“Adek, kamu belum jujur ke Kak Krishna soal penyakit kamu?“ “Belum, Mbak.“ “Buruan ngomong, ya?“ “Biar dia nggak seenaknya lagi ngejahatin kamu.“ “Iya, Mbak.
“Adek, kamu belum jujur ke Kak Krishna soal penyakit kamu?“ “Belum, Mbak.“ “Buruan ngomong, ya?“ “Biar dia nggak seenaknya lagi ngejahatin kamu.“ “Iya, Mbak.
“Lo disuruh pulang sama Kak Semeru.”
Raesaka sudah berdiri di pinggir lapangan dengan tas milik Krishna yang ia sampirkan di pundak. Ia sengaja menunggu hingga si Kakak tingkatnya itu selesai mengitari lapangan sebanyak lima puluh kali.
Raesaka dan Krishna sempat beradu pendapat sebentar di tengah lapangan. Namun setelah menyadari bahwa si kakak tingkatnya itu sudah terlalu lemas untuk berargumen dengannya, Raesaka memilih untuk mengalah.
Ia tahu, jika seorang Paskibra sudah bertekad maka tidak ada yang bisa menggoyahkan niatnya. Maka Raesaka hanya memilih berdiri di pinggir lapangan hingga semua hukuman selesai dilakukan, memastikan Krishna tidak tumbang di tengah larinya.
Krishna menerima sodoran tas miliknya dari tangan Raesaka kemudian berujar singkat. “Udah, lo balik aja. Gue tinggal di asrama, deket. Nggak usah khawatir atau berniat nganterin. Gue nggak apa-apa.”
Sedikit banyak, Krishna menghargai perhatian dari Raesaka. Seluruh anggota Paskibra sudah pulang walaupun mereka tahu bahwa si ketua akan menjalankan hukuman; Krishna tidak bisa memaksa mereka untuk tinggal menemaninya. Maka kedatangan Raesaka sesungguhnya lumayan membuat hati Krishna menghangat walaupun dalam jumlah kadar yang sangat───tipis.
“Kakak bisa pulang sendirian?”
Raesaka masih memandangi Krishna yang mulai berjalan meninggalkannya. Langkah kakak tingkatnya itu terlihat timpang, sangat jelas kakinya sedang kesakitan. Tidak tega melihat Krishna dalam keadaan yang begitu, akhirnya Raesaka mengangkat sebelah tangan Krishna kemudian menyampirkan ke sekeliling pundaknya sendiri; memapah.
“Saya anterin Kakak pulang sampai ke asrama,” ujar Raesaka seraya terus memapah langkah Krishna. Si kakak tingkat berupaya untuk menolak namun ia sendiri paham bahwa dirinya tidak akan kuat melangkah sendirian menuju kamar asramanya.
Sudah malam, tidak akan ada mahasiswa lain yang akan berlalu lalang di lapangan untuk dimintai tolong.
Jadi Krishna hanya diam dan tidak melayangkan protes ketika Raesaka terus memapah tubuhnya untuk berjalan. Di tengah perjalanan mereka ke asrama, Krishna melirik sekilas ke arah Raesaka.
Rahang adik tingkatnya itu sedikit memar. Tak urung, rasa bersalah kembali memenuhi benak Krishna. Ia ingin mengetahui alasan perihal kejadian tadi siang namun ia tidak berani bertanya; topiknya terlalu sensitif.
“Saka.”
Suara panggilan terdengar dari arah podium lapangan. Raesaka menolehkan kepala untuk mengetahui siapa yang memanggil diri, Krishna juga melakukan hal serupa dan segera mengerutkan alis ketika mengenali sosok yang menyuarakan panggilan barusan.
“Tania?”, gumam Krishna.
Tidak mempedulikan pandangan heran dari Krishna, Tania menghampiri Raesaka. Krishna semakin dibuat bingung, bagaimana bisa Tania mengenali Raesaka?
“Ayo pulang, Saka.”
“Pulang?”, Krishna mengulangi ujaran Tania. “Kalian...tinggal serumah?”, tanya Krishna.
“Ni──kah?”
Pertanyaan dari Krishna membuat Raesaka tak urung tertawa kecil, namun ekspresi wajah Tania terlihat tidak suka. Ia memilih untuk tidak mempedulikan ujaran Krishna dan fokus kepada sosok si adik sepupu. “Ayo pulang. Kamu masih sakit, jangan malah khawatirin orang lain.”
“Aku anter Kak Krishna dulu, Mbak. Boleh, ya?”, tanya Raesaka.
Pernah tidak kalian melihat mata kucing yang berbinar ketika meminta diberi makan? Sangat manis, menggemaskan. Tatapan Raesaka saat ini juga begitu, membuat Tania kebingungan bukan main; ia tidak bisa menolak jika adik sepupunya sudah bersikap begini.
“Berapa jam lagi?”, tanya Tania. Raesaka tersenyum. “Lima jaㅡ AWWWW!” Suara Raesaka yang mengaduh kesakitan terdengar berbarengan dengan jitakan kecil yang didaratkan oleh Tania di kepalanya. “Sakit, e, Mbak.”
“Palamu lima jam!” Tania menggerutu. “Habis anterin Kak Krishna langsung pulang, paham?”
Raesaka mengangguk. Senyumnya persis seperti anak kecil, membuat mau tak mau Tania juga ikut tersenyum walau tipis. “Siap, Mbak!”
Krishna yang memandangi kejadian di hadapannya sedari tadi hanya bisa mengernyitkan dahi dan mengerjapkan matanya berkali-kali.
Sumpah. Hubungan keduanya ini apa, sih?
“Lo disuruh pulang sama Kak Semeru.”
Raesaka sudah berdiri di pinggir lapangan dengan tas milik Krishna yang ia sampirkan di pundak. Ia sengaja menunggu hingga si Kakak tingkatnya itu selesai mengitari lapangan sebanyak lima puluh kali.
Raesaka dan Krishna sempat beradu pendapat sebentar di tengah lapangan. Namun setelah menyadari bahwa si kakak tingkatnya itu sudah terlalu lemas untuk berargumen dengannya, Raesaka memilih untuk mengalah.
Ia tahu, jika seorang Paskibra sudah bertekad maka tidak ada yang bisa menggoyahkan niatnya. Maka Raesaka hanya memilih berdiri di pinggir lapangan hingga semua hukuman selesai dilakukan, memastikan Krishna tidak tumbang di tengah larinya.
Krishna menerima sodoran tas miliknya dari tangan Raesaka kemudian berujar singkat. “Udah, lo balik aja. Gue tinggal di asrama, deket. Nggak usah khawatir atau berniat nganterin. Gue nggak apa-apa.”
Sedikit banyak, Krishna menghargai perhatian dari Raesaka. Seluruh anggota Paskibra sudah pulang walaupun mereka tahu bahwa si ketua akan menjalankan hukuman; Krishna tidak bisa memaksa mereka untuk tinggal menemaninya. Maka kedatangan Raesaka sesungguhnya lumayan membuat hati Krishna menghangat walaupun dalam jumlah kadar yang sangat───tipis.
“Kakak bisa pulang sendirian?”
Raesaka masih memandangi Krishna yang mulai berjalan meninggalkannya. Langkah kakak tingkatnya itu terlihat timpang, sangat jelas kakinya sedang kesakitan. Tidak tega melihat Krishna dalam keadaan yang begitu, akhirnya Raesaka mengangkat sebelah tangan Krishna kemudian menyampirkan ke sekeliling pundaknya sendiri; memapah.
“Saya anterin Kakak pulang sampai ke asrama,” ujar Raesaka seraya terus memapah langkah Krishna. Si kakak tingkat berupaya untuk menolak namun ia sendiri paham bahwa dirinya tidak akan kuat melangkah sendirian menuju kamar asramanya.
Sudah malam, tidak akan ada mahasiswa lain yang akan berlalu lalang di lapangan untuk dimintai tolong.
Jadi Krishna hanya diam dan tidak melayangkan protes ketika Raesaka terus memapah tubuhnya untuk berjalan. Di tengah perjalanan mereka ke asrama, Krishna melirik sekilas ke arah Raesaka.
Rahang adik tingkatnya itu sedikit memar. Tak urung, rasa bersalah kembali memenuhi benak Krishna. Ia ingin mengetahui alasan perihal kejadian tadi siang namun ia tidak berani bertanya; topiknya terlalu sensitif.
“Saka.”
Suara panggilan terdengar dari arah podium lapangan. Raesaka menolehkan kepala untuk mengetahui siapa yang memanggil diri, Krishna juga melakukan hal serupa dan segera mengerutkan alis ketika mengenali sosok yang menyuarakan panggilan barusan.
“Tania?”, gumam Krishna.
Tidak mempedulikan pandangan heran dari Krishna, Tania menghampiri Raesaka. Krishna semakin dibuat bingung, bagaimana bisa Tania mengenali Raesaka?
“Ayo pulang, Saka.”
“Pulang?”, Krishna mengulangi ujaran Tania. “Kalian...tinggal serumah?”, tanya Krishna.
“Ni──kah?”
Pertanyaan dari Krishna membuat Raesaka tak urung tertawa kecil, namun ekspresi wajah Tania terlihat tidak suka. Ia memilih untuk tidak mempedulikan ujaran Krishna dan fokus kepada sosok si adik sepupu. “Ayo pulang. Kamu masih sakit, jangan malah khawatirin orang lain.”
“Aku anter Kak Krishna dulu, Kak. Boleh, ya?”, tanya Raesaka.
Pernah tidak kalian melihat mata kucing yang berbinar ketika meminta diberi makan? Sangat manis, menggemaskan. Tatapan Raesaka saat ini juga begitu, membuat Tania kebingungan bukan main; ia tidak bisa menolak jika adik sepupunya sudah bersikap begini.
“Berapa jam lagi?”, tanya Tania. Raesaka tersenyum. “Lima jaㅡ AWWWW!” Suara Raesaka yang mengaduh kesakitan terdengar berbarengan dengan jitakan kecil yang didaratkan oleh Tania di kepalanya. “Sakit, e, Mbak.”
“Palamu lima jam!” Tania menggerutu. “Habis anterin Kak Krishna langsung pulang, paham?”
Raesaka mengangguk. Senyumnya persis seperti anak kecil, membuat mau tak mau Tania juga ikut tersenyum walau tipis. “Siap, Mbak!”
Krishna yang memandangi kejadian di hadapannya sedari tadi hanya bisa mengernyitkan dahi dan mengerjapkan matanya berkali-kali.
Sumpah. Hubungan keduanya ini apa, sih?
Semeru memandangi layar ponselnya dengan tatapan nanar.
Panggilan video antara dirinya dengan Krishna masih tersambung. Akan tetapi panggilan video diantara mereka bukan untuk membicarakan topik pembicaraan yang seru, melainkan hanya sekedar perantara agar Semeru bisa memastikan Krishna tengah berlari sesuai dengan instruksinya atau tidak.
Namun ekspresi wajah Semeru berubah ketika melihat sesuatu yang membuat alisnya berkerut, saking terlalu menahan emosi.
Raesaka ada di sana, melewati hujan deras dengan payung di tangan; menghampiri Krishna yang tengah berlari mengitari lapangan. Raesaka yang semestinya ada di kamar dan sedang beristirahat, kenapa bisa ada di sana?
Berusaha mengatur emosinya, Semeru mencari kontak Tania dan mengirimkan chat kepada si adik sepupu.
Semeru berharap, Tania tidak berbohong kepadanya.
Raesaka tengah berlutut di hadapan Tania.
Tania? Ia memasang ekspresi kebingungan bukan main. Berulang kali ia meminta Raesaka untuk bangun namun adik sepupunya itu menolak. Ia berlutut di depan Tania, bahkan sekarang membungkukkan tubuhnya; seakan bersujud di hadapan kakak sepupunya.
“Adek! Heh! Kamu ngapain?“ “Mbak.. tolong, sekali ini aja. Biarin aku ke kampus sebentar. Aku mau ketemu Kak Krishna. Dia nggak salah..“ “Iya, Mbak tau Kak Krishna juga nggak sengaja. Tapi kamu nggak boleh ke kampus! Kamu masih sakit! Kamu harus istirahat, bukannya malah ke kampus! Ini udah malem, hujan pula, Dek!“
“Mbak..“ “Aku mohon..“
Raesaka menangis. Garis bawahi, Raesaka menangis. Tambahkan penanda bold dan italic, jika perlu. Seorang Raesaka yang Tania ketahui sebagai lelaki yang sangat tegar, menangis di hadapannya; karena alasan ingin bertemu Krishna.
Lelucon apa ini?
“Dek.. Maafin Mbak..“ “Mas Meru bilang kalau kamu nggak boleh ketemu Kak Krishna di luar kepentingan latihan Paskibra..“ “Mbak dititipi pesan begitu. Mbak nggak mau ngelanggar apa yang udah diamanatkan..“
“Aku cuma keluar dua jam, Mbak.“ “Aku janji, dua jam. Nggak akan lebih daripada itu.“
Tania tidak tahu harus bagaimana. Sumpah demi apapun, hatinya sudah sakit melihat Raesaka yang menangis; apalagi alasan menangisnya adalah karena dirinya yang tidak memberi izin untuk bertemu Krishna. Namun membiarkan Raesaka bertemu Krishna dengan kondisinya yang begini, bukankah malah akan menjadi lebih buruk?
“Dek.. tolong jawab pertanyaan Mbak dulu.“ “Kamuㅡ cuma sekedar kagum sama Kak Krishna, 'kan?“ “Nggak ada perasaan lain, 'kan?“
Raesaka memandangi si kakak sepupu dengan lurus-lurus; menandakan bahwa ia yakin dengan perkataannya.
“Mbak. Aku nggak akan ngelakuin apa yang Mbak Tania takutin.“ “Aku cuma mau ketemu Kak Krishna, Mbak..“
“Kenapa, Dek?“ “Kenapa kamu mau ketemu Kak Krishna?“
Bisu. Kelu. Raesaka tidak tahu harus membalas dengan jawab bagaimana. Jika ditanya alasan kenapa ia ingin bertemu Krishna, ia juga tidak tahu. Namun Raesaka ingin bertemu dengan Krishna, segera. Ingin memastikan kakak tingkatnya itu tidak apa-apa; ingin memberitahu bahwa ia tidak harus melakukan hukuman dari Semeru karena itu bukan kesalahannya.
Ah, bullshit. Raesaka tahu, dibanding semua alasan yang diucapkannya barusanㅡ ada alasan lain yang paling tepat : rindu.
“Aku nggak tau, Mbak..“ “Aku cuma mau ketemu dia..“ “Tolong izinin aku, Mbak..“
Raesaka tidak bisa berbohong di depan Tania. Perasaan rindunya terlalu menyeruak; tidak bisa ia tutupi dengan alasan palsu lainnya. Walaupun Raesaka bisa dengan yakin mengatakan bahwa perasaannya kepada Krishna bukanlah rasa jatuh hati, namun keinginannya untuk bertemu sekarang adalah pasti; rindu.
Tania membungkukkan tubuhnya sehingga kini tingginya dengan Raesaka menjadi setara.
“Dek..“ “Cuma dua jam..“ “Jangan lebih daripada itu.“
Raesaka tersenyum, yang dibalas serupa dari Tania. Namun senyum Tania terlihat miris; ia tidak tahu apakah keputusannya ini tepat atau tidak.
Apakah ini benar? Apakah ini salah? Entahlah.
“Ya Allah. Mas.. kok bisa sampai begini? Anak Paskibra emangnya ngapain Saka, sih? Kenapa jahat banget?!“
Raesaka sedang terlelap di kamar tamu lantai satu; kamar yang semula ditempati oleh Semeru selama beberapa hari ke belakang. Semeru tidak kuat membopong tubuh Raesaka untuk naik ke kamarnya sendiri di lantai dua, maka keputusan dibuat; baringkan saja di kamar lantai satu.
“Nggak sengaja, kayaknya.“
Semeru duduk di pinggiran kasur dengan tangan kanan yang masih memegangi ponsel miliknya sendiri. Ekspresinya terlihat berantakan; khawatir. Sementara Tania masih mengusapi rambut Raesaka dengan lembut, seperti takut untuk lebih menyakiti si adik sepupu. Pipi Raesaka terlihat lebam walaupun tidak begitu kentara.
“Biarpun nggak sengaja, tetep aja Saka sampai luka begini! Siapa sih yang bikin Saka sampai begini? Aku hajar pake tongkat mayoretku, tau rasa dia!“
“Krishna.“
Tania segera terdiam, namun ekspresinya menjadi terlihat geram. Semeru masih memainkan ponsel di tangannya, terlihat memati-nyalakan layarnya; seakan bingung harus melakukan apa.
“Aku nggak rela misalnya Saka beneran punya perasaan sama Kak Krishna.“
Semeru hanya memberi gumam kecil sebagai balasan. Melihat si Kakak sepupu yang seperti tidak mempedulikannya, Tania berujar dengan nada ketus.
“Mas Meru kenapa sih liatin handphone melulu?! Perhatiin ucapanku, dong!“ “Mas lagi mikir gimana caranya ngomong ke Pakdhe. Bisa-bisa Mas ditembak pakai kapal selam tempur kalau Mas salah ngomong, Dek Tan.“
Tania terdiam, lagi. Betul juga, sosok Paman sekaligus Ayah Raesaka itu dikenal sangat tegas. Beliau tidak ringan tangan namun semua aura yang dimilikinya membuat siapapun yang berhadapan pasti akan menaruh hormat. Tidak terkecuali Semeru yang memang sangat mengagumi sang Paman karena berkecimpung di ranah nasionalis sebagai abdi negara.
“Mas.. kayaknya mending jangan bilang dulu ke Pakdhe. Mamaku juga lagi nggak di rumah sampai besok. Kalau lebam di pipi Saka bisa kempes segera, kayaknya nggak akan jadi masalah besar.“
Semeru memikirkan saran dari Tania. Jujur, ia ingin melakukan itu namun apakah───tidak apa-apa?
“Mbak..” “Mas..”
“Lha, Dek? Kamu udah bangun? Nggak apa-apa? Pusing? Mau Mbak bikinin teh anget? Makan dulu, ya? Mbak beliin bubur, mau?“ “Dek, gimana rahangnya? Masih sakit? Mau Mas bawa ke Rumah Sakit, nggak?“
Raesaka memberi jawab berupa gelengan kepala untuk dua pertanyaan itu; sekaligus. Ia tersenyum tipis dan berujar dengan tenang. “Nggak apa-apa, Mas, Mbak.”
“Mas..” “Nggak usah kasih tau Ayah.” “Aku nggak apa-apa, kok.”
Raesaka meletakkan tangannya ke atas punggung tangan Semeru, berupaya menyampaikan kepada si kakak sepupu bahwa sepantasnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan. “Mas Meru udah kasih penanganan ke aku juga makasih banyak. Ayah nggak perlu tau soal tadi siang, takutnya malah jadi masalah besar.”
Raesaka benar. Salah-salah berucap, bisa jadi Ayah Raesaka betul-betul mengirimkan pasukan TNI AL dari markasnya ke rumah keluarga Tania untuk menjaga agar putra semata wayangnya tidak terluka lagi.
Tania masih mengusapi rambut Raesaka, terlihat jelas bahwa gadis itu sudah menganggap Raesaka sebagai seseorang yang paling berharga untuknya. “Kamu nggak apa-apa, Dek? Beneran? Mumpung Mas Meru masih di sini, kalau kamu mau ke Rumah Sakit jadi masih bisa dibopong. Ya 'kan, Mas?“
“Iya. Tiket kereta Mas masih dua jam lagi. Kalau kamu mau diantar ke Rumah Sakit, masih bisa Mas bantu.“
Raesaka menggeleng. “Nggak apa-apa, Mbak. Tapi Masㅡ Mbak.. bisa tolong beliin bubur? Aku laper. Belum sempet makan..”
Tania segera berdiri. “Oke! Mbak beliin!“
“Naik apa?“ “Oh, iya. Lupa, nggak bisa naik motor.“ “Udah, kamu mandi aja, Dek Tan. Badanmu basah begitu. Emang di luar hujan?“ “Tadi pas aku pulang, sih, gerimis. Sekarang hujan gede mungkin, Mas. Mas Meru mau beliin bubur?“ “Mas aja yang beli. Kayaknya ada tukang bubur suka mangkal di depan kompleks jam segini, semoga aja jualan. Kamu mandi aja, gih. Kamu istirahat, Saka.“
Raesaka mengangguk.
“Mas pergi, ya?“ “Mbak juga mandi dulu, ya, Dek.“
Lagi, Raesaka mengangguk. Ketika kedua kakak sepupunya keluar dari kamar dan menutup pintu, Raesaka bangkit dari kasurnya dan meraih ponsel milik Semeru yang diletakkan di atas meja rias; mungkin terlupa untuk dibawa.
Sebelum Raesaka kehilangan kesadaran, ia mendengar seruan Semeru kepada Krishna; untuk tidak mematikan ponselnya. Raesaka menebak, pasti Kakak sepupunya itu akan memberi hukuman kepada Krishna.
Dugaan Raesaka tepat. Ketika ia membuka isi percakapan antara Semeru dengan Krishna, ia menemukan hukuman yang tidak masuk akal.
Lari keliling lapangan, 50 kali putaran.
Parahnya, di tengah hujan.
Raesaka meletakkan lagi ponsel milik Semeru ke atas meja rias dengan posisi semula agar si kakak sepupu tidak mengetahui bahwa ponselnya baru saja diintip. Raesaka memposisikan dirinya kembali ke atas kasur dan berpura-pura tertidur.
Dia tidak bisa mengambil tindakan sekarang untuk datang menemui Krishna. Tidak ketika Semeru masih di sini.
Raesaka, harus menunggu.
“Dewa kenapa? Kok kayak khawatir gitu mukanya?“ “Oh, nggak apa-apa. Sorry, tadi lo ngomong apa, Cha? Nggak fokus gue.“ “Oh, aku tadi cuma nanyaㅡ kalau rasanya segitu nggak kemanisan 'kan buat dimakan sama cowok?“ “Hmm, nggak sih. Masalahnya, gue emang suka makan makanan manis. Jadi yang lo bikin ini udah pas buat gue. Mungkin kalau buat dijual ke cowok, rasa manisnya agak dikurangin kali, ya?“ “Gitu, ya? Oke, deh! Aku catat!“
“Tapi udah enak kok, Cha. Laku kayaknya kalau dijual di teknik.“ “Ehehe, aku suka malu kalau pergi ke daerah teknik. Banyak cowok keren, soalnya.“ “Halah, keren dari mana? Kebanyakan anak teknik yang kebagian masuk kelas pagi itu pada nggak mandi lho, Cha. Coba deh lo masuk kelas pagi, wahㅡ baunya udah kayak kembang tujuh rupa.“ “Ya ampun, masa 'sih? Kok Dewa nggak begitu? Ini kamu dandanannya rapi, lho.“ “Ini sih emang gue sengaja pakai baju agak bener soalnya mau ngajar, Cha. Kalau gue nggak ada jadwal, wahㅡ baju bau tikus juga bakal gue pakai, kali.“
Acha tertawa, yang segera dibalas oleh Nakuladewa dengan tindak serupa. Puas berbagi cerita dengan topik ringan, Acha mengalihkan pandangannya ke tas slempang milik Nakuladewa yang diletakkan di atas meja.
“Dewa nasionalis banget, ya? Di tasnya sampai dipasangin lencana merah putih gitu.“ “Oh. Itu lencana KORSA, semua anak Paskibra GAMA punya. Kayak semacam lambang kebanggaan gitu, deh. Soalnya buat dapetin lencana ini tuh kami mesti ngerasain dipukul sana sini, ngelakuin hal gila dan jijik. Jadi biasanya lencana ini dipasang di tas biar selalu keliatan dan kami ngerasa bangga aja, gitu.“ “Wah, gitu, ya? Boleh liat, nggak, Dewa?“ “Boleh, tapi jangan sampe jatoh, ya, Cha? Ini harga diri gue sebagai anak Paskibra, soalnya.“
Acha mengangguk. Nakuladewa melepaskan lencana KORSA dari tas slempang dan menyerahkannya kepada Acha. Senyum lebar segera terulas di bibir si gadis, seakan merasa kesenangan karena bisa melihat lencana kebanggaan Nakuladewa secara lebih dekat.
“Keren, ya?“ “Bukan cuma keren, ini 'tuh kayak penggabungan semua yang terbaik, deh, Cha.“ “Berarti orang lain nggak boleh milikin lencana ini, ya? Kayak misalnya, aku mau pinjem lencana Dewaㅡ nggak boleh, dong? Cuma si pemilik doang yang boleh pasang di benda milik dia?“ “Hmm..“
Nakuladewa terdiam. Ia tidak bisa menjelaskan hal sesungguhnya dari lencana KORSA yang dimiliki oleh para anggota Paskibra GAMA. Sesungguhnya, lencana itu memiliki sebuah mitos yang kerap dijadikan patokan bagi para anggota Paskibra untuk dilakukan. Namun, apa boleh ia menjelaskan hal itu kepada Acha?
“..boleh aja, sih.“
Jawaban Nakuladewa segera membuat Acha tersenyum lebar. Gadis itu masih menimang-nimang lencana KORSA milik Nakuladewa di dalam genggaman sebelum akhirnya menyuarakan pertanyaan yang membuat si lelaki menjadi ragu.
“Aku boleh coba pasang di tas aku nggak, Dewa? Sebentar aja. Boleh, nggak?“
Pertanyaan yang paling Nakuladewa takutkan kini terdengar. Jujur, barusan Nakuladewa meneguk air liurnya dengan gugup saking merasa kebingungan harus menjawab apa.
“Ehm..“
Bagaimana bisa Nakuladewa mengatakan bahwa mitos yang dimiliki lencana KORSA adalah : benda itu baru boleh diserahkan kepada orang lain selain pemilik, asalkan orang lain itu adalah kekasih hati atau seseorang yang sangat penting bagi si pemilik lencana KORSA, coba?
“..Eh, kalau nggak boleh juga nggak apa-apa, kok. Aku cuma nanya ajㅡ“ “Sok aja, Cha. Silahkan.“
Nakuladewa bingung, mengapa ia memperbolehkan Acha melakukan hal itu? Memasangkan lencana KORSA di barang yang bukan milik pemilik aslinya bukanlah hal yang dengan gampang dilakukan oleh anggota Paskibra GAMA. Itu adalah hal yang sakral. Kenapa dia memperbolehkan Acha melakukannya? Apakah Nakuladewa sudah membuka hati semudah ini?
Entah. Nakuladewa menanyakan kepada dirinya sendiri namun belum juga menemukan jawabannya.
“Beneran boleh?“ “Aku cuma pakai bentar kok, cuma mau liat aja apa bakal keren juga kalau ada di tas aku, Dewa.“
Acha terlihat kesenangan bukan main setelah mendapat izin dari Nakuladewa. Dengan riang, ia membuka kaitan peniti yang ada di bagian belakang lempengan lencana KORSA kemudian mengaitkan ke tas miliknya.
“Liaaat, bagus banget, yㅡ“
PRAAK!
Kotak kue yang dibuat oleh Acha kini terjatuh ke atas lantai karena diseret secara kasar oleh tas milik si gadis yang diangkat paksa. Tarendra muncul di tengah mereka, dengan tangan yang sudah merebut tas milik Acha. Dengan tatapan dingin namun terlihat kesal, Tarendra melepaskan kaitan lencana KORSA di tas Acha.
Dia berusaha melepaskan lencana merah putih itu dari tas si gadis.
“RENDRA!“ “LO NGAPAIN?“
“TAI, LO!“ “LO NGGAK BISA BEGINI!“
Teriakan Nakuladewa dan Tarendra yang bersahutan di kantin fakultas Psikologi sempat mengundang perhatian dari mahasiswa dan mahasiswi lainnya. Paham bahwa mereka tidak bisa beradu pendapat di ruang umum seperti ini, Nakuladewa akhirnya menarik Taremdra untuk keluar dari kantin.
Menuju tempat lain, hanya diisi mereka berdua.
0:18 : “Astaghfirullah! Mas! Mas Meru! Ya Allah, Saka nggak apa-apa, Mas?! Aku pulang! Ini aku pulang! Jane, aku pulang! Ada musibah di rumah! Ya Allah, Mas Meru, Saka nggak apa-apa, 'kan? Aku nangis di jalan ini.. nggak apa-apa, 'kan? Darahnya berhenti, 'kan, Mas? Aku pulang! Tungguin aku! Jagain Saka.”
“Aku kemarin udah ngomong sama Saka, Mas.“ “Di kamar itu, Dek?“ “Iya. Aku mikir bahwa bakal lebih baik kalau aku ngomong langsung, makanya aku ke kamar dia dan ngajak ngobroㅡ eh, Mbak. Mie ayam pedesnya punya saya. Sini.“
“Mas Meru pesen apa?“ “Pecel ayam. Lama kayaknya, tadi ngantri gitu di kedai Mbaknya.“ “Ohh. Mau cicip punyaku dulu, nggak?“ “Nggak. Sok aja kamu makan dulu. Jadi gimana, soal Saka?“
“Hmm.. dia bilang masih belum tau soal perasaannya sendiri, Mas. Bisa jadi itu perasaan kagum doang ke si Kak Krishnanya.“ “Tapi Mas sebenernya takut ini bakal berlanjut ke hal yang nggak baik, Dek..“ “Ya, sama. Aku juga khawatir, Mas. Tapi Mas Meru tau sendiri, Saka anaknya tenang banget. Saking tenangnya bahkan aku nggak tau apa dia sebenernya serius mikir cuma kagum atau pura-pura biar kita nggak khawatir.“
“Duh, ampun. Kita punya sepupu kok kerjanya bikin khawatir terus, ya? Dari kecil itu anak kok adaaa aja masalahnya.“ “Hush. Mas, jangan ngomong begitu, ah..“ “Saka juga pasti nggak mau punya masalah di hidupnya. Kalau bisa milih, dia pasti mau hidup dengan punya Ibu. Kalau bisa milih, dia pasti mau punya hidup dengan Ayah yang nggak strict. Kalau bisa milih...“ “...dia juga pasti nggak pengen punya penyakit itu.“
Tania dan Semeru terdiam. Suasana kantin yang ramai benar-benar kontras dengan bibir mereka berdua yang kini terkatup rapat; disibukkan dengan pikiran mereka sendiri-sendiri.
“Aku tuh' sebenernya suka bingung.. apakah aku harus kasian ke Saka atau ke Pakdhe.“ “Mereka punya kesedihannya sendiri-sendiri.“
Garpu yang dipegang oleh Tania hanya ditancap-tancapkan ke mie di mangkuk. Ia sudah tidak bernafsu untuk menyantap makanannya.
“Yang pasti, kamu sama Mas paling tau kalau Pakdhe itu sebenernya nggak berniat jahat ke Saka. Pakdhe cuma mau jagain Saka dari hal yang bisa bikin dia sakit.. Itu aja.“
“Iya, Mas. Aku tau. Makanya kita dari kecil udah diajarin sama Pakdhe buat lakuin penanganan darurat ke Saka. Tapiㅡ kita juga bakal dewasa, 'kan? Biarpun kita sayang Saka, tapi kita nggak bisa selamanya jagain dia. Pasti akan ada masanya Saka harus ditemenin sama orang yang mau ngejagain dia..“ “..tapi aku masih belum rela kalau orangnya itu adalah Kak Krishna.“
“Mas pusing..“ “Sama. Aku juga.“ “Pakdhe shock nggak ya, kalau tau putra semata wayangnya sekarang tertarik ke cowok?“ “Jangan bilang.“ “Ini semua terlalu beresiko.“ “Walaupun Saka baru bilang bahwa dia cuma kagum ke Krishna, tapi mending kita perhatiin hubungan mereka.“
“Tapi, Mas..“ “Ini bukannyaㅡ jahat?“ “Maksudku, ini hatinya Saka, lho. Kita nggak bisa asal bilang ke dia buat nggak ngelakuin ini itu. Dia juga udah gede..“
“Dek Tan..“ “Ini Raesaka, adek sepupu kita.“ “Kita berdua udah janji ke Pakdhe buat jagain dia, 'kan? Kamu tau sendiri, di keluarga kitaㅡ janji itu adalah hal paling sakral yang harus dijaga.“
“Kita harus jagain dia.“ “Dia nggak boleh kenapa-kenapa.“ “Ya, Dek Tan?“
”...Ya, Mas.“
Tarendra mengangkat tangannya yang menutupi pandangan; hal yang pertama kali ia lihat masih sama, langit-langit kamarnya.
Jemari kanan Tarendra memegangi bibirnya sendiri. Berusaha mengingat setiap kecup dan pagut yang kemarin malam ia lakukan dengan si sahabat, Nakuladewa. Banyak kelebat bayang-bayang berlalu lalang di kepalanya saat ini.
Tarendra teringat tatkala Nakuladewa tersenyum dan mengulurkan tangan kepadanya. Mengatakan bahwa mereka akan berteman dan keluarganya adalah keluarga Tarendra juga.
Tarendra teringat segala hal yang pernah Nakuladewa lakukan untuknya. Banyak hal baik, yang mungkin tidak bisa Tarendra hitung saking banyaknya.
Lalu, bagaimana mungkin Tarendra akan membuat Nakuladewa lagi-lagi harus mengalami kesulitan karena ulahnya?
Bagaimana bisa Tarendra membiarkan Nakuladewa nantinya dicemooh orang banyak sebagai gay jika hubungan mereka diakui sebagai perasaan suka satu sama lain?
Tarendra tidak tahu mengapa, namun ulu hatinya terasa sangat sakit saat ini; seperti ditusuki oleh jarum transparan tak kasat mata. Ia teringat perkataannya ketika kemarin malam berada di mobil dengan Nakuladewa.
Banyak kata-kata yang tidak semestinya ia ucapkan namun terpaksa ia ucapkan agar Nakuladewa tidak merasa dirinya sendiri adalah hina.
“Gue bukan gay!”, kata Tarendra. Namun sungguhㅡ bukan itu yang ingin ia tekankan. Tarendra ingin Nakuladewa paham bahwa ia tidak ingin sahabatnya itu mendapat pandangan miring dari orang-orang akan hal yang dianggap tabu.
Bahwa sesungguhnya Tarendra tidak ingin Nakuladewa mendapat cemoohan itu. Bahwa sebenarnya, Nakuladewa tidak pantas untuk mendapat hinaan sekecil apapun bentuknya.
Karena Nakuladewa, adalah keindahan terhebat tanpa sedikitpun cela.
Dan rasa sakit di ulu hati Tarendra semakin menjadi tatkala ia mengingat bagaimana nama Acha terpampang pada layar ponsel milik Nakuladewa ketika mereka tengah berbagi pagut.
Orang seindah dan secemerlang Nakuladewa tidak sepantasnya berlabuh dengan orang yang tumbuh dari kerasnya badai seperti Tarendra. Nakuladewa semestinya bersanding dengan seseorang yang indah dan baik;
seperti Acha.
Di ruang kamar yang sepi, tangis Tarendra pecah. Ruah.