dontlockhimup

Tiga butir kapsul dan dua pil obat ditenggak seluruhnya oleh Nakuladewa.

Tarendra sedari tadi hanya berdiri di samping Nakuladewa yang duduk di bangku bar milik kediamannya. Ia masih memegangi gelas bening yang terisi air hangat bekas Nakuladewa meminum obat-obatannya. “Udah? Mau gue ambilin buah? Di kulkas ada strawberry, kalau lo mau.”

Nakuladewa mengulas senyum tipis kemudian menggelengkan kepalanya. “Thanks”, ujar Nakuladewa, memberi penolakan secara halus. “Kayaknya gue harus pulang. Gue nggak bilang ke nyokap buat nginep, soalnya. Baju lo ini gue cuci dulu baru gue balikin, ya?”

Memang, baju yang sekarang dikenakan Nakuladewa adalah kenaan milik Tarendra. Beruntung, postur tubuh keduanya lumayan mirip walaupun Nakuladewa tetap terlihat lebih besar daripada Tarendra, sih. “Gue pulang, ya, Reㅡ”

“Nginep sini aja.”

Tarendra menahan lengan Nakuladewa agar tidak pergi dari bangku meja bar. Si lelaki berkulit kecoklatan tidak menatap langsung ke arah Nakuladewa. Ia menatap lantai, seperti malu untuk bertatapan dengan si lelaki di hadapan. “Jangan pergi. Temenin gue..”

“..please.”

Nakuladewa memandangi Tarendra, lumayan cukup lama. Hingga akhirnya anggukan kecil diberi sebagai jawaban.

“Ya udah.” “Gue nginep.”

Mamaaaaa!!!“ “Maaa! Sekali ajaaa!“ “Ya? Mah, yaaa?

Dewa, Nak. Kamu lagi sakit.“ “Tadi dokter bilang apa, coba?“ “Kamu harus istirahat.“ “Masa sekarang ke rumah Rendra?

Ma..“ “Dewa nggak pernah minta apa-apa ke Mama. Minta motor? Nggak. Minta laptop? Nggak. Minta handphone baru? Nggak.“ “Dewa minta ini aja, Ma..“ “Izinin Dewa ke rumah Rendra, ya, Ma? Yaaa? Boleh, ya?

Sang Ibunda bisa apa jika putra semata wayangnya itu sudah mengatakan demikian, coba? Rasa bersalah segera masuk ke relung hati sang Ibunda karena tidak bisa memberikan yang selama ini si putra butuhkan. Maka dengan berdasar pada itu, Ibunda Nakuladewa hanya menghela nafas dalam-dalam kemudian menatapi putranya dengan penuh pandangan khawatir.

Tapi kamu tetep minum obat di sana, ya?“ “Jangan sampai kelewat, lho.“ “YES! PASTI, MA!“ “Dewa sayang Mamaa!

Sang Ibunda sedikit mendengus. Putranya memang sangat mengutamakan sahabatnya, Rendra dibanding apapun. Bahkan hingga terkadang membuat sang Ibunda penasaran, hubungan mereka berdua sebenarnya sedalam apa?

Tidak sampai sejauh yang sedang ia pikirkan saat ini, 'kan?

Jarum jam sudah menunjukkan pukul satu tengah malam.

Tania baru saja menyelesaikan panggilan videonya dengan Jane, teman dekatnya. Biasa, sepanjang perbincangan ( yang didominasi oleh tangisan Jane dan Tania yang berusaha menenangkan ) hanya diisi oleh tukar pendapat antar dua-gadis; yang mana sudah dipastikan akan lebih banyak berisi kalimat rutukan untuk para lelaki.

Hingga akhirnya Jane meminta izin untuk undur diri terlebih dahulu kepada Tania. Mengantuk, katanya. Setelah mengujarkan kalimat terima kasih yang mungkin terkesan basa-basi, panggilan video diantara keduanya berakhir.

Tania sempat terdiam sejenak sebelum tungkai jenjangnya menuruni kasur dan melangkah perlahan menuju lantai dua; menuju ke kamar tidur milik si adik sepupu, Raesaka.

Semestinya jam segini Raesaka sudah terlelap. Dengan berpacu kepada dugaannya, Tania membuka pintu kamar Raesaka dengan teramat perlahan; berusaha tidak menimbulkan suara derit sedikitpun. Pintu tidak dibuka seluruhnya, Tania hanya membuka sebesar ruang agar dirinya bisa masuk ke dalam.

Beruntung, tidak ada sedikitpun derit yang terdengar sampai dengan ruang pada pintu terbuka cukup lebar untuknya masuk. Perlahan, Tania melangkah ke dalam kamar menuju meja belajar milik Raesaka. Tania tahu, adik sepupunya selalu meletakkan ponselnya di meja belajar ketika tidur. Lalu entah ini disebut keberuntungan atau bukan, Tania tahu Raesaka tidak pernah mengunci layar ponselnya dengan kode atau verifikasi sentuh.

Hanya geser layar, lalu ponsel sudah dapat diakses oleh siapapun.

Tania tahu, tindakannya saat ini sudah sangat melanggar privasi Raesaka. Tidak semestinya sekarang ia membuka isi ponsel si adik sepupu dan membuka aplikasi chat miliknya. Tidak semestinya Tania segera menggulir layar agar segera dapat menemukan satu nama : Krishna.

Namun Tania tidak tahu hal apa lagi yang harus ia lakukan selain ini. Ketika mendengar cerita dari Jane beberapa waktu lalu tentang seseorang yang katanya kemungkinan sudah memiliki hati Krishna, Tania segera memikirkan si adik sepupu.

Sudah sejauh mana hubungan Krishna dengan Raesaka? Apakah adik sepupunya itu berbohong kepadanya perihal perasaannya yang pernah ia katakan dahulu, bahwa sesungguhnya ia hanya kagum tanpa memiliki perasaan lain?

Tangan Tania langsung gemetar hebat ketika jemarinya berhasil menemukan ruang chat antara Raesaka dengan Krishna. Isi chat yang ada diantara mereka berdua cukup membuat ulu hati Tania seperti ditusuk oleh jarum tak kasat mata───memang sedari kemarin, Tania selalu menutup kemungkinan perihal Raesaka yang menyukai Krishna. Namun melihat isi perbincangan antara adik sepupunya dengan Krishna, Tania tidak memiliki dugaan lain.

Selain Raesaka yang memiliki rasa; tidak hanya sekedar kagum, namun diisi rasa lainnya yang mungkin masih abstrak namun tidak bisa disimpulkan sebagai perasaan wajar antara laki-laki dengan laki-laki.

Tania menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Tidak hanya chat ada hal lain yang semakin membuat hatinya teriris ketika melihat adik sepupu yang paling ia sayangi dan ia jaga sedari kecil menjadi berbeda dari kebanyakan.

Assalamu'alaikum. Dek, Mbak pulang.“ “Eh, udah pulang, toh? Waalaikumsalam, Mbak.

Kamu kenapa, Dek? Senyum-senyum gitu. Lagi liat apa hayo? Nonton video jorok, ya?“ “Mbak... orang kalau nonton video jorok mana ada yang sambil senyum, coba?

Lho, kokㅡ kamu tau?“ “Hayo! Udah pernah nonton, ya?!“ “Mbaaak, aku udah mau dua puluh, lho. Masa' belum pernah nonton begituan?

Ih, adek! Kamu beneran pernah nonton? Nonton yang mana?!“ “Yaaa, gitu, deh..“ “Hayo! Udah nonton yang mana kamuuuu? Ngaku ke Mbak!“ “Mbak! Mbak! Jangan dikelitikin gitu! Duh, Mbak! Anuku kegencet, heh! Mbak! Mbak Taniaaaa!

Lo tau Segar Sari nggak, sih, Pie? Yang ada di warung belakang asrama itu, lho. Warungnya Mbak Dedeh. Beliin, lah. Makanannya apa aja terserah lo, tapi minumnya Segar Sari yang pink.

Lo pilek, goblok!“ “Orang pilek ya nggak boleh minum es! Tolol banget gue punya temen, heran!

Oppie baru saja menggantungkan handuk berwarna abu-abu ke jemuran kecil yang ada di balkon kamar asrama si pemilik; Krishna. Sementara si pemilik kamar masih membolak-balik lembar halaman komik yang tengah dibacanya dengan tenang, tampak tidak mempedulikan ujaran Oppie barusan yang terdengar sangat kesal.

Halah. Emang gue anak kecil, apa? Gara-gara pilek makanya nggak boleh minum es? Takhayul itu.“ “Takhayul pala lo?! Mesen makanan yang bener! Lo sakit lagi, gue yang repot jagain lo!“ “Gue pesen itu. Segar Sari pink. Makanannya terserah lo. Nasi pake kecap doang juga nggak apa-apa.

Oppie menggeleng-gelengkan kepalanya dengan penuh rasa heran. Kenapa mahluk satu ini keras kepalanya bukan main, coba? Bukannya sudah jadi rahasia umum bahwa orang yang sedang pilek, ya, jangan minum es atau minuman dingin? Kenapa Krishna susah sekali untuk dinasihati, sih?!

Oh, lo kalau mau pulang juga nggak apa-apa, sih, Pie. Gue udah bisa jalan, kayaknya.“ “Ya udah, lo yang beli makannya sendiri. Bisa, 'kan?“ “Yee, belum selesai ngomong!“ “Gue bisa jalan ke toilet sendiri. Kalau sampe ke pintu depan masih belum bisa. Kakina mati atiitt..

”...” “Anjing.“ “Gue merinding, bangsat.“ “Fuck, bulu kuduk gue langsung berdiri liat lo sok imut gitu. Gelay, tai!

Handuk abu-abu yang semula sudah tergantung rapi di jemuran balkon kamar Krishna, kini terbang dan mendarat tepat di muka si pemilik kamar. Seakan sudah sangat terbiasa, Krishna menyingkirkan handuk yang mendarat di wajah dan melemparkannya begitu saja ke lantai kamar.

Heh! Lo nginep di kamar gue lho, Pie. Kalau lo nginep di hotel, paling murah lo harus keluarin uang tiga ratus ribu. Gue? Sebagai teman yang baik, gue cuma minta lo beliin gue Segar Sari dan lo nggak usah bayar biaya nginep di kamar gue.

Ya Tuhan...” Oppie mengacak-acak rambutnya sendiri; merasa gemas dengan segala situasi yang ada. “...ini hukuman buat hamba karena jarang ke gereja atau gimana, sih?!

Pada akhirnya Oppie mengalah. Dibanding harus beradu pendapat dengan Krishna, lebih baik ia mengiyakan saja permintaan si teman. Langkah kaki dibawa untuk menuruni tangga asrama, berniat untuk membelikan semua yang diminta oleh Krishna. Sungguh, catat ucapan Oppie; ini adalah tindak baiknya yang terakhir untuk dia.

Namun sepertinya Tuhan masih menyayangi Oppie. Di tengah langkahnya yang dipenuhi gerutuan ketika melangkah menuju kamar asrama Krishna, tiba-tiba dirinya dipertemukan dengan Raesaka yang sedang memarkirkan motornya di lapangan parkir asrama. “Alhamdulilah, rezeki anak sholeh...”, ujar Oppie; seakan lupa dengan agama asli yang dianutnya.

Dengan langkah (terlampau) riang, Oppie berderap menghampiri Raesaka dan menepuk bahunya dari belakang. Yang ditepuk bahunya segera menolehkan kepala, senyum ramah terulas di wajah Raesaka; membuat kesan manis dan tampan di waktu bersamaan. “Oh, Kak Oppie, toh?”

Lo ngapain ke sini, Saka?“ “Oh, saya mau ngecek keadaan Kak Krishna. Kemarin dia habis dihukum ngelilingin lapangan lima puluh keliling. Kali aja, dia butuh bantuan buat ngerjain sesuatu.” “Ya Tuhan..“ “..terima kasih sudah mengirimkan malaikat utusanmu untuk hamba.“ “Hah?” “Kenapa, Kak?”

Tidak mempedulikan pertanyaan Raesaka, Oppie menyodorkan dua kantung plastik berisi makanan dan es-segar-sari-pink kepada si adik tingkat. Tidak ada banyak kalimat, hanya ujaran singkat;

Bantuin gue jagain dia, ya!“ “Lho? Nggak apa-apa, Kak?” “Kakak ada urusan, 'kah?”

Oppie terdiam sejenak sebelum akhirnya berujar dengan nada yakin.

Ada!“ “Gue mau ngerayain pesta soalnya mention gue dibales Jennie Blackpink.

Aduh, Oppie.. ..bisa kali cari alasan yang laiㅡ

“Oh, gitu ya, Kak?” “Selamat, ya, Kak.” “Nggak apa-apa, saya aja yang anterin makanannya ke kamar Kak Krishna.”

RAESAKA! DEMI APA? LO PERCAYA ALASAN BEGITU?!

Merasa mendapatkan aji mumpung, Oppie tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dua kantung plastik di tangannya sudah berpindah dan kini ia sedang melangkah cepat menuju lapangan parkir dimana mobilnya diparkirkan.

Meninggalkan Raesaka dengan dua kantung plastik di tangan.

Lo tau Segar Sari nggak, sih? Yang ada di warung belakang asrama itu lho, Pie. Warungnya Mbak Dedeh. Beliin, lah. Makanannya apa aja terserah lo, tapi minumnya Segar Sari yang pink.

Lo pilek, goblok!“ “Orang pilek ya nggak boleh minum es! Tolol banget gue punya temen, heran!

Oppie baru saja menggantungkan handuk berwarna abu-abu ke jemuran kecil yang ada di balkon kamar asrama si pemilik; Krishna. Sementara si pemilik kamar masih membolak-balik lembar halaman komik yang tengah dibacanya dengan tenang, tampak tidak mempedulikan ujaran Oppie barusan yang terdengar sangat kesal.

Halah. Emang gue anak kecil, apa? Gara-gara pilek makanya nggak boleh minum es? Takhayul itu.“ “Takhayul pala lo?! Mesen makanan yang bener! Lo sakit lagi, gue yang repot jagain lo!*”

Monyet! Kalau mau nyusahin, jangan pake tinggal di asrama lantai dua!

Oppie terus menggerutu sementara Krishna, yang sekarang sedang digendong pada punggung, terdiam dengan kepala terkulai di pundak si teman sekampus. “Bacot, lo. Gue pusing,” ujar Krishna; lemas.

“Lo pusing, gue capek! Berat, nyet!” Kaki Oppie masih menapaki anak tangga menuju ke lantai dua dari asrama milik universitas Ganesha Mandala; ke tempat dimana kamar Krishna berada. “Terus gimana lo sekarang? Lo bisa sendirian nggak di kamar? Ntar kalau mati beneran, gimana?”

“Nggak. Lo kalo mau pulang, pulang aja.” Krishna membalas dengan suara yang masih sama, pelan dan lemas. Sedikit banyak, Oppie menjadi khawatir. “Udah, gue nginep aja, lah,” putus Oppie.

Krishna tidak memberi jawaban banyak. Hanya sebuah gumaman kecil dan ucapan terima kasih diucapkan, sebelum akhirnya ia terlelap di dalam gendongan punggung Oppie.

Meninggalkan Oppie yang masih menggerutu karena sekarang harus membuka kunci pintu kamar dengan giginya; akibat kedua tangannya dipakai untuk membopong si teman.

Dasar, Krishna ini menyusahkan saja.

Semeru menghela nafasnya dalam-dalam kemudian mengembuskannya perlahan. Ia berusaha menemukan tenangnya.

Suara deru dari rel kereta yang ditumpanginya menuju Ibukota masih terdengar, membuat Semeru semakin sulit untuk terlelap. Berisik.

Aneh. Bagaimana bisa Semeru memikirkan berisik padahal seluruh penumpang di gerbong kereta yang ditempatinya tengah terlelap? Sepi, namun kepala Semeru terlalu berisik.

Semeru kembali mengembuskan nafas. Ia teringat ketika dirinya memohon maaf berulang kali di hadapan Ayah Raesaka. Kala itu, sang Paman mengatakan tidak apa───malah ia mengatakan terima kasih kepada Semeru karena sesungguhnya ia sendiri tidak mengetahui fakta bahwa putranya menderita penyakit Von Willebrand.

Semeru pernah mencuri dengar percakapan sang Paman dengan Ibundanya. Pamannya mengatakan bahwa histori kesehatan dirinya dan istrinya bersih; ia kebingungan bagaimana bisa anaknya menderita penyakit langka ini?

Seakan belum cukup parah, sang Paman mengatakan bahwa golongan darah Raesaka adalah AB. Golongan darah paling langka; yang mana akan membuat semakin kesulitan jika saja Raesaka kembali terluka dan membutuhkan donor darah dalam jumlah banyak.

Semeru yang kala itu mencuri dengar, tiba-tiba segera membuka pintu kamar dan menyeruak di tengah Ibunda dan Pamannya.

“Pakdhe! Mama!” “Meru mau bantu jagain Saka!”

Mungkin dari situ awalnya. Awal dari segala tindak over-protektif yang ia lakukan kepada Raesaka. Mungkin───itu awal mulanya.

Dengan sedikit memaksa, Semeru berusaha memejamkan matanya. Suara deru rel yang beradu masih terdengar; hingar bingar di tengah kepalanya.

Semeru, harus melindungi Raesaka; apapun resikonya, bagaimanapun caranya.

Semeru tidak ingin memejamkan matanya, padahal kantuk sudah menyerang diri sedari tadi.

Kelebat bayang-bayang tentang situasi dari masa lalu terus menghantuinya ketika ia memejamkan mata.

Ketika matanya terpejam, Semeru melihat dirinya yang masih delapan tahun tengah menggendong balita berusia dua tahun. Raesaka, digendong oleh Semeru; tujuh belas tahun lalu.

Semeru adalah anak tunggal di keluarganya. Ia tidak memiliki adik padahal sudah berulang kali ia meminta sang Ibu untuk memberikannya adik; jadi ketika Pamannya datang dengan tujuan untuk menitipkan Raesaka yang masih balita ke keluarga Semeru, anak itu kegirangan bukan main.

Pamannya yang seorang TNI AL memang sering ditugaskan di laut lepas untuk mengamankan situasi perairan, yang mana membuat beliau harus menitipkan bayinya kepada saudara terdekat; apalagi istrinya juga sudah meninggal setelah melahirkan Raesaka.

Keluarga Semeru tidak pernah keberatan, apalagi si anak laki-laki yang selalu mendambakan kehadiran seorang adik. Semeru sering menghabiskan waktunya untuk bermain bersama Raesaka-kecil. Menciuminya, menggodanya, menggendongnya───

───hingga tidak sengaja menjatuhkannya.

Sungguh, Semeru tidak sengaja. Tubuhnya sempat oleng ketika menggendong Raesaka sehingga kepala sepupunya terbentur ke ujung kursi kayu di ruang tamu. Semeru segera terkesiap ketika darah segar keluar dari kepala Raesaka. Ia menangis dan memanggil Ibunya. Sang Ibu yang panik segera membawa Raesaka ke Rumah Sakit untuk mendapat perawatan lebih lanjut.

Sepanjang perjalanan, sang Ibu menyetir sementara Raesaka masih ada di pangkuan Semeru. Darah masih terus mengalir walaupun Semeru coba menekan kepala si sepupu agar aliran darah bisa berhenti. Seakan masih belum parah, Semeru juga melihat bagaimana kepala Raesaka menjadi sedikit bengkak.

Sepanjang perjalanan menuju Rumah Sakit, tangan Semeru gemetar. Apa Raesaka akan mati karena ulahnya?

Adek, kamu belum jujur ke Kak Krishna soal penyakit kamu?“ “Belum, Mbak.“ “Buruan ngomong, ya?“ “Biar dia nggak seenaknya lagi ngejahatin kamu.“ “Iya, Mbak.”