dontlockhimup

Nakuladewa selalu masuk ke deret lima besar ranking parallel di sekolah.

Sementara Tarendra? Dia selalu masuk ke kelas yang dikategorikan sebagai kelas unggulan hanya karena sang Ayah adalah pemberi dana ke yayasan dirinya bersekolah. Memberi sumbangsih berupa nilai yang baik adalah hal yang harus dilakukan pihak sekolah sebagai balas-budi atas bantuan dana yang diberi oleh Ayah Tarendra.

Nakuladewa selalu dikategorikan sebagai siswa yang berprestasi, supel, serta ramah. Statusnya yang hanya sebagai putra dari tenaga pengajar SMA yang kurang bonafit tidak membuatnya malu untuk bergaul dengan teman-teman seusianya. Bahkan ia masih meneruskan kegiatannya membawa jajanan pasar yang dibuat oleh Ibunya untuk dijual di area sekolah.

Selepas kelas enam SD, Nakuladewa memutuskan untuk melanjutkan masuk ke SMP yang biasa-biasa saja. Tujuannya hanya satu, adalah untuk meringankan beban keluarga untuk membiayai pendidikannya. Orangtuanya sudah setuju, mereka berdua selalu mendukung apapun keputusan Nakuladewa.

Namun Tarendra memohon Nakuladewa untuk menemaninya masuk ke sekolah yang sama dengan dirinya. Ayah Tarendra akan menyekolahkan putranya ke sekolah yang dikenal memiliki prestisius dengan prestasi akademiknya. Tarendra sudah dipastikan akan bisa lolos seleksi penerimaan karena sang Ayah sudah memiliki jatah bangku yang disediakan untuk si putra semata wayang.

Tarendra ketakutan akan kembali sendirian dan tidak bisa menemukan teman seperti Nakuladewa. Maka Tarendra memohon, bahkan sampai menangis di depan si sahabat demi mendapatkan simpati dari Nakuladewa.

Nakuladewa kebingungan. Ayahnya yang hanya memiliki gaji pas-pasan untuk membiayai keluarganya sudah pasti tidak akan memiliki biaya untuk mendanai pendidikannya di sekolah yang sama dengan Tarendra. Namun ia juga tidak tega membiarkan Tarendra kesepian tanpa teman, karena Nakuladewa tahu si sahabat bukan orang yang membuka diri semudah itu.

Maka tindak nekat dilakukan. Nakuladewa mencoba mendaftar untuk mendapat beasiswa penuh dari sekolah. Seperti yang sudah diduga, dengan prestasi yang dimiliki──Nakuladewa lolos seleksi sebagai penerima beasiswa; namun dengan satu syarat, ketika nilainya turun ( walaupun itu hanya 0,00001 ) maka beasiswa yang ia terima akan hangus.

Nakuladewa tidak tahu apa yang sudah ia lewati di masa SMPnya karena ia terlalu sibuk belajar. Nilainya tidak boleh turun sementara penerima beasiswa lainnya adalah siswa-siswi dengan otak encer pula. Seakan tidak tahu dengan penderitaan yang dialami Nakuladewa, Tarendra masih tetap dengan rasa serakahnya.

Ia mengajak Nakuladewa bergabung dengan tim Paskibra sekolah.

Nakuladewa ingin menolak namun ia tidak kuasa mengatakan tidak ketika melihat Tarendra yang terus memohon. Ia teringat ke setiap hal yang pernah diterima Tarendra sewaktu kecil; ejekan dari teman-temannya. Maka Nakuladewa mengiyakan; harus kembali menyeimbangkan waktu belajarnya dengan jadwal latihan Paskibra yang tidak main-main.

Tarendra seperti sudah melekat dengan sosok Nakuladewa. Tarendra selalu bergantung kepada Nakuladewa. Tarendra seakan sudah membubuhkan tanda kepada Nakuladewa bahwa ia harus selalu ada untuknya.

Berlanjut ke SMA, semua masih serupa. Tarendra meminta Nakuladewa ikut mendaftar ke sekolah yang sama dengannya.

Sekolah prestisius yang biayanya selangit, yang membuat Nakuladewa harus berjuang mengalahkan banyak siswa-siswi berprestasi lainnya untuk mendapatkan beasiswa.

Lagi dan lagi. Semua seperti lingkaran setan. Tarendra meminta Nakuladewa untuk bergabung dengan tim Paskibra sekolah, yang tak bisa Nakuladewa tolak.

Kehidupan Nakuladewa di SMA lebih berat dibandingkan kehidupannya di SMP. Untuk tidak membebani orangtuanya, ia menerima kelas mengajar privat untuk murid SD dan SMP. Semata agar bisa mendapatkan uang jajan lebih sebagai pegangan tabungannya.

Tarendra? Tidak pernah sekalipun ia mengucapkan terima kasih kepada Nakuladewa. Ia seperti menganggap bahwa Nakuladewa memang sudah sepantasnya berada di sisi; menemani diri. Tidak perlu terima kasih karena 'toh Nakuladewa juga mendapatkan segala hal yang terbaik ketika mengikuti segala permintaannya, bukan?

Masuk ke sekolah prestisius. Selalu menerima beasiswa. Dikenal sebagi jenius.

Nakuladewa adalah sahabatnya. Sudah sewajarnya ia melakukan hal itu untuk menemani Tarendra agar tidak sendirian, 'kan?

Rendra masih memandangi langit-langit kamarnya.

Kali ini yang terngiang di telinganya bukan suara mengejek dari banyak orang kepada dirinya karena tidak memiliki Ibu. Yang samar-samar memasuki rungunya sekarang adalah suara nyaring dari bocah laki-laki berkulit putih yang mengenakan seragam merah putih; membawa sebuah kotak plastik yang biasa digunakan pedagang kue kaki lima di tangannya.

Tarendra tertawa kecil ketika mengingat sosok anak lelaki itu benar-benar melakukan sesuai dengan apa yang dia katakan. Dia melempari anak-anak yang mencela Tarendra dengan kue lemper di tangannya.

Memang, anak-anak itu lari karena tidak ingin dilempari lemper namun setelahnya Tarendra merasa bersalah karena si anak lelaki yang menyelamatkannya tadi sekarang sedang memunguti kue lempernya yang sudah hancur; tidak lagi bisa dijual.

“Nana..”

Rendra memanggil, dan si anak lelaki yang sedang memunguti kue lemper di tanah itu menolehkan pandangan untuk menatap Tarendra. “..dagangan Mama kamuㅡ gimana? Nggak bisa lagi dijual..”

Nakuladewa, adalah nama yang tertera pada label nama terjahit di seragam anak lelaki itu.

Alih-alih melayangkan protes atau gerutuan, Nakuladewa malah tersenyum lebar. “Nggak apa-apa! Mama bilang, aku harus selalu tolongin orang-orang yang dijahatin; gimanapun caranya. Nanti aku bilang ke Mama kalau aku habis selamatin kamu pake lemper! Mama pasti nggak marah!”

Nada bicara anak lelaki itu terdengar sangat riang dan ceria, berbeda jauh dengan nada bicara Tarendra yang terdengar suram. Rasanya, ketika berdekatan dengan Nakuladewaㅡ siapapun bisa merasakan berbagai energi positif yang ia pancarkan.

Rendra nggak usah sedih! Mama aku 'kan juga Mamanya Rendra!”

Tarendra tidak lagi memandangi langit-langit kamarnya.

Pandangannya tertutupi oleh punggung tangannya sendiri yang diletakkan tepat di atas matanya. Tarendra memilih untuk tidak lagi membayangkan kejadian itu.

Tidak lagi membayangkan kejadian yang membuatnya mulai serakah dengan selalu menginginkan Nakuladewa untuk berada di sampingnya.

Tarendra masih berbaring di kasurnya.

Pandangan si lelaki terarah ke langit-langit kamar. Barusan telinganya menangkap samar-samar suara yang pernah membuatnya ketakutan setengah mati, kembali terngiang setelah sekian lama menghilang. Tarendra ingat, suara eluan penuh nada mengejek itu pernah mengisi hari-harinya sekitar dua belas tahun lalu.

Orangtua Tarendra memutuskan untuk bercerai di usianya yang baru delapan tahun.

Tatkala itu, Tarendra adalah sosok anak laki-laki yang sangat pendiam. Ia tidak memiliki teman dan selalu datang ke sekolah dengan fasilitas antar-jemput yang disediakan oleh Neneknya.

Iya, Nenek. Bukan dari Ayah atau Ibunya. Ayah Tarendra yang kala itu adalah petinggi di universitas Ganesha Mandala terlalu sibuk untuk mengurusi Tarendra sementara sang Ibu yang sudah terlalu dimabuk oleh nikmatnya harta dari lelaki-mapan-lainnya juga kerap tidak mau mengakui Tarendra sebagai anak; ia menganggap jika ketahuan sudah memiliki anak maka popularitas dirinya sebagai wanita karir yang hebat akan terjatuh.

Tarendra tidak menangis ketika Ayah dan Ibunya menjelaskan bahwa mereka akan bercerai dan hak asuh Tarendra akan dimiliki oleh sang Ayah. Ketika orangtuanya menjelaskan hal itu, Tarendra hanya diam dan memandangi luka lebam yang agak membiru di lengan kirinya. Luka yang didapati Tarendra dari cambukan ikat pinggang sang Ayah yang mabuk karena tidak suka dengan tindak Istrinya sendiri.

Tarendra tidak ingat berapa kali sang Ayah mencambukinya dengan ikat pinggang seraya menyerukan berbagai kalimat kasar; yang kebanyakan menyebut anak jalang, padahal Tarendra sendiri tidak tahu apa makna jalang yang disebutkan sang Ayah.

Luka lebam itu tidak lagi terasa saking Tarendra sudah merasa sangat terbiasa. Sang Ibu pernah melihat luka lebam di tubuh Tarendra namun sama sekali tidak ada tanya yang diberi. Tidak ada nada khawatir atau apapun yang diujarkan untuk memastikan kondisi Tarendra. Sang Ibu hanya melirik sekilas kemudian melengos pergi untuk bertemu dengan lelaki lain yang selalu ia sebut sebagai client di hadapan orang-orang.

Tarendra tahu, ia tidak bisa marah kepada sang Ibu. Karena semua tindakannya saat ini adalah karena dirinya sendiri.

Tarendra pernah tidak sengaja mencuri dengar percakapan sang Nenek dengan Kakeknya ketika ia menginap di kediaman beliau berdua. Kakeknya mengatakan kepada sang Istri untuk tidak terlalu memperhatikan Tarendra; 'toh dia cuma anak yang lahir gara-gara anak kita berbuat ceroboh, itu kata sang Kakek.

Tarendra kecil sempat kebingungan. Tindak ceroboh apa yang bisa menjadikan seorang bayi bisa tidak sengaja lahir, coba?

Tidak kuat menahan rasa penasarannya, Tarendra kecil mendatangi sang Nenek yang kala itu sedang memasak. Ia menanyakan tindak ceroboh yang pernah dilakukan sang Ayah. Namun jawaban tidak pernah Tarendra dapatkan dari sang Nenek. Yang Neneknya berikan hanya pelukan hangat dan ujaran untuk tidak pernah mengingat setiap hal yang buruk.

Neneknya selalu menjaga Tarendra. Neneknya selalu menangis ketika melihat adanya lebam biru yang muncul di bagian tubuh Tarendra yang lain. Neneknya selalu mengatakan bahwa Tarendra itu berharga.

Maka ketika orangtuanya bercerai, Tarendra tidak menangis karena ia memiliki Nenek yang siap menjaganya. Ketika orang mengatakan bahwa Tarendra adalah anak yang patut dikasihani atau lebih parahnya patut diejek karena tidak memiliki Ibu── Tarendra tidak banyak melayangkan protes.

Karena ia sendiri tidak memiliki rasa bahagia ketika memiliki Ibu. Untuk apa menangis? Ada atau tidaknya sosok Ibu di dalam hidupnya pun tidak begitu memberi perbedaan yang berarti.

Tarendra lebih memilih diam.

“Lihat lencana yang ada di tangan saya sekarang?”

Siang yang sangat terik, rupanya tidak mengurungkan aktivitas dari beberapa mahasiswa yang berdiri rapi membentuk empat barisan memanjang ke belakang. Dari kaus putih yang dipakai oleh keseluruhan mahasiswa tingkat satu yang berbaris, terlihat jejak basah keringat di punggung yang mengalir tanpa henti.

Di bagian paling depan dari barisan, ada Krishna yang tengah mengangkat sebuah lencana merah putih di tangan kanannya. Semua perhatian tertuju kepada si ketua Paskibra Ganesha Mandala, atau lebih tepatnya──ke arah lencana yang kini berkilat ditempa cahaya matahari.

“Ini lencana KORSA.”

Ujaran Krishna barusan membuat beberapa mahasiswa berkaus putih yang ada di dalam barisan menjadi sedikit mengernyitkan alis. Kebanyakan dari mereka adalah yang sebelumnya mengikuti ekstrakurikuler Paskibra di SMA terdahulu; dan sepengetahuan mereka, lencana itu tidak dinamai sebagai lencana KORSA melainkan lencana Garuda Merah Putih.

Krishna memandang sekilas ke beberapa adik tingkatnya dan mendapati pandangan yang sama seperti dengan yang pernah ia lemparkan tiga tahun lalu kepada seniornya; tatapan keheranan tentang nama lencana di tangannya.

“Beberapa dari kalian mungkin mengenal ini sebagai lencana Garuda Merah Putih namun di sini──di Ganesha Mandala, kami menamainya lencana KORSA.” Krishna menurunkan tangan kanannya dan diletakkan kembali ke belakang untuk membuat sikap istirahat di tempat, “karena kalian akan mendapatkan lencana ini setelah menerima sedikit pelatihan dari kami; para senior.”

Raesaka tersenyum kecil. Ada-ada saja perkataan dari para senior untuk menghaluskan tindak plonco yang mereka lakukan setiap tahunnya. Bagi Raesaka yang sudah tidak asing dengan segala aktivitas yang berkaitan dengan Paskibra, kata pelatihan yang diucapkan Krishna barusan tidak ubahnya serupa dengan penyiksaan.

Sudah dapat Raesaka bayangkan, pasti akan ada tampar atau pukulan di perut yang dilayangkan oleh seniornya di saat-saat yang mereka sebut sebagai pelatihan. Disuruh memakan sesuatu yang ditujukan satu untuk semua juga pasti akan dilakukan; belum lagi berguling-guling atau merangkak di tanah sambil berteriak pasti adalah mutlak untuk dilaksanakan.

Maka tatkala para senior mengatakan akan memberi pelatihan alih-alih penyiksaan, Raesaka hanya tersenyum tipis. Ini adalah tradisi yang harus dilakukan dalam Paskibra, tidak ada yang bisa menghindar.

“Lencana ini adalah lambang bahwa kalian sudah berhasil untuk menjadi bagian dari Paskibra Ganesha Mandala! Ketika kalian mendapatkan lencana ini, kamu dan saya adalah sama; Paskibra Ganesha Mandala.”

Lagaknya aja bilang pelatihan, padahal bakal nyiksa, tuh.

Bukan. Itu bukan suara Raesaka, itu suara dari mahasiswa lain yang berada di barisan depan Raesaka. Ia sedang berbisik dengan teman yang berdiri di sebelahnya, kemudian detik setelah itu mereka terkekeh kecil. Tampaknya karena memiliki pemikiran yang sama dengan Raesaka; bahwa pelatihan untuk mendapatkan lencana Merah Putih itu pasti sesungguhnya adalah neraka untuk mahasiswa tingkat pertama.

Raesaka sedikit mengalihkan pandangannya ke sebelah kiri. Di pinggir lapangan, ada motor bebek miliknya yang terparkir di bawah pohon rindang. Agak tersembunyi; yang mana membuat Raesaka tahu bahwa Semeru ada di sekitar mereka. Kakak sepupunya itu tadi meminjam motor milik Raesaka untuk mengantarkan Tania ke kampus, katanya. Maka Raesaka mengalah, tadi pagi ia berangkat ke kampus dengan menaiki ojek-online dan membiarkan motornya dimiliki oleh Semeru untuk seharian ini.

Baru juga Raesaka akan mengalihkan kembali pandangannya ke depan, tiba-tiba si teman tingkat satu yang tadi berdiri di depan Raesaka sudah terhuyung ke belakang. Sontak, Raesaka berusaha menemukan sadarnya──yang mana membuatnya segera menyadari bahwa sesungguhnya kerah kaus si teman itu sudah dicengkeram kuat oleh Krishna.

“PASUKAN HARUS SELALU FOKUS! INI LATIHAN, BUKAN TEMPAT NGOBROL! PAHAM?!”

Teriakan Krishna terdengar lantang, membuat beberapa mahasiswa tingkat satu yang ada di sekeliling segera menundukkan pandangan. Tidak terkecuali Raesaka yang memilih bungkam.

Raesaka bungkam karena ia tahu, kesalahan ada pada si teman; bukan pada Krishna yang menegur. Jadi Raesaka memilih diam dan memperhatikan saja. Ia baru akan angkat suara ketika ada sesuatu yang ia anggap tidak adil.

Namun perhatian Raesaka sedikit teralih ketika melihat sosok Semeru muncul dari balik pohon rindang, berdekatan dengan posisi motornya yang diparkirkan. Raesaka sudah paham dengan segala tindak tanduk Kakak sepupunya itu, pasti ia muncul dari persembunyiannya karena mendengar suara teriakan Krishna barusan. Melihat ekspresi Semeru yang tengah mendekati mereka, tampaknya nasib Krishna ke depannya tidak akan baik-baik saja.

Raesaka memfokuskan pandangan ke arah depan. Tampaknya para senior belum ada yang menyadari Semeru tengah menghampiri mereka, mereka masih memandangi Krishna yang tengah memberi himbauan kepada si adik tingkat. Tidak ingin Krishna mendapat teguran dari Semeru, Raesaka melangkah mendekati Krishna dan meraih pergelangan tangannya. “Kak, tolong segera lepasin cengkeraman Kakak,” ujar Raesaka dengan tenang.

Krishna mendelik ke arah Raesaka, terlihat tidak suka dengan si adik tingkat yang suka sok-jadi-pahlawan ini. “Apa lagi? Sekarang kamu mau jadi pahlawan buat temen kamu yang nggak disiplin ini, hah?”, tanya Krishna ketus. Demi formalitas di dalam lapangan, Krishna masih menggunakan kata aku-kamu; padahal sumpah demi apapun──ia enggan menggunakan kata pemanggil itu untuk Raesaka.

“Kak. Sebelum terlambat, saya saranin Kakak lepasin cengkeraman tangan Kak──”

BUGGH.

Raesaka jatuh terduduk tepat di samping Krishna. Sementara Krishna? Ia membatu di tempatnya. Sumpah demi apapun, tangannya tidak sengaja membentur rahang Raesaka ketika berniat mengibaskan tangan agar cengkeraman Raesaka terlepas. Lalu benturannya tadi tidak cukup keras, kok. Namun mengapa Raesaka sampai terjatuh segala?

Hanya sepersekian detik Krishna membeku tak berkutik, detik setelahnya ia segera berujar kepada Raesaka. “Saka, lo nggak apa-ap──”

“Uhuk!”

Raesaka terbatuk, dan setelahnya yang keluar dari mulutnya adalah darah segar dalam jumlah yang cukup banyak. Krishna terpatung, begitupun dengan beberapa senior serta mahasiswa tingkat satu lainnya yang berada di barisan. Krishna tidak habis pikir, benturan tangannya ke rahang Raesaka tadi tidak begitu keras namun kenapa darah yang keluar jadi sebanyak ini?

Sementara Raesaka kini tengah menutupi mulutnya, seakan berusaha menahan darah di mulutnya agar tidak keluar. Pandangannya terlihat panik; sedikit ketakutan dengan segala perhatian yang datang dari sekelilingnya.

SAKA!!!

Dari arah pinggir lapangan terdengar teriakan yang sangat lantang. Semua pandangan tertuju ke sumber suara dan mereka menemukan Semeru tengah berlari menuju ke tengah lapangan dengan langkah besar-besar. Tatapannya terlihat panik, dan menjadi lebih parah ketika ia berada di depan Raesaka dan berjongkok untuk mengecek kondisinya.

Raesaka memandangi Semeru dengan tatapan memohon dan mulut yang masih ditutupi oleh kedua tangannya. Dari sela-sela jemari yang menutupi mulut, percik darah segar sedikit terlihat mengalir. Pandangan Raesaka mengiba kepada Semeru; seperti meminta untuk segera diselamatkan dari situasi ini.

“Dek, kamu bawa tumblernya, 'kan?“, tanya Semeru dengan suara gemetar. Mimpi buruk Semeru seperti menjadi kenyataan saat ini ketika melihat wajah Raesaka yang semakin terlihat pucat. “Semuanya ada di mana, Dek?”

Raesaka melepaskan tangannya dari depan mulut, memampangkan jelas sebagaimana darah memang melekat di sebelah tangannya yang sekarang menunjuk ke arah kumpulan tas yang berada tak jauh dari mereka. Tas milik Raesaka ada bersama tas milik mahasiswa tingkat satu lainnya.

Tak menunggu lama, Semeru berderap menuju tumpukan tas itu dan mengobrak-abriknya dengan berantakan. Setiap detik sangat berharga untuknya menyelamatkan si adik sepupu, ia tidak boleh berlama-lama mencari benda itu.

“MANA TAS SAKA?!” Dengan frustasi, Semeru berteriak sementara tangannya masih mengacak tumpukan tas milik mahasiswa tingkat satu. Krishna menghampiri dengan langkah tergesa dan menyerahkan sebuah tas yang ia yakini sebagai milik Raesaka. Tangannya gemetar parah ketika terulur kepada Semeru, “Ini, Kak..”

Semeru tidak memiliki waktu untuk meneriaki Krishna atas ulahnya. Ia meraih tas yang disodorkan Krishna dengan kasar dan kembali menghampiri Raesaka. Tas dibuka dan isinya dikeluarkan ke atas tanah. Ada buku, banyak kertas, alat tulis, dan sebuah kotak berukuran kecil; mirip icebox namun ini dalam ukuran yang sangat kecil, seperti hanya cukup untuk memuat satu botol minum saja.

Semeru bisa merasakan tangannya gemetar bukan main ketika ia membuka kotak kecil dari tas Raesaka. Hawa dingin segera melingkupi ketika kotak itu dibuka, dan di dalamnya ada sebuah botol tumbler bening.

Di dalam kotak itu juga terdapat sebuah plastik putih bertuliskan hemostatic gauze. Saking terlalu panik, Semeru merobek plastik itu dengan mulut dan mengeluarkan semacam tisu kasa yang ada di dalamnya. “Dek, tekan dulu pakai ini.. Mas siapin suntikannya dulu..”, ujar Krishna seraya memberi tisu kasa itu kepada Raesaka.

Raesaka melepaskan bekapan tangannya sendiri. Setelahnya, sesuai instruksi Semeru, ia meludahkan darah segar dari dalam mulutnya sebelum meletakkan tisu kasa ke bagian sisi rahang yang terkena benturan tangan Krishna.

Krishna? Membatu. Ia kebingungan, bagaimana bisa benturan seperti tadi bisa menimbulkan akibat sebesar ini? Apa yang sesungguhnya sedang terjadi?

Seperti tidak mempedulikan pandangan heran dari para anggota Paskibra yang mengelilinginya, Semeru masih mencoba mencampurkan isi dari dua botol bening kecil yang ada di dalam tumbler ke dalam alat suntik yang ia pegang. Alih-alih jarum, Semeru memasangkan suatu benda plastik berbentuk corong dengan ujung kerucut ke alat suntik di tangannya.

Tangan Semeru sungguh gemetar. Bukannya ia takut karena akan melakukan tindak medis padahal dirinya bukan mahasiswa kedokteran, Semeru ketakutan karena ia bisa membayangkan bagaimana sosok Ayah Raesaka ( yang juga adalah Pamannya ) akan marah besar jika mengetahui putra semata wayangnya harus mendapat penanganan di tengah lapangan.

Mencoba mengenyampingkan rasa takutnya, Semeru membawa alat suntik di tangannya ke hadapan Raesaka. Paham dengan apa yang harus dilakukan, Raesaka mengeluarkan tisu kasa dari mulutnya dan membiarkan Semeru memeriksa kondisinya. Ia hanya mempercayakan tindakan ini ke tiga orang; Ayah, Semeru, dan Tania.

“Tahan, ya, Dek..”, ujar Semeru ketika menemukan titik pusat dari luka yang dialami Raesaka. Darah terus mengalir tanpa henti dari sisi rahang yang terbentur tangan Krishna. Berupaya fokus walaupun jantungnya berdegup sangat kencang, Semeru menyemprotkan isi dari corong yang terpasang pada alat suntiknya ke luka di mulut Raesaka.

Perlu beberapa menit, hingga darah pada mulut Raesaka berhenti mengalir. Semeru merasa lega bukan main; ia segera mendudukkan dirinya ke atas tanah sementara Raesaka masih meludahkan sisa darah dari mulutnya.

Tidak ada yang berbicara atau mengangkat suara sedikit pun setelah melihat tindak heroik yang dilakukan Semeru kepada Raesaka. Semua masih terdiam, hingga akhirnya Semeru membuka suara terlebih dahulu.

“Apa yang kalian liat barusan,” ujar Semeru dengan nada sangat dingin. “Bakal jadi rahasia kalian sampai kalian mati.”

Semua yang berkumpul di lapangan segera meneguk ludah setelah mendengar kalimat Semeru barusan. Mereka paham, lebih baik mereka melakukan semuanya sesuai ucapan si kakak tingkat; untuk merahasiakannya sampai mati.

Semeru bangkit dari posisi duduknya, kemudian menghampiri Raesaka untuk merangkul bahunya agar bisa ia tuntun untuk berjalan. Langkah Raesaka sudah benar-benar terhuyung; saking ia merasa terlalu lemas. “Kalian semua lanjutin latihan. Saka izin dulu hari ini,” ujar Semeru yang dibalas dengan seruan paham dari anggota Paskibra lainnya.

“Dan lo, Krish,” Semeru melanjutkan kalimatnya. Krishna memberi seruan siap atas panggilan Semeru barusan. “Siap, Kak!”

“Lo jangan balik sampai gue suruh pulang,” ucap Semeru, dingin. “Pastiin handphone lo aktif terus.”

“Siap, Kak!”

Krishna tidak bisa membayangkan separah apa hukuman yang akan diberikan si senior kepadanya.

“Ke kamar gue.” “Ngobrol di ruang tamu aja.” “Gue nggak bakal lama di sini.”

Nakuladewa meletakkan dompet dan ponselnya ke meja besar di ruang tamu kediaman keluarga Tarendra. Semua tampak megah namun terasa kosong. Di rumah seluas ini hanya ada Tarendra dan beberapa asisten rumah tangga yang ditugaskan mengurusi rumah. Tarendra adalah raja di sini.

Namun Tarendra tidak mengindahkan ujaran Nakuladewa. Langkahnya masih diarahkan untuk menaiki tangga ke lantai dua; menuju kamar tidurnya sendiri.

“Naik.”

Suara Tarendra terdengar dingin dan sinis, yang mana segera membuat Nakuladewa jadi ikut merasa kesal. Dengan sedikit menggerutu, Nakuladewa meraih lagi dompet dan ponsel yang semula ia letakkan di atas meja dan memasukkannya ke dalam saku celana. Setelahnya, ia mengikuti langkah Tarendra menuju ke lantai dua.

Menuju kamar tidur sahabatnya.

“Kok kamu main sendirian?”

Kala itu, usia Nakuladewa baru lima tahun dan ia baru saja pindah ke kawasan perumahan yang keluarganya tempati karena harus mengikuti sang Ayah yang ditugaskan untuk pindah kerja ke kota ini.

Hal pertama yang menarik perhatian Nakuladewa bukanlah taman bermain dengan ayunan serta perosotan yang ada di dekat rumahnya. Sesuatu yang menarik perhatian si bocah lelaki itu adalah seorang anak lelaki lain yang duduk dengan tubuh agak meringkuk di depan pagar sebuah rumah.

Nakuladewa berjongkok di hadapan seorang anak lelaki yang mengukir sesuatu di atas tanah jalanan dengan sebatang ranting; entah menuliskan apa karena tidak begitu terlihat, sebab tak ada cukup pasir untuk diukir. “Kok sendirian? Kamu nggak punya temen?”, tanya Nakuladewa; tanpa basa-basi. Tidak bisa disalahkan, 'toh apa yang diketahui anak lelaki berusia lima tahun perihal etika bersosialisasi?

Pertanyaan Nakuladewa tidak diindahkan oleh si anak lelaki yang masih duduk dengan posisi agak meringkuk di depan rumah. Kini posisi anak itu berhadapan dengan Nakuladewa namun pandangannya tidak diarahkan ke depan; masih hanya tertuju ke arah bawah, memandangi ukirannya yang tidak jelas.

Penasaran dengan apa yang dibuat oleh si anak lelaki itu, Nakuladewa kini menurunkan arah pandangan. Ia memperhatikan gambar yang dibuat oleh si anak lelaki dan berujar dengan polos. “Itu Mama Papa kamu? Kenapa Mama kamu kasih tanda X begitu? Nggak boleh tau! Dosa!”

Anak lelaki itu menggeleng. Satu-satunya bentuk respon yang diberi olehnya setelah beberapa saat mereka duduk berhadapan. “Ini bukan Mama..”, jawab si anak lelaki dengan suara lirih. “Ini tante yang bikin Mama sama Papa berantem terus setiap hari. Aku nggak suka Tante ini, makanya aku kasih X biar dia bisa ilang dan Mama Papa aku nggak berantem terus.”

Nakuladewa terdiam, bingung dengan maksud ujaran si anak lelaki di hadapannya. Siapa yang dimaksudnya dengan sosok tante? Apa dia adalah sama seperti Tante Ira yang adalah adik dari Ayahnya? Kalau iya, kenapa anak itu malah membenci Tantenya?

“Terus, itu tangan kamu kenapa biru-biru? Jatoh, ya?” Nakuladewa melemparkan pertanyaan ketika melihat lengan kiri si anak lelaki dipenuhi dengan bekas tanda biru seperti lebam.

Anak kecil itu menggeleng. “Ini bekas ikat pinggang Papa yang dipukulin ke aku karena aku nangis pas Mama Papa berantem.” Selesai dengan kalimatnya, ia berdiri dari posisi duduk dan setelahnya Nakuladewa bisa melihat tidak hanya lengan kiri──namun lengan kanan juga lututnya pun terlihat sama. Penuh dengan bekas biru lebam serupa. “Semuanya kena.”

Nakuladewa terdiam, dalam hati merasa heran dengan kondisi si anak lelaki yang baru ditemuinya itu. Sepanjang hidup, Nakuladewa tidak pernah dipukuli oleh sang Ayah. Yah, Ibunya pernah mencubiti, sih, ketika ia membuat tindak onar di sekolah namun tidak pernah sampai berbekas biru begini. Memangnya sosok Ayah lelaki itu seperti apa, coba?

“Aku nggak mau masuk rumah. Mama Papa lagi berantem, aku takut,” ujar si anak lelaki dengan pandangan tertunduk. Tanpa pikir panjang, Nakuladewa mengulurkan tangannya kemudian berucap dengan nada ceria. “Kalau gitu, ayo ke rumahku, yuk? Mamaku masak semur ayam kesukaan aku! Aku punya es kiko juga di rumah! Aku bagi kamu nanti!”

Anak lelaki itu memandangi uluran tangan Nakuladewa untuk sekilas, terlihat ragu. Namun Nakuladewa tetap tersenyum lebar, seakan menghipnotis anak lelaki itu untuk mengiyakan ajakannya.

Pada akhirnya, uluran tangan Nakuladewa diraih. Yang paling Nakuladewa ingat, tangan anak lelaki itu sangat dingin. Terasa sangat ringkih. “Yee! Kita temen sekarang!”, seru Nakuladewa dengan riang. Anak lelaki itu berujar agak lirih, “temen?”

Nakuladewa mengangguk. “Iya! Sekarang kita temenan! Aku Nakuladewa. Mama Papa aku panggil aku Nana. Kalau kamu?”

Tarendra,” jawab si anak lelaki.

Raesaka dan Tania hanya berbeda satu tahun.

Namun takdir yang dimiliki Tania dan Raesaka sangatlah berbeda. Tania tumbuh besar di lingkungan keluarga yang sangat mendukung segala pilihannya, juga disertai Ayah-Ibu yang siap memberi pujian atau kalimat manis lainnya ketika si putri tengah merasa lelah dengan segala cobaan dunia.

Sementara Raesaka lahir dari keluarga yang sangat tegas. Oh, tambahkan satu hal yang membuat semuanya semakin lebih buruk : Ayah Raesaka adalah seorang Laksamana Madya TNI Angkatan Laut dan Ibundanya meninggal sepuluh menit setelah melahirkan Raesaka.

Tania mendapatkan segala dukungan, Raesaka mendapat segala tekanan.

Namun Tania tidak pernah melihat Raesaka menangis walaupun Ayahnya kerap membentak. Raesaka tampak tenang, mengiyakan segala keinginan sang Ayah dan menjadi sosok lelaki hebat dengan segudang prestasi.

Belajar. Belajar. Belajar.

Bahkan di tengah acara Idul Fitri yang diadakan oleh keluarga besar, Tania melihat Raesaka duduk di sudut ruangan dengan bangku kecil beserta meja lipat. Ia duduk tenang, mengerjakan buku soal yang berisi pertanyaan matematika untuk murid kelas enam SD sementara dirinya sendiri baru kelas dua SD.

Tania kecil pernah mengajak Semeru untuk menculik Raesaka agar bisa ke taman bermain di dekat rumah Nenek mereka; alasannya sederhana, Tania kasihan melihat Raesaka yang hanya diam sementara sepupu lainnya berlarian ramai ke sana kemari.

Namun Semeru menolak dan lebih memilih untuk bermain yo-yo bersama salah satu sepupu seusianya. Meninggalkan Tania yang memandangi punggung Raesaka dengan pandangan iba.

Tania tahu, ia tidak boleh menculik Raesaka sendirian karena bisa saja semua menjadi senjata makan tuan. Bisa jadi Raesaka malah semakin dimarahi oleh Ayahnya. Maka kala itu, Tania kecil membawa mainannya ke samping meja lipat yang digunakan Raesaka untuk belajar. Tania memainkan bonekanya di samping Raesaka tanpa membuat suara sedikitpun, ia hanya ingin memastikan Raesaka tahu bahwa dirinya tidak sendirian.

Semenjak itu, Tania selalu ada untuk Raesaka dan si bocah lelaki semakin dekat dengan si kakak sepupu perempuannya. Semenjak itu, Raesaka tidak masalah diajak bermain boneka-bonekaan dengan Tania. Raesaka tidak keberatan diajak bermain rumah-rumahan dan meminum teh palsu dari gelas plastik yang diberi oleh Tania. Semenjak itu, Tania selalu memastikan Raesaka tidak kesepian dan Raesaka memastikan Tania tidak dalam bahaya.

Beranjak dewasa, Tania dan Raesaka tumbuh menjadi remaja yang hebat. Cantik dan pintar, sangat cocok didefinisikan untuk seorang Tania. Tampan dan cerdas, patut disematkan untuk seorang Raesaka.

Hingga di salah satu kesempatan, Tania mendapati gerombolan anak-anak berandalan menindas Raesaka dengan julukan monyet nggak punya Ibu. Raesaka tidak membalas dan hanya memasang ekspresi datar walaupun sindiran dari anak-anak berandalan itu sangat lantang, bahkan disertai lemparan kertas yang dibentuk bulat.

Tania tidak tahu apa yang merasuki dirinya sehingga bisa menyerang lima orang anak lelaki seusianya seorang diri. Mungkin cakaran kukunya? Atau jambakan yang dilemparkannya? Entah. Yang Tania tahu, rambutnya sudah berantakan dan nafasnya tersengal hebat ketika lima anak lelaki itu kabur terbirit-birit meninggalkan Tania dan Raesaka.

Dan pada saat itu, Tania pertama kali melihat Raesaka menangis. Raesaka memeluk si kakak sepupunya erat-erat dan menangis di pelukan Tania, mengatakan bahwa ia sedih karena tidak memiliki Ibu.

Raesaka dan Tania hanya berselisih usia satu tahun.

Namun ketika melihat Raesaka yang begitu, Tania tidak mempedulikan perbedaan usia diantara mereka. Dengan Raesaka yang masih ada di pelukannya, Tania mengucap janji bahwa ia akan selalu ada untuk Raesaka.

Bahwa ia, akan menjadi Ibu untuk si adik sepupu yang tampak selalu tegar namun sesungguhnya menyimpan banyak rasa sedih di dalam dirinya.

Malam ini juga demikian.

Tania tidak bisa membiarkan adik sepupunya itu larut dalam perasaannya yang masih tidak jelas. Maka langkah kaki Tania diarahkan keluar dari kamar tidurnya menuju meja televisi di ruang tamu. Sebelum ia memasuki kamar, Raesaka masih ada di sana; menonton film komedi dengan ekspresi datar khasnya.

Namun saat ini ruang televisi kosong; bahkan lampu di sekitar ruang tamu sudah dimatikan.

Tania beranjak menuju kamar Raesaka di lantai dua kediaman keluarganya. Kamar yang semula difungsikan sebagai kamar tamu namun beralih menjadi kamar Raesaka yang ikut menumpang di rumah sang Bibi setelah dititipkan oleh Ayahnya selama berkuliah di Ganesha Mandala. Tania melangkah dengan perlahan, tidak ingin membuat kegaduhan karena kamar orang tua mereka tepat berada di samping kamar Raesaka.

Tok. Tok. Tok.

Perlahan, Tania mengetuk pintu kamar Raesaka dan beberapa detik setelahnya terdengar suara derit dari kerangka kasur di dalam kamar. Setelahnya pintu terbuka dan sosok Raesaka terlihat di balik daun pintu.

“Lho? Mbak belum tidur, tah?”

Tania tersenyum tipis. “Dek.”

“Ya, Mbak?”

“Ada yang mau Mbak omongin.” “Mbak boleh masuk?”

. . . .

( dialog setelahnya ada pada video yang tertera di tweet berbarengan dengan link write-as ini. silahkan tonton untuk melihat percakapan antara Raesaka dan Tania. )

Raesaka dan Tania hanya berbeda satu tahun.

Namun takdir yang dimiliki Tania dan Raesaka sangatlah berbeda. Tania tumbuh besar di lingkungan keluarga yang sangat mendukung segala pilihannya, juga disertai Ayah-Ibu yang siap memberi pujian atau kalimat manis lainnya ketika si putri tengah merasa lelah dengan segala cobaan dunia.

Sementara Raesaka lahir dari keluarga yang sangat tegas. Oh, tambahkan satu hal yang membuat semuanya semakin lebih buruk : Ayah Raesaka adalah seorang Laksamana Madya TNI Angkatan Laut dan Ibundanya meninggal sepuluh menit setelah melahirkan Raesaka.

Tania mendapatkan segala dukungan, Raesaka mendapat segala tekanan.

Namun Tania tidak pernah melihat Raesaka menangis walaupun Ayahnya kerap membentak. Raesaka tampak tenang, mengiyakan segala keinginan sang Ayah dan menjadi sosok lelaki hebat dengan segudang prestasi.

Belajar. Belajar. Belajar.

Bahkan di tengah acara Idul Fitri yang diadakan oleh keluarga besar, Tania melihat Raesaka duduk di sudut ruangan dengan bangku kecil beserta meja lipat. Ia duduk tenang, mengerjakan buku soal yang berisi pertanyaan matematika untuk murid kelas enam SD sementara dirinya sendiri baru kelas dua SD.

Tania kecil pernah mengajak Semeru untuk menculik Raesaka agar bisa ke taman bermain di dekat rumah Nenek mereka; alasannya sederhana, Tania kasihan melihat Raesaka yang hanya diam sementara sepupu lainnya berlarian ramai ke sana kemari.

Namun Semeru menolak dan lebih memilih untuk bermain yo-yo bersama salah satu sepupu seusianya. Meninggalkan Tania yang memandangi punggung Raesaka dengan pandangan iba.

Tania tahu, ia tidak boleh menculik Raesaka sendirian karena bisa saja semua menjadi senjata makan tuan. Bisa jadi Raesaka malah semakin dimarahi oleh Ayahnya. Maka kala itu, Tania kecil membawa mainannya ke samping meja lipat yang digunakan Raesaka untuk belajar. Tania memainkan bonekanya di samping Raesaka tanpa membuat suara sedikitpun, ia hanya ingin memastikan Raesaka tahu bahwa dirinya tidak sendirian.

Semenjak itu, Tania selalu ada untuk Raesaka dan si bocah lelaki semakin dekat dengan si kakak sepupu perempuannya. Semenjak itu, Raesaka tidak masalah diajak bermain boneka-bonekaan dengan Tania. Raesaka tidak keberatan diajak bermain rumah-rumahan dan meminum teh palsu dari gelas plastik yang diberi oleh Tania. Semenjak itu, Tania selalu memastikan Raesaka tidak kesepian dan Raesaka memastikan Tania tidak dalam bahaya.

Beranjak dewasa, Tania dan Raesaka tumbuh menjadi remaja yang hebat. Cantik dan pintar, sangat cocok didefinisikan untuk seorang Tania. Tampan dan cerdas, patut disematkan untuk seorang Raesaka.

Hingga di salah satu kesempatan, Tania mendapati gerombolan anak-anak berandalan menindas Raesaka dengan julukan monyet nggak punya Ibu. Raesaka tidak membalas dan hanya memasang ekspresi datar walaupun sindiran dari anak-anak berandalan itu sangat lantang, bahkan disertai lemparan kertas yang dibentuk bulat.

Tania tidak tahu apa yang merasuki dirinya sehingga bisa menyerang lima orang anak lelaki seusianya seorang diri. Mungkin cakaran kukunya? Atau jambakan yang dilemparkannya? Entah. Yang Tania tahu, rambutnya sudah berantakan dan nafasnya tersengal hebat ketika lima anak lelaki itu kabur terbirit-birit meninggalkan Tania dan Raesaka.

Dan pada saat itu, Tania pertama kali melihat Raesaka menangis. Raesaka memeluk si kakak sepupunya erat-erat dan menangis di pelukan Tania, mengatakan bahwa ia sedih karena tidak memiliki Ibu.

Raesaka dan Tania hanya berselisih usia satu tahun.

Namun ketika melihat Raesaka yang begitu, Tania tidak mempedulikan perbedaan usia diantara mereka. Dengan Raesaka yang masih ada di pelukannya, Tania mengucap janji bahwa ia akan selalu ada untuk Raesaka.

Bahwa ia, akan menjadi Ibu untuk si adik sepupu yang tampak selalu tegar namun sesungguhnya menyimpan banyak rasa sedih di dalam dirinya.

Malam ini juga demikian.

Tania tidak bisa membiarkan adik sepupunya itu larut dalam perasaannya yang masih tidak jelas. Maka langkah kaki Tania diarahkan keluar dari kamar tidurnya menuju meja televisi di ruang tamu. Sebelum ia memasuki kamar, Raesaka masih ada di sana; menonton film komedi dengan ekspresi datar khasnya.

Namun saat ini ruang televisi kosong; bahkan lampu di sekitar ruang tamu sudah dimatikan.

Tania beranjak menuju kamar Raesaka di lantai dua kediaman keluarganya. Kamar yang semula difungsikan sebagai kamar tamu namun beralih menjadi kamar Raesaka yang ikut menumpang di rumah sang Bibi setelah dititipkan oleh Ayahnya selama berkuliah di Ganesha Mandala. Tania melangkah dengan perlahan, tidak ingin membuat kegaduhan karena kamar orang tua mereka tepat berada di samping kamar Raesaka.

Tok. Tok. Tok.

Perlahan, Tania mengetuk pintu kamar Raesaka dan beberapa detik setelahnya terdengar suara derit dari kerangka kasur di dalam kamar. Setelahnya pintu terbuka dan sosok Raesaka terlihat di balik daun pintu.

“Lho? Mbak belum tidur, tah?”

Tania tersenyum tipis. “Dek.”

“Ya, Mbak?”

“Ada yang mau Mbak omongin.” “Mbak boleh masuk?”

. . . .

( segala dialog setelahnya ada pada video yang tertera di tweet berbarengan dengan link write-as ini. silahkan tonton untuk melihat percakapan antara Raesaka dan Tania. )

Raesaka dan Tania hanya berbeda satu tahun.

Namun takdir yang dimiliki Tania dan Raesaka sangatlah berbeda. Tania tumbuh besar di lingkungan keluarga yang sangat mendukung segala pilihannya, juga disertai Ayah-Ibu yang siap memberi pujian atau kalimat manis lainnya ketika si putri tengah merasa lelah dengan segala cobaan dunia.

Sementara Raesaka lahir dari keluarga yang sangat tegas. Oh, tambahkan satu hal yang membuat semuanya semakin lebih buruk : Ayah Raesaka adalah seorang Laksamana Madya TNI Angkatan Laut dan Ibundanya meninggal sepuluh menit setelah melahirkan Raesaka.

Tania mendapatkan segala dukungan, Raesaka mendapat segala tekanan.

Namun Tania tidak pernah melihat Raesaka menangis walaupun Ayahnya kerap membentak. Raesaka tampak tenang, mengiyakan segala keinginan sang Ayah dan menjadi sosok lelaki hebat dengan segudang prestasi.

Belajar. Belajar. Belajar.

Bahkan di tengah acara Idul Fitri yang diadakan oleh keluarga besar, Tania melihat Raesaka duduk di sudut ruangan dengan bangku kecil beserta meja lipat. Ia duduk tenang, mengerjakan buku soal yang berisi pertanyaan matematika untuk murid kelas enam SD sementara dirinya sendiri baru kelas dua SD.

Tania kecil pernah mengajak Semeru untuk menculik Raesaka agar bisa ke taman bermain di dekat rumah Nenek mereka; alasannya sederhana, Tania kasihan melihat Raesaka yang hanya diam sementara sepupu lainnya berlarian ramai ke sana kemari.

Namun Semeru menolak dan lebih memilih untuk bermain yo-yo bersama salah satu sepupu seusianya. Meninggalkan Tania yang memandangi punggung Raesaka dengan pandangan iba.

Tania tahu, ia tidak boleh menculik Raesaka sendirian karena bisa saja semua menjadi senjata makan tuan. Bisa jadi Raesaka malah semakin dimarahi oleh Ayahnya. Maka kala itu, Tania kecil membawa mainannya ke samping meja lipat yang digunakan Raesaka untuk belajar. Tania memainkan bonekanya di samping Raesaka tanpa membuat suara sedikitpun, ia hanya ingin memastikan Raesaka tahu bahwa dirinya tidak sendirian.

Semenjak itu, Tania selalu ada untuk Raesaka dan si bocah lelaki semakin dekat dengan si kakak sepupu perempuannya. Semenjak itu, Raesaka tidak masalah diajak bermain boneka-bonekaan dengan Tania. Raesaka tidak keberatan diajak bermain rumah-rumahan dan meminum teh palsu dari gelas plastik yang diberi oleh Tania. Semenjak itu, Tania selalu memastikan Raesaka tidak kesepian dan Raesaka memastikan Tania tidak dalam bahaya.

Beranjak dewasa, Tania dan Raesaka tumbuh menjadi remaja yang hebat. Cantik dan pintar, sangat cocok didefinisikan untuk seorang Tania. Tampan dan cerdas, patut disematkan untuk seorang Raesaka.

Hingga di salah satu kesempatan, Tania mendapati gerombolan anak-anak berandalan menindas Raesaka dengan julukan monyet nggak punya Ibu. Raesaka tidak membalas dan hanya memasang ekspresi datar walaupun sindiran dari anak-anak berandalan itu sangat lantang, bahkan disertai lemparan kertas yang dibentuk bulat.

Tania tidak tahu apa yang merasuki dirinya sehingga bisa menyerang lima orang anak lelaki seusianya seorang diri. Mungkin cakaran kukunya? Atau jambakan yang dilemparkannya? Entah. Yang Tania tahu, rambutnya sudah berantakan dan nafasnya tersengal hebat ketika lima anak lelaki itu kabur terbirit-birit meninggalkan Tania dan Raesaka.

Dan pada saat itu, Tania pertama kali melihat Raesaka menangis. Raesaka memeluk si kakak sepupunya erat-erat dan menangis di pelukan Tania, mengatakan bahwa ia sedih karena tidak memiliki Ibu.

Raesaka dan Tania hanya berselisih usia satu tahun.

Namun ketika melihat Raesaka yang begitu, Tania tidak mempedulikan perbedaan usia diantara mereka. Dengan Raesaka yang masih ada di pelukannya, Tania mengucap janji bahwa ia akan selalu ada untuk Raesaka.

Bahwa ia, akan menjadi Ibu untuk si adik sepupu yang tampak selalu tegar namun sesungguhnya menyimpan banyak rasa sedih di dalam dirinya.

Malam ini juga demikian.

Tania tidak bisa membiarkan adik sepupunya itu larut dalam perasaannya yang masih tidak jelas. Maka langkah kaki Tania diarahkan keluar dari kamar tidurnya menuju meja televisi di ruang tamu. Sebelum ia memasuki kamar, Raesaka masih ada di sana; menonton film komedi dengan ekspresi datar khasnya.

Namun saat ini ruang televisi kosong; bahkan lampu di sekitar ruang tamu sudah dimatikan.

Tania beranjak menuju kamar Raesaka di lantai dua kediaman keluarganya. Kamar yang semula difungsikan sebagai kamar tamu namun beralih menjadi kamar Raesaka yang ikut menumpang di rumah sang Bibi setelah dititipkan oleh Ayahnya selama berkuliah di Ganesha Mandala. Tania melangkah dengan perlahan, tidak ingin membuat kegaduhan karena kamar orang tua mereka tepat berada di samping kamar Raesaka.

Tok. Tok. Tok.

Perlahan, Tania mengetuk pintu kamar Raesaka dan beberapa detik setelahnya terdengar suara derit dari kerangka kasur di dalam kamar. Setelahnya pintu terbuka dan sosok Raesaka terlihat di balik daun pintu.

“Lho? Mbak belum tidur, tah?”

Tania tersenyum tipis. “Dek.”

“Ya, Mbak?”

“Ada yang mau Mbak omongin.” “Mbak boleh masuk?”

. . . .

( segala dialog setelahnya ada pada video yang tertera di tweet berbarengan dengan link write-as ini. silahkan tonton untuk melihat percakapan antara Raesaka dan Tania. )

0:17 : “Mas Meru. Aku tidur di kamar Saka, ada yang mau kuobrolin sama dia. Kalau Mas pulang, tolong bangunin aku, ya? Biar aku pindah ke kamarku sendiri. Oh, iya! Aku titip kacang goreng di warung burjo. Sama bayarin utang pisang gorengku di Teteh-Tetehnya, ya. Makasih banyak, Mas!”