Albirru tahu bahwa ia sedang bermimpi.
Albirru tahu bahwa lorong gelap yang ia lewati saat ini bukanlah bentuk nyata, Albirru tahu bahwa semua yang ada di hadapannya sekarang hanyalah bagian dari mimpi. Tidak nyata, hanya ilusi.
Albirru tahu bahwa sekelebat bayangan yang muncul di hadapannya sekarang adalah bagian dari mimpinya juga. Bayangan lelaki bertubuh tambun dengan hanya mengenakan kaus dalam juga bau menyengat dari minuman keras yang menyeruak di dalam kamar. Albirru tahu semuanya tidak nyata, ini semua hanya mimpi.
Namun, karena ini semua hanya mimpiㅡ maka Albirru lebih tidak memiliki kekuatan untuk berteriak. Albirru tahu, ia hanya perlu meneriakkan nama Banyu sekuat yang ia mampu maka detik setelahnya si kekasih pasti akan membangunkan Albirru dari mimpi buruk dan memberi pelukan terhangat; sesuatu yang paling ia butuhkan saat ini.
Akan tetapi, biarpun Albirru tahu ini semua hanya mimpiㅡ ia tidak bisa meneriakkan apapun. Otaknya berusaha mengingatkan bahwa semua yang ia alami sekarang tidak nyata namun tubuhnya sendiri berusaha menghindar dari situasi yang mungkin terjadi.
Situasi apa, tanyamu?
Situasi yang menjadikan lelaki tambun berkaus singlet itu mendekati Albirru dan mendorongnya ke atas tempart tidur dengan engsel rangka yang karatan. Situasi yang menjadikan Albirru tidak dapat bergerak sama sekali karena lelaki tambun itu tengah melipat tangan Albirru ke arah belakang, menjadikan si lelaki muda tidak mampu untuk melakukan apapun.
“Lepas!” Albirru berteriak, entah hanya di dalam mimpinya atau mungkin dapat ia gumamkan di dunia nyata. Dalam hati, Albirru berharap suaranya dapat tersalurkan ke dunia nyata agar Banyu dapat membangunkan dirinya. “Lepasin Birru, Om!”
“Birru, jangan gerak, sayang.”
Suara serak dari lelaki itu membuat Albirru merinding bukan main. Belum lagi sentuhan dari sebelah tangan lelaki itu terus menggerayangi punggung Albirru dan perlahan turun ke bokongnya. Albirru merasakan celana yang ia kenakan kini diturunkan secara paksa, kemudian beberapa detik setelahnya sesuatu yang keras seperti ditepuk-tepukkan ke bibir bokongnya. Memberi tusukan yang tidak begitu dalam ke lubang anal Albirru, yang mana membuat Albirru gemetar bukan main. “Om! Birru nggak mauㅡ!”
“Sshht!” Lelaki bertubuh tambun menjambak rambut Albirru dari belakang sehingga lelaki itu kini sedikit melengkungkan tubuh ke arah belakang. Sakit! Sakit! Albirru berusaha meneriakkan kalimat itu namun tidak ada suara apapun yang dapat lolos dari bibirnya.
Albirru tercekat.
“Birru. Kalau kamu gerak-gerak begitu, gimana Om bisa ngontolin kamu, sayang? Hm?”
Tubuh Albirru gemetar bukan main. Lelaki tambun itu membisikkan kalimat barusan tepat di daun telinga Albirru. Ketika Albirru ingin meneriakkan penolakan lagi, tubuh bagian bawah si lelaki rasanya seperti mati rasa. Saking terasa sakit karena harus menerima paksaan benda padat yang keras ke analnya. “A-ahhk!! Sakit! Sakit, Om!”
“Ini nggak sakit, sayang. Ini enakㅡ hmmh? Nikmatin aja, Birru. Om bisa bikin semua ini lama-lama jadi enaㅡ”
“ANJING!“
Suara pukulan terdengar cukup keras, dibarengi dengan tubuh yang jatuh ambrukㅡ bertumpu di atas tubuh Albirru yang tengah tertelungkup. Lelaki bertubuh tambun itu ambruk, membuat Albirru mengerang kesakitan karena beban tubuh si lelaki di atasnya memang sangat berat.
“ANJING. TAI!“ “MAMPUS LO, BANGSAT!“
Suara pukulan masih terdengar jelas, bahkan kini terdengar hingga berkali-kali. Bunyinya seperti bunya benda keras dipukulkan ke sesuatu yang agak lunak. Albirru merasakan ada debuman kecil di punggungnya, sepertinya pukulan dari benda keras itu ditujukan ke tubuh si lelaki tambun yang ambruk di atasnya.
“STOP! STOP!” Albirru berteriak ketika menyadari ada darah yang mengalir ke depan wajahnya. Asalnya dari atas, dan lama kelamaan ada suara tersengal dari si lelaki tambun di atasnya. “BERHENTI! TOLONG!”
Tepat ketika Albirru selesai menyuarakan teriakannya, suara pukulan di atas tubuh Albirru juga berhenti terdengar. Hanya ada suara nafas yang tersengal dari seseorang, dilanjut dengan suara tongkat besi yang berbunyi nyaring ketika terjatuh ke tanah.
“Ru.” Albirru tahu jelas siapa pemilik suara itu. Suaranya tenang, khas milik salah satu temannya yang ia kenali. “Birru, kamu nggak apa-apㅡ”
Belum juga lelaki yang menyuarakan tanya itu menyelesaikan kalimatnya, Albirru kini menangis terisak. Ia sendiri tidak tahu mengapa ia malah menangis dan bukannya meminta agar lelaki yang ada di belakangnya itu memindahkan tubuh si lelaki tambun di atasnya. Tidak, jujur sajaㅡ Albirru merasakan malu yang teramat sangat.
Albirru tidak ingin bertatap muka dengan lelaki yang menyelamatkannya. Albirru takut, lelaki itu akan memberi cemooh dan mengejeknya hingga kelewat batas. Albirru tahu, tidak akan ada yang mau berteman dengan anak lelaki yang menjadi korban sodomㅡ
“Ru.” Lelaki yang dimaksud oleh Albirru kini terdengar menghela nafas pendek-pendek, seperti tengah kesulitan karena harus menyingkirkan tubuh si lelaki tambun dari atas tubuh Albirru. “Hhhnggㅡ anjing, ini orang berat banget! Tunggu, Ru! Aku pindahin dulu orang inㅡ”
Brugh.
Tubuh lelaki tambun itu sudah bersimbah darah, lebih tepatnya darah dari kepala yang dipukuli oleh tongkat besi si lelaki lainnya. Berhasil menyingkirkan tubuh si lelaki tambun, kini lelaki yang mengenakan seragam putih-biru itu menghampiri Albirru dengan langkah besar-besar. Terlihat agak khawatir. “Ru. Kamu nggak apa-apㅡ ah, sorry.”
Lelaki itu segera mengalihkan mukanya ketika menyadari bahwa Albirru terlihat sangat berantakan. Seragam putihnya kusut, begitupun dengan celana birunya yang sudah turun ke bawah dan menjadikan alat vitalnya terlihat jelas. “Sorry, akuㅡ kamu benerin diri dulu, mendingan.”
“Bar..”
Bara. Lengkapnya Barata Suraprakha. Albirru tidak pernah menyangka bisa menyaksikan teman sekelasnya itu di sini, apalagi dengan situasi yang berantakan begini. “Loㅡ gimana bisa... ke sini?”
Lelaki yang menyandang nama serupa api itu memang terlihat tenang. Ia tidak tampak mengguratkan ekspresi panik walaupun Albirru kini melihat bagaimana di wajah lelaki itu sekarang terdapat cipratan darah dari si lelaki tambun yang barusan menggaulinya. “Aku ngeliat kamu pulang sendirian, terus karena rumah kita searahㅡ aku ikutin kamu dari belakang. Sampai akhirnya om-om ini tarik kamu masuk ke kamar dan aku... nggak tahu, refleks cari tongkat besi itu lalu masuk ke sini.”
Pandangan Bara tertuju ke tongkat besi yang sekarang sudah tergeletak begitu saja di atas permukaan lantai. Albirru hanya melirik sekilas ke arah tongkat itu, kemudian detik setelahnyaㅡ tangis Albirru meledak.
Ia merasa kotor. Ia merasa hina. Albirru ingin mati saja, rasanya.
“Ru..”, Bara terdengar khawatir. Tangannya sedari tadi hanya terangkat di udara kosong, tidak tahu harus diletakkan ke bagian mana dari bagian tubuh Albirru di hadapannya. “..jangan nangis.”
“Kamu nggak apa-apa.” “Nggak akan ada yang tau, Ru.” “Kamu aman, sama aku...”
Albirru tahu, ini semua hanya mimpi. Albirru tahu, semua ini tidak nyata. Albirru tahu, apapun yang ia alami saat ini tidak terjadi di masa sekarangㅡ ini semua hanya perputaran waktu dari kejadian yang pernah ia alami sewaktu dahulu.
Namun, Albirru tiba-tiba teringat akan satu hal; mereka pernah menjanjikan hal yang sama, bahwa Albirru akan aman di dekat mereka.
Mereka, Banyu dan Bara.