“Lo nggak lagi bercanda?”
Telaga mengucapkan kalimat pertamanya setelah hampir sekitar lima belas menit hanya terdiam, membiarkan Albirru menceritakan semua yang ia alami lewat panggilan telefon yang mereka lakukan saat ini. “Mas Banyu itu simpenannya Tante Rima?”
Albirru yang tengah duduk di ruang tamu dari guest house yang ia tempati, kini memberi gumaman kecil sebagai jawaban dari pertanyaan yang dilemparkan Telaga. “Gue serius.”
“Banyu emang cerita dia pernah jadi simpenan seseorang tapi dia bilang itu sekedar masa lalu. Gue udah berusaha coba terima dan lupain karena itu masa lalu dia aja, tapi gue nggak nyangka—seseorang yang dia maksud itu Tante Rima.”
“Dan mereka masih jalin hubungan,” lanjut Albirru.
Dari tempatnya berada saat ini, Telaga menjambak rambutnya sendiri. Sekilas, memang. Namun cukup untuk menggambarkan bagaimana ia juga tengah merasa frustasi dengan situasi yang tengah dialami oleh si sahabat di seberang sana. “Shit. Kenapa gue nggak pernah kepikiran, sih?”
“Gue kabur dari rumah.” Albirru mengujarkan kalimatnya tanpa menggubris perkataan Telaga barusan. “Gue nggak mau ketemu sama Banyu. Jijik gue, liat mukanya. Muak, gue nggak mau denger suaranya.”
Dari panggilan suara pun, Telaga sudah mengetahui bahwa suara Albirru tengah gemetar seperti menahan tangis. Seakan sudah sangat terbiasa, Telaga mendesis dan mengucapkan kalimat dengan nada layaknya seseorang yang tengah menenangkan anak kecil. “Ssh—hei, Ru. Birru. Lo harus tenangin diri, Ru.”
“Nggak ada gue di sana. Lo nggak boleh kehilangan kendali atas diri lo, lo harus tetep sadar.”
Jujur saja, sedari tadi Albirru merasakan dadanya berdebar dengan sangat cepat. Namun ini bukan debaran yang menyenangkan seperti yang ia rasakan setiap kali bersama Banyu. Debaran yang ia rasakan sekarang sangat menyiksa, seperti ada genderang sangat besar yang dimasukkan paksa ke dalam dada Albirru dan dipaksa untuk dipukuli di dalam ruang dadanya yang sempit.
Albirru menggigiti bibir bawahnya, sebelah tangannya memukuli dada kanannya sendiri. Berusaha menemukan ruang lowong untuk bernafas, walaupun sesungguhnya sangat menyiksa. Rasanya Albirru harus memukuli dadanya dengan super-kuat agar dinding paru-parunya bisa sedikit terbuka dan membuat ruang agar ia bisa bernafas dengan lebih baik. “Hhh—“
Suara nafas Albirru tersengal. Dari panggilan telefon, Telaga berusaha semampu yang ia bisa untuk menenangkan Albirru. “Ru. Hei, dengerin gue. Lo bisa. Lo bisa kendaliin semua yang lagi lo alamin. Lo hebat, Ru. Gue kenal lo dari kecil dan lo adalah sosok teman terhebat yang gue punya.”
“Lo udah berhasil survive sampai umur lo yang segini. Lo udah berhasil jalanin hari demi hari lo dengan baik. Lo hebat, Birru.”
Di tengah kalimatnya yang terucap, Telaga bisa mendengar suara pukulan yang terdengar samar dari pengeras suara ponselnya. Telaga tahu, sahabatnya itu selalu memiliki kebiasaan untuk memukuli dadanya sendiri ketika tengah tersiksa dengan sindrom trauma yang dimiliki. “Ru. Hei, Birru. Jangan dipukulin lagi, hei. Ru—tarik nafas.”
“Pelan-pelan, Ru. Tarik nafas.”
Albirru mengikuti ujaran Telaga. Nafasnya ditarik sesuai dengan instruksi yang diberi. Beruntung, tidak lama setelahnya Albirru berhenti memukuli dadanya sendiri. “Gue oke sekarang..”, ujar Albirru dengan suara kecil.
Telaga tidak bisa sepenuhnya merasa tenang. Ia masih khawatir karena sekarang Albirru sendirian. Tidak ada Banyu, tidak ada siapapun yang menjaga. Tentu, Albirru sendiri sudah 23 tahun. Tidak semestinya Telaga mengkhawatirkan lelaki yang sudah akil-baligh dan bisa bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Namun, entahlah—Telaga sudah sangat terbiasa menjaga Albirru, ia menganggap lelaki itu layaknya saudara kandung sendiri. Tidak heran jika khawatirnya bisa berlebih seperti ini.
“Ru. Lo di guest house mana? Kirim alamatnya. Gue sekarang berangkat ke Jakarta. Lo nggak bisa sendirian.”
Awalnya Albirru menolak untuk memberi tahu alamat guest house yang ditempati olehnya saat ini. Akan tetapi setelah Telaga mengancam akan menelfon orang tua Albirru jika si sahabat tidak memberikan alamat, maka dengan terpaksa Albirru memberitahu di mana tempatnya berada sekarang.
Hingga akhirnya panggilan telefon ditutup dengan Telaga yang mengatakan akan mengambil penerbangan tercepat dari Bandung menuju Jakarta, setelah itu pula keheningan segera mendekap Albirru erat ke dalam pelukan.
Albirru masih duduk di bangkunya dengan jemari yang saling meremas satu sama lain, membuat gerak berantakan yang tidak jelas tujuannya. Hingga pada akhirnya jemari Albirru hanya bertaut satu sama lain dengan teramat erat, bahkan hingga membuat buku-buku jarinya memutih.
Sepi. Tidak ada tawa Banyu yang terdengar di sekeliling. Dingin. Tidak ada pelukan Banyu yang biasa terlingkar di pinggang Albirru. Hampa. Tidak ada lagi sosok Banyu untuk Albirru. Lagi-lagi, Albirru menangis dalam diam.
Sementara itu di Bandung, Telaga berada di dalam taksi menuju terminal keberangkatan ke Jakarta. Tangannya berkali-kali menekan tombol ikon hijau dengan layar yang menunjukkan barisan nomor beserta nama ‘Mas Banyu Lt 2’ di layarnya.
Percuma. Nihil.
Nomor telefon Banyu, sudah tidak lagi aktif.
* * *
Banyu tidak pernah menyadari ketidakhadiran seseorang bisa membuat perbedaan sebegini besarnya. Banyu tidak pernah menduga bahwa kamar Albirru bisa terasa sehampa ini tanpa keberadaan si pemilik kamar.
Banyu tengah berada di lantai satu, tepatnya di kamar milik Albirru. Seakan ingin menggambarkan si pemilik ruangan, warna cat dinding kamar didominasi dengan nuansa warna biru dan putih. Biru, seperti Albirru.
“Lo di mana, Bi?”
Banyu menggumam dengan suara pelan. Kedua tangannya menjambak rambut, tidak berhenti memikirkan berbagai kemungkinan perihal keberadaan Albirru saat ini.
Setelah pertengkaran hebat mereka tadi, Albirru menyerukan keputusannya untuk pergi dari sisi Banyu. Pergi, tanpa menyatakan perpisahan atas hubungan mereka. Albirru tidak menyatakan putus, namun ia pergi dari rumah dengan membawa tas berisi beberapa baju kenaan. Seakan-akan ia tidak sudi untuk menemui Banyu dalam jangka waktu beberapa lama.
Tololnya, ketika Albirru tengah membereskan semua baju-bajunya—Banyu hanya terdiam. Tidak menahan, atau tidak mengatakan ‘jangan pergi' sama sekali. Ketika Albirru beranjak meninggalkan rumah, Banyu hanya diam di sofa ruang tamu.
Tidak menahan. Tidak menghalangi langkah Albirru.
Bukan karena tidak sayang, bukan karena tidak cinta. Justru karena Banyu terlalu sayang—justru karena Banyu terlalu cinta, maka ia tidak berani menahan Albirru untuk tetap tinggal di sisinya.
Ia takut nantinya Albirru akan terluka. Banyu sudah kehilangan dua orang yang ia sayangi karena keteledorannya sendiri. Tentang Rinjani, yang pergi karena ia terlalu dimabuk rasa cinta kepada si kekasih saat itu sehingga melupakan fakta bahwa ia harus menjaga Rinjani sebagai seorang sahabat. Lalu tentang Hilma, yang dipaksa pergi karena Banyu terlalu gegabah dengan mempertunjukkan kedekatan mereka namun terlalu payah untuk mengakui status hubungan keduanya.
Banyu tidak ingin hal yang sama terjadi pada Albirru.
Albirru harus bahagia, walaupun mungkin tidak bersama Banyu. Yang lebih penting, Albirru harus tetap hidup. Dengan siapapun itu, tidak masalah. Yang Banyu mau, Albirru bisa tetap menikmati hari esok dengan senyuman di bibirnya. Walaupun pahit menerima karena bisa jadi ke depannya alasan Albirru untuk tersenyum bukanlah karena keberadaan Banyu, sumpah demi Tuhan—tidak mengapa.
Yang penting Albirru hidup.
Yang penting Albirru selamat.
Yang penting Albirru tidak mati.
Dengan gerak tangan yang terlihat gamang, Banyu mengusapi selimut di kasur milik Albirru. Di atas kasur itu, biasanya mereka berdua saling berbagi cerita perihal apapun yang mereka alami di hari ini. Di atas kasur itu, mereka berbagi peluk dan rengkuh juga kecup pagut yang rasanya manis bukan main.
Namun malam ini, hanya sepi sunyi dan sendiri yang Banyu rasakan tanpa henti. Malam ini, Albirru tidak ada di sini—dan itu membuat Banyu sesak setengah mati.
Melepaskan, rupanya sesakit ini.
Melepaskan, rupanya sesesak ini.
“Bi..” Banyu menjambak rambutnya sendiri dan berujar dengan suara lirih. Ia merindukan sosok Albirru, padahal belum beberapa jam berlalu semenjak ketidakhadiran sosok kekasihnya itu. “Maafin gue, Bi.”
“Maafin gue..”
Banyu, menangis dalam lirih.