dontlockhimup

Tidur dulu, ayo.

Krishna masih mengusapi rambut Raesaka dengan lembut, sementara si lelaki yang lebih muda tengah berbaring di atas kasurnya dan memegangi tangan kiri kakak tingkatnya dengan sangat erat; seakan tidak rela untuk melepaskan walau hanya sebentar saja. “Saka, hei... lo nggak perlu pegangin gue kayak begini, gue nggak ke mana-mana.”

Krishna mencoba berkelakar walau dari bangku belajar yang diletakkan di samping tempat tidur, tempatnya duduk saat ini, tampak jelas bahwa ia sedang mencoba untuk menjaga jarak dengan si adik tingkat. “Tidur. Lo butuh istirahat.”

Raesaka memandangi tangan Krishna yang sedang ia genggam, pandangannya tampak kosong. Entah sedang memikirkan apa. “Kak Krishna,” panggil Raesaka dan dibalas dengan gumaman kecil dari Krishna yang masih berupaya menenangkan si adik tingkat. “Saya nggak tau harus gimana lagi. Saya udah marah ke Mbak Tania sama Mas Semeru. Saya udah bentak mereka kayak orang gilaㅡ”

“Sssh, udah. Jangan ngomong gitu,” sela Krishna dengan lembut. “Lo bukan orang gila, Saka. Lo sedikit lepas kendali dan gue pikir Tania paham soal itu. Dia nggak bilang kalau dia benci ke lo, kok. Dia malah khawatir, makanya nyuruh gue dateng ke sini.”

Keheningan menyelimuti keduanya setelah Krishna mengujarkan kalimat barusan. Raesaka tidak memberi sahut, begitupun dengan Krishna yang hanya memandangi setiap inci bagian tubuh Raesaka yang terlihat.

Beberapa bagian dari lengan si adik tingkat tampak sedikit membiru, entah mengapa dan bagaimana. Krishna melirik ke sekeliling kamar yang tampak berantakan, tebakannya ada beragam; bisa jadi Raesaka terbentur akan sesuatu hingga menjadikan beberapa bagian lengannya membiru, atau bisa jadi karena tangisannya yang cukup hebat. Semenjak Krishna mengenal Raesaka, ia mempelajari lebih banyak hal tentang hemofilia dan sepengetahuannya, menangis berlebihan pun bisa menjadi alasan bagi penderitanya untuk mendapat luka di tubuh.

“Kak Krishna,” Krishna sedikit terhentak karena ketika fokus perhatiannya tertuju ke tubuh Raesaka yang membiru, ia dipanggil secara tiba-tiba. “Hm? Apa?”, balas Krishna lembut. “Masih susah tidur?”

Raesaka tidak lagi menggenggam tangan Krishna dengan terlalu erat. Genggamannya dikendurkan, namun kini ibu jari Raesaka tengah mengusapi punggung tangan Krishna; lembut. “Kak..”

“Hm?”

”..Kakak bisa temenin saya?”

Ujaran Raesaka membuat Krishna sedikit mengulas senyum. “Lho, ini 'kan gue lagi temenin lo, Saka. Nih, gue ada di samping lo. Ini namanya nemenin, 'kan?”, tanya Krishna yang dibalas dengan gelengan kepala dari Raesaka. “Nggak, Kak.”

“Bukan nemenin yang kayak begini,” ujar Raesaka dan membuat Krishna menyipitkan mata dan mengernyitkan alisnya dengan sedikit keheranan. “Maksud saya,” lanjut Raesaka. “Temenin saya, entah sebagai apapun itu. Untuk status apapun itu. Saya mau Kakak ada di samping saya, bareng-bareng sama saya buat lewatin berbagai waktu yang berat.”

Tatapan Krishna tampak sedikit nanar setelah Raesaka mengujarkan kalimatnya. Ia terlihat bimbang. “Maksud lo?”, tanya Krishna, berupaya memastikan. “Lo nembak gue?”

Raesaka menggelengkan kepalanya. “Saya bukan nembak, Kak. Saya bukan minta Kakak buat meneyrahkan diri sebagai milik saya. Saya ngajak Kakak buat jalan barengan sama saya, dengan status apapun itu. Nggak masalah kalau Kakak anggep saya kacung atau apa, saya nggak keberatan. Yang penting, saya mau Kakak izinin saya buat ada di dekat Kakak terus.”

“Karena buat sekarang, saya nggak kepikiran akan gimana jadinya kalau saya berada di ruang yang sama dengan Kakak tapi Kakak bersikap nggak peduli ke saya. Sakit, Kak. Rasanya dada saya sakit bukan main ketika Kakak bersikap seakan nggak kenal saya...”

Krishna terdiam. Tangannya yang semula sedang mengusapi rambut Raesaka juga berhenti bergerak. “Saka,” panggil Krishna dan dibalas dengan gumam kecil dari si adik tingkat. “Gue nggak tau apakah ini adalah hal gila atau gimana...”

”...tapi apa lo mau jadi milik gue tanpa status?”

Raesaka mengernyitkan dahi, tampak bingung dengan maksud ujaran Krishna barusan. “Maksud Kakak, gimana?”, tanya si lelaki yang lebih muda, meminta penjelasan lebih. Krishna menghela nafas dalam-dalam sebelum akhirnya menjelaskan maksud pembicaraannya tadi.

Be mine.” “Status lo, jadi pacar gue.”

Keduanya tidak memberi jawab atau apapun respon setelah kalimat Krishna terucap. Raesaka diam, Krishna juga diam. Hanya detik jarum jam yang berbunyi, bergulir sekon demi sekon, seakan menggambarkan sebagaimana kini laju nafas keduanya juga terembus serupa. “Gue nggak tau apa ke depannya kita bakal bisa lanjut ke jenjang yang lebih serius atau nggak,” ujar Krishna. “Tapi kalau lo minta gue temenin lo, gue cuma mau dengan status yang jelas.”

“Bukan status sebagai apapun boleh”, ujar Krishna lagi. “Kalau lo mau gue temenin lo, biarin gue jagain lo sebagai seseorang yang memiliki lo. Bukan sebagai orang dalam hubungan abstrak yang nggak jelas statusnya apa.”

Be mine.” Lagi, Krishna mengulang ujarannya. “Biarin gue jagain lo dan lo berhak memiliki gue dalam status yang jelas. Ya, Saka?”

Raesaka mengulas senyum, tipis. Di malam yang melelahkan ini, akhirnya ada satu alasan baginya untuk menyunggingkan senyumnya. Adalah karena dirinya, Krishna. Anggukan kecil diberi oleh Raesaka, tatapannya hanya ditujukan lurus-lurus ke arah si lelaki di hadapannya. “Iya, Kak.”

“Saya mau, jadi milik Kakak.”

Kiri di sini, Bang.

Krishna menepuk pundak si pengemudi ojek online di hadapannya dengan sedikit terburu-buru. Ketika turun dari jok penumpang, Krishna mengeluarkan selembar uang dengan tergesa dan menyerahkannya kepada si pengemudi. “Ambil kembaliannya, Bang,” ujar Krishna seraya mengembalikan helm yang dikenakannya sepanjang perjalanan kepada si pemilik.

Tanpa Krishna sadari bahwa ia baru saja menyerahkan uang lima puluh ribu untuk perjalanan sejauh empat kilometer saja. Rugi bandar.

Namun semua tidak menjadi perhatian utamanya. Bagi Krishna, yang sekarang harus ia lakukan adalah menemui Raesaka dan memastikan kondisinya tidak begitu buruk. Ya, Krishna tahu bahwa kondisi Raesaka pasti tidak dalam posisi baik-baik saja; maka kali ini Krishna hanya bisa berharap kondisi adik tingkatnya itu tidak begitu parah.

Tok. Tok. Tok.

Krishna mengetuk pintu rumah yang terlihat cukup megah di hadapannya. Pintu pagarnya tadi dibuka begitu saja namun pintu rumahnya terkunci. Perlu beberapa saat hingga sosok Tania muncul di balik pintu dan membukakan jalan agar Krishna dapat masuk ke dalam rumah. Bukannya Krishna tidak tahu, ia bisa melihat dengan jelas bagaimana kini Tania memandanginya dengan ekspresi yang tidak suka.

“Tan..”, ujar Krishna, terdengar sedikit ragu. “..Sakaㅡ gimana?”

“Kak.” Tania tidak mengindahkan pertanyaan Krishna barusan dan malah membuka topik pembicaraan yang baru. “Aku nggak akan bilang ke Kakak buat jagain Saka atau gimana. Nggak, Kak. Aku masih di pihak yang menentang hal ini buat terjadi..”

Krishna meneguk ludahnya dengan ekspresi takut-takut. Sumpah, situasi saat ini persis seperti ketika seorang lelaki pertama kali datang ke rumah kekasih dan bertemu dengan salah satu anggota kelaurganya untuk meminta restu. Krishna merasa Tania sedang menasehatinya. “Tan, gue juga sebenernya nggak mau kayak begini..”, ujar Krishna, mencoba membela diri. “Please, nggak ada yang mau. Nggak ada yang mau jadi beda, Tan. Gue yakin Saka juga pasti nggak mau kayak begini.”

“Tapi Kakak yang udah bikin adekku jadi begini!”, Tania sedikit berteriak, membuat Krishna menyipitkan matanya dan menatap Tania lurus-lurus. “Tan..”

“..alasan gue ke sini bukan buat berdebat soal norma bener atau salah sama lo. Please, biarin gue ketemu sama Saka dulu. Lo tau, 'kan? Semakin lama kita ulur waktu buat tenangin dia, bisa-bisa situasinya semakin parah.”

Tania seakan disadarkan akan situasi yang tengah terjadi. Dengan langkah agak tergesa, Tania menginstruksikan Krishna untuk mengikutinya. Krishna melakukan sesuai yang diminta, ia berjalan di belakang Taniaㅡ mengikuti langkah si gadis hingga berhenti di depan pintu sebuah kamar yang ada di lantai dua.

“Ini kamarnya,” ujar Tania.

Krishna mengangguk. “Mau lo atau gue yang ketok?”, tanya si lelaki. Tania diam sejenak, bibirnya digigiti kuat-kuat; ekspresi di wajahnya tergambar jelas sangat dipenuhi gurat keraguan. Hingga akhirnya Tania menggeleng dan berjalan mundur beberapa langkah. “Kakak aja.”

“Aku mau balik ke kamarku,” lanjut Tania dan semakin melangkah menjauh dari Krishna yang masih berdiri di depan pintu kamar Raesaka. “Tolong tenangin Raesaka dulu, Kak. Aku nggak yakin dia bisa tenang walau aku berusaha sekeras mungkin.”

Bohong. Tania berbohong. Sesungguhnya ia merasa ketakutan untuk melihat Krishna nanti berhadapan dengan Raesaka. Ia tidak berani membayangkan kemungkinan nanti Raesaka akan luluh di hadapan Krishna, sementara di hadapan Tania dan Semeruㅡ adik sepupunya itu malah memberontak.

Tania takut ia tidak cukup kuat untuk melihat semua itu terjadi di hadapannya, jadi ia lebih baik mundur dari sekarang.

Krishna kini hanya sendirian berdiri di depan pintu kamar Raesaka. Hanya ada suara detik jarum jam yang terus bergulir seiring dengan tangan yang bergerak ragu di depan daun pintu kamar di hadapannya.

Ketuk. Tidak. Ketuk. Tidaㅡ

Tok. Tok. Tok.

Tiga kali ketukan di daun pintu kamar Raesaka dilabuhkan. Tidak ada jawaban untuk beberapa saat hingga akhirnya Krishna kembali mengetukkan punggung tangannya ke daun pintu seraya diiringi panggilan singkat. “Saka?”

Suara langkah kaki yang tergesa segera terdengar cepat menghampiri pintu kamar. Dari seberang ruangan, di balik pintu dimana Krishna berdiri saat ini, ia bisa merasakan keberadaan seseorang di sana. Krishna dan Raesaka berdiri dengan hanya dipisahkan selembar daun pintu diantara mereka.

“Kak?”, panggil suara di seberang sana. Krishna menggumam kecil sebagai jawaban dari tanya Raesaka. “Iya, ini guㅡ”

Pintu terbuka. Kalimat Krishna tidak sempat diselesaikan karena Raesaka sudah keburu membuka pintu dan memeluk tubuh Krishna erat-erat. Sangat erat, bahkan hingga membuat kaki si kakak tingkat sedikit terangkat. “Saka.. hei, Saka. Wait, gue nggak bisa nafa..”

Entah apakah Raesaka menganggap tubuh Krishna sebagai ember untuk menumpahkan semua air matanya atau bagaimana, namun sekarang lagi-lagi Raesaka menangis di pelukan Krishna. Raesaka sendiri pernah menganggap bahwa dirinya adalah lelaki yang kuat, namun entah mengapa di pelukan Krishnaㅡ Raesaka merasakan dirinya seperti menemukan tempat peristirahatan ternyaman.

Dimana ia bisa meluapkan segalanya tanpa harus takut dihakimi atau dinilai secara sebelah mata. Di pelukan Krishna, Raesaka merasakan semua itu. Sementara itu, Krishna yang masih dipeluki erat-erat akhirnya hanya bisa mendaratkan telapak tangan kanannya ke atas puncak kepala Raesaka. Kembali, mengusapinya lembut kemudian berujar pelan.

“Ssshh, udah..” “Jangan nangis.” “Lo ada sama gue, Ka.” “Lo aman sama gue, di sini.” “Udah, tenang aja. Lo nggak apa-apa.”

Dari kamarnya di lantai satu, Tania menutup telinganya rapat-rapat. Ia menolak untuk mendengar apa yang Krishna ujarkan kepada Raesaka, walaupun itu hanya bisikan atau suara sekecil apapun. Tania menggeleng-gelengkan kepalanya, mencoba menolak segala pemikiran perihal segala hal yang mungkin terjadi saat ini di kamar atas.

Antara Krishna. Antara Raesaka. Antara mereka, berdua.

Halo, Dek?“ “Mas ngomong apa?“ “Hah? Apanya, Dek?“ “Mas Meru ngomong apa ke Kak Krishna?

...“ “Jawab, Mas.“ “Jangan bikin aku kayak orang bego karena terus dikasihanin sama orang-orang yang kenal aku, tolong.“ “Dek, Mas tawarin posisi danton ke dia.“ “Setelah Mas pikir, kayaknya Krishna bakal lebih tahan buat berada di depan banyak orang. Mental dia buat tampil udah kebukti dengan jadi juara danton tahun lalu.“ “Tapi dia nolak, dia bilang mau kasih kesempatan ke kamu.“ “Apa Mas salah ngomong begitu?

Apa lagi?“ “Hah?“ “Mas ngomongin apa lagi?“ “...“ “Mas ngomongin apa lagi ke Kak Krishna?“ “Nggak ada.“ “Cuma itu aja.

Raesaka mengepalkan tangannya kuat-kuat. Tidak tahu harus bersikap bagaimana. Apakah ia harus percaya? Ataukah ia harus menganggap ucapan Semeru hanya omong kosong belaka, seperti dugaannya saat ini?

Entah, sungguhㅡ entah. Sama sekali tidak tahu. Raesaka tidak tahu kemana tindaknya harus berlabuh.

Jangan bohong.“ “Hah?“ “JANGAN BOHONG, MAS!“ “MAS MERU PASTI NGOMONG SESUATU, 'KAN?“ “KENAPA, SIH, MAS?!“ “AKU HARUS GIMANA LAGI?!“ “AKU HARUS APA LAGI BUAT BANGGAIN SEMUA?!“ “APA AKU HARUS MATI SAMBIL SUJUD DI HADAPAN KALIAN BIAR KALIAN PUAS, HAH?! JAWAB, MAS! APA AKU HARUS BEGITU BIAR MAS MERU PUAS?!

“SAKA!”

Pintu kamar Raesaka terbuka lebar-lebar. Sosok Tania yang berdiri di ambang pintu dengan sebelah tangan memegangi kenop pintu tampak memasang wajah ketakutan ketika melihat Raesaka berteriak kencang-kencang. Terlihat jelas, marah.

MAS MERU BISA BERHENTI IKUT CAMPUR, NGGAK?!“ “Dek, pikirin badan kamu. Kamu nggak boleh emosi beginㅡ“ “MATI AJA SEKALIAN! MATI AJA AKU, MAS!“ “HIDUPKU SELALU DIATUR KALIAN!“ “BUAT APA AKU MASIH HIDUP?!“ “AKU ANAK NGGAK GUNA!

Mengenyampingkan semua rasa takutnya, Tania berderap menghampiri Raesaka dan berusaha meraih ponsel di genggaman tangan si adik sepupu. Air mata sudah menggenang di pelupuk mata Tania, merasa amat sakit melihat adik sepupunya kehilangan kendali atas emosinya seperti saat ini. “Dek! Adek! Dek, kamu nggak boleh ngomong gitu, Adek!”, seru Tania seraya meraih ponsel Raesaka. Berhasil. Ponsel itu dapat Tania rebut tanpa kesulitan berarti.

Namun sekarang Raesaka semakin kehilangan kontrol atas emosinya. Ia berteriak kencang-kencang di dalam kamar, bahkan menendangi kursi dan meja belajarnya kuat-kuat hingga membuat Tania ikut berteriak karena terkejut. “Raesaka! Berhenti! Kamu nggak boleh beginㅡ”

KELUAR!“ “KELUAR, MBAK!

Tania merasakan tubuhnya gemetar bukan main. Barusan Raesaka menunjuk ke arahnya dengan penuh amarah kemudian mengarahkan jari telunjuknya ke arah pintu kamar, menyuruh Tania untuk keluar dari sini. Segera. “Dek.. Mbak mohon, tenang dulu..”

PERGI, MBAK!

Raesaka tidak mendorong tubuhnya. Tidak ada bentuk kekerasan fisik yang diberi dari si lelaki kepada Tania. Raesaka hanya berteriak, namun entah mengapa itu terasa lebih menyakitkan dibanding banyak pukulan bagi Tania.

Dengan masih memegang ponsel Raesaka di tangannya, Tania berjalan mundur dengan langkah takut-takut. Melangkah keluar, meninggalkan Raesaka yang sekarang sedang berjongkok di sudut ruangan dengan kedua tangan yang menjambaki rambutnya sendiri kuat-kuat.

Suara tangis terdengar di kamar Raesaka. Suara tangis pilu, biru.

“Makasih banyak, ya, Acha.”

Tania baru saja selesai memasang sepatu ketsnya dan membetulkan posisi tas pundaknya sebelum menyampaikan kalimatnya barusan kepada seorang gadis berkulit sawo matang di hadapan, Acha. Gadis yang diberi kalimat hanya mengangguk kecil seraya menyunggingkan senyum, manis. “Nggak apa-apa, Tania. Aku seneng kalau kamu percaya bahwa aku bisa bantuin masalahmu.”

Keduanya berjalan menuju pagar dari rumah bergaya Belanda, kediaman milik keluarga Acha. Sepanjang perjalanan, Tania terlihat sedikit melamun, seakan pikirannya dipenuhi oleh banyak hal. Acha yang menyadari hal itu segera menepuk pundak Tania perlahan. “Tania, hei. Mau aku minta adekku anterin kamu pulang, nggak? Kondisi kamu kayaknya agak riskan kalau pulang sendiri, lho.”

Ujaran Acha bukannya tanpa alasan. Pikiran Tania memang terlalu banyak bercabang ke berbagai hal, namun lebih berpusat kepada si adik sepupu, Raesaka. Adik sepupunya yang semenjak kemarin malam bertingkah aneh dengan membangkang dan memutarbalikkan semua ucapan Tania. Adik sepupu yang biasanya menurut namun kemarin malah bertindak sangat di luar kewajaran; memberontak.

“Acha,” Tania berujar lirih, tampak jelas matanya tidak fokus memandangi apapun; kosong. “Apa benerㅡ dengan aku bersikap sesuai dengan yang kamu omongin, semuanya bakal membaik?”

Acha mengangguk kecil. Sebelah tangannya mengusapi pundak Tania, berharap bisa memberi semangat kepada si teman walau hanya sedikit. “Iya, Tania. Insya Allah bisa. Aku belajar di kelas, anak yang semula nurut banget ke siapapunㅡ bisa jadi dia membangkang ketika udah sampai di satu titik yang bikin dia nggak tahan lagi. Mungkin sepupumu juga begitu,” ujar Acha. “Dan buat menghadapi seseorang yang kayak begitu, kamu nggak boleh balas dengan tindak dingin, ya, sayangku?”

“Perlakuin dia kayak biasa aja, Tania. Lawan dia dengan tetap jadi kamu yang biasa, kamu yang baik. Karena ketika kamu lawan dengan kekerasan juga, maka nggak akan ada jalan keluarnya.”

Kalimat dari Acha membuat Tania menggigiti bibirnya sendiri, masih merasa ragu. “Tapi, Cha... gimana kalau dia malah anggap kebaikanku ke dia itu sebagai lampu hijau buat dia tetap bersikap seenaknya?”, tanya Tania. Acha menggeleng kecil, “Insya Allah bisa, Tania. Asal kamu juga tetap ajak dia perlahan-lahan buat berubah, ya? Perlakuin aja dia kayak biasa. Dari apa yang aku denger berdasarkan ceritamu, usia sepupumu itu masih ada di tahap usia labil. Jangan malah dibalas dengan tindak keras, nanti dia malah makin menjauh dari kamu, lho. Baik-baikin aja dulu, bikin dia tetap ada di ruang batas dimana kamu bisa raih dia. Ya, Tania?”

“Tarik lagi sepupu kamu yang sempet menjauh dengan cara persuasif. Kayak, ketika dia mau pergiㅡ ya udah, iyain aja dulu. Nggak usah ditanya macem-macem. Bersikap aja seakan kamu percaya ke dia bahwa sepupumu itu nggak akan ngapa-ngapain. Bikin dia percaya bahwa kamu masih mbak sepupunya yang sama.”

“Lalu,” Acha tersenyum tipis sebelum melanjutkan kalimatnya. “Ketika adik sepupu kamu udah kembali percaya ke kamu, dia bakal cerita tentang hari-harinya lagi. Nah, ketika dia ceritain harinyaㅡ kamu jangan terlalu kepo, ya, Tania?”, ujaran Acha sempat membuat Tania mengernyitkan dahi. “Iya, soalnya kalau terlalu kepo, nantinya dia jaga jarak lagi. Kamu dengerin aja ceritanya, baru ketika dia tanya “menurut mbak gimana?” di saat itu kamu bisa kemukakan pendapat kamu.”

“Oke, Tania?”, tanya Acha, lembut.

Tania mengangguk, walaupun terlihat jelas gurat keraguan tergambar di wajahnya. Namun Tania percaya, Acha mengetahui hal lebih dalam mengenai psikologi yang menjadi bahan perkuliahannya itu pantas untuk dipercayai. Maka pelukan kecil diberi diantara dua gadis sebelum Tania mengucap permisi kepada si teman, Acha.

Baiklah. Sepulangnya Raesaka ke rumah, Tania akan bersikap seperti biasa. Seperti Tania yang biasanya. Seperti ia yang semestinya, tanpa berubah apapun.

Sorry, Kak. Lama banget nunggunya, ya?

Seorang lelaki bertubuh agak kekar mengalihkan pandangan dari layar ponsel di tangannya. Pandangannya kini tertuju kepada seorang lelaki berkulit putih dan mengenakan kaus hitam serta celana jeans berwarna biru dongker yang sedang menarik bangku berkaki besi di hadapannya ke arah belakang. Terlihat jelas nafas si lelaki yang baru saja datang itu tersengal-sengal, sepertinya memang memburu waktu untuk dapat tiba di tempat ini secepatnya.

“Maaf, Kak. Kelasnya Bapak Suhendrik selesainya lama banget. Biasanya setengah lima beres, sekarang hampir jam lima beresnya. Sorry banget, Kak, udah bikin nunggu lama.”

Krishna baru saja tiba di foodcourt milik sebuah mall yang cukup ramai dikunjungi oleh para penduduk kota. Sesuai dengan perjanjian yang dibuat, Semeru sudah datang terlebih dahulu; karena sesungguhnya Krishna datang terlambat lima belas menit dari waktu perjanjian mereka berdua. “Lumayan,” jawab Semeru seraya merogoh saku celana kenaannya dan mengeluarkan dompet berwarna hitam dari dalam sana. “Pesen makanan dulu, gih,” ujar si senior kepada Krishna, dompet berwarna hitam di tangannya kini disodorkan kepada si junior di hadapan.

“Nggak, Kak. Makasih. Tadi siang saya udah beli makan di kantin,” tolak Krishna secara halus. Si lelaki yang lebih muda terlihat masih mencoba mengatur nafasnya yang sedikit memburu, merasa lelah sehabis menerobos barisan orang-orang yang menaiki eskalator agar bisa sampai di tempat perjanjiannya dengan Semeru lebih cepat. “Kakak udah pesen makan? Kalau belum, biar saya yang pesenin.”

“Anak kuliahan yang masih minta duit ke bokap-nyokap mah jangan suka sok mau traktir, deh,” guyon Semeru dan dibalas dengan kekehan tawa dari Krishna. Walau ucapan Semeru terdengar pedas namun Krishna tahu bahwa kakak tingkatnya itu hanya berniat bercanda jadi tidak ada perasaan kesal yang dirasa. Semeru kembali menyodorkan dompetnya kepada Krishna, seakan memaksa adik tingkatnya itu untuk memesan makanan sebelum mulai berbincang. “Gue udah pesen Pepper Lunch, paling bentar lagi dianter. Lo pesen makan dulu, gih. Biar enak ngobrolnya.”

Krishna paham bahwa membiarkan seniornya itu makan sendirian juga bukanlah merupakan hal yang baik. Maka dengan kedua tangan yang didekatkan dan dengan amat sopan, Krishna menerima sodoran dompet milik Semeru. “Gih, pesen apaan kek,” ujar Semeru dan dibalas dengan anggukan dari Krishna.

Si lelaki berkulit putih bangkit dari bangkunya dan berjalan mengelilingi berbagai kedai makanan yang ada di foodcourt. Setelah selesai dengan keraguannya, akhirnya Krishna memutuskan untuk memasan seporsi batagor dan segelas jus stroberi. Sengaja, ia tahu diri untuk tidak memesan makanan yang harganya mahal.

Dengan membawa nampan berisi sepiring batagor dan segelas jus stroberi, Krishna berjalan kembali ke meja dimana Semeru berada. Rupanya si kakak tingkat sudah menyantap hidangan yang ia pesan, Pepper Lunch. “Lah? Batagor doang? Emang kenyang?”, tanya Semeru ketika melihat isi nampan yang diletakkan oleh Krishna di atas meja. “Nasi, lah. Duit di dompet gue kurang, emang?”

Krishna tersenyum tipis seraya menggelengkan kepala. Dompet hitam milik Semeru dikembalikan kepada si empunya, “Nggak, Kak. Sayanya emang lagi pengen batagor. Ini dompetnya, Kak.”

Semeru berdecak, “Ampun, dah, Krish. Bikin gue nggak enak makan aja. Gue mesen nasi daging, lo cuma batagor,” gumam Semeru seraya menerima sodoran dompetnya dan kembali memasukkan benda itu ke dalam saku. “Kalau masih laper, bilang. Beli yang lain juga nggak apa-apa,” lanjut Semeru dan dibalas anggukan dari Krishna.

Untuk beberapa saat, kedua lelaki yang duduk berhadapan itu menyantap makanannya dengan tenang. Tidak ada perbincangan yang dibagi karena mereka berdua sudah terbiasa untuk tidak mengobrol di ketika menyantap makanannya; didikan Paskibra. Maka butuh sekitar sepuluh menit lebih hingga hotplate di hadapan Semeru tandas isinya, begitupun dengan Krishna yang sudah meletakkan alat makannya dalam posisi terbalik di atas piring batagornya.

“Masih laper, nggak?”, tanya Semeru sementara tangannya menyeka bekas sisa makanan di sekitar mulutnya dengan tisu. Krishna menggeleng, “nggak, Kak. Udah kenyang, alhamdulilah.”

Semeru tertawa kecil. “Alhamdulilah?”, gumam Semeru. “Kalau lo nggak pake kalung salib di leher lo, kayaknya gue bakal percaya-percaya aja kalau lo bilang lo itu muslim,” ujar Semeru. Tisu di tangan kanannya dipilin hingga berbentuk bulatan kecil kemudian diletakkan begitu saja di atas mangkuk hotplatenya. Krishna yang mendengar ujaran Semeru membalas dengan kekehan tawa kecil. “Ya, gimana Kak? Saya dari dulu sekolahnya di sekolah negeri, sih. Temen saya mayoritas muslim, jadi yaㅡ kebawa aja sama semua kebiasaannya.”

“Hmm..”, Semeru menggumam kecil. “Ya bagus, sih. Toleransi lo ke sesama pasti lebih gede dibanding orang-orang pada umumnya,” lanjut Semeru. Krishna hanya membalas dengan anggukan dan bibir yang sedikit mengulas senyum.

Beberapa menit setelahnya, Semeru dan Krishna terdiam di bangkunya masing-masing. Semeru masih menyesap minumannya dari sedotan, sementara Krishna masih menanti hingga si kakak tingkat membuka suara untuk membicarakan aksud tujuan pertemuan mereka hari ini.

“Krishna,” panggil Semeru, membuat Krishna secara refleks menegakkan posisi duduknya; kebiasaan di dalam Paskibra, sepertinya. “Ya, Kak?”

“Lo tau, 'kan, perihal si Saka suka sama lo?”

Untung saja Krishna tidak sedang menyesap minumannya. Jika iya, sudah pasti ia akan tersedak dan bisa jadi minumannya malah keluar dari hidung. Yuck, jangan dibayangkan. Krishna hanya terdiam, membatu. Semeru yang memperhatikan tingkah laku Krishna, sedikit tersenyum tipis. Bukan senyuman yang menandakan bahagia atau apa, Semeru merasa miris.

“Lo udah tau, 'kan?”, tanya Semeru lagi, kali ini dengan nada penuh penekanan. Semeru sedikit mencondongkan tubuhnya yang semula bersandar pada punggung kursi, “Krish, gue tau lo bukan kambing congek. Jawab.”

Padahal mereka sedang berada di foodcourt mall yang cukup ramai. Padahal ada banyak orang berlalu-lalang di sekitar Krishna dan Semeru namun Krishna merasakan situasinya saat ini sama persis seperti ketika mereka berada di masa pelantikan di mana para senior akan menggencet para junior dengan kalimat yang terdengar sangat mengintimidasi.

Si lelaki berkulit putih mengepalkan tangannya, emosinya bercampur aduk. Pada akhirnya, jawaban jujur diberikan. Krishna mengangguk dan membuat Semeru kembali menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Tangan si lelaki bertubuh kekar itu dilipat di depan dada sementara kepalanya ditengadahkan ke atas; memandangi langit-langit mall yang sangat tinggi. “Lalu lo?”

Krishna merasa seperti dihantam oleh batu yang sangat besar. Semeru menanyakan pertanyaan itu dengan sangat tenang namun Krishna tahu, ada jutaan emosi bercampur aduk menjadi satu di hati Semeru. “Lo suka juga sama adek sepupu gue?”

Krishna menggigiti bibir bawahnya. Lidahnya kelu. Otaknya memerintahkan Krishna untuk mengatakan tidak; untuk mengelak dan paling tidak menyelamatkan mereka berdua. Namun hatinya menolak. Hatinya menyuruh Krishna untuk mengaku saja, apalagi kemarin mereka berdua sudah saling mengaku bahwa mereka memiliki hati untuk satu sama lain.

“Saya...nggak tahu, Kak.”

Tidak tahu. Krishna menganggap bahwa itu adalah jawaban paling aman diantara semua pilihan yang ada. Krishna tidak bisa mengabaikan hatinya namun juga tidak bisa menyalahkan pemikiran otaknya sendiri. Pada akhirnya, jalan tengah dipilih : tidak tahu.

Semeru tidak lagi bersedekap dada. Tangan kanannya kini diletakkan di atas meja dan jemarinya mengetuk-ngetuk ke permukaan datar meja, menimbulkan ketukan suara yang tidak jelas ritmenya. “Krish.”

“Gue bukan orang yang suka minta imbalan atau gimana,” ujar Semeru dengan tatapan yang ditujukan kepada Krishna lurus-lurus. Sementara yang ditatapi, Krishna, hanya bisa memandangi si kakak tingkat dengan sedikit takut-takut. “Tapi kalau gue boleh ngomong...”

“...gue pernah ada di baris paling depan buat perjuangin lo biar diterima di Paskibra GAMA.”

Degup jantung Krishna seperti berhenti untuk sepersekian detik. Entah mengapa, Krishna seperti bisa menebak ke arah mana pembicaraan mereka akan berlangsung. Seakan tidak mempedulikan bagaimana ekspresi Krishna kini tampak kaku seperti batu, Semeru kembali berujar. “Lo tau, 'kan? Mayoritas anggota Paskibra di tahun angkatan gue lebih setuju buat ambil Raka sebagai danton, bukannya lo. Tapi karena gue ngotot lo bisa, mereka kasih lo kesempatan buat jadi danton.”

Krishna menundukkan kepalanya. Ia sudah tahu dengan jelas, apa maksud Semeru membicarakan masa lalu antara ia dengan dirinya sendiri. “Jadi, maksud Kakak...”

“...saya nggak boleh suka ke Raesaka?”

Pertanyaan Krishna membuat Semeru menyipitkan matanya. Alisnya sedikit berkerut. “Lo suka ke adek sepupu gue, Krish?”, tanya Semeru; sekali lagi, mengulang pertanyaan yang sama. Lagi, Krishna tidak bisa memberikan jawaban pasti. “Saya...nggak tau, Kak.”

“Itu dia, Krish. Itu dia.” Semeru sedikit memukulkan telapak tangannya ke meja sehingga sedikit membuat denting dari alat makan di atas meja mereka menjadi sedikit berbunyi. “Mumpung semuanya masih belum terlambat, mumpung semuanya masih di tahap nggak tau...”

“...gue harap lo bisa jauhin Raesaka.”

Hati Krishna saat ini seperti menjerit. Hati Krishna seperti memintanya untuk mengatakan kepada Semeru bahwa perasaannya kepada Raesaka bukanlah di tahap tidak tahu semata. Krishna tahu, Krishna pahamㅡ bahwa ia suka Raesaka.

Namun apa mau dikata? Nasi sudah menjadi bubur. Semeru sudah dua kali menanyakan pertanyaannya dan dua kali pula Krishna menjawab tidak tahu. Mana mungkin sekarang dia akan menyela dan mengatakan bahwa sesungguhnya ia sangat menyukai adik sepupu si kakak tingkatnya itu, 'kan?

“Krish. Adek sepupu gue itu punya banyak tekanan dari sana sini. Semenjak kecil, dia dipaksa buat jadi sempurna. Semenjak kecil, dia nggak punya kehidupan lain selain belajar,” ucap Semeru seraya memandang Krishna lurus-lurus. “Dan sekarang, dia udah capai semua yang terbaik. Dia bisa bikin semua orang bangga, Krish.”

“Coba lo bayangin. Kalau tiba-tiba dia nekat ngaku ke siapapun bahwa dia suka cowok, apa yang orang-orang bakal omongin, Krish? Kalau Saka bilang bahwa dia suka cowok, apa lo bisa bayangin seberapa banyak orang yang bakal kecewa ke dia? Seberapa banyak orang yang semula bangga dan anggap dia hebat, nantinya cuma bakal mikir bahwa dia itu mengecewakan dan payah, bahkan lebih parah lagi; hina?”

Sungguh, demi apapun Krishna sebetulnya sudah mengetahui bahwa tidak akan ada akhir yang baik bagi ceritanya dengan Raesaka. Namun Krishna berpikir, semesta pasti tidak akan setega itu dengan hanya membiarkan kisah mereka berakhir hanya dalam satu malam.

Krisha kira semua akan begitu. Rupanya, semesta sekejam itu.

Dalam satu malam, semua harap bahagia harus kandas. Dalam satu malam, perasaan berbunga berubah menjadi padang tandus tak berbentuk. Dalam satu malam, semuanya sia-sia.

“Jadi...”, Krishna semakin menegratkan kepala tangannya. Kepalanya kini sudah ditundukkan dalam-dalam, seakan menolak untuk menatapi Semeru di hadapannya. “...saya harus gimana, Kak?”

Semeru tahu, Krishna sudah sangat paham akan maksud pembicaraannya. Maka tanpa basa-basi lagi, Semeru mengucapkan pemikiran yang sudah ia susun semenjak kemarin dulu. “Gue nggak akan adain seleksi danton.”

“Gue bakal serahin posisi danton ke lo, Krish.”

“Untuk membalas lo yang udah bersedia jauhin adik sepupu gue, ini reward buat lo, Krish.” Krishna merasakan giginya sekarang terasa sakit karena ia menekannya kuat-kuat di dalam mulut. Krishna merasakan semua emosinya bercampur jadi satu. Marah, kesal, namun tidak bisa dipungkiriㅡ ia sedikit merasa goyah akan tawaran danton yang diberi oleh Semeru saat ini. “Lo bisa jadi danton. Lo batasin lagi hubungan lo sama Saka. Lo cuekin dia, perlakuin seakan-akan lo sama dia cuma senior sama junior. Itu aja, nggak ada yang lain.”

“Jangan khawatir,” lanjut Semeru. “Soal ngomong ke senior, gue bisa atur. Gue bakal bilang kalau pemikiran gue berubah dan gue pikir lo bakal jauh lebih baik karena udah pernah jadi juara danton tingkat nasional sementara Raesaka belum punya pengalaman apa-apa.”

“Lo tinggal lakuin kayak biasa.” “Jadi Krishna yang hebat.” “Jadi Krishna yang luar biasa.”

Semeru sedikit lebih mencondongkan tubuhnya. “Gimana, Krish? Deal?”

Krishna perlahan mengangkat kepalanya kemudian memandangi kakak tingkat yang dikaguminya itu dengan tatapan tajam dan pandangan lurus-lurus. Sekilas, Semeru merasakan bulu kuduknya berdiri karena sosok Krishna tampak sangat bisa membuatnya merasa sungkan; walau hanya sekejap. “Kak..”, ucap Krishna dengan perlahan. “..sayaㅡ”

Harum cottonwood tercium lembut dari kamar hotel bernomor 1403. Tidak begitu menyengat, namun juga tidak terlalu kelewat hambar. Semuanya terasa sangat pas; seakan memang sudah semestinya begitu. Berada pada tempatnya, berada pada sesuatu yang memang sudah jadi semestinya.

Krishna juga begitu.

Ia berada di pelukan Raesaka yang hanya mengenakan bathrobe berwarna krem dan celana pendek berwarna putih dengan motif garis hitam sebagai pemanis. Sementara dirinya hanya mengenakan kaus putih yang sudah lumayan kumal; yang selalu Krishna tolak untuk buang karena itu adalah kaus kesayangan, katanyaㅡ serta celana piyama berwarna coklat tua yang pasangan baju piyamanya sudah hilang entah ke mana.

Pelukan Raesaka dengan Krishna yang didekap, kedua hal itu seakan menjadi perpaduan yang terlampau sempurna. Setidaknya, itu yang dipikirkan oleh Krishna. Harum tubuh Raesaka yang manis selalu membuat Krishna betah untuk membenamkan wajahnya berlama-lama di ceruk leher si kekasih. Menghirup harum segala yang terbaik, apalagi ditambah dengan harum sabun hotel yang tidak kalah manisnya, membuat Krishna berkali-kali menghela nafasnya dalam-dalam hanya untuk menikmati eksistensi terindah bernama Raesaka.

“Sayang, hei..”, Raesaka mendaratkan tangan kanannya ke punggung kepala Krishna kemudian mengusapinya dengan sangat lembut, seakan ia takut sentuhan sekecil apapun itu bisa melukai kekasihnya. “Kamu kenapa? Aku baru selesai mandi, langsung dipeluk begini. Kaget akunya,” lanjut si lelaki berkulit kecoklatan dengan nada yang teramat tenang; masih seperti ia yang biasanya. “Hm? Ada masalah?”

Dengan kepala yang masih dibenamkan di ceruk leher Raesaka, Krishna menggeleng. Raesaka bahkan sampai sedikit harus menjenjangkan lehernya karena ia merasa geli tatkala rambut Krishna mengenai dagunya. “Nggak..”, Krishna semakin mengeratkan lingkaran tangannya di pinggang Raesaka. “..nggak apa-apa.”

“Aku cuma ngerasa seneng setengah mati karena kita di menit ini, di detik ini masih bisa barengan,” ujar si lelaki yang lebih tua seraya memundurkan sedikit wajahnya sehingga ia tidak lagi bersandar di ceruk leher Raesaka. Saat ini, pandangan keduanya bertemu dan Raesaka secara refleks mengulas senyum ketika memandangi wajah Krishna yang baginya selalu menjadi yang terindah. “Kayakㅡ apa, ya, Ka? I'm so glad we made it, look how far we've come until now, gitu.”

Raesaka mengangguk-angguk kecil sementara kuasanya kini menyampirkan helai poni Krishna yang sudah mulai memanjang ke belakang telinga si kekasih. Dalam hati, Raesaka tidak berhenti memuji keindahan pujaan hatinya. Semua dari Krishna adalah yang terindah untuknya, bahkan bekas luka di sebelah pipi si kekasih juga tampak indah.

Sungguh, Raesaka pasti sudah gila.

“Dan aku bersyukur karena aku lewatin masa-masa sulit itu dengan kamu,” Raesaka gantian berujar. Wajahnya didekatkan ke wajah Krishna, namun tidak untuk bertukar pagut atau apa. Raesaka hanya menempelkan keningnya ke kening Krishna, juga membiarkan ujung hidung mereka bersentuhan.

Kedua kuasa si lelaki yang lebih muda kini tidak lagi mengusapi rambut si kekasih, Raesaka membiarkan kuasanya memegang masing-masing sisi wajah Krishna. Sementara Krishna tidak lagi memeluk pinggang Raesaka, ia menaikkan tangannya untuk menggenggam tangan Raesaka yang tengah memegangi wajahnya.

Raesaka memejamkan matanya, begitupun juga dengan Krishna yang melakukan hal sama. Embusan nafas yang keduanya lakukan terdengar lembut, tidak memburu; tidak tergesa. Seakan-akan mereka berdua ingin berbagi cumbu dengan cara demikian, bukan dengan nafsu atau keinginan lainnya.

“Kak..”. Dengan perlahan-lahan, Raesaka membuka matanya. Yang ia lihat saat ini adalah Krishna yang masih berada di hadapannya dengan jarak yang terlampau dekat; juga mata yang terpejam. “We beat the odds together..”

“Kakak sempet capek, 'kan? Hm?”, tanya Raesaka dengan lembut. Tangan Krishna yang semenjak tadi masih ikut memegangi tangan Raesaka di wajahnya, kini menjadi dipererat genggamannya. Seakan-akan ia menyetujui ujaran Raesaka, bahwa sesungguhnya ia pernah lelah. “Makasih, ya, Kak?”, lanjut Raesaka dan sontak membuat nafas Krishna menjadi sedikit tersengal.

Krishna merasakan dadanya sesak. Bukan sesak karena rasa sedih atau bagaimana, di saat iniㅡ Krishna merasa bahagia yang tiada tara. Ada Raesaka di hadapannya, tidak ada siapapun selain mereka. Di saat ini, hanya itu yang ingin ia syukuri.

“Padahal Kakak bisa aja lepasin aku dan berupaya cari seseorang yang lebih baik. Padahal Kakak bisa lakuin semua itu tapi Kakak nggak pergi... bahkan buat sekalipun, nggak pernah.”

Krishna masih memejamkan matanya. Ia tidak berani membuka pandangannya sekarang karena dirinya yakin, tepat ketika netranya menangkap sosok lelaki di hadapannya ke dalam pandanganㅡ pasti ia akan menangis. Bisa jadi malah terisak. Jadi Krishna lebih memilih untuk tetap memejamkan mata dan memasang telinganya tajam-tajam.

Lampu kamar hotel mereka memang disetel tidak begitu terang. Hanya pendar cahaya lampu kamar mandi dan pintu depan yang dinyalakan, lampu di ruang master tidak menyala karena Krishna tidak tahan dengan lampu yang menyala terang. Namun dengan penerangan beginipun Raesaka bisa melihat air mata sedikit mengalir dari ujung mata si kekasih.

“Mereka bilang, kita nggak akan pernah bisa lewatin semuanya..”, ujar Raesaka. Punggung jari telunjuk kanannya menyeka air mata yang mengalir dari pelupuk mata Krishna, “..but just look at us now. Still holding on, still going strongㅡ together.

Krishna mengangguk kecil, mengiyakan kalimat kekasihnya. Menyetujui bahwa segala rintangan yang mereka lewati berbarengan sewaktu dahulu, bisa lebih menguatkan keduanya di saat ini. “Dan buat semua itu, aku mau ucapin makasih banyak buat kamu, sayang.”

“Makasih, yang banyak banget.” Raesaka sedikit mengangkat dagu Krishna agar wajah si kekasih kini bisa ditatap lurus-lurus olehnya. “Makasih, yang nggak terhingga. Karena aku rasa miliaran makasih pun nggak cukup buat kamu yang jadi satu-satunya buat aku.”

“Kamu, satu-satunya yang aku mau buat temenin aku di sebelum aku pejamin mata ketika tidur. Kamu, satu-satunya yang aku harap ada di samping aku ketika aku buka mata setelah bangun tidur. Kamu yang pertama dan yang terakhir aku lihat setiap hari-hariku, aku cuma mau begitu.”

Raesaka cuma mau Krishna.

Krishna tertawa kecil. Bukan tawa sinis atau mendengus, namun tawa antara bahagia dan geli akan kalimat Raesaka yang terkesan sangat menggoda. “Hei, sejak kapan bintangku jadi pinter banget ngegombal begini?”, tanya Krishna dengan senyum yang cukup terulas lebar. Melihat senyuman si kekasih, rupanya dapat membuat Raesaka merasa tertular. Lihat saja, sekarang si lelaki berkulit kecoklatan juga ikut tersenyum; sama lebarnya.

At least, gombalanku nggak terlalu kampungan kayak Bapak kamu tukang kebun, ya? Soalnya kamu membuat hatiku berbunga-bunga, gitu.” Omongan Raesaka langsung membuat ekspresi di wajah Krishna menjadi terlihat ingin muntah. Ia memang paling tidak kuat dengan kalimat gombalan macam begitu.

“Jijik,” ujar Krishna seraya memundurkan tubuhnya dari jarak jangkau Raesaka. Sementara si lelaki yang lebih muda hanya tertawa kecil, merasa gemas dengan kelakuan kekasihnya saat ini. “Udah, ah. Aku mau mandㅡ”

Langkah Krishna terhenti dan kembali direngkuh ke dalam pelukan Raesaka. Si lelaki yang lebih muda menarik lengan Krishna sehingga kini mereka berdua kembali berpelukan, walaupun Raesaka lebih menjadi pihak yang mendominasi. “Ka, hei. Mau ngapain? Aku mau mandi...”

“Sebentar,” balas Raesaka dengan wajahnya yang kini dibenamkan di ceruk leher Krishna. Gantian, kini Raesaka yang menghirup dalam-dalam harum tubuh si kekasih. “Kayak begini aja, sebentar lagi..”

Akan tetapi, Krishna tahu semua ini tidak akan bertahan dalam jangka waktu sebentar seperti yang diucapkan Raesaka tatkala kekasihnya itu kini menaikkan posisi kepalanya menjadi ke telinga dan mengulum kecil cuping telinga Krishna. Sontak, tangan Krishna menjadi terkepal dan memukuli dada Raesaka; walau perlahan. “Saka, hei!”

Krishna seharusnya paham bahwa seorang Raesaka sangat mahir untuk membawa laju suasana dari yang semula manis menjadi menggoda. Diawali dengan kuluman kecil di cuping telinganya, kini si lelaki berkulit kecoklatan itu menciumi leher jenjang Krishna. Berawal dari kecupan kecil, berlanjut jadi hisapan yang sedikit menuntut, dan diakhiri dengan bisikan lembut di telinga Krishna.

Desah aja..“ “Toh' cuma kita berdua di sini, sayang.

Sumpah, barusan saja Krishna merasakan tubuhnya seperti disengat oleh listrik tegangan tinggi ketika Raesaka membisikkan kalimatnya. Ujaran lelaki itu terdengar sebagai perintah yang mutlak harus ia lakukan namun disampaikan dalam cara sehalus mungkin. Tidak ada yang bisa melakukan itu selain Raesaka.

Raesaka-nya. Raesaka milik Krishna.

Mengantungi izin untuk menyuarakan nikmatnya dengan lebih vokal, Krishna secara perlahan meloloskan desahan kecil hingga lambat laun berubah menjadi lenguh yang menandakan ia mabuk akan segala bentuk kenikmatan yang diberi Raesaka. “Hnmh.. S-Saka, jangan di sitㅡ fuc—

Bibir Raesaka masih berada di ceruk lehernya, namun tangan lelaki itu berada di tempat yang lebih sensitif bagi Krishna. Kuasa kanan Raesaka sudah bebas menelusup masuk ke dalam kaus yang dikenakan Krishna; mengelus kulit telanjang dari perut si lelaki yang lebih tua dan perlahan bergerak naik untuk memilin gundukan kecil di dada yang didekap. Sementara tangan kirinya berada di pinggang Krishna, sedikit memberi gerak menekan agar tubuh bagian bawah mereka saling bersentuhan; atau dalam bahasa lebih kasar, bergesekan.

Raesaka mengangkat pandangannya, tidak lagi bersandar pada ceruk leher si kekasih. “Hm? Jangan di sini?”, tanya Raesaka dengan nada yang dibuat teramat polos, yang mana membuat Krishna mengutuk dalam hati. Ibu jari dan telunjuk kanan Raesaka masih memilin sebelah puting Krishna sementara kini pinggulnya yang masih mengenakan celana pendek digerakkan maju-mundur secara perlahan, memberikan sensasi yang tidak jauh berbeda dengan situasi ketika keduanya tengah bersetubuh. “Kalau nggak boleh di sini, aku harus pegang di bagian mana, Kak?”

“Cantik..”, Raesaka menaikkan pandang wajahnya hingga tatapannya berada dalam jarak lurus dengan Krishna di hadapan. “..hm? Kenapa nggak jawab?”

Krishna sendiri tidak tahu harus mengatakan apa ketika tangan kanan Raesaka yang semula berada di dadanya kini perlahan turun, mengambil kuasa di tubuh bagian bawah Krishna yang masih mengenakan celana piyamanya. “Di sini, manis?”, tanya Raesaka dengan lembut sementara tangannya mulai memberi kenikmatan kepada milik Krishna yang nampaknya sudah berada di titik naiknya sedari tadi.

Krishna biasanya tidak ingin diperlakukan sebagai seseorang yang patut didominasi. Jika memutar ulang waktu, kali pertamanya dengan Raesaka sewaktu dulu pun Krishna yang menjadi dominan. Krishna yang memimpin laju permainannya dengan Raesaka. Krishna pula yang menjadi orang pertama dalam membuat Raesaka melakukan pelepasan putihnya berulang kali.

Entah bagaimana, entah semenjak kapanㅡ Raesaka terlalu cepat untuk mengejar. Biarpun keduanya sama sekali tidak mempermasalahkan perihal posisi siapa yang mendominasi, namun belakangan Raesaka terlalu menawan untuk Krishna tolak dominasinya.

Lihat saja, tubuh kekasihnya itu sekarang menjadi kekar dengan kulit kecoklatan yang ada karena terbakar oleh matahari. Raesaka yang dulu Krishna kenali sebagai lelaki ceking dengan tubuh kurus kini berubah menjadi lelaki kekar dengan dada bidang yang menawan. Bahkan ketika mereka sedang berjalan-jalan di pantai sore hari tadi, Krishna harus menahan diri untuk tidak berjongkok di depan Raesaka dan meminta untuk disetubuhi saat itu juga. Belum lagi Krishna harus berulang kali menarik Raesaka untuk berjalan lebih cepat karena tidak ingin gadis-gadis berbikini yang juga ada di pantai kala itu memandangi kekasihnya lebih lama.

Raesaka yang menawan hati siapapun, kini ada di hadapan Krishna. Memagut bibirnya dengan penuh keinginan untuk mendapatkan lebih, bahkan tak ragu untuk menelusupkan lidahnya ke ruang mulut Krishna. Sesekali berujar “julurin lidahnya, sayang..” hanya agar ia dapat menghisap lidah si lelaki yang lebih tua dengan lebih leluasa.

Suara kecapan dari pagut juga saliva yang kini berantakan di ujung bibir keduanya, suara desah juga lenguh dari Krishna semakin membuat Raesaka kehilangan kendali atas dirinya. Sempat sekilas Raesaka memundurkan wajahnya, hanya untuk menyesali tindakan itu beberapa detik kemudian.

Kenapa, tanyamu?

Krishna, dengan tatapan sayunya. Krishna, dengan wajahnya yang memerah. Krishna, dengan lidah sedikit terjulur setelah merasa kelelahan karena harus menghadapi hisapan dari bibir Raesaka yang selalu meminta lebih.

Krishna yang begitu, membuat Raesaka kebingungan bagaimana harus menyelesaikan semua yang bergejolak dalam dirinya. Sesuatu yang memaksa untuk dipuaskan, tidak peduli dan tidak akan menerima penolakan dalam bentuk apapun.

“Sayang..” Bathrobe yang dikenakan oleh Raesaka sudah terlepas simpulnya sehingga kini tubuh kekar si lelaki yang lebih muda terpampang jelas di hadapan Krishna walaupun masih ditutupi bathrobe. Krishna memberi gumaman kecil sementara tangannya kini mengusapi dada si kekasih, dalam pikirannya membayangkan akan bagaimana rasanya melihat dada bidang itu berada dalam jarak pandangnya ketika ia sedang berbaring di atas kasur.

Bagaimana rasanya ketika ia melihat dada bidang Raesaka di atasnya yang berbaring dengan kedua kaki yang dibuka lebar-lebar agar kekasihnya itu bisa memberi kepuasan yang teramat sangat? Bagaimana rasanya jika dada bidang itu menindih tubuhnya yang berbaring di atas kasur ketika mereka mencapai putihnya bersamaan?

Akan bagaimana rasanya? Akan bagaimana nikmatnya?

Perlahan, Raesaka memajukan langkahnya sehingga otomatis membuat Krishna bergerak mundur. Perlahan, Raesaka membimbing langkah Krishna menuju tempat tidur yang ada di ruang kamar hotel mereka. Perlahan, tubuh Krishna dibaringkan dengan lembut dan di atas tubuh si kekasihㅡ Raesaka mengujarkan kalimatnya.

“..malam iniㅡ” “ㅡizinin aku yang milikin kamu sepenuhnya.”

Krishna tersenyum tipis. Wajah Raesaka yang kini ada di atasnya tampak sangat tampan, namun juga tampak tidak jauh berbeda dengan Raesaka yang pertama kali ia temui beberapa tahun lalu.

Kali pertama, ketika mereka berhadapan sebagai senior dan junior dengan perasaan tidak suka. Hingga saat ini, di malam iniㅡ ketika mereka berhadapan sebagai sepasang kekasih yang bertekuk lutut atas dasar cinta kepada satu sama lain.

Perlahan, Krishna mengangguk.

Ia memberi izin kepada Raesaka, untuk merengkuh dirinya sekali lagi. Untuk memiliki dirinya lagi di malam ini, secara sepenuhnya. Secara dalam tanpa batasan apapun.

Malam ini, bulan bersinar indah. The moon is really beautiful tonight.

Ya! Sekarang ke penampilan nomor tujuh, ada Raesaka dari Teknik Industri! Beri tepuk tangan yang meriah, dong! Yuk, Raesakaㅡ ganteng, sini duduk sini, yuk.”

Tepuk tangan meriah segera memenuhi ruang auditorium fakultas Teknik Ganesha Mandala. Raesaka berjalan dengan mikrofon di sebelah tangan, diiringi dengan seorang gadis yang membawa gitar di sampingnya. Risti, adalah teman sejurusannya yang bersedia menemani Raesaka untuk mempertunjukkan nyanyiannya nanti.

“Ampuuun, rame banget, lho! Ini udah kayak mau nyambut member BTS aja, gitu,” sang pembawa acara tampak sangat terpukau dengan sambutan yang diberi oleh para penonton dari bangkunya. Tidak heran, beberapa penampilan sebelumnya memang hanya diberi apresiasi yang singkat; tidak semeriah sambutan yang diberi untuk Raesaka.

Untuk Raesaka? Wah. Jangan ditanya. Beberapa perempuan bahkan tampaknya sengaja membawa placard bertuliskan huruf hangeul yang diartikan menjadi SAKA OPPA.

Raesaka hanya tersenyum simpul, berusaha tampak membumi. “Makasih, Kak,” jawab si lelaki seraya sedikit membungkukkan badannya. “Ini saya jadi deg-degan sendiri, takutnya malah kecewain yang udah bersedia nonton.”

Ucapan Raesaka langsung dibalas dengan seruan bernada 'nggaaaaak! dalam koor yang panjang. Sang pembawa acara segera tertawa, tidak terkecuali Raesaka dan Risti yang ikut terkekeh di atas panggung.

Beberapa saat setelahnya, sang pembawa acara tampak sibuk menjelaskan perihal biografi Raesaka. Pengenalan singkat tentang kontestan, adalah hal yang wajib dijelaskan sebelum yang bersangkutan mempertunjukkan bakatnya.

Selama perhatian penonton teralih kepada si pembawa acara, Raesaka mengedarkan pandangannya. Ia berusaha menemukan sosok seseorang diantara banyaknya penonton yang datang. Raesaka berusaha mencari keberadaan Krishna; yang ia harap datang menonton penampilannya.

Namun, nihil. Tidak ada sosok Krishna di manapun diantara banyaknya penonton.

Raesaka sudah akan pasrah dengan semuanya ketika tiba-tiba pintu auditorium terbuka lebar dan sosok dua lelaki dengan jaket jurusan berwarna merah tua tampak; dengan nafas tersengal-sengal.

“Oh! Buat yang baru dateng, selamat datang di acara penyambutan mahasiswa-mahasiswi teknik, ya. Ayo, silahkan cari tempat duduknya yang masih kosong. Tenang, masih ada banyak penampilan dari....”

Ujaran sang pembawa acara tidak lagi menjadi fokus Raesaka. Yang menjadi fokusnya sekarang adalah dia yang masih berdiri di depan auditorium dengan tubuh yang sedikit membungkuk; tampak kesulitan untuk mengatur nafasnya yang tersengal-sengal sehabis lari dalam kecepatan penuh.

Dia, ada di sana.

Krishna, datang.

Tepat pukul satu siang.

Raesaka berdiri di balik panggung yang ada di auditorium Fakultas Teknik Universitas Ganesha Mandala. Dengan beberapa orang yang berdiri di sekelilingnya, Raesaka menengok ke arah luar panggung. Banyak orang sudah menempati bangkunya masing-masing, terlihat antusias untuk menunggu penampilan yang akan dipertunjukkan oleh para mahasiswa mahasiswi baru dari Fakultas Teknik.

Jujur, Raesaka merasakan jantungnya berdebar bukan main. Bukan karena ia akan tampil atau bagaimana, melainkan karena satu rencana yang sudah ia persiapkan jauh-jauh hari sebelumnya.

Ada rencana, yang ia persiapkan untuk seseorang. Untuk dia, yang katanya masih berkutat dengan mata kuliahnya di sana.

Semoga saja, semuanya lancar.

Assalamualaikum.”

Suasana di kediaman sang Bibi tampak lenggang. Tidak ada balas sapaan dari siapapun di dalam rumah. Raesaka mengintip sekilas ke arah garasi yang tersambung dengan salah satu pintu yang ada di ruang tamu, mobil milik Bibi dan Pamannya tidak terparkir di sana.

Mungkin ke luar kota lagi, pikir Raesaka.

Lalu, Tania?

Berbekal rasa penasarannya, Raesaka kembali berjalan menuju pintu masuk utama dan membuka rak sepatu yang terpasang tepat di samping pintu. Raesaka mengecek sepatu yang biasa dikenakan Tania, ada. Sepatu Tania ada di sana. Menandakan si Kakak sepupu harusnya ada di rumah.

Tumben. Biasanya Tania akan menyambut Raesaka dengan senyumannya dan sapaan hangat. Kali ini, tidak demikian. Sosok si Kakak sepupu tidak terlihat di manapun.

Oh, iya. Mereka 'kan sedang bertengkar. Mana mau sih, Tania menyambut adik sepupunya yang menyebalkan ini?

Dengan langkah sedikit lemas karena terlalu lelah dengan semua kegiatannya hari ini, Raesaka berjalan menuju dapur. Niatnya hanya ingin membuat mie instan untuk melepas rasa laparnya. Namun ketika tangan Raesaka hendak membuka rak dapur, pandangannya tertuju ke sebuah tudung saji yang berada tidak jauh dari kompor di dapur.

Raesaka membuka tudung saji dan menemukan lauk pauk yang menjadi kesukaannya terhidang di sana; disertai selembar kertas yang ditaruh tepat di atas piring kosong.

Dimakan, ya, Dek. Mbak agak pusing jadi tidur duluan. Kalau mau tambah lauk, ada di dalem kulkas. Bisa panasin sendiri, 'kan? Jangan ditinggal, ya. Takutnya gosong.

Raesaka memandangi kertas di tangannya dengan pandangan nanar. Ia mengira Tania marah kepadanya. Ia mengira Tania tidak akan peduli kepadanya.

Namun kenyataannya tidak.

Tania tetap menjadi ia yang biasanya. Yang hangat, yang baik, yang selalu memastikan Raesaka tidak kenapa-kenapa, juga yang memperhatikannya dibanding siapapun.

Raesaka menggigiti bibir bawahnya kuat-kuat. Emosinya seakan campur aduk.

Padahal akan lebih baik jika Tania tidak mempedulikannya sehingga Raesaka tidak perlu sungkan untuk terus melakukan keinginannya sendiri. Padahal akan lebih baik jika Tania terus mengambil jarak dengannya saja.

Jika Tania terus menerus dan tetap bersikap baik kepadanya, Raesaka harus berbuat apa?

Kamu dari mana aja, Dek? Budhe nelfon Mas sambil nangis-nangis, lho. Khawatir kamu kenapa-kenapa.“ “Aku nginep di mobil temenku, Mas..“ “Hah? Mobil temenmu? Gimana maksudnya?“ “Mas tau 'kan, aku punya temen sewaktu SMA yang sama-sama masuk GAMA? Yang deket sama aku?“ “Freddie?“ “Iya, Mas.

Oke. Lalu? Gimana ceritanya kamu bisa nginep di mobil? Terus, mobil siapa?!“ “Mobil Freddie.“ “SAMA FREDDIENYA?!“ “Nggak, Mas.“ “Aku tidur di mobilnya..“ “..yang parkirnya di asrama.

...“ “Dek. Kamuㅡ tau sesuatu?

Mas..“ “Saka bohongin aku..“ “Dia bilang nginep di rumah temen SMAnya. Iya, emang temennya itu bilang Saka tidur di tempatnya. Tapi pas aku tanya ke temennyaㅡ dia tinggal di Pogung Baru. Nggak tau kenapa, aku ngerasa nggak enak hati. Jadi aku minta ke Freddie yang tinggal di asrama buat izinin aku tidur di mobilnya..

Lalu?“ “Lalu...“ “...pagi-pagi, Saka keluar dari asrama, Mas.“ “Semaleman, Saka tinggal di asrama. Bukan di rumah temen SMAnya yang ada di Pogung Baru.

Mas..“ “Aku harus gimana?“ “Aku tau, aku ini keterlaluan karena ikutin Saka tanpa konsiderasi dia. Aku tau, Saka berhak marah ke aku; bukannya aku yang marah ke dia.“ “Tapi Mas.. dia udah bohong ke aku, bohong ke Mama juga. Dan Mas tau? Beberapa hari lalu, dia sempet tanya soal Tuhan ada berapa? Kenapa harus ada agama yang beda-beda? Kenapa kita nggak boleh pilih agama kita sendiri?

Semeru terdiam dari ujung panggilan telefonnya. Ujaran Tania terlalu menyeramkan untuk ia dengar. Dalam hati, Semeru masih meragukan perihal Raesaka yang berbohong karena sepengetahuannyaㅡ si adik sepupu adalah sosok yang sangat berbudiperkerti baik. Tidak mungkin ia berbohong hanya karena ingin memuaskan ego pribadinya. Namun ujaran Tania juga tidak bisa dianggap ringan. Adik sepupunya itu bahkan sudah tidur di dalam mobil untuk mendapatkan fakta bahwa Raesaka sudah berbohong.

Dan semua kekacauan ini dimulai semenjak Raesaka mengenal Krishna.

Dek Tan, udah..“ “Kamu mending istirahat dulu. Hubungin Budhe, gih. Biar nggak khawatir lagi.

Udah, Mas. Aku udah dimarahin Mama tapi masih bisa aku handle. Cuma.. Saka yang bikin aku bingung harus bersikap gimana. Dia nelfonin aku terus..“ “Nggak kamu angkat?“ “Aku takut... kalau aku angkat, aku bakal marah besar ke dia. Kemarin aku sempet marah ke dia, Mas. Mungkin itu yang bikin dia lari ke asrama buat... ketemu Kak Krishna...

Mas. Kita sebaiknya gimana?

Semeru lagi-lagi terdiam. Ia sendiri tidak tahu harus bagaimana. Semeru tahu, jika ia menggenggam Raesaka terlalu erat maka ia akan semakin memberontak. Namun jika dibiarkan begitu saja, Semeru yakin tidak akan ada hal baik yang datang kepada mereka.

Udah, Dek. Kamu tenang dulu aja, ya? Biar Mas yang nanti ngomong sama Saka.

Mungkin baiknya, Semeru bersikap seakan dia tidak tahu apa-apa.