Yang dikejar, lari. Yang ditunggu, pergi. Yang diharap, tak kembali. Kesenangan dalam ilusi. Kini hati yang utuh, patah lagi.
Ayah. Kapan terakhir kali Raesaka shalat jamaah bareng Ayah, ya? Kapan juga terakhir kali Raesaka lihat Ayah berdiri di depan, jadi imam ketika shalat? Sekarang akhirnya Raesaka sama Ayah bisa shalat bareng lagi. Tapi kenapa Ayah terbaring di situ, Yah?
Ayah. Ayah. Ayah.
Jangan tidur begitu. Ayah, ayoㅡ! Ayah harus bangun, biar bisa panjatkan do'a ke Allah. Biar do'a Ayah didengar Allah. Ayah. Kenapa Ayah masih belum bangun?
Ayah. Ayah. Ayah.
Yah. Kalau Ayah belum bangun juga, nanti mereka yang ada di sini bakal mengira Ayah benar-benar meninggal.
Ayah. Tolong, Yah. Sekali aja, Ayah. Kabulin permintaan Raesaka. Raesaka nggak akan minta yang macem-macem. Raesaka nggak akan minta mainan atau uang, atau gadget keluaran terbaru. Nggak, kok, Yah. Beneran, Raesaka janji nggak akan minta hal itu ke Ayah. Raesaka cuma minta satu hal aja. Ayah bangun. Jangan berbaring di situ, Yah. Ayo.
“Assalamu'alaikum, warahmatullah.” “Assalamu'alaikum, warahmatullah.”
Dua kali salam yang terdengar dari imam di barisan paling depan membuat hati Raesaka seakan mencelos ke sebuah palung dalam tak berdasar.
Untuk sekejap, Raesaka berharap bahwa segala yang ia alami saat ini hanya mimpi buruk semata. Bahwa semua karangan bunga bertuliskan ucapan berduka cita yang terpajang di pintu masuk kediaman rumahnya di Jakarta hanyalah kiriman salah antar. Raesaka masih ingin beranggapan bahwa isak tangis penuh rasa sedih dari para sanak famili yang berdatangan, sesungguhnya adalah tawa bahagia karena sudah lama tidak berkumpul bersama.
Raesaka masih ingin beranggapan, bahwa Ayahnya masih hidup. Masih bernyawa. Sehat. Namun ucapan salam dua kali dari akhir ibadah shalatnya seakan menyadarkan si bungsu bahwa sang Ayahanda sudah benar-benar berpulang ke sisi Yang Maha Kuasa.
Ayahnya tidak akan pernah bangun dari pembaringan. Bahwa sang Ayahanda, telah pergi untuk selamanya.
“Turut berduka cita, ya, Nak Raesaka. Semoga amal baik Bapak bisa diterima dan keluarga yang ditinggalkan, terlebih Nak Raesaka bisa diberi ketabahan menghadapi ini semua.”
Entah sudah keberapa kalinya Raesaka mendengar kalimat seperti itu. Kalimat yang sama, namun diucapkan dengan intonasi pula ekspresi yang beragam. Ada yang mengucapkannya dengan menangis terisak seraya memeluki Raesaka, padahal sungguh—Ia pun tidak kenal siapa orang yang memelukinya itu.
Ada pula yang mengucapkannya dengan tenang dan memberi jabatan tangan kuat. Seakan ingin memberi semangat lewat sana. Biarpun sesungguhnya, tidak memberi efek signifikan apapun bagi Raesaka. Si lelaki hanya bisa berdiri dengan tatapan kosong dan senyum yang teramat tipis; terkesan getir.
Raesaka tidak mengetahui siapa adalah siapa. Namun ia dapat menerka bahwa banyak orang dengan jabatan tinggi yang melayat karena Om Setyo, kerabat dekat sang Ayah yang juga bagian dari TNI Angkatan Laut, beberapa kali melakukan gerak hormat kepada orang-orang berpenampilan rapi serta terlihat necis.
Raesaka sesekali melirik ke arah beberapa mobil dari beragam stasiun televisi nasional yang terparkir di salah satu sudut jalan menuju rumahnya. Status sang Ayah sebagai Laksamana Madya Angkatan Laut memang lumayan dikenal. Beberapa reporter serta jurufoto merekam setiap kejadian di lokasi, mungkin wajah Raesaka juga terekam di sana namun tidak diindahkan sama sekali oleh si lelaki. Toh' ia sendiri pun tahu bahwa berita meninggalnya sang Ayah mungkin hanya akan disiarkan barang beberapa detik sebagai berita selingan.
“Pak Setyo.”
Ketika Raesaka tengah disibukkan oleh pikirannya masing-masing sebuah panggilan terdengar memanggil lelaki paruh baya di sampingnya. Om Setyo menoleh ke arah sumber suara dan menemukan seorang lelaki bertubuh tegap dengan seragam beratribut lengkap TNI berderap menghampiri, sebelum akhirnya berhenti dan memberi gerak hormat. “Mobil sudah siap diberangkatkan.”
Om Setyo mengangguk paham kemudian memberi balas gerak hormat sebagai penanda berakhirnya perbincangan. Sementara Raesaka masih terdiam. Wajahnya terlihat pucat dengan kantung mata hitam yang menggantung di bawah mata. Siapapun dapat menebak dengan jelas bahwa si lelaki tidak dapat tidur nyenyak. Atau mungkin lebih parahnya, ia belum mampu tidur barang sekejap.
“Saka.” Om Setyo menepuk bahu kanan Raesaka kemudian mengusak sekilas kepala anak kerabatnya. “Kamu jalan duluan aja bareng keluarga Budhemu. Om masih mesti obrolin beberapa hal samㅡ”'
“Bareng aja, Om. Saya lagi nggak pengen ngomong apapun ke orang lain. Capek.”
Ucapan Om Setyo disela oleh Raesaka. Untuk beberapa detik Om Setyo mengernyitkan alis, mencoba mencari tahu apakah alasan yang diucapkan Raesaka benar adanya. Apakah memang benar ia hanya merasa lelah, ataukah ada alasan lain yang tersembunyi di sana?
“Lama, Saka. Mending kamu berangkat duluan sama Budhemu, seenggaknya nanti kamu bisa istirahat juga di mobil Budhe, 'kan?” Selama Om Setyo berujar tidak ada balas ujaran dari Raesaka. Hingga akhirnya Om Setyo sedikit mencengkeram pundak Raesaka. Berharap si lelaki dapat memberi jawaban, apapun itu. “Saka?”
“Om. Ayah udah nggak ada. Saya nggak akan bisa ngeliat Ayah, atau barengan sama Ayah lagi kalau bukan sekarang. Biarin saya ada di sini. Bareng Ayah. Saya pengen bisa barengan sama Ayah, biarpun cuma sedetik lebih lama. Biarpun cuma sama jenazah Ayah. Saya pengen bisa barengan lebih lama.”
Sumpah demi apapun, Raesaka lelah. Saking lelahnya mungkin ia bisa saja tertidur lelap di aspal tempatnya berdiri sekarang. Tanpa selimut, tanpa apapun. Bahkan mungkin jika Raesaka menutup matanya sebentar, bisa saja ia tertidur.
Namun, Raesaka tidak bisa. Namun, Raesaka tidak mau. Sedikitpun, ia tidak mau begitu.
Jika ia tertidur, waktunya bersama sang Ayah akan terbuang begitu saja. Tidak akan pernah bisa kembali sekeras apapun usaha yang dilakukan. Tidak boleh. Barang sedetik atau sepersekian detik pun tidak boleh.
“Oke. Om paham. Kamu berangkat sama Om naik mobil jenazah.” Anggukan kecil diberikan oleh Raesaka atas ucapan Om Setyo. Si lelaki paruh baya pun tersenyum tipis ketika melihat pemandangan barusan. Setidaknya, biarpun hanya sedikit, Raesaka bisa lebih tenang sekarang. “Ya, udah. Om mesti urusin beberapa hal sama pihak pemakaman Kamu di sini aja dulu. Oke?”
Raesaka kembali mengangguk. Entah bagaimana semenjak kedatangan jenazah sang Ayah ke Jakarta, Raesaka benar-benar merasa sangat bergantung kepada Om Setyo. Ia benar-benar merasa dirinya kecil tanpa sosok si lelaki itu.
“Inget, Saka. Kamu harus kuat.”
Rasanya, lama kelamaan Raesaka hanya memiliki satu bentuk respon terhadap setiap kalimat yang diucapkan semua orang, yaitu berupa anggukan. “Saka paham, Om. Saka harus kuat.”
Langit bergemuruh di sore hari itu. Rintik hujan turun perlahan, seakan ingin membasuhi jiwa yang tengah dilanda kekeringan akan rasa kasih sayang. Raesaka menatap langit luas di atasnya. Mendung. Kuasa terjulur menengadah, membiarkan beberapa rintiknya membasahi telapak tangan. Gerimis datang, tanpa diundang. Persis, katanya seperti kala sang Ibu berpulang.
Raesaka menghela nafas dalam-dalam, mencoba melegakan rongga pernafasannya yang tiba-tiba seakan tercekat. Bau tanah yang tersiram rintik gerimis kini mulai tercium samar.
“Sumpah demi apapun, gue benci gerimis.“
ㅤㅤBersama deras rintik hujan jatuh, ada yang hatinya tunduk, bersimpuh. Ada yang rasanya mati, lumpuh. Ada yang terdiam, bersikap tak acuh, meski hati meraung, gaduh.
Jakarta mendung, terlihat sinis jua tak perduli pada yang hiasi lini pulang pergi. Seperti Krishna, yang tengah merengut di dalam hati pada takdir yang seolah sengaja menyakiti. Baru beberapa minggu kemarin, dirinya berjumpa dengan Ayahanda Raesaka dengan kondisi yang paling prima. Berbagi gelak tawa yang seakan tidak bisa berakhir cepat.
Krishna kira dirinya bisa kembali bertemu Ayah Raesaka dengan rona bahagia. Lihat, seberapa mudah takdir mengubah jalan cerita, seolah kembali mengingatkan, Krishna, hanya bisa sekedar berencana.
Siapa yang sangka, pertemuan Krishna dengan sosok penyelamatnya tidak bisa lagi berjalan sesuai keinginan. Untuk kali ini, Krishna harus cukup puas berhadapan dengan raga tanpa penghuni. Tidak akan ada deret kejadian yang Krishna bayangkan, perihal sebagaimana ia akan berbincang tentang kerasnya kehidupan para abdi negara di barak atau bayangan kejadian lain yang buat Krishna enggan untuk pergi, namun akhirnya kini disesali.
Enggan munafik, Krishna belum miliki ikatan batin, tidak cukup dekat untuk menangis meraung lepaskan Ayahanda si kekasih pergi. Tapi yang pasti, Krishna tetap hancur meski bibir terkunci, membayangkan Raesaka yang sekarang tengah bersedih hati, sudah cukup bagi Krishna untuk marah pada garis takdir.
Pesan terakhir dari Krishna, berisi pengingat tentang mengisi perut pun diabaikan oleh Raesaka. Buat Krishna enggan untuk kirim pesan kembali. Jangan heran kalau sekarang Krishna duduk di kursi penumpang dengan sang Ayah di balik setir kemudi.
Seolah tembus sela jendela mobil, mendung Jakarta buat sang Ayah yang terbiasa cerewet itu pilih ikut diam. Setelah sebelumnya menyampaikan bahwa Raesaka ada di masjid untuk melaksanakan shalat jenazah. Memang, keluarga Raesaka memiliki keyakinan yang berbeda dengan keluarga Krishna yang penganut katolik taat. Keluarga Raesaka meyakini agama islam, itulah yang membuat Krishna dan Ayahnya tidak diam di masjid dan memilih untuk langsung datang ke pemakaman.
“Papi. Sorry, bisa berhenti di minimarket terdekat? Ada yang mau Li beli.” Adalah kalimat pertama dari Krishna, setelah sekian lama diam, disambut gerak cepat dari Ayahnya yang refleks menoleh, mempertanyakan kalimat lanjutan. “Mau beli payung, takut hujan.” Kali ini, Krishna menoleh, sampirkan senyum tak sampai mata.
Setelah membeli sepasang payung, mereka lanjutkan perjalanan. Sebab jadwal haruskan Krishna datang lebih lambat, Krishna mau tidak mau melewatkan proses sebelum jenazah ayah Raesaka dimakamkan.
“Sebentar lagi sampai, Li.”
Mungkin, sang Ayah melihat bagaimana kesepuluh jemari tangan Krishna bergerak gelisah, hendak segera beri tenang pada yang sedari tadi usik isi pikiran. “Papi, kalo Li nggak bisa nenangin Raesaka, gimana?” Tanya mengudara, menyatu dengan dingin yang cipta embun pada kaca. “Kalo Li nggak bisa hibur Raesaka, gimana? kalo Raesaka bakalan gini sampai seterusnya, gimana?”
“Li nggak percaya sama Raesaka? Padahal waktu Papi ketemu sama Saka kemarin, Papi udah bisa nebak kalau Saka itu anaknya kuat banget, lho.”
Krishna pilih diam, sadari bodohnya tetap bertanya meski sudah terlampau paham. “Li nggak percaya, kalau Raesaka kuat?” Semakin banyak penjelasan, semakin jua bertambah gelisah yang sebelumnya sempat Krishna sembunyikan.
Sebab nyatanya bukan, bukan maksud hati ragukan kuat si lelaki yang pernah ia akui sebagai kekasih. Krishna hanya takut, Krishna hanya ragu pada diri sendiri. Apakah dia mampu menenangkan gemuruh di diri Raesaka?
Awan hitam menggerombol, mengiring laju mobil yang tengah menuju tempat pemakaman. Seolah menunggu waktu yang tepat untuk guyurkan hujan pengiring kepergian. Lagi, ada yang remas jantung Krishna. Mengingat bagaimana Raesaka pernah menceritakan bahwa sang Ibunda jua pergi dengan gerimis di sisa hari.
Derit tercipta sebab ban mobil beradu dengan tanah basah bekas rintik yang mulai turun menyadarkan Krishna, mereka sudah sampai di sana, tempat istirahat terakhir almarhum Ayahanda Raesaka. Dan di antara banyak orang yang kelilingi satu pusara, Krishna bisa langsung kenali sosok lelaki itu, berdiri bak patung tanpa jiwa sebagai isi.
Tidak, Raesaka tidak nampak layu atau sendu, tubuhnya sama tegap dengan laki-laki di sekelilingnya. Tapi Krishna juga bisa menebak, di balik diamnya, di balik tenangnya figur Raesaka, ada dua sisi yang berebut minta di keluarkan. Sisi yang meraung menyalahkan atau sisi yang pilih diam dan terima semua kenyataan.
Di barisan belakang dari mereka yang membawa jenazah, langkah Raesaka terlihat gontai. Lemah, dengan langkah kaki yang terkesan diseret. Elli, kakak kandung dari sang Ayah, yang juga adalah Bibi Raesaka menangis terisak sepanjang jalannya prosesi pemakaman. Tidak ubahnya dengan Tania yang menangis terisak.
Raesaka? Jangankan untuk menghibur orang lain, bahkan untuk tidak membiarkan air matanya kembali terjatuh pun Raesaka perlu menggigit bibirnya kuat-kuat. Berusaha setengah mati. Raesaka tidak sekuat yang orang-orang bayangkan. Mencoba sampai mati pun, ia tidak pernah bisa.
Hujan kini tidak lagi malu-malu untuk menampakkan diri. Masih rintik-rintik namun cukup deras. Setidaknya cukup untuk membuat para penziarah mengembangkan payung, berupaya berlindung dari langit yang seakan ikut menangis bersama. Akan tetapi tidak demikian dengan Raesaka yang masih berdiri mematung menatapi jenazah sang Ayah yang kini perlahan turun memasuki pusara.
Ia tidak peduli akan hujan yang perlahan turun menjadi deras. Jika bisa, ia akan lebih senang jika hujan membasahi dirinya. Setidaknya ia akan memiliki pengalihan, bahwa ia tidak sedang menangis. Bahwa hujanlah yang membuat matanya basah, bukan air mata.
Dengan satu payung di tangan, Krishna ajak dua tungkai jenjangnya datangi tempat Raesaka berdiri. Setelah pastikan lebar payung yang dipegang dengan tangan kiri bisa lindungi kepala Raesaka, Krishna guna tangan kanan untuk genggam semestanya. Memastikan lelaki itu tahu bahwa ia tidak sendirian. Menegaskan bahwa berhasil atau tidak, Krishna akan tetap berusaha. Berusaha untuk lakukan apapun itu yang kiranya bisa ringankan beban Raesaka.
“Saka. Aku di sini, aku sama kamu, kamu nggak sendiri.”
Halus bisik diucap, menelisik di sela suara derap rintik yang menghujani payung. Aku-Kamu. Adalah kata ganti kepemilikan yang biasanya tidak pernah Krishna ujarkan. Tanpa melirik, Krishna eratkan genggam tangan; berharap bisa menguatkan.
Ketika Raesaka merasakan rintik-rintik hujan mengenai pundak serta puncak kepalanya, tiba-tiba semua rasa itu berhenti secara mendadak. Seakan ada yang menghalangi. Seakan ada yang memayungi. Belum sempat Raesaka menoleh untuk mencari tahu siapa yang menghalau hujan untuk dirinya, tangan si lelaki berkulit kecoklatan kini sudah digenggam erat. Hangat dan menenangkan.
Warna kulit mereka terlihat sangat berbeda. Yang menggenggamnya berkulit putih susu, sangat berkebalikan dengan Raesaka yang berkulit sawo matang. Kini tanpa menoleh pun Raesaka sudah tahu bahwa tangan yang menggenggam jemarinya adalah milik Krishna.
Sumpah. Sumpah demi apapun, tungkai kaki Raesaka kini terasa lemah. Tubuh Raesaka terasa ringkih bukan main. Ingin sekali ia menghambur ke pelukan Krishna saat ini juga ketika lelaki itu membisikkan kalimat yang mengatakan bahwa ia ada di samping Raesaka. Tidak akan pernah pergi meninggalkan. Raesaka ingin menumpahkan air matanya dalam pelukan Krishna. Raesaka ingin mencurahkan semua sakitnya bersama Krishna.
“Nggak apa-apa.” Alih-alih melakukan apa yang ingin ia lakukan setengah mati, Raesaka hanya mengucapkan kalimat singkat. “Saya nggak apa-apa, Kak.” Ujaran itu disampaikan dengan tangan yang kini mengeratkan genggaman di tangan Krishna. Seperti ingin menyampaikan bahwa ucapannya itu adalah bohong. Bahwa Raesaka tengah meminta Krishna untuk mengerti kepura-puraannya.
Raesaka kini memilih untuk menundukkan kepala dalam-dalam, menolak untuk melihat kala jenazah sang Ayah kini mulai ditimbuni oleh tanah. Menolak untuk berpisah selamanya dengan sang Ayahanda.
Erat. Raesaka semakin mengeratkan genggamannya pada tangan Krishna, beriringan dengan nafas yang berderu cepat. Timbunan tanah di atas jenazah Ayah Raesaka semakin tinggi bersamaan dengan deras hujan yang bertambah deras, membuat kelima jemari tangan kiri Krishna harus bekerja lebih ekstra, mempertahankan payung kepalang lebar dalam genggam, sementara tangan lain tengah berusaha menguatkan.
Krishna memejamkan mata sekilas, merasakan denyut pada jantung ketika lelakinya bersikeras bahwa dirinya tidak apa-apa, entah meyakinkan siapa, bahwa ia bisa lewati semua. Berbanding terbalik, dengan jemarinya yang menggenggam tangan Krishna. Terlalu erat, seolah meminta pertolongan.
Krishna edarkan pandang. Memerhatikan bagaimana mendung hari selimuti kabut tangis jua angin berhembus perlahan, temani kepala-kepala yang sibuk menunduk. Semakin lama, genggam dari Raesaka semakin erat pada jemarinya, membuat Krishna akhirnya melalukan apa yang sedari tadi ia hindari: menatap langsung pada semestanya, yang tengah berduka.
“Ka? Mau nepi dulu? Mau duduk dulu?” Perlahan, Krishna membebaskan ibu jarinya dari genggaman Raesaka untuk sekedar beri usap menenangkan.
Lelah. Lelah. Lelah.
Sebenarnya, sudah berapa hari Raesaka tidak dapat tertidur dengan nyenyak? Ah, tidak. Jangankan perihal nyenyak, sesungguhnya untuk memejamkan mata pun Raesaka enggan. Takut. Ia takut akan memilih untuk terus berada di alam tidurnya dan tidak ingin menjalani kehidupan nyatanya.
Kenyataan, terlalu menyedihkan. Kenyataan, terlalu menyesakkan. Kenyataan, terlalu menyeramkan.
Dengan keberadaan Krishna di sisinya pun, Raesaka masih belum merasa cukup. Ada ruang kosong yang kini benar-benar mengaga lebar, tidak akan pernah bisa terisi kembali. Ruang kosong itu bernama orang tua.
Tidak lagi ada Ayah. Tidak lagi ada Ibu. Raesaka, sendirian.
“Capek.” Raesaka menjawab pertanyaan dari Krishna dengan suara lirih. Usapan ibu jari si senior pada punggung tangannya cukup membuat Raesaka sedikit merasa nyaman. Biarpun tak bisa dipungkiri, seiring dengan setiap sentuhan berisi niat menenangkan dari Krishna maka Raesaka harus lebih berusaha menahan air matanya agar tidak terjatuh. “Capek, banget.”
Seperti ini, Raesaka sangat mensyukuri bagaimana tinggi badan seorang Krishna mampu membuat Raesaka dapat bersandar ke pundak si kekasih tanpa harus membungkuk terlalu dalam. Raesaka hanya memiringkan kepalanya untuk bersandar ke pundak Krishna.
Cukup, begitu saja cukup.
Iya, cukup membuat Raesaka seakan ingin tertidur di tempat. Berharap bahwa semua hal yang terjadi saat ini hanya mimpi belaka dan tak akan menjadi kenyataan. Nafas si lelaki kini terhembus dengan tempo yang terlalu lambat. Raesaka menarik nafas dalam-dalam hingga dadanya terasa sakit, sebelum menghembuskannya perlahan. Biasanya dengan cara itu, ia dapat menemukan ketenangan biarpun hatinya kalut bukan main.
Biasanya begitu.
Namun Raesaka lupa bahwa hatinya kini bukan hanya sekedar kalut. Hatinya tengah hancur. Remuk, tak berbentuk. Bernafas hingga dadanya sakit tidak cukup ampuh untuk mengusir rasa sakit sesungguhnya.
Pada akhirnya, di tengah helaan nafas yang ditarik panjang-panjang, Raesaka terisak. Menangis. Melupakan janji yang dibuat dengan Om Setyo beberapa waktu ke belakang. Melupakan janji bahwa dirinya harus kuat.
Raesaka, kini tidak sedang baik-baik saja.
Seirama dengan senja yang sapa mayapada, hujan turun dengan intensitas yang bertambah jua. Krishna masih gunakan ibu jarinya untuk beri usap pada genggam milik Raesaka, menunggu jawaban atas tawaran yang diberikan.
Tubuh Krishna yang sedari tadi berusaha tegap, agar dapat menjadi sandaran Raesaka, kini refleks menegang. Sebab dalam gemuruh hujan, Krishna bisa mendengar isak tangis yang tidak lagi ditahan. Dengan payung masih berada di salah satu genggam, Krishna ubah posisi badan tanpa harus mengganggu sandaran Raesaka.
Kali ini, Krishna sengaja berdiri di hadapan Raesaka, melepaskan genggaman tangan mereka untuk memposisikan kepala Raesaka agar bersandar lebih nyaman. “Gapapa, gapapa, aku di sini. Aku─ bakalan terus sama kamu.” Serupa bisikan, Krishna kembali coba menenangkan, kelima jemari yang tadi lepaskan genggam, kali ini usap punggung jua belakang kepala Raesaka bergantian.
Sengaja, Krishna berdiri seperti ini, dalam posisi ini. Agar Raesaka masih bisa melihat proses pemakaman ayahnya namun jua miliki sandaran untuk tetap berdiri tegak, bertahan meski terisak.
Raesaka membenci Krishna. Sumpah, demi apapun di dunia ini, Raesaka paling membenci Krishna Putra Haliem. Bukan, bukan karena si kekasih selalu bertingkah menyebalkan atau membuatnya naik pitam. Krishna adalah satu-satunya yang bisa membuat Raesaka rapuh.
Runtuh. Luruh.
Raesaka bukan lelaki yang akan dengan mudah menitikkan air mata untuk perihal apapun. Tidak memiliki sosok Ibu dan dibesarkan dengan penuh ketegasan pula kedisiplinan oleh sang Ayahanda membuat Raesaka paham mengenai satu hal : ia harus kuat.
Tidak ada waktu untuk menangis. Tidak ada waktu untuk merajuk. Tidak ada waktu untuk kalah.
Namun kini, semua benteng pertahanannya hancur dalam sekejap tatkala Krishna mengusapi punggung pula belakang kepalanya dengan lembut. Semua tekad yang Raesaka tanamkan dalam dirinya sirna tanpa bekas tatkala Krishna mengucap janji untuk tetap berada di sisi. Merasa nyaman biarpun di waktu yang sama jua merasakan tak aman.
Bagaimana jika Krishna hanya berujar janji tak pasti, tak akan ditepati? Bagaimana jika rasa aman yang dirasakannya ini hanya sekedar ilusi? Lalu yang paling Raesaka takuti, bagaimana jika Krishna pergi? Sama seperti Ibunya, Ayahnya—?
Otaknya memikirkan berbagai macam kemungkinan. Logikanya memerintah untuk tidak pasrah. Pada akhirnya logika dan otak harus mengakui kekalahan kala hati dan nurani si lelaki mengambil alih segala tindakan. Raesaka tidak lagi menahan tangisnya.
Timbunan tanah perlahan mulai meninggi dan membuat Raesaka merasa sesak bukan main. Isakan si lelaki semakin terdengar keras, diiringi dengan kedua tangan yang mengepal kuat. “Ayah— Raesaka sama siapa sekarang? Raesaka sama siapa, Yah?”
Diantara banyak suara isak tangis dari para pelayat yang menghadiri prosesi pemakaman mungkin tangisan serta isakan Raesaka hanya menjadi bagian kecil. Tak akan membuat banyak perbedaan mencolok. Raesaka dipaksa menjadi dewasa, ketika teman seusia mereka masih menikmati masa remaja. Di tengah isak tangisnya, tangan Raesaka masih menggenggam erat sebelah kuasa Krishna.
Krishna terdiam, tidak tahu harus bicara apa, harus beri tenang yang bagaimana. Sore ini adalah pertama kalinya sang semesta luruh di pundaknya dalam artian jatuh, sejatuh-jatuhnya. Tapi ini, sudah kesekian kalinya Krishna merasa tidak berguna, hanya bisa sediakan raga, sebagai penopang terakhir lemas pijak lelaki yang paling ia kasihi.