Darkizhit

Happy birth day.


Chanyeol pernah mendengar dari Ventila bahwa Hanna tidak terlalu suka merayakan ulang tahunnya.

Tapi di sinilah dia sekarang, menempatkan dengan hati-hati cupcake yang telah dia siapkan untuknya di dalam sebuah kotak. Mereka diisi dengan krim kocok dan memiliki stroberi kecil di atasnya.

Ketika mereka selesai melakukan wawancara terkait film novel mereka, Chanyeol telah memperhatikan begitu banyak detail yang tidak penting dari selera Hanna.

Orang-orang pernah bilang bahwa ketika kamu sangat mencintai seseorang, kamu entah bagaimana akhirnya mengetahui begitu banyak hal tentang mereka yang bahkan mereka mungkin tidak menyadarinya, dan kamu mencintai semuanya, tidak peduli betapa konyolnya itu.

Dan karena itu dia tahu Hanna menyukai stroberi, jadi dia menggunakannya sebagai pengganti topping ceri.

Saat dia berkendara untuk pergi ke apartemen Hanna, dia disambut oleh Ventila yang mengatakan bahwa Hanna sekarang mungkin sudah tidur.

Tidak heran karena sekarang sudah tengah malam.

“Tapi lo bisa temuin dia, kasih dia kejutan gue pikir.”

Chanyeol tersenyum getir. “Sekarang gue ngerasa kalo dia nggak bakal bukain pintu buat gue.”

Ventila tertawa keras, mengejek pada mental kerupuk seorang artis papan atas yang biasa mengambil peran pria dingin di layar kaca.

Jadi karena itulah, Ventila menuntun Chanyeol masuk. Membukakan pintu kamar Hanna, lalu mendorong Chanyeol masuk ke dalam sana, dan mengunci pintunya dari luar.

Chanyeol gelagapan. Tapi dia dengan cepat tenang dan jantungnya berdegup, matanya melebar kagum dan kemudian melembut, saat dia melihat kepala Hanna sedikit jatuh, meskipun itu ditopang oleh tangannya yang lain.

Dia menatapnya sejenak—mengukir pemandangan yang terasa terlalu tidak nyata untuk kata-kata di depan matanya di dalam hatinya—dan kemudian diam-diam berjalan ke tempat dia duduk.

Dia meletakkan kantong kertas di atas meja dan kemudian duduk di sebelahnya tanpa membuat suara atau gerakan yang tidak perlu.

Chanyeol menoleh untuk melihat Hanna dari dekat, lalu menyentuh wajahnya dan menggeser kepalanya di bahunya. Dia bahkan melingkarkan lengannya ke Hanna menariknya untuk membuatnya bersandar dengan nyaman padanya.

Hanna bergumam dengan lembut dalam tidurnya, dan mendekat ke Chanyeol tanpa sadar. Menekan wajahnya di dadanya, sehingga Chanyeol tersenyum pada dirinya sendiri, pada kehangatan dan aroma yang familiar.

“Aku tahu kamu udah bangun, sayang, jadi jangan pura-pura tidur. Aku tahu kapan kamu bangun, jadi bangun sekarang. Kalo nggak, aku bakal—”

“Apa? Lo bakal apa!? Pergi ninggalin gue sendirian di cafe? Nggak nelepon gue lagi? Ngejauh dari gue?”

Chanyeol tersenyum penuh penyesalan, memeluknya dan menariknya lebih dekat. “Kenapa kamu marah? Apa kamu beneran ngantuk pengen tidur? Padahal aku datang jauh-jauh buat ngucapin selamat ke kamu di jam dua belas pas?”

Hanna mengalihkan pandangannya, lalu pandangannya jatuh pada jam dinding dan melihat bahwa ini sudah hampir pukul dua pagi.

Matanya lantas melebar karena terkejut dan dia melihat ke arah Chanyeol dan berkata, “Apa? Jadi lo udah—”

Ucapan Hanna terpotong karena Chanyeol tiba-tiba mendekapnya ke dalam pelukan sambil menduselkan dagunya ke atas puncak kepala Hanna.

Dia kemudian berkata dengan nada sedih palsu, “Itu benar. Aku datang ke sini tepat waktu tapi kamu tidur dan nggak bangun nggak peduli seberapa keras aku nyoba bangunin kamu, jadi aku ngebiarin kamu tidur, tapi aku dimarahin.”

Chanyeol melihat kekhawatiran dan penyesalan muncul di wajah Hanna, dan dia merasakan kehangatan menyebar di dalam tubuhnya.

“Apa kamu ngerasa nyesal sekarang gara-gara ketiduran dan marah gara-gara aku bangunin kamu?”

Hanna tidak menjawab, dan membuang muka, membiarkan keheningan menjawabnya. Dia selalu melakukan ini ketika dia tidak ingin menjawab sesuatu, baik karena dia benar atau salah.

Kemudian Chanyeol mendengar dia berkata dengan suara rendah. “Jadi ... sekarang lo kecewa?”

Chanyeol melihat wajahnya yang lebih rendah. “Kecewa? Aku mau jadi orang pertama yang ngedoain kamu, jadi tujuanku masih bisa dicapai. Di menit pertama di tahun kehidupan baru kamu, kamu tidur nyenyak di pelukan aku, itu bahkan lebih baik dari yang udah aku bayangin.”

Hanna menatap kebahagiaan dan kepuasan murni yang berkilauan di manik mata Chanyeol, dan dia merasakan perasaan yang sama bergema di dalam tubuhnya.

Dia melingkarkan tangannya di leher Chanyeol dan berdengung setuju. Chanyeol membalas pelukannya.

“Selamat ulang tahun, Hanna. Aku harap kamu selalu sehat dan semakin baik, dan kamu semakin dicintai sama pacar kamu yang tampan dan bijaksana.”

Hanna tersipu dan berterima kasih padanya dengan suara kecil, yang membuat Chanyeol tertawa keras.

Dia menyenggol pipinya dengan hidungnya dan berkata, ''Hei, aku bawa sesuatu buat kamu. Mau lihat?”

Hanna mengangguk, keterkejutan terlihat jelas di wajahnya. Dia tidak pernah menyangka akan mendapatkan hadiah secara tiba-tiba.

Chanyeol mengeluarkan sebuah kotak besar dan membukanya dengan ekspresi gugup di wajahnya. Itu membuat Hanna terkekeh tapi dia tetap menjaga wajahnya tetap tenang seperti biasa.

Ketika dia melihat kue mangkuk dan topping stroberi di atasnya, dia menatap mereka seolah dia tidak percaya dengan apa yang dia lihat.

Chanyeol memberitahunya dengan suara sombong bagaimana dia melalui semua kesulitan membuatnya malam ini dan kemudian membawanya ke sini sehingga dia bisa memakannya segar.

Chanyeol menoleh dan mengambil satu dan berkata, “Ini, cobain. Ini cupcake sifon Hokkaido. Aku nggak yakin sama rasanya karena ini baru pertama kali—yah, coba aja!”

Hanna membuka mulutnya, dan tidak bergerak untuk mengambilnya dari Chanyeol.

Setelah beberapa saat ketika Chanyeol menyadarinya, dia tersipu dan memberikannya kepada Hanna, menyuapinya.

Saat dia memperhatikannya makan dia melihat bahwa manik matanya sedikit bersinar lebih terang di bawah cahaya lampu meja.

Chanyeol bertanya padanya dengan suara gugup. “Gimana? Kamu suka?”

Hanna tersenyum miring lalu mengangguk ala-ala juri di kontes memasak di RCTI. “Lumayan.”

Chanyeol bernafas lega. Dia mengelus-ngelus dadanya seolah-olah tekanan batin yang membebani tubuhnya keluar semuanya.

“Tapi gue lebih suka ini.”

Hanna menyeringai. Telunjuknya menunjuk tepat ke arah wajah Chanyeol yang membuat pria itu tentu saja memerah, tersentak dan jantungnya berdegup kencang.

Sampai kemudian, Chanyeol mendengar tawa kencang datang dari Hanna.

“Oh, udah bisa ngegombal ya sekarang?”

“Lagipula hadiahku bukan itu aja.”

Hanna sedikit melebarkan matanya, tapi kemudian dia tersenyum geli. Menatap Chanyeol dengan tatapan menantang, menyuruhnya untuk mengeluarkan beberapa hadiahnya lagi.

Sekarang, giliran Chanyeol yang menyeringai. Dia mengambil tasnya dan berkata, “Yang pertama nih, yang pertama.”

Dia mengeluarkan karangan bunga dan memberikannya pada Hanna dengan gerakan yang sedikir nyeleneh. Membuat Hanna mengeluarkan seringai geli, sebelum kemudian mengambilnya.

Chanyeol tersenyum lembut pada Hanna yang terlihat menatap bunga di tangannya dengan tatapan tulus dan senang.

“Kamu tahu kenapa aku bisa pilih bunga ini?”

Chanyeol menunjuk ke arah bunga anyelir. “Aku pilih ini karena bunga ini melambangkan cinta dan kasih sayang yang besar, persis kayak aku sama kamu.”

Dia menunjuk ke gerbera dan melanjutkan,  “Bunga ini bilang kalo aku jatuh cinta sama kamu, sampai aku benar-benar dibuat tenggelam karena pesona kamu.”

Chanyeol melihat Hanna tersipu dan dia tersenyum pada itu. Dia lalu meneruskan sambil mengalihkan telunjuknya pada petunia. “Bunga ini artinya kehadiran kamu menenangkan aku, dan mawar putih adalah pengakuanku untuk kamu, sebagai awal baru dalam hidup aku. Kamu adalah segalanya, Hanna.”

Hanna menoleh ke arah Chanyeol dan melihatnya menatap dirinya dengan kelembutan yang membuat jantungnya berdebar.

Hanna tidak bisa menahan kebahagiannya. Dia memeluk Chanyeol erat dan bergumam, “Gue nggak ngerti, tapi makasih. Gue suka sama semua ini, makasih banyak.”

Chanyeol tertawa dan balas memeluk Hanna sambil menepuk-nepuk lembut bahunya.

“Tapi semua ini bukan hadiah kamu.”

Chanyeol melepaskan pelukannya dan menatap Hanna dengan tatapan serius. “Hanna, aku sadar kalo kamu adalah orang paling berharga sampai aku nggak bisa ngebayangin gimana hidup aku tanpa kamu di dalamnya, dan aku nggak mau.

“Jadi, aku mau kita berjalan bersama. Aku ingin tua bersamamu, mencintaimu seumur hidupku, dengan semua cinta yang aku miliki dalam diri aku. Semua yang aku miliki, baik dan buruk, semua masa depan aku, semua itu jadi milik kamu.”

“Kamu paham maksud aku?”

Hanna mengedipkan matanya lalu menggeleng sambil tersenyum lebar. Benar-benar tidak mengerti sama sekali.

Chanyeol mendengus, capek banget.

“Menikah denganku!”

Tidak ada suara lagi di ruangan itu, kecuali nafas mereka, detak jam, dan detak jantung mereka yang keras.

Chanyeol menatap mata Hanna, melihat kata-katanya barusan tenggelam dalam pikirannya.

Hanna membuka mulutnya, tetapi tidak ada suara yang keluar. Jadi dia menutupnya lagi, dan bangkit, tapi Chanyeol tak membiarkannya berdiri, malah membuatnya terkurung dalam pelukannya sehingga dia bisa melihat semua emosi di wajahnya.

“Chanyeol ... gue ....” Hanna membuka suara setelah beberapa saat. Dan Chanyeol mendekatkan wajahnya, terlihat antusias menunggunya melanjutkan ucapan.

Tapi itu membuatnya semakin gelisah dan mendorong kepala Chanyeol menjauh. “Ulangin lagi.”

Chanyeol tersenyum sambil mengangkat alisnya. “Aku bilang aku mau nikah sama kamu, kamu nikah sama aku. Chanyeol mau habisin waktu hidup bersama Hanna. Oh, aku juga udah beli ini.”

Dia mengeluarkann kotak kedua yang tidak dilihat Hanna sebelumnya. Menunjukkan padanya, sebuah cincin perak dengan inisial namanya di atasnya.

Hanna menatapnya dengan berkedip berkali-kali, terlihat tidak percaya dan mencoba bangun dari mimpi.

Melihat tidak ada reaksi dari Hanna, Chanyeol berinisiatif untuk menarik tangan Hanna, memasangkan cincin dengan inisial namanya di jari manisnya. Lalu satu lagi cincin dengan inisial nama kekasihnya, dipasangkan di jarinya sendiri.

Chanyeol berlutut, menarik tangan Hanna lalu mencium cincin di jari manisnya. “Kalo kamu berpikir ini terlalu mendadak, itu nggak masalah. Aku sebenarnya udah ngerencanain ini, kita udah kenal lama, tapi aku nggak dapat sesuatu yang cukup dari kamu.

“Maksud aku, semakin hari aku semakin jatuh cinta sama kamu, aku bahkan nggak tahu gimana aku hidup sebelum aku ketemu kamu. Kamu menangkap maksud aku?”

Melihat Hanna tidak menjawab, dan hanya menunduk memerhatikan jarinya yang terdapat cincin yang dia pasangkan di sana, Chanyeol mengangkat satu alisnya. “Apa yang kamu pikirin?”

Barulah Hanna mengangkat kepalanya. Menatap Chanyeol dengan emosi campur aduk di matanya.

“Gue lagi mikir ... apa yang pernah gue lakuin sampe-sampe gue dapet cowok yang terlalu jujur ​​​​dan terhormat pret kayak lo di kehidupan masa lalu gue?

“Jadi gue berharap lagi gue bisa tahu apa itu, biar gue bisa ngelakuin lagi di kehidupan ini, dan kita bisa bersama di kehidupan berikutnya juga.”

Chanyeol tertawa mendengar jawaban seperti itu, dan berpikir bahwa Hanna pasti sangat terkejut sampai-sampai dia mulai mengatakan hal seperti itu.

Dia tidak menggodanya tetapi memeluknya lebih dekat dan mencium keningnya.

“Itu benar. Luar biasa, kan? Jadi tetaplah di sampingku selama sisa hidup kita, dan lihat betapa bahagianya aku akan membuatmu bahagia.”

Hanna tersenyum, dan bergerak mendekatinya, menyandarkan kepalanya di dadanya, dan akhirnya menutup matanya. Dia berkata dengan mengantuk. ''Besok ... temenin gue pergi.”

“Hm.” Chanyeol menjawab.

“Nginep di sini.”

Chanyeol melihat wajahnya, dan diam-diam berkata “As you wish, princess.” Sembari membelai punggungnya karena kebiasaan. Setidaknya, dia bisa menghela nafas lega karena bahwa Hanna paling tidak menyukai hadiahnya, atau menerima lamarannya.

Chanyeol senang.


Chanyeol menutup pintu kursi pengemudi dan Ventila duduk di belakang. Keduanya melirik Hanna dengan tatapan khawatir di mata mereka.

Chanyeol bertanya padanya apakah dia baik-baik saja dengan suara tipis, dan dia bergumam dengan suara pelan tapi tidak mengatakan apa-apa.

Sebelum mereka mengunjungi batu nisan Ibunya, mereka berhenti di sebuah toko bunga dan Hanna mendapatkan bunga favoritnya—Camelia, aster, dan balsam. Dia mencium mereka dengan kelembutan di matanya.

Hanna begitu fokus memilih bunga sehingga dia tidak memperhatikan Chanyeol tengah memilihkan bunga untuknya sementara itu.

Setelah selesai, Hanna kembali ke mobilnya, dengan Chanyeol yang berjalan di belakangnya. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan mereka ke pemakaman.

Sampai di tempat tujuan, mereka keluar dari mobil dan berjalan ke kuburan, dengan alasan yang indah dan damai.

Hanna meletakkan bunga di atas batu nisan, dan mengucapkan salam sopan seolah-olah dia benar-benar bertemu Ibunya.

Chanyeol melihat punggungnya dengan tatapan lembut di matanya dan dia melihat Hanna melihat ke arahnya dan memanggilnya ke tempat dia berada.

Chanyeol membungkuk dalam-dalam dan Hanna berkata, “Bu, ini Park Chanyeol, dia teman Hanna, kekasih Hanna, semua yang ada di antaranya. Segala sesuatu yang layak dirayakan dalam hidup Hanna saat ini adalah karena dia.”

Hanna mengulurkan tangan dan memegang tangan Chanyeol, menariknya ke bawah sehingga dia berlutut di sampingnya.

Chanyeol melirik wajah Hanna, dan kemudian bergumam, “Nyonya, Hanna telah tumbuh menjadi wanita yang sangat berani dan cakap. Anda tidak perlu khawatir tentang dia lagi, saya akan dengan senang hati mengambil tanggung jawab itu menggantikan Anda.

“Saya berjanji, akan melakukan yang terbaik untuk membawa kebahagiaan sebanyak yang saya mampu berikan kepada putri Anda. Jadi ... tolong awasi kami berdua dan saya harap Anda menemukan kedamaian di manapun Anda berada.”

Ventila memperhatikan mereka berdua dari belakang, matanya berkilauan di bawah sinar matahari.

Tepat saat Hanna akan menutup pembicaraan mereka, Chanyeol memotongnya dan mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya. Sebuah kotak kecil di sana.

Chanyeol kemudian berkata sambil tersenyum lebar menatap Hanna.

“Sebelum kita pergi, aku pikir kita harus kasih sesuatu untuk Ibumu. Kamu nggak kasih tahu aku kemarin kalo kamu bakal datang ke sini, jadi aku nggak bisa nyiapin apapun sebelumnya. Tapi karena ini adalah hari ulang tahun putrinya yang berharga, bakal sia-sia kalo beliau nggak bisa ngerasain makanan penutup yang sederhana buatan aku.”

Ventila menatap Chanyeol dengan rasa hormat yang baru ditemukan, menegur dirinya sendiri karena tidak berpikir ke depan meskipun dia tahu Hanna kemungkinan besar akan mengunjungi tempat ini hari ini.

Hanna menatap Chanyeol dengan kasih sayang yang tak terkendali di matanya dan mengangguk.

Chanyeol tersenyum lega, dan dia berjalan ke depan dan membungkuk lagi di depan nisan Ibunya.

“Nyonya, meskipun itu tidak dibuat oleh pembuat kue terkenal, tetapi putrimu yang berharga sangat menyukainya sehingga sudah melewati standar pemeriksaan tertinggi, sehingga Anda dapat beristirahat dengan tenang dan menikmati makanan Anda.”

Hanna tersipu dan menarik pipi Chanyeol dan berkata, “Bukannya itu kue buat gue? Lo buat semuanya khusus buat gue? Kenapa sekarang lo kasih semuanya ke Ibu? Gue belum makan itu semuanya, gue jadi nggak kebagian.”

Ventila tersenyum saat dia melihat ekspresi riang di wajah Hanna, dan mendengar keluhan Chanyeol berikutnya.

“Sayang, jangan berpikiran tertutup! Kalo Ibu kamu suka, bukannya itu bakal bikin kesan yang baik? Bagaimanapun, aku berterima kasih padanya karena sudah membawamu ke dunia ini, jadi ini yang paling bisa ku lakukan!”

Mereka berdua saling menatap, dan kemudian tersipu saat Chanyeol mengucapkan kalimat terakhir.

Rasa malu merembes ke Ventila di belakang mereka, sementara keheningan melanda di sana setelahnya.

Chanyeol berdeham. “Jadi, yah ... umm—aku ....”

Sebuah binaran dalam sesaat nampak di manik mata Chanyeol, dan lalu dia mengeluarkan sesuatu dari dalam saku di balik jasnya. Sebuah mawar merah, yang dia sodorkan dengan lembut ke depan nisan Ibunya Hanna.

“Nyonya—maksudku, Ibu.” Kedua orang di sana sontak terkejut pada kalimat itu, dan terdiam di saat bersamaan.

“Saya, Park Chanyeol, izin meminta restu dari Anda, untuk menikahi Hanna, putri Anda, membahagiakannya, mencintainya seumur hidup saya, dan hidup bersamanya. Izinkan saya, Ibu, untuk melakukan itu.”

Setelah dia memberi hormat, Chanyeol menunduk dan mengangkat kepala, kembali menatap ke arah Hanna.

Dia tersenyum, dan kembali mengoceh. Mengeluh tentang Hanna yang terlalu banyak bekerja dan makan dengan benar hanya ketika Chanyeol membuatkan makanan untuknya, yang membuat Hanna menghela nafas dan Chanyeol tertawa.

Mereka berjalan kembali ke mobil, dan Ventila sengaja tertinggal di belakang menyuruh mereka untuk pergi duluan.

Saat Hanna hendak membuka pintu di kursi penumpang, dia dikejutkan oleh gerakan sesuatu yang menyelip di telinganya.

Hanna merabanya, dan mengernyit ketika merasakan sebuah kelopak bunga di sana.

“Sebenarnya berapa bunga yang lo ambil di toko bunga?” tanya sarkas Hanna, tapi dia tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya dan tersenyum pada itu.

Chanyeol tertawa, lalu mengusap rambutnya. Memeluk gadisnya dari belakang, sambil menenggelamkan wajahnya di puncak kepala Hanna.

“Nggak apa-apa, kamu jadi tambah cantik,” gumam Chanyeol.

Hanna tersipu. Dia memukul pelan lengan Chanyeol dan tentu saja itu tidak membuat Chanyeol kesakitan, jadi dia tidak melepaskan pelukannya.

“Hadeh, belum nikah udah uwu-uwuan. Dahlah, gue naik taksi aja.”

Suara Ventila mengejutkan mereka dan refleks sesi pelukan mereka berakhir karena berniat menahan Ventila pergi.

Ventila mendengus, luluh pada bujuk rayu seekor Hanna dan dengan sangat terpaksa dia masuk duluan ke mobil.

Sebelum Hanna dapat membuka pintu penumpang, dia kembali tersentak, merasakan sebuah benda kenyal mendarat dengan lembut dan singkat di pipinya.

Happy birth day, dear. Here present from Park Chanyeol, for you, Park Hanna.

Setelah mengatakan itu, Chanyeol menjauh. Bergerak mengambil langkah dan masuk ke kursi pengemudi. Meninggalkan Hanna yang mematung di sana sambil memegangi pipinya yang memerah.

“Chanyeol anjing!”

—4

Arki membuka matanya dan mengernyit ketika matanya disambut oleh pemandangan langit-langit kamar yang bukan miliknya.

“Kok gue di sini.”

“Ya mana gue tau, kenapa lo tidur di kamar gue?”

Arki mendelikkan matanya dan melihat Alya berdiri di hadapannya dengan seragam yang sudah lengkap. Oh itu artinya, ini sudah jam enam pagi, waktunya sekolah.

Arki kemudian bangkit dari posisinya, dan meringis.

Alya yang mendengar rintihan itu mengurungkan niat untuk membereskan bukunya dan memilih untuk menoleh ke arah Arki. “Kenapa lo?”

“Tangan kanan gue mati rasa.”

“Hah?” Mata Alya sontak membulat. Dia meninggalkan mejanya dan mendekati Arki yang kini sudah duduk di pinggir kasurnya.

Tepat saat dia benar-benar di depannya dan membungkuk ke hadapannya, Alya berteriak karena sebuah tamparan keras mendarat di pipinya.

“Apanya yang mati rasa?!”

Arki tersenyum miring. “Bercanda.”

Alya mendengus dan membiarkan Arki keluar dari kamarnya. Dia mengusap kasar pipinya sambil cemberut, lalu mencibir. “Bercanda, huh?”

Arki yang baru keluar dari kamar Alya dan menutup pintu kamarnya disambut oleh Tian, yang menyapanya dengan sapaan formal.

Arki hanya merespon sekenanya, dan lalu menatap Tian dengan tatapan seksama.

Tian yang merasa ditatap seperti itu menundukkan kepala dan berdeham canggung lalu berkata, “Sarapan, Arki.”

Arki mengangguk pada itu. Matanya masih tak lepas dari menatap lamat Tian, dan perbuatannya itu membuat Tian menghela nafas tidak nyaman tapi tidak berani menyuarakan.

“Kamu ... nggak mandi?”

Arki mengangguk lagi. “Mau mandi.” Dan matanya masih tidak berpaling.

Tian mulai keberatan. “Arki, kena—”

“Pergi sama Alya.”

“Hah?” Tian mengerjapkan matanya tidak mengerti, tapi Arki kemudian melewatinya begitu saja, tak membiarkan Tian angkat bicara lagi dan masuk ke kamarnya sendiri yang berada tepat di sebelah kamar Tian.

Tian tidak tidur sendiri, kamarnya cukup luas sehingga Tita dan Nad bisa ditampung di sana.

Di lantai bawah pula ada satu kamar luas milik Namie, dengan Zuu dan Iiro bersamanya.

Kamar Alya berada tepat di dekat tangga, dan kamar Arki di paling ujung. Kenapa hanya mereka berdua yang punya kamar sendiri? Alasannya karena tidak ada yang mau tidur dengan mereka, entah kenapa. Tapi oke.

Tian geleng-geleng pada kelakuan Arki, dan berniat turun ke lantai bawah saat dia melihat Alya di hadapannya.

“Alya, ayo sarapan,” ajak Tian pada Alya yang baru saja keluar dari kamarnya.

Gadis yang sudah siap itu mengangguk dengan enggan kemudian berjalan di depan Tian. Tian mengikutinya dengan senyuman.

Alya diam-diam mendengus. Padahal niatnya siap-siap sepagi ini karena ingin berangkat duluan ke sekolah untuk sesuatu. Tapi dia tidak menyangka akan berpapasan langsung dengan Tian.

Malas memikirkan alasan, Alya menurut saja. Dan jadilah dirinya berakhir sarapan bersama keenam saudarinya dengan sangat terpaksa.

Tapi kemudian Alya mengernyitkan dahinya.

“Pagi, pacar.”

Alya berdecih, mengerutkan dahinya jijik lalu menatap Tian, menuntut penjelasan tentang kenapa bisa laki-laki itu ada di sana.

Tian hanya menggelengkan kepala sambil senyum-senyum dan melangkah duluan ke meja makan.

“Cih, gue berangkat—”

“Sarapan dulu yuk, sini!”

Alya mendengus malas. “Ngapain dia?”

“Ya makan, sayang. Yuk sini yuk, makan juga!”

“Udah, Yak, nggak usah sok tsundere kayak Arki. Ayo sini makan, disuapin sama Daddy Brian.” Iiro tertawa setelahnya kemudian Nad menyusul.

Alya berdecih, kemudian menatap Brian yang tersenyum pada lelucon bodoh itu. Tidak tahukah bahwa dirinya tengah diejek di sana?

Alya ingin pergi dan mengabaikan itu, tapi seseorang tiba-tiba mendorongnya dan menyuruhnya duduk di kursi.

Alya mengumpat pelan pada Tita yang duduk tepat di sebelahnya. Tita hanya tersenyum dan seolah tidak mendengarnya.

“Arki belum bangun?” tanya Nad, setelah memasukkan sesendok nasi goreng ke dalam mulutnya.

“Abisin dulu makan baru ngomong!” ucap Iiro kemudian menggeplak kepala Nad, tentu saja dengan mulut yang masih penuh oleh makanan.

“Lah! Lo juga sama!”

Tian hanya bisa geleng-geleng pada itu. “Arki lagi siap—”

Ucapan Tian terpotong ketika dirinya menoleh pada seseorang yang tiba-tiba mengambil sepotong roti di atas piring tepat di sampingnya.

“Berangkat,” ujar Arki, setelah itu.

“Heh! Itu punya gue!” Iiro berdiri dari kursinya. Ingin memarahi Arki lagi tapi tidak jadi ketika Arki mendelikkan matanya padanya.

Iiro duduk lagi. Dan Arki hanya menggedikkan bahu dan berjalan menjauhi meja makan tanpa sepatah katapun.

“Cih, giliran dia nggak ada yang nahan,” cibir pelan Alya, sambil mengaduk-aduk nasi goreng di piringnya.

“Ayo berangkat kalo gitu.”

Alya dengan gerakan tersentak menoleh pada lelaki yang tiba-tiba sudah berpindah duduk di sebelahnya. Padahal tadi dia duduk di sebelah Iiro.

“Duluan aja,” usir Alya.

Brian tersenyum. Dia menggeser kursinya agar bisa mendekat ke telinga Alya untuk berbisik, “Kamu nggak bakal bisa kabur kalo nggak bareng aku.”

“Hah? Kata siapa? Bisa tuh, nih.” Alya beranjak dari duduknya. Menyampirkan tas ke bahu sebelah kanannya, lalu pergi begitu saja dengan langkah cepat.

Brian melihat itu dengan senyuman lebarnya. Dia lantas bangkit setelah berpamitan dan pergi menyusul Alya untuk berangkat bersama.

“A-aku juga berangkat ya.” Suara Tian membelah keributan yang dibuat oleh Iiro dan Nad seperginya Alya dan Brian barusan.

“Loh, Kak?” Zuu mengerut bingung.

“Oh, aku ada rapat Osis, harus kumpul pagi-pagi. Kalo gitu aku berangkat duluan ya!”

“Berangkat sama—”

“Ojek online.”

Zuu menghela nafas dan menggedikkan bahunya pada Iiro dan Nad yang menatapnya penuh tanya.

Dan Namie yang sedari tadi diam mulai merasakan sesuatu yang tidak beres.


Arki sedikit meringis ketika punggungnya menabrak kerasnya dinding dan ditekan ke sana.

Mendongak ketika kerah seragamnya ditarik sehingga bertatapan dengan seorang lelaki yang memandang rendah ke arahnya.

Arki mendelik sinis padanya sehingga laki-laki itu mengangkat tangan dan melayangkan tamparan kencang di pipinya.

“Nantang lo, bangsat?” Laki-laki itu berdecih. Melempar batang rokok yang sudah tersulut setengahnya ke sembarang arah, sementara dua remaja lain cekikikan di belakangnya, yang satunya hanya diam memperhatikan.

Arki tersenyum miring namun tipis, tapi masih bisa ditangkap remaja bername-tag Reihan itu, membuat dia menggertakkan giginya dan mengepalkan tangannya kuat.

“Brengsek,” tekannya, dengan tinju yang siap melayang.

Namun ketika kepalan tangan itu akan mengenai dirinya, Arki memiringkan kepalanya, sehingga tinjuan itu mengenai padatan dinding di belakangnya.

Reihan memekik kesakitan. Dia mengibaskan tangan yang buku-buku jarinya berdarah.

“Udah?” Arki mencekal tangan yang mencengkeram kerah seragamnya.

Reihan merintih lagi ketika pergelangan tangannya kirinya diputar sembilan puluh derajat.

“Oke, sini gue ajarin,” tanya Arki.

“Hah? Apa maksud lo? Tau apa lo soal—Akh! Sakit bangsat!” Reihan memekik nyaring.

“Duh, berisik, dengerin dulu makannya, banci.” Arki melepaskan cekalannya. Matanya mengedar, menatap datar secara berkala ketiga lelaki lain yang terdiam, lalu kembali pada Reihan yang meratapi tangannya yang sakit.

Gadis itu membungkuk. Menarik pergelangan tangan Reihan yang barusan berdarah, memaksanya untuk berdiri.

“Nih, caranya nonjok.” Arki membentuk sebuah kepalan di tangan laki-laki itu, lalu memasangkan kuda-kuda tinjuan padanya.

Arki mundur beberapa langkah. “Nah, ayo tonjok.”

Reihan diam tak bergeming. Mengerjap tak mengerti dan Arki mendesah lelah. “Tonjok, goblok!”

Reihan panas. Dia mendesis marah lalu melayangkan kepalan tangan yang barusan dibentuk oleh Arki, dengan penuh emosi.

Tapi Arki dengan mudah menangkap tinjunya yang terkesan lemah dengan tidak bertenaga.

“Tolol.”

Plak!

Reihan tersungkur ke belakang dengan hidung berdarah. Merintih kesakitan pada batang hidungnya yang nyeri setelah Arki melayangkan tamparan lewat punggung tangannya.

“Dibilangin bukan gitu,” gumam Arki. Dia berdiri di hadapan Reihan yang terduduk, lalu menginjak telapak tangannya. Reihan berteriak lagi.

Arki menghela nafas kasar. “Lo berisik banget, sih, kayak mau diperkosa.”

Ketiga remaja lain yang hanya berani menonton sontak memalingkan wajahnya, lalu mengulum senyum masing-masing, menahan tawa.

Arki membekap mulut laki-laki itu lalu membungkuk untuk menarik kerah seragamnya, mencekiknya.

Dia menatapnya dengan tatapan tajam, kemudian bertanya, “bisa lo jelasin maksud dari foto yang ada di saku baju lo?”

Reihan membelalakkan matanya, terkejut. Namun dengan cepat pula dia mengubah ekspresi wajahnya menjadi netral. “Gue nggak tau lo ngomongin apaan.”

“Nggak usah pura-pura bego.” Arki berkata cepat. “Apa yang lo lakuin sama Tian?”

Reihan mengerutkan alisnya. “Lo ngomong apaan, sih?!”

Arki berdecak jengah. Dia mendorong laki-laki itu hingga kepalanya membentur tanah dengan kencang. Duduk di atas perutnya, dan membungkuk untuk mengambil polaroid yang tersimpan rapi di saku bajunya.

Arki kembali menarik kerah seragamnya, memaksanya bangkit. “Gue nggak suka orang yang pura-pura bego!” Tangannya beralih menjambak rambutnya, memaksanya untuk mendongakkan kepala.

“Jelasin maksud dari ini!” Arki menunjukkan selembar polaroid dengan gambar satu pasang laki-laki dan perempuan, yang dirangkul pinggangnya.

Dari sudut pandangnya, foto itu diambil secara diam-diam. Dan punggung kecil yang nampak di sana yang tidak asing, adalah jelas milik Tian. Itu adalah Tian, dengan seorang pria yang entah siapa.

Melihat itu, Reihan bungkam. Ekspresinya datar, dan matanya nampak menatap tidak peduli.

“Oke, ya udah. Siapa yang nyuruh lo?” Arki mengganti pertanyaannya, tapi Reihan tetap enggan menjawab.

“Atas dasar apa?”

Reihan tetap pada pendiriannya. Arki mendesah lelah. Dia melepaskan cekalannya dari Reihan, dan bangkit dari posisi menduduki perutnya. “Oke.”

“CL Company. Perusahaan bokap lo, kan?”

Reihan mengerutkan keningnya, namun dia tetap diam tak menjawab. Lebih memilih untuk menunggu Arki melanjutkan perkataannya sendiri.

Arki sambil membenarkan letak dasinya yang berantakan mengatakan, “Berapa?”

“Apa?!”

Arki tersenyum miring. Dia mengangkat kakinya, menginjak dada Reihan dengan sepatu pantofelnya.

“Lo nggak tau? Bokap lo itu kerja di bawah gue.”

“Kalo gue mau, gue bisa boikot semua saham yang bokap lo pegang sekarang juga, tapi gue nggak mau lakuin itu.” Arki membungkuk. Memegang kening Reihan dengan jari telunjuknya lalu mendorongnya. “Gue nggak serendah lo.”

Reihan mendesis, tapi tidak melakukan apapun lagi sebagai penyalur kemarahannya.

“Lo harus gue laporin ke polisi ya?” saran Arki.

“Apa maksud lo? Emang apa yang gue—”

“Jadi lo mau bantuin gue, kan?”

“Tapi gue—”

“Tian, lo harus mau, gampang kok nggak susah.”

Suara percakapan dua orang dari alat perekam memotong ucapan Reihan.

Reihan membulatkan matanya. Dia mengenali suara itu, itu suaranya sendiri.

Laki-laki itu kemudian mendesis, rahangnya mengeras, matanya mengedar penuh amarah dan menatap penuh dendam pada salah satu lelaki dari tiga temannya.

“Bajingan lo, Raka! Dasar pengkhianat! Brengsek!”

“Ssst ....” Arki membungkuk, membekap mulut Reihan dengan tangannya dan satu tangannya lagi mengacungkan jari telunjuk di depan mulutnya.

Sementara Raka di sana memasang seringai, tapi bukan untuk Reihan melainkan pada Arki.

Namun Reihan salah paham menangkap seringai itu, mengiranya mengejeknya, dan dia bertambah marah.

“Hei, ini gue maksa loh ... gimana ya? Kalo lo nolak gue bakal sebarin rahasia yang selama ini lo sembunyiin di depan anak-anak, kalo lo itu pernah kejerat skandal sama guru penjas di SMP.”

“Oh, mungkin nanti resikonya nggak cuma kena ke lo aja, tapi ke adek-adek lo juga. Coba pikirin, gimana nasib adek-adek lo nanti? Mereka juga bakal kena batunya, dijauhin, diomongin, dan yang paling parah mereka bakal dibuli karena perbuatan buruk lo di masa lalu, lo mau kayak gitu?”

“Gue ... nggak mau ....”

“Kalo gitu lo terima, kan?”

Rekaman suara berhenti berputar ketika setelahnya hanya ada suara gemeresik tidak jelas dan percakapan mereka berhenti di tengah jalan karena alat perekam dimatikan.

Tapi itu sudah cukup.

“Wah seru, bisa jadi pasal berlapis nih.” Arki menatap datar laki-laki di bawah kakinya yang terdiam dengan wajah pucat dan keringat dingin membasahi pelipisnya.

“Hm, apa aja ya? Coba gue hitung,” ujar Arki, sambil memposisikan jarinya-jarinya sebagai pacuan. “Ancaman, pencemaran nama baik, pemaksaan, perencanaan tindak kriminal, oh fitnah kehitung juga, kan—”

“Oke iya, gue ngaku gue maksa Tian buat jadi bahan taruhan gue buat perlombaan balap motor sama temen-temen gue,

“Tapi gue bakal menangin perlombaan kok, nggak bakal gue kalah—”

Bugh!

Reihan tersungkur, sebuah bogem mentah mengenai rahangnya dengan kencang bahkan sampai suara tulang patah bergema di ruangan.

Arki mengepalkan tangannya. Menatap tajam Raka yang merentangkan tangan di depannya, berdiri membelakanginya, menghalanginya dari Reihan.

Sebelum Arki dapat protes, Raka lebih dulu bersuara, “Lo harus bersyukur karena yang mukul lo itu gue bukan Arki.”

“Kalo nggak, sekarang lo udah ada di neraka.” Dia tersenyum miring.

“Lo ngejek gue, hah, bangsat?!” Arki melepaskan tinju yang seharusnya untuk Reihan, pada Raka.

Raka terbatuk, membungkuk memegangi perutnya, kemudian dia tertawa sambil sesekali merintih.

Arki bergerak maju, mengabaikan Raka. Dia berdiri di depan Reihan, kemudian berjongkok. “Gue kasih lo pilihan.”

“Ah, nggak, gue nggak tertarik ngejalin hubungan untung rugi sama lo. Ini gue maksa. Kalo lo nggak mau, ya kehidupan foya-foya lo berakhir.”

Arki mengubah raut wajahnya yang sudah datar menjadi semakin serius. Iris hijaunya menyala tajam.

“Jadi babu gue.”

Reihan membulatkan matanya. Mulutnya terbuka, terkejut dan tidak percaya. Tidak terima juga.

Dia lantas menggeram marah. “Ogah! Ngapain gue harus tunduk sama lo?!”

“Biar bokap lo nggak jadi pengangguran,” jawab Arki.

Reihan akan membentak lagi, tapi dia menutup mulut dengan sendirinya.

“Oke, deal. Tuh dua orang juga jadi asisten lo ya,” tunjuk Arki pada dua lelaki yang kini saling berpandangan. Nonton doang pun mereka kena juga?

“Sekarang gue ada tugas buat lo.”

“Apa—”

Belum sempat Reihan menyelasaikan kalimatnya, Arki kembali menarik kasar kerah seragamnya, dan lalu berdiri, menyeretnya dengan paksa.

Dua orang di belakang Reihan yang sedari tadi diam menonton didorong ke samping karena menghalangi jalannya. Dan Arki menyeret Reihan secara leluasa ke suatu tempat.

Reihan diam, ikut-ikut saja.

Bruk!

Sampai dia merasakan tubuhnya terlempar menghantam padatan tanah untuk yang ke sekian kalinya. Tangannya besentuhan dengan ujung sepatu seseorang.

“Minta maaf.”

Reihan mendongakkan kepalanya, dan terkejut melihat Tian berdiri di hadapannya dengan tatapan yang sama-sama shock.

“Arki ....” Tian bersuara lirih.

Arki tidak mendengarkan. Dia melipat tangannya di depan dada, dan bersandar pada Raka di belakangnya yang dia kira dinding.

“Minta maaf, buruan!” Arki menendang dan menginjak punggung Reihan sehingga laki-laki itu kembali membungkuk, bersujud di hadapan Tian.

Reihan mengepalkan tangannya. “Gue minta maaf—”

“Yang ikhlas!”

Dia berdecak pelan. “Gue minta maaf.”

“Kurang.”

“Saya minta maaf, maafin saya, Tian.”

“Masih kurang.”

Reihan mendesah jengah. Dia menundukkan kepalanya, benar-benar bersujud. “Dengan segala penyesalan atas kebodohan saya, saya minta maaf, tolong maafin saya, Nyonya Anstian Tanaya, saya tidak akan mengulanginya lagi, saya benar-benar minta maaf.”

Arki mendengus puas lalu menurunkan kakinya dan melirik ke arah Tian. Gadis itu hanya diam, kemudian mengalihkan pandangan ke arahnya.

Arki sudah tahu sejak awal kalau Tian menguping dirinya, jadi dia berusaha mati-matian untuk tidak memukul Reihan walau enggan, agar Tian tidak keluar untuk melerai sampai rencananya selesai.

Arki menghela nafasnya, mendongakkan kepala, lalu membulatkan mata ketika melihat Raka melongok dari atasnya.

“Capek ya?”

Arki menjauh dari Raka. Menepuk-nepuk lengan dan bahunya seolah dia baru saja menempel pada kotoran.

“Oh, gue punya tugas lagi.” Arki kembali menatap Reihan.

“Jadi tunangan gue.”


Alya duduk di salah satu toilet lama di sekolahnya. Toilet belakang yang sepi dan sudah tidak terpakai karena letaknya jauh, di ujung utara bagian sekolahnya.

Tapi sekarang itu jadi tempat Alya nongkrong, menyembunyikan diri. Tidak elite memang tapi lumayan, masih bersih.

Sebenarnya tadi ada Brian bersamanya. Tapi ketika dirinya sampai di gerbang sekolah, Alya mengatakan kalau ada buku pelajaran yang tertinggal di rumahnyaa dan Brian dengan senang hati menawarkan diri untuk balik lagi ke rumahnya.

Karena sudah mepet waktu masuk, Brian menyuruh Alya masuk ke kelas duluan, biarlah dia terlambat sendirian asal Alya jangan, begitu katanya. Alya jijik tapi oke, yang penting dia pergi.

Namun setelah Brian pergi, bukannya masuk ke kelasnya, Alya justru di sana. Nangkring di salah satu toilet, sembari bermain ponsel, membuka galerinya.

Dia menggeser layar, tadinya ingin mencari sesuatu, tapi mendadak malas begitu melihat angka-angka yang tertera di sana, fotonya terlalu banyak.

“Gue nyimpen apa aja, sih, entar hapus ah,” gumamnya, sama dengan beberapa hari yang lalu.

Jari tangannya berhenti menggeser layar ketika Alya melihat salah satu gambar yang dari tampilan mulmed-nya nampak asing. Alya tidak tahu iu foto apa.

Alya kemudian mengklik bagian itu dan memerhatikan gambarnya.

Dia terdiam sejenak, sampai kemudian dia memproses respon terkejut di kepalanya, alisnya menukik dalam.

“Apaan dah ini?”

Alya ingat dengan jelas, dia tidak pernah menyimpan gambar gedung yang kebakaran di malam hari.

—3

Dentingan piano memenuhi ruang di telinganya, mengikat tubuhnya di tempat asal. Zamrud mengerjap, mengenali suasananya, lalu kembali hilang di balik bulu mata yang berkibar halus.

Dia tidak tahu, ini sudah yang ke berapa kalinya, namun dia menduga ini sudah cukup sering terjadi sehingga dirinya merasakan kefamiliaran yang jelas di sisinya.

Lalu, melodi berakhir begitu saja, namun dia tahu bahwa tuts masih melantunkan alunan nada yang teredam. Dan itu hilang ditelan kesunyian.

Skenario fana yang terulang.

Semuanya berakhir ketika bunyi mesiu meledak, mengisi keheningan dan dia berhenti di sana.


Arki membuka matanya. Melirik dengan enggan pada ponsel lamanya yang bergetar, tergeletak di sampingnya. Membiarkan itu terus seperti itu, dia mengalihkan pandangan pada langit-langit yang nampak asing namun akrab di ingatannya.

Arki lantas menghela nafasnya. Dia bangkit dari posisi terlentangnya, duduk lalu mengusap kasar wajahnya.

Matanya menyorot tajam, menerawang jauh ke hadapan. Pantulan cahaya bulan mewarnai dengan kontras puncak rambut ravennya.

Di tengah hening yang diselaraskan dengan dinginnya angin malam, dering ponsel kembali membelah kesunyian.

Arki berdecak. Dengan kesal meraih benda pipih itu dan mendekatkannya ke telinga.

Tidak ada sepatah kata yang keluar dari bibirnya, hanya bungkam, sampai kemudian dia mengatakan, “Salin, hapus, keluar.” Dan menutup telepon dengan begitu saja.

Arki menghembuskan nafas kasar dan mengalihkan atensinya pada pesan dari nomor tak dikenal yang tampil di lock screen-nya.

+628-228xxxxxxxx Ngehindarin sesuatu? Oh, jadi gitu hm?

Alis Arki praktis mengerut dan berkedut dalam kejengahan. Dia mematikan ponselnya, menarik nafas dan menghembuskannya dengan teratur.

Bam!

Kemudian melempar ponselnya ke dinding di hadapannya hingga benda itu hancur begitu saja.

“ALYA ANJING!” Dan mengumpat.


“Oh, anak siapa nih?”

Arki menatap seorang gadis yang tingginya sepuluh senti meter di bawahnya dengan tatapan netral di wajah datarnya.

Tak lama kemudian, dia berbalik sambil mengatakan, “Oh, salah rumah.”

“BERCANDA, ANJIR! UDAH NGGAK USAH KABUR LAGI! KAK TIAN! INI LIAT ARKI, NIH!” Iiro menahan tangan Arki dan menariknya sekuat yang dia biasa sambil mengadu. Membuat Arki mengerutkan dahinya, bingung. Padahal dia diam saja di tempat, kenapa anak ini heboh sendiri, berisik lagi.

“Iiro, udah biarin Arki masuk dulu.” Lalu suara lembut itu menyahut dari dalam rumah. Membuat Arki diam-diam bersyukur ketika Iiro akhirnya melepaskan cekalannya.

Sebenarnya bisa saja, sih, dia banting saja Iiro nya, tapi dia malas, terlalu lelah untuk melakukan itu.

Sambil melangkah masuk ke rumahnya, Arki berdengung, “Orang gila.”

“ARKI MAAAHH!” teriak Iiro, tapi ikut beejalan di belakang Arki.

Namie menatap kedua gadis itu dengan alis berkerut, ditujukan pada Iiro yang menjatuhkan diri ke atas sofa lalu mencari posisi nyaman. “Ngapain lo?” tanya Namie.

Iiro menatap Kakak sulungnya dengan tatapan heran. “Ya tiduran, Kak, masa berenang.”

Iiro tertawa sendiri pada jawaban anehnya, dan Nad yang duduk di bawahnya, di atas lantai, tapi dekat dengan sofa yang ditidurinya ikut-ikutan tertawa. Lalu mereka berdua malah cekikikan.

“Bukannya lo disuruh beli garam sama Tian?”

“OASU!” Iiro segera bangun dari posisinya kemudian berdiri. Tapi kemudian dia kembali mendaratkan bokongnya pada permukaan sofa yang empuk. “Nanti aja deh, ya, Kak? Aku ... aku merasa lemah, lesu, letih, karena tadi harus menahan pergerakan Arki dengan segenap jiwa dan raga, sampai titik darah penghabisan,” rengut Iiro, berdrama.

“Lebay,” ujar Nad, dengan pandangannya yang masih mengarah ke arah Tv, menyulut emosi Iiro.

“Serius ya anjir!” teriak Iiro.

Perdebatan itu terus berlangsung, dan Namie memilih beranjak ke dapur untuk membantu Tian menyiapkan makan malam daripada duduk di tengah-tengah kebisingan.

Tapi sebelum itu, dia berpapasan dengan Arki, yang duduk di meja makan lebih dulu. Tidak biasanya dan itu tentu saja membuatnya bertanya-tanya, tapi dia enggan menyuarakan.

“Ki, nggak mandi dulu?” Lalu Tian dengan ajaibnya menyuarakan pertanyaannya.

Arki melirik sekilas kemudian kembali pada ponselnya. Tak menjawab, tapi Tian tersenyum karena dia sudah dapat jawabannya, dan dia memilih diam daripada nanti Arki malah pergi dan tidak jadi makan karena merasa terusir.

Lalu beberapa menit kemudian, Tian dan Namie sudah selesai dengan pekerjaan mereka—memasak makan malam—dan sekarang tengah menyiapkannya ke atas meja makan. Tita turut membantu setelah gadis itu keluar dari kamarnya.

Iiro dan Nad, yang sedari tadi cekikikan tidak jelas kemudian mendekat ke arah meja makan sambil tertawa tentunya, entah karena apa.

Tapi begitu Iiro melihat Arki duduk di sana, sudah makan duluan tanpa menunggu yang lain, Iiro berteriak, mengadu, tidak terima. “KAK! ITU ARKI NGABISIN LAUK TUH!”

Arki yang dituduh seperti itu otomatis menoleh pelan, bergumam, “Hah?” Dengan nada rendah dan monoton, membuat Iiro memalingkan wajah dan mulai duduk di kursi yang jauh dari Arki.

“Zuu mana?” tanya Tian, ketika dia meletakkan gelas berisi air putih di dekat Arki.

Iiro menggedikkan bahu. “Paling lagi siaran.”

Nad yang sedang minum air putih yang dia ambil dari Arki, tersedak. Dia menatap Iiro dengan tatapan menuntut. “Dih?! Kok nggak ngajak, sih?”

“Ya mana gue tau, kok ngamuknya ke gue?” Iiro mendelik kesal. Padahal baru beberapa menit lalu mereka terlihat 'akrab' karena sesuatu, sekarang bertengkar lagi.

Tian memotong pertengkaran mereka dan menyuruh mereka tenang. Setelahnya, dia melirik, dan mendapati Zuu turun dari tangga, baru keluar dari kamar sepertinya.

Tian tersenyum. “Beres siarannya?”

Zuu yang justru merasa disindir hanya tersenyum gugup. “Ya ... ya gitu lah, Kak.”

“Kak! Kok nggak ngajak gue?!” Nad merengut pada Zuu yang baru saja duduk dan mengambil nasinya.

“Nanti ya, Dek? Subscribers gue lagi nggak pengen liat lo soalnya,” jawab Zuu, sambil tersenyum lembut, seolah kata-katanya tadi tidak ada apa-apanya.

Nad pun merengek. “TEGAA! KAK TIAN, KAK ZUU KETULARAN KAK ARKI! JADI TEGA JUGA!”

Tian menegur Nad, dan menenangkan si bungsu yang mulai kumat dramanya.

Sementara Zuu, matanya mengedar mencari sesuatu. “Alya? Tumben nggak ada yang ributin Alya?”

Tian yang mendengar salah satu nama saudarinya refleks ikut mengedarkan pandangan, dengan dahi berkerut. “Oh iya, Alya mana?”

“Alya yang terlupakan,” gumam Iiro.

“Alya yang malang,” sambung Nad, nelangsa.

Ketika Tian ingin buka suara lagi, kalimatnya terpotong oleh suara gesekan kursi pada lantai. Dan semua orang di sana, otomatis menatap ke arah Arki, yang berdiri dan pergi tanpa mengatakan sepatah katapun.

“Kenapa lagi dah kakak gue,” gumam Iiro.

Zuu menaikkan satu alisnya. “Lah, sejak kapan ada Arki? Dia pergi? Dia nggak makan?”

“Udah booking duluan dia mah, udah selesai, tuh,” tunjuk Iiro, pada piring yang ditinggalkan Arki lalu mencomot ayam goreng di hadapan mereka dan memakannya. Tapi kemudian dia terbatuk dengan lidah menjulur tidak enak.

“Ro? Kenapa, Ro?! Jangan dulu, Ro, lo belum bayar utang gue!” panik Nad, heboh sendiri.

“Nggak, anjir! Kak, ini ayam kok nggak ada rasanya?” Iiro bertanya pada Tian dengan wajah yang ditekuk, kecut.

Tian mengerjapkan matanya. “Loh, ya jelas lah, kan, nggak ada garam.”

“Kenapa nggak beli dulu?”

“Tadi lo sendiri, kan, yang bilang 'Nanti aja'?” Namie menyela Tian yang hendak menjawab pertanyaan bodoh Iiro. Dia berdiri di sebelah Tian, meletakkan lauk lain, dengan sedikit bantingan yang praktis mengejutkan mereka semua.

“Sekarang, makan semuanya.” Namie menatap tajam adik-adiknya yang duduk di kursi, dan berbicara dengan suara dingin dan datar, sebuah ancaman tersirat di sana.

Iiro mau tak mau mengangguk patuh dan tidak berkomentar lagi. Tapi beberapa menit kemudian dia kembali bertanya, “Tapi tadi Arki kok menikmati aja?”

“Ya Arki mah, udah mati rasa dari sananya. Jadi yang beginian doang mah, ez lah,” timpal Nad asal-asalan, membuat Iiro mengerutkan kening bingung, dan Tian di sana hanya geleng geleng kepala.

“Arki nggak bakal komentar, itu juga dia nggak menikmati sebenarnya.” Tita ikut-ikutan. Secara langsung, menunjuk ke arah piring yang barusan ditinggalkan Arki yang jika diperhatikan, tidak ada jejak nasi, dan ayam tidak habis sama sekali. “Arki makan lauknya doang, setengah.”

Iiro merasakan diskriminasi, lagi. “KOK ARKI DIBOLEHIN KAYAK GITU, GUE NGGAK BOLEH?!”


Gadis itu, mengedipkan matanya berkali-kali ketika matanya menangkap beberapa rangkaian kalimat yang terpampang jelas di monitor laptop di hadapannya.

Dia menggerakkan mouse,menggulir krusor dengan pelan lalu kembali mengerjap, berharap bahwa tulisan di hadapannya berubah, tapi tidak ada yang terjadi.

“Lagi liat apa?”

Alya menjawab, “Database perusahaan Papa yang—” Lalu dia menoleh dengan gerakan tersentak dan terdiam, begitu menyadari bahwa suara yang datang di sebelahnya adalah nyata dari Arki.

“Oh, gitu.” Arki manggut-manggut, sementara matanya nampak fokus pada layar laptop.

Membuat Alya mendengus, lalu dia dengan tenang menggerakkan krusor untuk menekan tanda silang, dan semua tulisan itu hilang, digantikan oleh tampilan windows yang khas di sana. Tak lupa, dia juga bertanya, “Ngapain lo di sini? Kenapa nggak makan?”

“Sadar udah waktunya makan malam?” Arki balik melemparkan pertanyaan dengan nada sarkastik.

Alya menghela nafas, enggan menjawab. Dia berdiri dan beranjak dari tempatnya, sambil melirik sekilas ke arah Arki yang belum mengganti seragamnya sama sekali, dan dia tidak berkomentar apapun dan memilih menjatuhkan diri ke atas kasurnya.

Dia mengintip lewat kelopak matanya yang sedikit terbuka, Arki duduk di meja belajarnya, membuka jaketnya, lalu Alya kembali menutup kedua matanya tidak peduli.

Tapi ketika dia menyadari sesuatu, gadis itu langsung bangkit, beranjak dan berjalan cepat, lalu meraih lengan Arki sambil berteriak, “Lo gila?!”

“Lo,” jawab Arki, santai.

“Ki ....”

“Ya udah tau ini luka, kenapa diliatin doang?” Arki mengernyit dalam kebingungan.

Membuat Alya, lagi-lagi menghela nafas. Beranjak ke kamar mandi dan mengambil beberapa kapas dan obat merah, sebelum kemudian dia membuka perban yang melilit tangannya dengan asal-asalan. Tidak ada balutan obat di dalamnya.

“Ini yang bikin lo telat barusan?” tanya Alya.

“Udah tau, nggak usah pura-pura nggak tau,” ketus Arki, dengan nada penuh ketidaksukaan, yang membuat Alya menghentikan gerakannya selama beberapa saat, sebelum kemudian dia kembali melanjutkan dan tidak memedulikan ucapan Arki.

Alya memang mengirim satu ey-spy— gadget yang dilengkapi kamera seperti CCTV, bulat, lebih kecil dan ringan—dan itu diprogram untuk membuntuti seseorang yang sebelumnya sudah dikunci data-datanya di dalam sana.

Benda itu dibuat untuk mengikuti Arki. Dan Alya melihat, pada pukul 05:54, Arki, mendatangi sekumpulan laki-laki remaja yang jika dilihat almamaternya adalah siswa sekolah lain, tersenyum menyeringai pada mereka, yah lalu menghajar mereka tentu saja.

Sayang sekali Alya lupa menyimpan microphone di sana, jadi dia tidak bisa mendengar percakapan mereka sebelum itu.

Namun saat waktu pulang sekolah, kamera pengintainya yang turun untuk membuntuti Arki yang menghilang dari mereka, mendadak kehilangan jejaknya, lalu video yang tersalin di ponselnya gelap, berakhir begitu saja.

Awalnya Alya mengira kalau jaringan sedikit terganggu, atau ey-spy-nya mendadak menabrak tiang listrik atau batang pohon dan mati.

Tapi ternyata, itu karena Arki menyadarinya. Dan benda malang itu pasti 'dimatikan' olehnya.

Tapi dia bersyukur dia masih menyimpan nomor lama Arki yang sesuai dugaannya, nomor itu masih disimpan oleh Arki, jadi dia bisa mengancam Arki dari sana.

“Lain kali.”

Arki berhenti. Dan Alya otomatis mengangkat kepala dan tak sengaja menekan kapas sehingga Arki meringis dan mendelik padanya, tapi gadis itu kemudian melanjutkan ucapannya.

Arki tersenyum miring, “Lain kali suaranya dikecilin.”

Alya mendengus mendengar nada ejekan itu. Memilih untuk melanjutkan membalut dengan kain kasa luka yang dia duga berasal dari goresan pisau, tadi pagi.

Tapi dipikir-pikir, saran yang bagus, dia akan program lagi ey-spy nya agar suara mesinnya menghilang saja sekalian, supaya Arki tidak bisa mendengarnya.

Heran, kenapa telinga Arki peka, tapi hatinya nggak. Kasian Kak Endra, batin Alya.

“Dah,” gumam Alya. Lalu tiba-tiba dia didorong kuat ke belakang, oleh Arki, membuatnya mundur dan nyaris terjatuh karena terkejut, tapi dia bisa mempertahankan keseimbangannya.

“Apa, sih, Ki?” kesal Alya.

Namun Arki tak menjawab, dan berdiri sembari melonggarkan dasinya, berjalan menuju kasur dan membiarkan tubuhnya jatuh terlentang ke sana.

“Daripada mata-matain gue, mending dipake buat mata-matain.”

“Hah?” Suara Arki pelan dan terkesan menggantung, tapi Alya sebenarnya paham maksudnya. Dia cuma pura-pura bodoh saja untuk menolak.

Arki tak menyahut setelahnya, dan Alya tidak peduli pada itu. Dia kembali duduk di meja belajarnya, menatap laptopnya yang masih menyala, dan tangannya mengetuk di atas touch-pad dalam gerakan yang teratur.

“Gue nggak ngerti sebenarnya apa yang pengen lo gali.” Arki kembali bersuara, dan Alya mati-matian menahan dirinya untuk menoleh ke belakang, jadi dia diam saja, menunggunya melanjutkan.

“Tapi gue kasih tau, nggak usah ikutan. Gue nggak butuh.”

Itu kejam, tapi Alya terlalu terbiasa sehingga tidak ada sedikitpun perasaan tersinggung pada kalimat itu.

“Dan ....”

Itu kalimat yang tidak selesai dan Arki berhenti sendiri. Membuat Alya, mau tak mau melirik setelah dirasa tak ada suara apapun setelahnya.

“Nggak ada lagi.”

Alya tidak mengerti. Menoleh sepenuhnya untuk mendapatkan penjelasan, namun yang dia dapat di sana, Arki berbaring tentu saja. Tapi dia bisa menyadari kalau dia tidak akan melanjutkan kalimatnya sampai kapanpun, karena lagi-lagi, dia ditinggalkan dalam teka-teki.

“Gitu ya mainnya?” Alya menghela nafasnya. Kembali fokus pada laptopnya dengan tenang dan yakin karena kepastian yang jelas di depan matanya. Tak akan ada yang mengganggunya setelah ini.

Alya mengklik satu tombol di keyboard nya dan, tampilan jendela otomatis berubah menjadi sebuah layar hitam gelap, dengan gambar lingkaran berputar-putar dalam gerakan lambat di tengah layar, yang lagi-lagi membuat Alya mendengus. “Sialan, dihapus.”

Alya merutuk. Semua database yang capek-capek dia bobol, hilang sepenuhnya, begitu saja. Entah kapan Arki menyentuh laptopnya, atau dia menghapus dari luar, tapi sekarang dia terpaksa mengulang dari awal.

Gadis itu berniat keluar, tapi kemudian dia berhenti. Matanya membulat sempurna dan terpaku ke hadapan. Memperhatikan satu kalimat teratas yang ditulis dalam huruf besar dan dicetak tebal.

AlphaCommandLKO12uAJk77%&ZxtI7aENG;null;inp:001908211

Mata Alya bergulir ke bawah. Di bawah tulisan itu, hanya ada deretan huruf yang dikombinasikan dengan angka dan simbol acak tanpa spasi, namun mampu memenuhi layar laptopnya.

Alya terdiam. Gelombang kekhawatiran menghantam dirinya, menjatuhkan kebingungannya. Dia menelan ludah susah payah, dan semua kata-katanya tercekat di tenggorokan. Dia membeku.

“Apa maksudnya?”

#Au

“Arki, aku sudah bilang padamu untuk tidak menggunakan kekuasaanmu dalam segala hal.”

Alya melihat gadis di hadapannya menoleh, menatap dirinya dengan mata remeh dan senyum merendahkan tersungging di bibirnya.

“Dan aku sudah bilang padamu bahwa aku tidak peduli.” Dia mengejek, dengan suaranya yang monoton. Kekanakan.

Alya mengepalkan tangan. Dan karena itulah, gadis berambut hitam itu mendesis. Marah. Dia menarik kerah seragam kebanggaannya, jas mahal, dan beberapa lencana terpasang di sana. Mendorongnya ke dinding dan menahannya.

Arki mendengus karena tekanan itu, tapi Alya tidak peduli. Dia berkata, memanggil dan mengeluarkan suara yang dipenuhi dengan kemarahan yang bahkan membuat dirinya sendiri terkejut. “Dengarkan aku baik-baik, Arki.”

Dia mulai menarik nafas. Mencoba mengurangi emosinya, tapi itu justru menambah penekanan. Lalu matanya menatap tajam, ganas.

“Kamu berpikir bahwa karena uangmu, kamu merasa hebat, ya? Semua orang akan mengikutimu, kan?”

Alya tersenyum.

“Yah, coba tebak. Semua orang ada karena uangmu. Tapi setelah kamu kehilangan itu semua, kamu akan kehilangan segalanya.

“Lihat saja, tidak ada orang yang tahan dengan sikap kekanakanmu, egois dan bajingan! Dan pada akhirnya kamu hanya akan menjadi seseorang yang kesepian, tidak benar-benar dicintai.”

“Menyedihkan bukan?”

Alya menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. Dia terengah-engah, lalu kembali mengatur nafasnya sendiri. Tangannya melepas cekalan, dan menyuruhnya pergi.

“Dan?”

Lalu suara sombong itu terdengar lagi.

Alya menoleh dan melebarkan matanya hanya karena melihat tatapan mata yang berkaca-kaca, dipenuhi emosi tak terbaca. Ekspresi tergambar seperti dia habis diganggu oleh orang jahat.

Kenapa jadi seolah-olah, dirinya yang salah?

Selama Alya berdiri dan diam tak bergerak sedikitpun, diam-diam dia merasakan Arki berdiri tegak, membenarkan dasinya lalu berbalik melangkah pergi dan berkata, “Seberapa jauh kamu mengenalku?”

Dan kemudian dia benar-benar pergi.

Alya tergamam. Rasanya dia mendengar suaranya agak ... rusak.

Tapi itu bukan salahnya! Ini semua salah orang itu sendiri karena—

Apa? Ini salahnya karena dia sombong, kaya? Karena terlahir di keluarga kaya?

Ini salahnya karena dia terbiasa tumbuh dan bergantung sepenuhnya pada uang?

Karena menjadi orang yang tidak mengerti cinta tanpa uang?

Alya mengusap kasar wajahnya lalu mengerang. Arki memang orang yang arogan dan angkuh, dan menganggap bahwa semua masalah bisa diselesaikan dengan uang, itu adalah masalahnya.

Tapi mengatakan bahwa orang-orang sekitarnya ada untuknya hanya karena uang, di samping dirinya yang berusaha membangun kepercayaan pada orang-orang di sekitarnya, maka itu terkesan kasar, lancang, dan buruk.

Alya mengacak surainya lalu meninju udara dan berteriak frustrasi, merasa sial.

“Mengapa rasanya, aku yang jahat di sini?”

Setelah puas melemparkan kekacauan pikirannya, Alya berjalan dengan gontai menuruni tangga untuk kembali ke ruang kantor ketika kepalanya yang kusut mengingat ada beberapa tumpuk dokumen yang harus diurusnya.


“Alya, kami pulang duluan.” Suara Anstian menyadarkannya dari lamunan berkepanjangan dan gadis itu kemudian mengangguk lesu.

Anstian yang melihat itu hanya menghela nafasnya. Tahu seberapa keras Alya ingin menyembunyikan emosinya, tapi selalu gagal.

Sementara Iiro dan Nad sudah sibuk sendiri pada dunia mereka, Namie menegur mereka untuk segera masuk ke mobil dan pulang. Anstian yang terakhir pergi, menurut dengan patuh setelah dia meninggalkan beberapa pesan untuk Alya.

Ruangan itu kini sepi. Hanya ada Alya, dan komputernya yang menyala, juga beberapa tumpuk arsip keuangan yang harus disusunnya.

Alya menghela nafasnya. Matanya tak henti-hentinya mengerling ke arah meja kosong tepat di depannya, lalu telinganya tak henti-hentinya memutar kalimat Anstian.

“Alya, seseorang agak canggung, dia tidak tahu kehidupan di luar kehidupan yang dia jalani. Dibesarkan secara berbeda dan dia memandang sesuatu secara berbeda. Tapi meski begitu, dia mencoba yang terbaik untuk menyesuaikan diri juga.”

“Jadi, Alya, yang ingin aku katakan adalah, bersabarlah dengannya. Arki mungkin sombong dan merendahkan, tapi dia bukan orang jahat.”

Alya tersenyum sedikit.

Anstian benar-benar luar biasa, dia bisa tetap sabar dan bersimpati dengan orang-orang di sekitarnya, tidak peduli siapa mereka.

Gadis dengan ikat kuncir kuda itu menyandarkan tubuhnya ke kursi lalu menghela panjang. Menatap ke arah jam dinding, dan memikirkan sesuatu yang membuatnya beranjak dari kursinya tak lama kemudian.

Alya berjalan keluar gedung departemen, menghirup udara malam yang senggang dan dingin dengan segala pikiran kacau yang berkecamuk di kepalanya.

Setelah beberapa menit berjalan-jalan, dia melangkah ke arah mesin kopi.

Dia duduk di kursi kosong, sendirian, membuka tutup kaleng dengan mudah, lalu meminum isinya dengan sedikit tatapan kosong, sampai dia terbatuk karena tersedak.

“Akh! Sial! Minum saja tidak bisa!” Alya mengerang dan langsung melempar botol kaleng itu ke tempat sampah lalu berdiri, meregangkan sedikit tubuhnya dan berbalik untuk kembali ke gedung departemen.

Tepat saat dia berbalik, dia merasakan sesuatu menabraknya dan menghasilkan bunyi bruk keras dan Alya tersentak refleks menunduk untuk melihat apa yang jatuh di hadapannya.

Seorang anak kecil—

Tunggu, kenapa ada anak kecil di tengah malam begini? Bukan hantu, kan?

“Ma-maaf, aku tidak—” Ucapan Alya terhenti saat anak kecil di bawahnya menyodorkan selembar kertas dengan nominal yang tidak sedikit sambil mengatakan, “Pergi dan jangan cari aku.”

“Hah?”

Anak itu tersentak kecil dalam beberapa saat, bingung. “Oh, kau bukan pelayan Ayahku?”

Alis Alya berkedut. Pelayan katanya?

Alya mendapat suara monoton. Tatapan iris hijau yang sedikit gelap di bawah remang lampu, arogan, wajah datar tak berekspresi, dan—

Alya terkesiap. “ARKI?!”

Alya membungkuk meraih wajah anak bersurai hitam keunguan di depannya. Menepuk pipi mungilnya berkali-kali sambil terus memastikan bahwa yang di depannya ini nyata.

“Arki ... nggak, nggak, kamu pasti bukan—Arki? Kamu Arki?!” Alya tertawa dan terkejut secara berulang kali dalam pengulangan yang kontras. Berteriak sendiri sementara tangannya sibuk memutar kepala gadis kecil di depannya untuk mendapatkan setiap inci wajahnya di penglihatannya.

“Apa ... apa yang terjadi? Apa kamu baru saja tak sengaja menggunakan penemuan bodoh imajinasimu? A-atau kamu diculik dan dipaksa jadi kelinci percobaan serum penyusutan? Atau kamu anak Arki ... SAMA SIAPA ANJIR?”

“Berapa yang kau mau?”

Alya tersentak kemudian merubah raut wajahnya dengan cepat. Alis berkerut, kesal dan bingung.

Sementara anak di hadapannya praktis terdiam dengan ekspresi bingung. Tak lama kemudian dia buka mulut untuk bicara, “Untuk apa kau repot-repot berpura-pura bingung seperti itu, Tante? Berapa yang kau inginkan? Sebutkan saja, tapi biarkan aku pergi.”

Tunggu, apa? Anak ini mengiranya penculik?

“Arki! Jangan bercanda! Kamu tidak mengingatku?” Alya berlutut dan mencekal kedua bahu kecil anak itu lalu mengguncangnya pelan.

“Aku tidak tahu sudah sampai mana kau menggali informasi tentangku, untuk kepentingan itu.” Arki dengan tenang dan santai, mencekal pergelangan tangan yang menjegalnya. Meski itu tidak berasa apa-apa, tapi Alya mengetahui bahwa anak ini berusaha terlihat berani.

“Tapi kalau kau mau uang, cepat sebutkan dan tidak usah bicara apapun pada Ayahku.”

“Karena dia tidak akan peduli.”

“Apa katamu?”

Alya terkejut sendiri menyadari nada suaranya yang berubah drastis. Membuat anak di depannya otomatis terdiam, dan tangannya mencekal lebih erat padanya.

Sadar bahwa dirinya secara tidak sengaja menakutinya, Alya berdeham. “Pertama, biar aku jelaskan, aku bukan penculik. Hanya seorang pegawai kantoran divisi fin. FC yang tidak mengerti kenapa bisa dapat rekan kerja bajingan kaya dan tidak tahu diri.”

Dia menghela nafasnya, mencoba mengatur emosinya. Menatap penuh keyakinan agar anak di hadapannya percaya bahwa dirinya bukan orang jahat. “Kedua, namaku Alya. Cukup, panggil aku Alya saja, bukan penculik.”

Alya sengaja mengulang kalimat 'Bukan penculik' untuk meyakinkan, dan dia refleks tersenyum saat anak di depannya mengangguk paham.

Alya pun melanjutkan kalimatnya. “Ketiga, kenapa kau bisa di sini?”

Alya dapat melihat anak itu menatapnya lama, sebelum kemudian dia mengalihkan pandangan. Tangannya tak lagi mencekal dan beralih memilin bagian lengan baju Alya, bibirnya mengerucut.

Dan Alya mau tak mau percaya, bahwa yang di hadapannya ini benar-benar seorang anak kecil.

“Oke, kau kabur dari rumah?” tebak Alya, yang dibalas dengan keheningan dan Alya yakin tebakannya benar.

Alya menghela nafasnya untuk yang kesekian kalinya. Gadis itu memijat pangkal hidungnya, lalu berdiri tegak. Membuat anak dengan kisaran usia tujuh tahun itu mendongakkan kepalanya. Tinggi, Alya sedikit merasa bangga pada itu.

“Baiklah, aku akan mengantarmu pulang.” Alya meraih pergelangan tangan kecil Arki, dan menariknya. Tapi dia berhenti karena anak itu enggan beranjak.

Alya kembali berbalik. Menunduk untuk melihat tatapan skeptis dari mata hijau itu.

“Arki, ini sudah malam dan kau harus pulang. Keluargamu akan mencarimu—”

“Tidak.”

Alis Alya yang mengerut praktis berkedut dalam kekesalan saat matanya menangkap tatapan keras kepala dari anak bersurai hitam keunguan di hadapannya.

Mendengus, Alya mengusap kasar wajahnya. Terdiam sejenak, tanpa kata-kata, dia memutuskan untuk mengulurkan tangan, mengangkat anak itu dengan mudah, menggendongnya.

“TIDAK! AKU TIDAK MAU PULANG! LEPASKAN AKU! AKU AKAN MEMBAYARMU, TAPI JANGAN BAWA AKU PULANG, BRENGSEK!”

Ya ok, itu kasar. Alya akan terkejut kalau anak ini bukan Arki.

Arki terus berontak. Memukul kepalanya dan menjambak rambutnya sampai Alya tahu sendiri ikatan rambutnya jadi berantakan karena ulahnya. Terus menendang dirinya. Dan Alya tidak peduli, meskipun itu lumayan menyakitkan.

Alya akui, untuk ukuran anak kecil, itu sangat bertenaga.

“Aku ....”

Mendengar suara dengan nada bicara yang pelan membuat Alya berhenti, dan menunduk, untuk melihat wajah anak itu. Mata berkaca-kaca, dan bibirnya cemberut.

“Aku tidak pernah memiliknya ....” Arki mencekal erat kemeja krem di bagian pundaknya.

Membuat Alya gelagapan, karena anak ini mulai akan menangis.

“Aku tidak bisa ... mendapatkannya. Tidak bisa ... dibeli.” Dan benar-benar menangis.

Alya panik. “Hei, hei, jangan menangis. A-apa yang mau kau beli? Es krim? Atau cokelat? Aku akan ... aku akan belikan—”

“Ingin Ayahku.”

Alya membulatkan matanya. Semua kalimat yang berputar di kepalanya otomatis berhenti di ujung lidah. Itu adalah satu kalimat ambigu dengan artian luas, tapi Alya tahu ke arah mana kalimat itu berjalan.

Menggigit bibirnya, Alya mengedarkan pandangan. Berusaha mencari tumpuan lain asal jangan manik komplemen dari magenta yang menyorotnya dengan maksud tertentu itu.

“A-aku akan ... bicara pada Ayahmu ... untuk itu.” Dia berdecak dalam diam atas ketidakyakinan dalam suaranya.

Arki menggelengkan kepalanya. Dia menenggelamkan wajahnya di bahu Alya dengan bahunya sendiri bergetar, yang membuat Alya otomatis terdiam, bingung.

Alya tidak punya pengalaman dengan anak kecil, apalagi menenangkan mereka yang sedang menangis, dalam masalah seperti ini. Jadi dia hanya bisa mengusap dan menepuk kepalanya, sambil sesekali bergumam 'Jangan menangis' dan tidak ada lagi yang bisa dia lakukan.

Alya semakin bingung. Dalam kepanikannya sendiri, dia memutuskan untuk membawa anak ini ke rumahnya saja.


Arki mengeratkan pegangannya pada Alya ketika gadis yang lebih tua menurunkannya dari gendongan. Menyuruhnya secara tidak langsung untuk duduk di atas apapun yang bentuknya seperti kasur, tapi lebih kecil dari yang sering dilihatnya.

Dan tindakannya entah kenapa, sekali lagi, menarik helaan kasar dari mulutnya. “Apa kau merasa aneh pada kasurku atau jijik atau apapun? Tapi ku mohon, duduk! Punggungku pegal!”

Mata sedikit sembab itu mengarah padanya, menunjukkan sebuah ekspresi bingung dan waspada yang kontras di wajahnya yang memerah karena emosi di beberapa menit sebelumnya. “Ini di mana?”

Alya menghela nafasnya, lagi. “Kenapa baru sekarang kau bertanya, huh? Aduh, cepat turun dulu, kau berat tahu!”

Arki berdengung pelan dan mulai tak menolak ketika Alya menurunkan tubuhnya ke atas lantai.

Sementara Alya meregangkan otot-otot di tubuhnya sambil mengerang, Arki mengedarkan pandangan. Kepalanya berputar untuk mengamati setiap inci ruangan kecil yang meski kecil, tetap terasa lebih hangat.

“Oh, kita harus mandi. Ini memang sudah malam, tapi, tidak baik tidur tanpa membersihkan diri setelah kita berada di luar.” Alya terkejut pada dirinya sendiri yang mendadak jadi tukang ceramah, padahal dirinya selalu mengabaikan mandi jika pulang larut malam dari kantornya.

Dan Alya terkejut ketika Arki menurut tanpa adanya bantahan yang keluar. Ini berjalan lebih mudah dari yang dia perkirakan.

“Oke, aku mungkin masih menyimpan beberapa pakaian SMP ku, mungkin akan sedikit—”

Alya menelan kalimatnya sendiri setelah dirinya tak sengaja membayangkan Arki, si bajingan kaya kejam yang tidak tahu diri, tenggelam dalam pakaiannya. Praktis membuat dirinya harus mengulum senyum agar tidak tertawa. Akan memalukan jika tiba-tiba tertawa.

Dan dengan itu Alya mengusir Arki dengan kedok “Pergi mandi!” Sementara Arki menurut, dan setelahnya dirinya tertawa dengan suara teredam bantal di kamarnya.

“TANTE! SHOWER-NYA KETINGGIAN!”

Lalu Alya melupakan harga dirinya dan tertawa terbahak-bahak.

***

“Bagus, itu pas denganmu!” Alya mendesah bangga melihat Arki dalam sweater abu-abu, dan celana training hitam bergaris merah SD nya.

Semuanya sedikit kebesaran, dan dia bisa menebak kalau dulu Arki ternyata lebih pendek darinya.

Tapi sekarang Alya harus menahan diri untuk tidak mencubit, memeluk, atau melakukan apapun untuk menyalurkan kegemasannya. Dia tidak bisa seperti ini.

Arki sendiri baru selesai mandi dan duduk di pinggir ranjangnya, sementara Alya, yang duduk di belakangnya mengusak rambut basahnya dengan handuk secara manual karena dia tidak punya pengering rambut dengan alasan hemat uang, dan untungnya, Arki tidak mengeluh karena itu.

“Apa kau ... manja seperti ini jika di rumah? Yah, itu tidak apa-apa, itu bagus. Tapi kenapa di tempat kerja kau seperti manusia brengsek?” Kalimat terakhir keluar dengan suara pelan tentu saja.

“Tidak bisa,” ujar Arki tiba-tiba.

“Hm? Tidak bisa?” Alya memiringkan kepalanya, sedikit menunduk untuk bisa melihat anak yang duduk membelakanginya ini.

“Aku tidak bisa bersikap seperti itu di rumah. Tidak boleh. Itu tidak pantas.”

Alya membuka dan mengatup mulutnya serapat mungkin. Bingung untuk memilih reaksi apa yang harus keluar, dan semua kata-katanya tertahan di kerongkongan.

Selama beberapa saat tidak ada sedikitpun suara di antara mereka, Alya berniat membuka percakapan. Tapi suara perut keroncongan yang jelas di tengah keheningan tertangkap indera pendengarnya. Dan Alya dapat melihat telinga anak di depannya memerah, otomatis membuat Alya mau tak mau harus menahan tawanya karena kasihan.

“Yah, aku tidak punya susu, tapi umm ... kau mau cokelat panas? Mungkin tidak sesuai seleramu karena aku membelinya di supermarket atau aku akan keluar untuk membeli yang lebih—”

“Berikan.”

Alya tersentak. Nada bicara arogan yang akhir-akhir ini membuatnya kesal otomatis membuat dirinya mengepalkan tangan. Tapi dia tidak bisa membiarkan dirinya dikuasai kemarahan karena yang di hadapannya ini seorang Arki, seseorang yang—

Ah, benar.

—Tumbuh dan dibesarkan dengan cara berbeda.

Dengan enggan, Alya beranjak dari tempatnya dan segera menuju ke dapur yang letaknya sekitar sepuluh langkah dari ruang kamarnya.

Tapi Alya tidak melangkah sendiri. Dia merasakan tarikan di ujung bajunya, sementara telinganya mendengar ketukan lembut dari langkah lain di belakangnya.

Alya berdecak. Berbalik untuk bertanya, “Bisakah kau duduk saja?”

Anak itu tidak menjawab, tidak membuka mulut, bahkan tidak bergeming. Matanya menatap lurus, wajah datarnya mengarah padanya dengan penuh kekeraskepalaan. Intinya tidak ingin ditinggal.

Alya mengusap rambutnya dalam kefrustrasian dan mendengus sembari bergumam, “Terserah.” Dan kembali melanjutkan tujuannya untuk membuat minuman hangat, dan mungkin makan malam.

Ah ya, sudah tengah malam, tidak baik jika makan di tengah malam. Tapi siapa yang tahu kalau anak ini ternyata belum makan apapun seharian ini?

Alya melirik ke arah Arki. Gadis kecil itu terlihat mengedarkan pandangan, nampak seperti seorang seniman yang sedang menilai tingkat keartistikan barang-barang di dapurnya, namun tangannya masih tak lepas dari memegang ujung bajunya.

Alya menghela nafasnya. Dia menyerahkan segelas cokelat panas begitu saja. “Ambil ini, dan duduk di sana,” tunjuknya, pada ruang tv yang bisa terlihat jelas dari tempat mereka berdiri.

Arki mengambil gelas di tangannya tanpa banyak bicara tapi tidak segera beranjak. Sebaliknya, dia malah berdiam diri, sembari memperhatikan air cokelat lamat-lamat.

“Apa yang salah?” tanya Alya.

“Punyaku biasanya lebih hitam dari ini.” Arki memiringkan kepalanya.

“Aku biasanya mendapatkan krim kocok di atasnya.” Arki mengangkat gelasnya, mencoba melihat sesuatu di bagian dasar minumannya. “Kenapa tidak ada marshmallow-nya?”

“Yah, bagus, apa kau kritikus makanan sekarang?” Alya mendesah lelah. Melihat bagaimana Arki menatap padanya, mengerjapkan matanya, Alya kehilangan semangat untuk marah-marah. “Coba saja, itu pasti enak!”

Arki mengangguk pelan, menurut. Mulai menyesap cokelatnya kemudian terdiam selama beberapa saat yang entah kenapa berhasil menarik ketegangan dalam diri Alya.

Tapi tak berapa lama kemudian Arki kembali menyesap minumannya tanpa komentar apapun. Alya bersorak tanpa sadar, bangga dan puas melihat binaran yang berkerlip di manik mata anak kecil itu.

“Bagus, kan? Enak, kan? Aku adalah koki rumahan, tentu saja! Sekarang pergi dan duduk saja di sana sampai aku kembali.” Alya mendorong pelan punggung kecil itu, menuntunnya untuk pergi dari dapur.

Setelah itu, Alya mulai berpikir untuk memilih apa yang akan dia masak. Dia meraih lemari es, dan mengamati setiap bahan makanan yang berada di dalam sana. Mencari sesuatu yang tidak merepotkannya, tapi juga bisa mengenyangkan mereka berdua.


Alya duduk dan meletakkan sepiring makanan di hadapan Arki yang sedari tadi matanya mengedar entah kemana, menolak untuk melihat televisi.

Arki mengerutkan dahinya. “Apa ini?”

“Omurice,” jawab Alya.

“Sebuah telur dadar? Untuk makan malam? Dan kenapa ada saus tomat di atasnya?” Dia tidak bisa menahan nada ketidaksukaan yang menyelimuti suaranya.

“Ini Omurice, Arki. Coba saja, ini pasti enak,” saran Alya, yang pada titik ini mulai terbiasa dengan standar kritis yang cenderung dilihat oleh rekan kerjanya—atau calon karena yang di hadapannya versi kanak-kanaknya.

Arki memberinya pandangan ragu, dan dia hanya bisa mengangguk sebagai jawaban. Gadis kecil itu mengambil sendok yang disediakan untuknya, membuka telur yang dimasak dengan sendoknya dan dengan ekspresi terkejut, melihat nasi di dalamnya.

Ini menjelaskan besarnya omelet karena meskipun kebanyakan omelet hanya memiliki sayuran atau daging dan keju di dalamnya. Dia menatap Alya dengan alis terangkat. Alya tersenyum penuh harap harap cemas.

Arki tidak mengerti tapi dia memutar matanya dan mengambil sesendok ke dalam mulutnya.

Dia berhenti. Alya menahan nafasnya.

“Enak.” Monoton, tapi Alya dapat melihat binaran bintang di mata hijaunya. Secara harfiah, membuat Alya bersorak penuh kemenangan, menganggap bahwa dia menyukai makanannya, lalu menyiapkan makanannya sendiri.

Mereka makan dalam diam. Tapi Alya secara terbuka tidak bisa tidak menatap ke arah Arki yang duduk di seberangnya sesekali.

Menyaksikan Arki makan dan menikmati makanan yang dimasaknya, percakapan yang jarang tapi nyaman, di apartemennya di malam hari adalah sesuatu yang sangat aneh. Rasanya ... lucu, dan tidak mungkin akan terjadi tapi inilah faktanya.

Kata-kata yang pernah Tian ucapkan di sekelilingnya, secara bertahap muncul di benaknya.

“Dia hanya tidak tahu cara 'orang biasa' melakukan suatu hal. Tapi dia selalu sebisa mungkin melakukan yang terbaik, yah, dengan versinya.”

Alya menepuk puncak kepalanya. Secara spesifik, mengejutkan anak di depannya, dan dia terdiam dalam kebingungan karena perasaan itu.

Menyadari pergerakan tersentak darinya, Alya sesegera mungkin tersadar. Dia menarik tangannya, dengan canggung tertawa. “A-ah, maaf. Apa itu mengganggumu?”

Arki tak segera menjawab dan malah menatap Alya dalam keheningan. Dia menunduk, menautkan jari jemarinya di atas meja dengan malu, dan mencicit pelan, “Aku belum pernah ... itu tidak apa-apa.”

“Eh?” Alya bergumam bingung. Melihat bagaimana Arki terlihat berusaha memberitahukan sesuatu tentang keinginannya, tapi malu untuk mengatakannya dan itu terlihat mengemaskan. Yah, khas anak-anak.

“Baiklah, ini sudah malam. Dan kau harus segera tidur.” Alya berdiri setelah tangannya menggapai tumpukan piring untuk dibawa ke wastafel. Tapi sebelum dia beranjak, dia menepuk singkat kepala Arki dan mengacak surainya.

Setelah membereskan meja, Alya menuntun Arki untuk pergi tidur ke kamarnya.

Tapi Arki diam di sana. Memandang tempat tidurnya, kemudian dirinya, dengan tatapan yang sulit dijelaskan.

Apa dia tidak suka tempat sempit itu?

Alya mendengus, sedikit tersinggung. “K-kau tidur di sini. Aku akan tidur di tempat lain, tenang saja—” Lalu Alya menunduk untuk melihat tangan kecil itu menarik ujung bajunya.

“Tidak mau.”

“Ya?” Alya mengerjapkan matanya. Menebak dengan apa yang akan Arki katakan selanjutnya dan bersiap-siap untuk menahan diri agar tidak marah pada komentar pedas penuh penghinaan yang akan keluar dari bibirnya.

“Tidak mau sendiri.”

“Oh, baikla—Eh? Apa?” Alya mengerjap lagi, kali ini bingung dan terkejut. Dengan tidak percaya dia melihat ke arah Arki, mencari ekspresi yang menyiratkan kekeliruan atas kata-katanya di wajahnya, tapi itu tidak ada.

“Tidak bisa tidur ... harus ada yang menemani.” Arki mengerutkan dahinya, bibirnya mengerucut dan matanya sesekali melirik ke kanan atau ke kiri tapi enggan melihat ke hadapannya.

Sekali lagi, itu lucu.

Dan bagaimana itu membuat keduanya akhirnya tidur, dengan posisi yang canggung. Saling berhadapan, tapi tidak ada suara atau sedikitpun pergerakan di sana.

Alya yang tidak percaya harus berbagi tempat tidur dengan seseorang yang baru-baru ini bertengkar dengannya hanya bisa diam. Dia tidak membenci Arki atau apapun, tidak membencinya sama sekali, hanya saja ini terasa aneh.

“Aku ingin.”

“Ya?” Alya merutuki setiap kinerja tubuhnya yang jadi canggung, dan bertindak seperti orang idiot di hadapan anak kecil. Sialnya, kenapa dia jadi seperti ini?

“Suatu saat, aku ingin punya teman.”

Mendengar kalimat itu entah kenapa membuat alis Alya berkerut dalam kebingungan. “Apa kau tidak punya teman?” Pertanyaan yang keluar dengan cepat itu membuat Alya refleks menggigit lidahnya sendiri ketika sadar bahwa pertanyaan itu terlalu lancang untuk diajukan. Kenapa dia jadi bodoh, sih?

“Tidak, aku punya, banyak.”

“Oh, baguslah.”

“Dan mereka semua selalu merasa senang saat aku mentraktir mereka setiap hari, itu tidak apa-apa, mereka tidak akan pergi tanpa aku.”

Alya tergamam. Pikirannya berputar dalam emosinya yang stabil, bungkam tanpa kata-kata.

“Apa kau punya teman?” Arki bertanya.

Dan Alya tersentak. “Oh, ada. Tidak banyak, tapi mereka semua orang-orang baik. Dan ada satu yang menyebalkan ....”

“Menyebalkan? Kenapa? Apa dia mengganggumu?” Arki mendongak untuk menatap wajahnya.

Alya refleks menggeleng. “Tidak, tidak, dia anak yang pendiam. Hanya saja, tingkahnya sedikit mengganggu, menurutku.” Suara Alya memelan seiring akhir kalimat.

“Tapi dia orang yang sangat baik. Kau tahu, dia selalu tanpa sadar 'membantu' orang-orang di sekitarnya, dan itu praktis membuatku merasa kesal karena dia selalu menghamburkan uangnya. Tapi menyenangkan meski hanya bertengkar bersamanya.”

Arki tersenyum tipis. “Kalian sangat akrab.”

“Ah, eh? Ya-ya, kau benar, haha.” Alya tertawa garing, entah kenapa, tapi dia merasa harus melakukannya.

“Suatu saat, aku juga ingin punya teman seperti itu, seperti Tante.”

Alya mengedarkan pandangan dan terus bungkam, sampai kemudian dia berkata, “Kenapa?”

Arki tersenyum di balik kepalanya yang menunduk. “Sepertinya menyenangkan, dimarahi karena kau nakal pada keuanganmu. Aku ingin merasakan itu.”

Mendengar kejujuran yang sederhana dan terdengar polos itu membuat Alya terdiam. Membiarkan keheningan melanda keduanya sesaat setelahnya.

Tapi kemudian gadis itu menarik nafas dan mengatakan dengan suara pelan, “Kita bisa berteman, kalau kau mau.”

Untuk sekali lagi, Arki mendongak untuk menatap wajahnya. Membuat Alya gelagapan sendiri, dan tertawa gugup.

“Apa boleh?”

“Ya, tentu saja! Tapi berhenti memanggilku Tante, aku tidak setua itu, tahu!”

Arki tertawa pelan, untuk pertama kalinya, membuat Alya tanpa sadar terpaku pada itu, terpesona.

Dan kemudian, keheningan kembali menyerang keduanya.

“Boleh aku memelukmu?” Suara Arki memecah kesunyian.

“Eh, ah, ya, silahkan.”

Arki dengan ragu, mengangkat tangannya. Memeluk Alya seperti yang dimintanya. Dan itu praktis membuat Alya bertanya-tanya.

“Apa kau ... biasa memeluk seseorang untuk tidur?” Pertanyaan konyol yang otomatis membuat Alya merutuki dirinya sendiri.

“Tidak. Aku punya Daada.”

“Daada?” Alya melirik dalam keingintahuan.

“Boneka beruang, dia lucu kau tahu. Salah satu pelayanku memanggilnya Teddy, tapi aku tidak suka dan memberitahunya bahwa namanya Daada bukan Teddy. Jadi dia diterima dengan nama itu.”

Alya tertawa renyah. “Ya, itu bagus.” Sementara dalam hati dia meneriakkan, Gemes, anjing!

Dia mati-matian untuk tidak mendekap erat atau mengacak rambut anak di dekatnya, karena itu akan memalukan jika dilakukan.

Kemudian, tak ada suara apapun lagi selain serangga malam yang terdengar dari pepohonan di belakang ruangan apartemennya.

Dan Alya, baru kali ini merasa mati dibunuh oleh kesunyian. Ironis, padahal dia menyukai kedamaian itu seharusnya.

“Ayahku menyuruhku membuang semua mainanku dari kamar, tapi untuk Daada aku menolak.”

Alya kembali melirik hanya untuk melihat puncak kepala Arki. Secara tak langsung, menunggu anak itu melanjutkan kalimatnya.

“Ayah pernah bilang 'Itu hanya mainan. Kita bisa beli semua yang seperti itu' tapi itu dari Ibu. Tidak akan ada di toko manapun. Lalu Ayah menyerah dan membiarkannya. Itu bagus.” Arki tersenyum, kosong. Alya bisa merasakan tidak ada emosi di sana.

Kemudian kembali hening, namun kali ini lebih terseret dalam kecanggungan.

Alya menghela pelan untuk mengusir atmosfer yang tidak nyaman. Bingung untuk menanggapi bagaimana, dan dia merasakan hembusan nafas teratur di lehernya. Anak ini pasti sudah tidur dan Alya bisa bernafas dengan lega setelah menyadari itu.

“Yah, aku memang jahat,” gumam Alya.

Gadis itu tersenyum miris. “Benar, aku belum mengenalmu, sama sekali tidak mengenalmu.”

“Aku jahat, aku salah. Jadi aku—” Alya menelan kalimat terakhir dengan nafas tercekat. Dia mengusap wajahnya kasar dan memilih untuk mengusap puncak rambut anak itu.

Namun kemudian, Alya tersentak ketika merasakan pergerakan di sampingnya dan refleks membeku dalam posisinya sendiri.

“Bisakah ... itu diteruskan saja?”

“Oh? Apanya?” Alya gelagapan. Menarik kesimpulan dengan pikiran berkecamuk bahwa anak itu belum tidur, atau terbangun? Apakah Arki mendengar kalimatnya barusan? Alya jadi panik sendiri tanpa alasan.

Arki mendongak, dia menarik telapak tangan yang lebih besar darinya yang menjauh, lalu meletakkannya ke atas kepalanya sendiri. “Itu nyaman. Seperti yang dilakukan Ibuku dulu. Rasanya sama. Teruskan itu.”

“Hm, baiklah.” Alya bergumam. Kemudian dengan ragu dia kembali mengusap surai rambutnya dengan lembut dan perlahan-lahan. Membuat Arki tanpa sadar mengeratkan pelukannya dan Alya balas mengusap punggungnya.

Dia lalu menarik nafas. “Kau tidak harus selalu menjadi seperti yang diinginkan orang, termasuk Ayahmu, kau tahu.” Alya bersuara, yang dibalas langsung dengan keheningan. Tapi gadis itu mengangkat bahu dan melanjutkan kalimatnya. “Jadilah dirimu sendiri, apapun itu. Jalani hidupmu dengan pilihanmu sendiri, karena itu milikmu.”

Alya menelan ludah dalam kegugupan setelah tak ada sedikitpun suara yang menyahutnya. Dia menunduk dan mengintip, dan melihat Arki dalam wajah damai, benar-benar sudah tertidur.

Alya mau tak mau tersenyum. Dia menggeser tubuhnya sendiri dan memeluk anak kecil di dekapannya semakin erat.

“Ya, tidak apa-apa. Selamat malam, Arki.”

Kemudian hening, dan matanya tertutup. Lalu secara perlahan, dia membiarkan kesadarannya diseret dengan lembut, ke dalam gelombang lautan yang nyaman, dan dia tertidur sepenuhnya.

. . .

Burung berkicau dan matahari bersinar. Itu bukan kejutan, tidak banyak yang berubah. Alya membuka matanya dengan grogi, hampir seketika menggosoknya. Dia merentangkan tangannya, melengkung ke belakang. Pagi hari selalu menjadi rutinitas yang dia lakukan sendiri dan yang terpenting, dilakukan di rumahnya sendiri.

Matanya berkibar terbuka sedikit ke langit yang bercahaya melawan sinar matahari yang cerah, matanya menyipit melawan cahaya. Setelah dia menyesuaikan diri, matanya terpaku karena kelelahan, sampai kemudian tangannya menggapai-gapai, dan dahinya mengernyit ketika dia tidak mendapatkan apa yang dicarinya.

Alya dalam kelinglungan terdiam sejenak, dia kemudian bangkit dan duduk, sembari menggaruk rambutnya yang berantakan. Matanya melirik ke arah jam digital yang tergeletak di atas meja di samping tempat tidurnya, itu menunjukkan angka 05:02.

Gadis itu mendesah panjang dan mengusap wajahnya. “Mimpi, sialan.”

Apa rasa bersalahnya segitu besarnya sampai merasukinya ke alam mimpi?

Daripada mengingat bagaimana dirinya bisa sampai ke apartemennya, bagaimana perjalanannya, Alya lebih memilih untuk beranjak dan segera pergi ke kamar mandi. Bersiap-siap untuk segera pergi ke kantornya.


Secara tanpa alasan, dan keajaiban mungkin, Alya sampai di kantor lebih awal dari biasanya, dan dari yang lainnya. Tentu saja itu aneh, tapi ini semua demi menuntaskan masalahnya yang mengganggunya bahkan sampai ke alam mimpinya.

Alya sudah menunggu di depan kantor selama lima, tidak, sepuluh menit. Kenapa bajingan itu butuh waktu lama untuk sampai ke sini?

Ini sangat pagi sehingga belum ada seorangpun di sini. Dan Alya memutuskan untuk mengambil kesempatan yang diberikan kepadanya oleh Tian untuk meminta maaf kepada bajingan itu.

Maksudnya, Alya tidak ingin merasa buruk selamanya, terutama karena alasannya adalah gadis itu.

Menghela panjang, Alya menyandarkan tubuhnya pada dinding di belakangnya. Tangan terlipat di depan dada, dan kepala menunduk untuk melihat kakinya sendiri mengetuk-ngetuk lantai.

Sampai ketika dia mendengar suara ketukan, mendekat, lembut dan tegas. Alya pun mengangkat kepala dan menoleh ke asal suara. Mendapati seorang gadis, dengan rambut hitam keunguan yang lurus tergerai di belakangnya dengan anggun.

Itu Arki.

Arki tiba-tiba berhenti begitu dia melihat Alya. Dia kemudian tanpa basa-basi memalingkan wajahnya, menjelaskan bahwa dia tidak ingin melihat dirinya.

“Hei, Arki.” Alya memulai percakapan.

Dan dia tidak menanggapi dan terus melihat ke arah lain. Sepertinya dia menunggu Alya untuk pindah dari pintu.

Yah, tapi Alya tidak akan kemana-mana sampai dia menyelesaikan masalah ini.

“Dengar, Arki ....”

Arki tidak menatap Alya, membuat Alya tidak yakin apakah dia mendengarkannya?Apakah dia akan terus melihat ke arah lain sampai dirinya selesai?

Nah, jika dia tidak melihat ke arahnya seperti itu, Alya akan menjatuhkan bom seperti ini.

“Arki, soal kemarin, maafkan aku.”

Tidak ada tanggapan, tentu saja. Permintaan maaf sederhana tidak akan cukup setelah mengejek seluruh hidup dan hubungannya dengan menghina.

“Aku sungguh-sungguh, maafkan aku.”

Alya menundukkan kepalanya, dan Arki masih tidak mau menatapnya.

“Arki, aku serius tentang ini—” Alya menelan ludahnya susah payah, tersedak, dan melanjutkan, “Aku akan melakukan apapun yang kau mau, jadi tolong maafkan aku.”

Bagus, Alya akhirnya mengatakannya.

Dan begitu saja, sedikit demi sedikit, Arki menoleh ke arah Alya. Dan akhirnya, mata mereka bertemu dan terkunci. Dan Arki perlahan membalikkan bibirnya ke atas, menciptakan senyum puas di wajahnya. Menyebalkan, dan kekanakan.

Tapi sejujurnya, Alya lebih suka dia tersenyum seperti itu daripada mengabaikannya seperti dirinya adalah setitik debu, mengganggunya.

“Betulkah?” Suara hangat, lembut, dan rendah itu keluar dari mulutnya perlahan.

Hah? Kenapa aku mendeskripsikannya seolah aku sudah lama berpisah dengannya?

“Tentu saja, aku berjanji padamu.” Alya berbicara lagi, keyakinan dan kepastian terdapat dalam suaranya.

“Aku mengerti ... baiklah, kalau begitu, aku memaafkanmu.”

“Betulkah?”

“Ya, dengan satu syarat.”

“Ya, tentu, ada apa?!” Alya tidak bisa menahan kegembiraannya lagi dan berbicara dengan cepat dan tanpa sadar nadanya meninggi.

“Kamu harus ....” Dia memulai. Senyumnya semakin lebar dan antisipasi Alya mencapai puncaknya. Alya tak bisa menghentikan jantungnya yang berdegup kencang, melawan rasa ingin tahunya dan ketegangan yang entah kenapa bisa tercipta.

”.... membuatkanku cokelat panas.”

“Ya, baik—Tunggu, apa?!” Alya menyembur karena terkejut. Gadis itu mengerjapkan matanya berkali-kali, mencoba mencari kekeliruan di wajah arogan di hadapannya, tapi sekali lagi itu tidak.

Apa? Sekali lagi?

Arki di hadapannya, tersenyum miring melihat kebingung yang jelas di wajah Alya. Lalu dia melanjutkan perkataannya, “Dan izinkan aku mengunjungi tempat tinggalmu.”

Alya terkejut, dan gelagapan sendiri karena suatu alasan. “Kenapa kau harus?”

“Karena aku ingin.” Arki tersenyum miring dan sombong. Tapi entah kenapa, Alya melihat itu sebagai lucu.

Alya mendesah panjang sambil memijat pangkal hidungnya. Mau tidak mau, karena dia sudah berjanji sebelumnya, jadi dia harus menerima tamu lagi di apartemennya.

“Ya, ya, Nona Arki, aku akan membuatkanmu makan malam omurice, dan cokelat panas, tanpa krim dan marshmallow.”

Arki mengerutkan keningnya. “Kenapa tidak ada krim dan marshmallow?”

Dan Alya harus mengulum senyum, menahan tawanya, pada perasaan deja vu yang mendadak muncul, karena suatu alasan tanpa sebab yang jelas.

“Ada apa dengan itu?” Arki semakin bingung ketika melihat Alya akhirnya tertawa. Sadar bahwa, Arki, orang ini bisa lucu di tempat yang paling tidak terduga.

“Kamu, kan, suka itu.” Alya tersenyum dan hanya bisa terkekeh daripada tertawa, mengingat Arki anak-anak itu menghabiskan cokelat instan buatannya, dan diam-diam merengut kecewa ketika minuman itu habis karena dirinya sendiri.

“Ah, ngomong-ngomong, jadi sepertinya kau sama sekali tidak terganggu dengan apa yang aku katakan kemarin ya?” Menahan tawanya, Alya menyeka air matanya.

“Siapa tahu.” Arki tanpa dia sendiri sadari tersenyum lagi, tapi kali ini lebih sedih.

Dan saat ini Alya tahu,

Alya kacau lagi.

#Pu

Arki mendengar seseorang memanggil namanya, tetapi kedengarannya jauh, seperti gema dari sisi lain lembah di pegunungan.

Dia mengenali suara ini, tetapi dia sepertinya tidak bisa menjawab, suaranya sendiri tercekat di tenggorokannya, dan suara yang memanggilnya itu semakin keras dan mendesak.

Saat dia akan menjawabnya, tiba-tiba dia mulai merasakan migrain dan matanya mulai terbuka perlahan.

Penglihatannya kabur, tapi dia sekarang bisa mendengar suara yang memanggil namanya dengan sangat jelas, dan segera setelah penglihatannya bersih, dia melihat mata biru safir menatapnya dari dekat.

Alya di hadapannya menghela nafasnya, entah karena apa. Lalu matanya menyorot tajam secara tiba-tiba dalam sepersekian detik menggantikan kilatan kekhawatiran di sana.

Arki menelan empedu di mulutnya, dan membuka mulutnya, suaranya keluar dengan bisikan serak. “Alya? Apa yang terjadi?''

Alya menghela kasar, kemudian menatap lurus ke arahnya. ''Apa yang terjadi? Kita tertangkap, itulah yang terjadi. Sudah ku bilang kita tidak boleh berpisah, orang-orang ini tidak seperti yang lain, ku bilang jangan berpisah—'' Alya membuang muka, kekesalan tertahan di wajahnya.

Arki menatapnya dengan tatapan keras kepala, dan kemudian melihat ke bawah, dan tiba-tiba matanya melebar. Dia mengangkat tangan kirinya ke udara dan berkata, ''Apa ini?''

Alya yang tadinya memalingkan muka dengan frustrasi, sekarang melihat ke arahnya, dengan tangan kanannya juga terangkat ke udara.

Dia mengernyitkan dahinya. ''Apa kamu bertanya? Ini borgol? Hal-hal yang tidak pernah kamu bawa, meskipun kamu seorang polisi—''

Alya menghentikan ucapannya sendiri ketika Arki menatapnya dalam diam dengan ekspresi kosong.

“Itu mereka. Mereka mengambilnya dari saku belakangku setelah mereka menjatuhkanku, dan ketika aku membuka mata, aku melihatmu berbaring di lantai di sebelahku, dan tangan kita diborgol. Mereka mengambil kunci dan segalanya.”

Arki menghela nafasnya dan bergumam pelan. Dia menyentuh earpiece di telinganya, dan menyadari bahwa itu tidak ada di sana. Dia menoleh ke arah Alya, dan Alya berkata, “Tentu saja, mereka mengambilnya saat kita tak sadarkan diri.”

Arki mendengus. Mencoba memikirkan cara untuk membuat mereka terbebas dari sana.

Alya melihat ke bawah ke tangan mereka yang diborgol bersama, lalu mengangkat tangan kanannya sehingga tangan kiri Arki juga terangkat, lalu dia meletakkannya, dan tangan Arki diturunkan lagi. Dia mengangkatnya lagi, lalu meletakkannya lagi.

Saat dia akan melakukannya untuk ketiga kalinya, dia mendongak, dan melihat Arki menatapnya dengan tatapan dingin yang stabil. Alya menurunkan tangannya dengan tenang dan membuang muka.

''Apa kau melihat salah satu dari mereka datang dan pergi dari sini? Kita pasti berada di suatu tempat yang tentu bukan di lantai dasar tempat ini,” kata Arki, bergeser untuk berdiri, tetapi dia terhuyung-huyung, dan membiarkan tubuhnya bersandar pada dinding beton di sampingnya, merasa bingung.

Alya menarik tangan kanannya, memaksa Arki untuk kembali duduk. “Hei, kamu tidak sadarkan diri dan hanya Tuhan yang tahu berapa lama, juga kita tidak tahu apa yang mereka masukkan untuk menjatuhkan kita, jadi tetap tenang dan duduk di sini!”

Arki mencemooh tetapi ekspresi khawatir di wajahnya telah benar-benar menguap. ''Benarkah? Hanya kamu yang bisa mengatakan sesuatu yang sangat tenang dalam situasi seperti ini, Nona Inspektur yang terlalu percaya diri.”

Alya tak menjawab, tak mendengarkan juga, dia berdiri dan berjalan, secara otomatis menyeret Arki dengan tangannya yang diborgol mendekati pintu. Dan seperti yang diharapkan, pintu itu terkunci.

Alya bergeming, tiba-tiba berbalik, dan tersenyum lebar. Arki menatapnya, tidak mengerti alasan di balik tatapan itu.

“Aku tahu kau membawa gadget seperti laba-laba yang selalu kau gunakan untuk membuka semua jenis kunci, kan?'' Alya berkata, dan kemudian menyipitkan mata merendahkan, ''... Atau kamu bisa menendang pintunya.”

Arki menghela nafas, dan lalu menendang pintu dengan suara keras. Debu naik ke udara sampai ke lorong, lalu dia menoleh kembali kepada Alya.

''Kita harus cepat, jika mereka ada di sini, mereka pasti mendengar suara itu,'' ucap Arki, dan Alya di sana, dengan mata terpaku tidak percaya mengangguk dan mereka mulai berjalan menyusuri lorong gelap yang panjang.


''Apakah ini jalan yang benar?'' Alya bergumam, saat Arki membawanya ke lorong, memeriksa untuk melihat apakah ada pintu lain yang terbuka dan menemukan semuanya terkunci.

Arki menjawab dari depan. ''Jika kau berpikir bisa membawa kita ke arah yang benar, silahkan.''

Alya mengerutkan kening, tapi berhenti mengeluh. Lalu secara tiba-tiba Arki berhenti di tengah jalan, dan Alya menabraknya, lalu berkata, ''Ada apa? Apakah kamu menemukan tikus mati atau sesuatu?''

Arki tidak menjawab pertanyaan yang terdengar bodoh itu, dan malah mengklik tombol di arlojinya dan lampu obor menyala darinya. Arki kemudian mengarahkannya ke dinding di sebelah mereka.

Alya berbalik untuk melihat dan ada peta bangunan, hampir pudar oleh karat dan waktu, tetapi mereka bisa melihat di mana lift itu berada, dan lab terbesar, yang terletak di lantai paling atas.

''Jadi itu sebabnya tidak ada dari mereka di sini.'' Alya bergumam, dan Arki mulai berjalan ke tempat lift itu berada.

Alya berkata dari belakangnya dengan nada ragu. ''Ki, aku rasa lebih baik kita naik tangga saja. Bagaimana jika mereka—''

''Itu di lantai 30, dan kita di lantai 5 sekarang,'' balas Arki.

''Ya, tapi tetap saja, mereka bisa mengawasi—''

Alya mulai lagi, dan Arki berhenti berjalan dan berbalik, menatap Alya dengan tatapan mantap, dan mengatakan, ''Bukankah kita harus menangkap mereka sebelum mereka melarikan diri? Kita tidak tahu kapan mereka akan menyelesaikan eksperimen mereka dan melarikan diri dengan mesin portabel teknologi ilmiah bodoh itu.''

Sebelum Alya bisa menjawab, Arki berbalik dan menariknya, berjalan lebih cepat ke ujung lorong panjang, tempat lift berada. Alya menghela nafas dan memutuskan untuk memercayainya—meskipun kecemasan masih terus berputar di perutnya.

Saat mereka masuk ke dalam lift, dan lift itu mulai bergerak naik, mereka berdua menghela nafas lega. Setelah sekitar satu menit, Arki menoleh ke Alya, menatapnya dengan pandangan merendahkan. ''Lihat? Tidak masalah—''

Kemudian lift tersentak, lalu berhenti bergerak. Mereka berdua saling memandang dengan bingung, dan kemudian kesadaran tiba-tiba muncul di wajah mereka.

Alya mengusap wajahnya berang. ''Mereka masih di sini dan mereka tahu kita kabur, sialan!”

Arki berdengung, sedikit menunduk dan memegang dagunya lalu berkata dengan suara rendah. ''Mereka pasti telah mengawasi kita selama ini. Aku tidak melihat kamera CCTV—''

“APA KATAKU!'' Alya kemudian berhenti, mengambil napas dalam-dalam untuk menenangkan diri.

Arki bergumam, ''Sudahlah. Jika mereka memang mengawasi kita, sudah lama kita ditembaki dari atas dan kita mati dalam hal apapun, tanpa senjata dan Namie yang membimbing kita.”

Alya melengos sinis. “Itu kata penenang yang sadis.”

Mereka berdua tetap diam. Sampai kemudian, setelah beberapa saat berada dalam keheningan, lampu di lift padam, dan mereka berdiri dalam kegelapan total. Lampu darurat redup dan berkedip dan menyala di lift, dan mereka berdua berdiri di sana dalam diam, menunggu sesuatu terjadi.

Setelah beberapa saat ketika tidak ada suara, tidak ada gerakan sama sekali, Alya berbisik, ''Apa mereka sengaja memutuskan aliran listrik, atau itu kecelakaan selama percobaan?''

“Pasti yang terakhir. Karena jika itu kemungkinan sebelumnya, mereka akan memotong kabel lift dan membiarkan kita jatuh. Dan kita mati terperangkap di sini, seperti tikus di dalam sangkar.”

“Ki, cukup.” Alya mendelikkan matanya dan mengerang frustrasi.

Beberapa menit berlalu dengan perputaran waktu yang terasa sangat lama, dan selama itu, tidak ada salah satu dari mereka yang bersuara. Keduanya nampak diam, menunggu keajaiban datang, lebih tepatnya, menunggu orang-orang itu memperbaiki apapun yang mereka kacaukan.

“Ah, sepertinya aku—”

Alya menoleh. Setelah ketika tak ada suara apapun di antara mereka, Arki berbicara, namun berhenti sendiri. Membuat Alya mengerutkan alisnya penasaran. “Sepertinya kau apa?”

Arki menghela nafas berat lalu menurunkan dasi yang melingkar di lehernya. Membuka satu dan dua kancing teratas kemejanya sambil mendesah panjang. Dia mendongakkan kepala dan matanya tertutup.

Alya membulatkan matanya. “Apa yang kamu lakukan?”

Arki di sana, menoleh padanya dengan dahi mengernyit gelisah, lalu berkata, “Ini tertutup.”

“Ya lalu?!” Alya berteriak dengan tidak sengaja. Kepalanya mendadak panik tanpa alasan, terkejut dan tidak mengerti secara bersamaan.

Arki kembali mendesah. “Klaustrofobia. Aku di sana.” Dia berkata dengan suara keras, seolah tengah berbicara pada puluhan orang.

Alya tidak tahu, tapi dia merasa harus mengerutkan keningnya semakin dalam setelah kalimat asing berbahasa aneh itu mengisi indera pendengarnya dan berdenging di kepalanya. “Hah?” Dan itu respon satu-satunya yang keluar dari mulutnya.

“Akh! Idiot!” Arki mengerang, mengusap kasar wajahnya dengan kedua tangannya lalu merosot saat punggungnya membentur dinding lift di belakangnya.

Untuk beberapa alasan, Alya tersinggung, karena kalimat itu. Tapi kemudian dia langsung berubah jadi panik saat melihat Arki mulai terduduk dan menenggelamkan kepalanya di antara lututnya yang tertekuk.

Alya menghela gusar. Dia ikut berjongkok, lalu mengulurkan tangan untuk menyentuh bahu Arki dan menggerakkannya ke depan dan ke belakang secara berkali-kali. Mencoba menarik kembali kesadarannya.

“Hei, halo? Adlantha? Apa ada sesuatu yang bisa saya hubungi untuk bisa berbicara di sana?” Alya berkata dengan cepat, seperti dikejar sesuatu. Lidahnya sampai terbelit-belit sendiri.

Lalu di sana, Alya terkesiap saat merasakan bahu di cengkeramannya gemetaran. Apa kamu menangis? Apa dia menangis karena sesuatu? Alya terus mengulang pertanyaan itu seperti kaset rusak dan dia tidak peduli.

Arki sedikit mengangkat kepalanya tapi matanya tidak mengarah pada Alya sedikitpun. “Itu sama sekali ... tidak menenangkanku, kau tahu?” Suaranya gemetar dan nyaris terdengar berbisik.

Alya mengerut bingung. Kesal di satu waktu bersamaan karena udara panas di sekitar mereka, dan Arki malah memainkan permainan “Tebak aku.”-nya. “Aku tidak tahu! Apa yang terjadi? Apa kamu melihat masa depan bahwa kita akan mati—”

Alya membulatkan matanya ketika melihat Arki mendadak memukul dadanya sendiri dengan kencang dan terbatuk kesakitan. Tapi dia tidak berhenti, terus melakukannya dan Alya dengan sigap menarik tangan kanannya sehingga tangan kiri Arki berhenti menyakiti dirinya sendiri.

“Apa? Apa yang terjadi? Hei, katakan padaku! Apa yang kau lakukan?”

Arki menarik tangannya kembali, tapi Alya menang dalam sesi tarik menarik kali ini karena Arki menyerah dan merengek. “Tidak, aku butuh itu untuk tetap sadar.”

“Tidak ada! Bertopanglah pada yang lain!”

“Idiot! Aku sesak! Aku tidak bisa bernafas! Ini sempit! Bunuh saja aku! Gila! Brengsek, aku tidak bisa!”

Alya diam hanya untuk melihat bagaimana mata itu menatapnya dan basah, menahan emosinya. Tangannya mengepal di kerah kemejanya, menariknya dan mendorongnya lagi.

Kepalanya terbentur keras ke dinding lift karena dorongan Arki, dan Alya meringis karena itu tapi tidak marah. Dia mendekat lagi, menjangkau Arki yang panik. Mencekal bahunya kali ini dan sedikit penuh tekanan di sana.

“Arki, tenang, oke? Tenang. Kita akan keluar, aku janji. Tenang ya? Oke?” Alya melontarkan mantra penenang dan matanya menatap lurus.

Arki kehabisan cara untuk menahan perasaannya dan kali ini membiarkan matanya menjatuhkan air mata yang sejak tadi membendung di sudut matanya. Terengah-engah, dan menggelengkan kepalanya. Menelan ludahnya susah payah. “Tidak. Itu tidak akan baik-baik saja.” Dia berbisik lirih.

Alya mencengkeram semakin kuat kedua-dua di cekalannya, mencoba mengembalikan kesadaran yang entah sudah melayang ke mana. Dan kemudian berkata dengan lugas dan jelas. “Arki, percaya padaku. Kita akan keluar dari sini, dan menangkap mereka, dan ini semua akan berakhir. Semua akan baik-baik saja, tenang oke, tenanglah.”

Arki diam, menatap Alya. Dia menarik dan menghembuskan nafasnya pelan, lalu menunduk, dan kembali menenggelamkan kepalanya di antara lipatan tangannya di atas lututnya. Mulai diam dan kembali bungkam. Dan Alya menganggap itu sebagai dia mendengarkannya.

“Aku melihat itu, di dalam lemari.”

Alya kembali menoleh untuk melihat Arki berbicara dalam kepalanya yang menunduk dan meski menunduk, suaranya masih terdengar jelas walau sedikit teredam.

“Aku pikir ingin memberi kejutan pada Ibuku, mengejutkannya. Seperti yang dilakukan orang lain pada Ibu mereka. Bahagia melihatnya mencariku.”

“Tapi aku ... di dalam lemari, melihatnya. Ibuku, ditembak, bunuh diri, karena aku tidak ada, dia ketakutan, panik karena apapun alasannya. Dan aku hanya diam, bersembunyi, dari Ibuku.”

Suara Arki memelan seiring kalimat itu berakhir. Dan Alya hanya diam mendengarkan, lalu menghela nafasnya. Dia mengulurkan tangannya dan merangkul Arki lebih dekat, tak bisa dan  bingung untuk melakukan apapun.

“Kejutanku tak membuatnya terkejut?” lanjut Arki.

Alya menghela pelan, lagi. Tak bisa menyusun kalimat apapun.

“Aku tidak tahu,” jawab Alya, pada akhirnya.

Arki tersenyum tipis. “Ya.”

“Tapi itu semua membawamu ke sini, Arki, membuatmu setidaknya menemukan apa yang harus kamu lakukan. Membuatmu mendapatkan tujuanmu. Bersama ... kami.” Alya tidak tahu apa yang dirinya sendiri katakan, tapi dia penuh keyakinan.

Dan Arki tersenyum kecil. Membiarkan saja dirinya ditarik dalam rangkulan erat. “Ya, itu tidak buruk.”

Lalu lampu lift menyala, dan lift tersentak dan mulai bergerak naik lagi perlahan. Arki dan Alya saling memandang, kemudian Alya melepaskan cekalannya dan sedikit menjauh, menatap Arki dengan jengah, begitu juga dengan Arki kepadanya.

Tak berapa lama kemudian, mereka saling tersenyum, lalu tertawa tanpa alasan, dengan maksud yang sama.

“Aku akan membunuhmu kalau ini tersebar ke MPD,” ujar Arki sambil tertawa.

“Kalau begitu lakukan semua perintahku dan dengarkan aku,” ucap Alya, tertawa kencang.

Keduanya perlahan mereda dari tawa mereka. Ekspresi masing-masing hilang, digantikan dengan tatapan tajam saling menantang.

Alya lebih dulu berdiri dan melangkah maju dan bertanya apakah Arki bisa berdiri, tapi pertanyaan itu dipotong saat dia melihat Arki berdiri dengan biasa saja, seperti kepanikan tadi tidak pernah ada.

Lift mencapai lantai atas, dan mereka melangkah keluar. Keduanya menemukan alat pemotong besi dan borgol berhasil terputus karena itu. Memungut beberapa senjata api dan beberapa peluru yang tergeletak di atas meja, beruntung mereka temukan.

Arki dan Alya berpisah untuk melihat tanda-tanda percobaan, atau mesin teknologi portabel, tetapi yang mereka lihat justru ruangan itu kosong.

“Apa mereka lolos?” gumam Alya, pada dirinya sendiri. Tetapi Arki dapat mendengar itu di sebelahnya dan menjawab, “Mereka belum pergi. Mereka pasti melihat polisi yang ditempatkan di luar dan mereka tak bisa menggunakan lift karena kita tadi.”

Keduanya diam dan Arki kemudian mendengar sedikit suara, dan dia melihat Alya, dia juga mendengarnya.

Mereka mulai berjalan menuju suara, dan akhirnya beberapa suara pelan datang dari sisi lain lorong.

Mereka melihat sebuah pintu besar di sana, dan Arki menendangnya begitu saja. Pintu itu jatuh di sisi lain.

Ruangan itu dipenuhi setidaknya dua puluh orang, dan koper-koper berisi uang diletakkan di atas meja. Segera setelah mereka melihat dirinya dan Alya, mereka menutup koper. Mulai waspada melihat keduanya.

“Yah, Ki. Aku tidak mahir tangan kosong,” bisik Alya. Sementara Arki hanya tersenyum miring dan tipis, lalu seseorang dari mereka maju dengan mengacungkan pisau lipat.

Arki menghindar. Membiarkan itu mengarah ke Alya, dan gadis itu refleks berteriak lalu menangkap pergelangan tangannya, kemudian membantingnya ke depan.

Arki melihat itu, dia praktis tersenyum tipis. “Aku juga tidak.” Dia menyikut seseorang yang menyerang mereka dari belakang, lalu menarik lengannya dan dia membungkuk untuk membuat orang itu terbanting ke depan.

“Jadi jangan bebani aku.” Arki mendorong Alya, mendekati belasan orang yang berkerumun di hadapan mereka.

Alya memekik kaget. Dia refleks memukul siapapun yang maju hendak menyerangnya, secara cuma-cuma.

Sementara dalam keributan, Arki menyadari bos besar mereka melarikan diri dengan koper. Dia berteriak pada Alya untuk mengurus sisanya, dan mengejar mereka sendiri.

Tak memedulikan teriakan Alya yang samar di telinganya, Arki berlari menaiki tangga, hingga kemudian dirinya sampai di ujung jalan buntu.

Bos besar yang dikejarnya otomatis berbalik menghadapnya. Tersenyum miring dan menjatuhkan kopernya begitu saja. Dia merentangkan tangannya dan lalu mengatakan, “Ingin menangkapku, Nona?”

Arki meraih tas pinggang yang menyimpan pistolnya, bersiap-siap menarik senjata baja itu kalau saja pria di hadapannya tak tertawa.

“Sebelum itu, keberatan untuk menebak apa yang ada di dalam koper ini?”

Arki mengerutkan dahinya. “Untuk apa?”

“Untuk keberlangsungan hidup temanmu.”

Jawaban disertai seringai tajam itu otomatis membuat Arki membelalakkan matanya, lalu memutar kepalanya, hanya untuk melihat Alya di sana, ditawan dengan moncong pistol mengarah ke cangkang kepalanya.

Suara kekehan memenuhi indera pendengarnya. Arki mengepalkan tangan. “Bodoh,” gumamnya dengan gigi terkatup rapat.

“Ya, seperti itu. Itu yang seharusnya kau tunjukkan padaku.”

“Bukan.”

Pria itu berhenti tertawa. Dahinya mengerut, satu alis terangkat dalam kebingungan yang eksplisit. Dan Arki tidak bisa menahan sudut bibirnya terangkat ketika menyadari perubahan raut wajah keriputnya.

Arki tak banyak bicara, berlari mendekati Alya, lalu melemparkan tinjunya pada ulu hati gadis itu hingga dia terbatuk dan tersedak sedikit darah yang meluncur keluar dari mulutnya.

Pria tua tersenyum. “Heh, sepertinya dia rusak—”

Bugh!

Arki menendang kaki seseorang yang menawan Alya saat laki-laki itu terkesiap atas tindakannya pada Alya barusan. Dia menarik tangan berpistolnya, mematahkannya sehingga senjata api itu terjatuh ke atas lantai.

Saat keributan kembali terpancing, Arki mencengkeram rambut Alya dan memaksanya untuk membungkuk hingga dahinya bersentuhan dengan lantai, sementara tangannya yang lain menarik pistol di sarung senjatanya. Kemudian bunyi ledakan mesiu memekakan telinga.

“AKH! BANGSAT!” pekikan yang diikuti erangan kesakitan terdengar setelahnya, meredam ketegangan dalam situasi sempit penuh kepanikan.

Darah mengalir dari tangan yang menutupi telinganya yang terkena serempetan timah panas dari tembakan acak asal Arki.

“Ambil itu, idiot.” Arki kembali melemparkan peluru, dan pistol yang akan meledak ke arahnya terjatuh saat Arki menembak tangan itu. Berakhir di betis, kemudian pria benar-benar dilumpuhkan.

“Sabar, anjing!” Dan Alya mengerang kesakitan atas ulah Arki membenturkan dahinya lagi dan lagi, memintanya dalam kekerasan untuk mengambil pistol yang tergeletak dengan mulutnya.

Segera setelah Alya menggapainya, Arki merebutnya. Dan kini kedua-dua tangannya memegang pistol yang tertodong ke dua arah yang berbeda.

“Selamat tinggal, orang-orang najis.”

Bunyi tembakan beruntun memenuhi seisi ruangan.


Alya menjabat tangan kepala divisi satu, menganggukkan kepala dan tersenyum formal setelah pria yang usianya jauh di atasnya mengucapkan terima kasih atas kerjasamanya.

Tepat setelah pria itu undur dari hadapannya untuk mengurus timnya sendiri, Alya mendengus. Merutuki dalam hati kerjasama yang merepotkan. Alya tidak akan mau ikut lagi.

“Interogasi.”

Alya menoleh dan mendapati iris zamrud yang menatapnya dengan datar yang netral. Praktis membuat dahinya berkerut dalam kekesalan.

“Apa tidak ada sedikitpun rasa bersalah dalam—”

“Untuk apa?”

Alya bungkam. Tahu bahwa pertanyaan itu sama sekali tak membutuhkan jawaban darinya. Menyeret dirinya dalam sebuah kemarahan apoplektik yang jelas.

Arki sekilas tersenyum miring yang dapat dilihatnya melalui ekor matanya. Melihat Arki berjalan di depannya tanpa kata-kata, dengan tegak, posisi sempurna. Alya tersenyum miring. Dia pun melangkah cepat untuk meraih tangan Arki.

“Apa?” Dan Arki otomatis menoleh dengan ekspresi bingung yang samar di wajahnya.

“Ini lantai 30, Arki. Kita butuh lift.”

Alya menahan dirinya sendiri untuk tidak meledak dalam tawa ketika melihat ketegangan di wajah Arki yang menentang ekspresi netral di wajahnya.

“Apa yang kau inginkan?”

Tidak mendengarkan Arki, Alya menyeret gadis itu ke dalam lift. Mendorong Arki yang berontak hingga menabrak dinding lift, sementara dirinya dengan cepat menekan tombol agar lift segera tertutup.

FUCK!” Arki merosot dan berjongkok di atas lantai ketika lift tersentak dan mulai meluncur ke bawah.

Alya tidak bisa tidak tertawa pada itu.

Setidaknya dia jadi tahu alasan Kaptennya jarang naik lift di kantor.

#13

Darka bergeming melihat rekan kerjanya, di sana, bersandar di dinding di seberang pintu lift, dengan tangan terlipat, kaki mengetuk dengan tidak sabar dan desahannya yang tepat waktu, adalah indikator bahwa dia sedang tidak dalam suasana hati yang baik.

Meskipun dia bisa melihat wajahnya yang ditata dengan tenang, tapi dia melihat sebuah kekesalan yang implusif di dalamnya.

“Aku pikir kau sudah duduk di barisan depan ruang pertemuan, mengangkat tangan dan menganggukkan kepala, seperti petugas polisi yang baik dan jujur.” Laki-laki itu menghadap padanya. Ekspresi wajahnya tidak mengerti namun terkesan merendahkan.

Membuat Arya mau tak mau mendengus jengah, lalu menegakkan tubuh dan berkata dengan suara tipis. “Adlantha, Anda tahu jam berapa sekarang? Anda pikir Anda bisa datang dan pergi kapan saja Anda mau?''

Darka diam, menatap wajahnya, seperti sedang mencoba membaca makna tersirat yang tidak diucapkan Arya. Dia tertarik untuk melontarkan kalimat provokasi, namun dia lebih memilih untuk diam dan menggedik acuh.

Melihat itu, Arya merasakan kemarahan yang meluap-luap pada titik yang telah dia tekan di dalam dirinya sejak tadi. Tetapi dia tak tertarik untuk menanggapi dan memilih untuk mengambil langkah di depan.

Sampai di ruang pengarahan, Arya membuka pintu. Ruangan itu berdengung dengan bisikan pelan, dan kebetulan Pradana belum memulai pengarahannya.

Saat mereka berjalan di dalam, semua orang menoleh untuk memberi mereka pandangan sekilas, yang diabaikan Arya. Dia berjalan ke depan dan mengambil tempat di depan, di tempat biasanya.

Darka tidak duduk, tetapi malah berdiri di belakang ruangan dengan tenang, matanya tertuju ke depan.

Setelah itu, kepala divisi menarik perhatian semua orang ke depan ruangan. ''Kita akhirnya mendapat petunjuk tentang perpindahan obat-obatan dari kelompok Vipera ke banyak pedagang independen yang terlibat baik dalam industri hiburan maupun farmasi.”

Pradana bersuara dengan serius. “Jadi, misi kita akan memiliki tiga fase, melacaknya, mengintai di titik-titik biasa mereka, dan akhirnya menangkapnya dengan tangan merah. Mengerti?''

Semua orang mengangguk paham. Pradana berdengung puas. Sampai akhirnya dia mengalihkan pandangan ketika kemudian dia teringat sesuatu. “Ah, sebelum itu Inspektur Darka, ayo berikan hasil investigasi yang kau kumpulkan kemarin.”

Arya tersentak, dia memutar kepalanya dengan kaku dan mata mereka bertemu, dan dia melihat Darka menghela nafas pelan lalu berkata dengan suara yang dalam.

“Target utama kita, Reno Arlingga. 26 tahun, drop out dari Universitas Batavia, jurusan kimia. Dia mulai bekerja dengan Vipera dua tahun yang lalu, dan sekarang telah menjadi sangat diperlukan bagi mereka, sehingga mereka menjaga keamanan yang ketat di sekelilingnya.

“Maka hampir tidak mungkin untuk mendekatinya, apalagi menangkapnya secara langsung.”

Ada keheningan yang menakutkan di ruangan itu untuk sesaat, dan Pradana menghela nafas, berkata lembut sembari tersenyum. “Inspektur Darka, masalahnya bukan seberapa sulit sebuah kasus, ini tentang seberapa keras kita harus bekerja untuk menyelesaikannya.”

Darka tak menjawab setelah itu. Membiarkan bagaimana ruangan itu kembali dipenuhi oleh suasana awal. Lalu kemudian Pradana berdeham dan berkata, “Baiklah, kita akan menetapkan kelompok dan mengakhiri pertemuan ini di sini.”


Pengintaian adalah hal tersulit saat menyelidiki, terutama ketika harus berbagi ruang yang sama dengan orang lain selama berhari-hari. Dan orang lain itu Darka.

“Kau terlihat buruk, Inspektur Arya.”

Arya berdecih. Dia memutar kepala, memelototinya dengan gigi terkatup, alis berkerut, otot-otot di rahangnya bergerak begitu terlihat. Ini buruk, dan dialah yang membuatnya menjadi buruk.

''Mengapa Anda tidak memberi tahu saya tentang investigasi Reno Arlingga? Berapa kali Anda pergi sendiri pada kasus sekarang?”

Darka menatapnya diam-diam. Dia menarik dan menghembuskan nafas kasar, lalu mengalihkan wajahnya ke luar jendela. Menghindari untuk mencari jawaban.

Arya mendengus dan tidak mengatakan apa-apa untuk sementara waktu. Sampai kemudian dia berbisik, ''Anda seharusnya memberitahu saya, tapi Anda terus membuktikan bahwa saya salah lagi dan lagi. Anda benar-benar tidak peduli dengan apa pun yang saya katakan lakukan, bukan?''

Darka memutar kepalanya. menatapnya dalam diam. Sejuta pikiran melintas di kepalanya, pertanyaannya sendiri, kemungkinan jawabannya, keinginannya untuk tetap berada di sampingnya, keinginannya untuk menyingkirkannya dari hidupnya.

Selalu seperti ini, dia merasa seperti orang bodoh karena menjadi satu-satunya yang kehilangan ketenangannya setiap kali mereka saling berhadapan seperti ini.

“Kenapa kau berpikir seperti itu?” Darka bergumam, dan Arya kali ini menutup rapat mulutnya sembari mengalihkan pandangannya.

Untuk sesaat, tak satupun dari mereka mengatakan apa-apa. Membiarkan kemarahan dan kebingungan mereka bercampur di udara di sekitar mereka.

Darka kemudian berkata dengan suara datar. ''Idiot.”

“Brengsek!”


Pradana mengucapkan selamat atas kerja tim Arya dan Darka selama tiga minggu terakhir, dalam melacak pergerakan dan lokasi semua orang yang terlibat dalam penyelundupan, terutama Reno Arlingga.

Kepala divisi kemudian meminta tim pengintai untuk menyampaikan informasi kepada petugas lainnya untuk merancang langkah selanjutnya.

Dan akhirnya mereka semua akan ditugaskan di sekeliling kasino di ujung kota yang diduga tempat kesepakatan besar berikutnya akan terjadi.

Kemudian, mereka mulai mendiskusikan posisi untuk memasang kamera pengintai mereka sendiri, dan menempatkan agen yang menyamar sebagai warga biasa di dalam dan di luar kasino.

“Inspektur Arya dan Darka akan mengambil bagian penting untuk kali ini.”

Arya mendengus lelah. Bersumpah jika ada panggilan misi lagi dari divisi satu, dia akan menolak saja. Tapi sekarang dia tidak bisa dan tidak boleh mengeluh. Tugasnya adalah seperti itu.

Sementara Darka yang berdiri di sampingnya melirik partner-nya dengan pandangan mengejek.


(Penyerbuan terjadi) – Seminggu kemudian.

Arya dan Darka keduanya menunggu di luar kasino, dengan jaket antipeluru mereka, dan senjata di dalam saku mantel normal mereka.

Mereka berbaur dengan kerumunan, sambil menunggu pesta tiba. Langit di atas berubah menjadi abu-abu gelap, dan semua orang berharap serangan itu bisa terjadi sebelum hujan deras mulai dan untungnya mobil limusin segera tiba.

Arya melihat target mereka keluar dengan seorang lelaki tua yang gemuk. Dia telah sering melihat mereka dalam beberapa minggu terakhir bahkan sekarang dia melihat mereka lagi.

Setelah hari ini, semuanya akan berakhir. Saat Arya menyentuh earpiece dan mengomando pasukan untuk mulai bergerak memasuki kasino, mereka semua masuk ke posisi.

Arya berpisah dengan Darka untuk bergabung dengan timnya yang sudah masuk melalui gerbang utama.

Dia melirik ke tempat Darka berada dengan pandangan khawatir, dan melihat mata hijaunya yang menyipit lalu mendelik sekilas pada gang di samping kasino, mengisyaratkan sesuatu.

Arya menangkap sinyal itu. Dia lalu membawa timnya masuk dari depan dan barisan belakang datang dari pintu samping.

Pintu belakang sudah ditutup dan jalur keluar dari samping dan gerbang utama kini sudah diblokir oleh kepolisian.

Kerumunan di dalam sana memaki tidak senang. Panik dan kesal di saat bersamaan, tapi tidak bisa berbuat banyak.

Petugas lainnya berhasil membawa kerumunan ke tempat yang aman setelah penggerebekan terjadi dan mereka semua ditangkap, tetapi Reno entah bagaimana berhasil melarikan diri sebelum kesepakatan diselesaikan.

Arya melihatnya melarikan diri, dia lalu berteriak pada timnya dari lubang suara untuk menghentikan bocah itu sebelum dia berlari keluar dari gang.

Sementara Darka mendengus, orang ini rupanya tidak menangkap sinyalnya.

Arya berlari mengejarnya sendirian, karena dia yakin anak itu tahu tempat itu dengan baik, dia bisa menemukan pintu darurat lebih cepat daripada yang bisa dikejar Arya. Jadi dia mengikutinya.

Laki-laki itu berlari menuruni tangga, lalu mengarahkan pistolnya ke arahnya dan menyuruhnya berhenti, tetapi dia terus melarikan diri.

Karena itulah, Arya terpaksa melepaskan tembakan yang mengenai dinding di sebelah tangannya dan dia melihatnya tersentak, namun tidak berhenti berlari.

Arya mendengus kesal. “Bocah keras kepala.”

Dia kembali mengejar anak itu sampai akhirnya sampai di gang lain. Dan melihat, tim Darka menyerbu di ujung lain, mengepungnya. Arya menghembuskan nafasnya lega dan mengatur pernafasannya. Penangkapan berakhir.

Arya melihat punggung tangannya berdarah banyak dan dia memerintahkan petugas untuk melakukan pertolongan pertama padanya sebelum membawanya pergi.

Darka berdiri di sampingnya. Memperhatikan dirinya memasukkan pistol kembali ke dalam sarung, kemudian mengalihkan pandangannya pada Reno, yang nampak pasrah diborgol tangannya dan didorong masuk membelah kerumunan kepolisian yang mengelilinginya.

“Tunggu.”

Darka berjalan mendekati Reno. Sedikit mendongak ketika berhadapan untuk bisa menatap wajahnya. Dia menyibak rambut cokelat pirang yang menutupi pelipis kirinya.

Darka memandangnya dengan tatapan menganilisis yang penuh intimidasi mengarah pada tersangka mereka. “Refo Arlingga. 26 tahun, drop out dari Universitas Batavia, jurusan fisika, saudara kembar Reno Arlingga. Mulai bekerja dengan Vipera dua tahun yang lalu. Posisi penuh, asisten kepercayaan Kakaknya sendiri.”

Darka dapat melihat wajah di hadapannya sedikit tegang, namun mencoba dilukis senetral mungkin. Lelaki itu menghela nafasnya, lalu menatap Arya yang berdiri tak begitu jauh di belakangnya, kemudian kembali menatap bocah di hadapannya dan tersenyum tipis.

“Nak, kamu seharusnya menjadi pelari olimpiade daripada pembantu pengedar narkoba, sialan.” Dia menepuk bahunya sebelum menyuruh yang lain membawanya untuk ditahan.

Arya mendekat. Menghela nafas panjang, sembari menyibak poni rambutnya dan menyisirnya ke belakang. “Apa itu maksudnya, kita ditipu?”

Darka tak menjawab, sebaliknya, menatap pria di sampingnya yang masih nampak terengah-engah dan sedikit kacau penampilannya karena habis berlari, dengan tatapan merendahkan seperti biasa.

“Kasino ini hampir mendekati ujung kota. Menurutmu di mana dia sekarang, jika beberapa menit yang lalu kita sibuk di sini?”

Arya terlihat memikirkan pertanyaan itu dengan sebaik-baiknya. Memikirkan jawaban sebelum kemudian dia mengonfirmasi pada atasan untuk menambah waktu penugasan, dan meminta izin untuk memblokir dermaga untuk keberangkatan armada sekitar pukul 17:00 barat.

“Tidak ada gunanya, Inspektur.” Darka mencemooh dan tersenyum miring.

Arya yang menerima perlakuan itu tentu saja mengerang frustrasi dan menarik kerah mantel rekan kerjanya dengan kesal. Membentaknya pada betapa meremehkannya dia pada dirinya.

Darka menatapnya dengan santai. Membenarkan dasinya saat Arya ditarik ke belakang, dipisahkan darinya meskipun laki-laki itu masih belum puas.

“Lempar aku saja.”

Dan bagaimana itu membuat Arya semakin merasa harus untuk meledak.

—Melodias—

Ruangan itu dingin, hampir tidak ada orang di dalamnya kecuali Alya yang duduk di dekat grand piano. Jendela dibekukan oleh salju dan melodi kecil dimainkan oleh scion saat jari-jarinya menari di atas tuts.

Dia tidak banyak bermain tetapi ketika dia bermain dia bermain dari hati. Begitulah cara mendiang Ibunya mengajarinya, melakukannya dan dia tidak pernah ingin memainkannya dengan cara lain.

Namun hari ini, hatinya terasa kosong seperti merindukan seseorang. Masuk akal karena hanya ada dia di sini.

Jendela-jendela di sana diwarnai dengan es salju, tetapi ruangan itu hampir dicat emas karena cahaya lampu gantung. Di grand piano ada foto dia dan keluarganya yang dia ambil dan bingkai dari rekaman lama mereka.

Namun di teleponnya ada foto-foto bahwa dia dan temannya mengambil alih persahabatan mereka. Meski biasanya tidak berfoto, ada momen yang harus diabadikan dan tidak boleh dilupakan.

Aku merindukanmu.

Tapi aku tidak tahu harus berbuat apa.

Mereka sering bertengkar tapi bagaimana mereka bisa cocok bersama? Itu menjadi misteri bagi keduanya.

Dia mencoba mencari tahu perasaannya untuk si pemilik senyuman. Meskipun dia tidak benar-benar berharap bahwa dia akan memiliki momen ini. Tidak dalam sejuta tahun dia berdiri dikoreksi. Tapi dia pikir ini mungkin cinta?

Begitu dia mengetahuinya, sulit untuk menyembunyikannya. Dia tidak tahu bagaimana mengaku atau bahkan tahu apa yang harus dilakukan dengan perasaan ini.

Namun Alya sadar, perasaan yang satu ini harus dia rahasiakan dari pria berambut hitam itu. Itu adalah sesuatu yang dia tidak mau kehilangan hanya karena dia egois untuk itu.

Dan waktu sangat kejam. Mencoba melihatmu sekali. Tidak pernah berhasil sekali.

Alya menghela nafas lagi dan berhenti bermain. Mata biru berliannya bergulir ke arah jendela di mana cahaya nyaris tidak terlihat karena salju yang membeku.

Ruangan terasa dingin lagi saat dia merasa lebih kesepian hanya dengan memikirkannya.

“Aku merindukanmu,” gumamnya pada dirinya sendiri. Dia akhirnya tanpa sadar mengakui perasaan kosong di dalam dadanya.

Dia ingat bahwa mereka hampir berkencan. Itu adalah ide Brian untuk berkeliling taman di tengah musim semi. Dia ingat dengan jelas bagaimana bau bunga dan bagaimana mekarnya. Itu seperti di dalam dongeng.

Ketika dia mendongak, dia melihat emas yang berkilauan. Tajam, tapi lembut secara bersamaan. Dia melihat bagaimana jingga itu memudar bersama sinar matahari senja yang menerpa rambutnya. Dan mata itu, sorot pandangan yang menenangkan.

Dia berharap mereka bisa tetap seperti itu sedikit lebih lama.

Alya melihat ke luar jendela lagi, bagian luar sangat kontras dengan rumahnya. Dia secara pribadi menyukai musim dingin, tetapi mungkin tanpa Brian, itu tidak terasa begitu baik.

Dia agak berharap dia berani untuk mengakui perasaannya. Sayangnya, mereka selalu terjebak dalam kekacauan perencanaan yang menjepit dan gagal melakukannya.

Alya bahkan tidak yakin apakah laki-laki ini menyukainya kembali, dia hanya bisa berharap pada takdir.

Jika aku salju di udara, akankah aku sampai kepadamu?

Alya menutup matanya dan bagaimana kemudian dering telepon mengejutkannya. Tangannya dengan malas meraih telepon yang tergeletak di atas badan grand piano, dan begitu dia melihat tulisan yang terpampang di layarnya, Alya duduk dengan tegak.

Tangan dengan cekatan menempelkan benda pipih itu ke telinga, dan ketika suara di seberang sampai ke gendang telinganya, Alya merasakan ledakan di dadanya yang bergemuruh.

Itu bahkan lebih lembut, lebih indah daripada alunan melodi yang dihasilkan dari jari-jarinya yang menari di atas piano. Membuatnya merasa gila. Membuat Alya merasakan kekosongan di dalam hatinya terisi sedikit demi sedikit, seperti gelas yang perlahan dipenuhi oleh dinginnya air, seperti kepingan salju di luar kaca jendela rumahnya.

Namun bagaimana kemudian tawa itu akhirnya membuat hawa dingin di ruangan berubah begitu saja menjadi sesuatu yang hangat secara apoplektik, yang mampu membuat pipinya bersemu merah, dan lengkungan cantik membentuk di bibirnya.

Pada saat itu Alya sama sekali tidak tenang. Dia pikir suaranya mungkin mengkhianatinya pada saat itu, jadi dia tetap diam. Dia sudah memiliki citra itu sehingga itu baik-baik saja.

Alya telah menyadari satu hal. Bahwa malam ini bukan tentang perasannya. Yang dia pedulikan hanyalah memahami betapa berartinya dia baginya.

Ini tidak harus berakhir dengan bagaimana seharusnya yang terjadi. Jantungnya memang berdetak kencang tapi untuk alasan terbaik.

Aku mencintaimu.

Dia bahagia dengan ini.

-00

Prans Leondwell, seorang pengusaha kaya sekaligus gembong bawah tanah yang terkenal karena keahliannya dalam bidang kejahatan, telah ditemukan memperdagangkan informasi statisvalium—barang percobaan ilegal.

Dan karena itulah Arki dan Alya telah dipanggil oleh polisi setempat untuk membantu.

Mereka berdua ditugaskan dan harus menyamar. Arki akan menjadi pengusaha dan bajingan yang berhadapan langsung dengan Prans untuk merogoh informasi, dan Alya akan menjadi pelayan pribadi untuk meyakinkan.

“Apa?! Itu tidak adil!” Alya berteriak tidak terima, mengabaikan rekan-rekannya yang lain yang mencoba menahan tawa, dan Arki yang nampak sedang menahan senyumnya, seolah mengatakan, 'Itu bagus.'

Itu seharusnya menjadi penyamaran yang cepat dan mudah. Sampai ketika Alya yang cemberut menemukan kesalahan informasi palsu yang diberikan kepada Arki, dan mendapati bahwa peran mereka ternyata terbalik.

Setelah itu, keadaan berbalik. Arki menggebrak meja Areka—Kepala divisi mereka—memaki Iiro dan Nad, menyebabkan kerusuhan besar-besaran di ruang pengarahan.

“Itu bagus, kan, Ki?” Alya mengembalikan kalimatnya padanya sambil tersenyum tertahan. Tetapi Arki akhirnya bisa mengendalikan kekesalannya dan menerima dengan enggan.

Begitulah cara mereka menemukan diri mereka berada di penthouse suite lantai atas dari beberapa hotel bintang lima yang sangat mahal.

Alya dengan setelan gaun hitam anggun yang dibuat dengan sempurna juga elegan, dan Arki dalam seragam maid.

“Brengsek!” Kesekian kalinya Arki mengumpat pada Alya, meski gadis itu tengah diam tidak melakukan apa-apa. Alya hanya menghela nafas untuk menanggapinya.

Prans Leondwell tampak sama licinnya dengan informasi yang telah diberikan kepada Alya tentang dia.

Tubuh tinggi dengan berat badan tidak ideal, mata silver sipit dan rambut abu-abu cokelat kusamnya disisir ke belakang dan membiarkan beberapa helai menutupi dahi sebelah kirinya, dia memakai setelan yang mencolok sehingga mata Alya sakit melihatnya.

“Senang bertemu Anda, Nona Haneva.” Itu nama personanya saat ini.

Pria itu mengulurkan tangannya. Alya tersenyum dengan enggan pada itu, lalu mengulurkan tangannya, menjabat tangan kasar pria itu dengan tenang. “Panggil saja, Naomi, Tuan Prans.”

Prans tertawa terbahak-bahak entah menertawakan apa pada diri Alya, tapi Alya merasa dia tengah mengejeknya.

Prans berbicara, semakin sulit untuk menelannya. Namun meskipun Alya mungkin tidak memiliki pikiran yang paham bisnis seperti Arki, apa yang kurang dalam pengetahuannya itu dia tutupi dengan kemampuannya dalam memutar balikan kalimat.

Alya membuat pekerjaan yang sangat singkat untuk memimpin percakapan, menyindir bahwa dia sangat tertarik pada usaha tertentu yang dijalankan Prans di belakang layar.

Senyum palsu yang mempesona, tawa yang tepat waktu, suara persetujuan yang tepat, Alya menggunakan itu semua saat pria yang duduk di hadapannya mulai membahas detail asing tentang hal yang Alya sendiri tidak tahu mengarah kemana.

Takut akan terseret dalam percakapan yang tidak bisa dia tangkap dan membongkar kedoknya sendiri, Alya memutuskan untuk mengeluarkan Arki sebagai pengalih perhatian.

Prans adalah pria menjijikan, dengan catatan kejahatan yang kotor memenuhi database tentang dirinya. Dan di sinilah peran Arki dipakai. Bermain sebagai pelayan, untuk menciptakan kepercayaan.

“Apa Anda menyukai minuman, Tuan Prans?” Alya menyeringai pada kerutan bingung di wajah Prans, yang kemudian berubah menjadi senyuman bodoh yang memuakkan.

Di sana, Arki masuk setelah mendengar lonceng dibunyikan oleh Alya. Berjalan dengan anggun, tidak ada kerutan kekesalan di wajahnya seperti yang dia lukis saat pertama kali melihat seragam maid-nya. Ekspresinya benar-benar netral.

“Ada yang bisa saya bantu?” Nada bicaranya lembut, tidak ada kemarahan apoplektik yang tersirat seperti yang dia tunjukkan di awal pengarahan.

Arki memainkan perannya dengan profesional.

Alya melirik pada Prans, yang tidak berkedip, dengan mulut sedikit menganga saat tangannya menopang dagu. Apa Pria memang seperti ini?

“Ah, ya, Tuan Prans, izinkan saya memperkenalkan kepala pelayan saya, Arki.”

Arki berkedip perlahan, kepala menunduk sopan dan dan badan membungkuk dengan patuh kepada tamu. Alya tidak pernah tahu Arki bisa bersikap seperti ini, dan ini adalah sisi lain dari Arki yang sangat mengejutkan.

Prans tertawa kagum. “Hohoho, Nona Naomi, dimana kamu mendapatkan pelayan kecil ini?”

Alya tersenyum dan menggedikkan bahunya dengan lembut, mengusir segala kemarahan dan rasa jijik kepada Prans yang terseyum dengan mata liar. Ledakan apa yang akan keluar dari Arki setelah ini?

“Arki, berikan kami wiski sekarang.” Suara Alya berwibawa, perintahnya santai dan meremehkan, dan dia berpikir sejenak bahwa dia merasakan getaran menjalari Arki saat dia berbicara.

Tapi Arki tampak benar-benar tenang. Menundukkan kepalanya, menggumamkan kata “Ya, Nyonya.” Dengan suara pelan dan lembut, dan keluar ruangan dengan cepat dan anggun.

Begitu langkah kaki Arki memudar, Prans mencondongkan tubuh ke arah Alya, bertanya dengan nada rendah dan penuh konspirasi. “Kamu seharusnya memamerkan hal cantik itu lebih awal, Nona Naomi. Berapa harga yang bisa dibayar untuknya?”

Tawanya menggelegar, dan Alya melawan keinginan untuk mengejeknya karena berbicara tentang Arki seperti itu. Dia harus mengingatkan dirinya bahwa ini hanya sandiwara.

Sambil memasang senyum puas, Alya mengangguk singkat dan berkata, “Kamu tidak akan bisa, dia lebih berharga dari itu semua.”

Tawa Prans semakin menggelegar dan berhenti ketika mendengar ketukan alas kaki yang melangkah mendekat.

Di sana, Arki, berjalan dengan langkah lambat namun sempurna sembari membawa nampan berisi gelas sloki dan satu botol wiski, berjuang untuk menjaga keseimbangannya.

Alya menggigit bibir bagian dalamnya agar tidak meringis saat melihat Arki meletakkan nampan, membungkuk di hadapan Prans.

“Ini bagus, tidak buruk,” komentar Prans pada bagaimana cara Arki menuangkan wiski ke dalam gelas sloki dengan membungkuk di hadapannya.

Alya bersumpah dia menangkap rahang Prans terjatuh dan matanya melebar berseri-seri saat melihat pemandangan di depannya.

“Yah, baik, apa ini?” Suara busuk Prans keluar dengan dengkuran yang memuakkan, dan perut Alya berputar saat dia melihat satu tangan kotor merengkuh pinggang Arki, menariknya mendekat, lalu mendarat dengan keras tepat di pangkuan Prans.

Arki mengangkat kepalanya hanya sedikit, mata hijau bertemu dengan Alya dan dia dapat melihat keterkejutan sekilas dari sana, selama sepersekian detik sebelum bulu mata hitam jatuh untuk menyembunyikannya sekali lagi.

“Ini sempurna, kan, Nona Naomi? Berapa harganya untuk satu malam?”

Alya dapat melihat bagaimana Arki menggigit bibirnya ketika tangan Prans mulai berkeliaran di sekitar pahanya. Memalingkan muka, dan tangan saling bertautan malu-malu.

Itu reaksi yang aneh daripada kebiasaan menonjok, darimana Arki belajar ini semua?

Dengan suara keras dan memerintah, Alya berkata, “Arki, tinggalkan kami sekarang.”

Lalu Arki melompat untuk memperhatikan tanggapan, meluncur dari pangkuan tempat dia duduk dan mengucapkan “Ya, Nyonya.” Dengan ketakutan.

Alya tersenyum ketika melihat Prans sedikit mendesis saat Arki mundur dengan cepat dari ruangan. Tertawa kikuk pada Alya dan mulai kembali pada obrolannya. Apalagi alkohol membuat mulut Prans lebih leluasa.

Dan lalu, ketika Arki kembali masuk ke ruangan, membawa decanter baru dan es segar untuk minuman mereka, Prans berhenti mengoceh.

Pria itu mengalihkan atensinnya pada gadis maid yang berjalan ke arahnya, dan sekali lagi, dia menarik pinggang Arki mendekat saat dia selesai mengurus minumannya.

Dan Arki melakukan pekerjaan fenomenal dengan bertindak bingung, berpura-pura polos, tidak melakukan apapun untuk menghentikan tangan-tangan yang memeganginya.

Tapi entah kenapa, Prans jadi lebih berani terbuka saat itu. Berbicara dengan nada penuh kebanggaan, mata berkilat senang terus mengedar mencari perhatian dari Arki.

Lalu Jika Prans menanyakan sesuatu pada Arki, Alya akan mendapati Arki melirik kepadanya dengan takut-takut, seolah menunggu izin darinya untuk bicara. Menakjubkan, Arki memainkan perannya dengan luar biasa.

Kemudian setelahnya, Prans mulai masuk ke dalam obrolan statisvalium, membicarakan mengenai formula secara halus.

“Ya, saya cukup puas pada ini, tapi Arki, bagaimana menurutmu tentang teknologi ilmiah itu sekarang?” tanya Alya, menanggapi ucapan Prans dengan nada menghina, dan bagaimana Prans terlihat meremehkan. Dan Alya mengizinkan Arki untuk membeberkan sedikit informasi untuk mulai memojokkan Prans.

“Apa ini, Nona Naomi? Apa dia menyimpan rahasia besar?” Mata sipit Prans semakin menyipit, menatap penuh rasa ingin tahu.

Lalu Alya tersenyum puas. “Anda tahu bahwa itu bukan omong kosong, Tuan Prans.” Dia merasa bangga untuk suatu alasan, dan melirik ke arah Arki yang masih tenang dan tenang. Tangannya dengan lihai menuangkan wiski ke dalam gelas sloki kosong milik Prans, mengintip wajah pria itu lewat bulu matanya.

Kemudian Arki membungkuk sopan, lalu mengatakan, “Seperti yang Anda minta, Master. Teknologi ilmiah itu adalah statisvalium EC tingkat percobaan keempat, dengan status satu koma delapan tanpa MPA-T. Itu memiliki kecendurungan formula yang relatif semi-sempurna.”

Prans tersedak, wiskinya meluncur keluar dari mulutnya, seolah perkataan Arki barusan telah menarik pelatuk dalam dirinya. Dan Alya tersenyum mengejek pada kesenjangan kepintaran yang terlihat dalam diri Prans di hadapan Arki.

“Untuk suatu alasan mengapa formula itu tidak sempurna, adalah karena Anda tidak memiliki apa yang diperlukan untuk menggunakan statisvalium, itu sebabnya benda itu tidak bekerja.”

Prans membulatkan matanya. “Tunggu, jika kamu mengatakan ini, itu berarti kamu tahu formula yang tepat, kan?”

Alya hanya tersenyum pada respon kebingungan itu, yang seharusnya berhasil menjatuhkan Prans dari puncak tebing.

Kemudian mata Alya melirik pada Arki, yang menunggunya memberikan izin untuk menjawab. Sialan, apa dia masih menikmati perannya?

Setelah Alya mengangguk, Arki sekilas menunduk sopan untuk menjawab, “Ya benar, saya. Tapi saya tidak berniat memberikan informasi ini pada Anda, Tuan, Anda adalah bajingan yang telah menyelundupkan sesuatu yang Anda bahkan tidak mengerti, maafkan saya, tapi ini salah otak Anda jika ada.”

“Bajingan kecil ini....” Prans berdiri dengan marah dan akan maju untuk meraih Arki, tapi Alya juga sudah berdiri, menodongkan pistol yang dia keluarkan dari balik gaunnya yang sudah dimodifikasi.

“Jika pelayan saya—Inspektur Arki—mengatakan Anda bajingan, itu artinya Anda benar bajingan.”

Pria itu terkejut. Matanya melotot penuh kemarahan, mulutnya berteriak, “Jadi ini yang kau cari dariku, Inspektur brengsek?!” Rahangnya mengeras tapi tak bisa melakukan apa-apa selain mengangkat tangan tanda menyerah.

Alya tersenyum miring dan mendekat. Mengarahkan pistolnya seolah membimbing dia untuk menunduk, dan kemudian beberapa anggota kepolisian yang sebenarnya sudah ikut menyamar dalam posisi sebagai petugas hotel dan berjaga di luar menyerbu masuk ke dalam ruangan mereka.

“Prans Leondwell, Anda dituduh menjual informasi statisvalium palsu, menyebarkan informasi ilegal di bawah kegelapan, penjualan narkoba dan perbudakan, dan terakhir penyelundupan barang percobaan ilmiah ilegal, saya rasa catatan itu cukup untuk melempar Anda ke penjara.” Alya tersenyum licik, menganggapnya sebagai kemenangan.

“Brengsek!” Tak ada kata-kata lagi yang bisa keluar dari mulut Prans selain umpatan dan makian yang tentu saja itu tak ada gunanya.

Dan bagaimana setelahnya sandiwara busuk yang dilakukan Alya berakhir. Seolah terbebas dari penjara yang menyesakkan, Alya menghela nafasnya dan mejatuhkan diri ke atas sofa, setelah membiarkan Prans dibekuk dan diserahkan kepada anggota divisi kepolisian setempat.

Alya ingin ikut untuk investigasi selanjutnya namun, dia terlalu menyayangkan untuk menyia-nyiakan ruangan mewah yang sudah disewa oleh Kepala divisi mereka untuk misi ini.

Beberapa detik kemudian, Alya merasakan bantalan empuk dan tekanan hangat dari paha Arki di pahanya, dan dia menoleh untuk menatap partner-nya.

Arki, duduk manis di sampingnya, tangan mengepal dan ditekan ke atas dua lututnya bersama-sama, menatapnya diam-diam dengan mata hijau yang berkedip lambat.

Melihat itu tentu saja membangkitkan rasa ingin tahu Alya yang sedari tadi tertahan di dalam benaknya. “Belajar darimana kamu?”

Arki dengan tenang, mengangguk sopan lalu sedikit menunduk hormat untuk menjawab, “Seperti apa, Master?”

Pemandangan itu sontak membuat Alya terdiam dengan mulut bungkam yang melengkung ke bawah. Melihat bagaimana Arki melirik dengan mata penuh keseganan di balik bulu mata yang berkibar kecil, dan senyum malu-malu.

Memandang jauh dari Arki ke meja di depan mereka, Alya dengan malas menyilangkan satu kaki di atas yang lain, menutup matanya dan melepaskan desahan yang tenang dan tegas, lalu duduk dengan tegak.

Dia lantas berdiri dari duduknya, bangkit, berjalan meninggalkan ruangan, setelah dia sepenuhnya tahu pada apa yang terjadi.

Arki sangat marah.

~0

Alya ingat bagaimana cinta adalah segudang suara, warna, dan bau. Seperti di dalam penjara, ketika terjerat di dalam sana. Bisikan kata-kata di antara jeruji dingin, lantai tandus dengan jerami menggores kakinya yang telanjang, pasrah pada nasibnya saat dia memberitahu untuk tidak melawan mahkota lagi dalam masalah ini.

Terakhir, seperti hukuman mati.

Dia mati melalui tombak ke dada, mengutuk nama pangeran, mati rasa karena rasa sakit saat kegelapan menelannya.

Itu adalah mimpi, yang kenyataan.

“Mempersembahkan Marquess dan Marchioness Lavasandra, dan satu anak mereka.”

Seperti panggilan dari surga yang memberi isyarat memenuhi telinganya. Alya membuka mata. Melihat sekilas bayangannya di kaca yang dipoles, dan dia menyadari bahwa wajah yang melihat ke arahnya bukanlah orang yang sama yang telah meninggal pada ulang tahunnya yang ke-dua puluh satu.

Ini adalah Alya yang berusia lima belas tahun yang melihat ke arahnya dari bayangan cermin. Bingung dan sangat muda, tidak tersentuh oleh kengerian perang dan medan perang. Tidak terbebani oleh pengetahuan yang tidak diinginkan dari keluarga kerajaan. Tapi yang paling penting, hidup.

“Alya.”

Mendengar suara terkutuk itu memanggil namanya, itu cukup untuk membuatnya terengah-engah. Ini adalah awal mimpi buruknya dan suatu kesalahan untuk tetap berdiri di sana dan menonton, menjadi penonton di kerumunan saat sang pangeran masuk.

Saat mereka mengunci mata, teror telah kembali, sepuluh kali lipat. Pengingat akan menjadi apa anak itu di masa depan.

Alya melarikan diri. Dia berlari, bagaimanapun sang pangeran, tampaknya bersikeras untuk mengikutinya, dan ada aroma agitasi yang meningkat dan menembus udara sehingga instingnya sendiri secara praktis berteriak padanya untuk tunduk.

Ini dia, lelcucon iseng, Alya akan memulainya untuk mempertahankan dirinya dari takdir kematian di masa depan.

Dia memaksakan dirinya, menimbang pilihannya untuk saat ini. Untuk berpura-pura—

“Aku jatuh cinta pada orang ini pada pandangan pertama!” Dia berseru, sekeras yang dia, dan dia membiarkan punggung tangannya menyentuh kain lembut dan mencekalnya. “Aku—aku akan membuatnya bahagia!”

Alya menghindari tatapan terkejut orang tuanya, bertanya-tanya mengapa dan kenapa pangeran meringis. Oh tentu, dia harus bertanggung jawab atas tindakannya, apapun hasilnya. Kemudian dia mendengar suara tawa menyahut di belakangnya.

“Aku mengerti, kalau begitu, aku akan menerima tawaranmu.”

Apa? Tunggu, ini tidak seperti—

Sebuah lengan lembut, lembut tapi sudah posesif, membungkus tubuhnya yang lebih kecil dan Alya mencicit kaget saat dia terangkat dengan mudah ke udara. Mata biru bertemu dengan kedalaman lelehan emas yang terbakar dan dia tersedak karena dia mengenali mata itu.

Brian Arshen.

“Aku akan menerima permintaan pernikahanmu, nona cantik bermata safir cerah.”

Pria yang tepat enam tahun kemudian akan menghancurkan kerajaan terdekat dan membangun kerajaan abu. Raja yang akan mendapatkan nama seorang kaisar terkutuk untuk kegilaan dan penaklukan. Pangeran yang telah menghabiskan pertempuran seumur hidupnya.

Jubah merah anggur di belakangnya merupakan bukti posisinya, pangkatnya. Bahkan sekarang, akan sulit bagi orang lain untuk ikut campur bahkan jika mereka mau, dan tidak mungkin ada orang yang lebih sempurna untuk memenuhi peran ini. Dia seperti seorang aktor dalam drama yang dibuat dengan buruk.

Brian meletakkannya dengan lembut di kursi, berlutut dan meraih tangannya. Tidak terpikirkan, tidak ada mahkota yang akan mempertimbangkan untuk merendahkan diri di depan bunga, namun Alya tidak dapat mendeteksi jejak ketidaktulusan di mata yang cerah itu.

Ini seharusnya menjadi pengakuan pura-pura. Tapi melihat kasih sayang yang mekar di dadanya ketika dia menerima mawar merah, perkataan, dan lingkaran ketulusan yang terpancar di mata itu. Berkilau dalam kegembiraan, dan bibir terangkat menjadi senyum bahagia saat ksatria hanya berkata,

“Jadi tolong buat aku bahagia.”

Alya benar-benar jatuh pada pandangan pertama, di kehidupan keduanya.

— 光 —

Arki tidak pernah punya teman. Tidak pernah memiliki seseorang yang bisa dia panggil untuk menghabiskan waktu, untuk bersenang-senang. Setiap hubungan yang dia miliki selalu didasarkan pada harapan dan keuntungan.

Maksudnya, siapa juga yang mau berteman dengan seseorang yang punya kekurangan?

Itu semua karena saat itu. Arki, pewaris tunggal kelompok Adlantha yang bergengsi menjadi bisu setelah dia mengalami kecelakaan yang sengaja dimanipulasi oleh seseorang.

Dan karena insiden itu, tepatnya, Arki kehilangan kedua orang tuanya pada usia sepuluh tahun.

Dia tidak beruntung sama sekali.

Dan karena itulah, Arki berusaha untuk tidak terlalu memikirkan kecacatannya. Tentang bagaimana dia tidak akan pernah memiliki suaranya sendiri lagi. Meskipun dia mengatakan pada dirinya sendiri bahwa dia tidak terlalu peduli, tetapi terkadang dia merasa keadaan itu merepotkan.

“Arki!”

Kemudian dia bertemu dengan anak berisik yang menjengkelkan.


“Arki, aku datang lebih dulu daripada kamu!”

'Arki, Arki, Arki.' Secara harfiah, itu seharusnya mengganggunya. Tapi Arki tidak pernah menyangka Alya akan menjadi bagian penting dalam hidupnya.

Keduanya selalu berselisih satu sama lain sejak mereka bertemu.

Tetapi dengan berlalunya hari dan semua kegiatan yang mereka lakukan bersama di setiap pertemuan, mereka berdua semakin dekat. Entah bagaimana.

Alya tidak memperlakukan Arki seperti gangguan. Sebaliknya, dia memperlakukan Arki secara pribadi, bukan karena nama Adlantha-nya. Tidak mengasihani dia atau mengolok-olok dia di belakang punggungnya.

Juga adalah seseorang yang memojokkan seorang anak kelas dari angkatan di atasnya, yang mengatakan tentang bagaimana “Anak cacat sepertimu seharusnya tidak sekolah di sini!”

Arki menutup mata untuk itu. Dia tahu akan selalu ada orang seperti ini. Dia sudah terbiasa dengan itu semua.

“Terus kenapa?”

Arki menoleh cepat dan melihat bagaimana si rambut cokelat pasir mengerutkan dahinya, menarik kerah laki-laki itu, sementara jarinya yang terlipat menodong seperti sebuah pistol.

Alya lalu menjawab lantang, “Dia mungkin punya kekurangan, tapi usaha yang dia lakukan bahkan jauh lebih baik dari apapun yang kalian semua lakukan!”

Dengan mengatupkan giginya, mata bersinar dengan tajam pada anak-anak itu, sementara Arki menyaksikan dari samping bagaimana ekspresi ketakutan tercetak jelas di wajah mereka, dan keyakinan di wajah gadis ini.

Arki belum pernah bertemu orang orang yang membelanya seperti itu.

Ketika akhirnya orang-orang itu pergi, gadis berkuncir dua itu menghela nafasnya. Dia berbalik, menatap Arki yang hanya bergeming kepadanya.

“Aku keren, kan?” Alya berucap sembari menepuk dadanya sendiri dengan bangga. “Aku lihat ini semalem di Tv tau! Dia nodongin pistolnya, terus berdiri di depan temannya, ngelindungin teman baiknya! Kayak gini!”

Melihat Alya memperagakan karakter yang dibicarakannya dengan binaran di matanya, mata Arki berputar jengah, dan dia hanya berdengung pelan tidak peduli.

“Kamu seharusnya jangan diam aja kayak orang bodoh!”

Ah, itu kalimat ironis yang menyinggung perasaannya.

Arki secara naluriah akan mengabaikan kalimat itu. Berpikir dia tahu bahwa sebenarnya itu tidak berniat untuk mengejek dirinya, karena itu memang faktanya. Dia diam karena tidak bisa bicara.

Benar juga, kenapa dia bisa lupa? Pada akhirnya, semua kembali ke awal, bahwa mereka semua tetap akan merasa aneh pada 'hening'nya yang seperti seorang pecundang.

Arki menghela nafasnya kemudian bola matanya bergulir ke bawah, ke saku roknya, meraih sesuatu dari dalam sana. Lalu mengeluarkan sesuatu itu dan menyerahkannya pada gadis di hadapannya dalam diam.

Dia sudah memperkirakan waktu ini akan tiba.

“Kamu emang suka bawa uang sebanyak ini?! Untuk apa ini?”

Arki mengerutkan kening. Bukankah dia selama ini melakukannya karena menginginkan ini?

Itu faktanya, kan? Tidak ada yang ingin berhubungan dengan orang cacat seperti dia jika mereka tidak akan mendapatkan keuntungan sebagai balasannya.

Dan sekarang sudah waktunya untuk 'membalas', kan?

“Loh, tunggu! Ini kamu bayar aku?”

Arki tersentak ketika mendengar suara cempreng itu begitu penuh tekanan. Dia mendongak, hanya untuk melihat sorot mata penuh kekecewaan dan kemarahan di sana.

Arki otomatis mengkoreksi diri. Apakah dia melakukan kesalahan?

“Kamu jangan bodoh gitu dong! Aku juga punya uang, walau nggak sebanyak punya kamu.”

“Terus juga kamu seharusnya pukul mereka, kayak yang di film action di Tv aku semalam! Aku tahu, kamu anak karate, kan? Itu keren! Kenapa kamu diam aja?”

Memukul mereka? Oh tunggu, dia tidak berniat mengejeknya?

Arki menatap diam pada dia yang menampakkan senyum bodoh. Arki tak habis pikir dengan apa ini sebenarnya. Apa yang diharapkan orang ini padanya sebenarnya?

Dia benar-benar susah ditebak.

Saat orang-orang lainnya biasanya akan membiarkannya begitu saja.

Alya berbeda.

Alya akan memarahinya untuk menjaga dirinya lebih baik. Untuk tidak tinggal begitu terlambat. Untuk tidak selalu terkubur dalam kesibukannya.

Dan bahkan jika Arki tidak mendengarkannya, Alya akan ada di sana, duduk di kursi yang sudah ditariknya ke sebelahnya, dan menunggunya.

Itu membuat Arki kesal tanpa akhir.

Tidak seorangpun menikmati menghabiskan waktu bersamanya. Tidak seorangpun tahan duduk lama di sebelahnya. Lalu kenapa dia bisa?

Saat kemudian Arki menghadapinya dengan mengatakan untuk tidak bersikap demikian hanya karena kasihan, Alya akan menggedikkan bahu dan mengatakan, “Ini bukan belas kasihan. Aku suka mengganggumu saja.”

Dan di situlah Arki diam. Kembali mengabaikan Alya yang terus mengoceh sambil menampilkan senyum bodohnya.

Arki juga kadang memperhatikan bagaimana Alya, datang lebih dulu di kelas. Lalu fokus pada ponsel dengan tangan bergerak-gerak mencoba menyusun sebuah kalimat dalam bahasa isyarat.

Dan ketika Arki berpura-pura mengetuk pintu, atau melakukan apapun yang menarik perhatian, Alya akan tersenyum kikuk dan menyimpan ponselnya ke bawah kolong meja lalu mengajaknya bicara.

Arki tahu Alya sengaja mempelajari bahasa isyarat karena mereka sadar, tidak bisa selalu bergantung pada kertas dan bolpoin atau ponsel untuk berkomunikasi.

Ada perasaan tidak enak ketika Arki memikirkan bagaimana repotnya Alya terpaksa harus mempelajari bahasa isyarat itu untuknya. Tapi ketika dia bertanya, Alya menjawabnya sambil tertawa.

“Aku belajar bukan buat kamu tuh!”

Kalimat itu membuat wajahnya panas dan Arki mendengus. Lalu setelah itu dia memutuskan untuk mendiamkan Alya yang terus mengoceh meminta maaf, dan sempat meminta contekan padanya.

Itu praktis menyebalkan, tapi Arki membiarkannya saja, terus seperti itu, karena dia tidak keberatan.


Semuanya berubah setelah Arki tak sengaja mendengar percakapan yang dia dengar saat dia melewati wilayah kelas lain.

“Alya itu, bodoh, kan?”

“Dia mau temenan sama anak bisu, padahal dia bisa dapat lebih banyak teman yang normal.”

“Kasihan ya?”

Arki otomatis tersenyum tipis. Dia pergi dari sana, dan kalimat itu dengan jelas berdengung di kepalanya, seperti alunan sirine yang membuat paru-parunya terasa ditarik ke perutnya.

Sepertinya dia akhirnya sampai di suatu tempat. Pengakhiran.

Dan setelah itu, Arki akhirnya memutuskan untuk membuat jarak. Menutup diri dari Alya sepenuhnya. Tidak memberitahunya apapun tentang alasan mengapa dia begitu tertutup selama beberapa minggu terakhir.

Bahkan ketika Alya mendesaknya untuk memberitahunya apa yang mengganggu dirinya, Arki tetap keras kepala dan menutup bibirnya.

Arki bukannya enggan namun dia percaya bahwa dengan cara ini dia melindungi Alya.

Alya tidak perlu tahu masa lalu temannya yang bermasalah ini dan akibat keadaannya yang seperti ini Alya jadi kena getahnya.

Lebih baik begini saja.


“Kamu seharusnya menjauh dari sini!”

Semuanya berubah buruk ketika Arki tiba-tiba diseret dan dibawa melewati lorong-lorong sekolah, lalu dipaksa masuk dan didorong ke dalam toilet di ujung koridor yang sepi, sudah tak dipakai lagi.

Arki otomatis meringis ketika salah satu dari mereka yang berdiri di belakangnya menarik rambutnya, memaksa kepalanya untuk menengadah.

“Alya seharusnya nggak temenan sama kamu.”

“Kamu cuma orang bisu, cacat, nggak normal. Nggak seharusnya bahagia.”

Arki mencengkeram tangan yang menarik rambutnya. Kata-kata itu bergema di telinganya, membuat oksigen di paru-parunya bergemuruh di dalam dadanya.

“Kamu seharusnya jangan diam aja kayak orang bodoh!”

Suara cempreng yang menyebalkan itu membuat mata Arki berkilat. Dia mengatupkan mulutnya. Kemarahan, kekesalan, rasa jengkel, berkumpul menjadi satu di dalam dadanya menjadi sebuah perasaan sesak.

Dan karena itulah, Arki memelintir tangan orang yang menjambak rambutnya, lalu mendorong tubuhnya kencang.

Kemudian salah satu dari mereka berteriak murka, mengatakan dengan lantang bahwa dia tidak pantas hidup di sana, berteman dengan Alya yang naif dan memanfaatkan kebaikannya.

“Emang apa hak kalian ngelarang aku?”

Mata Arki membulat melihat siluet seseorang yang dikenalnya berdiri tak jauh darinya dengan wajah ditekuk dan tangan terlipat di depan dada. “Aku teman Arki, dan aku sendiri yang pilih dia jadi temanku.”

Dan ketika matanya bertemu pandang dengan iris biru kristal itu, orang itu tersenyum. Mendekat, membelah gerombolan itu lalu menarik tangan Arki.

“Arki itu temanku.” Lalu pergi menariknya dari sana.

Dan Arki hanya diam. Berpikir setelah semua ini, mengapa Alya masih begitu peduli padanya bahkan setelah sekian lama?

Alya seharusnya meninggalkan seseorang seperti dia. Tetapi bahkan setelah melalui semua ini, Arki melihat Alya mengatakan kepadanya bahwa dia percaya padanya.

Dia bahkan masih memanggil dirinya teman.


“Kamu jauhin aku karena mereka ya?”

Setelah dirinya menyeret Arki ke belakang sekolah, tempat mereka biasa bermain menghabiskan waktu, Alya bertanya mengapa Arki tidak memberitahunya apapun tentang masalahnya.

Tidak pernah memberi tahu siapapun, untuk bisa sedikit meringankan bebannya. Bahwa dia tidak harus melalui semua omong kosong ini sendirian.

Dia juga mengatakan betapa marahnya dia karena Arki mendadak menjauhinya dan mengabaikannya. Marah tentang bagaimana Arki menempatkan dirinya untuk masalahnya sendirian. Gila karena dia sangat peduli sehingga menyakitkan.

Ketika Arki bertemu mata dengan Alya, dia melihat sekilas bagaimana Alya di masa lalunya. Yang terbiasa merasa kecil dan kurang percaya diri. Orang yang selalu merasa bahwa dia tidak berguna dan hanya malapetaka.

Dia tahu ini karena Alya telah berbagi masa lalu dan masalahnya.

Dan saat ini, sudah waktunya bagi Arki untuk melakukan hal yang sama.

Arki mundur dan menjelaskan tentang dirinya sendiri. Tentang bagaimana dia hanya ingin Alya lepas dari cemoohan. Tentang bagaimana dia ingin Alya berteman dengan seseorang yang 'sama' dengannya.

Tangan Alya otomatis terangkat untuk meraih tangan Arki, menghentikannya. Dan Alya memberitahunya bahwa dia mengerti. Dia memberitahu bahwa dia melihat maksud baik Arki.

“Tapi karena kita teman, seharusnya kita jalanin sama-sama! Kita teman, kan?! Kita teman—”

“Alya.”

Suara kecil itu membuat nafas Alya tercekat dan matanya melebar karena terkejut. Semua kata-katanya tertelan begitu saja di tenggorokkan ketika Arki menatapnya dengan pandangan lurus.

Arki pernah memimpikan bagaimana kehidupannya jika suaranya normal. Bagaimana suaranya jika itu tidak hilang. Dan bagaimana nada bicaranya jika dia memanggil nama seseorang, menyatakan betapa menjengkelkannya orang itu.

Dan Arki ingin dia mendengarnya.

“Kita ... teman, dasar ... bo-doh.”

Suara itu, jelas tegang dan sangat kesakitan. Tapi Arki tidak peduli. Meski ini tidak sempurna, dia tidak peduli. Dia ingin memberitahu seberapa penting dirinya.

Jadi dia mendorong, untuk memberi tahu yang lain sebelum Alya bisa menyelanya.

“Alya—” Namun suara Arki pecah, tidak mampu melanjutkan. Rasanya seperti semuanya sakit, seolah-olah rasa sakit dari tenggorokannya menyebar ke seluruh tubuhnya.

Tapi itu belum cukup. Arki ingin mengatakannya lagi.

“Aku tau!” Alya memotong dirinya yang hendak berbicara lagi dengan suara tinggi. Menggenggam pergelangan tangannya, dan itu membuat Arki mengerjapkan matanya.

Alya menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya perlahan. Menatap Arki dengan sorot mata penuh tekad, dan sangat intens.

Lalu tiba-tiba dia tertawa terbahak-bahak.

Arki sontak menaikkan satu alisnya, bertanya-tanya apa yang lucu. Namun Alya menggelengkan kepala dan lanjut tertawa, sampai dia kemudian mengusap sudut matanya yang mengeluarkan air mata karena geli.

“Suaranya beneran punya kamu, Ki.”

Arki terdiam, terlihat memproses kalimat itu. Lalu setelah beberapa saat bungkam, dia akhirnya membelalakkan matanya dan wajahnya memerah sempurna. Menangkap perkataan Alya.

Alya tentu saja melihat itu, dan dia tertawa lagi dengan kencang.

Arki sontak menundukkan kepala dan tangannya mengepal di samping badan. Melihat bagaimana mulutnya mengatup rapat dan tatapannya berubah walau wajahnya masih jelas nampak memerah, Alya berhenti tertawa. “Eh?”

Saat itu dia akhirnya merasakan bagaimana dipukul di perut oleh Arki yang sedang memerah. Alya tak akan melupakan ini.

Ya, sudah seharusnya itu memang seperti itu.