dontlockhimup

Kamu dari mana aja, Dek? Budhe nelfon Mas sambil nangis-nangis, lho. Khawatir kamu kenapa-kenapa.“ “Aku nginep di mobil temenku, Mas..“ “Hah? Mobil temenmu? Gimana maksudnya?“ “Mas tau 'kan, aku punya temen sewaktu SMA yang sama-sama masuk GAMA? Yang deket sama aku?“ “Freddie?“ “Iya, Mas.

Oke. Lalu? Gimana ceritanya kamu bisa nginep di mobil? Terus, mobil siapa?!“ “Mobil Freddie.“ “SAMA FREDDIENYA?!“ “Nggak, Mas.“ “Aku tidur di mobilnya..“ “..yang parkirnya di asrama.

...“ “Dek. Kamuㅡ tau sesuatu?

Mas..“ “Saka bohongin aku..“ “Dia bilang nginep di rumah temen SMAnya. Iya, emang temennya itu bilang Saka tidur di tempatnya. Tapi pas aku tanya ke temennyaㅡ dia tinggal di Pogung Baru. Nggak tau kenapa, aku ngerasa nggak enak hati. Jadi aku minta ke Freddie yang tinggal di asrama buat izinin aku tidur di mobilnya..

Lalu?“ “Lalu...“ “...pagi-pagi, Saka keluar dari asrama, Mas.“ “Semaleman, Saka tinggal di asrama. Bukan di rumah temen SMAnya yang ada di Pogung Baru.

Mas..“ “Aku harus gimana?“ “Aku tau, aku ini keterlaluan karena ikutin Saka tanpa konsiderasi dia. Aku tau, Saka berhak marah ke aku; bukannya aku yang marah ke dia.“ “Tapi Mas.. dia udah bohong ke aku, bohong ke Mama juga. Dan Mas tau? Beberapa hari lalu, dia sempet tanya soal Tuhan ada berapa? Kenapa harus ada agama yang beda-beda? Kenapa kita nggak boleh pilih agama kita sendiri?

Semeru terdiam dari ujung panggilan telefonnya. Ujaran Tania terlalu menyeramkan untuk ia dengar. Dalam hati, Semeru masih meragukan perihal Raesaka yang berbohong karena sepengetahuannyaㅡ si adik sepupu adalah sosok yang sangat berbudiperkerti baik. Tidak mungkin ia berbohong hanya karena ingin memuaskan ego pribadinya. Namun ujaran Tania juga tidak bisa dianggap ringan. Adik sepupunya itu bahkan sudah tidur di dalam mobil untuk mendapatkan fakta bahwa Raesaka sudah berbohong.

Dan semua kekacauan ini dimulai semenjak Raesaka mengenal Krishna.

Dek Tan, udah..“ “Kamu mending istirahat dulu. Hubungin Budhe, gih. Biar nggak khawatir lagi.

Udah, Mas. Aku udah dimarahin Mama tapi masih bisa aku handle. Cuma.. Saka yang bikin aku bingung harus bersikap begini. Dia nelfonin aku terus..“ “Nggak kamu angkat?“ “Aku takut... kalau aku angkat, aku bakal marah besar ke dia. Kemarin aku sempet marah ke dia, Mas. Mungkin itu yang bikin dia lari ke asrama buat... ketemu Kak Krishna...

Kamu dari mana aja, Dek? Budhe nelfon Mas sambil nangis-nangis, lho. Khawatir kamu kenapa-kenapa.“ “Aku nginep di mobil temenku, Mas..“ “Hah? Mobil temenmu? Gimana maksudnya?“ “Mas tau 'kan, aku punya temen sewaktu SMA yang sama-sama masuk GAMA? Yang deket sama aku?“ “Freddie?“ “Iya, Mas.

Oke. Lalu? Gimana ceritanya kamu bisa nginep di mobil? Terus, mobil siapa?!“ “Mobil Freddie.“ “SAMA FREDDIENYA?!“ “Nggak, Mas.“ “Aku tidur di mobilnya..“ “..yang parkirnya di asrama.

...“ “Dek. Kamuㅡ tau sesuatu?

Mas..“ “Saka bohongin aku..“ “Dia bilang nginep di rumah temen SMAnya. Iya, emang temennya itu bilang Saka tidur di tempatnya. Tapi pas aku tanya ke temennyaㅡ dia tinggal di Pogung Baru. Nggak tau kenapa, aku ngerasa nggak enak hati. Jadi aku minta ke Freddie yang tinggal di asrama buat izinin aku tidur di mobilnya..

Lalu?“ “Lalu...“ “...pagi-pagi, Saka keluar dari asrama, Mas.“ “Semaleman, Saka tinggal di asrama. Bukan di rumah temen SMAnya yang ada di Pogung Baru.

Udah lama nunggu, Kak?

Seorang lelaki bertubuh agak kekar yang semula memfokuskan perhatian ke layar ponsel di tangan, mengalihkan atensinya tatkala suara derit bangku yang ditarik terdengar memasuki rungu. Setelahnya, sapaan yang ditujukan kepada diri menjadi fokus utama. Seorang lelaki berkulit putih sudah duduk di hadapannya, tengah melepaskan tas slempang berwarna hitam yang tadi disampirkan pada bahunya.

Semeru dan Krishna, keduanya sekarang duduk berhadapan di salah satu bangku meja yang ada di foodcourt milik mall yang cukup besar di pusat kota. Semeru yang melihat Krishna sedikit tergesa ketika melepaskan tasnya hanya memasang senyum tipis, sepertinya si adik tingkat sudah sangat terbiasa dengan segala tindak disiplin di Paskibra sehingga melepaskan tas pun menjadi hal yang harus dilakukan dengan cepat. “Santai aja, Krish. Kita nggak lagi latihan,” ujar Semeru dan dibalas kekehan kikuk dari Krishna.

Ada masalah?

Nakuladewa mengerjapkan mata setelah mendengar suara Tarendra memasuki rungunya. Lamunan yang menyerang diri segera buyar, digantikan dengan senyum tipis yang terulas di bibir Nakuladewa ketika si kekasih, Tarendra, duduk di bangku yang ada di hadapannya. Si lelaki berkulit kecoklatan itu meletakkan gelas plastik berisikan minuman berperisa anggur, kesukaan Nakuladewa. “Gue liatin dari semenjak gue jalan dari kantin, lo ngelamun melulu. Ada masalah?”

Gelengan kepala diberikan oleh Nakuladewa, memberi isyarat bahwa yang diperkirakan oleh si lelaki di hadapannya itu tidaklah benar. “Nggak, kok,” jawab Nakuladewa seraya meraih gelas plastik berisi minuman berperisa anggur miliknya kemudian menggoyang-goyangkan isinya perlahan. “Gue cuma lagi bingung sama materi yang dikasih pak Nandar tadi.”

Alis Tarendra sedikit berkerut. Seorang Nakuladewa tidak memahami materi yang dijelaskan Pak Nandar, padahal itu adalah dosen kesayangannya? Tampaknya adalah sebuah hal yang mustahil.

“Beneran?”, tanya Tarendra, berusaha memastikan. Matanya sedikit menyipit, diarahkan lurus-lurus kepada Nakuladewa yang tertawa kecil. “Jangan suka bohong lo. Katanya orang yang suka bohong, pantatnya kerlap-kerlip.”

Ujaran Tarendra dibalas dengan dengusan geli Nakuladewa. “Sumpah, apa gunanya lo jadi mahasiswa GAMA kalau masih percaya soal pantatnya orang yang ngebohong itu bakal kerlap-kerlip, Ren? Jangan-jangan lo masih sering ngetik 1 pas ada orang yang ngasih SMS penipuan, ya?” Ucapan Nakuladewa segera dibalas dengan jitakan kesal dari si kekasih. Untungnya, Nakuladewa tidak membalas dengan sama kerasnya. Ia malah tertawa geli, yang mana membuat Tarendra juga ikut tertawa.

Entahlah, tawa Nakuladewa seperti menular.

“Oh, iya,” ucap Tarendra. “Gimana? Masih mau ngomong ke Mama soal kita?”

Nakuladewa menarik nafas dalam-dalam sebelum akhirnya mengembuskannya dalam sekali hembusan berat. “Nggak tau,” jawabnya lemas. “Bingung juga. Gue sendiri kayak takut-takut mau ngomong ke si Mama. Maksud gue, toh' kita juga masih dalam tahap hubungan kayak begini...”, ucap Nakuladewa dengan suara pelan, takut ada yang mencuri dengar percakapan mereka. “...bisa aja kita putus, kaㅡAAAW! Monyet! Ngapain ngejitak?!”

“Tarik lagi omongan lo,” sahit Tarendra dengan nada dingin. “Belum juga sebulan, lo udah ngedoain putus atau gimana?”

Nakuladewa mengerucutkan bibirnya seraya mengusapi kepalanya yang terasa sedikit perih akibat jitakan dari kekasihnya barusan. “Heh! Gue ngomong kenyataan, ya. Orang nikah aja bisa cerai. Apalagi cuma pacaran, coba? Pasti ada aja halangannyㅡ”

Kalimat Nakuladewa segera terputus ketika Tarendra memajukan wajahnya untuk berhadapan lebih dekat dengan Nakuladewa. Kini jarak wajah keduanya hanya terpisah beberapa sentimeter, tidak sampai sepuluh malahan. Nakuladewa merasa nafasnya terputus sejenak ketika melihat ujung hidung Tarendra berada dalam jarak yang cukup dekat dengannya. “Na. Lo nggak mau gue cium di tengah kampus begini, 'kan?”, tanya Tarendra. Bau nikotin yang sepertinya baru diisap oleh kekasihnya itu membuat Nakuladewa sedikit memundurkan kepalanya, seperti tersadar bahwa mereka memang ada di tengah kampus dan bisa saja siapapun menangkap basah tindakan keduanya sekarang.

“Tai,” balas Nakuladewa; berusaha memasang ekspresi sewajar mungkin. “Lo mau bikin kita punya masalah atau apaan?”, tanyanya seraya mendorong wajah Tarendra untuk menjauh. “Jangan nekat, Ren. Lo sama gue punya hal yang harus sama-sama kita jaga. Gue punya beasiswa, lo punya imej bokap lo yang harus dijagㅡ”

“Gue cuma mau jagain lo,” sela Tarendra tanpa menunggu kalimat kekasihnya diselesaikan. Sontak, si lelaki yang berkulit lebih putih lagi-lagi hanya bisa terdiam. Tidak menyangka lelaki yang dari dulu ia kenal sebagai sahabatnya ini mulai bisa menyuarakan perasaannya dengan gamblang. “Gue nggak butuh ngejaga yang lainnya, Na. Cuma lo, dan itu udah lebih daripada cukup buat gue.”

Satu detik. Dua detik. Tiga detik terlewati dengan Nakuladewa yang hanya memutarkan bola matanya tak tentu arah, tidak bisa menemukan titik fokusnya akibat dibuat salah tingkah karena ucapan Tarendra. Hingga akhirnya jitakan kecil didaratkan dari tangan kanan Nakuladewa ke kening si kekasih. “Nggak usah gombal,” ujar si lelaki berkulit agak putih dengan suara (yang ia buat) setenang mungkin.

Tarendra tertawa kecil kemudian kembali memposisikan dirinya untuk duduk rapi di bangkunya yang berhadapan dengan si kekasih. “Gue serius, Na,” ucap Tarendra seraya mengisap minuman matcha miliknya di sela ujaran. “Gue nggak akan ragu buat jagain lo.”

“Dengan satu syarat,” ujaran Tarendra membuat Nakuladewa memfokuskan perhatiannya. “Jangan pernah lo bohong ke gue, tentang apapun itu.”

Sontak, Nakuladewa segera terdiam. Bohong, dalam bentuk yang seperti apa? Pikiran si lelaki seakan dibawa terbang dan mengingat berbagai chat yang ia tukar dengan Acha tadi pagi.

Apabila Nakuladewa memutuskan untuk tidak menceritakan perihal Acha kepada Tarendra, ituㅡ bukan sebuah bentuk kebohongan, 'kan?

Sirius, katanya.

Hanya dengan satu kata itu, senyuman tipis terulas di bibir Raesaka. Kata yang diujarkan oleh Krishna rupanya dapat membuat si lelaki berkulit kecoklatan itu merasa perasaan campur aduk yang tidak terkira. Bukannya ia tidak tahu perihal arti dari Sirius yang disebutkan oleh Krishna, sesungguhnya Raesaka memahami arti itu lebih daripada apapun.

Sirius adalah bintang paling terang jika dilihat dari bumi. Jujur, mengetahui Krishna menyamakan dirinya dengan bintang itu adalah sebuah hal yang membahagiakan sekaligus menyedihkan di saat yang bersamaan. Entah, apakah Krishna mengetahui hal ini atau tidakㅡ namun bersamaan dengan cahaya yang dihasilkan dari bintang paling terang, maka pembakaran yang dilakukan oleh Sirius akan terjadi sangat cepat.

Maka orang sering bilang, bintang paling terang adalah bintang yang paling cepat hilang.

Bintang yang paling cepat redup. Bintang yang paling cepat mati.

Raesaka kembali mengulas senyum tipis sementara kuasa kembali meletakkan ponsel ke atas nakas tempat tidur. Ia merasa dirinya menjadi sosok paling kecil dari yang ada di dunia. Sosok paling lemah yang tidak berdaya jika tidak didampingi oleh Tania dan Semeru, yang selama ini selalu menjadi sayapnya. Kedua kuasa Raesaka sedikit menjambaki rambutnya sendiri, agak menariki setiap helai surainya; menjadikan semua itu sebagai pelampiasan dari semua emosi yang dirasakannya saat ini.

Raesaka harus bagaimana? Ia sudah berbohong kepada banyak orang. Kepada Tania dan Semeru, ia mengatakan bahwa dirinya tidak memiliki rasa lebih untuk Krishna. Padahal di dalam hati Raesaka, Krishna adalah eksistensitas paling penting untuknya saat ini. Seseorang yang jika menyuruh Raesaka untuk terjun dari tebing paling tinggi, pasti akan ia lakukan tanpa pikir dua kali.

Raesaka ingin menunjukkan sebagaimana sesungguhnya ia dapat diandalkan oleh Krishna. Raesaka ingin memperlihatkan sebagaimana ia ingin menjadi seseorang yang dapat dengan bangga diperkenalkan oleh Krishna; entah sebagai apapun itu statusnya.

Sebegitu pentingnya sosok Krishna untuk Raesaka di kesempatan ini. Akan tetapi, kata Sirius yang diucapkan oleh kakak tingkatnya itu menjadikan Raesaka seperti dijatuhkan kembali ke dasar bumi paling dalam.

Krishna mengingatkan kembali bahwa dirinya memang bintang paling terang namun dengan segala kelemahannyaㅡ ia bisa menjadi sosok yang paling cepat mati dibanding bintang lainnya. Krishna mengingatkan Raesaka kepada penyakitnya sendiri.

Bodoh. Raesaka berharap bisa menjadi sosok yang hebat padahal baru dibenturkan secara tidak sengaja oleh sikut Krishna saja dirinya sudah harus mendapatkan pertolongan dari Semeru. Baru juga dipukul sekali, Raesaka sudah harus memuntahkan darah dari mulutnya.

Tawa kecil terdengar, miris. Raesaka lagi-lagi merasakan dunianya berputar pada poros yang tidak seharusnya. Ia tahu, tidak semestinya ia mengelilingi poros yang dinamai Krishna. Semestinya Raesaka menemuka porosnya yang lain, yang tidak akan orang-orang anggap sebagai sebuah hal yang tidak lazim.

Bukannya malah begini. Menyakiti diri sendiri dengan mengelilingi ia, yang sama dengan diri.

Sekilas, Raesaka melirik kembali ke arah layar ponselnya yang kini tidak menyala. Ia mengingat kembali bagaimana tadi ia mengganti nama kontak Krishna ke emoticon kompas. Raesaka mengatakan bahwa Krishna mengingatkan dirinya kepada utara.

Utara yang ada pada kompas, sama seperti ia; Krishna.

Bagi Raesaka, saat ini Krishna menempati posisi sebagai titik utaranya yang tidak tergantikan. His fixed point in this spinning world. Titik di mana Raesaka berharap bisa menemukan jalan keluar dari segala masalahnya, titik di mana Krishna akan selalu menjadi tempatnya untuk kembali pulang. Sama seperti titik utara pada kompas yang akan selalu mengajarkannya berjalan pada titik yang seharusnya.

Raesaka merasakan jantungnya berdebar bukan main. Barusan saja ia membayangkan wajah Krishna, berkelebat dalam bayangnya dengan cahaya berpendar terang. Pusing. Raesaka tidak tahu apakah debaran yang ia rasakan sekarang adalah hal yang baik atau bukan. Apakah debaran ini akan menemani langkah hidupnya, atau malah membuatnya kelelahan untuk menahan setiap rasa sakit yang menyerang?

Entahlah.

Sepertinya lebih baik Raesaka segera belajar. Semua perhatian dan fokusnya saat ini lebih baik ditujukan untuk setiap barisan kalimat pada buku materi yang dicatatnya tadi sore, bukannya kepada laki-laki yang bahkan tidak ia ketahui memiliki perasaan yang sama atau tidak dengan dirinya.

Kota ini hujan, deras.

Krishna duduk di atas tempat tidurnya dengan kaus kenaan yang terlihat sangat rapi. Bukan rapi dalam artian kenaannya berupa jas atau bagaimana, melainkan lipatannya sangat tertata rapi; bukti bahwa ia baru saja menyetrika pakaian kenaannya itu.

Sebuah hal yang sangat jarang terjadi karena Krishna sesungguhnya bukan orang yang bisa menjaga penampilan dengan baik di dalam kediamannya. Jika sudah ada di dalam asrama atau rumah, biasanya Krishna akan memilih kenaan yang paling nyaman. Entah itu kaus singlet dengan celana pendek yang karetnya sudah sangat longgar atau malah mungkin tanpa kenaan atas sama sekali.

Namun saat ini? Bajunya disetrika dengan sangat rapi. Bahkan ia juga membalurkan minyak rambut sehingga rambutnya tampak agak kaku. Krishna bahkan mendengus kecil tatkala melihat pantulan bayangannya sendiri di cermin. Sungguh, untuk apa sih dia bertindak dan mempersiapkan semua ini hanya demi menyambut seorang Raesaka?

Derasnya rintik hujan yang turun membuat Krishna mau tak mau merasa sedikit khawatir dengan kedatangan si adik tingkat yang tak kunjung tiba. Apa mungkin Raesaka memutuskan untuk tidak datang karena hujannya terlalu deras?

Bisa jadi, sih. Kalau saja Krishna yang berada di posisi Raesaka, ia pasti akan berpikir dua kali untuk mendatangi asrama yang lumayan jauh terpisah dari gedung kampus.

Tanpa Krishna sadari, tubuhnya yang sekarang sedang tersandar di kepala tempat tidur menjadi sedikit merosot ke arah bawah. Dalam sekejap, ia merasakan semua hal yang ia lakukan menjadi sia-sia.

Namun detik setelahnya, ia segera mengetukkan kepalan tangan kanannya ke kepala. Seperti mengutuk dirinya sendiri karena menaruh harap yang banyak padahal───sudah jelas tidak ada lagi yang bisa ia harapkan, 'kan?

Dari ia dan Raesaka, apalagi yang Krishna harapkan? Tidak ada yang akan berjalan. Semuanya rusak dari awal.

Krishna mendengus seraya menyunggingkan senyum sinis. Tampaknya beberapa hari ke belakang sudah menjadi racun untuknya.

Beberapa hari ke belakang, ia bertukar pesan dengan Raesaka dalam jangka dan frekuentitas yang sangat sering. Mengucap selamat pagi dan selamat malam, menanyakan sudah makan atau belum, memberi rekomendasi lagu atau film yang menarik untuk dinikmati───semua hal itu membuat Krishna teracuni.

Diracuni akan rasa nyaman yang tidak semestinya ada. Raesaka sudah meracuni dirinya tanpa Krishna sadari sama sekali. Raesaka meracuni Krishna dengan sebuah dosis yang terlampau melewati batas seharusnya sehingga Krishna menginginkan lebih; lagi dan lagi.

Seakan tidak pernah cukup akan keberadaan Raesaka. Bodoh? Sudah, tidak perlu diberitahu. Krishna juga sudah tahu.

Ia terjebak dalam perasaannya sendiri sementara dirinya tidak tahu perasaan apa yang Raesaka rasakan untuknya.

Apakah benar hanya kagum? Atau malah hanya main-main?

Kuasa Krishna naik menjambak rambutnya sendiri dengan cukup kencang, berupaya menghilangkan setiap rasa sesak yang sekarang menyerang dirinya.

Dalam hitungan stagnan, Krishna menarik nafas perlahan-lahan. Ia ingin menenangkan dirinya; ia ingin melupakan segala harap semu yang tidak akan pernah terwujud.

Sudahlah, Krishna. Dia tidak akan datang. Ini hanya harap semu. Lupakan saja, Krishna..

Dia tidak akan datan─

Ampun, Rendraaa. Mama kira ada maling, lho, ngetuk-ngetuk pagar rumah jam segini..“ “Duh! Duh, aduh, Mama. Rendranya jangan dicubitin gini dong, Ma. Sakit, lho. Cubitan Mama masih aja pedes, duh!“ “Biarin, biar kamu bisa ngerti kalau dateng ke rumah orang jam segini itu nggak baik, tau. Hhh, gemes Mama ke kamu, Rendra.“ “Ehehehe, Mamaaaaa. Jangan jutek gitu dong, Ma. Kangen lho Rendra ke Mama, udah lama nggak ketemu.“ “Ya itu juga! Kamu ini, udah lupa sama Mama, apa? Sampai jarang ke sini buat main.“ “Rendranya sibuk, Ma. Soal Paskibra sama ini itunya. Papa juga banyak bikin masalah di rumah, makanya makin capek sampai nggak sempet ke sini.

Ya udah, kamu mau ketemu Dewa, 'kan? Sok aja masuk, dia di kamar. Mau nginep juga, 'kan?“ “Iya, Mama. Boleh, ya? Rendra mau nanyain soal materi yang nggak Rendra pahamin di kampus ke Nana. Janji nggak bakal berisik, kok.“ “Iya, kasep. Iya. Udah, sana, ayo buruan masuk. Banyak nyamuk masuk, Mama lupa tutup pintu masuk rumah, tuh.“ “Siap laksanakan, Ma! Rendra ke kamar Nana dulu, ya, Ma. Selamat bobo, Mama!

Semeru pernah jatuh cinta.

Sialnya, semua itu tertuju kepada si penjuru yang telah menemani langkahnya di setiap perlombaan baris-berbaris atas nama Ganesha Mandala. Sialnya, semua perasaan jatuh itu tertuju kepada orang yang tidak semestinya.

Lalu, Semeru harus menambahkan semua kesialannya. Adalah tatkala si seseorang yang dicintai juga ternyata membalas dan memiliki perasaan yang sama, itu adalah kesialan yang entah keberapa kalinya.

Nama seseorang yang pernah mengisi hati Semeru adalah Kanandra. Lelaki itu memiliki senyum yang manis dan selalu memukau siapapun ketika berada di lapangan; entah untuk lomba baris-berbaris atau bermain sepak bola bersama teman setimnya.

Semeru pernah terjatuh untuk semua yang Kanandra miliki; suara tawanya, gayanya ketika sedang merajuk, atau pukulan kecilnya yang kerap didaratkan di bahu Semeru tatkala merasa malu saat bibir Semeru mengucap kalimat menggoda.

Semeru pernah berharap semesta dapat mendukungnya. Paling tidak, janganlah ada selentingan yang datang menerpa mereka. Maka keduanya sepakat, mereka akan diam───tak mengatakan kepada siapapun perihal apa yang mereka rasakan.

Perihal cinta? Sudah, biar hanya mereka saja yang tahu. Yang penting, tidak ada yang menilai mereka sebelah mata. Itu saja.

Namun, semua hal memiliki rintangannya masing-masing. Semeru kehilangan kendali tatkala mengetahui Kanandra tengah menjalin hubungan dengan seorang gadis — anak sahabat orangtua Kanandra — dan sama sekali tidak memberi kesempatan kepada si yang lebih muda untuk menjelaskan situasinya.

Semeru terlalu angkuh untuk menerima maaf dari Kanandra. Semeru memutuskan untuk menutup mata dan telinga tatkala Kanandra menjelaskan bahwa alasannya mengiyakan permintaan orangtuanya untuk menjalani hubungan dengan gadis itu adalah karena───ia tidak ingin hubungannya dengan Semeru diketahui oleh orangtuanya.

Orangtua Kanandra sudah mencium gelagat aneh dari putranya dan memberi tekanan macam-macam kepada Kanandra. Terlahir sebagai keluarga yang seluruhnya adalah pengacara membuat Kanandra paham bahwa ia tidak bisa membuat tindakan macam-macam; atau jika tidak, orangtuanya bisa mencari berbagai macam alasan dari pasal hukum untuk menggugat Semeru.

Semeru tidak memiliki kekuatan hukum apapun, berbeda dengan Kanandra yang dilindungi kiri-kanan-atas-dan-bawah oleh Ayah, Ibunda, serta Kakak perempuan yang paham segala hal tentang hukum.

Maka permintaan orangtuanya diiyakan. Menjalin hubungan dengan gadis ini tidak akan menjadi masalah besar, pikir Kanandra. Ia akan menjadi lelaki paling brengsek hingga gadis itu menyerah dan memilih untuk meninggalkannya.

Namun belum juga semua rencana untuk menjadi lelaki-brengsek itu terlaksana, Semeru sudah keburu mengetahui semuanya. Semeru merasa marah karena Kanandra tidak menjelaskan apapun kepadanya; Semeru menganggap Kanandra hanya mempermainkannya.

Kecewa, tak terkirakan. Itu yang Semeru rasakan.

Kanandra pernah bersimpuh di depan Semeru, meminta permintaan maaf atas hal yang dilakukan namun Semeru terlalu segan untuk memaafkan.

Semeru dan Kanandra, hubungan mereka kandas begitu saja. Hubungan yang semula mereka kira bisa berjalan dengan baik asalkan mereka diam dan menyembunyikan segalanya dengan baik rupanya tidak bisa menghapus aturan bahwa laki-laki semestinya dengan perempuan.

Sebagaimanapun mereka berusaha, rupanya ada satu peraturan tak terbantahkan; bahwa benang merah tidak akan bisa terkait di jemari kelingking mereka.

Perlu beberapa tahun berlalu hingga akhirnya mereka berdua bisa bertemu dan berhadapan sebagai dua teman lama. Perlu beberapa tahun hingga Semeru bisa menerima uluran tangan Kanandra yang menanyakan kabarnya selama ini. Perlu beberapa tahun hingga Semeru tidak merasakan debaran yang sama seperti sebelumnya ketika Kanandra mengulas senyum melebihi madu itu di hadapannya.

Sekarang, mereka berdua melihat Krishna dan Raesaka sama persis seperti keduanya dahulu.

Ketika pertama kali Semeru mendengar pengakuan Raesaka tentang Krishna, ia tahu bahwa semua cerita Raesaka bisa saja berakhir seperti dirinya. Alasan Semeru mengucapkan semua larangan kepada adik sepupunya itu bukan karena ia tidak menyetujui hubungan dengan sesama jenis───

tidak, bukan begitu.

Malah karena Semeru tahu, malah karena Semeru paham, tidak akan ada akhir baik dari semua hal ini...

...maka dari itu, Semeru ingin hentikan semua.

Hentikan Raesaka, agar tidak merasakan sesal seperti dirinya dulu.

Semeru pernah jatuh cinta.

Sialnya, semua itu tertuju kepada si penjuru yang telah menemani langkahnya di setiap perlombaan baris-berbaris atas nama Ganesha Mandala. Sialnya, semua perasaan jatuh itu tertuju kepada orang yang tidak semestinya.

Lalu, Semeru harus menambahkan semua kesialannya. Adalah tatkala si seseorang yang dicintai juga ternyata membalas dan memiliki perasaan yang sama, itu adalah kesialan yang entah keberapa kalinya.

Nama seseorang yang pernah mengisi hati Semeru adalah Kanandra. Lelaki itu memiliki senyum yang manis dan selalu memukau siapapun ketika berada di lapangan; entah untuk lomba baris-berbaris atau bermain sepak bola bersama teman setimnya.

Semeru pernah terjatuh untuk semua yang Kanandra miliki; suara tawanya, gayanya ketika sedang merajuk, atau pukulan kecilnya yang kerap didaratkan di bahu Semeru tatkala merasa malu saat bibir Semeru mengucap kalimat menggoda.

Semeru pernah berharap semesta dapat mendukungnya. Paling tidak, janganlah ada selentingan yang datang menerpa mereka. Maka keduanya sepakat, mereka akan diam───tak mengatakan kepada siapapun perihal apa yang mereka rasakan.

Perihal cinta? Sudah, biar hanya mereka saja yang tahu. Yang penting, tidak ada yang menilai mereka sebelah mata. Itu saja.

Namun, semua hal memiliki rintangannya masing-masing. Semeru kehilangan kendali tatkala mengetahui Kanandra tengah menjalin hubungan dengan seorang gadis — anak sahabat orangtua Kanandra — dan sama sekali tidak memberi kesempatan kepada si yang lebih muda untuk menjelaskan situasinya.

Semeru terlalu angkuh untuk menerima maaf dari Kanandra. Semeru

Adek. Mbak boleh masuk?

Tania sedikit menyembulkan kepalanya ke dalam kamar tidur milik si adik sepupu, Raesaka. Si lelaki rupanya sedang duduk di depan meja belajarnya; mempelajari materi perkuliahannya. Terpanggil, Raesaka segera memutarkan kursi belajarnya sehingga kini menghadap ke arah belakang dan berhadapan dengan si kakak sepupu, Tania.

“Oh, Mbak 'toh.” “Masuk aja, Mbak.”

Setelah mengantungi izin, Tania membuka pintu kamar Raesaka dengan sedikit lebih lebar kemudian masuk dan duduk di pinggiran tempat tidur si adik sepupu. “Lagi belajar, 'tah? Mau ada ujian?”, tanya Tania; dirinya sendiri bukan tipikal anak yang selalu belajar setiap hari dan hanya duduk di meja belajarnya ketika ada ujian saja, sih.

Raesaka tertawa kecil kemudian menggelengkan kepalanya, terlihat santai. “Nggak, Mbak. Aku emang lebih kebiasa kayak begini. Kalau sehari nggak belajar, rasanya aneh banget. Kayak ada yang hampa.”

Tania sedikit mendengus kemudian terkekeh geli. Jika orang lain yang mendengar ujaran Raesaka barusan, pasti mereka akan menyangka adik sepupunya itu sedang menyombongkan diri. Namun Tania yang tahu bahwa adik sepupunya itu memang tidak memiliki aktivitas kesukaan lain selain belajar memahami bahwa ujaran Raesaka adalah kenyataan. Bahwa ia pasti merasa hampa jika tidak belajar.

“Kenapa, Mbak?” “Mau ada yang diomongin?”

Tania terdiam sejenak setelah Raesaka menyuarakan tanyanya. Tangan si gadis kini meraih tangan kiri Raesaka dan mengusapi punggung tangannya dengan lembut. “Dek..”

”..hari ini ada rumor nggak baik tentang kamu di kampus. Ada yang kirim video kamu pas lagi sama Kak Krishna. Sewaktu sama temen-temen cheers juga, ya, kalau nggak salah?”

Raesaka ikut terdiam. Jika tidak salah mengingat, yang Tania bicarakan adalah kejadian tadi sore. Memangnya hal buruk apa yang bisa terjadi dalam rentang waktu beberapa jam saja, coba?

“Ada apa, Mbak?”, tanya Raesaka. Tania mengeluarkan ponsel miliknya dari saku celana panjang training yang ia fungsikan sebagai baju tidur. Diserahkan benda persegi itu kepada Raesaka. “Kamu lihat sendiri aja, ya?”, ujar Tania seraya memperlihatkan laman tweet milik auto-base kampus, ugamaconfess.

Raesaka menerima sodoran ponsel Tania dengan tangan sedikit gemetar. Ia bisa merasakan ujung tangannya menjadi dingin bukan main, entah mengapa. Yang pertama kali menyapa pandangannya adalah sosok Krishna yang datang untuk menjemputnya, gurauan menggoda dari para anggota cheers untuk mereka berdua, lalu───

“Menit pertama, detik tujuh belas..”, tatkala Raesaka masih memfokuskan pandangan kepada seluruh isi video tiba-tiba suara Tania menyadarkannya. Mendengar ujaran si kakak sepupu, Raesaka beralih memperhatikan detik penunjuk laju video.

Video yang Raesaka tonton masih menunjuk di waktu menit pertama, detik ke sepuluh. Raesaka melirik sekilas ke arah Tania kemudian mendapati si kakak sepupu sedikit menggerakkan kepalanya, seakan menyuruh dirinya untuk fokus ke video. “Tonton dulu aja.”

Raesaka menurut. Pandangannya kembali tertuju ke layar ponsel, hingga detik demi detik terlewati dan penunjuk video berada pada menit pertama detik ketujuh belas.

Raesaka mengernyitkan dahi. Ia tidak salah lihat, 'kan? Barusan ia menggeser posisi duduknya agar bisa lebih berdekatan dengan Krishna? Serius───ia melakukan itu? Bahkan ia sendiri tidak menyadarinya, kok.

“Dek.” Tania memanggil Raesaka, lagi. Kali ini nada bicaranya terdengar lemah, entahlah──mungkin lelah karena terus dibuat berspekulasi dengan pikirannya sendiri. “Mbak tanya ke temen Mbak yang suka ke sesama jenis. Mbak tanya, apa maksud dari menit pertama detik ketujuh belas sampai-sampai dampaknya rame banget kayak begini.”

“Mbak juga nggak tau, apa ini bener atau nggak,” Tania masih menggenggam tangan kiri Raesaka; kali ini genggamannya diperkuat. “Katanya semua tindak yang kamu lakuin itu keliatan jelas nunjukin bahwa kamu... naksir Kak Krishna.”

Tania menggigiti bibir bawahnya kuat-kuat. Ia merasa jahat karena berkata demikian, ia seakan menuduh Raesaka padahal kenyataannya belum pasti demikian. Tania masih ingin menaruh percaya kepada si adik sepupu, bahwa perasaannya kepada Krishna hanya sebatas kagum. “Dek, yang mereka bilang itu───nggak bener, 'kan?”

Raesaka tidak menjawab untuk beberapa saat namun setelah detik berlalu, ia menyerahkan ponsel si kakak sepupu kepada pemiliknya. “Mbak lebih percaya aku atau orang lain?”, tanya Raesaka, membuat Tania membisu.

“Tapi Dek,” Tania berujar. “Kamu... nggak suka sama Kak Krishna, 'kan? Yang temen Mbak bilang itu nggak betul, 'kan?”

Genggaman tangan Tania di tangan kiri Raesaka semakin erat, bahkan bisa dikatakan sebagai cengkeraman yang membuat si lelaki sedikit meringis kesakitan. “Mbak,” Raesaka mencoba melepaskan genggaman tangan Tania dengan perlahan, lembut. “Sakit, jangan dicengkeram begitu.”

“Oh, maaf..”, Tania segera melepaskan genggaman tangannya kemudian memilih untuk memainkan kedua tangannya sendiri. “..Mbak kayaknya terlalu──pusing.”

Raesaka menyunggingkan senyumnya. Senyum tipis namun menyejukkan siapapun yang memandang. “Mbak. Nggak usah terlalu dipikirin. Mending Mbak sekarang istirahat. Kantung mata Mbak keliatan hitam, lho. Susah tidur, ya?”

Tania mengangguk. “Banyak pikiran, mungkin. Susah tidur.”

“Karena aku?”, tanya Raesaka; to the point. Tania mengangkat pandangannya kemudian memberi gelengan singkat disertai senyum lemah. “Nggak.. Mbak lagi pusing sama tugas kuliah terus dibebanin jadwal latihan marching juga.”

“Bukan karena kamu kok, Dek.”

Ada dua saudara, Tania dan Raesaka. Mereka, sama. Bersembunyi; di balik kata baik-baik saja.