i
...
“Kalian gak boleh nyontek. Pokoknya kalo ketauan nyontek, silahkan keluar dari kelas saya.”
Kertas dibagikan kepada masing-masing siswa bersamaan dengan lembar jawaban kosong yang harus diisi mereka semua.
Dua hari setelah dia mengajar di kelas ini, dia cukup dapat menarik kesimpulan bahwa setelah perkenalannya dengan murid-murid ini,
Kelas ini lebih aneh lagi.
Dan hari ini adalah jadwal ulangan harian kelas XII MIPA 5. Dan Alya, selaku pengajar Matematika kelas dua belas tentu saja harus mengawasi kelasnya, apalagi kelas ini merupakan tanggung jawabnya.
Tapi dia bersyukur, dia belum melihat sosok yang dikatakan iblis yang mendiami kelas ini. Semoga Alya tidak akan pernah melihatnya, meski ia tahu itu tidak akan terjadi, karena ketika dirinya selesai membagikan kertas, seorang murid laki-laki masuk setelah membuka pintu dengan kasar.
Alya sontak saja menoleh. Memperhatikan remaja itu yang nampak asing di matanya. Dia belum pernah melihatnya semenjak dia mengajar di sini.
Dan Alya dapat merasakan kalau kelasnya yang tadinya cukup bising, berubah menghening semenjak mereka serentak menatap ke arah pintu, ke arah orang asing ini berdiri.
Semuanya menatapnya seolah-olah kau akan mati jika berkedip di bawah tatapannya.
“Siapa ya?”
Bukannya menjawabnya, laki-laki itu malah berbalik dan berniat pergi.
“Mau kemana kamu?”
Kemudian Alya dengan refleks menanyainya dan menghentikan anak remaja yang akan pergi itu.
Ketika dia benar-benar berbalik, Alya kemudian dapat menatap cowok itu sepenuhnya, yang masih menenteng tas di bahu kanannya.
Melihat wajahnya dan melihat name tag yang menempel di dada kanannya, Alya akhirnya tahu siapa dia. Arki Depransasta.
Murid bermasalah yang memang selalu datang dan pergi seenaknya. Dia berharap anak ini tidak akan pernah muncul di kelasnya. Tapi di sinilah dia.
“Dari mana aja kamu?”
“Lo siapa?”
Kalimat kurang disiplin itu sontak membuat Alya membulatkan matanya, namun dia mencoba menghela nafasnya berusaha tenang. Sesaat setelah berhasil mengontrol emosinya, dia kemudian menjawab, “Saya guru kamu.”
Mendengar jawaban itu, di bawah tatapan matanya yang merendahkan, remaja itu lantas menatap wanita di hadapannya dari atas sampai bawah dengan gerakan memindai.
“Gak kayak guru.”
Seisi kelas terdiam pada kalimat itu dan semuanya termasuk Alya sendiri terkejut dengan kejujurannya.
Alya sekali lagi menatap anak laki-laki di hadapannya yang nampak tidak peduli sama sekali padanya.
“Dari mana aja kamu?”
“Apa urusan lo?”
“Saya pengganti wali kelas kamu.”
“Selamat ya.”
“Anjir.” Seseorang lainnya keceplosan pada kalimatnya dan satu kelas tertawa atas penuturan itu.
“Diem!” Alya menyentak satu kelas dalam satu tarikan nafas, membuat murid-murid itu akhirnya membungkam mulutnya.
Alya kali ini memandang murid dengan gaya seragam yang berantakan. Rambutnya juga cukup panjang. Heran, apa dia selalu lolos razia?
“Abis dari mana kamu?” Alya mengulangi pertanyannya. Yah, dia tidak akan menyerah.
Tetapi kali ini anak laki-laki itu tidak menjawab dan malah berdiri menghadap teman-temannya dengan kedua tangan yang bertautan di belakang. Wajahnya menghadap ke lantai.
“Arki, saya tanya sama kamu. Abis dari mana kamu?”
Sekali lagi tidak ada jawaban, dan perempuan itu dapat merasakan anak itu tersenyum melihat dirinya diabaikan.
“Arki—”
“Kalo udah tau mau apa? Mau ikut?”
Alya tidak memberikan reaksi apapun di wajahnya tapi kepalanya berisik dengan suara frustrasi.
“Saya serius, Arki.”
“Terus gue bercanda?”
Persetan menyerah, Alya menghela tertahan dan akhirnya memutuskan untuk berhenti bertanya. Dia menyerahkan lembar kertas soal dan jawaban kepada cowok di hadapannya.
“Sana duduk.”
Arki mengambil itu dan dalam diam mengikuti perintahnya. Dia berjalan menuju bangkunya yang terletak di paling belakang kemudian mulai mengerjakan soalnya. Alya akhirnya terlepas dari bencana itu untuk sementara.
Baru sedetik Alya menghela nafasnya lega, perempuan itu melihat Arki, melipat-lipat lembar jawab ujiannya, menjadi bentuk pesawat, lalu menerbangkannya ke luar jendela.
”....” Alya tertegun pada tindakan itu.
“Kamu ngapain, Arki?”
Arki menoleh, dan melihat wanita yang tadi dikatakan adalah gurunya, berdiri dengan wajah shock sementara Arki mengernyit bingung.
“Kenapa kamu terbangin kertas jawaban kamu ke luar jendela?” Alya bertanya dengan nada frustrasi yang tertahan, yang untuk pertama kalinya dia berbicara dengan nada seperti itu di hadapan muridnya karena biasanya, murid-muridnya yang akan frustrasi padanya.
“Oh? Gak boleh begitu?” Arki melirik ke jendela sebentar kemudian menunduk dan menatap ke arah meja. Dia menggaruk rambut di belakang kepalanya. “Gue kan gak ngerti, gue gak bisa ngejawab soal-soalnya.”
“Jadi gue minta jawabannya sama Tuhan.”
Alya tidak sanggup berkata-kata.
“Gak boleh nanya ke Tuhan juga?” tanya Arki.
Bukan begitu maksudnya!
Baiklah, Alya tarik lagi. Ini dia iblis bajingan itu! Dia di sini!
Itu artinya Alya memang akan melatih mentalnya di sini.
Bel pulang sekolah berbunyi nyaring di seluruh penjuru sekolah, sehingga menandakan bahwa waktu ujian sudah selesai.
Alya memerintahkan mereka semua meninggalkan kelas sambil membawa lembar kerja mereka untuk dikumpulkan ke atas mejanya.
Setelah semuanya akhirnya meninggalkan kelas, Alya tanpa sengaja melihat lembar jawaban paling atas dimana tulisan “Arki Depransasta. N” begitu mengerikan dan hampir tidak terbaca, tertera di ujung kanan atas kertas itu.
Anak iblis yang tadi melempar lembar jawabannya ke luar jendela. Tapi Alya langsung menjejalkannya kembali dengan lembar jawab yang baru dan membuatnya harus tetap duduk di sebelahnya, mencegah hal yang sama terulang kembali.
Tapi kemudian dia terpaksa kembali ke meja guru karena Arki terus bertanya, “Ini jawabannya apa?”
“Yang ini A, B, C, apa D?”
“Ini jawaban gue bener apa salah?”
“Mending A atau C?”
“Pelit banget, niat ngajarin gak, sih?”
”....” Alya frustrasi, oke, lebih baik dia pergi saja.
Jadi sekaranglah saatnya, dengan penasaran, dia memeriksa hasil jawabannya, namun kemudian alisnya berkerut dalam keheranan.
Soal ulangannya adalah pilihan ganda, dan ada empat abjad untuk dipilih satu jawaban yang paling tepat.
Tapi Arki entah mengapa malah menyilang kesemua kolom abjad di setiap nomornya alias, ini anak kenapa anjir?
“Ini maksudnya apa?”
Di pertemuan selanjutnya yang berarti seminggu setelahnya, Alya meletakkan lembar jawaban Arki ke atas mejanya, pada si empunya yang berdiri tepat di depan mejanya.
Arki berdengung panjang, tapi terdengar tidak berniat untuk menjawabnya sama sekali, membuat Alya sekali lagi harus mengontrol dirinya agar tidak terlarut dalam emosinya.
Sekali lagi, Alya mencoba bertanya. “Saya tanya sama kamu, ini maksudnya apa?”
“Oh.” Arki akhirnya bersuara, tapi hanya itu yang keluar dari mulutnya karena setelahnya dia malah kembali diam.
“Oh?”
“Biar adil.”
”....”
Arki menatap Alya sejenak kemudian kembali menatap lembar jawabannya sendiri.
“Gimana maksud kamu?” tanya Alya lagi.
“Kasian nanti kalo ada yang gak kesilang.”
“Nanti dia didiskriminasi.”
“Jadi gue silang semua.”
Satu kelas jelas tidak bisa menahan tawa mereka dan tentu mereka tertawa pada jawaban asal-asalan itu sementara Alya hanya bisa menghela nafasnya.
Dia pikir, mungkin kalo ini kelas PKN gurunya akan bertepuk tangan dan bangga atas kemurahan hati itu. Sialan, tepuk saja kepalanya kencang-kencang.
Anak ini benar-benar aneh.
“Kamu remedial.” Alya membuka tasnya dan memberikan lembar soal dan jawaban pada Arki, membuat lelaki itu mengerutkan kening.
“Kok gitu?”
“Kamu jawabnya gak bener.”
“Kata siapa?”
Alya menghela nafasnya dan memilih tidak menjawab. Dia mendorong kertas itu kepada Arki, memaksa anak itu untuk mengambil lembarannya.
Tapi Arki malah diam menatapnya tanpa berniat mengambil kertas yang diserahkannya.
“Arki—”
“Kalo gue gak mau gimana?”
“Ya kamu gak dapet nilai.”
“Oh, ya udah.”
Alya mengernyitkan dahinya pada respon santai itu, heran. Jujur, ini anak sebenarnya kenapa?
“Arki, kerjain.”
“Gak, ah.”
Alya tertegun pada penolakan cuma-cuma itu dan ketika itu juga Arki yang kebetulan masih menenteng tas di pundaknya karena dia sebenarnya baru datang ke kelasnya, putar balik, berniat pergi.
Tapi Alya dengan cepat menarik tangannya, dan menyelipkan kertas-kertas itu ke tangannya, lalu tersenyum padanya. “Kerjain, oke?”
Arki terdiam cukup lama, masih enggan menerimanya. Tapi kemudian dia tiba-tiba mengambil kertas itu dan menatapnya dengan pandangan mengejek yang menyebalkan.
“Gue kerjain, tapi kalo gue dapet seratus, jangan atur gue lagi.”
Alya semakin bingung. Tapi dia mengangguk saja pada kepercayaan diri yang tinggi itu. Mau bagaimana lagi, yang penting anak ini mengerjakan ulangannya dengan benar.
“Kalo dapet,” gumam Alya tanpa sadar.
Dan Arki tersenyum miring pada itu.
Remaja itu berjalan ke bangkunya dan duduk di sana dengan gaya seenaknya. Mulai mengerjakan soal ulangan dengan tenang, dan Alya mulai mengajarkan materi pada yang lainnya.
“Sayang banget, tapi kamu salah ... enam belas soal.”
Arki terdiam.
Dan seluruh kelas yang menyaksikan kepercayaan diri Arki kemarin : “....”
Soalnya ada dua puluh dengan keseluruhannya adalah pilihan ganda. Seharusnya hasilnya tidak semengerikan ini.
Alya mengernyitkan dahinya. Bingung, anak ini kemarin terlihat begitu percaya diri. Tapi ya sesuai dengan yang diduganya kemarin. Anak remaja memang suka besar kepala sebelum pembuktian.
Alya sebenarnya tidak tega membeberkan nilainya yang mengerikan ini kepadanya, tapi bagaimanapun juga, kompetisi adalah kompetisi.
Sekarang Alya juga bertanya-tanya bagaimana anak ini bisa lolos tes ujian masuk Dharmasraya.
Arki sendiri bergumam panjang dan menatap kertas di tangan wanita di hadapannya dengan raut wajah tidak peduli.
Tapi Alya dapat melihat keterkejutan yang samar di matanya.
“Kamu kayaknya gak serius ya.” Alya menyerahkan kertas bertuliskan angka dua puluh berwarna merah di tangannya pada murid laki-laki di depannya.
“Kamu gak bisa begini terus, Arki.”
Arki memerhatikan soal yang ditandai sebagai jawaban salah. Memerhatikan dan pandangannya sama sekali terlihat tidak begitu peduli, atau mungkin bisa dikatakan, dia berusaha terlihat tidak peduli.
“Kamu gak bisa terus-terusan ngeremehin nilai kamu sendiri, ini tahun terakhir kamu. Kalo kamu begini terus, gimana sama nasib ujian nasional kamu?”
“Dan?” Arki merespon dengan singkat, seperti menyindirnya yang terus berbicara.
Alya diam-diam terkejut tapi wajahnya tidak menunjukkan emosi apapun. Dia menatap tidak mengerti pada Arki yang terlihat begitu santai.
“Oke, kalo gak ada lagi, gue pergi.”
“Tunggu bentar.”
Alya menahannya pergi dan Arki dengan patuh berbalik untuk memandangnya kembali.
“Benerin dulu cara ngomong kamu.” Alya tidak meminta penghormatan, tapi jika Arki terus-terusan dibiarkan bicara seperti itu pada guru lainnya, itu bisa menjadi masalah baginya. “Bedain gimana seharusnya kamu bicara ke temen sama ke guru kamu.”
“Kamu paham, Arki?”
Arki yang menundukkan kepalanya mengangguk tanpa sepatah katapun dari mulutnya.
“Paham, Arki?” Alya mengulang pertanyaannya, berharap Arki menjawabnya dengan serius.
“Paham, Bu.”
Alya sedikit tersenyum. “Pinter, kamu boleh pergi.”
Di luar dugaan, Arki justru berjalan ke bangkunya dan Alya secara harfiah tertegun pada itu, dia pikir anak ini akan tetap berlalu pergi, tapi itu tidak seperti itu.
Arki tanpa kritik apapun yang keluar dari mulutnya patuh. Dia berjalan menuju ke tempat duduknya, duduk di bangkunya. Dia melempar tasnya ke atas mejanya begitu saja, lalu meletakkan kepalanya di atasnya, dan tidur di sana.
Alya menghela nafas lelah tapi dia tidak memberikan komentar apapun dan membiarkan anak itu berada di sana dan seperti itu.
“Baik, silahkan buka buku kalian, saya bakal lanjutin materi kita yang kemarin. Oh iya, ada tugas dari saya, kan?”
Alya mulai menyampaikan pelajaran di kelasnya tanpa perlu berceramah. Lagipula tidak akan ada yang mendengarkan pidatonya di kelas.
Saat dia mulai menuliskan penggambaran pengerjaan suatu kasus matematika di papan tulis dia secara sadar tahu bahwa satu muridnya sama sekali tidak mendengarkan materinya, Alya sadar dia tidak mungkin bisa terus mengabaikan seperti ini.
Dia yakin jika dia melempar penghapus ke kepala anak itu, besok dan seterusnya, anak itu tidak akan kembali lagi ke kelasnya.
Alya tidak mungkin sekejam itu membiarkan anak murid didikannya begitu saja. Tidak akan pernah bisa dia membiarkannya.