dontlockhimup

“Aduh, Kak. Mual.”

Raesaka sedang membungkukkan tubuhnya dengan menumpukan kedua tangan di atas lutut. Si lelaki berkulit kecoklatan itu mengenakan kostum seragam Paskibra GAMA berwarna merah bercampur hitam, tampak sangat pas melekat di tubuhnya. Walaupun terlihat keren namun segala tindakan yang dilakukan Raesaka mencerminkan kebalikannya. Ia tampak sangat gugup, bahkan ia sudah berulang kali bolak-balik ke kamar mandi untuk mengeluarkan isi perutnya.

Krishna yang mengenakan seragam serupa dengan Raesaka masih berdiri di belakang si adik tingkat yang kini ditugaskan menjadi danton. Ia memijati punggung leher Raesaka agar lelaki itu bisa merasa lebih baik daripada sebelumnya. “Jangan pingsan pas lomba, heh! Nggak lucu kalau malah dantonnya yang pingsan,” ujar Krishna dengan nada setengah khawatir dan setengahnya lagi membentak. “Mau gue cariin air anget, nggak? Kak Kanandra tadi kayaknya bawa termos buat anak-anak yang pengen makan pop mie.”

Raesaka menggeleng, tubuhnya masih membungkuk. Di sekeliling mereka, ada banyak anggota pasukan paskibra dari berbagai kampus yang mengenakan seragam yang beragam. Semuanya sibuk dengan urusannya masing-masing, jadi tidak ada yang mempedulikan bagaimana kini Raesaka dan Krishna tengah berdiri bersisian dengan memberi perhatian yang agak lebih daripada yang lainnya.

“Kak. Kalau nanti saya lupa komando, gimana?”, tanya Raesaka dan dibalas dengan jitakan kecil di kepala dari tangan Krishna. “Heh! Omongan lo tuh, suka nggak bener. Orang mah berdoa tuh' yang baik-baik, jangan malah berdoa lupa komando!”, ujar Krishna; tampak tidak peduli walau kini Raesaka tengah mengusapi puncak kepalanya yang kesakitan sehabis dijitak oleh Krishna.

Anggota pasukan Paskibra GAMA yang lain berdiri tersebar di dalam ruangan. Ada yang tengah berlatih sendiri, ada juga yang saling membantu satu sama lain. Contohnya saja, Tarendra dan Nakuladewa kini sedang berdiri berhadapan dan si lelaki berkulit kecoklatan tampak berdiri di hadapan sahabat untuk mendengar suara seruannya.

“Yang bener teriaknya! Cobain!”, ucap Tarendra dengan sedikit lebih keras di hadapan Nakuladewa. “Jangan deg-deg'an, Na! Yang bener!”

“SIAP! SISWA NAKULADEWA SEBAGAI PENJURU!”, seru Nakuladewa dengan ekspresi yang sangat fokus namun Tarendra membalas dengan pandangan sulit dijelaskan dan sebelah tangan yang memijati punggung lehernya. “... Bener, ya, kata Kak Krishna. Suara lo kayak kambing kejepit,” ujar Tarendra dan membuat Nakuladewa segera mengerucutkan bibirnya; putus harapan.

“Nggak pake manyun-manyun, heh!” Tarendra melepaskan topinya dan meletakkan benda itu di depan wajah Nakuladewa. “Nanti ada paskibra putri yang liat lo manyun, terus pada suka. Soalnya lo lucu banget. Nggak boleh,” ujar Tarendra dengan suara sedikit mendesis. Dari balik topi yang menutupi wajahnya, Nakuladewa hanya tersenyum tipis. Agaknya merasa terhibur dengan sikap over-protect Tarendra, bahkan di tengah situasi seperti ini.

“Udah nggak manyun, 'kan?”, tanya Tarendra dengan tangan yang masih meletakkan bagian dalam topinya ke untuk menutupi wajah Nakuladewa. “Kalau lo masih manyun, gue nggak lepasin nih' topinya.”

“Udah, udaaah,” jawab Nakuladewa. Tarendra menjauhkan topinya dari wajah Nakuladewa kemudian segera berdecak kesal. “Ah, sialaaaan! Masih aja lucu sih, lo, Na! Bisa gila gue!”, desis Tarendra; tampak kesal sendiri. Nakuladewa yang mendengar kalimat Tarendra hanya mendengus geli kemudian menendangi sebelah kaki si kekasih dengan agak kencang. “Diem, nyet! Lo mau semua orang tau, apa?”, desis si lelaki berkulit putih.

Kembali ke Raesaka dan Krishna. Mereka masih berdiri berhadapan, sekarang Krishna meletakkan kedua tangannya ke pundak Raesaka; tampak tengah memberi semangat kepada danton pasukannya itu. “Nih, ya. Gue mau lo inget ini aja, Saka.”

“Di lapangan nanti, inget aja cuma ada lo sama pasukan kita. Nggak ada yang nonton. Juri-juri yang ada nanti anggep aja cuma senior yang biasa liatin kita sewaktu latihan. Kalau ada penonton yang teriak, anggep aja itu hembusan angin. Lo harus fokus. Oke?”

Ujaran Krishna diujarkan dengan sangat serius. Raesaka tampak masih ragu dengan dirinya sendiri sehingga ia hanya menundukkan pandangan ke bawah, tidak membalas pandangan si kakak tingkat sekaligus kekasihnya itu. “Ya, tapi saya deg-deg'an karena takut nggak bisa jadi juara danton, Kak..”

Krishna berdecak. “Ngapain juga lo mesti ngejar buat jadi juara, sih? Yang penting lo bisa kasih yang terbaik, 'kaㅡ”

“Tapi nanti Kakak nggak mau pergi ke Dufan sama saya.”

Krishna terdiam, kemudian detik setelahnya segera mendengus kesal bercampur geli. “Ya Tuhan Yesus, Raesaka...”, ujar Krishna seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. “...jadi lo daritadi deg-deg'an karena takut nggak juara dan nggak bisa ajak gue ke Dufan, gitu?”

Raesaka semakin menundukkan kepalanya, memberi anggukan kecil. “Ya, saya juga deg-deg'an soalnya ini kali pertama jadi danton buat pasukan sekeren GAMA tapi ada juga porsi deg-deg'annya karena takut nggak jadi juara,” ucap Raesaka. Krishna tertawa kecil sebelum akhirnya menepuk kecil topi yang terpasang di kepala Raesaka, “Ampun. Nggak abis pikir gue sama lo, deh.”

“Udah. Lo fokus aja sama semuanya. Jangan grogi, lo udah bagus,” hibur Krishna sebisanya. “Kalaupun emang lo nggak keluar sebagai juara, ya udah nggak apa-apa.”

“Kita tetep ke Dufan. Oke?”

Ujaran Krishna barusan segera membuat Raesaka mengangkat pandangannya dan menatap si lelaki berkulit putih di hadapannya dengan pandangan berbinar. “Serius, Kak?”, seru Raesaka saking senangnya. Krishna segera membekap mulut Raesaka ketika banyak pasang mata kini menatap ke arah mereka berdua. “Diem, woi! Lo mau bikin orang-orang curiga atau gimana? Diem!”, desis Krishna dan dibalas dengan anggukan dari si lelaki yang lebih muda.

Pada akhirnya, wajah pucat yang tadi terlihat di wajah Raesaka segera menghilang begitu saja. Malah sekarang wajah si danton pasukan terlihat merona merah saking bersemangatnya. Lihat saja, sekarang dia malah memanggil para anggota pasukan dan mengajak mereka semua untuk melakukan latihan terakhir kali sebelum pasukan mereka naik ke lapangan untuk memperlihatkan apa yang sudah GAMA persiapkan.

Dari arah belakang, Krishna mengikuti langkah Raesaka dan anggota pasukannya yang lain dengan tangan bersedekap di depan dada. Melihat Raesaka kini tengah tertawa di tengah-tengah Tarendra dan Nakuladewa yang saling mengejek bisa membuat hatinya sehangat ini, rupanya. Melihat tawa kekasihnya itu rupanya bisa membuat Krishna sebahagia ini.

Sial. Sial. Sial.

Sepertinya Krishna jatuh cinta lebih dalam daripada apa yang dia perkirakan sebelumnya. Terlalu dalam, sangat dalam. Lebih daripada apa yang ia persiapkan. Mayday.

“Makasih, ya, Tan.”

Krishna berujar singkat setelah mengenakan sepatu ketsnya di depan pintu rumah kediaman keluarga Tania. Si gadis hanya mengangguk kecil, sementara kedua tangannya diletakkan di belakang punggung. Sungguh jelas terlihat sangat kikuk.

“Saka udah tidur sebelum gue keluar dari kamarnya tadi. Udah nggak nangis lagi juga, sih,” jelas Krishna seraya mengeluarkan ponsel miliknya; berniat memesan ojek online untuk mengantarkannya kembali ke asrama. “Kayaknya lo nggak perlu khawatir lagi. Kalaupun dia kenapa-kenapa lagi, lo boleh hubungin gue kapan aja, Tan.”

Lagi, Tania hanya mengangguk. Sungguh, ia tidak tahu harus mengatakan apa kepada kakak tingkatnya ini. Sesungguhnya ada yang sangat ingin ia tanyakan, namun aneh... suaranya seakan tercekat, tidak bisa dikeluarkan barang sedikitpun.

“Ya udah, gue pulang, ya?”, ujar Krishna. Pandangannya masih tertuju ke layar ponselnya, memperhatikan laju pengemudi ojek yang dipesannya sudah sampai di mana. “Tante sama Om nggak ada, ya? Salamin aja, ya, Tan. Lo jangan lupa kunci pintu, sendirian 'kaㅡ”

“Kak Krishna,” panggil Tania dan membuat si lelaki berkulit putih mengalihkan pandangannya dari layar ponsel di tangan. “Kakak sama Saka... nggak ada hubungan apa-apa, 'kan?”

Krishna sempat terdiam untuk beberapa saat namun setelahnya segera tertawa kecil kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya dengan sedikit kencang. “Lo gila, apa? Mantan gue si Jane, lho, Tan. Cewek yang paling dikejer banyak cowok se-GAMA. Gila aja kalau sekarang gue pindahnya ke Saka,” ujar Krishna dengan nada yang sangat meyakinkan dan tangan yang dikibaskan ke kiri dan kanan. “Gue sama dia cuma adek-kakak tingkat. Cuma ya, kayaknya dia sedikit kagum sama gue. Gue yakin lo juga tau, 'lah, ya?”

Tania tampak memasang wajah penuh curiga dan mata yang sedikit disipitkan, tanda tengah memandang si kakak tingkat tajam-tajam. Krishna yang dipandangi seperti itu segera berdecak kecil kemudian memperlihatkan layar ponselnya kepada Tania. “Nih, liat. Wallpaper hape gue aja masih foto gue sama Jane. Masih gagal move-on gue, Tan. Jangan bikin berita macem-macem, deh, ah,” ucap Krishna.

Tania melihat wallpaper ponsel Krishna. Memang benar, foto yang dipajang adalah foto si lelaki dengan Jane. “Kakak beneran, 'kan? Nggak bohong?”, tanya Tania, masih menaruh curiga. “Kalau bohong, saya doain IPK-nya turun, lho.”

“Heh! Omongan lo ada-ada aja,” kata Krishna seraya mengetuk-ngetukkan tangannya ke kepala sendiri. “Amit-amit, Tan. Amit-amit!”, lanjut si lelaki.

Ddin! Ddin!

Suara klakson motor terdengar dari pagar depan kediaman keluarga Tania. Krishna menoleh dan memastikan bahwa yang datang barusan memang ojek online pesanannya. “Misi, mau jemput Mas Krishna, ada?”

“Iya, Mas. Sebentar, Mas,” jawab Krishna. Setelahnya, ia kembali menatapi Tania dan memberi senyum tipis kepada gadis itu. “Lo tenang aja, Tan. Gue sama adek sepupu lo nggak punya hubungan apa-apa. Kalaupun ada, ya... palingan cuma sebatas adek-kakak tingkat. Tenang aja. Gue tau hal yang lagi lo pikirin, kok. Gue juga nggak mau kayak begitu,” ujar Krishna dengan ekspresi dan nada yang sangat meyakinkan.

Mau tidak mau, Tania jadi ikut menaruh percaya kepada lelaki di hadapannya. Pada akhirnya, Tania mengangguk kecil dan tersenyum —sangat— tipis. “Iya, Kak. Baguslah kalau gitu.”

“Ya udah, gue pulang. Jangan lupa kunci pintu,” kata Krishna sebelum akhirnya melangkah keluar pagar kediaman keluarga Tania. “Kabarin aja kalau ada apa-apa lagi, ya, Tan,” ujar Krishna sebelum motor yang ditumpanginya melaju membelah jalan raya.

Perjalanan menuju asrama terasa lumayan panjang karena baik Krishna dan si pengemudi motor tidak ada yang membuka pembicaraan. Hingga akhirnya si pengemudi membuka suara terlebih dulu, itupun ketika Krishna sedang agak melamun. “Lagi ngapelin ceweknya, ya, Mas?”, tanya si pengemudi dengan logat betawi yang sangat kental. “Enak, ya, yang masih muda. Bisa pacaran terus. Saya sama istri mah udah nggak ada romantis-romantisnya.”

Dari jok belakang, Krishna hanya tersenyum tipis. “Nggak, Bang. Bukan cewek saya, itu,” jawab si lelaki berkulit putih dengan ringan. “Pacar saya mah yang lain lagi. Bukan dia.” Mendengar jawaban Krishna, si pengemudi ojek hanya mengangguk-angguk kecil. “Oh, jadi rumah ntu tuh' kost-kostan? Saya kira rumah biasa, Mas. Nggak ada plang namanya, sih.”

Krishna hanya bisa mencoba terkekeh. Bingung harus mengatakan apa lagi sehingga ia hanya mengangguk kecil dan selebihnya hanya diam hingga motor yang ditumpangi olehnya tiba di asrama. Helm yang dikenakan dikembalikan kepada si pemilik dan Krishna berjalan dengan teramat santai menuju kamarnya yang ada di lantai dua.

Ponsel masih digenggam di tangan. Pandangan si lelaki berkulit putih itu tertuju ke layarnya yang memperlihatkan fotonya dengan Jane; foto yang mereka ambil hampir dua tahun lalu, tatkala keduanya masih menjalani masa berpacaran. Krishna sengaja memasang foto itu sebagai wallpaper agar terlepas dari kecurigaan Tania sewaktu di rumah. Untung saja taktiknya itu berhasil walaupun Krishna harus berusaha sebisa mungkin untuk tidak terlihat gugup.

Seraya menggumamkan dendang lagu dengan suara kecil, Krishna membuka galeri foto di ponselnya dan memilih satu foto Raesaka yang ia simpan dan menjadikannya sebagai wallpaper ponsel. Kode keamanan juga diganti oleh Krishna; dari yang semula membuat pola, kini diubah menjadi pindai sidik jari untuk membuka.

Semua telah dilakukan dan Krishna sudah siap. Mulai hari ini, semuanya adalah rahasia. Hubungannya dengan Raesaka, juga tentang 'diri'nya.

“Tolong berdiri di belakang batas yang udah ditentuin, ya, Dek. Nanti istananya cukup besar, jadi kalau ngelewatin batas, bisa-bisa adeknya ketabrak iring-iringan istananya. Bu, tolong anaknya ini dijagain. Makasih.”

Raesaka memandangi situasi di sekelilingnya dengan wajah dihiasi senyum yang merekah lebar. Di sekitar, sudah ada banyak orang yang berkumpul untuk menyaksikan festival karnaval yang biasa diselenggarakan oleh Dunia Fantasia di sore hari menjelang waktu ditutupnya arena permainan.

Dominan dipenuhi oleh keluarga serta anak-anak kecil yang berdiri di dekat pagar pembatas, sih, memang. Anak-anak muda yang mungkin datang bersama teman-temannya lebih memilih berdiri di barisan tengah hingga belakang; tampak enggan berdesak-desakan, sepertinya.

Namun Raesaka berbeda. Ia menariki tangan Krishna agar mereka berdua bisa berdiri di barisan yang berada cukup di depan. Ini adalah kali pertama Raesaka mendatangi Dunia Fantasia dan menyaksikan karnaval. Ia ingin menyaksikannya dari jarak yang dekat dengan mata kepalanya sendiri. Sementara Krishna? Ia hanya bisa pasrah ketika Raesaka menariki tangannya untuk berdiri di barisan paling depan, bahkan tanpa meminta persetujuannya lebih dulu.

“Dari belakang juga keliatan, Saka.” Krishna berujar seraya mengipasi wajahnya dengan selebaran pamflet berisi denah lokasi taman bermain. “Nggak perlu depan-depan banget kayak begini. Pengap.”

Raesaka menolehkan wajahnya ke arah Krishna, tampak memasang wajah super memelas miliknya. “Kak. Saya baru pertama liat karnaval, lho. Biasanya saya kalau sama Budhe Pakdhe saya ke sini, nggak pernah sampai sore. Soalnya Ayah udah suruh saya balik cepet-cepet buat belajaㅡ”

“Ya. Ya. Ya. Gue salah ngomong. Ya, nggak apa-apa berdiri di depan juga. Utututu, Saka mau berdiri di tengah-tengah jalannya juga nggak apa-apa biar bisa dilindas mobil paradenya sekalian. Mau?” Krishna berujar dengan sedikit sarkas. Jujur saja, Krishna sedikit kesal karena cara Raesaka untuk menaklukkan semua egonya adalah dengan menceritakan segala hal yang sedih tentang dirinya. Tentang Ibunya yang sudah berpulang, tentang Ayahnya yang lumayan keras mendidik diri, tentang masa kecilnya yang selalu diisi dengan belajar, belajar, belajar. Pokoknya semua tentang itu, lah.

Bukannya Krishna tidak bersimpati dengan semua yang Raesaka ceritakan. Krishna sangat bersimpati, makanya ia tidak pernah menolak segala permintaan si kekasih ketika si lelaki yang lebih muda itu menceritakan tentang masa kecilnya. Sialnya, Raesaka tampak tahu bahwa Krishna memiliki kelemahan di situ maka ia seakan sengaja memanfaatkannya. Ingin ini itu dari Krishna? Ceritakan saja soal masa lalunya, dan semua pasti akan Raesaka dapatkan.

Sialan.

Paham bahwa si kekasih sudah berada dalam genggaman, Raesaka mengulas senyum lebar sementara Krishna memasang wajah sedikit ditekuk. Dengan kedua tangan dilipat di depan dada, Krishna berdiri di samping Raesaka. Pandangannya diarahkan ke sebelah kanan, tempat dimana iring-iringan parade akan muncul.

Namun mata Krishna sedikit membulat ketika ia merasakan ada tangan lain yang menyentuh jemarinya di posisi tangan yang sedang dilipat. Refleks, diarahkan wajahnya ke samping kiri, kemudian ia menemukan Raesaka tentang melipat tangannya di depan dada juga namun jemarinya kini berusaha tertaut di jemari Krishna. “Heh! Apaan, sih?! Nanti ada yang liat gimana?”, desis Krishna seraya melirikkan matanya ke kanan dan kiri; takut ada orang lain yang melihat tindak mereka.

“Nggak ada..”, ujar Raesaka seraya semakin mendekatkan tubuh mereka hingga pundak keduanya semakin bersentuhan dan tangan mereka yang sekarang sedang bertaut dalam posisi tangan yang dilipat tidak bisa dilihat oleh siapapun. “..lagian siapa juga yang minat liatin dua cowok, sih, Kak?”

Krishna memutarkan bola matanya, merasa kesal sekaligus sebal. “Ya, malah karena kita cowok makanya bisa jadi malah semakin menarik perhatian, Sakaaaa!”, desis Krishna dengan intonasi yang sangat ditekan. Raesaka hanya mengangguk-anggukkan kepalanya, seperti menganggap ujaran Krishna barusan bagaikan angin lalu semata. Pada akhirnya, jemari Raesaka kini bertaut di tangan Krishna yang sedang dilipat di depan dada. Tahu bahwa ia tidak bisa mengubah pemikiran kekasihnya, Krishna hanya mendengus dan membiarkan tangan si lelaki yang lebih muda kini tertaut di tangannya; bahkan sekarang sedang mengusapi punggung tangan Krishna dengan ibu jarinya.

Lumayan lama mereka berdiri. Lima belas menit, kira-kira. Hingga akhirnya suara drum yang sedikit memekakkan telinga terdengar dengan terompet yang mengiringi. Krishna melirik sekilas ke arah kirinya dan tak urung ikut tersenyum tipis ketika melihat Raesaka tampak sangat antusias menatapi arah dimana suara itu berasal. Persis kayak anak kecil, pikir Krishna.

“Karakternya nanti yang keluar punya Disney semua,” ujar Krishna ringan. Raesaka melirik, terlihat kebingungan perihal darimana kekasihnya tahu bahwa iring-iringan yang keluar nanti adalah karakter Disney padahal belum ada apapun yang muncul di hadapan mereka sekarang. Krishna mengangkat pamflet di sebelah tangannya yang tidak sedang digenggam oleh Raesaka. “Nih. Ditulis di sini. Katanya bulan ini paradenya khusus Disney dan hari ini ada pertunjukan kembang apinya.”

“Serius?!”, Raesaka terlihat sangat gembira. “Ada kembang apinya juga, Kak?” Pertanyaan Raesaka dibalas dengan jitakan kecil dari selembaran pamflet yang dipegang oleh Krishna ke kepala si lelaki yang lebih muda. “Makanya, baca yang ada di kertas yang dikasih. Bukannya malah narik gue ke sana sini buat naik ini itu tapi berakhir dengan lo yang muntah.”

Raesaka sedikit merengut. “Ya, gimana? Saya 'kan mau menikmati hari bareng Kakak. Kapan lagi bisa begini sama pacar, coba?”, gerutu Raesaka yang terlihat sangat menggemaskan di mata Krishna. Tidak tahan melihat si kekasih yang begitu, Krishna kembali menjitak kepala Raesaka dengan selembaran pamflet di tangan. Entah apa maksudnya, mungkin hanya sekedar ingin melampiaskan rasa kesalnya saja.

Sekitar lima menit berlalu, akhirnya iring-iringan parade mulai memasuki kawasan tempat Krishna dan Raesaka berada. Entah ini sebuah kebetulan atau tidak, namun daerah yang keduanya tempati rupanya adalah main spot dimana semua iring-iringan berhenti dan mempertunjukkan sisa penampilannya di sana.

Krishna lagi-lagi melirik ke arah Raesaka yang tengah tersenyum lebar dengan tatapan berbinar, memandangi banyak boneka seukuran manusia berkarakter kartun Disney berputar-putar menyalami anak kecil di sekeliling mereka. Krishna tersenyum tipis, dalam hati tidak menyesali keputusannya untuk mengajak si kekasih ke sini. Krishna membayangkan sebagaimana tersiksanya Raesaka sewaktu kecil karena terus ditekan untuk belajar hingga di usianya yang hampir menuju dewasa, ia terlihat kesenangan bukan main tatkala melihat boneka yang menurut Krishna sedikit —ehem— kampungan.

Tanpa sadar, Krishna mengeratkan pegangan tangan mereka berdua di sela-sela tangan yang masih dilipat di depan dada. Seperti ingin memberitahukan bahwa ia juga ada di sini, menemani Raesaka di waktu-waktu bahagianya.

“Kak! Liat! Istananya gede banget. Wuaaah!”

Raesaka bergumam kagum tatkala ada replika istana yang bergerak mendekati tempat mereka berada. Krishna ikut mengalihkan pandangannya ke arah yang ditunjuk oleh si kekasih dan sedikit takjub ketika melihat seberapa besarnya replika istana yang muncul. Dunia Fantasia tidak main-main untuk memanjakan pengunjungnya.

Penghujung petang mulai menyapa ketika parade diberlangsungkan. Hingga akhirnya matahari benar-benar ikut tenggelam dan istana besar yang ada di hadapan para pengunjung perlahan menyalakan lampunya. Kontras, seiring dengan lampu di istana yang dinyalakan, lampu di sekeliling para pengunjung malah dimatikan. Sekarang sekeliling tampak gelap dan hanya lampu dari istana besar itulah yang menerangi sekitar.

“Kayaknya udah mau mulai pertunjukan kembang apinya,” ujar Krishna dan membuat mata Raesaka semakin berbinar. Di tengah gelapnya sekeliling, wajah Raesaka ditempa oleh pancaran cahaya dari lampu istana yang memang berhenti di dekat mereka berdua. Dari penerangan yang lembut itu, Krishna melihat bagaimana Raesaka tersenyum lebar dan menatap ke arah istana dengan sangat antusias.

“Seneng?”, tanya Krishna dan dibalas segera dengan anggukan dari Raesaka. “Seneng, banget!”, jawab Raesaka. “Ada pertunjukan begini dan saya bisa liat sama Kakak..”, lanjut si lelaki yang lebih muda. “..apa lagi yang harus lebih saya syukuri selain semua ini, coba?”

Krishna tersenyum tipis. Hatinya terlalu merasakan bahagia karena bisa melihat Raesaka sesenang ini. Tangan mereka berdua masih bertaut erat secara sembunyi-sembunyi ketika musik pengiring dinyalakan, lantang. Beriringan dengan kembang api yang satu demi persatu naik ke langit, mempertunjukkan keindahannya.

Cahaya berpendar, satu demi satu letusan membuat semua pengunjung memusatkan perhatiannya ke bunga api yang indah. Terkcuali Krishna, yang hanya memusatkan perhatian kepada Raesaka di sampingnya.

Raesaka yang memandangi langit. Raesaka yang tersenyum lebar. Raesaka yang memegang tangannya.

Raesaka yang sekarang ada bersamanya.

Entah bagaimana, Raesaka seakan mendapat pertanda serupa sehingga beberapa saat setelah ia memfokuskan perhatian ke letusan kembang api di langit, ia beralih menolehkan kepala ke arah samping dan menemukan Krishna sedang memandanginya.

Raesaka tertawa kecil, yang mana membuat Krishna langsung salah tingkah. “Ngapain diliatin terus, Kak? Saya nggak ke mana-mana,” ujar Raesaka seraya mengeratkan genggaman tangannya di tangan Krishna. “Ada sama Kakak terus, kok.”

Krishna mendengus kemudian mengalihkan perhatiannya kepada kembang api yang masih meletus di hadapan mereka. Perlahan, iringan musik yang semula meriah kini menjadi alunan musik yang lembut. Krishna tahu lagu ini, Kakak perempuannya sering sekali memperdengarkan lagu ini ketika dirinya masih kecil.

Lagu soundtrack dari kartun Tarzan terdengar, membuat Krishna ikut bergumam kecil mengikuti setiap lirik yang berdendang dari iring-iringan parade karnaval Dunia Fantasia ini.

. . .

“HOEEEEK!”

Krishna masih berdiri di belakang Raesaka yang tengah membungkukkan tubuhnya ke arah taman kecil yang ada di lingkungan taman bermain Dunia Fantasia. Di tangan si lelaki yang lebih muda ada kantung plastik berwarna hitam yang digenggam erat, diarahkan ke mulutnya sendiri untuk menampung isi perutnya yang memaksa dikeluarkan lewat mulut. Oke, bahasa sederhananya; muntah.

Merasa tidak tega karena melihat si adik tingkat yang tampaknya sangat tersiksa, Krishna —yang semula mengambil jarak dari Raesaka karena tidak kuat menghadapi orang yang muntah— pada akhirnya berjalan mendekat dan memijat tengkuk leher Raesaka. Diberi tindak begitu, malah jadi seperti gayung bersambut untuk Raesaka. Suara muntahnya jadi terdengar lebih sering. Yuck. “HOOWEEEK!”

“Lo beneran masih kuat jalan? Mau diem dulu di mana, nggak, gitu?”, tanya Krishna dengan nada sedikit khawatir. Tangan kiri Krishna masih memijati tengkuk leher Raesaka sementara tangan kanannya digunakan untuk mengipasi si lelaki yang lebih muda dengan selembar kertas pamflet berisi denah wahana permainan yang ia dapatkan dari salah satu petugas di dalam area bermain. “Kayaknya lo nggak oke buat ke mana-mana, deh.”

Setelah dua menit berikutnya masih digunakan oleh Raesaka untuk ber-HOWEEEK HOWEEEK ria, si lelaki berkulit kecoklatan itu akhirnya sedikit menegakkan tubuh dan tidak lagi membungkuk. “Kak, punya tisu, nggak?”, tanya Raesaka dengan lemas. Krishna membuka retsleting tas slempang yang tersampir di bahunya dan mengambil beberapa lembar tisu sebelum menyerahkannya kepada Raesaka. “Nih, cukup?”, tanya Krishna memastikan. Raesaka sudah terlalu lemas untuk menjawab, maka ia hanya mengangguk-anggukan kepala seraya menerima sodoran tisu dari si kakak tingkat kemudian menyeka sedikit bekas kotor yang tersisa di ujung bibirnya.

“Udah mendingan?”, tanya Krishna, masih dengan pandangan khawatir yang sama seperti sebelumnya. Raesaka mengangguk, tangannya kini mengikat ujung kantung plastik di tangannya sehingga kini kantung plastik itu tampak seperti bola menggembung. “Saya mau buang ini dulu, Kak,” ucap Raesaka. Krishna mengangguk kecil. “Ya udah, sekalian cari tempat buat duduk dulu. Ayo?”

Sekarang langkah Raesaka dituntun oleh Krishna. Pundak si lelaki berkulit kecoklatan dirangkul agar tidak oleng, sesekali Krishna berujar kecil ketika langkah adik tingkatnya terasa tidak stabil. “Tuh. Tuh, ada tempat sampah di deket kedai yang jualan ayam goreng. Di sana aja, ya? Buang plastiknya sekalian makan.”

Tujuan ditetapkan. Sekarang mereka berdua melakukan aktivitasnya masing-masing, Raesaka membuang kantung plastik di tangan sementara Krishna membeli seporsi ayam goreng dengan nasi dan satu cup mie instan untuk Raesaka. Butuh beberapa menit hingga kini si lelaki berkulit putih tampak berjalan dengan hati-hati agar kantung plastik berisi ayam goreng dan cup mie instan yang terisi air panas di tangannya tidak tumpah.

“Nih, makan dulu.” Krishna menyerahkan cup mie instan di tangannya kepada Raesaka. “Awas, panas. Hati-hati, pegang ujungnya,” ingat Krishna ketika tangan Raesaka menyentuh ujung permukaan cup mie instan.

“Berapa, Kak?”, tanya Raesaka. “Saya gantiin.”

“Halah,” Krishna mencibir. “Apaan, sih, pake ganti-ganti segala. Nggak usah,” ujar si lelaki berkulit putih seraya membuka plastik yang membungkus nasi yang ada di kotak ayamnya. “Kalau lo sakit, gue juga yang repot,” lanjut Krishna seraya memposisikan nasi di kotak bersama ayamnya bersisian agar memudahkan Raesaka untuk menyantap nanti. “Mau makan mana dulu? Ayam dulu atau mie dulu?”

Raesaka tak urung tersenyum, merasa terlalu senang karena diperlakukan sebegininya oleh si kakak tingkat. “Kakak nggak makan juga?”, tanya Raesaka karena melihat porsi ayam yang dibeli oleh Krishna hanya satu saja. Krishna menggeleng. “Gue nggak begitu laper, sih. Paling nanti gue beli Shihlin aja.”

“Barengan aja,” ujar Raesaka seraya mengubah posisi duduknya agar berhadapan dengan Krishna. Cup mie instan di tangannya diletakkan di tengah-tengah posisi duduk mereka, begitupun dengan seporsi ayam goreng dan nasi yang dibeli oleh Krishna. “Kakak juga harus makan. Nggak lucu kalau nanti maagnya kambuh, 'kan?”

Blush.

Baru sekarang ada yang mengingatkan Krishna untuk makan karena takut maagnya kambuh selain keluarganya sendiri. Bahkan Jane tidak kerap mengingat kenyataan bahwa Krishna memiliki maag, namun iniㅡ? Raesaka mengingatnya. Si seseorang yang bahkan belum genap empat bulan menjadi kekasihnya, malah lebih mengetahui diri dibanding Jane yang pernah setahun lebih menjadi miliknya.

“Nggak, lo aja. Kalau gue laper, gue tinggal beli lagㅡ” Perkataan Krishna terhenti karena sekarang Raesaka sudah menyodorkan garpu dengan lilitan mie ke arah si kekasih. “Aaa,” ujar Raesaka dan membuat Krishna segera menoleh dengan panik ke kanan kiri, takut jika ada pengunjung lain yang melihat tingkah mereka berdua.

“Saka! Heh, lo gila apa? Diliatin orang, wey!” Krishna menjauhkan wajahnya dari sodoran garpu plastik yang diberi oleh Raesaka. “Udah, lo makan ya makan aja. Gue bisa urus diri sendiri,” tekan Krishna. Akan tetapi, Raesaka seakan tuli. Ia masih menyodorkan garpunya ke arah si kekasih. Malahan semakin Krishna menjauh, semakin garpu di tangan Raesaka disodorkan ke arah depan.

“Kakak maunya gimana? Mau kita semakin diliatin atau Kakak makan sekarang dan orang-orang berhenti perhatiin kita?”, tanya Raesaka. Krishna mendengus kesal. Pada akhirnya ia meraih garpu di tangan Raesaka dan menyuapkannya ke dalam mulut sendiri. “Udah, 'kan?”, tanya Krishna dengan mulut setengah terisi mie instan.

Raesaka menerima kembali garpu yang lilitan mienya sudah habis dimakan oleh Krishna seraya terkekeh kecil. “Nah. Gitu 'kan enak. Kakak makan, saya juga makan.” Sementara Krishna masih menatapi Raesaka dengan tajam, Raesaka tampak sangat santai dan tanpa rasa bersalah menyendok isi mie cup instannya lagi.

“Kalau Kakak mau makan kulitnya, makan aja, Kak,” ujar Raesaka ketika Krishna tengah memisahkan kulit dari ayam bagian paha atas yang barusan dibeli olehnya. Krishna menggeleng. “Ini lagi gue pisahin biar lo makan. Biasanya orang-orang suka kulit ayam,” jawab Krishna.

“Kakak nggak suka?”, tanya Raesaka.

“Suka. Suka banget, malah,” jawab Krishna seraya menjilat ibu jari dan telunjuknya yang sedikit berlumur minyak dari kulit ayam. “Tapi sesuka-sukanya gue sama kulit ayam, tetep aja..”

“..gue lebih suka lo.” “Jadi ya, udah. Buat lo aja.”

Raesaka yang baru saja menyuap mie ke dalam mulutnya tiba-tiba langsung terbatuk-batuk. Tersedak hingga wajahnya memerah. Dengan sedikit panik, Krishna mengeluarkan botol air mineral dari dalam tasnya dan menyerahkannya segera kepada si kekasih. “Ampun, Saka! Lo bisa nggak, sih, ngelakuin apa-apanya tuh' pelan-pelan aja?!”

Setelah berhasil menguasai rasa tersedaknya, Raesaka menatap ke arah Krishna. Tampak marah, namun sangat kontras dengan wajahnya yang bersemu merah. “Kak! Lain kali kalau mau ngomong hal yang manis itu bilang dulu ke saya! Biar saya punya waktu buat persiapin hati!”, gerutu Raesaka yang membuat Krishna mengerjapkan mata untuk beberapa kali sampai akhirnya ia tertawa geli.

“Jangan ketawa!”, lanjut Raesaka seraya memukul punggung Krishna dengan botol air mineral plastik di tangannya. “Saya serius, Kak.”

“Ya ampun. Gila, geli banget gue.” Krishna menyeka air mata yang keluar di ujung matanya, saking merasa geli dengan perkataan Raesaka barusan. “Perasaan omongan gue tadi biasa-biasa aja. Lo aja yang lebay, sampai keselek begitu.”

“Ya..”, Raesaka sedikit bergumam. “..Kakak yang nggak biasa.” “Kakak istimewa. Banget, istimewanya.” “Senggaknya buat saya, Kakak terlalu spesial.”

Sekarang giliran Krishna yang tersedak karena ucapan Raesaka. Dengan terburu-buru, Krishna merebut botol air mineral di tangan si adik tingkat dan menenggaknya hingga habis. Wajahnya sekarang bersemu merah, tampak sangat kontras dengan kulit lehernya yang berwarna putih.

Di samping Krishna, Raesaka hanya tersenyum-senyum tipis. “Gimana, Kak? Saya perlu bilang-bilang dulu nggak ketika ngomongin hal manis biar Kakak bisa persiapin diri dulㅡ AWWW!”, ujaran Raesaka terputus karena Krishna barusan memukuli kepalanya dengan sedikit kencang; memakai botol plastik air mineral yang sudah kosong.

“Diem. Abisin itu ayam lo buruan biar kita bisa naik wahana lain,” jawab Krishna dengan nada ketus dan dibalas dengan Raesaka yang tersenyum kecil seraya mengusapi kepalanya yang terasa sedikit sakit karena pukulan si kekasih barusan.

Dasar gengsian, pikir Raesaka.

Adek, udah pulang?

Sapaan dari Tania tidak dibalas oleh Raesaka. Si lelaki melangkah gontai menaiki tangga menuju lantai dua kediaman sang Bibi dengan wajah yang terlihat sangat murung.

“Adek? Hei, kamu nggak makan dulu?”, tanya Tania seraya melongokkan kepalanya dari selasar pegangan tangga untuk melihat si adik sepupu yang sekarang berjalan menuju kamar.

Pintu kamar di lantai dua terdengar terbuka kemudian menutup dengan hentakan yang lumayan keras. Tania sedikit mengerutkan alisnya───apa lagi yang sedang terjadi, sih?

“TIAP-TIAP BANJAR, DUA KALI BELOK KANAN— JALAN!”

Krishna tampak memukau, seperti biasa. Beberapa senior yang mengenakan jaket korsa hitam berdiri dengan tangan bersedekap di dada, beberapa sisanya menopang dagu dengan sebelah tangan. Mereka tahu bahwa Krishna adalah juara danton tingkat nasional tahun lalu, maka kemampuan lelaki ini tidak perlu diragukan.

“LANGKAH TEGAP, MAJU— JALAN!”

Namun Raesaka berbeda. Lelaki itu memukau dengan caranya sendiri. Lantang suaranya memang hampir serupa dengan Krishna, akan tetapi suara seraknya tampak membuat beberapa senior alumni lebih jatuh hati.

Kanandra berdiri di pinggir lapangan dengan tangan bersedekap di depan dada seraya menggigiti bibir bawahnya sendiri. Ia merasa gugup bukan main. Sesungguhnya ia mendapat pesan dari Semeru agar Krishna keluar sebagai danton. Alasannya? Agar Krishna dan Raesaka dapat kembali menemukan posisi mereka sebagai senior dan junior, katanya.

Akan tetapi Kanandra paham, di situasi iniㅡ lebih dari separuh seniornya tampak lebih terpukau dengan penampilan Raesaka. Bahkan Kanandra sendiri, jika disuruh memilih— ia akan memilih Raesaka. Entah itu karena pendapat bias atau tidak, namun sosok Raesaka tampak akan lebih baik untuk memimpin pasukan.

Hingga akhirnya dua kali penampilan dengan komando dari dua orang yang berbeda selesai dilakukan. Raesaka dan Krishna kembali berdiri di depan barisan dalam posisi istirahat di tempat.

“Para senior sudah buat keputusan,” Kanandra kembali berseru di depan barisan. Tampak sangat jelas baik Raesaka dan Krishna, keduanya merasakan rasa berdebar yang serupa. “Danton untuk LKBB tahun ini adalah Raesaka.”

Seruan riuh dari para mahasiswa tingkat pertama segera terdengar. Mereka merasa bangga karena ada perwakilan dari tahun pertama yang mengikuti lomba. Tidak tanggung-tanggung, sebagai danton pula. Sementara para senior di pasukan inti yang mengenakan jaket korsa berwarna merah tampak terpukul karena ketua yang mereka percayai malah tidak diberi tempat untuk menjadi danton.

Dua respon dari dua bagian terlihat sangat kontras.

Sementara itu, Raesaka tampak masih gamang di tempatnya. Ia tidak tahu mengapa para senior alumni memilihnya padahal di pandangannya sendiri, suara Krishna jauh lebih baik. Merasa tidak enak, Raesaka menolehkan kepalanya ke arah samping untuk melihat Krishna. Namun si kakak tingkat rupanya sudah terlebih dulu menatap dirinya.

Krishna tersenyum kepada Raesaka, hanya menolehkan kepala sementara kedua tangannya masih dalam posisi istirahat di tempat. Krishna tersenyum, seraya kemudian bibirnya terbuka dan mengujarkan satu kalimat tanpa suara.

Good job.”

Pada akhirnya, hasil sudah terlihat. Pada akhirnya, keputusan sudah ditetapkan. Raesaka, adalah danton baru bagi pasukan paskibra Ganesha Mandala.

Kak Semeru nggak dateng?

Beberapa mahasiswa yang mengenakan kaus putih polos tampak berbisik-bisik dengan teman di sampingnya. Mereka membicarakan kebingungannya ketika tidak melihat sosok tegap si kakak tingkat bernama Semeru diantara para senior alumni Paskibra GAMA yang berdiri di depan barisan. Para alumni datang dengan jaket korsa berwarna hitam, lencana korsa juga tersemat di dada kanan masing-masing. Tampak sangat berwibawa.

Sementara itu, para senior tingkat kedua dan tiga tampak mengenakan jaket korsa berwarna merah. Mereka berdiri di pinggir lapangan dengan posisi istirahat di tempat, memperhatikan lurus-lurus segala tindakan senior alumni yang akan mereka jadikan pelajaran ketika menjabat posisi sebagai si kakak alumni beberapa tahun ke depan.

“Perhatian!” Seorang lelaki jangkung dengan jaket korsa hitam berada di posisi lebih di depan dibanding teman-teman seniornya yang lain. Kanandra, si lelaki jangkung itu barusan berteriak dengan kedua tangan berada di belakang punggung. “Kalian sudah tahu, 'kan, alasan keberadaan kalian di sini untuk apa?”

“Siap! Sudah!” Koor kompak dalam suara tegas terdengar dari mahasiswa yang berseragam kaus putih. Kanandra memperhatikan para mahasiswa tingkat pertama sebelum akhirnya pandangannya berhenti pada Raesaka yang berada di barisan kedua. “Raesaka, maju ke depan,” ujar Kanandra dan yang dipanggil, Raesaka, segera mengiyakan instruksi dengan berjalan cepat melewati barisan di depannya; menuju ke depan barisan.

“Siap menghadap, Kak!”, seru Raesaka ketika sudah berada di depan Kanandra. Si lelaki jangkung berjaket korsa hitam itu kini mengalihkan pandangan ke arah samping kiri, tempat para senior berjaket korsa merah berada. “Krishna!”, seru Kanandra, membuat Krishna segera mengubah posisi yang semula istirahat di tempat menjadi posisi tegak siap. “Siap, Kak!”

Tanpa diminta, Krishna melangkah mendekati Kanandra hingga akhirnya ia berdiri di samping kanan Raesaka. Kedua junior sudah menghadap dalam posisi siap sediadi hadapan sang senior.

“Menghadap ke barisan!”, perintah Kanandra. Raesaka dan Krishna melakukan gerak balik kanan, sehingga kini posisi mereka berdua tengah berdiri berdampingan dan menghadap ke arah barisan para mahasiswa tingkat pertama yang berkaus putih. Raesaka meneguk ludahnya gugup. Ia memang sudah biasa menjadi danton, namun di situasi dimana ia dinilai di hadapan orang-orang yang sudah pasti lebih pro daripada dirinya, ini adalah kali pertama.

“Krishna! Raesaka!”, seru Kanandra. “Siap, Kak!”, sahut Raesaka dan Krishna berbarengan. Suara kedua lelaki yang berada di depan barisan terdengar agak mirip; tegas dan lantang.

Kanandra berjalan dengan langkah perlahan di belakang Krishna dan Raesaka. Tatapannya ditujukan lurus-lurus ke dua adik tingkat di hadapannya saat ini. “Saya diberi tanggung jawab dari Kak Semeru untuk melaksanakan proses seleksi diantara kalian berdua,” ucap Kanandra dengan tegas. “Tapi saya dengar dari Kak Semeru, Krishna berniat mengundurkan diri dari seleksi.”

Krishna meneguk ludahnya dengan gugup. Suara bisik-bisik diantara para pasukan terdengar lagi, kali ini dicampur dengan rasa penasaran karena bingung dengan alasan si ketua malah mundur dari proses seleksi pemilihan danton. “Benar, Krishna?”, tanya Kanandra seraya berdiri di samping kanan Krishna. “Benar, kamu mau mundur dari pemilihan?”

Krishna mengangguk, pada akhirnya. “Siap! Betul, Kak!”

Kanandra terkekeh kecil. “Mental tempe,” ujar si senior dan membuat Krishna segera mengepalkan tangannya; merasa tersindir habis-habisan. “Saya nggak tahu alasan apa yang bikin kamu mundur tapi itu bukan mental Paskibra, Krishna! Seorang danton harus tetap pimpin pasukan walaupun suaranya harus habis! Tau?!”

Krishna masih berusaha meluruskan pandangannya walau hatinya sedikit sakit. Sesungguhnya ia tidak berniat mundur dari seleksi, tapi ujaran Semeru beberapa hari kemarin membuatnya ragu. “Siap, Kak!”, jawab Krishna tegas. “Saya paham!”

Kanandra berdiri di depan Krishna kemudian menunjuk dada si adik tingkat dengan telunjuk, sedikit mengintimidasi. “Kalau paham, kenapa malah mundur? Hah?”, tanya Kanandra dengan kata yang ia ujarkan perlahan. “Kenapa bikin malu senior yang dulu udah pilih kamu, hah?”

Tubuh Krishna sedikit oleng setiap kali Kanandra menekan telunjuk di dadanya, namun sebisa mungkin ia berusaha bersikap tegap. Akhirnya, Kanandra meloloskan suara lagi. “Hari ini, kecuali Kak Semeru, semua mantan danton dari berbagai angkatan sudah ada di depan kalian. Kakak-kakak alumni yang memakai korsa hitam, semuanya adalah danton di angkatannya!”

“Mereka datang untuk seleksi kalian berdua. Krishna! Raesaka!”, teriakan dari Kanandra sempat membuat kedua lelaki yang berada di depan barisan merasa sedikit tersentak. “Kami, para alumni, nggak menerima alasan mundur dari seleksi! Jadi kalian berdua tetap harus melakukan seleksi di depan kami dan pasukan lainnya. Paham?!”

Seruan Kanandra dibalas dengan jawaban tegas dari Raesaka dan Krishna. Kanandra akhirnya melangkah ke arah pasukan dari para senior tingkat kedua dan ketiga yang menjadi pasukan inti. “Kalian, pasukan inti!”

“SIAP!”, jawab pasukan secara serempak.

“Kalian akan jadi pasukan yang tampil dan ikuti komando dari salah satu calon danton ini. Lakukan semua sesuai apa yang danton kalian ucapkan. Paham?!”

“SIAP! PAHAM, KAK!”

Krishna dan Raesaka masih berdiri dalam posisi tegap di tempatnya. Keduanya sama-sama mengepalkan tangannya kuat-kuat di samping paha. Dalam posisi tegap, keduanya merasakan jantung mereka berdebar tidak karuan. Pada akhirnya, sesuatu yang mereka sebut pengorbanan tidak ada artinya di depan Paskibra.

Karena sejatinya, seorang Paskibra tidak boleh menyerah.

Pagi, Dek.

Raesaka baru saja menginjakkan kakinya di anak tangga terakhir di lantai satu ketika mendengar suara ceria Tania dari arah dapur. Di pundak si lelaki tersampir handuk berwana abu-abu, ia memang berniat untuk mandi sebelum berangkat ke kampus jam sembilan nanti.

Tania ada di dapur, menghadap ke arah kompor gas dengan mengenakan celemek di tubuh. “Sok, kamu mandi dulu, gih. Bentar lagi selesai, nih, masakannya. Kalau kamu udah mandi, 'kan lebih enak makannya,” ujar Tania dengan nada ramah yang sama seperti biasanya. Seakan-akan tidak pernah ada kejadian dua hari kemarin, ketika Raesaka pergi dan membentak Tania —– walau hanya lewat chat, sih.

Raesaka mengeratkan genggaman tangannya ke ujung handuk yang tersampir di pundak. Entah mengapa merasa sesak dan bersalah setengah mati karena sikap Tania yang tidak berubah. “Iya, Mbak,” jawab Raesaka dengan suara pelan, lebih seperti mencicit. “Makasih, ya.”

Tania tidak membalikkan badannya namun gumaman kecil yang bernada riang terdengar. Raesaka juga mengulas senyum tipis. Dalam hati sedikit bersyukur karena walaupun ia melakukan kesalahan, si kakak sepupu tetap bersikap layaknya ia yang biasa.

Padahal, tidak.

Raesaka tidak tahu bahwa dari posisinya yang membelakangi diri, Tania tidak tersenyum sama sekali. Wajahnya terlihat murung dan tampak sedih. Walaupun nada bicaranya terdengar riang, sebenarnya Tania tidak sedang merasa demikian.

Tania, sedang bersandiwara.

Lo mau ikut, nggak?

Nakuladewa menengadahkan kepalanya, memandangi Tarendra yang sudah berdiri terlebih dahulu dari bangku dan tengah menyampirkan tas ransel ke pundaknya. Si lelaki berkulit putih yang masih mencatat beberapa materi kelas yang ada di papan tulis bergumam kecil. “Ke mana?”

“Ke mana, kek. Cari kafe di Prawirotaman, gitu? Sumpek gue di rumah,” ujar Tarendra dan dibalas dengan kekehan geli dari Nakuladewa. “Ren, rumah lo udah segede istana gitu, gimana bisa sumpek, sih? Sumpek itu, ya, kalau rumah lo segede makam kuburan. Tuh, itu wajar lo omongin sumpek,” sahut Nakuladewa seraya melanjutkan aktivitas menulisnya. “Ada-ada aja, heran.”

Tidak suka dengan tanggapan yang diberi si kekasih, Tarendra akhirnya memilih untuk duduk di bangku yang berada persis di depan Nakuladewa dan menghalangi pandangan lelakinya untuk melihat papan tulis. “Ren! Woi! Minggir, nggak keliatan gue, woi! Mau nyatet, ini!”

“Lo kok cuek banget ke gue?”, tanya Tarendra serius. Ujaran lelaki itu sempat membuat Nakuladewa melirik ke kanan-kiri, tidak ingin jika ada kawan sejurusannya yang mendengar omongan Tarendra barusan. Syukurlah, tidak ada siapapun selain mereka berdua di kelas ini sekarang.

“Apaan, sih? Cuek apaan? Gue tadi pagi bawain lo jahe anget juga dari rumah, lo bilang malem-malem kedinginan, 'kan?”, jawab Nakuladewa. Pandangannya masih berusaha ditujukan ke arah papan tulis sehingga kini tubuhnay sedikit digerakkan ke kanan-kiri agar bisa melihat ke depan walaupun terhalang tubuh Tarendra. “Rendra! Nyet! Awas, ah! Gue mau nulis!”

“Lo nggak lagi selingkuh, 'kan?”

Nakuladewa kira, kata deg! yang sering ada di novel atau cerita fiksi ketika menggambarkan seseorang yang terkejut itu bohong adanya. Namun saat ini, Nakuladewa baru bisa mengakui bahwa semua itu memang benar adanya. Barusan saja, jantung Nakuladewa seakan berhenti berdegup dan membuat efek suara deg!. Parah.

“Hm? Nggak, 'kan, Na?”, tanya Tarendra lagi. Menekan untuk mendapat jawaban dengan segera karena Nakuladewa tampak masih menundukkan kepala, enggan untuk bertatap muka dengannya.

“Selingkuh apaan?”, tanya Nakuladewa dengan nada yang sebisa mungkin ia buat tenang. “Jangan mikir macem-macem, deh. Orang tuh gampang berantem gara-gara curiga berlebihan, tau.”

Tarendra meletakkan dagunya ke besi penyangga kursi seraya memandangi Nakuladewa, berusaha menelaah apakah si kekasih tengah berbohong atau tidak. Namun nihil, hati Tarendra seakan terus meneriakkan kalimat bahwa ia tidak boleh mencurigai Nakuladewa. Meneriakkan pernyataan bahwa kekasihnya itu tidak mungkin berkhianat.

“Na,” panggil Tarendra dan dibalas dengan gumaman Nakuladewa. “Gue udah masuk tahap protektif berlebihan ke lo, kayaknya.” Omongan Tarendra barusan membuat Nakuladewa sedikit mengalihkan perhatian dari tulisannya di binder yang tengah dicatat. “Ren..”

“Lo tau, 'kan? Gue punya banyak kehidupan lain di luar kegiatan kampus? Gue harus ngajar bimbel. Gue kadang harus bantu nyokap jualan jajanan juga di kampus. Gue harus bersosialisasi, Ren.” Nakuladewa kini menatapi kekasih di hadapannya dengan pandangan tajam, lurus-lurus. “Lo juga harus tau, gue punya beberapa temen cewek yang deket sama gue..”

“Acha.” Satu kata yang barusan lolos dari bibir Tarendra membuat Nakuladewa segera terdiam. Seakan tidak mempedulikan ekspresi Nakuladewa yang tampak kaku, Tarendra melanjutkan ucapannya. “Gue cuma nggak mau lo masih berhubungan sama dia. Itu aja.”

“Gue masih nggak suka sama dia,” putus Tarendra. Nakuladewa tersenyum tipis seraya menggeleng-gelengkan kepalanya perlahan. “Orangnya juga nggak kenal sama lo, Ren. Lo malah nggak suka sama dia. Kasian, lah,” ujar Nakuladewa.

“Jadi lo belain dia?”, tanya Tarendra dengan nada ketus. Nakuladewa tertawa. “Tuh. Tuh. Mulai lagi posesifnya,” sindir si lelaki berkulit putih. “Sekarang tinggal lonya aja, Ren. Lo mau percaya sama gue atau nggak. Gue nggak mau banyak ngomong.”

“Gue nggak permasalahin cewek-cewek lainnya, Na. Gue cuma takutin satu hal. Acha,” ucap Tarendra. “Gue tau lo pernah suka ke dia. Bahkan dia yang jadi alasan kita berantem parah buat pertama kalinya selama lima belas taun kita temenan. Wajar 'kan kalau gue takut?”

Nakuladewa mendengus kecil. Catatannya sudah selesai ia tulis ke binder sehingga kini ia memiliki waktu untuk memandangi lelaki di hadapannya dengan fokus penuh. “Tarendra Janunararya,” panggil Nakuladewa. “Gue sayangnya ke lo. Apa lagi yang harus gue sebut, hah? Apa gue harus ngegombal juga biar lo percaya omongan gue ini?”

Tarendra sedikit mengulas senyum. Nakuladewa bukan sosok lelaki yang mudah menyatakan perasaannya, memang. Jadi mendapat perkataan seperti ini pun sudah membuat Tarendra senang bukan main. “Ehehehe,” kekeh Tarendra dan membuat Nakuladewa menatapnya dengan jijik. “Dih. Ngapain lo ketawa kayak gitu?”

“Seneng,” jawab Tarendra dengan nada seperti anak kecil. “Gue selalu seneng kalau lo udah ngaku bahwa lo sayang sama gue,” lanjut si lelaki berkulit kecoklatan dan membuat Nakuladewa segera memukuli pelan kepala kekasihnya dengan binder di genggaman. “Jijik, tai. Udah, ah. Ayo bangun. Nggak usah ke kafe di Prawirotaman, mending nyari bakso di deket perempatan sana. Lebih murah,” usul Nakuladewa seraya bangkit dari kursi dan menyampirkan tas pundaknya.

Bibir Tarendra sedikit mengerucut. “Kafe aja, lah. Gue mau nyari tempat yang adem,” bujuk si lelaki namun Nakuladewa menggeleng cepat. “Mahal! Sayang duit lo! Duit gue juga, sayang!”

Gue yang bayarin, deh. Ya, Na?“ “Ogah! Gue nggak mau dibayarin!“ “Ya, tapi jangan ke tukang bakso..“ “Lo mau ke kafe tapi nggak ditemenin gue, atau ke tukang bakso tapi ditemenin sama gue? Pilih salah satu, nyet.“ “...” “Buruan! Mau yang mana?“ “Ya udah, ayo ngebaso aja.

Dalam hati dan dalam diam, Nakuladewa mengucapkan ribuan maaf kepada Tarendra. Ia tidak tahu harus bagaimana mengatakan kepada Tarendra bahwa ia masih kerap menghubungi Acha, seseorang yang sangat dibenci oleh si kekasih.

Permasalahannya, tidak semudah itu untuk menghilangkan kontak dengan Acha. Nakuladewa pernah ada untuk gadis itu. Nakuladewa pernah hampir menjadikan gadis itu sebagai satu-satunya. Walaupun sedikit, Nakuladewa pernah bertanggung jawab terhadap perasaan yang masih ada di hati Acha. Nakuladewa tidak bisa kabur begitu saja.

Maaf, Tarendra. Maaf.

Kenapa kamu malah lakuin ini, sih, Dek Tan?!“ “Mas. Tolong... tolong kasih aku kesempatan.“ “Aku udah tanya ke temenku yang anak Psikologi. Dia bilang cara begini adalah hal yang tepat buat tenangin Saka yang memberontak terus.“ “Maksudmu, kita biarin Saka lakuin sesuka hati?! Gimana kalau dia akhirnya malah semakin deket sama Krishna, Dek Tan?!“ “Kita harus pisahin dari sekarang!“ “Bukan malah kasih waktu ke Saka buat semakin membelot!“ “Itu malah jadi kayak bom waktu, Dek Tan!“ “Mas, dengerin aku dulu...“ “Kamu yang harusnya dengerin Mas!

Tania terdiam. Barusan Semeru membentaknya. Semeru yang selalu bersikap tenang dan selalu menunjukkan kasih sayangnya kepada Tania, barusan saja membentaknya dengan nada tinggi dan lantang.

Dek, dengerin Mas!“ “Saka itu bom waktu. Semakin kita ulur waktu buat putusin pemicu bom, semakin kita kehabisan waktu. Ketika kita udah kehabisan waktu, kita akan semakin panik. Ketika kita panik, semua malah bakal jadi lebih berantakan, Dek Tan! Bisa jadi nggak cuma bom waktu yang meledak tapi kita yang ada di sekeliling bom waktu itu juga ikut mati!

Mas..“ “Saka itu manusia.. bukan bom waktu..

Ya Allah, Dek! Kamu nggak paham?!“ “Mas yang nggak paham..“ “Apa yang Mas nggak pahamin?!“ “Semuanya, Mas! Semuanya!

Mas nggak ada di sini ketika Saka teriak tadi! Mas nggak liat segimana dia bilang dia mau mati aja karena ngerasa nggak guna! Mas nggak denger segimana dia meraung habis-habisan! Mas... Saka sakit... tapi aku berpikir kita juga nggak berhak bikin dia makin sakit dengan kekang dia terlalu erat...

Jadi? Kamu mau biarin Saka sama Krishna?“ “Kamu mau biarin kita semakin sulit buat genggam Saka nantinya?

Mas.. kasih aku kesempatan.“ “Aku percaya Saka masih bisa aku kendaliin.“ “Kalaupun nantinya Saka udah melampaui batas yang bisa aku handle, aku bakal biarin Mas lakuin hal yang Mas Meru mau.

Tsch.“ “Mas harus beresin semua situasi yang kamu bikin berantakan?“ “Itu maksud kamu, Dek?

Mas.. aku mohon..“ “Kasih aku waktu sebentar aja. Aku yakin aku bisa jagain Saka dengan caraku.

Gimana kalau kamu nggak bisa?“ “Gimana kalau kamu gagal, Dek Tan?

Tania terdiam, bibir bagian bawahnya digigiti. Perasaannya sekarang tidak menentu; sama seperti yang Semeru katakan, Tania juga sesungguhnya ragu. Ia juga sepenuhnya takut. Namun ia mengingat bagaimana tadi Raesaka menangis dan bertindak di luar kendali. Tania lebih tidak kuat melihat Raesaka yang begitu.

Untuk sebentar, biarkan saja Raesaka bermain di posisinya. Sementara itu, Tania akan tetap menjaga si adik sepupu dengan caranya. Paling tidak, bagi Tania itu adalah cara terbaik agar Raesaka tidak lagi terlalu merasakan sakit. Lagipula, ini adalah cara yang benar; sesuai dengan apa yang dibicarakan oleh Acha, 'kan?

Kalau aku gagal..“ “..Mas boleh salahin aku.“ “Mas boleh lakuin sesuai cara Mas.

Mungkin Tania menganggap caranya ini lebih baik daripada cara Semeru. Mungkin Tania menganggap bahwa dirinya jauh lebih manusia daripada Semeru yang tampak tidak memiliki hati untuk mengasihani. Namun Tania tidak menyadari satu hal, yang keduanya bicarakan adalah kehidupan Raesaka.

Bukan kehidupan mereka berdua.