dontlockhimup

Incheon, Korea Selatan. 1988 ㅡ Januari, 12.

“Lepaskan saja. Dia cuma Betarn.”

Gadis berambut panjang hitam itu masih meringkuk di atas trotoar yang basah, tubuhnya gemetar bukan main. Tangannya menutupi bagian dada, entahㅡ padahal tidak ada yang tengah memukulinya atau apa.

Ah, memang tidak ada yang akan memukuli. Namun hingga dengan barusan, ada tiga lelaki Alpharian yang mengerumuni si gadis dan menariki baju kenaannya hingga terbuka di bagian dada. Tubuh bagian atasnya terekspos, membuat ia ketakutan setengah mati apalagi ditambah suara tawa ketiga lelaki Alpharian yang semakin gencar menggerayangi tubuhnya. Gadis itu ingin berteriak, ia ingin mengatakan bahwa ia hanya Betarn yang tidak semestinya dimangsa oleh para Alpharian, namun bibirnya kelu. Jangankan untuk berteriak, gadis itu hanya bisa membuka mulutnya tanpa bisa menyuarakan apapun.

Ia, sangat ketakutan.

Hingga akhirnya suara seorang lelaki membelah suara tawa ketiga Alpharian. Si gadis mengangkat pandangannya untuk mengetahui siapa si lelaki yang barusan bersuara, akan tetapi tidak terlihat jelas karena penerangan di sekitar sini yang terlalu temaram.

“Coba cium saja aroma di lehernya, kalau tidak percaya. Dia Betarn, bahkan sekali lihat pun aku tahu dia tidak akan memiliki aroma apapun. Kalian terlalu mabuk, sih, sampai bisanya cuma main serang.”

Karena suara lelaki itu, ketiga Alpharian yang mengelilingi si gadis kini terlihat menatapi sosok di hadapan mereka. Salah satu dari ketiganya mencondongkan tubuh, menghirup aroma tubuh si gadis di dekat leher. Ugh, dari jarak sedekat ini si gadis baru menyadari bau alkhohol yang menyeruak dari tubuh ketiga lelaki itu. Mereka mabuk berat.

“Sialan, cuma Betarn,” ujar si lelaki yang barusan menghirup aroma tubuh si gadis. Sontak kedua lelaki yang lainnya segera menggerutu dan meninggalkan gadis itu begitu saja di trotoar. Langkah ketiganya terhuyung-huyung, persis orang tak sadarkan diri karena terlalu mabuk.

Si gadis masih meringkuk dengan tubuh yang sangat gemetar. Sebisa mungkin, ia berusaha menutupi dadanya yang terekspos jelas. Walaupun tampaknya tidak begitu signifikan karena bajunya sudah robek dengan lubang yang cukup besar sehingga ia tidak memiliki jalan lain selain menutupi bagian dadanya dengan tangan sendiri.

Gadis itu tahu, semestinya ia mengucapkan terima kasih karena sudah menyelamatkan nyawa serta mungkin keperawanannya. Namun rasa malu karena dadanya itu terus menyerang, ia tidak tahu harus melakukan apa lagi sekaranㅡ

“Ini... pakai...”

Yang saat ini si gadis lihat adalah sebelah tangan lelaki itu tengah menyodorkan jaket lumayan tebal sementara sebelah tangannya yang lain menutupi matanya erat-erat. Seperti enggan untuk mengambil keuntungan dengan mengintip keindahan tubuh si gadis yang terekspos jelas. “Ambil, cepat pakai...”

Si lelaki asing itu mengulangi ucapan dan semakin menjulurkan tangannya lebih panjang karena sodoran jaketnya tidak kunjung diterima. Merasa bahwa tawaran dari lelaki itu adalah tulus, si gadis segera menerima sodoran jaket dan mengenakannya cepat-cepat. Syukurlah, ia sudah terlihat wajar walaupun sekarang jubah putihnya kebanggaannya kotor bukan main karena terjatuh ke genangan air hujan di trotoar.

“Anda... dokter?”, tanya lelaki itu dengan suara yang agak sedikit pelan, tampak sangat berhati-hati ketika menyuarakan pertanyaannya. Si gadis mengangguk. “Saya dokter baru di Rumah Sakit Incheon dan sialnya... hari pertama saya malah disambut dengan tidak begitu ramah,” jawabnya seraya menepuki jubah putihnya beberapa kali, berharap bercak kotor yang menempel di sana bisa sedikit berkurang walaupun ia tahu bahwa itu sangat mustahil.

“Ah, ya ampun. Saya sampai lupa. Terima kasih banyak sudah membantu saya, Tuanㅡ”, si gadis menggantungkan kalimatnya. Kebingungan harus memanggil lelaki di hadapannya ini dengan nama yang bagaimana. “Maaf, nama anㅡ”

“Taehyung. Kim Taehyung,” ujar si lelaki seraya mengulurkan tangan kanannya; tampak sangat ramah sehingga tak urung membuat si gadis membalas uluran tangannya dengan segera. “Lalu anda? Nonaㅡ”

“Jennie. Margaku di Korea 'sih Kim tapi di Amerika sanaㅡ orang-orang biasa memanggilku Ruby. Jennie Ruby,” jawab si gadis dengan senyum yang sangat manis. Taehyung mengangguk kecil, kemudian menyunggingkan senyum yang sama. Namun senyuman Taehyung membuatnya terlihat tampan, bahkan hingga membuat dada Jennie berdegup tidak karuan.

“Salam kenal, Nona Jennie.”

Mungkin itu awal dari segala petaka. Semestinya, Jennie tahuㅡ bahwa Korea tidak akan pernah baik kepadanya. Dahulu, Ayahnya pergi meninggalkan keluarga mereka di Amerika demi wanita Korea yang mendambakan kekayaan sang Ayah. Lalu di hari pertama ia datang ke Rumah Sakit untuk mendedikasikan ilmu kedokterannya, dirinya sudah dilecehkan oleh tiga Alpharian yang menganggapnya Omegaf. Semestinya Jennie menyadari bahwa tidak akan ada hal yang baik dari Korea untuknya.

Bahkan tidak dengan seorang Kim Taehyung sekalipun.

“Lalisa Manoban?”

Mew membolak-balikkan lembaran kertas di tangannya dengan sedikit berantakan, bahkan paper-clip yang terpasang di pinggiran kertas kini sudah hampir terlepas saking Mew sangat terlihat tak sabar membaca segala informasi yang ia dapatkan dari Pawat.

Sementara Pawat? Ia tengah memakan ayam goreng McDonalds dengan lahap. Tampak sangat kelaparan seperti orang yang tidak diberi makan berhari-hari. “Phi, lo bisa kali bolak-balikin kertasnya agak pelan? Gue udah janji balikin dokumennya dengan kondisi rapi. Kalau lo bolak-balikin kayak kertas gorengan, bisa-bisa gue yang dikuliti massal,” ujar Pawat dengan mulut agak penuh dengan kunyahan ayam goreng. Mew memandang Pawat sedikit jijik, juniornya itu memang terlalu cuek dengan segala sesuatunya.

“Jadi...”, Mew memasukkan kembali berkas yang barusan ia lihat ke dalam amplop coklat yang dibawa oleh Pawat. “...lo ngasih dokumen penting begini di McDonalds, di tengah Alpharian dan Betran lain yang lagi pada makan?”

Memang, suasana McDonalds malam ini cukup ramai. Aroma dari berbagai Alpharian saling bercampur, membuat Mew sendiri merasa kurang nyaman karena hidungnya terlalu sensitif. Sementara Pawat seakan sangat terbiasa, ia malah semakin lahap memakan hamburger yang ia pesan sedari awal berbarengan dengan ayam goreng.

Phi,” ujar Pawat seraya menyeka saus tomat yang berantakan di ujung bibirnya dengan punggung tangan. “Semakin kita berada di ruang publik yang ramai, semakin orang-orang nggak akan curiga sama kita. Lagian ini rahasia, top secret, nggak sembarangan orang bisa liat! Gue dapet informasi tentang dia pun setelah gue acak-acak semua dokumen dari ujung sampai ke ujung lagi.”

Tidak masuk akal. Sungguh, Mew tidak habis pikir dengan cara berpikir Pawat. Jika informasi ini rahasia besar, mengapa dia bisa sebebas ini membawa dokumen keluar markas? Lalu masih menyempatkan diri untuk makan ayam goreng dan hamburger, pula?!

“Kayaknya lo mending bawa balik ini dokumen segera, deh. Gue takut lo kenapa-kenapa kalau ketauan bawa informasi ini keluar markaㅡ”

Sorry to say tapi golongan lo itu bego semua, Phi. Mereka nggak akan peduli kalau dokumen yang gue bawa keluar ini adalah top secret karena ya...“, Pawat membuat gerakan melingkar dengan jari telunjuknya di pinggiran pelipis. Ia membuat isyarat; gila. “...jujur-jujuran aja, pure-Alpharian nggak lebih bagus daripada Alpharian biasa.”

“Jadi lo nggak usah khawatir, dokumen ini aman gue bawa keluar. Asalkan nggak lo bolak-balikin lagi dengan kasar kayak tukang gorengan lagi bungkusin dagangannya aja,” ujar Pawat seraya menyeka minyak yang menempel di jemarinya dengan tisu yang tersedia di atas nampan saji. “By the way, no hard feeling nih, ya, gara-gara gue ngomong jujur soal golongan lo.”

Mew tertawa kecil kemudian menggelengkan kepala sebelum akhirnya menyesap minuman soda miliknya sendiri. “Nggak, sih. Gue santai-santai aja. Emang kenyataannya nggak ada yang bisa dibanggain secara berlebih tentang pure-Alpharian selain darahnya doang. Secara otak, kami kalah sama dom-Alpharian kayak lo dan Mild. Sementara dari kemampuan strategi di bidang apapun, golongan gue kalah sama sub-Alpharian kayak Win. Makanya keluarga Win kaya banget, 'kan? Ya, karena bokapnya pinter banget bikin strategi marketing.”

Indeed, diantara banyak pure-Alpharian yang gue kenal kayaknya cuma lo yang waras, Phi,” ucap Pawat seraya menepuk-nepukkan tangannya untuk menjatuhkan sisa remahan ayam goreng atau hamburger yang tadi ia santap. Setelah memastikan tangannya sudah kembali bersih, Pawat sedikit mencondongkan tubuhnya sehingga kini posisinya dengan Mew menjadi lebih berdekatan. “Jadi berkaitan tentang informasi yang gue dapet, sebenernya Lalisa Manoban itu...”

“Lalisa Manoban?”

Mew membolak-balikkan lembaran kertas di tangannya dengan sedikit berantakan, bahkan paper-clip yang terpasang di pinggiran kertas kini sudah hampir terlepas saking Mew sangat terlihat tak sabar membaca segala informasi yang ia dapatkan dari Pawat.

Sementara Pawat? Ia tengah memakan ayam goreng McDonalds dengan lahap. Tampak sangat kelaparan seperti orang yang tidak diberi makan berhari-hari. “Phi, lo bisa kali bolak-balikin kertasnya agak pelan? Gue udah janji balikin dokumennya dengan kondisi rapi. Kalau lo bolak-balikin kayak kertas gorengan, bisa-bisa gue yang dikuliti massal,” ujar Pawat dengan mulut agak penuh dengan kunyahan ayam goreng. Mew memandang Pawat sedikit jijik, juniornya itu memang terlalu cuek dengan segala sesuatunya.

“Jadi...”, Mew memasukkan kembali berkas yang barusan ia lihat ke dalam amplop coklat yang dibawa oleh Pawat. “...lo ngasih dokumen penting begini di McDonalds, di tengah Alpharian dan Betran lain yang lagi pada makan?”

Memang, suasana McDonalds malam ini cukup ramai. Aroma dari berbagai Alpharian saling bercampur, membuat Mew sendiri merasa kurang nyaman karena hidungnya terlalu sensitif. Sementara Pawat seakan sangat terbiasa, ia malah semakin lahap memakan hamburger yang ia pesan sedari awal berbarengan dengan ayam goreng.

Phi,” ujar Pawat seraya menyeka saus tomat yang berantakan di ujung bibirnya dengan punggung tangan. “Semakin kita berada di ruang publik yang ramai, semakin orang-orang nggak akan curiga sama kita. Lagian ini rahasia, top secret, nggak sembarangan orang bisa liat! Gue dapet informasi tentang dia pun setelah gue acak-acak semua dokumen dari ujung sampai ke ujung lagi.”

Tidak masuk akal. Sungguh, Mew tidak habis pikir dengan cara berpikir Pawat. Jika informasi ini rahasia besar, mengapa dia bisa sebebas ini membawa dokumen keluar markas? Lalu masih menyempatkan diri untuk makan ayam goreng dan hamburger, pula?!

“Kayaknya lo mending bawa balik ini dokumen segera, deh. Gue takut lo kenapa-kenapa kalau ketauan bawa informasi ini keluar markaㅡ”

Sorry to say tapi golongan lo itu bego semua, Phi. Mereka nggak akan peduli kalau dokumen yang gue bawa keluar ini adalah top secret karena ya...“, Pawat membuat gerakan melingkar dengan jari telunjuknya di pinggiran pelipis. Ia membuat isyarat; gila. “...jujur-jujuran aja, pure-Alpharian nggak lebih bagus daripada Alpharian biasa.”

“Jadi lo nggak usah khawatir, dokumen ini aman gue bawa keluar. Asalkan nggak lo bolak-balikin lagi dengan kasar kayak tukang gorengan lagi bungkusin dagangannya aja,” ujar Pawat seraya menyeka minyak yang menempel di jemarinya dengan tisu yang tersedia di atas nampan saji. “By the way, no hard feeling nih, ya, gara-gara gue ngomong jujur soal golongan lo.”

Mew tertawa kecil kemudian menggelengkan kepala sebelum akhirnya menyesap minuman soda miliknya sendiri. “Nggak, sih. Gue santai-santai aja. Emang kenyataannya nggak ada yang bisa dibanggain secara berlebih tentang pure-Alpharian selain darahnya doang. Secara otak, kami kalah sama dom-Alpharian kayak lo dan Mild. Sementara dari kemampuan strategi di bidang apapun, golongan gue kalah sama sub-Alpharian kayak Win. Makanya keluarga Win kaya banget, 'kan? Ya, karena bokapnya pinter banget bikin strategi marketing.”

“Kunci rubanahnya, pastiin keluar ketika siang. Paham?”

Gulf dan Gun masih berdiri di depan pintu rumah milik keluarga Gulf, tas ransel berukuran cukup besar tersampir di pundak keduanya. Oh, tidak hanya mereka berdua, sih. Di punggung Nanon juga terdapat tas ransel yang sama, hanya saja ia tidak bisa menyusul keberadaan Gulf dan Gun sekarang karena dirinya masih dipeluki erat oleh sang adik perempuan, Nonnie.

Nong, Phi harus berangkat lho, ini. Phi Gun sama Phi Gulf udah nungguin. Udahan dong, nangisnya.” Nanon kesulitan untuk bergerak karena pelukan Nonnie terlalu mengunci dirinya. Nonnie seakan tidak peduli dan malah semakin erat memeluki Nanon, mencegah kakak lelaki satu-satunya itu untuk pergi. Beruntung, Grace datang dan menenangkan Nonnie kemudian membujuk gadis itu untuk membiarkan kakak lelakinya pergi.

“Nonnie, Phi Nanon pergi buat selesaiin semua perjuangan kita. Kaum hitam nggak bisa berhenti sampai di sini. Nonnie paham, ya?“, ujar Grace, mencoba membujuk si gadis di pelukan. Namun Nonnie masih histeris, “KALAU PHI NGGAK PULANG KAYAK PAPA MAMA, NONNIE SAMA SIAPA?!”

Bukannya Gulf dan Gun tidak mendengar ujaran Nonnie barusan. Mereka tahu bahwa keputusan mereka untuk pergi dari ruang perlidungan mereka bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Mereka mempertaruhkan nyawa mereka untuk mencapai tujuan akhir mereka.

Kaum hitam ingin mendapatkan penyamarataan strata dan kasta di tengah hirearki yang ada. Sedari dulu, semua Omegaf yang keseluruhannya perempuan tidak didengar suaranya. Hingga beberapa Alpharian laki-laki dan perempuan yang masih memiliki nurani memilih untuk membantu para Omegaf. Perlahan, kaum hitam yang dulu sama sekali tidak dipandang keberadaannya mulai membuat Alpharian khawatir.

Semakin lama, banyak Omegaf yang mengonsumsi heat-surpressant atau obat penahan birahi sehingga Alpharian dibuat kebingungan untuk melampiaskan nafsunya ketika tengah rut. Perkawinan antar Alpharian laki-laki dengan Alpharian perempuan semakin banyak walaupun tidak mendominasi, menjadikan beberapa bayi Alpharian murni lahir namun orangtua yang mengandungnya meninggal. Populasi Alpharian semakin menipis, sementara kaum hitam semakin gencar mengupayakan perlawanan dengan rencananya.

Hingga akhirnya, Alpharian mengambil tindakan. Heat-supressant yang sejatinya disediakan oleh badan internasional untuk dibagikan kepada para Omegaf dimonopoli secara penuh oleh para Alpharian. Tidak ada satupun heat-surpressant yang diberikan untuk para Omegaf sehingga mereka harus menghabiskan masa heat dengan merasakan sakit yang teramat sangat.

Beberapa ada yang menyerah dan memilih untuk memihak kepada Alpharian karena ingin rasa sakit itu segera hilang, namun beberapa yang lainnya memilih untuk bunuh diri karena tidak ingin memberi Alpharian rasa kemenangan. Terjadi ketimpangan di Omegaf, kaum hitam tidak lagi dianggap sehebat dahulu.

Gun, Gulf, dan Nanon adalah anak yang lahir atas keajaiban. Itu kata para Omegaf. Sepanjang adab perjalanan hidup kaum Omegaf, tidak ada diantara mereka yang melahirkan anak lelaki yang memiliki gender kedua sebagai Omegaf. Tiga anak ini adalah anugerah, kata mereka. Maka keberadaan Gun, Gulf, dan Nanon seakan berusaha ditutupi oleh para leluhur tetua Omegaf.

Setiap bulan, baik Gun, Gulf, dan Nanon akan diberikan obat-penekan. Obat yang khusus dikonsumsi oleh mereka bertiga, tidak untuk saudara-saudara mereka karena dosisnya yang sangat tinggi dan menyakitkan. Sedikit berbeda dengan heat-supressant, obat-penekan ini membuat aroma Omegaf yang ada di tubuh mereka bertiga menjadi agak tertutupi dan digantikan oleh bau khas para Alpharian. Sejatinya, mereka adalah Omegaf namun jika dilihat dan dibaui sekilasㅡ Gun, Gulf, dan Nanon tidak ubahnya seperti Alpharian.

Gun, Gulf, dan Nanon tidak bersekolah. Mereka diajarkan perihal apapun oleh orangtua mereka yang adalah tenaga pengajar. Mereka bertiga cerdas, mereka bertiga tangkas dalam bela diri. Tidak ada yang membedakan mereka dengan para Alpharian kecuali tubuh yang sedikit agak lebih kurus dan gen yang mereka bawa sejak lahir, Omegaf.

Ketika Ayah dan Ibu mereka, serta leader pack serta orang kepercayaan sang leader memutuskan untuk melakukan perlawanan secara nyata, mereka bertiga dititipi pesan agar tidak ke mana-mana. Keberadaan mereka bertiga sebagai Omegaf laki-laki dianggap sangat penting karena bisa membuat populasi Omegaf menjadi lebih beragam dan tidak hanya diisi oleh perempuan. Awalnya mereka mengiyakan, namun sekarang ketika persediaan heat-surpressant mereka sudah semakin menipis dan nyawa saudara perempuan mereka yang jadi taruhanㅡ maka mereka harus pergi melanjutkan semuanya.

“Nonnie,” Nanon mengusak rambut si adik kemudian memamerkan senyum lebar yang membuat lesung pipinya terlihat jelas. “Phi bakal balik lagi, janji. Phi bakal bawain surpressant banyak biar kita nggak perlu ngerasa khawatir lagi ketika Alpharian sialan itu berkeliaran di sini.”

“Ya? Nonnie percaya sama Phi, 'kan?”

Ini bukan soal pertarungan hidup dan mati. Mereka harus kembali hidup-hidup. Saudari mereka, taruhannya.

“Permisi! Permisi!”

Seorang laki-laki berkacamata dengan jubah berwarna putih yang menutupi punggungnya tampak berusaha mencari celah untuk keluar dari dalam elevator. Ia terlihat sangat tergesa, apalagi saat ini posisi berdirinya ada di barisan paling belakang dari penumpang elevator.

Tangan si lelaki berkacamata masih memegangi beberapa lembar kertas yang terkumpul di dalam sebuah map. Tampak berantakan, seperti baru saja dimasukkan secara asal-asalan ke dalam map dan tengah mengejar waktu secepat yang ia bisa. “Permisi! Maaf! Maaf!”, ujar lelaki berkacamata itu ketika tidak sengaja menabrak seorang wanita bertubuh jangkung dengan blazer berwarna krem.

Sekali tebak, lelaki berkacamata itu bisa mengetahui bahwa ia baru saja menabrak seorang Alpharian. Untung saja, sub-Alpharian. Sehingga ia tidak perlu takut akan dikejar karena merasa tersinggung setelah ditabrak begitu saja dan mendapat permintaan maaf setengah hati. Sub-Alpharian lebih baik hati dibanding jenis Alpharian yang lain, memang,

Bebas dari kerubungan para penumpang elevator, si lelaki berkacamata segera melangkah cepat menuju ruangan yang ada di ujung lorong sepi. Tidak, sepinya lorong-lorong ini bukan berarti tidak ada yang menghuni. Ruangan yang ada di lorong ini adalah ruang kerja bagi para Betarn, eksistensitas yang dianggap biasa-biasa saja di tengah hirearki yang ada.

Nametag yang terpasang di jubah si lelaki berkacamata terjatuh dan sempat tertendang olehnya sendiri saking ia terlalu tergesa untuk mencapai ruangannya. Dengan cepat, ia berupaya mengambil papan namanya namun ternyata gerakannya tidak cukup gesit karena tangan lain sudah berhasil meraih nametagnya terlebih dahulu.

“Buru-buru banget, kayaknya, Dok,” ujar seorang lelaki dengan jaket kulit berwarna hitam yang tampak sangat pantas melekat di tubuhnya. Nametag bertuliskan Tay Tawan itu diserahkan kepada si pemilik yang menerimanya dengan senyum kikuk. “Ada informasi penting?”

Lelaki yang bernama Tay Tawan itu memasangkan kembali nametag yang diterimanya barusan ke jubah sebelah kiri. Ia menyempatkan diri untuk menengok ke kanan kiri terlebih dahulu sebelum menarik si lelaki berjaket kulit hitam untuk masuk ke dalam ruangan yang ada di ujung lorong.

Tim Forensik, itulah tulisan yang terpampang jelas di papan nama yang dipasang pada dinding dekat pintu masuk. Setelah membuka pintu, Tay dan si lelaki berjaket hitam disambut oleh seorang lelaki bertubuh ramping, mengenakan kacamata dan jubah putih yang sama persis seperti Tay namun yang tidak lebih tinggi daripada mereka berdua yang barusan masuk ke dalam ruangan. Chimon Wachirawit, adalah nama yang terpampang di nametag pada jubah putih kenaannya.

“Dok, gawat! Hasil otopsi dari tiga mayat perempuan kaum hitam itㅡ”, ujaran Chimon segera terputus ketika Tay mengangkat jari telunjuk kanannya ke depan bibir; mengisyaratkan Chimon untuk diam. Sementara tangan kirinya mengunci pintu masuk dan memastikan semua tirai ruangannya tertutup rapat.

“Aku sudah periksa semuanya langsung,” ujar Tay dengan suara agak mendesis. Jubah putihnya dilepaskan dan map dokumen yang sedari tadi ia bawa dilemparkan begitu saja ke atas meja kerjanya yang juga sudah berantakan dengan lembaran kertas lainnya. Tay berderap menuju kulkas kecil di dalam ruangan dan mengambil sebotol air mineral kemudian menenggaknya dengan cepat, tampak sangat kehausan. “Ternyata semua dugaanku benar...”

Si lelaki berjaket kulit hitam yang ditarik oleh Tay masih berdiri di tempatnya dengan tangan bersedekap di depan dada. Ia tampak ingin tahu apa yang tengah diperbincangkan oleh kedua lelaki ini namun ia paham bahwa ia tidak boleh memaksa. Ia terbiasa berada di situasi dimana ia harus mengobservasi segala sesuatunya sebelum mengambil tindakan. Maka lelaki itu hanya diam, mencoba menyimpulkan apa yang tengah terjadi dari perbincangan Tay dan Chimon.

Chimon menghampiri Tay dengan membawa tiga lembar dokumen berisi hasil pemeriksaan autopsi yang mana segera Tay terima. Setelahnya, ia meletakkan kertas-kertas pemberian Chimon di atas meja dan membuka map dokumen yang dibawanya saat masuk ke dalam ruangan. Terdapat hening sejenak sebelum akhirnya Tay mengepalkan tangannya kuat-kuat kemudian memukulkannya ke permukaan meja, membuat suara debum cukup kencang di tengah ruangan yang sunyi senyap.

“Sialan,” bisik Tay dengan penuh geram. Chimon juga terlihat gelisah, ia menggigiti kuku jemari kanannya dengan gugup. “Ini bisa jadi perang dan kita para Betarn bisa jadi korban paling dirugikan,” ujar Tay.

Selepas Tay mengucapkan kalimatnya, si lelaki berjaket kulit hitam tidak lagi membiarkan tangannya bersedekap di depan dada. Ia berjalan menghampiri Tay dengan langkah tenang kemudian menyentuh pundak kanan si lelaki berjubah putih, agak kuat seakan memberi penekanan bahwa ia harus segera mengetahui tentang apa yang tengah terjadi. “Kalau ini semua menyangkut keselamatan para Betarn ...”

“... bukankah akan lebih baik jika kau beritahu masalah ini segera kepadaku, Dok? Kerjasama antara kepala tim forensik dengan kepala detektif adalah hal yang tidak akan bisa dilawan oleh siapapun, 'kan? Bahkan oleh Alpharian sekalipun.”

Di tengah lampu ruang kerja para tim forensik yang menyala terang, senyum si lelaki berjaket kulit hitam tampak sedikit suram. Senyumnya terulas tipis, membuat Tay sedikit takut untuk menceritakan segala informasi yang ia miliki. Mungkin ia melakukan kesalahan dengan mengajak lelaki ini untuk masuk ke ruangannya?

“Dok,” cengekraman tangan si lelaki ke pundak Tay yang semula sudah cukup kencang kini semakin dieratkan. “Jangan lupa, kita semua di ruangan ini adalah Betarn. Kau, aku, dan bocah lelaki itu hanya budak para Alpharian yang diperkerjakan tanpa nurani. Jika kau punya informasi terkait kaum kita bertiga, lebih baik segera kau sebar luaskan, Dok.”

Tay menggeleng, tatapannya masih kelihatan takut. “Ini semua setali tiga uang. Apapun yang kita lakukan, tidak akan yang bisa memberi kita keuntungan. Apapun tindakan kita, kita akan diserang oleh Alpharian atau Omegaㅡ”

BUGH!

Terdengar suara pukulan cukup keras dan detik selanjutnya adalah Tay yang tersungkur ke permukaan lantai dengan ujung bibir yang berdarah. Chimon segera menghampiri Tay dan memastikan seniornya itu baik-baik saja, sementara si lelaki berjaket kulit hitam masih berdiri di tempatnya. Ia terlihat emosi, tatapannya tertuju tajam kepada Tay yang berusaha bangkit walaupun lunglai.

Phi Tay...” Tidak ada lagi panggilan dok yang ditujukan kepada Tay dari lelaki itu. “...sampai kapan kita ada di bawah mereka, hah?” Tangan si lelaki berjaket hitam terkepal kuat, langkahnya semakin dibuat mendekat ke arah Tay yang tampak gemetar. Dalam sekejap, kerah kemeja Tay sudah dicengkeram kuat-kuat oleh si lelaki dan seakan siap untuk melepaskan tinjuannya kapan saja. “SAMPAI KAPAN KITA CUMA JADI KACUNG MEREKA, PHI?!”

Phi Bright!” Chimon berseru, membuat layangan tinju si lelaki yang dipanggil Bright itu menghentikan gerakannya. “Jangan! Aku akan jelaskan tapi jangan lakukan apapun ke Phi Tay! Kita semua Betarn, perselisihan begini hanya akan membuat semuanya semakin kacau!”

Tergesa, Chimon meraih lembaran kertas yang ia tadi berikan kepada Tay kemudian diserahkan kepada Bright. “Phi pasti tahu tentang berita kaum hitam Omegaf yang memberontak dan berusaha menyakiti para petinggi Alpharian, 'kan? Aku dan Phi Tay ditugasi untuk mengatopsi apakah ada zat lain di tubuh para kaum hitam yang sudah dibunuh itu. Lalu, kami menemukan hal yang tidak mungkin...”

Bright membolak-balik setiap lembar kertas di tangannya dan membaca setiap baris di tulisan yang tertera di sana. Bright sendiri tidak begitu mahir untuk mengetahui berbagai istilah kedokteran atau hal lainnya, namun ada satu baris tulisan dari setiap kertas yang membuat Bright terkesiap.

Absolute Omegaf?“, gumam Bright dengan suara pelan. Tay yang masih gemetar, menyahuti ujaran Bright barusan. “Tiga perempuan dari kaum hitam yang sudah jadi korban itu adalah Absolute Omegaf atau berarti... siapapun anak yang mereka lahirkan, pasti akan jadi seorang Omegaf. Ada kemungkinan, tanpa sepengetahuan kita sudah ada Male-Omegaf.”

“Selama ini di Thailand, tidak ada kasus begitu. Dari dulu, semua Omegaf adalah perempuan. Itu yang membuat keberadaan kaum hitam tidak pernah bisa membuat gentar Alpharian, karena sebanyak apapun jumlah mereka... semuanya adalah perempuan.” Chimon menolong Tay untuk bangkit dari posisi duduknya di lantai dan memapahnya agar bisa duduk di sofa ruangan milik mereka. “Semua Omegaf perempuan yang melahirkan anak laki-laki pasti secara otomatis akan memberikan gen Betarn, sementara yang perempuan sudah pasti akan menjadikan mereka Omegaf. Terkecuali mereka yang memiliki special case, ada juga Ibunda Omegaf yang bisa melahirkan Alpharian walaupun hanya Sub-Alpharian.”

Tay melanjutkan kalimatnya, “tapi Ibunda Omegaf yang melahirkan Omegaf laki-laki... ituㅡ adalah kasus yang tidak pernah ada sebelumnya.”

Bright masih membolak-balikkan kertas di tangannya, berusaha mencari informasi yang dia butuhkan namun tidak ada hasil apapun yang bisa ia dapatkan selain kalimat tak jelas yang ia sendiri tidak begitu paham isinya. “Pasti ada informasi lain tentang kaum hitam, 'kan? Kita tinggal cari tahu di mana lokasi si Male-Omegaf itu berada dan kita bisa buat mereka sebagai kawanan kitㅡ”

“Kita mengabdi untuk Alpharian, Bright!“, seru Tay. “Selama ini, kaum leluhur kita mengabdikan diri untuk Alpharian dan sama-sama membiarkan Omegaf tinggal dalam kesengsaraan. Kalau kita pergi ke wilayah Omegaf, sama saja dengan kita meminta untuk dimangsa hidup-hidup. Mereka benci kita, Bright. Kebencian Omegaf kepada kita sama seperti kebencian mereka kepada Alpharian.”

“Tapi mereka cuma Omegaf, Phㅡ”

“MEREKA TETAP SERIGALA, BRIGHT! KITA BETARN, MAHLUK YANG TIDAK BISA APA-APA!” Seruan Tay terdengar sedikit memekakkan telinga, bahkan Chimon hingga menutup matanya karena telinganya barusan mengeluarkan denging panjang yang menyakitkan. “Dibanding Omegaf, sesungguhnya kita yang paling lemah, Bright. Kita Betarn, tidak memiliki kemampuan apapun untuk melawan. Kita hanya bisa menurut. Dahulu ke Alpharian, bukan tidak mungkin jika nanti kita harus tunduk kepada Omegaf.”

Bright menggeleng-gelengkan kepalanya setelah mendengar penjelasan Tay. Ia melemparkan kertas-kertas di genggaman secara begitu saja ke lantai, “Phi. Kita harus bisa ambil keputusan. Nggak mungkin selamanya kita ada di bawah mereka. Sampai kapan kita harus hidup sebagai budak, Phi?”

Bright berderap menghampiri Tay dan kembali meraih kerah kemejanya, mengangkatnya tinggi hingga kini wajah mereka berdua saling berhadapan dekat. “Phi, kita cari cara agar kita bisa keluar dari takdir nggak masuk akal ini. Kita cari semua Male-Omegaf dan tarik mereka semua sebagai bagian dari Betarn. Kalau Betarn dan Omegaf bisa bersatu, Alpharian kekurangan dalam jumlah.”

“Kita bisa bebas dari kehidupan budak ini, Phi...”

Tay terdiam. Ia benar-benar tidak bisa mengambil keputusan. Semuanya masih abu-abu. Belum ada yang pasti. Walaupun ia tahu ada kemungkinan di Omegaf saat ini terdapat Male-Omegaf, Tay tidak tahu ada seberapa banyak jumlah mereka. Apakah cukup untuk membelot Alpharian? Jika jumlahnya hanya satu-dua, untuk apa mempertaruhkan segala fasilitas yang diberi oleh Alpharian untuk mereka saat ini, bukan?

“Dok,” Chimon membuka suara setelah sebelumnya hanya diam. “Biarpun kemungkinannya hanya sepersekian persen, bukan berarti semua ini mustahil. Kalau saya boleh berpendapat, mungkin lebih baik kita coba... lakukan sesuai ujaran Detektif Bright.”

Kerah kemeja Tay masih digenggam kuat oleh Bright. Tay menatap lurus-lurus mata Bright dan bisa menemukan kepedihan yang dipendam dalam-dalam di sana. Tatapan berisi kepedihan yang sama seperti miliknya, bahkan juga milik para Betarn di luar sana.

Pada akhirnya, Tay mengangguk. “Oke..”

“..ayo, rebut kembali hak para Betarn.”

“Permisi! Permisi!”

Seorang laki-laki berkacamata dengan jubah berwarna putih yang menutupi punggungnya tampak berusaha mencari celah untuk keluar dari dalam elevator. Ia terlihat sangat tergesa, apalagi saat ini posisi berdirinya ada di barisan paling belakang dari penumpang elevator.

Tangan si lelaki berkacamata masih memegangi beberapa lembar kertas yang terkumpul di dalam sebuah map. Tampak berantakan, seperti baru saja dimasukkan secara asal-asalan ke dalam map dan tengah mengejar waktu secepat yang ia bisa. “Permisi! Maaf! Maaf!”, ujar lelaki berkacamata itu ketika tidak sengaja menabrak seorang wanita bertubuh jangkung dengan blazer berwarna krem.

Sekali tebak, lelaki berkacamata itu bisa mengetahui bahwa ia baru saja menabrak seorang Alpharian. Untung saja, sub-Alpharian. Sehingga ia tidak perlu takut akan dikejar karena merasa tersinggung setelah ditabrak begitu saja dan mendapat permintaan maaf setengah hati. Sub-Alpharian lebih baik hati dibanding jenis Alpharian yang lain, memang,

Bebas dari kerubungan para penumpang elevator, si lelaki berkacamata segera melangkah cepat menuju ruangan yang ada di ujung lorong sepi. Tidak, sepinya lorong-lorong ini bukan berarti tidak ada yang menghuni. Ruangan yang ada di lorong ini adalah ruang kerja bagi para Betarn, eksistensitas yang dianggap biasa-biasa saja di tengah hirearki yang ada.

Nametag yang terpasang di jubah si lelaki berkacamata terjatuh dan sempat tertendang olehnya sendiri saking ia terlalu tergesa untuk mencapai ruangannya. Dengan cepat, ia berupaya mengambil papan namanya namun ternyata gerakannya tidak cukup gesit karena tangan lain sudah berhasil meraih nametagnya terlebih dahulu.

“Buru-buru banget, kayaknya, Dok,” ujar seorang lelaki dengan jaket kulit berwarna hitam yang tampak sangat pantas melekat di tubuhnya. Nametag bertuliskan Tay Tawan itu diserahkan kepada si pemilik yang menerimanya dengan senyum kikuk. “Ada informasi penting?”

Lelaki yang bernama Tay Tawan itu memasangkan kembali nametag yang diterimanya barusan ke jubah sebelah kiri. Ia menyempatkan diri untuk menengok ke kanan kiri terlebih dahulu sebelum menarik si lelaki berjaket kulit hitam untuk masuk ke dalam ruangan yang ada di ujung lorong.

Tim Forensik.

Sesak. Gelap, pekat.

Sejauh apapun Gulf mencoba mengedarkan pandangan, semuanya tetap sama. Segalanya tidak ada yang bisa ia jadikan titik pandang. Berupaya mengetahui apa yang ada di sekelilingnya, Gulf menjulurkan kedua tangannya dan menggerak-gerakkannya tak tentu arah. Gulf berharap akan ada sesuatu yang dapat ia sentuh, namun hasilnya nihil. Sekeras apapun ia berusaha menggapai, tidak ada yang dapat ia raih. Gulf seakan berada di tempat yang luas, tidak terbatasi oleh apapun.

Tidak ada tembok pembatas. Tidak ada tiang penyangga. Tidak ada dinding berbata. Semuanya kosong.

Masih di tengah kegelapan, Gulf mencoba membuka suaranya. Namun alih-alih teriakan atau jeritan, yang keluar dari mulut Gulf hanyalah suara yang tercekat. Potongan-potongan kata yang tidak jelas diucapkan dengan suara yang sangat serak. “A-aa...”, di dalam otaknya Gulf ingin meneriakkan kata untuk meminta tolong namun yang keluar hanyalah kata tanpa makna.

Berulang kali Gulf memukuli dadanya sendiri, berharap dengan cara begitu setidaknya ia bisa mengeluarkan suara erangan yang lebih jelas bunyinya daripada sekedar suara yang tercekat. Namun lehernya seakan dicekik oleh eksistentas tidak jelas bentuknya, mencegah ia untuk bersuara.

Perlahan, Gulf merasakan kakinya diselimuti dingin yang menusuk. Ia mengangkat kaki kanannya dan mendengar suara kecipak air yang sangat jelas. Kaki kiri bergantian diangkat, suara kecipak itu semakin jelas. Rasa dingin yang semula hanya menyelimuti mata kakinya perlahan naik ke lutut hingga naik ke pinggang, kemudian mencapai dada dan berakhir menenggelamkannya. Penuh.

Gulf menggerak-gerakkan badannya tak tentu arah di dalam air. Sekelilingnya masih sangat gelap gulita, membuat ia tidak mampu mencari tahu sudah sejauh mana air menenggelamkan dirinya. Bahkan sekeras apapun usahanya untuk mencari tahu di mana permukaan air, semua seakan tidak ada artinya.

Gulf semakin tenggelam, dalam.

AAAARGHH!

Gulf membelalakkan matanya dalam sekali hitungan. Nafasnya tersengal sementara keringat dingin sudah membasuhi pelipisnya. Hal pertama yang ia lihat adalah langit-langit kamarnya yang berwarna biru muda dan lampu yang menyala terang, bahkan hingga seakan menusuk pandangannya yang belum terbiasa untuk menerima cahaya. Gulf bukan berada di dalam air seperti yang ia pikirkan sebelumnya, Gulf berada di dalam rumahnya.

Namun teriakan barusan bukan teriakannya. Itu teriakan orang lain.

AAARGGGH! GULF!

Dengan segera, Gulf bangkit dari tempat tidurnya dan berlari menuju ruang tamu; ke tempat suara teriakan itu berasal. Rasanya jantung Gulf seakan mencelos, jatuh dari tempatnya semula ketika melihat sosok tinggi besar dengan punggung yang sangat bidang dan berbulu itu tengah berhadapan dengan seorang perempuan yang duduk tersudut di pojok ruang dapur. Kakak perempuan Gulf, Grace, tengah menangis dan meringkukkan tubuhnya; berharap si sosok besar tinggi itu sedikit memiliki belas kasih untuk membiarkannya tetap hidup. “Jangan... Aku mohonㅡ jangan...”, ujar Grace dengan suara gemetar.

Heat... Kamu, aromamu... manis. Apel... Hutan pinus...” Sosok bertubuh tinggi besar itu semakin mendekati Grace dan menghirup dalam-dalam aroma tubuh si perempuan yang tengah ketakutan. “Kamu mate yang pantas untuk aku milikㅡ HHHHKKK! AAAARGHH!”

Dalam sekejap, leher si sosok tinggi besar itu dilingkari oleh tali yang sudah dibentuk simpul sedemikian rupa. Gulf mengalungkan tali ke leher sosok itu dan menariknya kuat-kuat, menjadikan si sosok tinggi besar sempat berontak dan perhatiannya teralihkan agar tidak lagi terfokus kepada Grace.

“PERGI! CARI TEMPAT AMAN! LARI, PHI!”

Dengan langkah yang terlihat lemas, Grace bangkit dari tempatnya dan beranjak ke ruang yang Gulf ketahui adalah jalan untuk menuju rubanah dari kediaman keluarga mereka. Tempat paling aman, itulah yang dikatakan oleh kedua orangtua mereka.

Ayah Gulf membangun sendiri rubanah itu sebagai pelarian dan tempat berlindung keluarga mereka apabila diserang oleh Alpharian liar yang kerap memangsa Omegaf untuk dikawini tanpa izin. Ayah Gulf yang adalah seorang Alpharian mengkhawatirkan keadaan anggota keluarga yang seluruhnya adalah Omegaf.

Ya, semuanya Omegaf. Termasuk Gulf sendiri. Sebuah kasus yang sangat jarang terjadi karena mayoritas Omegaf adalah perempuan yang mana sangatlah wajar karena di negara ini sosok Omegaf memang hanya diperuntukkan sebagai pemuas nafsu para Alpharian.

Gulf adalah Male-Omegaf, yang menjadikan ia istimewa.

“Brengsek... Mau apa lo ke kakak gue, hah?” Gulf menyuarakan kalimat di tengah tarikan tali yang mencekik leher si sosok tinggi besar. “Bunuh gue dulu sebelum lo jatuhin tangan lo ke kakak guㅡ ARGH!”

Namun Gulf lupa bahwa sejatinya ia hanyalah Omegaf sementara yang dihadapinya adalah Alpharian liar yang tengah dalam masa rut. Sekuat apapun usahanya, tenaganya tidaklah cukup kuat untuk menahan Alpharian gila ini. Gulf terbanting ke lantai dan membuat tubuhnya sakit bukan main. Sumpah, ia sangat membenci takdirnya yang terlahir sebagai Omegaf yang lemah.

Omegaf laki-laki...“, si Alpharian memandangi Gulf dengan tatapan haus untuk memangsa. Senyumannya terlihat menyeramkan, seakan ingin menerkam Gulf hidup-hidup. “... menarikㅡ Aku ingin tahu... rasanya...” Perlahan, si Alpharian mendekati Gulf sementara yang dihampiri hanya bisa berusaha bangkit dengan gerak yang sangat lemas.

Akan tetapi, senyum tipis terulas di bibir Gulf. “Rasa...?”, tanya Gulf seraya menyentuh lehernya sendiri. Ia seperti memperlihatkan leher jenjangnya yang putih kepada si Alpharian yang kelihatan semakin bernafsu untuk menyerang Gulf. “It will taste so fucking good. I'm the rare Omegaf...

Ucapan Gulf bagaikan pelatuk yang membuat si sosok tinggi besar itu semakin bernafsu untuk memangsa. Tidak ingin menahan keinginannya lagi, si Alpharian berderap kencang ke arah Gulf namun di saat itu juga Gulf mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celananya. Senjata kejut listrik dengan tegangan tinggi.

Dengan gerak sangat cepat, Gulf mengarahkan senjata kejut listrik ke punggung si Alpharian ketika sosok itu sudah berada di atas tubuhnya. Alhasil, sosok tinggi besar itu terlihat kejang-kejang hebat tatkala aliran listrik dalam tegangan besar mengenai tubuhnya. Seakan tidak mau mengambil resiko, Gulf semakin menanamkan lebih dalam senjata di tangannya ke kulit punggung si Alpharian hingga sosok tinggi besar itu tergeletak lemas di atas permukaan lantai.

“Bangsat...”, gumam Gulf seraya menendangi tubuh si Alpharian yang terkulai lemas sebelum akhirnya menggeret tubuh itu untuk keluar dari dalam kediamannya. Setelah memastikan si Alpharian sudah berada di luar rumah, Gulf segera mengunci semua pintu dan jendela rapat-rapat kemudian mematikan semua lampu yang ada di dalam rumah.

Sekilas, Gulf menengok ke luar rumah. Di luar benar-benar gelap gulita. Memang semestinya begitu, itu adalah cara terbaik untuk membuat para Alpharian tidak mengetahui keberadaan para Omegaf di dalam rumah.

Gulf dibuat sedikit kebingungan. Sepengetahuannya, kakak perempuannya itu tidak cukup bodoh untuk menyalakan lampu ruang tamu atau dapur di tengah malam begini. Entah apa yang membuat Alpharian barusan bisa mengetahui bahwa di rumah ini ada Omegaㅡ

“... Fuck.” Semua pertanyaan Gulf terjawab ketika hidungnya mencium aroma apel dan hutan pinus yang menguar sangat kuat. Aroma feromon milik kakaknya tercium sangat jelas, membuat siapapun pasti akan bisa mengetahui bahwa di rumah ini terdapat Omegaf yang tengah berada di masa heatnya. Dengan hanya dibantu penerangan dari senter kecil di tangannya, Gulf membuka rak dapur. Awalnya hanya satu rak yang dibuka, namun berikutnya menjadi dua. Kemudian tiga, lalu empat. Hingga akhirnya semua rak sudah dibuka namun yang Gulf cari-cari tidak ada di sana.

Gulf mengacak rambutnya sendiri, merasa kesal dengan situasi yang tengah ia alami saat ini. Ia tidak menemukan heat-surpressant di manapun, wajar saja jika aroma feromon kakaknya menguar dengan sangat kuat. Tidak ada apapun yang bisa menekan aroma feromon seorang Omegaf yang sedang heat selain heat-surpressant. Sekarang, benda itu tidak ada di manapun. Kakaknya sedang dalam bahaya dan bisa diserang oleh para Alpharian kapanpun.

BUGH. BUGH. BUGH.

Suara pintu utama dari kediaman keluarga Gulf digedor dengan cukup keras. Dari balik pintu, Gulf mendengar ada suara geram dan raungan yang sangat menyeramkan. Dengan langkah tergesa, Gulf kembali ke kamarnya dan mengambil beberapa selimut tebal kemudian berbekal senter kecil di tangannya, ia berlari menuju rubanah dimana kakak perempuannya berada.

Setidaknya, mungkin beberapa lapis selimut tebal bisa menutupi aroma feromon kakaknya. Lagipula, kalaupun pintu rumahnya tidak cukup kuat untuk menahan dobrakan tenaga si Alpharian, ia yakin pintu rubanah yang mereka tempati akan cukup kuat untuk menahan serangan Alpharian sekuat apapun.

Gulf harap begitu. Semoga saja, benar-benar bisa begitu.

Secondary gender.

Banyak pihak yang merasakan emosi beragam tatkala mendengar kata tersebut. Beberapa ada yang merasa bangga, beberapa lainnya akan merasakan malu atau beban mendalam, sementara beberapa yang tersisa mungkin akan merasakan hal yang terlampau biasa. Mereka yang bangga, dikenal dengan sebutan ALPHA. Mereka yang merasa malu, kerap disebut dengan OMEGA. Sementara sisanya yang tak merasakan emosi apapun, adalah BETA.

Beberapa dari kalian mungkin akan menganggap para omega adalah eksistensi lemah yang selalu mengemis untuk dikuasai oleh para alpha sementara beta hanyalah eksistensi tidak berarti yang terlahir tidak istimewa. Beberapa dari kalian mungkin mengharapkan adanya kisah omega yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada alpha dan cerita bagaimana mereka menghabiskan waktu bersetubuh dengan penuh gairah di bawah sinar bulan; menghabiskan knot dengan saling berbagi cerita tentang masa depan yang akan mereka lalui bersama.

Apa kalian mengharapkan semua itu? Jika iya, mungkin kalian datang ke era yang salah. Semua kisah itu adalah penggalan cerita di masa yang lampau, dimana omega tidak memiliki hak apapun untuk memilih sementara alpha bisa sesuka hati melakukan apa yang ia inginkan, dan beta hanyalah eksistensi sekedar lewat yang tidak berguna. Semua itu, bukanlah berada di era ini.

Kalian datang di era 2021; masa dimana negara terbagi ke dalam tiga kelompok yang membentuk sistem pemerintahan. Alpharian, Betarn, serta Omegaf adalah tiga komponen yang membangun negara tersebut.

Alpharian, masih memegang peranan yang cukup penting dalam pemerintahan. Tak ubahnya seperti Alpha, kaum Alpharian dipenuhi oleh eksistensi yang bertubuh kekar dan memiliki aura untuk mendominasi. Hampir seluruh pejabat yang menduduki kursi tertinggi di pemerintahan diisi oleh kaum Alpharian, bahkan hingga sejauh ini posisi Presiden selalu ditempati keturunan Alpharian murni.

Alpharian murni adalah eksistensitas yang lahir dari perkawinan antara Alpharian laki-laki dengan Alpharian perempuan. Tidak banyak Alpharian yang memilih untuk melakukan perkawinan ini karena jika jika dua Alpharian memutuskan bersama dalam satu ikatan yang disebut takdir, maka kemungkinan salah satu diantaranya untuk meninggal ketika melahirkan sang buah hati sangatlah tinggi. Hanya keluarga para petinggi negara yang dijamin keselamatannya oleh berbagai fasilitas kesehatan terbaik yang berani mengambil resiko ini.

Kalaupun ada yang berani mengambil segala kemungkinan terburuk padahal mereka bukanlah bagian dari keluarga petinggi negaraㅡ mereka adalah Alpharian yang percaya kepada takdir dan siap menghadapi apapun resiko ke depannya.

Para kaum yang terlahir sebagai Alpharian sudah dipastikan akan mendapat posisi baik di pemerintahan. Bisa dikatakan, terlahir sebagai Alpharian adalah sebuah anugerah yang tidak didapatkan oleh sembarang eksistensitas. Para Alpharian yang terpilih akan menjadi penjaga sekaligus tangan kanan Presiden, yang mana tentu saja dipilih berdasarkan hasil seleksi ketat.

Kemudian Betarn dan Omegaf? Mereka berada di bawah kendali Alpharian walaupun tidak semutlak zaman dahulu. Keturunan Betarn mayoritas berprofesi sebagai ahli mesin, pakar pembuat kode program keamanan negara, atau apapun lainnya yang memang berkaitan dengan kepintaran otak. Para Betarn memang memiliki kelebihan di kerja fungsi otak sehingga diantara mereka yang terpintar dan paling berbakat ada yang diangkat ke pemerintahan walaupun jumlahnya tidak begitu banyak.

Omegaf? Mimpi. Bualan besar. Bagi kaum Omegaf, mereka dilahirkan untuk menjadi penyedia pangan serta nafsu. Sepintar apapun mereka, tidak akan ada kesempatan bagi mereka untuk bisa naik derajat. Sejatinya, mereka adalah kasta terendah. Belum lagi, setiap bulannya mereka harus mengalami satu kondisi yang dinamai sebagai masa heat atau masa dimana birahi mereka tengah tinggi-tingginya dan meminta untuk dikawini oleh para Alpharian.

Akan tetapi, di dalam kaum Omegaf terdapat perpecahan antar kelompok ; mereka yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada para Alpharian dan mereka yang enggan untuk tunduk kepada Alpharian.

Mereka yang enggan tunduk kepada Alpharian dijuluki sebagai kaum hitam dan dianggap sebagai pengkhianat. Para kaum hitam memilih untuk mengonsumsi heat supressant dibanding menyerahkan diri untuk dipuaskan kehausan birahinya oleh para Alpharian. Mereka menolak untuk dianggap lemah hanya karena mereka seorang Omegaf dan berharap akan dapat menyamaratakan status mereka dengan Betarn serta Alpharian.

Awalnya, Alpharian tidak memusingkan keberadaan kaum hitam di dalam komunitas Omegaf karena jumlah mereka yang menyerahkan diri tatkala mengalami heat masihlah banyak jumlahnya. Namun seiring dekade berjalan, jumlah kaum Omegaf yang memilih untuk bergabung bersama kaum hitam semakin bertambah banyak sehingga para petinggi pemerintahan yang juga adalah kaum Alpharian mengurangi jumlah distribusi heat supressant untuk diberikan kepada kaum Omegaf. Akibatnya, banyak kaum Omegaf yang tersiksa dengan rasa sakitnya saat mengalami heat dan perlahan-lahan memilih untuk mati dengan cara bunuh diri dibanding menyerahkan diri untuk disetubuhi oleh para Alpharian.

Kini, generasi muda kaum hitam dari Omegaf yang berpikiran kritis sudah bertekad untuk mencari tahu dimana heat supressant itu disembunyikan oleh para Alpharian. Mereka bertekad untuk merebut sesuatu yang mereka anggap sebagai hak para Omegaf. Mereka siap untuk melawan, walaupun nyawa taruhannya.

Sayangnya, semua tidak berjalan semudah itu. Ada persahabatan yang dipertahankan. Ada perasaan cinta yang harus dijaga. Ada janji yang harus ditepati.

Semua, dipertaruhkan.

Second gender.

Banyak pihak yang merasakan emosi beragam tatkala mendengar kata tersebut. Beberapa ada yang merasa bangga, beberapa lainnya akan merasakan malu atau beban mendalam, sementara beberapa yang tersisa mungkin akan merasakan hal yang terlampau biasa. Mereka yang bangga, dikenal dengan sebutan ALPHA. Mereka yang merasa malu, kerap disebut dengan OMEGA. Sementara sisanya yang tak merasakan emosi apapun, adalah BETA.

Beberapa dari kalian mungkin akan menganggap para omega adalah eksistensi lemah yang selalu berharap untuk dikuasai oleh para alpha, sementara beta hanyalah eksistensi tidak berarti yang terlahir tidak istimewa. Beberapa dari kalian mungkin mengharapkan adanya kisah omega yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada alpha dan cerita bagaimana mereka menghabiskan waktu bersetubuh dengan penuh gairah di bawah sinar bulan.

Apa kalian mengharapkan semua itu? Jika iya, mungkin kalian datang ke era yang salah. Semua kisah itu adalah penggalan cerita di masa yang lampau, dimana omega tidak memiliki hak apapun untuk memilih sementara alpha bisa sesuka hati melakukan apa yang ia inginkan dan beta hanya eksistensi sekedar lewat yang tidak berguna. Semua itu, bukanlah berada di era ini.

Kalian datang di era 2021; masa dimana negara terbagi ke dalam tiga kelompok yang membentuk pemerintahan dari sebuah negara tanpa nama yang berada di kepulauan menyendiri dari lainnya. Alpharian, Betarn, serta Omegaf adalah tiga komponen yang membangun negara tersebut.

Alpharian, masih memegang peranan yang cukup penting dalam pemerintahan. Tak ubahnya seperti Alpha, kaum Alpharian dipenuhi oleh eksistensi yang bertubuh kekar dan memiliki aura untuk mendominasi. Hampir seluruhnya pejabat yang menduduki kursi tertinggi di pemerintahan diisi oleh kaum Alpharian, bahkan hingga sejauh ini posisi Presiden selalu ditempati keturunan Alpharian murni.

Alpharian murni? Tidak, itu bukan keturunan dari perkawinan Alpharian dengan Alpharian melainkan keturunan Alpharian dari tingkat paling tinggi dengan Omegaf terpilih yang dipuja sejuta umat kaum Alpharian.

Para kaum yang terlahir sebagai Alpharian sudah dipastikan akan mendapat posisi baik di pemerintahan. Bisa dikatakan, terlahir sebagai Alpharian adalah sebuah anugerah yang tidak didapatkan oleh sembarang eksistensitas. Para Alpharian yang terpilih akan menjadi penjaga sekaligus tangan kanan Presiden, yang mana tentu saja dipilih berdasarkan hasil seleksi ketat.

Kemudian Betarn dan Omegaf? Mereka berada di bawah kendali Alpharian walaupun tidak semutlak zaman dahulu kala. Keturunan dengan gender Betarn mayoritas berprofesi sebagai ahli mesin, pakar pembuat kode program keamanan negara, atau apapun lainnya yang memang berkaitan dengan kepintaran otak. Para Betarn memang memiliki kelebihan di kerja fungsi otak sehingga diantara mereka yang terpilih ada yang diangkat ke pemerintahan walaupun jumlahnya tidak begitu banyak.

Omegaf? Mimpi. Bualan besar. Bagi kaum Omegaf, mereka dilahirkan untuk menjadi penyedia pangan. Sepintar apapun mereka, tidak akan ada kesempatan bagi mereka untuk bisa naik derajat. Sejatinya, mereka adalah kasta terendah. Belum lagi, setiap bulannya mereka harus mengalami satu kondisi yang dinamai sebagai masa heat atau masa dimana birahi mereka tengah tinggi-tingginya dan meminta untuk dikawini oleh para Alpharian.

Akan tetapi, di dalam kaum Omegaf terdapat perpecahan antar kelompok ; mereka yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada para Alpharian dan mereka yang enggan untuk tunduk kepada Alpharian. Mereka yang enggan tunduk kepada Alpharian dijuluki sebagai kaum hitam dan dianggap sebagai pengkhianat. Para kaum hitam memilih untuk mengonsumsi heat supressant dibanding menyerahkan diri untuk dipuaskan kehausan birahinya oleh para Alpharian. Mereka menolak untuk dianggap lemah hanya karena mereka seorang Omegaf dan berharap akan dapat menyamaratakan status mereka dengan Betarn serta Alpharian.

Awalnya, Alpharian tidak memusingkan keberadaan kaum hitam di dalam komunitas Omegaf karena jumlah mereka yang menyerahkan diri tatkala mengalami heat masihlah banyak jumlahnya. Namun seiring dekade berjalan, jumlah kaum Omegaf yang memilih untuk bergabung bersama kaum hitam semakin bertambah banyak sehingga para petinggi pemerintahan yang juga adalah kaum Alpharian mengurangi jumlah distribusi heat supressant untuk diberikan kepada kaum Omegaf. Sehingga akibatnya, banyak kaum Omegaf yang tersiksa dengan rasa sakitnya saat mengalami heat dan perlahan-lahan memilih untuk mati dengan cara bunuh diri dibanding menyerahkan diri untuk disetubuhi oleh para Alpharian.

Kini, generasi muda kaum hitam dari Omegaf yang berpikiran kritis sudah bertekad untuk mencari tahu dimana heat supressant itu disembunyikan oleh para Alpharian. Mereka bertekad untuk merebut sesuatu yang mereka anggap sebagai hak para Omegaf.

Mereka siap untuk melawan, walaupun nyawa taruhannya.

Kayaknya kita lebih baik break dulu.

Pusing. Mual.

Padahal Ohm baru saja membuka mata dari tidurnya yang tidak nyenyak. Namun alih-alih rasa kantuk yang sewajarnya kembali menyerang, hal pertama yang muncul di pikirannya adalah sosok lelaki yang sebulan lalu baru saja meminta waktu untuk berjalan masing-masing, Nanon.

Break?”

Iya.“ “Buat perbaikin diri.“ “Kita berdua.

Langit-langit kamar terasa sangat jauh di pandangan Ohm saat ini. Aneh, padahal langit-langit kamarnya hanya setinggi tiga setengah meter. Semestinya tidak sebegini jauhnya.

Tangan kanan Ohm terangkat ke atas, meraba udara di kamar tidurnya. Membuat gerakan seperti tengah menggenggam sesuatu yang pasti nihil. Yang bisa digenggam olehnya di sana hanya ruang hampa. Kosong.

Apa nggak bisa kalau nggak begini? Jangan keputusan ini. Terlalu berat.

Ohm.“ “Ini cuma break.“ “Kalau memang kamu jodohnya ada di aku, pasti kita balik lagi.

Ohm percaya. Tanpa harus dipaksa oleh siapapun, Ohm percaya bahwa akhir dari segala perjalanan takdirnya akan berhenti di Nanon.

Maka ketika Nanon berkata demikian, Ohm percaya. Menganggap bahwa break yang dimaksud oleh si kesayangan hanyalah sekedar pengalihan dari ego keduanya yang terkadang muncul tanpa permisi.

Maka ketika Nanon berkata demikian, Ohm menganggukkan kepala dan tersenyum getir, mempercayai pemikirannya yang bahkan sudah menggambarkan adegan ketika mereka berdua akan kembali bertemu dengan senyum bahagia. Saling meminta maaf atas keegoisan masing-masing. Saling berbagi peluk dan merengkuh erat.

Ohm percaya. Sangat, percaya.

Biarpun, yahㅡ sulit dan memalukan untuk diakui bahwa pada hari ketika Nanon meminta break adalah hari dimana seorang Ohm Pawat mabuk berat dan menangis seperti anak kecil di rumah kerabat dekatnya, Chimon.

Situasinya seperti apa? Ah, itu ..

“PAWAT GAMO PISAH MA NANOON. HUWAAA. CIMOOON.”

“Nggak pake meperin ingus lo ke seprai kasur gue, Pawat!”

“CIMOOOOONNN.”

“Nggak pake sedot ingus lo pake jaket gue, Pawaaat!”

“MO KETEMU NANOONN.” “GAMO PICAAAAH.” “MAMAAAAAA.”

Ya, begitulah.

Yang bisa Ohm ingat, hari itu dirinya diusir oleh Chimon karena terlalu berisik dan berakhir diantar ke apartemen oleh kerabatnya yang lain, Singto.

Ketika diantar oleh Singto, situasinya juga tidak membaik. Di dalam mobil, Ohm tidak berhenti menangis. Singto juga tidak pandai menghibur si yang sedang patah hati. Bayangkan, bukannya memberi kalimat penyemangatㅡ Singto malah menyalakan pemutar musik di dalam mobilnya dan memutar satu lagu : Cinta Pertama, milik Bunga Citra Lestari.

“NANON.” “NANON.” Ini nyanyian Singto.

“MELIHATMU, MENYENTUHMU, ITU YANG KUMAU.” Masih nyanyian Singto.

“KAU TAK SEMPAT TANYAKAN AKU ..” Masih, kok. Singto.

CINTAKAH AKU PADAMUUUUU?Ini baru Ohm.

MANA NANON? MANA NANONKU?

Skip. Skip. Semua yang terjadi hari itu terlalu memalukan. Belum lagi ada kejadian dimana Ohm muntah di dalam mobil milik Singto. Ah, sudahlah. Terlalu menjijikkan untuk sekedar diingat.

Lampu yang terpasang di langit-langit kamar terasa berbeda dari biasanya. Entah apakah pengelihatan Ohm yang mulai memburuk atau memang lampu di kamarnya sudah meredup dan akan segera matㅡ

pats!

Oh, mati.

Lihat. Bahkan lampu kamarnya pun seakan enggan memberi pencerahan untuk si lelaki yang tengah dirundung patah hati ini.

Ohm tidak segera bergerak untuk bangkit. Badannya terasa berat, bahkan untuk sekedar bangun pun iaㅡ malas. Beruntung, memang, ini hari Minggu. Jika saja hari ini adalah hari libur, mungkin sepanjang jam kuliahnya Ohm akan merengut dan tidak bersemangat.

“Hhhㅡ” Lengan kanan Ohm kini menutupi matanya. Terpejam, namun tidak tidur. “ㅡbahkan gue telfon pun, nggak lo angkat.”

Layar ponsel yang tergeletak begitu saja di samping Ohm, mati. Tidak menyala. Namun bukan karena baterainya habis, Ohm tidak akan membiarkannya begitu.

Sebisa mungkin, Ohm tidak membiarkan ponselnya kehabisan baterai. Karena apa, tanyamu? Karena ia takut Nanon menghubunginya di saat ponselnya kehabisan baterai. Maka dari itu, sebisa mungkinㅡ Ohm selalu membiarkan ponselnya menyala.

Walaupun apa yang ia harapkan berbanding terbalik dengan kenyataan yang ada. Nanon tidak pernah menghubunginya, sekalipun dalam sebulan iniㅡ tidak pernah.

Sibuk? Mungkin.

Tidak. Sesungguhnya kemungkinan itu tidak ada, hanya saja Ohm selalu menghipnotis pikirannya agar mempercayai hal itu. Bahwa Nanon tengah sibuk dengan kegiatannya. Bahwa ia terlalu lelah untuk bahkan mengirimkan pesan balasan kepada Ohm, atau sekedar mengangkat telefon darinya.

Nanon sedang sibuk. Pasti, begitu.

Setelah menarik nafas dalam-dalam, Ohm menyingkirkan lengannya yang menutupi pandangan. Matanya tidak lagi terpejam, ia menatap langit-langit selama beberapa detik sebelum akhirnya mencoba untuk bangkit dari posisi berbaringnya.

Lapar. Orang patah hati, juga tetap butuh makan.

Diraihnya jaket hitam yang tergantung di dinding sebelum menyadari bahwa jaket itu adalah hadiah pemberian dari Nanon di hari ulang tahunnya setahun lalu.

Ragu sempat merajai benak sebelum akhirnya Ohm memutuskan untuk memakai hoodie pemberian orangtuanya saja.

Lebih baik begitu, daripada menangis lagi selama perjalanannya ke supermarket, coba?

Memalukan.

Entah apa yang Ohm pikirkan ketika melihat jejeran susu kotak coklat di etalase pendingin supermarket dekat kediamannya.

Sedih? Sedikit. Senang? Mungkin. Rindu? Sangat.

Bukan apa-apa, Nanon sangat menyukai susu coklat.

Jika mereka tengah berbelanja berdua untuk keperluan di rumah Ohm, Nanon pasti akan berjalan beriringan di samping Ohm seraya menyesapi isi dari susu kotak coklatnya. Padahal belum dibayar di kasir. Namun, mana bisa Ohm memarahinya jika senyum kekasihnya itu terlihat lebih manis dari segala perisa di dunia?

Ohm sedikit ragu. Dalam otaknya kini berputar segala rencana yang tidak sanggup ia wujudkan. Satu diantaranya, apakah akan lebih baik jika ia membeli banyak susu kotak coklat ini dan membawakannya untuk Nanon? Ah, membayangkan akan sebagaimana senangnya ia saja sudah membuat Ohm kegirangan.

Namun, apa Nanon tidak akan marah? Lelaki itu bilang butuh waktu untuk memperbaiki dirinya. Waktu untuk saling melakukan intropeksi. Jika tiba-tiba Ohm mendatangi tempatnya, bukankah itu artinya ia melanggar janji?

Bukankah Nanon akan marah? Tidakkah akan begitㅡ

Jangan jadi pengecut. Kalau bukan sekarang, kapan lagi?

Benar. Kapan lagi jika bukan sekarang? Akhirnya dengan berpegang pada tekad yang muncul tiba-tiba, Ohm bergerak menghampiri etalase pendingin dan mengulurkan tangannya untuk meraih kotak susu coklat yang terpajang di sana.

Akan tetapi, ada tangan lain yang berniat meraih kotak susu yang sama dengan yang dituju oleh Ohm. “Oh, sorry!”

Suara itu tidak asing. Sangat familiar.

Cepat, Ohm mengangkat kepalanya dan menoleh ke arah samping. Benar saja, wajah yang sangat dirindukan olehnya ada di sana.

Tangan itu, wajah itu, milik Nanon.

Saking terkejutnya, Ohm tidak mampu mengucapkan apapun. Bibirnya kelu, sangat.

“Ohm...”

Bibirnya memang kelu, namun syarafnya berkerja lebih baik dari semua organ yang ada. Ohm segera merengkuh tubuh Nanon ke dalam peluknya, erat. Seakan tidak ingin melepaskan barang sedetikpun.

“Hei.” “Hei, Ohm.” “Ohm. Jangan begini.”

Ohm seakan tuli. Ucapan Nanon sama sekali tidak didengar olehnya. Dekapannya masih erat, walaupun Ohm merasakan lelaki di dalam pelukan ini seakan mendorong tubuhnya untuk menjauh.

“Kangen.” “Nggak bohong.” “Aku serius. Kangen banget.”

Sekelebat, indera penciuman Ohm dapat menangkap wangi sabun dan shampoo yang selalu digunakan Nanon. Manis. Lelaki ini masih sama, bahkan wanginya pun tidak pernah berbeda. Membuat Ohm selalu ingin menghirupnya dalam-dalam, tidak ada puasnya.

“Kamu ke mana aja?” “Aku telfonin terus.” “Aku chat terus.” “Kenapa nggak dijawab?”

“Kamu baik-baik aja?” “Nggak sakit, 'kan?” “Masih sering sakit kaki, nggaㅡ”

Nanon.

Di tengah pertanyaan yang dicecar oleh Ohm, suara itu seakan menyela dan memaksa untuk masuk.

Bukan. Bukan suara Nanon.

Ada perempuan yang tidak dikenali olehnya. Manis, juga cantik. Dia siapㅡ

“Puimek!”

Tubuh Ohm yang masih merengkuh Nanon di dekapannya kini didorong paksa. Terpisah, atas paksaan. Tubuh Ohm seakan kaku untuk sesaat. Syarafnya seperti tidak berfungsi tatkala melihat Nanon yang panik, ketakutan.

Entah karena apa. Apa karena perempuan itu?

“Udah beli semuanya?”

Nanon membalikkan tubuhnya, membelakangi Ohm dan berjalan menuju si perempuan yang barusan dipanggil Puimek olehnya. Senyuman Nanon, manis. Sama seperti senyum yang biasanya ia perlihatkan kepada Ohm.

Tapi kenapa sekarang malah diperlihatkan untuk perempuan itu?

Puimek, masih berdiri di tempat kemudian segera merangkul lengan Nanon ketika lelaki itu menghampirinya. Mereka tersenyum, seperti tidak menyadari ada pemilik hati yang tengah terkoyak ketika melihat pemandangan itu.

“Siapa?”, tanya Puimek seraya melayangkan pandangan ke arah Ohm yang masih berdiri dengan tatapan kosong. Nanon menoleh ke belakang, sempat terdiam sejenak ketika memandangi Ohm di sana.

Jawab, Nanon. Kekasih. Jawab!

“Temen.” “Temen lama.” “Kebetulan ketemu.”

Oh. Teman. Teman lama, pula.

Puimek yang mendengar ucapan Nanon mengangguk-angguk kecil kemudian melemparkan senyum ke arah Ohm. Seperti tidak menaruh curiga sama sekali dan menganggap Ohm hanya kawan Nanon. “Halo,” sapa perempuan manis itu kepada Ohm. “Puimek.”

“Pacar Nanon.”

Tidak. Ohm tidak merasa hatinya remuk, sekarang. Tidak juga merasa kepalanya panas hingga ingin meledak. Tidak. Sama sekali tidak.

Sumpah demi apapun. Ohm ingin tertawa. Menertawakan segalanya.

Nanon? Dia diam. Berdiri di samping Puimek dengan tangan yang dirangkul erat oleh gadis itu.

“Halo.”

Akhirnya Ohm bisa membuka suara. Senyum tipis terulas di bibir. Bukan senyum getir, kini senyum Ohmㅡ terlalu sulit untuk disimpulkan apa artinya. Hanya sudut bibir yang terangkat, terlihat sinis.

“Ohm.” Ujarnya singkat sebelum akhirnya menambahkan, “temen lamanya Nanon.”

Puimek mengangguk, paham. Senyumnya terpampang lebar, sepertinya merasa senang karena bisa kenal dengan salah satu kawan kekasihnya. “Kayaknya kalian deket, ya? Sampai pelukan begitu?”

Ohm terdiam untuk beberapa detik, begitupun Nanon. Dari ujung matanya, Ohm dapat menangkap gelagat lelaki itu. Seperti ketakutan, takut ketahuan.

Bodoh.

“Iya,” jawab Ohm. “Deket, banget. Dulu.” Kalimat Ohm sempat menggantung sejenak sebelum akhirnya kembali dilanjutkan. “Mulai pacaran dari kapan?”

Jangan bilang. Jangan bilangㅡ

“Sebulan lalu.”

Oh. Semua sudah jelas. Terlalu sangat jelas, malah.

“Ah.” Ohm menggumam sebelum kembali menyunggingkan senyumannya. “Yang langgeng, ya?”

Thanks.” Balas Puimek, seakan tidak menangkap ada yang aneh dari ujaran lelaki yang baru dikenalinya barusan ini.

Tidak ada rasa sakit hati yang Ohm rasakan sekarang. Ataukah rasa sakitnya sudah teramat sangat parah sampai hatinya mati rasa seperti ini?

Entahlah. Ia, pusing.

Sorry ganggu. Gue cuma kaget bisa ketemu pacar lo di sini.” Ohm perlahan menghampiri Puimek kemudian menepuki bahunya, terlihat akrab. “Gue titip pesan ajaㅡ”

“ㅡjangan biarin Nanon lepas dari jarak pandang lo. Dia bisa kabur begitu aja dan susah buat lo kejer lagi.”

“Ilang.” “Dan bersikap kayak nggak pernah terjadi apa-apa.”

Bukannya Ohm tidak dapat menangkap tatapan heran dan alis yang bertaut dari Puimek ketika mendengar kalimat yang barusan ia ucapkan. Namun, sudahlah.

Tatapan Ohm teralih dari Puimek ke Nanon yang masih menunduk. Menolak bertatapan dengan Ohm. “Gue balik, ya. Sorry, tadi gue asal main peluk. Kaget. Nggak nyangka ..”

“.. bisa ketemu temen lama di sini.”

Sudah. Sudahlah. Lupakan. Biarkan.

Biarkan Nanon bermain dengan perempuan ini. Biarkan Nanon puas dengan cerita dan kekasih barunya. Biarkan, biarkan saja begitu.

Setidaknya, kali ini Ohm paham bahwa ada yang pergi dan tidak akan pernah kembali lagi.

Nanon.

END