dontlockhimup

Yang dikejar, lari. Yang ditunggu, pergi. Yang diharap, tak kembali. Kesenangan dalam ilusi. Kini hati yang utuh, patah lagi.


Ayah. Kapan terakhir kali Raesaka shalat jamaah bareng Ayah, ya? Kapan juga terakhir kali Raesaka lihat Ayah berdiri di depan, jadi imam ketika shalat? Sekarang akhirnya Raesaka sama Ayah bisa shalat bareng lagi. Tapi kenapa Ayah terbaring di situ, Yah?

Ayah. Ayah. Ayah.

Jangan tidur begitu. Ayah, ayoㅡ! Ayah harus bangun, biar bisa panjatkan do'a ke Allah. Biar do'a Ayah didengar Allah. Ayah. Kenapa Ayah masih belum bangun?

Ayah. Ayah. Ayah.

Yah. Kalau Ayah belum bangun juga, nanti mereka yang ada di sini bakal mengira Ayah benar-benar meninggal.

Ayah. Tolong, Yah. Sekali aja, Ayah. Kabulin permintaan Raesaka. Raesaka nggak akan minta yang macem-macem. Raesaka nggak akan minta mainan atau uang, atau gadget keluaran terbaru. Nggak, kok, Yah. Beneran, Raesaka janji nggak akan minta hal itu ke Ayah. Raesaka cuma minta satu hal aja. Ayah bangun. Jangan berbaring di situ, Yah. Ayo.

“Assalamu'alaikum, warahmatullah.” “Assalamu'alaikum, warahmatullah.”

Dua kali salam yang terdengar dari imam di barisan paling depan membuat hati Raesaka seakan mencelos ke sebuah palung dalam tak berdasar.

Untuk sekejap, Raesaka berharap bahwa segala yang ia alami saat ini hanya mimpi buruk semata. Bahwa semua karangan bunga bertuliskan ucapan berduka cita yang terpajang di pintu masuk kediaman rumahnya di Jakarta hanyalah kiriman salah antar. Raesaka masih ingin beranggapan bahwa isak tangis penuh rasa sedih dari para sanak famili yang berdatangan, sesungguhnya adalah tawa bahagia karena sudah lama tidak berkumpul bersama.

Raesaka masih ingin beranggapan, bahwa Ayahnya masih hidup. Masih bernyawa. Sehat. Namun ucapan salam dua kali dari akhir ibadah shalatnya seakan menyadarkan si bungsu bahwa sang Ayahanda sudah benar-benar berpulang ke sisi Yang Maha Kuasa.

Ayahnya tidak akan pernah bangun dari pembaringan. Bahwa sang Ayahanda, telah pergi untuk selamanya.


“Turut berduka cita, ya, Nak Raesaka. Semoga amal baik Bapak bisa diterima dan keluarga yang ditinggalkan, terlebih Nak Raesaka bisa diberi ketabahan menghadapi ini semua.”

Entah sudah keberapa kalinya Raesaka mendengar kalimat seperti itu. Kalimat yang sama, namun diucapkan dengan intonasi pula ekspresi yang beragam. Ada yang mengucapkannya dengan menangis terisak seraya memeluki Raesaka, padahal sungguh—Ia pun tidak kenal siapa orang yang memelukinya itu.

Ada pula yang mengucapkannya dengan tenang dan memberi jabatan tangan kuat. Seakan ingin memberi semangat lewat sana. Biarpun sesungguhnya, tidak memberi efek signifikan apapun bagi Raesaka. Si lelaki hanya bisa berdiri dengan tatapan kosong dan senyum yang teramat tipis; terkesan getir.

Raesaka tidak mengetahui siapa adalah siapa. Namun ia dapat menerka bahwa banyak orang dengan jabatan tinggi yang melayat karena Om Setyo, kerabat dekat sang Ayah yang juga bagian dari TNI Angkatan Laut, beberapa kali melakukan gerak hormat kepada orang-orang berpenampilan rapi serta terlihat necis.

Raesaka sesekali melirik ke arah beberapa mobil dari beragam stasiun televisi nasional yang terparkir di salah satu sudut jalan menuju rumahnya. Status sang Ayah sebagai Laksamana Madya Angkatan Laut memang lumayan dikenal. Beberapa reporter serta jurufoto merekam setiap kejadian di lokasi, mungkin wajah Raesaka juga terekam di sana namun tidak diindahkan sama sekali oleh si lelaki. Toh' ia sendiri pun tahu bahwa berita meninggalnya sang Ayah mungkin hanya akan disiarkan barang beberapa detik sebagai berita selingan.

“Pak Setyo.”

Ketika Raesaka tengah disibukkan oleh pikirannya masing-masing sebuah panggilan terdengar memanggil lelaki paruh baya di sampingnya. Om Setyo menoleh ke arah sumber suara dan menemukan seorang lelaki bertubuh tegap dengan seragam beratribut lengkap TNI berderap menghampiri, sebelum akhirnya berhenti dan memberi gerak hormat. “Mobil sudah siap diberangkatkan.”

Om Setyo mengangguk paham kemudian memberi balas gerak hormat sebagai penanda berakhirnya perbincangan. Sementara Raesaka masih terdiam. Wajahnya terlihat pucat dengan kantung mata hitam yang menggantung di bawah mata. Siapapun dapat menebak dengan jelas bahwa si lelaki tidak dapat tidur nyenyak. Atau mungkin lebih parahnya, ia belum mampu tidur barang sekejap.

“Saka.” Om Setyo menepuk bahu kanan Raesaka kemudian mengusak sekilas kepala anak kerabatnya. “Kamu jalan duluan aja bareng keluarga Budhemu. Om masih mesti obrolin beberapa hal samㅡ”'

“Bareng aja, Om. Saya lagi nggak pengen ngomong apapun ke orang lain. Capek.”

Ucapan Om Setyo disela oleh Raesaka. Untuk beberapa detik Om Setyo mengernyitkan alis, mencoba mencari tahu apakah alasan yang diucapkan Raesaka benar adanya. Apakah memang benar ia hanya merasa lelah, ataukah ada alasan lain yang tersembunyi di sana?

“Lama, Saka. Mending kamu berangkat duluan sama Budhemu, seenggaknya nanti kamu bisa istirahat juga di mobil Budhe, 'kan?” Selama Om Setyo berujar tidak ada balas ujaran dari Raesaka. Hingga akhirnya Om Setyo sedikit mencengkeram pundak Raesaka. Berharap si lelaki dapat memberi jawaban, apapun itu. “Saka?”

“Om. Ayah udah nggak ada. Saya nggak akan bisa ngeliat Ayah, atau barengan sama Ayah lagi kalau bukan sekarang. Biarin saya ada di sini. Bareng Ayah. Saya pengen bisa barengan sama Ayah, biarpun cuma sedetik lebih lama. Biarpun cuma sama jenazah Ayah. Saya pengen bisa barengan lebih lama.”

Sumpah demi apapun, Raesaka lelah. Saking lelahnya mungkin ia bisa saja tertidur lelap di aspal tempatnya berdiri sekarang. Tanpa selimut, tanpa apapun. Bahkan mungkin jika Raesaka menutup matanya sebentar, bisa saja ia tertidur.

Namun, Raesaka tidak bisa. Namun, Raesaka tidak mau. Sedikitpun, ia tidak mau begitu.

Jika ia tertidur, waktunya bersama sang Ayah akan terbuang begitu saja. Tidak akan pernah bisa kembali sekeras apapun usaha yang dilakukan. Tidak boleh. Barang sedetik atau sepersekian detik pun tidak boleh.

“Oke. Om paham. Kamu berangkat sama Om naik mobil jenazah.” Anggukan kecil diberikan oleh Raesaka atas ucapan Om Setyo. Si lelaki paruh baya pun tersenyum tipis ketika melihat pemandangan barusan. Setidaknya, biarpun hanya sedikit, Raesaka bisa lebih tenang sekarang. “Ya, udah. Om mesti urusin beberapa hal sama pihak pemakaman Kamu di sini aja dulu. Oke?”

Raesaka kembali mengangguk. Entah bagaimana semenjak kedatangan jenazah sang Ayah ke Jakarta, Raesaka benar-benar merasa sangat bergantung kepada Om Setyo. Ia benar-benar merasa dirinya kecil tanpa sosok si lelaki itu.

“Inget, Saka. Kamu harus kuat.”

Rasanya, lama kelamaan Raesaka hanya memiliki satu bentuk respon terhadap setiap kalimat yang diucapkan semua orang, yaitu berupa anggukan. “Saka paham, Om. Saka harus kuat.”

Langit bergemuruh di sore hari itu. Rintik hujan turun perlahan, seakan ingin membasuhi jiwa yang tengah dilanda kekeringan akan rasa kasih sayang. Raesaka menatap langit luas di atasnya. Mendung. Kuasa terjulur menengadah, membiarkan beberapa rintiknya membasahi telapak tangan. Gerimis datang, tanpa diundang. Persis, katanya seperti kala sang Ibu berpulang.

Raesaka menghela nafas dalam-dalam, mencoba melegakan rongga pernafasannya yang tiba-tiba seakan tercekat. Bau tanah yang tersiram rintik gerimis kini mulai tercium samar.

Sumpah demi apapun, gue benci gerimis.


ㅤㅤBersama deras rintik hujan jatuh, ada yang hatinya tunduk, bersimpuh. Ada yang rasanya mati, lumpuh. Ada yang terdiam, bersikap tak acuh, meski hati meraung, gaduh.

Jakarta mendung, terlihat sinis jua tak perduli pada yang hiasi lini pulang pergi. Seperti Krishna, yang tengah merengut di dalam hati pada takdir yang seolah sengaja menyakiti. Baru beberapa minggu kemarin, dirinya berjumpa dengan Ayahanda Raesaka dengan kondisi yang paling prima. Berbagi gelak tawa yang seakan tidak bisa berakhir cepat.

Krishna kira dirinya bisa kembali bertemu Ayah Raesaka dengan rona bahagia. Lihat, seberapa mudah takdir mengubah jalan cerita, seolah kembali mengingatkan, Krishna, hanya bisa sekedar berencana.

Siapa yang sangka, pertemuan Krishna dengan sosok penyelamatnya tidak bisa lagi berjalan sesuai keinginan. Untuk kali ini, Krishna harus cukup puas berhadapan dengan raga tanpa penghuni. Tidak akan ada deret kejadian yang Krishna bayangkan, perihal sebagaimana ia akan berbincang tentang kerasnya kehidupan para abdi negara di barak atau bayangan kejadian lain yang buat Krishna enggan untuk pergi, namun akhirnya kini disesali.

Enggan munafik, Krishna belum miliki ikatan batin, tidak cukup dekat untuk menangis meraung lepaskan Ayahanda si kekasih pergi. Tapi yang pasti, Krishna tetap hancur meski bibir terkunci, membayangkan Raesaka yang sekarang tengah bersedih hati, sudah cukup bagi Krishna untuk marah pada garis takdir.

Pesan terakhir dari Krishna, berisi pengingat tentang mengisi perut pun diabaikan oleh Raesaka. Buat Krishna enggan untuk kirim pesan kembali. Jangan heran kalau sekarang Krishna duduk di kursi penumpang dengan sang Ayah di balik setir kemudi.

Seolah tembus sela jendela mobil, mendung Jakarta buat sang Ayah yang terbiasa cerewet itu pilih ikut diam. Setelah sebelumnya menyampaikan bahwa Raesaka ada di masjid untuk melaksanakan shalat jenazah. Memang, keluarga Raesaka memiliki keyakinan yang berbeda dengan keluarga Krishna yang penganut katolik taat. Keluarga Raesaka meyakini agama islam, itulah yang membuat Krishna dan Ayahnya tidak diam di masjid dan memilih untuk langsung datang ke pemakaman.

“Papi. Sorry, bisa berhenti di minimarket terdekat? Ada yang mau Li beli.” Adalah kalimat pertama dari Krishna, setelah sekian lama diam, disambut gerak cepat dari Ayahnya yang refleks menoleh, mempertanyakan kalimat lanjutan. “Mau beli payung, takut hujan.” Kali ini, Krishna menoleh, sampirkan senyum tak sampai mata.

Setelah membeli sepasang payung, mereka lanjutkan perjalanan. Sebab jadwal haruskan Krishna datang lebih lambat, Krishna mau tidak mau melewatkan proses sebelum jenazah ayah Raesaka dimakamkan.

“Sebentar lagi sampai, Li.”

Mungkin, sang Ayah melihat bagaimana kesepuluh jemari tangan Krishna bergerak gelisah, hendak segera beri tenang pada yang sedari tadi usik isi pikiran. “Papi, kalo Li nggak bisa nenangin Raesaka, gimana?” Tanya mengudara, menyatu dengan dingin yang cipta embun pada kaca. “Kalo Li nggak bisa hibur Raesaka, gimana? kalo Raesaka bakalan gini sampai seterusnya, gimana?”

“Li nggak percaya sama Raesaka? Padahal waktu Papi ketemu sama Saka kemarin, Papi udah bisa nebak kalau Saka itu anaknya kuat banget, lho.”

Krishna pilih diam, sadari bodohnya tetap bertanya meski sudah terlampau paham. “Li nggak percaya, kalau Raesaka kuat?” Semakin banyak penjelasan, semakin jua bertambah gelisah yang sebelumnya sempat Krishna sembunyikan.

Sebab nyatanya bukan, bukan maksud hati ragukan kuat si lelaki yang pernah ia akui sebagai kekasih. Krishna hanya takut, Krishna hanya ragu pada diri sendiri. Apakah dia mampu menenangkan gemuruh di diri Raesaka?

Awan hitam menggerombol, mengiring laju mobil yang tengah menuju tempat pemakaman. Seolah menunggu waktu yang tepat untuk guyurkan hujan pengiring kepergian. Lagi, ada yang remas jantung Krishna. Mengingat bagaimana Raesaka pernah menceritakan bahwa sang Ibunda jua pergi dengan gerimis di sisa hari.

Derit tercipta sebab ban mobil beradu dengan tanah basah bekas rintik yang mulai turun menyadarkan Krishna, mereka sudah sampai di sana, tempat istirahat terakhir almarhum Ayahanda Raesaka. Dan di antara banyak orang yang kelilingi satu pusara, Krishna bisa langsung kenali sosok lelaki itu, berdiri bak patung tanpa jiwa sebagai isi.

Tidak, Raesaka tidak nampak layu atau sendu, tubuhnya sama tegap dengan laki-laki di sekelilingnya. Tapi Krishna juga bisa menebak, di balik diamnya, di balik tenangnya figur Raesaka, ada dua sisi yang berebut minta di keluarkan. Sisi yang meraung menyalahkan atau sisi yang pilih diam dan terima semua kenyataan.

Di barisan belakang dari mereka yang membawa jenazah, langkah Raesaka terlihat gontai. Lemah, dengan langkah kaki yang terkesan diseret. Elli, kakak kandung dari sang Ayah, yang juga adalah Bibi Raesaka menangis terisak sepanjang jalannya prosesi pemakaman. Tidak ubahnya dengan Tania yang menangis terisak.

Raesaka? Jangankan untuk menghibur orang lain, bahkan untuk tidak membiarkan air matanya kembali terjatuh pun Raesaka perlu menggigit bibirnya kuat-kuat. Berusaha setengah mati. Raesaka tidak sekuat yang orang-orang bayangkan. Mencoba sampai mati pun, ia tidak pernah bisa.

Hujan kini tidak lagi malu-malu untuk menampakkan diri. Masih rintik-rintik namun cukup deras. Setidaknya cukup untuk membuat para penziarah mengembangkan payung, berupaya berlindung dari langit yang seakan ikut menangis bersama. Akan tetapi tidak demikian dengan Raesaka yang masih berdiri mematung menatapi jenazah sang Ayah yang kini perlahan turun memasuki pusara.

Ia tidak peduli akan hujan yang perlahan turun menjadi deras. Jika bisa, ia akan lebih senang jika hujan membasahi dirinya. Setidaknya ia akan memiliki pengalihan, bahwa ia tidak sedang menangis. Bahwa hujanlah yang membuat matanya basah, bukan air mata.

Dengan satu payung di tangan, Krishna ajak dua tungkai jenjangnya datangi tempat Raesaka berdiri. Setelah pastikan lebar payung yang dipegang dengan tangan kiri bisa lindungi kepala Raesaka, Krishna guna tangan kanan untuk genggam semestanya. Memastikan lelaki itu tahu bahwa ia tidak sendirian. Menegaskan bahwa berhasil atau tidak, Krishna akan tetap berusaha. Berusaha untuk lakukan apapun itu yang kiranya bisa ringankan beban Raesaka.

“Saka. Aku di sini, aku sama kamu, kamu nggak sendiri.”

Halus bisik diucap, menelisik di sela suara derap rintik yang menghujani payung. Aku-Kamu. Adalah kata ganti kepemilikan yang biasanya tidak pernah Krishna ujarkan. Tanpa melirik, Krishna eratkan genggam tangan; berharap bisa menguatkan.

Ketika Raesaka merasakan rintik-rintik hujan mengenai pundak serta puncak kepalanya, tiba-tiba semua rasa itu berhenti secara mendadak. Seakan ada yang menghalangi. Seakan ada yang memayungi. Belum sempat Raesaka menoleh untuk mencari tahu siapa yang menghalau hujan untuk dirinya, tangan si lelaki berkulit kecoklatan kini sudah digenggam erat. Hangat dan menenangkan.

Warna kulit mereka terlihat sangat berbeda. Yang menggenggamnya berkulit putih susu, sangat berkebalikan dengan Raesaka yang berkulit sawo matang. Kini tanpa menoleh pun Raesaka sudah tahu bahwa tangan yang menggenggam jemarinya adalah milik Krishna.

Sumpah. Sumpah demi apapun, tungkai kaki Raesaka kini terasa lemah. Tubuh Raesaka terasa ringkih bukan main. Ingin sekali ia menghambur ke pelukan Krishna saat ini juga ketika lelaki itu membisikkan kalimat yang mengatakan bahwa ia ada di samping Raesaka. Tidak akan pernah pergi meninggalkan. Raesaka ingin menumpahkan air matanya dalam pelukan Krishna. Raesaka ingin mencurahkan semua sakitnya bersama Krishna.

“Nggak apa-apa.” Alih-alih melakukan apa yang ingin ia lakukan setengah mati, Raesaka hanya mengucapkan kalimat singkat. “Saya nggak apa-apa, Kak.” Ujaran itu disampaikan dengan tangan yang kini mengeratkan genggaman di tangan Krishna. Seperti ingin menyampaikan bahwa ucapannya itu adalah bohong. Bahwa Raesaka tengah meminta Krishna untuk mengerti kepura-puraannya.

Raesaka kini memilih untuk menundukkan kepala dalam-dalam, menolak untuk melihat kala jenazah sang Ayah kini mulai ditimbuni oleh tanah. Menolak untuk berpisah selamanya dengan sang Ayahanda.

Erat. Raesaka semakin mengeratkan genggamannya pada tangan Krishna, beriringan dengan nafas yang berderu cepat. Timbunan tanah di atas jenazah Ayah Raesaka semakin tinggi bersamaan dengan deras hujan yang bertambah deras, membuat kelima jemari tangan kiri Krishna harus bekerja lebih ekstra, mempertahankan payung kepalang lebar dalam genggam, sementara tangan lain tengah berusaha menguatkan.

Krishna memejamkan mata sekilas, merasakan denyut pada jantung ketika lelakinya bersikeras bahwa dirinya tidak apa-apa, entah meyakinkan siapa, bahwa ia bisa lewati semua. Berbanding terbalik, dengan jemarinya yang menggenggam tangan Krishna. Terlalu erat, seolah meminta pertolongan.

Krishna edarkan pandang. Memerhatikan bagaimana mendung hari selimuti kabut tangis jua angin berhembus perlahan, temani kepala-kepala yang sibuk menunduk. Semakin lama, genggam dari Raesaka semakin erat pada jemarinya, membuat Krishna akhirnya melalukan apa yang sedari tadi ia hindari: menatap langsung pada semestanya, yang tengah berduka.

“Ka? Mau nepi dulu? Mau duduk dulu?” Perlahan, Krishna membebaskan ibu jarinya dari genggaman Raesaka untuk sekedar beri usap menenangkan.

Lelah. Lelah. Lelah.

Sebenarnya, sudah berapa hari Raesaka tidak dapat tertidur dengan nyenyak? Ah, tidak. Jangankan perihal nyenyak, sesungguhnya untuk memejamkan mata pun Raesaka enggan. Takut. Ia takut akan memilih untuk terus berada di alam tidurnya dan tidak ingin menjalani kehidupan nyatanya.

Kenyataan, terlalu menyedihkan. Kenyataan, terlalu menyesakkan. Kenyataan, terlalu menyeramkan.

Dengan keberadaan Krishna di sisinya pun, Raesaka masih belum merasa cukup. Ada ruang kosong yang kini benar-benar mengaga lebar, tidak akan pernah bisa terisi kembali. Ruang kosong itu bernama orang tua.

Tidak lagi ada Ayah. Tidak lagi ada Ibu. Raesaka, sendirian.

“Capek.” Raesaka menjawab pertanyaan dari Krishna dengan suara lirih. Usapan ibu jari si senior pada punggung tangannya cukup membuat Raesaka sedikit merasa nyaman. Biarpun tak bisa dipungkiri, seiring dengan setiap sentuhan berisi niat menenangkan dari Krishna maka Raesaka harus lebih berusaha menahan air matanya agar tidak terjatuh. “Capek, banget.”

Seperti ini, Raesaka sangat mensyukuri bagaimana tinggi badan seorang Krishna mampu membuat Raesaka dapat bersandar ke pundak si kekasih tanpa harus membungkuk terlalu dalam. Raesaka hanya memiringkan kepalanya untuk bersandar ke pundak Krishna.

Cukup, begitu saja cukup.

Iya, cukup membuat Raesaka seakan ingin tertidur di tempat. Berharap bahwa semua hal yang terjadi saat ini hanya mimpi belaka dan tak akan menjadi kenyataan. Nafas si lelaki kini terhembus dengan tempo yang terlalu lambat. Raesaka menarik nafas dalam-dalam hingga dadanya terasa sakit, sebelum menghembuskannya perlahan. Biasanya dengan cara itu, ia dapat menemukan ketenangan biarpun hatinya kalut bukan main.

Biasanya begitu.

Namun Raesaka lupa bahwa hatinya kini bukan hanya sekedar kalut. Hatinya tengah hancur. Remuk, tak berbentuk. Bernafas hingga dadanya sakit tidak cukup ampuh untuk mengusir rasa sakit sesungguhnya.

Pada akhirnya, di tengah helaan nafas yang ditarik panjang-panjang, Raesaka terisak. Menangis. Melupakan janji yang dibuat dengan Om Setyo beberapa waktu ke belakang. Melupakan janji bahwa dirinya harus kuat.

Raesaka, kini tidak sedang baik-baik saja.

Seirama dengan senja yang sapa mayapada, hujan turun dengan intensitas yang bertambah jua. Krishna masih gunakan ibu jarinya untuk beri usap pada genggam milik Raesaka, menunggu jawaban atas tawaran yang diberikan.

Tubuh Krishna yang sedari tadi berusaha tegap, agar dapat menjadi sandaran Raesaka, kini refleks menegang. Sebab dalam gemuruh hujan, Krishna bisa mendengar isak tangis yang tidak lagi ditahan. Dengan payung masih berada di salah satu genggam, Krishna ubah posisi badan tanpa harus mengganggu sandaran Raesaka.

Kali ini, Krishna sengaja berdiri di hadapan Raesaka, melepaskan genggaman tangan mereka untuk memposisikan kepala Raesaka agar bersandar lebih nyaman. “Gapapa, gapapa, aku di sini. Aku─ bakalan terus sama kamu.” Serupa bisikan, Krishna kembali coba menenangkan, kelima jemari yang tadi lepaskan genggam, kali ini usap punggung jua belakang kepala Raesaka bergantian.

Sengaja, Krishna berdiri seperti ini, dalam posisi ini. Agar Raesaka masih bisa melihat proses pemakaman ayahnya namun jua miliki sandaran untuk tetap berdiri tegak, bertahan meski terisak.

Raesaka membenci Krishna. Sumpah, demi apapun di dunia ini, Raesaka paling membenci Krishna Putra Haliem. Bukan, bukan karena si kekasih selalu bertingkah menyebalkan atau membuatnya naik pitam. Krishna adalah satu-satunya yang bisa membuat Raesaka rapuh.

Runtuh. Luruh.

Raesaka bukan lelaki yang akan dengan mudah menitikkan air mata untuk perihal apapun. Tidak memiliki sosok Ibu dan dibesarkan dengan penuh ketegasan pula kedisiplinan oleh sang Ayahanda membuat Raesaka paham mengenai satu hal : ia harus kuat.

Tidak ada waktu untuk menangis. Tidak ada waktu untuk merajuk. Tidak ada waktu untuk kalah.

Namun kini, semua benteng pertahanannya hancur dalam sekejap tatkala Krishna mengusapi punggung pula belakang kepalanya dengan lembut. Semua tekad yang Raesaka tanamkan dalam dirinya sirna tanpa bekas tatkala Krishna mengucap janji untuk tetap berada di sisi. Merasa nyaman biarpun di waktu yang sama jua merasakan tak aman.

Bagaimana jika Krishna hanya berujar janji tak pasti, tak akan ditepati? Bagaimana jika rasa aman yang dirasakannya ini hanya sekedar ilusi? Lalu yang paling Raesaka takuti, bagaimana jika Krishna pergi? Sama seperti Ibunya, Ayahnya—?

Otaknya memikirkan berbagai macam kemungkinan. Logikanya memerintah untuk tidak pasrah. Pada akhirnya logika dan otak harus mengakui kekalahan kala hati dan nurani si lelaki mengambil alih segala tindakan. Raesaka tidak lagi menahan tangisnya.

Timbunan tanah perlahan mulai meninggi dan membuat Raesaka merasa sesak bukan main. Isakan si lelaki semakin terdengar keras, diiringi dengan kedua tangan yang mengepal kuat. “Ayah— Raesaka sama siapa sekarang? Raesaka sama siapa, Yah?”

Diantara banyak suara isak tangis dari para pelayat yang menghadiri prosesi pemakaman mungkin tangisan serta isakan Raesaka hanya menjadi bagian kecil. Tak akan membuat banyak perbedaan mencolok. Raesaka dipaksa menjadi dewasa, ketika teman seusia mereka masih menikmati masa remaja. Di tengah isak tangisnya, tangan Raesaka masih menggenggam erat sebelah kuasa Krishna.

Krishna terdiam, tidak tahu harus bicara apa, harus beri tenang yang bagaimana. Sore ini adalah pertama kalinya sang semesta luruh di pundaknya dalam artian jatuh, sejatuh-jatuhnya. Tapi ini, sudah kesekian kalinya Krishna merasa tidak berguna, hanya bisa sediakan raga, sebagai penopang terakhir lemas pijak lelaki yang paling ia kasihi.

“Halo, Ayah?”

Raesaka memarkir motor bebek miliknya ke parkiran kost. Masih dengan tangan yang memegangi ponsel di tangan kanan, Raesaka mengedarkan pandangannya ke kiri dan kanan. Ia berusaha menemukan keberadaan Om Setyo, rekan sang Ayah yang mengatakan bahwa sudah berada di kost tempat Raesaka tinggal.

Ayah Raesaka memberi jawab berupa gumaman. Suara radiondi mobil yang menyala terdenagr samar-samar dari panggilan yang dilakukan keduanya. “Kamu udah ketemu sama Om Setyo, Nak? Katanya dia udah mau sampai ke kostmu.” Ujaran sang Ayah dibalas dengan gumaman agak panjang dari si putra semata wayang. “Hm— belum ada, kayaknya. Mungkin masih on the way ke sini, Yah. Ayah di mana? Kok nggak bareng aja datengnya sama Om Setyo?”

“Ayah kebetulan ada kerjaan di daerah deket kotamu, terus ini Ayah pinjem mobil temen Ayah buat ke tempatmu. Sekalian temenin Om Setyo, katanya dia mau nyekar ke makam Istrinya di sana.”

Raesaka menggumam kecil, langkahnya kini dibawa ke depan pagar kost. Kepalanya menoleh ke kiri dan kanan, menunggu— siapa tahu mobil Om Setyo datang melintas di depannya, 'kan?

“Tapi mobil Om Setyonya belum dateng kok, Yah. Pakai mobil apa, sih? Fortuner putih, bukan? Atau udah ganti lagi mobilnya?”, tanya Raesaka; berupaya mengingat jenis mobil apa yang dimiliki oleh sahabat karib sang Ayah. Ayah Raesaka tidak menjawab untuk beberapa saat sebelum Raesaka mengulangi kembali pertanyaannya. “Yah? Ayah?”, tanya Raesaka.

“Ayah lagi ambil tiket tol, Nak,” jawab Ayah Raesaka dan membuat si putra menghembuskan nafas lega. Raesaka sempat panik, memikirkan kondisi sang Ayah yang bisa jadi kenapa-kenapa. “Mobil Om Setyo masih yang Fortuner putih, kok.”

“Ayah nyetirnya hati-hati, ah. Udah lama nggak nyetir, 'kan, Ayah?”, ujar Raesaka dengan setengah tubuh yang disandarkan ke pagar kost. “Lagian suka ngerepotin diri sendiri aja, Ayah. 'Kan bisa naik kereta atau bus. Kalau naik mobil sendiri 'kan lebih capeㅡ EH! OM! OM SETYO!”

Trek.

Refleks, Raesaka menutup sambungan telefon antara ia dengan sang Ayah ketika satu unit mobil Fortuner putih melewati depan kostnya beserta wajah pengemudi yang sangat ia kenali sosoknya. “Om! Om Setyo!”, Raesaka berteriak seraya berusaha mengejar laju mobil. Beruntung, mobil Fortuner putih yang dimaksud menghentikan lajunya; menjadikan Raesaka bisa menyusul keberadaan seseorang yang dipanggil olehnya 'Om Setyo' walau dengan nafas tersengal. “Omm.. kelewat.. kostnya..”

“Ya ampun, kelewat 'tah, Ka?”, ucap si lelaki paruh baya dari bangku pengemudi dengan gelak tawa renyah. Raesaka ikut tertawa walaupun setengahnya terpaksa. “Emang kostnya kamu yang mana, Ka?”, tanya Om Setyo. Raesaka baru saja akan mengangkat tangan untuk menunjuk ke arah bangunan rumah kostnya ketika tiba-tiba suara nada dering ponsel miliknya terdengar.

Ayah. calling..

“Halo, Ayah? Maaf tadi keputus telefonnya. Ini Saka baru ketemu sama Om Sety—”

Halo! Halo! Ini kenalannya yang punya hape?“ “Astaghfirullah. Pak! Hati-hati!“ “Panggil ambulans dulu!“ “Halo! Yang punya hape ini kecelakaan!“ “Daerah jalan ring road utara!“ “Halo! Ya Allah, Pak! Awas itu darahnya!

Raesaka tidak tahu kalimat apa yang barusan memasuki rungunya. Telinganya seakan menolak untuk menerima segala kalimat yang masuk pada kalimat keberapa; yang menyatakan bahwa pemilik ponsel mengalami kecelakaan. Denging yang memekakkan telinga membuat Raesaka pusing bukan main. Kakinya lemas, bahkan hingga membuatnya jatuh terduduk di atas aspal tanah tanpa bisa ia hindari.

“Saka! Saka, hei! Kenapa kamu duduk begitu? Kotor!”, ujar Om Setyo seraya turun keluar dari mobil yang dikendarainya. Perlahan, ponsel yang dipegang oleh Raesaka jatuh meluncur begitu saja dari genggamannya. Bibir Raesaka gemetar; seperti sedang menggigil. Aneh, padahal jelas-jelas matahari bersinar terik di atas kepalanya.

Semua yang terjadi sekarang, tidak masuk akal. Semua yang terjadi sekarang, tidak mungkin terjadi. Ayahnya, tidak mungkin pergi.

“Om.” “Ayah..kecelakaan..”

“Kamu nggak ke kost, Dek?”

Raesaka mengalihkan pandangan dari buku ensiklopedia yang tengah dibacanya. Tania ada di sana, memandangi Raesaka dengan dahi yang sedikit berkerut. Raesaka menggeleng seraya tersenyum kecil, sebelum akhirnya menyuarakan kalimatnya kepada si Kakak sepupu. “Nggak, Mbak. Aku mau tinggal di sini dulu sebentar. Sekalian bantuin Budhe Pakdhe jagain Mbak Tania.”

Hampir sebulan berlalu semenjak kejadian yang terasa bagai bencana tanpa henti. Ayah dan Ibu Tania yang mengetahui kabar bahwa putri semata wayangnya tengah mengandung, sempat merasakan shock tidak terkira. Bahkan sang Bibi sampai menangis meraung dan membuat Raesaka semakin pilu membayangkan apa yang harus dialami oleh si Kakak sepupu, Tania.

Namun kasih sayang orangtua rupanya lebih besar dibanding semua keterkejutan yang dirasa. Orangtua Tania memutuskan untuk menerima segala kondisi si putri semata wayang dan memutuskan untuk tidak membawa kasus ini ke pihak berwajib karena Tania kerap histeris ketika mendengar nama Freddie.

Jika mendengar namanya saja sudah histeris, bagaimana bisa Tania menghabiskan sisa hidupnya bersama lelaki yang sudah merusak masa depannya itu, bukan?

Maka Tania dan kelaurganya sudah pasrah untuk menerima kehadiran calon bayi di janin tanpa kehadiran sang Ayah. Hingga pada akhirnya pada suatu hari, Tania menerima kehadiran seseorang yang mengatakan akan menemani sisa harinya untuk hidup bersama. Tommy, seseorang yang baru Tania temui untuk beberapa kali pertemuan, rupanya berkanan untuk menjadi Ayah dari bayi yang ada di kandungannya. Entah keajaiban dari mana, bahkan orangtua Tommy mengizinkan putranya untuk menikahi Tania.

Rasanya, semua sudah bisa menjadi akhir yang bahagia untuk Tania. Namun tidak demikian untuk Raesaka yang sedikit merasakan biru di hatinya. Hubungan Raesaka dengan Krishna tidak lagi sama. Baik keduanya tidak pernah ada yang memulai percakapan. Krishna masih di Surabaya, menghabiskan sisa liburannya bersama keluarga. Sementara Raesaka ada di kotanya, menghabiskan sisa hari dengan berusaha melupakan sosok Krishna di otak dan benaknya.

Maka jika boleh jujur, alasan Raesaka berada di rumah kediaman sang Bibi bukan hanya sekadar ingin menemani si Kakak sepupu. Sesungguhnya, Raesaka merasa kesepian ketika berada di kamar kostnya. Rasa sepi yang menyerang selalu saja membuat Raesaka pada akhirnya kembali memikirkan Krishna. Jadi, ya— lebih baik ia berada di sini, 'kan?

“Yakin cuma mau nemenin Mbak?”, tanya Tania dengan senyum tipis, terkesan jahil. Raesaka balas terkekeh kemudian menutup buku ensiklopedia yang dibacanya agar bisa menaruh fokus seluruhnya kepada si Kakak sepupu. “Mbak, jangan suka gitu, deh. Nanti anaknya jadi tukang jahil juga kayak Ibunya, baru tau rasa.” Raesaka meraih remote televisi di kamarnya dan mengecilkan volume; agar suaranya dapat didengar jelas oleh Tania yang terpisah jarak lumayan jauh dengan diri.

Tania tertawa, langkahnya kini dibawa ke dalam ruang kamar hingga berhenti di pinggiran tempat tidur si adik sepupu. Si gadis mendudukkan diri di pinggiran kasur milik Raesaka kemudian mengusak kepala si adik sepupu dengan sedikit gemas. “Mbak cuma nanya, Adek. 'Kan bisa aja ada hal lain yang sebenernya lagi kamu lakuin. Kalau Mbak bisa bantu, ya, Mbak bakal bantu.”

Raesaka mengulas senyum tipis kemudian menggelengkan kepalanya. “Nggak, Mbak. Aku baik-baik aja. Emang agak sepi aja di kost, makanya aku ke sini biar bisa temuin temen ngobrol,” elak Raesaka. Tania sempat menyipitkan matanya kemudian memfokuskan pandangan ke si adik sepupu; mencoba mencari tahu apakah Raesaka tengah berbohong atau tidak.

Sekali lihat, Tania tahu Raesaka tengah berbohong. Sekali lihat, Tania tahu Raesaka masih mengingat Krishna.

Namun Tania tahu, ia tidak lagi memiliki hak untuk membicarakan apapun perihal hubungan adik sepupunya dengan lelaki yang dikasihi. Tania pernah ikut campur, namun ia sendiri tidak dapat mengatur jalan kehidupannya sendiri. Maka sekarang, Tania memutuskan untuk lepas tangan dari setiap hal yang pribadinya adalah milik Raesaka. Tania memutuskan untuk menjaga si adik sepupu secara penuh tanpa memikirkan apapun yang terlalu memasuki ranah pribadi; seperti yang selalu ia lakukan beberapa tahun ke belakang sebelum keegoisannya menyeruak.

Akhirnya, Tania tidak membicarakan apapun yang ada di benaknya dan hanya mengusapi puncak kepala si adik sepupu. Raesaka bisa menebak, si Kakak sepupu pasti mengetahui apa yang menjadi keraguannya namun memilih untuk diam. Maka Raesaka juga memilih diam, membiarkan semuanya teredam menjadi satu hal yang menjadi rahasianya saja.

Banyak juga orang yang nggak percaya sama berita ini. Soalnya Semeru 'kan dikenal sebagai anak pengusaha kaya raya yang ganteng, gitu, ya? Jadi banyak yang percaya, tapi banyak juga yang mikir bahwa ini cuma berita bohong dari saingan bisnisnya..

Sayup-sayup, Tania dan Raesaka menangkap perbincangan dari arah televisi. Acara gosip di sebuah televisi swasta menayangkan dua presenter perempuan yang saling berbincang dengan foto Semeru yang ditampilkan di layar sebelah kiri. Headline bertuliskan 'Orientasi Seksual Semeru Jayanindhito' terpampang jelas di layar televisi, membuat Raesaka bisa merasakan tubuh Tania gemetar bukan main.

Raesaka tahu, Kakak sepupunya ini masih belum terbiasa menerima kenyataan bahwa si Kakak sepupu yang tertua diantara mereka sudah berbohong untuk menutupi orientasi seksualnya. Selama ini, Semeru berbohong kepada Tania dan semua yang dikenalinya. Terkecuali Raesaka, yang memang sudah tahu semenjak awal bahwa Semeru memang sama seperti dirinya.

“Sshh, Mbak. Jangan diliat yang kayak begitu.” Raesaka meraih remote televisi kamarnya kemudian menekan tombol off. Dalam sekejap, layar televisi menjadi padam dan keheningan menyelimuti keduanya. “Udah, nggak apa-apa. Jangan dipikirin, ya? Kasian adek bayinya kalau Mbak terlalu mikir hal yang berat..”

Selama Raesaka mengujarkan kalimatnya, Tania terus menggenggam erat tangan Raesaka. Sangat erat, seperti ingin menyuarakan segala kekalutan yang dirasa. Dengan suara sangat pelan, Tania berujar kepada si adik sepupu. “Adek..”

“Ya?” “Kenapa, Mbak?”

“Mbak minta maaf, ya, Dek?”

Permintaan maaf terucap dari bibir Tania, yang entah mengapa membuat Raesaka merasakan sakit dan lega dalam waktu bersamaan. Lega, karena dirinya dan Tania bisa kembali saling menjaga tanpa terdoktrin pemikiran bahwa Raesaka berbeda. Namun juga sakit, karena semestinya ada satu orang lagi yang menerima permintaan maaf dari Tania.

Sayangnya, orang itu tidak lagi ada di samping Raesaka. Sayangnya, Krishna tidak lagi ada bersamanya.

Yang pertama kali menyambut pandangan Raesaka adalah langit-langit berwarna putih yang sangat terang.

Lampu-lampu dinyalakan; membuat mata Raesaka yang tidak terbiasa dengan sinar terang secara tiba-tiba segera menyipit. Perlu beberapa saat hingga akhirnya Raesaka menyadari bahwa semua yang ada di sekelilingnya adalah barang-barang yang ada di Rumah Sakit. Dirinya, ada di Rumah Sakit.

Raesaka melirik ke sebelah kanan, ada tiang terisi kantung infus yang disambungkan lewat selang ke lengan kanannya. Namun yang membuat Raesaka sedikit terhenyak adalah ketika ia menemukan sosok Krishna yang sedang tertidur dengan kepala tersandar di pinggiran kasur rawatnya. Tubuh Krishna terduduk di bangku, hanya kepalanya yang tersandar; dengan tangan yang menggenggam erat tangan kiri Raesaka.

Raesaka merasakan dunianya seperti berputar. Mengetahui bahwa Krishna ada di sini, di Rumah Sakit, entah mengapa malah membuat perasaan Raesaka menjadi gamang bukan main.

Raesaka merasa seperti dipermainkan. Bukan perasaan hangat yang menelusup ke diri si lelaki saat ini, sama sekali tidak ada rasa itu. Kemarin, Krishna yang mengatakan bahwa mereka berdua harus saling menjaga jarak— tidak memberi peduli ke satu sama lain. Kemarin juga, Krishna adalah orang yang memperlakukan Raesaka layaknya mahluk tak kasat mata.

Krishna mendorongnya menjauh. Krishna mengatakan untuk saling lupa saja. Namun mengapa sekarang ia ada di sini dan menggenggam tangannya erat begini?

Hati dan otak Raesaka tampaknya sudah tidak memberi perintah yang serupa. Hatinya meminta untuk membiarkan genggaman itu tetap saling tertaut; toh Raesaka sendiri tahu bahwa ia masih dan sangat mencintai lelaki yang tertidur di samping kasur rawatnya ini. Namun otaknya mengatakan untuk tidak memberi harapan juga kesempatan.

Krishna bilang, bahwa mereka adalah dua hal yang rusak; tidak akan ada yang bisa diperbaiki dari mereka berdua. Untuk apa dipertahankan jika sudah pasti tidak bisa bersama?

Perlahan, Raesaka menarik tangannya dari genggaman Krishna. Raesaka memutuskan untuk tidak lagi kembali; sesuai dengan apa yang dahulu Krishna katakan kepada diri. Bahwa tidak ada yang bisa diperbaiki dari keduanya. Bahwa mereka sudah rusak, total.

Sementara itu, Krishna sebisa mungkin mencegah agar air matanya tidak turun di tengah kedua pelupuknya yang tengah terpejam. Krishna hanya berpura-pura tertidur ketika ia menyadari kelopak mata Raesaka bergerak untuk sekejap. Krishna belum berani untuk menghadapi Raesaka dalam situasi sadar karena ia tahu dirinya sudah melakukan kesalahan dengan mendorong lelaki itu untuk menjauh.

Krishna sendiri yang mendorong namun Krishna sendiri yang kini memutuskan kembali.

Krishna tahu, bahwa semestinya ia mempersiapkan diri atas semua keputusan yang dibuat oleh Raesaka. Entah itu menerimanya kembali atau melepaskannya karena tidak ingin lagi cerita yang rusak itu kembali terulang. Semestinya Krishna sudah tahu bahwa ada dua kemungkinan untuk hal ini.

Antara iya dan tidak. Jawabannya sudah pasti di dua itu.

Namun tampaknya Krishna terlalu berharap di jawaban iya sehingga kini tatkala jawabannya memberikan tidak, hatinya merasa sakit bukan main. Hatinya remuk, padahal semenjak awal ia sudah mempersiapkan segala kemungkinan.

Raesaka menolak kembali, dan Krishna harus pergi; lagi.

TOLONG! ADA YANG LUKA DI SINI! TOLONG!

Freddie melangkah dari dalam ruang toilet laki-laki di gedung fakultas Teknik dengan langkah yang terlihat sangat biasa. Seakan-akan ia barusan tidak telah mendorong seseorang hingga kepalanya terbentur ke pintu loker; seakan ia tidak telah membuat seseorang luka hingga berdarah.

Freddie berpikir, Raesaka bertindak berlebihan. Ia hanya mendorong tubuhnya dengan sedikit agak kuat, jika Raesaka lelaki jantan harusnya ia tidak akan mengapa-mengapa. Sedikit luka gores di dahi tidak akan membuatnya mati, 'kan?

Sayangnya, Freddie tidak mengetahui bahwa seseorang itu adalah Raesaka. Penderita hemofilia dengan golongan darah AB, yang keberadaan darahnya termasuk langka untuk didapatkan. Sayangnya, Freddie tidak tahu bahwa luka yang ada di dahi Raesaka tetap saja mengeluarkan darah dan tidak berhenti sekeras apapun usahanya untuk menekan luka itu.

Teriakan seorang gadis yang sedari tadi meminta pertolongan —karena kebetulan sekali ia lewat di depan toilet laki-laki— terus terdengar, semakin lama semakin panik. Dalam waktu singkat, beberapa mahasiswa segera datang untuk memberi pertolongan. Beberapa memang mengenali Raesaka, namun tidak ada yang paham harus melakukan apa-apa. Hingga akhirnya, sosok Tarendra yang awalnya berniat untuk pulang karena tidak menemukan keberadaan Raesaka datang ke toilet karena mendengar kabar bahwa ada seseorang yang terluka.

Namun Tarendra tidak pernah menyangka seseorang itu adalah Raesaka.

“HEH! YA ALLAH, SAKA! SAKA! YA AMPUN, INI KENAPA BISA KAYAK BEGINI?! WOY, BANTU ANGKAT DIA KE MOBIL GUE! JANGAN DILIATIN DOANG! BAWA KE RS, BEGO! ANGKAT!”

Suara seruan Tarendra membuat beberapa mahasiswa yang sedari tadi hanya berdiri mengelilingi Raesaka, akhirnya ikut turun tangan untuk membopong lelaki itu untuk masuk ke mobil milik Tarendra. Di tengah jalan menuju mobil, Tarendra terus khawatir ketika menatap luka di dahi Raesaka yang tidak berhenti mengalirkan darah. Tarendra dan para anggota paskibra lainnya diberi tahu oleh Krishna bahwa Raesaka adalah penderita hemofilia. Jika ada luka yang membuatnya berdarah, maka darahnya akan sulit untuk menggumpal dan kemungkinan luka yang dialami Raesaka untuk berakibat fatal sangatlah besar.

Akan tetapi, Tarendra hanya mengetahui sebatas itu. Tidak ada lagi. Krishna tidak memberi tahu perihal pengobatanny— “OH!” Di tengah derap langkahnya, Tarendra teringat akan sesuatu hal. Krishna pasti tahu apa yang harus dilakukan!

“Pegangin kepalanya! Pegangin! Pelan-pelan! Gue mau coba cari pertolongan pertama!” Tarendra berseru ke mahasiswa yang masih membopong tubuh Raesaka bersamanya. Ketika Raesaka sudah lepas dari pegangan tangannya, Tarendra mengambil ponsel miliknya dan segera menghubungi Krishna. Perlu beberapa nada tunggu terlewati sebelum akhirnya panggilan telefon Tarendra diangkat oleh si Kakak tingkat.

“Kenapa, Re—”

“Kak! Saka luka! Dahinya berdarah! Gue nggak tau mesti gimana, Kak! Sumpah ini darahnya nggak berhenti ngalir! Gue sama beberapa anak-anak kampus lagi mau bawa dia ke Rumah Sakit pake mobil gue tapi gue takut darahnya keluar terlalu banyak! Gue mesti gimana?!”

Krishna merasa jantungnya seakan berhenti untuk sepersekian detik. Raesaka terluka dan tidak ada siapapun di sekelilingnya yang paham harus melakukan apa, itu sama saja dengan mimpi buruk. Krishna sebisa mungkin mengendalikan seluruh rasa panik yang dirasa dan kembali memfokuskan dirinya sendiri.

Dulu ketika Raesaka memiliki masalah dengan Tania dan Semeru, Krishna pernah meminta Raesaka untuk mengajarinya dalam hal pemberian pertolongan pertama jika kejadian tidak mengenakkan itu terjadi. Krishna tahu, Tania dan Semeru mungkin tidak akan lagi ada di sekeliling Raesaka untuk menjaga secara penuh.

Dulu Krishna bertekad, jika tidak ada yang menjaga Raesaka; maka ia yang akan menjaga lelaki itu. Sayangnya waktu berlalu dan Krishna pun tidak lagi bisa ada di samping Raesaka untuk menjaga. Krishna memutar otak, mengingat kembali perbincangan yang pernah mereka lakukan ketika Raesaka mengajarkannya cara untuk memberi pertolongan pertama apabila darah di lukanya tidak berhenti mengalir.

Pertama, saya selalu bawa tumbler kecil ini di tas saya. Fungsinya kayak icebox. Obat-obat yang saya pakai emang harus selalu dalam kondisi dingin, Kak.

“Rendra! Ren, lo ikutin omongan gue! Lakuin semua hal ini dengan baik! Paham?!” Krishna sedikit berteriak, saking tidak dapat mengendalikan rasa paniknya walau sebisa mungkin ia berusaha untuk tenang. Di seberang panggilan, Tarendra terdengar sama paniknya. “Kak, gue anak elektro, anjir! Kerjaan gue biasa megang kabel sama solder. Bukan megang jarum suntik..”

“SAKA BISA LUKA MAKIN PARAH!”, seru Krishna dan membuat Tarendra menelan air liurnya dengan gugup. Akhirnya ia mengiyakan perkataan Krishna walau keraguan masih sangat membayangi dirinya. “Iya, Kak. Gue coba..”

“Tas Saka ada di lo? Atau di mana? Ambil tasnya, obat dia ada di situ.” Krishna menurunkan nada bicaranya, otaknya masih berupaya mengingat segala hal yang pernah Raesaka jelaskan kepadanya dahulu. Tarendra melirik sekeliling. “Tas Saka..”, akhirnya pandangan Tarendra terhenti di salah seorang mahasiswa yang menyampirkan tas Raesaka di pundaknya seraya membopong tubuh si lelaki untuk dibawa ke mobil. “Ada, Kak! Ada!”

“Bagus. Sekarang lo taruh dia di tempat yang bikin dia bisa berbaring.” Tepat setelah Krishna menyelesaikan kalimatnya, Tarendra dan beberapa mahasiswa lain tiba di mobil. Tubuh Raesaka dibaringkan di jok penumpang bagian belakang, kaus putih dari beberapa mahasiswa yang membopong tubuh Raesaka tampak sedikit dikenai bercak merah dari darah si lelaki. “Udah, Kak. Saka udah di mobil!”

“Tetep bawa dia ke Rumah Sakit segera! Lo duduk di bangku belakang, tetep lakuin apa yang gue suruh, Ren!” Perintah Krishna lagi-lagi diiyakan oleh Tarendra. Si lelaki berkulit kecoklatan itu menyerahkan kunci mobilnya ke salah satu mahasiswa yang mengatakan bahwa ia bisa mengendarai mobil sementara Tarendra sendiri duduk di bangku belakang dan memangku kepala Raesaka di pahanya.

“Buka tasnya. Saka selalu bawa tumbler kecil, di situ ada obat-obat yang bisa lo pakai buat obatin lukanya.” Tarendra menyalakan speakerphone di ponselnya sehingga ia bisa fokus menggunakan kedua tangan untuk melakukan segala hal yang diinstruksikan oleh Krishna. Tutup tumbler di tangan dibuka oleh Tarendra, isinya ada beberapa plastik yang tidak ia ketahui fungsinya dan alat suntik.

“Kak.. gue nggak tau mesti ngapain ini!” Tarendra semakin panik ketika melihat jarum suntik yang ada di sana. “Gue sendiri takut disuntik, anying! Masa' gue harus nyuntik orang?!”

Nggak sembarangan orang bisa pakai alat suntiknya, Kak. Perlu banyak latihan dan bimbingan dari tim medis supaya paham harus gimana pakai alat suntik ini buat digunain ke badan saya. Mas Meru sama Mbak Tania pun baru bisa pakai alat suntik ini setelah bertahun-tahun jagain saya..

“Jangan! Lo nggak usah pakai alat suntiknya, Ren!”

Makanya, saya ajarin Kakak buat perlambat aliran darahnya aja, ya? Kalau misalnya saya luka, Kakak bantu perlambat biar darahnya nggak keluar dan bawa saya secepatnya ke Rumah Sakit aja.

“Jadi gue mesti gimana ini, Kak?!”

Diantara semua obat ini, ada kasa yang di plastik putih. Liat, 'kan? Ini namanya hemostatic gauze..

“Ambil yang plastiknya warna putih, Ren.”

“Warna putih? Bentar. Anjir, tangan gue gemeteran..”

“Fokus, Ren! Lo harus fokus!”

“Kak.. darah Saka makin deras ngalirnya..”

“FOKUS, RENDRA!”

“Ada! Ada! Hemo...static... gauze?”

Nah, kalau Kakak udah temuin kasa ini— Kakak tinggal tekan kasa ini ke luka saya. Tekan pelan aja. Kalau terlalu ditekan, nanti malah lukanya jadi bengkak.

“Buka plastiknya, terus tekan kasanya ke luka Saka, Ren. Jangan terlalu keras ditekannya! Pelan aja, yang penting kasa itu nutupin luka Saka. Gimana? Masih keluar darahnya?”

“Masih, Kak.. kasanya jadi merah semua ini.. udah basah lagi..”

Kalau masih keluar darahnya, buka lagi kasa yang baru terus tekan lagi ke luka saya. Terus aja begitu sampai darah saya keliatan berhenti ngalir, Kak.

“Buka lagi plastiknya yang lain, Ren. Pakai terus sampai darah Saka keliatan mulai berhenti ngalir.” Ujaran Krishna dibalas dengan gumaman mengiyakan dari Tarendra. Beberapa saat sebelumnya diisi dengan keheningan dan hanya diselingi dengan suara plastik yang dibuka bungkusnya. Krishna masih menggigiti kukunya dengan gugup, menanti respon dari Tarendra di seberang sana. “Gimana, Ren?”

“Alhamdulilah, Kak.. kayaknya mulai berhenti ngalir.”

Ujaran Tarendra langsung membuat kaki Krishna terasa lemas bukan main, merasa lega karena bisa menolong lelaki itu lebih cepat sebelum semuanya berubah jadi fatal. “Oke, Ren. Sekarang tetap ke Rumah Sakit. Bilang ke pihak Rumah Sakit bahwa Saka ini penderita hemofilia dan golongan darahnya AB. Selagi lo nunggu, lo coba broadcast pesan ke anak-anak paskib atau ke semua kenalan lo buat cari apa ada diantara mereka yang golongan darahnya AB dan bersedia donorin darahnya.”

“Paham, Ren?”, tanya Krishna memastikan. Tarendra menjawab mengiyakan; menyatakan paham dengan semua ujaran Krishna barusan. “Gue paham. Nanti gue coba broadcast ke semua kenalan gue, nyari siapa yang bisa donorin darah AB.”

“Gue juga bakal balik ke sana, segera,” ujar Krishna. “Darah gue AB.”

Tania tidak pantas mendapatkan semua ini.

Sekesal apapun Raesaka kepada Kakak sepupunya itu, tetap saja Tania adalah satu dari sedikit orang yang bisa memahaminya. Jika semua ini dinamai karma, Raesaka akan membenci dirinya sendiri karena membuat Tania harus merasakan semua rasa sakit ini.

Tania tidak semestinya diperlakukan begini. Tania tidak semestinya merasakan semua perasaan tidak berharga. Raesaka terus mengutuk dirinya sendiri; ia membayangkan seperti apa rasa pilu yang dipikirkan oleh Tania ketika berdiri di pinggir jembatan? Sekosong dan sehampa apa hatinya ketika Kakak sepupunya itu memutuskan untuk memanjat dan menjatuhkan dirinya dari pinggir jembatan? Raesaka terus menangis di depan kamar rawat Tania, terisak hingga terasa sesak.

Ponsel milik Tania masih digenggam erat oleh Raesaka. Setibanya ia di kamar rawat Tania, Raesaka segera meminta sang Bibi untuk menyerahkan ponsel milik si Kakak sepupu. Raesaka ingin mencari tahu apakah ada sesuatu yang ditinggalkan oleh Tania; entah itu petunjuk atau pesan yang menunjukkan sesuatu.

Perihal alasan mengapa ia memutuskan untuk mengakhiri hidup.

Hingga akhirnya Raesaka mengetahui satu hal; yang menjadikan dirinya terus-menerus menyalahi dirinya sendiri. Raesaka sendiri yang menyerahkan si Kakak sepupu ke tangan orang yang salah.

Raesaka, salah.

Yang kayak begituan bukan cuma di cerpen doang, ya?

Tarendra ingat, respon yang Sandy ujarkan itu kurang lebih mewakili apa yang sedang dirinya pikirkan setelah mendengar penjelasan dari dokter yang menangani Nakuladewa. Dokter mengatakan bahwa Nakuladewa terkena amnesia lakunar, atau amnesia yang menghapus ingatan terhadap beberapa peristiwa tertentu.

Yang mengetahui hal itu hanya Ibunda Nakuladewa serta Tarendra yang memaksa untuk ikut ke dalam ruang dokter untuk mengetahui hasil pemeriksaan; setelah menyadari bahwa sahabat slash kekasihnya itu tidak mengenali dirinya sebagai seseorang yang istimewa.

Nakuladewa hanya mengingatnya sebagai teman. Nakuladewa tidak mengingat keduanya adalah pasangan.

Tarendra merasakan dunianya gamang tatkala mendengar penjelasan sang dokter. Walaupun berulang kali ia mengatakan bahwa kemungkinan ingatan Nakuladewa akan kembali secara penuh dalam waktu cepat, tetap saja Tarendra merasa gelisah.

Katanya, para penderita amnesia lakunar lebih sering kehilangan ingatan yang membuat mereka trauma atau merasakan luka mendalam. Lalu mengapa Nakuladewa kehilangan ingatan tentang hubungan mereka sebagai kekasih?

Trauma apa yang dialaminya? Luka apa yang pernah dirasakannya?

Terlalu merasa tidak percaya, informasi yang semestinya hanya ditujukan untuk Ibunda Nakuladewa dan dirinya— pada akhirnya Tarendra bagikan juga ke Sandy. Responnya? Ramai. Sandy mengatakan tidak percaya, mustahil, plot sinetron kelas bawah, dan banyak hal lainnya.

Tarendra sendiri tidak tahu apa yang tepatnya harus dia lakukan. Apakah ia harus mencoba mendesak Nakuladewa agar kembali mengingatnya? Atau membiarkan lelaki itu mengingat dengan sendirinya? Namun jika Tarendra memaksa, bukannya itu malah akan membuat Nakuladewa lebih tersiksa?

Karena.. dia mencoba melupakan apa yang pernah membuatnya terluka, 'kan?

“Aden Rendra.” Panggilan dari si asisten rumah tangga di kediaman Tarendra membuat si oemilik rumah tersadar dari lamunannya. Si lelaki berkulit kecoklatan menolehkan kepalanya ke arah pintu kamar, Bi Iyah tengah berdiri di ambang pintu kamar seraya sedikit melongokkan kepalanya. “Den, ada Dewa di ruang tamu. Katanya disuruh dateng ke rumah sama Den Rendra.”

“Iya, Bi,” jawab Tarendra seraya bangkit dari pinggiran tempat tidurnya; berniat untuk menemui tamunya. “Tolong suruh dia tunggu sebentar lagi. Rendra mau ganti baju dulu. Oh, iya. Coba tanyain dia udah makan atau belum, Bi. Kalau belum, masakin aja apa yang dia mau. Tolong, ya, Bi.”

Bi Iyah mengangguk dan beranjak meninggalkan kamar Tarendra. Sementara si pemilik kamar masih berdiri di tempatnya dan memandangi pantulan dirinya di cermin yang terpasang di lemari pakaian. Pandangannya tampak ragu, menimbang apakah ia harus mendesak Nakuladewa untuk mengingat kembali perihal mereka.

Desak. Biarkan saja. Desak. Biarkan saja.

Hembusan nafas dalam akhirnya diloloskan. Tarendra menepuk sebelah pipi kanannya dengan agak kencang sebelum akhirnya berujar dengan suara sangat pelan. “Jangan maksa, Ren. Dia pasti bakal inget, semua ini cuma sementara. Kalian nggak bakal kenapa-kenapa walau lo nggak maksa.”

Namun Tarendra melupakan satu hal; bahwa segala sesuatu ada batas waktunya. Terlambat membuat keputusan, maka ia tak dapat apa-apa.

“Rugi banget lo ke sini kalau nggak minum, Tom!”

Seorang lelaki berambut ikal tampak mendorong sodoran gelas yang diberi ke arahnya, menolak untuk meminum isinya. Seorang gadis berambut pendek yang barusan menyodorkan gelas mengerucutkan bibir, sedikit kesal karena menerima penolakan dari si lelaki.

Tommy, adalah lelaki yang ditawari minuman. Ia hanya duduk di bangku sebuah klub malam yang didesain setengah melingkar dengan meja kaca di tengahnya. Di sisi kiri dan kanannya diisi oleh gadis serta pemuda yang sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Beberapa ada yang berbincang seru dan terlihat intim, sementara yang lainnya tampak asyik menuangkan minuman keras ke gelasnya masing-masing.

“Gue ke sini bukan buat mabok, woy.” Tommy berujar dengan sedikit sinis ke gadis yang menawarinya minuman. “Gue terpaksa ikut, karena gue males disebut cupu sama kalian kalau nggak ikut.”

Si gadis yang menawari minuman tampak semakin mendekatkan diri ke tubuh Tommy, terlihat jelas ingin menggoda si lelaki. “Ayo, dong. Gue lagi kosong, nih, Tom. Lo nggak mau main sama gue, gitu?”

Tommy mendengus sebelum akhirnya bangkit dari bangkunya dan berjalan menjauh, meninggalkan sofa yang diisi oleh teman-teman yang datang bersamanya ke klub. Tidak mempedulikan panggilan dari si gadis yang menggodanya, Tommy berjalan lurus ke bar yang menyajikan minuman keras secara khusus.

Si lelaki memilih untuk duduk di salah satu bangku yang masih kosong. Tawaran yang diberi oleh bartender ditolak oleh Tommy, memang ia tidak ingin minum barang sedikitpun. Ia bertekad, lima belas menit lagi di sini dan ia akan pulang ke kamar kostnya.

Di tengah musik yang terdengar lumayan memekakkan telinga, Tommy sedikit mengalihkan pandangannya ke samping kiri bangku yang ditempati. Di sana ada seorang gadis berambut panjang dengan kenaan berwarna merah muda. Dengan sekali lihat, Tommy bisa mengetahui gadis itu adalah sosok yang jelita. Untaian rambut panjang si gadis memang menutupi sebagian wajahnya jika dilihat dari samping namun dari hidungnya saja Tommy sudah merasa berdebar.

Hingga gadis berbaju merah muda itu sedikit menolehkan kepalanya dan Tommy seakan dibuat tidak dapat bernafas; walau itu untuk sejenak. Ada dua alasan, yang pertama adalah karena kecantikan gadis itu. Lalu yang kedua, adalah karena sosok gadis itu—

Tania?

Kalau saja Raesaka tahu patah hati akan sesakit ini, ia tidak akan memilih untuk jatuh cinta. Kalau saja ia tahu bahwa mencintai seseorang rupanya akan semenyakitkan ini, ia akan memilih untuk pura-pura buta akan semua perasaannya yang dahulu ia tujukan kepada Krishna.

Namun harus bagaimana lagi, jika pada kenyataannya— Raesaka sudah terlanjur jatuh cinta? Harus bagaimana lagi apabila kenyataannya— semua perasaan ini bukan hanya sekadar, aka tetapi sudah menjadi terlalu mencintai?

Dahulu, Raesaka menganggap hidupnya seperti berjalan di tengah hutan yang memaksanya untuk memberi karbon dioksida. Dahulu, Raesaka merasa sendirian menjadi manusia di tengah tingginya pepohonan yang menjulang. Hingga pada akhirnya, Raesaka menemukan utaranya.

Arahnya untuk menemukan jalan keluar. Arahnya agar tidak lagi menjadi liar.

Raesaka menemukan utara, bernama Krishna.

Raesaka kira ceritanya bisa berakhir bahagia. Hingga pada akhirnya, Raesaka menyadari bahwa untuk menemukan utaranya— Raesaka membutuhkan kompas. Kompas yang membuatnya tahu di mana utaranya berada.

Raesaka menyadari keberadaan kompas itu, namun ia sama sekali tidak memperkirakan kemungkinan perihal sesuatu yang fatal : bahwa kompas itu bisa rusak, bahwa kompas itu bisa mati; entah karena sudah usang atau mati karena dayanya yang habis.

Dan sekarang Raesaka tidak dapat menemukan utaranya. Namun semua terjadi bukan karena kompasnya sudah usang atau kehabisan daya, melainkan Raesaka tidak bisa lagi percaya kepada kompas di tangannya.

Kompas di tangannya berfungsi dengan baik namun itu tidak membuat Raesaka dapat menemukan utaranya. Utaranya seakan menjauh, semakin jauh hingga tidak bisa lagi ia tebak di mana keberadaannya.

Kompas itu adalah hati Raesaka. Hatinya ingin menemukan Krishna, namun Krishna tidak dapat lagi ia gapai karena terus menerus menjauh. Kompas itu adalah hati Krishna yang semula ia percayai penuh kerjanya.

Raesaka pernah percaya bahwa ia bisa keluar dari hutan ini asalkan ada kompas yang menunjukkan utaranya. Sama seperti ia yang percaya bahwa dunianya tidak akan begitu kejam dan menyiksa selama ada hatinya yang mencintai Krishna dan Krishna yang menyambut dirinya.

Namun saat ini, semua rusak. Saat ini, semuanya berantakan.

Tidak ada utara. Tidak ada Krishna. Dan Raesaka, masih saja terjebak di hutan belantara.

Sendirian.

Kalau Krishna boleh jujur, oksigennya seakan tiada. Terdengar berlebihan? Memang. Jika dalam situasi yang biasa, Krishna pasti akan muntah-muntah memikirkan segala kalimat puitis yang berkeliaran di pikirannya saat ini.

Namun kamar tidurnya yang ia tempati saat ini seperti tidak memberikan pasokan udara apapun. Lampu yang menerangi setiap sudut kamar juga tampak tidak begitu terang untuk memperjelas pandangan Krishna yang kabur. Rupanya air mata yang menggenang di pelupuk mata mampu mengalahkan semuanya. Cahayanya buram, tidak peduli seterang apapun cahaya yang masuk ke indera pengelihatannya.

Ah, tidak. Mungkin Krishna salah menafsirkan.

Mungkin semuanya jadi buram karena cahayanya tidak ada lagi di sana. Bintang paling terang yang selama ini Krishna namai sirius, tidak lagi menemani dirinya.

Bodohnya lagi, ia yang mendorong cahaya itu menjauhi diri. Bodohnya lagi, ia sekarang menyesali semua yang terjadi. Bodohnya lagi, ia tahu; semua tak akan pulih kembali.

Krishna terjebak, dalam kegelapan pekat. Tanpa bintang terang di sisinya.