“KORSA!”
Cuaca sangat terik, bahkan tidak aneh jika ada yang melebih-lebihkan bahwa matahari hanya berjarak sejengkal dari kepala. Namun tampaknya hal itu tidak dipedulikan oleh beberapa orang yang membuat jajar barisan lurus di tengah lapangan luas milik Universitas Ganesha Mandala siang hari ini, walaupun yah── masih terlihat beberapa diantara mereka memasang wajah tidak suka karena harus dijemur secara paksa di tengah siang terik begini.
“Komando satu rasa!”
Lagi, suara itu terdengar jelas dari arah paling depan dari barisan. Seorang laki-laki dengan jaket almamater berwarna merah sedang berdiri berhadapan dengan barisan orang-orang berusia sebaya yang mengenakan kaus berwarna putih. Raut wajah si lelaki dengan jaket almamater merah itu tampak sangat menyeramkan; bukan dalam artian menyeramkam seperti monster namun lebih ke arah auranya yang sangat mengintimidasi.
Orang-orang yang berada di barisan yang mengenakan kaus berwarna putih tidak menundukkan kepala. Satupun di antara mereka tidak ada yang melakukan demikian, semuanya mengangkat pandangan dan menatap lurus ke depan. Namun tidak ada diantara mereka yang menatap langsung ke si lelaki berjaket almamater merah yang barusan berteriak. Mereka terlihat takut; walaupun sebisa mungkin coba menutupinya, tetap saja bisa terlihat.
“Kalian yang sudah memutuskan untuk bergabung dengan tim paskibra Ganesha Mandala, harus camkan hal itu baik-baik! Jiwa KORSA harus ada di diri kalian! Satu untuk semua! Semua untuk satu! Paham?!”
Lelaki berjaket almamater merah itu berkulit putih, menjadikan kulitnya tampak agak kemerahan ketika dijemur di bawah sinar terik matahari siang ini. Tidak hanya dirinya sendiri, di belakang lelaki berjaket almamater merah itu ada beberapa lelaki lain yang juga mengenakan jaket almamater yang sama. Merah; pula memasang raut wajah yang tidak jauh berbeda, masam dan sinis. Tatapan mereka ditujukan ke sana sini, memperhatikan seluruhnya yang berbaris. Seperti ingin menemukan target yang bisa mereka jadikan pelampiasan segala kekesalan.
“PAHAM TIDAK?!” Lelaki berjaket almamater merah yang berdiri paling depan kembali berteriak, menjadikan beberapa orang yang berada di barisan paling depan tersentak kaget. “JAWAB! KALIAN UDAH JADI MAHASISWA, HARUS DIAJARIN HAL SEPELE KAYAK BEGINI, HAH?!”
“Paham..”, jawaban dari orang-orang yang berbaris terdengar lemah. Bahkan suara beberapa orang itu tidak bisa mengalahkan suara sendirian milik si lelaki berjaket almamater merah. Yang mana tak urung menjadikan si lelaki yang berada di depan menyunggingkan senyum sinis; seperti meremehkan.
“Kalian mau gabung ke paskibra Ganesha Mandala tapi mentalnya tempe begini, hah?”, tanya si lelaki dengan suara rendah, tidak lagi berteriak. Langkahnya diarahkan ke salah satu dari orang yang ada di dalam barisan, kemudian berhenti tepat di depan seorang laki-laki bertubuh kurus dan berkacamata yang tampak sangat ketakutan.
“Buat jawab pertanyaan saya aja kalian masih nggak punya tenaga. Gimana bisa kalian bertahan sampai bisa dapet lencana KORSA, hah?” Si lelaki berjaket almamater merah mendorong dahi si lelaki kurus berkacamata dengan perlahan, namun siapapun dapat melihat bagaimana ada tindak penuh intimidasi di sana. “Hah?! Kalian yang cuma anak Mami begini apa nggak salah mau gabung ke Paskibra sini, hah? Hah?! Jawab!”
Semua yang ada di dalam barisan segera terdiam. Tidak ada yang berani menjawab. Si lelaki berjaket almamater merah beserta pasukannya yang ada di belakang tampak puas dengan situasi yang ada, bahkan beberapa diantara yang ada di belakang lelaki itu terkekeh secara terang-terangan.
“Jangan terlalu galak, Kak Krish. Nanti ada yang ngadu ke Maminya gara-gara diteriakin,” sahut seorang lelaki berjaket almamater merah; hanya saja kulit lelaki itu tampak kecoklatan karena terbakar matahari. Tawa meremehkan terdengar dari arah belakang yang dibalas dengan ujaran dari si lelaki yang dipanggil Kak Krish. “Manja. Malu banget kalau pasukan Ganesha tahun ini malah anak Mami semua.”
Krishna, lelaki yang sedari tadi berteriak di barisan paling depan, kini menghampiri lelaki lain yang ada di dalam barisan. Tangan kanannya dikepal kemudian ditinju-tinjukan dalam pukulan kecil ke dada si lelaki yang ada di depannya. “Gimana? Bisa jawab, nggak? Kenapa tim pasukan kalian pada menye begini, hah?”, tanya Krish. Tinjuannya perlahan-lahan semakin keras dan membuat tubuh si lelaki yang menjadi target tinjuannya sedikit oleng ke belakang.
Si lelaki berkulit agak kecoklatan yang tadi menyela ujaran Krish, kini ikut berteriak; menujukan kalimatnya ke barisan orang-orang yang mengenakan kaus putih. “MANA KORSA KALIAN? MAU DIEM AJA LIAT TEMEN KALIAN DIPERLAKUIN BEGITU, HAH?!”
“Anak Mami, sih, mana mau peduli sama temennya, Kak Rendra? Yang penting dia selamat, 'kan?” Kali ini, seorang lelaki bertubuh tegap, berpundak lebar serta berkulit putih menyahuti kalimat si lelaki berkulit kecoklatan yang rupanya bernama Rendra. “Mau temennya mati bonyok juga kayaknya nggak bakal pedul───”
Ujaran si lelaki bertubuh tegap barusan terhenti ketika pandangannya menangkap pemandangan situasi yang terjadi saat ini. Tangan Krishna yang barusan sedang meninju dada si lelaki di hadapannya kini dicengkeram dengan kuat oleh seorang lelaki lain berkaus putih. Kulitnya kecoklatan, tampak sedikit agak timpang ketika dipasangkan dengan tangan Krishna yang tengah digenggam olehnya.
“Izin interupsi, Kak.” Lelaki berkaus putih itu masih menggenggam tangan Krishna kuat-kuat, yang langsung dibalas oleh tatapan tidak suka dari si kakak tingkat. “Saya rasa tindak yang seperti begini sudah keterlaluan.”
“Nama!” Krishna menghentakkan tangan si lelaki berkaus putih dengan agak keras. Setelahnya, Krishna meminggirkan sedikit langkah agar dapat berhadapan langsung dengan si lelaki yang barusan menginterupsi tindakannya. “Izin interupsi harus selalu sebut nama, mana sopan santunnya?!”
Krishna menatap lurus si lelaki yang ada di hadapannya. Si lelaki berkulit putih tampak sedikit meragukan pandangannya ketika melihat lelaki berkaus putih itu sekarang sedang balas menatapnya lurus-lurus, terlihat sama sekali tidak takut dan segan.
“Raesaka, Kak.” Suara lelaki berkulit putih itu sangat tegas, tidak tampak seperti lelaki lemah yang takut akan bentakan dari Krishna. Sebagai seorang komandan pleton yang biasa memperhatikan orang-orang dari cara berbicara, Krishna tahu bahwa lelaki di hadapannya ini bukan baru pertama kali berkecimpung dalam ranah paskibra.
Beberapa lelaki berjaket almamater merah tampak saling berbisik-bisik. Mungkin merasa kagum karena ada yang berani melawan ujaran seorang Krishna yang dikenal sangat galak. “Raesaka?”, ulang Krishna dengan nada meremehkan. “Jadi menurut kamu tindakan saya barusan keterlaluan?”
Krishna memajukan langkahnya mendekati Raesaka, sehingga kini jarak diantara mereka sangatlah tipis. Bahkan wajah keduanya hampir bersentuhan, namun nuansa yang ada hanyalah suasana mencekam; tidak ada yang lainnya. “Menurut kamu, tindakan apa yang nggak keterlaluan? Hah?”
“Siap! Menurut saya, Kakak terlalu mengintimidasi secara personal! Seorang Paskibra tidak akan berbicara dengan tujuan mengintimidasi secara individu!” Jawaban Raesaka barusan segera membuat Krishna sedikit mengernyitkan alis. Tata krama saat berbicara dari Raesaka sangat sesuai dengan aturan yang semestinya dilakukan seorang anggota paskibra. Bahkan sekarang Krishna bisa mendengar bagaimana beberapa senior di belakangnya tampak menggumamkan suara kagum.
“DIAM! KALIAN SENIOR BISA JAGA SIKAP DI DEPAN JUNIOR, NGGAK?! DIAM! SIKAP TEGAP!” Ujaran Krishna segera membuat para lelaki yang mengenakan jaket almamater merah segera mempertegap posisi berdiri dan membuat posisi istirahat di tempat dengan lebih sigap.
“Personal? Individu?” Krishna mengulang kata yang diujarkan Raesaka kemudian tersenyum tipis. “Oh, jadi kamu mau langsung coba praktik KORSA, Raesaka?”
“SEMUANYA!” Suara Krishna lebih dikeraskan, memastikan agar orang di barisan paling belakang juga dapat mendengar suaranya. “DENGAR! TEMAN KALIAN DI SINI, RAESAKA, BILANG KALAU SAYA TERLALU MENGINTIMIDASI SECARA PERSONAL!”
“KALAU BEGITU, SEKARANG SAYA TIDAK AKAN TEKAN KALIAN SECARA PERSONAL!”
Krishna melirik Raesaka dengan senyuman sinis masih terulas di bibir. Sementara Raesaka masih dengan posisi tegap, tengah balas menatap si kakak tingkat; tidak ada rasa takut di tatapannya, Krishna tahu itu. “SAYA TEKAN KALIAN SEMUA, SESUAI KEINGINAN RAESAKA TENTANG KORSA!”
“LARI KELILING LAPANGAN,” Krishna kembali meminggirkan langkahnya untuk berhadapan dengan Raesaka. “100 PUTARAN!”
Sontak, terdengar gumaman terkejut dari sana sini. Tidak terkecuali dari si lelaki berkulit kecoklatan dengan jaket almamater merah yang dipanggil Rendra tadi. Dengan langkah agak tergesa, Rendra menghampiri Krishna dan menepuk bahunya sekali kemudian berbisik kepada si kakak tingkat. “Kak, take it slow. Lo nggak mau kita dipanggil rektor, 'kan? Udah, tenang dul─”
“KORSA!” Tanpa izin dari siapapun, Raesaka membuka suara dan berseru dengan kencang. Suaranya tegas, bahkan lebih tegas daripada Krishna. “Bukan berarti bisa digunakan sebagai alasan untuk menindas orang seperti begini, Kak!”
“KORSA adalah rasa satu jiwa yang muncul atas ketulusan dan peduli akan sesama! Bukan jadi alasan agar Kakak bisa menghukum kami sesuka hati! KORSA yang Kakak pahami itu salah besar!”
Rendra semakin menahan gerak pundak Krishna yang seperti akan melayangkan bogem mentahnya kepada Raesaka. Bahkan si lelaki berkulit putih dan bertubuh tegap lainnya kini datang untuk menjauhkan posisi Raesaka dari Krishna. “Hei, hei! Santai! Lo nggak mau kita dijadiin bahan olok-olok sekampus, 'kan, Kak Krish? Santai,” ujar si lelaki berjaket almamater merah dan berkulit putih. Di jaket pada dada kirinya tertulis baris nama, Nakuladewa. “Kamu mending mundur dulu, Raesaka. Keluar barisan,” lanjut Nakuladewa dan memberi isyarat agar Raesaka melakukan sesuai instruksinya.
“Lalu,” bukannya mengikuti ujaran Nakuladewa, Raesaka malah melanjutkan kalimatnya. Masih dengan nada tegas yang serupa seperti sebelumnya. “Teriakan Kakak sangat payah untuk ukuran danton yang pernah jadi juara umum nasional.”
Krishna tidak bisa menahan amarahnya lagi. Cengkeraman tangan Rendra di pundaknya terlepas, tangan Krishna kini sudah mencengkeram bagian leher kerah dari kaus yang dikenakan Raesaka. “MAKSUD LO APA, ANJING?! HAH?! LO HEBAT?!”
Raesaka tersenyum tipis, raut wajahnya tampak sangat tenang walaupun kini Krishna sudah mencengkeram leher kerahnya dengan sangat kuat. “Kak, seorang paskibra harus bisa tahan emosinya. Kalau Kakak begini ke saya, siapa yang lebih payah?”, ujar Raesaka dengan nada tenang.
Laju nafas Krishna tampak memburu, emosinya sudah tidak bisa lagi dikendalikan. Jika saja Rendra dan Nakuladewa tidak menahan tinjuan yang akan dilayangkan Krishna kepada Raesaka, pasti sudah akan ada adu jotos di lapangan saat ini.
“KAK! HEH, KAK KRISH! LO BISA SADAR, NGGAK? ANAK BARU, KAK! LO BEGINI, SAMA AJA KASIH NAMA BURUK BUAT PASUKAN KITA!” Rendra sudah benar-benar menarik Krishna untuk menjauh dari Raesaka sementara Nakuladewa sedang berusaha melepaskan cengkeraman tangan Krishna di tangan si adik tingkat.
“Kak Krish! Woy! Lepasin, Kak! Lah, si anjing, kenapa kenceng banget sih cengkeraman lo?! Kak! Woy!”, Nakuladewa masih sibuk dengan situasi untuk melepaskan cengkeraman tangan Krishna.
Raesaka? Dia terdiam namun senyum kemenangan terulas penuh di bibirnya.
Sepertinya tahun ini tim Paskibra Ganesha Mandala akan dibuat kerepotan dengan banyak hal. Ouch.