“Lihat lencana yang ada di tangan saya sekarang?”
Siang yang sangat terik, rupanya tidak mengurungkan aktivitas dari beberapa mahasiswa yang berdiri rapi membentuk empat barisan memanjang ke belakang. Dari kaus putih yang dipakai oleh keseluruhan mahasiswa tingkat satu yang berbaris, terlihat jejak basah keringat di punggung yang mengalir tanpa henti.
Di bagian paling depan dari barisan, ada Krishna yang tengah mengangkat sebuah lencana merah putih di tangan kanannya. Semua perhatian tertuju kepada si ketua Paskibra Ganesha Mandala, atau lebih tepatnya──ke arah lencana yang kini berkilat ditempa cahaya matahari.
“Ini lencana KORSA.”
Ujaran Krishna barusan membuat beberapa mahasiswa berkaus putih yang ada di dalam barisan menjadi sedikit mengernyitkan alis. Kebanyakan dari mereka adalah yang sebelumnya mengikuti ekstrakurikuler Paskibra di SMA terdahulu; dan sepengetahuan mereka, lencana itu tidak dinamai sebagai lencana KORSA melainkan lencana Garuda Merah Putih.
Krishna memandang sekilas ke beberapa adik tingkatnya dan mendapati pandangan yang sama seperti dengan yang pernah ia lemparkan tiga tahun lalu kepada seniornya; tatapan keheranan tentang nama lencana di tangannya.
“Beberapa dari kalian mungkin mengenal ini sebagai lencana Garuda Merah Putih namun di sini──di Ganesha Mandala, kami menamainya lencana KORSA.” Krishna menurunkan tangan kanannya dan diletakkan kembali ke belakang untuk membuat sikap istirahat di tempat, “karena kalian akan mendapatkan lencana ini setelah menerima sedikit pelatihan dari kami; para senior.”
Raesaka tersenyum kecil. Ada-ada saja perkataan dari para senior untuk menghaluskan tindak plonco yang mereka lakukan setiap tahunnya. Bagi Raesaka yang sudah tidak asing dengan segala aktivitas yang berkaitan dengan Paskibra, kata pelatihan yang diucapkan Krishna barusan tidak ubahnya serupa dengan penyiksaan.
Sudah dapat Raesaka bayangkan, pasti akan ada tampar atau pukulan di perut yang dilayangkan oleh seniornya di saat-saat yang mereka sebut sebagai pelatihan. Disuruh memakan sesuatu yang ditujukan satu untuk semua juga pasti akan dilakukan; belum lagi berguling-guling atau merangkak di tanah sambil berteriak pasti adalah mutlak untuk dilaksanakan.
Maka tatkala para senior mengatakan akan memberi pelatihan alih-alih penyiksaan, Raesaka hanya tersenyum tipis. Ini adalah tradisi yang harus dilakukan dalam Paskibra, tidak ada yang bisa menghindar.
“Lencana ini adalah lambang bahwa kalian sudah berhasil untuk menjadi bagian dari Paskibra Ganesha Mandala! Ketika kalian mendapatkan lencana ini, kamu dan saya adalah sama; Paskibra Ganesha Mandala.”
“Lagaknya aja bilang pelatihan, padahal bakal nyiksa, tuh.“
Bukan. Itu bukan suara Raesaka, itu suara dari mahasiswa lain yang berada di barisan depan Raesaka. Ia sedang berbisik dengan teman yang berdiri di sebelahnya, kemudian detik setelah itu mereka terkekeh kecil. Tampaknya karena memiliki pemikiran yang sama dengan Raesaka; bahwa pelatihan untuk mendapatkan lencana Merah Putih itu pasti sesungguhnya adalah neraka untuk mahasiswa tingkat pertama.
Raesaka sedikit mengalihkan pandangannya ke sebelah kiri. Di pinggir lapangan, ada motor bebek miliknya yang terparkir di bawah pohon rindang. Agak tersembunyi; yang mana membuat Raesaka tahu bahwa Semeru ada di sekitar mereka. Kakak sepupunya itu tadi meminjam motor milik Raesaka untuk mengantarkan Tania ke kampus, katanya. Maka Raesaka mengalah, tadi pagi ia berangkat ke kampus dengan menaiki ojek-online dan membiarkan motornya dimiliki oleh Semeru untuk seharian ini.
Baru juga Raesaka akan mengalihkan kembali pandangannya ke depan, tiba-tiba si teman tingkat satu yang tadi berdiri di depan Raesaka sudah terhuyung ke belakang. Sontak, Raesaka berusaha menemukan sadarnya──yang mana membuatnya segera menyadari bahwa sesungguhnya kerah kaus si teman itu sudah dicengkeram kuat oleh Krishna.
“PASUKAN HARUS SELALU FOKUS! INI LATIHAN, BUKAN TEMPAT NGOBROL! PAHAM?!”
Teriakan Krishna terdengar lantang, membuat beberapa mahasiswa tingkat satu yang ada di sekeliling segera menundukkan pandangan. Tidak terkecuali Raesaka yang memilih bungkam.
Raesaka bungkam karena ia tahu, kesalahan ada pada si teman; bukan pada Krishna yang menegur. Jadi Raesaka memilih diam dan memperhatikan saja. Ia baru akan angkat suara ketika ada sesuatu yang ia anggap tidak adil.
Namun perhatian Raesaka sedikit teralih ketika melihat sosok Semeru muncul dari balik pohon rindang, berdekatan dengan posisi motornya yang diparkirkan. Raesaka sudah paham dengan segala tindak tanduk Kakak sepupunya itu, pasti ia muncul dari persembunyiannya karena mendengar suara teriakan Krishna barusan. Melihat ekspresi Semeru yang tengah mendekati mereka, tampaknya nasib Krishna ke depannya tidak akan baik-baik saja.
Raesaka memfokuskan pandangan ke arah depan. Tampaknya para senior belum ada yang menyadari Semeru tengah menghampiri mereka, mereka masih memandangi Krishna yang tengah memberi himbauan kepada si adik tingkat. Tidak ingin Krishna mendapat teguran dari Semeru, Raesaka melangkah mendekati Krishna dan meraih pergelangan tangannya. “Kak, tolong segera lepasin cengkeraman Kakak,” ujar Raesaka dengan tenang.
Krishna mendelik ke arah Raesaka, terlihat tidak suka dengan si adik tingkat yang suka sok-jadi-pahlawan ini. “Apa lagi? Sekarang kamu mau jadi pahlawan buat temen kamu yang nggak disiplin ini, hah?”, tanya Krishna ketus. Demi formalitas di dalam lapangan, Krishna masih menggunakan kata aku-kamu; padahal sumpah demi apapun──ia enggan menggunakan kata pemanggil itu untuk Raesaka.
“Kak. Sebelum terlambat, saya saranin Kakak lepasin cengkeraman tangan Kak──”
BUGGH.
Raesaka jatuh terduduk tepat di samping Krishna. Sementara Krishna? Ia membatu di tempatnya. Sumpah demi apapun, tangannya tidak sengaja membentur rahang Raesaka ketika berniat mengibaskan tangan agar cengkeraman Raesaka terlepas. Lalu benturannya tadi tidak cukup keras, kok. Namun mengapa Raesaka sampai terjatuh segala?
Hanya sepersekian detik Krishna membeku tak berkutik, detik setelahnya ia segera berujar kepada Raesaka. “Saka, lo nggak apa-ap──”
“Uhuk!”
Raesaka terbatuk, dan setelahnya yang keluar dari mulutnya adalah darah segar dalam jumlah yang cukup banyak. Krishna terpatung, begitupun dengan beberapa senior serta mahasiswa tingkat satu lainnya yang berada di barisan. Krishna tidak habis pikir, benturan tangannya ke rahang Raesaka tadi tidak begitu keras namun kenapa darah yang keluar jadi sebanyak ini?
Sementara Raesaka kini tengah menutupi mulutnya, seakan berusaha menahan darah di mulutnya agar tidak keluar. Pandangannya terlihat panik; sedikit ketakutan dengan segala perhatian yang datang dari sekelilingnya.
“SAKA!!!“
Dari arah pinggir lapangan terdengar teriakan yang sangat lantang. Semua pandangan tertuju ke sumber suara dan mereka menemukan Semeru tengah berlari menuju ke tengah lapangan dengan langkah besar-besar. Tatapannya terlihat panik, dan menjadi lebih parah ketika ia berada di depan Raesaka dan berjongkok untuk mengecek kondisinya.
Raesaka memandangi Semeru dengan tatapan memohon dan mulut yang masih ditutupi oleh kedua tangannya. Dari sela-sela jemari yang menutupi mulut, percik darah segar sedikit terlihat mengalir. Pandangan Raesaka mengiba kepada Semeru; seperti meminta untuk segera diselamatkan dari situasi ini.
“Dek, kamu bawa tumblernya, 'kan?“, tanya Semeru dengan suara gemetar. Mimpi buruk Semeru seperti menjadi kenyataan saat ini ketika melihat wajah Raesaka yang semakin terlihat pucat. “Semuanya ada di mana, Dek?”
Raesaka melepaskan tangannya dari depan mulut, memampangkan jelas sebagaimana darah memang melekat di sebelah tangannya yang sekarang menunjuk ke arah kumpulan tas yang berada tak jauh dari mereka. Tas milik Raesaka ada bersama tas milik mahasiswa tingkat satu lainnya.
Tak menunggu lama, Semeru berderap menuju tumpukan tas itu dan mengobrak-abriknya dengan berantakan. Setiap detik sangat berharga untuknya menyelamatkan si adik sepupu, ia tidak boleh berlama-lama mencari benda itu.
“MANA TAS SAKA?!” Dengan frustasi, Semeru berteriak sementara tangannya masih mengacak tumpukan tas milik mahasiswa tingkat satu. Krishna menghampiri dengan langkah tergesa dan menyerahkan sebuah tas yang ia yakini sebagai milik Raesaka. Tangannya gemetar parah ketika terulur kepada Semeru, “Ini, Kak..”
Semeru tidak memiliki waktu untuk meneriaki Krishna atas ulahnya. Ia meraih tas yang disodorkan Krishna dengan kasar dan kembali menghampiri Raesaka. Tas dibuka dan isinya dikeluarkan ke atas tanah. Ada buku, banyak kertas, alat tulis, dan sebuah kotak berukuran kecil; mirip icebox namun ini dalam ukuran yang sangat kecil, seperti hanya cukup untuk memuat satu botol minum saja.
Semeru bisa merasakan tangannya gemetar bukan main ketika ia membuka kotak kecil dari tas Raesaka. Hawa dingin segera melingkupi ketika kotak itu dibuka, dan di dalamnya ada sebuah botol tumbler bening.
Di dalam kotak itu juga terdapat sebuah plastik putih bertuliskan hemostatic gauze. Saking terlalu panik, Semeru merobek plastik itu dengan mulut dan mengeluarkan semacam tisu kasa yang ada di dalamnya. “Dek, tekan dulu pakai ini.. Mas siapin suntikannya dulu..”, ujar Krishna seraya memberi tisu kasa itu kepada Raesaka.
Raesaka melepaskan bekapan tangannya sendiri. Setelahnya, sesuai instruksi Semeru, ia meludahkan darah segar dari dalam mulutnya sebelum meletakkan tisu kasa ke bagian sisi rahang yang terkena benturan tangan Krishna.
Krishna? Membatu. Ia kebingungan, bagaimana bisa benturan seperti tadi bisa menimbulkan akibat sebesar ini? Apa yang sesungguhnya sedang terjadi?
Seperti tidak mempedulikan pandangan heran dari para anggota Paskibra yang mengelilinginya, Semeru masih mencoba mencampurkan isi dari dua botol bening kecil yang ada di dalam tumbler ke dalam alat suntik yang ia pegang. Alih-alih jarum, Semeru memasangkan suatu benda plastik berbentuk corong dengan ujung kerucut ke alat suntik di tangannya.
Tangan Semeru sungguh gemetar. Bukannya ia takut karena akan melakukan tindak medis padahal dirinya bukan mahasiswa kedokteran, Semeru ketakutan karena ia bisa membayangkan bagaimana sosok Ayah Raesaka ( yang juga adalah Pamannya ) akan marah besar jika mengetahui putra semata wayangnya harus mendapat penanganan di tengah lapangan.
Mencoba mengenyampingkan rasa takutnya, Semeru membawa alat suntik di tangannya ke hadapan Raesaka. Paham dengan apa yang harus dilakukan, Raesaka mengeluarkan tisu kasa dari mulutnya dan membiarkan Semeru memeriksa kondisinya. Ia hanya mempercayakan tindakan ini ke tiga orang; Ayah, Semeru, dan Tania.
“Tahan, ya, Dek..”, ujar Semeru ketika menemukan titik pusat dari luka yang dialami Raesaka. Darah terus mengalir tanpa henti dari sisi rahang yang terbentur tangan Krishna. Berupaya fokus walaupun jantungnya berdegup sangat kencang, Semeru menyemprotkan isi dari corong yang terpasang pada alat suntiknya ke luka di mulut Raesaka.
Perlu beberapa menit, hingga darah pada mulut Raesaka berhenti mengalir. Semeru merasa lega bukan main; ia segera mendudukkan dirinya ke atas tanah sementara Raesaka masih meludahkan sisa darah dari mulutnya.
Tidak ada yang berbicara atau mengangkat suara sedikit pun setelah melihat tindak heroik yang dilakukan Semeru kepada Raesaka. Semua masih terdiam, hingga akhirnya Semeru membuka suara terlebih dahulu.
“Apa yang kalian liat barusan,” ujar Semeru dengan nada sangat dingin. “Bakal jadi rahasia kalian sampai kalian mati.”
Semua yang berkumpul di lapangan segera meneguk ludah setelah mendengar kalimat Semeru barusan. Mereka paham, lebih baik mereka melakukan semuanya sesuai ucapan si kakak tingkat; untuk merahasiakannya sampai mati.
Semeru bangkit dari posisi duduknya, kemudian menghampiri Raesaka untuk merangkul bahunya agar bisa ia tuntun untuk berjalan. Langkah Raesaka sudah benar-benar terhuyung; saking ia merasa terlalu lemas. “Kalian semua lanjutin latihan. Saka izin dulu hari ini,” ujar Semeru yang dibalas dengan seruan paham dari anggota Paskibra lainnya.
“Dan lo, Krish,” Semeru melanjutkan kalimatnya. Krishna memberi seruan siap atas panggilan Semeru barusan. “Siap, Kak!”
“Lo jangan balik sampai gue suruh pulang,” ucap Semeru, dingin. “Pastiin handphone lo aktif terus.”
“Siap, Kak!”
Krishna tidak bisa membayangkan separah apa hukuman yang akan diberikan si senior kepadanya.