Krishna masih berdiri di depan pintu kamar Raesaka.
Suasana kediaman rumah keluarga Raesaka di Jakarta tampak ramai didatangi peziarah walaupun upacara pemakaman sudah dilaksanakan beberapa jam yang lalu. Krishna dan Ayahnya diundang oleh Om Setyo untuk tetap berada di rumah duka sampai acara tahlilan berakhir. Walaupun menganut agama yang berbeda, Ayah Krishna mengiyakan tawaran Om Setyo dan membantu mempersiapkan hidangan untuk disajikan ketika acara tahlilan hari pertama nanti berlangsung.
Dari balik pintu, Krishna bisa mendengar suara isak tangis Raesaka. Tidak ingin mengganggu, jadilah dengan sabar Krishna menunggu; pilih berdiri dengan daun pintu yang dijadikan sandaran. Krishna melipat dua tangan di depan dada, setiap gerak dilakukan sepelan mungkin agar tidak membuat suara keras.
Namun Krishna tidak lagi kuat untuk disuruh menunggu. Akhirnya dengan keputusan bulat, ia mencoba memutar kenop pintu kamar di hadapan dan membuka daun pintunya dengan perlahan. Berusaha agar tidak membuat suara sekecil apapun yang dapat mengganggu Raesaka.
Di dalam kamar, Raesaka meringkuk dan meremas rambutnya. Dua belah bibirnya bergerak tak beraturan, seolah tuturkan kalimat untuk dijadikan sumber keyakinan. “Saka. Ayah bilang, jangan nangis. Cowok nggak boleh nangis. Jangan bikin Ayah kecewa. Ayah udah bangga ke lo. Jangan nangis..” Raesaka masih meringkukkan tubuhnya seraya berulang kali menggerakkan bibir untuk mengucap kalimat tak begitu jelas.
“Ka?” Ketika Raesaka tengah meringkukkan tubuh di atas tempat tidur seraya membisikkan kalimat yang ia ucapkan berkali-kali, tiba-tiba suara yang sangat dikenali oleh si lelaki itu terdengar. Raesaka membeku, tidak bergerak. Masih berharap bahwa yang menjadi tebakannya tidaklah benar. Bahwa Krishna tidak sedang berada di sin— “Raesaka?”
Tebakan Raesaka salah. Kali kedua ia mendengar suara itu memanggil namanya, Raesaka tahu bahwa si pemilik suara memang adalah Krishna.
“Kenapa di sini, Kak?” Masih dengan tubuh meringkuk dan kepala yang dibenamkan pada tekukan lutut, Raesaka berujar singkat. Ia menolak untuk bertatapan langsung dengan si lelaki yang lebih tua. “Kak Krishna pulang aja. Saya nggak apa-apa.”
Bukan, Raesaka bukan mengucapkan kalimat itu hanya karena ingin dianggap hebat atau kuat. Tidak. Tidak sama sekali, malahan. Raesaka tidak ingin Krishna menjadi pelampiasan dari emosinya yang masih tidak bisa ia kendalikan. Bisa saja emosi Raesaka meledak. Bagaimanapun ceritanya, Raesaka tidak ingin membentak Krishna. Tidak untuk sekalipun.
“Saya nggak apa-apa.” Raesaka tidak lagi membenamkan wajahnya. Kini, ia mengangkat wajah dan menatap langsung ke arah Krishna di sampingnya. “Nih, liat. Saya senyum.”
Benar. Raesaka tersenyum.
Raesaka terpaksa tersenyum.
Entah bagaimana senyum si lelaki terlihat. Apakah terlihat tulus ataukah getir? Entah.
“Pulang, ya? Ikutin omongan saya, ya, Kak? Bisa, 'kan? Nggak usah nanya. Saya baik-baik aja.”
Senyum terulas sangat tipis di bibir Raesaka. Entah masih dapat disebut sebagai senyuman atau tidak. “Udah, sana. Pulang.”
Krishna masih pada posisi, memastikan Raesaka tidak akan mengamuk sebab merasa perkataannya barusan tidak dituruti. Merasa tidak akan mendapat jawaban maka Krishna pilih mendekat, kembali satu nama disuarakan. “Saka. Lo nggak bisa gue tinggalin sendirian.” Krishna menarik kursi di sebelah kasur.
“Saya nggak apa-apa.” Serupa Raesaka yang biasa, Raesaka yang sekarang juga tengah coba sebisa mungkin menenangkan Krishna. Lucu, padahal ia yang paling membutuhkan. Lihat, bagaimana lelaki berkulit kecoklatan itu masih coba pasang senyum andalan, meski sarat akan gamang. Belum lagi jemari yang tadi remas rambut frustasi, kini dengan jenaka beri usap kecil pada lengan Krishna.
“Saka, tau nggak, kalau diet tuh, ada yang namanya cheat day.” Krishna menilik dari balik jemari, memperhati, sebelum akhirnya melanjutkan. “Anggap aja hari ini 'tuh cheat daynya lo. Lo boleh marah. Lo boleh sedih. Lo juga boleh nangis. Gue nggak akan bilang ke siapapun, janji.”
Setelah janji diberi juga kuasa yang sudah diturunkan kembali, Krishna menatap lawan bicaranya. Sebisa mungkin, pasang wajah paling tidak menyebalkan yang bisa ia tampilkan. Mana tahu, untuknya segala topeng bersedia Raesaka runtuhkan.
“Cheat day?” Raesaka tertawa kecil atau katakan, lah, mendengus. Tawa yang diberi bukan karena menganggap ucapan Krishna lucu atau menggemaskan. Tidak. Malah, Raesaka merasa muak. Ingin marah. Apakah Krishna sekarang menganggap kondisinya sekarang dapat disamakan dengan rutinitas diet? Apakah kondisinya sekarang sesederhana itu? Apakah Krishna sekekanakan itu?
“Kak Krishna..” Raesaka masih tersenyum, memang. Namun senyumnya tak lagi sama seperti sebelumnya.
Kini, si yang lebih muda tersenyum getir. Tidak ada lagi keraguan perihal senyumnya yang akan terlihat tulus ataukah getir. Bahkan si pemilik raga pun sudah dapat merasakan, senyuman dari bibirnya sekarang benar-benar tidak enak dipandang. Sinis, singkatnya.
“Kakak tau? Kakak nggak bisa jadi penghibur yang baik. Kakak nggak bisa bikin perasaan saya membaik cuma dengan kata-kata cheat day atau apalah itu. Situasi saya nggak sesederhana itu. Kakak bisa mikir, ngga—”, ujaran Raesaka terputus seiring ia yang menyadari bahwa nada suaranya telah semakin meninggi. Raesaka tahu, semakin lama Krishna di sini maka akan semakin sulit baginya mengatur emosi.
Raesaka merasakan jemarinya kini bergetar hebat. Entah kenapa. “Kak, jangan bikin semua ini malah jadi semakin sulit buat saya.” Kedua kuasa Raesaka yang bergetar kini terkepal. Berusaha menahan keinginan untuk kembali menjambaki rambutnya sendiri, berusaha agar tidak terlihat memalukan di mata lelaki yang paling ia kasihi. “Kakak tinggal keluar dari sini. Pulang aja. Saya bakal kabarin Kakak lagi. Janji, Kak. Jangan bikin ini semakin sulit.”
Tidak bisa. Raesaka tidak bisa menahan segala rasa sesak di dadanya. Tangan yang semula terkepal kuat, kini memukuli dadanya sendiri. Tidak, Raesaka tidak menangis. Lelaki itu menggigiti bibir bawahnya kuat-kuat, sebisa mungkin menahan emosinya yang seakan dapat segera meledak.
Masih dengan kuasa kanan yang memukuli dadanya sendiri, nafas Raesaka memburu. Terhembus berantakan. “Saya nggak apa-apa.” Di sela hembusan nafas yang berantakan, Raesaka berujar pelan. Terlalu pelan, hingga bisa disebut cicitan dibanding sebuah ucapan. “Saya nggak apa-apa. Pergi. Pergi, Kak. Saya mohon, pergi.”
Krishna sudah terbiasa, perihal debat hingga berteriak atau berakhir dengan kepala Raesaka yang Krishna jitak, hingga kikik tawa mereka merebak. Namun kalau Raesaka menaikkan suara seperti ini, yang mana Krishna tahu tidak dengan konten yang bisa dibercandakan; ia tidak terbiasa. Jangan sampai, terbiasa. Sebab itu berarti, harus banyak ucapan bernada tinggi yang harus Krishna terima.
Layaknya terima serangan tiba-tiba dari pasukan gerilya, Krishna hanya bisa diam sambil menunduk dalam, seolah memandang dua ujung kaki tanpa alas kaki jauh lebih menyenangkan. Di sela fokusnya pada jemari kaki, Krishna sempat melirik sekilas, hanya untuk mendapati kepalan yang diremat kuat, keluarkan halus gurat bayangan biru di sepanjang tangan. Seolah memperlihatkan, ada badai yang siap dikeluarkan oleh Raesaka kalau saja Krishna masih bersikeras melawan.
Paham, Krishna bukan hendak jadi sosok menyebalkan di tiap drama Korea yang sering Kakak perempuannya tonton. Tipikal orang yang sudah diberi tahu lelakinya hendak berperang tapi malah ajukan diri ikut hingga akhirnya menjadi tawanan, menjadi beban tambahan yang merepotkan. Krishna pikir, kondisi Raesaka berbeda, dia tidak akan jadi tawanan, paling hanya dihadiahi sumpah serapah yang sebelumnya Raesaka janjikan.
Sirna segala pemikiran yang singgah, digantikan denyut menusuk ketika mendongak dan disambut oleh Raesaka yang memukuli dadanya, memperlihatkan bahwa hampir hilang sebagian kuasa akan dirinya.
“Saka, sama aku, ya? Aku temenin. Jangan gitu, jangan dipukulin.”
Kata pemanggil yang biasa diujarkan kini diganti. Aku-kamu. Runtun silabel ada yang diucap lebih dari sekali, dengan getar halus pada suara yang jelas terdengar jika sedang berdekatan, tanda bahwa bukan hanya tangan Krishna yang gemetar; suaranya juga.
Sebisa mungkin, Krishna menggapai tangan Raesaka dan mengambil alih kuasa. Krishna coba menghentikan agresi dadakan meski paham betul adalah serupa bentuk pelampiasan atau malah pengalihan.
“Kenapa mesti Ayah yang hidup? Kenapa bukan Ibu yang di sini? Kenapa bukan Ayah yang mati?“
Raesaka ingat dengan teramat jelas, dirinya sewaktu kecil pernah berujar demikian. Alasannya sederhana, hanya karena sang Ayah tidak membelikan mainan yang ia idam-idamkan. Raesaka juga masih ingat dengan jelas bagaimana Ayahnya hanya terdiam dengan ekspresi kaku.
Raesaka kecil pernah membayangkan akan sebagaimana bahagia dirinya apabila sosok sang Ibunda lah yang menemani setiap harinya. Pasti semua akan sempurna. Alih-alih suasana kaku yang selalu tercipta di meja makan ketika sarapan, pasti akan ada obrolan hangat dari Ibunda; menanyakan siapa temannya? Apakah ada gadis yang menarik perhatiannya? Apakah makanan yang disajikan terlalu asin atau tawar?
Alih-alih mendapatkan kehangatan itu, Raesaka selalu mendapatkan keheningan di meja makan. Hanya ada denting suara alat makan yang sesekali beradu dengan piring hidangan. Alih-alih pertanyaan ringan mengenai teman, Raesaka malah mendengar pertanyaan perihal nilai ujian, ranking, dan berbagai hal lain yang Ayahnya namai sebagai cita-cita.
Raesaka pernah berharap, Ayahnya mati saja. Toh' ada atau tidaknya beliau, tidak akan memberi perbedaan yang berarti. Ah, mungkin malah tidak akan memberi dampak yang berarti sama sekali.
“Saka. Hei. Sama aku, ya?”
Namun jika memang Raesaka berpikir demikian—tatkala sang Ayah benar-benar pergi, kenapa rasanya sesakit ini? Sesesak ini?
“Aku temenin.”
Jika memang dengan kematian Ayahnya, Raesaka merasa lebih bebas—kenapa kini tangannya tidak bisa berhenti memukuli dadanya sendiri? Kenapa ia malah menganggap sakit karena hantaman pukulan akan lebih menyenangkan dibandingkan sesak yang kini tengah ia rasakan?
“Jangan gitu. Jangan dipukulin.”
“Sakit, Kak..” Raesaka berujar lirih, dengan kedua tangan yang masih memukuli dada biarpun kini tindaknya sedikit terhalang karena Krishna berusaha menghalau geraknya. “Sakit. Sesak.”
Pada kenyataannya yang Raesaka bayangkan hanyalah bualan belaka. Dirinya tidak sebahagia itu ketika Ayahnya tiada. Dirinya tidak sebebas itu kala Ayahnya tidak membatasi langkah. Pada kenyataannya, semua sama saja.
Sakit. Sesak. Pedih. Perih.
“Ayah..” Entah usaha Krishna yang membuahkan hasil atau Raesaka yang sudah lelah dengan setiap pukulan pada dada, si lelaki yang lebih muda kini menghentikan gerakannya. “..Ayah—”
“Saya mau ketemu Ayah, Kak.”
Meledak. Tangis sang tuan kini tak terbendung. Lupakan perihal janji untuk tak pernah menangis karena laki-laki harus bisa menahan setiap emosi, lupakan. Raesaka terisak dengan kepala menunduk dalam. Pula dengan nafas yang menderu dan kata yang terputus-putus. Tersengal. “Ayah. Raesaka sama siapa? Raesaka sama siapa sekarang?”
Gerak tak beraturan dari Raesaka harusnya buat Krishna ikut kesakitan karena turut dapat pukulan yang gagal menghantam sasaran. Harusnya sih, begitu.
Nyatanya, remas tak kasat mata pada jantung jauh lebih menyakitkan, menjadi sumber utama lemas kuasa. Namun Krishna enggan mengalah untuk memanjakan lemahnya. Krishna terus berusaha memegangi tangan si kekasih, tidak membiarkan Raesaka memukuli diri sendiri.
Seolah paham bahwa Krishna juga tengah berjuang, gerak dari Raesaka tak lagi liar. Raesaka sekarang menunduk, dalam. Lantas gemuruh yang tadi ditahan, sesak yang berusaha dilupakan; sekarang mau tidak mau dimuntahkan. Raesaka menangis lebih keras, tahu ia tidak sedang sendirian.
Segera, Krishna selipkan dua tangannya, tepat pada pinggang milik Raesaka, berusaha cipta gerak yang menopang. Setelah merendahkan badan, memastikan pinggang Raesaka masuk dalam pelukan, dekap Krishna eratkan.
Sekali lagi memastikan,
semestanya bisa beristirahat walau sebentar.
“Sstt, masih ada aku, Saka. Masih ada Mami aku, masih ada Papi aku, Cici, Budhe Pakdhe kamu, Tania.. masih ada kami.”
Persetan perihal eksistensinya yang mungkin tidak akan pernah bisa ada di posisi yang sama dengan Ayah Raesaka, lupakan soal presensinya yang mungkin masih dirasa kurang. Sebab Krishna juga paham, tidak semua orang bisa digantikan. Terlebih, perihal kenangan.
“Aku di sini, Saka. Nggak akan ke mana-mana.”
Fatal memang berikan janji, terlebih pada Raesaka yang notabenenya sama dengan dirinya; paham betul bukan manusia yang menentukan perihal bertahan atau pergi duluan. Namun sebagaimana yang sebelumnya Raesaka katakan, Krishna tidak pandai menenangkan. Jika beri janji untuk terus hidup dan menemani bisa ringankan hati, Krishna bersedia menjaga diri, berusaha agar hidup lebih lama.
Sebab berjanji untuk bertahan, lebih sulit dibanding meninggalkan.
Sekarang Raesaka paham mengapa Ayahnya selalu melarang untuk menangis. Karena sekalinya kau menangis, akan teramat sulit untuk berhenti. Akan teramat sulit untuk kembali mengendalikan emosi. Raesaka baru menyadarinya sekarang. Raesaka baru memahaminya sekarang.
Kemudian seakan tidak bisa menghentikan tangis dan mengendalikan emosi tidaklah cukup buruk, Raesaka tengah melakukannya di hadapan si lelaki yang paling ia sayangi. Seseorang yang pernah Raesaka tekadkan dalam hati sebagai sosok terakhir yang akan melihat dirinya menangis.
Baru sekarang Raesaka merasakannya. Pelukan di tengah isak tangis, Raesaka baru merasakannya kali ini. Biasanya, Raesaka akan menerima ujaran tegas dari sang Ayah; mengatakan untuk tidak menangis, bahwa anak laki-laki haruslah tegar. Baru kali ini, seseorang memeluk Raesaka di tengah isak tangis yang seakan tidak mau berhenti.
“Aku di sini, Saka. Nggak akan kemana-mana.”
Jika Krishna mengucapkan kalimat barusan dalam situasi normal pada keseharian keduanya, Raesaka akan mencibir. Mengatakan enggan untuk mendengar kalimat picisan yang terlalu sering diucap tanpa tulus tersisip di dalamnya. Raesaka tidak menyukai perihal janji karena hati manusia tidak pernah ada yang bisa mengetahui.
Maka dari itu, Raesaka tidak pernah berjanji apapun kepada Krishna. Tidak untuk tetap tinggal dan setia, pula tidak untuk menjadi seseorang yang terakhir di sisi kala akhir hayat menghampiri.
Begitupun Krishna, si lelaki tidak pernah memaksa untuk memberi janji. Karena ia sendiri pun tahu, janji adalah hal yang paling sulit untuk dihadapi pula ditepati. Namun, kini Raesaka harus mengakui bahwa sebuah pelukan dan ucapan untuk tidak meninggalkan adalah hal yang teramat ingin ia dapatkan.
Kepala Raesaka kini tersandar lemah pada pundak Krishna yang tengah memeluknya; berbanding terbalik dengan kuasanya yang kini mencengkeram kuat lengan si lelaki yang lebih tua. Seakan dengan cara itu, tangisnya tidak lagi meledak.
“Jangan janji, Kak. Saya nggak mau kecewa lagi.”
Bohong. Raesaka berbohong. Jika saja Raesaka boleh jujur, ia ingin menerima janji Krishna. Memastikan bahwa lelaki itu akan tinggal di sisi untuk selamanya. Jika saja Raesaka boleh jujur, itu adalah keinginan terbesarnya. Memiliki Krishna, hingga ajal menyapa.
Namun Raesaka paham bahwa semesta senang bercanda. Bahwa Tuhan terkadang ingin membuat cerita yang tak pernah Raesaka duga-duga. Raesaka tidak ingin menanam perasaan berharap yang terlalu besar kepada lelaki yang tengah merengkuhnya ini. Raesaka tak ingin menjanjikan apa yang belum ia ketahui.
“Nggak usah janji.” Tangis si lelaki kini tak lagi begitu hebat. Hanya suara sengau sebab telah meluapkan air matanya lah yang kini terdengar. “Kakak cukup lakuin apa yang pengen Kakak lakuin. Apapun itu. Lakuin. Kalau Kakak mau sama saya, lakuin. Kalau Kakak mau tinggalin saya, lakuin. Lakuin, apa yang emang Kakak pengen lakuin. Saya nggak mau ke depannya Kakak terpaksa diem di sini bareng saya karena satu hal : janji.”
“Atau karena hutang budi.”
Kepala Raesaka tidak lagi bersandar di bahu si kekasih. Kini, wajahnya terangkat dan pandangannya tertuju lurus kepada Krishna. “Biarpun saya berharap, berharaaaaap banget kita bisa barengan terus, bisa bikin cerita bareng terus, bisa bahagia barengan.. tapi nggak usah janji.”
“Kak Krishna.”
“Saya sayang banget ke Kakak. Sayang banget, Kak. Terlalu sayang.”
“Kakak—jangan takut, ya? Saya bakal jadi cowok kuat. Tangisan saya yang barusan Kakak liat, anggap aja nggak pernah ada. Kalau emang saya yang lemah kayak barusan bikin Kakak jijik, saya bisa berusaha buat jadi lebih kuat. Tapi, Kak— buat sekarang aja, saya mau tanya..”
Ujaran Raesaka terhenti dan disambung dengan helaan nafas si pemuda yang ditarik panjang. “Kakak mau..temenin saya lagi?”
Tahu, tidak, rasanya bernapas setelah sekian lama harus menahan? Tahu tidak, rasanya manjakan diri dengan selimut, guling, dan bantal, setelah bekerja seharian? Nyaman, lega, atau apapun itu adalah yang tengah Krishna rasa. Sebab tawaran peluknya, diterima.
Sebatas cengkram pada tangan atau apapun itu yang buat fisik merasa kesakitan, akan Krishna sanggupi. Asal tidak ada lagi jerit tangis dari yang ia kasihi.
“Buat kali ini, aku janji.” Keras kepala, buat Krishna sekilas teringat kisah Ayah Ibunya yang saling berjanji untuk menjaga sehidup semati. Krishna juga menyempatkan untuk berdoa, meski lupa bahwa mungkin doanya tidak akan terkabul karena Tuhan mereka berdua berbeda. Tanpa tahu diri ia tundukkan kepala lagi, sekuat hati meminta agar kiranya tidak dipanggil dahulu.
Krishna mengingat bahwa ia masih banyak miliki dosa, maka dari itu dia pinta lebih banyak waktu, hendak perbaiki diri agar setidaknya tidak terlalu berdosa saat nanti kembali. “Aku janji tapi aku juga di sini karena mauku sendiri, Saka.”
Berjeda, dan mungkin Raesaka pun paham bahwa Krishna masih berniat melanjutkan. “Karena aku lebih sayang kamu, karena di sini bukan cuma kamu yang butuh aku. Sebaliknya, aku juga.” Rentet silabel berisi sanggahan diberi. Berusaha agar lelakinya paham bahwa ia tidak tengah sayang sendirian, bahwa tidak ada unsur keterpaksaan, hutang budi, apalagi karena rasa kasihan.
Untuk sekilas, Raesaka sempat heran bagaimana tangan Krishna bisa sehangat ini sementara tangannya dingin begini? Berkali-kali Raesaka menguatkan genggamannya pada tangan Krishna hanya untuk mendapatkan kehangatan. Biarpun tidak banyak, memang. “Kak..”
”..saya kangen Ayah.”
Suara Raesaka semakin mengecil seiring kalimatnya terucap. Kepala si yang lebih muda kini tersandar pada pundak Krishna. Tidak menangis, memang. Namun tetap saja, terdengar nada penuh kesedihan dari sana. “Kak..”
“Saya mau tidur. Sebentar.” Raesaka berujar tanpa mengangkat kepalanya dari aktivitas bersandar di pundak Krishna. Tanpa melihat, Raesaka meraih tangan kanan si kekasih dan meletakkan di kepalanya sendiri. “Usap-usap, kepalanya.”
Krishna tersenyum tipis sebelum akhirnya menuruti pinta lelaki di samping dirinya untuk memberi usapan pada kepala. Usapan didaratkan dengan lembut, seakan takut membuat luka barang sedikit. Masih dengan mata terpejam dan kepala yang tersandar, Raesaka melanjutkan ucapannya.
“Kak. Jangan pergi. Bahkan dalam mimpi sekalipun, jangan pergi. Saya nggak mau sendirian lagi.”