ix
...
Alya memijat pangkal hidungnya. Nafasnya berhembus dengan kasar bersamaan dengan itu, dia menundukkan kepala, terlihat sedang memilih keputusan apakah dia harus melompat atau berguling ke jurang.
Kertas itu di tangannya, tepat di depan matanya, tulisan menyeramkan berbaris dan mengganggu jiwanya. Itu benar-benar tidak bisa dibaca sama sekali.
Matematika adalah angka. Jika sudah bertemu dengan huruf, maka itu menjadi mematikan. Setelah melihat tulisan ini, dia merasa pepatah itu tak sepenuhnya salah.
Alya merasa Arki sepertinya lagi-lagi tidak serius menjawab soalnya dan mengisi ini dengan omong kosongnya.
Tapi masalahnya, apa yang coba dituliskan anak itu di sini?
Alya sudah belajar membaca tulisan, membaca karakter dalam tulisan, jadi jika dia melihat yang begitu berantakan, contohnya tulisan dosen pembimbingnya dahulu, Alya masih bisa memahaminya.
Tapi tulisan berantakan yang satu ini, ini bukan lagi berantakan, ini mengerikan.
Alya membawa kertas itu mendekat ke wajahnya. Bahkan ukiran namanya sendiri tidak terbaca. Jika dia tidak melihat dengan mata kepalanya sendiri siapa yang menulis ini, dia merasa dia tidak akan pernah mengetahui apa kalimat yang ditulis di dalam kolom nama itu.
Namun bagaimanapun juga, Alya tidak akan menyerah.
Apakah ia mencoba bermain-main dengan tulisannya? Maka Alya akan menanggapinya dengan serius.
Tapi baru beberapa menit dia mencoba bertahan membaca tulisan itu dan mencoba memecahkan kode angka yang dituliskannya, Alya kembali memijat pangkal hidungnya sembari menghela nafas.
Soal ini adalah tentang limit tak hingga fungsi aljabar trigonometri, tapi isi jawabannya penuh dengan rumus bangun datar.
Oke, pertama, apa hubungannya bangun datar dengan limit fungsi?
Kedua, materi ini bahkan tidak diajarkan lagi di SMA.
Ketiga, kenapa dia begitu percaya diri menuliskan rumus-rumus ini padahal dia menulisnya dengan sangat salah?
Alya tidak mampu mengeluarkan kalimat apapun, bahkan di dalam hatinya sendiri. Dia menatap kertas di tangannya dengan tatapan seperti ingin memakan orang.
Apakah di matanya simbol kuadrat ini adalah bentuk bangun datar? Atau dimana dia bisa melihat bangun datarnya? Apa dia sudah gila?
Alya merasa menyesal sudah memberikan akses khusus untuk anak itu dan bersedia menjadi guru tutor pribadinya.
Tapi Alya tentu tidak bisa menarik kembali rencananya karena di sini, dia akan mempelajari seperti apa anak itu sebenarnya.
Sekarang, dia tinggal harus bertemu lagi dengan malaikat maut magang ini.
Arki yang berdiri di depan mejanya berdengung menyenandungkan sesuatu dengan pelan, sementara satu anak perempuan lain yang bertugas untuk menjemputnya gemetaran di sebelahnya dengan wajah memerah.
“B-bu, i-ini Arki. S-saya boleh ke kelas s-sekarang?” Anak kelas sebelah itu berbicara dengan gagap.
Alya mengernyitkan dahinya. Apa anak ini takut dengannya atau dengan orang yang ada di sebelahnya?
Alya mengangguk dan tak lupa mengucapkan terima kasih. Setelahnya, siswi itu akhirnya pergi setelah menghela nafas lega, seolah-olah dia sudah bebas dari penjara.
“Kamu apain dia?” tanya Alya. Dia takut siswanya ini melakukan tindakan pembulian.
“Ngikutin dia.”
Alya tidak mengerti pada jawabannya tapi Alya tidak akan mempermasalahkan itu sama sekali karena bukan itu tujuannya memanggil muridnya ke sini.
“Kamu tarik kursi itu, terus duduk.”
Arki mengikuti ucapan gurunya tanpa bicara apapun. Dia menarik kursi dari salah satu meja yang terlihat kosong karena mungkin pengajar yang menempati meja itu tidak masuk hari ini.
Arki duduk menghadap pada Alya, tapi pandangannya tidak fokus sama sekali.
“Arki.”
Alya memanggilnya hanya untuk mendapatkan sedikit perhatiannya, namun Arki tidak menyahutnya, tapi hanya sedikit melirik kepadanya. Baiklah, yang penting anak ini mendengarkannya.
“Materi mana yang kamu gak ngerti?”
“Ada materi apa aja?”
Alya terdiam beberapa saat. “Oke, kamu gak ngerti semuanya.”
“Gimana cara kamu nangkep pelajaran di kelas? Apa gaya belajar kamu?”
“Gaya punggung.”
“Gaya belajar, Arki.”
“Punggung saya yang nangkep pelajaran, jadi karena dia biasanya ngadep belakang, saya gak bisa nangkep apa-apa.”
Alya menahan dirinya untuk tidak memijat pangkal hidungnya dan menunjukkan bahwa dia putus asa sekarang.
Wanita itu mengutuk dalam hatinya. Dia memutuskan untuk mengganti topik pembicaraannya saja.
“Apa yang biasa kamu lakuin di rumah selain belajar?”
“Ibu gak punya rumah?”
“Punya.”
“Terus kenapa nanyain kehidupan rumah saya? Ibu mau nyontek?”
”....”
Oke Alya bersumpah, kalau di sini ada kamera, Alya akan mengangkat tangannya, mengambil kamera itu dan memukulkannya pada anak ini.
“Ada pelajaran yang kamu minati?”
“Ada apa aja?”
“Oke, kita ke pelajaran saya aja.” Alya menunjukkan kertas soal milik Arki yang tadi tanpa meladeni pertanyaan bodohnya yang sebelumnya.
“Kamu bisa jelasin kenapa bisa kamu ngisi soal limit fungsi pake rumus bangun datar?”
Arki memangku dagunya dengan jari-jarinya, raut wajahnya terlihat serius memikirkan jawaban apa yang akan dia ucapkan kemudian.
“Emang kenapa?” Pada akhirnya hanya rangkaian kata itu yang dia utarakan.
“Jawaban kamu gak masuk sama soalnya.”
“Emang beda?”
“Beda!” Alya membalik kemudian membanting pelan kertas itu ke atas meja, memperlihatkan sisi lainnya yang masih kosong. “Oke, kalo kamu mau soal bangun datar, saya kasih kamu soal itu.”
Alya menggambar sebuah ilustrasi lapangan sepak bola berbentuk persegi panjang. “Ini ada lapangan sepak bola, panjangnya dua puluh sentimeter, lebar dua belas sentimeter. Berapa jumlah keliling lapangan sepak bola ini?”
“Ngapain saya keliling lapangan sepak bola?”
“Saya gak suruh kamu keliling lapangan sepak bola, hitung aja. Oke, apa rumusnya?” Percayalah, Alya mati-matian berusaha menahan suaranya agar tidak naik dua oktaf. Dia tidak ingin menunjukkan emosinya saat ini meski dia akui anak ini memang pantas dipukuli.
Namun Arki tidak mengatakan apapun. Jadi Alya berinisiatif untuk mengeja rumusnya, “Dua dikali apa?”
“Panjang tambah lebar,” sambung Arki. Matanya kemudian menatap pada kertasnya. “Apa rumus keliling lingkaran?”
“Untuk apa itu?”
“Dimasukin ke sini.” Arki menunjuk kertasnya.
“Gak, Arki, ini persegi panjang!”
“Katanya lapangan sepak bola, berarti ada bolanya, kan?” Arki mengernyit bingung.
“Ya terus kenapa?”
“Masa bolanya gak dihitung? Kasian banget.”
“Gak, gak ada bolanya, maksud saya—Oke, lapangan ini habis disambar petir jadi dia berubah jadi lapangan upacara!”
Arki mengangguk paham.
Alya frustrasi sendirian.
“Jadi berapa jumlahnya?” tanya Alya.
Arki mencoret-coret kertas, kemudian dia bergumam, “Dua dikali panjang ditambah lebar ... ditambah tinggi.”
“Arki, ini keliling persegi panjang.”
“Tinggi untuk tiang bendera, tiang bendera juga bagian dari lapangan upacara, Ibu mau ninggalin dia juga?”
Alya rasanya ingin menjambak rambut anak di depannya. Sekarang dia bisa menarik sebuah fakta baru, bahwa anak ini sebenarnya banyak bicara. Banyak bicara omong kosong.
“Gak ada tiang bendera, ini lapangan upacara yang baru selesai dibangun, jadi belum ada tiangnya.”
Arki bergumam “Oh” kemudian kembali mencoret-coret lembar soal, di bawah soal yang gurunya tulis. Kemudian dia bergumam, “Berarti ... dua dikali dua puluh, ditambah dua belas.” Dia berhenti berbicara sebentar, lalu akhirnya menemukan jawabannya.
“Negatif empat puluh dua.”
Alya menyandarkan tubuhnya ke kursi, bahunya jatuh dengan lemas, helaan nafas keluar begitu panjang sementara kedua tangannya mengusap wajahnya.
Bolehkah dia menyerah?
Dari mana dia mendapatkan empat puluh dua? Kenapa bisa jadi negatif?
Dosa apa yang sudah dia lakukan di masa lalu sehingga dia harus terjebak di sini?
“Salah,” ujar Alya.
“Negatif empat puluh tiga?”
Kamu pikir ini kuis berhadiah?
“Salah.”
Arki berdecak pelan. “Oh, negatif empat puluh empat.”
“Saya tanya dulu sama kamu, dari mana kamu dapat negatif?” tanya Alya.
Arki mengernyitkan dahinya. Dia menatap kembali pada tulisannya sendiri, dan kemudian sepertinya dia sendiri tidak mengerti apa yang sudah dia tulis.
Jadi dia menggelengkan kepalanya.
Alya mencoba bersabar. “Gini cara ngerjainnya.”
Pada akhirnya Alya menjabarkan soal sederhana ini dengan bahasa yang selugas mungkin, sampai akhir.
Arki setelah lama menyimak pembahasan yang begitu menambah wawasan ini akhirnya berdengung. Dia mengetukkan pulpennya ke atas meja berkali-kali dengan cepat.
“Jadi kalo panjangnya sepuluh, lebarnya lima, dua dikali sepuluh tambah lima. Harus hitung yang di dalam kurung dulu ... di dalam kurung, sepuluh ditambah lima.”
Alya mengangguk dalam diam pada celotehan anak muridnya. Dia berpangku tangan, mendadak teringat hari di mana dia masih seorang siswi, pemberontak dan penasaran pada jati dirinya sendiri.
Saat itu, Wali kelasnya yang menjengkelkan akan berkata kepadanya, “Kamu udah punya cita-cita? Kalo belum, saya saranin kamu jadi guru. Kamu cocok di bidang itu, kalo kamu gak percaya, coba aja. Ah, Alvairo sama Anstian juga, kalian cocok jadi guru, loh.”
Alya yang sebenarnya tengah istirahat di kantin bersama dua temannya, tidak menyangka akan kedatangan tamu tidak diundang dan hadir di antara mereka bertiga.
Dan tamu itu adalah Pak Rama, Wali kelas mereka.
Anstian mengangguk dan tersenyum sopan. “Makasih, Pak. Saya kebetulan emang ada rencana mau lanjut ke pendidikan.”
“Oh, bagus itu bagus. Semoga kamu masuk ranking eligible sekolah kita ya, kalian bertiga itu—ah gak, semua murid Bapak itu pantes direkomendasikan SNMPTN.”
“Kalo jadi guru gajinya berapa, Pak?” Alvairo bertanya dengan tidak sopannya.
Namun Pak Rama hanya tertawa menanggapi itu. “Gaji itu bukan apa-apa. Dibanding gaji, Bapak lebih suka ngumpulin kesan sama murid-murid, Bapak. Ikatan itu jauh lebih mahal dari uang.”
Alvairo terkagum pada jawaban gurunya, namun beberapa saat kemudian, dia menyipitkan matanya dan tersenyum aneh. Sebuah hal yang tidak pantas berkeliaran di kepalanya, dan Pak Rama sepertinya mengerti artinya.
“Kamu gak mikir aneh-aneh, kan?” tanya Pak Rama.
Alya mengabaikan obrolan di sekitarnya dan berpikir, jika dia benar-benar mendapatkan kesempatan SNMPTN, apakah tidak apa-apa jika dia menerimanya?
“Gak usah ragu, kalian semua pantes dapetin itu. Anggap aja, itu hadiah dan kenangan terakhir dari sekolah untuk kalian.”
Ucapan Pak Rama membuyarkan lamunan Alya sehingga dia secara otomatis mengangkat kepala, dan menatap gurunya yang duduk di hadapannya.
“Jadi, kalo kalian dapet SNMPTN, ambil aja. Itu rejeki kalian.”
“Negatif tiga puluh.” Arki menuliskan jawabannya dengan penuh percaya diri. Setelah menulis beberapa buah angka dengan mengerikan di atas kertas, Arki memukul meja dengan sedikit kencang. “Selesai.”
Alya kembali pada dirinya sendiri dan melihat ke atas kertas.
Orang itu, Arki. Dia telah melakukan penelitian dan merancang teknik perhitungannya sendiri selama hampir setengah jam ... dan masih berhasil mendapatkan jawaban yang salah.
Arki berlari sepanjang koridor untuk kembali ke kelasnya. Begitu dia sampai dengan nafas yang tersengal-sengal, dia melihat guru sejarahnya sudah berada di depan kelas, tengah mengajar, dan sekarang dia menatap padanya.
Satu kelas menjadi semakin hening.
Guru sejarah kemudian menunjuk murid yang terlambat dengan spidol di tangannya. “Pertanyaan khusus untuk murid yang terlambat, datang dan jawab soal dari Ibu. Menurut kamu, apa langkah pertama yang dilakukan jika Indonesia mengalami kekosongan pemerintahan?”
“Menyerah dan pergi ke soal berikutnya.”
Bu Hilmi : “....”
Satu kelas : “....”
“Maksud saya, ini soal, kan? Daripada saya buang-buang waktu buat pertanyaan yang gak bisa saya jawab, mending pergi ke soal berikutnya.”
Setelah keheningan yang lama, seseorang tidak bisa lagi menahan dengusan tawa. Kemudian seluruh kelas mulai tertawa terbahak-bahak.
“Hahahahahaha, pertanyaan berikutnya.”
“Jenius, jenius.”
Bu Hilmi mencoba mengerutkan kening dengan sangat serius tetapi pada akhirnya juga hancur. “Nilai kamu gak bagus, dan kamu seenaknya sama waktu, apalagi di jam pelajaran Ibu? Kamu pikir ini sekolah punya kamu?”
“Maunya, sih, begitu.”
Bu Hilmi semakin mengerutkan dahi, sementara kelas sudah kembali tanpa suara. “Kamu ini, datang terlambat, disuruh belajar gak mau. Nilai kamu tuh gak ada yang bagus. Terus kamu di sini masih pengen main-main?”
Seisi ruangan kelas mendadak dipenuhi atmosfer mencekam. Ketegangan tergambar jelas di wajah mereka yang berada di mejanya.
“Kamu gak akan jera kalo hukumannya simple buat kamu. Kamu harus ngerti kalo waktu itu penting. Pergi berdiri di lapangan!” titah Bu Hilmi.
Rehan dan beberapa orang lainnya di dalam kelasnya terkejut mendengarnya. Ini adalah tengah hari, rasanya tidak pantas menyuruh seseorang berjemur di tengah lapangan di saat seperti ini.
“Kenapa saya harus dihukum?” Arki bertanya.
“Kamu bolos kelas saya.”
“Saya gak bolos, Bu, saya habis belajar, Ibu bisa tanya Bu Alya sekarang.”
Bu Hilmi tidak membalas, tapi dia memandang angkuh murid laki-laki di hadapannya, seolah tidak peduli dengan perkataannya. Padahal dia hanya menghindar, dia sudah menarik kesimpulan yang salah, tapi dia tidak ingin membiarkan dirinya sendiri merendah dengan harus meminta maaf.
“Tadi saya habis belajar hitung keliling lapangan sama Wali kelas saya.” Arki tanpa diduga kembali bicara.
“Ibu tau gak jumlah keliling lapangan sekolah ini berapa? Negatif empat puluh dua. Ibu udah tau belum?”
”....”
Bu Hilmi tidak berkata apa-apa untuk beberapa saat. Tapi kemudian bibirnya semakin melengkung ke bawah. “Ini jam pelajaran saya, kalo kamu lebih suka belajar matematika, silahkan, kamu bisa keliling lapangan buat hitung berapa jumlahnya! Pergi sekarang!'
Arki mengangguk, tapi tak kunjung pergi. Matanya menatap teman-temannya, kemudian kembali menatap Bu Hilmi di depannya.
“Ibu gak ikut lari juga sama saya?”
Bu Hilmi melotot. “Kenapa saya harus lari di lapangan juga?”
“Ibu kan pernah datang telat juga di kelas ini.” Arki berkata lagi, “Kalo Ibu lupa, saya bakal ingetin sebagai murid Ibu yang tahu betapa pentingnya waktu.”
Bu Hilmi diam-diam mengutuk anak di hadapannya ini.
Arki tersenyum miring. “Lari sama saya?”
“Begitu cara kamu ngomong sama guru?” Bu Hilmi tertawa mengejek di dalam hatinya. Dari matanya dia memandang rendah murid berandalan yang selalu membawa kesan buruk padanya.
“Tunjukkin rasa bersalah kamu, tundukin kepala kamu! Kamu harusnya menyesal sama kesalahan kamu sendiri, bukan malah ngomong begitu sama saya.”
“Apa orang tua kamu gak ngajarin kamu? Kamu kayak orang yang gak pernah sekolah. Selama ini kamu ngapain aja di sekolah?”
Saat menjadi wali kelasnya, Bu Hilmi bukan tidak mampu mengajarinya, dia hanya tidak ingin begitu peduli pada satu murid bermasalah ini dan membuang-buang waktunya. Jadi dia menutup mata dan membiarkan anak ini melakukan apapun sesukanya.
Namun sayangnya, semua orang meninggalkan kesan negatif terhadapnya. Dan karena itulah, Bu Hilmi menganggap orang ini benar-benar menyusahkan.
Wanita itu menunjuk ke pintu keluar, kemudian dia berteriak, “Keluar!”
“Kamu harus belajar sadar diri sendiri!”
“Keluar sekarang!”
Arki tidak membalas sedikitpun dan segera dia berbalik untuk lari keliling lapangan, sesuai dengan hukuman yang diberikan kepadanya.
Bu Hilmi mencoba menetralkan kembali emosinya dan menghela panjang, tapi ekspresi di wajahnya tidak dapat disembunyikan.
Dia dengan perasaan kesal memandang satu persatu muridnya, dan bertanya, “Sampai di mana tadi?”
“Oh iya. PR dari Ibu udah dikerjain? Ayo kita bahas dulu.”
Seluruh siswa di dalam kelas sontak saling melempar tatapan. Ruangan yang semula sunyi itu mendadak ramai oleh bisikan-bisikan di antaranya,
“Emang ada PR?”
“Gue ingetnya matematika doang.”
Bu Hilmi : “....”
Maka di hari itu, Senin. Sebanyak tiga puluh satu siswa berlari di lapangan untuk mencari jumlah keliling lapangan dan luas lapangan dengan semangat yang berkobar bersama matahari di atas kepala mereka.
Wakil Kepala sekolah yang melihat betapa besarnya jiwa antusias anak-anak muda itu berkomentar dengan cangkir teh di tangannya, “Enaknya jadi muda.”