dontlockhimup

Seru banget, ya, Kak?

Krishna melirik Raesaka dengan tatapan paling tajam yang ia miliki. Sungguh, Krishna tidak habis pikir dengan perkataan lelaki ini. Bagaimana bisa ia mengatakan demikian dengan riang padahal SEPANJANG FILM DIPUTAR, IA TERTIDUR PULAS?!

“Lo nonton?”, tanya Krishna dengan nada skeptis. “Kayaknya gue tadi cuma denger suara ngorok lo doang, deh.”

Seakan kalimatnya barusan tentang seru tidak pernah terucap, Raesaka tertawa kecil seraya menggaruk pipinya. “Maafin, Kak. Kemarin saya habis cari bacaan filsafat sampai subuh... jadi tidurnya cuma sebentar banget sebelum ke sini.”

Krishna mendengus. Sejujurnya, ia tidak tahu harus marah karena suara dengkuran Raesaka mengganggu konsentrasinya─── ataukah Krishna harus marah karena sepanjang Raesaka tertidur, kepala lelaki itu terus bersandar di pundaknya dan membuat Krishna sebisa mungkin harus mengatur degup jantungnya agar tidak berdetak terlampau cepat?

Entah. Krishna tidak tahu mana alasan yang lebih tepat dari penyebab degup jantungnya yang berantakan selama sembilan puluh menit ke belakang.

“Ya udah,” Krishna melangkahkan kakinya untuk meninggalkan ruang bioskop. “Berarti sekarang pulang? Lo udah beli kadonya, 'kan?”

“Oh, Kak.” Raesaka memotong ujaran Krishna. “Saya belum beli kartu ucapannya. Bisa temenin saya pilih kartu yang bagus?”

Dalam hati, Krishna terus bertanya-tanya; apa lelaki ini terlalu sering dibimbing oleh Tania dan Semeru atau bagaimana, sih? Apakah apa-apanya harus serba ditemani?

Akan tetapi, tidak ingin dicap sebagai orang tidak sopan yang menolak permintaan seseorangㅡ pada akhirnya Krishna mengiyakan ajakan Raesaka untuk mencari kartu ucapan guna disisipkan pada hadiah.

Raesaka senang, karena itu tandanya ia dapat berada lebih lama bersama dengan si Kakak tingkat. Namun Raesaka tidak pernah menyangka───kesenangannya tidak bertahan lama; karena lagi-lagi ia dibawa ke situasi yang sama seperti kemarin.

Perihal keyakinan, yang entah mengapa perlahan-lahan tidak lagi ia yakini.

Anjir. Serius di sini?!

Nakuladewa menatapi gedung pencakar langit di hadapannya dengan tatapan tidak percaya. Sementara Tarendra yang berdiri di sisi Nakuladewa tampak sangat santai, seakan gedung pencakar langit di hadapannya ini bukanlah sebuah perkara besar. “Ren! Kenapa nggak bilang kalau kita bakal makan di tempat kayak begini?!”

Tarendra mengorek telinga kirinya kemudian menoleh ke arah Nakuladewa dengan ( masih sama ) santainya. “Gue 'kan udah bilang kemaren, bokap bakal ngajak makan sama kolega. Kalau ngobrol sama orang penting, ya, makannya nggak mungkin di angkringan atau emperan dong, sayangku.”

Nakuladewa tampak tidak puas. Entah tidak puas dengan ujaran Rendra yang terlalu santai atau tidak puas dengan laju pikir otaknya kemarin yang sama sekali tidak memikirkan kemungkinan yang satu ini.

“Gue balik aja, tengsin anjir!” Nakuladewa berniat untuk beranjak pergi dari pintu masuk gedung pencakar langit di hadapannya namun Tarendra segera menarik lengan kiri si kekasih untuk masuk ke dalam gedung bersamanya.

“Apaan sih, tengsin-tengsin? Ayo, masuk. Lo 'kan udah janji mau nemenin gue. Ayo.” Tarendra kini sedikit menarik langkah Nakuladewa, setengah memaksa. “Ayo, Nana! Buset, dah. Lo manusia apa kebo, sih? Berat banget ditarik paksa begini juga!”

“GUE NGGAK MAU, TARENDRAAAAAAAAAAAAAA!”

Budhe, Saka keluar sebentar, ya?

Raesaka berujar setelah kaki kanannya menapaki anak tangga terakhir menuju ke lantai satu kediaman sang Bibi. Sang Ibunda dari Tania, atau biasa Raesaka sapa sebagai Budhe sedang berada di dapur, tampak mempersiapkan santap hidangan malam nanti.

“Ya ampun, ini bujang sama gadis kok ya udah main-main keluar aja pas akhir minggu? Tania juga tadi pamit buat keluar, mau main. Udah punya pacar kamu, Dek?”, tanya sang Bibi ketika Raesaka menghampirinya untuk menyalami tangan beliau. Raesaka hanya tertawa kecil kemudian menggelengkan kepala. “Nggak, Budhe. Saka mau cari kado buat ulang tahun temen.”

Sang Bibi memandangi si keponakan dengan tatapan penuh menyelidik namun disampaikan dengan jenaka. “Hayo, nyari kadonya sama siapa kamu?”, gurau perempuan paruh baya dengan nada menggoda. Raesama lagi-lagi hanya bisa membalas dengan tawa. “Sama temen cowok, kok, Budhe.”

Paham bahwa si keponakan yang dikenal sangat sopan dan penurut ini tidak akan berbohong, akhirnya sang Bibi hanya memberi anggukan; memperbolehkan Raesaka pergi. “Hati-hati, ya, Dek. Kalau hujan, minggir dulu buat neduh. Jalan bisa licin pas hujan, jangan sampai kenapa-kenapa.”

Dengan gaya jenaka, Raesaka memberi gerak hormat kepada sang Bibi. “Siap laksanakan, komandan!”

Semoga saja, semoga semuanya lancar.

Mbak Tania, ayo. Jadi, nggak?

Tania yang awalnya sedang duduk di depan meja rias menjadi sedikit terperanjat tatkala Raesaka tiba-tiba sudah berada di belakang dirinya; membuat pantulan si adik sepupu terpantul di cermin meja rias hadapannya.

“Ya ampun, adeeek! Kamu 'tuh bisa kali kalau masuk ke kamar orang ya ketuk pintu dulu! Kaget lho Mbak! Untung nggak jantungan!” Tania meracau, gemas. “Jadi, ayo. Tapi Mbak sholat Isya dulu. Kamu udah sholat, belum?”

Raesaka memberi anggukan, tanda sudah melaksanakan ibadahnya. Tania menggumam, mengatakan pinter dengan suara kecil. Paham bahwa si kakak sepupu pasti akan memakan waktu agak lama, Raesaka memilih untuk duduk di pinggiran kasur Tania dan mengambil tabung Pringles yang ada di atas nakas. “Mbak, aku minta, ya?”

Tania melirik sekilas kemudian mengangguk. “Awas lho, Dek. Jangan kotorin seprainya kasur Mbak,” himbau Tania. Raesaka memberi gumam dan anggukan, tanda paham.

“Mbak.” Ketika Tania sedang menyisiri rambutnya yang agak basah sehabis mandi, Raesaka membuka suara. “Tuhan ada berapa, ya, sebenernya?”

Seketika, gerakan tangan Tania yang tengah menyisiri rambutnya berhenti. Ia melirik ke arah si adik sepupu dari pantulan cermin, tatapannya terlihat jelas; penuh curiga dan cemas yang bercampur jadi satu. “Kenapa tanya begitu, Dek?”, tanya Tania. Sebisa mungkin ia mengusahakan agar nada suaranya terdengar biasa saja. “Kamu jangan suka tanya aneh-aneh, deh. Tuhan kita, ya, cuma satu. Gusti Allah.”

Masih dengan tangan kanan yang mengambil kepingan kentang dari tabung Pringles di tangan kiri, Raesaka hanya memberi tanggapan berupa anggukan kecil. “Hmm. Iya, aku tau, kok, Mbak. Cuma agak sedikit penasaran aja. Kalau Tuhan emang cuma satu, kenapa bisa ada banyak agama begini? Apalagi di Indonesia.”

Sumpah, Tania merasa jantungnya berdebar sangat cepat saat ini. Bukan debaran penanda sebuah kebahagiaan. Debar yang Tania rasakan sekarang terlalu sulit untuk ia uraikan alasannya. Kesedihan? Marah? Entah, rasanya semua perasaan negatif itu menyeruak dari dalam diri Tania tanpa bisa ia kendalikan.

“Biarpun banyak agama, tetep aja kita harus berpegang ke agama kita, Dek. Jangan suka pikirin hal yang kayak begitu. Udah dari sananya kita harus percaya sama Gusti Allah. Jangan mempertanyakan sesuatu yang nggak bai───”

“Tapi kita memegang agama kita sekarang cuma karena orang tua kita, 'kan, Mbak? Maksudku, semenjak kita lahir─kita udah menganut agama ini tanpa ditanya apa kita bersedia atau nggak. Apa kita setuju atau nggak sama ajarannya. Coba kalau sewaktu kecil kita dikasih ajaran tentang semua agama dan dikasih kesempatan buat milih, bukannya itu bakal lebih bagu───”

“RAESAKA!”

Ujaran Raesaka segera terhenti ketika Tania menggebrakkan sisirnya ke permukaan meja rias dengan sangat keras. Sontak, Raesaka terdiam membisu dan memandangi si Kakak sepupunya dengan pandangan takut-takut. Dipandangi seperti itu, Tania segera berusaha melemaskan ekspresinya agar tidak terlalu terlihat tegang.

“Saka. Dek, hei..” Tania mengubah posisi duduknya agar bisa berhadapan dengan si adik sepupu yang duduk di pinggiran kasur. “..jangan ngomong begitu. Dosa, Dek. Itu tandanya kamu mempertanyakan keagungan Gusti Allah. Nggak baik. Ya?”

“Aku cuma mau tanya, Mbak. Nggak ada maksud apapun lainnya..” Suara Raesaka sedikit mencicit, tampaknya terlalu terkejut karena ini adalah kali pertamanya dibentak oleh si Kakak sepupu yang biasanya selalu mengayomi dengan lembut. “Maaf, kalau pertanyaanku salah.”

“Sssh. Adek, Saka..” Tania bangkit dari kursi meja riasnya kemudian berjongkok di depan Raesaka sehingga tinggi mereka berdua kini menjadi setara. “Mbak juga minta maaf kalau Mbak bikin kamu kaget tadi, ya? Emosi Mbak lagi nggak jelas, kayaknya efek mau PMS.”

Bohong. Tania tidak sedang dalam fase itu. Ia hanya tidak ingin membuat Raesaka terlalu merasa dimarahi, maka alasan itu adalah satu-satunya jalan. Lumayan terbukti berhasil; karena sekarang Raesaka mengulas senyum tipis kepada Tania. “Iya, Mbak.”

“Ya, udah..” Tania bangkit dari posisi berjongkoknya kemudian meraih jaket fakultasnya yang ia sampirkan di hanger dekat tempat tidur. “..berangkat sekarang aja, yuk? Mbak sholatnya nanti aja sehabis beli martabak.”

Raesaka tidak memberi banyak sahutan lagi setelahnya. Ia mengangguk, kemudian bangkit dari tempat tidur si Kakak sepupu menuju garasi kediaman keluarga sang Bibi.

Tadi, Tania benar-benar takut. Entah mengapa ia merasakan sebuah firasat yang mengatakan bahwa ia bisa saja kehilangan si adik sepupu jika lengah. Ia terlalu takut Raesaka bisa melakukan tindak yang tidak ia inginkan.

Tampaknya Tania harus kembali melakukan sholat tahajud di sepertiga malamnya nanti; berharap semua dugaannya itu tidak tepat. Meminta bantuan dari Tuhan agar tetap menjaga sepupunya supaya tidak pergi dari lindungan-Nya.

“Pos terakhir apaan, sih?”

Raesaka menenggak air dari botol minumnya, hanya sedikit karena ia tidak ingin menghabiskannya sekaligus. Masih ada beberapa pos yang harus ia lewati untuk lolos dari penyiksaan yang dipersiapkan oleh para seniornya, Raesaka harus memastikan persediaan air minumnya cukup hingga pos terakhir karena ia yakin tidak akan ada air yang diberikan oleh sang senior hingga semua ini berakhir.

“Katanya Kak Krishna yang jaga pos terakhir,” ujar Indra; salah satu rekan sejawat Raesaka di tahun pertama. Raesaka sedikit menolehkan kepala ketika mendengar nama kakak tingkatnya itu disebut-sebut. “Kak Krishna?”, ulang Raesaka, merasa tertarik.

Indra mengangguk kecil kemudian menyeka keringatnya yang membasahi dahi. Sungguh kegerahan karena di pos sebelumnya mereka baru saja diperintahkan untuk berguling-guling di lorong gelap yang diisi oleh barisan ruang kelas kosong.

Tanpa penerangan sedikitpun, tim yang diisi oleh Raesaka dan rekan-rekannya, termasuk Indra, disuruh berguling───merangkak, bahkan melompat-lompat dari ujung lorong hingga ke tempat para senior yang menjaga pos di seberang lorong berada. Belum cukup, beberapa dari mereka bahkan sempat ditampar dengan cukup keras oleh beberapa senior.

Raesaka? Tidak terkecuali. Namun ia merasa senior yang bertanggung jawab untuk dirinya tidak memukul dengan cukup keras. Hanya menyurukkan tangan ke pipi, tidak menampar seperti yang dilakukan Tarendra kepada Indra yang berdiri di samping Raesaka.

Raesaka mengangkat kepala dan mendapati Nakuladewa yang ada di hadapannya. Entah mungkin karena ujaran Tania yang katanya menitipkan Raesaka kepada Nakuladewa, bisa jadi seniornya itu tidak memperlakukan dirinya terlalu kasar seperti beberapa senior yang lain.

Setelah menerima beberapa pukulan manis dari senior di pos sebelumnya, kini tinggal pos terakhir yang tersisa untuk mereka. Raesaka dan teman-teman setimnya masih duduk di lantai lorong yang cukup memisahkan mereka dengan podium yang ada di lapangan; tempat yang katanya disebut sebagai pos terakhir.

Pos yang menentukan akankah mereka pantas untuk mendapatkan lencana KORSA atau tidak.

Selama menanti, Raesaka berbagi cerita dengan teman setimnya. Membicarakan perihal tentang apa yang kira-kira akan dilakukan oleh Krishna untuk mengetest mereka.

“Tes fisik, nggak, sih?” “Kalo kata gue sih, nggak.” “Mungkin pengetahuan umum?” “Kalo kata lo apa, Saka?”

Semua tebakan bermuara menjadi tanya kepada Raesaka yang masih memijat-mijat kakinya sendiri; merasa sedikit pegal. Mendengar pertanyaan yang ditujukan kepadanya, Raesaka bergumam sejenak. “Hmm..”

“..kata gue sih, Kak Krishna bakal kasih pertanyaan yang nggak ada jawabannya.”

Ujaran Raesaka membuat beberapa orang di timnya mengernyitkan alis. “Hah? Gimana maksudnya? Emang ada pertanyaan yang nggak ada jawabannya?”

“Ada,” jawab Raesaka, ringan. “Pertanyaan yang sebenernya bakal selalu dianggap salah sama dia, segimanapun bagusnya jawaban lo.”

Indra meletakkan tangannya di dagu, ikut memikirkan ujaran Raesaka barusan. “Hmm. Kalau gitu, kira-kira pertanyaan apa yang bisa dikasih sama Kak Krishn───”

GUK! GUK! GUK!

Dari arah lapangan, tiba-tiba suara gonggongan terdengar lantang. Bukan, itu bukan suara gonggongan anjing melainkan suara manusia yang sedang menggonggong. Awalnya hanya satu namun lama-kelamaan terdengar banyak dan saling bersahutan.

Banyak yang sedang menggonggong seperti anjing dan suara itu berasal dari podium di lapangan yang dikabarkan sebagai pos terakhir.

“Lha? Anjir. Disuruh ngegonggong, bukan? Tai! Demi dapet KORSA mesti begini banget, apa?”, umpat Reza; teman setim Raesaka lainnya, yang sekarang tampak sedikit marah. “Senior bangsat, emang!”

Raesaka masih diam di tempatnya. Tangannya mengetuk-ketukkan ujung botol air minumnya ke lantai dengan perlahan; Raesaka sedang berupaya mencari jawaban.

Jawaban, tentang apa yang sebaiknya ia ujarkan di depan si senior yang sedang berlagak paling hebat di sana.

“HEI, KALIAN! TIM YANG LAGI DUDUK DI SANA! GILIRAN KALIAN! SINI!”

Tiba-tiba suara salah satu senior terdengar lantang, memanggil tim Raesaka. Dengan segera, tim yang diketuai oleh Raesaka itu bangkit dan merapihkan barisannya sebelum beranjak pergi menuju ke arah podium lapangan.

Menuju ke pos terakhir mereka.

Raesaka sudah terlelap di kamar lantai dua; kamarnya sendiri.

Tania berhenti mengusapi rambut si adik sepupu ketika laju nafas adiknya itu sudah terlihat tidak lagi memburu seperti beberapa saat lalu. Dengan perlahan, Tania membetulkan posisi selimut yang membalut tubuh Raesaka; ingin memastikan adiknya itu tidak kedinginan nantinya.

Namun rupanya itu keputusan yang salah. Ketika Tania membetulkan posisi selimut, tiba-tiba pandangannya menangkap bekas luka sayat yang ada pada pergelangan tangan Raesaka. Sontak, Tania merasakan dadanya sesak bukan main. Bekas luka sayat itu terus saja membuat Tania bisa merasa bersalah tanpa ada penolongnya.

Bekas sayat itu selalu saja menjadikan Tania merasa dirinya seperti penjahat yang sudah membunuh seseorang.

Berusaha untuk tidak membangunkan Raesaka, Tania menggigiti bibir bawahnya kuat-kuat dan beranjak meninggalkan kamar seraya menahan isak tangis yang seakan bisa meledak kapan saja.

Payah. Bahkan langkah Tania belum sampai di kamarnya sendiri namun tangisnya sudah meledak. Tania terduduk di anak tangga dengan lutut yang dipeluk erat; ia tidak tahu bagaimana menjelaskannya namun saat ini pikiran Tania seakan dibuat dilema akan dua pilihan.

Tania tahu, Raesaka mungkin memiliki rasa kepada Krishna. Tania ingin menghalau kemungkinan itu dengan membujuk Krishna agar menjauhi Raesaka. Tania ingin Krishna paham bahwa tak akan ada hal yang baik jika nantinya mereka berdua bersama.

Namun di satu sisi lain, Tania tahu bahwa ini adalah bahagia Raesaka. Untuk dekat dengan Krishna, untuk dapat berbincang akrab dengan Kakak tingkatnya itu. Bagaimana bisa Tania menghubungi Krishna untuk menjauhi Raesaka jika itu adalah kebahagiaan si adik sepupu?

Ada norma yang semestinya mereka jaga; dan Tania awalnya ingin Raesaka tidak dicela orang-orang karena melanggar norma itu. Tujuannya hanya satu, Raesaka harus terlihat normal agar tidak lagi mengalami segala sesuatu yang menyakiti dirinya lagi. Tania tidak ingin adik sepupunya itu menjadi korban bullying seperti yang dulu pernah dialami. Tania hanya ingin Raesaka baik-baik saja; tanpa ada satu masalah apapun.

Namun Tania harus bagaimana ketika bahagia Raesaka ada di tangan Krishna?

Tolong, beri jawaban. Tania harus bagaimana?

Yang Tania ingat, Ayah Raesaka bukanlah lelaki yang ringan tangan atau jahat.

Kalaupun harus menyimpulkan satu sifatnya yang kurang baik, mungkin Tania akan mengatakan bahwa Ayah dari adik sepupunya itu terlalu gila kerja. Hampir seluruh waktunya dihabiskan untuk berada di markas TNI Angkatan Laut untuk memperhatikan segala hal yang sudah menjadi tugasnya sebagai abdi negara.

Sisanya? Tidak ada. Ayah Raesaka adalah tipikal yang dingin dalam bersikap namun selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk si putra semata wayang. Raesaka disekolahkan di sekolah terbaik, mendapat penanganan dari dokter pribadi keluarga agar penyakitnya tidak menjadi permasalahan besar di kehidupan sehari-hari, tinggal di rumah yang cukup megah dengan beberapa asisten rumah tangga.

Tania tahu, sang Paman sudah berusaha memberi yang terbaik untuk putra kebanggaannya. Namun ada satu yang fatal, waktu. Tidak ada cukup waktu yang diberikan oleh sang Paman kepada putranya. Tania tahu dengan jelas perihal hal itu karena Raesaka paling sering menghabiskan waktu untuk bertukar bincang dengannya; entah lewat chat atau telefon.

Tania tahu, bagaimana satu hari terlewati oleh Raesaka. Tania tahu, titel juara dua parallel di sekolahnya tidak bisa menjadi jaminan mutlak bahwa dirinya akan selalu disenangi oleh teman-temannya.

Tania tahu, Raesaka pernah ditindas oleh beberapa teman yang tidak suka dengan segala hal istimewa yang dimiliki si adik sepupu.

Di satu hari, Tania pernah mendapat chat dari Raesaka yang memperlihatkan foto tas ranselnya diisi oleh bangkai kecoak dalam jumlah cukup banyak. Tania pernah menawarkan diri untuk datang ke sekolah Raesaka dengan niatan untuk membela si adik sepupu. Namun Raesaka menolak, ia mengatakan bahwa semuanya sudah biasa.

Raesaka tidak pernah mau melawan karena teman-teman yang memang dekat dengannya tidak pernah tahu perihal tindak penindasan ini. Raesaka takut apabila ia angkat suara maka teman-teman yang dekat dengannya akan ketakutan dan memilih untuk menjauhinya. Jadi Raesaka pernah mengatakan bahwa ia tidak akan melawan asalkan para penindas itu tidak melewati batas.

Dalam hati, Tania tidak setuju. Ingin sekali ia bertemu dengan penindas si adik sepupu dan meninjunya sampai babak-belur. Titel pemilik sabuk hitam taekwondo yang dimiliki Tania akan berguna untuk hal ini, bukan?

Akan tetapi, lagi-lagi Raesaka menolak. Hingga akhirnya hari-hari berlalu, chat dari si adik sepupu semakin jarang didapat. Terakhir kali, Raesaka mengatakan bahwa ia dicalonkan sebagai kandidat utama danton di sekolahnya; sebuah jabatan yang sangat diidamkan siapapun di dalam keanggotaan Paskibra.

Tania menganggap adik sepupunya terlalu sibuk hingga ia tidak lagi memfokuskan perhatian ke ponselnya; ia menganggap Raesaka tidak akan lagi menghubungi dalam waktu dekat.

Hingga di suatu hari, Tania menghabiskan waktu dengan menghadiri pesta teman dekatnya. Semua bahagia tengah dirasa, tawa dibagi dengan penuh asa, semua terasa baik-baik saja───hingga ponsel Tania bergetar, menunjukkan adanya telefon dari Raesaka.

Tania masih belum dewasa kala itu. Ia mengumpat dalam hati; mengatakan Raesaka kerap merepotkan diri dengan menghubungi di saat ia tengah menikmati waktunya seperti sekarang. Maka dengan sengaja, nada dering serta getar ponsel dimatikan. Menjadi mode senyap, telefon yang masuk dari Raesaka tidak mengganggu dirinya lagi.

Hari itu, Tania menghabiskan waktunya dengan kebahagiaan dari teman-teman dekatnya. Semua terasa sempurna, dalam titik paling tinggi.

Hingga kedatangan Tania di rumah disambut dengan sosok Ayah dan Ibunda yang terlihat sangat tergesa. Baru juga Tania memijakkan langkahnya ke pintu masuk, Ibundanya sudah memeluk Tania kemudian menangis terisak.

“Mama..” “Mama kenapa?” “Kenapa nangis, Ma?”

Ayah Tania menundukkan kepala dan mengusapi puncak kepala si putri kesayangan dengan penuh sayang. “Tania, Papa udah telfon guru di sekolah Tania. Besok Tania nggak usah sekolah dulu dan ikut Mama Papa ke luar kota, ya, Nak? Kita ke Rumah Sakit..”

“Kenapa..” “Kenapa Rumah Sakit, Pa?”

Tania merasakan jantungnya berdebar cepat, entah kenapa tangisan Ibunda di pelukannya sekarang seakan menjelaskan sesuatu yang sudah teramat jelas namun tidak ingin Tania terima dan percayai. “Mama───kenapa kita harus ke Rumah Sakit? Siapa yang sakit, Ma?”

Ibundanya masih terisak, membuat Tania tidak memiliki lain selain menanyakan perihal apa yang terjadi kepada Ayahnya. “Papa! Siapa yang sakit, Pa?”

Ayahanda Tania menatapi putrinya dengan pandangan kasihan; ia tahu sebagaimana kabar yang akan diperdengarkannya sekarang bisa memberi dampak kepada si putri semata wayang.

“Tania..” “Raesaka ada di Rumah Sakit.” “Dia───coba bunuh diri, Tania.”

Kaki Tania terasa lemas bukan main tepat setelah sang Ayah mengujarkan kalimatnya. Tubuhnya jatuh terduduk di lantai, membuat sang Ibunda juga ikut terduduk dan menyuarakan kekhawatirannya; bahkan hampir histeris. “Tania, sayang! Jangan begini, sayang! Kita segera ke sana, ya, sayang? Saka nggak akan kenapa-kenapa, sayang..”

Kalimat hiburan yang diujarkan oleh Ibunya membuat Tania semakin merasa gamang. Raesaka, adik sepupunya yang ia kenal sebagai sosok yang selalu percaya diri dan ramah riang, mencoba bunuh diri?

Karena apa? Kenapa, untuk apa?

Dengan tangan gemetar, Tania merogoh saku celana jeansnya untuk meraih ponsel miliknya. Layar benda persegi itu dinyalakan, yang mana malah membuat tangis Tania tidak bisa lagi terbendung.

15 missed call Dek Sakaaaaaa 💙

Raesaka sudah meminta pertolongan darinya. Raesaka meminta Tania untuk mencegah dirinya melakukan semua tidak gila yang muncul di pikirannya. Namun Tania menolak, malah merutuk dalam hati; menganggap sosok adik sepupunya itu merepotkan dan mengganggu.

Tania tidak tahu, namun satu hal yang pasti───jika sampai Raesaka meninggal karena ulahnya, Tania tidak akan pernah memaafkan dirinya untuk hal ini.

Seumur hidup, Tania akan hidup dengan rasa salah yang tidak akan redup.

Yang Tania ingat, Ayah Raesaka bukanlah lelaki yang ringan tangan atau jahat.

Kalaupun harus menyimpulkan satu sifatnya yang kurang baik, mungkin Tania akan mengatakan bahwa Ayah dari adik sepupunya itu terlalu gila kerja. Hampir seluruh waktunya dihabiskan untuk berada di markas TNI Angkatan Laut untuk memperhatikan segala hal yang sudah menjadi tugasnya sebagai abdi negara.

Sisanya? Tidak ada. Ayah Raesaka adalah tipikal yang dingin dalam bersikap namun selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk si putra semata wayang. Raesaka disekolahkan di sekolah terbaik, mendapat penanganan dari dokter pribadi keluarga agar penyakitnya tidak menjadi permasalahan besar di kehidupan sehari-hari, tinggal di rumah yang cukup megah dengan beberapa asisten rumah tangga.

Tania tahu, sang Paman sudah berusaha memberi yang terbaik untuk putra kebanggaannya. Namun ada satu yang fatal, waktu. Tidak ada cukup waktu yang diberikan oleh sang Paman kepada putranya. Tania tahu dengan jelas perihal hal itu karena Raesaka paling sering menghabiskan waktu untuk bertukar bincang dengannya; entah lewat chat atau telefon.

Tania tahu, bagaimana satu hari terlewati oleh Raesaka. Tania tahu, titel juara dua parallel di sekolahnya tidak bisa menjadi jaminan mutlak bahwa dirinya akan selalu disenangi oleh teman-temannya.

Tania tahu, Raesaka pernah ditindas oleh beberapa teman yang tidak suka dengan segala hal istimewa yang dimiliki si adik sepupu.

Di satu hari, Tania pernah mendapat chat dari Raesaka yang memperlihatkan foto tas ranselnya diisi oleh bangkai kecoak dalam jumlah cukup banyak. Tania pernah menawarkan diri untuk datang ke sekolah Raesaka dengan niatan untuk membela si adik sepupu. Namun Raesaka menolak, ia mengatakan bahwa semuanya sudah biasa.

Raesaka tidak pernah mau melawan karena teman-teman yang memang dekat dengannya tidak pernah tahu perihal tindak penindasan ini. Raesaka takut apabila ia angkat suara maka teman-teman yang dekat dengannya akan ketakutan dan memilih untuk menjauhinya. Jadi Raesaka pernah mengatakan bahwa ia tidak akan melawan asalkan para penindas itu tidak melewati batas.

Dalam hati, Tania tidak setuju. Ingin sekali ia bertemu dengan penindas si adik sepupu dan meninjunya sampai babak-belur. Titel pemilik sabuk hitam taekwondo yang dimiliki Tania akan berguna untuk hal ini, bukan?

Akan tetapi, lagi-lagi Raesaka menolak. Hingga akhirnya hari-hari berlalu, chat dari si adik sepupu semakin jarang didapat. Terakhir kali, Raesaka mengatakan bahwa ia dicalonkan sebagai kandidat utama danton di sekolahnya; sebuah jabatan yang sangat diidamkan siapapun di dalam keanggotaan Paskibra.

Tania menganggap adik sepupunya terlalu sibuk hingga ia tidak lagi memfokuskan perhatian ke ponselnya; ia menganggap Raesaka tidak akan lagi menghubungi dalam waktu dekat.

Hingga di suatu hari, Tania menghabiskan waktu dengan menghadiri pesta teman dekatnya. Semua bahagia tengah dirasa, tawa dibagi dengan penuh asa, semua terasa baik-baik saja───hingga ponsel Tania bergetar, menunjukkan adanya telefon dari Raesaka.

Tania masih belum dewasa kala itu. Ia mengumpat dalam hati; mengatakan Raesaka kerap merepotkan diri dengan menghubungi di saat ia tengah menikmati waktunya seperti sekarang. Maka dengan sengaja, nada dering serta getar ponsel dimatikan. Menjadi mode senyap, telefon yang masuk dari Raesaka tidak mengganggu dirinya lagi.

Hari itu, Tania menghabiskan waktunya dengan kebahagiaan dari teman-teman dekatnya. Semua terasa sempurna, dalam titik paling tinggi.

Hingga kedatangan Tania di rumah disambut dengan sosok Ayah dan Ibunda yang terlihat sangat tergesa. Baru juga Tania memijakkan langkahnya ke pintu masuk, Ibundanya sudah memeluk Tania kemudian menangis terisak.

“Mama..” “Mama kenapa?” “Kenapa nangis, Ma?”

Ayah Tania menundukkan kepala dan mengusapi puncak kepala si putri kesayangan dengan penuh sayang. “Tania, Papa udah telfon guru di sekolah Tania. Besok Tania nggak usah sekolah dulu dan ikut Mama Papa ke luar kota, ya, Nak? Kita ke Rumah Sakit..”

“Kenapa..” “Kenapa Rumah Sakit, Pa?”

Tania merasakan jantungnya berdebar cepat, entah kenapa tangisan Ibunda di pelukannya sekarang seakan menjelaskan sesuatu yang sudah teramat jelas namun tidak ingin Tania terima dan percayai. “Mama───kenapa kita harus ke Rumah Sakit? Siapa yang sakit, Ma?”

Ibundanya masih terisak, membuat Tania tidak memiliki lain selain menanyakan perihal apa yang terjadi kepada Ayahnya. “Papa! Siapa yang sakit, Pa?”

Ayahanda Tania menatapi putrinya dengan pandangan kasihan; ia tahu sebagaimana kabar yang akan diperdengarkannya sekarang bisa memberi dampak kepada si putri semata wayang.

“Tania..” “Raesaka ada di Rumah Sakit.” “Dia───coba bunuh diri, Tania.”

Kaki Tania terasa lemas bukan main tepat setelah sang Ayah mengujarkan kalimatnya. Tubuhnya jatuh terduduk di lantai, membuat sang Ibunda juga ikut terduduk dan menyuarakan kekhawatirannya; bahkan hampir histeris. “Tania, sayang! Jangan begini, sayang! Kita segera ke sana, ya, sayang? Saka nggak akan kenapa-kenapa, sayang..”

Kalimat hiburan yang diujarkan oleh Ibunya membuat Tania semakin merasa gamang. Raesaka, adik sepupunya yang ia kenal sebagai sosok yang selalu percaya diri dan ramah riang, mencoba bunuh diri?

Karena apa? Kenapa, untuk apa?

Dengan tangan gemetar, Tania merogoh saku celana jeansnya untuk meraih ponsel miliknya. Layar benda persegi itu dinyalakan, yang mana malah membuat tangis Tania tidak bisa lagi terbendung.

15 missed call Dek Sakaaaaaa 💙

Raesaka sudah meminta pertolongan darinya. Raesaka meminta Tania untuk mencegah dirinya melakukan semua tidak gila yang muncul di pikirannya. Namun Tania menolak, malah merutuk dalam hati; menganggap sosok adik sepupunya itu merepotkan dan mengganggu.

Tania tidak tahu, namun satu hal yang pasti───jika sampai Raesaka meninggal karena ulahnya, Tania tidak akan pernah memaafkan dirinya untuk hal ini.

Seumur hidup, Tania akan hidup dengan rasa salah yang tidak akan redup.

Raesaka adalah jenius.

Mungkin titel itu belum cukup untuk menjelaskan sosok seorang Raesaka di mata setiap orang yang mengenalnya. Berhasil menduduki posisi juara kedua parallel di sekolahnya yang dikenal sebagai sekolah unggul, tentu paling tidak menjadikan orang-orang akan menganggap Raesaka adalah sosok lelaki berkacamata yang hanya menghabiskan waktu di perpustakaan.

Padahal kenyataannya, tidak.

Raesaka adalah ketua OSIS di sekolahnya, menjabat pula sebagai ketua di ekstrakurikuler yang diikuti. Ia kerap pergi ke perpustakaan namun tidak duduk selama berjam-jam untuk mempelajari sesuatu dengan serius. Ia hanya datang untuk meminjam buku kemudian kembali pergi ke ruang OSIS untuk membicarakan perihal program kerja untuk acara sekolah.

Bayangkan, siapa yang akan menyangka lelaki seaktif itu memiliki waktu untuk belajar, coba?

Banyak yang kagum kepada Raesaka. Banyak yang menaruh rasa suka, banyak pula yang mengatakan ingin memiliki kesempatan untuk menjalin hubungan istimewa dengannya. Namun perputaran dunia tidak selalu berada dalam poros terbaik, bukan? Demikian juga dengan Raesaka.

Memiliki fisik yang cukup menarik, kepribadian yang ramah, juga otak yang cemerlang tidak selalu membawa hal yang baik untuknya. Raesaka kerap dijadikan target bullying di sekolah, bahkan menerima fitnah bahwa ia mendapatkan semua yang diterima hanya karena sang Ayah adalah anggota TNI dengan posisi jabatan yang tinggi sehingga pihak sekolah memberi segala keuntungan kepadanya.

Namun semua tidak terbukti karena Raesaka memang aktif mempertunjukkan kepintarannya di dalam kelas, bahkan kerap mengikuti lomba akademik yang menjadikannya juara. Perlahan, semua ujaran perihal titel anak emas menghilang.

Penyakit yang dimiliki oleh Raesaka tidak diketahui banyak pihak. Hanya guru-guru yang dipercaya serta beberapa teman-teman yang sekiranya Raesaka kira bisa menjaga rahasia. Walaupun begitu, semua berjalan lancar. Walaupun tidak banyak yang tahu perihal penyakitnya, Raesaka bisa menjalani kehidupan sekolahnya seperti biasa.

Dengan tawa, dengan riang, dengan gembir───

Oh, ralat. Semua terasa menyenangkan hingga datangnya hari itu. Hari dimana tim Paskibra sekolahnya mengadakan seleksi danton untuk diikutsertakan ke dalam lomba. Raesaka dicalonkan untuk menjadi kandidat utama oleh seniornya.

Alasannya? Entah. Raesaka tahu bahwa ia memang memiliki kelebihan di bidang baris-berbaris namun tidak sampai untuk dijadikan kandidat utama sebagai danton. Ia merasa sungkan karena menganggap adanya kemungkinan para senior memilih dirinya hanya karena sosok sang Ayah yang memang dikenal memiliki pengaruh cukup besar.

Tidak ingin dipandang sebelah mata, akhirnya Raesaka berusaha untuk membuktikan diri bahwa ia bukan hanya sekedar putra dari seorang personel TNI Angkatan Laut. Raesaka berlatih keras, bahkan meminta pengawasan dari Semeru yang sangat ahli perihal baris-berbaris; agar kalaupun ia berhasil terpilih sebagai danton, kemampuannya cukup untuk dijadikan sebuah kebanggaan.

Raesaka ingat, yang kala itu menjadi saingannya adalah temannya yang bernama Tommy; yah, sebenarnya mereka tidak cukup dekat untuk disebut sebagai teman. Mereka hanya sekedar kenal. Padahal Raesaka sudah berusaha akrab dengan Tommy namun lelaki itu seakan me

Satu menit. Lima menit. Sepuluh menit, berlalu begitu saja.

Semestinya, Tania bisa menggunakan waktunya untuk memberikan balasan kepada Krishna. Bukannya malah diam memandangi layar ponselnya dengan bibir bawah yang digigiti dan jemari yang agak gemetar tidak henti. Semestinya Tania bisa mengetikkan berbagai pertanyaan yang memenuhi benaknya dengan mudah.

Sejauh mana Kakak kenal Saka? Bagaimana perasaan Kakak ke Saka? Kakak tahu 'kan, kalau Kakak dan Saka itu sama-sama───pria? Kakak tahu 'kan, akan bagaimana jadinya Kakak dan Saka nantinya?

Ingin sekali Tania mengetikkan semua hal yang sekarang berkecambuk di dalam benaknya namun tidak bisa. Bukan karena ia takut untuk berbincang dengan Krishna, Tania takut akan satu hal; ia takut akan jawaban yang diberikan oleh Krishna nantinya.

Bagaimana jika ternyata Krishna juga memiliki rasa kepada adik sepupunya? Bagaimana jika mereka nekat untuk melakukan hal yang dipandang tabu oleh masyarakat? Bagaimana jika────