dontlockhimup

Raesaka duduk di barisan paling belakang. Paling-belakang, bahkan dapat dikatakan sedikit terpisah dari beberapa temannya yang lain.

Senior yang bernama Nakuladewa memerintahkannya begitu. Padahal Raesaka adalah yang pertama kali datang diantara para anggota tahun pertama namun si senior bernama Nakuladewa itu menyuruhnya berdiri terus menerus hingga beberapa anggota yang lain datang.

Raesaka sendiri tidak merasa keberatan untuk berdiri, 'toh disuruh berdiri selama beberapa jam juga bisa ia sanggupi karena semenjak kecil Ayahnya sendiri sudah menempa dirinya dengan latihan fisik yang keras. Namun perihal ditempatkan untuk duduk di bangku paling belakang adalah hal yang ia kesalkan; padahal tujuan Raesaka datang paling awal adalah agar ia bisa duduk paling depan dan memperhatikan dengan jelas bagaimana demo penampilan dari tim paskibra terbaik tingkat universitas yang pernah menjuarai Lomba Ketangkatas Baris Berbaris tingkat Nasional itu.

Tim paskibra universitas Ganesha Mandala adalah nomor satu; rasanya tidak berlebihan jika mereka mendapat cap gelar itu. Di setiap perlombaan ketangkasan baris berbaris, semua tim pasti akan gemetar ketika mendengar nama Ganesha Mandala berkumandang di pengeras suara. Seragam hitam dengan atribut yang sangat elegan tampak sangat cocok dipadukan dengan anggota paskibra Ganesha Mandala yang dikenal keren. Memang, menurut Raesaka sendiri tidak berlebihan jika ada omongan seperti begitu karena ia sendiri melihat bagaimana para anggota paskibra di sini memiliki tinggi 175 sentimeter ke atas; tampan, pula.

Namun perlu digaris bawahi, Raesaka paling penasaran dengan si kakak tingkat bernama Krishna yang kemarin memiliki masalah dengannya. Dia tahu bahwa Krishna-Krishna ini pernah keluar sebagai juara umum danton terbaik di tingkat Nasional dan dielu-elukan sebagai danton dengan suara yang sangatㅡ errr... bagaimana mengatakannya, ya? Mantap? Renyah? Semacam begitu, lah.

Bukan tanpa alasan jika Raesaka merasa penasaran. Karena Raesaka sendiri sudah sering ditunjuk sebagai danton dan juga menjadi ketua paskibra SMP serta SMA-nya dulu. Raesaka sendiri pernah menjadi danton terbaik di tingkatan SMA walaupun tidak sampai Nasional. Maka dari itu, rasa penasarannya seperti dikulik habis-habisan karena ingin membuktikan seperti apa titel terbaik tingkat Nasional yang dimiliki oleh Krishna.

Raesaka duduk di barisan paling belakang. Paling-belakang, bahkan dapat dikatakan sedikit terpisah dari beberapa temannya yang lain.

Senior yang bernama Nakuladewa memerintahkannya begitu. Padahal Raesaka adalah yang pertama kali datang diantara para anggota tahun pertama namun si senior bernama Nakuladewa itu menyuruhnya berdiri terus menerus hingga beberapa anggota yang lain datang.

Raesaka sendiri tidak merasa keberatan untuk berdiri, 'toh disuruh berdiri selama beberapa jam juga bisa ia sanggupi karena semenjak kecil Ayahnya sendiri sudah menempa dirinya dengan latihan fisik yang keras. Namun perihal ditempatkan untuk duduk di bangku paling belakang adalah hal yang ia kesalkan; padahal tujuan Raesaka datang paling awal adalah agar ia bisa duduk paling depan dan memperhatikan dengan jelas bagaimana demo penampilan dari tim paskibra terbaik tingkat universitas yang pernah menjuarai Lomba Ketangkatas Baris Berbaris tingkat Nasional itu.

Garis bawahi, Raesaka juga penasaran dengan si kakak tingkat bernama Krishna yang kemarin memiliki masalah dengannya. Dia tahu bahwa Krishna-Krishna ini pernah keluar sebagai juara umum danton terbaik di tingkat Nasional dan dielu-elukan sebagai danton dengan suara yang sangatㅡ errr... bagaimana mengatakannya, ya? Mantap? Renyah? Semacam begitu, lah.

Bukan tanpa alasan jika Raesaka merasa penasaran. Karena Raesaka sendiri sudah sering ditunjuk sebagai danton dan juga menjadi ketua paskibra SMP serta SMA-nya dulu. Raesaka sendiri pernah menjadi danton terbaik di tingkatan SMA walaupun tidak sampai Nasional. Maka dari itu, rasa penasarannya seperti dikulik habis-habisan karena ingin membuktikan seperti apa titel terbaik tingkat Nasional yang dimiliki oleh Krishna.

“KORSA!”

Cuaca sangat terik, bahkan tidak aneh jika ada yang melebih-lebihkan bahwa matahari hanya berjarak sejengkal dari kepala. Namun tampaknya hal itu tidak dipedulikan oleh beberapa orang yang membuat jajar barisan lurus di tengah lapangan luas milik Universitas Ganesha Mandala siang hari ini, walaupun yah── masih terlihat beberapa diantara mereka memasang wajah tidak suka karena harus dijemur secara paksa di tengah siang terik begini.

“Komando satu rasa!”

Lagi, suara itu terdengar jelas dari arah paling depan dari barisan. Seorang laki-laki dengan jaket almamater berwarna merah sedang berdiri berhadapan dengan barisan orang-orang berusia sebaya yang mengenakan kaus berwarna putih. Raut wajah si lelaki dengan jaket almamater merah itu tampak sangat menyeramkan; bukan dalam artian menyeramkam seperti monster namun lebih ke arah auranya yang sangat mengintimidasi.

Orang-orang yang berada di barisan yang mengenakan kaus berwarna putih tidak menundukkan kepala. Satupun di antara mereka tidak ada yang melakukan demikian, semuanya mengangkat pandangan dan menatap lurus ke depan. Namun tidak ada diantara mereka yang menatap langsung ke si lelaki berjaket almamater merah yang barusan berteriak. Mereka terlihat takut; walaupun sebisa mungkin coba menutupinya, tetap saja bisa terlihat.

“Kalian yang sudah memutuskan untuk bergabung dengan tim paskibra Ganesha Mandala, harus camkan hal itu baik-baik! Jiwa KORSA harus ada di diri kalian! Satu untuk semua! Semua untuk satu! Paham?!”

Lelaki berjaket almamater merah itu berkulit putih, menjadikan kulitnya tampak agak kemerahan ketika dijemur di bawah sinar terik matahari siang ini. Tidak hanya dirinya sendiri, di belakang lelaki berjaket almamater merah itu ada beberapa lelaki lain yang juga mengenakan jaket almamater yang sama. Merah; pula memasang raut wajah yang tidak jauh berbeda, masam dan sinis. Tatapan mereka ditujukan ke sana sini, memperhatikan seluruhnya yang berbaris. Seperti ingin menemukan target yang bisa mereka jadikan pelampiasan segala kekesalan.

“PAHAM TIDAK?!” Lelaki berjaket almamater merah yang berdiri paling depan kembali berteriak, menjadikan beberapa orang yang berada di barisan paling depan tersentak kaget. “JAWAB! KALIAN UDAH JADI MAHASISWA, HARUS DIAJARIN HAL SEPELE KAYAK BEGINI, HAH?!”

“Paham..”, jawaban dari orang-orang yang berbaris terdengar lemah. Bahkan suara beberapa orang itu tidak bisa mengalahkan suara sendirian milik si lelaki berjaket almamater merah. Yang mana tak urung menjadikan si lelaki yang berada di depan menyunggingkan senyum sinis; seperti meremehkan.

“Kalian mau gabung ke paskibra Ganesha Mandala tapi mentalnya tempe begini, hah?”, tanya si lelaki dengan suara rendah, tidak lagi berteriak. Langkahnya diarahkan ke salah satu dari orang yang ada di dalam barisan, kemudian berhenti tepat di depan seorang laki-laki bertubuh kurus dan berkacamata yang tampak sangat ketakutan.

“Buat jawab pertanyaan saya aja kalian masih nggak punya tenaga. Gimana bisa kalian bertahan sampai bisa dapet lencana KORSA, hah?” Si lelaki berjaket almamater merah mendorong dahi si lelaki kurus berkacamata dengan perlahan, namun siapapun dapat melihat bagaimana ada tindak penuh intimidasi di sana. “Hah?! Kalian yang cuma anak Mami begini apa nggak salah mau gabung ke Paskibra sini, hah? Hah?! Jawab!”

Semua yang ada di dalam barisan segera terdiam. Tidak ada yang berani menjawab. Si lelaki berjaket almamater merah beserta pasukannya yang ada di belakang tampak puas dengan situasi yang ada, bahkan beberapa diantara yang ada di belakang lelaki itu terkekeh secara terang-terangan.

“Jangan terlalu galak, Kak Krish. Nanti ada yang ngadu ke Maminya gara-gara diteriakin,” sahut seorang lelaki berjaket almamater merah; hanya saja kulit lelaki itu tampak kecoklatan karena terbakar matahari. Tawa meremehkan terdengar dari arah belakang yang dibalas dengan ujaran dari si lelaki yang dipanggil Kak Krish. “Manja. Malu banget kalau pasukan Ganesha tahun ini malah anak Mami semua.”

Krishna, lelaki yang sedari tadi berteriak di barisan paling depan, kini menghampiri lelaki lain yang ada di dalam barisan. Tangan kanannya dikepal kemudian ditinju-tinjukan dalam pukulan kecil ke dada si lelaki yang ada di depannya. “Gimana? Bisa jawab, nggak? Kenapa tim pasukan kalian pada menye begini, hah?”, tanya Krish. Tinjuannya perlahan-lahan semakin keras dan membuat tubuh si lelaki yang menjadi target tinjuannya sedikit oleng ke belakang.

Si lelaki berkulit agak kecoklatan yang tadi menyela ujaran Krish, kini ikut berteriak; menujukan kalimatnya ke barisan orang-orang yang mengenakan kaus putih. “MANA KORSA KALIAN? MAU DIEM AJA LIAT TEMEN KALIAN DIPERLAKUIN BEGITU, HAH?!”

“Anak Mami, sih, mana mau peduli sama temennya, Kak Rendra? Yang penting dia selamat, 'kan?” Kali ini, seorang lelaki bertubuh tegap, berpundak lebar serta berkulit putih menyahuti kalimat si lelaki berkulit kecoklatan yang rupanya bernama Rendra. “Mau temennya mati bonyok juga kayaknya nggak bakal pedul───”

Ujaran si lelaki bertubuh tegap barusan terhenti ketika pandangannya menangkap pemandangan situasi yang terjadi saat ini. Tangan Krishna yang barusan sedang meninju dada si lelaki di hadapannya kini dicengkeram dengan kuat oleh seorang lelaki lain berkaus putih. Kulitnya kecoklatan, tampak sedikit agak timpang ketika dipasangkan dengan tangan Krishna yang tengah digenggam olehnya.

“Izin interupsi, Kak.” Lelaki berkaus putih itu masih menggenggam tangan Krishna kuat-kuat, yang langsung dibalas oleh tatapan tidak suka dari si kakak tingkat. “Saya rasa tindak yang seperti begini sudah keterlaluan.”

“Nama!” Krishna menghentakkan tangan si lelaki berkaus putih dengan agak keras. Setelahnya, Krishna meminggirkan sedikit langkah agar dapat berhadapan langsung dengan si lelaki yang barusan menginterupsi tindakannya. “Izin interupsi harus selalu sebut nama, mana sopan santunnya?!”

Krishna menatap lurus si lelaki yang ada di hadapannya. Si lelaki berkulit putih tampak sedikit meragukan pandangannya ketika melihat lelaki berkaus putih itu sekarang sedang balas menatapnya lurus-lurus, terlihat sama sekali tidak takut dan segan.

“Raesaka, Kak.” Suara lelaki berkulit putih itu sangat tegas, tidak tampak seperti lelaki lemah yang takut akan bentakan dari Krishna. Sebagai seorang komandan pleton yang biasa memperhatikan orang-orang dari cara berbicara, Krishna tahu bahwa lelaki di hadapannya ini bukan baru pertama kali berkecimpung dalam ranah paskibra.

Beberapa lelaki berjaket almamater merah tampak saling berbisik-bisik. Mungkin merasa kagum karena ada yang berani melawan ujaran seorang Krishna yang dikenal sangat galak. “Raesaka?”, ulang Krishna dengan nada meremehkan. “Jadi menurut kamu tindakan saya barusan keterlaluan?”

Krishna memajukan langkahnya mendekati Raesaka, sehingga kini jarak diantara mereka sangatlah tipis. Bahkan wajah keduanya hampir bersentuhan, namun nuansa yang ada hanyalah suasana mencekam; tidak ada yang lainnya. “Menurut kamu, tindakan apa yang nggak keterlaluan? Hah?”

“Siap! Menurut saya, Kakak terlalu mengintimidasi secara personal! Seorang Paskibra tidak akan berbicara dengan tujuan mengintimidasi secara individu!” Jawaban Raesaka barusan segera membuat Krishna sedikit mengernyitkan alis. Tata krama saat berbicara dari Raesaka sangat sesuai dengan aturan yang semestinya dilakukan seorang anggota paskibra. Bahkan sekarang Krishna bisa mendengar bagaimana beberapa senior di belakangnya tampak menggumamkan suara kagum.

“DIAM! KALIAN SENIOR BISA JAGA SIKAP DI DEPAN JUNIOR, NGGAK?! DIAM! SIKAP TEGAP!” Ujaran Krishna segera membuat para lelaki yang mengenakan jaket almamater merah segera mempertegap posisi berdiri dan membuat posisi istirahat di tempat dengan lebih sigap.

“Personal? Individu?” Krishna mengulang kata yang diujarkan Raesaka kemudian tersenyum tipis. “Oh, jadi kamu mau langsung coba praktik KORSA, Raesaka?”

“SEMUANYA!” Suara Krishna lebih dikeraskan, memastikan agar orang di barisan paling belakang juga dapat mendengar suaranya. “DENGAR! TEMAN KALIAN DI SINI, RAESAKA, BILANG KALAU SAYA TERLALU MENGINTIMIDASI SECARA PERSONAL!”

“KALAU BEGITU, SEKARANG SAYA TIDAK AKAN TEKAN KALIAN SECARA PERSONAL!”

Krishna melirik Raesaka dengan senyuman sinis masih terulas di bibir. Sementara Raesaka masih dengan posisi tegap, tengah balas menatap si kakak tingkat; tidak ada rasa takut di tatapannya, Krishna tahu itu. “SAYA TEKAN KALIAN SEMUA, SESUAI KEINGINAN RAESAKA TENTANG KORSA!”

“LARI KELILING LAPANGAN,” Krishna kembali meminggirkan langkahnya untuk berhadapan dengan Raesaka. “100 PUTARAN!”

Sontak, terdengar gumaman terkejut dari sana sini. Tidak terkecuali dari si lelaki berkulit kecoklatan dengan jaket almamater merah yang dipanggil Rendra tadi. Dengan langkah agak tergesa, Rendra menghampiri Krishna dan menepuk bahunya sekali kemudian berbisik kepada si kakak tingkat. “Kak, take it slow. Lo nggak mau kita dipanggil rektor, 'kan? Udah, tenang dul─”

“KORSA!” Tanpa izin dari siapapun, Raesaka membuka suara dan berseru dengan kencang. Suaranya tegas, bahkan lebih tegas daripada Krishna. “Bukan berarti bisa digunakan sebagai alasan untuk menindas orang seperti begini, Kak!”

“KORSA adalah rasa satu jiwa yang muncul atas ketulusan dan peduli akan sesama! Bukan jadi alasan agar Kakak bisa menghukum kami sesuka hati! KORSA yang Kakak pahami itu salah besar!”

Rendra semakin menahan gerak pundak Krishna yang seperti akan melayangkan bogem mentahnya kepada Raesaka. Bahkan si lelaki berkulit putih dan bertubuh tegap lainnya kini datang untuk menjauhkan posisi Raesaka dari Krishna. “Hei, hei! Santai! Lo nggak mau kita dijadiin bahan olok-olok sekampus, 'kan, Kak Krish? Santai,” ujar si lelaki berjaket almamater merah dan berkulit putih. Di jaket pada dada kirinya tertulis baris nama, Nakuladewa. “Kamu mending mundur dulu, Raesaka. Keluar barisan,” lanjut Nakuladewa dan memberi isyarat agar Raesaka melakukan sesuai instruksinya.

“Lalu,” bukannya mengikuti ujaran Nakuladewa, Raesaka malah melanjutkan kalimatnya. Masih dengan nada tegas yang serupa seperti sebelumnya. “Teriakan Kakak sangat payah untuk ukuran danton yang pernah jadi juara umum nasional.”

Krishna tidak bisa menahan amarahnya lagi. Cengkeraman tangan Rendra di pundaknya terlepas, tangan Krishna kini sudah mencengkeram bagian leher kerah dari kaus yang dikenakan Raesaka. “MAKSUD LO APA, ANJING?! HAH?! LO HEBAT?!”

Raesaka tersenyum tipis, raut wajahnya tampak sangat tenang walaupun kini Krishna sudah mencengkeram leher kerahnya dengan sangat kuat. “Kak, seorang paskibra harus bisa tahan emosinya. Kalau Kakak begini ke saya, siapa yang lebih payah?”, ujar Raesaka dengan nada tenang.

Laju nafas Krishna tampak memburu, emosinya sudah tidak bisa lagi dikendalikan. Jika saja Rendra dan Nakuladewa tidak menahan tinjuan yang akan dilayangkan Krishna kepada Raesaka, pasti sudah akan ada adu jotos di lapangan saat ini.

“KAK! HEH, KAK KRISH! LO BISA SADAR, NGGAK? ANAK BARU, KAK! LO BEGINI, SAMA AJA KASIH NAMA BURUK BUAT PASUKAN KITA!” Rendra sudah benar-benar menarik Krishna untuk menjauh dari Raesaka sementara Nakuladewa sedang berusaha melepaskan cengkeraman tangan Krishna di tangan si adik tingkat.

“Kak Krish! Woy! Lepasin, Kak! Lah, si anjing, kenapa kenceng banget sih cengkeraman lo?! Kak! Woy!”, Nakuladewa masih sibuk dengan situasi untuk melepaskan cengkeraman tangan Krishna.

Raesaka? Dia terdiam namun senyum kemenangan terulas penuh di bibirnya.

Sepertinya tahun ini tim Paskibra Ganesha Mandala akan dibuat kerepotan dengan banyak hal. Ouch.

“KORSA!”

Cuaca sangat terik, bahkan tidak aneh jika ada yang melebih-lebihkan bahwa matahari hanya berjarak sejengkal dari kepala. Namun tampaknya hal itu tidak dipedulikan oleh beberapa orang yang membuat jajar barisan lurus di tengah lapangan luas milik Universitas Ganesha Mandala siang hari ini, walaupun yah── masih terlihat beberapa diantara mereka memasang wajah tidak suka karena harus dijemur secara paksa di tengah siang terik begini.

“Komando satu rasa!”

Lagi, suara itu terdengar jelas dari arah paling depan dari barisan. Seorang laki-laki dengan jaket almamater berwarna merah sedang berdiri berhadapan dengan barisan orang-orang berusia sebaya yang mengenakan kaus berwarna putih. Raut wajah si lelaki dengan jaket almamater merah itu tampak sangat menyeramkan; bukan dalam artian menyeramkam seperti monster namun lebih ke arah auranya yang sangat mengintimidasi.

Orang-orang yang berada di barisan yang mengenakan kaus berwarna putih tidak menundukkan kepala. Satupun di antara mereka tidak ada yang melakukan demikian, semuanya mengangkat pandangan dan menatap lurus ke depan. Namun tidak ada diantara mereka yang menatap langsung ke si lelaki berjaket almamater merah yang barusan berteriak. Mereka terlihat takut; walaupun sebisa mungkin coba menutupinya, tetap saja bisa terlihat.

“Kalian yang sudah memutuskan untuk bergabung dengan tim paskibra Ganesha Mandala, harus camkan hal itu baik-baik! Jiwa KORSA harus ada di diri kalian! Satu untuk semua! Semua untuk satu! Paham?!”

Lelaki berjaket almamater merah itu berkulit putih, menjadikan kulitnya tampak agak kemerahan ketika dijemur di bawah sinar terik matahari siang ini. Tidak hanya dirinya sendiri, di belakang lelaki berjaket almamater merah itu ada beberapa lelaki lain yang juga mengenakan jaket almamater yang sama. Merah; pula memasang raut wajah yang tidak jauh berbeda, masam dan sinis. Tatapan mereka ditujukan ke sana sini, memperhatikan seluruhnya yang berbaris. Seperti ingin menemukan target yang bisa mereka jadikan pelampiasan segala kekesalan.

“PAHAM TIDAK?!” Lelaki berjaket almamater merah yang berdiri paling depan kembali berteriak, menjadikan beberapa orang yang berada di barisan paling depan tersentak kaget. “JAWAB! KALIAN UDAH JADI MAHASISWA, HARUS DIAJARIN HAL SEPELE KAYAK BEGINI, HAH?!”

“Paham..”, jawaban dari orang-orang yang berbaris terdengar lemah. Bahkan suara beberapa orang itu tidak bisa mengalahkan suara sendirian milik si lelaki berjaket almamater merah. Yang mana tak urung menjadikan si lelaki yang berada di depan menyunggingkan senyum sinis; seperti meremehkan.

“Kalian mau gabung ke paskibra Ganesha Mandala tapi mentalnya tempe begini, hah?”, tanya si lelaki dengan suara rendah, tidak lagi berteriak. Langkahnya diarahkan ke salah satu dari orang yang ada di dalam barisan, kemudian berhenti tepat di depan seorang laki-laki bertubuh kurus dan berkacamata yang tampak sangat ketakutan.

“Buat jawab pertanyaan saya aja kalian masih nggak punya tenaga. Gimana bisa kalian bertahan sampai bisa dapet lencana KORSA, hah?” Si lelaki berjaket almamater merah mendorong dahi si lelaki kurus berkacamata dengan perlahan, namun siapapun dapat melihat bagaimana ada tindak penuh intimidasi di sana. “Hah?! Kalian yang cuma anak Mami begini apa nggak salah mau gabung ke Paskibra sini, hah? Hah?! Jawab!”

Semua yang ada di dalam barisan segera terdiam. Tidak ada yang berani menjawab. Si lelaki berjaket almamater merah beserta pasukannya yang ada di belakang tampak puas dengan situasi yang ada, bahkan beberapa diantara yang ada di belakang lelaki itu terkekeh secara terang-terangan.

“Jangan terlalu galak, Kak Krish. Nanti ada yang ngadu ke Maminya gara-gara diteriakin,” sahut seorang lelaki berjaket almamater merah; hanya saja kulit lelaki itu tampak kecoklatan karena terbakar matahari. Tawa meremehkan terdengar dari arah belakang yang dibalas dengan ujaran dari si lelaki yang dipanggil Kak Krish oleh si lelaki berkulit kecoklatan. “Manja. Malu banget kalau pasukan Ganesha tahun ini malah anak Mami semua.”

Krish, lelaki yang sedari tadi berteriak di barisan paling depan, kini menghampiri lelaki lain yang ada di dalam barisan. Tangan kanannya dikepal kemudian ditinju-tinjukan dalam pukulan kecil ke dada si lelaki yang ada di depannya. “Gimana? Bisa jawab, nggak? Kenapa tim pasukan kalian pada menye begini, hah?”, tanya Krish. Tinjuannya perlahan-lahan semakin keras dan membuat tubuh si lelaki yang menjadi target tinjuannya sedikit oleng ke belakang.

Si lelaki berkulit agak kecoklatan yang tadi menyela ujaran Krish, kini ikut berteriak; menujukan kalimatnya ke barisan orang-orang yang mengenakan kaus putih. “MANA KORSA KALIAN? MAU DIEM AJA LIAT TEMEN KALIAN DIPERLAKUIN BEGITU, HAH?!”

“Anak Mami, sih, mana mau peduli sama temennya, Kak Rendra? Yang penting dia selamat, 'kan?” Kali ini, seorang lelaki bertubuh tegap, berpundak lebar serta berkulit putih menyahuti kalimat si lelaki berkulit kecoklatan yang rupanya bernama Rendra. “Mau temennya mati bonyok juga kayaknya nggak bakal pedul───”

Ujaran si lelaki bertubuh tegap barusan terhenti ketika pandangannya menangkap pemandangan situasi yang terjadi saat ini. Tangan Krishna yang barusan sedang meninju dada si lelaki di hadapannya kini dicengkeram dengan kuat oleh seorang lelaki lain berkaus putih. Kulitnya kecoklatan, tampak sedikit agak timpang ketika dipasangkan dengan tangan Krishna yang tengah digenggam olehnya.

“Izin interupsi, Kak.” Lelaki berkaus putih itu masih menggenggam tangan Krishna kuat-kuat, yang langsung dibalas oleh tatapan tidak suka dari si kakak tingkat. “Saya rasa tindak yang seperti begini sudah keterlaluan.”

“Nama!” Krishna menghentakkan tangan si lelaki berkaus putih dengan agak keras. Setelahnya, Krishna meminggirkan sedikit langkah agar dapat berhadapan langsung dengan si lelaki yang barusan menginterupsi tindakannya. “Izin interupsi harus selalu sebut nama, mana sopan santunnya?!”

Krishna menatap lurus si lelaki yang ada di hadapannya. Si lelaki berkulit putih tampak sedikit meragukan pandangannya ketika melihat lelaki berkaus putih itu sekarang sedang balas menatapnya lurus-lurus, terlihat sama sekali tidak takut dan segan.

“Raesaka, Kak.” Suara lelaki berkulit putih itu sangat tegas, tidak tampak seperti lelaki lemah yang takut akan bentakan dari Krishna. Sebagai seorang komandan pleton yang biasa memperhatikan orang-orang dari cara berbicara, Krishna tahu bahwa lelaki di hadapannya ini bukan baru pertama kali berkecimpung dalam ranah paskibra.

Beberapa lelaki berjaket almamater merah tampak saling berbisik-bisik. Mungkin merasa kagum karena ada yang berani melawan ujaran seorang Krishna yang dikenal sangat galak. “Raesaka?”, ulang Krishna dengan nada meremehkan. “Jadi menurut kamu tindakan saya barusan keterlaluan?”

Krishna memajukan langkahnya mendekati Raesaka, sehingga kini jarak diantara mereka sangatlah tipis. Bahkan wajah keduanya hampir bersentuhan, namun nuansa yang ada hanyalah suasana mencekam; tidak ada yang lainnya. “Menurut kamu, tindakan apa yang nggak keterlaluan? Hah?”

“Siap! Menurut saya, Kakak terlalu mengintimidasi secara personal! Seorang Paskibra tidak akan berbicara dengan tujuan mengintimidasi secara individu!” Jawaban Raesaka barusan segera membuat Krishna sedikit mengernyitkan alis. Tata krama saat berbicara dari Raesaka sangat sesuai dengan aturan yang semestinya dilakukan seorang anggota paskibra. Bahkan sekarang Krishna bisa mendengar bagaimana beberapa senior di belakangnya tampak menggumamkan suara kagum.

“DIAM! KALIAN SENIOR BISA JAGA SIKAP DI DEPAN JUNIOR, NGGAK?! DIAM! SIKAP TEGAP!” Ujaran Krishna segera membuat para lelaki yang mengenakan jaket almamater merah segera mempertegap posisi berdiri dan membuat posisi istirahat di tempat dengan lebih sigap.

“Personal? Individu?” Krishna mengulang kata yang diujarkan Raesaka kemudian tersenyum tipis. “Oh, jadi kamu mau langsung coba praktik KORSA, Raesaka?”

“SEMUANYA!” Suara Krishna lebih dikeraskan, memastikan agar orang di barisan paling belakang juga dapat mendengar suaranya. “DENGAR! TEMAN KALIAN DI SINI, RAESAKA, BILANG KALAU SAYA TERLALU MENGINTIMIDASI SECARA PERSONAL!”

“KALAU BEGITU, SEKARANG SAYA TIDAK AKAN TEKAN KALIAN SECARA PERSONAL!”

Krishna melirik Raesaka dengan senyuman sinis masih terulas di bibir. Sementara Raesaka masih dengan posisi tegap, tengah balas menatap si kakak tingkat; tidak ada rasa takut di tatapannya, Krishna tahu itu. “SAYA TEKAN KALIAN SEMUA, SESUAI KEINGINAN RAESAKA TENTANG KORSA!”

“LARI KELILING LAPANGAN,” Krishna kembali meminggirkan langkahnya untuk berhadapan dengan Raesaka. “100 PUTARAN!”

Sontak, terdengar gumaman terkejut dari sana sini. Tidak terkecuali dari si lelaki berkulit kecoklatan dengan jaket almamater merah yang dipanggil Rendra tadi. Dengan langkah agak tergesa, Rendra menghampiri Krishna dan menepuk bahunya sekali kemudian berbisik kepada si kakak tingkat. “Kak, take it slow. Lo nggak mau kita dipanggil rektor, 'kan? Udah, tenang dul─”

“KORSA!” Tanpa izin dari siapapun, Raesaka membuka suara dan berseru dengan kencang. Suaranya tegas, bahkan lebih tegas daripada Krishna. “Bukan berarti bisa digunakan sebagai alasan untuk menindas orang seperti begini, Kak!”

“KORSA adalah rasa satu jiwa yang muncul atas ketulusan dan peduli akan sesama! Bukan jadi alasan agar Kakak bisa menghukum kami sesuka hati! KORSA yang Kakak pahami itu salah besar!”

Rendra semakin menahan gerak pundak Krishna yang seperti akan melayangkan bogem mentahnya kepada Raesaka. Bahkan si lelaki berkulit putih dan bertubuh tegap lainnya kini datang untuk menjauhkan posisi Raesaka dari Krishna. “Hei, hei! Santai! Lo nggak mau kita dijadiin bahan olok-olok sekampus, 'kan, Kak Krish? Santai,” ujar si lelaki berjaket almamater merah dan berkulit putih. Di jaket pada dada kirinya tertulis baris nama, Nakuladewa. “Kamu mending mundur dulu, Raesaka. Keluar barisan,” lanjut Nakuladewa dan memberi isyarat agar Raesaka melakukan sesuai instruksinya.

“Lalu,” bukannya mengikuti ujaran Nakuladewa, Raesaka malah melanjutkan kalimatnya. Masih dengan nada tegas yang serupa seperti sebelumnya. “Teriakan Kakak sangat payah untuk ukuran danton yang pernah jadi juara umum nasional.”

Krishna tidak bisa menahan amarahnya lagi. Cengkeraman tangan Rendra di pundaknya terlepas, tangan Krishna kini sudah mencengkeram bagian leher kerah dari kaus yang dikenakan Raesaka. “MAKSUD LO APA, ANJING?! HAH?! LO HEBAT?!”

Raesaka tersenyum tipis, raut wajahnya tampak sangat tenang walaupun kini Krishna sudah mencengkeram leher kerahnya dengan sangat kuat. “Kak, seorang paskibra harus bisa tahan emosinya. Kalau Kakak begini ke saya, siapa yang lebih payah?”, ujar Raesaka dengan nada tenang.

Laju nafas Krishna tampak memburu, emosinya sudah tidak bisa lagi dikendalikan. Jika saja Rendra dan Nakuladewa tidak menahan tinjuan yang akan dilayangkan Krishna kepada Raesaka, pasti sudah akan ada adu jotos di lapangan saat ini.

“KAK! HEH, KAK KRISH! LO BISA SADAR, NGGAK? ANAK BARU, KAK! LO BEGINI, SAMA AJA KASIH NAMA BURUK BUAT PASUKAN KITA!” Rendra sudah benar-benar menarik Krishna untuk menjauh dari Raesaka sementara Nakuladewa sedang berusaha melepaskan cengkeraman tangan Krishna di tangan si adik tingkat.

“Kak Krish! Woy! Lepasin, Kak! Lah, si anjing, kenapa kenceng banget sih cengkeraman lo?! Kak! Woy!”, Nakuladewa masih sibuk dengan situasi untuk melepaskan cengkeraman tangan Krishna.

Raesaka? Dia terdiam namun senyum kemenangan terulas penuh di bibirnya.

Sepertinya tahun ini tim Paskibra Ganesha Mandala akan dibuat kerepotan dengan banyak hal. Ouch.

“Gue anterin aja, sih, Phi.”

Pawat berada di bangku pengemudi, ia mengarahkan pandangannya kepada Mew yang tengah berdiri di pinggir trotoar; baru saja turun dari mobil yang dikendarai oleh Pawat. “Daripada duitnya lo pake buat naik taksi, sayang aja, gitu.”

Mew membetulkan kancing jaketnya yang ternyata salah posisi saat ia pasangkan ketika berada di McDonalds. “Nggak, lah. Jangan sampai Joss tau kalau lo sama gue abis ketemu dan ngomongin soal informasi tentang Lalisa. Bisa-bisa lo dicincang sama Joss,” ujar Mew; tampak santai, seakan-akan kata cincang tidak berarti banyak untuknya padahal Pawat sendiri sudah gemetar bukan main. “Udah, lo ke apartemen gue aja. Taruh dokumen penelitian dokter Jennie yang udah lo copy ke brankas di apartemen, kodenya 1212.”

Pawat mengangguk kecil, kemudian menatapi hasil copyan dokumen penelitian dokter Jennie yang ia taruh di atas dashboard mobil; pandangannya tampak ragu. “Phi, apa lo yakin ini bakal jadi hal yang aman? Maksudnya, kalau sampai Phi Joss tau bahwa kita duplikat dokumen penelitiannyaㅡ dia bisa aja...”

“Ya, kalau ketauan mau gimana lagi? Paling gue bilang kalau lo yang copy dokumennya,” ujaran Mew langsung dibalas dengan seruan tidak terima dari Pawat. “KOK GITU?! KAN' LO YANG NYURUㅡ AWWWW!”

Ujaran Pawat segera terputus karena Mew tiba-tiba menjitak kepalanya dengan agak keras. “Gue belum selesai ngomong, Ohm Pawat,” ujar Mew; sedikit merasa gemas dengan kelakuan juniornya yang merepotkan. “Gue bilang, lo yang copy tapi atas dasar suruhan dari gue. Jadi kalau Joss mau nyalahin orang, dia harus nyalahin gue,” lanjut Mew yang kemudian dibalas dengan kekehan tawa polos dari Pawat. “Haha-hehe aja lo, kayak kambing kecebur got.”

“Emang kambing kecebur got suaranya haha-hehe?”, tanya Pawat yang dibalas dengan bahu yang terangkat dari Mew. “Nggak tau, gue juga. Cuma kebiasaan ngomong begitu aja.”

Pawat mengangkat alis, terlihat bingung akan maksud ujaran Mew. Namun pada akhirnya, ia memilih untuk tidak melanjutkan perbincangan dan pamit undur diri dari Mew yang memutuskan pergi ke tempat perjanjiannya untuk bertemu dengan Joss. Lelaki yang lebih tua itu memutuskan untuk menaiki taksi, agar pertemuannya dengan Pawat barusan tidak ketahuan oleh Joss.

Jadi, yaㅡ di sinilah Pawat; tengah melintasi jalan raya di dini hari yang lumayan sepi. Ah, ralat. Tidak lumayan sepi, namun sangat sepi. Sepanjang perjalanan, hanya mobilnya yang melaju membelah jalanan. Untuk membunuh rasa bosan (sekaligus rasa takut karena ia tengah melintasi pinggiran hutan yang dikenal angker), Pawat memutar daftar main berisi musik-musik kesukaannya. “Hmm, Tilly Birㅡ

BUAGH!

Suara tabrakan yang kencang terdengar diikuti dengan kap mobil milik Pawat yang seakan menubruk sesuatu dengan sangat keras. Sesuatu seakan menggelinding dalam hitungan yang sangat cepat di atas mobilnya, hingga terjatuh ke aspal jalan raya dan berada di belakang mobil. Sontak, Pawat menginjak pedal rem sehingga mobil yang ia kemudikan berhenti secara mendadak.

Dari posisinya saat ini, Pawat merasakan tubuhnya dingin secara tiba-tiba; begitupun dengan genggamannya di setir kemudi yang terlihat gemetar hebat. “Itu...apaan?”, tanya Pawat lebih kepada dirinya sendiri. Padahal ia hanya mengalihkan pandangan dari jalan raya untuk mengetikkan sesuatu di layar ponselnya, namun mengapa tiba-tiba ada sesuatu yang menabrak padahal sebelumnya ia tidak melihat apapun yang menghadang mobilnya, coba?

Pawat tahu, ia tidak bisa kabur dari situasi ini. Walaupun dilahirkan sebagai Alpharian yang semestinya bisa mengutamakan dirinya sendiri, orangtua Pawat tidak pernah mengajarkan untuk meninggalkan apa yang seharusnya ia pertanggung jawabkan. Jadi walaupun merasa sangat takut dan gentar dengan apa yang akan ia hadapi nantinya, Pawat tetap turun dari mobilnya dan menghampiri sosok dari sesuatu yang tengah tergeletak di jalan raya; sesuatu yang tertabrak oleh mobilnya.

Suasana sekitar memang agak gelap karena penerangan yang kurang memadai namun Pawat yakin bahwa yang ditabraknya itu bukanlah binatang. Ada kaki yang serupa dengan miliknya, tubuhnya juga tampak serupa dengan Pawatㅡ jadi, yang ditabraknya itu adalah orang?!

Dengan panik, Pawat menghampiri sosok itu dan segera menggoyang-goyangkan tubuhnya. Ingin memastikan apakah ia masih bernyawa atau tidak. Kalau masih bernyawa, Pawat akan membawanya segera ke Rumah Sakit untuk mendapat pertolongan. “Hei! Hei! Anda tidak apa-apa?! Anda masih sadaㅡ”

CLICK

Ketika Pawat ingin membalikkan tubuh yang semula tertelungkup itu untuk menghadap ke arahnya, tiba-tiba ia mendengar suara tarikan pelatuk yang seakan siap untuk ditembakkan. Pawat membeku di tempatnya; dengan ujung matanya ia bisa melihat bagaimana di samping kiri sudah ada orang lain yang sedang mengarahkan ujung laras pistolnya ke pelipisnya.

TREK

Seakan semua belum cukup, orang yang ditabraknya itu sekarang sudah mengacungkan pisau yang tidak cukup panjang namun Pawat tahu bahwa pisau itu sudah diasah dengan sangat cermat. Beri sedikit goresan, mungkin bilah pisau itu sudah dapat membelah kulitnya untuk menyentuh garis nadi. Pisau yang teracung itu diarahkan ke dagu Pawat; seperti ingin mengincar lehernya untuk disayat apabila Pawat memberi perlawan. Lelaki yang ditabrak olehnya tampak tidak tengah kesakitan sedikitpun, ia terlihatㅡ baik-baik saja.

Sementara di bagian belakang tubuhnya, Pawat merasakan ada keberadaan orang lain yang berjalan mendekat. Terdengar suara tarikan sesuatu yang lentur namun diikat dengan sangat kencang. Tarikan anak panah yang dipasang ke busur, Pawat tahu jelas suara itu.

“Kau sudah dikepung,” ujar sebuah suara yang berada di belakang tubuh Pawat. “Dan sebagai tambahan, aku sedang mengarahkan anak panahku ke punggungmu. Jadi jangan berpikiran untuk kabur karena gerakanmu tidak akan secepat lepasan anak panah ini.”

Pawat tertipu. Semua tabrakan ini hanya siasat. Siasat dari mereka; tiga orang ini. Entah siapa.

“Tuh, 'kan.”

Tay terkekeh kecil ketika tangannya masih menggilir layar ponsel milik Metawin. Bright yang sedang mengemudikan mobil melirik Tay sekilas, “ada informasi apa?”

Tay mengangkat bahu. “Nggak, sih. Bukan informasi besar. Cuma heran sama pure-Alpharian yang idiotnya kebangetan. Mereka bertengkar gara-gara perbedaan pendapat soal kasus penelitian dokter Jennie Kim,” jawab Tay sambil membuka isi pesan lainnya yang ada di kotak masuk ponsel Metawin. “Joss nyuruh dokumennya dihilangin.”

“Tolol,” ujar Bright singkat. “Untung tim detektif udah punya kopiannya,” lanjutnya dan dibalas oleh tawa Tay. “Serius? Tim forensik juga punya. Kami masuk ke ruang arsip penyimpanan dokumen sewaktu semua tim pengawal lagi pesta.”

Bright mendengus geli. “Emang Alpharian itu semuanya nggak punya otak. Mereka cuma bangga sama garis darah keturunan mereka dan ngerasa puas sama badan yang kekar. Tanpa mereka tau bahwa semua nggak ada gunanya kalau nggak pakai otak,” ucap Bright yang dibalas dengan anggukan dari Tay. “Semestinya Betarn yang kuasain semuanya. Kita lebih punya otak, kita lebih waras. Bukannya malah Alpharian tolol itu yang jalanin pemerintahan.”

Tay hanya menggumam untuk membalas perkataan Bright barusan. Jemari Tay kini beralih menggulir opsi pada layar, yang semula ada di kotak masuk pesan kini ke koleksi galeri. “Kau sebegitu bencinya ke Alpharian, ya?“, tanya Tay singkat.

Genggaman tangan Bright pada setir kemudi menjadi semakin erat dibanding sebelumnya. Tampak sekali bahwa ia tengah mengatur emosinya yang seperti akan meledak dengan segera. “Alpharian sudah mengambil nyawa adikku. Kami tinggal terpisah tanpa orangtua dan hanya memiliki satu sama lain, lalu dengan seenaknyaㅡ Alpharian yang tidak dikenal membunuhnya dengan tusukan membabi buta. Tanpa alasan, yang sampai sekarang belum pernah aku ketahui penyebabnya.”

“Alasan itu sudah cukup 'kan untuk membenci Alpharian?“, ucap Bright dengan suara berat; tanpa menolehkan kepalanya kepada Tay yang berhenti menggulirkan jemarinya di layar ponsel. Tatapan Tay terlihat sangat terkejut, namun dengan segera ia menutupi ekspresinya sebisa mungkin agar Bright tidak curiga dengan apa yang barusan ia lihat.

“Udah? Nggak ada informasi apapun lagi?”, tanya Bright tanpa mengalihkan pandangan dari jalan raya tatkala melihat Tay memasukkan ponsel Metawin ke saku kemeja dari ujung lirikan matanya. “Coba lihat galerinya, bisa jadi ada hal yang kasih kita petunjuk baru.”

“Nggak ada apa-apa,” jawab Tay. Ia sendiri merasa nada suaranya terdengar gugup; sebisa mungkin, ia menutupinya dengan berbicara menggunakan nada wajar walaupun malah berakhir kaku. “Lagian dia cuma anggota bawah dari Joss. Aku lihat perbincangan dia sama Joss cuma begitu-begitu aja. Nggak ada yang berarti.”

Bright mengangguk kecil, memahami perkataan Tay barusan. “Ya sudah, 'toh tujuan kita sekarang lebih penting. Kita harus segera ke desa yang diduga dihuni kaum hitam dan mencari tau apa ada male-Omegaf di sana,” sahutnya dan menginjak pedal gas dengan lebih dalam. Mobil yang mereka kendarai kini melaju dengan lebih kencang; membawa Bright, Tay, dan Metawin yang tengah tertidur lelap di bangku belakang membelah jalan raya yang sepi.

“Bright,” panggil Tay dan dibalas dengan gumaman kecil dari si pengemudi mobil. “Kalau tidak salah, adikmu ituㅡ laki-laki, 'kan?”

“Iya.” “Dia adik kembarku.” “Namanya Sarawat.”

Tay meneguk ludah, gugup. Mayday.

Hari itu, jalanan temaram.

Hanya ada satu lampu yang menyala, itupun remang-remang. Taehyung berjalan dengan langkah gontai seraya memegangi daerah sekitar perutnya yang terasa sakit bukan main. Wajah Taehyung terlihat babak belur, padahal di sekitarnya tidak ada siapapun yang menyerang dirinya.

“AAAHKK!”

Taehyung jatuh tersungkur secara tiba-tiba. Tubuhnya bergerak dengan sendirinya seperti sedang dipukuli secara membabi buta oleh banyak orang. Erangan terus keluar dari mulut Taehyung seiring dengan tubuhnya yang terhentak; padahal tidak ada siapapun di sekitarnya.

Hyeong, kau percaya fated-mate?” “Jika dua eksistensitas sudah saling terhubung oleh perasaan cinta dan sayang yang sama besarnya, juga ketika mereka berdua sudah siap untuk terikat dalam hubungan sakral yang menjunjung cinta dengan setinggi-tingginya...” “...mereka akan merasakan fated-mate, hyeong.

“Jika sudah diikrar dengan fated-mate...” “...jika salah satu diantara keduanya merasa kesakitan,” “satu yang lainnya akan merasakan hal yang serupa.”

“Mereka akan diikat sebuah hubungan yang sama suka, sama duka.”

Sakit. Sesak. Perih, sangat.

Taehyung masih terkulai di tempatnya, sesekali terbatuk-batuk karena rasa sakit yang tadi ada di sekitar perutnya kini perlahan naik ke dada. Tubuhnya terlalu lemah untuk sekedar dibawa bangkit berdiri.

Tatapan Taehyung terarah ke langit malam nan gelap yang berhiaskan bintang-bintang. Beberapa hari yang lalu, ia menatap langit malam itu berbarengan dengan Jungkook. Saling berjanji untuk menjaga dan siap untuk menerima resiko apapun perihal hubungan mereka ke depannya sebagai pure-Alpharian dan male-Omegaf.

Namun sekarang, entah bagaimana ceritanya... di tengah perjalanan Taehyung untuk menemui Jungkook di tempat mereka membuat janji, tiba-tiba Taehyung merasakan tubuhnya kesakitan bukan main. Seperti dihajar oleh tendangan tak tentu arah; tak kenal ampun. Akibatnya, Taehyung hanya bisa begini. Tersungkur di tanah dengan tangan yang tengah menutupi matanya.

Bintang di langit-langit membuat hati Taehyung bertambah sakit karena mengingatkannya akan kalimat yang Jungkook janjikan kepadanya sebelum bertemu di malam hari ini.

Hyeong! Aku akan bilang ke Ayah tentang hubungan kita.” “Aku yakin, Ayah pasti akan menerima hubungan ini!” “Aku tidak akan kenapa-kenapa.” “Jadi hyeong jangan khawatir!”

Taehyung menangis, terisak. Jungkook terluka, karenanya.

“Ini mungkin akan sedikit sakit,” bisik Jennie seraya mempersiapkan alat-alat suntiknya. Di sebuah kursi panjang yang berada tidak jauh dari tempat Jennie berada, ada seorang perempuan yang tengah berbaring. Wajahnya tampak tegang dan tak urung membuat Jennie terkekeh kecil, “memang sedikit sakit, tapi tidak akan sesakit yang kau pikirkan, kok.”

Si perempuan yang tengah berbaring di kursi ikut mengulas senyum kecil. Sekilas, ia mengusapi perutnya yang lumayan terlihat besar. “Tidak apa-apa, dok. Kalau itu memang untuk keberhasilan kaum hitam, aku siap melakukan apapun.”

“Dan aku yakin,” lanjut si perempuan yang tengah berbaring seraya masih mengusapi perutnya, “bayi di dalam perutku juga pasti akan sangat bangga karena menjadi yang pertama berkorban demi keberhasilan kaum kami.”

Sebuah alat suntik sudah berada di genggaman Jennie, namun sang dokter terlihat ingin mengurangi rasa tegang yang dialami sang calon Ibu di hadapannya. “Tentu, dia pasti akan sangat bangga menjadi pilar pertama dari kaum hitam,” ujar Jennie. Pandangannya ikut teralih ke perut sang calon Ibu, “sudah merencanakan nama untuk si jagoan ini?”

Sang wanita mengangguk, senyum lebar terpampang di wajahnya.

“Gun.” “Gun Attaphan.”

Phi Gun.”

Lelaki yang namanya dipanggil mengalihkan pandangannya ke arah belakang, menatapi Gulf yang sekarang sedang mengulurkan tangan kanannya. “Mau dibantuin bawa pistolnya? Kelihatannya berat.”

Tawaran Gulf ditolak dengan gelengan kepala yang diiringi senyuman tipis. “Nah, it's okay. Nggak terlalu berat, kok. Udah kebiasa bawa juga dari kecil,” ujar Gun seraya membetulkan posisi tali yang mengikat pistol panjang di pundak kanannya. “Lagian lo juga bawa busur, berat juga.”

Gulf terkekeh kecil. “Nggak, sih. Busurnya nggak berat tapi kadang anak panahnya yang bikin kesel, suka nusuk-nusukin punggung kepala,” jawab Gulf seraya kembali mempercepat langkahnya sehingga kini ia berada di barisan paling depan di antara mereka bertiga. “Kalau berat, bilang aja, Phㅡ”

“Gue nih yang keberatan. Gue, bawa pedang. Berat.” Nanon menggerutu di barisan paling belakang. Gulf dan Gun menoleh ke belakang dan sedikit tersenyum melihat si paling muda di antara mereka bertiga tampak kelelahan membawa senjata keahliannya. “Jangan mentang-mentang badan Phi Gun paling kecil makanya ditawarin bantuan melulu sementara gue dicuekin, Phi,” gerutu Nanon; lebih ditujukan kepada Gulf.

“Ya, salah sendiri. Sewaktu kecil milihnya bela diri pake pedang,” balas Gulf. Nanon tampak kelihatan sebal. Baru saja ketika Nanon akan memberi kalimat balasan, Gun menyela perbincangan di antara keduanya. “Udah, nggak usah pakai berantem kayak anak kecil. Mending istirahat sebentar, deh. Kita udah lumayan lama jalan. Sebentar lagi juga kita bisa keluar hutan, 'kan?”, ucap Gun seraya menurunkan tali ransel dan pistol berlaras panjang di pundaknya ke tanah.

Gulf dan Nanon melakukan hal serupa. Gulf menurunkan busur panahnya sementara Nanon meletakkan sarung pedangnya. Ketiganya duduk melingkar, tidak mengeluarkan suara apapun karena disibukkan dengan pikiran masing-masing. Hingga akhirnya Nanon menengadahkan kepala dan memandangi langit berbintang di atasnya. “Phi Gun,” ujar Nanon dengan suara lirih. “Lisa lagi ucapin semangat ke kita dari atas.”

Mendengar ujaran Nanon, Gun dan Gulf ikut menengadah menatapi langit berbintang di atas mereka. Untuk beberapa saat, mereka bertiga terdiam meandangi langit hingga akhirnya Gulf membuka suara. “Gue nggak akan pernah berhenti kagum sama Lisa,” ujarnya. “Dia seumuran sama gue, temen latihan bela diri juga dari kecil. Gue panahan, dia latihan tembak.”

“Tapi dia lebih berani dari gue,” lanjut Gulf, membuat Gun menyunggingkan senyum ketika mendengar kalimat Gulf. “Menawarkan diri buat turun ke titik medan, ketika gue masih cuma sembunyi di rubanah...” Gulf menggantungkan kalimatnya, tampak kesulitan menemukan kalimat yang tepat untuk menyimpulkan perasaannya sekarang. “... dia hebat.”

“Adek lo hebat, Phi,” ujar Gulf seraya menepuk pundak Gun yang berada di sebelahnya. “Hebat. Hebat banget,” lanjut Gulf dan dibalas dengan anggukan setuju dari Nanon.

Gun hanya menghela nafas dalam-dalam, tidak membalas ujaran dari Gulf maupun Nanon. Tatapannya masih tertuju ke langit, menatapi bintang yang berkerlap-kerlip terang.

Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Nanon. Adiknya, Lisa, tengah memberi semangat kepada mereka.

“Ini mungkin akan sedikit sakit,” bisik Jennie seraya mempersiapkan alat-alat suntiknya. Di sebuah kursi panjang yang berada tidak jauh dari tempat Jennie berada, ada seorang perempuan yang tengah berbaring. Wajahnya tampak tegang dan tak urung membuat Jennie terkekeh kecil, “memang sedikit sakit, tapi tidak akan sesakit yang kau pikirkan, kok.”

Si perempuan yang tengah berbaring di kursi ikut mengulas senyum kecil. Sekilas, ia mengusapi perutnya yang lumayan terlihat besar. “Tidak apa-apa, dok. Kalau itu memang untuk keberhasilan kaum hitam, aku siap melakukan apapun.”

“Dan aku yakin,” lanjut si perempuan yang tengah berbaring seraya masih mengusapi perutnya, “bayi di dalam perutku juga pasti akan sangat bangga karena menjadi yang pertama berkorban demi keberhasilan kaum kami.”

Sebuah alat suntik sudah berada di genggaman Jennie, namun sang dokter terlihat ingin mengurangi rasa tegang yang dialami sang calon Ibu di hadapannya. “Tentu, dia pasti akan sangat bangga menjadi pilar pertama dari kaum hitam,” ujar Jennie. Pandangannya ikut teralih ke perut sang calon Ibu, “sudah merencanakan nama untuk si jagoan ini?”

Sang wanita mengangguk, senyum lebar terpampang di wajahnya.

“Gun.” “Gun Attaphan.”