“Adek. Mbak boleh masuk?“
Tania sedikit menyembulkan kepalanya ke dalam kamar tidur milik si adik sepupu, Raesaka. Si lelaki rupanya sedang duduk di depan meja belajarnya; mempelajari materi perkuliahannya. Terpanggil, Raesaka segera memutarkan kursi belajarnya sehingga kini menghadap ke arah belakang dan berhadapan dengan si kakak sepupu, Tania.
“Oh, Mbak 'toh.”
“Masuk aja, Mbak.”
Setelah mengantungi izin, Tania membuka pintu kamar Raesaka dengan sedikit lebih lebar kemudian masuk dan duduk di pinggiran tempat tidur si adik sepupu. “Lagi belajar, 'tah? Mau ada ujian?”, tanya Tania; dirinya sendiri bukan tipikal anak yang selalu belajar setiap hari dan hanya duduk di meja belajarnya ketika ada ujian saja, sih.
Raesaka tertawa kecil kemudian menggelengkan kepalanya, terlihat santai. “Nggak, Mbak. Aku emang lebih kebiasa kayak begini. Kalau sehari nggak belajar, rasanya aneh banget. Kayak ada yang hampa.”
Tania sedikit mendengus kemudian terkekeh geli. Jika orang lain yang mendengar ujaran Raesaka barusan, pasti mereka akan menyangka adik sepupunya itu sedang menyombongkan diri. Namun Tania yang tahu bahwa adik sepupunya itu memang tidak memiliki aktivitas kesukaan lain selain belajar memahami bahwa ujaran Raesaka adalah kenyataan. Bahwa ia pasti merasa hampa jika tidak belajar.
“Kenapa, Mbak?”
“Mau ada yang diomongin?”
Tania terdiam sejenak setelah Raesaka menyuarakan tanyanya. Tangan si gadis kini meraih tangan kiri Raesaka dan mengusapi punggung tangannya dengan lembut. “Dek..”
”..hari ini ada rumor nggak baik tentang kamu di kampus. Ada yang kirim video kamu pas lagi sama Kak Krishna. Sewaktu sama temen-temen cheers juga, ya, kalau nggak salah?”
Raesaka ikut terdiam. Jika tidak salah mengingat, yang Tania bicarakan adalah kejadian tadi sore. Memangnya hal buruk apa yang bisa terjadi dalam rentang waktu beberapa jam saja, coba?
“Ada apa, Mbak?”, tanya Raesaka. Tania mengeluarkan ponsel miliknya dari saku celana panjang training yang ia fungsikan sebagai baju tidur. Diserahkan benda persegi itu kepada Raesaka. “Kamu lihat sendiri aja, ya?”, ujar Tania seraya memperlihatkan laman tweet milik auto-base kampus, ugamaconfess.
Raesaka menerima sodoran ponsel Tania dengan tangan sedikit gemetar. Ia bisa merasakan ujung tangannya menjadi dingin bukan main, entah mengapa. Yang pertama kali menyapa pandangannya adalah sosok Krishna yang datang untuk menjemputnya, gurauan menggoda dari para anggota cheers untuk mereka berdua, lalu───
“Menit pertama, detik tujuh belas..”, tatkala Raesaka masih memfokuskan pandangan kepada seluruh isi video tiba-tiba suara Tania menyadarkannya. Mendengar ujaran si kakak sepupu, Raesaka beralih memperhatikan detik penunjuk laju video.
Video yang Raesaka tonton masih menunjuk di waktu menit pertama, detik ke sepuluh. Raesaka melirik sekilas ke arah Tania kemudian mendapati si kakak sepupu sedikit menggerakkan kepalanya, seakan menyuruh dirinya untuk fokus ke video. “Tonton dulu aja.”
Raesaka menurut. Pandangannya kembali tertuju ke layar ponsel, hingga detik demi detik terlewati dan penunjuk video berada pada menit pertama detik ketujuh belas.
Raesaka mengernyitkan dahi. Ia tidak salah lihat, 'kan? Barusan ia menggeser posisi duduknya agar bisa lebih berdekatan dengan Krishna? Serius───ia melakukan itu? Bahkan ia sendiri tidak menyadarinya, kok.
“Dek.” Tania memanggil Raesaka, lagi. Kali ini nada bicaranya terdengar lemah, entahlah──mungkin lelah karena terus dibuat berspekulasi dengan pikirannya sendiri. “Mbak tanya ke temen Mbak yang suka ke sesama jenis. Mbak tanya, apa maksud dari menit pertama detik ketujuh belas sampai-sampai dampaknya rame banget kayak begini.”
“Mbak juga nggak tau, apa ini bener atau nggak,” Tania masih menggenggam tangan kiri Raesaka; kali ini genggamannya diperkuat. “Katanya semua tindak yang kamu lakuin itu keliatan jelas nunjukin bahwa kamu... naksir Kak Krishna.”
Tania menggigiti bibir bawahnya kuat-kuat. Ia merasa jahat karena berkata demikian, ia seakan menuduh Raesaka padahal kenyataannya belum pasti demikian. Tania masih ingin menaruh percaya kepada si adik sepupu, bahwa perasaannya kepada Krishna hanya sebatas kagum. “Dek, yang mereka bilang itu───nggak bener, 'kan?”
Raesaka tidak menjawab untuk beberapa saat namun setelah detik berlalu, ia menyerahkan ponsel si kakak sepupu kepada pemiliknya. “Mbak lebih percaya aku atau orang lain?”, tanya Raesaka, membuat Tania membisu.
“Tapi Dek,” Tania berujar. “Kamu... nggak suka sama Kak Krishna, 'kan? Yang temen Mbak bilang itu nggak betul, 'kan?”
Genggaman tangan Tania di tangan kiri Raesaka semakin erat, bahkan bisa dikatakan sebagai cengkeraman yang membuat si lelaki sedikit meringis kesakitan. “Mbak,” Raesaka mencoba melepaskan genggaman tangan Tania dengan perlahan, lembut. “Sakit, jangan dicengkeram begitu.”
“Oh, maaf..”, Tania segera melepaskan genggaman tangannya kemudian memilih untuk memainkan kedua tangannya sendiri. “..Mbak kayaknya terlalu──pusing.”
Raesaka menyunggingkan senyumnya. Senyum tipis namun menyejukkan siapapun yang memandang. “Mbak. Nggak usah terlalu dipikirin. Mending Mbak sekarang istirahat. Kantung mata Mbak keliatan hitam, lho. Susah tidur, ya?”
Tania mengangguk. “Banyak pikiran, mungkin. Susah tidur.”
“Karena aku?”, tanya Raesaka; to the point. Tania mengangkat pandangannya kemudian memberi gelengan singkat disertai senyum lemah. “Nggak.. Mbak lagi pusing sama tugas kuliah terus dibebanin jadwal latihan marching juga.”
“Bukan karena kamu kok, Dek.”
Ada dua saudara,
Tania dan Raesaka.
Mereka, sama.
Bersembunyi;
di balik kata baik-baik saja.