dontlockhimup

LOG. Completed MEWGULF AUs.

REKAM LEPAS BANYU BIRRU

Dua lelaki mengisi waktu luang mereka dengan bermain roleplayer dan saling jatuh hati kepada persona satu sama lain. Tanpa mereka ketahui bahwa pada akhirnya takdir membawa mereka untuk bertemu dengan cara paling tidak masuk akal.

Rekam Lepas Banyu Birru

“Mas! Mas kasih tau dulu──sebenernya ada masalah apa?”

Mereka sudah sampai di depan kamar bernomor 1617, namun si resepsionis malah sok bersikap idealis dan membuat Albirru serta Telaga kehilangan kesabaran. “Mas!”, seru Albirru. “Semakin Mas ulur waktu, semakin semuanya bisa tambah gawat!”

Telaga ikut menambahkan. “Mas, Mas udah setuju saya kasih sepuluh juta, 'kan? Udah, berhenti bacotnya! Bukain pintuny──”

“ARRRRGHHH!”

Suara teriakan khas seorang lelaki terdengar jelas dari dalam kamar 1617, diikuti dengan suara benda yang pecah. Hancur berantakan.

Baik Albirru, Telaga, serta si resepsionis segera terkaget setelah mendengar suara itu. Mereka berpandangan sekilas sebelum akhirnya Albirru merebut kartu akses master dari tangan si resepsionis dan membuka kamar 1617 dengan segera.

Pintu terbuka, Albirru segera masuk ke dalam kamar dan tidak menemukan siapapun di ruang sekitar kasur. Baru saja Albirru akan berseru memanggil Banyu, tiba-tiba suara barang yang pecah diikuti debum pukulan terdengar lagi. Kali ini tidak hanya sekali, namun dua kali.

Berhasil memastikan bahwa suara itu berasal dari kamar mandi, Albirru berderap ke sana. Setelahnya, yang ia temukan terlampau membuat seluruh tubuhnya terasa lemas bukan main.

Di sana, ada Tante Rima yang tengah terduduk di dekat bathtub. Tubuhnya terlihat jelas sedang gemetar bukan main, wajahnya terlihat pucat pasi. Seperti ketakutan untuk melihat lelaki yang berada tidak jauh darinya saat ini.

Banyu, ada di dekat Rima. Namun ia tidak sedang mencekik si wanita, melainkan tengah memukuli cermin wastafel dengan kepalan tangan kosong. Menjadikan darah bercucuran dari punggung tangan, membuat tetesannya turun bercampur dengan kepingan kaca yang pecah. Membuat warna merah yang kental, seakan kontras dengan warna bening dari pecahan kaca yang ada.

“Bay!”

Albirru seakan tidak mempedulikan perihal kemungkinan Banyu yang bisa kalap dengan semua emosinya. Ia terlalu bahagia karena lelaki ini masih hidup. Tidak kurang satu apapu─oh, ralat. Dengan sedikit luka di tangan. “Bay──lo oke?! Hah?! Lo nggak apa-apa?!”

Hanya dari suaranya pun, terdengar jelas sebagaimana khawatirnya Albirru kepada Banyu. Lelaki yang lebih muda itu segera menghampiri Banyu dan memegangi wajah si lelaki yang lebih tua dengan kedua tangan. Menangkup pipi Banyu, memastikan lelaki itu menatapnya lurus-lurus. “Bay! Liat gue!”

Nafas Banyu masih terdengar memburu, sementara tangan kanannya yang tadi digunakan untuk meninju cermin masih gemetar dan menitikkan tetesan darah yang mengalir dari punggung tangan. Dengan perlahan, mata Banyu mulai naik dan bertemu pandang dengan mata Albirru. “Bi..”

“Iya. Gue Birru. Bi.” Albirru mengusapi kedua pipi Banyu, semakin menangkupnya erat agar pandangan lelaki ini tidak terlepas darinya. Albirru ingin agar Banyu tetap fokus menatap dirinya. “Gue di sini, Bay..”

Banyu tidak berkata apa-apa lagi selain menggigiti bibir bawahnya kuat-kuat. Dari pandangan yang diberi, Albirru paham bahwa Banyu tengah melemparkan permintaan maaf sebesar-besarnya. Albirru tahu, dari pandangannya sekarang──Banyu tengah memberikan pembelaan diri.

“Shh, Bay..” Albirru semakin dalam menatap mata Banyu. “Lo nggak salah.”

“Lo berhasil ngalahin setan di dalam diri lo, Bay. Lo nggak sama kayak mereka. Lo nggak kayak setan-setan di diri lo. Lo hebat..”

Telaga masuk ke dalam kamar mandi dan menemukan tetesan darah jatuh membasahi lantai. Ia semakin terkejut ketika melihat darah itu berasal dari tangan Banyu, namun menjadi paham ketika melihat Albirru yang tengah menenangkan Banyu dengan caranya sendiri.

Dengan sigap, Telaga meraih pisau lipat yang tergeletak di atas lantai kamar mandi. Ia tidak ingin terjadi kejadian yang lebih parah nantinya. Setelah memasukkan pisau ke dalam saku jaketnya, Telaga menghampiri sang bibi dan memastikan sanak keluarganya itu tidak terluka di manapun. “Tante. Tante bisa denger Aga? Tante?”

Ujaran Telaga dibalas dengan anggukan kecil dari Rima. Tubuh wanita itu masih gemetar tidak karuan, seperti orang yang menggigil.

Paham bahwa sebaiknya Tantenya tidak berada di ruang yang sama dengan Banyu, Telaga segera menuntun Rima untuk bangun dari posisi duduknya. Ia mengajak Rima keluar dari kamar 1617, sebaiknya berada dalam radius sejauh mungkin dari keberadaan Banyu.

Di kamar mandi hotel, Albirru masih mengusapi puncak kepala Banyu. Jujur, tangan Banyu yang masih terus menitikkan darah membuat Albirru khawatir setengah mati namun baginya saat ini, membuat si lelaki merasakan aman adalah prioritas untuk dilakukan.

“Bay..”, Albirru kini meraih tubuh Banyu untuk direngkuh olehnya. Untuk pertama kalinya, tubuh Banyu yang tegap gagah mampu terlihat sangat kecil oleh Albirru. Sosok Banyu saat ini tidak ubahnya seperti anak kecil yang butuh ditenangkan.

Lo aman sama gue.“ “Ada gue, Bay.“ “Lo nggak sendiri.

Albirru mengujarkan kalimat yang kerap disebut oleh Banyu. Lelaki itu terlalu sibuk menjadi penjaga, lelaki itu terlalu sibuk memastikan semua orang merasa aman di sampingnya──tanpa sekalipun ia mendapatkan timbal balik yang serupa.

Kini, ada Albirru.

Albirru berjanji tentang hal yang sama seperti Banyu. Menjanjikan agar Banyu aman selama berada di sisinya. Menjanjikan bahwa ia akan selalu ada untuk Banyu. Menjanjikan bahwa Banyu tidak akan pernah lagi berjalan sendiri.

Seiring dengan tepukan di punggung yang diberikan oleh Albirru, semakin Banyu merasa semua benteng pertahanannya hancur perlahan-lahan. Pada akhirnya, Banyu menangis terisak seperti anak kecil. Tangan Banyu yang terluka terangkat, mencengkeram kemeja putih yang dikenakan Albirru──meninggalkan jejak merah dari darahnya.

Seakan ingin memberi tahu bahwa Banyu ingin menandai Albirru sebagai miliknya. Seutuhnya. Dengan warna merah dari darah miliknya, Banyu seakan ingin mengatakan bahwa perasaan yang ia miliki terhadap Albirru bukan lagi perasaan main-main semata.

Banyu tengah mendamba. Banyu tengah mencinta. Kepada satu pria.

Ia, Albirru Rezkisetya.

“Mas. Kayaknya kita harus atur jarak sama Rima.”

Telaga ingat dengan jelas, saat itu adalah tahun 2005. Ia baru pulang dari sekolah, sehabis bermain sepak bola dengan sahabatnya──Albirru. Tumben sekali, kedua orangtuanya ada di rumah padahal biasanya beliau berdua sering pulang ke rumah malam hari karena harus mengurusi banyak urusan perihal bisnis keluarga.

Baru saja Telaga ingin mengucapkan salam, perbincangan kedua orangtuanya membuat Telaga memasang telinga lebih tajam. Perbincangan tentang Rima, Tantenya yang memang selama beberapa hari ini tengah tinggal di kediaman keluarga Telaga.

Telaga tidak tahu dengan jelas alasan Tantenya datang ke rumah mereka di tengah malam, pula dengan tangis yang meledak dan wajah lebam di sana sini. Telaga kecil tidak memiliki dugaan apapun selain disengat lebah. Sedikit rasa iba menelusup ke hati si anak lelaki ketika melihat si Tante yang selalu termenung di ruang tamu di setiap hari semenjak kedatangan ke kediaman keluarga Telaga.

Namun saat ini, jika dipikirkan kembali──semua menjadi jelas. Telaga mengingat ketika ia kecil, sang Ibunda pernah meminta sang Ayah untuk tidak menerima Rima di rumah mereka. Alasannya karena Rima dianggap mengkhawatirkan. Ibunda Telaga mengatakan kepada suaminya bahwa ia kerap menemukan bercak darah di kamar yang ditempati Rima, juga bekas goresan benda tajam di sana sini yang ada pada tubuh Rima membuat Ibunda Telaga khawatir bahwa keberadaan adik iparnya itu bisa memberi pengaruh buruk kepada Telaga.

Sang Ayah yang juga adalah kakak kandung Rima tidak begitu menggubris. Beliau mengatakan bahwa Rima sudah dewasa, sudah menikah pula──tidaklah perlu dikhawatirkan sebegitunya.

Pada akhirnya, semua berlalu begitu saja. Namun satu hal yang pasti, di suatu hari tiba-tiba Rima terlihat sangat ceria. Dia sering tidak berada di rumah dan ditemukan berada di rumah keluarga Albirru yang kediamannya berada tidak jauh dari rumah keluarga Telaga. Terlihat jelas, Rima sangat menyayangi Albirru. Beberapa kali Rima menyuarakan keinginannya untuk memiliki anak seperti Albirru, beberapa kali juga Rima sekedar berkelakar kepada orangtua Albirru perihal boleh atau tidaknya ia mengangkat si putra sebagai anak angkat.

Terlihat jelas, Rima teramat sangat menyayangi Albirru. Telaga tidak menaruh pusing, malah ia merasa senang karena Tantenya tidak lagi murung dan sekarang mulai terlihat bahagia.

Hingga akhirnya, semua tentang Tante Rima berubah di mata Telaga. Entah sejak kapan, Tante Rima yang dulu selalu terlihat klasik dengan penampilan yang serba pastel kini terlihat lebih berani. Pakaiannya tidak lagi berwarna coklat muda, pakaiannya kini berwarna merah atau hitam. Tidak ada lagi Rima yang selalu menunduk ke bawah, yang ada adalah Rima yang selalu mengangkat pandangannya dengan angkuh.

Rima mulai menjadi wanita pebisnis yang handal. Tidak lagi bergantung atas harta yang dimiliki sang suami, Rima mencoba melebarkan usaha bisnisnya ke kancah mancanegara. Bagaikan cerita yang fiktif, usaha yang dibangun Rima mencapai titik paling sukses hingga membuat ia tidak memerlukan dukungan finansial apapun dari sang suami.

Pada akhirnya, jalan cerai dilakukan. Keluarga Telaga tidak begitu menaruh peduli karena menganggap Rima sudah cukup usia untuk menentukan segalanya. Ibu Telaga tidak lagi melarang Rima udah berhubungan dekat dengan keluarga mereka, malah beliau mengizinkan dengan tangan sangat terbuka ketika Telaga mengatakan ingin tinggal di rumah singgah milik Rima karena lelah pulang-pergi Jakarta ke Bandung.

Rima mengizinkan. Namun ketika Telaga masuk ke rumah milik Rima, sudah ada satu penghuni lain. Banyu. Lelaki tampan yang sangat baik, bahkan hingga ke tahap Telaga dibuat bingung bagaimana bisa ada manusia yang mendekati sempurna seperti Banyu?

Telaga tidak pernah memikirkan kemungkinan perihal hubungan yang mungkin ada diantara Banyu dan Tantenya. Telaga hanya menganggap, Banyu memang akrab dengan Rima──namun hanya sebatas itu. Tidak ada kecurigaan lainnya.

Tidak pernah Telaga menyangka bahwa Tantenya akan tega menghilangkan nyawa seorang gadis yang dekat dengan Banyu. Tidak pernah Telaga menyangka bahwa Tantenya menjalin hubungan spesial dengan Banyu, bahkan hingga ke tahap obsesif begini.

Sekarang Telaga harus bagaimana? Di satu sisi, ia memiliki Rima sebagai keluarga yang harus ia lindungi bagaimanapun caranya. Di sini lainnya, ini semua berkaitan dengan Albirru yang adalah sahabatnya──begitupun dengan Banyu yang sudah Telaga kenali sejak lama.

Sial. Semua jadi serba rumit!

Jembatan penyeberangan yang membelah jalan raya tidak begitu ramai dilalui pejalan kaki. Hanya ada seorang wanita dengan pakaian one-dress berwarna pastel yang berdiri bersandar ke selusur pagar penyangga jembatan penyeberangan. Namanya Rima, wajahnya terlihat tidak bersemangat. Bahkan katakanlah, sangat lemah. Di tangan si wanita terdapat sebuah silet tipis yang diarahkan ke pergelangan nadinya sendiri.

Rima tahu, keputusannya kali ini bisa menjadi sebuah hal fatal yang merepotkan banyak orang.

Contoh sederhananya, siapa yang akan membersihkan darah yang nanti mengalir dari pergelangan tangannya? atau perihal siapa yang sudi menguburkan jenazah orang yang memilih untuk mengakhiri hidup dengan cara bunuh diri?

Banyak pertanyaan berkecamuk dalam diri Rima, yang membuat wanita itu hanya memegangi silet tipis nan tajam di tangan kanannya dengan penuh gemetar. Tidak bergerak sama sekali, seakan masih menimbang-nimbang apakah ia harus melakukan semua hal ini atau tidak.

Namun ia sudah muak. Ia tidak suka berada di bawah kuasa sang suami yang kerap bertindak kasar kepadanya. Padahal hubungan pernikahan Rima dengan suaminya baru berjalan satu tahun namun sang suami tidak hanya sekali dua kali menyakiti Rima, baik secara mental maupun fisik.

Hal itu pula yang membuat Rima akhirnya memutuskan untuk kabur dari rumah, pergi ke kediaman sang Kakak yang memiliki kehidupan keluarga berbanding terbalik dengan Rima. Kakaknya, Rudi Prajaswara, memiliki istri yang sangat anggun dan putra yang cerdas juga ceria. Telaga Benggala, bahkan nama keponakan Rima sudah menggambarkan sebagaimana luasnya hati si pemilik.

Rima menyesali takdir yang seakan menertawakan perjalanan hidupnya. Rima menikah karena paksaan orangtua, dipasangkan dengan putra kolega rekan bisnis sang Ayah di usia muda. Bahkan sekarang Rima belum genap berusia dua puluh dua tahun, namun ia harus menerima statusnya sebagai istri yang tidak pernah menerima cinta dari sang suami.

Seakan belum cukup, Rima baru mendapatkan hasil diagnosa bahwa dirinya mandul. Tidak bisa mengandung buah hati. Padahal niat awal dari pernikahan yang ia lakukan dengan suaminya adalah untuk mendapatkan keturunan yang bisa dijadikan pewaris usaha keluarga selain Telaga.

Rima merasakan pipinya perih secara tiba-tiba. Bekas tamparan yang meninggalkan jejak kemerahan juga ujung bibir yang sedikit robek, membuat rasa perih mengiris ketika lukanya dikenai semilir angin yang berhembus saat ini. Semakin ia merasakan sakit, semakin ia ingin segera mengakhiri hidupnya.

Namun ia tidak berani. Ia masih membayangkan perihal semua hal yang pernah ia lakukan semasa hidup. Apa ada hal yang bisa menjamin dirinya untuk masuk ke surga? Apa ia bisa dapat jaminan untuk tidak masuk neraka? Apakah ketika silet ini mengenai nadi di pergelangan tangannya, semua rasa sakit ini akan segera menghilan—

“Tante.” “Tante.”

Di saat Rima tengah dibingungkan dengan pikirannya, tiba-tiba ujung pakaian kenaannya ditarik dari bawah. Rima melirik ke arah bawah dan menemukan seorang anak laki-laki dengan seragam merah-putih tengah menariki pakaiannya. Anak lelaki itu memegangi bola sepak dengan sebelah tangan, wajahnya terlihat menggemaskan—apalagi dengan mata yang berbinar dan atribut seragam yang sedikit kotor; sepertinya terkena bekas lumuran tanah ketika bermain sepak bola. “Tante. Abi boleh pinjem silet yang Tante pegang?”

Rima menyipitkan mata, bingung dengan maksud tujuan yang diucapkan anak lelaki ini. “Kamu mau ngapain sama silet ini?”, tanya Rima dengan penuh tanda tanya. Anak kecil yang menyebut dirinya sendiri dengan nama Abi itu hanya tersenyum, sebelah tangannya masih terjulur ke arah Rima. “Boleh pinjem, nggak, Tante? Sebentaaar—aja.”

Kalau ada sesuatu hal yang bisa menggambarkan perihal arti senyuman yang polos, mungkin senyuman anak laki-laki ini bisa disebut sebagai jawabannya. Rima sedikit terpengaruh akan senyum anak laki-laki itu dan pada akhirnya menyerahkan silet di tangan kepada si anak kecil...

...hanya untuk kemudian berakhir dibuang ke semak-semak yang ada di sebelah kiri dari jembatan penyeberangan tempat mereka berdua berada saat ini.

Rima membelalakkan mata, tidak percaya bahwa anak kecil itu bisa membuang alat-pelariannya dengan segampang itu. “Heh! Kenapa kamu buang? Aku butuh itu, tau!”

“Tante. Kata Mama Abi, semua yang bikin sedih itu harus dibuang. Banyak hal yang bisa bikin kita sedih. Mama bilang, pisau sama silet bisa jadi hal yang bikin sedih.”

“Tante lagi pegang silet. Muka Tante kayak lagi sedih banget. Makanya Abi buang siletnya biar Tante nggak sedih lagi.”

Tepat setelah mengujarkan kalimatnya, anak lelaki bernama Abi itu mendekati Rima dan memeluki si wanita. Karena tingginya yang pendek, si anak lelaki hanya bisa memeluki kaki Rima. “Tante, kata Mama Abiㅡ pikiran jelek bisa hilang kalau dipeluk begini.”

“Tante nggak boleh mainan silet lagi. Kalau berdarah, sakit. Perih banget, Tante! Mama Abi selalu nangis pas jarinya kena pisau. Ya, Tante, ya?”

Rima merasakan kakinya lemas bukan main setelah mendengar ujaran anak lelaki di hadapannya. Ujaran polos anak lelaki ini seakan membuat Rima sadar bahwa tindakan yang hendak ia lakukan barusan bisa saja membuat sakit yang tiada tara. Tanpa bisa Rima kendalikan, tangisnya pecah dan tubuhnya terduduk di atas tanah.

Si anak kecil bernama Abi memandangi wanita di hadapannya dengan tatapan penuh kebingungan. Namun anak lelaki itu tidak berpindah dari tempatnya, malah dengan posisi Rima yang tengah jatuh terdudukㅡ Abi semakin mudah memeluki wanita itu. Berusaha menyampaikan bahwa menangis bukanlah tindakan yang tepat untuk dilakukan.

“Tante. Jangan nangis. Nanti Abi nangis jugㅡ HUWAAA.”

Padahal beberapa menit lalu, mereka tidak saling mengenal. Namun saat ini, Rima dan si anak kecil bernama Abi saling memeluk dan tangis keduanya pecah bersama.

Rima pernah diselamatkan anak ini. Diselamatkan oleh dia, Abi.

* * *

“Siapa suruh kamu megang anak itu?”

Rima bukan lagi seorang wanita dengan one-dress berwarna pastel yang berdiri gamang di selusur jembatan penyeberangan. Rima yang sekarang ada adalah seorang wanita yang berdiri diantara lelaki bertubuh tegap dengan pakaian mini-dress berbahan satin warna hitam.

Di hadapan Rima sekarang bukanlah lalu-lalang mobil yang melintas, melainkan sosok seorang lelaki bertubuh tambun yang mukanya sudah babak belur juga bersimbah darah. Nafasnya tersengal, tatapannya sudah tidak bisa lagi fokus karena mendapat banyak pukulan dari lelaki berbadan tegap yang dibawa oleh Rima.

“Punya mulut, 'kan, Mas? Kenapa nggak jawab pertanyaan saya? Jawab. Kenapa kamu main-main sama Albirru?”

Lelaki yang babak belur itu adalah ia yang pernah menyodomi Albirru. Lelaki yang tengah bernafas dengan tersengal-sengal itu adalah ia yang pernah membuat trauma mendalam untuk Albirru. Lelaki itu tengah memasang ekspresi wajah seakan memohon iba kepada Rima. “Maㅡaf, saya.. saya nggak tau kalau dia itu anaknya Mbak Rima..”

Rima tertawa kecil. Tanpa memandang dua kali, Rima membalikkan badannya dan berbisik kecil kepada si lelaki bertubuh paling kekar diantara yang lainnya. “Habisin, jangan sisain apapun.”

Seakan sudah sangat paham dengan maksud ujaran Rima, si lelaki bertubuh paling kekar segera mengangguk. Detik setelahnya, terdengar teriakan histerisㅡ meminta ampun, tanpa henti.

Sementara Rima dengan langkah ringan tengah meninggalkan ruang dimana si lelaki yang pernah menyodomi Albirru itu berada. Memasang ulas senyum tipis di bibir, Rima berujar kecil diantara langkah kaki menuju mobil Jaguar miliknya. “Anakㅡ?”

“Dia lebih daripada itu.”

“Lo nggak lagi bercanda?”

Telaga mengucapkan kalimat pertamanya setelah hampir sekitar lima belas menit hanya terdiam, membiarkan Albirru menceritakan semua yang ia alami lewat panggilan telefon yang mereka lakukan saat ini. “Mas Banyu itu simpenannya Tante Rima?”

Albirru yang tengah duduk di ruang tamu dari guest house yang ia tempati, kini memberi gumaman kecil sebagai jawaban dari pertanyaan yang dilemparkan Telaga. “Gue serius.”

“Banyu emang cerita dia pernah jadi simpenan seseorang tapi dia bilang itu sekedar masa lalu. Gue udah berusaha coba terima dan lupain karena itu masa lalu dia aja, tapi gue nggak nyangka—seseorang yang dia maksud itu Tante Rima.”

“Dan mereka masih jalin hubungan,” lanjut Albirru.

Dari tempatnya berada saat ini, Telaga menjambak rambutnya sendiri. Sekilas, memang. Namun cukup untuk menggambarkan bagaimana ia juga tengah merasa frustasi dengan situasi yang tengah dialami oleh si sahabat di seberang sana. “Shit. Kenapa gue nggak pernah kepikiran, sih?”

“Gue kabur dari rumah.” Albirru mengujarkan kalimatnya tanpa menggubris perkataan Telaga barusan. “Gue nggak mau ketemu sama Banyu. Jijik gue, liat mukanya. Muak, gue nggak mau denger suaranya.”

Dari panggilan suara pun, Telaga sudah mengetahui bahwa suara Albirru tengah gemetar seperti menahan tangis. Seakan sudah sangat terbiasa, Telaga mendesis dan mengucapkan kalimat dengan nada layaknya seseorang yang tengah menenangkan anak kecil. “Ssh—hei, Ru. Birru. Lo harus tenangin diri, Ru.”

“Nggak ada gue di sana. Lo nggak boleh kehilangan kendali atas diri lo, lo harus tetep sadar.”

Jujur saja, sedari tadi Albirru merasakan dadanya berdebar dengan sangat cepat. Namun ini bukan debaran yang menyenangkan seperti yang ia rasakan setiap kali bersama Banyu. Debaran yang ia rasakan sekarang sangat menyiksa, seperti ada genderang sangat besar yang dimasukkan paksa ke dalam dada Albirru dan dipaksa untuk dipukuli di dalam ruang dadanya yang sempit.

Albirru menggigiti bibir bawahnya, sebelah tangannya memukuli dada kanannya sendiri. Berusaha menemukan ruang lowong untuk bernafas, walaupun sesungguhnya sangat menyiksa. Rasanya Albirru harus memukuli dadanya dengan super-kuat agar dinding paru-parunya bisa sedikit terbuka dan membuat ruang agar ia bisa bernafas dengan lebih baik. “Hhh—“

Suara nafas Albirru tersengal. Dari panggilan telefon, Telaga berusaha semampu yang ia bisa untuk menenangkan Albirru. “Ru. Hei, dengerin gue. Lo bisa. Lo bisa kendaliin semua yang lagi lo alamin. Lo hebat, Ru. Gue kenal lo dari kecil dan lo adalah sosok teman terhebat yang gue punya.”

“Lo udah berhasil survive sampai umur lo yang segini. Lo udah berhasil jalanin hari demi hari lo dengan baik. Lo hebat, Birru.”

Di tengah kalimatnya yang terucap, Telaga bisa mendengar suara pukulan yang terdengar samar dari pengeras suara ponselnya. Telaga tahu, sahabatnya itu selalu memiliki kebiasaan untuk memukuli dadanya sendiri ketika tengah tersiksa dengan sindrom trauma yang dimiliki. “Ru. Hei, Birru. Jangan dipukulin lagi, hei. Ru—tarik nafas.”

“Pelan-pelan, Ru. Tarik nafas.”

Albirru mengikuti ujaran Telaga. Nafasnya ditarik sesuai dengan instruksi yang diberi. Beruntung, tidak lama setelahnya Albirru berhenti memukuli dadanya sendiri. “Gue oke sekarang..”, ujar Albirru dengan suara kecil.

Telaga tidak bisa sepenuhnya merasa tenang. Ia masih khawatir karena sekarang Albirru sendirian. Tidak ada Banyu, tidak ada siapapun yang menjaga. Tentu, Albirru sendiri sudah 23 tahun. Tidak semestinya Telaga mengkhawatirkan lelaki yang sudah akil-baligh dan bisa bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Namun, entahlah—Telaga sudah sangat terbiasa menjaga Albirru, ia menganggap lelaki itu layaknya saudara kandung sendiri. Tidak heran jika khawatirnya bisa berlebih seperti ini.

“Ru. Lo di guest house mana? Kirim alamatnya. Gue sekarang berangkat ke Jakarta. Lo nggak bisa sendirian.”

Awalnya Albirru menolak untuk memberi tahu alamat guest house yang ditempati olehnya saat ini. Akan tetapi setelah Telaga mengancam akan menelfon orang tua Albirru jika si sahabat tidak memberikan alamat, maka dengan terpaksa Albirru memberitahu di mana tempatnya berada sekarang. Hingga akhirnya panggilan telefon ditutup dengan Telaga yang mengatakan akan mengambil penerbangan tercepat dari Bandung menuju Jakarta, setelah itu pula keheningan segera mendekap Albirru erat ke dalam pelukan.

Albirru masih duduk di bangkunya dengan jemari yang saling meremas satu sama lain, membuat gerak berantakan yang tidak jelas tujuannya. Hingga pada akhirnya jemari Albirru hanya bertaut satu sama lain dengan teramat erat, bahkan hingga membuat buku-buku jarinya memutih.

Sepi. Tidak ada tawa Banyu yang terdengar di sekeliling. Dingin. Tidak ada pelukan Banyu yang biasa terlingkar di pinggang Albirru. Hampa. Tidak ada lagi sosok Banyu untuk Albirru. Lagi-lagi, Albirru menangis dalam diam.

Sementara itu di Bandung, Telaga berada di dalam taksi menuju terminal keberangkatan ke Jakarta. Tangannya berkali-kali menekan tombol ikon hijau dengan layar yang menunjukkan barisan nomor beserta nama ‘Mas Banyu Lt 2’ di layarnya.

Percuma. Nihil.

Nomor telefon Banyu, sudah tidak lagi aktif.

* * *

Banyu tidak pernah menyadari ketidakhadiran seseorang bisa membuat perbedaan sebegini besarnya. Banyu tidak pernah menduga bahwa kamar Albirru bisa terasa sehampa ini tanpa keberadaan si pemilik kamar.

Banyu tengah berada di lantai satu, tepatnya di kamar milik Albirru. Seakan ingin menggambarkan si pemilik ruangan, warna cat dinding kamar didominasi dengan nuansa warna biru dan putih. Biru, seperti Albirru.

“Lo di mana, Bi?”

Banyu menggumam dengan suara pelan. Kedua tangannya menjambak rambut, tidak berhenti memikirkan berbagai kemungkinan perihal keberadaan Albirru saat ini.

Setelah pertengkaran hebat mereka tadi, Albirru menyerukan keputusannya untuk pergi dari sisi Banyu. Pergi, tanpa menyatakan perpisahan atas hubungan mereka. Albirru tidak menyatakan putus, namun ia pergi dari rumah dengan membawa tas berisi beberapa baju kenaan. Seakan-akan ia tidak sudi untuk menemui Banyu dalam jangka waktu beberapa lama.

Tololnya, ketika Albirru tengah membereskan semua baju-bajunya—Banyu hanya terdiam. Tidak menahan, atau tidak mengatakan ‘jangan pergi' sama sekali. Ketika Albirru beranjak meninggalkan rumah, Banyu hanya diam di sofa ruang tamu.

Tidak menahan. Tidak menghalangi langkah Albirru.

Bukan karena tidak sayang, bukan karena tidak cinta. Justru karena Banyu terlalu sayang—justru karena Banyu terlalu cinta, maka ia tidak berani menahan Albirru untuk tetap tinggal di sisinya.

Ia takut nantinya Albirru akan terluka. Banyu sudah kehilangan dua orang yang ia sayangi karena keteledorannya sendiri. Tentang Rinjani, yang pergi karena ia terlalu dimabuk rasa cinta kepada si kekasih saat itu sehingga melupakan fakta bahwa ia harus menjaga Rinjani sebagai seorang sahabat. Lalu tentang Hilma, yang dipaksa pergi karena Banyu terlalu gegabah dengan mempertunjukkan kedekatan mereka namun terlalu payah untuk mengakui status hubungan keduanya.

Banyu tidak ingin hal yang sama terjadi pada Albirru.

Albirru harus bahagia, walaupun mungkin tidak bersama Banyu. Yang lebih penting, Albirru harus tetap hidup. Dengan siapapun itu, tidak masalah. Yang Banyu mau, Albirru bisa tetap menikmati hari esok dengan senyuman di bibirnya. Walaupun pahit menerima karena bisa jadi ke depannya alasan Albirru untuk tersenyum bukanlah karena keberadaan Banyu, sumpah demi Tuhan—tidak mengapa.

Yang penting Albirru hidup. Yang penting Albirru selamat. Yang penting Albirru tidak mati.

Dengan gerak tangan yang terlihat gamang, Banyu mengusapi selimut di kasur milik Albirru. Di atas kasur itu, biasanya mereka berdua saling berbagi cerita perihal apapun yang mereka alami di hari ini. Di atas kasur itu, mereka berbagi peluk dan rengkuh juga kecup pagut yang rasanya manis bukan main.

Namun malam ini, hanya sepi sunyi dan sendiri yang Banyu rasakan tanpa henti. Malam ini, Albirru tidak ada di sini—dan itu membuat Banyu sesak setengah mati.

Melepaskan, rupanya sesakit ini. Melepaskan, rupanya sesesak ini.

“Bi..” Banyu menjambak rambutnya sendiri dan berujar dengan suara lirih. Ia merindukan sosok Albirru, padahal belum beberapa jam berlalu semenjak ketidakhadiran sosok kekasihnya itu. “Maafin gue, Bi.”

“Maafin gue..”

Banyu, menangis dalam lirih.

“Tante!”

Banyu sebisa mungkin mendorong wanita yang kini tengah berusaha meraup bibirnya dengan penuh nafsu. Bahkan tanpa persetujuan Banyu, wanita ini sudah menelusupkan lidahnya ke dalam ruang mulut si lelaki. Membuat suara kecap dari saliva yang saling bertemu, juga dari lidah yang dipaksa untuk saling bersahut.

Di sisi lain, Rima masih mengalungkan kedua lengan ke leher Banyu. Ia paham bahwa lelaki di hadapannya enggan untuk memberinya balas ciuman. Namun seakan menutup mata akan hal itu──Rima masih melabuhkan ciumannya tanpa terlihat ada niatan untuk berhenti.

“Banyu..”, suara Rima terdengar sedikit melenguh. Terlihat jelas tengah menyuarakan nafsunya yang ingin dijamah oleh tangan kasar si lelaki di dalam dekap. “..temenin Tante, sayang.”

Banyu masih berusaha mendorong tubuh Rima untuk menjauh, akan tetapi wanita ini tidak bisa dikatakan lemah. Ia seakan tahu bagaimana cara untuk menahan gerak tangan Banyu, membuat Banyu tak kuasa untuk memberi perlawanan dan mau tidak mau menerima ciuman dari si wanita.

“Tante──stop!”

Di tengah cium dan lumatan, Banyu melirik ke arah jendela kamar Albirru. Lampu kamar kekasihnya masih padam, tidak menandakan lelaki itu terbangun dari tidurnya. Mungkin karena merasa paranoid, Banyu seperti melihat kain gorden kamar Albirru bergerak ke kanan-kiri; tampak telah dibuka kemudian ditutup dengan cepat.

Tidak bisa melakukan semua ini lebih jauh, Banyu segera menarik tubuh Rima untuk keluar dari dalam rumah. Banyu ingin mempertipis kemungkinan agar Albirru tidak melihat mereka yang tengah bersama.

Kini keduanya sudah berdiri di luar pagar, Banyu membuka pintu bagian tengah dari mobil Range Rovernya dan memberi isyarat kepada Rima untuk masuk ke dalam mobil. “Masuk, Tan. Saya nggak mau ada tetangga yang lihat Tante lagi sama saya.”

Rima mengulas senyum tipis, menganggap ujaran Banyu yang memintanya untuk masuk ke mobil adalah ajakan guna berhubungan intim. “Hm? Mau main di mobil? Kamu bukannya nggak suka sama tempat yang sempi──”

“Tante.” “Saya punya pacar.”

Kalimat Rima terputus ketika Banyu menyela ucapannya. Tatapan si wanita terlihat terhenti pada satu titik yang tidak jelas fokusnya. Banyu paham, yang tengah ia jelaskan sekarang adalah hal yang tidak mudah untuk dipahami. Ada banyak resiko yang dapat muncul dari pengakuannya barusan.

“Jadi saya harap, Tante bisa berhenti kekang saya. Saya nggak mau sakitin pacar saya lagi.”

Bahkan Rima belum sempat naik ke mobil. Ia masih berdiri di pinggiran pintu mobil bagian tengah yang terbuka dengan Banyu yang berdiri di hadapannya. Pandangannya masih tertuju ke satu titik yang Banyu sendiri tidak ketahui di mana fokusnya, dalam hati Banyu bertanya──apakah ujarannya barusan didengar atau malah tidak dihiraukan?

“Banyu.” Setelah terdiam untuk beberapa saat, Rima mengangkat pandangan dan menatap lurus Banyu tepat di matanya. “Kamu jangan main-main sama Tante.”

“Semua yang kamu punya sekarang, asalnya dari Tante. Inget?” Rima memang mengujarkan kalimatnya dengan teramat tenang, namun Banyu dapat menangkap setiap penekanan yang diujarkan oleh wanita itu di setiap kata yang diujarkannya. “Yang berhak buang itu cuma Tante. Tante yang berhak buang kamu, bukan kamu yang buang Tante.”

Tangan kanan Rima terangkat, mengusapi rambut Banyu dengan lembut. Sungguh kontras dengan ucapannya barusan yang terkesan sangat menekan. “Kamu juga nggak lupa sama apa yang pernah Tante ucapin ke kamu tentang semua resiko yang akan ada nantinya, 'kan, Banyu?”

“Hm?”

Banyu tidak pernah lupa. Bahkan jujur saja, untuk sepersekian detik pun ia tidak pernah lupa akan hal yang pernah Rima katakan dahulu. Perihal resiko untuk lepas dari obsesif yang dimiliki Rima untuk dirinya. “Tante. Please.. Tante juga tau sendiri kalau semenjak awal itu Banyu cuma anggap hubungan kita berdua ini sekeda──”

“Birru.” “Dia alasan kamu mau lepas dari Tante, 'kan?”

Banyu meneguk ludah dengan sangat gugup. Nada bicara Rima saat ini bukan lagi diisi dengan intonasi manja, tidak ada lagi gerak yang penuh nafsuㅡ digantikan dengan ujaran dengan nada dingin yang terlampau membuat Banyu merasa terintimidasi.

“Tante.” “Tante, please.” “Hubungan ini nggak akan pernah bisa berdampak baik ke Tante atau ke saya.”

Rima seakan tidak mempedulikan ujaran Banyu. Ia hanya mengangkat tangan kanannya dan membuat gerakan seperti tengah mengusapi pipi kanan Banyu. “Ssst──sayang..”

“Banyu.” “Kamu mau liat orang lain lagi-lagi mati di tangan Tante, hm?”

Bangsat. Bangsat. Bangsat.

Dalam hati, Banyu merutuk dalam hati tanpa bisa ia kendalikan. Jika dihitung satu persatu, mungkin semua panggilan mengutuk sudah diucapkan secara tersirat. Banyu lupa, bahwa wanita di depannya ini berbeda dengan manusia kebanyakan.

Wanita ini, psikopat.

Banyu segera terdiam. Sungguh, mulutnya seakan direkat oleh lem paling kuat──tidak terbuka sama sekali. Seiring dengan usapan di pipi Banyu yang semakin sering dilakukan oleh Rima, semakin pula Banyu merasa dilema.

Apakah tetap harus jujur? Ataukah diam saja?

“Banyu.” Melihat Banyu yang hanya diam membisu, Rima kembali mengangkat pembicaraan. “Kamu nggak lupa, 'kan, tentang Hilma?”

Banyu lagi-lagi meneguk ludahnya dengan berat. Hilma, rasanya sudah lama sekali semenjak ia mendengar nama perempuan itu.

Mungkin terakhir kali Banyu mendengar nama gadis itu adalah sekitar empat tahun lalu.

Tatkala Hilma masih hidup.

Jika ditanya, apa Birru punya kemampuan khusus? mungkin jawabannya adalah satu : Albirru bisa menebak kapan kedatangan Banyu.

Terkadang ketika ia tengah terlelap pun, Albirru bisa merasakan langkah kaki Banyu yang mendekatinya. Terkadang ketika ia tengah terlelap, Albirru bisa terbangun ketika mendengar suara deru mobil yang dikendarai oleh Banyu tengah memasuki garasi mobil.

Kali ini pun demikian. Padahal Albirru sudah jelas-jelas terlelap, namun ia segera tersadar ketika mendengar suara mesin mobil yang mendekati rumah. Ia bisa mendengar suara engsel pengunci pagar yang digeser, juga suara rel pagar yang didorong untuk terbuka.

Albirru melirik sekilas ke arah jam dinding yang tergantung di kamarnya. Pukul satu dini hari. Banyu benar-benar lembur, rupanya.

“Hnn..” Albirru mengerang sejenak. Jemari si lelaki mengusak mata kanan, sedikit berusaha untuk menemukan sadarnya. Ia berencana untuk bangun, sekedar untuk memberi sapa kepada si kekasihㅡ atau jika sadarnya bisa lebih berbaik hati, ia berkenan untuk membuatkan teh hangat guna melepas lelah Banyu.

Albirru memasang pendengarannya untuk menangkap suara dari lantai atas. Sudah sepi, nampaknya teman-teman arisan Tante Rima sudah pulang. Baguslah, Albirru sedikit khawatir akan kenyamanan Banyu untuk terlelap jika di lantai dua masih ramai ditempati oleh para wanita sosialita itu.

Cklek.

Suara pintu utama dibuka. Albirru sedikit mengernyitkan dahi karena ia belum mendengar suara mobil yang dikendarai oleh Banyu memasuki garasi. Tidak biasanya Banyu melakukan itu. Belum lagi, suara derap langkah yang terdengar sekarang bukanlah suara sepatu Banyu melainkan suara tajam yang dihentakkan ke permukaan lantai. Seperti suara high-heels wanita.

Dengan perasaan gamang, Albirru menyibak gorden kamar tidurnya. Hanya sedikit saja, seakan-akan ia sedang mengintip sesuatu yang terjadi di luar.

Benar. Suara langkah itu, bukan dari sepatu Banyu.

Itu dari sepatu Tante Rima.

Wanita itu menghampiri Banyu kemudian memeluknya dengan mesra. Bibir wanita itu segera memagut bibir Banyu dengan intim. Dari posisinya sekarang, bahkan Albirru bisa menyaksikan bagaimana wanita itu tengah menelusupkan lidahnya ke dalam ruang mulut Banyu.

Tangan Tante Rima meremat sela-sela rambut Banyu, seakan tahu bahwa lelaki itu paling lemah dan sensitif akan sentuhan di rambutnya. Dada wanita elegan itu dirapatkan dengan dada Banyu, seakan ingin menggoda dengan kadar paling tinggi.

Banyu? Entahlah. Albirru tidak tahu harus memandang ke mana saat ini. Ia ingin memandangi respon apa yang dilakukan oleh Banyu, namun indera pengelihatannya seakan menolak. Seperti memilih untuk tidak lagi berdarah lebih banyak.

Albirru membeku di tempatnya. Telinganya berdenging, membuat suara memekakkan telinga. Menjadikan dirinya pusing bukan main.

Dengan langkah yang diseret, Albirru bergerak menuju pintu kamarnya. Tangan kanannya terangkat untuk meraih kunci yang tergantung di kenop pintu, memutarnya ke arah kiri dua kali hingga terdengar bunyi selot yang menandakan telah terkunci.

Albirru mengunci kamarnya.

Ia jatuh terduduk di balik pintu kamar tidurnya sendiri. Kedua tangannya menutupi telinga, tidak ingin mendengar ilusi suara kecapan lidah Banyu dan Tante Rima yang beradu. Otak Albirru seakan membuat bayangannya sendiri akan hal yang tengah dilakukan oleh kedua orang itu di luar sana.

Albirru menggigiti bibir bawahnya kuat-kuat. Ia ingin berteriak, namun tidak mau kedua orang di luar sana mendengar histerisnya.

Sakit. Sesak. Perih.

Albirru memukuli dadanya sendiri, berusaha menghilangkan semua agoni yang dirasa. Walaupun ia tahu dengan jelas, semua percuma.

Gue pernah jadi simpenan.“ “Bi, itu cuma masa lalu..

Kalimat Banyu yang ia ucapkan kemarin dulu terngiang di pikiran Albirru. Si lelaki segera mengepalkan tangan kuat-kuat dan memukuli lantai di sampingnya, seperti ingin melampiaskan semua perasaannya yang tertahan.

Albirru merasa payah. Albirru merasa patah. Albirru merasa lemah.

Banyu, membohonginya.

Sakit, sangat. Sumpah, ini──sakit.

Banyu merasakan dunianya seakan berputar tidak tentu arah, sementara langkahnya kini terhuyung ke sana kemari. Tubuhnya seakan remuk, mungkin ada beberapa tulang di tubuhnya yang patah. Mungkin saja begitu, karena Banyu merasakan beberapa fungsi organnya seakan sudah tidak karuan.

Sesekali Banyu terbatuk karena tenggorokannya terasa amat perih. Namun seiring dengan batuk yang ia lakukan, ada darah yang ikut keluar dari dalam mulutnya. Bibirnya mungkin sudah robek di bagian pinggir, karena Banyu merasakan sakit yang terlampau besar padahal hanya angin yang menyapu sedikit kulit bibirnya.

“Aargh──”

Langkah Banyu terhuyung ke kiri, menabrak dinding dari sebuah klub malam yang tampak ramai di dalamnya. Beberapa penjaga keamanan yang berdiri di pintu depan klub seakan tidak menaruh peduli akan kondisi Banyu yang terlihat jelas butuh bantuan untuk diselamatkan. Mungkin bagi mereka, selama Banyu tidak mengganggu kelancaran bisnis klub──maka itu bukan urusan mereka.

Memang. Itu bukan urusan mereka. Ini semua adalah urusan Banyu yang terlambat membayar piutang kepada lintah darat yang ia pinjam uangnya. Ini semua adalah salah Banyu yang nekat meminjam uang dalam jumlah besar padahal ia sendiri tidak memiliki penghasilan tetap.

Maka ketika si rentenir mengirimkan orang suruhannya untuk menghajar sampai babak belur, Banyu tidak bisa menyalahkan. Semenjak awal, ia tahu perihal resikonya. Ini kesalahannya yang nekat, padahal tahu bahwa ia tidak akan kuat menahan semuanya.

Tubuh Banyu sudah sepenuhnya jatuh dalam posisi terduduk, punggung lelaki itu tersandar ke dinding klub malam yang samar-samar terdengar debuman musik nyaring dari dalamnya. Nafas Banyu seperti sesak bukan main, paru-parunya seperti diremas dan tidak dibiarkan menghirup oksigen.

Apa iya, ia akan mati begin──

“Hei. Kamu masih sadar?”

Sayup-sayup terdengar suara seorang wanita juga samar-samar bayang seseorang yang berjongkok di hadapannya. Banyu tidak tahu siapa orang itu, juga tidak sempat mencari tahu karena sekarang tubuhnya sudah keburu timpang ke samping.

Banyu tidak sadarkan diri.

* * *

“Kamu pingsan.” “Plek, terus jatuh gitu.” “Saya sampai harus minta security buat angkut kamu ke mobil saya.”

Kalimat itu terdengar dari bibir seorang wanita yang kini tengah menyodorkan secangkir teh hangat kepada Banyu. Banyu tidak tahu apa yang terjadi setelah ia kehilangan kesadaran, namun satu hal yang pasti──ada perban di sana sini pada tubuhnya. Bibirnya yang tadi terasa perih karena robek juga sekarang sudah lumayan lebih membaik. Masih sama perihnya, hanya saja tidak begitu menyiksa seperti sebelumnya.

“Oh..”, Banyu menerima tawaran cangkir dari si wanita. Begitu diterima, tangan Banyu langsung gemetar hebat. Rupanya memegang cangkir pun ia tidak kuat. Paham dengan situasi yang dialami si lelaki, wanita itu segera mengambil kembali cangkir di tangan Banyu. “Kamu kayaknya nggak bisa ke mana-mana dulu, deh.”

“Rumah kamu di mana, emang?”

Pertanyaan si wanita membuat Banyu terdiam lama. Semenjak pertikaiannya dengan sang Ayah, Banyu tinggal di rumah sewa yang hanya berukuran beberapa petak. Sekarang ia tidak yakin bisa kembali ke sana karena pasti si lintah darat itu sudah mengawasi rumah sewanya, bisa mati jika ia kembali ke rumah itu.

“Saya.. nggak ada rumah.”

Sesungguhnya Banyu malu mengujarkan kalimat barusan. Terlihat jelas bahwa ia tengah meminta bantuan, berharap si wanita ini cukup peka untuk menerima sinyal itu darinya. “Ada beberapa masalah dan ya──”, Banyu menggantung kalimatnya. “──saya nggak yakin bisa balik ke rumah saya yang semestinya.”

Bukannya Banyu tidak mengetahui, ia paham bahwa kini wanita itu tengah memperhatikan dirinya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Banyu merasakan dengan jelas sebagaimana perempuan itu menganggap dirinya sebagai pembeli yang tengah menilai sebuah barang. Objek.

“Hmm..”

Banyu mendengar wanita itu bergumam kecil, tampak menimbang. Sedikit, Banyu mencoba memberanikan diri mengangkat kepala dan balas memandang si wanita di hadapan.

Banyu baru menyadari, wanita itu tampak sangat anggun. Wajahnya cantik, menggambarkan jelas bahwa ia adalah seseorang yang menyukai hidup bebas namun dapat berbaur dengan kehidupan sosial kelas tinggi.

“Nama kamu siapa?”

Pertanyaan itu membuat Banyu meneguk ludahnya sejenak, entah mengapa merasa terintimidasi. “Banyu..”, jawab si lelaki, singkat. “Nama saya Athalla Banyurekas, tapi lebih sering dipanggil Banyu.”

“Banyu..”, wanita itu mengulang ujaran si lelaki kemudian mengulum senyum tipis.

“Nama saya Rima.”

“Bi. Birru.” “Lo dengerin omongan gue dulu, dong. Bi! Hei!”

Nada bicara Banyu semakin meninggi ketika mereka sudah tiba di garasi kediaman rumah yang ditempati keduanya. Seakan Banyu tidak ada di sana, Albirru sama sekali tidak mempedulikan ujaran si lelaki yang lebih tua. Tidak peduli biarpun mobil Banyu belum terparkir sempurna di garasi, Albirru keluar dari mobil Range Rover milik Banyu dan berderap cepat untuk memasuki rumah, menuju kamarnya di lantai satu.

Tidak suka diacuhkan, Banyu juga berderap turun dari mobil dan berusaha mendekati si kekasih. “Bi! Gue lagi ngomong! Jangan pura-pura nggak denger gue!”

Tangan kanan Albirru dicengkeram kuat oleh Banyu, membuat gerak si lelaki yang lebih muda kini terbatas. Dengan tatapan paling dingin, Albirru menatap Banyu dan berujar singkat. “Lepasin.”

“Gue nggak akan lepasin!”, seru Banyu dengan penuh nada menekan di setiap kata yang terucap. “Lo ngomong dulu sama gue, Bi.”

“Lo bener-bener cuekin gue sepanjang makrab. Lo hindarin gue. Lo bahkan nggak ngomong sama sekali ketika di mobil, sekeras apapun usaha gue buat nanya.”

“Ngomong sama gue, Bi.” Cengkeraman di tangan Albirru semakin diperkuat, membuat si yang lebih muda sedikit meringis. “Jangan diemin gue kayak begini.”

Namun bagaimanapun juga, Albirru adalah lelaki yang sama kuatnya seperti Banyu. Barusan ia sudah meminta dilepaskan cengkeramannya dengan cara yang sopan, jika tidak dikabulkan──apa boleh buat?

“Lepasin, anjing.” Albirru menghentakkan tangan Banyu dengan kuat sehingga cengkeraman tangan si yang lebih tua kini terlepas. Banyu berdecak kesal, tidak tahu harus bertindak bagaimana untuk menghadapi kekasihnya yang tengah marah sebegini besarnya.

Semenjak insiden truth or dare yang mereka lakukan di acara malam keakraban, Albirru benar-benar seperti menjaga jarak dengan Banyu. Ia yang semula seakan tidak mau jauh dari Banyu, tiba-tiba hanya berada di dekat Regas— si teman sedivisinya. Seperti enggan memberi ruang untuk Banyu masuk, bahkan untuk sekedar memberi sapa.

Memang, tidak banyak yang menyadari perubahan sikap Albirru karena lelaki itu masih tertawa bersama dengan teman-teman Hyundae yang lain. Namun ketika mata mereka tidak sengaja saling bertemu pandang, Albirru segera melengos. Memilih untuk memalingkan muka dan membuat Banyu kesal setengah mati.

Alasannya bersikap demikian? Albirru tidak memberi penjelasan apa-apa. Namun Banyu yakin, pasti itu ada hubungannya dengan jawaban truthnya yang mengaku pernah menjadi simpanan seseorang.

Jika Albirru bertindak biasa dengan merajuk dan menunjukkan berbagai tanda bahwa ia hanya sekedar cemburu, Banyu tidak akan sebingung ini. Namun Albirru tidak melakukan hal demikian, ia benar-benar hanya diam membisu. Tidak membalas setiap ujaran Banyu, sekeras apapun yang lebih tua mencoba untuk memulai perbincangan.

“Bi!” Banyu tidak berniat untuk bertindak kasar, namun melihat Albirru yang bersikap dingin kepadanya seperti ini membuat ia sedikit bertindak di luar batas sadar. Banyu meraih bahu Albirru dan mendorong tubuhnya hingga tersudut ke dinding, memojokkannya agar tidak bisa bergerak ke mana-mana. “Ngomong, Bi. Gue nggak bisa tau apa masalahnya kalau lo diem terus kayak begini!”

“Ngomong?” Albirru menatap sinis Banyu di hadapannya. Bibirnya menarik garis tipis, membentuk senyuman yang tidak kalah sinisnya. “Seneng, ya, jadi simpenan orang?”

Banyu mendengus kecil. Benar, rupanya──Albirru tengah cemburu akan jawaban jujurnya ketika melakukan permainan truth or dare. “Bi..”, nada bicara Banyu mulai melunak. Kini si lelaki yang lebih tua melepaskan kungkungannya dan mengusapi bahu Albirru dengan lembut, berharap bisa memberi ketenangan. “Itu masa lalu gue.”

“Kayak lo yang dulu punya masa lalu sama mantan, gue juga punya masa lalu,” lanjut Banyu, masih dengan sama lembutnya. “Gue pernah punya masa-masa gila..”

”..tapi sekarang nggak lagi. Karena gue udah mau habisin semua waktu yang gue punya cuma buat lo.”

Banyu menaikkan usapannya, dari yang semula di bahu menjadi ke punggung leher Albirru. “Itu masa lalu gue, Bi. Tolong terima, ya? Gue mau jujur soalnya gue yakin nggak ada gunanya buat gue bohong ke lo.”

Albirru menatapi Banyu dengan mata yang sedikit disipitkan, seperti ingin mengetahui apakah kekasihnya itu berkata jujur atau tidak. “Apa lagi?”, tanya Albirru dan membuat Banyu mengernyitkan alisnya. “Apa lagi yang harus gue terima dari lo? Apa lagi yang lo sembunyiin dari masa lalu lo?”

“Ceritain sekarang.”

Banyu terdiam untuk sejenak. Terlihat seperti menimbang sesuatu yang Albirru tidak ketahui apa kejelasannya. Mungkin beberapa detik berlalu, hingga akhirnya Banyu menggeleng kecil dan mengulas senyum yang membuat kaki Albirru lemas. Sudah hampir seharian penuh Albirru tidak melihat senyuman dari bibir Banyu sedekat ini. Semakin dekat, semakin lemas Albirru dibuatnya.

“Nggak ada, Bi.” Banyu mendekatkan wajahnya ke wajah si kekasih. Keningnya ia tempelkan dengan kening Albirru, seakan ingin memberi tahu bahwa ia serindu itu akan eksistensi si lelaki di sampingnya padahal cuma sehari berlalu. “Gue nggak punya rahasia apa-apa lagi.”

Albirru terdiam. Dalam hati, ia merutuki dirinya sendiri yang sangat mudah dibujuk oleh Banyu. Baru disentuh begini saja, rasanya ia sudah siap memaafkan Banyu. Ck, dasar mental bucin.

“Kasih gue waktu.” Walaupun kalimatnya terdengar sinis, nada bicara Albirru sudah tidak sedingin sebelumnya. Ia menyingkirkan tangan Banyu dari pundaknya dengan gerak perlahan, tidak menghentak dan tidak sekasar sebelumnya. “Gue masih emosi, nggak mau kita malah berantem lebih gede.”

Banyu tidak memberi argumen apapun. Ia mengangguk kecil, paham bahwa mungkin itu adalah hal yang paling perlu dilakukan oleh Albirru saat ini. Sekilas, Banyu mengusap pipi kanan Albirru kemudian berujar singkat. “Ya udah, gue ke atas, ya?”

Albirru mengangguk, tidak memberi jawaban apapun lagi. Mungkin, mereka hanya sedikit memerlukan waktu untuk bisa menenangkan emosi masing-masing.

Mereka baik-baik saja. Albirru yakin pula, Banyu selalu jujur.

Banyu tidak akan berbohong. Apalagi berbohong kepadanya.

Tidak akan. Banyu tidak akan begitu.

“Aga kayaknya tau tentang kita.”

Kalimat itu diucapkan Albirru tepat ketika ia sudah memasang sabuk pengaman ke tubuhnya. Banyu yang sedang menyalakan mesin mobil hanya memberi gumaman kecil, mengiyakan ujaran Albirru. “Kayaknya, sih. Dari setiap kalimat dia, kayaknya dia udah nebak kalau kita emang ada apa-apa.”

Albirru terdiam setelah mendengar kalinat Banyu. Terlihat sedikit gugup, Albirru kini menggigiti kuku ibu jari kanannya. Bingung harus bereaksi seperti bagaimana, sepertinya.

Melihat lelaki di sampingnya bertindak demikian, Banyu segera memfokuskan perhatiannya kepada Albirru. Kuasa kanannya terangkat untuk mengusak kepala si lelaki yang semenjak beberapa hari lalu memang memiliki hubungan khusus dengannya. “Hei. Lo nggak apa-apa?”

Albirru mengangguk kecil, namun giginya masih menggigiti kuku ibu jarinya. Memang sudah kebiasaan dari kecil, sangat sulit untuk ia perbaiki.

“Kotor, Bi. Hei, jangan biasain gigitin kuku kayak gitu.” Banyu menuntun tangan kanan Albirru untuk menjauh dari mulutnya. Setelah dijauhkan dari mulut, kini Banyu mengusapi punggung tangan Albirru di genggamannya. “Bi. Gue tau apa yang lagi lo rasain. Gue tau lo juga pasti ngerasa takut sama ragu. Wajar. Wajar banget, karena gue juga ngerasain hal yang sama.”

“Tapi, Bi..”, Banyu sedikit mengangkat tangan kanan Albirru untuk mendekati dadanya. Setelah dekat, Banyu membiarkan sebelah tangan Albirru berada pada bagian dada yang dekat dengan bagian organ hati. Berharap Albirru bisa merasakan detak jantungnya yang berdegup kencang tak beraturan. “..gue nggak mau lepasin lo karena alasan norma atau apa.”

“Iya. Mungkin kita bakal jadi orang paling berdosa. Mungkin lo sama gue bakal dianggep hina sama banyak orang. Tapi gue serius, Bi..” Banyu mengambil jeda sejenak dari ujaran kalimatnya. “..gue lebih takut kehilangan lo. Gue lebih nggak mau lo pergi begitu aja dari hidup gue. Gue nggak bisa bayangin segimana hampanya hidup gue nantinya tanpa lo.”

Fuck, omongan gue drama banget.” Banyu tertawa kecil seraya menggaruki pipinya sendiri, merasa geli dengan kalimatnya barusan. “Tapi intinya, ya, gitu la──”

Cup.

Tiba-tiba saja tanpa persetujuan dari siapapun, Albirru sudah mendaratkan ciumannya ke pipi kanan Banyu. Kecupan singkat, lebih tepatnya. Namun tetap saja membuat efek yang lumayan besar, buktinya Banyu sampai terdiam untuk beberapa detik sebelum akhirnya sadar bahwa ia sudah dicium oleh Albirru.

“...” Banyu terbisu, sebelum akhirnya terkekeh kecil. Dari cahaya lampu tempat parkir di stasiun Gambir, Albirru bisa melihat wajah lelaki itu merona merah. Ah, mungkin tidak hanya Banyu saja, sih. Bisa jadi Albirru juga tengah merasakan fase yang sama; wajah memerah seperti kepiting rebus.

Albirru memalingkan muka ke sebelah kiri, berusaha agar Banyu tidak menangkap ekspresinya yang tengah tersipu malu. Akan tetapi percuma saja, karena kini Banyu malah memajukan tubuhnya agar bisa lebih mendekati posisi Albirru berada. “Bay! Heh! Ini di tempat parkir!”, ucap Albirru, berusaha menyadarkan si lelaki yang kini semakin meniadakan jarak diantara mereka.

Banyu seakan tidak peduli. Si lelaki yang lebih tua kini malah mengulurkan tangannya dan meraih punggung leher Albirru, bibirnya semakin mendekati wajah Albirru pula. Semakin dekat, hingga membuat Albirru menahan nafas karena terlampau berdebar.

Semakin dekat. Hingga akhirnya, cup.

Satu kecupan didaratkan di kening Albirru. Cukup lama, karena Banyu seakan ingin meninggalkan semua perasaannya kepada Albirru melalui kecupannya ke kening barusan. Usai mengecup kening Albirru, Banyu memundurkan wajahnya dan tersenyum tipis. “Kita lakuin semua sebisanya dulu, ya, Bi. Hm? Lo nggak keberatan, 'kan?”

Albirru terkadang heran, bagaimana bisa suara seorang lelaki terdengar sangat menenangkan seperti ini? Albirru selalu merasakan suara Banyu sangatlah menakjubkan, dalam artian bahwa lelaki itu seakan bisa membujuk Albirru untuk selalu percaya akan apa yang harus mereka lakukan. Suara penuh percaya diri, yang membuat siapapun seakan rela untuk diajak berkelana ke manapun itu.

Albirru mengangguk. Tangannya masih digenggam oleh Banyu, membuat Albirru sendiri merasa dunianya sudah lengkap hanya dengan keberadaan Banyu di dalamnya. “Iya..”

“Kita lakuin sebisa kita dulu,” jawab Albirru. “Kita lakuin sesuai apa yang kita hadapi di hari ini. In present time. Gue sama lo beneran nggak tau apa yang bakal terjadi di hari ke depannya, tapi satu hal yang pasti..”

Hari ini..“ “Hari ini..“ “Gue sayang lo..” “Gue sayang lo..“ “Lebih dari apapun.“ “Lebih dari apapun.

Albirru dan Banyu, mereka berdua mengujarkan kalimat yang sama pada waktu yang berbarengan pula. Mereka berdua seakan tengah mengikrarkan janji, bahwa apapun yang terjadi──mereka tidak boleh menghadapinya sendiri-sendiri.

Mereka, sekarang berdua. Mereka, sekarang bersama. Berdua. Bersama. Berharap, ini selamanya.