“Aneh, ya, Mas? Mbak?”
“Eh? Apa?” “Nggak. Nggak aneh, sih.” “Nggak aneh, 'kan, Dek Tan?”
”...Hmm.” “Aku ambil goreng bakwan dulu, deh, Mas. Si Mama udah selesai ngegoreng, kayaknya. Bentar, ya.”
“Mas Meru..” “Mbak Tania kecewa, ya?” “Hah? Nggak, lah. Dia cuma ambil goreng bakwan ke dapur, kok. Bukan kecewa ke kamu. Jangan suka mikir aneh-aneh, ah, Dek.”
“Tapi, Masㅡaku sendiri nggak tau perasaan aku ke Kak Krishna itu kayak apa. Aku masih bingung, bisa jadi ini cuma perasaan kagum ke sosok pemimpin gitu..” “Iya, iyaa. Mas tau. Mas juga mikir bahwa kamu itu cuma kagum ke Krishna. Wajar, sihㅡ sosok Krishna sebagai danton itu pasti keliatan keren di mata orang-orang yang paham soal paskibra. Bisa jadi kamu mikir begitu.”
“Tapi, Mas..” “Hm? Apa?” “Kalau aku cuma kagum ke sosok Kak Krishna yang sebagai danton, kenapa aku kepengen deket sama dia terus? Aku pengen dan terus mau liat dia. Nggak kepengen pisah.”
“Dek..” “Mas nggak berani menyimpulkan apapun karena ini perkara tentang hati kamu. Dan hati setiap orang itu beda-beda.” “Tapi, Dek.. kalaupun emang perasaan kamu ke Krishna itu emang perasaan suka, kamu tau tentang semua resikonya, 'kan?”
“Mas..” “Tapi, cinta ituㅡ bentuknya nggak cuma satu aja, 'kan? Maksudku, sekarang banyak orang yang berani buat menyuarakan semuanya. Aku sering baca di koran bahwa gerakan orang-orang yang ingin diakui orientasi seksualnya itu semakin banyak.”
“Dek..” “Saka, dengerin Mas.” “Kita ada di Indonesia, Dek.” “Kita ada di negara yang pikirannya terlalu kolot untuk hal begituan, Dek. Mas Meru bukannya nggak mau mendukung Saka buat meneruskan perasaan yang kamu miliki buat Krishna, tapi Dek..” ”..selama perasaan itu belum berkembang, Mas Meru mohonㅡ”
“ㅡtolong pikirin sekali lagi buat hilangkan perasaan itu.”
Raesaka tahu, Semeru tidak sedang bermain-main dengan permintaannya. Suaranya memang pelan; katakanlah, mendesis. Mungkin ia tahu bahwa perbincangan mereka saat ini tidak boleh dicuri dengar oleh siapapun, terlebih oleh sang Bibi yang ada di dapur. Semeru tentu tidak ingin sang Bibi kedapatan serangan jantung mendadak dan meninggal ketika sedang menggoreng cemilan untuk mereka.
Semeru tidak hanya menggenggam tangan kanan Raesaka dengan sebelah tangan. Kini kedua kuasa yang gagah meraih tangan Raesaka, menggenggamnya erat-erat seperti memberi permohonan untuk mempertimbangkan ujarannya barusan.
“Saka, dengerin Mas..” “Yang Saka ucapin barusan biar jadi rahasia diantara Mas Meru, Tania, sama Saka sendiri. Paham?” “Saka jangan pernah omongin hal ini ke siapapun. Biar ini jadi rahasia kita bertiga. Apalagi ke Budhe sama Pakdhe, ya? Saka paham?”
Raesaka berumur sembilan belas tahun, namun cara berbicara Semeru saat ini tidak ubahnya seperti tengah berbicara dengan anak umur lima tahun yang tidak tahu apa-apa. Entah apa yang dimaksudkan Semeru ketika mengujarkan itu namun tatapan Raesaka saat ini benar-benar terlihat kosong; tidak tertuju pada apapun.
Genggaman tangan Semeru tidak dibalas oleh jabat erat yang sama dari Raesaka. Si lelaki yang lebih muda hanya membuka pergelangan tangannya; membiarkan Semeru memberi genggam erat tanpa ia balas serupa.
Entahlah. Raesaka merasakan perasaan kosong dan hampa. Sosok Semeru yang ia kira mampu memberi jawab tanpa memihak, rupanya sudah memberi tanda bahwa ia tak ubahnya sama seperti masyarakat pada umumnya.
Menghakimi.
“Saka, Mas cuma mau kasih tauㅡ yang kamu rasain sekarang mungkin cuma perasaan yang datang sekilas karena kagum. Bisa jadi cuma itu, nggak lebih.”
Genggaman Semeru pada tangan beralih menjadi cengkeraman agak kuat di pundak Raesaka. Seakan memberi hipnotis agar Raesaka mengikuti segala perkataannya. “Ya, Saka?”
Raesaka terdiam, walau detik setelahnya kepala si lelaki yang lebih muda mengangguk; lemah.
“Iya, Mas.” “Mungkin cuma kagum.” “Nggak lebih daripada itu.”
Semeru tersenyum. Sementara itu di balik tirai yang membatasi ruang dapur dengan ruang tamu, Tania memegangi nampan berisi piring yang tersaji cemilan goreng buatan Ibunda. Tatapannya nanar memandangi punggung Raesaka yang berhadapan dengan Semeru saat ini.
Entahlah, Tania merasa semua perasaan di dadanya bercampur aduk. Membentuk sebuah perasaan abstrak yang orang-orang namai sebagai; kecewa.