dontlockhimup

“Hai! Saya yang namanya Tawan.”

Gulf memandangi uluran tangan dari seorang laki-laki bertubuh sedikit lebih pendek daripada dirinya untuk beberapa detik. Lelaki itu memperkenalkan diri sebagai Tawan, kulitnya terlihat agak kecoklatanㅡ sama seperti Gulf sendiri. Jujur saja, apa yang sebelumnya dibayangkan oleh Gulf agak sedikit berbeda dengan kenyataan yang sekarang ada di hadapannya. Awalnya Gulf mengira sosok Tawan akan terlihat sangat culun karena jabatannya sebagai pengelola para penghuni apartemen, namun kenyataannya sosok Tawan adalah lelaki yang tampan dan gagah walaupun ada kacamata tebal tersampir di ujung hidungnya.

Merasa uluran tangannya tidak segera disambut, Tawan sedikit lebih memanjangkan sodoran lengan. Ia bertindak demikian agar Gulf bisa sedikit lebih sadar bahwa ada uluran tangannya yang meminta untuk dibalas. “Inget, 'kan? Yang chat sama kamu tadi pagi,” ujar Tawan mencoba berbasa basi agar Gulf memberi balas jabatan tangannya.

Gulf mengangguk kecil, senyuman tipis terulas di bibirnya sebagai bentuk tanda kesopanan. Tak lama, Gulf meraih uluran tangan Tawan dan menjabatnya lumayan erat. “Salam kenal, Phi. Saya Gulf,” ujar Gulf, memperkenalkan dirinya sendiri. “Panggil Kanawut juga boleh. Terserah gimana enaknya aja.”

Saat ini, Gulf dan Tawan ada di lantai satu. Tepatnya di sebuah ruangan yang lebih layak disebut aula sederhana, tidak begitu besar namun juga tidak begitu sempit. Cukup untuk dijadikan ruang berkumpul sekitar sepuluh orang. “Oh!”, Tawan sedikit menaikkan nada bicaranya ketika melihat Gulf mengedarkan pandangan, seakan sedang mencari tahu siapa-siapa saja yang ada di ruangan ini. “Baru ada aku yang datang, tapi nanti sisanya akan datang menyusul. Aku sudah bilang ini perayaan untuk menyambut kamu yang baru masuk ke apartemen inㅡ Oh! Hei! Kalian, hei! Sini, orangnya di sini!”

Gulf mengalihkan pandangannya ke arah belakang, dimana Tawan memberi sambut atas kedatangan seseorang. Benar saja, dari sana sudah ada dua orang siswa-siswi yang mengenakan seragam sekolah menengah atas tengah berjalan menghampiri Tawan juga Gulf yang berdiri bersisian.

Sorry, Phi! Jalanan agak padat, jadi terlambat datangnya,” ucap seorang gadis yang rambutnya dikepang sebelah. Tampak cantik, bahkan hingga membuat Gulf harus sedikit menjauhkan diri dari si gadis itu agar wajahnya yang memerah tidak terlihat oleh ketiga orang yang ada di sampingnya. “Nanon juga, lama banget ngurusin ini-itunya di perpustakaan. Suka nyebelin, deh, emang.”

Gulf melirik sekilas ke arah nametag yang terpasang di bagian saku sebelah kanan dari baju seragam keduanya. Jane Ramida, si gadis. Nanon Korapat, si anak lelaki yang sedari tadi terlihat tidak begitu menaruh minat akan situasi di sekelilingnya. Ia terlihat masih asik dengan buku terkait astronomi yang sedang dibaca olehnya.

“Gulf,” panggilan dari Tawan membuat perhatian Gulf ke sosok lelaki bernama Nanon itu teralih. Dengan segera, ia mengalihkan fokus kepada Tawan yang barusan memanggilnya. “Ya, Phi?”

“Ini Jane,” Tawan merangkul pundak si gadis. Tampak sangat akrab hingga membuat Gulf sedikit penasaran apakah mereka berdua memiliki hubungan lebih selain hanya status teman satu apartemen? “Dia tinggal di lantai dua, 202. Sebelahan sama Nanon, anak yang sekarang di belakang kamu itu.”

Sontak, Gulf memutarkan posisi tubuhnya agar menghadap ke belakang. Benar saja, Nanon sudah duduk di sofa kecil yang posisinya memang ada di belakang Gulf. “Nanon, kasih salam,” ucap Tawan dan dibalas dengan sebelah tangan Nanon yang terangkat tanpa mengalihkan pandangannya dari buku di dalam genggaman.

Tawan menggeleng-gelengkan kepalanya setelah melihat tindakan Nanon. “Sorry, Gulf. Dia emang anaknya begitu. Sekalinya udah pegang buku, nggak akan bisa lepas, deh.”

“Kalau aku sia-siain waktu buat santai-santai, beasiswaku bakal dicabut, Phi. Kayak suka nggak tau situasi aja, ngomongnya.” Nanon berujar dengan nada yang sedikit ketus, diikuti dengan Jane yang tengah mengusapi punggung Tawan agar tidak termakan emosi.

Jane sedikit lebih mendekatkan tubuhnya ke arah Tawan untuk membisikkan sesuatu. “Udah, sabar. Nanon ada masalah di sekolah, nilainya turun 0,01. Untungnya tadi Bapak Kepala Sekolah masih mau kasih toleransi jadi beasiswanya masih aman, tapi kalau setelahnya nilai dia turun lagㅡ AAAWWW!”, bisikan Jane di telinga Tawan terputus ketika sebuah jitakan mendarat dengan mulus di kepalanya.

Si gadis berkepang sebelah segera menolehkan kepalanya dan menemui sosok Jumpol sudah berdiri di belakang mereka berdua. Di wajah jenaka lelaki itu, tergurat alisnya yang sedikit naik tatkala melihat kedekatan Tawan dengan Jane. “Jangan pacaran, nanti kalau udah putusnya malah ribet. Kayak Tay sama Mild,” celetuk Jumpol yang dibalas dengan tinjuan kecil di pundak dari Tawan.

“Jangan ngomong macem-macem, mending kenalan dulu sama anak baru, nih. Gulf, ini Off Jumpol yang tinggal di kamar 203, sebelahan sama Jane. Anaknya agak ember, jangan sepenuhnya percaya sama omongan dia. Jumpol, ini Gulf.”

Tawan berdiri di tengah-tengah antara Jumpol dan Gulf, sementara itu Jumpol sudah memamerkan senyumannya dengan lebar seraya mengulurkan tangan kepada Gulf. “Salam kenal, anak baru! Ke depannya, kehidupan kamu di sini bakal sangat berat tapi ya dinikmati aja, yㅡAWWW! APAAN, SIH?”, Jumpol sedikit berteriak ketika kepalanya dipukul dari belakang oleh Tawan.

“Nggak usah ngomong macem-macem dulu, kita cuma bakal adain pesta penyambutan aja. Perihal itu kita obrolin nanti,” ucap Tawan yang membuat alis Gulf sedikit bertaut. Namun ia tidak bisa menyuarakan tanya karena sekarang ada dua orang lelaki memasuki ruang berkumpul. Salah satunya terlihat agak mungil sementara satunya lagi memiliki tinggi yang hampir setara dengan Gulf.

“Bright! Gun! Gue kira kalian nggak bakal dateng,” seru Jumpol seraya berjalan menghampiri keduanya dengan langkah tergesa. Tanpa meminta permisi terlebih dahulu, Jumpol meraih kantung plastik yang dijinjing oleh Gun dan mengeluarkan sekaleng bir dingin dari sana. “Aaah, ini dia! Nih, di tempat yang namanya pesta 'tuh mesti ada minuman bir begini, Tawan! Bukannya malah jus apel,” sindir Jumpol seraya menunjuk botol jus apel yang sudah disediakan di atas meja bundar ruang tamu.

Tawan melengos, “ada anak SMA di sini, jangan macem-macem, deh.” Ujaran Tawan barusan dibalas dengan bahu Jumpol yang terangkat, seakan tidak begitu menaruh peduli. “Oh, iya. Gulf. Kenalin, yang ini namanya Gun. Dia ada di kamar 302,” Tawan memperkenalkan keduanya dan dibalas dengan anggukan sopan dari Gulf sementara Gun hanya menganggukkan kepala seadanya. “Nah, kalau yang ini...”

“Bright.” Kalimat Tawan diputus secara sepihak oleh pihak yang memperkenalkan diri, Bright. Lelaki itu mengulurkan tangan kanannya kepada Gulf, tatapannya ditujukan lurus-lurus ke arah lawan bicaranya.

Setelah sempat merasa ragu untuk beberapa saat, Gulf akhirnya menyambut uluran tangan Bright dan memberi balas jabatan sebagai bentuk perkenalan. Namun ketika tangan Gulf bersambut dengan tangan Bright, lelaki di hadapannya itu malah menggenggamnya dengan sangat erat; bahkan hingga membuat Gulf sedikit meringis kesakitan. “Aㅡanu, bisa tolong lepas?”, pinta Gulf dan membuat Bright tersadar bahwa ia sudah melakukan perkenalan secara berlebihan. Dengan segera, jabat tangannya dengan Gulf dilepas. Bright terlihat linglung, bukan main.

“Bright,” Tawan menepuk bahu si lelaki penghuni kamar 201; ingin memastikan apakah semuanya baik-baik saja. “Lo nggak apa-apa?”

Bright menggeleng, wajahnya menjadi sedikit pucat. “Phi, kayaknya gue mesti balik ke kamar. Agak sedikit nggak enak badan. Sorry nggak bisa ikutan, guys,” ujar Bright kepada Jane, Nanon, Jumpol, dan Gun yang berdiri di belakang Tawan. Setelahnya, ia berderap lari menuju ke arah tangga dengan sangat tergesa. Gulf bahkan melihat Bright sempat menutupi mulutnya dengan sebelah tangan, seperti menahan mual yang teramat sangat.

“Ya, pada akhirnya yang bisa kumpul cuma berlima,” ujar Tawan seraya menggaruki punggung kepalanya. Jumpol yang sedang mengunyah camilan ringan yang disiapkan oleh Tawan, memberi sahutan. “Mew on the way ke sini, 'kan? Singto juga.”

“Mew masih harus urus kerjaan di kantor, katanya. Dia punya project baru yang nggak bisa ditinggal. Terus Singtoㅡ nggak tau, deh. Itu anak nggak ada di kamar. Ditelfon juga nggak nyambung-nyambung,” jelas Tawan.

“Aku coba bujuk Phi Mild buat keluar, deh,” ucap Jane seraya bersiap untuk melangkah menuju kamar Mild yang ada di lantai satu, tepatnya di kamar 102. Akan tetapi, Tawan menahan langkah si gadis. “Biarin, dia lagi tidur. Katanya pusing jadi nggak bisa ikut ke sini,” jelas Tawan dan dibalas dengan gumaman penuh nada menggoda dari keempat yang lainnya.

“Kayaknya ada yang bakal CLBK, nih,” celetuk Nanon seraya membalikkan buku di tangannya ke halaman berikut. “Padahal dari kemarin udah kayak nggak kenal satu sama lain, sekarang udah tau kalau salah satunya ada yang sakit. Hmm, cukup tau aja.”

“Yah, kalah start lagi, nih,” ujar Jumpol dengan nada jenaka. Ia menepuki keningnya dan bersikap over-acting dengan memasang ekspresi seperti akan menangis. “Padahal gue kira bakal bisa jagain Mild sehabis dia putus dari lo, rupanya pesona seorang Tay Tawan terlalu susah buat dikalahin.”

Gun yang mendengar pembicaraan dari semua hanya memasang senyum tipis, ia berniat meraih gelas berisi air mineral dingin yang tersedia di atas meja namun Jane menghentikan gerakan Gun dengan menyodorkan segelas air hangat. “Kalau mau minum obat, jangan pakai air dingin, Phi. Air hangat, nih,” ujar Jane dengan nada agak ketus. Gun tidak memberi respon apapun, namun tangannya tetap menerima sodoran air minum hangat dari Jane.

Sementara itu, Gulf masih berdiri di tempatnya. Ia sedikit merasa kebingungan bagaimana harus menempatkan diri di tengah penghuni lain yang terlihat sudah sangat akrab satu dengan yang lainnya. Dari tempatnya berdiri sekarang, Gulf sedang menyimpulkan situasi apa yang sudah terjadi sejak awal di sini.

Tawan yang sudah putus dengan mantannya yang tinggal di kamar 103. Jumpol yang sepertinya terlihat sebagai lelaki jenaka, lalu Gun yang pendiam. Nanon yang terlalu gila dengan aktivitas bernama belajar dan Jane yangㅡ sama seperti perempuan lainnya.

“Hei, Gulf. Ngapain bengong?” Tiba-tiba panggilan dari Tawan yang diserukan dari arah meja bundar yang diisi banyak cemilan ringan membuat Gulf tersadar dari lamunannya. “Sini, dong. Acara ini 'kan dibikin buat menyambut kamu. Kalau kamunya bengong, apa gunanya?”, ujar Tawan seraya merangkul bahu Gulf tatkala lelaki itu sudah menghampiri semuanya.

Dengan segera, Tawan menyodorkan segelas jus apel kepada Gulf. “Untuk Gulf yang baru bergabung dengan blok distrik lima, semoga bisa betah di sini, ya!”

Nanon, Jane, Jumpol, dan Gun mengangkat gelas di tangannya masing-masing; mengikuti tindak Tawan yang juga melakukan hal demikian. Tak urung, Gulf juga ikut melakukan hal yang sama.

Enam gelas terangkat tinggi-tinggi di udara. Enam insan tengah berbagi tawa serupa. Tanpa keenamnya bisa terka, bencana akan menyapa.

Jangan.“ “Aku mohon, jangan.

Nggak apa-apa.“ “Aku yang minta.“ “Bukannya Phi yang bilang, bahwa bakal kabulin apa yang aku minta? Iya, 'kan?

Gulf..” “..tolong, jangan.

Mew, lelaki yang kini tengah duduk berhadapan dengan lelaki jangkung lainnya, Gulf; masih menundukkan kepalanya. Kedua tangan Mew terkepal kuat di atas meja, sedikit gemetar. Entah karena alasan apa. Kedinginan? Tidak. Jaket tebal yang dikenakan semestinya bisa menghalau rasa itu. Takut? Mungkin. Namun, apa yang sebenarnya ia takutkan?

Takut, mendengar permintaan Gulf barusan?

Takut, memikirkan kemungkinan apa yang mungkin muncul di kemudian hari jika ia mengiyakan permintaan Gulf?

Takut, terlalu amat takut.

Apapun, boleh.“ “Apapun, selain itu.

Aku cuma mau itu.“ “Ya, Kak?“ “Temenin aku.“ “Aku percaya, semua bakal baik-baik aja. Asal Phi ada di sana.

Asal ada Phi Mew di sana, aku percaya nggak akan ada apa-apa.

Gulf..” “..aku takut.

Gulf meraih tangan Mew yang terkepal kemudian menggenggamnya kuat-kuat. Mungkin hanya usahanya saja yang ingin meremat kuat, karena bagi Mew yang tangannya digenggam...genggaman tangan Gulf terasa lemah. Ringkih. Seakan-akan jika sedikit diperkuat daripada sekarang, bisa saja tulang tangan Gulf yang patah.

Paham bahwa dirinya bisa saja luluh atas bujukan yang Gulf berikan melalui genggaman tangannya, Mew berupaya menarik tangannya dari kungkungan tangan si lelaki yang lebih muda. Perlahan saja.

Namun Gulf seperti tahu dan paham akan niatan Mew sehingga kini genggamannya malah diperkuat. Mencegah agar Mew tidak lari darinya.

Phi.“ “Tolong..” “..aku nggak mau lupain kamu begitu aja. Aku nggak mau kenangan tentang kamu terhenti di hari itu.

Tolong, Phi.“ “Temenin aku.“ “Bikin memori baru..” “..buat aku kenang.”

Tolong kabulin, Phi.

Sakit. Setiap ujaran Gulf rasanya seakan membuat sebuah lubang yang menganga lebar di dada Mew. Setiap rematan yang diperkuat di tangan Mew, kini membuat si lelaki Jongcheveevat seakan bisa meledakkan tangisnya kapan saja.

Jangan bikin aku jadi semakin ngerasa bersalah, Gulf..”

Nggak, Phi.“ “Nggak akan ada yang nyalahin Phi.

Aku paham segala konsekuensi dan resikonya. Aku yakin, aku kuat.

Aku kuat.“ “Asalkan di sampingku ada Phi..”

Kepala Mew yang semula menunduk, akhirnya diberanikan untuk diangkat. Keputusan yang salah, karena kini mata Mew bertatapan dengan mata bening Gulf. Menatap seorang lelaki yang kepalanya terbalut perban, juga dengan wajah yang sedikit pucat serta lekuk pipi yang terlihat tirus.

Pemandangan yang berbeda dengan seseorang yang ia lihat sekitar tiga minggu lalu.

Tiga minggu lalu, sosok Gulf terlihat manis dengan jaket fakultasnya yang kebesaran. Sosok Gulf terlihat menawan dengan potongan rambut yang ia katakan baru ia tata karena akan bertemu dan berkencan dengan Mew.

Tiga minggu lalu, semua seindah itu. Semua semanis itu.

Namun semua seakan berubah menjadi malapetaka ketika di tengah perjalanan mereka, ada segerombolan pemuda berandalan yang menghadang.

Berandalan itu mengatakan jijik melihat dua lelaki dengan penampilan begitu berjalan beriringan. Mereka mengatakan dunia tidak akan mau melihat dua lelaki seperti mereka saling menjalin kasih juga mengatakan mereka berdua hanya membuat dunia menjadi tempat yang penuh dengan hal menjijikkan.

Mew masih ingat. Kala itu, Gulf terlihat ketakutan. Ia sedikit bersembunyi di balik Mew dengan tubuh yang gemetar ketakutan. Tangannya menggenggam tangan Mew kuat-kuat dari balik punggung si lelaki, seakan meminta perlindungan.

Tanpa diminta, Mew akan melakukannya. Tanpa diminta, Mew akan menjaga Gulf dengan cara apapun.

Awalnya, Mew berusaha mencari jalan keluar dengan cara damai. Tidak ingin terlibat dalam perkelahian yang sudah pasti akan dimenangkan oleh sekelompok berandalan itu. Lagi, Mew ingat ... jumlah mereka ada tujuh, atau delapan?

Entah. Yang pasti, Mew dan Gulf tidak akan dapat memenangkan situasi itu.

Mew menawarkan segala yang dapat ia tawarkan. Harta yang ia bawa, lebih tepatnya. Namun, para berandalan itu lebih tertarik dengan kenyataan bahwa mereka dapat melecehkan keadaan Mew dan Gulf yang istimewa dibandingkan orang-orang pada umumnya.

Mengatakan jijik. Mengatakan tidak suka. Mengatakan ingin memusnahkan mereka dari muka bumi.

Untuk kalimat terakhir, itu benar adanya. Tepat setelah salah satu diantara para berandalan mengatakan ingin memusnahkan mereka, salah satu yang lainnya melayangkan tinju ke perut Mew.

Mew bukan lelaki yang lemah, ia paham bagaimana cara untuk bertahan dan melindungi diri. Sehabis menerima tinjuan pada perut, Mew berusaha melawan.

Namun, mau bagaimana? Ia kalah dalam jumlah. Mau bagaimana? Jangankan untuk fokus melawan, perhatiannya selalu terbagi kepada Gulf yang tidak lagi bisa sembunyi di belakangnya. Takut akan adanya kemungkinan bahwa kekasihnya itu akan diserang oleh para berandalan.

Lari!“ “LARI, GULF!

Di tengah pukulan dan tinjuan yang dilayangkan ke tubuhnya, Mew berusaha berteriak. Mengingatkan Gulf untuk menyelamatkan diri sendiri terlebih dulu. Beruntung, Gulf paham. Dirinya bukan tipikal orang yang akan membuat drama dengan mengatakan tidak mau pergi demi menyelamatkan Mew.

Tidak. Gulf bukan lelaki yang begitu. Ia paham bahwa ia harus lari demi mencari bantuan agar bisa menyelamatkan Meㅡ

JANGAN!

Namun, semuanya berbanding terbalik.

Gulf paham, ia harus pergi. Akan tetapi ia tidak tahu mengapa kakinya malah berlari ke arah kerumunan yang mengelilingi Mew. Ia tidak tahu mengapa ia kini malah berbaring di atas tubuh Mew. Detik berikutnya, ia tidak tahu mengapa kepalanya terasa sangat panas dan nyeri. Sakit, rasanya seperti mau pecah.

Atau mungkin memang sudah pecah?

GULF!

Tubuh Gulf menghalangi pandangan Mew. Ia hanya bisa melihat bayangan orang-orang yang mengelilinginya. Akan tetapi semua tidak terlihat jelas karena darah yang mengalir dari pelipis Mew juga karena rasa sakit di sekujur tubuh sehabis ditendangi tanpa ampun.

Namun barusan saja, Mew mendengar ada suara pukulan yang keras. Lalu detik berikutnya, suara kerumunan itu seperti menjadi ramai. Terdengar panik.

Menit berikutnya, suara kayu yang terjatuh ke tanah terdengar diikuti dengan derap langkah banyak orang yang berlarian meninggalkan tempat Mew dan Gulf berada sekarang.

Dua menit berikutnya, sepi.

Mew tahu, semestinya ia bangun. Mew tahu, semestinya ia memeriksa kondisi Gulf karena sekarang lelaki itu seperti tidak bergerak dari atas tubuhnya. Namun tubuhnya tidak cukup kuat untuk melakukan itu.

Sekujur tubuhnya sakit. Pelipisnya berdarah sehingga membuat pandangannya kabur. Nafasnya sesak.

Yang Mew ingat, tiba-tiba dirinya diserang rasa kantuk yang teramat sangat. Yang Mew ingat, ia tertidur.

Yang Mew ingat, ketika ia terbangun...pandangannya sudah disambut oleh langit-langit ruang rumah sakit. Yang Mew ingat, ketika ia menolehkan kepalanya...Gulf ada di sana. Tertidur lelap dengan perban terbalut di kepalanya.

Gegar otak.

Itu yang dokter katakan kepada Mew perihal kondisi Gulf. Pukulan di kepala Gulf diberi dari batang balok kayu tebal dan mendarat tepat di titik vital bagian kepala.

Rasa sakit yang awalnya menjalar di sekujur tubuh Mew, seakan tidak lagi ada artinya. Membayangkan seberapa rasa sakit yang Gulf rasakan ketika berusaha menyelematkan dirinya malah membuat Mew jauh lebih kesakitan.

Dia bisa sembuh, 'kan, dok?”

“Kemungkinan untuk sembuh selalu ada. Namun saya tidak berani menjanjikan seratus persen bahwa keadaan dan kondisi saudara Gulf akan kembali seperti semula. Di tengah masa penyembuhan, pasien mungkin akan merasakan pusing yang teramat sangat, mual, bahkan hingga muntah.”

“Kami menyarankan bahwa perawatan saudara Gulf dilakukan di rumah sakit hingga kondisinya dinyatakan membaik.”

Jadi, di sinilah Mew sekarang. Duduk berhadapan dengan Gulf di meja kecil yang ada di samping jendela kamar. Tangannya sedang digenggam kuat oleh si yang lebih muda, bingung harus melakukan apa.

Apakah harus mengabulkan? Apakah harus menolak?

Mengabulkan apa, tanyamu? Menolak apa, tanyamu?

Permintaan Gulf untuk pergi dari rumah sakit, berdua. Melanjutkan kencan mereka yang sewaktu itu bahkan belum sempat dimulai.

Permintaan bodoh. Sumpah, demi apapun, ingin sekali Mew berujar demikian.

Ingin sekali Mew berteriak dan menyadarkan Gulf bahwa dirinya memiliki kemungkinan terburuk akan hidupnya apabila terlalu kelelahan. Ingin sekali Mew mengingatkan bahwa baru saja tadi siang, Gulf tidak mengenali salah satu sahabat akrabnya, Mild, yang datang menjenguk.

Kondisi Gulf sudah separah itu. Namun yang bersangkutan malah ingin pergi dari sokongan infusnya, dari sambungan tabung oksigennya, hanya untuk menjalani kencan yang dahulu tidak sempat terlaksana?

Itu sama saja seperti menjemput kematian. Bukannya begitu?

Namun di sisi lain, hati kecil Mew bergembira. Membayangkan akan sebagaimana bahagianya mereka berdua nantinya, membayangkan banyak hal yang dapat mereka lakukan berdua, membayangkan sebagaimana banyak memori yang dapat mereka simpan dari kencan yang dimaksud oleh Gulf.

Mew pusing. Pemikirannya terbagi dua. Pusing. Sangat. Pusing.

Mengiyakan? Atau, menolak?

* * * * *

Mew membenci dirinya sendiri.

Mew membenci dirinya yang memaksa dokter perawat Gulf agar membiarkan kekasihnya keluar dari rumah sakit. Mew membenci dirinya yang mengatakan semua akan bisa terkendali. Mew membenci dirinya sendiri yang menjanjikan sebuah hal yang ia sendiri tidak tahu bagaimana akan jadinya.

Phi.

Mew membenci dirinya sendiri yang barusan saja melupakan penyesalannya ketika melihat Gulf keluar dari kamarnya dengan penampilan yang sama persis seperti ketika mereka berjanji untuk menghabiskan waktu berdua. Potongan rambut yang sama. Senyum manis yang sama. Jaket fakultas yang kebesaran di tubuhnya pun, masih sama.

Yang berbeda hanyalah kini Gulf tidak lagi berdiri di hadapannya melainkan tengah duduk di atas kursi roda. Kedua tangannya ada di masing-masing roda, menggerakkannya agar ia dapat menghampiri Mew.

Jangan!“ “Biar aku aja.

Mew segera menghampiri Gulf dan berdiri di belakang kursi roda yang dinaikinya. Mengambil alih agar kursi itu bisa ia kendalikan. “Kamu nggak usah capek-capek, ya? Diem aja. Aku yang dorong. Kalau mau apa-apa bilang aja. Aku bakal lakuin.

Gulf menggeleng. Kepalanya sedikit menengadah agar dapat menatap Mew di belakangnya. “Nggak, Phi. Udah cukup. Ini udah lebih daripada cukup.

Ada Phi, barengan sama aku. Semua udah lebih daripada cukup.

Mew tersenyum tipis, terlalu sulit menjelaskan semua yang ia rasakan saat ini kepada si kekasih. Rasa sayangnya sudah terlampau dalam. Rasa sukanya sudah terlampau jauh melewati batas.

Tubuh Mew sedikit dirundukkan, sebuah kecupan didaratkan di kening Gulf yang kepalanya masih menengadah. Respon Gulf? Terkekeh. Terlihat senang, walaupun Mew dapat melihat wajah kekasihnya pucat dari jarak pandang sedekat ini.

Mereka berdua memutuskan pergi ke taman bermain. Bukan taman bermain yang ramai karena Mew paham semua itu terlalu beresiko untuk Gulf. Maka dipilihlah taman bermain yang tidak cukup ramai namun tetap memiliki berbagai fasilitas yang tidak kalah lengkap dibanding dua taman bermain terkenal lainnya.

Gulf tidak terlihat keberatan. Semenjak mereka berdua tiba di taman bermain, senyum lebar tidak henti-hentinya terulas di bibir Gulf. Selama Mew mendorong kursi roda yang dinaiki Gulf, si lelaki yang lebih muda menggenggam tangan Mew di belakangnya. Seperti tidak ingin terpisah, walau hanya sekejap saja.

Mew merutuk dalam hati. Seandainya para berandalan sialan itu tidak menghadang mereka, bagaimana mereka akan menghabiskan waktu seperti saat ini?

Tentu, akan tertawa dan berseru histeris ketika menaiki wahana menyeramkan bersama-sama.

Tentu, akan saling mengejek karena melihat sosok satu sama lain yang terlihat jenaka ketika mengenakan bando berbentuk kuping binatang.

Tentu, akan saling berbagi icip dari eskrim yang mereka beli bersama. Dua rasa berbeda, sengaja mereka beli agar dapat mengetahui kesukaan satu sama lain.

Pasti, akan begitu, 'kan?

Phi..”

Genggaman tangan Gulf di tangan Mew yang masih memegangi pegangan kursi roda, terasa dikuatkan. Si lelaki yang lebih muda memanggil Mew dengan suara lemah juga kepala yang menengadah. “Phi terpaksa ngajak aku ke sini, ya?”

Hm?“ “Nggak, kok.“ “Kenapa mikirnya begitu?

Daritadi..” “..kamu cemberut.” “Sama sekali nggak senyum.”

Mew meneguk ludah, merasakan perasaan campur aduk di perutnya yang malah membuat mual. Apakah dia sudah bodoh? Tolol? Padahal Gulf hanya ingin menghabiskan waktu bersamanya. Padahal Gulf sudah merelakan pasokan infus dan oksigen yang semestinya masuk ke tubuh dilepaskan. Kenapa ia malah tidak bisa fokus dan memberikan kebahagiaan ke kekasihnya, sih?

Perlahan, genggaman tangan Mew di pegangan kursi roda dilepaskan. Mew berjalan ke arah depan, menghampiri Gulf dan berlutut di hadapannya. “Gulf..”

”..aku nggak tau, apa kamu mikir hal yang sama atau nggak tentang aku. Tapi, tolong ketahui satu hal..”

”..aku sayang kamu.“ “Banget.“ “Kebangetan.

Gulf yang hanya bisa duduk di kursi rodanya, memandangi Mew yang tengah berlutut di hadapan dengan senyum terulas manis. Tangan si lelaki yang lebih muda kini terangkat, mengusapi pipi Mew dengan lembut. “Phi..”

“..aku nggak tau apakah kamu tau hal ini atau nggak..”

“..tapi kalau ada kosakata yang bisa ngegambarin perasaan melebihi kata banget, sangat, terlalu, amat, dan semacamnya..”

“..tolong ketahui kalau itu adalah kata yang mau aku sampaiin buat kamu.

Ya?

Tidak tahu. Mew tidak tahu apa yang barusan merasuki tubuhnya, namun ia baru saja merasakan perasaan hangat namun sesak di saat yang bersamaan. Tanpa ia sadari, tangisnya pecah. Persis seperti anak kecil, menangis di hadapan Gulf yang diam memperhatikannya seraya menyunggingkan senyum manis dihiasi lesung pipi. Usapan tangannya beralih dari pipi Mew ke rambut si kekasih. “Phi..”

“..jangan nangis.“ “Aku bahagia.“ “Bisa sama Phi kayak begini, aku seneng.

Kalau Phi nangis, aku ngerasa keberadaanku cuma nyusahin Phi. Hm? Phi mau aku mikir begitu?

Mew menggeleng cepat. Suara tarikan nafasnya terdengar seperti ditahan agar tangisannya tidak lagi pecah. Gulf tertawa kecil, kemudian mencubit pelan ujung hidung Mew. “Ya, udah. Sekarang senyum, bangun, terus dorongin bangku aku. Ayo? Aku mau beli gulali di depan. Go! Go! Go!

Gulf tahu, ia tidak akan lama-lama dapat mengenang semua memori indah ini. Tadi pagi, ketika Gulf bangun dari tidurnya, kepalanya sakit bukan main. Parahnya, untuk sesaat setelah ia bangun dari tidur, Gulf tidak dapat mengenali sosok Mew. Setelah ia berusaha keras, barulah ia mengingat bahwa sosok lelaki yang ada di sampingnya itu adalah Mew.

Gulf tidak dapat mengatakan hal itu kepada Mew. Gulf tidak mampu menjelaskan bahwa dirinya bahkan sudah tidak lagi dapat mengingat Mew.

Untuk terakhir kalinya, biarpun mungkin akan dapat terlupakan dalam sekejap...Gulf ingin mengingat momen ini.

Ketika langit terlihat cerah. Ketika angin berhembus sejuk. Ketika ia dapat mendengar suara Mew. Ketika Mew tersenyum kepadanya. Ketika mereka tertawa bersama.

Gulf ingin mengingat.

Semuanya, tanpa terkecuali.

* * * * *

Lagi-lagi Mew bermimpi buruk.

Sudah dua bulan berlalu semenjak kencan keduanya di taman bermain. Semenjak itu pula, Mew memutuskan untuk merawat Gulf di rumah dengan fasilitas seadanya. Orangtua Gulf sudah tiada, ia dibesarkan di panti asuhan hingga akhirnya memutuskan untuk pergi dari sana dengan niat untuk mandiri.

Mew sendiri tidak memiliki niatan untuk menceritakan perihal Gulf ke keluarganya. Tidak akan ada hasil yang baik, pasti. Lebih baik begini, Mew sendirian mengurus Gulf. Mengusahakan kesembuhan sebisanya.

Namun, semenjak beberapa saat ke belakang...kondisi Gulf tidak bisa dikatakan membaik. Keadaan si kekasih malah semakin memprihatinkan. Tubuhnya semakin kurus, setiap makanan yang ditelannya akan kembali dimuntahkan.

Mew paham, Gulf tidak berniat memuntahkannya namun tubuhnya yang menolak untuk mencerna. Wajahnya pucat. Bahkan kerapkali Gulf kejang-kejang secara tiba-tiba dan membuat Mew histeris di awal-awal.

Sahabat Gulf, Mild, masih sering datang untuk menjenguk si sahabat. Sesekali membantu Mew untuk menjaga Gulf. Berulang kali, Mild mengingatkan Mew untuk pasrah dan selalu bersiap untuk kemungkinan terburuk.

Tidak salah jika Mild berujar demikian. Gulf sudah tidak dapat berbicara secara wajar. Terkadang bicaranya menjadi gagap. Ingatannya tentang sekitar sudah sangat minim. Ia tidak ingat apapun, terkecuali Mew.

Lalu, seakan belum cukup tragis...Mew sering dilanda mimpi buruk akhir-akhir ini. Mimpi di mana Gulf benar-benar pergi meninggalkannya. Pergi, ke tempat jauh yang sama sekali tidak bisa ia raih. Seperti saat ini, Mew terbangun dengan nafas tersengal karena mimpi yang sama.

Mew jadi takut untuk terlelap, karena khawatir mimpinya bisa menjadi kenyataan kala ia sedang tertidur.

Phi..“, bisik Gulf lemah. Sepertinya Gulf juga ikut terbangun kala Mew tersentak karena mimpinya barusan.

Mew yang barusan sedang menangis tanpa suara, segera menghapus air matanya kemudian mengulas senyum lebar. “Hm? Kenapa? Haus? Mau minum?

Gulf menggeleng. Tangan ringkihnya meraih tangan Mew, tidak sanggup menggenggam dan hanya berakhir memegangnya saja. “Kenapa nangis?”

Nggak.“ “Nggak nangis.“ “Ini lagi berdoa.

Mew menggenggam tangan Gulf. Terasa dingin, kurus pula. “Berdoa buat kesembuhan kamu.

Gulf tidak menjawab. Kepalanya terasa lebih pusing daripada biasanya akhir-akhir ini. Ia pun semakin sering muntah, tidak hanya ketika sedang makan namun juga ketika ia tidak sedang melakukan apa-apa. Berulang kali, ia hampir melupakan dan tidak ingat perihal Mew. Gulf sampai harus menuliskan nama Mew di banyak tempat di sekeliling kasurnya agar ia dapat mengingat Mew tanpa harus berpikir keras.

Mew mengangkat tangan Gulf yang ia genggam dan mengecupi punggung tangannya beberapa kali.

Gulf.“ “Jangan tinggalin aku.

Gulf terdiam. Tidak sanggup mengiyakan, tidak mau berjanji karena ia tahu bisa saja janji itu ia ingkari. Jika bisa memilih, Gulf tidak ingin meninggalkan Mew. Namun, ia bisa apa? Tubuhnya semakin sering kejang-kejang.

Phi..” “.. kalau Tuhan berbaik hati kasih aku satu permintaan buat dikabulin, aku pengen bisa hidup lebih lama.

Kalaupun aku nggak bisa sembuh, nggak apa-apa. Beneran. Aku cuma pengen bisa lebih lama barengan sama kamu.

Ingin sekali Mew menyela kalimat Gulf dengan mengatakan bahwa ia pasti bisa sembuh. Ingin sekali Mew bersikeras menyatakan bahwa Gulf tidak akan pergi atas alasan apapun.

Namun lidahnya kelu. Otak Mew seakan mengingat bahwa semuanya tidak semudah itu. Kemungkinan Gulf untuk sembuh sudah sangat rendah, yang bisa ia lakukan hanyalah menjaga Gulf agar waktu hidup lelaki itu menjadi lebih panjang.

Phi..” “..Phi kuat, ya?“ “Bakal ada masanya Phi jalanin semuanya sendirian..”

Kalau Tuhan baik, aku bakal minta Tuhan izinin aku buat jagain Phi dari surga sana..”

Mew berusaha mati-matian agar tangisnya tidak lagi meledak. Gulf mengatakan kalimatnya dengan manis, dengan kedua lesung pipi yang terbentuk dalam-dalam.

Lesung pipi yang membuat Mew selalu terjatuh ke dalam pesona lelaki itu.

Tanpa Mew sadari, genggaman tangan Mew di tangan Gulf semakin dieratkan hingga membuat kekasihnya itu sedikit mengaduh kesakitan.

A— Phi, sakit..”

Mew segera mengendurkan genggamannya dan meminta maaf. Tangannya kini beralih mengusapi rambut Gulf, seperti menina-bobokannya. “Istirahat, ya?

Gulf mengangguk lemah. Perlahan, matanya terpejam dan nafasnya terembus teratur. Mew masih mengusapi rambut Gulf, memilih untuk tidak tidur.

Ia takut, mimpi buruknya kembali datang untuk menyapa.

* * * * *

Lima hari kemudian, mimpi buruk Mew benar-benar menjadi kenyataan.

Gulf tidak terbangun dari tidurnya walaupun Mew berkali-kali memanggil namanya. Gulf sama sekali tidak bergeming walaupun Mew menepuki pipinya dengan cukup kencang.

Gulf pergi, setelah malam sebelumnya ia menghabiskan waktu dengan terbangun hingga larut malam demi untuk berbicara tentang banyak hal dengan Mew.

Gulf mengatakan tubuhnya terasa lebih baik. Sehingga ia meminta Mew untuk membiarkannya terbangun hingga larut malam. Gulf mengatakan tubuhnya cukup kuat untuk bangun dari kasur, maka ia meminta Mew menuntunnya ke sofa ruang tamu untuk menonton film bersama.

Selama menonton film bersama, Mew merasakan senang yang bukan main. Gulf tidak terlihat lemah. Nada bicaranya juga tidak lagi terdengar lemah dan terbata-bata. Gulf merengek, mengatakan ingin meminum susu stroberi dan camilan biskuit.

Mew sudah khawatir apabila kekasihnya itu akan muntah-muntah lagi. Namun tidak demikian. Hampir setengah bungkus camilan dilahap, hampir sekotak susu diteguk, Gulf tidak menunjukkan tanda bahwa ia merasa mual. Ia malah tergelak puas ketika salah satu adegan film menunjukkan situasi komedi yang menggelitik perut.

Saat itu, Mew merasa bahwa mukjizat itu memang benar adanya. Bahwa Gulf benar, kondisinya sudah membaik.

Maka Mew membiarkan Gulf terbangun hingga larut malam. Maka Mew menghabiskan tengah malamnya dengan membicarakan banyak hal bersama Gulf.

Maka Mew terlelap dengan senyum merekah. Membayangkan akan sebagaimana bahagia masa yang akan datang dengan Gulf di sisinya.

Namun semua semu. Semua hanya halu.

Kini Mew berdiri bersisian dengan Mild yang masih merangkulnya erat. Takut-takut kekasih sahabatnya itu akan ambruk, Mild terus merangkul Mew selama prosesi pemakaman Gulf berlangsung. Hingga semua prosesi sudah selesai, Mild meminta izin untuk pulang terlebih dulu.

Hingga akhirnya, hanya Mew yang tersisa di area pemakaman. Bersama dengan Gulf, di tempat yang kini berbeda.

Di dunia yang juga berbeda.

Dari dalam sakunya, Mew mengeluarkan sepucuk surat yang ada di atas nakas tempat tidur. Surat yang ditinggalkan Gulf untuknya. Entah ditulis sejak kapan, Mew tidak tahu. Namun diantara banyak kalimat yang dituliskan, ada satu kalimat yang membuat Mew merasa sesak bukan main.

daripada menjanjikan hal yang sulit ditepati mari kita diam saja dan saling percaya

Semenjak awal, Gulf tidak berani berjanji. Namun ia percaya kepada Mew bahwa dirinya akan selalu aman di pelukan lelaki itu. Gulf menyerahkan semuanya kepada Mew.

Mew mengusapi foto Gulf yang ada di atas gundukan tanah tempat kekasihnya dikebumikan. Foto yang diambil oleh Mew ketika mereka masih awal-awal menjalin hubungan. Foto Gulf yang tersenyum manis ke arah kamera, sehingga Mew jadikan wallpaper handphonenya karena saking menyukai sang objek di dalamnya.

wajahmu yang sekarang kupandang begitu cantik dibanding hari lainnya terima kasih sudah tersenyum sebegitu cerahnya untukku

Gulf Selamat tinggal, untuk malam ini hanya untuk sebentar saja, selamat tinggal

Masih, Mew masih mengusapi kaca bingkai yang melapisi foto Gulf. Berusaha menyampaikan seluruh rasa sayang yang ia miliki kepada si kekasih melalui setiap sentuhannya.

aku akan jadi lebih baik lagi lalu berdiri di hadapanmu nanti

Mew menghela nafas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan. Gulf tidak akan pernah pergi darinya. Ia pernah berjanji bahwa akan menjaga Mew dari tempatnya berada sekarang, di surga. Tuhan tidak akan sejahat itu untuk membiarkan Gulf terkungkung di penjaranya.

Tuhan pasti akan mengabulkan karena tidak kuat melihat manisnya senyum Gulf. Sama seperti Mew yang selalu bertekuk lutut akan setiap permintaan si kekasih ketika ia sudah tersenyum manis.

Di dunia ini, di saat ini, biarlah Gulf yang menjaga dirinya dari surga. Lalu di suatu saat nanti, ketika mereka sudah kembali bisa bersama, Mew akan menjalankan tanggung jawabnya yang tertunda.

Menjaga Gulf. Sebaik yang ia bisa.

Hingga akhirnya saat itu tiba, selamat tinggal untuk sementara.

END

Mew merasakan dunianya tengah berputar pada poros yang semestinya. Pada poros terbaik. Di sebuah tempat di mana sesuatu memang semestinya harus bergerak. Gulf, ada di sisinya, menjaga buah hati mereka berdua dalam rengkuhan tubuhnya.

Tidak ada yang membuat Mew lebih bahagia daripada sekarang. Daripada saat ini, tidak ada.

“Kerasa, nggak?” “Nendang begitu.” “Dia seneng, kayaknya .. bisa dipegang-pegang sama Papanya.”

“Kerasa.” “Banget, kerasanya.”

Sebelah tangan Mew masih mengusapi perut Gulf, sementara sebelah tangannya yang lain mengusapi rambut si lelaki yang lebih muda. Lembut, seakan ingin menyampaikan semua sayang yang ia rasakan sekarang kepada Gulf.

“Sayang.”

“Hm?”

“Takut?”

Gulf paham maksud perkataan Mew. Takut yang si yang lebih tua katakan barusan pasti ditujukan untuk dirinya yang sebentar lagi akan melahirkan sosok si mungil ke dunia. Takut?

“Takut.” “Udah pasti takut.”

Sebelah tangan Mew yang tengah mengusapi rambutnya, kini diraih oleh Gulf. Disematkan jemarinya di sela jemari si yang lebih tua, menggamitnya erat. Senyum manis terulas di bibir Gulf. Senyum yang seperti sihir, karena kini Mew juga secara tidak sadar ikut tersenyum karena melihat manisnya senyuman si kesayangan. “Tapi dibanding rasa takut, aku lebih ngerasain rasaㅡ apa, ya?”

“Rasa .. nggak sabar.” “Nggak sabar mau kasih lihat ke jagoan kecil kita, bahwa dia punya Papa yang hebat. Bahwa dia punya Papa yang keren.”

“Namanya Mew.” “Mew Suppasit.”

Mew mengeratkan gamitan jemari Gulf di tangannya. Terlalu merasa bahagia dengan situasi saat ini. “Kamu tahu, nggak?”

“Hm?”

“Aku pengen kasih segala yang terbaik di dunia ini ke kamu. Apapun itu.”

“Udah, kok.” “Kamu udah kasih itu.”

Tepat ketika Gulf selesai mengucapkan kalimatnya, tiba-tiba sosok si mungil dalam perutnya menendang kecil. Tak urung, membuat Mew sedikit mengernyitkan alis. “Tuh. Kerasa, nggak? Bahkan si jagoan kecil kita aja setuju. Dia juga mau bilang kalau kamu, Papanya, udah kasih yang terbaik.”

“Kamu, udah kasih kami yang terbaik. Jangan terlalu dipikirin, ya?”

“Apanya yang terbaik?” Pertanyaan Mew sedikit diikuti dengan ekspresi wajah yang muram, biarpun tetap saja sebelah tangannya yang kini tengah digamit oleh jemari Gulf kini tengah memberi usapan lembut di punggung tangan dengan ibu jarinya. “Kehidupan kita, masih banyak kurangnya.”

“Hm?” Gulf sedikit memiringkan posisi berbaringnya agar dapat menatap lebih jelas sosok suaminya. Jemari tangan kirinya yang bebas kini mengusapi pipi Mew, berharap dapat menghapus ekspresi muramnya. “Apanya yang kurang dari kehidupan kita? Coba, sebutin.”

“Banyak.”

“Contohnya?”

“Aku masih belum bisa ganti tempat tidur kita dengan yang lebih baik.”

“Aku masih belum bisa ajak kamu ke restoran mahal buat makan makanan yang enak.”

“Aku masih belum bisa bawa kamu ke rumah yang lebih luas. Kita masihㅡ tinggal di tempat kontrak yang tua begini.”

“Banyak kurangnya, dan semua itu gara-gara aku. Maaf, ya?”

Selama Mew mengucapkan kalimatnya, Gulf menatapi si kesayangan dengan seksama. Memberi perhatian penuh, sekaligus mengusapi pipi dengan harap dapat mengangkat beban pikiran Mew barang sedikit. “Apa yang harus dimaafin, coba?”

“Tempat tidur yang sekarang kita tempatin ini, buat aku adalah tempat tidur terbaik. Kenapa? Karena ada kamu di sini. Biarpun kamu beliin aku kasur dari bulu angsa tapi nggak ada kamu di sana, itu nggak akan jadi hal yang bagus.”

“Terus, perihal makan di restoran .. kenapa mikir begitu, coba?” Bibir Gulf sedikit mengerucut. Terlihat kesal, walaupun kentara sekali sedang dibuat-buat. “Makanan buatan aku nggak enak? Makanya ngebet ngajak ke restoran, gitu?”

“Nggak!” Mew terlihat sedikit panik. Dasar, lelaki yang lebih tua ini tidak begitu pandai menyembunyikan perasaannya. “Bukan gitu, maksudnya. Aku cuma mau kasih kamu yang terbaiㅡ”

Cup. Cup. Cup.

Tiga kali kecupan kecil diberi dari bibir Gulf ke bibir Mew. Secara tiba-tiba, sehingga Mew tidak bisa memberi respon apapun selain kedipan mata yang linglung.

“Ini, terbaik.” “Restoran manapun, nggak ada yang bisa sajiin hal yang manisnya semanis bibir kamu. Tahu, nggak?”

Mew tidak tahu sudah semerah apa wajahnya sekarang. Sosok si kesayangan yang tengah berbaring di sisinya sekarang iniㅡ manis. Terlampau manis. Bagaimana mengatakan dan mengekspresikan semua kebahagiaan yang tengah Mew rasakan ini ke dalam kata-kata, coba?

“Payah. Payah banget, aku.” “Aku gampang banget baper.”

Tangan Mew yang semula mengusapi perut Gulf, kini beralih merengkuh lelaki itu agar berada dalam dekapannya. “Digombalin begituan doang udah baper.”

Gulf yang kini berada di dekap rengkuhan Mew hanya tertawa kecil seraya menyamankan posisinya. Kepala Gulf sedikit disembunyikan di ceruk leher jenjang si suami, nafasnya dihirup dalam-dalamㅡ serakah ingin mendapatkan aroma tubuh lelakinya hanya untuk dia sendiri.

“Ini juga.” “Aku nggak butuh rumah luas. Buat aku, ini rumah terbaik.”

“Pelukan kamu.” “Dekapan kamu.” “Rengkuhan kamu.”

Nafas Gulf yang terhembus terasa hangat di leher Mew. Entah, apakah nafas Gulf itu yang membuat tubuh Mew terasa panas secara tiba-tiba? Atau karena tubuhnya sendiri tidak bisa menahan sebagaimana rasa sayangnya ini sehingga malah membuat tekanan panas di dalam diri?

Teori konyol, Mew.

“Udahan, ah.” “Aku suka geli kalau digombalin begitu, sayang.”

“Lho? Nggak gombal, lho.” “Aku serius.”

“Iya, iya.” “Iya, sayangkuuuu.” “Iya, maniskuuuuu.” “Iya, suamikuuuuu.”

Nada bicara Mew (seperti) sengaja dimanis-maniskan. Biasanya di situasi begini, Gulf akan memasang ekspresi wajah jijik. Namun kali ini, Gulf hanya terkekeh dengan wajah yang dibenamkan di ceruk leher Mew.

“Phi.”

“Apa, sayang?”

“Jangan kecapean, ya?” “Kamu akhir-akhir ini sibuk sama hal di kampus, lho. Tidur pun udah nggak jelas lagi waktunya.”

“Hnnnnngㅡ”

Mew sedikit mengerang. Sedikit gemas jika Gulf sudah mulai cerewet begini. Bukan berarti ia tidak suka dengan Gulf yang seperti ini, namunㅡ entahlah, seperti gemas ingin menutupi mulutnya saja, begitu.

“Aku lagi coba buat dapet beasiswa lagi, sayang. Disaranin sama pihak kampus. Katanya, dibanding nunggu status dosen honorer yang belum pasti kapan bisa selesainyaㅡ mendingan aku coba beasiswa ke luar.”

“Hmm.” “Phi.”

“Apa, sayangku?”

“Jangan lupain komitmen Phi sewaktu dulu, ya? Masih inget, 'kan?”

Mew terdiam. Bukannya tidak ingat, hanya sajaㅡ ia merasa ditampar oleh ucapan Gulf barusan. “Kamu dulu pernah bilang kalau kamu mau jadi dosen. Kamu juga bilang ke aku sebelum kita nikah dulu, bahwa jalan hidup kita nantinya pasti berat. Kedepannya, mungkin aku nggak bakal punya banyak uang buat dikasih ke kamu. Mungkin aku bakal kalah saing dibanding temen-temenku yang kerja di perusahaan bonafit ibukota. Tapi aku berani janji ke kamu, aku bakal buktiin ke siapapun bahwa keluarga kita adalah keluarga juara. Bukan dari segi harta, tapi dari kebermanfaatannya untuk sesama. Gimana, inget?”

“Kamu punya komitmen yang harus dijaga. Aku juga berusaha biar nggak selalu ngerepotin kamu, kok.”

“Bukan perihal komitmen, sayang. Aku cumaㅡ apa, ya? Aku nggak bisa bohong kalau aku juga pengen kasih yang baik-baik dan bagus buat kamu.”

“Kalau dengan situasi begini terus, susah ..”

“Yang baik-baik?” “Yang bagus?”

“Ini, nih.” “Kamu ngomong begitu tuh karena serius pengen ngomong begitu, atau cuma pengen dipuji?”

”... Kokㅡ pengen dipuji?”

“'Kan ada banyak orang yang begitu, tuh. Orang yang suka ngerendahin dirinya karena pengen dihibur, pengen dipuji.”

“Ohh.” Mew tertawa kecil sebelum akhirnya menggumam pelan. “Ya, kalau mau dipuji, boleh-boleh aja.”

“Berarti pengennya dipuji?”

“Nggak, kok.” “Cuma kalau mau dipuji ya, gapapa.”

“...” “Kok bisa-bisanya aku dulu nikahin kamu yang plin-plan begini, ya?”

“Soalnya .. ganteng?”

Sumpah demi apapun, kalau saja perutnya tidak sebesar ini Gulf pasti sudah menendangi perut Mew karena semua ucapan kelewat percaya dirinya barusan. “Phi. Kamu harus makasih ke si jagoan kecil. Karena kalau perutku nggak mblendung begini, kamu udah bakal kuinjek. Serius.”

“Lho? Bener 'kan? Ganteng?”

“Iya, sih ...”

“Ya udah. Makanya, iyain aja. Aku juga suka kamu karena manisnya nggak ketolongan, sayang.”

“Manisnya aja?”

”...” “Ini minta dipuji, ya?”

“Iya.”

TERLALU MANIS. GULF DAN SEGALA KEJUJURANNYA, TERLALU MENGGEMASKAN. Mew rasanya ingin berteriak begitu jika saja tidak menyadari bayi di perut Gulf bisa saja menendangi perut kesayangannya karena terkejut. “Hhhㅡ sayang ..”

”.. jangan manis-manis begini, dong. Akunya lemah. Pusing. Nggak mau 'kan kalau si jagoan kita nanti ketemu adeknya padahal dia belum lahir ke dunia?”

“...” “Maksudnyㅡ” “HEH!? MESUM YA, KAMU!”

“Lho? Mesum apanya?” “Kita 'kan udah nikah, legal.” “Boleh, donㅡ”

“Palamu boleh-boleh?!”

Gulf sudah seperti ikan yang dilempar ke daratan. Awalnya terlihat damai di rengkuhan Mew, namun sekarang malah memukuli tubuh si yang lebih tua tanpa henti.

“Sayang! Hei! Hei!” “Jangan dipukulin!” “Sayang! Si jagoan kecil nangis, tuh!”

“Apanya nangis?!” “Malah dia yang nyuruh pukulin Papanya yang mesum!”

“Sayang!” “Hei!” “Anjir! Orang hamil kok tenaganya kayak Hulk?!”

“Sayaaaaang!”

“Mesum kamu!” “Mesuuuuuuum!”

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

* * * * *

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤEPILOG

Sayang.”

Hm?

Tapi aku serius.

Apanya?

Tentang aku yang mau kasih kamu segala hal yang terbaik. Memang, mungkin sulit. Memang, mungkin butuh waktu lama. Tapiㅡ coba percayain semua ke aku, ya?

Phi.

Hm?”

Tanpa kamu minta, semua hal itu selalu aku lakuin. Akuㅡ percaya kamu. Sepenuhnya.

Karena aku tahu kamu bisa. Selalu bisa. Walaupun perlahan, tapi aku tahu suatu saat nanti kamu dan aku bisa jalan ke depan. Barengan.

Iya, sayang.“ “Makasih, ya?

Tetap jadi panduan aku buat melangkah, ya, Phi?

Pasti.” “Aku bakal jadi peta kamu.“ “Yang tuntun jalan kamu.“ “Yang arahin langkah kamu.

Aku bakal selalu begitu.

Iya, Phi.“ “Aku percaya.

Percaya?

Percaya.“ “Selalu.

END

Mew merasakan dunianya tengah berputar pada poros yang semestinya. Pada poros terbaik. Di sebuah tempat di mana sesuatu memang semestinya harus bergerak. Gulf, ada di sisinya, menjaga buah hati mereka berdua dalam rengkuhan tubuhnya.

Tidak ada yang membuat Mew lebih bahagia daripada sekarang. Daripada saat ini, tidak ada.

“Kerasa, nggak?” “Nendang begitu.” “Dia seneng, kayaknya .. bisa dipegang-pegang sama Papanya.”

“Kerasa.” “Banget, kerasanya.”

Sebelah tangan Mew masih mengusapi perut Gulf, sementara sebelah tangannya yang lain mengusapi rambut si lelaki yang lebih muda. Lembut, seakan ingin menyampaikan semua sayang yang ia rasakan sekarang kepada Gulf.

“Sayang.”

“Hm?”

“Takut?”

Gulf paham maksud perkataan Mew. Takut yang si yang lebih tua katakan barusan pasti ditujukan untuk dirinya yang sebentar lagi akan melahirkan sosok si mungil ke dunia. Takut?

“Takut.” “Udah pasti takut.”

Sebelah tangan Mew yang tengah mengusapi rambutnya, kini diraih oleh Gulf. Disematkan jemarinya di sela jemari si yang lebih tua, menggamitnya erat. Senyum manis terulas di bibir Gulf. Senyum yang seperti sihir, karena kini Mew juga secara tidak sadar ikut tersenyum karena melihat manisnya senyuman si kesayangan. “Tapi dibanding rasa takut, aku lebih ngerasain rasaㅡ apa, ya?”

“Rasa .. nggak sabar.” “Nggak sabar mau kasih lihat ke jagoan kecil kita, bahwa dia punya Papa yang hebat. Bahwa dia punya Papa yang keren.”

“Namanya Mew.” “Mew Suppasit.”

Mew mengeratkan gamitan jemari Gulf di tangannya. Terlalu merasa bahagia dengan situasi saat ini. “Kamu tahu, nggak?”

“Hm?”

“Aku pengen kasih segala yang terbaik di dunia ini ke kamu. Apapun itu.”

“Udah, kok.” “Kamu udah kasih itu.”

Tepat ketika Gulf selesai mengucapkan kalimatnya, tiba-tiba sosok si mungil dalam perutnya menendang kecil. Tak urung, membuat Mew sedikit mengernyitkan alis. “Tuh. Kerasa, nggak? Bahkan si jagoan kecil kita aja setuju. Dia juga mau bilang kalau kamu, Papanya, udah kasih yang terbaik.”

“Kamu, udah kasih kami yang terbaik. Jangan terlalu dipikirin, ya?”

“Apanya yang terbaik?” Pertanyaan Mew sedikit diikuti dengan ekspresi wajah yang muram, biarpun tetap saja sebelah tangannya yang kini tengah digamit oleh jemari Gulf kini tengah memberi usapan lembut di punggung tangan dengan ibu jarinya. “Kehidupan kita, masih banyak kurangnya.”

“Hm?” Gulf sedikit memiringkan posisi berbaringnya agar dapat menatap lebih jelas sosok suaminya. Jemari tangan kirinya yang bebas kini mengusapi pipi Mew, berharap dapat menghapus ekspresi muramnya. “Apanya yang kurang dari kehidupan kita? Coba, sebutin.”

“Banyak.”

“Contohnya?”

“Aku masih belum bisa ganti tempat tidur kita dengan yang lebih baik.”

“Aku masih belum bisa ajak kamu ke restoran mahal buat makan makanan yang enak.”

“Aku masih belum bisa bawa kamu ke rumah yang lebih luas. Kita masihㅡ tinggal di tempat kontrak yang tua begini.”

“Banyak kurangnya, dan semua itu gara-gara aku. Maaf, ya?”

Selama Mew mengucapkan kalimatnya, Gulf menatapi si kesayangan dengan seksama. Memberi perhatian penuh, sekaligus mengusapi pipi dengan harap dapat mengangkat beban pikiran Mew barang sedikit. “Apa yang harus dimaafin, coba?”

“Tempat tidur yang sekarang kita tempatin ini, buat aku adalah tempat tidur terbaik. Kenapa? Karena ada kamu di sini. Biarpun kamu beliin aku kasur dari bulu angsa tapi nggak ada kamu di sana, itu nggak akan jadi hal yang bagus.”

“Terus, perihal makan di restoran .. kenapa mikir begitu, coba?” Bibir Gulf sedikit mengerucut. Terlihat kesal, walaupun kentara sekali sedang dibuat-buat. “Makanan buatan aku nggak enak? Makanya ngebet ngajak ke restoran, gitu?”

“Nggak!” Mew terlihat sedikit panik. Dasar, lelaki yang lebih tua ini tidak begitu pandai menyembunyikan perasaannya. “Bukan gitu, maksudnya. Aku cuma mau kasih kamu yang terbaiㅡ”

Cup. Cup. Cup.

Tiga kali kecupan kecil diberi dari bibir Gulf ke bibir Mew. Secara tiba-tiba, sehingga Mew tidak bisa memberi respon apapun selain kedipan mata yang linglung.

“Ini, terbaik.” “Restoran manapun, nggak ada yang bisa sajiin hal yang manisnya semanis bibir kamu. Tahu, nggak?”

Mew tidak tahu sudah semerah apa wajahnya sekarang. Sosok si kesayangan yang tengah berbaring di sisinya sekarang iniㅡ manis. Terlampau manis. Bagaimana mengatakan dan mengekspresikan semua kebahagiaan yang tengah Mew rasakan ini ke dalam kata-kata, coba?

“Payah. Payah banget, aku.” “Aku gampang banget baper.”

Tangan Mew yang semula mengusapi perut Gulf, kini beralih merengkuh lelaki itu agar berada dalam dekapannya. “Digombalin begituan doang udah baper.”

Gulf yang kini berada di dekap rengkuhan Mew hanya tertawa kecil seraya menyamankan posisinya. Kepala Gulf sedikit disembunyikan di ceruk leher jenjang si suami, nafasnya dihirup dalam-dalamㅡ serakah ingin mendapatkan aroma tubuh lelakinya hanya untuk dia sendiri.

“Ini juga.” “Aku nggak butuh rumah luas. Buat aku, ini rumah terbaik.”

“Pelukan kamu.” “Dekapan kamu.” “Rengkuhan kamu.”

Nafas Gulf yang terhembus terasa hangat di leher Mew. Entah, apakah nafas Gulf itu yang membuat tubuh Mew terasa panas secara tiba-tiba? Atau karena tubuhnya sendiri tidak bisa menahan sebagaimana rasa sayangnya ini sehingga malah membuat tekanan panas di dalam diri?

Teori konyol, Mew.

“Udahan, ah.” “Aku suka geli kalau digombalin begitu, sayang.”

“Lho? Nggak gombal, lho.” “Aku serius.”

“Iya, iya.” “Iya, sayangkuuuu.” “Iya, maniskuuuuu.” “Iya, suamikuuuuu.”

Nada bicara Mew (seperti) sengaja dimanis-maniskan. Biasanya di situasi begini, Gulf akan memasang ekspresi wajah jijik. Namun kali ini, Gulf hanya terkekeh dengan wajah yang dibenamkan di ceruk leher Mew.

“Phi.”

“Apa, sayang?”

“Jangan kecapean, ya?” “Kamu akhir-akhir ini sibuk sama hal di kampus, lho. Tidur pun udah nggak jelas lagi waktunya.”

“Hnnnnngㅡ”

Mew sedikit mengerang. Sedikit gemas jika Gulf sudah mulai cerewet begini. Bukan berarti ia tidak suka dengan Gulf yang seperti ini, namunㅡ entahlah, seperti gemas ingin menutupi mulutnya saja, begitu.

“Aku lagi coba buat dapet beasiswa lagi, sayang. Disaranin sama pihak kampus. Katanya, dibanding nunggu status dosen honorer yang belum pasti kapan bisa selesainyaㅡ mendingan aku coba beasiswa ke luar.”

“Hmm.” “Phi.”

“Apa, sayangku?”

“Jangan lupain komitmen Phi sewaktu dulu, ya? Masih inget, 'kan?”

Mew terdiam. Bukannya tidak ingat, hanya sajaㅡ ia merasa ditampar oleh ucapan Gulf barusan. “Kamu dulu pernah bilang kalau kamu mau jadi dosen. Kamu juga bilang ke aku sebelum kita nikah dulu, bahwa jalan hidup kita nantinya pasti berat. Kedepannya, mungkin aku nggak bakal punya banyak uang buat dikasih ke kamu. Mungkin aku bakal kalah saing dibanding temen-temenku yang kerja di perusahaan bonafit ibukota. Tapi aku berani janji ke kamu, aku bakal buktiin ke siapapun bahwa keluarga kita adalah keluarga juara. Bukan dari segi harta, tapi dari kebermanfaatannya untuk sesama. Gimana, inget?”

“Kamu punya komitmen yang harus dijaga. Aku juga berusaha biar nggak selalu ngerepotin kamu, kok.”

“Bukan perihal komitmen, sayang. Aku cumaㅡ apa, ya? Aku nggak bisa bohong kalau aku juga pengen kasih yang baik-baik dan bagus buat kamu.”

“Kalau dengan situasi begini terus, susah ..”

“Yang baik-baik?” “Yang bagus?”

“Ini, nih.” “Kamu ngomong begitu tuh karena serius pengen ngomong begitu, atau cuma pengen dipuji?”

”... Kokㅡ pengen dipuji?”

“'Kan ada banyak orang yang begitu, tuh. Orang yang suka ngerendahin dirinya karena pengen dihibur, pengen dipuji.”

“Ohh.” Mew tertawa kecil sebelum akhirnya menggumam pelan. “Ya, kalau mau dipuji, boleh-boleh aja.”

“Berarti pengennya dipuji?”

“Nggak, kok.” “Cuma kalau mau dipuji ya, gapapa.”

“...” “Kok bisa-bisanya aku dulu nikahin kamu yang plin-plan begini, ya?”

“Soalnya .. ganteng?”

Sumpah demi apapun, kalau saja perutnya tidak sebesar ini Gulf pasti sudah menendangi perut Mew karena semua ucapan kelewat percaya dirinya barusan. “Phi. Kamu harus makasih ke si jagoan kecil. Karena kalau perutku nggak mblendung begini, kamu udah bakal kuinjek. Serius.”

“Lho? Bener 'kan? Ganteng?”

“Iya, sih ...”

“Ya udah. Makanya, iyain aja. Aku juga suka kamu karena manisnya nggak ketolongan, sayang.”

“Manisnya aja?”

”...” “Ini minta dipuji, ya?”

“Iya.”

TERLALU MANIS. GULF DAN SEGALA KEJUJURANNYA, TERLALU MENGGEMASKAN. Mew rasanya ingin berteriak begitu jika saja tidak menyadari bayi di perut Gulf bisa saja menendangi perut kesayangannya karena terkejut. “Hhhㅡ sayang ..”

”.. jangan manis-manis begini, dong. Akunya lemah. Pusing. Nggak mau 'kan kalau si jagoan kita nanti ketemu adeknya padahal dia belum lahir ke dunia?”

“...” “Maksudnyㅡ” “HEH!? MESUM YA, KAMU!”

“Lho? Mesum apanya?” “Kita 'kan udah nikah, legal.” “Boleh, donㅡ”

“Palamu boleh-boleh?!”

Gulf sudah seperti ikan yang dilempar ke daratan. Awalnya terlihat damai di rengkuhan Mew, namun sekarang malah memukuli tubuh si yang lebih tua tanpa henti.

“Sayang! Hei! Hei!” “Jangan dipukulin!” “Sayang! Si jagoan kecil nangis, tuh!”

“Apanya nangis?!” “Malah dia yang nyuruh pukulin Papanya yang mesum!”

“Dek!” “Hei!” “Anjir! Orang hamil kok tenaganya kayak Hulk?!”

“Deeeeek!”

“Mesum kamu!” “Mesuuuuuuum!”

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

* * * * *

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤEPILOG

Sayang.”

Hm?

Tapi aku serius.

Apanya?

Tentang aku yang mau kasih kamu segala hal yang terbaik. Memang, mungkin sulit. Memang, mungkin butuh waktu lama. Tapiㅡ coba percayain semua ke aku, ya?

Phi.

Hm?”

Tanpa kamu minta, semua hal itu selalu aku lakuin. Akuㅡ percaya kamu. Sepenuhnya.

Karena aku tahu kamu bisa. Selalu bisa. Walaupun perlahan, tapi aku tahu suatu saat nanti kamu dan aku bisa jalan ke depan. Barengan.

Iya, sayang.“ “Makasih, ya?

Tetap jadi panduan aku buat melangkah, ya, Phi?

Pasti.” “Aku bakal jadi peta kamu.“ “Yang tuntun jalan kamu.“ “Yang arahin langkah kamu.

Aku bakal selalu begitu.

Iya, Phi.“ “Aku percaya.

Percaya?

Percaya.“ “Selalu.

END

ㅤ        「   Pesawat Kertas.   」 ㅤ

“Udah kepikiran mau pilih ke mana, Nanon?”

bibirnya .. .. anjing, apaan sih?!

“Ya, Pak?”

“...” “Ucapan saya nggak didengerin?”

“Maaf, Pak.” “Nggak fokus.”

gimana bisa fokus, jir?!

“Kamu, jadi pilih universitas mana?”

“Oh.” “Ya, kayak yang sering saya bilang ke Bapak. Sayaㅡ ikutin omongan orangtua. Beliau berdua nggak izinin saya pergi jauh-jauh. Takut sakit, katanya.”

“Pftㅡ”

ketawa? dia? hah?

”... kenapa, Pak?”

“ㅡtante nggak berubah, ya?” “Masih aja manjain anaknya.”

... anjir.

“Pak. Saya kira, kita nggak boleh bertingkah begini di lingkungan sekolah. Bapak sendiri yang ngomong waktu itu.”

“Ya udah, lah.” “Toh ini udah jam pulang.” “Lo juga murid terakhir yang gue dengerin buat konsultasi hari ini.”

”... boleh?” “Panggilㅡ Phi?”

“Boleh.” “Santai aja.”

YES! YES!

“AHHHHH!” “ANJIR! AKHIRNYA!”

“Tapi nggak pake teriak.”

”...” “Oke, sorry.”

yee, gimana sih? ngasih enak tapi setengah-setengah.

“Gimana kabar Tante?”

“Baik.” “Tapi masih aja lebay.”

“Masih suka buatin bekal?”

anjir, masih inget, dia.

“Masih.”

dih, dih, dih! bentar! LO NGAPAIN KENDURIN DASI, NYET?! HEH! APAAN!?

“Gapapa, 'kan?”

“A-apaan?”

“Buka dasi begini.” “Pengap, gue.”

MAU BIKIN ANAK ORANG PENGAP APA GELEPAKAN DI LANTAI RUANG BK, MEW SUPPASIT?!

“Yaㅡ terserah.” “Dasi ya dasi lo, Phi.” “Badan juga badan lo.” “Ngapain nanyanya ke gue?”

anjir. bentar. muka gue merah nggak, ini?!

“Hm-mm. Oke.” “Tante masih buka usaha catering? Atauㅡ punya usaha lain?”

“Masih catering.” “Papa juga masih ngurus usaha.” “Suka nanyain lo melulu, Phi. Katanya, Mew nggak main ke sini, yang? Suruh main. Mau Mama buatin makanan kesukaan dia.”

“Aah.” “Kangen masakan Tante.” “Selalu enak, sumpah.”

iya, enak. bibir lo juga kayaknya enaㅡ FSJAJWKAKAKA! NANON KORAPAT! FOKUS! FOKUS! FOKUS!

“Emang. Enak.” “Makanya masih buka catering sampai sekarang, 'kan?”

“Oh. Anywayㅡ ㅡmasih dipanggil yayang?”

BANGSAT NGGAK PAKE DISEBUT JUGA!

”...”

“Woi.” “Malah ngelamun.”

”...” “Masih.”

“Yayang.” “Yayang Nanon.” “Anjir. Dulu gue juga manggil lo begitu, ya? Waktu kita masih tetanggaan. Kebiasa, kayaknya. Nyokap, pembantu, semua orang manggil lo begitu makanya gue ikutan. Sekarang sih amit-amit, ya?”

iya, amit-amit. soalnya kalo lo yang ngomong, rasanya gue mau mati!

“Ya, udah.” “Jangan panggil gitu.”

“Tapi enak, sih.” “Yayang.” “Yayang?” “Yayang!”

GUE PUNYA CUTTER DI TAS, PERASAAN. BOLEH GUE PAKE BUAT TEBAS MULUT INI ORANG, NGGAK, SIH? ANJIR. JANTUNG GUE BISA KELUAR LEWAT MULUT!

“Apaan, sih, Phi?” “Umur udah mau 30.” “Jangan suka ngejailin anak kecil.”

“Lo?” “Kecil dari mana?” “Tinggi kita sama.”

dih, dih, dih! ngapain lo narik gue berdiri? dih, dih, dih! ngapain lo deketin gue, heh?! dih, dih, dih! MAU NGAPAIN LO?!

“Nih.” “Tinggi kita sama.” “Jidat lo, sejidat gue.”

... oh, mau ukur tinggi doang.

“Gue tinggi.” “Tapi umur gue masih 18.” “Baru kemaren bikin KTP.”

“Bahaha! Mana, KTPnya?” “Muka lo ancur pasti.”

“Anjir.” “Heh! Gue idola sekolah.” “Cewek-cewek naksir gue, Phi.”

“Pret.” “Lo nggak inget?”

“Apaan?”

“Jaman dulu, lo bilang mau nikah sama gue. Jaman kapan, ya? Lo baru lima taun, kayaknya.”

... bangsat. masih diinget?

“Kapan gue pernah begitu?” “Nggak inget, gue. Fitnah, lo.”

“Iya, sih. Gue juga lupa-lupa inget. Pokoknya yang gue inget, waktu itu lo bawa bungaㅡ bunga apaan, nggak inget. Bunga dapet metik di halaman, bukan, sih? Lo lari-lari nemuin gue yang mau berangkat sekolah. Tiba-tiba bilang, Phi Mew.. Nanon mau nikah sama Phi Meㅡ”

“WOI. ANJIR.” “UDAH JAM SEGINI, MAMEN!” “LES GUE! LES! TELAT, INI!” “GUE PAMIT, PHI!” “NANTI GUE SALAMIN KE MAMA!” “DADAH, PHI!” “EH, PHI? PAK!” “PERMISI!”

lari. lari. sejauh mungkin, lari.

kenapa gue harus lari? karena ...

kemarin, di tempat les.

“Sayang banget, woy.”

“Apaan?”

“Itu, kertasnya.” “Malah lo jadiin pesawat-pesawatan. Kertas apaan, sih, itu?”

“Undangan nikah.”

“Siapa?”

Cinta pertama gue.

seandainya, ya .. seandainya aja dulu gue bukan tetangga dia, apa segalanya bakal berbeda? seandainya umur kami cuma kepisah sekitar satu-dua taun, dia nggak bakal anggep gue adek doang, kali, ya?

phi Mew.“ “kenapa, yayang?“ “Nanon mau nikah sama Phi Mew! mau tinggal bareng Phi Mew!“ “kok mau sama Phi?“ “nggak tau.“ “lho, kok?“ “soalnya, kata Mamaㅡ Mama sayang ke Papa tanpa alasan! Nanon juga sama! Nanon nggak tau alasannya, tapi Nanon maunya sama Phi Mew.“ “Phi Mew mau nikah sama Nanon, 'kan?“ “iya, boleh.“ “nanti kalau udah gede, Nanon nikah sama Phi, ya?“ “yey! asik!

seandainya, ya .. seandainya gue nggak berpegang ke omongan dia selama belasan tahun ini.. ..mungkin nggak bakal sesakit ini, rasanya, ya?

mungkin, nggak akan sekosong ini rasanya ketika gue ngeliat dia udah pakai cincin di jari manis kanan, ya?

ah, Nanon Korapat .. bego amat, lo. sumpah.

“Woy!” “Woy!” “Mau ke mana?” “Gurunya sebentar lagi masuk!”

“Bentar doang.” “Mau buang sial.”

iya. buang perasaan gue. sejauh mungkin. sedalam mungkin.

“Lebay bener. Nerbangin pesawat kertas doang, padahal.”

“Gue denger, ya, lo ngomong apaan, Ohm Pawat!”

“Ya. Ya. Ya!” “Sana buang, sana.” “Buruan.” “Gue tungguin.”

“Tungguin apaan?” “Lebay, emang.”

cihㅡ nggak jelas, emang, ini anak.

“Bangsat.” “Disebut nggak jelas.” “Padahal gue mau..” “..nunggu lo,” “sampai bisa lupain dia.”

ㅡ end.

Layar laptop milik Gulf masih terbuka, sementara si pemilik laptop masih sibuk dengan lembaran kertas yang bertumpuk di hadapannya.

Sesekali ia membetulkan posisi kacamata yang menggantung di ujung hidung, sesekali mengangkat kacamata dengan ujung pulpen di tangan kanan; sekedar ingin mengusak mata yang terasa perih karena terlalu lama memandangi dokumen yang harus ia kumpulkan esok hari kepada pimpinannya.

Namun di tengah semua kegiatan yang dilakukan, Gulf masih selalu menyempatkan diri untuk melirik layar laptopnya. Di seberang sana, sosok seorang lelaki berpakaian kaus t-shirt putih dan mengenakan kacamata yang sama persis dengan yang dikenakan Gulf terpampang jelas di layar laptop. Tingkahnya hampir mirip dengan Gulf, sibuk dengan benda di hadapan. Bedanya, lelaki yang ada di seberang panggilan video itu disibukkan dengan berbagai kabel, perkakas semacam obeng, dan semacamnya.

“Masih lama?”, tanya Gulf setelah berhasil menyelesaikan paragraf terakhir dari laporan yang harus ia serahkan esok hari. Lelaki di seberang sana kini mengalihkan pandangan dan mengulas senyum tipis. Terlihat jelas bahwa ia lelah, namun sebisa mungkin tidak ingin menunjukkan hal itu kepada Gulf.

“Lumayan. Kali ini pengerjaannya emang agak rumit,” ujar lelaki di seberang sana seraya menggaruki pipinya. Mungkin dilema, tidak ingin membiarkan Gulf menemaninya lebih lama lagi namun ia juga tidak ingin mengerjakan semua ini sendirian. “Kalau kamu ngantuk, tidur duluan aja. Nggak apa-apa.”

Gulf melepas kacamatanya, sekarang pandangannya menjadi agak buram namun cukup jelas untuk tetap melihat segala hal yang dilakukan si lelaki di seberang panggilan video sana. “Nggak. Aku tungguin, nggak apa-apa. Lanjutin aja.”

Mew. Lelaki di seberang panggilan video sana merasakan emosi yang bercampur aduk dalam dirinya. Dari kemarin, Mew hampir merasa gila karena pimpinannya terus menanyai perkembangan project yang tengah dikerjakannya. Maka ketika Gulf mengatakan tetap ingin menemaninya hingga tugas yang dikerjakan Mew selesai, di satu sisi Mew merasa senang. Namun di satu sisi lainnya, Mew merasa bersalah bukan main.

Bukannya ia tidak tahu, Gulf juga sama sibuknya. Malah mungkin, lebih sibuk daripada Mew sendiri. Lelaki itu, Gulf; sangat hebat. Tidak hanya di mata Mew semata, namun juga di mata para rekan kerjanya. Menjadi salah satu karyawan yang mendapat kepercayaan dari perusahaan untuk ditempatkan pada cabang perusahaan yang berada di salah satu negara asing, bukanlah hal yang main-main. Gulf berhasil mewujudkan itu, walaupun usianya masih sangat muda.

Hasilnya? Mew bangga. Bangga, teramat sangat. Walaupun itu berarti keduanya harus terpisah jarak serta zona waktu yang lumayan besar, tidak masalah. Mew paham akan kemampuan dirinya untuk menahan rindu. Ia paham, hatinya akan tetap dimiliki oleh Gulf. Tidak ada keraguan perihal rasa sayangnya.

Namun, di beberapa bagianㅡ tetap saja sulit. Dengan jarak yang tercipta, Mew harus puas dengan pelukan guling alih-alih merengkuh tubuh ramping Gulf ke dalam peluknya. Dengan perbedaan zona waktu yang ada, Mew harus sabar menunggu beberapa jam lebih lama untuk mendapat balasan pesan dari Gulf karena lelaki itu tidak bisa membalas pesannya ketika sedang berkerja.

Dengan semua yang menghalangi, Mew harus puas dengan sosok Gulf yang terhalangi lapisan kaca monitor. Tidak bisa merengkuh, tidak bisa mengecup, tidak bisaㅡ

“Phi Mew. Kenapa bengong?”

“O-oh! Sorry! Lagi kepikiran sesuatu.” Mew terlalu larut dalam pemikirannya sendiri, sampai-sampai ia tidak menyadari bahwa dirinya sempat terdiam hampir satu menit dengan pandangan yang tertuju lurus ke arah Gulf di seberang panggilan videonya. “Tunggu sebentar lagi, ya? Aku segera beresin biar kamu bisa istirahat.”

Ujaran Mew barusan dibarengi dengan gerak tangan si lelaki jangkung yang menjadi lebih cepat dari sebelumnya. Beberapa komponen perangkat di hadapannya segera diutak-utik sedemikian rupa. Terlihat mahir. Namun di mata Gulf, yang menjadi fokusnya adalah Mew.

Gulf ingat bagaimana lelaki itu pernah menjadi pria idaman para adik tingkat di SMA mereka berdua. Iya, mereka lulusan SMA yang sama walaupun berbeda angkatan.

Kala SMA, Gulf tahu bahwa para adik dan kakak tingkatnya menganggap sosok Mew yang supel juga ramah itu adalah tipe ideal untuk dijadikan kekasih. Sementara dirinya kerap dijadikan sosok yang ditakuti karena tingkahnya yang mungkin dianggap kurang bersahabat. Hingga akhirnya, ketika kelulusan SMA, Mew menyatakan perasaannya kepada Gulf.

Suka. Sayang. Ingin memiliki.

Gila. Itu hal yang pertama kali terlintas di pikiran Gulf. Mereka, dua laki-laki. Mereka, sejenis. Bagaimana bisa ia menerima pernyataan itu, coba?

Namun seiring berjalannya waktu, Gulf mengetahui bahwa terkadang ada banyak hal yang tidak bisa kita atur bagaimana jadinya. Pemikirannya yang jijik akan hal terkait sejenis yang muncul diantara mereka berdua, berhasil dipatahkan dengan kegigihan Mew yang seperti tanpa rasa bosan dan tanpa keinginan untuk menyerah berusaha mendapatkan hati Gulf.

Keduanya berkuliah di universitas yang berbeda, namun Mew tidak keberatan untuk melintasi bentang jarak demi memberikan hadiah ulang tahun Gulf tepat di jam 12 malam. Mengucapkan selamat, membawakan kue ulang tahun dengan lilin berjumlah usia Gulf, menyuruh Gulf membuat permohonan, kemudian berseru kencang ketika lilin-lilin yang ditiup Gulf sudah padam.

Lambat laun, semua tentang Mew menjadi sebuah kebiasaan bagi Gulf. Seperti pesan yang dikirimkan setiap pagi berisi perhatian-perhatian dalam bentuk sederhana; “udah makan?”, “ada film seru! nonton bareng, mau?”, “kuliahnya hari ini gimana?“

Mew tidak datang dengan cara yang istimewa. Mew datang ke hidup Gulf dengan caranya sendiri, berhasil membuat ruang di mana ia menempatkan diri dan membuat Gulf merasa tidak keberatan ketika lelaki itu berada di salah satu ruang hatinya. Pada akhirnya, Mew berhasil membuat Gulf merasa nyaman.

Pada akhirnya, Gulf menerima Mew. Pada akhirnya, mereka berdua menjalin kasih walau harus menerima pandangan miring dari beberapa pihak yang menganggap keberadaan keduanya sebagai hal yang menjijikkan.

Namun mereka berusaha semampunya agar dapat diterima secara normal di masyarakat. Gulf, berhasil menempati posisi penting di kantornya walau usianya masih muda. Mew; dengan kemampuannya di bidang elektro, berhasil menjadi salah satu tenaga kerja andal di tempatnya berkerja. Tidak ada yang perlu mereka takutkan saat ini. Semua bisa berlangsung norma—

Oh, tidak juga. Masih ada jarak yang membentang diantara keduanya.

Masih ada jarak yang menghalangi ketika Gulf ingin memeluk Mew dari belakang, atau sekedar memberi pijatan kecil di pundak lebar lelakinya itu. Ingin memberi semangat secara langsung, bukannya hanya saling menatap lewat layar monitor laptop seperti ini.

“Phi Mew.”

“Hm?”, Mew membalas panggilan Gulf tanpa mengangkat kepalanya. Masih menaruh fokus sepenuhnya pada hal di hadapan. “Kenapa?”

“Liat ke sini, sebentar. Sebentar aja.”

Mengikuti perkataan Gulf, Mew mengangkat kepalanya. Pemandangan selanjutnya yang ia lihat, segera membuat Mew tertawa kecil. Gulf sekarang sedang mengangkat tangan kanannya ke arah kamera dan membuat gerakan seperti sedang mengusap di udara kosong. “Kamu ngapain, hei?”

Pertanyaan Mew barusan dibalas dengan jawaban singkat dari Gulf. “Phi Mew, pasti capek, 'kan?”

“Jangan lupa makannya dijaga. Aku nggak bisa ada di sana bareng kamu, jadi harus mandiri, ya? Kalau sakit, aku yang khawatir di sini.” Masih, Gulf masih menggerakkan tangannya pada udara kosong.

Mew yang awalnya hanya mengulas senyum, kini bergerak mendekatkan kepalanya ke arah kamera laptop. Membuat gerakan seakan-akan Gulf memang benar tengah mengusapi kepalanya.

“Iya, di sini selalu rajin makan, kok. Biarpun keliatannya kurus-kurus aja, aku sebenernya selalu makan. Tepat waktu juga.”

Sekarang, tangan Mew bergerak mengusapi kepalanya sendiri. “Aku lagi usap-usapin kepalaku sendiri, nih. Biar kerasa lagi diusapin sama kamu,” ujarnya dan membuat Gulf terkekeh. “Seandainya layar monitor bisa dimasukin sama tangan sendiri kayak film The Ring itu, ya? Seru, pasti.”

Mew kembali ke posisi duduknya semula. Kini, fokusnya tidak lagi pada perkakas kerja namun kepada Gulf di seberang sana. “Seandainya bisa, aku pengen ...”

Gulf mengernyitkan alis, memasang ekspresi seakan curiga kepada kalimat lanjutan Mew. “Pengen apa?”

Mew tertawa. Paham bahwa pasti kekasihnya itu mengira bahwa ia akan berujar macam-macam. “Aku pengen beli layar laptop yang lebarnya 50 inchi, biar aku bisa masuk dan nembus ke tempat kamu sekarang.”

“Mau peluk kamu. Mau bikinin kamu cemilan ketika kamu lagi nugas. Mau pijitin pundak kamu pas lagi capek. Mau kasih semangat.”

“Mau bikin kamu ngerasa nyaman ketika aku ada di sekeliling kamu.”

Gulf segera terkekeh setelah mendengar kalimat Mew barusan dan membuat si lelaki jangkung kebingungan. “Kok ketawa? Imajinasiku lucu?”

“Lucu. Soalnya aku barusan juga mikirin hal yang sama persis. Aku pengen banget peluk kamu, kasih kamu semangat ketika lagi kerjain deadline dengan mijitin pundak kamu. Hal-hal sesederhana itu. Aku pengen lakuin itu.”

Mew menghela nafas dalam-dalam. Bagaimana mengatakannya, ya? Hatinya sekarang terasa sangat hangat hingga membuatnya sesak bukan main. “Gulf..”

“Hm?”

“Minggu depan, aku ke sana, ya? Ke tempat kamu.”

“Hah?”

“Mungkin nggak bisa lama. Kalau aku minta cuti pas hari Sabtu, aku berangkatnya hari Jumat. Paling-paling bisa mendarat di tempat kamu hari Sabtu pagi. Pulang lagi hari Minggu. Sebentar, sih. Tapi aku pengen banget ketemu kamu. Sebentar juga nggak apa-apa. Yang penting bisa ketemu kamu. Bisa peluk kamu. Bisa sebut nama kamu dan cubitin pipi kamu. Bisa hirup lagi aroma parfum yang bercampur sama bau tubuh kamu. Bisa ada di tempat yang sama kayak kamu, itu aja.”

Gulf tersenyum, sangat tipis. Kepalanya mengangguk kecil, setelahnya berujar singkat kepada Mew. “Makasih, ya.”

“Makasih udah selalu jadi orang yang berjuang buat aku. Makasih udah selalu bikin aku ngerasa istimewa. Aku nggak tau apa yang sekarang aku lakuin setimpal atau nggak buat balas segala yang kamu kasih buat aku ...”

“... tapi Phi Mew, kalau ada yang bisa aku ucapin sekarang buat kamu; 'aku selalu mikirin kamu. Dari awal aku buka mata sampai aku tidur lagi, aku cuma inget tentang kamu.' Aku serius.”

“Hei. Hei. Sshㅡ Nggak usah ngomong begitu. Aku nggak suka dengernya.” Mew kini sedikit memajukan posisi duduknya, kedua lengannya ia lipat di atas meja. Sebuah tanda bahwa ia tengah serius. “Kamu nggak perlu ngerasa kalau aku memperlakukan kamu secara istimewa. Aku memperlakukan kamu sebagai seorang Gulf.”

“Karena pada dasarnya, buat akuㅡ seorang Gulf itu adalah seseorang yang pantes aku perjuangin. Aku memperlakukan kamu sebagai kamu apa adanya. Karena kamu sendiri udah jadi sosok yang hebat di mata aku. Ya? Jangan anggap rendah diri kamu sendiri, ya? Janji?”

Mew mengacungkan jari kelingkingnya ke arah kamera, meminta Gulf untuk berjanji perihal yang ia sebut barusan. Gulf tertawa, “gimana mau janjinya, deh? Nggak bisa ditautin jari kita, tuh.”

Mew mengerjapkan matanya beberapa kali, menyadari kebodohannya. “Angkat jari kelingking kamu dua-duanya kayak begini,” ujar Mew seraya kini mengangkat dua jari kelingkingnya. “Terus tautin sendiri satu sama lain, kayak begini.”

Iya. Sosok Mew yang sekarang tengah mengaitkan kedua jari kelingkingnya sendiri terlihat sangat menggemaskan di mata Gulf. Tidak ingin membuat kecewa, akhirnya Gulf melakukan hal yang sama; mengaitkan dua jari kelingkingnya ke satu sama lain. “Ayo, ucapin. Bareng.”

“Apaan?”

“Janji! Mumpung lagi pinky promise, nih.”

“Tuhan.. Kayak anak kecil banget, sih.”

Janji.”

“...”

Ayo, sebutiiin. Janji.”

Janji.”

Saya, Gulf Kanawut.”

Saya, Gulf Kanawut.”

Akan menjaga kondisi kesehatan saya dengan baik. Makan tepat waktu. Nggak pernah lewatin makan. Rajin olahraga.”

Susah, itu. Aku orang kantoran. Boro-boro buat olahraga, buat makan aja kadang lupa..”

Aku marah, nih. Minggu depan aku nggak ke tempat kamu, nih.”

Akan menjaga kondisi kesehatan saya dengan baik. Makan tepat waktu. Nggak pernah lewatin makan. Rajin olahraga.”

Hehehe. Satu lagi.”

Apa lagiiii?

Saya berjanji.”

Saya berjanji.”

Akan menepati janji saya untuk menikah dengan Mew ketika yang bersangkutan sudah berhasil mengumpulkan cukup uang untuk modal pernikahan kami.

Itu sih kamu aja yang janji ke diri sendiri.

Aku selalu janji! Tau nggak, tiap pagi aku liat cermin terus ucapin janji ke diri sendiri buat terus sabar kalau dimarahin bos hari ini. Soalnya aku butuh uang buat ditabung jadi modal nikah sama kamu.”

Serius?”

Iyaaaa! Makanya, aku butuh kepastian. Aku mau denger janji dari kamu juga.”

Ya? Ya? Ya?

Hhhㅡ Ya, udah. Aku sebut. Apa tadi, janjinya?

Akan menepati janji saya untuk menikah dengan Mew ketika yang bersangkutan sudah berhasil mengumpulkan uanㅡ

Saya berjanji.”

Heh! Belum selesaㅡ

Akan selalu ada di sisi Mew Suppasit dalam saat senang maupun susah. Akan berjuang bersama Mew Suppasit untuk melangkah berbarengan dalam hubungan yang sakral. Tidak akan membebani Mew Suppasit secara sepihak dan akan bersama-sama membangun kondisi finansial yang cukup bagi kami berdua.”

”...”

Udah, kan?”

Tau, nggak?”

Apa?

Aku sayang kamu. Sayang banget. Gimana, dong?

Ya, udah. Minggu depan ke sini. Peluk aku. Erat. Erat, banget.

Mew mengangguk mantap. Tidak ada ragu sedikitpun dari tindakannya. “Pasti. Pasti. Aku pasti dateng. Lalu peluk kamu, erat. Buat pastiin, bahwa kamu udah mempercayai janjimu ke orang yang tepat. Ke orang yang bakal sayangin kamu, orang yang bakal perjuangin kamu selamanya. Tanpa ada ragu sedikitpun.

Aku, Mew Suppasit, janji.”

ㅡ end.

“Pegangan ke sini, Nanon!”

Kapal sudah benar-benar dalam posisi miring. Bahkan untuk sekedar berdiri dalam posisi tegak lurus pun sulit. Teramat sulit, garis bawahi itu.

Beberapa siswi mulai menangis, beberapa lagi berteriak ketakutan. Siswa yang berada di geladak kapal pun mulai kesulitan untuk mempertahankan pegangannya di bar pinggiran kapal.

AIRNYA MASUK!” “BAGAIMANA INI?!”

NAIK! NAIK!” “LARI KE PERMUKAAN!”   “SULIT!” “SUDAH TERLALU MIRING!”

Nanon!” “Pegangan ke sini!

Ohm, lelaki yang barusan meneriakkan nama Nanon kini mengulurkan tangannya. Tatapannya terlihat panik namun sebisa mungkin ia coba untuk samarkan tatkala menatap lelaki di belakangnya. “Ayo. Kamu bisa. Pelan-pelan, kita punya cukup waktu.”

Tidak. Ohm berbohong. Tidak ada cukup waktu bagi mereka. Air laut masuk menerjang ke dalam kapal dengan teramat cepat. Memang hingga saat ini belum terlihat wujudnya, namun suara deras air yang masuk sudah dapat ditangkap oleh telinga telanjang. “Ayo, pegang tanganku. Kita naik ke atas.”

“Ohm! Teman-teman kita di sana! Kita tidak bisa pergi sendirian begini! Bantu mereka, kita keluar bersama!”

Bukannya Ohm egois. Dia juga tahu, menyelamatkan diri sendirian begini adalah hal yang memalukan. Ayah Ohm yang seorang tentara marinir angkatan laut Thailand pasti akan malu jika mengetahui putra sulungnya yang paham perihal seluk-beluk kapal kini malah kabur tanpa berusaha menyelamatkan teman-temannya yang lain. Namun, harus bagaimana?! Waktu yang ia miliki tidak cukup banyak untuk menyelamatkan teman-temannya!

Salahkan nahkoda kapal yang semula memberi pengumuman untuk tidak bergerak dari posisi masing-masing! Salahkan nahkoda kapal yang menjanjikan situasi sedang baik-baik saja! Salahkan nahkoda kapal yang malah menyelamatkan dirinya terlebih dahulu dan meninggalkan penumpangnya di sini, di kapal yang tengah akan tenggelam!

“Nanon! Ayo!” “Pegang tanganku. Kumohon.” “Setidaknya, aku bisa menyelamatkanmu.”

Nanon tidak munafik. Ia pun merasa takut bukan main. Membayangkan akan bagaimana nasibnya jika tenggelam bersama kapal ini sudah membuatnya lemas. Masih banyak mimpinya yang belum dapat terwujudkan. Masih banyak hadiah yang ingin ia berikan untuk Ibundanya. Masih banyak prestasi yang ingin ia banggakan di hadapan Ayahnya.

“Ayo, Nanon!” “Cepat!”

Uluran tangan Ohm akhirnya dibalas oleh genggaman tangan Nanon. Sumpah, demi apapunㅡ tangan Ohm benar-benar dingin. Nanon sampai khawatir apakah kawan sebangkunya di kelas ini terkena serangan hipotermia atau apa.

Ohm tidak membuang waktu sedikitpun. Tangan Nanon di genggamannya segera ditarik sehingga si lelaki yang bertubuh lebih kurus itu segera terangkat ke atas. Berada di atas bar kapal, berlawanan arah dengan jatuhnya posisi kapal yang miring ke kiri.

“Di sini. Pegangan ke sini,” Ohm menuntun tangan Nanon untuk menggenggam satu tiang penyangga kapal yang kokoh. “Jangan dilepas kecuali ketika aku bilang lepas. Paham? Kapal akan semakin tenggelam, Nanon. Kita harus melompat dari sini, berenang menjauhi kapal! Kalau kita ada di sini, pusaran air yang menenggelamkan kapal akan menarik kita turun.”

Ucapan Ohm tidak dibalas apapun oleh Nanon. Lelaki bertubuh agak lebih kecil dari si pembicara itu menatap hamparan air laut di depan matanya dengan gamang. Tangannya yang tengah memegang tiang penyangga gemetar. Tidakkah Ohm tahu bahwa ia takut dengan air laut? Tidakkah Ohm tahu bahwa ia tidak mahir berenang?

“Paham ucapanku, Nanon?! Paham?! Paham, tidak?!” Ohm meraih wajah Nanon dan mengarahkan ke depan wajahnya sendiri. Memaksa si kawan sebangku untuk menatapnya lurus-lurus. “Nanon?!”

“Aku ..” “.. tidak bisa berenang.”

Bodoh. Ohm bodoh. Bagaimana bisa ia lupa bahwa Nanon tidak bisa berenang? Bodoh! Padahal mereka teman sebangku dan saling berbagi rahasia satu sama lain. Bagaimana Ohm bisa lupa hal sepenting ini?

“Tidak apa-apa. Jangan khawatir. Kamu tunggu di sini. Aku ambil pelampung di ruang nahkoda. Aku lihat ada satu tadi.”

“Waktunya..” Nanon mencicit, lirih.

“Cukup.” “Cukup, Nanon.” “Percaya aku. Kau akan selamat.” 

Ohm tidak memberikan waktu bagi Nanon untuk menjawab apapun. Lelaki itu sudah berbalik dengan berpegangan ke bar di pinggiran kapal. Langkahnya terlihat kesulitan. Wajar saja, kapal ini miring sepenuhnya ke kiri. Untuk mempertahankan keseimbangan sudah teramat sulit, apalagi untuk berjalan seperti itu.

Nanon mengalihkan pandangannya. Hamparan air laut terlalu menyeramkan baginya.

Pandangannya menyebar ke segala arah. Nanon kira, di sana akan ada banyak sekoci yang siap menyelamatkan mereka. Namun rupanya nihil. Hanya ada suara helikopter dari kejauhan. Berputar-putar tanpa memberi pertolongan apapun.

Kenapa tidak ada bantuan sama sekali? Tidak tahukah mereka bahwa banyak siswa-siswi yang tengah menunggu untuk diselamatkan?

Ketika Nanon masih disibukkan dengan pemikirannya, tiba-tiba pandangannya terhalang oleh kalungan benda berwarna orange. Ban pelampung sudah terpasang di leher Nanon dan suara akrab itu segera memasuki rungunya. “Ayo. Kamu aman. Kamu akan selamat. Pasti selamat.”

Ohm terus berkata demikian seraya memasangkan sabuk pengait di pelampung milik Nanon. Ditarik erat, memastikan tidak akan lepas dari tubuhnya.

“Ayo.” Ohm meraih tangan Nanon yang masih menggenggam tiang penyangga dengan kuat. “Kamu bisa. Lompat, seperti biasa.”

“Ohm..” “Ini laut. Berenang di sini berbeda dengan berenang di kolam renang.”

“Bisa, Nanon.” Ohm perlahan menegakkan tubuhnya untuk berdiri di pinggiran bar kapal. Tangan Nanon masih digenggam olehnya, kuat dan erat. “Kamu akan tenggelam sebentar. Sebentar, aku pastikan itu. Nanti aku tarik kamu kembali ke permukaan. Hanya sebentar. Aku janji.”

Nanon menatap Ohm untuk sekilas. Lelaki yang menjadi teman sebangkunya ini terlihat berbeda. Biasanya, Ohm akan memasang tampang jenaka disertai tawanya yang menggelikan. Namun kali ini, tidak ada tampang begitu di wajahnya. Ohm terlihat serius, sangat. Sehingga Nanon tidak memiliki pilihan apapun selain mempercayai perkataannya.

“Iya.” “Ayo, lompat.”

Detik berikutnya, yang Nanon rasakan adalah tarikan tangan Ohm. Lalu kakinya yang melangkah menginjak udara kosong, suara tubrukan kencang sebelum akhirnya tubuhnya dihantam oleh air laut ketika terjun ke bawah.

Sesak. Gelap. Nanon membuka matanya, terpaksa. Nafasnya benar-benar tidak bisa diatur. Ia, ada di dalam laut yang gelap. Sungguh, tidak terlihat apapun di sini. Tangannya menggapai-gapai ke atas, berusaha naik mencapai permukaan namun percuma.

Pelampung di tubuhnya seperti tidak berfungsi. Ia malah seperti ditarik ke bawah. Sesak. Nafasnya sesak!

Di saat Nanon sudah tidak bisa menahan nafasnya lagi, tiba-tiba sesuatu seperti menubruknya dan tubuhnya beranjak naik ke atas menuju permukaan. Perlu beberapa detik hingga akhirnya Nanon bisa merasakan oksigen di sekelilingnya.

Nanon, berhasil naik ke permukaan. Nafasnya tersengal. Ditarik dalam-dalam seakan ingin menghirup segala oksigen yang ada.

“Nanon! Kau tidak apa-apa? Baik-baik saja?”

Ohm! Itu suara Ohm!

Baru saja Nanon akan mengucapkan terima kasih akan pertolongan yang diberi Ohm, matanya seakan ditusuk oleh benda tajam. Ohm memang ada di sana, di hadapan Nanon dengan senyum jenaka dan mata sipitnya, namun kepalanya berdarah. Darah mengucur deras dari sana. Dari kepala Ohm. Membuat aliran berwarna merah yang menyatu bersama air laut di sekeliling mereka.

“Ohm! Kepalamu!”

“A-ah! Jangan dipegang begitu.” “Sakit, hehehe.”

Nanon merasa hatinya seakan ditusuk oleh ribuan jarum tidak kasat mata. Bagaimana ia bisa tertawa dengan kondisi begini?! Bagaimana bisa?! “Kenapa—”

“Ah, itu ..”, Ohm berujar lirih. Tangannya tertunjuk ke pinggiran kapal, di mana ada sebuah gundukan di sana. “.. terbentur. Di sana.”

“Ohm... bagaimana ini?” Nanon tidak tahu mengapa suaranya bergetar hebat. Nanon tidak tahu mengapa matanya terasa panas bukan main. Nanon tidak tahu mengapa ia menangis.

“Hei. Hei. Jangan nangis begini.” “Sudah kubilang, kamu akan selamat. Pasti. Aku jamin.”

Nanon baru menyadari bahwa sedari tadi tangan Ohm terus memegangi pelampungnya. Bukan karena ingin ikut mengapung, namun seperti ingin memastikan bahwa Nanon tidak akan tenggelam. “Nanon...”

“Aku, pandanganku buram.” “Tapi aku mau kamu ikuti perkataanku. Paham?”

Tangis Nanon semakin menjadi. Kepalanya terus menggeleng, tidak mau mendengar kelanjutan ucapan Ohm. “Tidak. Kamu juga akan selamat! Kita akan selamat! Kamu dan aku!”

Ohm tersenyum, tipis. Namun Nanon tahu, itu senyum tertulus dari si teman sebangku. “Iya. Kita pasti akan selamat. Aku percaya setiap ucapanmu. Selalu percaya, Nanon.”

“Jadi, agar kita selamat, ingat ucapanku ini. Paham?”

Nanon masih menangis. Darah di kepala Ohm masih mengalir, seakan tidak berhenti. Namun bagaimana bisa lelaki itu masih berbicara seakan semuanya baik-baik saja?

“Jangan beri beban ke tubuhmu. Pelampung ini hanya membantumu mengapung. Kau lihat barang-barang di sana?” Ohm menunjuk kumpulan koper milik siswa-siswi yang kini mengapung di atas laut. “Berenang ke sana. Berpegangan ke koper paling besar. Pastikan kamu tetap mengapung sampai helikopter penyelamat datang.”

“Ya? Nanon? Paham, ya?”

Nanon tidak dapat berkata apa-apa. Hatinya sakit bukan main. “Kita ke sana bersama, ya?” Ohm menggeleng. Masih menyunggingkan senyum yang sama. “Berat, Nanon.”

“Berat, membawa mayat.” “Kamu saja, ya?” “Hidup. Untukku juga.”

“Tidak!”, teriak Nanon. “Kamu tidak akan jadi mayat! Kamu akan selamat! Aku akan buat kita selamat!”

“Nanon... Kepalaku sakit.” “Pandanganku buram.” “Tapi, aku senang.” “Sebelum pandanganku hilang sepenuhnya, aku bisa melihat kamu.”

Nanon terisak. Hebat. Tidak kuat mendengar perkataan Ohm. “Ohm..”

“Wujudkan semua, ya? Semua mimpi yang dulu kamu bicarakan padaku. Wujudkan. Buat aku bangga. Bangga, karena sudah menyelamatkan Nanon yang hebat.”

Ujaran Ohm berhenti di situ. Tatapannya seperti memudar, matanya terpejam perlahan. Tangannya masih menggenggam pelampung milik Nanon sehingga tak urung membuat tubuh Nanon sedikit oleng, bahkan hampir seakan ditarik kembali ke dalam lautan.

Tubuh Ohm, kaku.

Sebisa mungkin, Nanon masih berusaha mengangkut tubuh Ohm agar ikut mengapung bersamanya. Namun, sulit. Lelaki ini bertubuh lebih besar darinya. Nanon tidak bisa berenang dan tidak bisa mempertahankan lelaki ini untuk ikut mengapung di permukaan.

Sumpah, demi apapun, ia merasa jahat ketika perlahan melepaskan genggaman Ohm di pelampungnya. Nanon merasa jahat ketika melihat tubuh teman sebangkunya kini tenggelam perlahan ke dalam air laut sementara ia tidak bisa melakukan apa-apa.

Nanon, membiarkan teman sebangkunya mati. Apalagi yang lebih jahat daripada itu?

Ohm Pawat. Lelaki itu pergi ditelan dalam dan gelapnya air laut. Ia pergi, bersama sebuah rahasia yang ia bawa mati. Rahasia, bahwa ia mencintai lelaki yang kini menangis terisak di permukaan sana. Rahasia, bahwa ia tidak ragu menukarkan nyawanya demi agar dapat melihat lelaki yang dicintainya dapat hidup.

Ohm Pawat pergi, bersama cinta dalam hati.

END

Katanya, garis takdir bisa membawa sebuah kisah paling sederhana namun memberi perubahan paling besar di dalam hidup kalian. Katanya, sih. Perihal benar atau tidaknya, kita juga tidak tahㅡ

Oh, ada yang bisa membuktikan, katanya. Ada yang bisa memberi bukti nyata bahwa sesuatu hal paling sederhana bisa membawa sebuah perubahan yang luar biasa.

Ini tentang Mew, Gulf, dan elevator yang membawa mereka menuju ke lantai delapan belas.


“Mampus! Mampus! Mampuuuus! Banyak banget orangnya, mampusss! Apa gue naik tangga aja, ya? Tadi gue liat mobil si bos udah masuk parkiran, pula! Mampus!”

Barusan adalah suara teriakan hati dari seseorang di tengah sekumpulan karyawan kantor yang mengantre giliran menaiki elevator menuju lantainya masing-masing. Jika dijelaskan secara lebih mendetail, suara itu adalah teriakan hati Gulf Kanawut.

Rasanya isi kepala Gulf sudah dipenuhi dengan berbagai macam rencana yang tidak jelas. Sedetik, ia ingin mengumpat. Sedetik berikutnya, ia ingin berbalik untuk menaiki tangga menuju lantai di mana kantornya berada, lantai delapan belas. Lalu sedetik yang lainnya, ia ingin menangis karena ternyata sosok direkturnya sudah memasuki ruang lobby dan menaiki elevator khusus yang hanya boleh ditumpangi oleh para petinggi perusahaan.

Gulf sudah dipastikan terlambat. Itupun di minggu pertamanya menjadi karyawan percobaan, pula.

Ting!

Gulf baru saja berniat akan kembali ke rumah (karena toh' ia sudah terlambat) ketika denting bel yang menandakan elevator berhenti di lantai yang ditempatinya terdengar. Dalam sekejap, kumpulan karyawan yang awalnya berbaris rapi tiba-tiba segera berusaha merengsek masuk ke dalam elevator.

Gulf memang memiliki tubuh yang tinggi, namun kekuatannya benar-benar payah. Digiring di tengah lautan karyawan, bukannya malah maju— Gulf malah menjadi terpinggirkan ke arah kiri. Keluar dari alur menuju elevator; tersisihkan, istilahnya. Hingga akhirnya, tiba-tiba sebuah tangan menarik lengan Gulf untuk masuk ke dalam elevator. Tangan itu besar dengan jemari yang sangat panjang, sebagai tambahan.

Gulf ditarik dengan agak kuat sehingga kini dirinya sudah berada di dalam elevator; di bagian paling dekat dengan pintu. Sementara di hadapannya, berdiri seorang laki-laki dengan tubuh yang hampir sama tinggi dengan Gulf. Berkulit putih, bahkan lebih terkesan pucat. Namun yang paling Gulf ingat adalah garis urat nadi di tangan lelaki itu menyembul dengan sangat jelas.

“Kamu duluan,” ujarnya singkat; yang mungkin hanya didengar oleh Gulf. Dari segala situasi yang terjadi, Gulf bisa mengambil kesimpulan bahwa lelaki itu sudah terlebih dahulu naik ke elevator namun ia memutuskan untuk mendahulukan Gulf daripada dirinya. Ouch, sungguh sebuah adegan yang menghangatkan hati.

Maka dari itu, Gulf berniat untuk mengucapkan terima kasih. Bilah bibir sudah terbuka, suara sudah siap untuk diloloskan, namun—

BEEEEP! BEEEEEP! BEEEEP!

Suara nyaring itu terdengar dari dalam elevator, menandakan bahwa tumpangan kali ini sudah kelebihan beban muatan. Gulf terdiam di tempatnya, memilih untuk berpura-pura bodoh. Ia tidak mau keterlambatannya semakin parah. Ia harus segera naik ke lantai delapan bela—

“Yang badannya paling tinggi, sadar diri, dong. Masuk paling terakhir, 'kan?” Celetukan sinis dari elevator bagian dalam membuat Gulf mendengus kesal. Ia tidak memiliki pilihan lain karena sekarang seluruh penumpang yang sudah menaiki elevator seakan membuat satu suara yang bulat; menyuruh Gulf untuk turun. Pada akhirnya, Gulf turun dari lift dengan wajah yang merengut. Bibirnya mengerucut.

“Pftㅡ percuma, ya, saya kasih giliran ke kamu buat masuk duluan?” Gulf menoleh ke arah kirinya. Lelaki yang tadi memberikan giliran kepadanya untuk naik ke dalam elevator terlebih dulu ternyata berdiri di sana. Namun yang lebih membuatnya heran, sekarang hanya mereka berdua yang ada di depan elevator lantai lobby. “Lho? Yang lainnya?”

Kepala si lelaki berkulit putih itu sedikit digerakkan ke kiri, menunjuk ke arah elevator lainnya yang sedang menuju ke lantai atas. “Barusan naik sewaktu kamu disuruh turun sama penumpang lainnya. Masih ada ruang tempat lowong, padahal.”

Gulf menepukkan telapak tangannya ke dahi, merasa kesal bukan main. Kalau tahu semenjak awal bahwa elevator sebelahnya masih memiliki sisa ruang, untuk apa ia bersikeras berada di elevator yang kelebihan muatan, coba?

Akan tetapi kebingungan Gulf hanya bertahan sejenak. Sekarang ia lebih heran karena satu hal, “lho? Anda— kenapa nggak naik elevator yang itu aja?”

Lelaki itu mengangkat bahu dengan ringan. Tangannya yang sedang dimasukkan ke dalam saku celana kini dikeluarkan dan beralih mengusapi tengkuk lehernya sendiri. Sekali lihat, siapapun bisa menebak bahwa lelaki itu sedang merasa kikuk. “Yaa— nggak apa-apa, sih. Bos saya lagi ada dinas luar jadi karyawan-karyawan di kantor saya nggak buru-buru banget buat ada di kantor tepat waktu.”

“Lagian..” “..penasaran juga, kamu berhenti di lantai berapa.”

Ujaran si lelaki di sampingnya itu membuat Gulf sempat mengernyitkan dahi, kebingungan. “Hah? Gimana, maksudnya?”

Ting!

Pertanyaan Gulf tidak dijawab oleh lelaki yang tidak dikenalinya itu. Kini, si lelaki berkulit putih malah melangkah terlebih dahulu ke dalam elevator yang kosong dan menahan tombol di dalamnya agar pintu tetap terbuka. “Mau naik?”, tanyanya singkat.

Gulf mengangguk. Pemikirannya akan maksud dari kalimat si lelaki di hadapannya itu akhirnya ditelan bulat-bulat. Sudahlah. Toh' pasti bukan hal yang penting, pikirnya.

“Lantai berapa?”, tanyanya.

“Delapan belas,” jawab Gulf.

Sekilas, Gulf melirik ke arah kartu identitas yang terpasang di kalung lanyard pada leher si lelaki di samping.

Mew Suppasit, itu namanya. Lelaki yang aneh.

Katanya, garis takdir bisa membawa sebuah kisah paling sederhana namun memberi perubahan paling besar di dalam hidup kalian. Katanya, sih. Perihal benar atau tidaknya, kita juga tidak tahㅡ

Oh, ada yang bisa membuktikan, katanya. Ada yang bisa memberi bukti nyata bahwa sesuatu hal paling sederhana bisa membawa sebuah perubahan yang luar biasa.

Ini tentang Mew, Gulf, dan elevator yang membawa mereka menuju ke lantai delapan belas.


“Mampus! Mampus! Mampuuuus! Banyak banget orangnya, mampusss! Apa gue naik tangga aja, ya? Tadi gue liat mobil si bos udah masuk parkiran, pula! Mampus!”

Barusan adalah suara teriakan hati dari seseorang di tengah sekumpulan karyawan kantor yang mengantre giliran menaiki elevator menuju lantainya masing-masing. Jika dijelaskan secara lebih mendetail, suara itu adalah teriakan hati Gulf Kanawut.

Rasanya isi kepala Gulf sudah dipenuhi dengan berbagai macam rencana yang tidak jelas. Sedetik, ia ingin mengumpat. Sedetik berikutnya, ia ingin berbalik untuk menaiki tangga menuju lantai di mana kantornya berada, lantai delapan belas. Lalu sedetik yang lainnya, ia ingin menangis karena ternyata sosok direkturnya sudah memasuki ruang lobby dan menaiki elevator khusus yang hanya boleh ditumpangi oleh para petinggi perusahaan.

Gulf sudah dipastikan terlambat. Itupun di minggu pertamanya menjadi karyawan percobaan, pula.

Ting!

Gulf baru saja berniat akan kembali ke rumah (karena toh' ia sudah terlambat) ketika denting bel yang menandakan elevator berhenti di lantai yang ditempatinya terdengar. Dalam sekejap, kumpulan karyawan yang awalnya berbaris rapi tiba-tiba segera berusaha merengsek masuk ke dalam elevator.

Gulf memang memiliki tubuh yang tinggi, namun kekuatannya benar-benar payah. Digiring di tengah lautan karyawan, bukannya malah maju— Gulf malah menjadi terpinggirkan ke arah kiri. Keluar dari alur menuju elevator; tersisihkan, istilahnya. Hingga akhirnya, tiba-tiba sebuah tangan menarik lengan Gulf untuk masuk ke dalam elevator. Tangan itu besar dengan jemari yang sangat panjang, sebagai tambahan.

Gulf ditarik dengan agak kuat sehingga kini dirinya sudah berada di dalam elevator; di bagian paling dekat dengan pintu. Sementara di hadapannya, berdiri seorang laki-laki dengan tubuh yang hampir sama tinggi dengan Gulf. Berkulit putih, bahkan lebih terkesan pucat. Namun yang paling Gulf ingat adalah garis urat nadi di tangan lelaki itu menyembul dengan sangat jelas.

“Kamu duluan,” ujarnya singkat; yang mungkin hanya didengar oleh Gulf. Dari segala situasi yang terjadi, Gulf bisa mengambil kesimpulan bahwa lelaki itu sudah terlebih dahulu naik ke elevator namun ia memutuskan untuk mendahulukan Gulf daripada dirinya. Ouch, sungguh sebuah adegan yang menghangatkan hati.

Maka dari itu, Gulf berniat untuk mengucapkan terima kasih. Bilah bibir sudah terbuka, suara sudah siap untuk diloloskan, namun—

BEEEEP! BEEEEEP! BEEEEP!

Suara nyaring itu terdengar dari dalam elevator, menandakan bahwa tumpangan kali ini sudah kelebihan beban muatan. Gulf terdiam di tempatnya, memilih untuk berpura-pura bodoh. Ia tidak mau keterlambatannya semakin parah. Ia harus segera naik ke lantai delapan bela—

“Yang badannya paling tinggi, sadar diri, dong. Masuk paling terakhir, 'kan?” Celetukan sinis dari elevator bagian dalam membuat Gulf mendengus kesal. Ia tidak memiliki pilihan lain karena sekarang seluruh penumpang yang sudah menaiki elevator seakan membuat satu suara yang bulat; menyuruh Gulf untuk turun. Pada akhirnya, Gulf turun dari lift dengan wajah yang merengut. Bibirnya mengerucut.

“Pftㅡ percuma, ya, saya kasih giliran ke kamu buat masuk duluan?” Gulf menoleh ke arah kirinya. Lelaki yang tadi memberikan giliran kepadanya untuk naik ke dalam elevator terlebih dulu ternyata berdiri di sana. Namun yang lebih membuatnya heran, sekarang hanya mereka berdua yang ada di depan elevator lantai lobby. “Lho? Yang lainnya?”

Kepala si lelaki berkulit putih itu sedikit digerakkan ke kiri, menunjuk ke arah elevator lainnya yang sedang menuju ke lantai atas. “Barusan naik sewaktu kamu disuruh turun sama penumpang lainnya. Masih ada ruang tempat lowong, padahal.”

Gulf menepukkan telapak tangannya ke dahi, merasa kesal bukan main. Kalau tahu semenjak awal bahwa elevator sebelahnya masih memiliki sisa ruang, untuk apa ia bersikeras berada di elevator yang kelebihan muatan, coba?

Akan tetapi kebingungan Gulf hanya bertahan sejenak. Sekarang ia lebih heran karena satu hal, “lho? Anda— kenapa nggak naik elevator yang itu aja?”

Lelaki itu mengangkat bahu dengan ringan. Tangannya yang sedang dimasukkan ke dalam saku celana kini dikeluarkan dan beralih mengusapi tengkuk lehernya sendiri. Sekali lihat, siapapun bisa menebak bahwa lelaki itu sedang merasa kikuk. “Yaa— nggak apa-apa, sih. Bos saya lagi ada dinas luar jadi karyawan-karyawan di kantor saya nggak buru-buru banget buat ada di kantor tepat waktu.”

“Lagian..” “..penasaran juga, kamu berhenti di lantai berapa.”

Ujaran si lelaki di sampingnya itu membuat Gulf sempat mengernyitkan dahi, kebingungan. “Hah? Gimana, maksudnya?”

Ting!

Pertanyaan Gulf tidak dijawab oleh lelaki yang tidak dikenalinya itu. Kini, si lelaki berkulit putih malah melangkah terlebih dahulu ke dalam elevator yang kosong dan menahan tombol di dalamnya agar pintu tetap terbuka. “Mau naik?”, tanyanya singkat.

Gulf mengangguk. Pemikirannya akan maksud dari kalimat si lelaki di hadapannya itu akhirnya ditelan bulat-bulat. Sudahlah. Toh' pasti bukan hal yang penting, pikirnya.

“Lantai berapa?”, tanyanya.

“Delapan belas,” jawab Gulf.

Sekilas, Gulf melirik ke arah kartu identitas yang terpasang di kalung lanyard pada leher si lelaki di samping.

Mew Suppasit, itu namanya. Lelaki yang aneh.

Selamat pagi, semuanya. ♡

Ini tebe, temennya Banyu dan Albirru. Hari ini, Selasa──tanggal 20 Oktober 2020, aku memutuskan untuk menghapus seluruh entri [ Rekam Lepas Banyu Birru ] layar kedua yang udah aku post; yang mana udah masuk ke laju ketiga.

Aku punya alasan untuk ngelakuin hal ini. Mungkin sedikit akan dirasa kurang wajar atau nggak masuk akal oleh beberapa temen yang lain, karena alasanku adalah karena adanya komentar yang diajuin ke aku lewat CC atau DM request. Komentarnya bukan hal yang aneh atau kejam kok, malah jujur banget.

Ada beberapa temen-temen yang keberatan dengan cerita Banyu Birru yang masuk ke sesi kedua dan bilang bahwa cerita Banyu Birru yang kedua bikin mereka takut. Karena aku juga kurang paham takutnya itu karena apa, aku coba ngobrol sama mereka dan menemukan beberapa jawaban yang bikin aku berpikir : “Banyu Birru ke depannya bakal lebih (jahat) dan kalau di laju ketiga aja mereka udah begini, gimana ke depannya?”

Banyu Birru di layar kedua angkat banyak hal tentang trauma, kehadiran orang ketiga, bahkan tentang sisi psycho yang berujung ke tindak kriminal. Berhubungan dengan sisi psikis, yang mana rupanya berdampak banyak ke temen-temen yang baca Banyu Birru karena ada juga yang punya pengalaman sama kayak Birru atau punya pengalaman kayak Banyu.

Aku nggak bisa menganggap enteng protesan temen-temen yang keberatan dengan alur cerita Banyu Birru di layar kedua karena masalah kesehatan mental bukan hal yang boleh dianggap enteng. Akupun nggak bisa bilang ke mereka, “ya udah, sih. kalau lo keberatan sama isinya ya udah nggak usah baca!” karena yaㅡ mereka yang mengajukan keberatan ngomong ke aku dengan bahasa yang sopan dan aku nggak bisa marah karena apa yang mereka omongin mungkin ada baiknya buat aku juga.

Selama aku nulis cerita Banyu Birru, aku emang udah bertekad pengen ambil beberapa isu yang kerap ada di kehidupan kita. Isu yang bisa aja kita abaikan karena terlalu sepele tapi sebenernya ada banyak pelajaran yang bisa kita ambil di sana. Tapi karena adanya komentar yang menceritakan beberapa hal tentang pribadi pembaca dan itu berkaitan sama Banyu Birru, aku jadi agak khawatir karena Banyu Birru di laju kedua nggak akan serealistis Banyu Birru di season pertama.

Banyu Birru layar kedua bakal jahat, penuh intrik juga drama. Aku nggak yakin beberapa temen-temen yang curhat ke aku tentang Banyu Birru bakal kuat ngehadapin itu semua.

Kenapa aku kayak terlalu membesarkan hal ini? Bukan membesarkan sih, ya──aku cuma mau menjaga Banyu Birru aja. Karena beberapa temen-temen ada yang bilang sayang sama Banyu Birru dan anggap mereka bener-bener ada. Beberapa temen-temen ada yang menganggap Banyu Birru itu sebagai sesuatu yang bikin mereka seneng. Aku juga seeeeneng banget pas tau ada yang sayang dan bahagia ketika baca cerita Banyu Birru. Lalu aku mikir, ketika aku bikin intrik di sana sini──apakah Banyu Birru bakal tetep disayang sebegininya? Apa nanti malah orang-orang bakal males baca Banyu Birru karena terlalu banyak dramanya? Apa mereka yang awalnya sayang Banyu Birru bakal jadi benci ke mereka karena Banyu Birru bikin mereka takut?

Iya, mungkin ada diantara temen-temen yang nungguin dan kecewa sama keputusan aku. Mungkin juga ada yang ngerasa, “apaan, sih? lebay banget! kan' cuma AU doang!

Aku sendiri nggak pernah anggap sebuah cerita itu cuma sebuah cerita tanpa arti apapun. Sebuah cerita dibuat karena pemikiran penulis, yang mana terkadang bisa disalurkan lewat serapan pembacanya. Apapun yang disampaikan penulis, bisa aja jadi sesuatu yang berpengaruh buat mereka yang baca. Makanya aku selalu anggap setiap penulis harus berpikir matang-matang sebelum bagiin sesuatu di ranah sosialnya.

Aku udah berpikir matang-matang. Aku udah coba lampirkan berbagai trigger warning yang mungkin bisa berpengaruh ke temen-temen yang baca, tapi tetep──ada yang ngerasa takut buat sekedar buka dan nggak mau baca.

Aku sedih ketika tau ada yang ngerasa begitu sementara tujuan awal aku adalah buat berbagi sesuatu yang bisa dijadiin pelajaran, sekecil apapun itu. Ketika aku berniat kasih pelajaran tapi target yang aku mau beri pelajarannya malah nggak mau buka sama sekali, gimana bisa pelajaran itu tersampaikan? Aku pun nggak punya kemampuan buat maksa “ayo dong, baca! ceritanya nggak begitu, kok!” karena itu hak dari kalian yang mau baca. Ketika temen-temen mengatakan takut, otomatis aku kepikiran.

Apalagi kalau boleh jujur, layar kedua ini sepi respon dibanding sesi pertama. Aku tau kok, ada beberapa temen yang tunggu sampai semua laju beres sampai selesai baru mulai baca karena nggak suka baca sesuatu yang tanggung. Aku nggak keberatan cuma di saat aku udah nulis Banyu Birru sesi dua, kebanyakan komentar yang masuk adalah tentang mereka yang takut.

Aku sendiri tau kok, ada lebih banyak temen-temen yang nungguin Banyu Birru layar kedua tapi ketika kalian (temen-temen yang tunggu layar kedua) lagi tunggu layar kedua sampai selesaiㅡ ada temen-temen yang lebih duluan tinggalin komentar dan bikin aku lebih kepikiran. 😔 Lebih banyak komentar yang masuk dan bikin aku kepikiran dibanding komentar yang bikin aku lebih semangat, mungkin itu yang bikin aku capek. Mohon maaf kalau ucapanku yang ini bikin beberapa diantara kalian kesel atau gimana, buat bagian yang terakhir ini───mungkin lebih ke alasan pribadiku aja. Mohon maaf, ya.

Terakhir, aku mau minta maaf kalau ada banyak orang yang kecewa dengan keputusanku. Aku harap, semua masih bisa maklum dan menganggap bahwa keputusan ini adalah buat ngelindungin Banyu Birru itu sendiri. Aku mau bikin Banyu Birru disayang dengan ceritanya yang bahagia, kalian juga semoga bisa sayangin Banyu Birru dengan cara yang sama, ya. ♡

Lalu, aku bakal bikin sinopsis dan rangkuman cerita tentang rencana cerita layar kedua itu sebenernya kayak gimana. Mungkin bakal kupost di tanggal 23 Oktober soalnya akunku kena limit selama 3 hari ㅠ aku harap, seenggaknya dengan rangkuman cerita gimana semestinya layar kedua berakhirㅡ temen-temen yang nungguin layar kedua bisa sedikit terpuaskan rasa penasarannya. Soalnya aku udah bikin kerangka sampai selesai dan videonya udah ada, sayang kalau cuma nangkring di galeri hapeku ㅠㅠ

Sekali lagi, aku minta maaf, ya. Maafin aku, semuanya. Aku usahain hal begini nggak bakal terulang dan aku bakal lebih pikirin semuanya matang-matang biar nggak bikin kecewa lagi.

Makasih banyak, semoga hari kalian istimewa dan selalu bahagia.

salam MGPFG, tebe 🌻☀️