Yang Tania ingat, Ayah Raesaka bukanlah lelaki yang ringan tangan atau jahat.
Kalaupun harus menyimpulkan satu sifatnya yang kurang baik, mungkin Tania akan mengatakan bahwa Ayah dari adik sepupunya itu terlalu gila kerja. Hampir seluruh waktunya dihabiskan untuk berada di markas TNI Angkatan Laut untuk memperhatikan segala hal yang sudah menjadi tugasnya sebagai abdi negara.
Sisanya? Tidak ada. Ayah Raesaka adalah tipikal yang dingin dalam bersikap namun selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk si putra semata wayang. Raesaka disekolahkan di sekolah terbaik, mendapat penanganan dari dokter pribadi keluarga agar penyakitnya tidak menjadi permasalahan besar di kehidupan sehari-hari, tinggal di rumah yang cukup megah dengan beberapa asisten rumah tangga.
Tania tahu, sang Paman sudah berusaha memberi yang terbaik untuk putra kebanggaannya. Namun ada satu yang fatal, waktu. Tidak ada cukup waktu yang diberikan oleh sang Paman kepada putranya. Tania tahu dengan jelas perihal hal itu karena Raesaka paling sering menghabiskan waktu untuk bertukar bincang dengannya; entah lewat chat atau telefon.
Tania tahu, bagaimana satu hari terlewati oleh Raesaka. Tania tahu, titel juara dua parallel di sekolahnya tidak bisa menjadi jaminan mutlak bahwa dirinya akan selalu disenangi oleh teman-temannya.
Tania tahu, Raesaka pernah ditindas oleh beberapa teman yang tidak suka dengan segala hal istimewa yang dimiliki si adik sepupu.
Di satu hari, Tania pernah mendapat chat dari Raesaka yang memperlihatkan foto tas ranselnya diisi oleh bangkai kecoak dalam jumlah cukup banyak. Tania pernah menawarkan diri untuk datang ke sekolah Raesaka dengan niatan untuk membela si adik sepupu. Namun Raesaka menolak, ia mengatakan bahwa semuanya sudah biasa.
Raesaka tidak pernah mau melawan karena teman-teman yang memang dekat dengannya tidak pernah tahu perihal tindak penindasan ini. Raesaka takut apabila ia angkat suara maka teman-teman yang dekat dengannya akan ketakutan dan memilih untuk menjauhinya. Jadi Raesaka pernah mengatakan bahwa ia tidak akan melawan asalkan para penindas itu tidak melewati batas.
Dalam hati, Tania tidak setuju. Ingin sekali ia bertemu dengan penindas si adik sepupu dan meninjunya sampai babak-belur. Titel pemilik sabuk hitam taekwondo yang dimiliki Tania akan berguna untuk hal ini, bukan?
Akan tetapi, lagi-lagi Raesaka menolak. Hingga akhirnya hari-hari berlalu, chat dari si adik sepupu semakin jarang didapat. Terakhir kali, Raesaka mengatakan bahwa ia dicalonkan sebagai kandidat utama danton di sekolahnya; sebuah jabatan yang sangat diidamkan siapapun di dalam keanggotaan Paskibra.
Tania menganggap adik sepupunya terlalu sibuk hingga ia tidak lagi memfokuskan perhatian ke ponselnya; ia menganggap Raesaka tidak akan lagi menghubungi dalam waktu dekat.
Hingga di suatu hari, Tania menghabiskan waktu dengan menghadiri pesta teman dekatnya. Semua bahagia tengah dirasa, tawa dibagi dengan penuh asa, semua terasa baik-baik saja───hingga ponsel Tania bergetar, menunjukkan adanya telefon dari Raesaka.
Tania masih belum dewasa kala itu. Ia mengumpat dalam hati; mengatakan Raesaka kerap merepotkan diri dengan menghubungi di saat ia tengah menikmati waktunya seperti sekarang. Maka dengan sengaja, nada dering serta getar ponsel dimatikan. Menjadi mode senyap, telefon yang masuk dari Raesaka tidak mengganggu dirinya lagi.
Hari itu, Tania menghabiskan waktunya dengan kebahagiaan dari teman-teman dekatnya. Semua terasa sempurna, dalam titik paling tinggi.
Hingga kedatangan Tania di rumah disambut dengan sosok Ayah dan Ibunda yang terlihat sangat tergesa. Baru juga Tania memijakkan langkahnya ke pintu masuk, Ibundanya sudah memeluk Tania kemudian menangis terisak.
“Mama..”
“Mama kenapa?”
“Kenapa nangis, Ma?”
Ayah Tania menundukkan kepala dan mengusapi puncak kepala si putri kesayangan dengan penuh sayang. “Tania, Papa udah telfon guru di sekolah Tania. Besok Tania nggak usah sekolah dulu dan ikut Mama Papa ke luar kota, ya, Nak? Kita ke Rumah Sakit..”
“Kenapa..”
“Kenapa Rumah Sakit, Pa?”
Tania merasakan jantungnya berdebar cepat, entah kenapa tangisan Ibunda di pelukannya sekarang seakan menjelaskan sesuatu yang sudah teramat jelas namun tidak ingin Tania terima dan percayai. “Mama───kenapa kita harus ke Rumah Sakit? Siapa yang sakit, Ma?”
Ibundanya masih terisak, membuat Tania tidak memiliki lain selain menanyakan perihal apa yang terjadi kepada Ayahnya. “Papa! Siapa yang sakit, Pa?”
Ayahanda Tania menatapi putrinya dengan pandangan kasihan; ia tahu sebagaimana kabar yang akan diperdengarkannya sekarang bisa memberi dampak kepada si putri semata wayang.
“Tania..”
“Raesaka ada di Rumah Sakit.”
“Dia───coba bunuh diri, Tania.”
Kaki Tania terasa lemas bukan main tepat setelah sang Ayah mengujarkan kalimatnya. Tubuhnya jatuh terduduk di lantai, membuat sang Ibunda juga ikut terduduk dan menyuarakan kekhawatirannya; bahkan hampir histeris. “Tania, sayang! Jangan begini, sayang! Kita segera ke sana, ya, sayang? Saka nggak akan kenapa-kenapa, sayang..”
Kalimat hiburan yang diujarkan oleh Ibunya membuat Tania semakin merasa gamang. Raesaka, adik sepupunya yang ia kenal sebagai sosok yang selalu percaya diri dan ramah riang, mencoba bunuh diri?
Karena apa?
Kenapa, untuk apa?
Dengan tangan gemetar, Tania merogoh saku celana jeansnya untuk meraih ponsel miliknya. Layar benda persegi itu dinyalakan, yang mana malah membuat tangis Tania tidak bisa lagi terbendung.
15 missed call
Dek Sakaaaaaa 💙
Raesaka sudah meminta pertolongan darinya. Raesaka meminta Tania untuk mencegah dirinya melakukan semua tidak gila yang muncul di pikirannya. Namun Tania menolak, malah merutuk dalam hati; menganggap sosok adik sepupunya itu merepotkan dan mengganggu.
Tania tidak tahu, namun satu hal yang pasti───jika sampai Raesaka meninggal karena ulahnya, Tania tidak akan pernah memaafkan dirinya untuk hal ini.
Seumur hidup,
Tania akan hidup
dengan rasa salah
yang tidak akan redup.