Tok.
Tok.
Tok.
Albirru mengetuk pintu kamarnya sendiri dari arah dalam. Tiga kali, tidak mendapatkan jawaban. Pada akhirnya, ia menyuarakan suara dari dalam kamarnya. “Woy. Lo di sana, nggak?”
“Apaan?”, jawab Banyu singkat. Suaranya sedikit teredam karena selaan suara dari speaker televisi di lantai satu. “Lo kekunci atau gimana?”, lanjut Banyu tanpa bangkit dari posisinya semula yang masih mengunyah semangkuk popcorn di bangku sofa ruang tamu.
Mengetahui bahwa Banyu ada di tempat yang cukup jauh dari kamarnya, Albirru memberanikan diri untuk membuka sedikit daun pintu kamar. Tidak banyak, namun cukup untuknya melongokkan kepala ke luar. “Woy. Gue mau ngomong.”
Mendengar ujaran Albirru, Banyu membalas dengan nada tidak acuh. Namun si lelaki bertubuh tegap itu meraih dan mengecilkan volume televisi agar bisa mendengar ujaran si jejaka Bandung dengan lebih jelas. “Ya udah, ngomong.”
“Lo ... straight, ‘kan?”
To the point. Bahkan tanpa ujaran basa-basi sedikitpun.
Pertanyaan Albirru barusan tidak segera dibalas oleh Banyu. Lelaki yang duduk di sofa ruang tamu itu hanya terdiam dan memandangi layar televisi di hadapannya dengan pandangan nanar. Untuk beberapa saat, tidak ada suara lain yang terdengar selain suara pengisi suara di sebuah acara. Albirru yang merasa pertanyaannya tidak dihiraukan, akhirnya berseru sekali lagi. “Woy! Gue nanya, nih!”
Banyu menghela nafas sejenak sebelum akhirnya menghembuskan dengan sekali embusan berat. “Bukan urusan lo, kali,” jawab Banyu dengan nada ketus.
Sumpah, baru sekali Albirru mendengar suara teman serumahnya itu seketus demikian. Biasanya, walaupun Albirru tahu Banyu tengah kesal dengan setiap tindakannya, lelaki itu tidak pernah berujar dengan nada ketus kepada Albirru. Nada bicaranya masih terdengar ramah walaupun diselipi nada jengkel diantaranya.
“Itu urusan gue juga!” Albirru sedikit berseru dari posisinya yang masih berdiri di selusur daun pintu kamar. “Kalo lo bisa jawab lo straight, gue nggak bakal ngediemin lo lagi! Gue nggak bakal ketakutan dan nggak bakal mikir macem-macem lagi!”
Seruan Albirru barusan membuat Banyu menolehkan kepala dan memberikan atensi sepenuhnya ke arah kamar si teman serumah. Ia menatap lurus-lurus kepala si jejaka Bandung yang kini tengah sedikit menunduk, seakan malu dengan kalimat yang ia ujarkan barusan.
“Emang lo pikir kalau misalnya gue straight, gue nggak akan ngelakuin hal-hal jahat ke lo?”, tanya Banyu dengan nada terlampau dingin. “Kalau gue bilang gue straight, tetep aja gue bisa bunuh lo. Gue bisa tipu dan bawa kabur duit lo. Dengan gue kasih tau gue straight atau nggak, hidup lo nggak bakal bisa jadi lebih tenang, dude.”
Jujur, Albirru langsung merasakan bulu kuduknya berdiri ketika mendengar nada bicara Banyu barusan. Rasanya Albirru seperti dipaksa untuk masuk ke sebuah gua gelap dan dikungkung tanpa ruang untuk keluar, suara dingin Banyu sebegitu mengintimidasinya.
“Jangan bawa omongannya jadi muter-muter. Gue cuma nanya satu hal dan lo cuma perlu jawab! Lo straight atau nggak?!”
Albirru Rezkisetya bukanlah seorang lelaki yang mudah untuk dimintai maaf. Rasa gengsi dan harga diri si jejaka Bandung itu terlalu tinggi, egonya terlalu biasa dimanjakan karena statusnya sebagai anak bungsu di keluarga yang kerap mendapatkan apa yang diinginkan tanpa perlu bersusah payah. Albirru masih memaksa Banyu untuk memberikan jawaban walau ia sendiri sudah mendapat pertanda bahwa Banyu tidak menyukai topik pembicaraan mereka sekarang.
Sementara itu di bangkunya, Banyu hanya terkekeh kecil seraya memasukkan satu persatu popcorn di mangkuk genggamannya dengan gerakan perlahan. “Ru. Lo beneran masih kecil banget, ya? Cemen banget.”
“Maksud lo apaan, jing?! Gue cemen?!” Albirru sedikit terbawa emosi akan ujaran Banyu. Kini ia tidak lagi bersembunyi di balik daun pintu, si jejaka Bandung itu kini berderap menuju ruang tamu dan berdiri dengan sikap menantang ke lelaki bertubuh tegap di hadapannya. “Ngomong yang bener, sat! Lo yang boong sama gue bertaun-taun! Lo yang kayak anak kecil, ketawa haha-hihi di balik akun cewek, bikin salah paham! Jangan malah mutarbalikin keadaan!”
“Lo cemen banget, anjing.” Banyu masih berujar dengan nada tenang, sepertinya masih bisa menguasai amarah walaupun genggamannya pada mangkuk popcorn di tangan semakin dieratkan. “Masalah roleplayer aja lo bawa-bawa sampai tahap lo nilai orientasi seksual segala. Dude, stop being childish. Selama gue jadi Dahyun, gue juga ngewe sama cewek asli. Gue coli tiap minggu tanpa mikirin lo dan akun Jungkook lo itu. Shoot! I’m not that pathetic.”
Albirru mengepalkan tangannya kuat-kuat. Oke, memang awalnya ia hanya ingin mengetahui orientasi seksual lelaki di hadapannya ini. Ia bertekad, jika Banyu memang straight dan masih menyukai wanita, maka ia akan menganggap semua yang terjadi di masa lalu hanyalah sebuah kesalahan. Tidak perlu diingat-ingat. Namun melihat tingkah dan ucapan Banyu yang ( menurutnya ) sok superior, Albirru jadi ikut naik pitam.
“Gue nanya baik-baik, ya. Jangan bikin gue jadi naik emosi.” Albirru berujar dengan nada menggeram. “Lagian apa susahnya lo tinggal jawab ‘i’m straight’ coba? Kalau lo emang bener-bener muak sama tingkah gue yang menurut lo cuma bisa bikin stress, lo tinggal bilang begitu. Gue puas. Masalah kita selesai.”
“Lo kenapa, sih?” Pertanyaan singkat dari Banyu langsung membuat Albirru terkesiap. Si jejaka Bandung langsung membeku di tempat, seakan membatu. “Emang orientasi seksual gue sebegitu pentingnya buat lo? Dude, we’re living in 2020! Lo nggak bisa mikir negatif ke mereka yang emang percaya bahwa mereka berbeda. Lagian lo pernah diapain, sih, sama orang yang nggak straight sampai lo sebegininya ngedesak gue?”
Kepalan tangan Albirru yang semula sangat erat, tiba-tiba mengendur. Lututnya tiba-tiba terasa lemas dan nafasnya juga sesak seperti dicekik oleh sesuatu yang tidak kasat mata. Perlahan Albirru memundurkan langkah hingga akhirnya benar-benar membalikkan tubuh sepenuhnya, ia berderap ke arah kamar kemudian membanting pintunya keras-keras.
Banyu yang ditinggalkan di ruang tamu, hanya bisa mengacak rambutnya; merasa kesal bercampur bingung juga rasa bersalah yang tiba-tiba menguasai diri. Apa gue tadi salah ngomong? Tapi iya juga──gue tadi sampai ngebentak dia segala, sih. Argh! Tapi dia yang provokasi gue sampai gue nggak bisa jaga emosi!
Banyu bukan lelaki yang mudah kehilangan kendali atas emosinya. Ia paham, usianya sudah cukup matang untuk dapat bertindak dengan pikiran jernih tanpa perlu mengikutsertakan emosi di dalamnya. Namun barusan ketika Albirru mendesaknya terus menerus dan memberikan omongan yang tanpa alasan jelas, Banyu jadi kesal sendiri. Menurutnya, tindakan Albirru terlalu kekanakkan.
Sesungguhnya, Banyu bisa saja menjawab dengan jawaban sesungguhnya. Banyu straight. Banyu menyukai perempuan. Barisan mantan kekasih Banyu adalah perempuan, belum pernah terselip lelaki di daftar mantannya. Bisa saja Banyu menjawab pertanyaan Albirru dengan jelas, maka hubungan mereka bisa berjalan dengan baik sebagai teman serumah.
Namun Banyu tidak suka dengan cara lelaki itu mengujarkan pertanyaannya dengan nada menjatuhkan satu pihak. Banyu memiliki banyak teman yang memiliki preferensi seksual berbeda dengan kebanyakan. Tidak ada yang salah bagi Banyu, mereka bisa tetap menjadi teman yang baik bagimya. Tidak ada yang perlu dijadikan alasan untuk jijik hanya karena mereka memperjuangkan cinta yang berbeda.
Banyu sama sekali tidak berniat untuk membentak Albirru. Hanya saja, tatapan dan nada bicara Albirru terlalu menyebalkan bagi Banyu. Tatapan lelaki itu seperti jijik, tatapan Albirru seperti benci.
Di ruang tamu, Banyu masih duduk dengan kedua tangan memegangi kepalanya. Pandangannya tertunduk sementara nafasnya masih berusaha ia atur agar dapat terembus seperti biasa; agar tidak terlalu cepat. Banyu ditekan dilema untuk meminta maaf atau tidak kepada Albirru.
⚠️ — TW : rape, childhood trauma, depression. harap melangkahi cerita dengan penanda [ ⚠️ ] apabila anda tidak berkenan membaca cerita dengan suguhan konten tertera di atas.
Di lain sisi, pada kamar yang pintunya tertutup rapat──Albirru terduduk dengan kaki terlipat, ia menekuk lututnya kuat-kuat. Tubuh si jejak Bandung meringkuk dan gemetar hebat; seperti menggigil.
“Lagian lo pernah diapain, sih, sama orang yang nggak (straight) sampai lo sebegininya ngedesak gue?”
Albirru menggigiti kuku ibu jari kanannya dengan tubuh yang masih gemetar hebat. Tidak hanya kuku ibu jari, Albirru berganti menggigiti kuku jemarinya yang lain. Berantakan, hingga air liurnya sendiri ikut merembes ke dagu saking geraknya tidak beraturan.
“Hhh.. hh-kkh..”
Dada Albirru langsung terasa sesak secara tiba-tiba. Lehernya seperti tercekik oleh sesuatu yang tidak kasat mata. Albirru memukuli dadanya sendiri, berkali-kali.
Bugh.
Bugh.
Bugh.
Suara pukulan terdengar samar, seperti teredam karena Albirru memukuli dadanya sambil meringkukkan badan. Albirru memukuli dada dengan harapan sesuatu yang tengah mencengkeram dadanya itu bisa pergi dari sana. Menghilang, dan membuat ia bisa bernafas lagi.
“Ahk—hh.. nnhh..”
Padahal tidak ada yang menyakiti fisik Albirru, namun lelaki itu masih meringkuk di lantai dan membuat suara seakan ia tengah disakiti oleh sesuatu. Albirru menjambak rambutnya sendiri dengan kuasa kanan, sementara kuasanya yang bebas memukuli lantai dengan kekuatan yang cukup keras.
BUK.
BUK.
BUK.
Albirru menangis tertahan. Bibirnya ia gigit kuat-kuat, tidak ingin suara tangisnya terdengar hingga ke telinga Banyu yang berada di luar.
Tanpa diminta juga tanpa diinginkan, Albirru memutar sebuah memori dari masa lalu yang muncul samar-samar. Tentang ia yang ada di sebuah kamar, juga sosok seorang lelaki bertubuh tambun yang tertawa dengan suara paling menjijikkan.
Kamar yang gelap, kamar yang diisi botol minuman berwarna hijau yang tergeletak berantakan. Bahkan saat ini, Albirru bisa mencium bau menyengat dari minuman di botol itu bercampur dengan bau pengap dan apek dari kamar yang sudah lama tidak dibuka.
Albirru menutup kedua telinga karena indera pendengarnya itu seperti memperdengarkan suara yang ia yakini hanya sekedar ilusi. Albirru mendengar suara besi ranjang yang berdecit, suaranya nyaring── derit memekikkan telinga karena besinya sudah berkarat itu membuat Albirru ingin muntah.
Tubuh Albirru tiba-tiba terasa panas. Sosok laki-laki bertubuh tambun yang awalnya terlihat samar itu kini menjadi semakin jelas. Wajah lelaki itu memenuhi pikiran Albirru, membuatnya teringat akan ekspresi penuh nafsu ketika menggerayangi tubuh si lelaki kecil. Albirru teringat bau nafas busuk si lelaki itu di belakang tubuhnya ketika ia ditengkurapkan di atas kasur yang seprainya bau pesing.
Albirru merasakan sakit di analnya, Albirru merasakan sakit di rambutnya yang dijambak kuat. Semua itu terasa, jelas── sangat jela...
“ARRRRGHHH!”
“JANGAN KE SINI!”
“PERGI! PERGI, SANA!”
Albirru tidak bisa lagi mengatur semua emosinya. Teriakannya lolos, tubuh si lelaki berkeringat deras padahal ia sendiri merasa setiap bagian tubuhnya menggigil hingga ke tulang.
Albirru, lepas kendali.
⚠️ — end.
Di luar kamar, tepatnya di ruang televisi, Banyu yang masih terduduk di sofa tiba-tiba terkejut dengan teriakan Albirru.
Sesungguhnya, Banyu sudah mendengar suara debuman samar dari dalam kamar Albirru. Seperti suara lantai yang ditinju berkali-kali, namun lelaki itu menganggap Albirru sedang melampiaskan emosinya semata. Maka Banyu hanya diam di bangkunya, ikut berusaha meredakan emosinya yang masih meluap.
Namun teriakan Albirru barusan bukan seperti teriakan seseorang yang sedang merasa emosi. Itu teriakan minta tolong, desperately seeking for help.
Sontak, Banyu berderap ke kamar Albirru dan menggedor pintunya berkali-kali. Berusaha mencari tahu situasi lelaki itu di kamarnya. “Birru! Ru! Lo kenapa? Hei!”
“NGGAK!”
“BIRRU NGGAK MAU!”
“BIRRU MAU KELUAR!”
“NGGAK!”
Panggilan Banyu tidak dibalas oleh apapun, Albirru malah semakin berteriak kencang. Bahkan sekarang Banyu mendengar suara kaki yang diinjak-injakkan ke tanah dengan ritme berantakan, seperti seseorang yang mencoba melawan diri untuk lepas dari sesuatu.
Tanpa permisi, Banyu memutar kenop pintu kamar Albirru dan membukanya dengan cepat. Yang ia lihat setelahnya adalah Albirru yang tengah memeluki dirinya sendiri seraya terbaring di atas lantai. Tubuhnya bergerak ke sana kemari, matanya tertutup seperti ketakutan. Kakinya menendang ke sana kemari, tak tentu arah.
“Birru!”
“Birru! Hei!”
“Birru! Ini gue, Banyu!”
“PERGI!”
“PERGI! PERGI!”
“JANGAN! NGGAK MAU!”
“Birru!”
“Birru, nggak apa-apa!”
“Birru, lo mesti tenang.”
“Gue Banyu, Ru.”
“Lo aman sama gue.”
Ujaran bernada menenangkan dari Banyu cukup bisa membuat Albirru tenang. Kakinya tidak lagi menendang ke sana kemari, teriakannya tidak lagi terlalu membahana. Namun tetap saja, jejaka Bandung itu masih meringkuk dengan kedua tangan yang menutupi kedua sisi telinganya dan menangis terisak hebat.
“Sssh.. Ru.”
“Ru, tenang..”
“Ada gue, Ru.”
“Lo nggak sendirian.”
Banyu memeluk tubuh Albirru yang masih meringkuk, tangannya dilingkarkan dan menepuki punggung teman sekamarnya itu dengan lembut; berharap bisa menyampaikan rasa nyaman untuk Albirru.
Albirru masih menggigil, tangisnya masih terisak, akan tetapi ia tidak menolak pelukan dari Banyu. Di tengah tangisannya, sesekali Albirru masih menggumam dengan nada yang teramat pelan; seperti mencicit. “Pergi...”
“..Jangan ke sini..”
“Pergi..”
Walaupun mendengar suara cicitan Albirru, Banyu sama sekali tidak menginterupsi. Ia masih tetap menepuki punggung Albirru dengan perlahan, sesekali diselingi dengan usapan lembut di puncak kepala. “Sshh, Birru.. nggak apa-apa. Lo aman di sini. Nggak bakal ada yang jahatin lo, Ru.”
“Ada gue di sini.”
“Gue nggak ke mana-mana.”
Ketika itu, Banyu tidak pernah sadar bahwa ucapannya itu pada akhirnya berubah menjadi sebuah janji; yang harus ia tepati.
Athalla Banyurekas tidak menduga bahwa kalimatnya bisa berubah menjadi sebuah sumpah. Untuk tidak pergi ke mana-mana. Untuk selalu ada, menemani lelaki bernama Albirru Rezkisetya.