dontlockhimup

Seluruh saluran televisi menayangkan berita tentang penangkapan dan perburuan male-Omegaf. Dengan tubuh yang dibalut perban di sana sini, Taehyung melintasi daerah perkotaan Seoul. Banyak pihak menatapnya ingin tahu, entah karena penasaran dengan tubuh Taehyung yang penuh dengan luka atau karena mencium bau khas Omegaf yang sedikit tercium dari tubuh Taehyung saat ini.

Benar juga, semestinya ia kemarin mengonsumsi obat-penekan miliknya namun ia tidak bisa karena semalaman menginap di kediaman Jennie. Hanya tinggal menunggu waktu hingga bau khas Alpharian yang muncul karena ia mengonsumsi obat-penekan itu menghilang dan memunculkan bau yang semestinya ada sejak awal di tubuh Taehyung; aroma khas seorang Omegaf.

Taehyung kabur dari rumah Jennie karena tidak ingin gadis itu mendapat malapetaka karena menampung seorang male-Omegaf di kediamannya. Maka dengan tubuh yang sejujurnya masih agak kesakitan, Taehyung memutuskan untuk kembali pulang ke rumah. Setidaknya kalaupun ia harus benar-benar kabur dari kejaran polisi, ia harus mengambil semua persediaan obat-penekan dan heat-supressant miliknya agar nyawanya bisa bertahan lebih lama.

Namun ketika sudah mencapai rumah, yang Taehyung temukan adalah Jungkook yang duduk dengan lutut terlipat dan bersandar lemah di pintu rumahnya. Dengan tergesa, Taehyung menghampiri si kekasih dan memastikan Jungkook tidak kehilangan kesadaran. “Jungkook-ah! Hei! Bangun!”

Hyeong...” “Hyeong, kenapa kau... kembali?” “Pergi... cepat...” “Mereka... ada... di sini...”

Suara Jungkook terlalu pelan hingga membuat Taehyung tidak dapat mendengar apapun. Taehyung mendekatkan telinganya ke bibir Jungkook, ingin mengetahui apa yang barusan diujarkan oleh si kekasih. “Kau bilang apㅡ”

Ujaran Taehyung terhenti tatkala matanya menatap sesuatu yang terpasang di kaki Jungkook. Borgol, juga alat kejut listrik berbentuk gelang terpasang di mata kaki si kekasih. Sontak, Taehyung bergerak sedikit menjauhi Jungkook; kebingungan dengan maksud adanya benda itu di kakinya. “Kauㅡ kenapa... diborgol?”, cicit Taehyung.

Jungkook menggelengkan kepalanya, senyum tipis nan menyayat hati terulas di bibirnya. Taehyung dapat melihat bagaimana Jungkook membuka mulut dan membuat kalimat tanpa suara yang ditujukan untuk dirinya. “Cepat... pergi, hyeong...

Akan tetapi tepat setelah Jungkook selesai mengujarkan kalimatnya, tiba-tiba gelang kejut listrik di kakinya menyala dan menyetrum si lelaki hingga membuatnya kejang-kejang di hadapan Taehyung. “JUNGKOOK-AH!“, Taehyung berteriak; ia ingin menyelamatkan si kekasih namun dengan sisa kesadaran yang dimilikinya, Jungkook berseru lumayan kencang. “Lari... pergi, hyeong...”

Tidak! Mana bisa Taehyung meninggalkannya!

Maka dengan pandangan yang ditujukan ke sekeliling, Taehyung berupaya menemukan siapapun yang bersembunyi dan mengawasi mereka. “JANGAN SAKITI DIA! TARGET KALIAN ADALAH AKU! TANGKAP AKU!”, seru Taehyung ke sekitarnya walaupun tampak lengang dan melompong. Tidak ada jawaban, membuat emosi Taehyung semakin memuncak karena gelang listrik di kaki Jungkook seakan di mati-nyalakan hanya untuk keseruan semata; sementara kondisi Jungkook sendiri sudah terlihat semakin melemah.

“Kubilang... keluar, kalian...”

Taehyung tidak tahu apa yang sekarang tengah ia rasakan. Ia merasa darah yang ada di dalam dirinya bergejolak cepat dan membuat aliran yang entah bagaimana terasa amat sangat panas. Taehyung tidak tahu entah bagaimana caranya, namun sekarang ia merasakan pandangan matanya seakan buram. Sekelilingnya gelap untuk sesaat, hingga akhirnya kembali berwarnaㅡ namun dalam hitam putih, monokrom.

Hyeong...“, Jungkook sempat tidak percaya dengan pandangannya sendiri tatkala melihat Taehyung yang tiba-tiba terduduk bersimpuh. Punggungnya terlihat mengeluarkan duri-duri tajam berwarna hitam yang panjang bukan main. “...Taehyung hyeong,” cicit Jungkook, berupaya menghentikan proses apapun itu yang tengah dialami oleh Taehyung. “Jangan...”

Taehyung menggeram. Persis geraman seekor serigala yang tengah dilanda kemarahan, buas. Perlahan, duri tajam yang keluar dari punggung Taehyung sedikit melengkung dan semakin bertambah panjang. Hingga akhirnya dalam satu kali hitungan, bulu-bulu berwarna hitam terkembang di duri yang tadi tumbuh dari punggungnya.

Sayap hitam nan lebar terkembang, sementara Taehyung yang masih menggeram buas kini memampangkan gigi taringnya yang besar dan tajam. Taehyung tidak tahu tentang apa yang ia rasakan saat ini. Rasa yang mendominasi dirinya hanyalah kemarahan memuncak yang harus segera diselesaikan.

Pandangan Taehyung yang semula monokrom, kini bisa menangkap warna kuning samar berbentuk bayangan seseorang. Dengan segera, Taehyung berlari dan menyerang sosok itu yang adalah tentara pemerintah; Alpharian. Taehyung mencabik-cabik si tentara, menguliti dan mengoyak isi tubuhnya hingga berhamburan tidak karuan.

Dari tempatnya, Jungkook tidak dapat menyuarakan apa yang tengah dilihatnya sekarang. Taehyung berubah menjadi seorang monster yang wujudnya tidak dapat disimpulkan dengan akal sehat. Taehyung, yang seorang Omegaf berubah menjadi sosok yang menyeramkan.

Tak lama, suara tembakan terdengar dan beberapa tentara lain yang sebelumnya bersembunyi kini menampakkan diri. Taehyung mengalihkan pandangannya dan berlari menyerang tentara lainnya. Awalnya hanya dua lalu menjadi lima, hingga keseluruhan tentara yang ada di sana diserang oleh Taehyung.

Semua mati; dengan kondisi tubuh yang mengenaskan.

Ketika tidak ada lagi yang bisa ia serang, Taehyung terdiam sejenak di tempatnya. Nafasnya terlihat tersengal; terburu-buru dan tidak teratur. Namun setelahnya, ia meraih sebuah remote pengendali dari tangan seorang tentara yang sudah mati dan melangkah dengan lunglai ke arah Jungkook. Seiring dengan langkahnya menuju Jungkook, sayap hitam di punggung Taehyung kembali menyusut dan entah bagaimana caranya seakan ditarik kembali ke dalam punggung si lelaki.

Hingga saatnya Taehyung berdiri di hadapan Jungkook dan membukakan gelang listrik yang terlingkar di kaki si kekasih, Taehyung sudah berada dalam wujud normalnya. Terlihat jelas, ia juga seperti kebingungan dengan semua yang barusan terjadi. Begitupun dengan Jungkook yang sedikit terlihat ketakutan untuk berada di dekat Taehyung.

“Aku... harus pergi, Jungkook-ah...” “Aku monster...”

Taehyung tertawa getir, ia menutupi wajahnya sendiri dengan tangan yang sudah bersimbah darah. Jungkook sempat diam untuk sesaat namun setelah berhasil menguasai rasa terkejutnya, ia meraih tangan Taehyung untuk ia genggam. “Hyeong, kita pergi bersama... kau tidak boleh tinggalkan aku sendirㅡ”

DOR!

Suara letusan senapan dibarengi dengan seruan untuk menyerahkan diri terdengar bersahutan. Anggota tentara yang lain datang setelah mendapat laporan permintaan bantuan dari tentara yang sudah gugur. Taehyung segera melepaskan genggaman tangan Jungkook, “jangan ikuti aku. Selamatkan dirimu sendiri,” ujarnya dan pergi meninggalkan si kekasih.

Taehyung melarikan diri. Entah kemana, sendiri.

Fated-mate.

Jungkook pernah mengatakan perihal itu kepada Taehyung. Katanya, setiap eksistensitas memiliki fated-matenya masing-masing. Setiap yang ada di dunia sudah memiliki pasangan takdirnya sendiri-sendiri. Pada awalnya, Taehyung tertawa; menganggap pemikiran Jungkook terlampau polos.

Takdir tidak sebaik itu. Takdir tidak sepengertian itu.

“Tapi aku percaya, hyeong,” ujar Jungkook kala itu; tatkala mereka duduk di bawah ayunan yang ada di salah satu taman bermain yang ada di sudut pinggiran kota. Taehyung masih ingat dengan jelas, suasana saat itu sangat damai. Semuanya seperti mendukung untuk memberi ketenangan bagi jiwa Jungkook dan Taehyung yang memang sedang tidak ingin berada di keramaian. Mereka berdua hanya ingin menghabiskan malam dengan begini, memandangi bintang di angkasa dengan kaki yang bergerak pelan untuk menggerak-gerakkan ayunan yang mereka tumpangi. “Fated-mate itu benar-benar ada.”

Taehyung menoleh sekilas ke arah si lelaki di pinggir kirinya, kemudian mengulas senyum tipis. Sosok sahabatnya sejak kecil itu entah sejak kapan sudah terlihat segagah ini, bahkan ruang ayunan yang ia tumpangi sekarang terlihat agak sesak; berbeda sekali dengan sosok bocah lelaki yang dulu selalu meminta untuk digendong agar bisa naik ke bangku ayunan karena kakinya tidak cukup panjang untuk meraihnya.

Jungkook sudah dewasa, ia bukan laki bocah kecil yang selalu bergantung kepada Taehyung. Dan sekarang, perasaan ingin menjaga yang ia rasakan kepada Jungkook bukan hanya perasaan seorang kakak kepada adiknya. Perasaan yang ia rasakan kini lebih besar daripada itu. Taehyung ingin menjaga Jungkook dalam hubungan yang lebih tinggi harkatnya; bukan hanya sebagai seorang sahabat.

“Jungkook-ah”, panggil Taehyung dan membuat Jungkook beralih memandanginya. “Ada yang ingin kukatakan.”

“Tentang?”

Taehyung masih menggerak-gerakkan kakinya sehingga ayunan yang ia tumpangi semakin bergerak sedikit lebih kencang ke arah depan-belakang. Kedua tangannya menggenggam pinggiran rantai penyangga; erat-erat. “Akuㅡ punya rahasia yang besar,” ujar Taehyung dengan nada mencicit. Jungkook menggumam, tampak santai. “Hm-mm. Tentang apa, hyeong?”

“Aku..”, Taehyung tampak ragu untuk melanjutkan kalimatnya. Beberapa detik dihabiskan tanpa lanjutan apapun hingga akhirnya Taehyung tertawa kikuk dan menggaruki kepalanya sendiri. “Hahaha, bukan apa-apa, sih. Lupakan saja.”

Male-Omegaf,” ujaran Jungkook barusan langsung membuat Taehyung terkesiap. Gerakan kakinya berhenti dalam sekejap dan tatapannya ditujukan lurus-lurus ke arah si lelaki di sebelah kiri. Tubuh Taehyung tampak bergerak sedikit menjauhi Jungkook. Ia tahu, Alpharian memiliki insting untuk memangsa Omegaf. Hubungan antara Alpharian dan Omegaf tidak pernah harmonis, apalagi Jungkook adalah seorang Pure-Alpharian yang memiliki harkat derajat martabat sangat tinggi; menyerang Omegaf pasti sudah tertulis sebagai aturan nomor satu di kamus hidupnya. “Hyeong, kau male-Omegaf, 'kan?”

Refleks, Taehyung bangkit dari bangku ayunannya dan segera duduk berlutut di hadapan Jungkook yang masih terduduk di tempat. Ia mengatupkan kedua tangannya ke depan dada, ucapannya terdengar memohon. “Maafkan aku, Alpha. Maafkan aku. Aku tidak bermaksud membohongimu bertahun-tahun dengan berpura-pura menjadi Alpharian, aku hanya...”

Taehyung menutup matanya rapat-rapat sementara tangannya terus dikatupkan di depan dada. Ia sungguh takut apabila Jungkook akan murka dan insting Alpharian di dalam dirinya keluar tanpa terkendali. Jujur saja, Taehyung berada dalam situasi genting. Sekelilingnya sepi, meminta tolong seperti apapun pasti tidak akan ada yang menghiraukan. “...aku hanya tidak mau persahabatanku denganmu hancur begitu saja karena hirarki kita.”

“Maafkan aku, Alpha. Maafㅡ Aku... mohon maaf.”

Hyeong, buka matamu.” Ujaran Jungkook membuat Taehyung dengan sangat perlahan membuka kelopak matanya, yang mana segera membuatnya sedikit terkejut karena sekarang Jungkook juga tengah duduk berlutut di hadapannya. Tatapannya kepada Taehyung sekarang bukanlah tatapan seorang Alpharian yang murka, melainkan tatapan seseorang yang tampak menyimpan duka mendalam. “Jangan begini. Tidak ada yang salah. Tidak usah minta maaf.”

“Aku sudah tahu sejak awal, hyeong adalah male-Omegaf. Aku sudah tahu dari lama. Lama sekali, malahan,” ujar Jungkook seraya mengusapi rambut hitam Taehyung dengan lembut. “Hyeong, tidak ada Alpharian yang rambutnya sehalus rambutmu. Tidak ada juga Alpharian...“, Jungkook meraih tangan Taehyung kemudian menggenggamnya erat. “...yang tangannya selembut tanganmu.”

Jungkook tertawa kecil kemudian mengusak perlahan puncak kepala Taehyung. “Selama ini, kau pasti lelah terus-terusan berusaha untuk kelihatan seperti Alpharian, ya? Hm? Kenapa harus begitu, coba?“, tanya Jungkook. Taehyung menjawab dengan suara lema, memilih untuk tidak membalas pandangan si lelaki di hadapan. “Kau... Alpharian. Tidak semestinya Alpharian berteman dengan Omegaf.”

“Kalau begitu,” Jungkook sedikit memajukan posisi tubuhnya sehingga kini tubuhnya dengan tubuh Taehyung berada dalam jarak yang cukup berdekatan. Tak lama setelahnya, Jungkook merengkuh tubuh Taehyung dan memeluknya erat. “Kita jangan berteman lagi.”

Omegaf harus dimiliki oleh Alpharian, 'kan?” “Jadi, hyeong...” “...ayo, jadi milikku.”

Taehyung terhenyak. Ia sendiri tidak tahu apakah semua ini adalah benar atau tidak. Pelukan Jungkook yang merengkuh dirinya sekarang terasa sangat panas; entah mengapa. Namun aroma kayu cendana bercampur hutan pinus yang menguar dari tubuh Jungkook sungguh membuat Taehyung terlena. Dipeluk oleh Jungkook seperti begini membuat Taehyung merasakan dirinya seakan tengah menginjak tanah hutan yang basah, yang bau setiap kayunya dapat ia hirup dalam-dalam.

Taehyung tidak tahu lagi. Yang ia sekarang tahu pasti, ia tidak ingin melepaskan pelukan Jungkook; lagi.

”... Hah?”

Mew mengernyitkan keningnya setelah mendengar segala kisah yang diceritakan oleh Pawat barusan. “Maksudnya, Lalisa pernah mengaku bahwa orangtuanya adalah pasien test pertama yang diuji-coba oleh penelitian dokter Jennie?”

Pawat mengangguk. “Iya, gue lihat rekaman interogasi dia di salah satu kaset yang ada di tumpukan paling bawah kotak arsip. Bener-bener literally ada di paling bawah, nyampur sama video porno,” jelas Pawat dengan santai. “Emang, ya, kayaknya staf kepresidenan harus ngebenerin susunan pegawai di gudang arsip. Masa' video sepenting itu dibiarin ada di bawah kotaㅡ”

“Lo ngapain ngecek-ngecek kotak yang isinya video porno?”, pertanyaan Mew langsung membuat Pawat tersedak soda yang tengah ia tenggak. Sontak, Pawat terlihat kebingungan harus menjawab apa; panik. “EH! Gue nggak liat video itu, ya, Phi! Cuma kebetulan banget pas gue lagi beres-beresin gudang arsip, gue nemu video itu. Kebetulan banget videonya ada di boks yang nyampur sama kaset video porno! Gue juga nggak tau kenapa ada kaset video porno di gudang arsip!”

Mew terkekeh kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. “Iya. Iya, gue paham. Nggak usah panik,” jawab Mew dengan ringan. Fokus utamanya sekarang bukan di Pawat yang menonton video porno, fokusnya sekarang ada di sosok Lalisa yang berarti adalah anak dari pasien uji-coba hasil penelitian dokter Jennie. “Berarti, Lalisa lahir dari orangtua yang Omegaf kaum hitam?“, tanya Mew, lebih kepada dirinya sendiri.

Pawat mengangkat bahunya. “Mungkin. Sewaktu di video interogasi, Lalisa bilang kalau dia mau melancarkan semua tujuan akhir dari kaum hitam buat menjatuhkan Presiden. Jadi dia tembak Presiden, yang untungnya meleset.”

“Meleset, tapi cuma sepersekian mili dari jantungnya. Bisa dibilang Alpharian beruntung,” sahut Mew. “Kalau Presiden beneran mati ketembak dan kita kehilangan jejak Lalisa, bisa-bisa kita dibunuh beneran sama staf kepresidenan.”

Pawat membalas, “Tapi sumpah, Phi! Gue masih nggak bisa lupa gimana lo sama Phi Joss langsung lari buat ngejer Lalisa waktu itu. Anjiiiir, sumpah! Baru kali ini gue liat ada Alpharian bisa lari sekenceng itu. Emang, sih, kemampuan fisik Pure-Alpharian beda banget. Cuma beberapa saat, itu Lalisa udah ketangkep. Wah, pokoknya.” Tampak jelas bagaimana gurat kagum terpampang di wajah Pawat. Mew hanya tertawa kecil, tidak menganggap berlebihan tentang pujian yang diberi oleh Pawat.

“Lalisa itu... penembak jitu yang handal banget,” ujar Mew kemudian mencolek saus sambal ke french fries miliknya. “Gue nggak tau ada eksistensitas yang bisa nembak targetnya dari jarak sejauh itu.”

Pawat mengangguk. “Gue cuma denegr kabarnya dari pengawal yang udah pada pensiun, sih. Katanya kaum hitam emang hebat dalam pertahan diri. Mereka sedari kecil udah diajarin banyak kemampuan bela diri. Pistol, panahan, katanya sih' mereka jago tentang hal itu.”

“Tapi ya...”, Pawat menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi yang ia duduki. “...sehebat apapun mereka dalam bela diri, mereka tetep aja cuma Omegaf.”

“Nggak akan bisa ngalahin Alpharian,” lanjut Pawat yang dibarengi kekehan kecil. Sementara itu, Mew hanya terdiam sekilas sebelum akhirnya mengangkat suara. “Pawat.”

“Ya, Phi?”

Mew sedikit mencondongkan tubuhnya, menjadikan suasana diantara mereka berdua sedikit lebih serius dibanding sebelumnya. “Kalau Omegaf emang selemah itu dan bakal bisa dikalahin sama Alpharian, terus kenapa pemerintah enggan terima keberadaan male-Omegaf?”

“Kalau Omegaf emang selemah itu, kenapa kita harus khawatir sama keberadaan kaum hitam?”

Pawat terdiam. Seakan tidak perlu mendengar pendapat dari Pawat, Mew kembali melanjutkan kalimatnya. “Karena sebenernya, Alpharian itu nggak lebih dari eksistensitas yang ketakutan tahtanya hilang, Pawat. Sesungguhnya, kita yang lemah dan berpura-pura keliatan kuat.”

“Kita takut sama Omegaf.” “Dan itu, kenyataannya.”

“Metawin, pengawal Presiden. Tim ACE.”

Tay mengujarkan kalimat seraya memasukkan ponsel ke dalam saku kemejanya. “Sudah, tidak usah ditodong pistol begitu terus-terusan, Bright,” lanjut Tay ketika matanya menangkap pemandangan berupa Bright yang masih menodongkan pistolnya ke pelipis lelaki jangkung bernama Metawin. “Toh' dia nggak melawan, bukan ancaman.”

“Tim Ace?”, ulang Bright kemudian menyunggingkan senyum sinis. “Tim Joss Wayar, hah? Si pure-Alpharian tolol yang sok superior?“, tanya Bright seraya mendorong moncong pistolnya ke pelipis Metawin yang hampir babak belur setelah dihajar oleh Bright karena ketahuan menguntit perjalanannya dengan Tay. “Joss memang tolol, tapi aku tidak sangka anggotanya sepayah ini soal menguntit. Sama saja, rupanya. Semua tim Ace tidak punya akal semua.”

Metawin terbatuk sekali karena dadanya terlalu sesak untuk mengambil oksigen. Ketika dirinya ketahuan menguntit, Bright langsung memergokinya dan menghajar tanpa ampun. Metawin bukannya lelaki yang tidak tahu bela diri, ia adalah pemegang sabuk hitam taekwondo namun sosok Bright entah bagaimana seakan menguasai berbagai kemampuan bela diri. Semua serangan dari Metawin dapat ditangkis dengan mudah dan menjadikan si lelaki jangkung berada di pihak yang kalah. Memalukan, tim pengawal terbaik kepresidenan malah tumbang di tangan seorang Betarn.

“Joss yang mengirimmu, hah?” Bright membungkukkan tubuhnya sehingga kini posisinya menjadi berhadapan dengan wajah Metawin yang berdarah di sana-sini. Metawin diam, ia masih berusaha menutup mulut demi keprofesionalan tugas yang diberikan. Bright terkekeh sinis kemudian semakin mendekatkan moncong pistolnya ke pinggir pelipis Metawin. “Tidak mau berbicara, rupanya. Sayang sekali, padahal pistol ini baru kudapatkan dari staff istana Alpharian. Rupanya malah harus kupakai pertama kali untuk menembak kepala dari pengawal Presidennya sendiri. Alpharian,” ucap Bright seraya menarik pelatuk pistol di tangannya, siap untuk melepaskan tembakan. “Metawin, aku kepala detektif. Orang yang bersamaku di belakang adalah dokter tim forensik. Bukankah kau pikir akan sangat mudah untuk memalsukan kematianmu dan membuat alibi bagi kami sendiri agar lepas dari tuduhan pembunuhan?”

Ujaran Bright membuat Metawin gemetar bukan main. Jujur, ia sangat takut. Kalimat Bright bukan terdengar seperti gertak sambal semata. Bright terlihat serius, sekali tarik pelatuk maka kepala Metawin yang jadi taruhannya.

Namun semua gerak Bright ditahan oleh Tay yang menepuk punggung si kepala detektif. “Bright, jangan gegabah. Dia bisa jadi berguna untuk kita,” ujar Tay dengan nada yang teramat tenang. “Dia anggota tim Ace, tim pengawal yang diberi kebebasan untuk mendapat segala akses tentang kepresidenan. Banyak hal yang bisa kita ulik untuk mendapat petunjuk lebih.”

Ujaran Tay segera disahut oleh Metawin. “SIAPA YANG AKAN BERIKAN KALIAN RAHASIㅡ”

BUGH!

Suara pukulan kembali terdengar, kali ini diarahkan ke dada Metawin sehingga lelaki itu tersungkur lemah ke permukaan tanah. Dengan kedua tangan yang diikat ke belakang, ia tidak bisa melawan banyak. Metawin hanya terkulai dan terbatuk-batuk, saking rasa sakit di dadanya terlalu menyerang.

Tay menghampiri Metawin yang masih tersungkur dan merogoh saku celananya, memeriksa setiap barang bawaan yang ia bawa dan menemukan sebuah ponsel. Metawin berusaha merebut kembali ponsel yang sudah dibawa oleh Tay namun apa mau dikata? Tubuhnya kesakitan dan tangannya diikat erat-erat. Ia tidak bisa melakukan apapun lagi.

“Tidak ada alat penyadapnya?”, tanya Bright, memastikan. Tay menggeleng. “Alpharian memang tolol, ya? Mereka tampaknya percaya seratus persen dengan segala tindakan anggotanya. Tsk,” Tay berdecak kemudian membuka semua isi percakapan pesan yang ada di ponsel Metawin. “Kita harus membuat semua orang yang mengenalnya tidak curiga bahwa dia sedang disandera oleh kita,” lanjut Tay dan dibalas dengan anggukan Bright.

“Kau saja yang lakukan, Dok,” ujar Bright. Ia beranjak menghampiri Metawin dan berjongkok di hadapannya yang tengah tersungkur. “Kita harus segera melanjutkan perjalanan kita ke kota tempat tinggal para kaum hitam,” lanjut Bright seraya mengeluarkan sapu tangan dan sebotol obat bius. Isi cairan dari dalam botol dituangkan sedikit dan setelahnya dibekapkan ke wajah Metawin, alhasil si lelaki jangkung itu sudah hilang kesadaran sepenuhnya.

“...Bodoh,” gumam Tay ketika melihat Metawin yang pingsan di atas tanah. “Seharusnya kau bius di dalam mobil, Bright. Kalau begini, kita harus angkat dia. Berat.”

Bright memasang wajah datar kemudian mengangkat bahunya dengan ringan. “Sorry.”

“Tuh, 'kan.”

Tay terkekeh kecil ketika tangannya masih menggilir layar ponsel milik Metawin. Bright yang sedang mengemudikan mobil melirik Tay sekilas, “ada informasi apa?”

Tay mengangkat bahu. “Nggak, sih. Bukan informasi besar. Cuma heran sama pure-Alpharian yang idiotnya 'tuh kebangetan. Mereka bertengkar gara-gara perbedaan pendapat soal kasus penelitian dokter Jennie Kim,” jawab Tay sambil membuka isi pesan lainnya yang ada di kotak masuk ponsel Metawin. “Joss nyuruh dokumennya dihilangin.”

“Tolol,” ujar Bright singkat. “Untung tim detektif udah punya kopiannya,” lanjutnya dan dibalas oleh tawa Tay. “Serius? Tim forensik juga punya. Kami masuk ke ruang arsip penyimpanan dokumen sewaktu semua tim pengawal lagi pesta.”

Bright mendengus geli. “Emang Alpharian itu semuanya nggak punya otak. Mereka cuma bangga sama garis darah keturunan mereka dan ngerasa puas sama badan yang kekar. Tanpa mereka tau bahwa semua nggak ada gunanya kalau nggak pakai otak,” ucap Bright yang dibalas dengan anggukan dari Tay. “Semestinya Betarn yang kuasain semuanya. Kita lebih punya otak, kita lebih waras. Bukannya malah Alpharian tolol itu yang jalanin pemerintahan.”

Tay hanya menggumam untuk membalas perkataan Bright barusan. Jemari Tay kini beralih menggulir opsi pada layar, yang semula ada di kotak masuk pesan kini ke koleksi galeri. “Kau sebegitu bencinya ke Alpharian, ya?“, tanya Tay singkat.

Genggaman tangan Bright pada setir kemudi menjadi semakin erat dibanding sebelumnya. Tampak sekali bahwa ia tengah mengatur emosinya yang seperti akan meledak dengan segera. “Alpharian sudah mengambil nyawa adikku. Kami tinggal terpisah tanpa orangtua dan hanya memiliki satu sama lain, lalu dengan seenaknyaㅡ Alpharian yang tidak dikenal membunuhnya dengan tusukan membabi buta. Tanpa alasan, yang sampai sekarang belum pernah aku ketahui penyebabnya.”

“Alasan itu sudah cukup 'kan untuk membenci Alpharian?“, ucap Bright dengan suara berat; tanpa menolehkan kepalanya kepada Tay yang berhenti menggulirkan jemarinya di layar ponsel. Tatapan Tay terlihat sangat terkejut, namun dengan segera ia menutupi ekspresinya sebisa mungkin agar Bright tidak curiga dengan apa yang barusan ia lihat.

“Udah? Nggak ada informasi apapun lagi?”, tanya Bright tanpa mengalihkan pandangan dari jalan raya tatkala melihat Tay memasukkan ponsel Metawin ke saku kemeja dari ujung lirikan matanya. “Coba lihat galerinya, bisa jadi ada hal yang kasih kita petunjuk baru.”

“Nggak ada apa-apa,” jawab Tay. Ia sendiri merasa nada suaranya terdengar gugup; sebisa mungkin, ia menutupinya dengan berbicara menggunakan nada wajar walaupun malah berakhir kaku. “Lagian dia cuma anggota bawah dari Joss. Aku lihat perbincangan dia sama Joss cuma begitu-begitu aja. Nggak ada yang berarti.”

Bright mengangguk kecil, memahami perkataan Tay barusan. “Ya sudah, 'toh tujuan kita sekarang lebih penting. Kita harus segera ke desa yang diduga dihuni kaum hitam dan mencari tau apa ada male-Omegaf di sana,” sahutnya dan menginjak pedal gas dengan lebih dalam. Mobil yang mereka kendarai kini melaju dengan lebih kencang; membawa Bright, Tay, dan Metawin yang tengah tertidur lelap di bangku belakang membelah jalan raya yang sepi.

“Bright,” panggil Tay dan dibalas dengan gumaman kecil dari si pengemudi mobil. “Kalau tidak salah, adikmu ituㅡ laki-laki, 'kan?”

“Iya.” “Dia adik kembarku.” “Namanya Sarawat.”

Tay meneguk ludah, gugup. Mayday.

“Jeon Jungkook.” “Pure-Alpharian.”

Seorang lelaki berambut hitam dengan tatanan yang agak berantakan itu masih menaikkan posisi kakinya ke atas meja milik kepala kepolisian pusat Thailand. Wajahnya bukan terlihat seperti dialiri darah Asia Tenggara, matanya agak sipit dan kulitnya lebih putih dibandingkan para polisi bertubuh tegap yang ikut berjaga di ruang kepala kepolisian saat ini.

Lelaki itu Jeon Jungkook. Pure-Alpharian yang disegani oleh banyak Alpharian lainnya. Sang Ayah adalah kepala kepolisian Korea Selatan sementara lebih dari separuh keluarganya menjabat sebagai petinggi pemerintahan. Bagi seorang Jeon Jungkook, duduk berhadapan dengan seorang kepala kepolisian Thailand bukanlah hal yang harus membuatnya bersikap sopan.

Can you help us find her? She's a threat. She got all the information about Male-Omegaf. If we can't find her as soon as possible, Male Omegaf will born. Uncontrolable”, ujar si kepala kepolisian seraya menyodorkan selembar foto dari seorang gadis. Jungkook melirik sekilas sebelum akhirnya tertawa kecil dan bangkit dari bangkunya dalam satu hitungan.

Seruan sang kepala kepolisian yang menyuruh Jungkook untuk berhenti seakan tidak diindahkan oleh si lelaki. Langkah Jungkook masih terarah ke pintu ruangan sang kepala, hingga akhirnya tatkala kenop pintu sudah dalam genggaman barulah Jungkook mengalihkan pandangannya kepada si lawan bicara. “No need to worry, sir. I'll find her,” ujar Jungkook seraya menyunggingkan senyum tipis.

Kenop pintu diputar, Jungkook kini sudah berjalan diantara kesibukan para personel kepolisian yang dibuat repot karena menghilangnya Jennie Kim dengan segala informasinya tentang Male-Omegaf.

Di tengah langkahnya, Jungkook mengeluarkan pisau lipat dari dalam saku dan memainkannya di tangan dengan teramat lihai. Dengan senyum tipis yang serupa seperti sebelumnya, Jungkook berujar dengan suara yang sangat perlahan. “Bahkan kalau perlu...”

“...aku bisa langsung membunuhnya.”

Jennie memilih Thailand sebagai pelariannya. Di tahun 1989, Thailand adalah negara yang sangat terbuka terhadap kedatangan para Betarn. Siapapun Betarn dipersilahkan untuk datang, bahkan untuk berkerja di bawah naungan pemerintahan sangatlah disambut dengan tangan terbuka.

Kerjasama antara Alpharian dan Betarn sangatlah kental di tanah Thailand. Alpharian yang memiliki dominasi kekuatan seakan disokong oleh hal paling mutakhir dari yang dimiliki para Betarn; yaitu kekuatan akal.

Betarn sangat cerdas, Alpharian sangat kuat. Sudah, semua membentuk sebuah kesatuan yang tidak akan bisa dihancurkan oleh komponen apapun.

Maka kedatangan Jennie sebagai Betarn dengan kemampuan akademis yang memukau menjadikan ia disambut dengan hangat di Thailand. Semua tingkatan pemerintah menawarkannya berbagai fasilitas agar ia bisa melakukan berbagai penelitian agar membuat Alpharian semakin kuat. Ya, memang begituㅡ walaupun Betarn dianggap cerdas namun mereka tidak ubah seperti kerbau yang dicocok hidungnya.

Mereka harus menuruti setiap perintah Alpharian. Tidak ada yang boleh dilawan.

Akan tetapi semenjak awal, Jennie memiliki niat berbeda. Ia datang ke Thailand untuk menyelesaikan penelitiannya tentang kandungan darah yang dimiliki Taehyung. Ia harus mencari inti zat yang membedakan ia dengan golongan yang lain sehingga menjadikannya Male-Omegaf yang sangat jarang ditemukan. Jennie akan meneliti dan menemukan paduan zatnya agar ia bisa menyebarkan kandungan darah Taehyung ke para induk Omegaf lainnya.

Agar keberadaan Male-Omegaf tidak hanya satu-dua. Agar para induk Omegaf tidak hanya menjadi korban pelampiasan nafsu para Alpharian. Agar seperti yang Taehyung pernah katakan kepadanya, supaya Omegaf bisa mencinta dengan bebas. Tidak harus terkungkung hierarki yang ada, bahwa mereka hanya boleh menerima tanpa bisa memilih.

Jennie bertekad, di tanah Thailand ini dia akan menyelesaikan semua yang pernah Taehyung impi-impikan.

Demi Taehyung. Demi cinta pertamanya.

Jennie memilih Thailand sebagai pelariannya. Di tahun 1989, Thailand adalah negara yang sangat terbuka terhadap kedatangan para Betarn. Siapapun Betarn dipersilahkan untuk datang, bahkan untuk berkerja di bawah naungan pemerintahan sangatlah disambut dengan tangan terbuka.

Kerjasama antara Alpharian dan Betarn sangatlah kental di tanah Thailand. Alpharian yang memiliki dominasi kekuatan seakan disokong oleh hal paling mutakhir dari yang dimiliki para Betarn; yaitu kekuatan akal.

Betarn sangat cerdas, Alpharian sangat kuat. Sudah, semua membentuk sebuah kesatuan yang tidak akan bisa dihancurkan oleh komponen apapun.

Maka kedatangan Jennie sebagai Betarn dengan kemampuan akademis yang memukau menjadikan ia disambut dengan hangat di Thailand. Semua tingkatan pemerintah menawarkannya berbagai fasilitas agar ia bisa melakukan berbagai penelitian agar membuat Alpharian semakin kuat. Ya, memang begituㅡ walaupun Betarn dianggap cerdas namun mereka tidak ubah seperti kerbau yang dicocok hidungnya.

Mereka harus menuruti setiap perintah Alpharian. Tidak ada yang boleh dilawan.

“Mereka mau membunuhku.” “Mereka bilang, male-Omegaf adalah ancaman.”

Jennie membiarkan Taehyung berbaring di sofa kediamannya sementara tangannya tengah menyeka darah yang sudah hampir mengering di pelipis si lelaki. Beberapa kali Taehyung meringis, saking merasa terlalu sakit dan perih. “Lalu, Jungkook hanya diam?”, tanya Jennie seraya mengambil kapas pembersih lukanya yang entah-sudah-keberapa.

Taehyung mengangguk kecil, “Aku yakin dia berlaku begitu karena tidak mau melawan perintah orangtuanya. Ini salahku juga, sih. Semestinya ketika diusir, aku tinggal pergi saja tapi aku malah bersikeras untuk tinggal jadi ya...”, Taehyung terkekeh kecil, “wajar kalau aku dihajar begini.”

Tidak ada yang wajar, Taehyung-ah!

Ingin sekali Jennie berujar demikian namun bibirnya hanya bisa mengulas senyum tanpa memberi kalimat apapun. Kelu, seperti beku. Pada akhirnya, Jennie menyelesaikan tugasnya untuk membersihkan luka di tubuh dan wajah Taehyung tanpa sepatah kata apapun. Pikirannya dan pikiran Taehyung sama-sama berkelana, membayangkan hal yang menjadi mimpi mereka masing-masing.

Taehyung memimpikan Jungkook. Jennie memimpikan Taehyung. Apalagi yang lebih tragis dibanding ini?

All done,” ujar Jennie seraya merapikan isi kotak obatnya seperti semula. Taehyung melirik sekilas sebelum akhirnya menyunggingkan senyum tipis kepada si gadis. “Thanks,” ucapnya yang dibalas dengan anggukan kecil dari Jennie.

“Kamu mendingan tidur aja di sini. Kondisi kamu nggak baik buat pulang ke rumah,” tawar Jennie yang kemudian diiyakan oleh Taehyung tanpa banyak bicara. Begitupun dengan Jennie yang lebih memilih untuk kembali ke kamar tidurnya, tidak ingin berbincang lebih panjang dengan Taehyung.

Jennie tidak ingin menatapi mata Taehyung karena tanpa perlu ditelaah lebih jauh, ia sudah bisa menangkap pandangan yang kosong. Mata Taehyung memang tengah menatapinya, namun semua pikirannya tertuju ke Jungkook.

Semua, semenyakitkan itu.

Jennie baru saja akan terlelap ketika suara ketukan terdengar di daun pintu rumahnya. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, bukan waktu yang wajar bagi seseorang untuk bertamu. Dengan langkah sedikit ketakutan dan tongkat baseball di tangannya, Jennie beranjak menuju pintu rumah kediamannya.

Hal yang selanjutnya ia lihat dari lubang pengintip adalah Taehyung yang babak belur dan tubuh yang gemetar bukan main. Merasa sangat terkejut, Jennie segera membukakan pintu rumah dan detik setelahnya, tubuh Taehyung jatuh begitu saja di lantai.

Taehyung, berada dalam kondisi yang sangat parah.