dontlockhimup

Oh, jadi Krishna ini kakak tingkatnya Saka?

Keluarga Krishna dan Ayah serta Raesaka kini duduk bersama di meja makan berbentuk bundar yang ada di ruang tamu. Hidangan lezat tersaji di atas meja, bersanding dengan suara alat makan yang terdengar samar. Di tengah semua itu, Krishna mengangguk dan mengulas senyum tipis kepada sang pemberi tanya; Ayahanda Raesaka. “Iya, Om. Saya dua tahun di atas Saka.”

“Lagi sibuk bikin skripsi anak saya ini, Pak Budi.” Ayahanda Krishna menepuk bahu Krishna yang duduk di sampingnya kemudian mengusak puncak kepala si putra sekilas. “Makanya susah banget kalau disuruh pulang ke rumah, ada aja alasannya.”

Raesaka duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan Krishna. Melihat si kekasih dalam jarak sedekat ini setelah terpisah jarak beberapa waktu ke belakang, membuat dirinya bahagia bukan main. Sepanjang waktu semenjak kedatangannya ke kediaman keluarga Krishna, senyum bahagia tidak pernah hilang dari wajah tampan Raesaka.

“Katanya mereka juga satu organisasi di Paskibra, Om.” Tiara, kakak perempuan Krishna, memberi informasi lebih yang membuat Ayah Raesaka terlihat tertarik dengan topik pembicaraan mereka. “Oh, ya? Kemarin Saka menang lomba danton, 'kan? Pasti hasil dibantuin sama Krishna.”

“Oh, ya? Saka menang lomba danton? Kok sama kayak Krishna? Dia menang lomba jadi danton terbaik senasional, lho.” Krishna hanya bisa tertawa kikuk seraya membisikkan kalimat kepada sang Ayah untuk tidak terlalu membangga-banggakan dirinya. “Emang, ya. Kayaknya anak kita udah pantes jadi teman baik. Satu universitas, satu organisasi, satu gelar juga.”

Teman baik.

Di tengah tawa yang terdengar diantara para orang dewasa, Raesaka dan Krishna sedikit terhenyak. Dua kata itu benar-benar membuat keduanya merasakan sakit yang tidak tahu apa penyebabnya. Tanpa siapapun ketahui, status diantara keduanya adalah kekasih. Bukan teman baik. Sama sekali bukan itu.

“Saka gimana?”

Pertanyaan dari Ayah Krishna terdengar, membuat Raesaka segera tersadar dari lamunannya. Namun sayangnya, lelaki itu sama sekali tidak menaruh perhatian akan segala diskusi yang terjadi sehingga ia hanya mengerjapkan matanya beberapa kali dan menatap Ayah Krishna dengan pandangan bingung. “Ya, Om? Gimana? Maaf, tadi kurang jelas..”

Ayah Krishna tertawa, tampak tidak mempermasalahkan Raesaka yang kurang fokus. “Om tanya, Saka udah punya pacar, belum?”

Krishna menelan air liurnya dengan gugup. Ia takut mendengar jawaban yang akan diberi oleh Raesaka. Sepengetahuannya, lelaki itu suka bertindak nekat. Bisa jadi tindak nekat itu juga dilakukan saat ini, bukan?

“Oh, saya?”, ulang Raesaka seraya terkekeh. Sang Ayah juga tampak menaruh perhatian lebih, ingin tahu tentang kisah cinta si putra semata wayangnya. “Saya punya seseorang yang saya suka, Om.”

Krishna menundukkan pandangannya, tidak mau menatapi Raesaka karena takut lelaki itu akan membocorkan semua. Walau ia sendiri tahu, Raesaka tidak akan berbuat senekat itu. “Orang yang disuka?”, tanya sang Ayah kepada Raesaka. “Kok kamu sama sekali nggak bilang ke Ayah, Nak?”

“Memang anak cowok itu kerjaannya cuma simpan rahasia, Pak Budi.” Ayahanda Krishna menepuk pundak putranya, “sama nih, kayak Krishna. Dia nggak pernah bilang apa udah punya pacar atau belum ke saya. Memang tabiatnya anak cowok mungkin begitu, ya, Pak Budi.”

Lagi, tawa terdengar di meja makan. Kali ini, Raesaka ikut tertawa. Hanya Krishna yang diam. Ia memegangi sendok dan garpu di tangannya dengan cengkeraman kuat. Ia benar-benar merasa ketakutan; jika hubungannya dengan Raesaka terbongkar— tentu semua tawa ini akan sirna, bukan?

Jika hubungan mereka ketahuan, bisa jadi tidak akan ada tawa. Jika hubungan mereka ketahuan, sudah pasti hanya tangis yang ada.

Krishna mengangkat pandangannya dan yang masuk ke dalam pandangannya sekarang adalah sosok Ayahanda Raesaka yang sedang menyendok potongan daging dari mangkuk yang ada di tengah meja untuk diletakkan ke atas piring milik Raesaka. Dalam sekali lihat, Krishna paham bahwa Ayahanda Raesaka sangat menyayangi putranya.

Dalam sekali lihat, Krishna tahu bahwa ada kebahagiaan yang seharusnya tidak boleh dirusak oleh alasan apapun. Termasuk, cinta.

Krishna mencengkeram sendok dan garpu di tangannya kuat-kuat. Entah mengapa, semua nafsu makannya hilang; pergi entah ke mana.

Rendra.. ini aku, Acha. Maaf, ya, aku kasih pesan begini ke Mbok— soalnya kamu nggak mau ketemu aku. Aku udah nggak tau apa lagi yang harus aku lakuin ke kamu buat ngeyakinin tentang hal yang semestinya dari awal aku kasih tau.

Rendra, aku memang suka sama Dewa. Di mata aku, Dewa itu sangat menggambarkan sosok cowok yang baik dan pinter. Bukan cuma aku, aku yakin banyak juga cewek lain yang mengidolakan sosok Dewa.

Tapi Dewa yang baik dan hebat itu sukanya ke kamu, Rendra. Dewa ketemu sama aku di mall dan habisin waktu bareng sama aku bukan buat ngedate atau apapun yang lainnya. Aku minta Dewa buat kabulin permintaanku biar aku bisa lega lepasin dia sepenuhnya.

Aku sekarang udah nggak lagi menaruh harapan ke Dewa, Rendra. Aku udah berhenti berharap, sepenuhnya. Jadi tolong jangan lagi marah ke Dewa. Jangan lagi bikin dia merasa bersalah karena memenuhi permohonanku.

Rendra. Aku cuma mau bilang bahwa kamu beruntung bisa punya Dewa sebagai seseorang yang sayang ke kamu. Tolong jangan bikin dia sedih lagi, ya? Jagain dia. Sebaik-baiknya, karena dia orang yang paling baik.

Aku pamit, ya, Rendra. Semoga kalian bisa bahagia terus.

Salam hangat, Acha.

“Ini kita udah kayak mau nyambut mantu, deh, Papi.”

Krishna hampir saja tersedak air liurnya sendiri ketika mendengar ujaran kakak perempuannya barusan. Bahkan lebih parah, Krishna hampir saja terjatuh dari tangga berwarna perak yang sedang ia panjat jika saja tubuhnya tidak cukup seimbang. Untung saja, refleksnya masih berfungsi baik sehingga ia bisa memegangi tangga yang dipijaki sehingga tidak terjatuh.

Tidak tahu bahwa putranya hampir terjatuh dari tangga, Ayah Krishna dan Tiara malah tertawa setelah mendengar ujaran sang putri. “Lho, Om Budi itu yang udah nolongin kita, lho, Ara. Sambutan kayak begini, sih, nggak ada apa-apanya. Kalau bisa malah Papi pengennya kita adain sambutan pakai barongsai.”

Tiara mendengus geli. Pandangannya tertuju ke dinding ruang tamu yang kini dipasangi balon berbentuk huruf alfabet berbagai warna, membentuk kata 'WELCOME' juga disertai nama 'Om Budi & Saka'. “Tapi penyambutan kayak begini malah norak nggak, sih, Pi? Kalau kata aku, sih, mending sewajarnya aja.”

Sang Ayah segera menggeleng cepat. “Nggak boleh! Beliau itu penyelamat keluarga kita, lho. Harus kasih penyambutan yang paling istimewa.” Pada akhirnya, Tiara mengangguk-angguk dan mengujarkan kalimat bernada membujuk yang ditujukan untuk sang Ayah. “Iya, Papi. Iyaaa. Kita sambut pakai sambutan yang meriah, ya?”

Di atas puncak tangga berwarna silver yang tengah diduduki, Krishna memandangi dinding rumahnya yang kini tampak berwarna dengan hiasan balon berbentuk alfabet. Tidak pernah sekalipun ia menyangka bahwa nama Raesaka akan terpajang begini di dinding rumahnya. Tidak pernah sekalipun Krishna membayangkan bahwa si laki-laki yang dulu sempat dibencinya itu rupanya adalah anak dari sang penyelamat keluarganya.

Krishna menghela nafasnya dalam-dalam. Sudah beberapa hari semenjak kepulangan dirinya ke Surabaya, dan selama itu pula ia belum menyempatkan diri untuk membalas pesan dari Raesaka. Walaupun sepenuh hati Krishna ingin meneriakkan bahwa ia rindu kepada kekasihnya, bayangan akan hal yang mungkin terjadi ketika mereka bertemu di Surabaya dengan status sebagai anak dari orang yang menyelamatkan dan anak dari orang yang diselamatkan sungguh membuat Krishna sesak bukan main.

Lalu seakan semuanya belum cukup membuat sesak, sang Ayah terus menerus mengucapkan berbagai kalimat yang semakin memperjelas bahwa hubungan antara dua belah pihak keluarga hanyalah sebatas hutang budi.

Di atas tangga lipat berwarna perak yang tengah ia duduki, Krishna mengepalkan tangannya kuat-kuat. Ia tidak tahu harus bersikap bagaimana jika nanti mereka berdua bertemu.

“Keponakan Om udah gede, rupanya. Udah jadi gadis cantik begini.”

Tania tersenyum seraya mencium punggung tangan sang Paman, yang adalah Ayahanda Raesaka. Sementara si putra baru saja meletakkan tas koper Ayahnya di kamar tidur lantai satu; ruang yang akan ditempatinya bersama sang Ayah selama beberapa hari ke depan.

“Iya, nih. Udah jadi perawan tapi nggak pernah bawa pacarnya ke rumah,” ujar Ibunda Tania seraya mengusak rambut si putri semata wayangnya. Pandangan si wanita paruh baya teralih ke lelaki seusianya yang sekarang sedang meletakkan kacamata bacanya ke atas meja makan. “Perjalanan dari Jakarta ke sini lancar aja, toh, Bud?”

“Alhamdulilah lancar,” jawab si lelaki paruh baya. “Cuma pegel aja duduk di kereta hampir delapan jam, Mbak. Kayaknya kebiasa jalan-jalan di markas, makanya pas disuruh diem— badan kerasa sakit, gitu.”

Tania bangkit dari posisi duduknya di sofa ruang tamu, berniat membuatkan minuman hangat untuk tamunya. “Om mau minum apa? Teh atau kopi?”, tanya Tania dan dijawab dengan kibasan tangan dari Ayah Raesaka. “Air putih hangat aja, Tania. Om udah nggak minum kopi sama teh.”

Jawaban sang Paman dibalas anggukan oleh si gadis. Tania beranjak ke dapur sementara Raesaka kini ikut duduk di samping sang Ayah; di bangku meja makan. “Ayah mau mandi dulu, nggak? Saka ambilin handuknya, kalau mau.”

“Nanti dulu. Ayah masih mau duduk-duduk dulu. Oh, ya, Mbak..”, Ayah Raesaka mengalihkan perhatiannya pada sang wanita paruh baya yang barusan meletakkan toples berisi kue kering ke atas meja makan. “..ini Saka kemarin sempet ngomong mau cari kamar kost. Aku ke sini juga buat bantu dia cari kamar kost gitu.”

“Lho? Kamu nggak nyaman tinggal di sini, tah, Dek?”, tanya sang wanita paruh baya dan dibalas dengan gelengan cepat dari Raesaka. “Eh, bukan gitu, Budhe. Saka cuma nggak enak ngerepotin Budhe terus. Lagian Saka udah gede, lho. Kayaknya udah waktunya Saka buat lebih mandiri.”

Ujaran Raesaka dibalas dengan usakan ringan di kepala oleh sang Ayah. “Ya udah, Mbak. Nggak apa-apa. Toh' biarpun Saka ngekost, dia tetep deket sama Tania di kampus, 'kan? Iya, nggak, Tania?”

Tania yang baru saja meletakkan secangkir air hangat tawar ke atas meja makan untuk sang Paman hanya mengulas senyum tipis seraya menganggukkan kepala. Tania tidak bisa mengatakan apapun, begitupun dengan Raesaka yang ikut terdiam.

Mereka tidak bisa bilang, bahwa sebulan lebih ke belakang───baik Raesaka dan Tania, tidak ada yang membuka perbincangan terlebih dahulu. Baik itu di kampus atau di rumah, keduanya tidak lagi bertegur sapa.

Mereka, sudah jadi asing.

“Anak Papi yang ganteng udah pulaaaang.”

Krishna tertawa kecil ketika sang Ayah memeluki dirinya dengan erat. Sang Ibunda yang baru saja keluar dari dapur dengan membawa sepiring hidangan untuk santap makan malam hanya bisa terkekeh ketika memandangi suami dengan putra bungsunya itu. “Papi, punya anak bujang satu 'tuh jangan dipelukin begitu. Nanti kalau penyet gimana?”

Tiara, Kakak perempuan Krishna, membalas ujaran sang Ibu dengan gumam setuju. “Iya, nih. Papi pilih kasih, ah. Tiara nggak pernah dipelukin begitu,” ujar si anak gadis seraya melepas bolero kenaannya dan beranjak menghampiri sang Ibunda. “Tiara mah jadi anaknya Mami aja. Papi nggak sayang sama Tiara.”

“Heh. Kamu 'tuh, ya? Kemarin Papi baru transfer lima juta buat ke salon, masih kurang?”, guyon sang Ayah dan dibalas dengan tawa sang Ibunda dan Krishna. Tiara mengerucutkan bibir, merasa bahwa sandiwaranya ketahuan basah. “Papi sayang sama dua anak Papi, kok. Tapi Li mau temenin Papi nonton bola, Ara 'kan ogah.”

“Ya, ngapain juga nontonin orang-orang ngejar bola? Kayak kurang kerjaan aja, ih.” Balas kalimat dari Tiara membuat sang Ibunda segera memutus perdebatan, tidak mau ada argumen di meja makan. “Hush. Apa-apaan sih, kalian? Kayak anak kecil aja. Papi juga, jangan suka godain Tiara begitu, ah,” ujar Ibunda Krishna dan Tiara; yang mana membuat Tiara menjulurkan lidah ke arah sang Ayah, merasa menang.

“Li ke kamar dulu, Pih. Mih. Mau taruh tas sama ganti baju,” pamit Krishna yang segera diiyakan oleh kedua orangtuanya.

Langkah Krishna menuju kamar tidurnya diisi dengan senyum lebar. Keluarganya yang hangat dan supportif memang selalu menjadi hal yang paling Krishna syukuri.

Ingin mengejar waktu makan malam, akhirnya Krishna hanya melemparkan tasnya ke sembarang arah dan mengganti pakaiannya dengan baju pertama yang bisa ia raih dari lemari. Alhasil, baju tanpa lengan berwarna hitam dan celana pendek berwarna abu-abulah yang dikenakan oleh Krishna ketika kembali ke meja makan.

“Oh, jadi nanti yang mau ke sini itu Om Budi? Yang sering Papi omongin itu, ya?”

Krishna baru saja mendudukkan dirinya di bangku menghadap ke makan tatkala Kakak perempuannya tampak menaruh perhatian kepada sang Ayah. Tampak terbiasa, Ibunda Krishna menyendokkan nasi ke piring si putra bungsunya. “Li mau pakai lauk apa?”, tanya si wanita paruh baya dan dibalas dengan gelengan kepala Krishna.

“Nanti Li ambil sendiri aja, Mi,” balas Krishna. Sama seperti si Kakak, sekarang fokus Krishna ditujukan kepada sang Ayah. “Yang mana sih, orangnya? Li nggak pernah tau, lho.”

“Cici aja nggak tau,” ujar Tiara seraya menyendokkan sayur ke mulutnya. “Tapi Papi 'kan sering bilang, kalau misalnya ada orang yang harus kita balas budinyaㅡ ya itu cuma Om Budi.”

Sang Ayahanda mengangguk cepat. “Bener banget. Kalau nggak ada beliau, Li pasti udah keguguran di janin Mami. Belum lagi Tiara pasti udah disekap sama orang sekitar. Kejadian di tahun itu terlalu bikin takut. Papi aja masih suka merinding sampai sekarang.”

“Tapi sekarang udah nggak ada yang begitu, 'kan, Pi? Tetangga kita aja hampir seluruhnya muslim tapi kita nggak diperlakuin rasis lagi,” sahut Krishna seraya menyendok beberapa potong tahu dan tempe ke piring miliknya. “Ya, walaupun Li nggak tau kejadian sewaktu itu gimana tapi sekarang kita kayaknya harus berhenti ngomongin soal yang dulu, deh.”

“Papi nggak dendam kok, Li,” balas sang Ayah. “Sewaktu dulu, Pak Budi itu nolongin Papi dari sekapan polisi di kampus. Terus beliau juga yang sewa ambulans buat bawa keturunan cindo biar bisa pergi ke bandara. Tau, nggak, apa yang bikin Papi nggak bisa marah ke pribumi lain?”

Tiara dan Krishna menggeleng, bersamaan. Sang Ayah melanjutkan ucapannya. “Karena Pak Budi itu minta maaf ke Papi sama Mami. Beliau yang pakai atribut TNI lengkap, melepas kepergian Mami Papi sama Tiara yang waktu itu masih kecil sambil nangis. Beliau minta maaf karena katanya warga Indonesia masih banyak yang nggak paham bahwa sebenernya kita semua ini satu. Warga Indonesia, nggak peduli keturunannya apa.”

Krishna tersenyum tipis. “Mirip seseorang,” gumam Krishna; teringat akan sosok Raesaka yang dulu pernah meminta maaf ketika mereka bertukar cerita tentang kehidupan di masa lalu.

Tiara yang terlihat tertarik dengan topik pembicaraan sang Ayah, kembali memberi tanya. “Terus, Pih. Kenapa Papi baru undang beliau dateng sekarang? 'Kan bisa aja undang dari dulu. Ini udah berpuluh tahun semenjak insiden 98, lho.”

“Beliau sibuk banget. Setau Papi, beliau udah punya jabatan tinggi. Dulu sewaktu nyelamatin Papi, beliau masih marinir biasa. Sekarang katanya udah punya jabatan bagus. Wajar, sih.. orangnya berdedikasi banget.”

“Yang pasti, Ara sama Li harus bantu Papi jamu beliau dengan baik, ya?”, ujar sang Ayah dengan nada agak serius. “Beliau yang udah selamatin keluarga kita. Jangan sampai kita bikin Pak Budi kecewa dengan sikap atau tingkah kita. Oke?”

Tiara mengangguk, begitupun dengan Krishna. Suasana hangat kembali tercipta hingga Tiara lagi-lagi menyuarakan tanya. “Oh, iya! Ara udah beliin batik buat Om Budi sama anaknya. Nanti Ara taruh di kamar Papi, ya?”

“Anaknya?”, tanya Krishna. “Nanti beliau dateng sama anaknya? Kirain sendirian aja.”

Sang Ayah mengangguk. Tangannya kini merogoh isi saku, berniat mengambil ponsel miliknya. “Nanti katanya beliau mau ke sini berdua. Anaknya udah gede juga, kayaknya seumuran sama Li, deh.”

“Ih, mana? Ganteng, nggak? Mau liat dong, Pih!”, ujar Tiara seraya mendekatkan posisi tubuhnya ke sang Ayah. Krishna melengos, tampak malas dengan sikap si Kakak. “Ampun, Ci. Kesempatan kayak begini mah nggak dilepasin, ya?”

“Lho? Siapa tau jodoh, Li!”, kata Tiara. Namun sang Ayah segera menyela ujaran putri sulungnya itu. “Nggak boleh, ah. Papi nggak mau bikin beliau ngerasa nggak enak. Lagian budaya kita sama beliau beda, keyakinannya juga. Papi nggak mau bikin kecewa beliau yang udah selamatin keluarga kita. Udah, kamu cari yang lain aja.”

Jawaban sang Ayah membuat Tiara mengerucutkan bibir sementara Krishna tertawa puas. “Tuh, dengerin kata Papi, tuh. Jangan maruk, makanya.”

DRRRTT. DRRRTT. DRRRTT.

“Ya udah, kasih liat aja foto anaknya. Penasaran, nih,” desak Tiara sementara sang Ayah terlihat memandangi layar ponselnya dengan serius; penderita rabun, sih. “Mana, ih, Papiiiih?”

Di tengah keramaian yang terjadi di meja makan, ponsel di saku Krishna bergetar; menandakan ada pesan yang masuk. Krishna merogoh saku celana dan senyumnya segera terkembang ketika melihat nama pengirim pesan yang tertera pada layar.

Raesaka.

“Nih, nih fotonya. Ya ampun, Papi punya anak kok nggak sabaran banget, sih?”, ujar sang Ayah seraya menyerahkan ponselnya kepada si putri sulung. Tiara tersenyum lebar; sebelum akhirnya senyum itu berubah menjadi tatapan nanar dan ekspresi wajah yang terkejut bukan main.

“Li!!!”, seru Tiara sementara Krishna masih memfokuskan pandangan pada layar ponselnya sendiri, berniat segera memberi balas pada pesan yang dikirimkan Raesaka. “Hm? Apaan, Ci?”

“Saka itu anaknya Om Budi!”

Telinga Krishna seperti didera dengung yang memekakkan indera pendengarannya. Padahal ujaran Tiara tidak diserukan keras-keras, Kakaknya itu hanya berteriak kecil; semestinya tidak membuat Krishna sampai pusing begini.

Krishna menolehkan kepalanya, melihat layar ponsel sang Ayah yang ada di tangan Tiara.

Di sana, ada foto Raesaka bersama seorang pria paruh baya yang mengenakan jas formal. Tampak seperti tengah menerima penghargaan untuk sesuatu. Krishna merasa nafasnya langsung sesak bukan main. Ayah Raesaka adalah seseorang yang menyelamatkan hidup keluarganya; seseorang yang seharusnya Krishna hormati sampai mati.

Lalu, bagaimana bisa Krishna merebut kebahagiaan seseorang yang ia hormati itu dengan mengatakan bahwa putra kebanggaannya, Raesaka,───

───adalah kekasihnya?

Bagaimana bisa?

Mau gue bikinin susu hangat, nggak?

Krishna sedikit menaikkan posisi kepalanya agar Raesaka bisa membenamkan wajah dengan lebih nyaman diantara ruang ceruk lehernya. Saat ini, Raesaka sedang berada di pelukan yang Krishna berikan. Keduanya berbaring di atas kasur asrama milik Krishna, sesuai dengan permintaan Raesaka yang disampaikan lewat chat beberapa waktu lalu.

Raesaka menggelengkan kepala, menolak tawaran dari si kekasih. Tangannya yang berada di sekitar pinggang si kekasih kini semakin dieratkan; seperti tidak ingin berpisah, walau untuk sekejap saja.

“Nggak usah, Kak.” Raesaka berujar dengan suara sangat pelan, seperti mencicit. “Saya cuma mau begini aja.”

Tangan kanan Krishna menepuki puncak kepala Raesaka, kemudian perlahan jemarinya diselipkan diantara helai rambut hitam si kekasih. Berupaya menyampaikan ketenangan walau entah── tersampaikan atau tidak. “Kenapa, hm? Ada masalah di rumah?”

Raesaka terdiam. Pikirannya kembali terbawa ke situasi beberapa jam lalu, tatkala ia meminta izin kepada sang Bibi untuk pergi —yang mana tentunya, Raesaka berbohong— ke asrama Krishna. Selain Bibinya, kala itu ada Tania dan Semeru yang sedang duduk berhadapan di meja makan. Mereka berdua mendengar ujaran Raesaka kepada sang wanita paruh baya namun baik Tania dan Semeru, keduanya tidak memberi perhatian apapun kepada Raesaka.

Mereka tidak bertanya. Mereka tidak lagi peduli.

Raesaka tidak bisa menarik lagi perkataannya kepada Semeru. Kalimat sudah disampaikan bahwa ia tidak ingin lagi dikekang oleh Kakak sepupunya. Maka ketika Semeru dan Tania tidak lagi memberi perhatian juga seakan bersikap tidak peduli, Raesaka hanya bisa menggigiti bibirnya seraya mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa semua akan baik-baik saja.

“Kak Krishna..”

“Hm?”

“Kakak tahu, Mas Meru itu pernah pacaran sama Kak Kanandra?”

“HAH?!” Tangan kanan Krishna yang semula digunakan untuk mengusapi puncak kepala Raesaka, secara tiba-tiba malah menepuk kepala si kekasih dengan agak keras sehingga membuat Raesaka mengaduh kesakitan. “KAK MERU SAMA KAK ANDRA?!”

“Saya dikasih tau dari Kak Kanandra langsung.” Seperti tahu bahwa yang dibutuhkan Krishna sekarang adalah penjelasan, Raesaka melanjutkan kalimatnya; walau masih dengan suara lirih. “Sewaktu kita lomba kemarin, Kak Kanandra ajak saya ngobrol sebentar buat ceritain tentang hal ini.”

Krishna tampak mengingat-ingat. Memang benar, sih, seingat dirinya— Raesaka sempat diajak oleh Kanandra keluar dari ruang kelas yang mereka gunakan untuk beristirahat. Krishna kira Kanandra berniat memberi semangat karena itu adalah kali pertama Raesaka menjadi danton, mana ia sangka bahwa ajakan Kanandra adalah untuk menceritakan perihal hubungannya dengan si kakak senior yang paling tegas, Semeru?

“Kak Kanandra ceritain segala hal tentang mereka. Tentang dia dan Mas Meru. Kak Kanandra juga bilang bahwa dia tau kita berdua punya hubungan lebih selain senior sama junior.”

Krishna meneguk air liurnya dengan gugup. “Emangnya kita sejelas itu, apa? Perasaan sebisa mungkin gue selalu atur ekspresi gue ketika berada di dekat lo.”

Raesaka menggeleng. “Kak Kanandra bilang, dia tahu karena pernah ada di posisi kayak kita. Segala yang kita lakuin, sangat jelas di mata dia. Tapi di mata orang lain, bisa jadi kita tetap kelihatan kayak adek-kakak tingkat biasa.”

Krishna menghembuskan nafas lega. “Puji Tuhan kalau begitu,” ujar si lelaki yang lebih tua sebelum kembali memfokuskan perhatiannya ke topik yang dibawa oleh kekasihnya. “Oke. Kak Semeru pernah jadian sama Kak Kanandra. Lalu? Kak Kanandra pasti bilang buat jaga rahasia, 'kan?”

“Iya,” balas Raesaka. “Kak Kanandra bilang, semua itu dia ceritain supaya saya bisa berjuang dengan lebih keras buat pertahanin hubungan saya sama Kakak. Kak Kanandra juga bilang bahwa nggak ada yang salah dengan hubungan kayak begini, jadi nggak perlu takut.”

Krishna menggumam kecil sebagai balasan dari kalimat Raesaka. Tangannya masih bergerak di punggung kepala si kekasih, sesekali memberi kecupan kecil di puncak kepala; sebagai upaya untuk memberi tenang. “Hm-mm..”, ujar Krishna. “Ya udah, anggap aja apa yang diomongin Kak Andra itu rahasia buat kita bertig───”

“Saya udah bilang ke Mas Meru bahwa saya tau perihal dia sama Kak Kanandra.”

“HEH?!”

Lagi, Krishna menepuk puncak kepala Raesaka dengan cukup kencang; yang tidak urung membuat Raesaka kembali mengaduh kesakitan. “Aduh, Kak..”

“LO BILANG KE KAK MERU?! KAK KANANDRA BILANG ITU RAHASIA, 'KAN?! KENAPA MALAH LO BOCORIN DI DEPAN ORANGNYA LANGSUNG, YA TUHAN YESUS! RAESAKA!”

Seakan tidak peduli dengan yang diujarkan oleh si kekasih, Raesaka kembali berupaya melingkarkan tangannya ke pinggang Krishna kemudian menarik tubuh si yang lebih tua untuk lebih mendekat dengannya. “Saya juga nggak tau, Kak..”, balas Raesaka dengan suara tenangnya.

“Kami sempat adu mulut di rumah,” lanjut si lelaki yang lebih muda. “Mas Meru terus desak saya buat cerita sementara sayanya nggak mau. Jadi ya──kebawa emosi, makanya tanpa saya rencanain malah saya bawa-bawa cerita tentang Kak Kanandra.”

Krishna menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak habis pikir dengan tindak nekat si kekasih. “Ya Tuhan, Raesaka... Kak Semeru pasti marah, lah. Terus? Lo sama Kak Semeru berantemnya parah?”

“Saya minta dia buat nggak lagi peduliin saya. Bahwa saya bisa jaga diri sendiri dan bisa buat keputusan sendiri. Nggak cuma ke Mas Meru, tapi juga ke Mbak Tania. Saya bilang, saya nggak butuh penjagaan dari mereka berdua lagi.”

Lagi, Krishna menganga lebar. Sepengetahuannya, Semeru sangat memperhatikan segala hal tentang Raesaka. Bahkan ingatan Krishna jadi terbawa ke situasi kala kekasihnya itu mendapat penanganan pertama di lapangan karena gusinya berdarah parah akibat tersikut olehnya. Kala itu, hanya Semeru yang bisa membantu Raesaka.

Jika Semeru sekarang tidak ada, siapa yang akan menjaga Raesaka jika terjadi hal yang tidak diinginkan, coba?

“Saka..”, panggil Krishna dengan suara pelan dan dibalas dengan gumaman Raesaka. “..loㅡ mau ajarin gue caranya kasih penanganan pertama ketika misalnya lo kenapa-kenapa? Maksud gue, kayak yang pernah Kak Semeru lakuin ke lo ketika di lapangan..”

”..lo bisa ajarin gue?”

Raesaka yang masih membenamkan wajahnya di sekitar ceruk leher Krishna tampak mengulas senyum tipis setelah mendengar ujaran si kekasih. Setelahnya, ia mengangguk kecil. “Iya, Kak. Saya ajarin nanti, ya.”

Krishna menggumam pelan, tangannya kembali didaratkan diantara hela rambut hitam Raesaka. “Ya udah, sekarang tidur dulu. Besok lo pakai jaket jurusan punya gue aja kalau mau. Bawa baju ganti, nggak?”

Raesaka menjawab singkat. “Bawa, kok.” Tubuh dan pikiran Raesaka terlalu lelah, rasanya ia bisa tertidur kapan saja saking lelahnya. “Kak..”

“Hm?”

“Iniㅡ tindakan yang bener, 'kan?” Pertanyaan Raesaka membuat gerak tangan Krishna di sela helaian rambutnya terhenti. Untuk beberapa saat, Krishna tidak memberi jawab. Hingga akhirnya ia hanya melabuhkan kecupan kecil di puncak kepala Raesaka kemudian kembali melanjutkan usapannya di kepala si kekasih.

“Nggak ada yang benar atau salah, Saka. Di situasi ini, semuanya terlalu abu-abu.”

“Tapi lo nggak usah khawatir. Selama gue ngerasa masih mampu, gue akan tetap di sini bareng sama lo. Temenin lo, sebisa yang gue mampu.”

Raesaka tersenyum diantara pelukannya. Kalimat seperti itu sudah cukup untuk membuat dirinya merasa tenang. Maka mata dipejamkan, berniat menjemput bunga mimpi yang mereka idam-idamkan.

Raesaka dan Krishna tertidur, ditemani cahaya rembulan yang masuk lewat sela-sela gorden jendela.

Dari mana?

Tanpa mengetuk pintu, Semeru membuka pintu kamar Raesaka di saat si pemilik kamar tengah membereskan isi tasnya yang dominan diisi oleh baju kotor selepas liburannya di Dufan. Tanpa membalikkan tubuhnya, Semeru mengunci pintu kamar milik si adik sepupu dan memandangi Raesaka dengan tajam. Sementara yang dipandangi, Raesaka, hanya melirik sekilas ke arah Semeru sebelum akhirnya membuang pandangan seraya meloloskan dengus kecil.

“Pergi liburan sebentar, Mas,” jawab Raesaka dengan nada yang ia usahakan sesopan mungkin. “Aku udah bilang juga ke Budhe sedari awal. Aku nggak kabur, kok.” Raesaka masih melipat-lipat beberapa kaus dari dalam tasnya untuk nantinya ia masukkan ke mesin cuci. Sudah menjadi kebiasaan keluarga sang Bibi untuk merapihkan apapun terlebih dahulu; yang entah bagaimana menjadi kebiasaan bagi Raesaka juga.

“Kenapa nggak bilang ke Tania?”

Pertanyaan Semeru membuat gerak tangan Raesaka yang sedang melipat kaus hitamnya segera terhenti. Si adik sepupu terdiam sejenak sebelum akhirnya kembali menggerakkan tangannya walau terlihat agak kikuk. “Nggak apa-apa. Ngomong ke Budhe itu sama aja kayak ngomong ke Mbak Tania, 'kan? Toh' Budhe 'kan orangtuanya Mbak Tani—”

“Saka.” Semeru menghampiri Raesaka. Setiap langkah yang dibuat oleh si kakak sepupu entah mengapa membuat Raesaka merasa pasokan okesigennya semakin menipis. Ketakutan? Mungkin. Raesaka sendiri tidak tahu hal apa yang harus ia lakukan selain mengeratkan genggamannya pada kaus yang sedang ia lipat. “Jangan bohong ke Mas.”

“Kamu pergi sama siapa?”

Raesaka menolak untuk memandangi si lelaki yang berdiri berhadapan dengannya saat ini. Tatapannya ditujukan ke permukaan lantai, Raesaka juga masih belum menyuarakan apapun untuk menjawab pertanyaan yang diberi oleh si kakak sepupu. “Jawab,” lanjut Semeru dengan suara yang terdengar tenang namun terasa jelas sangat menekan untuk segera mendapat jawaban.

“Aku pergi bareng siapa juga, itu bukan urusan Mas Meru.”

Semeru sedikit membelalakkan matanya. Barusan Raesaka membantah pertanyaannya dengan nada sinis juga dengan sikap yang baru pertama kali dihadapi oleh si lelaki. “Saka. Jangan bikin Mas jadi emosi. Cepat atau lambat, kamu akan sadar bahwa semua yang Mas lakuin ini adalah demi kebaikan kam—”

“Mas juga pernah pacaran sama Kak Kanandra, 'kan?”

Semeru terhenyak. Perihal hubungannya dengan Kanandra adalah hal yang ingin ia tutupi serapat mungkin dan sebisa mungkin ia coba sembunyikan dari khalayak luas. Lalu sekarang? Bagaimana bisa adik sepupunya mengetahui perihal rahasianya itu?

“Mas pernah pacaran sama Kak Kanandra...”, ujar Raesaka dengan nada menekan si Kakak sepupu. “...terus kenapa sekarang Mas malah berupaya jauhin aku dari Kak Krishna?! Mas juga pernah lakuin hal itu, kenapa sekarang Mas malah bersikap seakan Mas Meru jijik? Mas juga pernah lakuin ini! Jangan sok suci, Ma—”

“DIAM!”

Suara seruan Semeru beserta suara cermin yang pecah terdengar berbarengan. Raesaka merasa seluruh tubuhnya seakan kaku ketika tangan Semeru kini berada di sampingnya, terjulur dan meninju cermin yang tergantung di dinding kamar. Sayup-sayup, Raesaka dapat mendengar suara tetes cairan yang terjatuh ke permukaan lantai. Mata Raesaka melirik ke bawah, cairan berwarna merah terlihat menetes; jatuh diantara pecahan beling yang tersebar di lantai.

Semua itu, darah Semeru.

“Kamu cuma bakal menyesali semuanya, Dek. Nggak akan ada hal baik yang muncul dari hubungan kamu sama Krishna. Jangankan dari orang-orang sekitar, bahkan Krishna sendiriㅡ bisa aja dia ninggalin kamu setelah bikin kamu jatuh terlalu dalam.” Semeru mengujarkan kalimatnya lambat-lambat, seakan ingin memastikan Raesaka paham akan segala ucapannya. “Kanandra juga begitu. Pada kenyataannya, dia yang pergi. Pada kenyataannya, dia yang khianati Mas. Kamu nggak bisa tebak ke mana hati seseorang bakal berakhi—”

“Aku dan Kak Krishna bukan Mas Meru dan Kak Kanandra.” Sekarang Raesaka tidak lagi membiarkan pandangannya turun menunduk memandangi lantai. Raesaka mengangkat pandangan kemudian menatapi Semeru yang memandanginya dengan tak kalah tajam. “Aku tau, Mas. Aku tau selama ini aku sangat terbantu oleh Mas Meru dan Mbak Tania. Aku tau, selama ini hampir semua keputusan di hidupku dibuat oleh Ayah atau dari orang dewasa yang dekat sama aku. Aku tau, makanya selama ini aku ngerasa hidupku memang hanya untuk memuaskan para orang dewasa yang udah ngebantuin juga ngejaga aku.”

“Selama ini, aku kira hidupku itu cuma buat banggain Ayah. Banggain Mbak Tania dan Mas Meru juga yang udah anggap aku sebagai seseorang yang harus dijaga dengan baik.”

Raesaka merasakan suaranya gemetar. Emosinya terlalu meluap. “Aku makasih banget, Mas. Makasih banget udah mau direpotin sama aku selama ini padahal Mas ini cuma sepupu aku. Tapi, Mas...”, Raesaka mengambil jeda diantara kalimatnya. “...aku juga mau bikin keputusan sendiri.”

“Aku mau bertanggung jawab atas pilihanku sendiri. Aku mau barengan sama Kak Krishna, Mas. Tolong... biarin aku pilih jalan hidupku sendiri.”

Semeru masih memandangi Raesaka dengan lekat-lekat. Ia tidak tahu harus memberi respon yang bagaimana. Jujur saja, sedikit rasa haru menelusup ke dalam diri Semeru karena melihat si adik sepupu yang dulu ia jaga semenjak kecil kini sudah menjadi sosok yang dewasa seperti begini. Namun yang paling Semeru sesali, kenapa harus dalam hal yang seperti begini? Kenapa harus dalam hal mencintai laki-laki?!

Pada akhirnya, Semeru memundurkan posisi berdirinya. Tangannya yang berdarah kini ditarik kembali, tidak lagi menjulur dalam posisi meninju cermin di kamar Raesaka. “Mas capek ngomongin kamu, Dek.” Semeru menjambaki rambutnya sendiri dengan sebelah tangan yang tidak berdarah. “Mas capek, kamu kenapa susah banget dibilanginnya? Apa kamu nggak pernah mikir bakal segimana kecewanya Ayah kamu kalau tau kamu suka cowok, hah?”

“Mas gimana?” “Ketika sama Kak Kanandra, Mas Meruㅡ gimana?”

Semeru memberikan tatapan tajam. “Maksud kamu?”

“Ketika Mas Meru sama Kak Kanandra, apa Mas Meru pernah pikirin tentang gimana kondisi Om sama Tante nantinya? Papa Mas Meru, si direktur utama dari banyak perusahaan ekspedisi yang lagi naik daun. Mama Mas Meru, pemilik butik yang sering disorot media.”

“Mas Meru gimana? Pernah mikirin kecewanya beliau berdua kalau tahu putra kesayangan mereka ini ternyata lagi pacaran sama cowok?” Raesaka tidak berniat mengucapkan kalimatnya dengan penuh nada menantang namun entahlah, secara alami kalimatnya terucapkan dengan nada orang yang tengah menawarkan duel pertarungan.

“Jadi kamu maunya Mas gimana?”, tanya Semeru dengan nada lemas. Darah di tangannya masih mengalir sehingga setiap kalimatnya diselingi dengan desisan kecil, bukti rasa perihnya. “Kamu mau Mas lepas tangan aja, gitu? Biarin kamu sama Krishna? Biarin kamu bikin dosa yang semakin jauh kamu terjatuh, maka bakal semakin susah buat kamu bisa bangkit lagi? Gitu, maunya?”

Raesaka tidak tahu setan apa yang merasuki diri ketika kepalanya memberi anggukan sebagai jawaban dari pertanyaan Semeru. “Mas Meru dan Mbak Tania bisa bebas dari sekarang. Dengan ini, aku mau bilang bahwa aku bakal bertanggung jawab atas segala hal yang aku lakukan. Masalah aku dan Ayah, biar aku yang pikirin nanti. Mas Meru nggak usah pusing-pusing pikirin masalah ini lagi. Aku bisa sendirian.”

Semeru terdiam, hingga akhirnya tubuhnya berbalik dan langkahnya bergerak meninggalkan kamar Raesaka. Pintu yang terkunci dibuka, kemudian baik Semeru dan Raesaka terkejut ketika mendapati Tania tengah berdiri di balik pintu kamar si adik sepupu dengan kedua tangan yang menutupi mulut; ia menangis terisak, dalam diam.

“Mbak Tani—”

“Diem di situ, Saka.” Tanpa membalikkan tubuhnya, Semeru berujar dengan nada sedikit lantang. Sebelah tangan Semeru yang tidak berdarah digunakan untuk merangkul Tania yang masih menangis terisak dalam senyap, kemudian memberi arahan agar mereka meninggalkan kamar Raesaka dengan segera. “Kamu bilang, kamu nggak mau lagi Mas sama Tania mengganggu urusan pribadi kamu, 'kan?”

“Kalau gitu, kami juga sama.” Kalimat Semeru dilanjutkan dengan anda yang sangat dingin, bahkan tanpa melirik sekalipun ke arah Raesaka yang berdiri di belakangnya. “Kamu juga nggak perlu khawatirin kami berdua.”

“Sama sekali, nggak perlu.”

Tania terisak. Ia tidak mampu mengucapkan kalimat apapun karena hatinya terlalu merasa sakit setelah mendengar kalimat yang diujarkan Raesaka. Bahwa adik sepupunya itu tidak lagi memerlukan dirinya, bahwa adik sepupunya itu ingin lepas dari semua uluran tangan yang Tania sodorkan kepadanya.

Sementara itu, Raesaka masih berdiri di tempatnya dengan kedua tangan terkepal di samping paha. Ia menggigiti bibir bawahnya kuat-kuat. Keputusan memang sudah ia lakukan; dan Raesaka yakin bahwa itu adalah keputusan yang tepat.

Namun jika semua ini tepat...

Mengapa semua terasa sesak begini? Mengapa terasa semenyakitkan ini? Mengapaㅡseperti ini?

Dari mana?

Tanpa mengetuk pintu, Semeru membuka pintu kamar Raesaka di saat si pemilik kamar tengah membereskan isi tasnya yang dominan diisi oleh baju kotor selepas liburannya di Dufan. Tanpa membalikkan tubuhnya, Semeru mengunci pintu kamar milik si adik sepupu dan memandangi Raesaka dengan tajam. Sementara yang dipandangi, Raesaka, hanya melirik sekilas ke arah Semeru sebelum akhirnya membuang pandangan seraya meloloskan dengus kecil.

Pergi liburan sebentar, Mas,” jawab Raesaka dengan nada yang ia usahakan sesopan mungkin. “Aku udah bilang juga ke Budhe sedari awal. Aku nggak kabur, kok.” Raesaka masih melipat-lipat beberapa kaus dari dalam tasnya untuk nantinya ia masukkan ke mesin cuci. Sudah menjadi kebiasaan keluarga sang Bibi untuk merapihkan apapun terlebih dahulu; yang entah bagaimana menjadi kebiasaan bagi Raesaka juga.

“Kenapa nggak bilang ke Tania?”

Pertanyaan Semeru membuat gerak tangan Raesaka yang sedang melipat kaus hitamnya segera terhenti. Si adik sepupu terdiam sejenak sebelum akhirnya kembali menggerakkan tangannya walau terlihat agak kikuk. “Nggak apa-apa. Ngomong ke Budhe itu sama aja kayak ngomong ke Mbak Tania, 'kan? Toh' Budhe 'kan orangtuanya Mbak Tani—”

“Saka.” Semeru menghampiri Raesaka. Setiap langkah yang dibuat oleh si kakak sepupu entah mengapa membuat Raesaka merasa pasokan okesigennya semakin menipis. Ketakutan? Mungkin. Raesaka sendiri tidak tahu hal apa yang harus ia lakukan selain mengeratkan genggamannya pada kaus yang sedang ia lipat. “Jangan bohong ke Mas.”

“Kamu pergi sama siapa?”

Raesaka menolak untuk memandangi si lelaki yang berdiri berhadapan dengannya saat ini. Tatapannya ditujukan ke permukaan lantai, Raesaka juga masih belum menyuarakan apapun untuk menjawab pertanyaan yang diberi oleh si kakak sepupu. “Jawab,” lanjut Semeru dengan suara yang terdengar tenang namun terasa jelas sangat menekan untuk segera mendapat jawaban.

“Aku pergi bareng siapa juga, itu bukan urusan Mas Meru.”

Semeru sedikit membelalakkan matanya. Barusan Raesaka membantah pertanyaannya dengan nada sinis juga dengan sikap yang baru pertama kali dihadapi oleh si lelaki. “Saka. Jangan bikin Mas jadi emosi. Cepat atau lambat, kamu akan sadar bahwa semua yang Mas lakuin ini adalah demi kebaikan kam—”

“Mas juga pernah pacaran sama Kak Kanandra, 'kan?”

Semeru terhenyak. Perihal hubungannya dengan Kanandra adalah hal yang ingin ia tutupi serapat mungkin dan sebisa mungkin ia coba sembunyikan dari khalayak luas. Lalu sekarang? Bagaimana bisa adik sepupunya mengetahui perihal rahasianya itu?

“Mas pernah pacaran sama Kak Kanandra...”, ujar Raesaka dengan nada menekan si Kakak sepupu. “...terus kenapa sekarang Mas malah berupaya jauhin aku dari Kak Krishna?! Mas juga pernah lakuin hal itu, kenapa sekarang Mas malah bersikap seakan Mas Meru jijik? Mas juga pernah lakuin ini! Jangan sok suci, Ma—”

“DIAM!”

Suara seruan Semeru beserta suara cermin yang pecah terdengar berbarengan. Raesaka merasa seluruh tubuhnya seakan kaku ketika tangan Semeru kini berada di sampingnya, terjulur dan meninju cermin yang tergantung di dinding kamar. Sayup-sayup, Raesaka dapat mendengar suara tetes cairan yang terjatuh ke permukaan lantai. Mata Raesaka melirik ke bawah, cairan berwarna merah terlihat menetes; jatuh diantara pecahan beling yang tersebar di lantai.

Semua itu, darah Semeru.

“Kamu cuma bakal menyesali semuanya, Dek. Nggak akan ada hal baik yang muncul dari hubungan kamu sama Krishna. Jangankan dari orang-orang sekitar, bahkan Krishna sendiriㅡ bisa aja dia ninggalin kamu setelah bikin kamu jatuh terlalu dalam.” Semeru mengujarkan kalimatnya lambat-lambat, seakan ingin memastikan Raesaka paham akan segala ucapannya. “Kanandra juga begitu. Pada kenyataannya, dia yang pergi. Pada kenyataannya, dia yang khianati Mas. Kamu nggak bisa tebak ke mana hati seseorang bakal berakhi—”

“Aku dan Kak Krishna bukan Mas Meru dan Kak Kanandra.” Sekarang Raesaka tidak lagi membiarkan pandangannya turun menunduk memandangi lantai. Raesaka mengangkat pandangan kemudian menatapi Semeru yang memandanginya dengan tak kalah tajam. “Aku tau, Mas. Aku tau selama ini aku sangat terbantu oleh Mas Meru dan Mbak Tania. Aku tau, selama ini hampir semua keputusan di hidupku dibuat oleh Ayah atau dari orang dewasa yang dekat sama aku. Aku tau, makanya selama ini aku ngerasa hidupku memang hanya untuk memuaskan para orang dewasa yang udah ngebantuin juga ngejaga aku.”

“Selama ini, aku kira hidupku itu cuma buat banggain Ayah. Banggain Mbak Tania dan Mas Meru juga yang udah anggap aku sebagai seseorang yang harus dijaga dengan baik.”

Raesaka merasakan suaranya gemetar. Emosinya terlalu meluap. “Aku makasih banget, Mas. Makasih banget udah mau direpotin sama aku selama ini padahal Mas ini cuma sepupu aku. Tapi, Mas...”, Raesaka mengambil jeda diantara kalimatnya. “...aku juga mau bikin keputusan sendiri.”

“Aku mau bertanggung jawab atas pilihanku sendiri.” “Aku mau barengan sama Kak Krishna, Mas.” “Tolong... biarin aku pilih jalan hidupku sendiri.”

Semeru masih memandangi Raesaka dengan lekat-lekat. Ia tidak tahu harus memberi respon yang bagaimana. Jujur saja, sedikit rasa haru menelusup ke dalam diri Semeru karena melihat si adik sepupu yang dulu ia jaga semenjak kecil kini sudah menjadi sosok yang dewasa seperti begini. Namun yang paling Semeru sesali, kenapa harus dalam hal yang seperti begini? Kenapa harus dalam hal mencintai laki-laki?!

Pada akhirnya, Semeru memundurkan posisi berdirinya. Tangannya yang berdarah kini ditarik kembali, tidak lagi menjulur dalam posisi meninju cermin di kamar Raesaka. “Mas capek ngomongin kamu, Dek.” Semeru menjambaki rambutnya sendiri dengan sebelah tangan yang tidak berdarah. “Mas capek, kamu kenapa susah banget dibilanginnya? Apa kamu nggak pernah mikir bakal segimana kecewanya Ayah kamu kalau tau kamu suka cowok, hah?”

“Mas gimana?” “Ketika sama Kak Kanandra, Mas Meruㅡ gimana?”

Semeru memberikan tatapan tajam. “Maksud kamu?”

“Ketika Mas Meru sama Kak Kanandra, apa Mas Meru pernah pikirin tentang gimana kondisi Om sama Tante nantinya? Papa Mas Meru, si direktur utama dari banyak perusahaan ekspedisi yang lagi naik daun. Mama Mas Meru, pemilik butik yang sering disorot media.”

“Mas Meru gimana? Pernah mikirin kecewanya beliau berdua kalau tahu putra kesayangan mereka ini ternyata lagi pacaran sama cowok?” Raesaka tidak berniat mengucapkan kalimatnya dengan penuh nada menantang namun entahlah, secara alami kalimatnya terucapkan dengan nada orang yang tengah menawarkan duel pertarungan.

“Jadi kamu maunya Mas gimana?”, tanya Semeru dengan nada lemas. Darah di tangannya masih mengalir sehingga setiap kalimatnya diselingi dengan desisan kecil, bukti rasa perihnya. “Kamu mau Mas lepas tangan aja, gitu? Biarin kamu sama Krishna? Biarin kamu bikin dosa yang semakin jauh kamu terjatuh, maka bakal semakin susah buat kamu bisa bangkit lagi? Gitu, maunya?”

Raesaka tidak tahu setan apa yang merasuki diri ketika kepalanya memberi anggukan sebagai jawaban dari pertanyaan Semeru. “Mas Meru dan Mbak Tania bisa bebas dari sekarang. Dengan ini, aku mau bilang bahwa aku bakal bertanggung jawab atas segala hal yang aku lakukan. Masalah aku dan Ayah, biar aku yang pikirin nanti. Mas Meru nggak usah pusing-pusing pikirin masalah ini lagi. Aku bisa sendirian.”

Semeru terdiam, hingga akhirnya tubuhnya berbalik dan langkahnya bergerak meninggalkan kamar Raesaka. Pintu yang terkunci dibuka, kemudian baik Semeru dan Raesaka terkejut ketika mendapati Tania tengah berdiri di balik pintu kamar si adik sepupu dengan kedua tangan yang menutupi mulut; ia menangis terisak, dalam diam.

“Mbak Tani—”

“Diem di situ, Saka.” Tanpa membalikkan tubuhnya, Semeru berujar dengan nada sedikit lantang. Sebelah tangan Semeru yang tidak berdarah digunakan untuk merangkul Tania yang masih menangis terisak dalam senyap, kemudian memberi arahan agar mereka meninggalkan kamar Raesaka dengan segera. “Kamu bilang, kamu nggak mau lagi Mas sama Tania mengganggu urusan pribadi kamu, 'kan?”

“Kalau gitu, kami juga sama.” Kalimat Semeru dilanjutkan dengan anda yang sangat dingin, bahkan tanpa melirik sekalipun ke arah Raesaka yang berdiri di belakangnya. “Kamu juga nggak perlu khawatirin kami berdua.”

“Sama sekali, nggak perlu.”

Tania terisak. Ia tidak mampu mengucapkan kalimat apapun karena hatinya terlalu merasa sakit setelah mendengar kalimat yang diujarkan Raesaka. Bahwa adik sepupunya itu tidak lagi memerlukan dirinya, bahwa adik sepupunya itu ingin lepas dari semua uluran tangan yang Tania sodorkan kepadanya.

Sementara itu, Raesaka masih berdiri di tempatnya dengan kedua tangan terkepal di samping paha. Ia menggigiti bibir bawahnya kuat-kuat. Keputusan memang sudah ia lakukan; dan Raesaka yakin bahwa itu adalah keputusan yang tepat.

Namun mengapa semua terasa sesak begini? Mengapa terasa semenyakitkan ini? Mengapaㅡseperti ini?

Assalamu'alaikum.”

“Waalaikum'salam. Eh, si ganteng udah pulang.” Seorang wanita paruh baya yang sedang menyirami taman yang dihiasi bunga di dalam pot-pot kecil tampak menyunggingkan senyum lebar tatkala Raesaka membuka pagar rumah. Yang disapa, Raesaka, membalas senyuman dari sang Bibi dengan sama lebarnya seraya menutup kembali pintu pagar. “Gimana? Lancar-lancar aja mainnya?”

“Heh?” Raesaka hampir tersedak air liurnya sendiri setelah mendengar pertanyaan dari sang Bibi. “M-main apa, Budhe?”, tanya Raesaka dengan suara yang terdengar gemetar. Sang Bibi mengernyitkan alisnya, terlihat kebingungan. “Lho? 'Kan katanya kamu main sama temen-temen kamu, ya, makanya Budhe nanya— lancar nggak, mainnya?”

Raesaka tertawa kikuk, tangannya menggaruki pipinya sendiri; berupaya menutupi segala salah tingkah yang dirasa. “O-oh.. iya, Budhe. Lancar, kok. Seru juga,” jawab Raesaka seadanya. Sang Bibi menyipitkan pandangan kemudian memandangi Raesaka dengan pandangan curiga. “Hayo. Pasti ada yang disembunyiin, deh, dari Budhe. Jangan-jangan kamu pacaran sama temenmu, ya?”

“Nggak, Budhe. Nggak,” jawab Raesaka dengan mengulas senyum tipis. Langkahnya dibawa cepat ke pintu masuk kediaman sang Bibi, berupaya untuk kabur sebelum ditanyai lebih jauh. Namun baru juga Raesaka membuka pintu rumah, sepasang sepatu kets dengan model sporty sudah menyambut pandangan. Ukurannya besar, sudah pasti itu bukan milik Tania atau sang Bibi. Modelnya yang berwarna biru cerah bermotif putih juga pasti menandakan sepatu itu bukan milik sang Paman.

“Budhe..” Raesaka menolehkan kepalanya ke belakang, memandangi sang Bibi yang kini sibuk membuang rumput liar yang tumbuh di sekitar pot bunga. “..ini sepatu siap—”

KLAK.

Suara besi pengunci pagar terdengar dibuka. Beriringan dengan suara derit pagar, sosok Semeru terlihat di baliknya; menenteng kantung plastik dengan beberapa bungkus styrofoam berwarna putih di dalamnya. Pandangan Semeru dan Raesaka bertemu, membuat nafas Raesaka seakan tercekat. Jangan bilang bahwa Kakak sepupunya itu...

“Wah, pas banget kamu pulangnya, Meru. Ini Saka baru pulang dari acara nginep sama temennya. Kamu beli berapa itu bubur ayamnya? Kalau kamu belinya cuma buat Pakde Budhe sama kamu, yang punya Budhe kasih ke Saka aja.”

Ujaran sang Bibi sama sekali tidak menjadi fokusnya. Raesaka merasakan telinganya berdenging kencang, memekakkan indera pendengaran. Tatapannya masih memandangi Semeru yang kini balas menatap dengan tatapan yang sulit untuk Raesaka ketahui bentuk emosinya.

Namun satu hal yang pasti, Raesaka bisa menangkap arti; bahwa Semeruㅡ tengah emosi.

Mana traktirannya?”

Sandy segera menjulurkan kedua tangannya ke hadapan Tarendra dan Nakuladewa yang baru saja keluar dari kelas yang mereka ikuti. Selain Sandy, sudah ada Ijun dan Sammy, dua teman dekat Tarendra dan Nakuladewa yang lainnya. Mereka bertiga duduk di bangku coklat yang ada di lorong gedung B, tempat yang memang kerap dijadikan sebagai ruang nongkrong bagi mahasiswa fakultas Teknik Universitas Ganesha Mandala.

“Traktiran pala lo,” ujar Tarendra dengan ketus namun dibarengi dengan senyum si lelaki berkulit kecoklatan itu. “Duitnya langsung dibagi ke anak pasukan, lah. Ada enam belas orang, lo kira aja itu duit hadiahnya ludes ke mana,” lanjut Tarendra. Nakuladewa tidak ikut menjawab, namun ia memberi anggukan sebagai pernyataan setuju dengan kalimat yang diujarkan sahabatnya itu.

“Seriusan nggak ada yang lari ke lo pribadi, gitu?”, tanya Ijun dengan penuh rasa penasaran. “Kayak... lo 'kan suka dijemur di tengah lapangan kampus tapi beneran nggak dapet duit sedikitpun, apa?”

Nakuladewa tertawa kecil. “Ya, namanya juga perjuangan. Mana ada dijemur terus dapet duit? Emang lo kira pendemo yang ikutan kampanye demo pemilihan Presiden, apa? Dijemur, ikut demo, terus dapet duit,” celetuk si lelaki berkulit putih seraya meletakkan tas miliknya ke atas meja cokelat yang mereka tempati.

“Salut deh, gue. Beneran salut sama anak Paskibra,” ujar Sammy; si lelaki yang dikabarkan tengah menjalin hubungan dekat dengan Sandy. “Kalau gue sih, kayaknya bakal mikir seribu kali buat dijemur tanpa dapet imbalan apa-apa.”

Tarendra dan Nakuladewa sempat berpandangan sekilas sebelum akhirnya menyunggingkan senyum miris. Mereka sangat terbiasa mendapatkan pandangan miring tentang Paskibra seperti yang mereka dengar barusan. Tentang hal sia-sia yang membuang waktu, lah. Aktivitas yang bikin kulit hitam, lah. Masih banyak juga tanggapan yang lainnya. Mereka sudah sangat terbiasa sehingga dibanding membela dan memberi argumen, Tarendra dan Nakuladewa lebih memilih untuk diam dan mengiyakan saja.

Toh' tidak akan ada yang mengerti tentang apa yang sedang mereka tekuni kecuali mereka mengikuti kegiatan Paskibra itu sendiri, sih.

“Udah. Udah. Daripada ngomongin duit hadiah lomba yang nggak ada bentuknya, mending kita mulai ngerjain tugasnya, deh. Gue masih mesti ngajar bimbel, nih,” ujar Nakuladewa seraya mengeluarkan buku binder miliknya. “Yuk, dimulai aja.”

Untuk beberapa saat, lima anak muda itu tampak berdiskusi dengan serius; memperbincangkan perihal tugas yang mereka kerjakan. Walaupun di tengah-tengah perbincangan terkadang tangan Tarendra kerap mendarat di atas paha Nakuladewa yang mana dibalas dengan tatapan tajam si lelaki berkulit putih. Sandy yang tahu perihal hubungan kedua lelaki itu hanya mendengus kecil ketika melihat Tarendra tertawa geli karena respon yang didapatkan dari si kekasih.

“Sip! Begini aja berarti, ya?”, tanya Sammy seraya melipat kertas yang sedari tadi ia gunakan sebagai tempat corat-coretnya. “Kalau kata gue, sih, dengan begini aja udah cukup jelas.”

Nakuladewa mengangguk. “Kalau kata gue juga cukup segini aja penjelasannya. Kalau terlalu ribet, nanti yang denger presentasi kita juga keburu nggak ngerti.” Ijun yang terlihat sangat santai segera menyetujui ucapan Nakuladewa. “Iya! Udah, ikutin omongan yang paling pinter aja. Udah, segini cukup.”

“Halah, lo sih emang males aja kerja kelompok begini, Jun,” celetuk Sandy dan dibalas dengan tawa dari mereka yang sedang berkumpul. Terkecuali Tarendra yang sekarang sedang memandangi ponsel miliknya dengan sangat serius, bahkan ia sesekali mengetuk-ngetukkan ponselnya ke pinggiran meja; entah untuk alasan apa.

“Handphone lo error lagi?“, tanya Nakuladewa dengan santai ketika melihat tindakan Tarendra. Si lelaki berkulit kecoklatan mengangguk, ekspresi wajahnya terlihat sangat kesal. “Aneh banget sih gue punya HP. Rusak melulu,” gerutunya.

“Biasa dipake nonton bokep, sih. Jadinya gampang kena virus,” ujar Sandy dan dibaals dengan tatapan tajam dari Tarendra namun gelak tawa dari semuanya. Menyadari bahwa si kekasih tidak begitu senang karena ditertawakan, akhirnya Nakuladewa mengeluarkan ponsel miliknya dari dalam tas dan menyerahkannya kepada Tarendra. “Nih. Kalau buat internetan sama denger Spotify sih masih bisa. Pake aja hape gue dulu. Nanti pas pulang, balikin.”

“Lho, lo bukannya mau ke tempat bimbel, Dewa? Emang nggak apa-apa kalau nggak bawa hape?”, tanya Ijun. Nakuladewa menggeleng. “Ini si monyet satu katanya mau ikut gue ke tempat bimbel. Jadi kalau hape gue dipegang dia sebentar mah masih nggak apa-apa, kayaknya.”

Sammy dan Ijun mengangguk-angguk, namun Sandy mengirimkan pandangan penuh arti kepada dua lelaki yang memang sudah ia ketahui sedang menjalin kasih. Nakuladewa balas memberi isyarat kepada Sandy untuk diam dan tidak melakukan tindakan yang bisa membuat Ijun dan Sammy curiga.

“Hhh, ya udah.” Pada akhirnya, Tarendra menerima sodoran ponsel milik Nakuladewa. Ponsel miliknya sangat jauh berbeda dengan milik si kekasih; jika milik Tarendra adalah ponsel keluaran terbaru, milik Nakuladewa sudah terlihat lumayan usang. Bahkan layarnya sudah retak di beberapa bagian. “Gue pinjem dulu, cuma buat dengerin Spotify biar nggak bosen di jalan.”

“Ya udah. Udahan, 'kan, ini?”, tanya Nakuladewa seraya memasukkan kertas miliknya ke dalam tas. “Yuk, bubar. Gue mesti buruan berangkat. Bisa-bisa ketinggalan bis, ini.”