Darkizhit

ix

...

Alya memijat pangkal hidungnya. Nafasnya berhembus dengan kasar bersamaan dengan itu, dia menundukkan kepala, terlihat sedang memilih keputusan apakah dia harus melompat atau berguling ke jurang.

Kertas itu di tangannya, tepat di depan matanya, tulisan menyeramkan berbaris dan mengganggu jiwanya. Itu benar-benar tidak bisa dibaca sama sekali.

Matematika adalah angka. Jika sudah bertemu dengan huruf, maka itu menjadi mematikan. Setelah melihat tulisan ini, dia merasa pepatah itu tak sepenuhnya salah.

Alya merasa Arki sepertinya lagi-lagi tidak serius menjawab soalnya dan mengisi ini dengan omong kosongnya.

Tapi masalahnya, apa yang coba dituliskan anak itu di sini?

Alya sudah belajar membaca tulisan, membaca karakter dalam tulisan, jadi jika dia melihat yang begitu berantakan, contohnya tulisan dosen pembimbingnya dahulu, Alya masih bisa memahaminya.

Tapi tulisan berantakan yang satu ini, ini bukan lagi berantakan, ini mengerikan.

Alya membawa kertas itu mendekat ke wajahnya. Bahkan ukiran namanya sendiri tidak terbaca. Jika dia tidak melihat dengan mata kepalanya sendiri siapa yang menulis ini, dia merasa dia tidak akan pernah mengetahui apa kalimat yang ditulis di dalam kolom nama itu.

Namun bagaimanapun juga, Alya tidak akan menyerah.

Apakah ia mencoba bermain-main dengan tulisannya? Maka Alya akan menanggapinya dengan serius.

Tapi baru beberapa menit dia mencoba bertahan membaca tulisan itu dan mencoba memecahkan kode angka yang dituliskannya, Alya kembali memijat pangkal hidungnya sembari menghela nafas.

Soal ini adalah tentang limit tak hingga fungsi aljabar trigonometri, tapi isi jawabannya penuh dengan rumus bangun datar.

Oke, pertama, apa hubungannya bangun datar dengan limit fungsi?

Kedua, materi ini bahkan tidak diajarkan lagi di SMA.

Ketiga, kenapa dia begitu percaya diri menuliskan rumus-rumus ini padahal dia menulisnya dengan sangat salah?

Alya tidak mampu mengeluarkan kalimat apapun, bahkan di dalam hatinya sendiri. Dia menatap kertas di tangannya dengan tatapan seperti ingin memakan orang.

Apakah di matanya simbol kuadrat ini adalah bentuk bangun datar? Atau dimana dia bisa melihat bangun datarnya? Apa dia sudah gila?

Alya merasa menyesal sudah memberikan akses khusus untuk anak itu dan bersedia menjadi guru tutor pribadinya.

Tapi Alya tentu tidak bisa menarik kembali rencananya karena di sini, dia akan mempelajari seperti apa anak itu sebenarnya.

Sekarang, dia tinggal harus bertemu lagi dengan malaikat maut magang ini.


Arki yang berdiri di depan mejanya berdengung menyenandungkan sesuatu dengan pelan, sementara satu anak perempuan lain yang bertugas untuk menjemputnya gemetaran di sebelahnya dengan wajah memerah.

“B-bu, i-ini Arki. S-saya boleh ke kelas s-sekarang?” Anak kelas sebelah itu berbicara dengan gagap.

Alya mengernyitkan dahinya. Apa anak ini takut dengannya atau dengan orang yang ada di sebelahnya?

Alya mengangguk dan tak lupa mengucapkan terima kasih. Setelahnya, siswi itu akhirnya pergi setelah menghela nafas lega, seolah-olah dia sudah bebas dari penjara.

“Kamu apain dia?” tanya Alya. Dia takut siswanya ini melakukan tindakan pembulian.

“Ngikutin dia.”

Alya tidak mengerti pada jawabannya tapi Alya tidak akan mempermasalahkan itu sama sekali karena bukan itu tujuannya memanggil muridnya ke sini.

“Kamu tarik kursi itu, terus duduk.”

Arki mengikuti ucapan gurunya tanpa bicara apapun. Dia menarik kursi dari salah satu meja yang terlihat kosong karena mungkin pengajar yang menempati meja itu tidak masuk hari ini.

Arki duduk menghadap pada Alya, tapi pandangannya tidak fokus sama sekali.

“Arki.”

Alya memanggilnya hanya untuk mendapatkan sedikit perhatiannya, namun Arki tidak menyahutnya, tapi hanya sedikit melirik kepadanya. Baiklah, yang penting anak ini mendengarkannya.

“Materi mana yang kamu gak ngerti?”

“Ada materi apa aja?”

Alya terdiam beberapa saat. “Oke, kamu gak ngerti semuanya.”

“Gimana cara kamu nangkep pelajaran di kelas? Apa gaya belajar kamu?”

“Gaya punggung.”

“Gaya belajar, Arki.”

“Punggung saya yang nangkep pelajaran, jadi karena dia biasanya ngadep belakang, saya gak bisa nangkep apa-apa.”

Alya menahan dirinya untuk tidak memijat pangkal hidungnya dan menunjukkan bahwa dia putus asa sekarang.

Wanita itu mengutuk dalam hatinya. Dia memutuskan untuk mengganti topik pembicaraannya saja.

“Apa yang biasa kamu lakuin di rumah selain belajar?”

“Ibu gak punya rumah?”

“Punya.”

“Terus kenapa nanyain kehidupan rumah saya? Ibu mau nyontek?”

”....”

Oke Alya bersumpah, kalau di sini ada kamera, Alya akan mengangkat tangannya, mengambil kamera itu dan memukulkannya pada anak ini.

“Ada pelajaran yang kamu minati?”

“Ada apa aja?”

“Oke, kita ke pelajaran saya aja.” Alya menunjukkan kertas soal milik Arki yang tadi tanpa meladeni pertanyaan bodohnya yang sebelumnya.

“Kamu bisa jelasin kenapa bisa kamu ngisi soal limit fungsi pake rumus bangun datar?”

Arki memangku dagunya dengan jari-jarinya, raut wajahnya terlihat serius memikirkan jawaban apa yang akan dia ucapkan kemudian.

“Emang kenapa?” Pada akhirnya hanya rangkaian kata itu yang dia utarakan.

“Jawaban kamu gak masuk sama soalnya.”

“Emang beda?”

“Beda!” Alya membalik kemudian membanting pelan kertas itu ke atas meja, memperlihatkan sisi lainnya yang masih kosong. “Oke, kalo kamu mau soal bangun datar, saya kasih kamu soal itu.”

Alya menggambar sebuah ilustrasi lapangan sepak bola berbentuk persegi panjang. “Ini ada lapangan sepak bola, panjangnya dua puluh sentimeter, lebar dua belas sentimeter. Berapa jumlah keliling lapangan sepak bola ini?”

“Ngapain saya keliling lapangan sepak bola?”

“Saya gak suruh kamu keliling lapangan sepak bola, hitung aja. Oke, apa rumusnya?” Percayalah, Alya mati-matian berusaha menahan suaranya agar tidak naik dua oktaf. Dia tidak ingin menunjukkan emosinya saat ini meski dia akui anak ini memang pantas dipukuli.

Namun Arki tidak mengatakan apapun. Jadi Alya berinisiatif untuk mengeja rumusnya, “Dua dikali apa?”

“Panjang tambah lebar,” sambung Arki. Matanya kemudian menatap pada kertasnya. “Apa rumus keliling lingkaran?”

“Untuk apa itu?”

“Dimasukin ke sini.” Arki menunjuk kertasnya.

“Gak, Arki, ini persegi panjang!”

“Katanya lapangan sepak bola, berarti ada bolanya, kan?” Arki mengernyit bingung.

“Ya terus kenapa?”

“Masa bolanya gak dihitung? Kasian banget.”

“Gak, gak ada bolanya, maksud saya—Oke, lapangan ini habis disambar petir jadi dia berubah jadi lapangan upacara!”

Arki mengangguk paham.

Alya frustrasi sendirian.

“Jadi berapa jumlahnya?” tanya Alya.

Arki mencoret-coret kertas, kemudian dia bergumam, “Dua dikali panjang ditambah lebar ... ditambah tinggi.”

“Arki, ini keliling persegi panjang.”

“Tinggi untuk tiang bendera, tiang bendera juga bagian dari lapangan upacara, Ibu mau ninggalin dia juga?”

Alya rasanya ingin menjambak rambut anak di depannya. Sekarang dia bisa menarik sebuah fakta baru, bahwa anak ini sebenarnya banyak bicara. Banyak bicara omong kosong.

“Gak ada tiang bendera, ini lapangan upacara yang baru selesai dibangun, jadi belum ada tiangnya.”

Arki bergumam “Oh” kemudian kembali mencoret-coret lembar soal, di bawah soal yang gurunya tulis. Kemudian dia bergumam, “Berarti ... dua dikali dua puluh, ditambah dua belas.” Dia berhenti berbicara sebentar, lalu akhirnya menemukan jawabannya.

“Negatif empat puluh dua.”

Alya menyandarkan tubuhnya ke kursi, bahunya jatuh dengan lemas, helaan nafas keluar begitu panjang sementara kedua tangannya mengusap wajahnya.

Bolehkah dia menyerah?

Dari mana dia mendapatkan empat puluh dua? Kenapa bisa jadi negatif?

Dosa apa yang sudah dia lakukan di masa lalu sehingga dia harus terjebak di sini?

“Salah,” ujar Alya.

“Negatif empat puluh tiga?”

Kamu pikir ini kuis berhadiah?

“Salah.”

Arki berdecak pelan. “Oh, negatif empat puluh empat.”

“Saya tanya dulu sama kamu, dari mana kamu dapat negatif?” tanya Alya.

Arki mengernyitkan dahinya. Dia menatap kembali pada tulisannya sendiri, dan kemudian sepertinya dia sendiri tidak mengerti apa yang sudah dia tulis.

Jadi dia menggelengkan kepalanya.

Alya mencoba bersabar. “Gini cara ngerjainnya.”

Pada akhirnya Alya menjabarkan soal sederhana ini dengan bahasa yang selugas mungkin, sampai akhir.

Arki setelah lama menyimak pembahasan yang begitu menambah wawasan ini akhirnya berdengung. Dia mengetukkan pulpennya ke atas meja berkali-kali dengan cepat.

“Jadi kalo panjangnya sepuluh, lebarnya lima, dua dikali sepuluh tambah lima. Harus hitung yang di dalam kurung dulu ... di dalam kurung, sepuluh ditambah lima.”

Alya mengangguk dalam diam pada celotehan anak muridnya. Dia berpangku tangan, mendadak teringat hari di mana dia masih seorang siswi, pemberontak dan penasaran pada jati dirinya sendiri.

Saat itu, Wali kelasnya yang menjengkelkan akan berkata kepadanya, “Kamu udah punya cita-cita? Kalo belum, saya saranin kamu jadi guru. Kamu cocok di bidang itu, kalo kamu gak percaya, coba aja. Ah, Alvairo sama Anstian juga, kalian cocok jadi guru, loh.”

Alya yang sebenarnya tengah istirahat di kantin bersama dua temannya, tidak menyangka akan kedatangan tamu tidak diundang dan hadir di antara mereka bertiga.

Dan tamu itu adalah Pak Rama, Wali kelas mereka.

Anstian mengangguk dan tersenyum sopan. “Makasih, Pak. Saya kebetulan emang ada rencana mau lanjut ke pendidikan.”

“Oh, bagus itu bagus. Semoga kamu masuk ranking eligible sekolah kita ya, kalian bertiga itu—ah gak, semua murid Bapak itu pantes direkomendasikan SNMPTN.”

“Kalo jadi guru gajinya berapa, Pak?” Alvairo bertanya dengan tidak sopannya.

Namun Pak Rama hanya tertawa menanggapi itu. “Gaji itu bukan apa-apa. Dibanding gaji, Bapak lebih suka ngumpulin kesan sama murid-murid, Bapak. Ikatan itu jauh lebih mahal dari uang.”

Alvairo terkagum pada jawaban gurunya, namun beberapa saat kemudian, dia menyipitkan matanya dan tersenyum aneh. Sebuah hal yang tidak pantas berkeliaran di kepalanya, dan Pak Rama sepertinya mengerti artinya.

“Kamu gak mikir aneh-aneh, kan?” tanya Pak Rama.

Alya mengabaikan obrolan di sekitarnya dan berpikir, jika dia benar-benar mendapatkan kesempatan SNMPTN, apakah tidak apa-apa jika dia menerimanya?

“Gak usah ragu, kalian semua pantes dapetin itu. Anggap aja, itu hadiah dan kenangan terakhir dari sekolah untuk kalian.”

Ucapan Pak Rama membuyarkan lamunan Alya sehingga dia secara otomatis mengangkat kepala, dan menatap gurunya yang duduk di hadapannya.

“Jadi, kalo kalian dapet SNMPTN, ambil aja. Itu rejeki kalian.”

“Negatif tiga puluh.” Arki menuliskan jawabannya dengan penuh percaya diri. Setelah menulis beberapa buah angka dengan mengerikan di atas kertas, Arki memukul meja dengan sedikit kencang. “Selesai.”

Alya kembali pada dirinya sendiri dan melihat ke atas kertas.

Orang itu, Arki. Dia telah melakukan penelitian dan merancang teknik perhitungannya sendiri selama hampir setengah jam ... dan masih berhasil mendapatkan jawaban yang salah.


Arki berlari sepanjang koridor untuk kembali ke kelasnya. Begitu dia sampai dengan nafas yang tersengal-sengal, dia melihat guru sejarahnya sudah berada di depan kelas, tengah mengajar, dan sekarang dia menatap padanya.

Satu kelas menjadi semakin hening.

Guru sejarah kemudian menunjuk murid yang terlambat dengan spidol di tangannya. “Pertanyaan khusus untuk murid yang terlambat, datang dan jawab soal dari Ibu. Menurut kamu, apa langkah pertama yang dilakukan jika Indonesia mengalami kekosongan pemerintahan?”

“Menyerah dan pergi ke soal berikutnya.”

Bu Hilmi : “....”

Satu kelas : “....”

“Maksud saya, ini soal, kan? Daripada saya buang-buang waktu buat pertanyaan yang gak bisa saya jawab, mending pergi ke soal berikutnya.”

Setelah keheningan yang lama, seseorang tidak bisa lagi menahan dengusan tawa. Kemudian seluruh kelas mulai tertawa terbahak-bahak.

“Hahahahahaha, pertanyaan berikutnya.”

“Jenius, jenius.”

Bu Hilmi mencoba mengerutkan kening dengan sangat serius tetapi pada akhirnya juga hancur. “Nilai kamu gak bagus, dan kamu seenaknya sama waktu, apalagi di jam pelajaran Ibu? Kamu pikir ini sekolah punya kamu?”

“Maunya, sih, begitu.”

Bu Hilmi semakin mengerutkan dahi, sementara kelas sudah kembali tanpa suara. “Kamu ini, datang terlambat, disuruh belajar gak mau. Nilai kamu tuh gak ada yang bagus. Terus kamu di sini masih pengen main-main?”

Seisi ruangan kelas mendadak dipenuhi atmosfer mencekam. Ketegangan tergambar jelas di wajah mereka yang berada di mejanya.

“Kamu gak akan jera kalo hukumannya simple buat kamu. Kamu harus ngerti kalo waktu itu penting. Pergi berdiri di lapangan!” titah Bu Hilmi.

Rehan dan beberapa orang lainnya di dalam kelasnya terkejut mendengarnya. Ini adalah tengah hari, rasanya tidak pantas menyuruh seseorang berjemur di tengah lapangan di saat seperti ini.

“Kenapa saya harus dihukum?” Arki bertanya.

“Kamu bolos kelas saya.”

“Saya gak bolos, Bu, saya habis belajar, Ibu bisa tanya Bu Alya sekarang.”

Bu Hilmi tidak membalas, tapi dia memandang angkuh murid laki-laki di hadapannya, seolah tidak peduli dengan perkataannya. Padahal dia hanya menghindar, dia sudah menarik kesimpulan yang salah, tapi dia tidak ingin membiarkan dirinya sendiri merendah dengan harus meminta maaf.

“Tadi saya habis belajar hitung keliling lapangan sama Wali kelas saya.” Arki tanpa diduga kembali bicara.

“Ibu tau gak jumlah keliling lapangan sekolah ini berapa? Negatif empat puluh dua. Ibu udah tau belum?”

”....”

Bu Hilmi tidak berkata apa-apa untuk beberapa saat. Tapi kemudian bibirnya semakin melengkung ke bawah. “Ini jam pelajaran saya, kalo kamu lebih suka belajar matematika, silahkan, kamu bisa keliling lapangan buat hitung berapa jumlahnya! Pergi sekarang!'

Arki mengangguk, tapi tak kunjung pergi. Matanya menatap teman-temannya, kemudian kembali menatap Bu Hilmi di depannya.

“Ibu gak ikut lari juga sama saya?”

Bu Hilmi melotot. “Kenapa saya harus lari di lapangan juga?”

“Ibu kan pernah datang telat juga di kelas ini.” Arki berkata lagi, “Kalo Ibu lupa, saya bakal ingetin sebagai murid Ibu yang tahu betapa pentingnya waktu.”

Bu Hilmi diam-diam mengutuk anak di hadapannya ini.

Arki tersenyum miring. “Lari sama saya?”

“Begitu cara kamu ngomong sama guru?” Bu Hilmi tertawa mengejek di dalam hatinya. Dari matanya dia memandang rendah murid berandalan yang selalu membawa kesan buruk padanya.

“Tunjukkin rasa bersalah kamu, tundukin kepala kamu! Kamu harusnya menyesal sama kesalahan kamu sendiri, bukan malah ngomong begitu sama saya.”

“Apa orang tua kamu gak ngajarin kamu? Kamu kayak orang yang gak pernah sekolah. Selama ini kamu ngapain aja di sekolah?”

Saat menjadi wali kelasnya, Bu Hilmi bukan tidak mampu mengajarinya, dia hanya tidak ingin begitu peduli pada satu murid bermasalah ini dan membuang-buang waktunya. Jadi dia menutup mata dan membiarkan anak ini melakukan apapun sesukanya.

Namun sayangnya, semua orang meninggalkan kesan negatif terhadapnya. Dan karena itulah, Bu Hilmi menganggap orang ini benar-benar menyusahkan.

Wanita itu menunjuk ke pintu keluar, kemudian dia berteriak, “Keluar!”

“Kamu harus belajar sadar diri sendiri!”

“Keluar sekarang!”

Arki tidak membalas sedikitpun dan segera dia berbalik untuk lari keliling lapangan, sesuai dengan hukuman yang diberikan kepadanya.

Bu Hilmi mencoba menetralkan kembali emosinya dan menghela panjang, tapi ekspresi di wajahnya tidak dapat disembunyikan.

Dia dengan perasaan kesal memandang satu persatu muridnya, dan bertanya, “Sampai di mana tadi?”

“Oh iya. PR dari Ibu udah dikerjain? Ayo kita bahas dulu.”

Seluruh siswa di dalam kelas sontak saling melempar tatapan. Ruangan yang semula sunyi itu mendadak ramai oleh bisikan-bisikan di antaranya,

“Emang ada PR?”

“Gue ingetnya matematika doang.”

Bu Hilmi : “....”

Maka di hari itu, Senin. Sebanyak tiga puluh satu siswa berlari di lapangan untuk mencari jumlah keliling lapangan dan luas lapangan dengan semangat yang berkobar bersama matahari di atas kepala mereka.

Wakil Kepala sekolah yang melihat betapa besarnya jiwa antusias anak-anak muda itu berkomentar dengan cangkir teh di tangannya, “Enaknya jadi muda.”

viii

...

Hari itu, hari Senin. Dan hari ini, Alya dengan sukacita datang ke sekolah pagi-pagi untuk menghindari anjing-anjing sekolah yang selalu berdiri di depan gerbang.

Tapi ketika dia sampai di sana, dia langsung mendapatkan sebuah fakta, bahwa sekolah ini pasti adalah kandang alami anjing-anjing ini.

Bayangkan saja, di jam setengah enam, mereka sudah berbaris rapi di depan gerbang. Yang benar saja? Apa mereka diusir dari rumah atau memang tidak punya rumah?

Alya tidak suka dihukum. Untuk menghindari itu, dia secara praktis tidak akan melakukan tindakan apapun yang melanggar aturan mereka.

Tapi setelah satu minggu dia sekolah di sini, dia sadar bahwa aturan mereka memang dibuat untuk dilanggar.

Siapa yang menaruh peraturan untuk sepatu wajib standar? Apa dia ke sini untuk belajar atau untuk menggosok sepatunya ke wajah mereka?

Dalam semua peraturan yang dibuat, keseragaman sepatu adalah hal yang tidak bisa Alya patuhi. Atau bahasa kasarnya, Alya sudah tidak tahan lagi. Sistem ini memang sampah.

“Permisi, Kak.”

Benar saja, ketika dia sampai di depan gerbang, dia langsung dicegat oleh salah satu jongos sekolah yang menatapnya dengan tatapan arogan. Tubuhnya berdiri begitu tegap seolah tidak ada yang bisa dilakukan lawan bicaranya selain tunduk dan menyerah.

“Kakak punya tali sepatu putih gak?”

“Gak.”

Alya melengos pergi, tapi siswa berjas biru tua ini malah mengikutinya dengan langkah cepat kemudian berdiri di depannya dan bertanya lagi, “Bisa diganti tali sepatunya?”

Alya tidak menjawab dan berniat pergi lagi, tapi kali ini, siswa itu menariknya.

“Bisa diganti dulu tali sepatunya, Kak?”

Alya dengan jengah menjawab, “Kalo gak ada? Lo mau beliin gue tali sepatu baru? Mau ngasih gue sepatu baru?”

“Kak, di peraturan, kan, udah ditulis—”

“Siapa yang peduli sama tali sepatu? Lo peduli? Lo ke sini cuma mau ngurusin sepatu gue? Lo emak gue? Lo yang lahirin gue?”

”....”

Untuk sesaat anak Osis itu dapat merasakan bahwa hidupnya akan berakhir saat itu juga jika dia melanjutkan ini.

Seharusnya sekolah ini menambahkan peraturan untuk tidak membuat orang seperti ini dicegat di depan gerbang.

Anak Osis yang tertegun itu akhirnya membiarkan Alya pergi dengan setiap kata-kata yang menyangkut di tenggorokannya, sehingga dia rasanya akan mati jika dia berani memuntahkannya di depan wajahnya.

Alya yang telah lolos tidak langsung pergi ke kelasnya, lagipula itu memang bukan tujuannya.

Dia berbelok di lorong sementara kelasnya seharusnya tetap lurus ke depan. Ketika dia berjalan beberapa langkah, dia bisa melihat sebuah tangga di ujung jalan.

Koridor ini memang terbiasa sepi dan hening. Tidak banyak yang datang ke sini karena tidak ada apapun di sini, jadi tidak peduli ini siang atau pagi, tempat ini akan tetap senyap dan suasananya akan selalu seperti ini.

Tapi meski orang-orang berspekulasi bahwa tidak ada apa-apa di sini karena pintu di ujung tangga selalu terkunci, namun Alya yang sudah percaya bahwa ada sesuatu di sini, dengan sabar menghancurkan gemboknya, dan akhirnya dia bisa menemukan markas besarnya sendiri.

Setelah itu, gembok baru memang akan terpasang di pintu ini, tapi setelah dihancurkan berkali-kali....

... Mereka sepertinya menyerah memperbaikinya dan membiarkan ini tetap seperti ini. Hanya saja, tulisan di depan pintu telah diganti, dari 'Do not enter!' menjadi 'Please stop destroy the door, now it's yours. Have a nice day!'

Alya seperti biasa duduk dengan punggung bersandar di dinding. Tangannya dia gunakan untuk menutupi sebagian wajahnya, menghalangi matanya sewaktu-waktu jika cahaya matahari mulai muncul, sementara dia akan tidur di sini selama beberapa menit, setidaknya, sampai upacara selesai.

Adapun tempat ini, tidak akan ada yang memeriksa ke sini.

Ketika cahaya matahari akhirnya berhasil menusuk kelopak matanya, gadis itu secara samar merasakan ponsel yang bergetar di dalam sakunya.

Dengan alis mengernyit karena terganggu, Alya bergerak, memeriksa ponselnya yang baru saja menunjukkan panggilan baru yang tidak terjawab, dan itu sekarang menampilkan dua belas panggilan tidak terjawab dari nomor tidak dikenal. Dia malas untuk menyimpan nomor orang lain, tapi tidak malas untuk menghapalnya dan mengenalinya.

“Ulangan Matematika. Turun atau lo mau dijemput malaikat maut seumur hidup lo?”

Itu adalah isi pesan dari nomor tak dikenal itu, yang beberapa saat kemudian membuat dia memaki pada udara. “Iro anjing.”

Pesan itu datang dua jam yang lalu, yang mana dia telah melewatkan sebanyak satu pelajaran lainnya, waktu istirahat pertama, dan sekarang melewatkan kelas matematika juga. Dia tidak menyangka dia akan tidur selama itu.

Alya dengan enggan bangkit. Menurut jadwalnya, tinggal satu mata pelajaran lagi dan kelas akan berakhir. Untuk itu, dia akan pergi ke kantin dan mengisi perutnya terlebih dahulu. Makan adalah kewajiban, belajar itu keinginan.

Ketika Alya keluar melalui pintu, Alya langsung disambut oleh seseorang yang duduk membelakanginya di anak tangga ke lima. Untuk suatu alasan, dia mengenali siapa orang ini.

Dan dia tahu bahwa dia tidak ingin berurusan dengannya.

Jadi karena itulah, Alya berniat untuk berbalik dan kembali ke tempat awalnya, membanting pintu, kemudian lompat dari atap. Itu yang direncanakannya, tapi siapa sangka orang itu lebih cepat darinya.

“Saya udah duga kamu bakal ke sini, meski sebelumnya saya pikir kamu nyasar ke kelas sebelah lagi.”

“Temen kamu bilang kamu lebih suka belajar di tempat terbuka. Kamu bisa ujian di sini kalo kamu mau.”

Alya rasanya ingin memukul wali kelasnya yang tidak pernah menyerah ini.

Alya tidak menjawab apapun. Tapi dia bisa melihat pria itu membawa tas ke atas pangkuannya. Tanpa dia harus berbalik juga, Alya sudah bisa melihat gurunya itu tersenyum pada suatu alasan, saat mencari kertas dan pulpen dari dalam tasnya.

“Satu jam cukup buat kamu?”

Lupakan memukuli, Alya rasanya ingin menggosokkan kertas ujian itu ke wajah wali kelasnya.

Merasa tidak ada pilihan lain, karena Alya yakin meski dia bisa pergi sekarang juga, tidak menutup kemungkinan pengangguran ini tidak mengikutinya lagi.

“Alya.”

Gadis itu tidak menjawab karena enggan dan karena sedang fokus pada ujiannya.

“Alya Haneva.”

”....”

“Kamu tau, saya lagi absen. Jadi hadir atau tidak hadir?”

Alya harus cepat selesai, dan segera menggosok kertas sialan ini ke wajahnya.

“Mata Bapak atau otak Bapak yang rusak?”

“Semuanya baik-baik aja.”

“Boleh saya rusak?”

Guru gila ini kemudian tertawa.

Setelahnya, tidak ada suara apapun lagi. Koridor itu kembali ke keadaan semulanya, hening dan tidak berkehidupan, jika tidak ada orang yang sedang melaksanakan ujian susulan secara istimewa di tempat itu.

Beberapa saat kemudian, pria itu bangkit. Turun dari anak tangga yang didudukinya kemudian berdiri membelakanginya.

“Kalo kamu, di antara Tirani atau Pengecut, kamu lebih suka yang mana buat nama tengah kamu?”

Alya sedang menulis huruf x, kemudian tangannya berhenti menulis sehingga mata pulpen yang masih menempel di kertas terus meninggalkan titik tinta yang semakin melebar.

Alya tidak akan pernah menyangka pertanyaan ini akan keluar dari mulut gurunya sendiri. Itu memang terdengar merendahkan, tapi Alya entah kenapa yakin ada maksud lain dari pertanyaan itu.

Orang di hadapannya ini adalah Wali Kelasnya. Di tahun-tahun sebelumnya, tidak akan ada yang memperhatikannya. Tapi untuk yang satu ini, tidak peduli meski dia lari ke luar angkasapun, dia pasti akan mengejarnya sambil membawakannya kertas ujian.

Alya sebenarnya cukup muak dengan kegigihannya, tapi tak bisa disangkal pula, dia sedikit merasa tersentuh.

Tidak akan ada yang mau repot-repot melihatnya. Tidak peduli apa yang sudah dia lakukan, tidak akan ada yang menoleh kepadanya.

Tapi pria ini, dia memiliki banyak kesabaran untuk mengganggunya.

Jika dia adalah Ayahnya, akankah sikapnya tetap sama seperti ini? Tentu saja, jika dia Ayahnya, maka tidak akan bisa. Pria itu bahkan tidak punya waktu untuk bernafas di rumahnya sendiri.

“Gak butuh nama tengah,” jawab Alya tanpa sadar, dan dia mulai menulis lagi.

“Oh iya? Kalo menurut saya kamu lebih cocok sama Pengecut.

“Siswi top kita itu pengecut.”

Alya berhenti menulis. Jari-jarinya mengepal di sekitar pulpennya.

Apa maksud lo ngomong begitu?

“Kamu berlagak jadi tirani, padahal kamu cuma pecundang yang terus-terusan lari dari masalah yang sebenernya gak ada. Kenapa kayak gitu? Biar dikejar? Biar dicari? Biar dilihat?”

“Apa yang kamu cari? Gak akan ada yang peduli sama kamu selain kamu sendiri. Terus sekarang, kalo diri kamu sendiri aja sibuk cari yang lain, siapa lagi yang bakal peduli sama kamu? Bayangan kamu? Dia juga udah lari.”

“Pak—”

“Padahal saya udah tambahin Siswi yang bisa dipercaya buat nama tengah kamu. Saya percaya kamu bukan pengecut. Tapi hari ini, saya ragu. Yang di depan saya ini bukan murid saya yang itu.”

”....”

“Lupain, tadi kamu mau bilang apa?”

Alya mengatup mulutnya rapat-rapat. Setelah penghinaan yang begitu panjang tadi, dia bisa menyuruhnya melupakan dengan mudah?

“Oh? Kamu udah selesai?”

“Belum.”

Wali kelasnya mengerutkan kening. “Belum?”

Alya mendengus. Untuk beberapa saat, dia kehilangan semua angka-angka yang pernah dipelajarinya. Namun beberapa saat kemudian, dia mengepalkan kertas itu menjadi berbentuk bola lalu melemparnya ke sembarang arah.

“Soal cacat.”

”....”

Alya dengan acuh berdiri, menggendong tasnya di setengah pundaknya, kemudian berlalu dan pergi begitu saja tanpa kata-kata.

Dia sejujurnya sedikit terganggu pada ucapan gurunya, tapi Alya tidak mau repot-repot memikirkannya. Pada dasarnya, dia memang seorang pengecut. Dia memang lebih memilih mengejar yang lainnya daripada mengejar dirinya sendiri. Jadi untuk apa menyangkal jika itu memang benar?

Ucapan ini memang mengganggunya, tapi untuk suatu alasan, ucapan ini berhasil mempengaruhinya.

Dia diberi pengetahuan bahwa dia tidak perlu mengejar lagi, karena seseorang dan beberapa orang mungkin sekarang sedang mengejarnya di belakangnya.

Jadi, apakah ini sudah cukup?


Seharusnya itu sudah cukup.

Namun faktanya, Alya masih harus berlari lagi.

Tapi ini bukan untuk dirinya sendiri, juga bukan untuk orang lain. Ini untuk muridnya sendiri.

Alya tersenyum menyedihkan di dalam hatinya. Jika Alvairo ada di sini, mungkin dia sudah menertawakan 'karma' nya ini seperti di hari-hari sebelumnya.

Tapi untuk beberapa alasan juga, dia merasa bangga pada itu.

“Arki.”

Remaja laki-laki yang duduk dan menundukkan kepalanya itu tak menyahut, tak juga mengangkat kepalanya untuk menanggapinya, tapi tangannya sejenak berhenti menulis di atas kertas kemudian menulis lagi, jadi Alya tahu dia mendengarnya.

“Udah selesai?”

Arki tidak menjawab pertanyaannya sama sekali. Matanya sedikit mendelik kepadanya sebelum kemudian dia kembali pada kertasnya.

“Udah.”

Alya melirik kertas di bawah tangannya, dan melihat tulisan yang begitu berantakan, tapi tidak memberikan komentar apa-apa.

“Oke, simpan aja di situ. Udah waktunya istirahat, kamu boleh istirahat.”

Arki berdengung pelan dan berdiri sebagai tanggapan cepat. Tapi sebelum dia benar-benar meninggalkan meja itu, gurunya kembali berbicara kepadanya, memotong langkahnya.

“Kalo nilai kamu di latihan yang ini di bawah enam puluh, kamu saya panggil ke ruang guru.”

Arki terlihat santai menanggapi itu, wajahnya menunjukkan ketidakpedulian.

“Saya serius. Kalo kamu lari, kamu pengecut.”

Baru di saat inilah, Arki sedikit menunjukkan ekspresinya. Terkejut sesaat, kemudian bibirnya melengkung ke bawah, jelas sekali dia tidak senang dengan kalimat itu.

“Kamu lebih suka 'Tirani' atau 'Pengecut' untuk nama tengah kamu?”

Alya di masa lalu akan menjawab “Tidak butuh keduanya.” Tapi Arki sekarang tidak menjawabnya sama sekali. Ekspresinya benar-benar sulit ditebak, tapi Alya merasa puas melihatnya.

“Kamu tinggal pilih yang kamu suka.”

Alya menepuk pundaknya seperti dia adalah teman dekatnya. Tersenyum kepadanya, kemudian berbalik dan pergi meninggalkan kelas dengan perasaan puas.


Gadis itu pergi, sementara pria itu di sana berjalan ke samping dinding pembatas tangga, membungkuk untuk memungut sebuah kertas yang digumpal menjadi bola.

Dia membuka kertas itu, itu kusut tetapi tulisannya masih bisa dipahami dengan jelas. Dan ketika matanya terus bergulir, dia merasa dia tidak ragu untuk menuliskan nilai sempurna di kertas ini.

Tiga puluh menit. Siswinya membuatnya memberikan nilai sempurna hanya dengan tiga puluh menit pengerjaan, dua menit sesi mendengarkan omong kosongnya.

“Sayang sekali.” Dia bergumam, nada bicaranya terdengar menyesal. Padahal dia sendiri sepertinya sudah tahu hasilnya, tapi anak itu justru memilih mengulang pelajaran di kelas berikutnya alias dia lebih memilih menghadiri kelas dan remedial.

Namun setelah melihat ini, dia sepenuhnya yakin.

Anak itu lebih pantas membawa nama 'Guru' untuk nama tengahnya.

Accicdental II



“Gue bakal langsung ke intinya.” Aksana sudah keburu kesal, mood nya sudah terlanjur rusak. Dia menatap satu persatu temannya yang tersisa dengan tajam.

“Lavaskar nantang Wild,” sambung Aksana.

“Hah?” Riak muka Fazri sudah mulai serius, lalu dia tercengang mendengar pesan yang disampaikan Aksana.

“Gue gak tau alasannya, pikir aja sendiri. Udah, gue mau pul—”

“Tahan, Sa.” Arkan dengan berani menahan Aksana yang hendak bangkit menghampiri kedua Adiknya. “Adek lo anteng sama mereka, tuh liat.”

Aksana mendengus, dia menatap empat temannya karena sisanya sekarang tengah mengerebuni Adiknya. Jujur saja, dia senang kedua Adiknya diterima di sini, tapi dia tetap tidak suka kalau dikerubuni begitu.

“Jadi jelasin pelan-pelan, ada apa.”

“Menurut lo?” Aksana menatap Arkan, Fazri, Hasan kemudian Azar secara bergilir.

“Ah lo kayak Voka, anjing!” keluh Hasan.

“Lo tuh yang anjing!” sentak Aksana.

“Maksud lo apa mukulin anak Wijaya begitu? Keren lo?”

“Hah? Gue diem aja perasaan, njir!”

Fazri menepuk-nepuk bahu Hasan. “Lo abis ngapain?”

“Dibilangin gue gak tau apa-apa, anjir! Asli, gue semingguan ini ngurusin ekskul! Kalo gak percaya tanya aja anak-anak jurnalis!”

Aksana mendesah jengah, sementara Fazri menatap Arkan dan menggelengkan kepalanya entah apa maksudnya.

“Oh, gue paham.” Hasan membuka ponselnya. Jarinya mulai menggeser-geser layar ponselnya, mencari sesuatu. “Lo dikasih foto ini, Sa?” Kemudian menunjukkan sebuah foto dari sana.

Foto seorang remaja yang mengenakan pakaian SMA yang tengah memukuli salah satu pria yang penampilannya seperti seorang mahasiswa. Hasan yakin Aksana bisa mengira itu dirinya dari cara orang ini mengenakan dasinya, asal menggantung di lehernya, dan caranya bertopi.

Aksana tidak menjawabnya dengan kata-kata, tapi Hasan tahu bahwa dia benar. “Oke pertama, itu bukan gue.”

“Gue dapet ini waktu lagi survey kampus karena lo semua tau, kan, gue emang mau lanjut ke Wijaya, dan gue suka asal jepret foto buat buang-buang memori aja.”

“Terus, gue yang nolongin ntuh Kakak Mahasiswa, anjir!” Hasan marah-marah, terdengar tidak terima tentu saja. “Gue gak tau kenapa dia digebugin, soalnya pas gue datengin, dua-duanya pada kabur! Gak sempet gue wawancarain!”

Azar menatap foto yang tergeletak di atas meja sembari berpikir. “Ini kita lagi diadu domba?”

“Adek namanya siapa?”

“Tadi kita udah nanya itu gak, sih?”

“Masa iya?” Waris menatap Bani dengan tampang bodoh.

“Tolol.” Dan Voka kemudian memukul kepala Waris dengan kencang.

“Sakit, anjing, Ka!” ringis Waris.

Arga geleng-geleng kepala. “Ini kalo Arazki sama Alden pulang-pulang kosakata kebun binatangnya jadi lancar, gue ucapin selamat tinggal aja, sih.”

“Kok lo tega gitu, Ga? Minimal kasih kompensasi lah,” ujar Waris.

“Mau mati aja banyak tingkah,” komentar Daren.

“Sat!”

“Udah, udah!” Arga melerai keduanya.

Dua anak yang duduk di antara mereka hanya diam, tidak mengerti kenapa semuanya jadi malah bertengkar sendiri.

Alden melirik pada Arazki. Anak itu sangat pendiam, bahkan hampir tidak pernah berbicara sedikitpun. Saat ditanyai pertanyaanpun, Alden akan membisikkan jawabannya dan Arazki yang akan berbicara. Meski jawabannya melenceng semua. Tapi Alden terima-terima saja.

Alden kemudian mendapati sosok Aksana. Dia menyadari tatapan Kakaknya yang satu itu yang terlihat ... gelisah?

Sepertinya Kakak Aksana nya ingin cepat-cepat pulang.

Alden menarik lengan jaket Arazki, ingin membisikkan pertanyaan kapan Kakaknya—Aksana—diperbolehkan pulang.

Dan Arga yang melihat itu bertanya, “Alden mau apa?”

“Kok lo tau yang itu namanya Alden?” Waris mengernyit bingung. Dan Arga lebih bingung lagi.

“Ya keliatan?”

“Hah? Mukanya mirip gitu perasaan. Apanya yang keliatan? Akhlaknya?”

“Lo aja yang buta,” balas Daren.

“Stop menghina gue, bisa?”

“Kelakuan lo minta dihina.”

“Anjing lo Ren!”

“Udah, anjir, udah! Arazki sama Alden aja anteng, lo semua kenapa kayak setan?”

Alden menarik-narik lengan jaket Arazki lalu Arazki melirik pada Alden. Kemudian dia menatap Arga dalam diam, lalu Arazki menjawab pertanyaannya yang tadi, “Dia tadi bilang, Aa yang itu berisik banget, pergi aja.” Seraya menunjuk pada Waris.

“Masa dia bilang begitu?!” Waris melotot kaget.

“Huum.” Dan Arazki dengan santainya mengangguk.

“Yah, diusir gue, anjrit!” Waris percaya tentu saja, karena tadi Daren mengatakan “Anak kecil gak pernah bohong.”

“Aden gak bilang gitu.” Alden menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Emang kamu bilang apa?” Arazki mendekat ke Alden, kemudian Alden yang mengerti maksud Arazki berbisik di telinganya.

Arazki mengangguk paham. Matanya beralih menatap ke arah Voka, seraya telunjuknya mengarah kepadanya. “Dia bilang, Kakak itu cantik banget. Boleh minta nomor hp nya gak?”

“Anjrot.” Bani dan Waris serentak mengatakan itu dengan suara melengking. “Buset, buaya sejak dini,” lanjut Waris.

“A-Aden gak bilang gitu!” Alden menatap Arazki dengan wajah memerah yang entah karena malu atau kesal. Alisnya menukik tajam, dia seperti akan menangis.

“Terus kamu bilang apa?”

Alden mengernyit kesal. “Aden bilang Aden mau pulang! Gak mau sama Kak Arki, Kak Arki nakal!”

“Hah?! Ya udah sana pulang!”

Dibentak seperti itu, Alden semakin menekuk wajahnya yang kian memerah. Matanya sudah berair, tapi anak itu tampaknya menahan diri untuk tidak menangis.

“Ya udah! Aden pulang! Aden gak suka sama Kak Arki!”

Arazki membulatkan matanya. Wajahnya ikut-ikutan memerah. “Emang siapa yang suka sama kamu? Aku juga gak suka sama kamu! Ya udah pulang aja sana, gak usah ke sini lagi!”

“Eh, Dek, jangan berantem dong, ya? Udah, sini main bareng lagi!” Arga berdiri, mencoba melerai pertengkaran anak kecil itu.

“Udah ya, ayo maaf-maafan!” Daren meraih tangan kedua anak itu, dengan senyum di raut wajahnya yang memang dari sananya mirip psikopat.

“Bagus, Ren, lo udah mirip badut IT kebelet pensiun,” celetuk Waris.

“Lo mau mati?”

“Anjing, Ren, istighfar! Gue cuma bercanda!”

“Masih inget istighfar lo?”

“Maksud lo!?”

“Anjing, stop! Kenapa jadi lo berdua yang berantem?” Arga mulai frustrasi.

Sementara Arazki dan Alden yang sekarang diabaikan dengan tidak peduli mereka kembali saja pada Aksana.

“Bentar dah, Sa, lo dapet foto itu dari mana?” Fazri bertanya sembari menatap Aksana di hadapannya dengan pandangan serius.

“Lo,” jawab Aksana.

“Hah?”

Melihat wajah kebingungan Fazri, Arkan menangkap sesuatu. “Lo pernah kasih pinjem hp lo ke siapa?”

Fazri tidak mengerti arah pertanyaan itu, tapi dia tetap menjawab, “Gak ada lagi, sih, paling lo, sama Dewa waktu itu. Katanya mau pinjem buat hubungin Voka. Hp nya lowbat, ya udah gue kasih.”

Aksana menangkap sesuatu yang janggal, tapi dia tidak ingin berpikiran buruk. Apalagi tepat di saat itu juga, dia melihat kedua Adiknya menghampirinya.

Aksana membawa Alden duduk di atas pangkuannya begitu anak itu menariki lengan kemejanya. “Kenapa?” tanya Aksana dengan nada bicara yang jauh berbeda dari yang tadi.

“Pulang,” jawab pelan Alden.

“Pulang?” Aksana mengernyitkan dahinya. Dia lantas menatap pada Arazki yang juga sama-sama mengatakan, “Mau pulang.” Dengan nada yang juga pelan.

Anak itu kemudian mendelik pada Alden. “Alden gak usah ikut!”

Alden cemberut pada itu kemudian mencekal ujung kemeja di lengan Aksana. “Aden ikut!”

“Gak, kamu gak boleh ikut.”

“Boleh!”

“Gak boleh!”

“Ya udah Alden sama Kakak aja, ya gak?”

Mendengar suara Arkan, Arazki dan Alden juga semuanya yang lain kompak menatap pada Arkan yang tersenyum pada keduanya sehingga tanpa sadar, Alden menganggukkan kepalanya.

Melihat itu, Arkan tersenyum senang. “Ya udah sini, sini!”

Namun di luar dugaan, Arazki justru berbalik menghadap Arkan dan menatapnya dengan tatapan permusuhan. “Gak boleh!”

“Loh? Katanya Alden gak usah ikut pulang, ya udah Alden sama Kak Arkan aja, mau, kan, Alden?”

Alden mengangguk dengan ragu, tapi Arazki melihat itu seolah-olah dia telah melihat setan.

“Nanti aku—” Arazki menahan tangan Alden padahal anak itu tidak berniat bergerak dari pangkuan Aksana sama sekali, tapi Arazki mengenggam tangannya seperti dia akan kehilangan dirinya jika dia melepaskannya sedikit saja.

“Aku—robot kamu gak aku balikin!”

Alden mengernyitkan dahinya. “Tapi Kak Arki emang gak pernah balikin robot Aden.”

“Kalo kamu sama dia, berarti robot kamu jadi buat aku!”

“Gak apa-apa, nanti Kakak beliin Alden robot yang baru, yang gede.” Arkan mencoba menahan diri untuk tidak tertawa dan memasang wajah seserius mungkin.

Perebutan hak asuh Adik kecil ini seru juga, pikirnya.

Meski sebenarnya dia takut juga, takut dibunuh Aksana, karena dia bisa merasakan tatapan Aksana yang jatuh menusuk padanya. Tapi dia mencoba mengabaikannya.

Karena reaksi anak-anak ini terlalu menarik untuk dibiarkan begitu saja.

Arazki menatap horor pada Arkan kemudian kembali memandang Alden. “Nanti aku....” Dia kehabisan kata-kata.

“Udah Alden sama Kak Arkan aja. Sini?” Arkan merentangkan kedua tangannya.

Alden mengerjapkan kedua matanya. Memandang Arkan kemudian Kakaknya Arazki dengan lamat.

Dia kemudian meraih tangan Arazki yang menggenggam pergelangan tangannya dengan satu tangannya yang lain.

“Jangan ambil robot Aden.” Alden berkata dengan suara pelan sembari menunduk dan menatap Arazki dengan wajah tanpa emosi.

Tapi Arazki entah kenapa justru cemberut, mengalihkan wajahnya ke arah lain sambil mendengus. “Pelit.”

Pecah sudah tawa Arkan, hilang sudah wibawanya. Tapi sebenarnya wibawa orang ini memang sudah hilang sejak awal tadi.

Sesungguhnya, Adik-adiknya Aksana lucu banget, sat!

Fazri menatap dengan pandangan tertegun pemimpinnya di sebelahnya. “Stres lo?”

“Biasalah,” gumam Azar.

“Gak bisa pulang sekarang.” Aksana menghela panjang. Dia menatap Alden yang duduk di pangkuannya kemudian pada Arazki, mengharapkan pengertian dari keduanya. “Kakak belum selesai.”

Arazki cemberut. Dia bersikukuh untuk pulang, tapi tujuannya berbeda sekarang. Beralih dari “Membuang Alden” menjadi “Mempertahankan orang bodoh dari orang bodoh lainnya.”

Intinya dia takut Adiknya diambil orang lain.

“Woy, yang di sana! Ngerapat ke sini, jing!” Fazri meninggikan suaranya, memanggil kelompok yang terpisah dengan tangannya yang dilambaikan ke bawah.

“Alah, mager gue. Kalo mau ngomong, ngomong aja,” keluh Daren.

“Cok!”

“Udah, ke sana aja.” Arga mendorong pundak Daren agar dia bangkit dari kursinya.

Maka laki-laki itu mendengus. Dengan terpaksa dia bangkit dan mendekat ke kelompok Fazri berada dengan ekspresi kesal. Yang lainnya mengikutinya juga dengan enggan.

Markas itu sebenarnya adalah bekas bengkel. Entah kios siapa yang berdiri di tempat yang hampir tidak dijamah oleh manusia manapun ini, tempat ini ditemukan oleh anak-anak Adibrata kemudian akhirnya dijadikan tempat nongkrong karena kosong.

Lalu entah bagaimana ceritanya kunci bengkel ini akhirnya dipegang oleh Pemimpin Wild. Yang jelas, bangunan yang tidak terlalu luas tapi juga tidak kecil ini sepenuhnya jadi milik mereka.

“Apaan cepet!” Daren membanting tubuhnya sendiri ke atas kursi kayu di sana, duduk dengan jengkel.

“Lo, San! Ceritain!” Fazri menunjuk Hasan dengan dagunya.

“Lah kok gue?” tanya Hasan.

“Ya masa Bapak lo?!”

“Tapi, kan, Bapaknya Hasan udah....” Waris menggantung kalimatnya.

“Anjir.” Bani konek duluan.

“Bangsat, lo!”

“Udah buruan ngomong aja, anjing!” Voka mendesah tidak sabar. Dia sudah muak melihat pertengkaran laki-laki di sini.

Arga meringis diam-diam mendengar percakapan yang begitu toxic ini.

“Ck!” Hasan berdecak. “Jadi gini—” Baru saat dia membuka mulut, tatapan semua orang serentak beralih ke arah lain. Anjing emang nih orang-orang!

“Loh, Wa, lo kenapa, njir?!” Waris berteriak heboh, terkejut, dan panik sekaligus.

Semua orang bereaksi sama, tapi mulutnya tidak seheboh Waris. Begitu mereka melihat seorang remaja masuk dan mendekat pada mereka dengan darah di pelipis, sudut bibir dan luka di dagunya, semuanya tentu saja terkejut.

Apalagi ketika melihat orang itu melempar sebuah jasad—

“Itu apaan—itu siapa, anjrit?” teriak Waris.

Dengan adegan itu, mereka seperti baru saja melihat zombie yang akan memakan otak mereka semua. Buat yang punya otak aja.

“Lo kenapa?!” Voka menjadi yang pertama bangkit dan mendekati pacarnya. Ekspresinya benar-benar menunjukkan kepanikan dan kekhawatiran.

“Gue gak apa-apa.” Dewa menarik tangan gadisnya ke bawah. Dia menatap teman-temannya dengan serius, tidak ada waktu untuk memusingkan siapa dua bocah yang bersembunyi di belakang Aksana.

“Lavaskar,” tunjuk Dewa pada satu orang yang terkapar di bawah kakinya. “Nemu di depan, satunya kabur.”

Ucapannya ini membuat semua orang semakin terkejut, beberapa bingung karena mereka tidak mendengar apapun dari awal.

“Lavaskar?” Bani mengerjap tidak mengerti.

“Ini mereka seriusan, anjir?!” Fazri di sana menjadi yang paling terkejut. Ekspresinya benar-benar bercampur-campur, tapi di matanya jelas menunjukkan rasa tidak terima.

Arkan yang berdiri paling depan mendekati laki-laki di atas tanah. Dia merendahkan tubuhnya, berjongkok di hadapan orang itu hanya untuk melihat sosoknya dari dekat.

Tapi dia tidak mengenali orang ini, jadi dia hanya menghela nafas. “Gue pikir, abis ini yang lain juga bakal ke sini.”

“Bentar, sekarang?” Azar menatap Aksana dan Arkan, kemudian Fazri. “Kenapa tiba-tiba banget?”

“Bukan, mereka kayak tau kita lagi ngumpul.” Azar menyuarakan kecurigaannya. “Tau dari mana juga kita lagi di sini?”

Tidak ada yang menjawab pertanyaan itu, jelas saja, karena hampir semua orang di sana memikirkan hal yang sama.

“Mereka gak tau ini markas kita.” Dewa memecah keheningan yang dingin. “Mereka kebetulan lagi ada di sini, terus ngeliat gue dateng ke sini, makannya mereka nyegat terus nyerang. Ya udah gue serang balik, tapi satunya kabur pas liat gue nonjok yang ini.” Dewa menendang kaki orang di bawahnya.

“Mereka kenal sama lo dari mana?” Azar memicingkan matanya.

Dewa mendengus, paham kalau dirinya sedang dicurigai di sini. Tapi dia tidak ingin membuang waktunya untuk menjelaskan dengan rinci. “Hasan tau. Sa, lo mending pergi.”

“Hah? Gue? Kapan gue tau sesuatu? Eh? bentar.” Hasan menunjuk dirinya sendiri dengan bingung.

Tapi semua orang lebih fokus pada Aksana dan kedua Adiknya di belakangnya.

Aksana merenung. Matanya menatap ke bawah kakinya, memikirkan sesuatu seperti, haruskah dia pergi? Bagaimana bisa dia meninggalkan teman-temannya di sini? Tapi jika dia bersikeras untuk mengikuti teman-temannya, Adiknya bisa-bisa ikut terseret juga.

Aksana mengernyitkan alisnya, nampak pusing pada pilihannya. Sampai dia mendengar Alden mencicit dari belakangnya, menarik lengannya. “Kak.”

Aksana menoleh, dia mendesah gelisah. Lelaki itu menggenggam tangan kecil Alden lalu menatap pada Arkan dengan tidak sabar. “Gue balik dulu bentar, entar gue ke sini lagi.”

Tanpa dia duga, Arkan mengangguk setuju. “Ya, lo pulangin dulu Adek lo.”

Aksana mengangguk. Tanpa bicara apapun lagi, dia menyeret Alden di belakangnya, Arazki mengikutinya di sisi lainnya dengan patuh.

“Lo gak bisa keluar lewat sana.” Daren menghentikan langkahnya. “Ada kemungkinan Lavaskar udah bawa rombongan di depan sana.”

“Lewat belakang.” Daren yang sudah berdiri di hadapan Aksana menyerahkan sebuah kunci motor kepadanya. “Motornya Waris, tenang aja.”

“Anjing? Kapan lo ngambil kunci motor gue?” Waris merogoh sakunya berkali-kali dan baru sadar kalau Daren sudah mencuri kunci motornya.

Aksana menerima kunci motor itu dan berbalik untuk pergi lewat pintu belakang.

Di sana, Dewa tiba-tiba mengatakan, “Hati-hati, kalo lo sama Adek-adek lo keserempet motor, lo gak bakal bisa ke sini.”

Ucapan ini terdengar dingin, tapi orang-orang di sana tahu bahwa Dewa sedang mencoba yang terbaik untuk menyembunyikan kepeduliannya.

Aksana tidak tahu harus berkata apa, pada titik ini dia benar-benar masih tidak mengerti bagaimana bisa dirinya dipertemukan dengan orang-orang seperti mereka.

Tidak ada yang bisa dia katakan lagi sampai akhirnya dia hanya bisa menganggukkan kepalanya dengan pelan.

Aksana akhirnya membawa Adik-adiknya pergi dengan motor milik Waris.

Accidental I



“Pa, Aksa mau keluar sama temen-temen!”

“Ya terus kenapa? Adek kamu gak bisa ikut gitu?”

“Bukan gitu—”

“Emang kamu tega nolak mereka?”

Aksana menghela nafasnya kasar sekali lagi. Dia menunduk, memandang pada adiknya yang berdiri di sampingnya dan sama-sama tengah menatap ke arah dirinya dengan tatapan penuh harap yang seakan mengatakan, “Mau ikut.”

Remaja itu mengernyitkan dahinya dan mendengus pada adiknya, kemudian beralih kembali menatap Ayahnya. Kali ini, matanya memandang dengan jengah pada pria itu.

“Pa, yang bener aja! Masa Aksa ngasuh pas lagi main sama temen-temen! Kan gak enak, Pa!”

“Ya emang kenapa? Kamu mau ngapain di sana? Mau main kemana? Clubbing? Balap liar? Join geng motor? Gak boleh keluar kalo gitu.”

“Bukan gitu, Pa....” Aksana lelah berdebat, terlebih lagi dia merasakan ponselnya terus bergetar di dalam sakunya. Dia tahu siapa yang betah meneleponnya berkali-kali seperti ini.

Aksana kemudian melihat Ibunya di dapur. “Ma....” Dia memanggil wanita itu, berharap dibantu.

Tapi wanita dengan jilbab cokelat susu itu hanya tersenyum, ah tidak ia sedikit tertawa dan tidak membalas apapun. Hanya saja, dia mendekat pada Arazki dan Alden, kemudian mengelus surai keduanya dengan lembut.

“Arazki sama Alden kenapa mau ikut Kak Aksa?” Pertanyaan keluar dengan irama yang menenangkan dari mulut wanita itu, senyum lembut dan cantik turut menghiasi bibirnya.

“Diajak sama Bos berandalan!” jawab Arazki dengan semangat yang terpancar di matanya. Sementara Alden hanya mengangguk-nganggukkan kepalanya.

“Hah?” Ardan mendelik dengan tatapan penuh selidik. “Bos berandalan?”

“Ah, itu dia ngomongin Arkan.” Aksana cepat-cepat meralat ucapan Arazki, dia tidak mau Ayahnya salah paham pada lingkaran pertemanannya dan berbalik menjadi ia menyita seluruh asetnya.

Tapi dipikir-dipikir, dibanding berandalan, gengnya ini lebih mirip dengan sekumpulan badut ulang tahun, jadi setidaknya masih ramah lingkungan.

“Tuh, temen kamu yang ajak loh, Aksa, emangnya kamu mau bikin temen kecewa?”

Gak peduli, sih.

Aksana menghela nafas lelah. Ah, kalau sudah begini dia mana bisa membantah lagi alias dia sudah kalah berdebat. Kalau diteruskanpun ini tidak akan ada habisnya.

Lagipula mereka pasti sudah menunggunya.

“Ya udah, cepetan siap-siap.”

Aksana melangkah lebih dulu setelah berpamitan dengan Ibunya dan melenggang pergi begitu saja. Mengabaikan Ardan yang berteriak tidak terima, “Sama Papa kamu gak salim?”

Dan Arazki juga Alden tidak tersenyum sama sekali, tetapi mereka saling melempar tatapan dan tidak mengatakan apapun.

Tapi siapapun pasti bisa melihat kalau kedua anak itu merasa senang.

“Arazki, Alden, jangan nakal ya? Arazki sama Alden anak baik, kan? Jangan repotin Kak Aksa kalo gitu, oke?” Wanita itu mengusap wajah kedua putranya kemudian mengecup pipi mereka singkat dengan penuh sayang.

Keduanya hanya mengangguk, juga memeluk Ibunya, baru kemudian pergi menyusul Aksana yang menunggu mereka di depan pintu dengan berlari kecil.

Sekali lagi, mengabaikan Ardan yang berteriak sedih, “Hei, Papa gak mau kalian peluk juga?”


“Ga, ada kabar gak dari Aksa?”

Otw katanya.” Itu bohong sebenarnya, Aksana tidak menjawab teleponnya sama sekali, tapi kalau dia bilang begitu, manusia-manusia ini akan semakin berisik.

Lelaki yang barusan bertanya menganggukkan kepalanya. Kemudian bertanya kembali, “Kata lo, dia bakal ke sini sama Adeknya?”

Arga hanya menggedikkan bahunya sambil tersenyum tanpa mengalihkan pandangannya dari ponselnya.

“Kan, lo yang bener ajalah minta adeknya dateng ke sini!” Fazri menoyor kepala Arkan dengan berani. Sementara yang ditoyor tidak marah sama sekali, hanya diam tanpa memberikan perlawanan.

“Kenapa emang?” Arkan menatap Fazri di sebelahnya sembari mengusap kepalanya.

“Ya gila aja! Ini markas cuk, bukan taman bermain!”

“Ya terus?”

“Anjing!”

“Lo kayak gak tau aja si Arkan, Zri.” Satu lagi remaja yang duduk tak jauh di dekat Arkan dan Fazri menyahut, sembari membalik bungkus snack di tangannya, sehingga isinya berhamburan ke bawah. “Emang aneh anaknya.”

“ANJIR, HAHAHAHA!” Bani tertawa paling kencang. “KIRAIN MAU NGEBELA!”

“Gak dulu,” jawab Azar.

“Tapi gue heran dah, dari mana Adeknya Aksa dapet nomor lo?” Fazri bertanya pada Arkan yang kali ini dia hanya menjawabnya dengan tawa.

“Gak penting, sih, itu, yang penting itu ini kemana, sih, anaknya lama banget?!” Hasan yang sejak tadi diam mulai kehabisan kesabaran. “Dia yang minta dateng awal, dia yang ngaret! Pulang aja lah!”

“Sok pulang, besok kaki lo dipajang di podium lapangan upacara sama Aksa,” ancam Fazri.

“Bangsat!”

“Emang mau bahas apa, sih?” Avika—atau akrab disapa Voka—satu-satunya perempuan di dalam ruangan itu mulai bertanya karena tidak mengerti. Sejak awal, tidak ada penjelasan sama sekali mengenai tujuan mereka berkumpul hari ini.

“Gak mungkin, kan, cuma mau ngenalin adek-adeknya?” sambung gadis itu. “Gak jelas banget. Gue cakar tuh muka bocah!”

“Waras sehari aja, Ka, please.”

“Lo mau gue cakar isi kepala lo?”

Waris kemudian mengatupkan mulutnya sendiri, sementara Bani di sebelahnya hanya tertawa, tidak jelas.

“Yang pasti, tunggu aja si Aksa. Dia gak mungkin maksa ngumpul kalo gak ada hal penting yang bakal dibahas.” Suara Arkan yang lantang menginterupsi anggotanya.

“Tapi gue dateng ke sini karena pengen liat bentukan adeknya aja, sih.”

“Ren, lo ngomong begitu pake muka begitu, kayak—”

BUAGH!

Belum selesai Waris menyelesaikan kalimatnya, Daren menampar mulut Waris dengan buku latihan soal UTBK prodi saintek yang sedari tadi dibacanya.

“BANGS—”

“Noh, noh! Si Aksa noh!” Bani memotong umpatan Waris dan mengalihkan perhatian mereka semua sembari menunjuk pada seseorang yang menjadi alasan utama mereka semua berkumpul di sini.

“ANJING! LAMA AMAT LO, BANGSAT!” Fazri berteriak murka, namun kemudian dia terdiam dengan pandangan bingung yang tertuju pada dua bocah di sebelah kanan kiri Aksana.

“Wah, lo beneran bawa adek lo?” Bani berteriak heboh dari tempatnya.

Dan Aksana tentu saja tidak menanggapi dan sama sekali tidak melepaskan gandengan tangannya dari Arazki dan Alden. Dia menatap Arkan, dan berbicara, “Gue mau sampein pesan dari Lavaskar—”

“Eits! Main langsung ke intinya aja, kenalin dulu dong!” Arkan memotong ucapan Aksana yang membuat lelaki itu berdecak.

“Gak penting—”

“Ya elah kenalan doang, bentar.”

“Gila, gemes banget bentukan adek-adek lo, Sa!” pekik Voka. “Itu kalo disentil mental gak? Nangis doang, kan, pasti?”

Aksana berdecak lagi. Dia mencari keberadaan seseorang dan tidak menemukannya. Oh pantas saja cewek ini makin menjadi sintingnya, pawangnya tidak ada.

“Sini, sini adek sama Kakak!” bujuk Voka, seraya merentangkan tangannya.

“Jangan mau, Dek! Kakak cewek itu gila! Entar kalian digigit terus rabies. Mending sini sama gue.” Waris membalas ucapan Voka dan langsung dibalas dengan delikan tajam.

“Apaan, sih, lo sok asik!” cibir Voka.

“Lo tuh sok asik sama anak orang!” balas Waris.

“Udah! Gak malu apa ribut di depan anak kecil?” Daren melerai pertengkaran keduanya sebagai manusia yang paling waras di sana. Jadi dia harus menjaga kesucian pikiran kedua anak itu dari segala macam sumpah serapah. “Ayo sini sama Kakak, Dek.”

“Najis banget, mirip om-om pedo, anjing!”

“Jaga mulut lo!” bentak Daren.

“Mana mau juga dia sama cowok brengsek,” sambung Voka.

“Anjing?!”

“Lo semua kalo gak bisa jaga omongan, mending keluar!”

Suasana mendadak berubah menjadi mencekam begitu Aksana meneriakkan kalimatnya dengan nada penuh penekanan.

Aksana hampir tidak pernah berteriak, apalagi marah. Lelaki itu lebih memilih untuk diam dan meninggalkan mereka begitu saja ketika sedang kesal, lalu kembali seperti tidak terjadi apa-apa.

Sehingga ini adalah kejadian yang baru bagi mereka untuk melihat Aksana bersikap seperti itu. Ini mengejutkan semuanya tentu saja.

“Oke, oke, gue minta maaf ngewakilin mereka semua.” Arkan yang sedari tadi diam menonton anggotanya berdebat akhirnya turun tangan dan menengahi semuanya.

Aksana menatap Arkan yang tersenyum padanya. Setan ini ... dia yang membuatnya harus membawa Adik-adiknya ke sini dan menahan mereka sekarang di sini, tidakkah dia merasa bersalah sedikitpun?

Aksana tersadar dari dunia mengumpatnya ketika dia merasakan tarikan di ujung jaketnya. Dia lantas menunduk, dan melihat Arazki memberinya isyarat untuk mendekat.

Aksana merendahkan tubuhnya, mendengarkan Arazki berbisik kepadanya, beberapa saat kemudian dia bersuara, “Oh.”

“Tuh, bos berandalannya,” tunjuk Aksana pada Arkan.

“Gue? Hah? Gue kenapa? Bos berandalan apa?” Dan Arkan tidak mengerti kenapa dirinya tiba-tiba ditunjuk.

Aksana menepuk pelan bahu Adiknya dan anak enam tahun itu kemudian maju, berdiri menghadap laki-laki yang menjulang tinggi di hadapannya dengan sangat percaya diri.

“Eh? Mau apa, Dek?” Arkan bertanya bingung, tapi begitu melihat Arazki pasang kuda-kuda, dia mengerti anak itu akan melakukan apa kepadanya.

Arkan terkekeh pelan dan menggelengkan kepalanya. Dia kemudian merentangkan tangannya, kemudian melirik dan memandang ke arah Aksana seolah mengatakan, “Tenang aja, akting gue bagus.”

Sekarang kembali ke Arazki yang mulai maju menerjang kemudian menghujam Arkan dengan tinjunya tepat di perutnya.

Menerima pukulan anak itu, Arkan terdiam sejenak, dan yang lain menunggu reaksinya sampai kemudian laki-laki itu bertertiak kesakitan dan jatuh terduduk sembari memegangi perutnya dengan dramatis.

“Jelek banget aktingnya, njing,” cibir Fazri.

“Emang lebay banget,” sambung Azar.

Namun pada kenyataannya, Arkan melakukan itu secara natural alias, FUCK! KOK SAKIT, ANJING!?

Arkan menatap anak kecil di hadapannya dengan tatapan tidak percaya. Kayak ... yang bener aja? Yang barusan mukul dia itu beneran Adeknya, kan, bukan Kakaknya? Ini anak iblis apa gimana?

Arazki yang menerima tatapan itu hanya mengerjap tidak peduli, kemudian dia mengulurkan tangannya pada Arkan. Menunjukkan sikap sportifitas seperti yang diajarkan Sensei-nya.

Arkan melihat itu, kemudian dia memandang kembali pada Aksana yang sekarang tersenyum mengejek kepadanya.

Anjing tuh orang.

Dia pikir dia barusan kalah sama bocil? Dia cuma ngalah, anjing!

Arkan menerima uluran tangan kecil di hadapannya, namun dengan cepat dia menarik anak itu ke depan dan melemparnya ke belakang, melewati punggungnya, membantingnya ke tanah.

Semua orang yang melihat pemandangan itu sontak terdiam, terutama Aksana yang refleks membulatkan matanya.

Tidak menyangka kalau Arkan akan membalasnya.

“ARKAN!” bentak Aksana.

Dia akan maju namun langkahnya terhenti ketika Arazki di saat itu juga balas menendang punggung Arkan meski itu tidak terasa apa-apa bagi Arkan.

Arazki berniat menendang lagi, tapi Arkan segera berbalik dan menangkis tendangannya dengan lengannya,

Tetapi Arazki menyadari adanya celah dan memanfaatkan itu untuk melempar pukulan ke wajahnya.

Arkan oleng dan terduduk karena itu. Dia mengusap sudut bibirnya, sambil berdecak kagum, “Wow, keren.”

Sekarang Arkan tahu, anak ini punya bakat jadi pentolan.

“Dek, jadi penerus Kakak mau gak—”

“HUWAAA!”

Lalu Arkan terkejut karena anak itu tiba-tiba menangis dengan kencang.

“Hayo Arkan....” Waris memprovokasi, diikuti oleh Bani dan Voka.

“Arkan anjing nangisin Adek gue,” sambung Daren ngaku-ngaku.

“Hayoloh.”

Mengabaikan teman-temannya yang mengejeknya, Arkan berdiri dengan panik lalu menghampiri Arazki, mencoba menenangkan anak kecil itu agar berhenti menangis. “Dek, kok nangis Dek? Ma-maaf deh.”

“Minggir lo!” Aksana mendorong Arkan menjauh, lalu membawa Arazki ke dalam gendongannya. “Sana!”

Sorry, Sa, gue gak sengaja.”

“Lo ngebanting adek gue, anjing!”

Sorry, Sa, sorry,” jawab Arkan sambil tertawa canggung, panik juga sebenarnya. Matanya kemudian melirik pada satu lagi sosok anak kecil yang sedari tadi diam dan terus berdiri di belakang Aksana.

Arkan melihat anak itu juga menatap ke arahnya, lalu dia melihatnya mendekat padanya, dan—

BUAK!

—Menendang tulang kering Arkan.

Anjing! Arkan mengumpat di dalam hati. Nih sakit anjing, anak ini balasin dendam saudaranya kah?

Alden mundur ketika Arkan menatap dirinya. Dia kemudian kembali pada Aksana, dan memeluk Kakak pertamanya itu, menenggelamkan wajahnya di pelukannya.

Dan dia menangis juga.

Aksana yang melihat itu kemudian menatap Arkan dengan tatapan yang benar-benar marah. “ARKAN ANJING!”

“GUE DIEM AJA, SA! SUMPAH!”

Fazri dan yang lainnya tertawa terbahak-bahak di tempatnya memperhatikan ketidakberdayaan seorang Ketua geng Wild yang biasanya disegani di sekolah.

“Anjir, kocak banget sumpah!” tawa Fazri. “Zar, harusnya lo videoin ini, anjrit!”

Azar tidak meresponnya karena dia juga sedang tertawa sekarang.

“Udah mah kalah sama bocil.” Bani yang sudah terduduk di atas tanah terbatuk-batuk, dia yang tertawa paling kencang.

“Lo rasain sini tonjokannya!” dengus Arkan, seraya mengepalkan tangannya.

Begitu ruangan yang sebenarnya adalah bekas dari bangunan warung itu semakin kebisingan oleh suara tangis kedua anak itu—sebenarnya suara melengking Arazki yang lebih memekakan telinga.

Semua orang di ruangan itu mendadak jadi badut ulang tahun.

Arga dari tadi memang sudah mencoba membantu, mencoba membujuk Alden masuk ke gendongannya. Daren bermain ciluk ba dengan Arazki tapi karena mukanya seram, anak itu jadi semakin menjadi-jadi.

Waris dan Bani menari seperti orang gila dengan Voka sebagai operator musik lingsir wengi dj remix-nya. Arkan sendiri tengah mencoba meminta maaf dan membujuk keduanya agar kembali diam.

Aksana tekanan batin.

Dan sisanya jadi kamerawan.

Markas geng motor itu mendadak berubah jadi taman kanak-kanak ilegal.

vii

...

Petugas OSIS yang berjaga berbaris rapi di depan gerbang, memerhatikan setiap siswa yang berlalu-lalang, dan terkadang menghentikan beberapa murid yang tertangkap mata mereka telah melanggar peraturan berpakaian dan berpenampilan sesuai aturan tertulis.

Kemudian di hari Senin yang cerah ini, yang sepuluh menit lagi upacara akan segera dimulai, seorang siswa yang sedang berjalan seperti dia berada di atas karpet merah datang dan menarik perhatian.

Arki di sana, memang siapa lagi yang mampu menarik perhatian hanya dengan berjalan kaki biasa?

Arki biasanya tidak akan peduli dengan gerbang sekolah, dia bisa masuk lewat mana saja ke kelasnya, contohnya mendobrak pintu belakang sekre Osis dan masuk sekolah lewat sana.

Tapi untuk hari ini, dia akan memberikan keringanan untuk wali kelasnya dan datang untuk upacara. Bukankah dia masih memiliki hati nurani?

Namun salah satu kandidat Calon Ketua Osis tahun ini—Rian—maju selangkah, menghentikannya, lalu dengan sopan berkata, “Permisi, Kak, jaketnya boleh dilepas dulu?”

Arki berniat melengos begitu saja, tapi segera kembali ditahan.

“Kenapa?” tanya Arki dengan nada tidak senang dan wajah kesal yang kentara.

Rian di hadapannya sedikit mengeluh. Dari matanya terlihat jelas bahwa dia menyesal sudah mengambil langkah Kakak kelasnya ini.

“Saya cuma mau liat kesesuaian penampilan Kakak sebentar.”

“Gue keliatan pake baju renang?”

Rian menggeleng. “Gak, Kak.”

“Keliatan bawa senjata perang? Ada pasukan lain di belakang gue?”

Rian terdiam sejenak. “Gak....”

“Ya udah.” Arki kembali berbalik dan segera pergi. Meninggalkan Rian yang tertegun di tempatnya berdiri.

Arki masuk ke dalam kelas, dan langsung disambut kericuhan dan teriakan heboh teman-teman sekelasnya yang dimana detik itu juga, dia langsung ditarik oleh Naila. Pintu kelas dibanting setelahnya.

“Nih, Arki nih! Lo pasti gak ada dasi sama sabuk, kan? Ja, Ja! Dasi, sabuk! Minta buruan!” Naila menarik dasi dan sabuk yang disodorkan oleh Reza kemudian menyerahkannya pada Arki yang kebingungan. “Pake, cepetan!”

Arki masih tidak mengerti apa yang terjadi. Yang lainnya juga sibuk sendiri dan Naila menarik seseorang lagi yang baru tiba di kelas.

“Bawa topi gak lo, Ki?” Farhan muncul dari sampingnya dan Arki menggeleng karena dia tidak punya topi SMA tentu saja.

Farhan langsung menarik Gilang dan memintanya menyerahkan topi pada Arki.

Rehan yang sudah berada di sebelahnya tiba tiba memberikan emblem. “Hari ini razia. Reza baru dapet info lagi kalo razia dimajuin, jadi pas upacara. Ini emblem, dipake di lengan sebelah kiri.”

Rehan kemudian beralih ke yang lain. Mengangkat tangannya tinggi, mengacungkan banyak emblem di tangannya. “YANG GAK ADA EMBLEM LAGI SIAPA?”

“Ja, minta sabuk lagi, buat Arjun!” Naila sudah menangkap Arjun yang baru tiba di kelas dan kebingungan.

“Hah, apaan nih? Kenapa tiba-tiba?”

“Razia Senin.”

“Oh,” gumam Arjun.

Lalu kemudian ekspresinya berubah drastis. “ANJIR, GUE GAK BAWA TOPI! GIL, GIL! BAGI TOPI SATU!”

“GUYS, SERAGAM DIMASUKIN YA! JANGAN LUPA!” teriak Difani di depan kelas, menginterupsi teman-teman kelasnya.

Kelas itu begitu ramai dan sibuk. Ketika Arki memikirkan darimana mereka bisa mendapatkan stok dasi, sabuk, topi dan emblem, dan apakah ia harus membayar ini nanti atau tidak, Arjun merangkulnya.

Arjun tanpa kata-kata merebut topi dari tangan Arki dan memakaikannya ke kepalanya. Memasangkan emblem pada baju bagian kiri lengannya, kemudian dia berteriak pada teman-temannya. “Woi, ke lapangan! Ambil barisan yang adem tapi jauh dari Pak Puriman, formasi sin 1 – 1/x cos 1 – 1/x, g'rak!”

Arjun menyeret Arki saat itu juga, dan teman yang lainnya menyusul di belakang mereka.

“Di, atur, atur!” intruksi Arjun, dan Arki pasrah saja badannya ditarik ke sana sini.

“Han lo sebelah kanan Arki! Gil, Nov, lo di belakang sini, tutupin dia, Arki itu paling mencolok di mata Pak Puriman. Ja, Ja, lo sini! Fani, sayap kanan!” Ardi selaku seksi keamanan sekaligus seorang veteran Paskibra itu mengatur barisan seperti induk ayam. Kelas Mipa 5 adalah garda terdepan dalam perang.

Wakil Kepala Sekolah yang menyaksikan api semangat berkobar dalam diri anak-anaknya tersenyum bangga, “Sungguh jiwa nasionalisme dan semangat muda yang tinggi.”

Arjun yang belum dapat panggilan untuk berbaris melihat siluet seseorang yang dikenalnya. Kemudian, dia tersenyum, menyapa, “Eh, assalamualaikum Pak Puriman.”

Kepala keamanan yang sudah mengatur formasi : “....”

Gilang dan Nova yang sudah menjadi benteng : “....”

Satu kelas : “....”

Pak Puriman wajahnya sumringah. “Wah, semangat banget ya kalian. Eh, tumben Arki ikut upacara, wih lengkap ya seragamnya sekarang, udah tobat kamu?”

“Iya, Pak, tobat. Kemarin abis dirukyah Pak Hamdan, setan sama kerajaan kerajaannya udah gak ada lagi, haha.” Arjun menepuk-nepuk pundak Arki cukup keras.

“Oh, gak mungkin. Pasti ada yang ketinggalan—Nah, itu, sepatunya, talinya masih hitam.” Pak Puriman terlihat sangat sangat bahagia, seperti dia telah ditimpa keberuntungan selama tujuh generasi.

“Gak, Pak. Ini putih,” jawab Arki.

“Putih dari mana? Kamu pikir Bapak buta warna? Temen-temen kamu juga liat, hitam kan? Ini hitam kan?”

Arjun mengangguk dan menggeleng bersamaan. “Ng-nggak ah, Pak, ini putih.”

“Iya, Pak, putih, kok ini,” sambung Rehan dengan suaranya yang stabil. Kemudian Reza, Farhan, dan teman-temannya yang lain ikut setuju.

“Masa, sih? Bapak liat ini hitam. Kalian ngibulin Bapak ya?”

“Gak, Pak, gak. Beneran kok ini putih!” sergah Rehan dengan cepat dan penuh keyakinan.

“Putih, Pak,” jawab Arki. Suaranya begitu santai dan tenang sehingga orang tidak berpengalaman yang mendengarnya mungkin akan langsung mempercayainya.

“Masa, sih? Tapi Bapak liatnya ini hitam, jangan bohong kalian!”

“Sebenernya, yang bisa liat ini jadi putih cuma orang-orang yang berakal, Pak.”

Pak Puriman : “....”

Teman-teman kelasnya : “....”

Wakil Kepala Sekolah yang sudah mengakui jiwa nasionalisme mereka : “....”

Upacara kemudian dimulai dan berjalan dengan khidmat. Ketika kegiatan itu menuju penutupan, Alya tertegun nama kelasnya disebut dengan bangga oleh Wakil Kepala Sekolah dari atas podium. Berikutnya, dia mendengar nama ketua kelasnya dipanggil naik ke podium, dan tak lupa namanya juga.

“Selamat ya, Bu.” Wakil Kepala Sekolah menjabat tangannya yang masih bertanya-tanya, kemudian beralih kepada Rehan si ketua kelas. Dan ajudan di belakangnya menyerahkan piala kepadanya.

Tiga tanda tanya besar berada di atas kepalanya, Alya tidak mengerti apa yang telah terjadi. Usaha apa yang sudah dia lakukan? Apakah sedikit menjinakkan iblis kecil di kelasnya itu adalah salah satu usahanya?

“Selamat kepada kelas 12 MIPA 5, atas prestasinya dalam kelas yang memiliki banyak siswa berakal dengan tingkat solidaritas yang mampu menembus awan.”

”???”

Tepuk tangan yang riuh terdengar hingga ke penjuru sekolah, itu secara harfiah tertuju pada sekelompok siswa yang berdiri di barisan depan.

Sedangkan siswanya yang di sini hanya tersenyum, dan tidak tahu apa isi kepalanya saat ini, perlukah dia membongkar otaknya?

Namun Alya semakin tidak mengerti.

Inikah rekor sejarah yang baru?


“Saya berterima kasih banyak atas kerja keras kalian, yang berhasil menaikkan rating kelas kita semua. Apa sekarang kita harus bikin channel youtube?”

Alya berdiri dari bangkunya. Satu tangan yang bertumpu di atas meja menopang tubuhnya yang condong ke depan, sementara tangan yang lain mencubit pangkal hidungnya. Sebuah piala yang tidak terlalu besar juga tidak terlalu kecil berdiri dan bersinar di depan wajahnya yang menunduk.

Sekarang dia bingung harus bangga atau menangis atas penghargaan penuh hormat ini.

Sementara suasana kelas begitu hening, tidak ada yang berani bicara tentu saja.

Setelah Alya sepenuhnya mampu mengendalikan diri dari perasaan yang melanglang buana ini, dia mulai membuka pertemuan mereka dengan materi bab baru, tentunya, setelah dia meminta pekerjaan rumah dikumpulkan di atas mejanya saat jam istirahat.

Ketika dia sampai di pertengahan penyeleksian deretan angka trigonometri, Alya mengetuk papan tulis dua kali. Kebiasaannya untuk menarik kembali jiwa audiensnya sehingga mereka sepenuhnya fokus secara sadar sepenuhnya kepadanya.

Alya kemudian bertanya, “Sampai di sini dulu, ada yang mau bertanya?”

Satu kelas tidak ada yang mengangkat tangan, bahkan tidak ada yang membuka suara mereka. Alya menganggap ini sebagai mereka kelaparan, tapi waktu istirahat masih ada beberapa jam lagi sehingga Alya dengan senang hati melanjutkan pembahasan.

Tepat ketika dia kembali membuka tutup spidolnya, ekor matanya menangkap ada seorang siswa yang mengangkat tangan, dan orang itu adalah orang yang tidak dia pikirkan akan mengangkat tangan.

“Ya, Arki, silahkan.”

Siswa itu adalah Arki, menurunkan tangannya kemudian. Dia menatap dengan serius kepadanya, seolah dia yang memiliki begitu banyak kerumitan di dalam kepalanya, kemudian mengajukan pertanyaan,

“Menurut saya kita buat akun instagram dulu.”

Hah? Alya bertanya-tanya tapi karena terlalu terkejut, dia hanya mengutarakan itu di dalam benaknya.

“Kalo buat akun youtube dulu nanti kita susah promosinya, kita harus bikin nama kita tinggi dulu di sosial media, jadi kalo orang udah kenal kita, mereka bakal cari sendiri akun youtube kita.”

”....”

Semua orang sekarang kompak memiliki ekspresi 'Kamu mengangkat tangan hanya untuk membahas itu lagi?' di wajah mereka.

Apakah sedari tadi dia terlihat memiliki banyak konflik di wajahnya hanya karena memikirkan hal ini? Apa dia serius?

Setelahnya, tawa Arjun pecah lebih dulu, disusul oleh Farhan di sebelahnya dan tidak ada yang bisa menahan tawa mereka setelahnya. Kelas itu akhirnya kembali riuh dengan suara manusia, sementara Alya lagi-lagi merasakan migrain menyerang kepalanya.

“Ya, saran kamu saya simpan. Terima kasih.”

Alya tidak mau repot-repot menyuruh mereka diam, jadi dia sendirilah yang akan diam menunggu sampai kelasnya sadar diri sendiri dan benar saja, tak lama setelahnya kelas kembali hening seperti tak berpenghuni.

Alya mengangguk. “Oke, bisa kita lanjutin?”

Beberapa hanya mengangguk pada pertanyaan itu dan beberapa lainnya menjawab “Ya” “Bisa, bu.” Dan sebagainya.

“Sebelum itu, Arki, kamu ke sini!”

Yang lainnya tidak terkejut begitu nama itu dipanggil dan Arki dengan patuh berdiri, beranjak dari bangkunya untuk berhenti di samping Alya. Menunggunya melakukan sesuatu.

Yang lain juga menunggunya mengeluarkan trik ajaibnya.

Tapi di sana Alya justru mengerutkan kening. “Nunggu apa kamu?”

Arki yang paling tidak mengerti tapi tidak ada ekspresi di wajahnya, namun sekelaslah yang menunjukkan ekspresi bingung mereka dengan jelas.

“Oh, kamu mau ngajar?” tanya Alya, dia menyodorkan spidolnya.

Dan kali ini Arki menampilkan ekspresi bertanya-tanya tapi dia diam.

Alya yang melihat Arki hanya diam menarik kembali spidolnya. “Bukan mau ngajar?”

Satu kelas : “....”

Apa wali kelas mereka mengalami shock berat sehingga itu membuat otaknya terjungkal dan kecelakaan hebat?

Sesaat setelah keheningan yang begitu tajam itu, Alya berdengung, nampak seolah-olah dia sedang memilah sesuatu di kepalanya, baru kemudian wanita itu kembali menatap siswa top thirty one di hadapannya.

“Ya kamu maju, duduk di sana.” Alya menunjuk meja di belakang punggung Arki sehingga siswa itu berbalik, hanya untuk menjadi semakin tidak mengerti.

“Ayo duduk.” Alya menekan kata-katanya, membuat kalimat itu terdengar begitu yakin dan dia benar-benar serius menyuruhnya duduk di mejanya—meja guru—itu.

Arki tanpa kata-kata berbalik, benar-benar mengikuti ucapan itu kemudian dia benar-benar duduk di sana—di meja gurunya.

Melihat itu Alya tersenyum yang artinya membawa keambiguan. Dia kembali menatap anak-anaknya dan mengalihkan fokus mereka untuk kembali ke papan tulis dan angka-angka di sana.

Saat dia dengan sengaja atau tidak sengaja membuat coretan yang bisa dihapus dengan jarinya sendiri, Alya yang tidak mau mengotori tangannya itu menoleh kepada Arki, tersenyum kepadanya, dan mengatakan, “Arki, tolong kasih saya penghapus.” Padahal dia tinggal menjulurkan tangannya dan masalah selesai, tapi lebih memilih mengandalkan siswa top nya.

Arki yang masih tidak mengerti dengan apa yang telah terjadi secara otomatis menjulurkan tangannya, menyerahkan penghapus di atas meja dengan malas.

Alya menerima itu dengan puas. “Makasih.” Kemudian beberapa saat lagi dia kembali mengatakan, “Arki, tolong buku saya, halaman lima puluh satu.”

Arki tidak langsung melakukan itu dan menatap gurunya dulu dengan pandangan penuh selidik. Tidak hanya dia, teman-teman sekelasnya juga tercengang.

Dan Alya yang menyadari itu dengan santai tersenyum di depan kelas, “Asisten saya di kelas ini.”

Kepala Arki sekarang seutuhnya dipenuhi oleh “???” dan tidak ada lagi yang lainnya.

Seolah-olah dia benar membutuhkan seorang Asisten? Kenapa tidak buka saja lowongan kerja untukmu sendiri?

Yang lainnya secara keseluruhan berpikiran hal yang sama.

Bahwa sekarang wali kelasnya telah melalui jurang keputusasaan dan dia sekarang menjadi gila.

ii

...

“Untuk menyelesaikannya, pertama kalian harus ambil titik tengah diagonal dan hubungkan ke titik f, lihat lagi.”

Alya sembari menjelaskan dan selesai menulis pertanyaan, dia lalu menggambar diagram di samping untuk membantu kelas memvisualisasikan masalah dengan lebih jelas. Kemudian dia memberi label diagram dan menggambar beberapa baris lagi.

“Cara ini mungkin bertele-tele, tapi dengan ini kalian bisa melatih mental matematika kalian. Selamat mencoba.”

Tepat setelah ia mengatakan itu pada murid kelasnya yang seluruhnya fokus mendengarkan dan tidak fokus untuk menyimak sedikitpun, bel istirahat berbunyi nyaring.

Mendengar itu, Alya tentu saja menutup pertemuan mereka. Dia tidak mungkin menyita waktu istirahat anak-anak ini, itu akan membuat mereka membencinya dan sulit untuk membuat mereka menyukai belajar.

“Jangan lupa PR kalian ya.”

Tapi Alya sama sekali tidak sadar bahwa dengan kalimat itu saja anak-anak kelasnya langsung lemas tak berdaya.

“Terima kasih, Bu.”

Alya mengangguk pada template itu dan mengucapkan “Sama-sama.” Dengan nada datar seperti biasa.

Anak-anak kelas mulai bersiap untuk menikmati waktu istirahat mereka. Sebagian dari mereka membereskan barang-barangnya dari atas meja, namun ada juga yang langsung lari ke luar kelas sembari mengucapkan “Bu, ke kantin ya, Bu.” Kepadanya.

Alya sekali lagi hanya mengiyakan. Seharusnya tidak perlu izinnya juga tidak apa-apa karena ini sudah masuk waktu istirahat. Dia sendiri juga tengah mengemas barang-barangnya dan bersiap untuk pergi ke ruang guru dan makan di sana, ketika dua orang siswa menghampirinya.

“Ibu, izin ke belakang ya.”

Alya mengangguk dengan refleks, namun kemudian dia dengan cepat memanggilnya. “Arjun.”

Remaja bernama Arjun dan satu lagi temannya secara otomatis berbalik dan kembali menghadap pada gurunya. Dia menanyakan dengan sopan alasan dirinya memanggilnya.

Alya memandang pada Arjun dan Adhitama—murid-muridnya—kemudian melirik ke salah satu bangku di kelasnya, namun kemudian dia tersenyum sangat tipis pada keduanya, dan meski ragu, ia tetap mengatakan,

“Gak ada, selamat istirahat ya. Oh iya, kalo ketemu sama Arki, kasih tau kalo ada tugas dari saya ya.”

Alya mengatakan itu dengan percaya diri karena dia memperhatikan tempat duduk dua orang ini adalah tepat di depan Arki, jadi secara harfiah, mereka pasti punya cara untuk berbicara dengannya.

Meski dilihat dari ekspresi mereka, bahwa keduanya sama sekali merasa tidak dekat dan tidak mau berurusan dengannya.

Arjun dan Adhitama setelah mengangguk setuju, mereka berpamitan pada Alya dengan sopan. Alya mengangguk dan berterima kasih, dia juga segera berkemas dan pergi ke ruang guru karena merasakan ponselnya terus bergetar di atas meja.


“Dia bolos kelas lo seminggu?”

Alya mengangguk namun tidak mengalihkan pandangannya dari ponselnya ketika Alvairo—rekan sesama pendidiknya—bertanya hal itu.

“Wah, udah parah, sih, itu. Dia juga suka bolos kelas gue! Cepuin aja gak, sih, biar disidang aja sekalian?” ujar Alvairo.

“Percuma, Ro.” Satu orang wanita yang duduk di sebelah Alya menyahut dengan iramanya yang lembut. “Dia udah sering bolak-balik ruang konseling, tapi tetep aja begitu.”

“Wah, tau dari mana lo?”

“Gue, kan, udah setahun di sini.”

“Oh, Iya.” Alvairo mengangguk. “Tuh anak emang bebal banget, susah dibilangin. Pernah waktu itu gue ngajar di kelas lo, kan,”

Alvairo tengah menjelaskan tentang perbedaan pengucapan dengan aksen british dan american sebagai bahan evaluasi anak-anak kelasnya yang sekalian, dia tanamkan berbagai macam kosakata bahasa Inggris di otak mereka. Dia yakin mengajar dengan cara badut seperti itu membuat mereka lebih mudah untuk mengingat.

Tapi kemudian matanya menangkap seorang muridnya yang sebelumnya belum pernah dilihatnya.

“Hei, kamu! Bapak ada di sini kenapa kamu malah merhatiin yang di luar jendela? Kamu gak merhatiin kegantengan Bapak? Berdiri!”

Murid laki-laki yang ditunjuk itu berdiri tanpa komentar dari mulutnya. Dari wajahnya, sekarang Alvairo dan seluruh rakyat Bandung pasti tahu dia siapa.

“Kamu, coba baca paragraf ke dua.”

Arki dengan patuh mengangkat bukunya di tangannya, tapi mulutnya justru tidak mulai membacakan kalimat apapun sehingga Alvairo tahu bahwa anak ini sama sekali tidak memerhatikannya.

“Buka halaman tiga puluh empat,” ujar Alvairo sembari memijat pelipisnya yang mendadak pusing.

Arki membuka selebaran kertas itu dan mulai membacanya.

Tapi Alvairo hanya bertahan setengah menit untuk mendengarkan Arki membaca paragrafnya dengan pengejaan yang begitu mengerikan. “Udah, Arki. Yang tadi kamu baca, itu aksen apa?”

“Bandung, Pak.”

Alvairo tak bisa menahan keterkejutannya dan satu kelas tertawa pada jawaban itu.

“Yang kamu praktekin tadi itu pengucapan American, Arki. Tapi kalo kamu American Rancaekek, udah kamu takdirnya permanen jadi orang Bandung.”

Satu kelas tertawa mendengar itu. Dan Alvairo yakin anak ini tak mendengarnya sama sekali. “Sekarang kamu tau gak, kenapa bahasa Inggris dibagi jadi dua jenis?”

Alvairo melihat anak itu membuka mulutnya dan mengatakan “Oh.” dengan pelan, seperti akhirnya dia mengerti dengan apa yang dia ucapkan. Jadi mari kita dengarkan jawabannya—

“Jawabannya B, Pak”

Dan itu adalah jawaban yang keluar dengan penuh keyakinan, sehingga membuat Alvairo bertekad untuk memberinya apresiasi.

“Kamu pilih keluar sendiri atau sambil Bapak tendangin ke luar sana?”

Anstian tertawa dengan anggun begitu Alvairo selesai bercerita dan membenturkan kepalanya sendiri ke atas meja karena kesal. Sementara Alya hanya diam, diam-diam menghirup di cangkir kopinya.

“Sabar, Ro, namanya juga anak remaja.”

“Anak remaja apa, anak setan, anjir!”

Alya menghela nafasnya karena teman-temannya begitu berisik. Dia sedikit menyesal sudah mengeluh di hadapan mereka.

Tak berminat masuk pembicaraan mereka, Alya hanya memperhatikan kedua teman perkuliahannya itu saling beradu argumen dengan bahasa obrolan yang tidak mencerminkan seorang pengajar.

Mereka sudah berteman hampir enam tahun lamanya, jadi sulit untuk mengubah cara berbicara mereka satu sama lain, termasuk dirinya sendiri.

Alvairo adalah guru sastra Inggris. Dia telah lulus sidang dengan nilai yang memuaskan, setelah menunjukkan caranya mengajar yang antimaenstream. Tidak heran, orang ini memang selalu berenergik dan kehadirannya selalu disukai banyak orang.

Sementara Anstian sudah lulus dengan gelar S.Pd dalam sastra Indonesia setahun sebelum mereka yang artinya dia adalah seniornya.

Ketiganya entah kenapa justru bertemu kembali di sini, dengan Anstian yang sudah mengajar di sekolah ini selama setahun, Alvairo menyusul setelahnya dan Alya sendiri masuk setelah 2 bulan kemudian, dan langsung ditempatkan sebagai wali kelas dua belas. Mengejutkan dirinya.

Karena dia sebetulnya hanya sarjana dari jurusan Teknik Matematika.

“Tapi menurut gue, anak kayak gitu dibiarin aja.”

Ucapan Anstian sontak mengaburkan segala pemikiran Alya.

“Lah? Bisa kejam juga lo?”

“Bukan gitu maksud gue.” Anstian buru-buru meralat. “Anak itu semakin dikerasin semakin ngelawan. Jadi ada baiknya kalo kita diemin aja, tapi di samping itu, kita ajarin pelan-pelan juga. Kalo dia gak mau, ya udah tinggalin dulu sementara. Inget, belajar itu keinginan bukan paksaan.”

Alvairo mengangguk-ngangguk. “Ya juga, sih.”

“Tapi sorry, gue gak bisa begitu. Gue lebih suka nendang dia ke luar jendela.”

Alvairo memang bicara begitu, namun pada kenyataannya, setiap usai dia mengajar di kelas MIPA 5, dia akan berteriak dengan kalimat yang hampir sama “Tuh bocah serem banget, etdah! Tatapannya kayak mau nyakar muka gue! Edan!”

Lalu jika ada yang bertanya Siapa? pria itu akan langsung menjawab, “Siapa lagi? Inisial A, 4 huruf.”

“Oke, tendang aja.” Anstian mengangguk.

“KOK LO KAYAK NGEREMEHIN GUE GITU?”

Alya sekali lagi mengabaikan dan mulai memikirkan sesuatu. Kalimat Anstian terus berputar di kepalanya tanpa kehendaknya.

“Tapi ini Alya, kan? Inget, bos besar dari barat aja tunduk sama dia, kalo cuma anakan iblis begini mah, ah kecil, iya gak, Al?” Alvairo menaik-turunkan alisnya, membicarakan perihal dosen pembunuh yang dulu sangat terkenal dan disegani di kampus mereka, justru nyalinya menciut setelah Alya menjejalkan tugas rumahannya ke mulutnya.

Namun Alya hanya menanggapi itu dengan menggedikkan bahunya.

Dia tengah memikirkan sesuatu yang jauh lebih penting dari misi penyelamatan dunia.


“Bro, how was your day?”

Arki berhenti menulis sesuatu di kertasnya dan mendongak untuk mengernyitkan dahinya pada dua orang di depannya yang tiba-tiba mengatakan sesuatu padanya.

Arki tidak berniat menjawab sama sekali dan dia kembali menulis tugas tambahan khususnya—esai refleksi diri—yang harus dikumpulkan pada guru bahasa Inggrisnya.

Tapi lelaki di hadapannya sepertinya tidak begitu menangkap bahwa dirinya sama sekali tidak ingin diajak bicara, jadi dia bicara lagi, “Lagi ngapain lo?”

“Oh, nulis esai. Lo bisa? Mau gue bantuin? Oh, bisa sendiri ya.”

Arjun bertanya, kemudian menjawab sendiri karena dia tahu, Arki tidak banyak bicara.

“Itu harus ditranslate lagi, kan? Lo bisa?” Adhitama ikut bicara juga.

Arki ingin mereka berdua enyah, namun dia tetap merespon pertanyaan itu. “Gampang,” jawabnya.

Arjun dan Adhitama saling berpandangan. Orang yang satu minggu lalu membacakan sebuah paragraf dengan aksen American Rancaekek baru saja mengatakan “Ini terlalu mudah.” dengan penuh percaya diri dan keyakinan yang tinggi.

Arki lalu mengangkat ponselnya ke atas kertas, dan memotretnya. Kemudian suara khas dari mesin pencarian google terdengar jelas di telinga mereka bertiga. “Ambil foto teks yang ingin Anda pahami.”

Keduanya terdiam.

“Maksud lo gampang pake google translate?” tanya Arjun.

“Tulisan lo gak kedetect sama google, mana sini gue bantuin.” Adhitama mengambil kertas di atas meja kemudian membaca tulisan yang begitu mengerikan, hampir tidak bisa dibaca sama sekali.

Sekarang dia mengerti kenapa google tidak bisa membaca gambar teksnya.

“Lo mau jadi dokter ya?” tanya Arjun lagi. “Udah bisa buka malpraktek, sih, ini.”

Adhitama memaksakan matanya untuk memahami tulisan mengerikan yang tertera di paragraf pertama dan kedua yang sudah ditranslate sebelumnya. Dia yakin ini masih diambil dari google translate sehingga banyak grammar yang masih salah penempatan, tapi sepertinya tidak jadi masalah.

Setelah memahami isi esainya, Adhithama menyimpulkan bahwa, tulisan juga bisa merusak sistem penglihatanmu.

“Bagus, sih, esai lo, tapi tulisannya bisa dibenerin dikit.” Dibenerin banyak juga gapapa, batinnya. Adhitama kemudian pergi membaca paragraf ketiga yang belum ditranslate, dan merasa menyesal sudah melontarkan kata bagus tadi.

“Apa yang harus saya ucapkan pada salah satu bagian tubuh saya? Tentu kamu adalah bentuk sempurna, seluruh dari kalian semua adalah seratus persen ketampanan dan keindahan sehingga tidak ada lagi yang perlu disesali. Tidak ada yang berhak menyalahkanmu yang begitu sempurna.”

Arjun tertawa kencang.

Adhitama ingin menarik kembali kata-katanya dan membenturkan kepalanya ke atas lantai.

Arki tidak mengerti apa yang telah terjadi.

“Oke, lo harus baca ini di depan Pak Iro dan tunggu sampe Pak Iro kasih lo pilihan mau ditendang atau dilempar ke luar jendela,” ucap Adhitama, sehingga Arjun tertawa semakin kencang.

“Nih lo tulis, gue bacain Inggrisnya.” Adhitama membanting kertas itu ke atas meja. Mulutnya mendadak terasa kaku karena dia harus membacakan kembali kalimat sialan itu. Itu sama sekali tidak mencerminkan dirinya.

Adhitama dengan sangat terpaksa membacakan kalimatnya dalam bahasa Inggris. Arjun di sebelahnya tertawa sambil memukul-mukul lengannya. Dan Arki menulis dalam diam.

Tak lama kemudian, guru sastra Inggris mereka tiba di depan pintu kelas mereka.

Alvairo masuk ke kelasnya setelah mengucapkan salam kemudian duduk di bangkunya untuk menulis di buku absensi.

Ketika dia melihat daftar absen, dia teringat sesuatu. “Arki masuk gak Arki?”

Seolah mengerti, yang dimaksud berdiri dari bangkunya dengan kertas di tangannya kemudian berangkat dari tempat duduknya dengan langkah yang tegap dan percaya diri.

Alvairo tersenyum puas. “Wah, pasti udah ngerjain tugas Bapak ya?”

Pria itu menerima lembaran kertas dari Arki dan kemudian membaca setiap kalimatnya, tapi dia menyerah ketika dia melihat tampilan tulisannya. Sementara Arki berbalik untuk melangkah ke luar kelas.

“Eh, mau kemana kamu?”

“Saya gak mau ditendang, Pak, saya mau keluar sendiri aja,” jawab Arki.

“Siapa yang mau nendang kamu?” Alvairo berpikir anak ini terlalu percaya diri dan juga pasrah.

“Baca dulu ini, yang keras.” Alvairo kembali menyerahkan kertas esainya dan Arki menerima itu dengan tanpa ekspresi.

Arki menggaruk rambut di belakang kepalanya sembari berdiri menghadap teman-teman sekelasnya, wajahnya menghadap pada kertas di hadapannya. Di sudut matanya terlihat Arjun yang mengulum bibirnya untuk menahan tawa, dan Adhitama yang menunundukkan kepala sembari menutup kedua telinganya.

Kemudian Arki dengan pengucapan aksen yang berantakan, membaca tulisannya sendiri yang sudah cukup mengerikan.


Alya memiliki jadwal untuk mengajar di kelas IPA 4 dimana untuk mencapai kelas itu, Alya harus melewati kelas IPA 5.

Dan ketika dia sampai di depan lorong kelasnya, Alya melihat murid urakan yang menjadi buronannya berdiri di luar kelas dengan menghadap ke lapangan upacara.

Ketika dia melewatinya, anak itu sedikit menatap ke arahnya kemudian mengabaikannya seolah tidak melihat apa-apa.

Dia pula sedikit melirik ke arah pintu yang terbuka dengan penasaran ketika telinganya mendengar banyak suara tawa dari dalam kelas, dan teriakan dari Alvairo yang sepertinya sibuk untuk menyuruh mereka diam dengan nada frustrasi.

Alya mulai bertanya-tanya, apakah sesuatu yang luar biasa telah terjadi?

vi

...

“Wes bro, senyum-senyum sendiri. Seneng ya lo dapet nomor gue?” Arjun dan kepercayaan dirinya yang di luar nalar membuat Arki langsung mengembalikan wajahnya ke ekspresi semula.

“Daripada seneng dapet nomor lo, dia kayaknya seneng dapet nomor temen sekelas. Lo ada naksir sama cewek di kelas, Ki?” tebakan Adhitama lebih semakin tidak masuk akal hingga itu berada di luar nalarmu.

Tiba-tiba, Arjun melirik ke arah jam. Lalu dengan setengah terkejut dia berkata, “Eh, udah jam lima aja?”

Adhitama secara refleks ikut menjatuhkan pandangannya ke arah yang sama. “Eh iya, udah sore. Lo mau pulang, Ki?”

Arki terdiam beberapa saat seolah sedang menimang pilihannya. Kemudian dia mengangguk, tapi mulutnya mengatakan, “Bebas.”

Adhitama menatap Arjun yang kemudian berbicara, “Nanti aja! Besok juga, kan, bukan senin.”

“Emang kenapa kalo bukan senin?” tanya Adhitama.

“Ya jam masuknya jadi jam 7:15, kalopun kesiangan, di hari rabu paling mentok disuruh nyapu halaman sekolah. Oh iya, gue tadi siang dapet info dari Reza, rabu nanti bakal ada razia.”

“Rabu? Besok?” tanya Adhitama.

“Gak, rabu depan! Sama satu lagi, Kamis depan, sekolah kita bakal ngadain kompetisi olahraga.”

“Kompetisi? Atas dasar apa?” tanya Adhitama.

“Gue gak tau juga, tapi Reza bilang HUT Dharmasraya.”

“Oh iya!” Adhitama menekan tinjunya ke telapak tangannya yang lain. Namun kemudian dia merosot lemas. “Ah, gak, yang ini bisa diskip aja gak, sih?”

“Napa, sih?” tanya Arjun.

“Gak ada, gue cuma males ngehadepin anak-anak MIPA 1, apalagi sekarang wali kelasnya Bu Hilmi, kan?”

Arjun mendapatkan sebuah pencerahan. “Oh iya, anjir! Bu Hilmi. Males banget, tch, kenapa harus ketemu lagi, sih, tahun ini? Mana masih ngajar sejarah. Kelas dua belas seharusnya gak belajar sejarah lagi, anjing! Emang ini kelas IPS?”

Arjun dan Adhitama serentak mengeluh namun Arki yang tidak mengerti apa-apa hanya diam. Tetapi Arjun menyadari munculnya pertanyaan di wajahnya.

“Lo inget Bu Hilmi pernah jadi wali kelas kita pas kelas sebelas gak?”

Arki praktis menggeleng, dan Arjun mendengus kecewa. “Lo mana bakal inget.”

“Padahal lo diomelin mulu sama dia, tapi lo gak inget sama sekali?” Giliran Adhitama yang bertanya, dan Arki lagi-lagi menjawabnya dengan gelengan tanpa suara.

“Gak apa-apa, sih, gak usah diinget. Gue juga kesel soalnya,” decak Adhitama.

“Gue bersyukur Bu Hilmi gak jadi wali kelas kita lagi.”

“Meski wali kelas kita yang sekarang agak gimana gitu,” lanjut Arjun.

“Kenapa?” tanya Arki.

“Gak apa-apa, gak apa-apa. Agak ngeselin aja, sih, ngasih pr terus. Tapi enaknya Bu Alya kalo ngajar tuh kita langsung ngerti.”

“Betul.” Adhitama mengangguk-angguk, menyetujui ucapan Arjun yang juga tengah mengangguk-anggukkan kepalanya

“Penjelasannya gak muter-muter, gampang dimengerti, suaranya juga jelas, caranya ngomong juga jelas, terus kalo meriksa pr, dia bakal bener-bener ngasih nilai, gak cuma ngasih paraf doang.”

“Betul, betul.” Adhitama menyetujui lagi, dan Arjun di sebelahnya menepuk-nepuk punggung Adhitama seperti dia adalah seorang Ayah yang membanggakan puteranya.

”....” Arki menatap datar keduanya. “Intinya, karena guru matematika itu cantik?”

Arjun dan Adhitama kompak terbatuk karena tersedak ludah mereka sendiri.

“Heh, m-meski iya, sih, Bu Alya itu sarjana muda—”

“Dua puluh satu tahun, itu masih muda banget!” Adhitama memotong ucapan Arjun.

“Tapi gimanapun juga gue masih terlalu waras. Kalo dibandingin sama tembok di kamar gue, mending gue pacaran sama tembok di kamar gue!”

“Oke fix, besok lo gue kawinin sama tembok kamar lo.”

“LO NGERTI PERUMPAMAAN GAK, ANJING?! NILAI BAHASA INDONESIA LO JELEK YA?” teriak Arjun pada Adhitama.

“Nilai kita sama-sama enam puluh delapan ya, anjing, jangan sok keras!”

Di tengah perkelahian satu lawan satu kelas berat itu, Arki mendengar dering telepon dari ponselnya yang langsung menampilkan nomor di luar buku teleponnya yang mana, dering itu juga menghentikan pertumpahan darah antara Arjun dan Adhitama.

“Kenapa? Ada telepon, Ki?” Arjun bertanya.

“Angkat aja dulu.” Dan ini Adhitama yang bicara.

Arki mengangguk kemudian dengan tenang berdiri dan keluar dari ruangan itu sembari meletakkan benda pipih di tangannya ke dekat telinganya.

Arki bersandar di dinding dan tidak mengatakan apa-apa. Tapi telinganya dengan seksama mendengarkan suara dari seberang.

“Arki, di mana kamu?”

“Arki?”

“Arki, kamu di sana, kan? Jangan bercanda, pulang sekarang juga, dimana kamu? Tante udah panggilin kamu guru privat, tapi kamu malah pulang telat? Dimana sopan santun kamu? Pulang sekarang, gak ada main main.”

Telepon kemudian terputus secara sepihak.

Arki menghela nafas panjang dan langsung meletakkan kembali ponselnya ke dalam saku celananya kemudian masuk kembali ke kamar Adhitama dengan ekspresi biasa saja.

“Kenapa, Ki? Nyokap lo nelepon?” tanya Adhitama.

“Lo pasti dicariin ya, ya udah ayo buruan pulang, anjir!” Arjun mengemasi sisa sisa makanan yang belum dibuka dan dimasukkan ke dalam tasnya.

“Ngerampok, njir!”

“Suka-suka gue, lah! Ini juga, kan, belinya pake uang gue! Arki, ayo sok siap-siap, kenapa diem aja?”

Arki tidak banyak berkata dan langsung menenteng tas di bahu sebelah kanannya. Dia belum melepas jaketnya sedari tadi, jadi dia hanya tinggal membawa tasnya dan pergi.

“Kalo mau main ke sini gak usah malu, jadi kayak Arjun aja, tamu yang gak punya malu. Setidaknya Arjun jadi punya temen buat diusir.”

“SAT!” Arjun akan melempar sepatu yang akan dia kenakan, ketika saat itu juga, pintu terbuka.

“Kemana aja lo baru pulang?” Adhitama langsung menanyainya, sementara gadis yang baru saja masuk ke dalam rumahnya diam mematung begitu melihat dua orang asing di dalam rumahnya.

“Ekskul PMR,” jawab gadis itu, dengan pandangan yang tak terlepas sedikitpun dari Arki, kemudian dia menatap Adhitama lagi dan Adhitama mengerti arti tatapan itu, tapi dia mengabaikan. Sebaliknya, dia menepuk pundak Arki dan mengucapkan salam perpisahan. “Hati-hati, bro!”

“Oke. Thanks, ya! Kita balik dulu!” Yang menjawab malah Arjun, sementara Arki hanya mengangguk.

Ketika keduanya pergi, dan deru mesin motor perlahan menjauh dan akhirnya menghilang, Adhitama masih berdiri di bawah tatapan penuh tanya dari Adiknya.

“Gue gak pernah liat temen lo yang itu, Kak. Murid baru kah?”

Adhitama mengerutkan dahi. “Kenapa lo mau tau?”

“Cakep soalnya, Kak.”

Adhitama hanya bisa tersenyum miring, yang seolah meneriakkan di depan wajahnya, Lo gak tau aja.


Malam menunjukkan pukul sembilan dan Alya di depan laptopnya yang terhubung dalam sebuah panggilan video bersama dua anggota lainnya tengah melakukan serangkaian kegiatan konferensi mengenai sebuah ancaman dunia yang begitu serius.

“Kalo gue jadi lo, gue gebugin pake sapu, sih, Al.” Suara bariton khas seorang pria mengisi indera pendengarnya, terdengar emosi, lelah, frustrasi, dan tidak berdaya. “Gue emosi terus bawaannya, anjir! Pengen resign jadi guru!”

Anstian tertawa menanggapi itu. “Tapi bukannya lo sendiri bilang lo siap ngehadepin apapun resikonya, selama lo dapetin gelar sarjana lo.”

“Ya itu, kan....”

“Nah, jadi ini bayaran buat gelar sarjana lo.”

“Apa otak gue selama ini murahan, hah?”

Alya tetap mendengarkan teman-temannya berdiskusi meski dia juga tengah menyalin sesuatu ke bukunya.

“Lo ngerjain apa, Al? Dari tadi gue liat lo sibuk banget,” tanya pria itu, Alvairo.

“Materi. Buat murid gue.”

“Arki?” tebak Alvairo, dan Alya tidak menjawab itu sehingga Alvairo menganggap itu sebagai benar.

“Kenapa lo gak coba buat kelompok belajar aja, Al? Kayak Tian, jadi anak-anak kelas lo bakal saling support, gitu.”

“Gak mempan.”

”....”

“Gue mau, gue yang cekokin dia, gue mau dia muak sama matematika terus keluar dari sekolah.”

”....”

“Lo mau resign apa dipecat, Al?” tanya Anstian.

Namun Alya hanya menghela kasar kemudian terdengar suara 'Bugh!' Yang mana itu adalah dirinya sendiri yang membenturkan dahinya ke meja. Dan Alvairo, dia tertawa.

“Tapi lo pernah denger ini gak, sih?” Ketika suara tawa Alvairo mereda, Anstian kembali bersuara. “Tentang Arki.”

“Apa, apa?” Alvairo mulai tertarik.

“Ini bukan rumor ya, soalnya ini bener-bener kejadian.”

Alvairo maju ke depan sehingga di layar wajahnya terlihat begitu dekat, terlihat begitu tertarik.

Anstian menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya perlahan. Dia mulai menatap teman-temannya dengan serius. “Arki pernah kejerat kasus berat di sekolah yang bikin dia hampir di-drop out, kalian tau?”

“Dia pernah ... dengan sengaja, bikin wali kelas sepuluhnya masuk ke rumah sakit.”

Alya yang sedari tadi diam mendengarkan akhirnya menunjukkan perubahan wajah yang signifikan. Dia dengan cepat merespon, “Kenapa?”

“Gue gak tau alasannya apa, soalnya gue cuma denger ini dari senior gue waktu itu yang udah pindah sekolah, dia bukan guru di sini lagi. Dan yang masuk rumah sakit itu juga udah pindah, tapi gak tau kemana.”

“Sejak kejadian itu kesebar, Arki jadi jarang ke sekolah, bahkan di kelas sebelas, dia satu semestar gak masuk ke sekolah sama sekali. Waktu itu wali kelasnya Bu Hilmi, gak tertarik buat ngelakuin apa-apa dan diem aja.”

Mendengar itu, Alya berdecak entah karena apa.

Lalu Alvairo bertanya, “Kenapa dia bisa lolos sanksi drop out?”

“Harus gue jawab?”

“Oh, oke. Gue paham.”

Anstian sekali lagi menghela nafas. “Kita semua tau dia ini gimana, susah konsentrasi di kelas, gak betah sama belajar, apalagi ini tahun terakhirnya di sekolah. Buat bikin dia punya semangat belajar, kita harus ngerti sama keinginan dia.”

“Tapi masalahnya, gue gak pernah ngerti sama jalan pikir dia, gue jujur.”

Alvairo kemudian tertawa lagi, baru kali ini dia mendengar suara Anstian yang begitu putus asa. “Lo abis diapain sama dia, Tian?”

Anstian di seberang sana mengulurkan tangan pada sesuatu dan meraih sebuah kertas untuk dia angkat di depan wajahnya yang frustrasi.

“Baru aja gue pecahin kode tulisannya yang sulit dimengerti. Dia nambahin sendiri di setiap soal option E yang isinya Saya gak tau.” dan dia silang jawaban itu.”

Anstian mencubit batang hidungnya. “Terus di bawah soal terakhir, dia nambahin kritik dan saran, “Lain kali kasih kolom buat pilih 'gak tau', karena gak semua orang tau.”

Alvairo langsung tertawa paling kencang sementara Alya samar-samar mendengar Anstian menghela nafasnya. Jujur, baru kali ini dia melihat sosok Anstian yang begitu kesusahan.

“Gue ... gue baru kali ini nemu kasus murid ngasih kritik saran buat gurunya bikin soal ujian!” ucap Alvairo, di tengah tawanya yang terus meledak. “At least, murid lo kocak, Al, cuma emang pantes buat dipukulin pake sapu.”

Alya tidak merespon apapun, entah karena dia tidak bisa berkata-kata, atau memang dia tidak tahu harus berkata apa. Yang jelas, dia kehilangan suaranya.

“Lo bakal ngelakuin apa, Al?” Anstian bertanya.

Alvairo bertepuk tangan dengan semangat. “Woah, gue mau liat, dua orang tirani sekolah dan mantan tirani sekolah, sekarang berhadapan sebagai guru dan siswa. Apa yang bakal dilakuin mantan tirani sekolah?”

“Kedengeran kayak karma instan gak, sih?” celetuk Anstian, dan Alvairo tertawa lagi. “Bener, sih, bener!”

Mengabaikan keduanya, Alya menatap buku di tangannya dan diam berpikir. Matanya fokus tulisan-tulisan itu, kemudian dia menjawab, “Gak tau.”

Kemudian ketiganya menjadi diam, dan Alya berkedip beberapa kali tapi tidak merubah posisinya sedikitpun dari menghadap buku di depan wajahnya.

Dia kemudian berkata, “Tapi kayaknya, sekarang gue udah tau.”

v

...

Deru mesin motor menghilang begitu dua orang itu berhenti di depan sebuah rumah tanpa tingkatan di atasnya, namun terlihat begitu luas.

Adhitama di depannya menjulurkan tangan untuk mendorong gerbang itu terbuka, kemudian membawa motornya masuk dan Arki di belakangnya mengikutinya. Keduanya sampai di dalam garasi yang tidak begitu luas, namun sepertinya cukup untuk menyimpan sebuah mobil dan satu buah motor di dalamnya.

“Lo hapal gak jalan ke rumah gue tadi?”

Arki yang baru melepas helm nya diam, memikirkan sesuatu. Dia ingat bagaimana perjalanan ini tadi setelah berpisah dengan Arjun di tengah jalan, mereka masuk ke kawasan perumahan, dan setelahnya, dia hanya terus berpikir bahwa dia sudah disesatkan setan.

Jadi Arki menggeleng, seperti yang diharapkan oleh Adhitama. “Ya udah, nanti lo pulang bareng Arjun aja. Yuk, masuk.”

Adhitama menuntunnya masuk ke dalam rumahnya, pintu ditutup setelah dia melepas sepatunya dan meletakkannya di rak sepatu, Arki mengikuti setiap gerakannya di belakang. Kemudian ketika dia mengangkat badan, matanya langsung melihat suasana hening di dalam ruangan.

Adhitama di sampingnya menyadari tatapan penuh tanya dari Arki, jadi dia menjawab, “Nyokap gue kerja, bokap gue juga kerja. Gue di sini cuma berdua sama Adek gue, cuma kayaknya dia lagi ekskul sekarang.”

“Adek gue kelas sepuluh di Dharmasraya juga, dia di kelas IPS. fyi aja sih kalo lo ketemu dia mending gak usah diladenin, atau kalo bisa lo lari.”

“Kenapa?”

Adhitama menekan saklar lampu dan terlihat kamarnya yang didominasi dengan warna biru gelap dan begitu rapi.

“Lo gak akan tahan,” jawabnya.

Arki hanya mengangguk meski ia tidak sepenuhnya mengerti. Dia melihat Adhitama menggantung tasnya di samping pintu, sambil mengatakan, “Lo duduk di sana, atau di mana aja dah, terserah!”

“Arjun biasanya dimana?”

“Dia mah dimana aja juga bisa, di WC juga gak masalah.”

Arki mengangguk tanpa suara lagi dan memilih duduk di pinggir kasur dengan seprai biru tua yang polos, duduk dengan kaku. Matanya dengan canggung mengedar ke seluruh isi kamar, tapi tidak berani melihat lebih jauh.

“Lo mau minum apa? Gue bikinin,” tawar Adhitama.

Namun ketika Arki akan menjawab, Adhitama melanjutkan, “—Tapi gue cuma bisa bikin air putih dikasih es batu, sih.”

“Ya udah.”

Adhitama mengangkat ibu jarinya dan berkata, “Sip!” kemudian keluar dari kamar untuk pergi ke dapurnya.

Arki yang duduk dengan canggung di sana terus diam, dia bahkan tidak berani membuat banyak gerakan, bernafas juga terasa berat, pandangannya terus jatuh pada meja belajar dengan beberapa buku yang tersusun rapi dan satu buah laptop yang tertutup rapat. Orang ini terlihat begitu rajin.

Kalau dipikir-pikir, ini adalah kali pertama dirinya berkunjung ke rumah teman sekelasnya, jadi jelas saja jika dia sedikit kikuk.

Sejak awal tahun masa sekolah, tidak ada yang berani mengajaknya bicara. Semua orang menganggapnya sebagai seorang tirani yang bengis, yang akan menghajarmu meski hanya dengan menatap matanya selama lebih dari tiga detik.

Karena itulah, Arki jarang masuk ke kelas. Setelah itu, dia bahkan tidak ingat ada siswa bernama Arjun dan Adhitama di kelasnya. Dia tidak ingat nama-nama teman sekelasnya, tidak ingat nama gurunya. Dia tidak ingat nama wali kelasnya. Dan karena sifatnya yang tertutup itu juga, tidak ada yang berani mendekatinya.

Kalau bukan karena esai dan rasa percaya dirinya yang dituangkan dengan bangga ke dalam sana, Arki tidak akan pernah menyadari keberadaan Arjun dan Adhitama.

Jika dia ingin mengingat lagi, kapan terakhir kali dia pergi ke rumah teman dan apa yang biasanya dilakukan di rumah teman? Apa yang membuatnya setuju untuk pergi?

Tapi, apakah boleh menganggap dua teman sekelasnya ini sebagai temannya?

Saat sedang berpikir begitu, Arki dikejutkan oleh suara Arjun yang tiba-tiba muncul di depan pintu kamar. “Oi, udah lama lo di sini?”

Arki tidak menyadari kehadiran manusia ini dan sekarang dia sudah berada di hadapannya, melepaskan jaket dan tasnya kemudian menyerahkan sekantong plastik belanjaan yang isinya makanan ringan pada dirinya.

Dan Arjun yang tidak mendapat jawaban mengerut bingung. “Lo kenapa, Ki?”

Arki dengan santai menggelengkan kepalanya. Tangannya berkelana ke dalam kantong plastik putih itu dan mendapatkan sebungkus roti, dia mengambil itu.

Tak lama kemudian, Adhitama masuk dengan dua gelas air putih dingin di atas nampan.

“Wih, baik banget lo, makasih.” Arjun dengan cepat menyambar salah satu gelas dan meminumnya.

“Itu punya gue, anjing!” marah Adhitama.

“Lah, kirain lo bikinin buat gue?”

“Gak ada, lo bikin sendiri, gih.”

“Kenapa lo jahat banget sama gue, njing?”

Adhitama mengabaikan itu dan meletakkan nampan ke atas meja kecil, sementara dirinya beralih mengacak-acak lemari yang berada di bawah monitor lebar. “Mau main apa?”

“Bebas,” jawab Arjun sembari menepuk-nepuk tempat kosong di sebelahnya duduk, dan Arki turun, duduk di sebelahnya. “Eh, itu aja tuh yang di tangan lo! Lo mau gak main ini, Ki?”

“Apa?”

“Balap-balapan.”

Arki mengunyah rotinya dengan tenang. “Bebas.”

Arjun berseru senang, sementara Adhitama mencibir, “Kayak bocah lo! Tapi oke.”

Adhitama sibuk mempersiapkan segalanya, sementara Arjun menyerahkan sebuah stick pada Arki. “Lo tau, kan, cara mainnya?”

Arki menerima stick itu dan menjawab, “Gak.”

Arjun terkejut pada jawaban itu. Bahkan Adhitama yang mendengarnya menyahut, “Lo serius gak pernah main PS?”

Arki menggeleng lagi.

Arjun dan Adhitama saling berpandangan, membuat Arki merasakan sebuah tekanan yang mendadak. Dia akhirnya sadar satu hal, seharusnya dia tidak menyetujui ajakan ini, mereka jelas berbeda.

“Sini, sini, sini, gue ajarin.” Arjun berinisiatif sendiri dan menunjukkan sticknya pada Arki. “Ini namanya stick, kalo lo mau maju, lo pencet ini, kalo mundur pencet yang ini, tapi kalo di sini jadinya ngerem. Kalo mau belok lo tinggal tekan tombol yang ini, ini kanan ini kiri. Kalo mau ngebut lo dorong yang ini ke depan. Paham belum?”

Arki mengangguk. “Begini?” Dia langsung menarik tuas ke belakang alhasil, mobil berwarna silver itu melaju kencang ke belakang, menabrak dan lalu melindas mobil-mobil lain di belakangnya.

Arjun dan Adhitama sekali lagi saling berpandangan.

Kemudian mereka tertawa kencang. Arjun bahkan sampai menangis.

“Anjir, dilindes!”

“Kenapa gak lo lindes aja mobil si Juned, Ki?”

“Anjing, mobil lo aja!”

Setelah keduanya reda dari tawa mereka, mereka resmi membuat pertaruhan. Arki tidak ingin ikut-ikutan tapi dia dipaksa membuat taruhan jadi dia terpaksa masuk pertandingan ini.

“Oke, yang kalah, traktir makanan paling mahal!”

Arjun mendelik merasakan ketidakadilan. “Lo kejam banget sama gue, Dhit! Dompet gue sampe kering diperas lo berdua, terus lo mau meras gue lagi?”

“Tenang aja, kali ini lo gak bakalan dirampok.” Adhitama tersenyum yang menyiratkan sesuatu.

Pertandingan dimulai. Ketika lampu merah keempat dihidupkan, Arjun dan Adhitama kompak menarik pedal gas mereka, meninggalkan Arki yang tertinggal di belakang.

“Kenapa diem aja, Ki? Udah sadar kalo bakal kalah?” Arjun memprovokasi, tapi Arki tidak membalas apapun.

Setelah beberapa saat, Arki tiba-tiba menarik tuas ke belakang dan menekan tombol 'left' sehingga mobil silver itu berjalan mundur di dinding pembatas yang melengkung, kemudian mobil turun, berputar sembilan puluh derajat dengan gerakan tajam, lalu Arki dengan santai menekan tombol maju. Mobil itu akhirnya berhasil mencapai garis finish, lewat jalur belakang.

Arjun : “....”

Adhitama : “....”

“BENTAR, BENTAR! CURANG, ANJIR!” teriak Arjun.

“Gak boleh begitu? Tapi di situ masih kehitung menang?”

“GAK! GAK ADA, GAK ADA! GAK BOLEH PAKE CARA TERBANG, TERBANG BEGITU! ULANG, ULANG!”

“Gak usah berisik, anjing!” Adhitama menghantam kepala Arjun dengan stick-nya.

Kemudian, permainan diulang. Arjun dengan arogan memilih arena yang terjal, berpikir kalau Arki yang pemula tidak bisa melewati jalur itu.

Namun tidak peduli sudah berapa kali putaran mereka lalui, keberuntungan selalu mengikuti Arki dari belakang.

“Oke, yang tadi itu cuma pemanasan! Ini final! Gue bakal tunjukin siapa gue sebenarnya!” Arjun hampir membanting stick di tangannya, tapi dia menahan itu demi harga dirinya.

Arjun memilih arena paling sulit dilalui, yang berkelok-kelok dan dia sendiri bahkan belum pernah menginjak jalan itu.

Di putaran terakhir ini, Arjun tidak lagi mengoceh, wajahnya benar-benar serius sampai orang tidak akan percaya bahwa dia adalah Arjun. Namun sayang, mobil silver milik Arki kembali memimpin meski tadi sempat tertinggal di belakang. Arjun dan Adhitama nyaris patah semangat.

Tapi tanpa diduga-duga, mobil Arki tiba-tiba tergelincir saat berbelok, sehingga Arki terpaksa membanting stir namun naas mobilnya terguling.

Melihat itu, tawa Arjun mendadak pecah. Sepertinya dewi fortuna berpihak padanya sekarang. “Lo liat sini, Arki, gue bakal tunjukkin seberapa hebat gue sebenernya!”

“Banyak omong sebelum bertindak dapat menyebabkan kematian,” balas Adhitama.

“Anjing, serem banget, sat! Gue bakal kalahin lo!”

“Sok aja, potong mobil gue.”

Arjun menggeram rendah. Dia melajukan mobilnya lebih cepat, dan begitu mobilnya bersinggungan dengan mobil milik Adhitama, dia menyempit jarak mereka dan menyerempet mobil itu. Adhitama tentu saja tidak diam saja dan membalasnya.

Alhasil, mobil berwarna kuning dan nila itu saling menabrak di sisi mereka satu sama lain.

Ketika keduanya sibuk memperebutkan jalan untuk berada di paling depan, tiba-tiba, sebuah mobil berjalan melalui dinding pembatas yang berbelok. Berkendara di belakang mereka, lalu meluncur terbang dan melewati di atas kepala mereka, kemudian dia mendarat untuk melaju selanjutnya.

Dan mobil silver itu berhasil mencapai garis finish lagi.

Arjun : “....”

Adhitama : “....”

Siapa yang tau, hati mungil mereka telah dilindas mobil itu

“Dah, gue gak mau main lagi.” Arjun menghela nafasnya dan membanting stick di tangannya begitu saja.

“Bangsat! Itu stick gue, anjing!” marah Adhitama, tidak terima, tapi dia memukulkan sticknya sendiri ke kepala Arjun.

Kemudian Arjun tiba-tiba berdiri, duduk dan berlutut di hadapan Arki. Kemudian mengatakan, “Guru, tolong bimbing saya, guru!”

“Saya akan melakukan apa saja, asal guru bersedia membimbing saya!”

“Oke, Arjun yang traktir,” putus Adhitama.

“Sat!?”

“Ki, karena lo yang menang, lo yang tentuin tempatnya, eh, oh iya! Kita belum tukeran WA, kan?”

Mendengar kalimat Adhitama barusan, Arjun yang tadinya tengah mengumpat mendadak berhenti dan beralih menatap Arki. “Oh iya, minjem sini hp lo, Ki!”

Arki tidak banyak bicara, langsung menyodorkan ponselnya yang tidak dikunci sama sekali kepada Arjun.

Arjun menerima itu, dia kemudian membuka buku telepon milik Arki dan melihat bahwa itu bersih tanpa nama siapapun.

Keduanya saling menatap satu sama lain.

“Lo belum save siapa-siapa, Ki?” tanya Arjun, namun dia mulai mengetikkan nomornya sendiri di sana.

Arki tidak menjawab itu dan lanjut mengunyah rotinya dalam diam.

“Nah, gue jadi yang pertama di kontak lo. Nih nomor gue, Paduka Arjun Prasetya.”

“Najis! Mana sini giliran gue!” Adhitama merebut ponsel Arki dari Arjun, kemudian mengetikkan nomornya sendiri di sana. Dia menuliskan 'Tuan Adhitama' untuk nama kontaknya sendiri, kemudian keluar, masuk ke nomor milik Arjun, dan mengganti namanya menjadi 'Babu Arjun'

“Seenaknya lo ganti nama kontak gue!” Arjun merebut kembali ponsel Arki.

“Lagian apaan paduka Arjun tai Prasetya?”

“Lo sendiri apaan, njing?! Udah, biar Arki yang nentuin. Ki, lo mau save apa? Yang sekiranya gampang lo inget dan sangat amat menggambarkan gue,” ujar Arjun, padahal isi buku telepon Arki hanya ada mereka berdua.

“Oke, tulis, idiot satu buat lo, idiot dua buat dia.”

Arjun dan Adhitama sekali lagi : “....”

Pada akhirnya mereka berdua hanya menyimpan nomor mereka di sana dengan nama masing-masing.

“Eh, lo belum gabung grup, Ki?”

“Perasaan dia ada di grup, cuma gak pernah nongol aja,” jawab Adhitama.

“Gue ganti nomor,” Arki meluruskan pertanyaan-pertanyaan itu. “Hp gue kecemplung pas Pencata.”

Arjun mengangguk paham. “Oh, pantes. Gue masukin ya?”

“Gak usah.”

“Kenapa? Di grup Reza suka ngasih informasi dadakan, Ki, hasil nguping dari penjuru ke penjuru. Kadang juga kalo dapet dia bakal ngasih bocoran soal ujian, meski gak akurat, sih.”

”....”

Arjun kemudian menyerahkan kembali ponselnya dan Arki menerima itu tanpa berkata apapun. Dia menatap riwayat chatnya yang menampilkan pesan yang belum dibaca dari Arjun berisikan emot sekebon, dan Adhitama yang menulis 'Sip.' Kemudian di bawah mereka berdua, ada grup kelasnya.

Arki membuka grup itu, dan terlihat bahwa roomchat masih kosong. Dia kemudian membuka profil grup, mencari tulisan “Keluar dari grup” Namun saat dia hendak memilih opsi itu, muncul banyak notifikasi di atas layar sehingga dia tidak sengaja membukanya.

[Rehan absen 25] : Itu nomor siapa, Jun?

[Arjun] : Arki, bro

[Rehan absen 25] : Lah, nomor yang kemaren kenapa?

[Arjun] : Udah gak aktif lagi, bro

[Rehan absen 25] : Oh, oke sip, udah gue save, @You saveback ya

[FRHNZ] : Wih Arki, save gue juga, Ki!!!!!

[Naila] : Save gue juga, Ki, btw jangan lupa pr mtk ges

[Difaniii] : @You lo belum bayar uang kas dari tahun kemaren cmiiw [Difaniii] : sb anw

[FRHNZ] : Bendahara di kick aja

[Difaniii] : Lo denda 20000

[FRHNZ] : KOK ANJ*ING?????

[RezaKnowItAll] : [File PDF] JAWABAN TUGAS FISIKA [RezaKnowItAll] : Barangkali lo belum dapet

[FRHNZ] : GUE MINTA MATMIN JINGGG

[RezaKnowItAll] : GUE NGASIH ARKI JINGG [RezaKnowItAll] : MATMIN KERJAIN SENDIRI

[Bagus Toufik:GUSTO] : Ada yang liat emak gue?

Arki menatap semua omong kosong di grup kelasnya tanpa kata-kata, yang kemudian semua omong kosong itu semakin tidak masuk akal dan topik mendadak berubah menjadi pembahasan jagung rebus.

Arki tidak mengerti itu semua, jadi dia keluar dari aplikasi itu dan menutup ponselnya begitu saja, mengabaikan semua kebodohan itu. Tapi tidak dapat disangkal juga bahwa dia tidak bisa menahan sudut bibirnya naik ke atas.

iv

...

“Ada yang gak masuk hari ini?” Alya menulis di buku absennya dan sedikit melirik pada bangku di paling belakang. Takut-takut kalau yang dia lihat sekilas di awal hanyalah halusinasi tapi itu benar-benar muridnya yang berada di sana.

“Nihil, Bu,” jawab Rehan selaku ketua kelas.

“Oh, bagus. Akhirnya nihil juga,” ujar Alya, dengan nada menyindir sehingga beberapa muridnya ada yang refleks menoleh atau mendelik pada murid yang sendirian di bangku belakang. Padahal sejujurnya Alya tidak bermaksud menyindir siapapun.

“Apa lo semua liat-liat gue? Ngefans?” Arjun keegeeran, dan teriakan kepedean itu berhasil membuat berpasang-pasang mata melemparkan pandangan jijik dan membuang muka secara serentak.

“Kalian semua begitu tega!” Arjun memegang dadanya dengan dramatis.

“Najis, Jun!” Adhitama di sebelahnya memukul kepalanya.

“Nah, bagus, Dhit, lo emang bener-bener temen sekelas gue.” Farhan yang duduk di sebelah mereka berdua mengulurkan tangan dan menjabat Adhitama. Mewakili semuanya untuk berterima kasih dan mendukung gerakan memukuli Arjun.

“Di mana hati nurani kalian?” Arjun menjerit karena menjadi si paling tersakiti.

Dan lupa kalau di hadapan mereka masih ada guru yang memerhatikan drama kelas ini.

“Semuanya udah ngerjain tugas dari saya, kan?” Alya melerai keributan di kelasnya. Dia sudah membuka bukunya untuk memulai pembelajaran hari ini.

Semua kelas mengiyakan sebagai jawaban dengan penuh semangat dan Alya berdoa semoga jawaban itu bukan sekadar omong kosong belaka.

“Oke kalo gitu, kita bahas dulu. Siapa yang mau ngerjain nomor satu?”

Satu kelas mendadak hening.

Sudah jelas, kalau begini mana ada yang mau menjadi sukarelawan.

“Arki.” Alya memang sudah menargetkan anak itu. Dari sejak awal dia datang, dia sudah enak-enakan di bangkunya. Alya ingin melihat sampai mana Arki memahami tugasnya sendiri.

“Ki.” Arjun di depannya bahkan berbalik dan memukul kepalanya dengan tangannya untuk membangunkan cowok itu.

Arki kemudian mengangkat tubuhnya, mengusap kelopak matanya dan bertatapan dengan Arjun yang menjelaskan padanya, “Nih bawa buku gue, salin jawaban nomor satu di depan. Buruan anjir, itu Bu Alya udah natap lo kayak mau nelen lo hidup-hidup!”

Tanpa banyak basa-basi, Arki berdiri dengan buku Arjun di tangannya dan matanya memandang dengan mengantuk.

Arki mengambil spidol dari tangan Alya kemudian mulai menyalin tulisannya dari buku latihan ke papan tulis putih yang masih bersih tanpa komentar apapun.

Satu kelas memerhatikan dengan mata mengerjap tidak percaya setiap coretan tajam yang begitu berani dan riang ketika tangannya menarikan spidol dengan sangat lincah di atas papan tulis.

Mereka tidak bisa membaca apapun.

Arki dengan wajah tak berekspresi menyerahkan spidol kembali pada gurunya.

“Udah?” tanya Alya.

Arki tidak merespon dan kembali untuk duduk di bangkunya dengan tanpa perasaan apapun.

“Tunggu dulu.” Alya dengan cepat menahannya pergi.

“Kamu ngerti gak kamu nulis apa?”

Arki menatap papan tulis kemudian menggeleng dan menjawab, “Gak.”

Sudah dia duga.

“Kamu ngisi soal saya gimana?”

Arki terdiam beberapa saat kemudian dengan patah-patah melirik pada Arjun, namun Arjun melotot. Jadi saja Arki menjawab, “Insting.”

Padahal Alya melihat interaksi mereka berdua barusan.

“Coba kalo insting, baca ini apa.” Alya menunjuk salah satu rumus yang berantakan.

Arki menggaruk rambut di belakang kepalanya sembari menatap ke papan tulis di hadapannya.

“Akar ... akar kuadrat dua belas....” Arki mengeja tulisannya sendiri dengan gagap. “X ... X ... X apa itu?”

Satu kelas : “....”

“Coba Ibu tebak itu X apa?”

”....”

Alya mulai merasakan migrain di kepalanya.

Satu kelas tidak ada yang berani bicara.

Alya lantas menunjuk orang lain. “Arjun, maju.”

Yang dipanggil dengan sigap berdiri dan berjalan ke depan.

“Kamu diem di situ.” Alya memperingatkan Arki sementara Arjun mulai menuliskan jawabannya di papan tulis. Tulisannya benar-benar rapi dan tertata dengan disiplin. Jika dibandingkan dengan tulisan di atasnya, tentu saja yang atas itu bahkan ayam pun tidak terima itu disamakan dengan kakinya.

Arjun selesai menulis dan meletakkan spidol di tangannya ke atas meja. Dia mundur dan berdiri di sebelah Arki.

“Arki, kamu paham gak?”

“Gak,” jawab Arki tanpa ragu.

“Arjun, kamu paham?”

Arjun mengangguk dengan cepat. “Paham, Bu.”

Alya menatap keduanya yang menjulang tinggi di hadapannya. Meski begitu, Alya masih bisa melihat Arjun dan Arki menatapnya dengan rasa hormat.

“Kalian berdua berdiri di sini, Arjun ajarin Arki sampe dia ngerti. Dan Arki, nanti jelasin di depan kalo udah ngerti, cara ngerjain soal nomor satu. Bisa?”

Arjun mengangguk dan mengucapkan, “Bisa, Bu.” Sementara Arki hanya diam tanpa respon sedikitpun.

“Bagus, daripada jadi partner contekan, mending jadi partner belajar, kan?”

Arjun terdiam tapi beberapa saat kemudian dia menjawab dengan gugup karena dia sudah ketahuan. “I-iya, Bu.”

Alya mengangguk puas dan beralih fokus pada anak-anaknya yang lain. Dia dengan sengaja membiarkan keduanya belajar dengan cara mereka sendiri karena berpikir dengan cara ini Arjun akan semakin meningkatkan cara berpikirnya dan berharap Arki akan lebih mudah paham, sekaligus, dia ingin Arki setidaknya berinteraksi dengan teman sekelasnya.

Alya pergi menjawab soal nomor dua dan menjelaskan sistem pengerjaannya dengan cara yang begitu mudah dipahami, sembari mengawasi dua muridnya yang lain yang sibuk pada dunia belajar mereka sendiri. Ketika selesai menjelaskan, Alya segera beralih pada nomor selanjutnya.

“Naila, mau ngisi nomor tiga?”

Alya menunjuk satu siswinya yang tanpa diduganya anak itu mengangguk dengan semangat.

Naila mulai menuliskan pengerjaannnya dengan tulisan tangannya yang begitu rapi dan cantik. Seperti yang diharapkan dari seorang sekretaris.

Alya lagi-lagi melirik, pemandangan yang sama yaitu mendapati Arjun yang bertanya, “Ngerti belum?” Dan Arki yang akan mengangguk sembari menggaruk rambutnya di belakang kepalanya.

“Sok jelasin ulang ke gue,” ujar Arjun.

Tapi Arki justru menatap Arjun dengan dahi mengernyit. “Apa?”

“Tadi katanya lo ngerti?”

“Ngerti,” aku Arki sembari mengangguk.

“Ya udah sok jelasin ke gue, njing!” Arjun memukul pundak Arki dan beberapa teman sekelasnya yang menonton mereka berdua tertawa pada itu.

Arki melihat pada bukunya, lalu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Gue boleh pilih D aja gak?”

Arjun : “....”

“Gimana, Arjun?” Alya akhirnya sepenuhnya memerhatikan mereka.

Arjun menatapnya dengan wajah memelas. “Bu, saya mau bersihin WC aja, Bu, please.

Teman-teman sekelasnya serentak menertawakan Arjun yang terlihat begitu menyedihkan.

Alya mau tidak mau menghela panjang. Untuk seukuran iblis, cara belajar ini tidak terlalu efektif tentu saja.

Alya beralih pada Naila. “Naila, kamu bisa jelasin yang nomor tiga?”

“Bisa, Bu.” Naila tersenyum ceria. Gadis itu memang selalu terlihat dengan senyumnya. Dia kemudian menjelaskan cara mengeksekusi soalnya dari penguraian hingga ke metode eliminasi dan mendapatkan angka delapan yang dia garis bawahi sebagai hasil akhir penyederhanaan.

“Naila, kamu boleh duduk. Arki, kamu paham?” Alya kembali pada siswanya yang satu itu.

Arki mengangguk tanpa ragu.

“Bener gak?” Namun Arjun terlihat ragu.

Arki mengangguk lagi.

“Riil kah?”

Dan Arki mengangguk sekali lagi.

“Oke, Arjun, tolong hapusin itu.”

Arjun dengan sigap bergerak dan menghapus semua tulisan yang memenuhi papan putih, dan ketika dia selesai, Arjun kembali berdiri di sebelah Arki.

“Arki, coba kamu tulis dan jawab soal nomor empat sambil jelasin ke temen-temen kamu.”

Arki menatap papan tulis itu tanpa emosi apapun, kemudian menyerahkan bukunya pada Arjun lalu meraih spidol di atas meja dan berdiri menghadap papan tulis. Dia mulai mengangkat spidolnya, menulis soalnya dengan tulisan yang masih sulit dimengerti, tapi ini hanya soal, semuanya masih bisa meraba arti coretan alien itu lewat buku masing-masing.

Arki kemudian pergi dan mengukir jawaban, dia menulis akar kuadrat dua lalu berhenti di sana. Dia tanpa berbalikpun berbicara, “Bu, boleh langsung tulis jawabannya aja gak?”

Alya terdiam sejenak, dan Arjun terkejut. Dia tahu Arki tidak mengisi soal nomor empat karena tidak sempat tadi. “Lo udah dapet jawabannya?”

Tanpa menjawab pertanyaan Arjun, Arki menghapus tulisan akar kuadrat dua itu menggunakan telapak tangannya, dan benar-benar membawa spidol itu untuk menuliskan jawabannya.

Satu kelas tertegun begitu melihat hasilnya.

Di papan tulis itu, berdiri dengan berani sebuah huruf bertuliskan “D”.

”....”

Keheningan mendadak mengisi ruangan itu.

“Jawaban saya bener, kan?”


Alya mengakhiri kelasnya begitu bel tanda berakhirnya jam pelajaran sekaligus pertanda pulang sekolah berbunyi nyaring di seluruh penjuru sekolah.

Dia sudah sampai di tempat duduknya lalu menatap ponselnya sejenak dan kemudian dia menjatuhkan kepalanya ke atas meja.

Dia rasanya ingin menangis, tapi di lain sisi juga dia tidak bisa melakukan itu.

Alya benar-benar frustrasi.

Alya tidak akan menghukumnya berdiri di luar kelas, atau menjemurnya di lapangan, itu artinya dia menyerah jika dia melakukan itu dan dia kalah.

Dan juga, percuma dia lakukan itu padanya. Baik menyuruhnya membersihkan koridor atau membangun kelas baru dan bakar kemudian, itu semua tidak akan berguna jika yang diberi hukuman adalah Arki.

Tapi apa yang harus dia lakukan kepadanya?

Alya menatap kertas-kertas yang bertumpukkan di atas mejanya, dan matanya jatuh pada profil seseorang yang menampakkan skor yang begitu mengerikan.

Alya menghela panjang sekali lagi. Sepertinya dia tidak bisa hanya memberinya bertumpuk-tumpuk PR, tapi juga harus membuatnya muak dengan itu sehingga dia berhenti memuntahkan omong kosongnya.

“Apa isi kepala anak itu, sih?”

Alya memang seorang pendidik, tapi pikirannya sekarang justru melayang memikirkan bagaimana caranya agar dia bisa membelah kepalanya dan melihat ada apa di dalamnya.

Semuanya pasti hanya berisi omong kosong.

“Hah....” Alya menghela lagi. Dia kehabisan akal, tapi dia tidak akan mau menyerah.

Jelas, dia tidak akan pernah mau untuk kalah apa lagi mengalah.


Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak tadi dan kelas hanya menyisakan beberapa murid yang masih bertahan di sekolah, entah karena akan berangkat pada ekskul mereka atau sengaja pulang lebih akhir.

“Woi balik bro balik, diem diem bae.” Farhan menepuk pundak Arjun dengan kencang sehingga mengejutkan si empunya dan langsung direspon dengan sentakan kesal, “Sakit, jing!” Dari Arjun.

“Trauma mendalam kah sampe gak sadar udah pada pulang? Gimana perasaan Bapak saat ini?” Farhan menjulurkan lengannya yang terkepal seolah-olah itu adalah sebuah mic pada Arjun.

“Lo bisa diem gak?” Arjun mulai kesal.

“Wes, santai bro!” Farhan menepuk-nepuk pundaknya, sekali lagi dengan kencang. Mengabaikan Arjun yang mengutuk padanya, dia menolehkan kepala untuk menatap pada Arki. “Keren lo, Ki! Besok gue harus belajar sama lo.”

“Gak usah belajar sama dia juga lo udah bego.” Gilang teman sebangkunya tiba-tiba menyahut. Tanpa menunggu balasan dari Farhan, dia berpamitan dan melangkah pergi.

“Dhit, Ki, gue balik. Jun, lo mending ke psikiater dulu.”

“JANCOK?”

Farhan tertawa kencang dan menyusul Gilang dengan cepat. Mengabaikan Arjun dengan sumpah serapahnya.

“Ki, balik! Dhit, balik! Jun, gws!” Rehan berteriak di ambang pintu dan pergi begitu saja.

STOP MELEDEK GUE, JING!” teriak Arjun, dan Adhitama hanya menutup telinganya.

Setelah turun dari puncak emosinya, Arjun kembali pada Arki. “Ki, lo free gak habis ini?”

Arki yang sedari tadi tidak peduli pada mereka sedikitpun kini sudah siap dengan tas di bahu kanannya, tetapi dia harus berhenti di samping meja Arjun dan merespon pertanyaan itu dengan anggukan.

“Nah bagus, ayo ikut main sama gue!” Arjun berdiri dan merangkul Arki di pundaknya seolah mereka adalah saudara jauh yang begitu akrab.

Arki diam sejenak untuk berpikir, lalu kemudian dia menjawab, “Tapi gue lagi gak mau belajar.”

“Lo ngerti main gak, anjing?” Arjun mengeratkan lengannya yang melingkari di sekeliling leher Arki.

“Main PS doang, Ki. Kalo mau ikut ayo ikut ke rumah gue. Entar Arjun yang beliin makanan.” Adhitama menarik ristleting jaketnya hingga ke lehernya.

“Jing, eh, gapapa deh hari ini doang mah! Nah, ayo ikut aja! Mumpung besok libur!”

Arki sekali lagi diam untuk memilih apakah ia akan ikut atau tidak. Pasalnya, ini pertama kalinya dia diajak pergi ke rumah teman sekelas di SMA nya.

Arki pada dasarnya hanya akan melengos pergi atau mengatakan, “Gak.” Dan pergi. Tapi Arki dalam kenyataannya justru mengangguk setuju.

Arjun yang senang menarik Arki untuk sedikit menunduk dan mengacak-acak rambutnya dengan tinjunya. Sementara Adhitama yang sudah menyampirkan tasnya di pundaknya berkata, “Lo mau ikut gue apa Arjun?”

“Gue bawa motor,” jawab Arki.

“Oke, ayo jalan!” Adhitama menendang tulang kering Arjun dan membuatnya melepaskan Arki, sementara ia akhirnya pergi bersama Arki di belakangnya.

iii

...

“Oi bro.”

Arki tengah menguji keempukan tas di atas mejanya untuk dia kemudian jadikan bantal, sampai kemudian dua orang yang duduk di depannya menegurnya.

Mereka berdua baru kembali dari kantin, dilihat dari tangan keduanya yang penuh dengan makanan, tidak, hanya salah satu dari mereka berdua. Apapun itu, Arki tidak memedulikannya.

“Ki, nih buat lo.” Arjun menyodorkan satu bungkus roti, tapi kemudian menatapnya lalu menariknya kembali. “Eh, yang ini aja deng.”

“Labil lo,” imbuh Adhitama.

“Lah suka-suka gue dong, lagian ini juga gue yang beli.”

Arki sekali lagi tidak mau peduli dan melanjutkan niat awalnya untuk tidur. Mengabaikan dua orang yang berdebat di depannya. Lagipula tidak ada yang meminta mereka datang padanya, jadi itu bukan urusannya.

Arki sebenarnya bisa saja mengusir mereka berdua, tapi dia sudah pernah melakukan itu berkali-kali pada mereka, tapi keduanya yang sudah membalik kursi mereka dan duduk menghadap padanya justru mengatakan, “Meja lo enak, Ki. Numpang bentar, lah ya.”

Selalu seperti itu.

Dan meski Arki sudah berkali-kali mencoba mengabaikannya, Arjun dan Adhitama tetap tidak menyerah dan tetap berbicara padanya meski dia tidak menanggapinya sama sekali.

Arki tidak mengerti ada apa dengan mereka. Padahal sejak awal tahun, tidak ada yang bersedia bicara padanya. Yah, itu salahnya sendiri karena membolos di masa perkenalan lingkungan sekolah.

Tapi bagaimanapun juga, Arki tidak akan terlalu peduli.

Dia tidak butuh teman untuk kehidupannya di sekolah. Tidak akan pernah menginginkannya.

Dia akan menunggu sampai mana mereka akan menyerah bicara padanya.

“Ki, gue simpen sini ya. Dhit, mabar lah anjir, gas gak?”

Adhitama menelan makanan di mulutnya baru kemudian menjawab, “Nanti kalah nangis.”

“Anjing, pede amat lo bakal menang?”

“Emang bakal menang,” jawab Adhitama.

“Anjing! Lo kalo berani coba lawan Arki.”

“Emang dia bisa?”

“Wah, Ki, ngeremehin lo dia, Ki. Gue kasih tau ya, level lo sama Arki tuh beda jauh!”

“Apa iya? Tau dari mana emang?”

“Haha, gak tau aja dia, Ki.” Arjun melipat tangannya di depan dada, berlagak sombong. Entah kenapa, dia merasa bangga pada itu.

“Permisi!”

Obrolan Arjun dan Adhitama terhenti ketika salah satu anak kelas sebelah—Farid—muncul di ambang pintu dan menghentikan kebisingan di kelas itu untuk sementara waktu.

“Ada Arki gak?” tanyanya.

“Ada.” Arjun mengangkat tangannya, sementara Adhitama menunjuk Arki yang tengah menenggelamkan kepalanya di atas tas. “Kenapa, emang?”

Farid terdiam sejenak. Terlihat takut-takut untuk mengatakannya entah kenapa.

“Arki diminta ngumpulin tugas kimianya sama Bu Wulan.”

“Oke, thanks! Entar gue sampein,” balas Arjun, sembari mengacungkan jempolnya.

“Dimintanya sekarang!”

“Iya elah entar gue sampein. Dah, sana!” Arjun mengusirnya.

“Emang kimia ada pr?” tanya Adhitama.

“Kok tanya gue? Gue aja gak tau Bu Wulan pernah ngasih pr, masa iya? Adanya matematika noh.”

“Tau dah, matematika pr terus,” keluh Adhitama.

“Ngeluh noh depan Bu Alya, kalo lo laki.”

“Cuma laki gak waras yang berani sama Bu Alya.”

“Eh?” Arjun terdiam.

“Eh.” Adhitama menyadari sesuatu.

Keduanya lantas dengan kompak melirik pada Arki kemudian tertawa dengan kencang.

“Wah parah lo, Dhit,” ucap Arjun. “Ki, hajar, Ki.”

“Gue gak bermaksud, njir!”

Ketika mereka berdua sibuk tertawa, Arki mengangkat kepalanya dan mengusap kelopak matanya. Merasa terganggu dengan suara tawa keduanya, tapi dia tidak mengeluh apa-apa.

“Tadi ada yang nanyain gue?”

Arjun dan Adhitama yang tengah saling menjabak rambut entah kenapa tiba-tiba mereka begitu, serentak menoleh dan menatap pada Arki yang memandang mereka dengan tatapan mengantuk.

“Gak ada, kenapa emang?” Arjun malah balik bertanya.

Arki menatap dengan tanpa ekspresi pada keduanya kemudian kembali tidur. “Gak ada.”

“Haha, lo mimpi ya?” Arjun memukul-mukul pundaknya dengan kencang, namun itu tetap tidak membuat Arki merespon ucapannya. “Mending lo tidur lagi. By the way, minta hotspot dong, kuota gue abis.”

“Dih, miskin lo,” cibir Adhitama.

“Lo nyinyir doang tapi gak ngasih buat apa?”

Keduanya terus ribut, dan Arki tidak ingin terlibat sedikitpun dengan mereka.

Padahal sejak tadi Arki belum benar-benar tidur dan mendengar bahwa ada yang tengah mencarinya. Tapi kenapa mereka berdua justru tidak menyampaikan apa-apa padanya?

Apa sengaja?


Alya sedang mengulas kembali materi yang akan diajarkan kepada kelasnya hari ini. Sudah menjadi kebiasaannya untuk membaca ulang bukunya meski dia sebetulnya sudah hapal di luar kepala, Alya memang murni melakukan itu karena kebiasaan dan dia sendiri tidak yakin apakah dia tengah membacanya atau hanya sekadar menatap bukunya.

Ketika dia berpikir untuk mengajarkan dengan cara apa pada kelasnya, Alya teringat pada satu lagi murid laki-laki yang jarang masuk ke kelasnya.

Sekarang kepalanya beralih tugas dari memikirkan “Gimana biar anak-anak kelasnya paham materi hari ini.” menjadi “Gimana biar anak-anak kelasnya bisa genap tiga puluh satu.”

“Bu, Bu Alya.”

Pikiran Alya sepenuhnya buyar ketika seseorang dari sampingnya menegurnya.

Dia lantas menoleh dan melihat seorang wanita yang usianya dua tahun lebih tua darinya, tapi keriput di wajahnya bahkan mengalahkan sang Wakil Kepala Sekolah. Kacamata bulat bertengger di depan matanya.

“Bu, saya boleh minta tolong?” tanyanya, raut wajahnya terlihat frustrasi.

“Boleh,” jawab Alya sekenanya.

Guru sejarah itu meletakkan kertas yang sedari tadi dipegangnya di atas meja Alya, lalu dia mulai mengoceh “Ini loh, anak kelas Ibu, ya Allah tulisannya susah banget dibaca. Saya sampe pusing sendiri.”

Oh Alya tahu dia sedang membicarakan apa. Dan Alya sekarang sedikit menyesal sudah mengiyakan permintaannya.

“Bantuin saya, Bu, baca ini. Ibu pasti bisa, kan, baca tulisannya, kan ini anak kelas Ibu. Gak mungkin gak bisa.” Ibu Hilmi sedikit bercanda dan tertawa pada leluconnya sendiri, tapi Alya tahu yang dia tengah tertawakan adalah dirinya.

“Tulisan anak kelas Ibu berantakan banget, gak kebaca aduh saya sampe pusing. Padahal ya kalo kelas saya anak-anaknya nulisnya rapi, disiplin, soalnya saya ajarin mereka yang baik-baik. Maklum ya, Bu, saya udah berpengalaman, jadi ngerti gimana caranya ngedidik,

“Apalagi anak remaja, kan, ya, Bu, kadang suka ngelawan. Tapi saya mah tau gimana ngedidik mereka biar disiplin, tuh kayak Rio, dulu, kan, suka bolos, pas di kelas saya dia gak begitu lagi, soalnya saya ngerti gimana ngedidik dia.”

Lo mau gue bantuin kagak? batin Alya, sama sekali tidak mendengarkan ocehan orang tua ini.

“Bu, permisi, saya mau ke kelas, sebentar lagi masuk jam pelajaran.” Alya mencoba menelan kembali perasaan muaknya.

“Oh, iya, iya. Kelas Ibu yang deket kantin itu, kan? Aduh, bahaya ya, Bu, kalo ditinggal semenit aja pasti anak-anaknya udah pada mencar-mencar. Repot banget ya, Bu, dapet kelas itu,

“Coba kalo anaknya disiplin, gak keluar kelas walau gurunya gak ada, kayak kelas saya itu MIPA 1. anak-anaknya baik-baik banget, Bu.” Bu Hilmi terkekeh, jelas sekali dia besar kepala. Bagus, ditunggu meledaknya.

“Penyebab timbulnya pemberontakan DI/TII Aceh adalah?” Alya tidak mendengarkan ocehan orang itu dan lebih memilih membaca soal nomor satu. “Gak tau. Kenapa harus tau penyebab timbulnya pemberontakan? Mau ada rencana nge-remake ini?”

Bu Hilmi melotot pada kalimat itu sampai bola matanya nyaris meloncat keluar. “Bu?”

“Kenapa, Bu?” Alya tersenyum dan mencoba untuk tidak tertawa. “Ini, kan, pendapat anak murid saya.”

Alya kembali menatap kertas di tangannya. “Beri contoh perilaku yang dilakukan oleh pelajar sebagai bentuk meneladani nilai-nilai perjuangan bangsa! : Belajar, ujian, remedial.”

Di soal terakhir itu, Alya tidak bisa menahan dirinya dan dia tertawa.

Sementara Bu Hilmi wajahnya memerah karena amarah, matanya terus melotot dan mulutnya nyaris menganga.

“Loh, ini tulisannya masih jelas loh, Bu?” Alya tersenyum dan menyerahkan lembar jawaban milik Arki pada Bu Hilmi.

“Maaf nih, Bu, gak bisa lama-lama saya, saya kan harus ngajar anak-anak kelas saya yang bandel, takutnya pada ke kantin. Ibu juga, koreksinya nanti aja waktu pulang. Permisi ya, Bu.” Alya berpamitan, menyampirkan tasnya di pundaknya lalu beranjak dengan dua tumpuk buku di tangannya.

“Kalo masih gak kebaca mungkin Ibu bisa beli kacamata baru.”

Setelah mengatakan itu, Alya melangkah pergi dengan cepat tanpa menunggu respon apa-apa lagi. Pikirkan yang akan terjadi padanya nanti, dia sudah terlambat dua menit masuk ke kelasnya.

Ngomong-ngomong Alya sebenarnya hampir tidak bisa membaca tulisannya sama sekali dan hanya meraba-raba dan sengaja memilih membaca jawaban dengan panjang baris yang sedikit supaya dia tidak perlu berlama-lama membaca tulisan mengerikan itu.

Dan lagi, anak itu sepertinya menganggap bahwa belajar adalah hal yang tidak penting sama sekali.

Masalahnya dari mana dia mendapatkan semua pemikiran luar biasa itu?

Alya menghela nafasnya. Apa yang harus dirinya lakukan pada anak itu? Jelas dia tidak bisa membiarkannya begitu saja, kan?

“Assalamualaikum.”

Alya masuk ke kelasnya dan serempak anak-anak muridnya menjawab salam itu. Dia dengan refleks melirik dan melihat bahwa bangku yang selalu kosong itu akhirnya ditempati oleh penghuninya.