“Kayaknya kita lebih baik break dulu.“
Pusing.
Mual.
Padahal Ohm baru saja membuka mata dari tidurnya yang tidak nyenyak. Namun alih-alih rasa kantuk yang sewajarnya kembali menyerang, hal pertama yang muncul di pikirannya adalah sosok lelaki yang sebulan lalu baru saja meminta waktu untuk berjalan masing-masing, Nanon.
“Break?”
“Iya.“
“Buat perbaikin diri.“
“Kita berdua.“
Langit-langit kamar terasa sangat jauh di pandangan Ohm saat ini. Aneh, padahal langit-langit kamarnya hanya setinggi tiga setengah meter. Semestinya tidak sebegini jauhnya.
Tangan kanan Ohm terangkat ke atas, meraba udara di kamar tidurnya. Membuat gerakan seperti tengah menggenggam sesuatu yang pasti nihil. Yang bisa digenggam olehnya di sana hanya ruang hampa. Kosong.
“Apa nggak bisa kalau nggak begini? Jangan keputusan ini. Terlalu berat.“
“Ohm.“
“Ini cuma break.“
“Kalau memang kamu jodohnya ada di aku, pasti kita balik lagi.“
Ohm percaya.
Tanpa harus dipaksa oleh siapapun, Ohm percaya bahwa akhir dari segala perjalanan takdirnya akan berhenti di Nanon.
Maka ketika Nanon berkata demikian, Ohm percaya. Menganggap bahwa break yang dimaksud oleh si kesayangan hanyalah sekedar pengalihan dari ego keduanya yang terkadang muncul tanpa permisi.
Maka ketika Nanon berkata demikian, Ohm menganggukkan kepala dan tersenyum getir, mempercayai pemikirannya yang bahkan sudah menggambarkan adegan ketika mereka berdua akan kembali bertemu dengan senyum bahagia. Saling meminta maaf atas keegoisan masing-masing. Saling berbagi peluk dan merengkuh erat.
Ohm percaya.
Sangat, percaya.
Biarpun, yahㅡ sulit dan memalukan untuk diakui bahwa pada hari ketika Nanon meminta break adalah hari dimana seorang Ohm Pawat mabuk berat dan menangis seperti anak kecil di rumah kerabat dekatnya, Chimon.
Situasinya seperti apa?
Ah, itu ..
“PAWAT GAMO PISAH MA NANOON. HUWAAA. CIMOOON.”
“Nggak pake meperin ingus lo ke seprai kasur gue, Pawat!”
“CIMOOOOONNN.”
“Nggak pake sedot ingus lo pake jaket gue, Pawaaat!”
“MO KETEMU NANOONN.”
“GAMO PICAAAAH.”
“MAMAAAAAA.”
Ya, begitulah.
Yang bisa Ohm ingat, hari itu dirinya diusir oleh Chimon karena terlalu berisik dan berakhir diantar ke apartemen oleh kerabatnya yang lain, Singto.
Ketika diantar oleh Singto, situasinya juga tidak membaik. Di dalam mobil, Ohm tidak berhenti menangis. Singto juga tidak pandai menghibur si yang sedang patah hati. Bayangkan, bukannya memberi kalimat penyemangatㅡ Singto malah menyalakan pemutar musik di dalam mobilnya dan memutar satu lagu : Cinta Pertama, milik Bunga Citra Lestari.
“NANON.”
“NANON.”
Ini nyanyian Singto.
“MELIHATMU,
MENYENTUHMU,
ITU YANG KUMAU.”
Masih nyanyian Singto.
“KAU TAK SEMPAT
TANYAKAN AKU ..”
Masih, kok. Singto.
“CINTAKAH AKU
PADAMUUUUU?“
Ini baru Ohm.
“MANA NANON?
MANA NANONKU?“
Skip. Skip.
Semua yang terjadi hari itu terlalu memalukan. Belum lagi ada kejadian dimana Ohm muntah di dalam mobil milik Singto. Ah, sudahlah. Terlalu menjijikkan untuk sekedar diingat.
Lampu yang terpasang di langit-langit kamar terasa berbeda dari biasanya. Entah apakah pengelihatan Ohm yang mulai memburuk atau memang lampu di kamarnya sudah meredup dan akan segera matㅡ
pats!
Oh, mati.
Lihat. Bahkan lampu kamarnya pun seakan enggan memberi pencerahan untuk si lelaki yang tengah dirundung patah hati ini.
Ohm tidak segera bergerak untuk bangkit. Badannya terasa berat, bahkan untuk sekedar bangun pun iaㅡ malas. Beruntung, memang, ini hari Minggu. Jika saja hari ini adalah hari libur, mungkin sepanjang jam kuliahnya Ohm akan merengut dan tidak bersemangat.
“Hhhㅡ”
Lengan kanan Ohm kini menutupi matanya. Terpejam, namun tidak tidur. “ㅡbahkan gue telfon pun, nggak lo angkat.”
Layar ponsel yang tergeletak begitu saja di samping Ohm, mati. Tidak menyala. Namun bukan karena baterainya habis, Ohm tidak akan membiarkannya begitu.
Sebisa mungkin, Ohm tidak membiarkan ponselnya kehabisan baterai. Karena apa, tanyamu? Karena ia takut Nanon menghubunginya di saat ponselnya kehabisan baterai. Maka dari itu, sebisa mungkinㅡ Ohm selalu membiarkan ponselnya menyala.
Walaupun apa yang ia harapkan berbanding terbalik dengan kenyataan yang ada. Nanon tidak pernah menghubunginya, sekalipun dalam sebulan iniㅡ tidak pernah.
Sibuk? Mungkin.
Tidak. Sesungguhnya kemungkinan itu tidak ada, hanya saja Ohm selalu menghipnotis pikirannya agar mempercayai hal itu. Bahwa Nanon tengah sibuk dengan kegiatannya. Bahwa ia terlalu lelah untuk bahkan mengirimkan pesan balasan kepada Ohm, atau sekedar mengangkat telefon darinya.
Nanon sedang sibuk.
Pasti, begitu.
Setelah menarik nafas dalam-dalam, Ohm menyingkirkan lengannya yang menutupi pandangan. Matanya tidak lagi terpejam, ia menatap langit-langit selama beberapa detik sebelum akhirnya mencoba untuk bangkit dari posisi berbaringnya.
Lapar.
Orang patah hati,
juga tetap butuh makan.
Diraihnya jaket hitam yang tergantung di dinding sebelum menyadari bahwa jaket itu adalah hadiah pemberian dari Nanon di hari ulang tahunnya setahun lalu.
Ragu sempat merajai benak sebelum akhirnya Ohm memutuskan untuk memakai hoodie pemberian orangtuanya saja.
Lebih baik begitu, daripada menangis lagi selama perjalanannya ke supermarket, coba?
Memalukan.
╱
╱
Entah apa yang Ohm pikirkan ketika melihat jejeran susu kotak coklat di etalase pendingin supermarket dekat kediamannya.
Sedih? Sedikit.
Senang? Mungkin.
Rindu? Sangat.
Bukan apa-apa, Nanon sangat menyukai susu coklat.
Jika mereka tengah berbelanja berdua untuk keperluan di rumah Ohm, Nanon pasti akan berjalan beriringan di samping Ohm seraya menyesapi isi dari susu kotak coklatnya. Padahal belum dibayar di kasir. Namun, mana bisa Ohm memarahinya jika senyum kekasihnya itu terlihat lebih manis dari segala perisa di dunia?
Ohm sedikit ragu. Dalam otaknya kini berputar segala rencana yang tidak sanggup ia wujudkan. Satu diantaranya, apakah akan lebih baik jika ia membeli banyak susu kotak coklat ini dan membawakannya untuk Nanon? Ah, membayangkan akan sebagaimana senangnya ia saja sudah membuat Ohm kegirangan.
Namun, apa Nanon tidak akan marah? Lelaki itu bilang butuh waktu untuk memperbaiki dirinya. Waktu untuk saling melakukan intropeksi. Jika tiba-tiba Ohm mendatangi tempatnya, bukankah itu artinya ia melanggar janji?
Bukankah Nanon akan marah? Tidakkah akan begitㅡ
Jangan jadi pengecut.
Kalau bukan sekarang, kapan lagi?
Benar. Kapan lagi jika bukan sekarang? Akhirnya dengan berpegang pada tekad yang muncul tiba-tiba, Ohm bergerak menghampiri etalase pendingin dan mengulurkan tangannya untuk meraih kotak susu coklat yang terpajang di sana.
Akan tetapi, ada tangan lain yang berniat meraih kotak susu yang sama dengan yang dituju oleh Ohm. “Oh, sorry!”
Suara itu tidak asing.
Sangat familiar.
Cepat, Ohm mengangkat kepalanya dan menoleh ke arah samping. Benar saja, wajah yang sangat dirindukan olehnya ada di sana.
Tangan itu,
wajah itu,
milik Nanon.
Saking terkejutnya, Ohm tidak mampu mengucapkan apapun. Bibirnya kelu, sangat.
“Ohm...”
Bibirnya memang kelu, namun syarafnya berkerja lebih baik dari semua organ yang ada. Ohm segera merengkuh tubuh Nanon ke dalam peluknya, erat. Seakan tidak ingin melepaskan barang sedetikpun.
“Hei.”
“Hei, Ohm.”
“Ohm. Jangan begini.”
Ohm seakan tuli. Ucapan Nanon sama sekali tidak didengar olehnya. Dekapannya masih erat, walaupun Ohm merasakan lelaki di dalam pelukan ini seakan mendorong tubuhnya untuk menjauh.
“Kangen.”
“Nggak bohong.”
“Aku serius. Kangen banget.”
Sekelebat, indera penciuman Ohm dapat menangkap wangi sabun dan shampoo yang selalu digunakan Nanon. Manis. Lelaki ini masih sama, bahkan wanginya pun tidak pernah berbeda. Membuat Ohm selalu ingin menghirupnya dalam-dalam, tidak ada puasnya.
“Kamu ke mana aja?”
“Aku telfonin terus.”
“Aku chat terus.”
“Kenapa nggak dijawab?”
“Kamu baik-baik aja?”
“Nggak sakit, 'kan?”
“Masih sering sakit kaki, nggaㅡ”
“Nanon.“
Di tengah pertanyaan yang dicecar oleh Ohm, suara itu seakan menyela dan memaksa untuk masuk.
Bukan.
Bukan suara Nanon.
Ada perempuan yang tidak dikenali olehnya. Manis, juga cantik. Dia siapㅡ
“Puimek!”
Tubuh Ohm yang masih merengkuh Nanon di dekapannya kini didorong paksa. Terpisah, atas paksaan. Tubuh Ohm seakan kaku untuk sesaat. Syarafnya seperti tidak berfungsi tatkala melihat Nanon yang panik, ketakutan.
Entah karena apa.
Apa karena perempuan itu?
“Udah beli semuanya?”
Nanon membalikkan tubuhnya, membelakangi Ohm dan berjalan menuju si perempuan yang barusan dipanggil Puimek olehnya. Senyuman Nanon, manis. Sama seperti senyum yang biasanya ia perlihatkan kepada Ohm.
Tapi kenapa sekarang malah diperlihatkan untuk perempuan itu?
Puimek, masih berdiri di tempat kemudian segera merangkul lengan Nanon ketika lelaki itu menghampirinya. Mereka tersenyum, seperti tidak menyadari ada pemilik hati yang tengah terkoyak ketika melihat pemandangan itu.
“Siapa?”, tanya Puimek seraya melayangkan pandangan ke arah Ohm yang masih berdiri dengan tatapan kosong. Nanon menoleh ke belakang, sempat terdiam sejenak ketika memandangi Ohm di sana.
Jawab, Nanon.
Kekasih.
Jawab!
“Temen.”
“Temen lama.”
“Kebetulan ketemu.”
Oh.
Teman.
Teman lama, pula.
Puimek yang mendengar ucapan Nanon mengangguk-angguk kecil kemudian melemparkan senyum ke arah Ohm. Seperti tidak menaruh curiga sama sekali dan menganggap Ohm hanya kawan Nanon. “Halo,” sapa perempuan manis itu kepada Ohm. “Puimek.”
“Pacar Nanon.”
Tidak.
Ohm tidak merasa hatinya remuk, sekarang. Tidak juga merasa kepalanya panas hingga ingin meledak. Tidak. Sama sekali tidak.
Sumpah demi apapun.
Ohm ingin tertawa.
Menertawakan segalanya.
Nanon?
Dia diam. Berdiri di samping Puimek dengan tangan yang dirangkul erat oleh gadis itu.
“Halo.”
Akhirnya Ohm bisa membuka suara. Senyum tipis terulas di bibir. Bukan senyum getir, kini senyum Ohmㅡ terlalu sulit untuk disimpulkan apa artinya. Hanya sudut bibir yang terangkat, terlihat sinis.
“Ohm.” Ujarnya singkat sebelum akhirnya menambahkan, “temen lamanya Nanon.”
Puimek mengangguk, paham. Senyumnya terpampang lebar, sepertinya merasa senang karena bisa kenal dengan salah satu kawan kekasihnya. “Kayaknya kalian deket, ya? Sampai pelukan begitu?”
Ohm terdiam untuk beberapa detik, begitupun Nanon. Dari ujung matanya, Ohm dapat menangkap gelagat lelaki itu. Seperti ketakutan, takut ketahuan.
Bodoh.
“Iya,” jawab Ohm. “Deket, banget. Dulu.” Kalimat Ohm sempat menggantung sejenak sebelum akhirnya kembali dilanjutkan. “Mulai pacaran dari kapan?”
Jangan bilang.
Jangan bilangㅡ
“Sebulan lalu.”
Oh.
Semua sudah jelas.
Terlalu sangat jelas, malah.
“Ah.” Ohm menggumam sebelum kembali menyunggingkan senyumannya. “Yang langgeng, ya?”
“Thanks.” Balas Puimek, seakan tidak menangkap ada yang aneh dari ujaran lelaki yang baru dikenalinya barusan ini.
Tidak ada rasa sakit hati yang Ohm rasakan sekarang. Ataukah rasa sakitnya sudah teramat sangat parah sampai hatinya mati rasa seperti ini?
Entahlah.
Ia, pusing.
“Sorry ganggu. Gue cuma kaget bisa ketemu pacar lo di sini.” Ohm perlahan menghampiri Puimek kemudian menepuki bahunya, terlihat akrab. “Gue titip pesan ajaㅡ”
“ㅡjangan biarin Nanon lepas dari jarak pandang lo. Dia bisa kabur begitu aja dan susah buat lo kejer lagi.”
“Ilang.”
“Dan bersikap kayak nggak pernah terjadi apa-apa.”
Bukannya Ohm tidak dapat menangkap tatapan heran dan alis yang bertaut dari Puimek ketika mendengar kalimat yang barusan ia ucapkan. Namun, sudahlah.
Tatapan Ohm teralih dari Puimek ke Nanon yang masih menunduk. Menolak bertatapan dengan Ohm. “Gue balik, ya. Sorry, tadi gue asal main peluk. Kaget. Nggak nyangka ..”
“.. bisa ketemu temen lama di sini.”
Sudah.
Sudahlah.
Lupakan. Biarkan.
Biarkan Nanon bermain dengan perempuan ini. Biarkan Nanon puas dengan cerita dan kekasih barunya. Biarkan, biarkan saja begitu.
Setidaknya, kali ini Ohm paham bahwa ada yang pergi dan tidak akan pernah kembali lagi.
Nanon.
END