Darkizhit

i

...

“Kalian gak boleh nyontek. Pokoknya kalo ketauan nyontek, silahkan keluar dari kelas saya.”

Kertas dibagikan kepada masing-masing siswa bersamaan dengan lembar jawaban kosong yang harus diisi mereka semua.

Dua hari setelah dia mengajar di kelas ini, dia cukup dapat menarik kesimpulan bahwa setelah perkenalannya dengan murid-murid ini,

Kelas ini lebih aneh lagi.

Dan hari ini adalah jadwal ulangan harian kelas XII MIPA 5. Dan Alya, selaku pengajar Matematika kelas dua belas tentu saja harus mengawasi kelasnya, apalagi kelas ini merupakan tanggung jawabnya.

Tapi dia bersyukur, dia belum melihat sosok yang dikatakan iblis yang mendiami kelas ini. Semoga Alya tidak akan pernah melihatnya, meski ia tahu itu tidak akan terjadi, karena ketika dirinya selesai membagikan kertas, seorang murid laki-laki masuk setelah membuka pintu dengan kasar.

Alya sontak saja menoleh. Memperhatikan remaja itu yang nampak asing di matanya. Dia belum pernah melihatnya semenjak dia mengajar di sini.

Dan Alya dapat merasakan kalau kelasnya yang tadinya cukup bising, berubah menghening semenjak mereka serentak menatap ke arah pintu, ke arah orang asing ini berdiri.

Semuanya menatapnya seolah-olah kau akan mati jika berkedip di bawah tatapannya.

“Siapa ya?”

Bukannya menjawabnya, laki-laki itu malah berbalik dan berniat pergi.

“Mau kemana kamu?”

Kemudian Alya dengan refleks menanyainya dan menghentikan anak remaja yang akan pergi itu.

Ketika dia benar-benar berbalik, Alya kemudian dapat menatap cowok itu sepenuhnya, yang masih menenteng tas di bahu kanannya.

Melihat wajahnya dan melihat name tag yang menempel di dada kanannya, Alya akhirnya tahu siapa dia. Arki Depransasta.

Murid bermasalah yang memang selalu datang dan pergi seenaknya. Dia berharap anak ini tidak akan pernah muncul di kelasnya. Tapi di sinilah dia.

“Dari mana aja kamu?”

“Lo siapa?”

Kalimat kurang disiplin itu sontak membuat Alya membulatkan matanya, namun dia mencoba menghela nafasnya berusaha tenang. Sesaat setelah berhasil mengontrol emosinya, dia kemudian menjawab, “Saya guru kamu.”

Mendengar jawaban itu, di bawah tatapan matanya yang merendahkan, remaja itu lantas menatap wanita di hadapannya dari atas sampai bawah dengan gerakan memindai.

“Gak kayak guru.”

Seisi kelas terdiam pada kalimat itu dan semuanya termasuk Alya sendiri terkejut dengan kejujurannya.

Alya sekali lagi menatap anak laki-laki di hadapannya yang nampak tidak peduli sama sekali padanya.

“Dari mana aja kamu?”

“Apa urusan lo?”

“Saya pengganti wali kelas kamu.”

“Selamat ya.”

“Anjir.” Seseorang lainnya keceplosan pada kalimatnya dan satu kelas tertawa atas penuturan itu.

“Diem!” Alya menyentak satu kelas dalam satu tarikan nafas, membuat murid-murid itu akhirnya membungkam mulutnya.

Alya kali ini memandang murid dengan gaya seragam yang berantakan. Rambutnya juga cukup panjang. Heran, apa dia selalu lolos razia?

“Abis dari mana kamu?” Alya mengulangi pertanyannya. Yah, dia tidak akan menyerah.

Tetapi kali ini anak laki-laki itu tidak menjawab dan malah berdiri menghadap teman-temannya dengan kedua tangan yang bertautan di belakang. Wajahnya menghadap ke lantai.

“Arki, saya tanya sama kamu. Abis dari mana kamu?”

Sekali lagi tidak ada jawaban, dan perempuan itu dapat merasakan anak itu tersenyum melihat dirinya diabaikan.

“Arki—”

“Kalo udah tau mau apa? Mau ikut?”

Alya tidak memberikan reaksi apapun di wajahnya tapi kepalanya berisik dengan suara frustrasi.

“Saya serius, Arki.”

“Terus gue bercanda?”

Persetan menyerah, Alya menghela tertahan dan akhirnya memutuskan untuk berhenti bertanya. Dia menyerahkan lembar kertas soal dan jawaban kepada cowok di hadapannya.

“Sana duduk.”

Arki mengambil itu dan dalam diam mengikuti perintahnya. Dia berjalan menuju bangkunya yang terletak di paling belakang kemudian mulai mengerjakan soalnya. Alya akhirnya terlepas dari bencana itu untuk sementara.

Baru sedetik Alya menghela nafasnya lega, perempuan itu melihat Arki, melipat-lipat lembar jawab ujiannya, menjadi bentuk pesawat, lalu menerbangkannya ke luar jendela.

”....” Alya tertegun pada tindakan itu.

“Kamu ngapain, Arki?”

Arki menoleh, dan melihat wanita yang tadi dikatakan adalah gurunya, berdiri dengan wajah shock sementara Arki mengernyit bingung.

“Kenapa kamu terbangin kertas jawaban kamu ke luar jendela?” Alya bertanya dengan nada frustrasi yang tertahan, yang untuk pertama kalinya dia berbicara dengan nada seperti itu di hadapan muridnya karena biasanya, murid-muridnya yang akan frustrasi padanya.

“Oh? Gak boleh begitu?” Arki melirik ke jendela sebentar kemudian menunduk dan menatap ke arah meja. Dia menggaruk rambut di belakang kepalanya. “Gue kan gak ngerti, gue gak bisa ngejawab soal-soalnya.”

“Jadi gue minta jawabannya sama Tuhan.”

Alya tidak sanggup berkata-kata.

“Gak boleh nanya ke Tuhan juga?” tanya Arki.

Bukan begitu maksudnya!

Baiklah, Alya tarik lagi. Ini dia iblis bajingan itu! Dia di sini!

Itu artinya Alya memang akan melatih mentalnya di sini.


Bel pulang sekolah berbunyi nyaring di seluruh penjuru sekolah, sehingga menandakan bahwa waktu ujian sudah selesai.

Alya memerintahkan mereka semua meninggalkan kelas sambil membawa lembar kerja mereka untuk dikumpulkan ke atas mejanya.

Setelah semuanya akhirnya meninggalkan kelas, Alya tanpa sengaja melihat lembar jawaban paling atas dimana tulisan “Arki Depransasta. N” begitu mengerikan dan hampir tidak terbaca, tertera di ujung kanan atas kertas itu.

Anak iblis yang tadi melempar lembar jawabannya ke luar jendela. Tapi Alya langsung menjejalkannya kembali dengan lembar jawab yang baru dan membuatnya harus tetap duduk di sebelahnya, mencegah hal yang sama terulang kembali.

Tapi kemudian dia terpaksa kembali ke meja guru karena Arki terus bertanya, “Ini jawabannya apa?”

“Yang ini A, B, C, apa D?”

“Ini jawaban gue bener apa salah?”

“Mending A atau C?”

“Pelit banget, niat ngajarin gak, sih?”

”....” Alya frustrasi, oke, lebih baik dia pergi saja.

Jadi sekaranglah saatnya, dengan penasaran, dia memeriksa hasil jawabannya, namun kemudian alisnya berkerut dalam keheranan.

Soal ulangannya adalah pilihan ganda, dan ada empat abjad untuk dipilih satu jawaban yang paling tepat.

Tapi Arki entah mengapa malah menyilang kesemua kolom abjad di setiap nomornya alias, ini anak kenapa anjir?

“Ini maksudnya apa?”

Di pertemuan selanjutnya yang berarti seminggu setelahnya, Alya meletakkan lembar jawaban Arki ke atas mejanya, pada si empunya yang berdiri tepat di depan mejanya.

Arki berdengung panjang, tapi terdengar tidak berniat untuk menjawabnya sama sekali, membuat Alya sekali lagi harus mengontrol dirinya agar tidak terlarut dalam emosinya.

Sekali lagi, Alya mencoba bertanya. “Saya tanya sama kamu, ini maksudnya apa?”

“Oh.” Arki akhirnya bersuara, tapi hanya itu yang keluar dari mulutnya karena setelahnya dia malah kembali diam.

“Oh?”

“Biar adil.”

”....”

Arki menatap Alya sejenak kemudian kembali menatap lembar jawabannya sendiri.

“Gimana maksud kamu?” tanya Alya lagi.

“Kasian nanti kalo ada yang gak kesilang.”

“Nanti dia didiskriminasi.”

“Jadi gue silang semua.”

Satu kelas jelas tidak bisa menahan tawa mereka dan tentu mereka tertawa pada jawaban asal-asalan itu sementara Alya hanya bisa menghela nafasnya.

Dia pikir, mungkin kalo ini kelas PKN gurunya akan bertepuk tangan dan bangga atas kemurahan hati itu. Sialan, tepuk saja kepalanya kencang-kencang.

Anak ini benar-benar aneh.

“Kamu remedial.” Alya membuka tasnya dan memberikan lembar soal dan jawaban pada Arki, membuat lelaki itu mengerutkan kening.

“Kok gitu?”

“Kamu jawabnya gak bener.”

“Kata siapa?”

Alya menghela nafasnya dan memilih tidak menjawab. Dia mendorong kertas itu kepada Arki, memaksa anak itu untuk mengambil lembarannya.

Tapi Arki malah diam menatapnya tanpa berniat mengambil kertas yang diserahkannya.

“Arki—”

“Kalo gue gak mau gimana?”

“Ya kamu gak dapet nilai.”

“Oh, ya udah.”

Alya mengernyitkan dahinya pada respon santai itu, heran. Jujur, ini anak sebenarnya kenapa?

“Arki, kerjain.”

“Gak, ah.”

Alya tertegun pada penolakan cuma-cuma itu dan ketika itu juga Arki yang kebetulan masih menenteng tas di pundaknya karena dia sebenarnya baru datang ke kelasnya, putar balik, berniat pergi.

Tapi Alya dengan cepat menarik tangannya, dan menyelipkan kertas-kertas itu ke tangannya, lalu tersenyum padanya. “Kerjain, oke?”

Arki terdiam cukup lama, masih enggan menerimanya. Tapi kemudian dia tiba-tiba mengambil kertas itu dan menatapnya dengan pandangan mengejek yang menyebalkan.

“Gue kerjain, tapi kalo gue dapet seratus, jangan atur gue lagi.”

Alya semakin bingung. Tapi dia mengangguk saja pada kepercayaan diri yang tinggi itu. Mau bagaimana lagi, yang penting anak ini mengerjakan ulangannya dengan benar.

“Kalo dapet,” gumam Alya tanpa sadar.

Dan Arki tersenyum miring pada itu.

Remaja itu berjalan ke bangkunya dan duduk di sana dengan gaya seenaknya. Mulai mengerjakan soal ulangan dengan tenang, dan Alya mulai mengajarkan materi pada yang lainnya.


“Sayang banget, tapi kamu salah ... enam belas soal.”

Arki terdiam.

Dan seluruh kelas yang menyaksikan kepercayaan diri Arki kemarin : “....”

Soalnya ada dua puluh dengan keseluruhannya adalah pilihan ganda. Seharusnya hasilnya tidak semengerikan ini.

Alya mengernyitkan dahinya. Bingung, anak ini kemarin terlihat begitu percaya diri. Tapi ya sesuai dengan yang diduganya kemarin. Anak remaja memang suka besar kepala sebelum pembuktian.

Alya sebenarnya tidak tega membeberkan nilainya yang mengerikan ini kepadanya, tapi bagaimanapun juga, kompetisi adalah kompetisi.

Sekarang Alya juga bertanya-tanya bagaimana anak ini bisa lolos tes ujian masuk Dharmasraya.

Arki sendiri bergumam panjang dan menatap kertas di tangan wanita di hadapannya dengan raut wajah tidak peduli.

Tapi Alya dapat melihat keterkejutan yang samar di matanya.

“Kamu kayaknya gak serius ya.” Alya menyerahkan kertas bertuliskan angka dua puluh berwarna merah di tangannya pada murid laki-laki di depannya.

“Kamu gak bisa begini terus, Arki.”

Arki memerhatikan soal yang ditandai sebagai jawaban salah. Memerhatikan dan pandangannya sama sekali terlihat tidak begitu peduli, atau mungkin bisa dikatakan, dia berusaha terlihat tidak peduli.

“Kamu gak bisa terus-terusan ngeremehin nilai kamu sendiri, ini tahun terakhir kamu. Kalo kamu begini terus, gimana sama nasib ujian nasional kamu?”

“Dan?” Arki merespon dengan singkat, seperti menyindirnya yang terus berbicara.

Alya diam-diam terkejut tapi wajahnya tidak menunjukkan emosi apapun. Dia menatap tidak mengerti pada Arki yang terlihat begitu santai.

“Oke, kalo gak ada lagi, gue pergi.”

“Tunggu bentar.”

Alya menahannya pergi dan Arki dengan patuh berbalik untuk memandangnya kembali.

“Benerin dulu cara ngomong kamu.” Alya tidak meminta penghormatan, tapi jika Arki terus-terusan dibiarkan bicara seperti itu pada guru lainnya, itu bisa menjadi masalah baginya. “Bedain gimana seharusnya kamu bicara ke temen sama ke guru kamu.”

“Kamu paham, Arki?”

Arki yang menundukkan kepalanya mengangguk tanpa sepatah katapun dari mulutnya.

“Paham, Arki?” Alya mengulang pertanyaannya, berharap Arki menjawabnya dengan serius.

“Paham, Bu.”

Alya sedikit tersenyum. “Pinter, kamu boleh pergi.”

Di luar dugaan, Arki justru berjalan ke bangkunya dan Alya secara harfiah tertegun pada itu, dia pikir anak ini akan tetap berlalu pergi, tapi itu tidak seperti itu.

Arki tanpa kritik apapun yang keluar dari mulutnya patuh. Dia berjalan menuju ke tempat duduknya, duduk di bangkunya. Dia melempar tasnya ke atas mejanya begitu saja, lalu meletakkan kepalanya di atasnya, dan tidur di sana.

Alya menghela nafas lelah tapi dia tidak memberikan komentar apapun dan membiarkan anak itu berada di sana dan seperti itu.

“Baik, silahkan buka buku kalian, saya bakal lanjutin materi kita yang kemarin. Oh iya, ada tugas dari saya, kan?”

Alya mulai menyampaikan pelajaran di kelasnya tanpa perlu berceramah. Lagipula tidak akan ada yang mendengarkan pidatonya di kelas.

Saat dia mulai menuliskan penggambaran pengerjaan suatu kasus matematika di papan tulis dia secara sadar tahu bahwa satu muridnya sama sekali tidak mendengarkan materinya, Alya sadar dia tidak mungkin bisa terus mengabaikan seperti ini.

Dia yakin jika dia melempar penghapus ke kepala anak itu, besok dan seterusnya, anak itu tidak akan kembali lagi ke kelasnya.

Alya tidak mungkin sekejam itu membiarkan anak murid didikannya begitu saja. Tidak akan pernah bisa dia membiarkannya.

(+)

Ujian Pembukaan Tahun Ajaran Baru Sekolah Menengah Atas Dharmasraya 2019

Waktu tes adalah 190 menit dan skor total adalah 200 poin

Matematika : 14 Ilmu Pengetahuan Alam : 19 Bahasa Indonesia : 23 Bahasa Inggris : 21

Total skor : 77

Persyaratan lulus : 77


“Anda percaya bahwa Anda bisa memperbaikinya?”

Alya tetap tidak mengalihkan pandangannya dari kertas-kertas di atas meja ketika pria berusia seperempat abad di atas dirinya ini menjatuhkan kalimat itu dengan penuh penekanan.

Secara teknis, ya, dia mengerti tanggung jawabnya. Tapi yang dia tidak mengerti, kenapa orang ini terdengar ragu.

“Saya tidak punya alasan yang cukup untuk menyerah lebih awal.” Alya menjawab dengan sopan namun kata-katanya begitu tajam.

“Saya mengerti apa yang Anda pikirkan, Bu. Pengajar sebelum dan sebelumnya adalah contohnya.” Pria itu menghela nafasnya. Name tag bertuliskan Effendi menggantung di lehernya dan melambai di depan perutnya.

“Tapi pada akhirnya seluruh pengajar itu keluar setelah terus-terusan mengeluhkan banyak hal kepada kami, juga kemudian ada yang menuntut ganti rugi, secara harfiah, itu tidak normal dan tidak bagus.”

Alya mengerutkan keningnya. Apa memang seburuk itu atau dia hanya tengah mencoba melebih-lebihkan?

Pak Effendi kembali menghela, kali ini terdengar berat. “Lalu anak ini adalah satu-satunya masalah kami.” Tangannya menjulur pada kertas-kertas di atas meja.

“Saya sendiri bertanya-tanya bagaimana keberuntungan memihak padanya. Dia masuk ke sini dengan nilai yang sangat pas-pasan, itu pasti keberuntungannya,

“Dan kami tidak mengerti ada apa dengannya, setiap kali bulan ujian datang, dia selalu membuat masalah. Nilai-nilainya adalah masalahnya.”

Alya mulai mengerti satu hal. Semua orang menyerah mengajarkannya. Tapi kenapa?

“Dia di tahun terakhir saat ini, dan dia berada di kelas Anda.”

Setelah sekian lama Alya mempertahankan ekspresinya, dia akhirnya menunjukkan sedikit riak terkejut di wajahnya yang kemudian kembali berubah ke wajah tanpa ekspresi secara natural.

“Saya khawatir dia tidak diterima di universitas sementara dia membawa nama sekolah ini.”

“Jadi karena itulah, Bu. Semoga, semoga saja Anda bisa bertahan.”

Dan orang ini terus-menerus memuntahkan kalimat yang terdengar seperti dia akan pergi turun dan melakukan ujian survival di dunia antah berantah.

“Ya, Pak. Baiklah, terima kasih banyak.” Alya sudah mengatakan ini yang ke-sembilan kalinya alias sialan, biarkan dia pergi dan mulai mengajar murid-muridnya.

“Oh iya. Anda sudah bisa mulai hari ini.”

Aku tahu, sialan! Jadi berhenti menahanku!

Fakta pertama, meski ia seorang pengajar, Alya tetap tidak bisa menahan dirinya sendiri untuk tidak mengumpat di dalam hatinya. Itu tindakan manusiawi, jadi selama tidak diucapkan di depan murid-muridnya, itu tidak apa-apa.

Alya berdiri, sedikit membungkukkan badan untuk meraih tangan Wakil kepala sekolah yang terus-terusan mengoceh omong kosong kepadanya untuk bersalaman.

Pada satu kasus, dia bahkan membicarakan perjuangannya dalam memenangkan lotre online, keparat! Itu sama sekali bukan urusannya!

Alya sekali lagi tersenyum, harus menjaga imej nya di depan orang besar, kemudian dia dengan sopan pamit undur diri, dan akhirnya menghirup udara bebas saat dia membawa langkahnya keluar dari ruangan memuakkan itu.

Semoga dia tidak dipanggil ke sana lagi.

“Hm?” Alya menatap pada ponsel di tangannya dan memerhatikan dengan seksama pesan dari salah satu rekan yang berada satu tingkat di atasnya.

Isinya tidak banyak, hanya menampilkan dua kata impulsif, 'Semangat ya' yang Alya tidak ketahui maksud sebenarnya. Atau itu memang hanya sebuah kalimat penyemangat sederhana? Dia berpikir terlalu jauh.

Alya mengabaikan pesan itu dan fokus pada langkahnya.

Tapi pikirannya yang sudah terdoktrin oleh ceramah tiga jam Pak Wakil kepala sekolah melayang jauh dan semakin jauh, sampai akhirnya dia sampai di titik dimana dia merasa tidak yakin pada keyakinannya sendiri.

“Emang kelas itu semengerikan itu?”

Kelas itu adalah 12 MIPA 5.

Dan menurut legendanya, seekor iblis bersemayam di dalamnya.

Pulang ...

Alden menurunkan standar motornya ketika dia sudah sampai di dalam garasi. Cowok itu melepaskan helmnya, kemudian dengan tenang meletakkannya di atas stang motornya, dan kemudian terkejut pada suara gedebuk keras dari belakang.

Alden sontak menoleh, dan melihat Arazki yang sedang terduduk di bawah kakinya karena terjatuh dari posisinya.

Alden memang terpaksa harus membonceng Arazki lantaran tidak mungkin juga dia membiarkannya berkendara dalam keadaan tidak sadar seperti itu.

Untuk urusan motor Arazki persetan saja, dia serahkan urusan motornya pada salah satu supir Papa nya. Yah, paling nanti cepu ke Papa nya.

“Anjing, Ki! Kok jatuh, sih?!” Alden buru-buru turun dari motornya dan membantu Arazki berdiri.

“Hah? Lo mau nyulik ya?”

Alden memilih tidak menjawab pertanyaan yang entah sudah ke berapa kalinya dilontarkan Arazki.

Dia seret laki-laki itu masuk ke dalam rumah, dan melihat bahwa keadaan rumah sudah sepi dan cukup gelap. Wajar saja karena ini adalah dini hari.

“Bangsat lo, Ki!” Alden mengumpat lagi. Berharap bahwa Aristian atau Aksana sudah tidur meski dia tahu itu tidak mungkin terjadi.

“Abis ngapain?”

Kan.

Alden menoleh sebentar pada Aksana yang duduk di sofa sembari menghadap ke televisi.

“Jemput Arazki.”

“Sampe 6 jam?”

Alden mendesah kasar. “Arazki lama.”

“Abis ngapain?” ulang Aksana.

Alden menghela nafasnya dan membiarkan Aksana melihat Arazki sendiri.

Dan Aksana paham pada itu.

“Lo juga?”

“Sedikit doang, tapi gue gak sampe kayak dia.”

“Lo berdua kenapa, sih?” Aksana memijat pangkal hidungnya, tidak mengerti pada jalan pikiran mereka berdua.

“Siapa lagi yang tau soal ini?”

“Tadi gue minta tolong supir Papa buat ambil motor Arazki.”

Aksana menghela nafas kasar. “Lo ngerti gak, sih?”

Aksana terdiam sendiri, begitupula dengan Alden yang menunggu Aksana melanjutkan ucapannya.

Laki-laki itu lantas kembali menatap Arazki kemudian Alden sekali lagi, kemudian menghela nafas panjang. “Ya udahlah, sana!”

Alden mengangguk dalam hatinya. Segera berbalik dengan Arazki bersamanya dan dengan susah payah berjalan menaiki tangga.

“Gak mau tau, besok gak ada izin. Sekolah.”

Alden mengerutkan keningnya. Bukannya membantu malah ngomong begitu. Ya udahlah.

Setelah perjuangan yang cukup membuatnya menyesal dan kesal, Alden akhirnya sampai di depan kamar Arazki. Tapi ketika dia memutar kenop pintu, pintunya terkunci.

“Anjing!” Alden berdecak.

“Sialan, Ki! Dimana kuncinya?!”

Alden dengan tidak sopannya menggeledah semua saku Arazki dan akhirnya berhasil mendapatkan kunci kunci yang sialnya itu semua tergabung menjadi satu.

“Kunci kamar lo yang mana, anjing!?” Alden berteriak tertahan secara frustrasi.

Mau tak mau dia harus mencoba satu persatu kunci itu, sambil menopang Arazki. Dan akhirnya dia berhasil menemukannya.

Pintu kamar Arazki akhirnya terbuka. Dan Alden segera menarik dan mendorong Arazki begitu saja sampai lelaki itu akhirnya menghantam kasurnya sendiri.

Alden menjatuhkan tubuhnya ke kursi di dekat meja belajar kemudian menghela nafas lelah.

Dia memang mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya tapi tidak semua karena setelah itu bicara Arazki mulai melantur kemana-mana.

“Lo jujur, sih, tapi lo gak jelas, asu.”

“Sengaja ya mabuk biar gue gak bisa berkutik?”

“Bangsat lo.”

Alden menatap Arazki yang masih berpakaian seperti sebelumnya lengkap dengan sepatunya.

“Kok gue mau ya dikibulin?”

Alden segera beranjak dan dengan tidak pedulinya dia pergi dari sana.

“Bodo amat, anjing. Gue mau tidur.”

Sekolah ...

“Ini Alden sama Arki serius gak sekolah?”

Andhito mengangkat kepalanya dimana tepat saat dia mendongak, dia melihat Andeiro yang celingukan ke luar kaca mobil.

“Emang kenapa, sih?” tanya Andhito.

“Ya gak apa-apa, takutnya nanti mereka malah berangkat.”

“Ya udah, kan pada bisa bawa motor.”

“Oh iya juga.” Andeiro mengangguk. Merasa tidak ada lagi yang akan Andeiro katakan, Andhito kembali pada ponselnya.

“Seneng lo dapet tempat lega,” cibir Andhito.

“IYALAH! YAHAHA, DUDUK NOH DI BELAKANG BARENG NAD.”

“Udah, kan? Gak ada yang ketinggalan?” Aristian bertanya kepada saudara-saudaranya ketika dia masuk dan duduk di sebelah Aksana.

Andeiro menyerukan “Siap, tidak.” Dengan lantang. Tepat ketika itupula, Aksana menghidupkan mesin mobilnya, dan seseorang tiba-tiba masuk mengambil tempat duduk di sebelah Andeiro.

“Nahkan, nahkan! Anjing! Apaan, sih?!” Andeiro yang didorong oleh Alden bergeser dengan terpaksa sampai mentok ke badan mobil.

“Anjir, kok lo rakus banget ngabisin tempat?!” seru Andeiro tidak terima.

Alden tidak meresponnya sedikitpun. Dia menutup pintu mobil dengan sangat kencang, membantingnya sehingga Andeiro terpaksa membungkam mulutnya.

“Udah, Iro, kan masih ada tempat, geser aja.”

“Udah, kan? Gak ada lagi?” tanya Aksana.

“Gak ada, Bang.”

Aksana akan menarik pedal gasnya, namun tepat ketika itu juga, sesuatu menghantam sisi mobil sehingga menghasilkan bunyi benturan keras.

“Astagfirullah,” gumam Aristian.

“Buset! Bang, bang! Arazki tuh ngehantam mobil!” ujar Andeiro heboh sendiri.

Aristian membuka kaca mobilnya. Menatap pada Arazki yang sudah lengkap berseragam. “Lo mau sekolah?”

Arazki tidak menjawab dan malah membuka pintu mobil dimana Alden dan Andeiro berada. Dia dorong kedua remaja itu sehingga keduanya terpaksa menggeser diri masing-masing.

“Anjing, sekarang lo yang ngabisin tempat!” pekik Andeiro, membuat Alden menghela nafas kasar karena Andeiro berteriak di dekat telinganya.

“Arki, yakin lo mau sekolah?”

“Jangan, bang, jangan! Tadi aja nabrak mobil tuh dia, gak bener ini mah.”

Arazki segera menatap Andeiro sehingga itu otomatis membungkam mulut laki-laki itu.

“Arki.”

Arazki mengalihkan pandangannya pada Aristian kemudian dengan cepat kembali memandang ke luar kaca.

Tidak dijawab, Aristian menghela nafasnya. “Ya udah ayo berangkat.”

Aksana akhirnya benar-benar menjalankan mobilnya meninggalkan rumah mereka menuju sekolah dan sampai ke tujuan dalam sekitar 15 menit perjalanan karena jalanan yang lenggang.

Arazki turun lebih dulu setelah Aksana memarkirkan mobilnya, disusul oleh Alden yang tidak meninggalkan sepatah katapun sejak dia masuk ke sana.

Andeiro memandang keduanya dengan cengo. “Insting gue mengatakan nih bocah dua ada apa-apa nih.”

“Sok cenayang lo.”

“Apa, sih, komen mulu! Gak ada yang ngechat ya?” Andeiro melirik dengan tatapan meledek pada Andhito yang sedari tadi menatap ponselnya.

“Buru keluar anjir! Pengap denger lo berdua ngomel mulu dari tadi!”

“Bocil dilarang bicara.”

“Halah tua.”

“Bang Aksa tuh Bang, dipanggil tua sama bocil.”

“Gak gitu!” pekik Naddira.

Aksana tidak peduli dan memilih fokus pada ponselnya, sementara Aristian menggelengkan kepalanya. Segera mengintrupsi sebelum keduanya semakin ribut di belakang. “Udah, keluar. Sana ke kelas!”

Andeiro membuka pintu mobil dan keluar dari sana, disusul oleh Naddira yang berjalan lebih dulu dan Andhito yang keluar terakhir.

Naddira tidak lagi menunggu keduanya ketika Andeiro malah berkelahi dengan Andhito. Dia segera berjalan meninggalkan keempat kakaknya, sekalian mencari tahu kemana perginya Arazki dan Alden karena barusan mereka keluar dengan terburu-buru.

Namun ketika matanya mendapatkan siluet seseorang yang dikenalnya, Naddira mengurungkan niatnya memata-matai dua kakaknya.

“Ah, tapi mager ah.” Cewek itu lantas berbelok, berniat menghampiri remaja yang berjalan beberapa meter di depannya.

Naddira mempercepat langkahnya. Niatnya adalah mengejutkan Raga dari belakang, tapi ketika itu juga, dia menyadari beberapa orang memandang ke arahnya.

Naddira menoleh, dan mendapati anak kelas yang tetanggaan dengan kelasnya tengah memandang ke arahnya.

Gadis itu melambaikan tangannya dan tersenyum menyapa ketiga cewek itu. Lagipula dia mengenal ketiganya.

“Vio, Hana, Dila, halo!”

Tapi respon ketiganya—yang memalingkan wajah begitu saja seolah tidak melihatnya—membuat senyum Naddira luntur.

Ketiga gadis itu segera meninggalkan tempat mereka sambil tertawa entah karena apa.

Dan Naddira merasakan ada sesuatu yang tidak beres ketika dia merasakan tatapan lain dari orang-orang yang lewat di sekitarnya.

Ekspresi di wajah Naddira menghilang seketika. Dia kembali mengurungkan niatnya dan memutuskan untuk masuk ke kelasnya dengan perasaan yang tidak karuan.

Perjanjian ...

Arazki baru akan menggapai gelasnya, tangannya tiba-tiba ditarik secara paksa sehingga dia mau tak mau harus berdiri, berhadapan dengan saudaranya yang menatapnya dengan kekesalan di matanya.

Arazki tanpa sadar tersenyum. “Welcome, Alden.” Dia balik menarik Alden yang kalah tenaga mendekat ke konter dan dipaksa duduk di kursi di sebelahnya.

“Mau nanya apa?”

“Lo ngapain, sih, Ki?” Alden menaikkan nada suaranya.

“Nunggu lo.”

“Kenapa harus di sini?”

“Gak boleh?”

“Ya menurut lo?” Alden menatap Arazki dari atas ke bawah. Memperhatikan seragam karate yang tertutupi jaket di tubuhnya.

“Udah cepet lo mau nanya apa?”

Are you drunk?

Yes.

Mendengar jawaban itu, Alden beranjak, bersiap untuk pergi tapi Arazki dengan cepat menahan tangannya.

No, maksud gue, belum,” ralat Arazki.

Alden menukik kedua alisnya. “Lo kenapa?”

“Kan gue udah bilang lo boleh nanya sampe mulut gue kram.”

“Ya terus kenapa lo—”

“Biar lo gak ragu sama gue.”

Perkataan Arazki sontak membuat Alden membungkam mulutnya begitu saja.

“Orang mabuk bakal ngomong jujur. So that, lo bisa nanyain gue sepuas lo sampe gue gak tau mau jawab apa lagi, nanti. Sekarang gue belum mabuk.”

“Terus lo pikir gue bakal biarin lo minum lagi sampe mabuk?” Alden menahan tangan Arazki yang terulur menggapai gelas sloki di hadapannya.

“Percuma juga lo larang gue minum yang ini, gue udah minum sebelumnya.”

Arazki menarik tangannya dari Alden. Kali ini benar-benar meraih gelasnya, dan mendekatkannya ke bibirnya.

“Kali ini doang gue mabuk di depan lo.”

“Oh berarti emang udah sering?”

“Iya, napa? Gak seneng?”

“Oh, gitu. Sama siapa?”

“Biasanya sendiri, tapi kadang bareng si curut. Tapi biasanya dia kabur ke situ, sih, gue sendiri di sini.” Arazki menunjuk ke kerumunan orang-orang di sebelah konter.

Alden bergumam paham, tau siapa si curut yang dimaksud Arazki, kemudian dia mengangguk pada penuturan jujurnya.

“Cih, ayo nanya, sebelum lo jadi susah nanyain gue nanti.”

Alden mendesah jengah. Tapi tetap mengikuti tujuan awalnya. Lagipula dia punya ide lagi di kepalanya yang membuatnya otomatis menyeringai.

– Sin -

Mikey selalu membenci ketika mendapati dirinya tersenyum, pada apapun yang seharusnya tidak pernah dan tidak akan pernah dia lakukan. Dia membenci orang-orang, semuanya, hal-hal yang terlibat dalam kehidupannya, termasuk dirinya sendiri yang menyedihkan.

Tapi Mikey entah bagaimana mendapati dirinya sendiri berada di tengah-tengah sekumpulan orang yang bertengkar, meributkan masalah mereka sendiri satu sama lain, dan Mikey hanya diam memperhatikan, sampai salah satunya bicara,

“Mikey sampai tidak bergeming karena pertengkaran kalian,” sindir yang paling jangkung, pada dua insan yang saling menatap satu sama lain dalam artian peperangan.

“Aku tidak mengerti kenapa bajingan ini di sini!” Baji Keisuke menunjuk seseorang lainnya dengan nada menuntut tidak terima, dan begitu berani menyentak pemimpinnya dengan suara tinggi.

“Ya? Apa kau berbicara padaku, atau dirimu sendiri?” Sementara yang ditunjuk dengan santai merespon sembari memiringkan kepala seolah-olah tidak mengerti. Padahal matanya menunjukkan pandangan mengejek dan merendahkan.

Baji yang awalnya masih duduk dengan cukup tenang di antara Chifuyu dan Mitsuya yang hanya diam, mulai kehilangan kesabaran dan segera menggebrak meja sembari dirinya berdiri dari tempatnya dengan emosi yang bergemuruh di dadanya.

“Kau bajingan! Bangsat! Brengsek!” teriak Baji, pada Kazutora yang hanya tersenyum tipis sambil mengangguk-nganggukkan kepalanya.

Mitsuya dengan cepat menahan Baji, begitupula dengan Chifuyu yang ngeri membayangkan bagaimana Baji akan membenturkan wajah Kazutora ke atas meja sekuat-kuatnya sampai orang itu pingsan.

Draken menghela nafasnya, abai pada adu mulut antara Baji dan Kazutora, dan tidak peduli pada dua anggota lainnya yang berusaha menahan kesetanannya. Dia terlalu lelah untuk mengurusi itu, sehingga memilih untuk menikmati pertunjukkan murahan itu.

Dan Takemichi yang paling tidak mengerti ada apa, kenapa, dan harus bagaimana hanya tersenyum canggung, sambil sesekali matanya melirik, memperhatikan Mikey lewat sudut matanya yang sedari tadi diam tidak merespon sedikitpun.

Ini aneh, pikirnya. Apa sesuatu telah terjadi?

Takemichi merasa prihatin. Jadi dia memutuskan untuk berniat mendekati Mikey dan memberanikan diri mengajaknya mengobrol.

“Emm, Mikey—yah ... apa kamu baik-baik saja?”

Pertanyaan itu jelas tidak dijawab oleh Mikey, bahkan tidak membuatnya melirik sedikitpun. Membuat Takemichi sekali lagi tersenyum penuh kecanggungan, dan matanya memancarkan rasa sakit atas balasan kosong itu.

Takemichi sudah mencoba untuk menjadi dekat dengan Mikey, dengan tidak menambahkan imbuhan “-san” saat memanggilnya sebagai contoh, untuk menjaga agar Mikey bersedia terbuka padanya. Tapi ini tidak semudah yang dia perkirakan.

Namun Takemichi tentu saja tidak akan menyerah. Dia lantas mendekat, duduk di samping Mikey yang sama sekali tidak mengalihkan pandangannya dari keributan Baji dan Kazutora.

“Hari ini tidak ada apa-apa, umm ... iya, kan? Maksudku, lihat! Mereka baik-baik saja, haha.” Takemichi mencoba berbicara dengan nada stabil namun tegas secara bersamaan.

Tapi sekali lagi, Mikey sama sekali tidak mendengarkannya, tidak meresponnya, tidak melihat ke arahnya, seolah dia tidak mendengar suaranya.

Padahal Takemichi tahu, Mikey berkedip beberapa kali dengan sengaja yang artinya, dia merasakan tatapan dirinya terhadapnya.

Takemichi tersenyum. Menarik nafas pelan untuk mengatakan dengan nada pelan. “Hei, Manjiro.”

Dan kali ini, itu berhasil membuat Mikey tergerak dan akhirnya melirik ke arahnya dengan enggan setelah dia meninggalkan ketegangan di bahunya yang dengan cepat menghilang ketika dia melempar tatapan dingin kepadanya.

“Maaf memanggil namamu seperti itu, tapi kamu tidak meresponku sama sekali. Aku pikir kamu sedang memikirkan sesuatu? Apa kamu baik-baik saja?” Takemichi terkekeh, berharap Mikey akan memaafkannya atas hal tadi dan mau berbicara padanya.

Tapi sekarang Mikey hanya membungkam mulutnya, masih dengan keras kepala tidak menjawab atau merespon Takemichi sedikitpun. Kecuali melempar tatapan kosong yang Takemichi tidak tahu apa artinya itu.

Takemichi hendak bicara lagi, tetapi kemudian dia melihat kehadiran lain yang masuk ke ruangan itu, dengan otomatis juga menghentikan kebisingan di sekitarnya.

Di situ Takemichi membeku. Kedua kristal birunya membola dalam ketegangan dan keterkejutan yang kontras menjadi satu.

Teman-temannya yang lain juga melakukan hal yang sama, bahkan Baji yang sedari tadi mengoceh ikut bungkam, begitu melihat kehadiran Haitani bersaudara dan Sanzu Haruchiyo dalam pakaian formal mereka, berdiri dalam postur arogan, memandang pada Mikey.

“Mikey, apa kamu dari tadi memikirkan ini?” Tanya Takemichi, yang sekali lagi tidak dijawab oleh Mikey ketika akhirnya dia berdiri begitu saja dengan pandangan lurus ke depan.

“Mikey, kamu daritadi mengabaikanku, apa kamu marah? Aku akan pergi untukmu kalau begitu.” Takemichi berucap lagi dan akhirnya tersenyum pada Mikey yang terus menatap ke depan, mengabaikan Takemichi yang menatapnya dengan tatapan tak terbaca.

Takemichi mengerutkan alisnya, mulai menjadi tidak sabar karena rasa khawatir, tapi tidak melunturkan senyum di wajahnya. “Mikey, kamu baik-baik saja, kan—”

“Takemicchi.” Suara Mikey yang tegas kemudian menggema di seluruh sudut ruangan dan memotong ucapan Takemichi setelahnya. Tapi dia sama sekali tidak mengalihkan pandangan pada apa yang tengah ditatapnya saat ini, meski dia melihat Takemichi tersenyum pada kalimatnya.

Lalu tak lama kemudian Mikey melanjutkan, “Aku baik-baik saja.”

Dan itu praktis membuat senyuman di wajah masing-masing, termasuk Takemichi di sebelahnya, berubah menjadi gambaran kehangatan dan kesenangan yang kontras.

“Syukurlah, aku pikir kamu marah.”

Kemudian dia dan yang lainnya tidak mengatakan apapun lagi dan membiarkan Mikey akhirnya berjalan mendekat ke mereka bertiga.

Sanzu secara otomatis membungkukkan badannya begitu melihat Mikey berada beberapa meter di hadapannya. Tersenyum penuh kehormatan, sampai dia akhirnya harus menelan mentah-mentah perasaan itu ketika Mikey hanya melewati mereka bertiga. Pergi begitu saja.

Ran Haitani melirik Sanzu, khawatir kalau laki-laki itu akan mulai mengamuk lagi, tapi tidak untuk saat ini dan dia justru membulatkan matanya ketika melihat respon Sanzu selanjutnya.

Dia tersenyum.

... yang menunjukkan kesetiaanya pada rajanya, sampai akhir.

Ran mendengus lega, ikut tersenyum pada reaksinya, dan kemudian membawa Rindou yang sedari tadi hanya diam dengan wajah tanpa ekspresi, membawanya ke dalam rangkulan kencang, yang langsung dibalas dengan pemberontakan seorang saudara.

Yah, lagipula, ini yang memang seharusnya dilakukannya sebagai seorang saudara dari adiknya, dan kepercayaan pemimpin mereka.

“Dia begitu adil, bukan?” bisik Ran, begitu pelan, hampir tanpa suara, tapi nada penuh ketenangan dan kelapangan mengisi melodi dalam kalimatnya.

Namun Mikey dengan jelas mendengar kalimat itu, seperti kata-kata itu benar-benar berputar tepat di samping telinganya, seolah memukulnya, sampai kemudian dia merasakan kedua kakinya kehilangan rasa.

Hingga akhirnya, dia jatuh dalam keadaan berlutut di tempatnya terakhir melangkah. Terengah-engah, dan membuat suara erangan tercekik ketika menundukkan kepalanya. Terbatuk pada emosi yang mengepul di rongga dadanya.

Mikey sekali lagi, membenci dirinya sendiri yang tersenyum, pada apapun hal-hal yang terlibat dalam kehidupannya, termasuk dirinya sendiri yang menyedihkan.

Menyedihkan begitu dia sekali lagi sadar bahwa sebenarnya tidak ada apapun, siapapun, kecuali kekosongan dan hampa yang gelap, dengan dirinya yang mengelak menyadari hal itu.

Mikey tertawa. Sekali lagi, suaranya gemetar ketika udara di sekitarnya terasa seperti racun yang akan mencekiknya. Ketika suara-suara yang berputar di sekelilingnya berubah menjadi ekstasi yang akan membunuhnya.

Ini bukanlah hal yang dia harapkan. Setiap kali Mikey berada bersama kesesakan di dadanya, Takemichi selalu menanyakan keadaannya, di samping teman-temannya yang lain yang bertengkar mencoba menyembunyikan kekhawatiran mereka tapi menguping dirinya dengan Takemichi. Atau Sanzu yang selalu membungkukkan badan penuh hormat terhadapnya, dan Ran yang akan berpendapat dengan Rindou yang selalu menganggukkan kepalanya.

Itu sudah menjadi kebiasaan yang terlihat, yang tidak diharapkan. Namun sekarang apa yang dirasakannya tak lebih hanyalah sebuah hukuman.

“Hentikan.” Mikey mengepalkan tangannya di depan dada, udara meluap di dalamnya atas perasaan takut, ketika kesalahan bertopang di telapak tangannya yang kotor.

Untuk apa dia terus melanjutkan ini, ketika dia hanya sendirian?

Sebuah pertanyaan yang sama selalu berputar di kepalanya secara melankolis, juga selalu tidak pernah terjawab dengan pasti.

“Hentikan.”

Mikey selalu berusaha mendapatkan jawabannya. Tapi teriakan di telinganya selalu mencegahnya, memenuhi kepalanya hingga rasanya seperti akan meledak. Rasanya seperti Shinnichiro atau Emma memarahi dirinya. Itu praktis menyebalkan.

“Mikey, apa kamu baik-baik saja?”

Yah, lagipula dia sadar sekarang, ini semua memang salahnya.

Ditatapnya iris biru yang mengerjap penuh kekhawatiran, ketika sekali lagi dia mengerlingkan netra jelaganya. Ketika sekali lagi suara yang sama berputar di indera pendengarannya. Ketika sekali lagi dia melihat ke sekelilingnya, di tempat yang sama, di waktu yang sama.

“Aku baik-baik saja.”

Mikey sepenuhnya sadar ketika akhirnya dia kembali ke rotasi sebelumnya, di mana kehidupannya terus berputar selalu sama seperti itu.

Takemichi tersenyum lega sekali lagi, ketika pertengkaran di sekitarnya mereka abaikan, tapi Mikey dapat merasakan mereka diam-diam tersenyum pada jawabannya, seolah menunggunya.

Sekali lagi, seperti itu.

“Syukurlah, aku pikir kamu marah.”

Mikey tanpa sadar kali ini tersenyum, kemudian tertawa pada kalimat itu. Tapi tetap tak mengubah ekspresi yang dikeluarkan Takemichi dan yang lain, seolah mereka hanya punya satu yang harus dikeluarkan. Seolah mereka sudah diatur untuk memberikannya apa.

Bukankah itu memang benar?

Tidak, bukan mereka sama sekali. Ini semua tidak ada, tidak ada Takemichi, tidak ada Draken, tidak ada Baji, Chifuyu, Mitsuya, Sanzu atau yang lainnya.

Tidak ada siapapun di sini saat ini, selain perasaan bersalahnya.

“Sial.” Mikey menundukkan kepalanya. Berkali-kali menahan segalanya agar tidak meluap begitu saja, tapi kali ini dia gagal. Suaranya bergetar lirih ketika cairan bening lolos dari pelupuk matanya, turun dari pipi hingga ke dagunya. Sesenggukan secara tidak diperkirakan, dan Mikey membenci ini semua.

“Mikey, apa kamu baik-baik sa—”

“AKU SUDAH MEMBUNUH KALIAN, BRENGSEK! BERHENTI! BERHENTILAH MENGGANGGUKU!”

Mikey mengepalkan tangannya, mengatupkan mulutnya rapat-rapat, jantungnya berpacu sangat cepat seolah akan meledak ketika dia sepenuhnya sadar, ingat dengan jelas kalau mereka semua seharusnya sudah tidak ada.

Namun pada kenyataannya, pertanyaan yang sama kembali berputar di sekitarnya. “Apa kamu baik-baik saja?” Hal yang membuatnya gila, dia muak saat tidak ada jawaban yang pasti untuk itu semua.

Mikey akhirnya tahu dengan jelas bahwa dia tidak akan pernah bisa kembali lagi. Akan terus terjebak di tempat itu, di waktu itu, tidak akan pernah kembali karena pada dasarnya hukuman ini akan terus berjalan untuk dirinya.

Tidak ada apapun lagi.

1. Coffee


Dulu, Alya akan tertawa jika seseorang mengatakan dirinya akan berteman dengan seseorang keras kepala yang hobinya memerintah dan tidak memiliki rasa kemanusiaan juga semangat hidup sedikitpun. Lelucon itu menyedihkan.

Namun, ini dia. Di kursi penumpang mobil yang mungkin lebih mahal dari seluruh gedung apartemennya, milik tidak lain dari Arki, si bajingan kaya, kapten satu pihak tidak tahu diri mereka.

Bagaimanapun, dia berada di mobil paling mahal yang pernah dilihatnya karena suatu alasan. Dan tujuannya adalah dia dan Arki sedang dalam pekerjaan. Tidak ada yang terlalu berat. Jelas tidak ada lagi yang akan dikerjakan Divisi Pertama. 

Ini hanya patroli rutin kota, yang sangat mengecewakan.

Untuk semua yang Alya tidak terlalu nikmati tentang pekerjaannya, dia benar-benar membenci tugas semacam ini. 

Patroli rutin hanya menarik ketika sesuatu sedang dalam proses terjadi. Dan pengintaian hanya menarik ketika ada ancaman nyata.

Kadang-kadang mereka melakukan pelanggaran lalu lintas, yang paling menjengkelkan dari mereka semua; dia harus pergi dan memeriksa meteran kadaluarsa di bawah terik matahari di musim panas, atau dingin yang menyengat di musim dingin dan kemudian menulis tiket untuk mobil yang diparkir di tempat yang ditentukan selama berjam-jam. Dia selalu merasa seperti orang bodoh ketika dia melakukannya.

Lagipula, patroli rutin tidak menyenangkan. Alya biasanya duduk di mobilnya dan mengemudi di sekitar kota dengan senyum paksa di wajahnya saat Iiro terus mengoceh tentang video game nya atau sesuatu.

Sekarang dengan Arki tampaknya ada lebih banyak keheningan yang bisa ditoleransi. 

Gadis itu tidak banyak bicara, dan Alya tidak akan memulai percakapan seperti Iiro. Jika mereka berbicara, itu sebagian besar adalah keluhan miskin Alya tentang metodenya yang kaya dan balasan dingin Arki dalam ketenangannya yang biasa.

Ketenangan yang sama yang membuat Alya ingin meninju dinding.

Tentu saja, butuh waktu beberapa bulan setelah bertemu, setelah mempertimbangkan dunia mereka yang berbeda, untungnya keduanya dapat membanggakan bahwa kemitraan mereka efektif dan fungsional. 

Alya menguap, mematahkan jalan pikirannya. Ini seperti keseratus kalinya dia melakukannya di mobil ini, yang baru saja dia masuki selama 10 menit. 

Alya melirik Arki yang sepertinya tidak memperhatikan suara lembut itu, juga tidak peduli jika dia memperhatikannya. Gadis itu terlihat tidak lelah.

Jika Alya berada di kemudi, dia mungkin akan berbelok saat dia berjuang untuk tidak tidur. 

Namun, Arki dengan jelas menunjukkan kulit di bawah matanya tampak lebih gelap dari apa yang bisa dilihatnya dalam cahaya redup Bentley. 

Tentu saja mereka melakukan patroli rutin sehari setelah hampir semalaman mendokumentasikan sebuah kasus. 

Tampaknya sangat pas bahwa Semesta memiliki semacam hal yang menentang Alya untuk benar-benar mendapatkan istirahat malam penuh, tetapi itu seharusnya tidak terlalu mengejutkan karena dia sudah lama mengetahui bahwa dewa di luar sana memiliki dendam terhadapnya. 

“Berhenti menatapku dan perhatikan jalurmu, wakil ketua.”

Alya sedikit berjengit dan dengan cepat membuang pandangannya ke tempat lain sambil berdecih, pada panggilan di ujung kalimatnya. Dia punya nama, tapi orang ini terus memanggilnya seperti itu. Yah, dia tidak peduli, tapi itu tetap saja menyebalkan.

“Aku punya ide, istirahat untukmu.”

“Hah? Apa?” Alya kembali menoleh dan menatap Arki. Kemudian memandang ke sekitarnya yang nampak sangat familiar. Oh, tunggu, sejak kapan mereka berkendara ke apartemennya? Sialan, dia merutuki rasa kantuknya sampai tidak menyadari ini.

“Pergilah, aku akan pulang.” Arki mengusirnya secara kasar tentu saja, dan Alya mendengus tapi tidak mengatakan apapun ketika dia menarik kenop pintu, dan keluar dari sana dengan senang hati.

“Oh, selamat malam, Arki.”

Alya tidak melihat Arki setelahnya, tidak menunggu reaksinya, dan tidak ingat alasan dia mengatakan demikian, karena perasaan teralu bahagianya, menantikan kasurnya yang dirindukannya.

Akhirnya kapten sialan itu memberinya waktu istirahat. Dan Alya tidak peduli apa-apa lagi.


Alya baru merasakan kedamaian sampai dia harus terbangun karena panggilan telepon di pagi hari. 

Tidak waspada, otaknya yang mengantuk langsung menyamakannya dengan alarmnya dan dia melompat untuk mendapatkannya. 

Tentu saja, itu bukan alarm yang dia setel. Itu adalah telepon dari Arki yang mengatakan bahwa dia akan berada di tempatnya dalam 20 menit.

Wah sialan, dia harus bergegas atau Arki akan kembali menendang pintu apartemennya dan menyebabkan gangguan pada tetangganya atas kebisingam itu.

Seluruh waktu dipenuhi dengan kesengsaraannya karena mandi tidak membuat kantuknya hilang sama sekali.

Kenapa dia tidak membuat kopi—oh, tunggu. Ya, sebenarnya, tadi dia melakukannya. 

Gadis itu beringsut di kursinya, meraih tas yang dibawanya yang tergeletak di lantai di sekitar kakinya. Dia membungkuk untuk meraih dan menarik talinya sehingga dia bisa meletakkannya di pangkuannya. Semoga tidak bocor di dalam.

Ketika Alya merogoh kantong yang untungnya kering, tangannya merasakan permukaan termos hijau yang halus dan dingin. 

Dia menariknya keluar, tersenyum puas saat dia berpikir tentang minum kopinya dan akhirnya menghilangkan rasa lelahnya—meskipun hanya untuk sementara. 

Tapi anehnya tas itu masih terasa berat ketika dia meletakkannya kembali, jadi dia meraihnya lagi dan mengeluarkan ... termos lagi? 

Yang ini berwarna biru. Dia duduk di sana, diam sejenak, dan sangat bingung. 

Apakah ... apakah Alya yang mengantuk membuat dua kopi? Satu untuk saat ini, yang lain untuk nanti? 

Tetapi untuk nanti bisa dia panaskan kopinya pada saat dia merasa lelah lagi. Dia akan memikirkan itu. Jadi ... Kenapa ada dua?

Bagaimana aku punya waktu untuk membuat dua kopi? Alya bertanya pada dirinya sendiri, menatap termos kedua. Dia hampir tidak punya waktu untuk sarapan, meski hanya makan roti panggang cepat dan sebuah apel.

Alya mencoba memikirkan kembali pola pikirnya yang mengantuk di pagi hari. 

Dia tahu dia akan lelah, jadi dia membuat kopi dan sarapan. 

Dia juga tahu bahwa kopi dalam termos portabel akan menjaganya selalu panas, dan dia lebih suka minum kopi yang benar-benar panas sehingga dia menggunakan termos. 

Dia tahu juga Arki mungkin sama lelahnya, jadi mungkin dia juga menginginkannya—oh.

Oh. Termos biru untuk Arki! 

Tentu saja. Itu masuk akal.

Alya tidak bertanya pada dirinya sendiri mengapa dia berpikir untuk membuatnya untuk partnernya. Mitra yang belum pernah dia buatkan kopi sebelumnya. Mungkin tindakan niat baik dari dirinya yang lesu.

“Ini,” kata Alya, memegang termos ke arah Arki dan memecah keheningan di dalam mobil. 

Gadis berambut raven kebiruan itu meliriknya dari sudut matanya, lalu mengangkat alisnya sebagai tanda tanya. 

“Ini kopi,” ujar Alya, menjawab pertanyaannya.

Arki berdengung, perhatiannya kembali ke jalan. ”Tidak, terima kasih.”

Oh. Sejujurnya dia seharusnya mengharapkan itu, tapi jawabannya tidak memuaskan Alya sedikitpun. Sebenarnya, itu sedikit merusak harga dirinya.

“Ambillah!” desaknya, menggoyangkannya pelan saat dia mendekatkannya ke wajah gadis itu. 

Mereka berada di lampu merah, jika tidak, Alya tidak akan mendorong kopi ke wajah orang yang mengemudi. 

Arki benar-benar menoleh ke arahnya dan mengarahkan pandangannya yang tenang ke Alya. 

“Jangan beri aku tatapanmu. Aku tahu kamu sangat lelah sekarang. Kamu selesai bekerja sama terlambatnya denganku, mungkin atau pasti kau tidur lebih sedikit dariku,” katanya, memikirkan bagaimana partnernya mengatakan bahwa dia muncul di kantor sebelumnya dan menunggunya di sana. 

“Aku bisa melihat kantung di bawah matamu, jadi ambillah kopinya!“ Dia menyela dengan mendorong minuman lebih dekat ke wajah gadis itu.

Arki menatapnya dengan ekspresi kosong untuk sesaat, membuat Alya merasa aneh pada dirinya sendiri saat itu juga, tapi dia akhirnya mengambil minuman di tangannya, meskipun dengan hati-hati. 

Termos biru itu dingin di luar, tetapi ketika Arki membukanya, uapnya keluar sehingga dia tahu minuman itu mungkin panas. 

Arki mengamati isinya dengan hati-hati selama beberapa detik, dia mengangkatnya ke mulutnya dan menyesapnya. Ini benar-benar hangat di dalam, sangat mengejutkannya. Rasanya juga tidak terlalu buruk.

Rekannya menatapnya dengan seringai puas ketika dia meminumnya dan melihat sedikit ketegangan meninggalkan tubuhnya. 

“Yah, aku tidak tahu apa yang kamu biasa minum, jadi aku memasukkan sedikit dari semua yang aku miliki untuk kopi di sana.”

Arki memalingkan wajahnya darinya, tapi bergumam kecil ke samping, “Bagus. Terima kasih.”

Alya bergumam pelan dan tersenyum tipis, merasa senang melihat dia benar-benar menikmati kopi yang dia perjuangkan.

Sebenarnya, sekarang dia agak ingat pagi ini dia panik di dapurnya untuk hal-hal yang akan menarik selera Arki. Itu membuatnya merasa seperti stereotip dengan cara tertentu. 

Untuk beberapa alasan, dia memikirkan bagaimana Arki mungkin setelah itu melanjutkan patroli sendirian dan tidak tidur seperti yang dia katakan pada Alya sebelumnya.

Jadi Alya telah membuat kopi dengan kemampuan terbaiknya. Namun, dia merasa tidak cukup? 

Arki mungkin meminum kopinya dari ampas segar dari Amazon dan dengan percikan Vanilla Prancis. Alya tidak memiliki semua itu di rumah, hanya kopi instan, madu, gula, krim, dan kayu manis atau pala yang dia gunakan saat memasak.

Sangat mudah untuk melihat ketidaksukaan pasangannya terhadap sesuatu, terutama jika dia belum pernah mencobanya sebelumnya, dan Arki memalingkan wajahnya darinya setelah meminumnya. 

Mungkinkah dia tidak menyukainya? Tapi dia berkata, “Itu bagus.” Jadi mungkin dia menyukainya? 

Arki tidak akan menyimpan perasaan dengan berbohong, dia tidak akan mengatakan itu jika dia tidak menyukainya. Dia akan mengeluh tentang hal itu. Atau mungkin tidak? Siapa tahu?

Astaga, kenapa aku masih memikirkannya? Alya berpikir, mengerutkan wajahnya saat dia tanpa sadar melihat ke luar jendela selama lima menit. 

Ayo, dia melakukan hal yang baik untuk rekan kerjanya dan hanya itu. Jadi, fokuslah ke pekerjaanmu sekarang.

Di luar masih cukup gelap, bahkan dengan lampu jalan menyala, dan hampir tidak ada orang yang berjalan kaki atau mengendarai mobil di jalan. Matahari tidak akan terbit sekitar satu jam lagi. 

Kejahatan bisa dimulai kapan saja, tapi Alya benar-benar tidak mengerti mengapa dia harus bangun jam lima pagi untuk ini. 

Sekarang dia berada di dalam mobil yang hangat dan nyaman, tanpa suara, hampir tertidur selama satu jam. Sejujurnya, bahkan setelah meminum kopinya sendiri, penglihatannya kabur, dia mungkin akan tidur di Bentley.

“Dua sendok teh krim dan satu sendok teh gula.”

Alya tersentak mendengar pernyataan tiba-tiba itu. Dia perlahan berbalik untuk melihat Arki, yang matanya tertuju ke jalan. 

Apakah ... apakah dia memimpikan itu?

“Apa kamu mengatakan sesuatu?“ Dia bertanya, sudah malu jika dia mengatakan tidak dan dia benar-benar memimpikannya.

Mata zamrud cerah yang tajam dengan cepat meliriknya dari sudut mereka sebelum kembali ke jalan. ”Dua sendok teh krim dan satu sendok teh gula,” ulang Arki pelan. “Begitulah caraku meminum kopi.”

Alya berkedip. ”Oh.“ Menggelengkan kepalanya untuk membangunkan dirinya.

Gadis itu menegakkan diri di kursinya dan mengalihkan perhatiannya ke pasangannya. ”Tidak ada vanila Prancis?“ Dia tidak bisa tidak menggoda.

Arki menyeringai, nadanya berubah merendahkan. “Hanya sesekali.“ 

Alya harus memutar matanya ke arah bajingan sombong itu, tapi semuanya baik-baik saja. Ini bagus, pertengkaran normal mereka. 

Suasana hening di dalam mobil selama beberapa menit, lalu gadis itu kembali berkata, “Kopimu cukup enak. Apa yang kau gunakan?”

Dia ... benar-benar menyukai kopinya? Sial, jika itu tidak menyenangkan Alya lebih dari yang seharusnya. 

“Ini instan,” jawabnya.

Alis Arki berkerut bingung. ”Instan?”

“Iya, instan. Kopi instan.”

“Apa maksudmu?”

Alya menoleh ke arah Arki dengan cepat dan tidak bisa tidak menganga pada pertanyaan itu. “Apa itu? Kopi instan, Arki. Kamu hanya perlu tuang air panas, kemudian gula ke dalam cangkir atau jika kamu ingin susu silahkan, dan aduk satu atau dua sendok teh bubuk kopi. Kamu bisa menambahkan apapun yang kamu suka, atau kamu meminumnya tanpa apapun. Dan selesai.“ 

Ini konyol. Sulit untuk menjelaskan bagaimana perasaan Alya menjelaskan kopi instan kepada Arki. 

Bangga bahwa dia tahu sesuatu yang lain yang tidak dia ketahui? 

Kasihan, karena itu hanya membuktikan Arki baru saja mengetahui hal sederhana seperti itu? Pada dasarnya, anak umur lima tahun juga mengetahui itu.

Dan dia senang, mungkin, karena dia orang pertama yang melihatnya minum sesuatu yang dibuat instan.

Dia merasakan semua itu dalam campuran emosi yang aneh. Hm. Yah, itu sesuatu yang harus dia khawatirkan nanti.

“Yah.” Arki berbicara lagi. “kopi instanmu ... enak.” Dia menyelesaikannya dengan suara pelan, tetapi Alya mendapat sentimen di baliknya.

“Belum pernah merasakannya sebelum aku membuatkannya?“ Alya bertanya meski sudah tahu jawabannya.

“Tidak.”

“Aku senang karena milikku menjadi yang pertama untukmu, ha ha ha...,” godanya, dan tertawa garing.

Rekannya tidak membalas itu. Jadi Alya kembali diam dan memutar kepalanya untuk menghadapi pemandangan yang bergerak di jendela, sementara Arki kembali fokus pada jalanan di depannya.

Tapi Alya kemudian tersenyum. Memikirkan betapa lucunya itu, tentang dia adalah orang yang terlibat ketika Arki merasakan sesuatu yang pertama kali dalam hidupnya, meski itu hanya hal kecil yang begitu sederhana.

Tapi untuk saat ini, mereka hanya akan duduk dan menikmati keheningan.

... dan bekerja karena, ya, mereka masih berpatroli.

Dia tidak begitu ingat kapan itu menjadi norma. Ketika udara yang dulu mencekik penuh dengan asap cerutu menjadi sesuatu yang dia cari, sesuatu yang dia sendiri ikut sertakan untuk menghidupkannya.

Dia tidak tahu sejak kapan dunia terlihat lebih baik saat buram, saat miring ke samping, saat semuanya lebih berbentuk tidak terdefinisi, daripada objek konkret.

Sial, sepertinya dia berlebihan malam ini, jika kepalanya tidak bisa menjaga garis pikiran yang jelas yang benar-benar pergi ke suatu tempat dan tidak hanya menguap ke udara yang berat dan berasap.

Tidak bisa menyalahkannya, mengingat ada segelas cairan keruh di tangannya, dan ketika dia mencoba untuk memfokuskan pandangannya, matanya dengan mabuk mengedar ke sisi meja di depannya, pada empat bukit kecil kokas yang tampaknya tidak berbahaya, amex hitam tergeletak di samping mereka.

Mikey menggulir matanya lagi, mengawasinya menggulung kertas bersama-sama. Setelah gulungan kertas tampak agak stabil, laki-laki itu menekan salah satu ujungnya ke salah satu lubang hidungnya, menahan lubang hidung yang lain dengan satu jari.

Dia membungkuk ke meja, menemukan bubuk dengan lubang di bagian bawah gulungan kertas, dan mendengus kira-kira setengah dari garis kristal yang dihancurkan.

“Begitukah caramu melakukannya, Sanzu?”

Sanzu menarik napas dan menghembuskannya secara dramatis, dia berbicara kepada laki-laki berambut silver di seberangnya.

Dia tidak memberi Mikey kesempatan untuk bereaksi secara verbal, melemparkan kertas baru ke sisi mejanya, membuang yang sudah digulung ke lantai.

Mikey hanya mengejeknya. Setelah gulungan siap, dia mencoba menurunkan kepalanya agar sejajar dengan tumpukan putih.

Karena sedekat ini dengan obat itu, dia secara singkat menangkap aromanya. Ini membingungkan. Baunya manis, seperti yang terlihat dari penampilannya, tetapi juga pahit dengan cara yang hampir membuat hidungnya berkerut. Sebaiknya jangan terlalu dipikirkan.

Awalnya memang terasa aneh. Ada sesuatu yang asing mengambang di hidungnya, hampir menyempitkan napasnya untuk sesaat, itu membakar dan menggelitik. Tapi dia tidak mungkin mendengus hanya satu inci dari garis dan terlihat seperti orang idiot di depan anak laki-laki lain.

Mengesampingkan pikiran yang mengganggu, Mikey melanjutkan dan berhenti hanya ketika tampaknya dia mendengus dengan jumlah yang sama dengan Sanzu.

Mikey melemparkan kepalanya ke belakang, bagian belakang lehernya mengenai sofa. Dia merasa seolah-olah dia telah menjalankan seluruh maraton meskipun dia telah duduk hampir sepanjang malam, kecuali sekarang, ketika dia berlutut.

Tidak ada cukup udara di paru-parunya dan dia kehabisan oksigen, dadanya naik dengan cepat sedemikian rupa sehingga dia bisa melihatnya dalam penglihatan tepinya, meskipun tatapannya terpaku, atau setidaknya mencoba untuk melihat langit-langit. Lengan tergantung lemas di sisi tubuhnya.

Suara pertama yang dia bedakan setelah telinganya berhenti berdenging adalah tawa dari teman-temannya.

“Sialan, kamu adalah sesuatu yang lain, bukan!”

Salah satu sudut mulutnya berkedut membentuk senyuman.

“Kau yakin ini pertama kalinya untukmu? Kau mengambil semua itu seperti seorang profesional!”

Puas, dia menutup matanya.

“Baik! Benar-benar anak nakal, bukan?”

Dia menelan, lalu menarik napas—

“Ya! menghirup asap cerutu dan coke di mulutmu, apa yang akan Ibumu katakan?”

Dan udara menyumbat tenggorokannya. Mata terbuka. Dia merasa seolah-olah dia tuli dan buta. Dia melihat ke langit-langit lagi tapi kali ini, dia tidak bisa benar-benar melihatnya.

Dia melihatnya tetapi tidak mencatat bahwa itu adalah langit-langit. Dia merasakan lantai dingin di bawah lututnya, tetapi tidak bisa seratus persen yakin dia tidak hanyut ke dalam kekosongan sekarang.

Dia tahu detak jantungnya semakin cepat, meskipun dia tidak merasakannya. Dia merasa seolah-olah paru-parunya dipenuhi air, namun mulut dan tenggorokannya mengalami dehidrasi.

Apa yang akan Ibumu katakan? Apa yang akan Ibumu katakan? Apa yang akan Ibumu katakan apa yang akan Ibumu katakan apa yang akan Ibumu katakan apa yang akan Ibumu Ibumu Ibumu—

Seperti tersengat listrik, Mikey membenturkan tangannya ke mulutnya, kepala terdorong ke depan sehingga tergantung di antara bahunya.

Dia menyadari betapa gemetarnya dia, betapa tangan di mulutnya bergetar meskipun dia menancapkan kukunya ke daging pipinya sehingga dia dapat memiliki sesuatu yang akan membuatnya menjadi kenyataan.

Pada kenyataannya—

Dalam kenyataan apa?

Bubuk putih di atas meja berenang di depan matanya, bedak yang sama yang sekarang merangkak di dalam tubuhnya sendiri, dan itu membuatnya sakit perut. Penglihatannya semakin kabur dan dia tahu dia harus keluar dari sini, keluar dari kenyataan ini.

Dengan kaki gemetar, Mikey mencoba berdiri dengan gemetar. Dia harus bersandar di meja untuk dapat melakukannya, merasa jijik ketika kokain yang belum dihirup menempel di jari-jarinya.

Dari kejauhan, dia mendengar teman-teman sekelasnya tertawa dan dia merasa ingin pingsan saat ini juga. “Apa yang akan Ibumu katakan.” berulang-ulang seperti kaset rusak di benaknya.

Mikey praktis merangkak di lantai, yah, secara teknis ketiganya, karena dia harus tutup mulut atau dia tahu sesuatu yang tidak ingin dia tumpahkan.

Semuanya mulai terlihat seolah-olah berada di bawah air. Dia tidak tahu.

“Oi, apakah itu air mata? Kamu menangis? Apakah itu terlalu berlebihan untuk tubuh kecil Asiamu?” Temannya yang lain mengolok-olok dan kapanpun Mikey akan memukulnya di rahang tetapi sekarang ... dengan pertanyaan dan fakta yang tidak dapat disangkal bahwa dia adalah kekecewaan dan aib bagi keluarga yang masih ada, dia hanya merasa ingin mogok lagi karena secara teknis.

Temannya benar. Ini terlalu banyak. Ini sudah terlalu lama.

Mikey hanya dengan lemah menyenggol lengan temannya dan berterima kasih kepada Tuhan yang tidak dia percayai, ketika dia melepaskannya, mungkin bercanda meneriakkan beberapa kalimat tidak pantas lainnya pada Mikey.

Mikey tidak tahu berapa jarak yang dia tempuh, mungkin tidak banyak, kakinya hampir tidak bisa membawanya, tetapi pada satu titik dia tidak bisa berjalan lagi.

Dia merosot ke dinding beberapa bangunan gang belakang, kedua tangan menutupi mulutnya tampaknya memahami bahwa sebagai isyarat untuk kehilangan semua kekuatan, jatuh di sisinya.

Selama kurang dari satu menit, dia agak berdiri tetapi segera setelah kakinya menyerah dan dia ambruk ke lantai yang basah dan kotor.

Dia bahkan tidak bisa mengumpulkan energi untuk menarik lututnya ke dagunya sehingga dia bisa menyembunyikan wajahnya ketika tangisan jelek itu dimulai.

“Maafkan aku.” Bibirnya yang pecah-pecah terus berbisik, ketika sibuk menahan isak tangis yang tersendat.

Seharusnya dia datang ke sini untuk membawa pembunuh Ibu dan Kakaknya ke pengadilan dan apa ....

Apa yang telah dia lakukan sejauh ini?

Apa yang akan Ibumu ... katakan, apa yang akan Ibunya katakan jika dia melihatnya seperti ini?

Dia tidak bisa berubah dalam beberapa tahun terakhir. Dia tidak bisa mengambil kembali apa yang telah dia lakukan. Dia sangat menyesal, sangat menyesal, sangat menyesal, Ibu.

“M-maaf, Kak ... maaf, aku ... maaf, aku—maafkan aku, Kak, aku sudah—pada ... Ibu, m-maaf.”

Dengan gerakan tersentak-sentak dan kasar, dia tak henti-hentinya mengusap matanya dengan sia-sia. Tetesan air asin baru yang gemuk terus mengalir, mengalir di saluran air matanya setiap kali dia berhasil menyekanya.

Mikey egois, dalam dua belas tahun ini, pada kenyataannya dia sudah kehilangan siapa dirinya.

—5

“Ikut gue, jadi tunangan gue.”

“Tunangan!?”

Arki tersenyum miring dan tipis, memutar badannya seratus delapan puluh derajat untuk bisa menatap si pemilik suara yang kalimatnya menggema ke seluruh sudut bangunan.

“Kenapa?” tanya Arki. Dia menumpu satu tangannya di atas pinggangnya.

Kenapa, kamu tanya?”

Raka menarik nafas dan menghembus pelan ketika sadar bahwa nada bicaranya terlalu tinggi. Iris matanya kembali nampak dan menatap tajam pada laki-laki yang masih duduk di atas tanah.

“Nggak, Arki, kamu nggak bisa.”

Arki berdengung pelan. Maju beberapa langkah hingga akhirnya dia berdiri tepat di hadapan Raka.

“Apa hak lo ngatur-ngatur gue?”

Raka membuka mulutnya lalu mengatupkannya rapat sepersekian detik kemudian.

Arki menghela nafasnya. Dengan gerakan cepat dia menarik dasi abu-abu yang melingkar di kerah seragam Raka, memaksa lelaki itu untuk membungkuk.

Dia tersenyum miring, sekali lagi. “Lo gue kasih sedikit kebebasan, ngelunjak ya?”

Raka berniat melontarkan sepatah kata dari bibirnya, tapi terpotong ketika dia merasakan satu tendangan mendarat di pundaknya, mendorong dirinya ke depan dan tersungkur ke hadapan.

Tak cukup dengan hantaman, satu tendangan lain kemudian mendarat di pinggangnya, dan beban jatuh ke atas punggungnya.

Arki yang menumpu satu kakinya di atas Raka, membungkuk, mendekatkan mulutnya ke daun telinga laki-laki itu, dan berkata dengan suara rendah.

“Heh, lo nggak lupa, kan, apa posisi lo di sini?”

Raka membulatkan matanya lalu mengernyitkan dahinya dan memejamkan kedua matanya. Menahan kata-kata yang diharapkan untuk keluar.

Arki berdecih dan melepaskan cekalannya. Menarik rambutnya, membanting kepalanya sekali lagi wajahnya sampai kembali menghantam tanah.

Gadis itu berbalik untuk kemudian mendekat ke arah Tian yang sedari tadi diam bergeming. Berdiri di hadapannya, sedikit mendongakkan kepala untuk bisa benar-benar menatap Tian.

“Ketua OSIS bolos buat nguntit pentolan sekolah, bagus juga buat mading.”

Tian mengerjapkan matanya, tidak mengerti apakah Arki sedang melawak atau menyindir dirinya. “Arki—”

Tepat sebelum Tian menyelesaikan kalimatnya, Arki menariknya pergi, tentunya setelah dia melemparkan tatapan peringatan pada Reihan lewat bahunya.

Keduanya pun menghilang dari penglihatan, sampai akhirnya menyisakan empat laki-laki yang saling melempar tatapan perselisihan.

“Bos, nggak apa-apa?” Salah satu dari dua lelaki yang kerjanya hanya menonton buka suara, dan membantu Reihan berdiri bersama satu temannya lagi.

“Buta lo? Nggak liat lo gue diapain sama tuh cewek sinting barusan? Apa?! Seneng, kan, lo?”

Reihan mengabaikan gumaman kata maaf yang keluar dari kedua bawahannya, memilih untuk menatap Raka yang ternyata sudah berdiri membelakanginya, sembari menyeka sudut bibirnya.

“Brengsek sialan ini.”

Raka yang mendengar kalau kalimat itu tertuju padanya, menoleh, lalu tersenyum mengejek. Tapi tidak mengatakan sepatah katapun.

“Cih, bajingan pengecut!”

Raka mengepalkan tangannya, tapi tidak melunturkan senyumnya, tidak juga berkata apapun. Hanya diam dalam posisinya.

Dia bahkan membiarkan Reihan memakinya lagi dan lagi, sampai ia dan kedua temannya pergi tertatih-tatih meninggalkan dirinya seorang di sana.

“Gue bakal balas ini.”

Dan dari posisinya, karena kesunyian pekat juga, Raka masih bisa mendengar Raihan. Senyumnya meluntur, tangannya mengepal ketika mendengar kalimat selanjutnya.

“Ravanya.”


Arki berjalan dengan santai menuju gerbang belakang sekolah, dengan tangan yang menyampirkan jaket denim di atas bahu kanannya, sengaja menunjukkan kebelaguan.

Sementara Tian, berjalan beberapa meter di belakangnya, dengan kepala menunduk, dan jari-jari tangan yang terus meremat ujung jasnya dengan resah.

Gadis itu kemudian menghentikan langkahnya, dan mengambil nafas panjang lalu menghembuskannya pelan. Mengangkat kepalanya dan menatap Arki yang berjalan di depannya dengan penuh tekad.

“Arki.”

Mendengar namanya dipanggil, Arki berhenti melangkah, tapi tidak berbalik, juga tidak menoleh sama sekali. Membiarkan saja dirinya berdiri membelakangi Tian.

“Aku minta maaf.”

“Nggak usah, lagian udah selesai masalahnya,” jawab Arki, seraya ia berbalik menghadap Tian.

Tian menggelengkan kepalanya. “Nggak, ini semua gara-gara aku.”

Kalimat yang terdengar sedikit ambigu itu membuat Arki menaikkan satu alisnya, penasaran.

“Aku terlalu percaya sama dia cuma gara-gara dia udah nolongin aku nganterin Tita ke rumah sakit, dan ternyata itu cuma pencitraan ya, kan?

“Kalo waktu itu aku dengerin kalian, Alya, Iiro, percaya sama omongan kamu juga, ini semua nggak akan kayak gini.”

Arki bergumam pelan. Memutar matanya ke atas, seperti mencoba mengingat sesuatu.

“Oh, waktu itu,” gumamnya.

“Ya jadiin pembelajaran aja, sih, lain kali, nggak ada salahnya dengerin adek ceramah.”

Tian tertawa pada kalimat itu dan Arki bingung. Padahal Arki berkata serius, nggak sopan banget ya jadi Kakak.

“Tapi ini tetep salah aku.” Nada bicara Tian berubah.

Arki kembali membungkam mulutnya. Memerhatikan Tian dengan seksama, yang mengepalkan tangannya di samping tubuh dengan gemetaran.

“Kalo aja ... aku waktu itu, nggak terlibat kasus kayak gitu—”

“Itu bukan lo yang salah.”

Tian tersentak pada suara Arki yang meninggi. Menyadarkan dirinya atas kalimat yang baru saja dia lontarkan.

“Lo baca novelnya si cenayang jadi-jadian itu, kan?” Arki menurunkan nada bicaranya menjadi normal. “Nggak usah mikul kesalahan yang udah jelas bukan lo yang lakuin. Gitu, kan, katanya?”

Tian sedikit bingung pada kalimat Arki, tapi begitu dia mendengar kalimat familiar itu, dia tersenyum. “Aku tahu.”

Lucu, pikirnya. Karena kalimat itu ditulis oleh penulis ternama favoritnya yang ternyata dibocorkan oleh Nad adalah adiknya sendiri alias Alya, yang tak sengaja terciduk basah tengah mengedit naskah baru untuk peluncuran buku keduanya yang juga kontroversial.

Nad yang heboh sendiri, tentu saja menyebarluaskan berita itu ke saudara-saudaranya, termasuk Brian si orang asing yang kebetulan sedang nyasar di sarang setan.

Meski begitu, publik masih belum mengetahui wajah asli penulis dan Alya masih bisa merasakan hidup damai, meski nggak damai-damai banget.

Dan betapa konyolnya ketika mendengar kutipan itu keluar dari mulut Arki sendiri, yang vibesnya pas. Membuat Tian berpikir, apa jangan-jangan sebenarnya Alya mencuri karakter Arki untuk ditulis ke dalam novelnya?

“Apa yang lucu?”

Tian tersadar bahwa dirinya ternyata sedari tadi senyum-senyum sendiri. “Oh, nggak, nggak ada.”

“Oh iya, aku bakal putusin dia.”

“Ya harus. Kan, udah gue embat.”

Tian menghilangkan senyumnya, dan beralih memasang wajah serius. “Itu ... maksudnya apa ya?”

Arki berdengung dan menaruh jarinya di dagunya, lalu menyeringai. “Udah jelas, kan?”

Tian terdiam seribu bahasa. Tubuhnya mendadak membeku dalam keterkejutan, dan manik matanya mengecil dalam beberapa saat.

“Arki, jangan—”

“Oke, selesai.”

“Apa? Arki—”

Tian membungkam mulutnya sendiri, ketika melihat Arki berbalik dan berlari secepat mungkin menjauhinya.

Sementara di sisi lain, Alya terlihat menggaruk rambutnya frustrasi. Berkali-kali menatap gedung yang dikelilingi kobaran api itu, tapi dia tak mendapatkan apa-apa selain rasa penasaran dan kebingungan.

Masalahnya dari mana foto ini dan untuk apa?

“Paling cuma editan iseng anak-anak grup,” jawab Alya untuk dirinya sendiri. Tapi dia tidak yakin sendiri. Lagipula, untuk apa mereka mengedit foto mengerikan ini? Gila ya?

Alya menggaruk rambutnya lagi. “Tapi ini nggak asing deh. Di mana ya? Cuma kebetulan?”

Gadis itu menghela malas. Menggerakkan jarinya di atas layar ponselnya, memperbesar dan mengecilkan foto itu berkali-kali, nampak sangat gabut.

Namun kemudian tangannya berhenti. Dia membulatkan matanya ketika menangkap siluet seseorang yang dikenalnya ada di foto itu, di tengah kegelapan malam yang kontras dengan kobaran api yang menyala.

“Ini, kan ....” Alya mengerjapkan matanya tidak percaya. Menyipitkan matanya untuk memperjelas memori dari tumpuan visualnya.

Dan setelah terdiam beberapa saat, dia lantas berdecak. “Siapa, sih, yang ngirim ini?”

“Au ah jing, pusing.”

Alya menutup lockscreen dan menyimpan ponselnya ke dalam saku, kemudian berdiri untuk keluar dari sana, berniat pindah mencari udara segar, ke rooftop.

“Pusing kenapa?”

Dan Alya menghentikan langkahnya ketika kakinya baru saja keluar dari toilet.

Gadis itu menoleh ke samping. Menatap seseorang yang bersandar di dinding, di sebelahnya, dengan tangan terlipat di depan dada.

“Sejak kapan lo di situ?”

“Hm.”

“Kenapa lo ke sini?”

Arki mengangkat ponselnya untuk menjawab pertanyaan itu. Membuat Alya paham bahwa dia baru saja melacak keberadaanya lewat ponselnya.

Sialan, kenapa dia bisa lupa mematikan lokasi di ponselnya, sih?

“Cih, dasar mata-mata gadungan,” gerutu Alya.

“Lo dapat apa?”

“Hah?”

Arki menatapnya dalam posisi awalnya. “Gedung kebakaran bukan?”

“Hah? Tunggu, kok lo tau? Jangan-jangan lo yang—”

“Gue nggak segabut dan sebego itu ngejepret hal sampah kayak gitu.”

“Lo nyindir gue? Ya lagian juga, bisa aja, kan?”

Arki mendekat ke arah Alya, menatapnya dan tersenyum menyeringai. “Daripada foto gedung kebakaran, kenapa nggak foto orang yang kebakar aja?”

“Oke, iya, gue salah tanya.”

Arki berdecih. “Itu perusahaan Papa.”

“Apa?” Alya kembali membuka ponselnya, dan membuka foto barusan, lalu memerhatikan gedung yang setengah hangus itu dengan seksama. “Oh, pantesan familiar.”

“Papa nya kebakar juga nggak ya?”

“Kalimat lo semakin ke sini semakin merujuk kalo lo yang bakar.”

“Pertanyannya.” Arki mengangkat tangannya. “Kenapa kejadian ini nggak muncul di media?”

Alya terdiam pada pertanyaan itu. Belum terjawab pertanyaannya yang pertama, Arki malah menambah beban pikirannya.

“Kalo gue nggak salah inget, ini perusahaan Papa yang di Malaysia. Mungkin aja, beritanya nggak masuk ke Indonesia karena kejadiannya di luar negeri?” ujar Alya, yang kemudian ditanggapi Arki dengan dengungan pelan.

“Nggak ada.” Arki merebut seenak jidat ponsel dari tangan Alya. “Nggak ada satupun media di sana yang bahas kejadian ini.”

“Itu artinya, kalo nggak ada yang ditutup-tutupin, berarti ada yang nutupin.”

Alya menaikkan satu alisnya. “Tunggu, kapan lo cari tau—”

“Nggak penting.” Arki menyerahkan kembali ponselnya kepada Alya. “Lo liat satu orang yang berdiri di antara kerumunan itu?”

Alya menganggukkan kepalanya dengan mata yang refleks menatap pada gambar di ponselnya.

“Kenapa lo bisa langsung fokus sama dia?” tanya Arki.

“Karena cuma dia yang mukanya ketangkap jelas sama kamera. Ajudannya Papa?”

Arki mengangguk sembari merogoh saku seragamnya, dan menyerahkannya pada Alya.

Alya awalnya bingung, karena yang diserahkan Arki itu adalah sebuah cetakan foto sepasang laki-laki dan perempuan, yang diambil dari belakang.

Tapi siluet gadis di foto itu, Alya sedikit mengenalinya.

“Iya, itu Tian.”

Alya tersentak, tapi ekspresi wajahnya tetap netral. “Oh?” Dan hanya itu yang bisa keluar dari bibirnya.

“Sebelahnya ... bukan cowoknya, kan?”

“Ajudannya Papa.”

“Hah? Bentar, bentar. Nggak boleh fitnah, Ki, astagfirullahaladzim, dosa.” Alya mengelus-ngelus dadanya, sok iye. Mengurungkan niatnya untuk menanyakan perihal apa yang terjadi pada Tian.

“Lo buta? Potongan rambutnya jelas sama, 212.”

“Lo merhatiin yang begituan?”

“Kebetulan.”

“Cih, ada detail yang lain aja nggak?”

Arki hendak membuka mulutnya lagi, menolak memberikan rincian lain karena tidak ada, tapi kemudian dia ingat sesuatu.

“Tato ular kecil, di belakang telinga kanannya?”

“Ini serius lo ngapalin yang begituan?” gumam Alya, tapi tetap mencari patokan yang barusan diberikan oleh Arki.

“Oh, iya, ada, tapi buram.”

Mendengar itu, Arki otomatis mendengus bangga. Dia melipat tangannya di depan dada, dan tersenyum dalam kepuasan tanpa disadarinya.

“Di foto ini, dia keliatan sengaja ngehadap ke kamera.” Alya bersuara. “Itu artinya ... ini udah direncanain sama dia?”

Arki menghela nafas sebagai tanggapan, dan tidak berkata apa-apa lagi.

“Ini cuma kita berdua yang tau?” tanya Alya.

“Seharusnya cuma gue,” jawab Arki, kemudian dia tersenyum miring. “Tapi apa salahnya sesekali ngebebanin lo?”

Alya akhirnya tau dari siapa foto ini berasal.

“Lo butuh apa dari gue?”

Arki tersenyum tipis. “Peka juga lo, cowok lo pasti bangga.”

“Udah diem.” Alya mendengus. Mendadak teringat pada Brian yang tadi menawarkan diri untuk mengambil bukunya yang ketinggalan.

Oh iya juga, saudaranya, kan, udah berangkat semua yang otomatis rumahnya udah kosong, udah dikunci? Emang dia bisa masuk?

“Dahlah, biarin aja.”

Yah, Alya tidak peduli.

“Biarin aja?”

“Ah? Nggak, nggak, gue ngomong sendiri.”

Arki mengernyitkan dahinya, namun memilih diam pada itu.

Alpha command.

“Eh?”

Alya mengerjapkan matanya, merasa tidak asing pada kalimat itu.

“Gue mau lo—”

Wait, wait, kayaknya pernah liat.”

Alya membuka ponselnya, lalu mengetikkan sesuatu di sana. Menggeser layar berkali-kali, sebelum kemudian di menunjukkannya pada Arki.

“Ini maksud lo?”

Arki membulatkan matanya, pada tulisan, “AlphaCommandLKO12uAJk77%&ZxtI7aENG;null;inp:001908211.

Sontak saja, Arki merebut ponsel Alya dari pemiliknya, dan berteriak, “LO BEGO?!”

“Hah? Apa? Apa salah gue?”

Alya yang melongo bingung dengan tampang bodoh otomatis terkejut ketika Arki melempar ponselnya begitu saja hingga menabrak dinding dan menghancurkannya.

“ARKI?!”

“Brengsek! Lo ikut gue, sekarang.”

“BISA LO JELASIN DULU KENAPA LO—”

“Kita dimata-matain.”

“Hah?”

La Ricetta Perfetta

Perasaan itu tidak saling menguntungkan.

Tidak pernah dan tidak akan pernah.

Arki tahu itu seperti namanya. Dia sadar akan segalanya. Itu sebabnya dia tidak pernah mengungkapkan perasaannya. 

Bukannya dia bisa mengatakannya jika dia yakin Rendra merasakan hal yang sama, tapi itu berbeda. 

Terlepas dari itu, hasilnya sangat berbeda.

Bahkan, dia seharusnya berhati-hati sejak awal. Lagipula, dia tahu selama ini bahwa Rendra menyukai Aria dan tidak ada hubungannya dengan dia. 

Dalam situasi ini, dia harus bisa menghentikan pikiran dan perasaannya tentang dia setelah suatu titik. Seharusnya mudah baginya untuk bisa melakukan itu sebagai orang dewasa.

Tapi tidak dan dia tidak bisa mengatakannya.

Dia ingat pertama kali dia bertemu dengannya. Bahkan sejak hari pertama mereka bertemu, dia mengerti bahwa dia spesial. 

Rendra tidak seperti orang yang pernah dia kenal sebelumnya. Dia memiliki kepribadian yang unik. 

Dia penyayang terhadap semua orang, memiliki rasa keadilan yang kuat, dapat dengan mudah kehilangan ketenangannya, tetapi ketika menyangkut keselamatan orang yang tidak bersalah, dia selalu bertindak dengan pikiran yang paling tenang, bertanggung jawab penuh atas dirinya sendiri ketika dia melakukan kesalahan, mengingatkan dirinya bahwa ada hal-hal yang tidak bisa diperbaiki dengan uang dengan tindakannya dan keberadaannya saja telah terbukti.

Setelah beberapa saat, kepribadiannya yang unik berhasil membuat Arki juga terkesan. 

Tidak butuh waktu lama baginya untuk menyadarinya, meskipun pada awalnya dia bahkan tidak menyadari apa yang sedang terjadi. 

Dia tahu dia seharusnya tidak membiarkan itu terjadi, tentu saja, tapi dia sudah terlambat untuk menghentikan dirinya sendiri karena setiap ons dirinya ditarik ke arah Rendra dengan kecepatan penuh.

Dia mungkin belum pernah memiliki pengalaman dengan cinta sebelumnya, tetapi dia juga tahu bahwa mulai saat ini, tidak ada jalan untuk kembali.

Terkadang dia merasa tidak berdaya, ketika dia harus memperhatikan mereka berdua. Tetap saja, dia tidak punya niat untuk masuk di antara mereka. Itu tidak benar. Dia telah menempatkan dirinya dalam situasi ini lagi. 

Selain itu, jika yang dia inginkan hanyalah jika Rendra tidak bahagia dan jika dia yakin dia akan bahagia dengan Aria, merusak situasi adalah hal terakhir yang diinginkan Arki.

Tapi dia tidak ingin melakukannya.

Meski begitu, bukan berarti tidak sakit.

Harus dia akui, terkadang dia merasa tidak tahan. Meskipun dia tidak pernah berpikir itu mungkin, rasa sakit yang telah mengambil alih hatinya terasa sakit.

Namun, ada banyak hal yang dia herankan tentang Rendra. 

Seperti, bagaimana rasanya memeluknya? Mampu memegang tangannya bahwa dia tidak ragu untuk menjadi hangat sepanjang waktu, atau ... menciumnya? 

Dan bagaimana rasanya menjadi orang yang dia cintai? 

Dia telah bermimpi beberapa kali, tetapi dia sama sekali tidak tahu seperti apa kenyataan itu.

Tidak akan pernah ada kesempatan untuk belajar.

Dia bersyukur bahwa dia tidak kesulitan menjaga ekspresinya tetap lurus dalam situasi seperti itu. 

Terkadang, ketika dia tidak bisa menahan beban emosional yang dia rasakan, dia entah bagaimana berhasil tidak menunjukkannya kepada siapapun sampai dia sendirian di kamarnya. Tidak ada yang tahu sedikit pun bagaimana perasaan Arki.

Sekarang adalah salah satu momen itu.

Mereka sedang berada di meja makan. Arki duduk di sisi yang jauh, Aria dan Rendra di kedua sisinya. 

Itu adalah malam yang khas ketika mereka mengundang Rendra untuk makan malam karena pekerjaannya yang terlambat. Meja, yang biasanya cukup sepi pada waktu makan, tiba-tiba menjadi hidup ketika dia datang.

Rendra Areka membawa energi uniknya kemanapun dia pergi.

Meskipun percakapan di meja umumnya berkisar antara Aria dan Rendra, Arki tidak gagal untuk bergabung dengan mereka saat dibutuhkan. 

Seperti biasa, dia melakukan kontak mata dengan mereka, tidak lupa untuk tersenyum setidaknya saat ada kejadian lucu yang diceritakan.

Tapi bukan itu yang sebenarnya dia rasakan.

Makan malam, yang mungkin menyenangkan bagi dua orang lainnya, bagi Arki hanyalah tempat yang harus diabaikan, dijauhi. Duduk di sini bersama mereka dan berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja hanya akan sedikit lebih menyakitkan.

Lebih menyakitkan daripada yang seharusnya menyaksikan Rendra memperhatikan Aria dengan kekaguman saat dia berbicara, dan pipi merah muda sesekali dari sesuatu yang dikatakan Aria.

Semuanya lebih tertahankan ketika mereka pergi, tapi di sini, tepat di depannya.

Dengan kepergian Rendra untuk pulang setelah makan malam, Arki langsung mengunci diri di kamarnya. Ini adalah satu-satunya tempat di mana dia tidak harus menjaga ekspresinya tetap lurus.

Dia bisa merasakan dagunya gemetar saat dia bersandar di kepala ranjang di tengah tempat tidurnya dan menarik lututnya ke arahnya. 

Dia meletakkan dahinya di lututnya diam-diam. Dia tidak menangis. Arki tidak akan menangis. Tetapi ketika dia mencoba menjernihkan pikirannya, napasnya yang dalam bergetar dan dia merasa kedinginan.

Dia terus-menerus berusaha mengingatkan dirinya sendiri bahwa tidak ada yang bisa dia lakukan tentang situasi ini. Tidak ada gunanya bersedih, yang terbaik adalah menerimanya. Dia adalah orang yang membawa dirinya ke dalam situasi ini.

Dia hanya ingin rasa sakit di hatinya berlalu. Dia bisa menangani sisanya.

Tapi itu tidak akan berlalu.

Bahkan jika itu akan berhenti sejenak, rasa sakit itu akan mulai lagi setiap kali dia melihat Rendra. Itu akan membuat Arki terengah-engah saat pertama kali dimulai, karena dia begitu akrab dengan rasa sakit itu sehingga dia hafal itu. 

Tetap saja, dia tidak bisa terbiasa berada di sana.

Itu sebabnya dia terus-menerus mengingatkan dirinya sendiri.

Perasaan itu tidak saling menguntungkan.

Tidak pernah dan tidak akan pernah.