“Jangan.“
“Aku mohon, jangan.“
“Nggak apa-apa.“
“Aku yang minta.“
“Bukannya Phi yang bilang, bahwa bakal kabulin apa yang aku minta? Iya, 'kan?“
“Gulf..”
“..tolong, jangan.“
Mew, lelaki yang kini tengah duduk berhadapan dengan lelaki jangkung lainnya, Gulf; masih menundukkan kepalanya. Kedua tangan Mew terkepal kuat di atas meja, sedikit gemetar. Entah karena alasan apa. Kedinginan? Tidak. Jaket tebal yang dikenakan semestinya bisa menghalau rasa itu. Takut? Mungkin. Namun, apa yang sebenarnya ia takutkan?
Takut,
mendengar permintaan Gulf barusan?
Takut,
memikirkan kemungkinan apa yang mungkin muncul di kemudian hari jika ia mengiyakan permintaan Gulf?
Takut,
terlalu amat takut.
“Apapun, boleh.“
“Apapun, selain itu.“
“Aku cuma mau itu.“
“Ya, Kak?“
“Temenin aku.“
“Aku percaya, semua bakal baik-baik aja. Asal Phi ada di sana.“
“Asal ada Phi Mew di sana, aku percaya nggak akan ada apa-apa.“
“Gulf..”
“..aku takut.“
Gulf meraih tangan Mew yang terkepal kemudian menggenggamnya kuat-kuat. Mungkin hanya usahanya saja yang ingin meremat kuat, karena bagi Mew yang tangannya digenggam...genggaman tangan Gulf terasa lemah. Ringkih. Seakan-akan jika sedikit diperkuat daripada sekarang, bisa saja tulang tangan Gulf yang patah.
Paham bahwa dirinya bisa saja luluh atas bujukan yang Gulf berikan melalui genggaman tangannya, Mew berupaya menarik tangannya dari kungkungan tangan si lelaki yang lebih muda. Perlahan saja.
Namun Gulf seperti tahu dan paham akan niatan Mew sehingga kini genggamannya malah diperkuat. Mencegah agar Mew tidak lari darinya.
“Phi.“
“Tolong..”
“..aku nggak mau lupain kamu begitu aja. Aku nggak mau kenangan tentang kamu terhenti di hari itu.“
“Tolong, Phi.“
“Temenin aku.“
“Bikin memori baru..”
“..buat aku kenang.”
“Tolong kabulin, Phi.“
Sakit. Setiap ujaran Gulf rasanya seakan membuat sebuah lubang yang menganga lebar di dada Mew. Setiap rematan yang diperkuat di tangan Mew, kini membuat si lelaki Jongcheveevat seakan bisa meledakkan tangisnya kapan saja.
“Jangan bikin aku jadi semakin ngerasa bersalah, Gulf..”
“Nggak, Phi.“
“Nggak akan ada yang nyalahin Phi.“
“Aku paham segala konsekuensi dan resikonya. Aku yakin, aku kuat.“
“Aku kuat.“
“Asalkan di sampingku ada Phi..”
Kepala Mew yang semula menunduk, akhirnya diberanikan untuk diangkat. Keputusan yang salah, karena kini mata Mew bertatapan dengan mata bening Gulf. Menatap seorang lelaki yang kepalanya terbalut perban, juga dengan wajah yang sedikit pucat serta lekuk pipi yang terlihat tirus.
Pemandangan yang berbeda dengan seseorang yang ia lihat sekitar tiga minggu lalu.
Tiga minggu lalu, sosok Gulf terlihat manis dengan jaket fakultasnya yang kebesaran. Sosok Gulf terlihat menawan dengan potongan rambut yang ia katakan baru ia tata karena akan bertemu dan berkencan dengan Mew.
Tiga minggu lalu, semua seindah itu. Semua semanis itu.
Namun semua seakan berubah menjadi malapetaka ketika di tengah perjalanan mereka, ada segerombolan pemuda berandalan yang menghadang.
Berandalan itu mengatakan jijik melihat dua lelaki dengan penampilan begitu berjalan beriringan. Mereka mengatakan dunia tidak akan mau melihat dua lelaki seperti mereka saling menjalin kasih juga mengatakan mereka berdua hanya membuat dunia menjadi tempat yang penuh dengan hal menjijikkan.
Mew masih ingat. Kala itu, Gulf terlihat ketakutan. Ia sedikit bersembunyi di balik Mew dengan tubuh yang gemetar ketakutan. Tangannya menggenggam tangan Mew kuat-kuat dari balik punggung si lelaki, seakan meminta perlindungan.
Tanpa diminta, Mew akan melakukannya. Tanpa diminta, Mew akan menjaga Gulf dengan cara apapun.
Awalnya, Mew berusaha mencari jalan keluar dengan cara damai. Tidak ingin terlibat dalam perkelahian yang sudah pasti akan dimenangkan oleh sekelompok berandalan itu. Lagi, Mew ingat ... jumlah mereka ada tujuh, atau delapan?
Entah. Yang pasti, Mew dan Gulf tidak akan dapat memenangkan situasi itu.
Mew menawarkan segala yang dapat ia tawarkan. Harta yang ia bawa, lebih tepatnya. Namun, para berandalan itu lebih tertarik dengan kenyataan bahwa mereka dapat melecehkan keadaan Mew dan Gulf yang istimewa dibandingkan orang-orang pada umumnya.
Mengatakan jijik.
Mengatakan tidak suka.
Mengatakan ingin memusnahkan mereka dari muka bumi.
Untuk kalimat terakhir, itu benar adanya. Tepat setelah salah satu diantara para berandalan mengatakan ingin memusnahkan mereka, salah satu yang lainnya melayangkan tinju ke perut Mew.
Mew bukan lelaki yang lemah, ia paham bagaimana cara untuk bertahan dan melindungi diri. Sehabis menerima tinjuan pada perut, Mew berusaha melawan.
Namun, mau bagaimana? Ia kalah dalam jumlah. Mau bagaimana? Jangankan untuk fokus melawan, perhatiannya selalu terbagi kepada Gulf yang tidak lagi bisa sembunyi di belakangnya. Takut akan adanya kemungkinan bahwa kekasihnya itu akan diserang oleh para berandalan.
“Lari!“
“LARI, GULF!“
Di tengah pukulan dan tinjuan yang dilayangkan ke tubuhnya, Mew berusaha berteriak. Mengingatkan Gulf untuk menyelamatkan diri sendiri terlebih dulu. Beruntung, Gulf paham. Dirinya bukan tipikal orang yang akan membuat drama dengan mengatakan tidak mau pergi demi menyelamatkan Mew.
Tidak. Gulf bukan lelaki yang begitu. Ia paham bahwa ia harus lari demi mencari bantuan agar bisa menyelamatkan Meㅡ
“JANGAN!“
Namun, semuanya berbanding terbalik.
Gulf paham, ia harus pergi. Akan tetapi ia tidak tahu mengapa kakinya malah berlari ke arah kerumunan yang mengelilingi Mew. Ia tidak tahu mengapa ia kini malah berbaring di atas tubuh Mew. Detik berikutnya, ia tidak tahu mengapa kepalanya terasa sangat panas dan nyeri. Sakit, rasanya seperti mau pecah.
Atau mungkin memang sudah pecah?
“GULF!“
Tubuh Gulf menghalangi pandangan Mew. Ia hanya bisa melihat bayangan orang-orang yang mengelilinginya. Akan tetapi semua tidak terlihat jelas karena darah yang mengalir dari pelipis Mew juga karena rasa sakit di sekujur tubuh sehabis ditendangi tanpa ampun.
Namun barusan saja, Mew mendengar ada suara pukulan yang keras. Lalu detik berikutnya, suara kerumunan itu seperti menjadi ramai. Terdengar panik.
Menit berikutnya, suara kayu yang terjatuh ke tanah terdengar diikuti dengan derap langkah banyak orang yang berlarian meninggalkan tempat Mew dan Gulf berada sekarang.
Dua menit berikutnya, sepi.
Mew tahu, semestinya ia bangun. Mew tahu, semestinya ia memeriksa kondisi Gulf karena sekarang lelaki itu seperti tidak bergerak dari atas tubuhnya. Namun tubuhnya tidak cukup kuat untuk melakukan itu.
Sekujur tubuhnya sakit. Pelipisnya berdarah sehingga membuat pandangannya kabur. Nafasnya sesak.
Yang Mew ingat, tiba-tiba dirinya diserang rasa kantuk yang teramat sangat. Yang Mew ingat, ia tertidur.
Yang Mew ingat, ketika ia terbangun...pandangannya sudah disambut oleh langit-langit ruang rumah sakit. Yang Mew ingat, ketika ia menolehkan kepalanya...Gulf ada di sana. Tertidur lelap dengan perban terbalut di kepalanya.
Gegar otak.
Itu yang dokter katakan kepada Mew perihal kondisi Gulf. Pukulan di kepala Gulf diberi dari batang balok kayu tebal dan mendarat tepat di titik vital bagian kepala.
Rasa sakit yang awalnya menjalar di sekujur tubuh Mew, seakan tidak lagi ada artinya. Membayangkan seberapa rasa sakit yang Gulf rasakan ketika berusaha menyelematkan dirinya malah membuat Mew jauh lebih kesakitan.
“Dia bisa sembuh, 'kan, dok?”
“Kemungkinan untuk sembuh selalu ada. Namun saya tidak berani menjanjikan seratus persen bahwa keadaan dan kondisi saudara Gulf akan kembali seperti semula. Di tengah masa penyembuhan, pasien mungkin akan merasakan pusing yang teramat sangat, mual, bahkan hingga muntah.”
“Kami menyarankan bahwa perawatan saudara Gulf dilakukan di rumah sakit hingga kondisinya dinyatakan membaik.”
Jadi, di sinilah Mew sekarang. Duduk berhadapan dengan Gulf di meja kecil yang ada di samping jendela kamar. Tangannya sedang digenggam kuat oleh si yang lebih muda, bingung harus melakukan apa.
Apakah harus mengabulkan?
Apakah harus menolak?
Mengabulkan apa, tanyamu?
Menolak apa, tanyamu?
Permintaan Gulf untuk pergi dari rumah sakit, berdua. Melanjutkan kencan mereka yang sewaktu itu bahkan belum sempat dimulai.
Permintaan bodoh. Sumpah, demi apapun, ingin sekali Mew berujar demikian.
Ingin sekali Mew berteriak dan menyadarkan Gulf bahwa dirinya memiliki kemungkinan terburuk akan hidupnya apabila terlalu kelelahan. Ingin sekali Mew mengingatkan bahwa baru saja tadi siang, Gulf tidak mengenali salah satu sahabat akrabnya, Mild, yang datang menjenguk.
Kondisi Gulf sudah separah itu. Namun yang bersangkutan malah ingin pergi dari sokongan infusnya, dari sambungan tabung oksigennya, hanya untuk menjalani kencan yang dahulu tidak sempat terlaksana?
Itu sama saja seperti menjemput kematian. Bukannya begitu?
Namun di sisi lain, hati kecil Mew bergembira. Membayangkan akan sebagaimana bahagianya mereka berdua nantinya, membayangkan banyak hal yang dapat mereka lakukan berdua, membayangkan sebagaimana banyak memori yang dapat mereka simpan dari kencan yang dimaksud oleh Gulf.
Mew pusing.
Pemikirannya terbagi dua.
Pusing. Sangat. Pusing.
Mengiyakan?
Atau, menolak?
* * * * *
Mew membenci dirinya sendiri.
Mew membenci dirinya yang memaksa dokter perawat Gulf agar membiarkan kekasihnya keluar dari rumah sakit. Mew membenci dirinya yang mengatakan semua akan bisa terkendali. Mew membenci dirinya sendiri yang menjanjikan sebuah hal yang ia sendiri tidak tahu bagaimana akan jadinya.
“Phi.“
Mew membenci dirinya sendiri yang barusan saja melupakan penyesalannya ketika melihat Gulf keluar dari kamarnya dengan penampilan yang sama persis seperti ketika mereka berjanji untuk menghabiskan waktu berdua. Potongan rambut yang sama. Senyum manis yang sama. Jaket fakultas yang kebesaran di tubuhnya pun, masih sama.
Yang berbeda hanyalah kini Gulf tidak lagi berdiri di hadapannya melainkan tengah duduk di atas kursi roda. Kedua tangannya ada di masing-masing roda, menggerakkannya agar ia dapat menghampiri Mew.
“Jangan!“
“Biar aku aja.“
Mew segera menghampiri Gulf dan berdiri di belakang kursi roda yang dinaikinya. Mengambil alih agar kursi itu bisa ia kendalikan. “Kamu nggak usah capek-capek, ya? Diem aja. Aku yang dorong. Kalau mau apa-apa bilang aja. Aku bakal lakuin.“
Gulf menggeleng. Kepalanya sedikit menengadah agar dapat menatap Mew di belakangnya. “Nggak, Phi. Udah cukup. Ini udah lebih daripada cukup.“
“Ada Phi, barengan sama aku. Semua udah lebih daripada cukup.“
Mew tersenyum tipis, terlalu sulit menjelaskan semua yang ia rasakan saat ini kepada si kekasih. Rasa sayangnya sudah terlampau dalam. Rasa sukanya sudah terlampau jauh melewati batas.
Tubuh Mew sedikit dirundukkan, sebuah kecupan didaratkan di kening Gulf yang kepalanya masih menengadah. Respon Gulf? Terkekeh. Terlihat senang, walaupun Mew dapat melihat wajah kekasihnya pucat dari jarak pandang sedekat ini.
Mereka berdua memutuskan pergi ke taman bermain. Bukan taman bermain yang ramai karena Mew paham semua itu terlalu beresiko untuk Gulf. Maka dipilihlah taman bermain yang tidak cukup ramai namun tetap memiliki berbagai fasilitas yang tidak kalah lengkap dibanding dua taman bermain terkenal lainnya.
Gulf tidak terlihat keberatan. Semenjak mereka berdua tiba di taman bermain, senyum lebar tidak henti-hentinya terulas di bibir Gulf. Selama Mew mendorong kursi roda yang dinaiki Gulf, si lelaki yang lebih muda menggenggam tangan Mew di belakangnya. Seperti tidak ingin terpisah, walau hanya sekejap saja.
Mew merutuk dalam hati. Seandainya para berandalan sialan itu tidak menghadang mereka, bagaimana mereka akan menghabiskan waktu seperti saat ini?
Tentu, akan tertawa dan berseru histeris ketika menaiki wahana menyeramkan bersama-sama.
Tentu, akan saling mengejek karena melihat sosok satu sama lain yang terlihat jenaka ketika mengenakan bando berbentuk kuping binatang.
Tentu, akan saling berbagi icip dari eskrim yang mereka beli bersama. Dua rasa berbeda, sengaja mereka beli agar dapat mengetahui kesukaan satu sama lain.
Pasti, akan begitu, 'kan?
“Phi..”
Genggaman tangan Gulf di tangan Mew yang masih memegangi pegangan kursi roda, terasa dikuatkan. Si lelaki yang lebih muda memanggil Mew dengan suara lemah juga kepala yang menengadah. “Phi terpaksa ngajak aku ke sini, ya?”
“Hm?“
“Nggak, kok.“
“Kenapa mikirnya begitu?“
“Daritadi..”
“..kamu cemberut.”
“Sama sekali nggak senyum.”
Mew meneguk ludah, merasakan perasaan campur aduk di perutnya yang malah membuat mual. Apakah dia sudah bodoh? Tolol? Padahal Gulf hanya ingin menghabiskan waktu bersamanya. Padahal Gulf sudah merelakan pasokan infus dan oksigen yang semestinya masuk ke tubuh dilepaskan. Kenapa ia malah tidak bisa fokus dan memberikan kebahagiaan ke kekasihnya, sih?
Perlahan, genggaman tangan Mew di pegangan kursi roda dilepaskan. Mew berjalan ke arah depan, menghampiri Gulf dan berlutut di hadapannya. “Gulf..”
”..aku nggak tau, apa kamu mikir hal yang sama atau nggak tentang aku. Tapi, tolong ketahui satu hal..”
”..aku sayang kamu.“
“Banget.“
“Kebangetan.“
Gulf yang hanya bisa duduk di kursi rodanya, memandangi Mew yang tengah berlutut di hadapan dengan senyum terulas manis. Tangan si lelaki yang lebih muda kini terangkat, mengusapi pipi Mew dengan lembut. “Phi..”
“..aku nggak tau apakah kamu tau hal ini atau nggak..”
“..tapi kalau ada kosakata yang bisa ngegambarin perasaan melebihi kata banget, sangat, terlalu, amat, dan semacamnya..”
“..tolong ketahui kalau itu adalah kata yang mau aku sampaiin buat kamu.“
“Ya?“
Tidak tahu. Mew tidak tahu apa yang barusan merasuki tubuhnya, namun ia baru saja merasakan perasaan hangat namun sesak di saat yang bersamaan. Tanpa ia sadari, tangisnya pecah. Persis seperti anak kecil, menangis di hadapan Gulf yang diam memperhatikannya seraya menyunggingkan senyum manis dihiasi lesung pipi. Usapan tangannya beralih dari pipi Mew ke rambut si kekasih. “Phi..”
“..jangan nangis.“
“Aku bahagia.“
“Bisa sama Phi kayak begini, aku seneng.“
“Kalau Phi nangis, aku ngerasa keberadaanku cuma nyusahin Phi. Hm? Phi mau aku mikir begitu?“
Mew menggeleng cepat. Suara tarikan nafasnya terdengar seperti ditahan agar tangisannya tidak lagi pecah. Gulf tertawa kecil, kemudian mencubit pelan ujung hidung Mew. “Ya, udah. Sekarang senyum, bangun, terus dorongin bangku aku. Ayo? Aku mau beli gulali di depan. Go! Go! Go!“
Gulf tahu, ia tidak akan lama-lama dapat mengenang semua memori indah ini. Tadi pagi, ketika Gulf bangun dari tidurnya, kepalanya sakit bukan main. Parahnya, untuk sesaat setelah ia bangun dari tidur, Gulf tidak dapat mengenali sosok Mew. Setelah ia berusaha keras, barulah ia mengingat bahwa sosok lelaki yang ada di sampingnya itu adalah Mew.
Gulf tidak dapat mengatakan hal itu kepada Mew. Gulf tidak mampu menjelaskan bahwa dirinya bahkan sudah tidak lagi dapat mengingat Mew.
Untuk terakhir kalinya, biarpun mungkin akan dapat terlupakan dalam sekejap...Gulf ingin mengingat momen ini.
Ketika langit terlihat cerah. Ketika angin berhembus sejuk. Ketika ia dapat mendengar suara Mew. Ketika Mew tersenyum kepadanya. Ketika mereka tertawa bersama.
Gulf ingin mengingat.
Semuanya,
tanpa terkecuali.
* * * * *
Lagi-lagi Mew bermimpi buruk.
Sudah dua bulan berlalu semenjak kencan keduanya di taman bermain. Semenjak itu pula, Mew memutuskan untuk merawat Gulf di rumah dengan fasilitas seadanya. Orangtua Gulf sudah tiada, ia dibesarkan di panti asuhan hingga akhirnya memutuskan untuk pergi dari sana dengan niat untuk mandiri.
Mew sendiri tidak memiliki niatan untuk menceritakan perihal Gulf ke keluarganya. Tidak akan ada hasil yang baik, pasti. Lebih baik begini, Mew sendirian mengurus Gulf. Mengusahakan kesembuhan sebisanya.
Namun, semenjak beberapa saat ke belakang...kondisi Gulf tidak bisa dikatakan membaik. Keadaan si kekasih malah semakin memprihatinkan. Tubuhnya semakin kurus, setiap makanan yang ditelannya akan kembali dimuntahkan.
Mew paham, Gulf tidak berniat memuntahkannya namun tubuhnya yang menolak untuk mencerna. Wajahnya pucat. Bahkan kerapkali Gulf kejang-kejang secara tiba-tiba dan membuat Mew histeris di awal-awal.
Sahabat Gulf, Mild, masih sering datang untuk menjenguk si sahabat. Sesekali membantu Mew untuk menjaga Gulf. Berulang kali, Mild mengingatkan Mew untuk pasrah dan selalu bersiap untuk kemungkinan terburuk.
Tidak salah jika Mild berujar demikian. Gulf sudah tidak dapat berbicara secara wajar. Terkadang bicaranya menjadi gagap. Ingatannya tentang sekitar sudah sangat minim. Ia tidak ingat apapun, terkecuali Mew.
Lalu, seakan belum cukup tragis...Mew sering dilanda mimpi buruk akhir-akhir ini. Mimpi di mana Gulf benar-benar pergi meninggalkannya. Pergi, ke tempat jauh yang sama sekali tidak bisa ia raih. Seperti saat ini, Mew terbangun dengan nafas tersengal karena mimpi yang sama.
Mew jadi takut untuk terlelap, karena khawatir mimpinya bisa menjadi kenyataan kala ia sedang tertidur.
“Phi..“, bisik Gulf lemah. Sepertinya Gulf juga ikut terbangun kala Mew tersentak karena mimpinya barusan.
Mew yang barusan sedang menangis tanpa suara, segera menghapus air matanya kemudian mengulas senyum lebar. “Hm? Kenapa? Haus? Mau minum?“
Gulf menggeleng. Tangan ringkihnya meraih tangan Mew, tidak sanggup menggenggam dan hanya berakhir memegangnya saja. “Kenapa nangis?”
“Nggak.“
“Nggak nangis.“
“Ini lagi berdoa.“
Mew menggenggam tangan Gulf. Terasa dingin, kurus pula. “Berdoa buat kesembuhan kamu.“
Gulf tidak menjawab. Kepalanya terasa lebih pusing daripada biasanya akhir-akhir ini. Ia pun semakin sering muntah, tidak hanya ketika sedang makan namun juga ketika ia tidak sedang melakukan apa-apa. Berulang kali, ia hampir melupakan dan tidak ingat perihal Mew. Gulf sampai harus menuliskan nama Mew di banyak tempat di sekeliling kasurnya agar ia dapat mengingat Mew tanpa harus berpikir keras.
Mew mengangkat tangan Gulf yang ia genggam dan mengecupi punggung tangannya beberapa kali.
“Gulf.“
“Jangan tinggalin aku.“
Gulf terdiam. Tidak sanggup mengiyakan, tidak mau berjanji karena ia tahu bisa saja janji itu ia ingkari. Jika bisa memilih, Gulf tidak ingin meninggalkan Mew. Namun, ia bisa apa? Tubuhnya semakin sering kejang-kejang.
“Phi..”
“.. kalau Tuhan berbaik hati kasih aku satu permintaan buat dikabulin, aku pengen bisa hidup lebih lama.“
“Kalaupun aku nggak bisa sembuh, nggak apa-apa. Beneran. Aku cuma pengen bisa lebih lama barengan sama kamu.“
Ingin sekali Mew menyela kalimat Gulf dengan mengatakan bahwa ia pasti bisa sembuh. Ingin sekali Mew bersikeras menyatakan bahwa Gulf tidak akan pergi atas alasan apapun.
Namun lidahnya kelu. Otak Mew seakan mengingat bahwa semuanya tidak semudah itu. Kemungkinan Gulf untuk sembuh sudah sangat rendah, yang bisa ia lakukan hanyalah menjaga Gulf agar waktu hidup lelaki itu menjadi lebih panjang.
“Phi..”
“..Phi kuat, ya?“
“Bakal ada masanya Phi jalanin semuanya sendirian..”
“Kalau Tuhan baik, aku bakal minta Tuhan izinin aku buat jagain Phi dari surga sana..”
Mew berusaha mati-matian agar tangisnya tidak lagi meledak. Gulf mengatakan kalimatnya dengan manis, dengan kedua lesung pipi yang terbentuk dalam-dalam.
Lesung pipi yang membuat Mew selalu terjatuh ke dalam pesona lelaki itu.
Tanpa Mew sadari, genggaman tangan Mew di tangan Gulf semakin dieratkan hingga membuat kekasihnya itu sedikit mengaduh kesakitan.
“A— Phi, sakit..”
Mew segera mengendurkan genggamannya dan meminta maaf. Tangannya kini beralih mengusapi rambut Gulf, seperti menina-bobokannya. “Istirahat, ya?“
Gulf mengangguk lemah. Perlahan, matanya terpejam dan nafasnya terembus teratur. Mew masih mengusapi rambut Gulf, memilih untuk tidak tidur.
Ia takut, mimpi buruknya kembali datang untuk menyapa.
* * * * *
Lima hari kemudian, mimpi buruk Mew benar-benar menjadi kenyataan.
Gulf tidak terbangun dari tidurnya walaupun Mew berkali-kali memanggil namanya. Gulf sama sekali tidak bergeming walaupun Mew menepuki pipinya dengan cukup kencang.
Gulf pergi, setelah malam sebelumnya ia menghabiskan waktu dengan terbangun hingga larut malam demi untuk berbicara tentang banyak hal dengan Mew.
Gulf mengatakan tubuhnya terasa lebih baik. Sehingga ia meminta Mew untuk membiarkannya terbangun hingga larut malam. Gulf mengatakan tubuhnya cukup kuat untuk bangun dari kasur, maka ia meminta Mew menuntunnya ke sofa ruang tamu untuk menonton film bersama.
Selama menonton film bersama, Mew merasakan senang yang bukan main. Gulf tidak terlihat lemah. Nada bicaranya juga tidak lagi terdengar lemah dan terbata-bata. Gulf merengek, mengatakan ingin meminum susu stroberi dan camilan biskuit.
Mew sudah khawatir apabila kekasihnya itu akan muntah-muntah lagi. Namun tidak demikian. Hampir setengah bungkus camilan dilahap, hampir sekotak susu diteguk, Gulf tidak menunjukkan tanda bahwa ia merasa mual. Ia malah tergelak puas ketika salah satu adegan film menunjukkan situasi komedi yang menggelitik perut.
Saat itu, Mew merasa bahwa mukjizat itu memang benar adanya. Bahwa Gulf benar, kondisinya sudah membaik.
Maka Mew membiarkan Gulf terbangun hingga larut malam. Maka Mew menghabiskan tengah malamnya dengan membicarakan banyak hal bersama Gulf.
Maka Mew terlelap dengan senyum merekah. Membayangkan akan sebagaimana bahagia masa yang akan datang dengan Gulf di sisinya.
Namun semua semu.
Semua hanya halu.
Kini Mew berdiri bersisian dengan Mild yang masih merangkulnya erat. Takut-takut kekasih sahabatnya itu akan ambruk, Mild terus merangkul Mew selama prosesi pemakaman Gulf berlangsung. Hingga semua prosesi sudah selesai, Mild meminta izin untuk pulang terlebih dulu.
Hingga akhirnya, hanya Mew yang tersisa di area pemakaman. Bersama dengan Gulf, di tempat yang kini berbeda.
Di dunia yang juga berbeda.
Dari dalam sakunya, Mew mengeluarkan sepucuk surat yang ada di atas nakas tempat tidur. Surat yang ditinggalkan Gulf untuknya. Entah ditulis sejak kapan, Mew tidak tahu. Namun diantara banyak kalimat yang dituliskan, ada satu kalimat yang membuat Mew merasa sesak bukan main.
daripada menjanjikan hal yang sulit ditepati
mari kita diam saja dan saling percaya
Semenjak awal, Gulf tidak berani berjanji. Namun ia percaya kepada Mew bahwa dirinya akan selalu aman di pelukan lelaki itu. Gulf menyerahkan semuanya kepada Mew.
Mew mengusapi foto Gulf yang ada di atas gundukan tanah tempat kekasihnya dikebumikan. Foto yang diambil oleh Mew ketika mereka masih awal-awal menjalin hubungan. Foto Gulf yang tersenyum manis ke arah kamera, sehingga Mew jadikan wallpaper handphonenya karena saking menyukai sang objek di dalamnya.
wajahmu yang sekarang kupandang
begitu cantik dibanding hari lainnya
terima kasih sudah tersenyum sebegitu cerahnya untukku
Gulf
Selamat tinggal, untuk malam ini
hanya untuk sebentar saja, selamat tinggal
Masih, Mew masih mengusapi kaca bingkai yang melapisi foto Gulf. Berusaha menyampaikan seluruh rasa sayang yang ia miliki kepada si kekasih melalui setiap sentuhannya.
aku akan jadi lebih baik lagi
lalu berdiri di hadapanmu nanti
Mew menghela nafas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan. Gulf tidak akan pernah pergi darinya. Ia pernah berjanji bahwa akan menjaga Mew dari tempatnya berada sekarang, di surga. Tuhan tidak akan sejahat itu untuk membiarkan Gulf terkungkung di penjaranya.
Tuhan pasti akan mengabulkan karena tidak kuat melihat manisnya senyum Gulf. Sama seperti Mew yang selalu bertekuk lutut akan setiap permintaan si kekasih ketika ia sudah tersenyum manis.
Di dunia ini, di saat ini, biarlah Gulf yang menjaga dirinya dari surga. Lalu di suatu saat nanti, ketika mereka sudah kembali bisa bersama, Mew akan menjalankan tanggung jawabnya yang tertunda.
Menjaga Gulf.
Sebaik yang ia bisa.
Hingga akhirnya saat itu tiba,
selamat tinggal untuk sementara.
END