dontlockhimup

“Dua ratus baht.”

Tawan menerima lemparan benda berbentuk kartu terbungkus warna hijau muda dengan sangat tanggap, padahal Singto melemparkan benda itu tanpa aba-aba terlebih dahulu. Jangankan aba-aba, bahkan barusan Singto melangkah masuk ke kamar Tawan tanpa menimbulkan suara sedikitpun namun si pemilik kamar dengan tanggap memutarkan kursi belajarnya ke arah pintu kamar; seakan mereka berdua tahu tanda-tanda kedatangan satu sama lain tanpa harus disuarakan secara vokal.

Benda yang ditangkap oleh Tawan adalah kartu SIM dari salah satu provider ternama yang ada di Thailand, AIS. Dengan mata yang disipitkan, Tawan memperhatikan tulisan yang tertera di pembungkus kartu SIM di tangannya. “Dua ratus baht dari mana? Lo beliinnya cuma yang seratus baht kok, ini!” Tawan berseru dengan nada sedikit membentak, merasa ditipu oleh lelaki berkulit kecoklatan yang sekarang sedang melepaskan jaket fakultas miliknya. “Jangan suka tipu-tipu, deh, To. Anak kesayangan Papa masa' ngebohong?”

“Mulaaai. Mulaaaai 'kan bawa-bawa soal bokap,” balas si lawan bicara, Singto, dengan nada yang agak jengah. Jaket fakultas yang tadi dikenakan beserta tas ransel berwarna hitam yang sudah terlihat agak lusuh diletakkan di pinggiran dekat pintu kamar Tawan. Setelah menepuk punggung kepala Tawan dengan sedikit sebal, Singto berjalan santai menuju ranjang si pemilik kamar dan merebahkan diri di sana. Tanpa permisi, garis bawahi itu.

“Dua ratus baht itu udah termasuk ongkos jalannya seratus baht. Lo kira beli kayak begituan nggak butuh tenaga?”, tanya Singto seraya memejamkan matanya sekilas. Ia sedikit mengantuk akibat kelas yang dijalaninya hari ini sangat padat. Tawan terkekeh kecil. “Perhitungan banget ke kakak kembar sendiri, heran.”

Dengan mata yang masih terpejam namun kesadaran yang penuh, Singto membalas ujaran dari lelaki yang sedang duduk di kursi belajarnya. “Oh, iya. By the way, Papa tadi nelfon. Beliau bilang sampaiin salam ke lo. Kalau ada waktu, lo disuruh mampir ke rumah, katanya.”

Mendengar ujaran Singto, gerak tangan Tawan yang sedang membuka pembungkus kartu SIM segera terhenti di udara. Keheningan menyapa keduanya untuk beberapa detik sebelum akhirnya Tawan menggumam kecil. “Hm-mm. Salam balik juga ke Papa. Nanti kalau gue ada waktu luang, gue main ke rumah buat jenguk beliau,” jawab Tawan seraya melirik sekilas ke arah Singto yang kini hampir terlelap seraya memeluk bantal guling miliknya. “Lo juga, by the way.”

Singto yang hampir terlelap kembali memaksakan kesadarannya untuk bersedia merespon ketika ujaran Tawan barusan menyapa rungunya. “Gue kenapa?”, jawab Singto pelan, saking merasa terlalu lelah.

“Dapet salam dari Mama.”

Mata Singto sedikit terbuka, walaupun tidak sepenuhnya. Itupun ia harus segera menyipitkan indera pengelihatannya karena cahaya lampu di kamar Tawan segera menyapa, membuatnya kesilauan. Tanpa menunggu respon dari Singto, Tawan kembali berujar. “Mama bilang mau adain ulang tahun gue sama lo barengan, sekali-kali setelah sekian lama. Kalau lo oke, gue bakal lapor ke Mama biar beliau bisa atur rencananya mau ke mana.”

Singto mengulas senyum tipis sebelum akhirnya meletakkan punggung tangannya ke atas mata, tidak suka dengan suasana silau di kamar Tawan yang sangat berbeda dengan kamar miliknya yang selalu redup. “Gampang, lah. Toh' ulang tahun kita masih lama.”

Tawan mengangguk, mengiyakan perkataan Singto.

“Lo mau tidur di sini?”, tanya Tawan ketika tidak menemukan tanda-tanda pergerakan dari Singto untuk kembali ke kamarnya sendiri. Singto menggumam seraya menggelengkan kepalanya sekali. “Gue ikut tidur aja di sini, sebentar. Bangunin gue sejam lagi. Mau ngerjain tugas.”

Tawan melirik ke arah jarum jam dinding yang terpajang di kamarnya. Pukul enam sore lewat sepuluh menit. Tanpa mengatakan apapun, Tawan meraih ponsel miliknya yang tergeletak di atas meja dan menyetel alarm di benda persegi itu ke jam tujuh malam lewat sepuluh menit, tepat satu jam dari sekarang.

Sebagai pengingat untuk membangunkan adik kembarnya nanti.

Detik jarum jam terus bergulir, membuat suara patah-patah khas jarum jam yang tidak asing di telinga siapapun. Memang, tidak ada yang asing dari semua ini. Yang asing hanyalah kenyataan bahwa ada anak kembar yang tinggal di rumah yang terpisah karena kedua orangtuanya bercerai, namun mereka tetap bersekolah di sekolah yang sama; dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas.

Hingga sekarang, di jenjang kuliah— dua anak kembar yang sewaktu kecil harus terpisah karena aturan hukum mengenai hak asuh, kini malah tinggal serumah; di bawah atap yang sama bernama rumah kost.

Tawan dan Singto, keduanya adalah anak kembar tidak identik yang terlahir dari pasangan suami-istri hasil perjodohan kedua orangtuanya. Mungkin karena sejak awal tidak merasa cocok dengan karakter satu sama lain, orangtua Tawan dan Singto memutuskan untuk bercerai ketika usia keduanya bahkan belum mencapai dua tahun.

Tawan diasuh Ibunya. Singto diasuh Ayahnya.

Namun tidak ada yang namanya drama kebencian ini dan itu. Tawan dan Singto tumbuh sebagai lelaki yang baik dan gagah juga memiliki otak cemerlang. Mereka memang tinggal di rumah yang berbeda namun sekolah mereka selalu sama. Hal itu menjadikan keduanya akrab dan tidak pernah merasa kesulitan untuk menjadikan diri mereka kembar walaupun situasi kedua orangtua mereka tidak memungkinkan untuk demikian.

Hingga di bangku SMP, Ibunda Tawan dan Singto menikah lagi dengan seorang pengusaha kaya di Ibukota. Menjadikan nama Tawan digadang-gadang sebagai calon penerus perusahaan ekspor-impor yang sedang berkembang pesat di Thailand milik sang Ayah barunya. Singto? Dia tidak miskin. Tidak ada kisah bak si Bawang Merah dan si Bawang Putih. Singto juga diasuh oleh sang Ayah yang adalah pemilik perusahaan penghasil spare-part onderdil kendaraan bermotor yang lumayan dikenal di Thailand. Lulus dari kuliahnya nanti, Singto sudah dipastikan akan mendapat tugas untuk melanjutkan usaha sang Ayah.

Perlahan, suara dengkuran halus dari Singto terdengar. Tawan mengalihkan pandangannya dari buku jurnal ekonomi yang tengah ia pelajari, berniat mengetahui situasi si adik kembar sebelum akhirnya mendengus kecil seraya menggeleng-gelengkan kepala. Singto sekarang terlelap dengan kaki yang tergantung ke pinggiran ranjang karena masih mengenakan kaus kaki, tidak ingin membuat ranjang si kakak kembarnya kotor akibat debu yang menempel di dasar kaus kaki.

Dengan langkah perlahan, Tawan mendekati Singto kemudian berjongkok di depannya untuk melepaskan kaus kaki yang dikenakan si adik. Tak lama setelahnya dengan sangat hati-hati, Tawan menaikkan posisi kaki Singto agar dapat terjulur dengan nyaman dan tidak perlu diam bergantung di pinggiran kasur.

Selesai dengan tindakannya, Tawan kembali ke meja belajar dan meraih ponsel berwarna putih miliknya. Jemari menari di atas layar, membuka aplikasi penunjuk jam dan menyetel alarmnya menjadi pukul delapan malam lebih sepuluh menit. Satu jam lebih terlambat daripada waktu yang diminta oleh Singto.

Biar saja adiknya itu beristirahat lebih lama. Sepertinya ia sangat kelelahan hari ini.

Raesaka menggenggam ponsel di tangannya erat-erat. Semua ucapan Ayahanda Krishna tidak ada satupun yang bisa menghiburnya walaupun sedari tadi Raesaka membalas dengan ujaran yang terkesan bahagia.

Kakak. Keluarga.

Raesaka merasakan buku-buku jarinya memutih saking ia terlalu mencengkeram pinggiran benda kotak berwarna hitam itu terlalu erat. Sebelah tangan diangkat untuk memijat kedua ujung pelipisnya yang tiba-tiba terasa sangat pening; bisa jadi ia muntah kapan saja, sepertinya.

Keluarga. Krishna, sebagai Kakaknya?

Raesaka menggigit bibir bawahnya kuat-kuat sebelum berakhir memutar kembali layar ponselnya agar menyala dan membuka aplikasi messenger. Berniat mengabari seseorang...

...yang beliau sebut kakaknya.

Ruangan ini tidak sunyi senyap walau tidak sepenuhnya hingar bingar. Suara petikan senar gitar mengudara di seluruh penjuru ruangan ditemani dengan detik jarum jam yang silih berganti; melaju, seakan tidak ingin menunggu siapapun yang berdiam diri.

Singto duduk di sofa yang berada di ruang tamu condo milik Krist dengan kepala yang bersandar ringan ke pundak si lelaki berkulit putih di sampingnya. Pandangan si lelaki masih tertuju ke layar televisi yang menampilkan tayangan berita berisi tindak kriminal ini itu di seluruh negeri dalam volume yang sangat kecil. Krist yang duduk di samping Singto seraya memainkan senar gitarnya tampak tidak terganggu sama sekali walaupun ada beberapa helai rambut si lelaki yang membuat lehernya agak kegelian.

Tidak apa, pikir Krist. Asalkan lelaki itu nyaman, tidak mengapa.

Asalkan kekasihnya itu merasa nyaman di hari ini, apapun akan Krist lakukan. Semuanya, malah.

Phi,” panggil Krist dengan nada yang dibuat sangat lembut. Tampak jelas tidak ingin mengganggu aktivitas Singto yang sedang memandangi layar televisi, walaupun Krist tahu bahwa tatapannya tampak sedikit nanar; entah sedang menaruh fokus atau tidak— entahlah.

Terpanggil, Singto mengalihkan pandangan dan agak menaikkan posisi kepalanya agar dapat bertatapan langsung dengan Krist. “Hm?”, gumam Singto singkat. “Kenapa, Kit?”

“Aku bikinin kopi, ya? Haus, 'kan?”, tawar Krist, masih dengan suara yang sama lembut seperti sebelumnya. Suara petikan gitar tidak lagi terdengar karena Krist sudah sepenuhnya melepaskan genggaman dari gitar di tangannya, ia berusaha memfokuskan segala perhatian kepada Singto. “Aku sempat beli bubuk kopi Americano, sih. Kalau mau, aku bikinin. Ya?”

Singto sempat terdiam sejenak sebelum akhirnya memberi anggukan kecil dengan senyum yang terulas tipis. “Boleh,” jawab Singto singkat. Seakan paham harus melakukan apa, Singto sedikit mengubah posisi duduknya sehingga tidak lagi bersandar ke pundak Krist. Memudahkan si lelaki yang lebih muda untuk bangkit dari posisinya semula. “Atau Phi mau tidur aja? Kalau minum kopi, malah susah tidur nantinya.”

Gelengan lemah diberi oleh Singto kepada Krist. “Nggak, aku nggak mau tidur..”, jawab si lelaki berkulit kecoklatan. Tangan kanan diangkat, ibu jari dan jari tengahnya memijat kedua sisi pelipis karena tiba-tiba merasakan serangan pusing secara tiba-tiba. “..aku takut semua yang aku pikirin sekarang kebawa ke mimpi.”

Krist dapat melihat bagaimana kekasihnya itu tampak menghela nafas dengan sedikit berat. Dengan refleks yang seperti sudah terlatih, Krist kembali memposisikan diri untuk duduk di samping Singto; bersisian di sofa yang ada di ruang tamunya. “Phi”, ujar Krist seraya merengkuh tubuh Singto ke dalam pelukan. Tangan kiri menepuk-nepuk punggung sementara tangan kanannya menelusup diantara helai surai rambut Singto, berupaya menyampaikan rasa tenang yang ia yakini sangat diperlukan oleh si kekasih saat ini. “Sssh, nggak apa-apa, Phi. Ada aku di sini. Phi nggak sendirian.”

Sesungguhnya, tubuh Singto dan Krist sama besar. Tidak ada yang lebih kekar, tidak pula ada yang bisa dikategorikan sebagai orang yang semestinya merengkuh lebih sering. Sejatinya, Singto dan Krist sama-sama saja. Namun di situasi seperti ini, di hari yang menjadi kelemahan Singto, rasanya ia merasa besar tubuhnya menyusut dan merasa kecil di pelukan Krist.

Di hari Ibu, selalu saja begini.

Setiap ujaran yang diujarkan Krist untuk menenangkan Singto tidak dibalas oleh kalimat apapun oleh si lelaki yang lebih tua. Entah karena tidak tahu harus mengatakan apa atau entah karena ia hanya ingin menerima setiap ujaran dari Krist dan mempercayai sepenuhnya? Bahwa semuanya tidak akan mengapa. Bahwa dengan keberadaan Krist di sisi pada hari yang selalu menjadi kelemahannya adalah hal yang Singto paling butuhkan.

Mungkin setiap sentuhan tangan Krist disertai dengan sihir yang bisa membuat Singto merasa luruh dalam gemuruh biru di dalam dirinya saat ini. Sekuat apapun Singto berusaha untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia kuat, tetap saja di peluk dan rengkuhan seorang lelaki yang menemani langkahnya selama sembilan tahun ke belakang, Singto menemukan kelemahannya.

“Kit..” Kedua tangan Singto meraih pinggang Krist dan balas merengkuh dengan erat. Wajahnya dibenamkan ke dada si lelaki yang lebih muda, bentuk upaya agar Krist tidak melihat air mata yang kerap Singto anggap sebagai hal memalukan untuk diperlihatkan kepada Krist. Paham bahwa kekasihnya tengah merasakan gemuruh serta mendung di dalam dadanya, Krist tidak banyak berbicara. Ia hanya memberi gumam atas panggilan yang diberi oleh Singto dibarengi dengan usapan lembut di punggung dan sela helaian rambut hitam lelaki di pelukannya. “Kenapa, Phi?”

“Aku kangen Mae, Kit..”

Krist merasakan dadanya sesak bukan main. Singto yang dikenalinya bertahun-tahun lalu adalah pribadi yang tampak kuat namun selalu saja rapuh jika sudah berkaitan dengan sosok wanita yang telah beristirahat di surga yang terindah. Ibundanya. Melihat Singto yang begini, melihat Singto yang kini sedang mengeratkan genggaman tangannya kuat-kuat di antara kaus yang Krist kenakan sebagai bentuk pelampiasan rindu yang tak bisa tersampaikan, membuat Krist kesakitan setengah mati.

Phi..” Krist tidak tahu harus mengucapkan apa lagi. Jika ada mantra yang bisa ia gunakan untuk menghibur lelaki dalam pelukannya sekarang, pasti akan dengan senang hati Krist ujarkan. Dengan bahasa apapun, Krist akan bertekad untuk mempelajarinya. Asalkan itu bisa menghibur Singto, Krist tidak akan pernah keberatan.

Namun kenyataannya, tidak ada.

Tidak ada mantra yang bisa Krist ujarkan untuk menghibur Singto. Pada kenyataannya, Krist hanya bisa memanggil kekasihnya dengan nama yang selalu ia ujarkan. Phi. Pada akhirnya, Krist hanya bisa merapalkan mantranya dalam bentuk gerak usapan di punggung yang sekarang tengah gemetar kecil; menandakan Singto sedang menangis.

Tidak ada yang membuat Singto menangis selain alasan ini. Selain alasan rindu untuk bertemu dengan sang Ibu.

“Aku terlalu.. kangen ke Mae..”

Jika bisa disuruh memilih, Krist lebih bersedia menyerahkan diri untuk dipukuli daripada mendengar ujaran bernada getir dari Singto seperti saat ini. Jika bisa disuruh memilih, Krist akan bersedia menjadi mahluk kecil yang bisa masuk ke dalam tubuh Singto untuk memeriksa hatinya dan menambal setiap bagian yang terluka.

Namun kenyataannya, tidak bisa.

Krist tidak bisa menjadi mahluk kecil. Ia hanya bisa menjadi lelaki yang sama besarnya seperti Singto dan tidak mampu menambal luka di hati si kekasih. Krist hanya bisa berdiam seperti ini, meminjamkan bahunya sebagai tempat bersandar di hari yang bahagia untuk sebagian orang— namun tidak untuk Singto.

Phi..” Krist mengecupi puncak kepala Singto beberapa kali, berharap setidaknya itu bisa meringankan tangis si kekasih walau mungkin tidak akan begitu berhasil. “..Phi udah jadi orang sehebat ini. Mae pasti bangga lihat Phi dari surga.”

“Prachaya yang dulu selalu keliling club, sekarang sibuk sama segala bakatnya di fotografi juga directing. Prachaya yang dulu sering debat sama Phor, sekarang jadi anak yang selalu utamain Phor di setiap kesempatan..”

“..Mae pasti senyum lihat segala yang Phi lakuin saat ini.”

Krist berusaha sekeras mungkin agar tidak ikut menangis ketika isak yang semula terdengar pelan kini mulai membuatnya ikut sesak. Singto tidak lagi ragu untuk meneriakkan tangisnya, yang mana membuat setidaknya diantara sesak yang dirasakan oleh Krist— ia merasakan lega yang sama, walau jumlahnya tidak bisa mengalahkan rasa sakit yang menyerang.

Phi. Aku nggak bisa bilang banyak”, ujar Krist setelah tangisan Singto mulai mereda. “Mungkin juga kalimatku ini kedengarannya bakal sangat klise tapi Phi..”

“..kalau Phi nangis kayak begini, Mae di surga bakal ikutan sedih.”

Krist memposisikan kedua tangannya untuk menangkup kedua pipi Singto, berupaya menatap manik indah milik si kekasih yang tak pernah gagal membuat dirinya jatuh hati. Lagi dan lagi, tanpa henti dan tiada akhir. “Phi Singto..”

”..aku ada di sini. Sama kamu.” “Aku ada di sini, dan akan terus begini..” “Sepanjang yang aku mampu..” “Selama yang aku bisa..” “Aku bakal temenin Phi.”

“Nggak apa-apa kalau masih mau nangis,” lanjut Krist. “Tapi ketika tangis itu berhenti, Phi pegang tangan aku dan kasih kepercayaan ke aku buat temenin Phi lewatin hari-hari yang berat, ya?”

Krist mengulas senyum yang tak urung membuat gurat tipis ikut terukir di bibir Singto. Perlahan, Krist menggerakkan ibu jarinya di pipi si kekasih; berniat mengusap air mata yang menjadi jejak tanda bahwa seorang Singto Prachaya hanyalah manusia biasa. Bukan seseorang yang selalu kuat seperti namanya yang melambangkan simbol gagah tanpa rasa takut.

“Udah, ya? Hm? Masih mau minum kopi?”, tawar Krist dan dibalas dengan gelengan kepala dari Singto yang kembali mengistirahatkan keningnya ke pundak si kekasih. Diberi tindak begitu, Krist terkekeh kecil. Manja banget, pikir Krist. “Mau tidur?” Krist memberi tawaran lain, yang kali ini dibalas dengan anggukan kecil.

“Aku mau tidur di sini. Begini.” Singto mengubah posisi duduknya menjadi ke posisi semula ketika mereka tengah menonton televisi, dengan kepala yang bersandar ke pundak Krist. Mendapat permintaan begitu, Krist tidak banyak melayangkan protes dan hanya melakukan sesuai dengan yang Singto inginkan.

Akhirnya, suara petikan gitar kembali memenuhi ruang tamu dari condo milik Krist. Hanya saja, kali ini tidak ada lagi Singto yang tengah merenung murung seraya menatapi layar televisi. Sekarang yang ada adalah Singto yang sedang terbuai dalam bunga mimpinya; mungkin berjumpa dengan sang Ibunda yang dirindukan setengah mati.

Apapun itu, Krist bahagia. Paling tidak, Singto bisa menemukan tenang di sampingnya. Walau itu hanya kebahagiaan kecil yang terkadang terlalu mudah untuk terlewati dan tidak disyukuri, paling tidak— Singto pernah tersenyum karenanya.

Karena Krist, yang mencintainya setengah mati.


end

Widih. Katanya penerima IPK tertinggi seangkatan teknik 2019 itu Kak Krishna!

Siang itu lumayan panas terik dan Raesaka baru saja akan menenggak minuman dari botol plastik di tangannya, tatkala rungu si lelaki menangkap ujaran dari beberapa mahasiswi yang sedang duduk berkerumun di bangku panjang berwarna cokelat. Langkah si lelaki berkulit agak sawo matang yang semula ingin ditujukan ke gedung akademik, tiba-tiba menjadi dimundurkan— berniat mendekati para mahasiswi yang tampak masih berbincang seru.

“Hai,” sapa Raesaka dengan ramah dan membuat beberapa mahasiswi tampak sedikit histeris karena mendapati Raesaka, si mahasiswa idaman kaum hawa, sedang bertegur sapa dengan mereka. Gigie, salah satu diantara para mahasiswi terlihat paling waras sehingga tidak menyerukan kehisterisannya ketika bertatap pandang dengan Raesaka. Gadis itu tersenyum simpul dan membalas sapa Raesaka. “Eh, Saka. Kenapa, Ka?”, tanya Gigie.

“Gue tadi denger obrolan lo, Gie. Sorry, nggak niat nguping tapi kedengeran aja,” kilah Raesaka sebelum kembali melanjutkan kalimatnya. “Katanya, Kak Krishna jadi penerima IPK tertinggi seangkatan 2019?”

Gigie mengangguk. Ia memperlihatkan layar ponselnya kepada Raesaka, di layar terpampang jendela chat yang menunjukkan pembicaraan beberapa pihak. Raesaka melirik bagian paling atas, nama grup. Perbincangan dari jurusan Teknik Geologi, rupanya.

“Biasa, lah. Anak geologi banyak ceweknya, kakak tingkatnya juga agak ember begitu, Ka. Makanya sering ngegosip,” jelas Gigie sebelum Raesaka sempat menanyakan apapun. “Jadi kabar trivial kayak begini, ya, kami tau lebih banyak dibanding lo-lo yang anak jurusan lain.”

Penjelasan Gigie dibalas dengan anggukan paham dari Raesaka. Senyum tipis diulas kepada si gadis sebelum kembali pamit undur diri untuk menuju ke gedung Akademik. Beberapa mahasiswi yang sedari tadi berkumpul bersama Gigie tampak sedih tatkala Raesaka beranjak melangkah pergi, tidak bisa lagi menatap ketampanannya, sih, gara-garanya.

Sepanjang perjalanan ke gedung Akademik, Raesaka terus melangkah dengan perasaan sangat ringan. Dalam hatinya dipenuhi rasa bangga karena si kekasih rupanya tidak bisa berhenti membuat hal-hal yang membanggakan. Walaupun Raesaka tidak bisa menjelaskan dan memberitahukan perihal perasaan yang dirasakan sekarang kepada siapapun, ia sudah cukup bahagia.

“Saka! Hei, mau ke mana?”

Tepukan dari arah belakang ke pundak kanan Raesaka membuat si lelaki menoleh ke belakang; berniat mengetahui siapa yang memanggilnya. Sosok lumayan jangkung dengan mata agak sipit dan kulit putih sedang menghadap ke arahnya, tersenyum lebar sehingga cengirannya terlihat jelas. “Oh, Kak Oppie, 'toh. Kirain siapa,” ujar Raesaka disertai senyum simpul kepada salah satu senior yang juga sahabat si kekasih, Krishna.

“Kayaknya lagi seneng banget, nih. Tadi gue liatin dari belakang, langkahnya kayak lagi berbunga-bunga gitu,” goda Oppie dengan senyuman jahilnya dan dibalas dengan gelengan kecil beserta kekehan tawa dari Raesaka.

“Nggak, Kak. Nggak kenapa-kenapa, kok. Oh, Kakak mau ke mana? Sama-sama mau ke gedung Akademik?”, tanya Raesaka, berusaha mengalihkan topik pembicaraan karena tidak mau Oppie curiga bahwa alasannya terlihat sangat senang adalah karena Krishna.

Oppie mengangguk. “Gue mau ke gedung Akademik, mau tanya soal pendaftaran buat wisuda.” Penjelasan si Kakak tingkat sedikit membuat Raesaka membelalak tidak percaya. “Lho? Kakak udah mau ambil rencana wisuda?”, tanya Raesaka.

Oppie mengibaskan tangannya beberapa kali. “Nggak, woy!”, jawabnya cepat. “Gue masih belum bakal ambil wisuda. Masih lumayan banyak tanggungan pembahasan gue di bab tiga. Gue cuma mau tanya-tanya aja,” lanjut Oppie.

Raesaka mengangguk-angguk paham. “Saya kaget aja. Kak Krishna kayaknya masih jauh dari kata selesai buat skripsinya, masa' iya Kak Oppie bisa selesai duluan, gitu?” Oppie tertawa renyah. “Ya, bisa aja, Ka. Bisa aja gue selesai duluan skripsinya.”

Menangkap pandangan heran dari si adik tingkat, Oppie segera melanjutkan kalimatnya. “Ka, Krishna 'tuh ngambil pembahasan yang ribet banget. Bahkan dosen pembimbingnya kasian sendiri liat Krishna yang susah ambil referensi dari sini-situ, sampai nyuruh Krishna ganti topik, dong.”

“Tapi, ya, gimana? Lo tau sendiri, 'kan, Krishna 'tuh kepala batu. Dia bilang pengen ambil bahan penelitian yang nggak pernah dibahas orang, jadinya kewalahan sendiri,” jelas Oppie. “Kalau gue, sih, ambilnya topik yang gampang aja. Makanya ini gue udah masuk bab tiga dan lumayan pesat progressnya. Kasian juga gue sama Krishna, lama-lama.”

Raesaka tiba-tiba terlihat murung. Benar juga, sih. Ia kerap melihat Krishna ketiduran di meja belajar dengan layar notebook yang masih terbuka. Tidak hanya sekali dua kali, sangat sering. Hingga membuat Raesaka terkadang merasa kasihan melihat si kekasih harus berjuang sampai sebegitunya.

Namun benar seperti yang dikatakan Oppie, Krishna sungguh sangat keras kepala. Walaupun indeks prestasinya sangat tinggi, rasanya semua akan sia-sia jika Krishna tidak bisa segera menyelesaikan skripsinya dan keduluan oleh teman-teman yang bahkan tingkatannya lebih biasa daripada dia. Ujaran Oppie ada benarnya juga, sih.

“Eh. Lo sama Krishna masih sekontrakan, 'kan?”, tanya Oppie; membuka pembicaraan baru. Raesaka mengangguk seraya mengulas senyum tipis. “Masih, Kak. Masih di kontrakan sekitar Jalan Kaliurang.”

Jawaban Raesaka membuat Oppie sedikit bergumam, yang otomatis membuat Raesaka sedikit menaruh rasa penasaran. “Kenapa emangnya, Kak?”

“Nggak, sih...”, jawab Oppie dengan ragu-ragu. “Gue sebenernya nggak akan khawatir dengan lo sama Krishna. Toh' gue yakin lo berdua normal, lah, ya? Lo diperebutin banyak anak cewek di kampus, Krishna juga mantanan sama Jane yang notabene cewek paling dikenal sekampus. Gue, sih, nggak khawatir.” Penjelasan Oppie sontak membuat ekspresi wajah Raesaka sedikit berubah. “Tapi gue sempet denger omongan nggak enak dari anak-anak brengsek yang nggak suka ke Krishna..”

”..atau nggak suka ke lo. Ya, lo tau, lah, banyak anak cowok yang nggak suka lo soalnya gebetan mereka naksirnya ke lo.”

Oppie segera menambahkan kalimatnya, takut Raesaka akan merasa salah paham. “Eh! Tapi gue serius nggak pernah mikir macem-macem, kok, Ka. Gue mah santai aja. Mau lo begini, mau lo begitu, ya semuanya hak lo. Gue cuma mau sharing aja, gitu. Sharing, ya, Ka. Cuma sharing.”

Oke, lagi-lagi tentang topik ini, pikir Raesaka. Sesungguhnya tidak hanya Oppie saja, sih. Banyak beberapa kenalan Raesaka dan Krishna yang seperti menaruh curiga kepada keduanya karena tinggal serumah, namun semua dugaan itu seakan terbantahkan ketika mengingat sosok Raesaka yang menjadi idola kampus sementara Krishna adalah seseorang yang berhasil menggaet hati Jane, si primadona kampus.

Padahal, ya, yang mereka curigai itu benar adanya. Walau Raesaka adalah idola kampus, walau Krishna pernah menjadi raja di hati seorang ratu seperti Jane— tetap saja semua perasaan bisa berubah. Pada kenyataannya, Raesaka dan Krishna sama saja seperti apa yang diduga orang-orang.

Entahlah. Entah dugaan orang-orang kepada mereka berdua adalah hal yang harus Raesaka syukuri atau takuti. Entahlah.

Pada akhirnya, Raesaka kembali berusaha mengatur ekspresi wajahnya dan balas memandang Oppie dengan pandangan yang ia buat sewajar serta setenang mungkin. “Nggak apa-apa, Kak. Nyantai aja. Omongan kayak begitu, sih, udah sering saya dengar. Tapi ya, mau gimana lagi? Ayahnya Kak Krishna itu temennya Ayah saya juga, dan beliau bersikeras mau jagain saya soalnya saya nggak punya siapa-siapa lagi. Jadinya, ya...“, Raesaka menggantungkan nada kalimatnya seraya membetulkan posisi tali ransel di pundak. “...begini, deh.”

“Iya, gue juga yakin kalian nggak bakal ada apa-apaan,” balas Oppie dengan yakin yang dibalas dengan senyum getir dari Raesaka. Merasa bahwa perbincangan seperti ini hanya akan membuatnya semakin sakit hati, akhirnya Raesaka memohon pamit undur diri; berniat untuk melanjutkan langkahnya ke gedung Akademik.

Selepas perpisahannya dengan Oppie, Raesaka terus melangkahkan tungkainya dengan pemikiran penuh ragu. Ia tiba-tiba memikirkan berbagai kemungkinan yang sesungguhnya tidak usahlah untuk dipikirkan.

Apa Krishna pernah merasa ketakutan jika ketahuan? Apa Krishna pernah merasa malu akan Raesaka? Apa Raesaka pernah membuat Krishna bangga?

Langkah kaki Raesaka berhenti di depan pintu ruang yang dipasangi papan bertuliskan yang tidak berkepentingan dilarang masuk. Ruang yang semenjak awal menjadi tujuan Raesaka, dan setelah tiba— mengapa langkah Raesaka menjadi sangat berat seperti ini?

Tiba-tiba Raesaka merasakan perasaan berat dan takut yang menelungkupi dirinya. Perasaan berat, untuk terus berada di negara yang seakan terus menghakimi dirinya. Perasaan takut, untuk meneriakkan kepada semua bahwa ia tengah jatuh cinta kepada seseorang yang sempurna; bernama Krishna.

Raesaka menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Tangannya terkepal, gemetar. Pada akhirnya, langkah kaki Raesaka dibuat memutar— tidak lagi berjalan menuju ruang staff administrasi di gedung Akademik. Raesaka pergi ke lantai satu, menuju toilet...

untuk lepaskan semua tangisnya, untuk meredakan lagi emosinya, untuk menemukan damainya.

Negara ini, menakutkan.


Karena sesungguhnya, komentar mereka nggak akan sebanding dengan arti eksistensi kamu di hidup saya.


“Kak Krishna. Kayaknya aku masih harus urusin sesuatu dulu di gedung akademik, deh. Tadi ada panggilan buat penerima beasiswa semester ini. Kakak gimana? Nggak apa-apa nunggu sebentar lagi? Kakak masih di kantin Fisip, 'kan?”

Lelaki berkulit putih dengan mata agak sipit yang sedang menyelipkan ponsel diantara pundak dan telinganya, terlihat agak kesulitan untuk segera memberi balasan kepada penelefon di panggilan seberang karena kedua tangan digunakan untuk merogoh isi tas ranselnya; berupaya menemukan dompet yang terselip entah di mana. “Sebentar, Bu. Ini saya cari dompetnya dulu,” jawab si lelaki berkulit putih, Krishna, kepada wanita paruh baya yang tampak membalas dengan senyuman ramah.

“Nggak apa-apa, Mas. Kalau mau, boleh sambil duduk dulu cari dompetnya biar ndak keliatan rusuh, e. Monggo duduk dulu,” ujar wanita paruh baya itu seraya menyodorkan bangku plastik tanpa sandaran kepada Krishna.

Masih sibuk dengan pencarian dompetnya, Krishna bahkan melupakan situasi bahwa di seberang panggilan sana ada Raesaka yang masih menanti jawab dari pertanyaannya barusan. Perlu beberapa puluh detik terlewati hingga akhirnya Krishna menemukan dompetnya terselip diantara barang-barang kecil lain — ya, permen kopi dan paper clip, salah satunya — nya. “Alhamdulilah ketemu,” ucap Krishna refleks; seakan melupakan kenyataan bahwa sesungguhnya ia adalah umat katolik yang taat. Beberapa lembar uang sepuluh ribuan diambil kemudian diserahkan kepada wanita paruh baya yang menerimanya dengan sopan.

“Kembaliannya tujuh ribu, ya, Mas. Nanti saya antar ke mejanya si Mas,” si wanita paruh baya menyerahkan lembaran uang lima ribu dan dua ribuan kepada Krishna beserta papan plastik bertuliskan angka tujuh. Setelah menyampaikan terima kasih, Krishna memilih meja yang berada paling dekat dengan kedai makan tempatnya memesan makanannya tadi.

“Iya.” Setelah tas ransel hitam di pundaknya berpindah ke atas meja, Krishna akhirnya bisa membalas segala ujaran dari si lelaki di panggilan seberang sana; Raesaka. “Gue masih di kantin Fisip, baru selesai pesan nasi rame—”

“Kaaaak, panggilannya.” Selaan dari Raesaka membuat Krishna sontak memukul pelan keningnya sendiri karena lupa mengganti panggilan yang semestinya diujarkan diantara mereka berdua. “Sorry, sorry,” ujar Krishna. “Maksudnya, aku masih di kantin Fisip. Ini baru selesai pesan nasi rames.”

Dari seberang panggilan yang dilakukan, Raesaka terkekeh kecil. Gemas dengan kelakuan si kekasih yang masih saja seperti belum terbiasa dengan panggilan diantara mereka, padahal jelas-jelas Krishna yang meminta keduanya mengganti panggilan kepada satu sama lain.

“Ya udah, Kak. Aku pergi ke gedung akademik dulu, deh, biar urusannya cepet selesai dan aku bisa segera samperin Kakak. Ya? Aku matiin dulu, sehabis itu segera kukabari lagi.” Raesaka memang bisa menjadi rapper di satu waktu yang tiba-tiba. Contohnya saja barusan, Raesaka mengucapkan kalimat sepanjang itu dalam satu tarikan nafas saja dan membuat Krishna membalas dalam satu gumaman singkat; karena ia tahu Raesaka terburu-buru sehingga tidak akan memiliki waktu untuk mendengar jawaban bertele-tele.

Akhirnya sambungan panggilan diputus, bersamaan dengan Krishna yang mulai mengedarkan pandangan ke sekeliling. Memutuskan untuk memperhatikan sekitar, siapa tahu ada orang yang ia kenal di fakultas ini sehingga ia tidak perlu makan sendirian, 'kan?

Namun hasilnya nihil. Sekeras apapun usaha Krishna, ia tidak menemukan siapapun yang ia kenal di kantin fakultas ini. Tidak heran, sih, teman Krishna kebanyakan berkumpul di kantin Fakultas Ilmu Budaya, bukan di kantin Fisip.

“Iya! Ganteng banget, deh, anaknya. Manis gitu, lho. Item manis sama kalau lagi senyum 'tuh, aduh, meleleh banget.”

Di saat Krishna akan memfokuskan perhatian untuk menonton salah satu video terbaru dari kanal Nessie Judge, fokus Krishna sedikit teralih karena ujaran dari beberapa mahasiswi yang sedang berbincang seru. Sebenarnya, Krishna tidak berniat menguping namun para mahasiswi itu duduk tepat di belakangnya sehingga mau tidak mau perbincangan mereka terdengar oleh Krishna.

Krishna agak memajukan posisi kursi yang didudukinya karena tidak berminat untuk mendengar perbincangan perihal laki-laki yang diidolai oleh para mahasiswi di belakangnya. Namun gerakannya terhenti tatkala rungunya mendengar salah satu diantara para mahasiswi menyebut satu nama yang sangat Krishna kenali.

“Namanya, 'tuh, Raesaka.”

Gerakan Krishna yang semula ingin memajukan posisi kursinya kini kembali memundurkan kursinya ke belakang, para mahasiswi ini membicarakan perihal kekasihnya. Raesaka.

“Oh, Saka? Yang anak Paskibra gitu, nggak, sih? Emang ganteng kok dia, pinter juga. Katanya dia IP-nya paling tinggi seangkatan, tau.”

“Ih! Iya, bener! Gue pernah liat dia latihan Paskibra gitu di lapangan. Sumpah, gantengnya 'tuh ganteng yang nggak berlebihan. Ganteng yang pas banget, gitu.”

“Tapi pasti udah punya pacar, nggak, sih? Masa' cowok seganteng itu ngejomblo? Apa gue coba deketin aja, ya? Gue lagi kosong juga, sih.”

Krishna hampir memutar bola mata. Mahasiswi di belakangnya ini nggak mau berbaik hati untuk lihat-lihat dulu apa, ya? Krishna bahkan masih belum selesai menuliskan kalimat dalam kepala pada kolom pencarian YouTube. Sumpalan ditelinganya masih belum mengeluarkan bunyi apapun namun mereka berani membicarakan perihal kekasihnya begini?

Yah, namun Krishna bisa apa, sih? Mengakui sebagai pacar juga tidak bisa. Mana bisa Krishna menggebrak meja para mahasiswi itu dan mengatakan bahwa Raesaka adalah kekasihnya, jadi mereka sebaiknya tidak menaruh harap banyak kepada si lelaki yang mereka idolai itu? Coba, mana bisa?

Beruntung perhatian Krishna teralih karena adanya panggilan telefon masuk, dari Raesaka. Setidaknya, getar dari ponsel Krishna membuat para mahasiswi di belakangnya bungkam.

“Halo?” Suara Raesaka, terdengar ragu. Krishna paham bahwa Raesaka pasti merasa bersalah karena menjadikan Krishna menunggu sendirian di kantin Fisip padahal Krishna adalah pribadi yang paling enggan berada sendiri di tengah keramaian. Raesaka pasti tengah menjaga sikapnya.

“Ya? Passwordnya?” Jawaban sederhana diberi oleh Krishna. Tapi keduanya tahu, itu adalah tanda; bahwa Krishna sudah baik-baik saja. Terbukti, dari bagaimana renyahnya tawa sang kekasih mengudara. Sempat terbatuk beberapa kali di ujung sana.

“Ya Allah, aku kira kamu marah, Kak. Masih di sana? Aku udah jalan kaki ini.” ㅤ

“Dari mana?”

“Dari parkiran sekitar Fisip. Susah banget cari parkiran di sini makanya agak lama. Sebentar lagi sampai kantin, kok.”

“Hm─mm.. 5 menit.”

“Oke siap, bos.”

“Tapi jangan lari.”

“Et─ anjir. Kaget, Kak. Baru aja aku mau lari.”

Krishna hampir saja tertawa, namun tawanya teredam karena para mahasiswi di belakangnya kini sedikit memekikkan suara sambil menunjuk ke salah satu arah. Krishna ikut menolehkan kepala. Dari arah yang ditunjuk oleh mereka, ada Raesaka yang sedang berjalan dengan sebelah tangan menaruh ponsel di telinga.

Krishna melambaikan tangan, memberitahu keberadaannya kepada Raesaka yang juga dibalas dengan lambaian serupa. Sambungan telepon diputuskan, dengan Krishna yang memilih menyimpan penyumbat telinga berisi suara kosong. Gagal sudah rencananya menonton video terbaru Nessie Judge karena keburu dibuat cemburu oleh perbincangan para mahasiswi ini.

“Ganteng banget sih, anjir.”

“Gue kalo jadi ceweknya langsung datengin doi, terus nanya sayang ngapain pake lari segala? nanti capek, lho.

Krishna mendengus seraya menggerutu dalam hati. 'Lo aja sono, gue sih ogah jadi tontonan orang. Dikira syuting film Bollywood?' Krishna tahu diri, ia harus menjaga sikap. Juga mencoba paham, mungkin mereka berujar demikian karena menganggap Raesaka masih lajang tanpa memiliki sosok kekasih makanya mereka berfantasi seperti begitu.

“Terus lap keringatnya, nggak, sih? Duh, gue nggak bakal pakai tisu, deh, pas ngelapnya. Keringet orang ganteng, malah kalau perlu 'sih gue jilat sekalian.”

“Jilat apaan, nih?”, tanya salah satu mahasiswi dengan nada menggoda. “Jilat yang enak-enak, lah. Hmm, penasaran deh, gue. Kayak gimana, ya, punya dia?” Krishna bisa mendengar kikikan tawa mereka yang tertahan, namun ia bisa paham bahwa Raesaka benar-benar dijadikan bahan fantasi secara seksual.

“Eh, diem! Diem! Orangnya ke arah sini! Dia mau duduk di deket kita! Siap-siapin kamera, hei!” Salah satu mahasiswi lainnya kini membuka suara ketika mengetahui tujuan akhir dari langkah Raesaka adalah ke arah bangku mereka.

Tidak tahan dengan semua perbincangan dari mereka kepada Raesaka, akhirnya Krishna bangkit dari kursinya dan menarik tangan Raesaka untuk segera pergi dari kantin Fisip. Ia tidak ingin para mahasiswi itu membayangkan hal yang tidak-tidak tentang segala hal milik Raesaka.

“Eh? Kak? Kak Krishna? Eh, mau ditarik ke mana, ini? Kak! Kak, itu ada Ibu-Ibu manggil Kakak sambil bawa nasi rames. Kak? Ehhhh?! Mau ke mana, ini?!”

“Ke mana aja,” jawab Krishna seraya menarik tangan Raesaka untuk pergi lebih jauh dari para mahasiswi predator itu. “Ke mana aja, asal bukan di sini.”

Raesaka mengikuti langkah Krishna seraya memasang ekspresi wajah yang dibuat sangat penasaran. Kekasihnya ini kenapa, sih?

Krishna? Ia masih terus menggerutu dalam hati dan menyalahi takdirnya sendiri. Sumpah, kenapa pacarnya harus seganteng, sebaik, semanis, selucu, dan se-se-se yang lainnya begini, sih?

“Saka.”

“Ya, Kak?”

“Sumpah. Lo bisa berhenti jadi ganteng, nggak, sih?!”

”... Hah?”

Baru kali ini ada seseorang yang dimarahi karena terlalu ganteng. Kasihan Saka. Yah, pada akhirnya semua lagi-lagi berakhir begini. Dengan Raesaka yang tidak bisa tahu apa alasan dari segala tindakan Krishna dan juga Krishna, yang tidak pernah bisa tahu bagaimana caranya bisa meredam rasa cemburu karena memiliki pacar yang super mempesona seperti seorang Raesaka.

Kasihan.


-end-

00:07 : “kak, saya udah keluar kelas. kakak di mana?

00:04 : “parkiran.

00:03 : “oke, saya ke sana.

00:05 : “sekalian saya ambil motor.

00:04 : “gausah ambil motor.

00:03 : “naik sepeda gue aja.

00:02 : “Hah?!

Hatschi!!!

Singto merutuki dirinya sendiri yang sempat nekat untuk menembus hujan deras menuju ruang kamar yang ditempatinya saat ini. Akibatnya, tidak hanya dirinya yang kebasahan —walaupun bajunya sudah dijemur, sih— sekarang kepala Singto pun agak sedikit pusing. Tampaknya ia mulai terserang flu.

Memang, perjalanan Singto menuju rumah susun di Pattaya ini seakan dipenuhi dengan berbagai rintangan. Contohnya saja, ia harus berpindah kendaraan sampai tiga kali karena semua bus yang ditumpanginya mengalami mogok mendadak dan tidak bisa diperbaiki dengan cepat. Belum lagi, ia lupa membawa payung dan semua mini-market yang didatanginya tidak ada yang menjual si penghalau hujan. Entah itu payung atau jas hujan sekalipun, semua kosong. Alhasil, Singto harus nekat menariki kopernya untuk menembus hujan dari halte bus terdekat ke rumah susunnya.

Hasilnya? Basah kuyup.

Sekarang Singto tengah bertelanjang dada di kamar tidur, berniat membereskan baju miliknya yang ada di dalam koper ke lemari pakaian. Handuk berwarna biru terlingkar di pundak, tampak sedikit basah karena digunakan untuk mengusak rambutnya yang kebasahan walaupun belum sempat mandi.

Dalam hati, Singto terus merutuki teman-temannya di Bangkok yang berbagi bincang dengannya beberapa waktu lalu. Obrolan mereka tentang mahluk halus yang biasanya ada di atas lemari membuat Singto berulang kali mencuri lirik ke lemari; seakan ingin memastikan bahwa di sana tidak ada sosok yang memandanginya lekat-lekat. Syukurlah, seberapa kalipun Singto berusaha mencari tahu— sosok entah apapun itu tidak pernah terlihat di atas lemari.

Menganggap bahwa semua ujaran teman-temannya di chat tadi hanya obrolan iseng tanpa latar belakang yang jelas, Singto memutuskan untuk pergi mandi dan membiarkan bajunya tetap di dalam koper. Niatan untuk membereskan pakaian diundur, Singto tidak mau ia terserang flu sebelum sempat melakukan apapun di kediaman barunya ini.

Langkah Singto dibawa mengarah menuju kamar mandi. Di tengah perjalanan, Singto meminggirkan tungkainya ke meja televisi di ruang tamu. Ia berniat mencoba lagi untuk menyalakan televisi, walau sebelumnya ia sudah sempat melakukannya dan hasilnya tetap sama— nihil, benda persegi itu tetap saja tidak bisa menyala.

Sekarang? Sama saja.

Televisi masih tetap padam walaupun Singto mencoba pasang-cabut kabelnya ke stop kontak beberapa kali. Takut menghadapi pikiran bahwa bisa saja aliran listrik yang masuk ke stop kontak tidak teraliri dengan baik, Singto memutuskan untuk membiarkan kabel televisi tidak terpasang ke stop kontak. Daripada terjadi hal yang fatal, lebih baik waspada seperti begini, pikir Singto.

Dengan setengah menggerutu, Singto menarik handuk yang terlingkar di leher kemudian kembali mengusak rambutnya yang masih sedikit basah.

Beberapa menit setelahnya dilewati dengan Singto yang membersihkan diri sekaligus mengatur peralatan mandinya di wastafel. Baru saja Singto akan meletakkan isi refill shampoonya ke dalam botol, si lelaki sedikit dibuat terkejut dengan suara nyaring yang agak memekakkan telinga; berasal dari arah ruang tamu.

Memperkirakan bahwa itu adalah suara bel rumah, Singto bergegas meraih handuk dan melingkarkannya ke sekitar pinggang. Hingga pada akhirnya, langkah si lelaki berkulit kecoklatan dibawa keluar dari dalam kamar mandi— lalu terhenti secara tiba-tiba ketika ia menemukan televisi di ruang tamu tengah menyala dan menayangkan sebuah tayangan berita.

Singto segera merasakan bulu kuduknya berdiri. Seingatnya, ia tidak memasang kabel televisi ke stop-kontak. Jadi tidak akan ada kemungkinan bahwa listriknya tiba-tiba mengalir dengan baik atau televisinya tiba-tiba tidak lagi rusak; KARENA SEJAK AWAL KABEL TELEVISI ITU TIDAK TERPASANG?!

Dengan langkah kaki yang berderap sangat cepat, Singto bergerak menuju ke arah televisi dan menarik kabelnya dari stop kontak dengan kasar. Televisi padam, menyisakan kesunyian yang entah mengapa sangat mencekam.

Singto meneguk air liurnya dengan kesusahan. Pandangannya dibawa mengedar ke sana-sini, berupaya menemukan apapun yang masih bisa ditangkap dengan akal logikanya sebagai alasan mengapa televisi di ruang tamunya ini bisa menyala. Namun alih-alih alasan yang masuk akal atau di logika, Singto malah merasakan sesuatu hal yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.

Perasaan apa ini? Kenapa tiba-tiba semua terasa sangat menyeramkan?

“HIIII!”

Singto bergidik kemudian melangkahkan kakinya dengan derap cepat menuju ke dalam kamar tidur, mengunci pintu kemudian menutup semua tirai jendela, dan berakhir membalut tubuhnya dengan selimut. Dalam kondisi belum mengenakan apapun, Singto sudah bertelungkup di dalam balutan selimut di kasurnya. Tubuhnya gemetar, mengingat kembali bagaimana televisi yang ia kira memang rusak— rupanya bisa menyala dan berfungsi dengan baik.

Oh, sialan. Singto sekarang memikirkan hal aneh. Di atas lemari, apakah ada siapa-siapa?

Luas juga, ya, kamarnya.

Suara dari ujaran seorang laki-laki dengan kacamata baca yang cukup tebal itu menggema di seluruh sisi ruangan yang tengah didatanginya. Singto Prachaya, atau lebih akrab dipanggil Singto, masih mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan — seperti mencoba untuk memberikan penilaian secara objektif perihal tempat yang ia rencanakan akan menjadi tempat tinggalnya selama beberapa waktu ke depan.

Sementara itu, lelaki paruh baya yang bertubuh agak tambun tampak melipat kedua tangannya di depan dada. Senyum tipis terulas di bibirnya namun tidak sepenuhnya tergambar gurat kebahagiaan. Sedikit banyak, siapapun yang melihat pasti bisa menebak bahwa ada sedikit rasa takut dan khawatir yang bercampur di dalam senyuman si lelaki paruh baya.

Entah khawatir dalam perkara apa, tidak bisa diketahui sama sekali.

“Kamar seluas ini cuma disewakan 2,500 baht perbulannya, Pak?” Puas memandangi segala hal yang ada di dalam ruangan, Singto berakhir mengalihkan fokusnya ke arah si lelaki paruh baya yang sedari tadi hanya berdiri di ambang pintu masuk. Seperti enggan untuk menjejakkan kakinya ke dalam ruang yang sama dengan Singto. “Murah banget, buat ukuran sewa kamar di Pattaya.”

Si lelaki tambun mengangguk cepat, sebisa mungkin ia berusaha menutupi gurat khawatir di wajahnya. “Iya, memang murah. Saya selalu rawat kamar ini baik-baik, semua furniture juga masih layak pakai walau sudah agak tua.”

Mendengar ujaran lelaki paruh baya, Singto lebih menajamkan pandangan ke beberapa perabotan di dalam kamar. Memang, sih, walaupun terlihat mendapat perawatan yang apik, beberapa perabotan terlihat sudah agak tua. “Tapi masih bagus, kok!”, sela si lelaki paruh baya dengan sangat cepat; seperti tidak ingin si lelaki muda ini mengurungkan niatnya untuk menyewa kamar yang ditawarkan. “Kalau memang nanti ada kerusakan di perabotan manapun, anda tinggal bilang saja. Nanti saya segera ganti atau perbaiki.”

Diberi ucapan begitu, siapa yang tidak tergoda? Pada akhirnya, Singto mengangguk singkat dan memberi senyuman simpul kepada si lelaki paruh baya yang juga adalah pemilik dari gedung rumah-susun yang didatanginya ini. “Oke, Pak.”

“Saya sewa kamarnya.”

“Lo.. bukannya mau nembak Acha?”

Tarendra menatap heran ke arah Nakuladewa yang kini berbaring di kasurnya dengan teramat santai. Si lelaki yang menjadi tamunya itu menggumam kecil sebelum akhirnya memberi jawaban dengan sama santai seperti sebelumnya. “Nggak tau. Nggak jadi, kayaknya,” jawab Nakuladewa dan membuat Tarendra semakin mengernyitkan alisnya.

“Hah?”, tanya Tarendra. “Katanya lo mau nembak dia, 'kan?”

Dari posisi berbaring, Nakuladewa mengangguk. “Iya. Gue emang pernah punya niatan buat nembak dia. Logika gue selalu bilang bahwa dia itu cewek yang baik. Bakal cocok, lah, kalo jadian sama gue,” jelas si lelaki dan membuat Tarendra semakin menyipitkan pandangannya. “Terus? Kalau dia emang sebaik itu, kenapa lo nggak jadi nembak dia?”

“Soalnya hati gue bilang bahwa ada sesuatu yang harus gue inget tentang lo.” Jawaban Nakuladewa membuat Tarendra segera terdiam; membisu di tempatnya. “Logika gue emang nyuruh gue buat jadian sama Acha tapi hati gue ngelarang. Hati gue bilang, gue bakal nyesel seumur hidup kalau nggak inget sesuatu yang gue lupain tentang lo.”

“Dan gue udah ceritain hal ini ke nyokap,” lanjut Nakuladewa. “Nyokap cuma senyum kemudian bilang bahwa ketika otak sama hati nggak lagi sejalan..”

“..maka gue harus pilih apa yang hati gue tunjukin.”

Nakuladewa bangkit dari posisi berbaringnya kemudian menyandarkan tubuh ke kepala tempat tidur milik Tarendra kemudian mengarahkan pandangannya penuh ke si sahabat yang masih berdiri di tempatnya semula. “Jadi, ya.. begitulah.”

“Lo mau bantuin gue, 'kan?”, tanya Nakuladewa dengan senyum hangat yang selalu mengingatkan Tarendra akan mentari pagi. Tarendra terhipnotis untuk sejenak sebelum akhirnya berdehem dan melontarkan tanya. “Bantuin apa?”

“Inget segala tentang lo.” “Tentang gue.” “Tentang kita, yang terlupa.”

Tarendra tidak dapat menahan senyumnya yang merekah lebar sebelum akhirnya memberi anggukan semangat; terlalu semangat, malahan. Ia sampai mendengar suara tulang lehernya berbunyi, untung saja tidak patah.

“Adududuh— leher gue!”, erang Tarendra dan dibalas dengan kekehan tawa dari Nakuladewa dari atas tempat tidur. “Heh! Lo malah ketawa, lagi! Babi! Bantuin gue! Beneran ini gue nggak bisa nengok, Nana!”

“Biarin! Syukurin!”, balas Nakuladewa masih dengan gelak tawa serupa. “Itu pasti balesan dari Tuhan gara-gara lo sering bikin gue nangis pas jaman dulu, deh.”

Tarendra sempat terdiam sejenak. “Lo.. inget?”

“Inget apa?”

“Tentang gue, yang pernah bikin lo nangis,” jawab Tarendra. Nakuladewa menggumam seraya mengangkat pundaknya. “Nggak. Gue nggak inget tapi gue tebak, sih, kayaknya lo emang tipikal yang sering bikin nangis orang.”

Tarendra tersenyum tipis, tangan kanannya masih memegangi punggung leher. Memijat agar tidak terlalu merasa sakit. “Tapi gue janji kok, Na..”, gumam Tarendra. Nakuladewa mengernyitkan dahi. “Janji apa?”

“Kali ini, lo nggak akan pernah nangis karena gue.”

Nakuladewa mengulum senyum, walau sebisa mungkin ia sembunyikan semua itu dibalik bantal yang dipelukinya sedari tadi. Berusaha menghilangkan semua rasa kikuk yang muncul diantara mereka berdua, akhirnya Nakuladewa melemparkan bantal di pelukannya ke arah Tarendra yang —tentu saja— dibalas dengan erang kesakitan.

“BABI! HEH! LEHER GUE SAKIT!”

“RASAIN! MAMPUS LO, MONYET!”

Sesuatu yang terlupa, hanya menghilangkan ingatan. Bukan perasaan; juga kenangan.

Krishna masih berdiri di depan pintu kamar Raesaka.

Suasana kediaman rumah keluarga Raesaka di Jakarta tampak ramai didatangi peziarah walaupun upacara pemakaman sudah dilaksanakan beberapa jam yang lalu. Krishna dan Ayahnya diundang oleh Om Setyo untuk tetap berada di rumah duka sampai acara tahlilan berakhir. Walaupun menganut agama yang berbeda, Ayah Krishna mengiyakan tawaran Om Setyo dan membantu mempersiapkan hidangan untuk disajikan ketika acara tahlilan hari pertama nanti berlangsung.

Dari balik pintu, Krishna bisa mendengar suara isak tangis Raesaka. Tidak ingin mengganggu, jadilah dengan sabar Krishna menunggu; pilih berdiri dengan daun pintu yang dijadikan sandaran. Krishna melipat dua tangan di depan dada, setiap gerak dilakukan sepelan mungkin agar tidak membuat suara keras.

Namun Krishna tidak lagi kuat untuk disuruh menunggu. Akhirnya dengan keputusan bulat, ia mencoba memutar kenop pintu kamar di hadapan dan membuka daun pintunya dengan perlahan. Berusaha agar tidak membuat suara sekecil apapun yang dapat mengganggu Raesaka.

Di dalam kamar, Raesaka meringkuk dan meremas rambutnya. Dua belah bibirnya bergerak tak beraturan, seolah tuturkan kalimat untuk dijadikan sumber keyakinan. “Saka. Ayah bilang, jangan nangis. Cowok nggak boleh nangis. Jangan bikin Ayah kecewa. Ayah udah bangga ke lo. Jangan nangis..” Raesaka masih meringkukkan tubuhnya seraya berulang kali menggerakkan bibir untuk mengucap kalimat tak begitu jelas.

“Ka?” Ketika Raesaka tengah meringkukkan tubuh di atas tempat tidur seraya membisikkan kalimat yang ia ucapkan berkali-kali, tiba-tiba suara yang sangat dikenali oleh si lelaki itu terdengar. Raesaka membeku, tidak bergerak. Masih berharap bahwa yang menjadi tebakannya tidaklah benar. Bahwa Krishna tidak sedang berada di sin— “Raesaka?”

Tebakan Raesaka salah. Kali kedua ia mendengar suara itu memanggil namanya, Raesaka tahu bahwa si pemilik suara memang adalah Krishna.

“Kenapa di sini, Kak?” Masih dengan tubuh meringkuk dan kepala yang dibenamkan pada tekukan lutut, Raesaka berujar singkat. Ia menolak untuk bertatapan langsung dengan si lelaki yang lebih tua. “Kak Krishna pulang aja. Saya nggak apa-apa.”

Bukan, Raesaka bukan mengucapkan kalimat itu hanya karena ingin dianggap hebat atau kuat. Tidak. Tidak sama sekali, malahan. Raesaka tidak ingin Krishna menjadi pelampiasan dari emosinya yang masih tidak bisa ia kendalikan. Bisa saja emosi Raesaka meledak. Bagaimanapun ceritanya, Raesaka tidak ingin membentak Krishna. Tidak untuk sekalipun.

“Saya nggak apa-apa.” Raesaka tidak lagi membenamkan wajahnya. Kini, ia mengangkat wajah dan menatap langsung ke arah Krishna di sampingnya. “Nih, liat. Saya senyum.”

Benar. Raesaka tersenyum. Raesaka terpaksa tersenyum.

Entah bagaimana senyum si lelaki terlihat. Apakah terlihat tulus ataukah getir? Entah.

“Pulang, ya? Ikutin omongan saya, ya, Kak? Bisa, 'kan? Nggak usah nanya. Saya baik-baik aja.”

Senyum terulas sangat tipis di bibir Raesaka. Entah masih dapat disebut sebagai senyuman atau tidak. “Udah, sana. Pulang.”

Krishna masih pada posisi, memastikan Raesaka tidak akan mengamuk sebab merasa perkataannya barusan tidak dituruti. Merasa tidak akan mendapat jawaban maka Krishna pilih mendekat, kembali satu nama disuarakan. “Saka. Lo nggak bisa gue tinggalin sendirian.” Krishna menarik kursi di sebelah kasur.

“Saya nggak apa-apa.” Serupa Raesaka yang biasa, Raesaka yang sekarang juga tengah coba sebisa mungkin menenangkan Krishna. Lucu, padahal ia yang paling membutuhkan. Lihat, bagaimana lelaki berkulit kecoklatan itu masih coba pasang senyum andalan, meski sarat akan gamang. Belum lagi jemari yang tadi remas rambut frustasi, kini dengan jenaka beri usap kecil pada lengan Krishna.

“Saka, tau nggak, kalau diet tuh, ada yang namanya cheat day.” Krishna menilik dari balik jemari, memperhati, sebelum akhirnya melanjutkan. “Anggap aja hari ini 'tuh cheat daynya lo. Lo boleh marah. Lo boleh sedih. Lo juga boleh nangis. Gue nggak akan bilang ke siapapun, janji.”

Setelah janji diberi juga kuasa yang sudah diturunkan kembali, Krishna menatap lawan bicaranya. Sebisa mungkin, pasang wajah paling tidak menyebalkan yang bisa ia tampilkan. Mana tahu, untuknya segala topeng bersedia Raesaka runtuhkan.

Cheat day?” Raesaka tertawa kecil atau katakan, lah, mendengus. Tawa yang diberi bukan karena menganggap ucapan Krishna lucu atau menggemaskan. Tidak. Malah, Raesaka merasa muak. Ingin marah. Apakah Krishna sekarang menganggap kondisinya sekarang dapat disamakan dengan rutinitas diet? Apakah kondisinya sekarang sesederhana itu? Apakah Krishna sekekanakan itu?

“Kak Krishna..” Raesaka masih tersenyum, memang. Namun senyumnya tak lagi sama seperti sebelumnya.

Kini, si yang lebih muda tersenyum getir. Tidak ada lagi keraguan perihal senyumnya yang akan terlihat tulus ataukah getir. Bahkan si pemilik raga pun sudah dapat merasakan, senyuman dari bibirnya sekarang benar-benar tidak enak dipandang. Sinis, singkatnya.

“Kakak tau? Kakak nggak bisa jadi penghibur yang baik. Kakak nggak bisa bikin perasaan saya membaik cuma dengan kata-kata cheat day atau apalah itu. Situasi saya nggak sesederhana itu. Kakak bisa mikir, ngga—”, ujaran Raesaka terputus seiring ia yang menyadari bahwa nada suaranya telah semakin meninggi. Raesaka tahu, semakin lama Krishna di sini maka akan semakin sulit baginya mengatur emosi.

Raesaka merasakan jemarinya kini bergetar hebat. Entah kenapa. “Kak, jangan bikin semua ini malah jadi semakin sulit buat saya.” Kedua kuasa Raesaka yang bergetar kini terkepal. Berusaha menahan keinginan untuk kembali menjambaki rambutnya sendiri, berusaha agar tidak terlihat memalukan di mata lelaki yang paling ia kasihi. “Kakak tinggal keluar dari sini. Pulang aja. Saya bakal kabarin Kakak lagi. Janji, Kak. Jangan bikin ini semakin sulit.”

Tidak bisa. Raesaka tidak bisa menahan segala rasa sesak di dadanya. Tangan yang semula terkepal kuat, kini memukuli dadanya sendiri. Tidak, Raesaka tidak menangis. Lelaki itu menggigiti bibir bawahnya kuat-kuat, sebisa mungkin menahan emosinya yang seakan dapat segera meledak.

Masih dengan kuasa kanan yang memukuli dadanya sendiri, nafas Raesaka memburu. Terhembus berantakan. “Saya nggak apa-apa.” Di sela hembusan nafas yang berantakan, Raesaka berujar pelan. Terlalu pelan, hingga bisa disebut cicitan dibanding sebuah ucapan. “Saya nggak apa-apa. Pergi. Pergi, Kak. Saya mohon, pergi.”

Krishna sudah terbiasa, perihal debat hingga berteriak atau berakhir dengan kepala Raesaka yang Krishna jitak, hingga kikik tawa mereka merebak. Namun kalau Raesaka menaikkan suara seperti ini, yang mana Krishna tahu tidak dengan konten yang bisa dibercandakan; ia tidak terbiasa. Jangan sampai, terbiasa. Sebab itu berarti, harus banyak ucapan bernada tinggi yang harus Krishna terima.

Layaknya terima serangan tiba-tiba dari pasukan gerilya, Krishna hanya bisa diam sambil menunduk dalam, seolah memandang dua ujung kaki tanpa alas kaki jauh lebih menyenangkan. Di sela fokusnya pada jemari kaki, Krishna sempat melirik sekilas, hanya untuk mendapati kepalan yang diremat kuat, keluarkan halus gurat bayangan biru di sepanjang tangan. Seolah memperlihatkan, ada badai yang siap dikeluarkan oleh Raesaka kalau saja Krishna masih bersikeras melawan.

Paham, Krishna bukan hendak jadi sosok menyebalkan di tiap drama Korea yang sering Kakak perempuannya tonton. Tipikal orang yang sudah diberi tahu lelakinya hendak berperang tapi malah ajukan diri ikut hingga akhirnya menjadi tawanan, menjadi beban tambahan yang merepotkan. Krishna pikir, kondisi Raesaka berbeda, dia tidak akan jadi tawanan, paling hanya dihadiahi sumpah serapah yang sebelumnya Raesaka janjikan.

Sirna segala pemikiran yang singgah, digantikan denyut menusuk ketika mendongak dan disambut oleh Raesaka yang memukuli dadanya, memperlihatkan bahwa hampir hilang sebagian kuasa akan dirinya.

“Saka, sama aku, ya? Aku temenin. Jangan gitu, jangan dipukulin.”

Kata pemanggil yang biasa diujarkan kini diganti. Aku-kamu. Runtun silabel ada yang diucap lebih dari sekali, dengan getar halus pada suara yang jelas terdengar jika sedang berdekatan, tanda bahwa bukan hanya tangan Krishna yang gemetar; suaranya juga.

Sebisa mungkin, Krishna menggapai tangan Raesaka dan mengambil alih kuasa. Krishna coba menghentikan agresi dadakan meski paham betul adalah serupa bentuk pelampiasan atau malah pengalihan.

Kenapa mesti Ayah yang hidup? Kenapa bukan Ibu yang di sini? Kenapa bukan Ayah yang mati?

Raesaka ingat dengan teramat jelas, dirinya sewaktu kecil pernah berujar demikian. Alasannya sederhana, hanya karena sang Ayah tidak membelikan mainan yang ia idam-idamkan. Raesaka juga masih ingat dengan jelas bagaimana Ayahnya hanya terdiam dengan ekspresi kaku.

Raesaka kecil pernah membayangkan akan sebagaimana bahagia dirinya apabila sosok sang Ibunda lah yang menemani setiap harinya. Pasti semua akan sempurna. Alih-alih suasana kaku yang selalu tercipta di meja makan ketika sarapan, pasti akan ada obrolan hangat dari Ibunda; menanyakan siapa temannya? Apakah ada gadis yang menarik perhatiannya? Apakah makanan yang disajikan terlalu asin atau tawar?

Alih-alih mendapatkan kehangatan itu, Raesaka selalu mendapatkan keheningan di meja makan. Hanya ada denting suara alat makan yang sesekali beradu dengan piring hidangan. Alih-alih pertanyaan ringan mengenai teman, Raesaka malah mendengar pertanyaan perihal nilai ujian, ranking, dan berbagai hal lain yang Ayahnya namai sebagai cita-cita.

Raesaka pernah berharap, Ayahnya mati saja. Toh' ada atau tidaknya beliau, tidak akan memberi perbedaan yang berarti. Ah, mungkin malah tidak akan memberi dampak yang berarti sama sekali.

“Saka. Hei. Sama aku, ya?”

Namun jika memang Raesaka berpikir demikian—tatkala sang Ayah benar-benar pergi, kenapa rasanya sesakit ini? Sesesak ini?

“Aku temenin.”

Jika memang dengan kematian Ayahnya, Raesaka merasa lebih bebas—kenapa kini tangannya tidak bisa berhenti memukuli dadanya sendiri? Kenapa ia malah menganggap sakit karena hantaman pukulan akan lebih menyenangkan dibandingkan sesak yang kini tengah ia rasakan?

“Jangan gitu. Jangan dipukulin.”

“Sakit, Kak..” Raesaka berujar lirih, dengan kedua tangan yang masih memukuli dada biarpun kini tindaknya sedikit terhalang karena Krishna berusaha menghalau geraknya. “Sakit. Sesak.”

Pada kenyataannya yang Raesaka bayangkan hanyalah bualan belaka. Dirinya tidak sebahagia itu ketika Ayahnya tiada. Dirinya tidak sebebas itu kala Ayahnya tidak membatasi langkah. Pada kenyataannya, semua sama saja.

Sakit. Sesak. Pedih. Perih.

“Ayah..” Entah usaha Krishna yang membuahkan hasil atau Raesaka yang sudah lelah dengan setiap pukulan pada dada, si lelaki yang lebih muda kini menghentikan gerakannya. “..Ayah—”

“Saya mau ketemu Ayah, Kak.”

Meledak. Tangis sang tuan kini tak terbendung. Lupakan perihal janji untuk tak pernah menangis karena laki-laki harus bisa menahan setiap emosi, lupakan. Raesaka terisak dengan kepala menunduk dalam. Pula dengan nafas yang menderu dan kata yang terputus-putus. Tersengal. “Ayah. Raesaka sama siapa? Raesaka sama siapa sekarang?”

Gerak tak beraturan dari Raesaka harusnya buat Krishna ikut kesakitan karena turut dapat pukulan yang gagal menghantam sasaran. Harusnya sih, begitu.

Nyatanya, remas tak kasat mata pada jantung jauh lebih menyakitkan, menjadi sumber utama lemas kuasa. Namun Krishna enggan mengalah untuk memanjakan lemahnya. Krishna terus berusaha memegangi tangan si kekasih, tidak membiarkan Raesaka memukuli diri sendiri.

Seolah paham bahwa Krishna juga tengah berjuang, gerak dari Raesaka tak lagi liar. Raesaka sekarang menunduk, dalam. Lantas gemuruh yang tadi ditahan, sesak yang berusaha dilupakan; sekarang mau tidak mau dimuntahkan. Raesaka menangis lebih keras, tahu ia tidak sedang sendirian.

Segera, Krishna selipkan dua tangannya, tepat pada pinggang milik Raesaka, berusaha cipta gerak yang menopang. Setelah merendahkan badan, memastikan pinggang Raesaka masuk dalam pelukan, dekap Krishna eratkan.

Sekali lagi memastikan, semestanya bisa beristirahat walau sebentar.

“Sstt, masih ada aku, Saka. Masih ada Mami aku, masih ada Papi aku, Cici, Budhe Pakdhe kamu, Tania.. masih ada kami.”

Persetan perihal eksistensinya yang mungkin tidak akan pernah bisa ada di posisi yang sama dengan Ayah Raesaka, lupakan soal presensinya yang mungkin masih dirasa kurang. Sebab Krishna juga paham, tidak semua orang bisa digantikan. Terlebih, perihal kenangan.

“Aku di sini, Saka. Nggak akan ke mana-mana.”

Fatal memang berikan janji, terlebih pada Raesaka yang notabenenya sama dengan dirinya; paham betul bukan manusia yang menentukan perihal bertahan atau pergi duluan. Namun sebagaimana yang sebelumnya Raesaka katakan, Krishna tidak pandai menenangkan. Jika beri janji untuk terus hidup dan menemani bisa ringankan hati, Krishna bersedia menjaga diri, berusaha agar hidup lebih lama.

Sebab berjanji untuk bertahan, lebih sulit dibanding meninggalkan.

Sekarang Raesaka paham mengapa Ayahnya selalu melarang untuk menangis. Karena sekalinya kau menangis, akan teramat sulit untuk berhenti. Akan teramat sulit untuk kembali mengendalikan emosi. Raesaka baru menyadarinya sekarang. Raesaka baru memahaminya sekarang.

Kemudian seakan tidak bisa menghentikan tangis dan mengendalikan emosi tidaklah cukup buruk, Raesaka tengah melakukannya di hadapan si lelaki yang paling ia sayangi. Seseorang yang pernah Raesaka tekadkan dalam hati sebagai sosok terakhir yang akan melihat dirinya menangis.

Baru sekarang Raesaka merasakannya. Pelukan di tengah isak tangis, Raesaka baru merasakannya kali ini. Biasanya, Raesaka akan menerima ujaran tegas dari sang Ayah; mengatakan untuk tidak menangis, bahwa anak laki-laki haruslah tegar. Baru kali ini, seseorang memeluk Raesaka di tengah isak tangis yang seakan tidak mau berhenti.

“Aku di sini, Saka. Nggak akan kemana-mana.”

Jika Krishna mengucapkan kalimat barusan dalam situasi normal pada keseharian keduanya, Raesaka akan mencibir. Mengatakan enggan untuk mendengar kalimat picisan yang terlalu sering diucap tanpa tulus tersisip di dalamnya. Raesaka tidak menyukai perihal janji karena hati manusia tidak pernah ada yang bisa mengetahui.

Maka dari itu, Raesaka tidak pernah berjanji apapun kepada Krishna. Tidak untuk tetap tinggal dan setia, pula tidak untuk menjadi seseorang yang terakhir di sisi kala akhir hayat menghampiri.

Begitupun Krishna, si lelaki tidak pernah memaksa untuk memberi janji. Karena ia sendiri pun tahu, janji adalah hal yang paling sulit untuk dihadapi pula ditepati. Namun, kini Raesaka harus mengakui bahwa sebuah pelukan dan ucapan untuk tidak meninggalkan adalah hal yang teramat ingin ia dapatkan.

Kepala Raesaka kini tersandar lemah pada pundak Krishna yang tengah memeluknya; berbanding terbalik dengan kuasanya yang kini mencengkeram kuat lengan si lelaki yang lebih tua. Seakan dengan cara itu, tangisnya tidak lagi meledak.

“Jangan janji, Kak. Saya nggak mau kecewa lagi.”

Bohong. Raesaka berbohong. Jika saja Raesaka boleh jujur, ia ingin menerima janji Krishna. Memastikan bahwa lelaki itu akan tinggal di sisi untuk selamanya. Jika saja Raesaka boleh jujur, itu adalah keinginan terbesarnya. Memiliki Krishna, hingga ajal menyapa.

Namun Raesaka paham bahwa semesta senang bercanda. Bahwa Tuhan terkadang ingin membuat cerita yang tak pernah Raesaka duga-duga. Raesaka tidak ingin menanam perasaan berharap yang terlalu besar kepada lelaki yang tengah merengkuhnya ini. Raesaka tak ingin menjanjikan apa yang belum ia ketahui.

“Nggak usah janji.” Tangis si lelaki kini tak lagi begitu hebat. Hanya suara sengau sebab telah meluapkan air matanya lah yang kini terdengar. “Kakak cukup lakuin apa yang pengen Kakak lakuin. Apapun itu. Lakuin. Kalau Kakak mau sama saya, lakuin. Kalau Kakak mau tinggalin saya, lakuin. Lakuin, apa yang emang Kakak pengen lakuin. Saya nggak mau ke depannya Kakak terpaksa diem di sini bareng saya karena satu hal : janji.”

“Atau karena hutang budi.”

Kepala Raesaka tidak lagi bersandar di bahu si kekasih. Kini, wajahnya terangkat dan pandangannya tertuju lurus kepada Krishna. “Biarpun saya berharap, berharaaaaap banget kita bisa barengan terus, bisa bikin cerita bareng terus, bisa bahagia barengan.. tapi nggak usah janji.”

“Kak Krishna.”

“Saya sayang banget ke Kakak. Sayang banget, Kak. Terlalu sayang.”

“Kakak—jangan takut, ya? Saya bakal jadi cowok kuat. Tangisan saya yang barusan Kakak liat, anggap aja nggak pernah ada. Kalau emang saya yang lemah kayak barusan bikin Kakak jijik, saya bisa berusaha buat jadi lebih kuat. Tapi, Kak— buat sekarang aja, saya mau tanya..”

Ujaran Raesaka terhenti dan disambung dengan helaan nafas si pemuda yang ditarik panjang. “Kakak mau..temenin saya lagi?”

Tahu, tidak, rasanya bernapas setelah sekian lama harus menahan? Tahu tidak, rasanya manjakan diri dengan selimut, guling, dan bantal, setelah bekerja seharian? Nyaman, lega, atau apapun itu adalah yang tengah Krishna rasa. Sebab tawaran peluknya, diterima.

Sebatas cengkram pada tangan atau apapun itu yang buat fisik merasa kesakitan, akan Krishna sanggupi. Asal tidak ada lagi jerit tangis dari yang ia kasihi.

“Buat kali ini, aku janji.” Keras kepala, buat Krishna sekilas teringat kisah Ayah Ibunya yang saling berjanji untuk menjaga sehidup semati. Krishna juga menyempatkan untuk berdoa, meski lupa bahwa mungkin doanya tidak akan terkabul karena Tuhan mereka berdua berbeda. Tanpa tahu diri ia tundukkan kepala lagi, sekuat hati meminta agar kiranya tidak dipanggil dahulu.

Krishna mengingat bahwa ia masih banyak miliki dosa, maka dari itu dia pinta lebih banyak waktu, hendak perbaiki diri agar setidaknya tidak terlalu berdosa saat nanti kembali. “Aku janji tapi aku juga di sini karena mauku sendiri, Saka.”

Berjeda, dan mungkin Raesaka pun paham bahwa Krishna masih berniat melanjutkan. “Karena aku lebih sayang kamu, karena di sini bukan cuma kamu yang butuh aku. Sebaliknya, aku juga.” Rentet silabel berisi sanggahan diberi. Berusaha agar lelakinya paham bahwa ia tidak tengah sayang sendirian, bahwa tidak ada unsur keterpaksaan, hutang budi, apalagi karena rasa kasihan.

Untuk sekilas, Raesaka sempat heran bagaimana tangan Krishna bisa sehangat ini sementara tangannya dingin begini? Berkali-kali Raesaka menguatkan genggamannya pada tangan Krishna hanya untuk mendapatkan kehangatan. Biarpun tidak banyak, memang. “Kak..”

”..saya kangen Ayah.”

Suara Raesaka semakin mengecil seiring kalimatnya terucap. Kepala si yang lebih muda kini tersandar pada pundak Krishna. Tidak menangis, memang. Namun tetap saja, terdengar nada penuh kesedihan dari sana. “Kak..”

“Saya mau tidur. Sebentar.” Raesaka berujar tanpa mengangkat kepalanya dari aktivitas bersandar di pundak Krishna. Tanpa melihat, Raesaka meraih tangan kanan si kekasih dan meletakkan di kepalanya sendiri. “Usap-usap, kepalanya.”

Krishna tersenyum tipis sebelum akhirnya menuruti pinta lelaki di samping dirinya untuk memberi usapan pada kepala. Usapan didaratkan dengan lembut, seakan takut membuat luka barang sedikit. Masih dengan mata terpejam dan kepala yang tersandar, Raesaka melanjutkan ucapannya.

Kak. Jangan pergi. Bahkan dalam mimpi sekalipun, jangan pergi. Saya nggak mau sendirian lagi.”