“Aduh, Kak. Mual.”
Raesaka sedang membungkukkan tubuhnya dengan menumpukan kedua tangan di atas lutut. Si lelaki berkulit kecoklatan itu mengenakan kostum seragam Paskibra GAMA berwarna merah bercampur hitam, tampak sangat pas melekat di tubuhnya. Walaupun terlihat keren namun segala tindakan yang dilakukan Raesaka mencerminkan kebalikannya. Ia tampak sangat gugup, bahkan ia sudah berulang kali bolak-balik ke kamar mandi untuk mengeluarkan isi perutnya.
Krishna yang mengenakan seragam serupa dengan Raesaka masih berdiri di belakang si adik tingkat yang kini ditugaskan menjadi danton. Ia memijati punggung leher Raesaka agar lelaki itu bisa merasa lebih baik daripada sebelumnya. “Jangan pingsan pas lomba, heh! Nggak lucu kalau malah dantonnya yang pingsan,” ujar Krishna dengan nada setengah khawatir dan setengahnya lagi membentak. “Mau gue cariin air anget, nggak? Kak Kanandra tadi kayaknya bawa termos buat anak-anak yang pengen makan pop mie.”
Raesaka menggeleng, tubuhnya masih membungkuk. Di sekeliling mereka, ada banyak anggota pasukan paskibra dari berbagai kampus yang mengenakan seragam yang beragam. Semuanya sibuk dengan urusannya masing-masing, jadi tidak ada yang mempedulikan bagaimana kini Raesaka dan Krishna tengah berdiri bersisian dengan memberi perhatian yang agak lebih daripada yang lainnya.
“Kak. Kalau nanti saya lupa komando, gimana?”, tanya Raesaka dan dibalas dengan jitakan kecil di kepala dari tangan Krishna. “Heh! Omongan lo tuh, suka nggak bener. Orang mah berdoa tuh' yang baik-baik, jangan malah berdoa lupa komando!”, ujar Krishna; tampak tidak peduli walau kini Raesaka tengah mengusapi puncak kepalanya yang kesakitan sehabis dijitak oleh Krishna.
Anggota pasukan Paskibra GAMA yang lain berdiri tersebar di dalam ruangan. Ada yang tengah berlatih sendiri, ada juga yang saling membantu satu sama lain. Contohnya saja, Tarendra dan Nakuladewa kini sedang berdiri berhadapan dan si lelaki berkulit kecoklatan tampak berdiri di hadapan sahabat untuk mendengar suara seruannya.
“Yang bener teriaknya! Cobain!”, ucap Tarendra dengan sedikit lebih keras di hadapan Nakuladewa. “Jangan deg-deg'an, Na! Yang bener!”
“SIAP! SISWA NAKULADEWA SEBAGAI PENJURU!”, seru Nakuladewa dengan ekspresi yang sangat fokus namun Tarendra membalas dengan pandangan sulit dijelaskan dan sebelah tangan yang memijati punggung lehernya. “... Bener, ya, kata Kak Krishna. Suara lo kayak kambing kejepit,” ujar Tarendra dan membuat Nakuladewa segera mengerucutkan bibirnya; putus harapan.
“Nggak pake manyun-manyun, heh!” Tarendra melepaskan topinya dan meletakkan benda itu di depan wajah Nakuladewa. “Nanti ada paskibra putri yang liat lo manyun, terus pada suka. Soalnya lo lucu banget. Nggak boleh,” ujar Tarendra dengan suara sedikit mendesis. Dari balik topi yang menutupi wajahnya, Nakuladewa hanya tersenyum tipis. Agaknya merasa terhibur dengan sikap over-protect Tarendra, bahkan di tengah situasi seperti ini.
“Udah nggak manyun, 'kan?”, tanya Tarendra dengan tangan yang masih meletakkan bagian dalam topinya ke untuk menutupi wajah Nakuladewa. “Kalau lo masih manyun, gue nggak lepasin nih' topinya.”
“Udah, udaaah,” jawab Nakuladewa. Tarendra menjauhkan topinya dari wajah Nakuladewa kemudian segera berdecak kesal. “Ah, sialaaaan! Masih aja lucu sih, lo, Na! Bisa gila gue!”, desis Tarendra; tampak kesal sendiri. Nakuladewa yang mendengar kalimat Tarendra hanya mendengus geli kemudian menendangi sebelah kaki si kekasih dengan agak kencang. “Diem, nyet! Lo mau semua orang tau, apa?”, desis si lelaki berkulit putih.
Kembali ke Raesaka dan Krishna. Mereka masih berdiri berhadapan, sekarang Krishna meletakkan kedua tangannya ke pundak Raesaka; tampak tengah memberi semangat kepada danton pasukannya itu. “Nih, ya. Gue mau lo inget ini aja, Saka.”
“Di lapangan nanti, inget aja cuma ada lo sama pasukan kita. Nggak ada yang nonton. Juri-juri yang ada nanti anggep aja cuma senior yang biasa liatin kita sewaktu latihan. Kalau ada penonton yang teriak, anggep aja itu hembusan angin. Lo harus fokus. Oke?”
Ujaran Krishna diujarkan dengan sangat serius. Raesaka tampak masih ragu dengan dirinya sendiri sehingga ia hanya menundukkan pandangan ke bawah, tidak membalas pandangan si kakak tingkat sekaligus kekasihnya itu. “Ya, tapi saya deg-deg'an karena takut nggak bisa jadi juara danton, Kak..”
Krishna berdecak. “Ngapain juga lo mesti ngejar buat jadi juara, sih? Yang penting lo bisa kasih yang terbaik, 'kaㅡ”
“Tapi nanti Kakak nggak mau pergi ke Dufan sama saya.”
Krishna terdiam, kemudian detik setelahnya segera mendengus kesal bercampur geli. “Ya Tuhan Yesus, Raesaka...”, ujar Krishna seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. “...jadi lo daritadi deg-deg'an karena takut nggak juara dan nggak bisa ajak gue ke Dufan, gitu?”
Raesaka semakin menundukkan kepalanya, memberi anggukan kecil. “Ya, saya juga deg-deg'an soalnya ini kali pertama jadi danton buat pasukan sekeren GAMA tapi ada juga porsi deg-deg'annya karena takut nggak jadi juara,” ucap Raesaka. Krishna tertawa kecil sebelum akhirnya menepuk kecil topi yang terpasang di kepala Raesaka, “Ampun. Nggak abis pikir gue sama lo, deh.”
“Udah. Lo fokus aja sama semuanya. Jangan grogi, lo udah bagus,” hibur Krishna sebisanya. “Kalaupun emang lo nggak keluar sebagai juara, ya udah nggak apa-apa.”
“Kita tetep ke Dufan. Oke?”
Ujaran Krishna barusan segera membuat Raesaka mengangkat pandangannya dan menatap si lelaki berkulit putih di hadapannya dengan pandangan berbinar. “Serius, Kak?”, seru Raesaka saking senangnya. Krishna segera membekap mulut Raesaka ketika banyak pasang mata kini menatap ke arah mereka berdua. “Diem, woi! Lo mau bikin orang-orang curiga atau gimana? Diem!”, desis Krishna dan dibalas dengan anggukan dari si lelaki yang lebih muda.
Pada akhirnya, wajah pucat yang tadi terlihat di wajah Raesaka segera menghilang begitu saja. Malah sekarang wajah si danton pasukan terlihat merona merah saking bersemangatnya. Lihat saja, sekarang dia malah memanggil para anggota pasukan dan mengajak mereka semua untuk melakukan latihan terakhir kali sebelum pasukan mereka naik ke lapangan untuk memperlihatkan apa yang sudah GAMA persiapkan.
Dari arah belakang, Krishna mengikuti langkah Raesaka dan anggota pasukannya yang lain dengan tangan bersedekap di depan dada. Melihat Raesaka kini tengah tertawa di tengah-tengah Tarendra dan Nakuladewa yang saling mengejek bisa membuat hatinya sehangat ini, rupanya. Melihat tawa kekasihnya itu rupanya bisa membuat Krishna sebahagia ini.
Sial. Sial. Sial.
Sepertinya Krishna jatuh cinta lebih dalam daripada apa yang dia perkirakan sebelumnya. Terlalu dalam, sangat dalam. Lebih daripada apa yang ia persiapkan. Mayday.