dimsum


Tenda sudah terpasang dari matahari terbit, dua laki-laki duduk di atas patahan batang kayu yang tertidur di atas rerumputan hijau terang. Duduk di hamparan luas, terlihat pegunungan dan panasnya sinar matahari menyentuh kulit mereka.

“Panas, apa kamu tidak kepanasan?” Thanat menyipitkan matanya, sinar matahari menyentuh dua mata indah itu yang mengharuskan pemilik menyipitkan kedua matanya.

“Iya, tapi tidak apa-apa. Kamu kepanasan? Ingin topi?” menawarkan topi lebar berwarna kuning cerah terdapat gambar sebuah bunga matahari.

Tay menerima dan memakai di atas kepalanya, Thanat tersenyum tipis. Semilir angin meniup rambut Thanat, kulitnya sekarang sudah memerah seperti kepiting rebus. Pakaian yang dipakainya pendek menampakkan lengan, kepalanya dibiarkan kosong tanpa hiasan penutup.

“Kamu seperti kepiting yang sedang di masak.” Tay memerhatikan dari atas kepala sampai kaki, sinar matahari sangat panas. Tay beranjak dari tempatnya berjalan ke arah dalam tenda.

Thanat mengambil sebuah batu kecil yang berada di sebelah kakinya, ia lemparkan kuat ke tempat kosong. Ia kepanasan rasanya matahari seperti memasaknya, ia ingin bersantai dalam tenda, tapi ia tidak mau merusak liburan bersama temannya ini.

Tay membuka tas besar berwarna hitam miliknya yang teronggok di sebelah pintu tenda. Tangannya merogoh-rogoh mencari sweater. Hampir lima menit, ia mendapatkannya. Ia tinggalkan tasnya terbuka begitu saja, menutup pintu tenda dan keluar dari sana.

Thanat masih asik melempari batu ke hamparan luas. “Daripada melempar hal yang tak penting, ini pakai.” Tangannya berhenti dan menoleh ke arah sumber suara, alisnya ia naikkan.

“Pakai, kenapa kamu diam saja?” “Bagaimana bisa aku pakai kaos lalu aku harus mengganti baju?” “Hahahahha, tidak bukan seperti itu maksudku. Kaos-mu ini sebagai dalaman dan sekarang pakailah, double.”

Thanat mencoba pakai dan baju itu tetap terlihat sangat besar padahal terdapat kaos di dalam badannya. Lengan sweater itu sangat panjang sampai menutup telapak tangannya.

Tay tersenyum tipis dan tangannya segera mengambil gambar pemandangan indah yang terdapat di depannya. Kulit Thanat sudah mulai kembali seperti sebelumnya.

“Hey, kamu mengambil diam-diam?” Thanat menyadari temannya mengambil dirinya.

“Mari kejar aku, kalau tertangkap aku akan membelikanmu bunga matahari saat pulang.” Tay sudah berlari jauh menghindar dari Thanat.

“Mari kita lihat.”

end.

—page 23


untuk temanku yang satu ini terlebih bodoh dan ceroboh. sudah bertemu dari 2019, pindahan sekolah lain. tidak banyak bicara, tapi sempat terkejut sekelas di pertengahan tahun 2019.

Mardiyansyah Alfarizi; kusebut bodoh, karena memang nyatanya anak ini terlalu ceroboh melakukan sesuatu. memaksa, keras kepala, ingin ku pukul kuat kepalanya.

bisa-bisanya laki-laki ini, meminjam tutup pulpen dengan memasukkan ke dalam mulut, rasanya ingin ku lempar manusia itu. bisa-bisanya pulpen dengan harga mahal dan pemberian ibuku dia lumuri ludah.

kupikir dia anak baik, ternyata selalu mengangguku, entah meminjam pensil, pena, penghapus. terkadang mengacak-acak kotak pensilku. atau terkadang menyumpahi aku.

tapi di balik itu, aku memandang dari kacamata lain, dia selalu terlambat, tertidur di kelas, alasannya karena malam dia latihan bola. terkadang omelan guru selalu menumpahkan ke wajahnya. menurutku, dia memang tak pintar tapi mempunyai kebihan yang orang tak melihatnya.

dia selalu merusak suasana, tapi terkadang datang untuk curhat tentang kekasihnya yang sekarang—putus. dia pernah melakukan hal gila, menelepon di malam hari dengan kekasihnya, dan membiarkan ku mendengarkan two lovebirds that.

selalu meminta jawaban dan contekan. tapi ingin kuucapkan terima kasih telah merusak suasana setiap hari, setidaknya ku terhibur dengan tingkah laku bodohmu.

aku sedikit lega dan menyesal menulis ini, Mardi.

end.

—page 35


Sudah hampir 9 tahun, semenjak awal kita bertemu kita masih kanak-kanak berpikiran polos. dari semua orang yang pernah kutemui tetap kamu yang terbaik. tiara hari tanpa berselisih, kenangan akan tetap menjadi kenangan.

kita selalu bertemu, walaupun kita pergi sejauh apapun tetap hati kita terhubung. banyak janji belum bisa kita lakukan, banyak kata maaf dan terima kasih yang belum ku ucapkan.

Andini Putri Rahman; nama yang tak asing selalu orang jumpai, bahkan perempuan ini tak pintar tapi kelebihan yang tak orang lihat adalah ia mampu menggambar. ukiran, cara ia menumpahkan warna dalam menggambar membuat itu istimewa.

punya ibu yang pintar menjahit, lahir di keluarga sederhana. selalu menjadi orang yang tak peduli dengan omongan orang. sudah beberapa tahun terakhir kita menghabiskan waktu bersama.

terkadang berpelukan layaknya anak koala dan ibu koala yang tak terpisahkan. bahu yang mampu menerima penulis ini. banyak dosa yang telah temanmu lakukan kepadamu di masa lalu.

maafkan temanmu yang masih merepotkanmu sampai sekarang. berilah ampunan kepada temanmu atas masa lalu.

terima kasih telah hadir menjadi sebagian jiwa sahabatku, terima kasih telah menerima ku apa adanya. mendukungku di setiap perjalananku. sampai di penghujung tahun 2020, kita akan bersama.

i met a lot of people but no one like you, Andini.

end.

—page 15.


sudah 3 tahun semenjak pertemuan awal kita berdiri di aula bersama, badan yang tinggi masih sama, terdapat gantungan di leher bertuliskan “asal sekolah”. perempuan berkulit coklat bertanda asia, bibir kecil, suara yang selalu rendah. tangan yang sangat kecil untuk di genggam oleh siapapun.

Lintang Savana; perempuan yang selalu mengerti rasa sakit temannya dalam mata atau hati. otak dan pikiran-mu pintar, hampir semua pelajaran kamu bisa selesaikan. perempuan yang terkadang menangis sunyi tiada yang tahu kecuali tuhan dan dirinya.

tepat 3 tahun, perjalanan dari temanmu ini berusaha mengambil mu dari teman yang tidak baik, tapi akhirnya dapat. dari perjalanan kelas tengah sampai akhir, dua kota dilalui bersama. tangan hangat yang memeluk temanmu ini di dalam gelapnya mobil dan dinginnya malam, di penuhi semua laki-laki, hanya dirimu yang pasrah menemani.

maafkan penulis tulisan ini selalu minta bantuan mu, bahkan disaat kita sudah jarang bertemu, aku masih minta bantuan kepadamu. diri ini sebenarnya tak pantas berteman dengan dirimu yang baik nan pintar. aku hanya manusia terbelakang yang berteman denganmu.

maaf telah merepotkan mu bertahun-tahun. maaf jika diri ini selalu mengajak dirimu untuk menyelami kehidupan sedihku.

terima kasih atas bahu dan usapan tanganmu yang selalu menerima kepala siapapun untuk menangisi semua perasaan. terima kasih selalu menahan amarah dan sedihmu agar yang lain tak tahu. terima kasih telah menjadi teman terbaik yang pernah ada, terima kasih telah memandangku menjadi manusia apa adanya tanpa memandang fisikku atau pikiranku.

nobody compares to you, Lintang

end.

—page 93


Nanon sudah sampai depan rumah Chimon, yang punya rumah keluar menghampiri Nanon. “Lama ya? Maaf.”

“Nggak kok, barusan sampai.” “Ayo berangkat.”

///

Ada sekitar 30 menit, akhirnya mereka sampai ke tempat karnaval tersebut. Di sana sudah ramai pengunjung, Nanon menyuruh Chimon untuk duduk sebentar di bangku panjang, dan dia pergi ke pengantrian tiket. Pengantrian tiket tidak terlalu panjang jadi Nanon tidak perlu menunggu lama.

“Kak, tiket untuk berapa orang?” “Dua ya kak.” “Oh sebentar ya kak.” “Iya.” “Ini kak, terima kasih. Langsung masuk aja ya kak.” “Terima kasih.”

Nanon menghampiri Chimon, dan langsung memberikan ke Chimon. Sebelum masuk, Nanon mengambil gambar tiket dan di masukkan ke sg. Setelahnya Chimon menarik pergelangan tangan Nanon.

Penjaga karnaval meminta bukti tiket mereka, setelah melihat tiket mereka berdua, penjaga menempelkan stamp berbentuk cinnamoroll ke pergelangan tangan mereka berdua.

Setelahnya, pertama yang mereka lihat adalah toko kue. Chimon berlari kecil memasuki toko tersebut, Nanon hanya menggelengkan kepalanya. Chimon segera melambaikan tangannya untuk duduk di kursi paling ujung.

“Seneng banget sihhh.” “Iyaaa mau makan kueee.”

Pelayan langsung menghampiri mereka, “Mau makan apa Mon?” Chimon terlihat bingung saat memilih makanannya. “Ini aja Nanon.”

“Ini sama ini ya kak.” “Udah itu aja dek?” “Iya, makasih kak.”

Pelayan pergi dari hadapan mereka, mereka duduk di kursi yang bernuansa sofa putih terdapat bantal warna biru, dan mejanya yang bernuansa biru.

“Udah sarapan belum tadi?” “Udah, tapi laper lagi hehe.” “Aduhh.”

Sembari menunggu mereka menggambar di kertas yang di bawa Chimon dari rumah. “Ini Nanon, ini aku.”

“Aku serem banget masa badanku garis tipis.” “Ihhh Mon, gabisa gambar Nanonn.” “Iya, iya.”

Tak lama 15 menit kemudian, pesanan mereka telah sampai. Chimon memesan mochi berbentuk Cinnamoroll berisi coklat dan terdapat buah stroberi di dalamnya dan di temani susu hangat. Sedangkan Nanon, makan kue tart rasa vanilla di hiasi stroberi dan di temani stroberi milkshake.

“Inget makannya jangan berantakan.” “Iya Nanonn.”

Nanon memasukkan suapan kecil ke mulutnya. “Nanwon apwa ituh enak?” Nanon melihat ke arah Chimon, bibirnya berantakan penuh dengan coklat. “Aduh, makan dulu ya baru ngomong.”

Nanon mengelap bibir Chimon dengan tisu, setelahnya “Tapi Chimon mau, Aaa.”

Nanon hanya menggeleng tersenyum, ia menyuapkan ke dalam mulut Chimon. “Ih enak Nanon.”

Setelah makan mereka keluar

Mereka sekarang menuju ke acara pertunjukkan karnaval. Mereka masuk ke dalam ruangan besar, gelap. “Gelappp. Ini kita mau nonton pertunjukkannya kan Non?”

Nanon mengangguk, mereka duduk di kursi barisan tengah. Acara pertunjukkan sudah dimulai dari satu jam yang lalu. “Ihhh lucu Non.”

“Lucuan yang disitu apa yang di samping kamu?” “Lucuan, hmmm. Nanon!”

Selama pertunjukkan Chimon heboh karena katanya acaranya lucu. Nanon hanya diam, tapi tetap melihat Chimon agar tak kemana-mana.

Setelah acara selesai, Nanon minta izin ke Chimon, ia ingin ke kamar mandi. “Mon, aku mau ke kamar mandi, jangan kemana-mana ya? Tunggu disini.” Chimon mengangguk setuju.

Nanon segera pergi ke kamar mandi yang jaraknya tak jauh dari tempat pertunjukkan tadi. Tiba-tiba, Chimon menoleh ke arah toko About Cinnamoroll, ia segera melangkahkan kakinya ke arah sana.

10 menit, Nanon akhirnya balik dari kamar mandi dan tak bertemu Chimon sama sekali. Nanon panik Chimon hilang, pertama ia mencari Chimon di tempat pertama kali mereka makan, tapi Chimon tidak ada.

Yang kedua di tempat pertunjukkan, tapi tidak ada. Di tempat wahana bermain, biang lala, komedi putar. Chimon tak ada juga.

Nanon panik setengah mati, ia menelepon 10 kali tapi tidak ada jawaban, ia mengirim chat tapi tak ada jawaban. Nanon akhirnya menoleh ke arah stand yang dimana terdapat balon dan gulali berwarna biru, putih, pink.

Saat ia semakin mendekat ke arah stand itu, ada laki-laki sudah membawa tas kertas dan sedang berjongkok di sebelah bapak-bapak.

“Chimon?” “Nanonn. Mau makan nggak.” Nanon memeluk Chimon sangat erat, Chimon yang bingung ia langsung memukul pelan.

“Kenap—.” “Aaa aku udah nyari kamu kemana-mana, aku kira kamu hilang. Kan udah aku bilang aku cuman ke kamar mandi, tunggu bentar. Nanti kalo ada orang culik kamu, di mintain uang gimana??? “Maaf Nanon.”

Nanon melepaskan pelukannya, tangan kanan ia genggam tangan kecil itu. Dan tangan kiri satunya membayar uang ke bapak tersebut. Bapaknya baik, bahkan ia tidak masalah membuat gulali untuk Chimon, tidak di bayar tidak apa-apa karena Chimon anaknya baik.

“Terima kasih banyak ya pak, maaf membuat repot.” “Makasih dek, sudah memberi uang. Anaknya baik kok tadi.” “Iya, makasih banyak pak.” “Iya, sama-sama dek.” “Ayo pulang Mon.”

Nanon menarik tangan Chimon untuk pulang. “Nanon, mau beli sweater Cinnamoroll boleh?” Nanon menganggukkan kepalanya.

Mereka berdua memasuki toko berisi pakaian, dari jaket, hoodie, sweater, celana jeans, celana panjang, celana pendek, dan berbagai kaos lainnya. Chimon sibuk memilih baju. “Nanon mau yang mana?”

“Yang ini.” Nanon sibuk memainkan ponselnya, Chimon takut kalo Nanon bakal marah karena ia hampir ilang. Setelah selesai memilih baju, Nanon mengeluarkan beberapa lembar uang dan mengasih plastik ke Chimon.

Chimon menerima lesu, tangannya masih menggenggam tangan Nanon. “Terima kasih Nanon.”

Jam menunjukkan pukul 5 sore, Nanon menyalakan mobil. Mobil mereka terdengar hening, cuman terdengar lagu-lagu santai. “Nanon.”

“Hmm?” “Maaf aku hampir hilang, tapi aku tadi liat toko souvenir sama pengen gulali. Maafin aku ga nurut.” “Iya, gapapa. Aku cuman masih kaget aja. Jangan di ulangi ya.” “Iya.” Matanya hampir berkaca-kaca. “Kalo mau apa-apa tunggu aku oke? Minta temenin aku oke?.”

“Iya Nanon. Tapi Nanon udah ga marah kan?” “Aku nggak marah, masih panik aja. Maafin aku kalo kelihatan marah.”

Nanon menarik Chimon untuk peluk. “Udah yuk pulang.” “Nanti pakai bajunya barengan ya?” “Baju yang di beli tadi?” “Iya sayangku.”

end.

—page 25’

dan


Pagi-pagi Tay bersantai duduk di kursi kayu panjang, taman yang dihiasi bunga matahari dan lily. Tangannya me-megang teh, sembari menengadah kepala ke atas melihat langit.

Tay tak sengaja melihat Thanat. Tetangga sebelahnya itu terasa asing sekarang padahal mereka bersebelahan. Laki-laki itu sedang me-mesuki sepedanya, sepertinya dia dari toko bunga punya ibu-nya.

Ada rasa ingin berteriak atau sekedar mengucap kata; Thanat. Tapi apa daya bibirnya tak mampu mengucap, hatinya tak siap. Tay hanya mampu membayangkan bagaimana hal indah pernah terjadi.

Mungkin di antara mereka berdua ada perasaan saling berharap besok atau kapan-pun mereka bisa kembali seperti dulu. Dimana kedua hati itu bisa tertawa bersama. Tapi, sepertinya satu hati sudah perlahan-lahan melupakan hati yang lain.

Mungkin ada keinginan itu semua hanya mimpi buruk, tapi telat satu hati merusak segalanya. Menangis menyesali segalanya, maaf atas segalanya itu mungkin tak baik-baik saja.

Hari itu Tay tak ingin menyakiti Thanat, karena pada dasarnya Tay juga terluka. Setelah hari itu, setiap hari Tay berusaha melupakan, bersikap dingin, dan acuh kepada Thanat. Iya, ini salah Thanat tapi tidak bisakah mereka berbicara baik-baik?.

Tay masih sayang, bahkan setiap dia melihat Thanat, dia selalu menyesal.

“Nat, maafin aku. Kalo kamu mau marah, caci maki, gapapa lupain aku aja Nat.”

Bibirnya berusaha terbuka seolah-olah ingin mengucapkan sesuatu tapi tak jadi. Lidahnya kelu, hatinya takut.

Sampai akhirnya, mata mereka bertemu. Thanat menyadari dari tadi Tay melihat-nya. Thanat membuka pagar kecil, melangkah maju ke Tay. Tay hanya terdiam beku dalam duduknya.

“Eh Wan, apa kabar? Sibuk banget ya? Kemarin pengin ngajak ke toko ibu tapi kamu nggak bisa karena sibuk tugas kuliah.” Thanat tersenyum tipis.

“I-iya Nat, aku baik. Kalo mau ngajak kemana, ajak aja nanti aku atur.” Tay segera membalas senyuman Thanat.

“Oh yaudah aku mau ke dalem ya. Mau bantu ibu.” Thanat segera berbalik badan melangkah jauh dari Tay, membuka pagar.

“Nat, maafin aku ya. Aku nggak tenang, maaf aku kelihatan selalu menghindar dari kamu.”

Thanat berbalik arah memandang Tay. “Iya itu kan udah kejadian lama, udah aku maafin. Terus mau kita jadi apa lagi?” Thanat mengangkat satu alisnya.

“Aku juga gatau kalo balikan aku kelihatan memalukan.” Tay memalingkan wajahnya, matanya malu untuk melihat mata kesayangan-nya itu.

“Kalo kita di takdirkan bersama suatu hari nanti, kita akan bersama. Jadi, mau tunggu kan?.”

end.

—page 20

coffee


Kamis, 17 desember 2020, rasa yang masih sama. Kaki yang masih menopang badan untuk selalu tegak, duduk di kayu panjang dalam perahu.

Menunggu di pelabuhan, menunggu yang tak akan pernah kembali. Seorang perempuan membisikkan sesuatu, bahwa menunggu-nya seperti menunggu perahu yang tak akan pernah datang.

Dua tahun sudah, angka genap terlewati. Sepertinya perasaan masih sama kepada-Mu yang takkan pernah kembali. Bahkan, jika ku ketuk hati atau sikap-Mu yang dingin, kalau aku yang mengetuk kamu takkan pernah membuka.

Kepada seorang laki-laki berkulit coklat, yang selalu me-malingkan wajah. Selamat ulang tahun untuk umur-Mu 16 tahun genap. Laki-laki yang pernah tertawa semanis coklat, se-indah langit. Tetap jaga hati dingin-Mu.

Terima kasih atas menjadi manusia yang selalu tertawa dan tersenyum. Bahkan sampai sekarang aku masih mendengar suara-Mu yang sama. k.

end.

—page 17

Camped-rini


Sinar matahari me-masuki jendela menusuk ujung mata, membuat siapa-pun akan terbangun dengan cahaya-nya yang terang bagaikan senter yang disorot-kan ke mata. Laki-laki, berwajah tirus bagaikan wajah yang lelah tidak tidur seharian, hidung yang bagaikan seluncuran, dan bibir yang merah ranum.

Wave; Laki-laki itu sudah me-masang wajah penuh amarah yang akan meluap kepada manusia yang masih tidur terlelap yang seakan-akan tidak ada dosa di dirinya. Pang.

“Pang, dasar! Ini tidak kamu rapikan atau kamu masukkan ke dalam lemari?” Wave berbicara sendiri dan masih berdiri dengan tangan yang siap memukul laki-laki yang masih tertidur itu.

“Pang!” Wave sudah menyerah, akhirnya—dia pergi memainkan komputer untuk mengerjakan tugas sekolah.

#2

Pang; Ia bangun karena suara alarm yang berasal dari ponsel-nya berdering nyaring. Ia matikan, dan cepat-cepat ia mengerjapkan mata untuk melihat jam, jam—menunjukkan pukul 8 pagi.

“Wave.” Lirih suara Pang yang serak menyatu ludah di dalam-nya.

Wave mengabaikan acuh, walau suara laki-laki itu benar-benar lembut memasuki pendengaran-nya, tetap ia kesal.

Karena tidak ada jawaban, Pang tidak berusaha lebih lanjut dengan panggilan, melainkan ia pergi ke arah kotak pendingin dua pintu tersebut dan mengambil satu susu kotak untuk-nya.

Ia buka dan segera ia minum. Sebuah air perasa coklat dingin mem-basahi tenggorokannya. “Wave, kenapa? Aku salah apa?”

Wave masih berkutat asik dengan layar komputer di meja-nya tanpa memedulikan kehadiran Pang.

Konyol, sama bodoh tidak beda jauh. Sudah ku bilang semua pakaian itu di lipat lalu di masukkan ke lemari. Ini hanya di abaikan.

Pang menempelkan susu kotak dingin itu ke arah leher—nya yang putih itu. Wave segera menyentuh leher-nya yang kedinginan.

“Kamu kenapa?” Wave segera membuang wajahnya.“Kenapa hey!”

“Ingin tahu jawaban-nya kenapa?” Wave berbalik menatap Pang, dengan melipat dua tangan di depan dada-nya dengan wajah penuh ekspresi akan kemarahan.

“Iya, aku mau tahu, aku siap kena marah.” Pang segera masuk ke dalam selimut tebal dan menggulung tubuhnya dengan selimut. Ia tau Wave akan marah besar.

“Coba lihat yang ada di dekat meja tv itu.” Wave menyunggingkan senyuman-nya. Tumpukan baju atas keranjang coklat yang bersih itu menutupi jalan. Pang hanya tertawa canggung.

“Huehue maaf-in aku ya, aku lupa.” Memang semalam Wave menyuruh melipat pakaian yang sudah di cuci kepada Pang, tapi Pang sibuk mengerjakan tugas sampai larut malam—dimana Wave sudah jatuh ke alam bawah sadarnya dahulu dan tidak mengetahui apakah Pang ingat atau lupa suruhan-nya

“Kok bisa lupa? Alasan.” Wave mencubit perut Pang. “Duh, duh. Aku habis terjaga dengan tumpukan tugas sekolah.”

“Besok aku beli coklat tanpa bagi-bagi.”

“Terus ini bagaimana? Aku lipat semua? Waveee!!.”

Wave melangkah pergi meninggalkan Pang dengan tumpukan baju dan selimut yang meliliti badan-nya. Pagi yang cerah di temani dengan tumpukan baju dan penyesalan.

end.

—Page 41

comic

play:still-jeff b


Dentingan jarum jam mengarah angka 7. Rumah seperti tidak ada yang meninggali tempat itu. Dua anak laki-laki masih berada dalam dunia alam bawah sadarnya. Dan tak lama, anak laki-laki bernama: Ohm, dia bangun sembari mengusap kedua matanya yang masih mengantuk.

Segera ia ambil handuk dan melepas seluruh yang sekarang tertampak: telanjang. Ia merendam–kan tubuhnya ke dalam bak mandi berbentuk persegi panjang—di temani sepasang lilin berbau coklat.

Ia menutup matanya—menikmati hangat-nya air dan bau coklat yang memasuki lubang hidungnya.

2

Sedang: anak laki-laki yang lebih kecil dari Ohm, masih mengumpat di dalam hangat-nya selimut dan tumpukan bantal di samping-nya. First—ia masih asyik ber-mimpi dan menyunggingkan senyumnya.

Terdengar suara ketukan pintu dan me-manggil namanya. Tapi, yang di panggil tak menjawab. “First, bangun.” First mengerjap-kan matanya berkali-kali, melihat anak laki-laki berbadan tinggi sudah ada di samping ranjang-nya.

“Ayo, mandi lalu sarapan.” First menggeleng-kan kepala tanda menolak. Ohm menarik memaksa tangan First—sampai yang di tarik kepala-nya terbentur pundak Ohm. “Aduh, aku tak mau. Kau saja yang sarapan.”

Ohm me-meluk First dan mulai meng-gendong. “Duhhh, jangan!” Ia tetap membawa First ke kamar mandi yang jarak-nya dekat dengan ranjang-nya.

“Udah-udah, aku akan mandi. Keluar sana!” “Tak mau di—mandikan?” First menyipit-kan matanya dan segera mendorong Ohm keluar dari kamar mandinya.

3

First keluar dari kamar-nya, dan pergi ke arah dapur. Tapi, kosong tak ada satu-pun makanan yang tersedia di meja. “Ohm, ini sarapan-nya mana?” Tak ada jawaban.

First hanya mendengus kesal, tadi ia disuruh sarapan tapi, saat ia mau sarapan tak ada makanan sama sekali. First pergi kembali ke kamar-nya, mengambil buku komik favorit-nya yang tersisa masih banyak episode. “Aaah mau bacaaa!”.

First berjalan mundur sembari membaca buku dan kepala-nya bersandar di paha Ohm tanpa ia sadari. Ohm yang asyik me-mainkan permainan, menunduk terkejut. Bertemu antara mata dan mata lain.

“Hmmm, lanjut saja main game-nya jangan pedulikan aku.” Pipi keduanya bersemu: merah.

4

“Karakter-nya jahat banget. Kenapa tidak di selesaikan secara baik-baik.” First berbicara dengan dirinya sendiri. “Berisik, memang karakter-nya kenapa?” “Ini lho masa dia ditipu sama teman-nya.”

“Oh.” Ohm hanya ber-oh ria menandakan ia mengerti. “Tapi, ngomong-ngomong, belikan aku komik ya besok?.” Ohm hanya mengabaikan dan melanjutkan permainan-nya.

“Ya? Ya? Ya?” Ohm menutup telinga-nya dengan bantal sofa di sekitarnya. “Aku bakal sarapan setiap hari-nya ya?”

“Janji?” Ohm me-mastikan. “Iyaaaa.” “Iya, besok aku ke toko buku.” “Terima-kasih.”

Karena dirinya yang sangat ber-semangat ia tak sengaja mencium pipi Ohm dan melingkar-kan tangannya di leher dari samping. Ia sudah kebiasaan melakukan dengan ibu-nya.

“Eh, maaf. Tadi senang banget!” Ohm masih membeku. “Maaf, dulu aku kalo senang sesuatu hal pasti aku akan peluk ibu dan ci—” Ohm membalas-nya.

After all the shit we've been through Hoping to subdue The thought of you in my head.

I wanna be your boy.

—Page 81

Biscuit

[pink skies-lany]


“Haliiii!” teriak Gempa, sudah ada 3 kali memanggil tapi tidak ada jawaban. “Duh dia kemana sih?” Thorn hanya mengangkat kedua bahunya. Thorn sedang asik me-makan sarapannya, ditemani Gempa sama Ais.

|Hali side|

You are my favorite everything Been telling boys that since I was 16 Shut up, I love you You're my best friend Hali masih tenggelam di dalam selimut, matanya terpejam tapi telinganya mendengar alunan lagu yang memenuhi seluruh ruangan.

Hali mendengar Gempa memanggil-nya tapi kaki nya malas untuk berdiri atau melangkah. Suhu di hari itu sedang sejuk karena habis hujan:28C.

“Hali?” Segera ia buang selimut-nya, ia terkejut Gempa sudah ada disampingnya. “Duh, kaget tau.” Gempa segera memukul kepalanya. “Bisa-bisanya ngomong gitu, makan atau mau mati?”

Hali hanya mendengus kesal, ia matikan ponselnya dan mengekor Gempa. Hali menarik kursi di sebelah Blaze, ia mengambil sebuah cupcake stroberi di temani susu coklat hangat.

“Nggak mau minum kopi sama panekuk pisang?” Hali menggeleng dan Blaze hanya mendecih.

“Hali, nanti ke rumah Yaya, aku gabisa lagi sibuk jadi nanti kamu gantiin aku. Bantuin dia masak.” “Lah kok? kenapa aku? yang lain dong!” “Yang lain mau pergi.” “Terus aku sendiri? Nanti disuruh cobain lagi biskuitnya. hiih.” “Sama Solar ya.” “Gaada gaada.” “Alesan ah.” “Makasih. Sama Ais aja ya?”

“Nggak aku ngantuk banget semalam tidur jam 9, tapi mata nya masih ngantuk maaf ya.” “Masa sama Solar?” “Ya gimana ya brou? gapapa confess aja.” “Hah? ngomong apa? “Eh, duh ngelantur nih. Gapapa lucu aja.”

Hali hanya pasrah, mau-tak-mau demi Gempa.

////

“Sol, keluar deh.” Hali mengetuk pintu tapi tak ada jawaban dari sang penghuni kamar. “Atau ku dobrak aja ya? Ok.”

“1, 2, 3...Waaaa.” Solar tepat waktu menangkap badan Hali, alhasil mereka saling menatap. “Bodoh! Aku lagi belajar.” Hali masih terpaku di tempat.

“Heh!” Solar menggoyangkan bahu Hali, “Owh, ah-anu. Itu, tadi apa namanya, AYO KERUMAH YAYA, RIBET BANGET MAU NGOMONG.”

“Yaudah santai, terus ngapain merah muka-nya? malu habis jatuh?” “ng-nggak. udah ayo!”

Mereka saling diam bahkan saat menuruni anak tangga.

“Ih lucu kan kalo akur.” Hali melempar plushie dolphin ke arah Ais. “Yaudah sana. Ditungguin.”

///

“Ayo bantuin aku, kamu tuang airnya. Solar kamu aduk adonan-nya.” Yaya menyiapkan tempat untuk biskuit nanti.

“Aya, ini habis di tuang apalagi?” “Pecahin telurnya.” “Berapa?” “Dua.”

Solar menempelkan adonan ke pipi Hali. “Ck, diam!” Hali hanya menyipitkan matanya. “Li, aku tinggal dulu ya ke dalam, aku mau ngasih makanan ke adik.” Hali mengangguk-kan kepalanya.

Solar menempelkan yang kedua kalinya, Hali masih cuek dan hanya diam. Solar menempelkan adonan-nya ke hidung bahkan ke dagu. “Sol, kalo ga diam kita berantem nanti.”

Sampai pada akhirnya Solar menempelkan ke sudut bibir Hali, yang di iseng-in hanya diam. Solar segera melihat jam, menunjukkan pukul 16:45. Solar mengusap bibir Hali dengan adonan tadi. “Manis kan Li? atau aku yang lebih manis?”

Langit sedang berwarna merah muda di temani matahari yang siap terbenam di temani kupu-kupu yang meluap dari perut—nya. Tapi, ada matahari yang lebih manis menurut—nya.

“That it's better, you and I, under pink skies.” Solar menepuk pipi Hali, “Udah bagus langitnya kita ga sekalian?”

We can work it out You and I are meant to be together This is how it's supposed to feel I'm in love with how this feels {Hali}

“Jadi maunya matahari yang disini atau yang di langit?”

[the end]

—Page 42’