dontlockhimup

“Aneh, ya, Mas? Mbak?”

“Eh? Apa?” “Nggak. Nggak aneh, sih.” “Nggak aneh, 'kan, Dek Tan?”

”...Hmm.” “Aku ambil goreng bakwan dulu, deh, Mas. Si Mama udah selesai ngegoreng, kayaknya. Bentar, ya.”

“Mas Meru..” “Mbak Tania kecewa, ya?” “Hah? Nggak, lah. Dia cuma ambil goreng bakwan ke dapur, kok. Bukan kecewa ke kamu. Jangan suka mikir aneh-aneh, ah, Dek.”

“Tapi, Masㅡaku sendiri nggak tau perasaan aku ke Kak Krishna itu kayak apa. Aku masih bingung, bisa jadi ini cuma perasaan kagum ke sosok pemimpin gitu..” “Iya, iyaa. Mas tau. Mas juga mikir bahwa kamu itu cuma kagum ke Krishna. Wajar, sihㅡ sosok Krishna sebagai danton itu pasti keliatan keren di mata orang-orang yang paham soal paskibra. Bisa jadi kamu mikir begitu.”

“Tapi, Mas..” “Hm? Apa?” “Kalau aku cuma kagum ke sosok Kak Krishna yang sebagai danton, kenapa aku kepengen deket sama dia terus? Aku pengen dan terus mau liat dia. Nggak kepengen pisah.”

“Dek..” “Mas nggak berani menyimpulkan apapun karena ini perkara tentang hati kamu. Dan hati setiap orang itu beda-beda.” “Tapi, Dek.. kalaupun emang perasaan kamu ke Krishna itu emang perasaan suka, kamu tau tentang semua resikonya, 'kan?”

“Mas..” “Tapi, cinta ituㅡ bentuknya nggak cuma satu aja, 'kan? Maksudku, sekarang banyak orang yang berani buat menyuarakan semuanya. Aku sering baca di koran bahwa gerakan orang-orang yang ingin diakui orientasi seksualnya itu semakin banyak.”

“Dek..” “Saka, dengerin Mas.” “Kita ada di Indonesia, Dek.” “Kita ada di negara yang pikirannya terlalu kolot untuk hal begituan, Dek. Mas Meru bukannya nggak mau mendukung Saka buat meneruskan perasaan yang kamu miliki buat Krishna, tapi Dek..” ”..selama perasaan itu belum berkembang, Mas Meru mohonㅡ”

“ㅡtolong pikirin sekali lagi buat hilangkan perasaan itu.”

Raesaka tahu, Semeru tidak sedang bermain-main dengan permintaannya. Suaranya memang pelan; katakanlah, mendesis. Mungkin ia tahu bahwa perbincangan mereka saat ini tidak boleh dicuri dengar oleh siapapun, terlebih oleh sang Bibi yang ada di dapur. Semeru tentu tidak ingin sang Bibi kedapatan serangan jantung mendadak dan meninggal ketika sedang menggoreng cemilan untuk mereka.

Semeru tidak hanya menggenggam tangan kanan Raesaka dengan sebelah tangan. Kini kedua kuasa yang gagah meraih tangan Raesaka, menggenggamnya erat-erat seperti memberi permohonan untuk mempertimbangkan ujarannya barusan.

“Saka, dengerin Mas..” “Yang Saka ucapin barusan biar jadi rahasia diantara Mas Meru, Tania, sama Saka sendiri. Paham?” “Saka jangan pernah omongin hal ini ke siapapun. Biar ini jadi rahasia kita bertiga. Apalagi ke Budhe sama Pakdhe, ya? Saka paham?”

Raesaka berumur sembilan belas tahun, namun cara berbicara Semeru saat ini tidak ubahnya seperti tengah berbicara dengan anak umur lima tahun yang tidak tahu apa-apa. Entah apa yang dimaksudkan Semeru ketika mengujarkan itu namun tatapan Raesaka saat ini benar-benar terlihat kosong; tidak tertuju pada apapun.

Genggaman tangan Semeru tidak dibalas oleh jabat erat yang sama dari Raesaka. Si lelaki yang lebih muda hanya membuka pergelangan tangannya; membiarkan Semeru memberi genggam erat tanpa ia balas serupa.

Entahlah. Raesaka merasakan perasaan kosong dan hampa. Sosok Semeru yang ia kira mampu memberi jawab tanpa memihak, rupanya sudah memberi tanda bahwa ia tak ubahnya sama seperti masyarakat pada umumnya.

Menghakimi.

“Saka, Mas cuma mau kasih tauㅡ yang kamu rasain sekarang mungkin cuma perasaan yang datang sekilas karena kagum. Bisa jadi cuma itu, nggak lebih.”

Genggaman Semeru pada tangan beralih menjadi cengkeraman agak kuat di pundak Raesaka. Seakan memberi hipnotis agar Raesaka mengikuti segala perkataannya. “Ya, Saka?”

Raesaka terdiam, walau detik setelahnya kepala si lelaki yang lebih muda mengangguk; lemah.

“Iya, Mas.” “Mungkin cuma kagum.” “Nggak lebih daripada itu.”

Semeru tersenyum. Sementara itu di balik tirai yang membatasi ruang dapur dengan ruang tamu, Tania memegangi nampan berisi piring yang tersaji cemilan goreng buatan Ibunda. Tatapannya nanar memandangi punggung Raesaka yang berhadapan dengan Semeru saat ini.

Entahlah, Tania merasa semua perasaan di dadanya bercampur aduk. Membentuk sebuah perasaan abstrak yang orang-orang namai sebagai; kecewa.

0:07 : “Kita kebiasa berbagi kesedihan, itu bener. Mungkin itu yang bikin gue begini..” 0:05 : “Gue belum siap berbagi kebahagiaan dengan lo, kayaknya.”

0.05 : “Ren. Lo masih marah?” 0:09 : “Sumpah, kalau lo emang marah ke gue──kasih tau alasannya apaan.” 0:12 :“Kita berdua sahabatan dari kecil. Kalau lo emang ada masalah, cerita. Kita biasa bagi kesedihan sejak dulu, 'kan, Ren?”

“Mas Meru.” “Kenapa, Dek?” “Sibuk, nggak, Mas?” “Nggak. Lagi ngopi aja. Kenapa? Mau ngobrol, tah, kamu?” “Boleh, Mas?” “Ya boleh, lah. Sini duduk.”

“Kenapa?” “Mas, aku ngerasa aneh, e.” “Aneh karena?” “Kok aku suka deg-degan setiap ngobrol sama seseorang, ya? Terus senyum-senyum nggak jelas gitu, lho.” “Gila, tah?” “Yo ndak! Aku masih waras, lah. Masih bisa ngitung kok, dua dikali dua ya empat.”

“Dek, Dek. Kamu tuh' ya...” “Aku kenapa, Mas?” “Duh, Mas bingung bilangnya..”

“Kalian lagi ngomongin apa, hayo? Tania ndak diajak ngobrol, ih. Jahat kalian.” “Wih, pisang gorengnya baru jadi tah, Dek Tan?” “Iya, Baginda Raja Semeru yang terhormat. Mama 'kan sayang banget ke Mas, jadi berasa harus ngurusin Raja, akunya.” “Bude juga sayang aku lho, Mbak.” “Ya, iyaaa. Mama sayang ke keponakan-keponakannya, tapi ke anaknya yang cantik mah disuruh-suruh terus.” “Dih. Jelek lho kamu kalo manyun gitu, Dek Tan. Udah sini, duduk. Dengerin cerita Saka. Dia mau curhat, katanya.” “Bukan curhat, Mas. Ini aku mau nanya, bingung soalnya.”

“Bingung soal apaan sih, Dek? Ih, Mas Meru minggir sedikit dong kakinya! Aku nggak kebagian duduk!” “Ya Allah, Dek. Itu kursi sebelah 'kan kosong...” “Nanti nggak kedengeran Sakanya ngomong apa, ih, Mas!” “Dek. Kita di ruang tamu rumah, bukan di hutan..” “Ih! Mas Meru berisik, deh, ah! Ayo, Dek. Mau cerita apa? Apa yang dibingungin?”

“Mas, Mbak..” “Selama ini aku nggak pernah ngerasain yang namanya jatuh cinta atau suka ke seseorang. Ada sih yang bilang suka ke aku, jumlahnya juga lumayan.. tapi aku nggak pernah terima mereka. Karena aku nggak pernah ngerasain apa-apa ke mereka.” “Terus?” “Dan belakangan ini aku ngerasa deg-degan ketika lagi barengan sama seseorang..”

“YA AMPUN! ADEK SEPUPUKU AKHIRNYA BISA SUKA SAMA SESEORANG! AMPUUUUN, AKHIRNYA YA, MAS? AKHIRNYA SAKA NGGAK KEBUKTI MANUSIA ES!” “Dek! Dek Tan! Nggak pake cekik leher Mas, dong! Hhhkkh──Dek! Sakit, woi!” “Siapa, Dek?! Siapa orangnya? Perlu Mbak bantuin nggak buat jodohin kalian? Mbak tau banyak anak-anak yang siap jadi tim sukses buat nembak nanti! Siapa, kasih tau buruaaan!” “Anak GAMA juga, tah, Dek?” “Iya, Mas. Anak GAMA.” “Mas Meru juga kenal.”

“Lha? Aku kenal?” “Anak paskibra, tah?” “Atau anak teknik industri?”

“Dua-duanya, Mas.”

“Lha? Adik tingkatmu ada yang cantik emangnya, Mas?” “Cewek di teknik industri jarang banget, kayaknya. Paling satu angkatan cuma tiga.“Yang kamu maksud itu yang mana, emang, Dek? Biar Mas bantuin.”

“Kak Krishna, Mas, Mbak.”

”...” “...”

Gue berantem sama Dewa.“ “Lha? Kok bisa? Bukannya lo berdua itu soulmate?

Soulmate pala lo?“ “Emang bukan soulmate? Lo ke mana-mana tuh berdua terus, anjir. Udah kayak perangko sama amplop. Harus sepaket.

Ga tau, dah. Intinya gue berantem sama dia. Lumayan parah.“ “Tinju-tinjuan, nggak?“ “Nggak, lah! Cuma lewat chat.“ “Halah, cemen. Berantemnya lewat chat.” “Bangsat.

Berantemnya gara-gara apa, emangnya, Ren?“ “Dewa dikenalin sama cewek, anak psikologi.“ “... terus?“ “Gue marah.“ “... karena?“ “Ya gue marah aja!“ “Ya kenapa lo marah?“ “Gue nggak tau!“ “Gue kesel setengah mati!“ “Gue nggak mau denger cerita dia tentang cewek itu!

Ren..“ “Apa?“ “Lo marah?“ “Iya, banget.“ “Lo kesel?“ “Nggak perlu ditanya!“ “Lo cemburu?“ “...“ “Hm? Iya, Ren?

Krishna berdiri sendirian di bawah pohon rindang yang ada di lapangan utama Universitas Ganesha Mandala.

Pukul empat lima puluh sore, kurang sepuluh menit dari waktu perjanjian temu yang diusulkan oleh Krishna kepada Raesaka kemarin. Krishna mengenakan jaket merah yang merupakan lambang jaket jurusan teknik industri, tampak sangat mencolok diantara hijaunya rerumputan serta pepohonan yang melingkupi lapangan.

Beberapa kali, Krishna melirik arloji di pergelangan tangannya. Kurang tiga menit. Memang, Krishna lebih suka mengenakan arloji digital untuk mengetahui beberapa menit terlewati dari waktu yang semestinya. Bukan gila waktu; ini adalah bentuk praktek nyata dari banyaknya latihan paskibra yang ia jalani. Disiplin dalam menaati waktu.

Samar-samar terdengar suara derap langkah yang mendekat ke arah Krishna berada. Si lelaki menolehkan kepalanya ke arah belakang dan menemukan sosok Raesaka tengah berderap dengan langkah cepat; sedikit tersengal. Selama Raesaka menghampirinya, Krishna mengangkat tangan kanannya untuk memperhatikan setiap detik yang terlewati.

Jam lima kurang satu menit. Jam lima kurang tiga puluh detik. Jam lima kurang sepuluh detik. Jam lima kurang tiga detiㅡ

“Hadir, Kak!”

Jam lima tepat.

Raesaka tidak terlambat walaupun sekarang ia sedikit terengah-engah untuk mengatur nafasnya. Jaket merah yang menjadi lambang jurusan teknik industri dikenakan olehnya, menjadikan mereka berdua mengenakan seragam senada. “Hadir, K..akㅡ”

Seakan tidak ingin menghiraukan situasi Raesaka saat ini, Krishna menyedekapkan kedua tangannya di depan dada. Tatapannya datar, tidak menunjukkan belas kasihan atau apapun kepada Raesaka yang masih mengejar laju nafasnya.

“Udah?”, tanya Krishna dengan nada dingin. Paham bahwa seniornya tidak akan memberi waktu lebih lama, Raesaka segera menegapkan posisi berdirinya dan mengangguk cepat. “Siap! Sudah, Kak!”, seru Raesaka.

Krishna menggaruk telinganya, tampak risih dengan sikap si adik tingkat. “Nggak usah teriak. Ini di luar forum latihan. Lo sama gue cuma ketemu sebagai kakak-adek tingkat di teknik, bukan paskib.”

Bibir Raesaka sedikit terbuka, membuat gerak bibir 'Oh..' tanpa suara. Keheningan menyelimuti keduanya untuk sejenak sebelum akhirnya Krishna membuka topik pembicaraan. “Soal danton..”

“..gue cuma mau bilang, gue nggak akan serahin posisi danton ke lo secara sukarela. Walaupun itu omongan dari Kak Meru, gue masih pengen pertahanin posisi gue di pasukan sebagai danton.”

Ujaran Krishna dibalas dengan anggukan paham dari Raesaka. Tangan si lelaki yang lebih muda kini bergerak kecil; memainkan tali tas ranselnya. Agak kebingungan harus merespon kalimat Krishna barusan dengan bagaimana. “Saya juga sebetulnya nggak tau apa bisa mampu untuk ada di posisi danton, Kak. Walau dulu saya pernah jadi danton, tapi untuk langsung berada di liga setaraf Ganesha Mandalaㅡ saya masih ragu.”

Ujaran Raesaka tidak dibalas dengan gumam atau anggukan dari Krishna. Lelaki bermata sipit dan berkulit putih itu hanya melemparkan pandangan ke kejauhan; entah memandangi apa. “Lo pernah jadi danton sewaktu sekolah?”, tanya Krishna tanpa memandangi Raesaka.

Raesaka mengangguk. “Pernah, Kak. Sewaktu SMP dan SMA, saya ada di posisi danton.”

Krishna melirik sekilas ke arah lawan bicaranya. “Must be good, then..”

Raesaka mengernyitkan alisnya, sedikit kebingungan dengan maksud perkataan Krishna. Paham bahwa lawan bicaranya kebingungan, Krishna menghela nafas panjang; berniat menjelaskan sesuatu. “Lo tau 'kan gue dari etnis apa? Kulit putih, mata sipit.”

Tidak menunggu jawaban Raesaka, Krishna kembali melanjutkan kalimatnya. “Gue udah join paskibra dari SD. Nyokap gue orang tiongkok asli, bokap gue orang Indonesia tapi emang masih ada keturunan Tionghoanya.”

“Semenjak kecil, bokap gue selalu bilang buat cinta tanah air. Bokap selalu bilang bahwa gue ini orang Indonesia yang harus bangga sama diri gue. Bokap bilang bahwa dengan gue keturunan Tionghoa, bukan berarti gue bukan orang Indonesia.”

Raesaka mengeratkan genggamannya ke tali ransel, mulai paham akan ke mana arah pembicaraan ini berlanjut.

Pandangan Krishna mulai beralih terfokus ke arah Raesaka. “Sewaktu SD, gue coba masuk paskibra. Impian gue waktu itu pengen jadi paskibraka yang ngibarin bendera di Istana. Gue yakin gue mampu karena gue latihan keras banget..”

“..tapi rupanya semua hasil latihan gue nggak berguna sama sekali karena etnis gue ini.” Krishna tersenyum getir. “Jangankan paskibraka, pas SD, SMP, SMA, gue sama sekali nggak dilirik buat masuk pasukan inti karena mereka bilang gue kurang masuk kriteria.”

“Gue bahkan nggak tau kriteria yang mereka maksud itu apa, sementara gue sendiri udah yakin semua latihan yang gue lakuin udah cukup menunjukkan bahwa gue mampu.”

Krishna kembali mengalihkan pandangannya, kali ini seraya menggigiti bibir bawahnya kecil-kecil; tampak terbawa emosi. “Sampai akhirnya gue denger pelatih paskibra gue pas SMA ngomong sewaktu dia ngobrol sama senior..”

Raesaka menundukkan pandangan, tampak tahu apa kalimat yang akan diujarkan Krishna selanjutnya.

Krishna bagus, tapi sayang ncek-ncek sipit. Kurang etis dimasukin ke pasukan.

Raesaka sudah benar-benar menggenggam tali ranselnya kuat-kuat. Ia tahu sebagaimana sakit yang diterima Krishna. Tidak diterima karena perihal etnis keturunan sangatlah tidak menyenangkan untuk dirasa. “Kak, maaㅡ”

“Lo nggak usah minta maaf,” sela Krishna. Tatapannya masih terlihat dingin, ekspresinya datar. “Gue nggak mau dikasihani karena hal ini.”

Raesaka meneguk air liurnya, merasa sedikit gentar. Entah bagaimana sosok Krishna saat ini terlihat agung. Di saat yang sama, Krishna melanjutkan kalimatnya. “Gue awalnya udah nyerah dan nggak mau lanjut ikutan paskib di ugama tapi kayaknya gue bego banget. Ketika liat demo pasukan yang waktu itu dipimpin Kak Meru, gue langsung jatuh hati. Gue ngerasa tim ini hebat banget dan mutusin buat gabung walaupun gue tau mungkin aja gue dikucilin lagi.”

“Tapi Kak Meru nggak kayak gitu. Dia yang tekanin ke senior-senior bahwa gue berhak dimasukin ke pasukan inti. Ketika pemilihan danton, Kak Meru bilang bahwa gue pantes jadi danton.”

Raesaka tidak meragukan kalimat Krishna. Kakak sepupunya, Semeru, memang sehebat itu untuk menilai kemampuan seseorang. “Dan ketika Kak Meru milih lo buat ngegantiin gue jadi danton, gue nggak tau harus ngerasain apa,” ucap Krishna.

“Gue nggak suka dengan fakta bahwa Kak Meru milih lo, tapi gue juga yakin bahwa pasti ada alasan yang bikin Kak Meru memutuskan begitu.”

Krishna memajukan langkahnya ke arah Raesaka sehingga kini mereka berdiri dalam jarak yang saling berdekatan. “Jadi..”

“..gue mau kita berdua main fair di sini.” Ujaran Krishna barusan dibalas dengan gumam tidak paham dari Raesaka. “Ya? Maksudnya Kak Krishna, apa?”

“Masih ada waktu sampai seleksi anggota pasukan inti buat ikut lomba. Gue mau lo iyain permintaan Kak Meru buat jadiin lo danton tanpa mikir takut nyakitin gue sebagai senior lo. Kita tunjukin di depan orang-orang, siapa yang paling hebat dan pantes buat jadi danton Ganesha Mandala.”

Pandangan Raesaka dinaikkan sehingga kini matanya bertemu tatap dengan si senior. Krishna tampak tidak gentar sama sekali dan balas menatap Raesaka di hadapannya.

“Siap, Kak,” jawab Raesaka; tegas. Krishna tersenyum tipis, terlihat sinis namun juga tampak lega. Jika sudah begini, ia bisa memantapkan hatinya untuk tidak memberi hati serta iba dari seorang senior kepada juniornya.

Sekarang Krishna dan Raesaka adalah kompetitor yang harus mengalahkan satu sama lain. Itu saja yang harus mereka camkan baik-baik.

“Mas Meru tadi keterlaluan!”

Di tengah motor yang tengah melaju membelah jalan raya, Raesaka berteriak dari balik helm yang dikenakannya. Agak kurang terdengar jelas hingga Semeru, si penumpang yang ada di jok belakang, harus sedikit mencondongkan badannya ke depan. “HAH? APAAN, DEK!”

Paham bahwa Semeru tidak dapat mendengar ujarannya, Raesaka mengurangi kecepatan laju motornya dan membuka kaca helm kenaannya. “Mas Meru tadi keterlaluan!”, seru Raesaka, mengulangi ucapannya. “Mas Krishna marah lah, pasti!”

Semeru tertawa kecil. “Iya, tah?”, tanya Semeru. “Krishna orangnya nurut-nurut aja sih kalau ke Mas, Dek. Kayaknya dia nerima aja kalau kamu jadi danton.”

Mbok ya bilang dulu ke aku gitu, lho, Mas,” jawab Raesaka, terdengar sedikit kesal. “Aku 'tuh kemaren ada masalah sama Mas Krishna, terus sekarang ditambah begini. Walahdalah, makin sengsara hidupku nanti, e, Maaaas,” lanjut si lelaki dengan logat Jawa Tengah yang kental.

Semeru menepuk helm yang dikenakan Raesaka, tidak begitu kencang. “Ya udah, kalau nggak mau jadi danton ya kamu bilang langsung ke Krishnanya nanti, Dek.”

“Gimana bilangnya coba?”, tanya Raesaka. “Aku nggak punya kontaknya juga.”

“Udah Mas kasih kontakmu ke dia,” jawab Semeru dan sontak membuat Raesaka menoleh ke belakang. “HEH! LIAT DEPAN, DEK!”

“MAS NGASIH NOMORKU KE DIA????!!!! KE MAS KRISHNA???!!!”

“Saya Semeru, alumni dari Ganesha Mandala angkatan 19 juga mantan danton.”

Sosok laki-laki bertubuh tegap dengan jaket hitam kenaannya, Semeru, tampak berdiri di depan barisan para anggota paskibra tahun pertama. Di belakang Semeru, pasukan Ganesha Mandala yang baru saja selesai mempertunjukkan demo tengah berdiri dengan sikap istirahat di tempat. “Sudah lihat penampilan Kakak tingkat kalian barusan, 'kan? Bagaimana menurut kalian?”

Kalimat barusan terdengar biasa saja jika diujarkan dengan nada sewajarnya. Namun di mulut Semeru, kalimat tanya itu terdengar seperti sebuah penekanan karena ia ucapkan dengan suara lantang dan tegas; berteriak.

“Keren.” “Bagus.” “Hebat.”

Semua jawab berupa pujian diucapkan oleh para anggota baru, membuat ulas senyum penuh rasa bangga terpampang di bibir anggota pasukan yang tadi mempertunjukkan demo.

“Mereka juara umum Lomba Ketangkasan Baris Berbaris di tingkat nasional tahun lalu dan sebentar lagi akan ada lomba yang sama di tahun ini,” ujar Semeru; masih dengan suara lantang dan kaki yang dilangkahkan ke sana kemari dalam tempo lambat. “Saya di sini sebagai alumni ingin menekankan bahwa para anggota pasukan yang akan diikutsertakan dalam lomba nanti, tidak harus para senior!”

“Kalian, junior, juga bisa ikut berpartisipasi jika kami anggap mampu!”

Beragam respon muncul. Tampak ekspresi sumringah dari bibir para anggota baru karena membayangkan akan sekeren apa sosok mereka jika bisa bergabung dengan pasukan Ganesha Mandala. Sementara ekspresi khawatir datang dari para senior yang tidak mau posisi mereka dalam pasukan direbut oleh anak baru.

“Sebagai pemanasan,” Semeru melangkahkan kakinya menuju ke arah Krishna kemudian menepuk pundak kanannya. “Saya sudah memiliki danton pengganti untuk diikutsertakan dalam lomba nanti!”

Sontak, semua terkejut. Bahkan pasukan yang tadi mempertunjukkan demo tidak lagi dalam posisi istirahat di tempat karena terlalu dibuat keheranan dengan keputusan sang alumni. Di tempatnya, Krishna tampak masih dalam posisi istirahat di tempat yang tegap; namun gurat wajahnya terlihat tegang. Tidak percaya dengan ujaran si senior yang ia segani ini.

“SEMUA DIAM!”

Teriakan Semeru membuat semua segera menutup mulut, para pasukan bahkan segera kembali siap di posisi istirahat di tempat. “SAYA NGGAK NYURUH KALIAN BUAT BUKA MULUT! SIAPA YANG MINTA KALIAN BERISIK, HAH?!”

Hening. Semua seakan paham bahwa ini bukanlah saat yang tepat untuk menjawab apapun.

“Pengganti Krishna,” Semeru lagi-lagi berujar dan membuat suasana semakin menjadi berat juga tegang. Mereka sungguh dibuat penasaran, siapa yang mendapatkan kepercayaan dari Semeru untuk menggantikan Krishnㅡ

“Adalah Raesaka.”

Semuanya diam membisu. Termasuk Krishna, membatu.

Raesaka duduk di barisan paling belakang. Paling-belakang, bahkan dapat dikatakan sedikit terpisah dari beberapa temannya yang lain.

Senior yang bernama Nakuladewa memerintahkannya begitu. Padahal Raesaka adalah yang pertama kali datang diantara para anggota tahun pertama namun si senior bernama Nakuladewa itu menyuruhnya berdiri terus menerus hingga beberapa anggota yang lain datang.

Raesaka sendiri tidak merasa keberatan untuk berdiri, 'toh disuruh berdiri selama beberapa jam juga bisa ia sanggupi karena semenjak kecil Ayahnya sendiri sudah menempa dirinya dengan latihan fisik yang keras. Namun perihal ditempatkan untuk duduk di bangku paling belakang adalah hal yang ia kesalkan; padahal tujuan Raesaka datang paling awal adalah agar ia bisa duduk paling depan dan memperhatikan dengan jelas bagaimana demo penampilan dari tim paskibra terbaik tingkat universitas yang pernah menjuarai Lomba Ketangkatas Baris Berbaris tingkat Nasional itu.

Tim paskibra universitas Ganesha Mandala adalah nomor satu; rasanya tidak berlebihan jika mereka mendapat cap gelar itu. Di setiap perlombaan ketangkasan baris berbaris, semua tim pasti akan gemetar ketika mendengar nama Ganesha Mandala berkumandang di pengeras suara. Seragam hijau tua dengan atribut yang sangat elegan juga topi baret merah tampak sangat cocok dipadukan dengan anggota paskibra Ganesha Mandala yang dikenal keren. Memang, menurut Raesaka sendiri tidak berlebihan jika ada omongan seperti begitu karena ia sendiri melihat bagaimana para anggota paskibra di sini memiliki tinggi 175 sentimeter ke atas; tampan, pula.

Namun perlu digaris bawahi, Raesaka paling penasaran dengan si kakak tingkat bernama Krishna yang kemarin memiliki masalah dengannya. Dia tahu bahwa Krishna-Krishna ini pernah keluar sebagai juara umum danton terbaik di tingkat Nasional dan dielu-elukan sebagai danton dengan suara yang sangatㅡ errr... bagaimana mengatakannya, ya? Mantap? Renyah? Semacam begitu, lah.

Bukan tanpa alasan jika Raesaka merasa penasaran. Karena Raesaka sendiri sudah sering ditunjuk sebagai danton dan juga menjadi ketua paskibra SMP serta SMA-nya dulu. Raesaka sendiri pernah menjadi danton terbaik di tingkatan SMA walaupun tidak sampai Nasional. Maka dari itu, rasa penasarannya seperti dikulik habis-habisan karena ingin membuktikan seperti apa titel terbaik tingkat Nasional yang dimiliki oleh Krishna.

“PERHATIAN SEMUA!”

Suara teriakan terdengar, kali ini bukan dari Krishna yang kemarin sibuk berteriak melainkan lelaki lain dengan name tag bertuliskan Tarendra yang terpasang rapi di dada sebelah kanannya. “Hari ini, kami akan tampilkan demo PBB! Formasi dan variasi yang kami lakukan adalah yang pernah kami pertunjukkan di lomba LKBB bulan Desember lalu. Penilaian sepenuhnya ada di kalian! Kalian berhak menilai penampilan kami dan bebas memilih apakah akan tetap melanjutkan berjuang sebagai paskibra Ganesha Mandala atau mundur dari sekarang!”

Raesaka menajamkan pandangannya ke arah Krishna yang berdiri di pinggir lapangan, berdampingan dengan Nakuladewa yang tampaknya dijadikan sebagai penjuru barisan. Raesaka paham mengapa Tarendra menggantikan posisi Krishna untuk berteriak di depan; Krishna adalah danton, wajar jika ia ingin menghemat suaranya sebelum menampilkan demo.

Raesaka memfokuskan pandangan ke depan, memandangi Tarendra yang kini kembali ke dalam barisan dan bergabung dengan tim pasukan yang lain. Tampak terlihat bagaimana anggota pasukan termasuk Krishna tengah menundukkan kepala untuk berdoa agar diberi kelancaran dalam penampilan nanti; bukan sebuah hal yang asing dalam paskibra sehingga para anggota baru pun tidak ada yang menginterupsi.

Hingga akhirnya Krishna mengangkat pandangan dari posisi menunduknya. Tatapan Krishna tampak sangat tegas, namun bukan tegas menyeramkan seperti yang ia pertunjukkan kemarin di depan Raesaka. Tatapan Krishna benar-benar fokus, menjadikan Raesaka merinding ketika memperhatikannya.

“LANGKAH TEGAP, MAJU JALAN!”

Raesaka tidak tahu bagaimana suara seseorang dapat terdengar sangat memikat. Krishna tidak hanya sekedar berteriak; Krishna sedang memimpin pasukan dengan suaranya. Teriakan komando yang baru pertama kali Raesaka dengar, segera membuat bulu kuduk Raesaka berdiri.

Tidak hanya Raesaka, nampaknya beberapa anggota tahun pertama lainnya juga merasakan hal yang sama. Bahkan Raesaka melihat ada salah satu teman seangkatannya yang sekarang sedang menyentuh tengkuk lehernya; menandakan ia tengah merinding.

“Anjir, keren coy!” “Pantes aja juara umum!” “Nggak diraguin lagi, sih!”

Raesaka mengkerut di tempatnya. Rasa tak enak hati juga bersalah seakan bersarang kuat di dalam diri akibat kemarin ia seenak hati menilai suara teriakan Krishna. Ia seenaknya mengatakan demikian padahal suara teriakan dirinya sendiri ketika memimpin pasukan tidak lebih bagus daripada Krishna.

Sepertinya sehabis latihan, ia harus mendatangi Krishna dan menyampaikan permintaan maafnya kepada si Kakak tingka──

“Hei.”

Di tengah pemikirannya, tiba-tiba pundak Raesaka ditepuk oleh seseorang dari arah belakang. Sontak si lelaki berkulit kecoklatan menolehkan kepalanya; berniat mengetahui siapa yang mengganggu keasyikannya menonton acara demo dari si Kakak tingkat.

Namun senyuman lebar segera terulas di bibir Raesaka ketika melihat siapa yang barusan menepuk pundaknya. Lelaki jangkung dengan bahu tegap dan senyuman lebar yang lebih pantas disebut sebagai cengiran. “Lha, kamu di sini, toh, Dek?”, ujar si lelaki dengan nada akrab.

Raesaka mengangguk. “Mas Meru juga di sini, tah?”

Raesaka duduk di barisan paling belakang. Paling-belakang, bahkan dapat dikatakan sedikit terpisah dari beberapa temannya yang lain.

Senior yang bernama Nakuladewa memerintahkannya begitu. Padahal Raesaka adalah yang pertama kali datang diantara para anggota tahun pertama namun si senior bernama Nakuladewa itu menyuruhnya berdiri terus menerus hingga beberapa anggota yang lain datang.

Raesaka sendiri tidak merasa keberatan untuk berdiri, 'toh disuruh berdiri selama beberapa jam juga bisa ia sanggupi karena semenjak kecil Ayahnya sendiri sudah menempa dirinya dengan latihan fisik yang keras. Namun perihal ditempatkan untuk duduk di bangku paling belakang adalah hal yang ia kesalkan; padahal tujuan Raesaka datang paling awal adalah agar ia bisa duduk paling depan dan memperhatikan dengan jelas bagaimana demo penampilan dari tim paskibra terbaik tingkat universitas yang pernah menjuarai Lomba Ketangkatas Baris Berbaris tingkat Nasional itu.

Tim paskibra universitas Ganesha Mandala adalah nomor satu; rasanya tidak berlebihan jika mereka mendapat cap gelar itu. Di setiap perlombaan ketangkasan baris berbaris, semua tim pasti akan gemetar ketika mendengar nama Ganesha Mandala berkumandang di pengeras suara. Seragam hitam dengan atribut yang sangat elegan tampak sangat cocok dipadukan dengan anggota paskibra Ganesha Mandala yang dikenal keren. Memang, menurut Raesaka sendiri tidak berlebihan jika ada omongan seperti begitu karena ia sendiri melihat bagaimana para anggota paskibra di sini memiliki tinggi 175 sentimeter ke atas; tampan, pula.

Namun perlu digaris bawahi, Raesaka paling penasaran dengan si kakak tingkat bernama Krishna yang kemarin memiliki masalah dengannya. Dia tahu bahwa Krishna-Krishna ini pernah keluar sebagai juara umum danton terbaik di tingkat Nasional dan dielu-elukan sebagai danton dengan suara yang sangatㅡ errr... bagaimana mengatakannya, ya? Mantap? Renyah? Semacam begitu, lah.

Bukan tanpa alasan jika Raesaka merasa penasaran. Karena Raesaka sendiri sudah sering ditunjuk sebagai danton dan juga menjadi ketua paskibra SMP serta SMA-nya dulu. Raesaka sendiri pernah menjadi danton terbaik di tingkatan SMA walaupun tidak sampai Nasional. Maka dari itu, rasa penasarannya seperti dikulik habis-habisan karena ingin membuktikan seperti apa titel terbaik tingkat Nasional yang dimiliki oleh Krishna.

“PERHATIAN SEMUA!”

Suara teriakan terdengar, kali ini bukan dari Krishna yang kemarin sibuk berteriak melainkan lelaki lain dengan name tag bertuliskan Tarendra yang terpasang rapi di dada sebelah kanannya. “Hari ini, kami akan tampilkan demo PBB! Formasi dan variasi yang kami lakukan adalah yang pernah kami pertunjukkan di lomba LKBB bulan Desember lalu. Penilaian sepenuhnya ada di kalian! Kalian berhak menilai penampilan kami dan bebas memilih apakah akan tetap melanjutkan berjuang sebagai paskibra Ganesha Mandala atau mundur dari sekarang!”

Raesaka menajamkan pandangannya ke arah Krishna yang berdiri di pinggir lapangan, berdampingan dengan Nakuladewa yang tampaknya dijadikan sebagai penjuru barisan. Raesaka paham mengapa Tarendra menggantikan posisi Krishna untuk berteriak di depan; Krishna adalah danton, wajar jika ia ingin menghemat suaranya sebelum menampilkan demo.

Raesaka memfokuskan pandangan ke depan, memandangi Tarendra yang kini kembali ke dalam barisan dan bergabung dengan tim pasukan yang lain. Tampak terlihat bagaimana anggota pasukan termasuk Krishna tengah menundukkan kepala untuk berdoa agar diberi kelancaran dalam penampilan nanti; bukan sebuah hal yang asing dalam paskibra sehingga para anggota baru pun tidak ada yang menginterupsi.

Hingga akhirnya Krishna mengangkat pandangan dari posisi menunduknya. Tatapan Krishna tampak sangat tegas, namun bukan tegas menyeramkan seperti yang ia pertunjukkan kemarin di depan Raesaka. Tatapan Krishna benar-benar fokus, menjadikan Raesaka merinding ketika memperhatikannya.

“LANGKAH TEGAP, MAJU JALAN!”

Raesaka tidak tahu bagaimana suara seseorang dapat terdengar sangat memikat. Krishna tidak hanya sekedar berteriak; Krishna sedang memimpin pasukan dengan suaranya. Teriakan komando yang baru pertama kali Raesaka dengar, segera membuat bulu kuduk Raesaka berdiri.

Tidak hanya Raesaka, nampaknya beberapa anggota tahun pertama lainnya juga merasakan hal yang sama. Bahkan Raesaka melihat ada salah satu teman seangkatannya yang sekarang sedang menyentuh tengkuk lehernya; menandakan ia tengah merinding.

“Anjir, keren coy!” “Pantes aja juara umum!” “Nggak diraguin lagi, sih!”

Raesaka mengkerut di tempatnya. Rasa tak enak hati juga bersalah seakan bersarang kuat di dalam diri akibat kemarin ia seenak hati menilai suara teriakan Krishna. Ia seenaknya mengatakan demikian padahal suara teriakan dirinya sendiri ketika memimpin pasukan tidak lebih bagus daripada Krishna.

Sepertinya sehabis latihan, ia harus mendatangi Krishna dan menyampaikan permintaan maafnya kepada si Kakak tingka──

“Hei.”

Di tengah pemikirannya, tiba-tiba pundak Raesaka ditepuk oleh seseorang dari arah belakang. Sontak si lelaki berkulit kecoklatan menolehkan kepalanya; berniat mengetahui siapa yang mengganggu keasyikannya menonton acara demo dari si Kakak tingkat.

Namun senyuman lebar segera terulas di bibir Raesaka ketika melihat siapa yang barusan menepuk pundaknya. Lelaki jangkung dengan bahu tegap dan senyuman lebar yang lebih pantas disebut sebagai cengiran. “Lha, kamu di sini, toh, Dek?”, ujar si lelaki dengan nada akrab.

Raesaka mengangguk. “Mas Meru juga di sini, tah?”