“Lo tau Segar Sari nggak, sih, Pie? Yang ada di warung belakang asrama itu, lho. Warungnya Mbak Dedeh. Beliin, lah. Makanannya apa aja terserah lo, tapi minumnya Segar Sari yang pink.“
“Lo pilek, goblok!“
“Orang pilek ya nggak boleh minum es! Tolol banget gue punya temen, heran!“
Oppie baru saja menggantungkan handuk berwarna abu-abu ke jemuran kecil yang ada di balkon kamar asrama si pemilik; Krishna. Sementara si pemilik kamar masih membolak-balik lembar halaman komik yang tengah dibacanya dengan tenang, tampak tidak mempedulikan ujaran Oppie barusan yang terdengar sangat kesal.
“Halah. Emang gue anak kecil, apa? Gara-gara pilek makanya nggak boleh minum es? Takhayul itu.“
“Takhayul pala lo?! Mesen makanan yang bener! Lo sakit lagi, gue yang repot jagain lo!“
“Gue pesen itu. Segar Sari pink. Makanannya terserah lo. Nasi pake kecap doang juga nggak apa-apa.“
Oppie menggeleng-gelengkan kepalanya dengan penuh rasa heran. Kenapa mahluk satu ini keras kepalanya bukan main, coba? Bukannya sudah jadi rahasia umum bahwa orang yang sedang pilek, ya, jangan minum es atau minuman dingin? Kenapa Krishna susah sekali untuk dinasihati, sih?!
“Oh, lo kalau mau pulang juga nggak apa-apa, sih, Pie. Gue udah bisa jalan, kayaknya.“
“Ya udah, lo yang beli makannya sendiri. Bisa, 'kan?“
“Yee, belum selesai ngomong!“
“Gue bisa jalan ke toilet sendiri. Kalau sampe ke pintu depan masih belum bisa. Kakina mati atiitt..“
”...”
“Anjing.“
“Gue merinding, bangsat.“
“Fuck, bulu kuduk gue langsung berdiri liat lo sok imut gitu. Gelay, tai!“
Handuk abu-abu yang semula sudah tergantung rapi di jemuran balkon kamar Krishna, kini terbang dan mendarat tepat di muka si pemilik kamar. Seakan sudah sangat terbiasa, Krishna menyingkirkan handuk yang mendarat di wajah dan melemparkannya begitu saja ke lantai kamar.
“Heh! Lo nginep di kamar gue lho, Pie. Kalau lo nginep di hotel, paling murah lo harus keluarin uang tiga ratus ribu. Gue? Sebagai teman yang baik, gue cuma minta lo beliin gue Segar Sari dan lo nggak usah bayar biaya nginep di kamar gue.“
“Ya Tuhan...” Oppie mengacak-acak rambutnya sendiri; merasa gemas dengan segala situasi yang ada. “...ini hukuman buat hamba karena jarang ke gereja atau gimana, sih?!“
Pada akhirnya Oppie mengalah. Dibanding harus beradu pendapat dengan Krishna, lebih baik ia mengiyakan saja permintaan si teman. Langkah kaki dibawa untuk menuruni tangga asrama, berniat untuk membelikan semua yang diminta oleh Krishna. Sungguh, catat ucapan Oppie; ini adalah tindak baiknya yang terakhir untuk dia.
Namun sepertinya Tuhan masih menyayangi Oppie. Di tengah langkahnya yang dipenuhi gerutuan ketika melangkah menuju kamar asrama Krishna, tiba-tiba dirinya dipertemukan dengan Raesaka yang sedang memarkirkan motornya di lapangan parkir asrama. “Alhamdulilah, rezeki anak sholeh...”, ujar Oppie; seakan lupa dengan agama asli yang dianutnya.
Dengan langkah (terlampau) riang, Oppie berderap menghampiri Raesaka dan menepuk bahunya dari belakang. Yang ditepuk bahunya segera menolehkan kepala, senyum ramah terulas di wajah Raesaka; membuat kesan manis dan tampan di waktu bersamaan. “Oh, Kak Oppie, toh?”
“Lo ngapain ke sini, Saka?“
“Oh, saya mau ngecek keadaan Kak Krishna. Kemarin dia habis dihukum ngelilingin lapangan lima puluh keliling. Kali aja, dia butuh bantuan buat ngerjain sesuatu.”
“Ya Tuhan..“
“..terima kasih sudah mengirimkan malaikat utusanmu untuk hamba.“
“Hah?”
“Kenapa, Kak?”
Tidak mempedulikan pertanyaan Raesaka, Oppie menyodorkan dua kantung plastik berisi makanan dan es-segar-sari-pink kepada si adik tingkat. Tidak ada banyak kalimat, hanya ujaran singkat;
“Bantuin gue jagain dia, ya!“
“Lho? Nggak apa-apa, Kak?”
“Kakak ada urusan, 'kah?”
Oppie terdiam sejenak sebelum akhirnya berujar dengan nada yakin.
“Ada!“
“Gue mau ngerayain pesta soalnya mention gue dibales Jennie Blackpink.“
Aduh, Oppie..
..bisa kali cari alasan yang laiㅡ
“Oh, gitu ya, Kak?”
“Selamat, ya, Kak.”
“Nggak apa-apa, saya aja yang anterin makanannya ke kamar Kak Krishna.”
RAESAKA!
DEMI APA?
LO PERCAYA ALASAN BEGITU?!
Merasa mendapatkan aji mumpung, Oppie tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dua kantung plastik di tangannya sudah berpindah dan kini ia sedang melangkah cepat menuju lapangan parkir dimana mobilnya diparkirkan.
Meninggalkan Raesaka dengan dua kantung plastik di tangan.