepadanya.

“Saya besok gak bisa hadir kelas, boleh gak saya bawa Bu Novia, Bu Ratih, sama Bu Euis ke sini?”

Ruangan mendadak menjadi sunyi.

Sampai satu orang kemudian memimpin untuk tertawa, disusul oleh orang di sebelahnya dan segera ruangan itu mendadak ramai oleh suara tawa seluruh siswa.

Sementara guru olahraga mereka menatap pertanyaan yang menyinggungnya di balik kacamatanya. Tapi dia tetap tersenyum ramah dan menjawab, “Kalo kamu mau lempar bola sambil bikin satu per empat dari dua ratus kerajinan peta desa pake bahan makanan, boleh, silahkan.”

Arki tidak menjawab itu dan hanya tersenyum tipis pada gurunya.

“Oke karena ini latihan gabungan, ah ... latihannya....” Pak Yadi terlihat memiliki konflik yang besar dalam pilihannya. “Silahkan kalian bisa praktekin teknik roll depan roll belakang—”

“Pak, tolong basket aja!”

“Boleh basket.”

Sebagian bersorak, sebagian lainnya yang tidak menyukai olahraga ini merengut pada pilihan itu.

Kelompok perempuan yang tidak memiliki ketertarikan sama sekali pada olahraga jenis ini memilih menepi dan duduk di bangku penonton, tepat setelah Pak Yadi pamit untuk mengurus sesuatunya yang penting.

Ketika kelas 5 sedang menentukan siapa yang akan main, perwakilan dari kelas 1 maju. Menyeringai pada semuanya, lalu dengan arogan mengatakan, “Gimana kalo taruhan?”

Rehan menggeleng tidak minat. “Gak, makasih. Mending jualan sembako.”

Bara menggedikkan bahunya dan tersenyum merendahkan. “Terserah.”

Arki yang dari awal tidak berminat bermain bola duduk di pinggir lapangan, disusul oleh Adhitama yang mengintip ke ponselnya. “Udah berapa skor lo?”

Arki tidak menjawab itu dan menyodorkan ponselnya ke hadapan Adhitama. “Gimana biar skornya jadi tinggi?”

Adhitama menatap tampilan aplikasi merah muda itu, dan tertawa di dalam hati pada selera fashion Arki yang lumayan, tapi skor tidak berpihak kepadanya.

“Coba gue main.”

Di tengah kelasnya yang sedang berhuru-hara dalam pertandingan hidup dan mati, kedua orang itu larut dalam permainan dandanan mereka sendiri.

Arki sendiri memilih menonton pertandingan di depannya ketika Adhitama mewakilkannya dalam permainannnya. Dia melihat Arjun menggiring bola dengan mengerikan, dia datang hanya untuk mengacaukan segalanya.

Nice shoot, Jun!” Rehan dengan baik hati memujinya. Arjun di sana tersenyum sombong.

“Nih, gimana?” Adhitama menyodorkan ponselnya dan Arki langsung disuguhi sebuah perpaduan antara baju, rok, dan aksesoris yang benar-benar mengerikan.

Tapi skor di atasnya menyukai itu, jadi dia dengan tulus memberinya nilai tinggi.

Arki mendengus. Dengan pahit menerima kembali ponselnya.

Dan tepat ketika dia menatap ponselnya, sebuah bola menghantam dengan tidak sopan ke kepalanya, sebelum kemudian bola menghantam keras ke lantai dan memantul di lapangan beberapa kali.

“Ki?” Adhitama di sampingnya terkejut tentu saja, tapi hanya itu yang keluar dari mulutnya.

“Oh, sorry, sorry, sorry!” Bara tertawa menyesal dari lapangan. Dengan tanpa rasa bersalah mengangkat kedua tangannya. “Tangan gue kepleset.” Alasan tidak masuk akal ia lontarkan sembari matanya memandang rendah orang di pinggir lapangan.

“Lo sengaja, anjing!” Arjun menarik seragam olahraga Bara, bersiap dengan tinjunya.

Tapi seseorang di belakang Bara lebih dulu menendang tulang keringnya dan itu membuatnya berteriak kaget dan kesakitan.

“Arkana bangsat! Apa, sih, masalah lo?!”

Namun orang yang disebut sebagai Arkana bangsat itu tidak meresponnya. Dia malah mengalihkan pandangan, dan berkata pada teman-temannya yang lain. “Balik kelas.” Sebuah perintah.

Bara sebagai anjing yang setia dan takut pada tuannya mendengus dan menurut dengan patuh. Namun tepat saat dia beranjak untuk pergi, sebuah bola mendarat dengan kencang di punggungnya.

Bara berbalik, dan mendapati orang di pinggir lapangan itu mengangkat tangan dengan polosnya.

Sorry.” Arki memasang wajah tidak bersalah. “Tangan kepleset.”

Wajah Bara kembali dipenuhi amarah. Dia berteriak, memaki Arki yang sepertinya tidak mendengarkannya sama sekali, tapi tatapannya mengarah dengan lurus kepadanya. Sementara Rehan mencoba menahan Arjun yang akan maju.

Dan Arkana di samping Bara mengawasinya, sebelum kemudian dia kembali berbalik untuk beranjak pergi dari sana. Mengabaikan pertengkaran teman sekelasnya.

x

...

Di jam pertama di hari Selasa yang menyenangkan ini, dewi fortuna memberkati kelas 12 MIPA 5 mereka dengan keberuntungan.

Keberuntungan itu berupa jam kosong.

“Ki, serius amat lo, lagi main apaan?” Arjun yang entah sejak kapan sudah kembali dan kini berada di sampingnya merangkul pundaknya dan mengintip ke ponselnya dengan roti di mulutnya.

Lalu beberapa detik kemudian, roti itu terjun bebas dari mulutnya ke lantai begitu saja.

”... Lo main apaan, Ki?” Wajahnya terlihat shock.

Adhitama yang penasaran ikut mengintip sedikit dengan melongokkan kepalanya, tapi kemudian dia tidak bereaksi apapun dan dengan santai mengatakan, “Love Nikki.”

Arjun dengan cepat dan dengan ekspresi yang masih sama menoleh dan menatap pada Adhitama.

“Adek gue juga suka main itu, Ki. Gue gak nyangka lo suka main itu juga,” lanjut Adhitama, mengabaikan Arjun yang menatapnya dengan penuh kebingungan.

“Gitu doang reaksi lo, Dhit?” kritik Arjun.

“Terus gue harus gimana? 'Woah kaget.' Begitu? Kayak gak pernah liat game cewek aja lo.”

“Tap-tapi kan ... lo serius main itu, Ki?” Arjun beralih kembali pada Arki.

Dan responnya hanya gedikkan bahu yang tidak begitu peduli.

Arjun hendak berkomentar lagi, tapi Reza tiba-tiba datang dengan membawa berita. “Lomba antar kelas nanti lari estafet! Empat orang buat jadi perwakilan kelas, siapa yang mau angkat tangan!”

”....”

Tidak ada yang dapat menjawab pertanyaan itu tentu saja, semuanya tidak mengerti apa-apa.

“Apaan, sih, Ja?!”

“Ngomong yang bener, gak salam lo, atheis lo?”

“Besok HUT Dharmasraya, jing! Kan gue udah pernah bilang, nah ini gue baru dapet info lombanya apaan dari anak Osis!”

Jika di perlombaan seperti ini, mereka akan diberi tahu secara mendadak tentang rangkaian acaranya dan lomba apa saja yang melibatkan tim. Sengaja, Osis sialan itu ingin melihat mereka ketar-ketir.

“Gue, sama Gusto!” Rehan si ketua kelas mengangkat tangannya sembari menunjuk Gusto yang sedang memakan nasi kuning di sampingnya. Remaja itu tidak mengatakan apapun dan hanya mengacungkan jempolnya yang artinya dia setuju.

“Oke, dua lagi siapa?”

“Gue sama Arki!”

Seluruh pasang mata serentak menatap ke makhluk-makhluk yang mengisi bangku paling belakang.

Arjun di sana, mengangkat tangan seraya menunjuk Arki dan merangkulnya dengan santai.

“Arki, serius lo mau?”

“Mau lah dia mah, paling seneng kalo lari-lari begini!” Arjun menepuk-nepuk pundaknya dengan sedikit kencang.

Namun karena tidak ada komentar apapun dari si empunya, semua orang menganggap bahwa dia tidak keberatan.

“Oke, Arki masuk!”

Tapi sayangnya, Arki yang sejak tadi tidak peduli dan sedang mengenakan earphone di telinganya tidak mengerti kenapa namanya tiba-tiba disebut. Dia baru mendengar di bagian ini.

“Hah?”

“Sip! Semangat, bro!” Arjun menepuk pundaknya lagi. Itu sudah jadi kebiasaannya jadi Arki tidak akan begitu menggubrisnya, tapi dari tadi apa yang sudah orang ini bicarakan tentangnya?

Arki akan bertanya, tapi Pak Puriman tiba-tiba muncul dengan kepala yang menyembul dari balik jendela yang berada di dekatnya.

“Hayo, jam kosong ya? Pada ke kantin ya?”

Pemandangan horor dan mengejutkan ini tentu saja membuat satu kelas terdiam.

“Gak, Pak. Kita mah gini-gini tau kapan waktunya boleh keluar kelas sama gak boleh keluar kelas, Pak!” ujar Farhan, dengan sekantong plastik makanan di tangannya, permen di mulutnya.

“Oh tau. Berarti itu kantinnya ya yang ke sini?” Pak Puriman mengangguk-anggukkan kepalanya.

Satu kelas terdiam. Jelas sekali, setelah ini mereka harus menggantung Farhan di tiang bendera.

“Lagi pada bahas apa?” Pak Puriman memangku tangannya di bingkai jendela, sepertinya dia tidak akan pergi dari sana jika pertanyaannya tidak dijawab.

“Strategi perang dunia, Pak!” Spontan Reza menjawab begitu.

Pak Puriman mengernyit bingung.

Difani yang kebetulan tengah berada di sebelahnya mencubitnya sembari tersenyum pada gurunya. “Maksudnya, lagi persiapan belajar buat ujian tahun depan, Pak. Ujian adalah perang, kita harus menang.”

“Oh, bagus itu! Itu baru murid Dharmasraya!” Pak Puriman menoleh kepada Arki. “Kamu? Kamu belajar apa?”

Arki diam tidak menjawab. Tapi Pak Puriman dapat melihat layar ponselnya. “Oh, Kamu ini sigap ya ternyata, tapi itu masih lama, Nak. Kamu masih SMA. Jalan kamu masih panjang.”

“Rencana buat punya anak perempuan dari awal itu udah bagus, tapi kamu harus tau juga kamu harus mapan dulu buat nikahin pacar kamu.”

Arjun yang sudah tahu apa yang dilihat Pak Puriman mati-matian menahan tawanya.

Sementara satu kelas bertanya-tanya apa yang sudah dilihat Pak Puriman di ponsel Arki.

Apa sudah muncul keberadaan perempuan tidak waras yang berani menyusun komitmen bersama Arki? Siapakah nyonya besar itu?


Hari itu, tepat di hari Rabu, di awal bulan Agustus, sekolah Dharmasraya merayakan awal perjalanan masa kejayaannya.

Di lapangan olahraga itu, lomba lari estafet 4 x 400 meter antar kelas akan dilaksanakan. Perlombaan belum mulai, tapi para siswa sudah berkumpul di sana. Lapangan itu menjadi sangat ramai.

“Gusto pelari satu, Rehan pelari dua, Arjun pelari tiga, Arki pelari empat.” Reza menyusun struktur perang mereka.

Arki tidak tahu kenapa dia terseret juga, tapi dia tidak banyak berkomentar dan terlihat begitu santai dengan sebuah permen di mulutnya.

“Gue tau, Ki, lo emang goblok di pelajaran, tapi gak kalo di olahraga, kan?” Arjun yang tiba-tiba berada di sebelahnya berbisik.

Arki tidak menjawab itu. Dia menyikut Arjun agar menjauh darinya dan berdiri di posisinya.

Beberapa menit setelah perundingan, lomba akhirnya dimulai. Teman-teman sekelasnya berada di pinggir lapangan. Mereka berteriak menyemangatinya.

Dengan cahaya yang bersinar di punggung mereka, subjek manusia sedikit dibayangi. Selusin peserta berdiri di belakang garis putih.

“Bersiap—”

Sebuah tembakan menandakan awal acara lari estafet 4 x 400 meter.

Tepat saat pelari pertama mulai berlari, Reza sebagai perwakilan kelas MIPA 5 di sana memberikan pidatonya lewat mic MC.

“Saya dari kelas 12 MIPA 5, berterima kasih kepada peserta lain yang telah berpartisipasi dalam acara ini. Tapi kami—Oh! Oh! Peserta dengan nomor punggung dua ratus delapan belas berhasil menyalip peserta bernomor empat belas di depannya!

“Salip, Salip! Ah, bego! Buang aja tongkat lo sana, gak guna!”

Seluruh siswa : “....”

Reza melupakan pidatonya dan beralih profesi menjadi komentator toxic.

“Gusto, go, Gusto!”

“Kenapa dia larinya cepet banget? Santai aja.”

“Ayo kita pikirin pake cara lain. Perwakilan gym orang yang kuat!”

“Kuat matamu!”

Gusto berlari dengan santai ke arah Rehan. Meski santai begitu, kakinya begitu cepat berlari dan dia sudah sampai di hadapan Rehan.

Seperti yang diharapkan dari seorang atlet lari.

Melihat lawannya tumbang semua karena kata-kata tajam Reza, Rehan mengacungkan jempolnya pada Reza dan menepuk pundak Gusto, kemudian dia mulai berlari, mengabaikan yang di belakangnya.

Reza kemudian teringat pada pidatonya. “Ya, saya dari kelas 12 MIPA 5 berterima kasih pada seluruh peserta yang sudah berpartisipasi, tapi kami sangat menyesal, kalian hanya menjadi aktor pendukung kecil dalam drama luar biasa ini. Pada akhirnya kemenangan hanya akan menjadi milik kami.

“Pulanglah dan mengadulah kepada Ibumu.”

Rehan hampir tersandung mendengar itu, tapi dia dengan cepat menyeimbangkan kembali tubuhnya dan menyerahkan tongkat kepada Arjun.

Di sisi lain, seluruh lawannya benar-benar dijatuhkan oleh setiap kalimat Reza.

Menerima tongkat itu, Arjun masih sempat berpose ke arah kamera seorang siswi dari ekskul jurnalistik, sebelum kemudian dia mulai benar-benar berlari dengan langkah yang ceroboh, tapi itu tetap tak membuatnya ketinggalan di belakang.

Those narcisstic guy!” dengus Adhitama.

“Jadi pusat perhatian itu nomor satu!”

Arjun sampai di depan Arki setelah beberapa saat. Meninggalkan sangat jauh lawannya di belakangnya.

“Bro, lari!” Arjun menyerahkan tongkat ke tangan Arki.

Tapi siapa sangka, Arki malah menatap heran Arjun dan tongkat di tangannya. “Gue mau tongkat yang lain.”

“Cok, serius!” Arjun mendorong Arki agar dia berlari, dan Arki benar-benar berlari, tapi hanya setengah perjalanan. Dia kembali lagi ke titik awalnya berdiri.

Cowok itu melepaskan jaket yang tersampir di pundaknya.

Pemandangan itu membuat siswi dari kelas lain menjerit-jerit. Padahal itu hanya adegan melepas jaket.

“Pegangin,” ujarnya pada Arjun.

“Ki? Lo lagi lomba, inget, kan?” tanya Arjun.

Arki mengamati lapangan di depannya seperti meneliti sesuatu. “Gimana kalo gue lempar aja tongkatnya ke sana?”

“Ki, yang bener aja?!” Arjun berteriak tidak percaya.

“Gue males lari.”

“Stop bercanda, anjing! Lo udah ketinggalan jauh!”

Di tengah situasi lawannya yang mulai menyalip di depannya, Arki menyisir rambutnya ke belakang sebagai gerakan refleks. “Lo percaya gue bakal kalah?”

”....”

Anak perempuan di kelas lain pingsan berdiri berjamaah.

“Brengsek! Dia belum lari tapi udah bertingkah kayak gitu! Mana keren!” Farhan mencibir dan merasa iri di pinggir lapangan.

Arki mendengus, dia dengan santai memasang kuda-kuda untuk berlari. Dan dia kemudian dengan cepat melesat, memotong dua orang lainnya yang sudah berada di depannya dengan mudahnya.

Dalam hitungan detik garis finish berada di depan matanya.

Semuanya merasa kagum pada kecepatan itu. Yang lainnya hanya kagum pada betapa tampannya dewa ini.

“Lihat! Lihat! Udah, yang lain pulang aja! Udah tau, kan, siapa pemenangnya?” Reza entah kenapa masih memegang mic dan berteriak di sana. “Tiga, dua, satu! Serukan seluruh energi kelas kita!”

Ketika Arki berlari mendekati mereka, Farhan memimpin mereka untuk bersorak. “Kelas 12 MIPA 5 pemenang! 12 MIPA 5 pemenang!”

“Siapa yang bawa kita ke tempat pertama?”

“Arki! Arki! Arki!”

Mereka berteriak tiga kali.

Arki setengah putaran di tempat pertama, tinggal sedikit lagi saat dia mencapai garis finish, dia berhenti. Mengangkat tongkat di tangannya dan berdiri menghadap teman-temannya di pinggir lapangan.

Gerakan itu tentu membuat seluruh pasang mata dari berbagai penjuru di sekolah itu otomatis mengarah kepadanya.

Suasana di sana mendadak menjadi sangat hening.

Di tengah nafasnya yang terengah-engah, Arki lalu berkata, “Gue bisa bawa dua tongkat untuk dua kemenangan.”

Teman-teman kelasnya bersorak pada kesombongan itu. Anak perempuan di kelas lain bersorak pada gerakan Arki yang sekali lagi dengan refleks menyisir rambutnya ke belakang.

Dengan suara yang cukup lantang, Arki bertanya lagi, “Siapa yang bakal menang?”

Kelas MIPA 5 berteriak, “Arki!”

“Lebih keras?”

“Arki!”

Arki jelas terlalu larut dalam tindakan itu dan menyeret kelas 12 MIPA 5 untuk bermain bersamanya. Kelengketan itu terasa tebal di udara, dan begitu percaya diri sehingga itu menyilaukan mata.

Arjun di sana menepuk dahinya.

Ketika semua orang terlalu fokus pada primadona kelas MIPA 5 mereka, seseorang dari kelas lain mengambil kesempatan untuk berlari dan akhirnya sampai di garis finish.

Satu kelas : “....”

Kelas 12 MIPA 5 tidak memenangkan tempat pertama, tapi nama mereka akan dicatat dalam buku sejarah Dharmasraya karena malu yang luar biasa.

Wakil kepala sekolah memuji semangat anak-anak itu. “Orang-orang muda memang sangat menarik.”

Wali kelas mereka yang menyaksikan pertandingan mengharu biru itu mencoba berpikiran terbuka, dia berusaha mempertahankan senyumnya.

Piala solidaritas kelas sudah cukup untuknya. Dia benar-benar tidak mengharapkan yang lain lagi.

Beberapa teman sekelas yang paling bersemangat sebelumnya sekarang telah duduk di kursi mereka. Membungkukkan badan, berusaha mengubur wajahnya dari rasa malu yang begitu besar.

“Sial, gue malu banget sampe rasanya pengen balik ke SD aja!” Farhan berkata dengan suara teredam.

“Gue rasanya bisa mati gara-gara ini.” Ardi menyahut di sebelahnya. Dia menepuk punggung Nova.

“Diem, gue udah mati,” timpal Nova.

Menjelang waktu penutupan, perlombaan telah berakhir.

“Ki, nih minum.” Arjun menyerahkan sebotol air putih dingin kepada Arki, yang langsung diterimanya tanpa suara apapun dari mulutnya.

“Woy, bersihin sampahnya!” Rehan bangkit dan berteriak, sementara dia sibuk menggotong kursi kelasnya.

Di sekelilingnya, terdengar suara berbagai kelas yang tengah menyeret kursi mereka kembali ke ruang kelas.

“Sebenernya, ini gak buruk juga.” Gusto menginterupsi di tengah kesibukan teman-teman sekelasnya. “Oh iya, tadi waktu ke sini, perwakilan kelas MIPA 1 ngetawain kita, dia bilang, “Tempat pertama, kan? Dari belakang.”

Difani berdecih. “Jijik banget. Mentang-mentang menang.”

“Dia gak tau aja kalo Arki sengaja kalah, iya, kan, Ki?” Arjun menepuk-nepuk punggungnya.

Kompetisi olahraga telah berakhir dan sekarang, menyebutkan acara ini hanya akan membuat semua orang ingin tertawa.

Dan di sana, seseorang memimpin, lalu mereka semua akhirnya tertawa ketika mengingat peristiwa itu. Arki yang paling bermuka tebal berbalik, mundur ke belakang mereka, dia berusaha menahan tawanya di sana sembari menundukkan kepala.

“Duh, males banget besok udah pelajaran penjas!” Farhan mengeluh di tempatnya. Dia berteriak kencang. “Bisa libur aja gak, sih?”

“Coba ngomong ke Pak Yadi,” balas Gilang.

“Gus, ngomong, Gus!” Farhan menyuruh Gusto.

“Kok gue?!”

“Kerja, kerja!” Reza mendendang keduanya di bokongnya.

“Habis ini bakal pulang atau belajar lagi?”

“Berharap apa lo sama Dharmasraya?”

Pada akhirnya, pertandingan itu hanya akan menjadi cerita konyol untuk cucu mereka nanti. Sebuah sejarah yang patut dibanggakan.

“Gak apa-apa kita gak menang, kita masih punya piala kebanggaan sendiri.”

Juga piala solidaritas kelas yang sama-sama patut dibanggakan.

x

...

Di jam pertama di hari Selasa yang menyenangkan ini, dewi fortuna memberkati kelas 12 MIPA 5 mereka dengan keberuntungan.

Keberuntungan itu berupa jam kosong.

“Ki, serius amat lo, lagi main apaan?” Arjun yang entah sejak kapan sudah kembali dan kini berada di sampingnya merangkul pundaknya dan mengintip ke ponselnya dengan roti di mulutnya.

Lalu beberapa detik kemudian, roti itu terjun bebas dari mulutnya ke lantai begitu saja.

”... Lo main apaan, Ki?” Wajahnya terlihat shock.

Adhitama yang penasaran ikut mengintip sedikit dengan melongokkan kepalanya, tapi kemudian dia tidak bereaksi apapun dan dengan santai mengatakan, “Love Nikki.”

Arjun dengan cepat dan dengan ekspresi yang masih sama menoleh dan menatap pada Adhitama.

“Adek gue juga suka main itu, Ki. Gue gak nyangka lo suka main itu juga,” lanjut Adhitama, mengabaikan Arjun yang menatapnya dengan penuh kebingungan.

“Gitu doang reaksi lo, Dhit?” kritik Arjun.

“Terus gue harus gimana? 'Woah kaget.' Begitu? Kayak gak pernah liat game cewek aja lo.”

“Tap-tapi kan ... lo serius main itu, Ki?” Arjun beralih kembali pada Arki.

Dan responnya hanya gedikkan bahu yang tidak begitu peduli.

Arjun hendak berkomentar lagi, tapi Reza tiba-tiba datang dengan membawa berita. “Lomba antar kelas nanti lari estafet! Empat orang buat jadi perwakilan kelas, siapa yang mau angkat tangan!”

”....”

Tidak ada yang dapat menjawab pertanyaan itu tentu saja, semuanya tidak mengerti apa-apa.

“Apaan, sih, Ja?!”

“Ngomong yang bener, gak salam lo, atheis lo?”

“Besok HUT Dharmasraya, jing! Kan gue udah pernah bilang, nah ini gue baru dapet info lombanya apaan dari anak Osis!”

Jika di perlombaan seperti ini, mereka akan diberi tahu secara mendadak tentang rangkaian acaranya dan lomba apa saja yang melibatkan tim. Sengaja, Osis sialan itu ingin melihat mereka ketar-ketir.

“Gue, sama Gusto!” Rehan si ketua kelas mengangkat tangannya sembari menunjuk Gusto yang sedang memakan nasi kuning di sampingnya. Remaja itu tidak mengatakan apapun dan hanya mengacungkan jempolnya yang artinya dia setuju.

“Oke, dua lagi siapa?”

“Gue sama Arki!”

Seluruh pasang mata serentak menatap ke makhluk-makhluk yang mengisi bangku paling belakang.

Arjun di sana, mengangkat tangan seraya menunjuk Arki dan merangkulnya dengan santai.

“Arki, serius lo mau?”

“Mau lah dia mah, paling seneng kalo lari-lari begini!” Arjun menepuk-nepuk pundaknya dengan sedikit kencang.

Namun karena tidak ada komentar apapun dari si empunya, semua orang menganggap bahwa dia tidak keberatan.

“Oke, Arki masuk!”

Tapi sayangnya, Arki yang sejak tadi tidak peduli dan sedang mengenakan earphone di telinganya tidak mengerti kenapa namanya tiba-tiba disebut. Dia baru mendengar di bagian ini.

“Hah?”

“Sip! Semangat, bro!” Arjun menepuk pundaknya lagi. Itu sudah jadi kebiasaannya jadi Arki tidak akan begitu menggubrisnya, tapi dari tadi apa yang sudah orang ini bicarakan tentangnya?

Arki akan bertanya, tapi Pak Puriman tiba-tiba muncul dengan kepala yang menyembul dari balik jendela yang berada di dekatnya.

“Hayo, jam kosong ya? Pada ke kantin ya?”

Pemandangan horor dan mengejutkan ini tentu saja membuat satu kelas terdiam.

“Gak, Pak. Kita mah gini-gini tau kapan waktunya boleh keluar kelas sama gak boleh keluar kelas, Pak!” ujar Farhan, dengan sekantong plastik makanan di tangannya, permen di mulutnya.

“Oh tau. Berarti itu kantinnya ya yang ke sini?” Pak Puriman mengangguk-anggukkan kepalanya.

Satu kelas terdiam. Jelas sekali, setelah ini mereka harus menggantung Farhan di tiang bendera.

“Lagi pada bahas apa?” Pak Puriman memangku tangannya di bingkai jendela, sepertinya dia tidak akan pergi dari sana jika pertanyaannya tidak dijawab.

“Strategi perang dunia, Pak!” Spontan Reza menjawab begitu.

Pak Puriman mengernyit bingung.

Difani yang kebetulan tengah berada di sebelahnya mencubitnya sembari tersenyum pada gurunya. “Maksudnya, lagi persiapan belajar buat ujian tahun depan, Pak. Ujian adalah perang, kita harus menang.”

“Oh, bagus itu! Itu baru murid Dharmasraya!” Pak Puriman menoleh kepada Arki. “Kamu? Kamu belajar apa?”

Arki diam tidak menjawab. Tapi Pak Puriman dapat melihat layar ponselnya. “Oh, Kamu ini sigap ya ternyata, tapi itu masih lama, Nak. Kamu masih SMA. Jalan kamu masih panjang.”

“Rencana buat punya anak perempuan dari awal itu udah bagus, tapi kamu harus tau juga kamu harus mapan dulu buat nikahin pacar kamu.”

Arjun yang sudah tahu apa yang dilihat Pak Puriman mati-matian menahan tawanya.

Sementara satu kelas bertanya-tanya apa yang sudah dilihat Pak Puriman di ponsel Arki.

Apa sudah muncul keberadaan perempuan tidak waras yang berani menyusun komitmen bersama Arki? Siapakah nyonya besar itu?


Hari itu, tepat di hari Rabu, di awal bulan Agustus, sekolah Dharmasraya merayakan awal perjalanan masa kejayaannya.

Di lapangan olahraga itu, lomba lari estafet 4 x 400 meter antar kelas akan dilaksanakan. Perlombaan belum mulai, tapi para siswa sudah berkumpul di sana. Lapangan itu menjadi sangat ramai.

“Gusto pelari satu, Rehan pelari dua, Arjun pelari tiga, Arki pelari empat.” Reza menyusun struktur perang mereka.

Arki tidak tahu kenapa dia terseret juga, tapi dia tidak banyak berkomentar dan terlihat begitu santai dengan sebuah permen di mulutnya.

“Gue tau, Ki, lo emang goblok di pelajaran, tapi gak kalo di olahraga, kan?” Arjun yang tiba-tiba berada di sebelahnya berbisik.

Arki tidak menjawab itu. Dia menyikut Arjun agar menjauh darinya dan berdiri di posisinya.

Beberapa menit setelah perundingan, lomba akhirnya dimulai. Teman-teman sekelasnya berada di pinggir lapangan. Mereka berteriak menyemangatinya.

Dengan cahaya yang bersinar di punggung mereka, subjek manusia sedikit dibayangi. Selusin peserta berdiri di belakang garis putih.

“Bersiap—”

Sebuah tembakan menandakan awal acara lari estafet 4 x 400 meter.

Tepat saat pelari pertama mulai berlari, Reza sebagai perwakilan kelas MIPA 5 di sana memberikan pidatonya lewat mic MC.

“Saya dari kelas 12 MIPA 5, berterima kasih kepada peserta lain yang telah berpartisipasi dalam acara ini. Tapi kami—Oh! Oh! Peserta dengan nomor punggung dua ratus delapan belas berhasil menyalip peserta bernomor empat belas di depannya!

“Salip, Salip! Ah, bego! Buang aja tongkat lo sana, gak guna!”

Seluruh siswa : “....”

Reza melupakan pidatonya dan beralih profesi menjadi komentator toxic.

“Gusto, go, Gusto!”

“Kenapa dia larinya cepet banget? Santai aja.”

“Ayo kita pikirin pake cara lain. Perwakilan gym orang yang kuat!”

“Kuat matamu!”

Gusto berlari dengan santai ke arah Rehan. Meski santai begitu, kakinya begitu cepat berlari dan dia sudah sampai di hadapan Rehan.

Seperti yang diharapkan dari seorang atlet lari.

Melihat lawannya tumbang semua karena kata-kata tajam Reza, Rehan mengacungkan jempolnya pada Reza dan menepuk pundak Gusto, kemudian dia mulai berlari, mengabaikan yang di belakangnya.

Reza kemudian teringat pada pidatonya. “Ya, saya dari kelas 12 MIPA 5 berterima kasih pada seluruh peserta yang sudah berpartisipasi, tapi kami sangat menyesal, kalian hanya menjadi aktor pendukung kecil dalam drama luar biasa ini. Pada akhirnya kemenangan hanya akan menjadi milik kami.

“Pulanglah dan mengadulah kepada Ibumu.”

Rehan hampir tersandung mendengar itu, tapi dia dengan cepat menyeimbangkan kembali tubuhnya dan menyerahkan tongkat kepada Arjun.

Di sisi lain, seluruh lawannya benar-benar dijatuhkan oleh setiap kalimat Reza.

Menerima tongkat itu, Arjun masih sempat berpose ke arah kamera seorang siswi dari ekskul jurnalistik, sebelum kemudian dia mulai benar-benar berlari dengan langkah yang ceroboh, tapi itu tetap tak membuatnya ketinggalan di belakang.

Those narcisstic guy!” dengus Adhitama.

“Jadi pusat perhatian itu nomor satu!”

Arjun sampai di depan Arki setelah beberapa saat. Meninggalkan sangat jauh lawannya di belakangnya.

“Bro, lari!” Arjun menyerahkan tongkat ke tangan Arki.

Tapi siapa sangka, Arki malah menatap heran Arjun dan tongkat di tangannya. “Gue mau tongkat yang lain.”

“Cok, serius!” Arjun mendorong Arki agar dia berlari, dan Arki benar-benar berlari, tapi hanya setengah perjalanan. Dia kembali lagi ke titik awalnya berdiri.

Cowok itu melepaskan jaket yang tersampir di pundaknya.

Pemandangan itu membuat siswi dari kelas lain menjerit-jerit. Padahal itu hanya adegan melepas jaket.

“Pegangin,” ujarnya pada Arjun.

“Ki? Lo lagi lomba, inget, kan?” tanya Arjun.

Arki mengamati lapangan di depannya seperti meneliti sesuatu. “Gimana kalo gue lempar aja tongkatnya ke sana?”

“Ki, yang bener aja?!” Arjun berteriak tidak percaya.

“Gue males lari.”

“Stop bercanda, anjing! Lo udah ketinggalan jauh!”

Di tengah situasi lawannya yang mulai menyalip di depannya, Arki menyisir rambutnya ke belakang sebagai gerakan refleks. “Lo percaya gue bakal kalah?”

”....”

Anak perempuan di kelas lain pingsan berdiri berjamaah.

“Brengsek! Dia belum lari tapi udah bertingkah kayak gitu! Mana keren!” Farhan mencibir dan merasa iri di pinggir lapangan.

Arki mendengus, dia dengan santai memasang kuda-kuda untuk berlari. Dan dia kemudian dengan cepat melesat, memotong dua orang lainnya yang sudah berada di depannya dengan mudahnya.

Dalam hitungan detik garis finish berada di depan matanya.

Semuanya merasa kagum pada kecepatan itu. Yang lainnya hanya kagum pada betapa tampannya dewa ini.

“Lihat! Lihat! Udah, yang lain pulang aja! Udah tau, kan, siapa pemenangnya?” Reza entah kenapa masih memegang mic dan berteriak di sana. “Tiga, dua, satu! Serukan seluruh energi kelas kita!”

Ketika Arki berlari mendekati mereka, Farhan memimpin mereka untuk bersorak. “Kelas 12 MIPA 5 pemenang! 12 MIPA 5 pemenang!”

“Siapa yang bawa kita ke tempat pertama?”

“Arki! Arki! Arki!”

Mereka berteriak tiga kali.

Arki setengah putaran di tempat pertama, tinggal sedikit lagi saat dia mencapai garis finish, dia berhenti. Mengangkat tongkat di tangannya dan berdiri menghadap teman-temannya di pinggir lapangan.

Gerakan itu tentu membuat seluruh pasang mata dari berbagai penjuru di sekolah itu otomatis mengarah kepadanya.

Suasana di sana mendadak menjadi sangat hening.

Di tengah nafasnya yang terengah-engah, Arki lalu berkata, “Gue bisa bawa dua tongkat untuk dua kemenangan.”

Teman-teman kelasnya bersorak pada kesombongan itu. Anak perempuan di kelas lain bersorak pada gerakan Arki yang sekali lagi dengan refleks menyisir rambutnya ke belakang.

Dengan suara yang cukup lantang, Arki bertanya lagi, “Siapa yang bakal menang?”

Kelas MIPA 5 berteriak, “Arki!”

“Lebih keras?”

“Arki!”

Arki jelas terlalu larut dalam tindakan itu dan menyeret kelas 12 MIPA 5 untuk bermain bersamanya. Kelengketan itu terasa tebal di udara, dan begitu percaya diri sehingga itu menyilaukan mata.

Arjun di sana menepuk dahinya.

Ketika semua orang terlalu fokus pada primadona kelas MIPA 5 mereka, seseorang dari kelas lain mengambil kesempatan untuk berlari dan akhirnya sampai di garis finish.

Satu kelas : “....”

Kelas 12 MIPA 5 tidak memenangkan tempat pertama, tapi nama mereka akan dicatat dalam buku sejarah Dharmasraya karena malu yang luar biasa.

Wakil kepala sekolah memuji semangat anak-anak itu. “Orang-orang muda memang sangat menarik.”

Wali kelas mereka yang menyaksikan pertandingan mengharu biru itu mencoba berpikiran terbuka, dia berusaha mempertahankan senyumnya.

Piala solidaritas kelas sudah cukup untuknya. Dia benar-benar tidak mengharapkan yang lain lagi.

Beberapa teman sekelas yang paling bersemangat sebelumnya sekarang telah duduk di kursi mereka. Membungkukkan badan, berusaha mengubur wajahnya dari rasa malu yang begitu besar.

“Sial, gue malu banget sampe rasanya pengen balik ke SD aja!” Farhan berkata dengan suara teredam.

“Gue rasanya bisa mati gara-gara ini.” Ardi menyahut di sebelahnya. Dia menepuk punggung Nova.

“Diem, gue udah mati,” timpal Nova.

Menjelang waktu penutupan, perlombaan telah berakhir.

“Ki, nih minum.” Arjun menyerahkan sebotol air putih dingin kepada Arki, yang langsung diterimanya tanpa suara apapun dari mulutnya.

“Woy, bersihin sampahnya!” Rehan bangkit dan berteriak, sementara dia sibuk menggotong kursi kelasnya.

Di sekelilingnya, terdengar suara berbagai kelas yang tengah menyeret kursi mereka kembali ke ruang kelas.

“Sebenernya, ini gak buruk juga.” Gusto menginterupsi di tengah kesibukan teman-teman sekelasnya. “Oh iya, tadi waktu ke sini, perwakilan kelas MIPA 1 ngetawain kita, dia bilang, “Tempat pertama, kan? Dari belakang.”

Difani berdecih. “Jijik banget. Mentang-mentang menang.”

“Dia gak tau aja kalo Arki sengaja kalah, iya, kan, Ki?” Arjun menepuk-nepuk punggungnya.

Kompetisi olahraga telah berakhir dan sekarang, menyebutkan acara ini hanya akan membuat semua orang ingin tertawa.

Dan di sana, seseorang memimpin, lalu mereka semua akhirnya tertawa ketika mengingat peristiwa itu. Arki yang paling bermuka tebal berbalik, mundur ke belakang mereka, dia berusaha menahan tawanya di sana sembari menundukkan kepala.

“Duh, males banget besok udah pelajaran penjas!” Farhan mengeluh di tempatnya. Dia berteriak kencang. “Bisa libur aja gak, sih?”

“Coba ngomong ke Pak Yadi,” balas Gilang.

“Gus, ngomong, Gus!” Farhan menyuruh Gusto.

“Kok gue?!”

“Kerja, kerja!” Reza mendendang keduanya di bokongnya.

“Habis ini bakal pulang atau belajar lagi?”

“Berharap apa lo sama Dharmasraya?”

Pada akhirnya, pertandingan itu hanya akan menjadi cerita konyol untuk cucu mereka nanti. Sebuah sejarah yang patut dibanggakan.

“Gak apa-apa kita gak menang, kita masih punya piala kebanggaan sendiri.”

Juga piala solidaritas kelas yang sama-sama patut dibanggakan.