dontlockhimup

“Aga kayaknya tau tentang kita.”

Kalimat itu diucapkan Albirru tepat ketika ia sudah memasang sabuk pengaman ke tubuhnya. Banyu yang sedang menyalakan mesin mobil hanya memberi gumaman kecil, mengiyakan ujaran Albirru. “Kayaknya, sih. Dari setiap kalimat dia, kayaknya dia udah nebak kalau kita emang ada apa-apa.”

Albirru terdiam setelah mendengar kalinat Banyu. Terlihat sedikit gugup, Albirru kini menggigiti kuku ibu jari kanannya. Bingung harus bereaksi seperti bagaimana, sepertinya.

Melihat lelaki di sampingnya bertindak demikian, Banyu segera memfokuskan perhatiannya kepada Albirru. Kuasa kanannya terangkat untuk mengusak kepala si lelaki yang semenjak beberapa hari lalu memang memiliki hubungan khusus dengannya. “Hei. Lo nggak apa-apa?”

Albirru mengangguk kecil, namun giginya masih menggigiti kuku ibu jarinya. Memang sudah kebiasaan dari kecil, sangat sulit untuk ia perbaiki.

“Kotor, Bi. Hei, jangan biasain gigitin kuku kayak gitu.” Banyu menuntun tangan kanan Albirru untuk menjauh dari mulutnya. Setelah dijauhkan dari mulut, kini Banyu mengusapi punggung tangan Albirru di genggamannya. “Bi. Gue tau apa yang lagi lo rasain. Gue tau lo juga pasti ngerasa takut sama ragu. Wajar. Wajar banget, karena gue juga ngerasain hal yang sama.”

“Tapi, Bi..”, Banyu sedikit mengangkat tangan kanan Albirru untuk mendekati dadanya. Setelah dekat, Banyu membiarkan sebelah tangan Albirru berada pada bagian dada yang dekat dengan bagian organ hati. Berharap Albirru bisa merasakan detak jantungnya yang berdegup kencang tak beraturan. “..gue nggak mau lepasin lo karena alasan norma atau apa.”

“Iya. Mungkin kita bakal jadi orang paling berdosa. Mungkin lo sama gue bakal dianggep hina sama banyak orang. Tapi gue serius, Bi..” Banyu mengambil jeda sejenak dari ujaran kalimatnya. “..gue lebih takut kehilangan lo. Gue lebih nggak mau lo pergi begitu aja dari hidup gue. Gue nggak bisa bayangin segimana hampanya hidup gue nantinya tanpa lo.”

Fuck, omongan gue drama banget.” Banyu tertawa kecil seraya menggaruki pipinya sendiri, merasa geli dengan kalimatnya barusan. “Tapi intinya, ya, gitu la──”

Cup.

Tiba-tiba saja tanpa persetujuan dari siapapun, Albirru sudah mendaratkan ciumannya ke pipi kanan Banyu. Kecupan singkat, lebih tepatnya. Namun tetap saja membuat efek yang lumayan besar, buktinya Banyu sampai terdiam untuk beberapa detik sebelum akhirnya sadar bahwa ia sudah dicium oleh Albirru.

“...” Banyu terbisu, sebelum akhirnya terkekeh kecil. Dari cahaya lampu tempat parkir di stasiun Gambir, Albirru bisa melihat wajah lelaki itu merona merah. Ah, mungkin tidak hanya Banyu saja, sih. Bisa jadi Albirru juga tengah merasakan fase yang sama; wajah memerah seperti kepiting rebus.

Albirru memalingkan muka ke sebelah kiri, berusaha agar Banyu tidak menangkap ekspresinya yang tengah tersipu malu. Akan tetapi percuma saja, karena kini Banyu malah memajukan tubuhnya agar bisa lebih mendekati posisi Albirru berada. “Bay! Heh! Ini di tempat parkir!”, ucap Albirru, berusaha menyadarkan si lelaki yang kini semakin meniadakan jarak diantara mereka.

Banyu seakan tidak peduli. Si lelaki yang lebih tua kini malah mengulurkan tangannya dan meraih punggung leher Albirru, bibirnya semakin mendekati wajah Albirru pula. Semakin dekat, hingga membuat Albirru menahan nafas karena terlampau berdebar.

Semakin dekat. Hingga akhirnya, cup.

Satu kecupan didaratkan di kening Albirru. Cukup lama, karena Banyu seakan ingin meninggalkan semua perasaannya kepada Albirru melalui kecupannya ke kening barusan. Usai mengecup kening Albirru, Banyu memundurkan wajahnya dan tersenyum tipis. “Kita lakuin semua sebisanya dulu, ya, Bi. Hm? Lo nggak keberatan, 'kan?”

Albirru terkadang heran, bagaimana bisa suara seorang lelaki terdengar sangat menenangkan seperti ini? Albirru selalu merasakan suara Banyu sangatlah menakjubkan, dalam artian bahwa lelaki itu seakan bisa membujuk Albirru untuk selalu percaya akan apa yang harus mereka lakukan. Suara penuh percaya diri, yang membuat siapapun seakan rela untuk diajak berkelana ke manapun itu.

Albirru mengangguk. Tangannya masih digenggam oleh Banyu, membuat Albirru sendiri merasa dunianya sudah lengkap hanya dengan keberadaan Banyu di dalamnya. “Iya..”

“Kita lakuin sebisa kita dulu,” jawab Albirru. “Kita lakuin sesuai apa yang kita hadapi di hari ini. In present time. Gue sama lo beneran nggak tau apa yang bakal terjadi di hari ke depannya, tapi satu hal yang pasti..”

Hari ini..“ “Hari ini..“ “Gue sayang lo..” “Gue sayang lo..“ “Lebih dari apapun.“ “Lebih dari apapun.

“Banyu?”

Albirru mengedarkan pandangannya untuk memperhatikan sosok lelaki di hadapan, dari ujung kepala hingga ujung kaki. Lelaki ini terlihat sangat──bagaimana mengatakannya? Tampan, namun juga manis. Tipikal lelaki yang pasti menjadi rebutan para kaum hawa di lingkungannya. “Belum pulang,” lanjut Albirru dengan nada ketus.

“Katanya bakal pulang malem.” Suara Albirru sudah terdengar tidak acuh, tubuhnya juga sudah dibalikkan kembali untuk membuka pintu pagar rumah. “Nggak tau jam berapanya.”

“Oh..” Lelaki yang tidak dikenali Albirru itu hanya menggumam kecil, tidak menyanggah atau bertanya lebih lanjut perihal Banyu. “Eh, ngomong-ngomong, Masnya ini yang baru masuk ke sini, ya? Kalau nggak salah, penghuni yang dulu itu bukan Mas, soalnya.”

Mas. Mas. Mas. Saha maneh, nyet?! Emang aing Mas maneh?!

Dalam hati, Albirru terus merutuk namun bibirnya masih memberi jawaban seadanya; hanya demi sopan santun. “Penghuni sebelumnya udah pindah. Saya yang ngegantiin.”

“Oh, gitu, rupanya.” Nada bicara lelaki itu masih terdengar sama. Ramah dan bersahabat, membuat Albirru teringat akan sosok Banyu. Lelaki itu beranjak menghampiri Albirru dan mengulurkan tangannya, mengajak berkenalan. “Saya Saint.”

Albirru memandangi uluran tangan si lelaki ( bernama Saint ) itu dengan alis yang terangkat. Sumpah, ia tidak memiliki keinginan untuk berkawan dengan lelaki ini. Kenapa malah dia yang bertindak begini, sih?

“Albirru,” jawab si jejaka Bandung seadanya tanpa membalas uluran tangan Saint. Si lelaki yang mengulurkan tangan masih menyunggingkan senyum walaupun tawaran ramahnya ditolak bulat-bulat. “Ya, udah, ya. Saya mau masuk.”

Pintu pagar dibuka, Albirru pamit undur diri dari depan Saint. Hanya saja, bukannya memahami maksud kalimat Albirru yang ingin menjauh dari Saint— lelaki itu malah naik ke dalam mobil Fortuner putihnya dan memarkirkan mobil itu ke dalam garasi rumah kost Albirru dan Banyu!

'Sabar, Ru.' 'Jangan marah.' 'Kali aja dia mau diem di garasi.'

Sebisa mungkin, Albirru berusaha menenangkan dirinya. Mencoba membuat berbagai macam pemikiran positif bahwa lelaki itu tidak akan nekat untuk ikut masuk ke dalam rumah kost milikny──

“Mas bisa nunggu di luar?” Pada akhirnya kalimat itu terujar dari bibir Albirru ketika mendapati Saint malah mengekori langkahnya untuk masuk ke dalam rumah. “Ini ruang privasi, lho. Masnya bisa tunggu di bangku luar. Tuh, di sana. Ada bangku, bisa duduk di situ, 'kan?”

Saint mengerjapkan mata beberapa kali sebelum akhirnya tertawa renyah. “Saya temen deketnya Banyu, Mas. Biasanya saya nunggu di kamar Banyu sampai dia pulang. Penghuni sebelumnya juga nggak masalah kok, kalau saya masuk ke rumah.”

“Ya itu 'kan pemilik sebelumnya. Kalau saya, nggak terima.”

“Lagian emang Masnya punya hubungan apa sama Banyu sampai-sampai Banyu bisa bolehin Mas masuk ke kamarnya, padahal dia nggak ada di sana?”

Saint menaikkan alisnya, seakan sibuk mencerna ujaran Albirru yang terkesan sangat──penuh dengan emosi. Selama beberapa detik, Saint memperhatikan Albirru dari ujung kepala hingga ujung kaki sebelum akhirnya melengos kecil. “Saya keliatannya kayak punya hubungan apa sama Banyu?”

Albirru meneguk ludah. Sumpah, sosok lelaki di hadapannya ini adalah definisi seorang lelaki tampan sekaligus cantik. Kulitnya putih bersih, bibirnya kecil namun terlihat merah ranum, matanya juga memiliki daya seduksi yang hebat. Semua dugaan di kepala Albirru hanya terpusat ke sebuah kesimpulan : Saint adalah kekasih Banyu.

Persetan dengan ucapan Banyu yang mengatakan bahwa ia straight atau apalah. Semua kepercayaan diri yang dimiliki Saint dan tatapannya yang meremehkan Albirru, rasanya membuat si jejaka Bandung hanya bisa menyimpulkan demikian. Lelaki ini, adalah kekasih Banyu.

“Awas, mobil di sini nggak main-main kalo ngebut.”

Tanpa persetujuan, Banyu meraih tangan Albirru yang berada di sebelahnya. Yang tangannya direngkuh, Albirru, juga hanya terkesiap untuk sejenak sebelum akhirnya membiarkan kuasa Banyu menggenggam tangannya. Keduanya saling menggenggam tangan hanya hingga sampai di jalan penyebrangan di seberang, setelah itu—keduanya saling melepaskan genggam.

Dari arah belakang keduanya, Telaga hanya bisa memandangi dengan pandangan yang sulit untuk dijelaskan. Jujur saja, ia terkejut melihat Albirru yang tidak melawan ketika Banyu menggenggam sebelah tangannya dengan erat seperti barusan. Padahal di masa mereka masih kecil, Albirru sempat menendangi Telaga karena tidak ingin berada dalam jarak radius dua meter. Albirru kecil sempat setrauma itu akan sosok laki-laki. Lalu sekarang? Albirru bisa menerima genggaman tangan Banyu tanpa protes sedikitpun? Heck, seriously— Telaga benar-benar penasaran Banyu memakai mantera apa untuk mendekati Albirru.

Suasana Kwitang di siang hari ini lumayan lenggang. Tidak begitu banyak orang yang berlalu lalang, kalaupun ada paling-paling para orangtua berusia separuh baya yang tengah membuka beberapa lembar koran yang terlihat agak lusuh. Jarang sekali ada remaja yang berada di sekitar ini. Sosok Albirru, Banyu, dan Telaga tampak istimewa di sini.

“Lo nyari buku apaan, sih? Nyari di Gramedia lebih enak, kali. Lebih adem,” ujar Telaga seraya mengibas-ngibasi kerah bajunya karena terik panas Jakarta di siang hari ini benar-benar tidak manusiawi. “Ah, emang cuma Bandung yang paling adem,” lanjut Telaga.

“Gue juga udah bilang begitu ke dia,” sahut Banyu seraya memperlambat gerak langkah kakinya, berusaha membuat Telaga tidak terlalu berada kejauhan dengan langkah kakinya dan Albirru.

“Gue udah bilang, mending ke Gramed atau ke mana, lah, gitu. Eh, dianya masih pengen ke sini. Katanya, ya—sewaktu kecil ‘tuh nyokapnya demen nonton AADC dan dia jadi tau soal Kwitang-Kwitang ini dari sana. Terus pengen banget coba ke sana soalnya selama ini liat dari film doang.”

Untung saja Albirru sudah berjalan dengan langkah cukup cepat sehingga jejaka Bandung itu tidak bisa mendengar dengan jelas perbincangan mereka berdua. Mendengar penjelasan dari Banyu, tak urung Telaga segera tertawa kecil. “Aduh, ampun. Itu anak emang, ya, romantisnya nggak main-main.”

“Tapi, Mas—“, Telaga sedikit mengecilkan volume suara agar Albirru tidak benar-benar mengetahui isi perbincangan mereka. “Mas Banyu sejak kapan deket sama Birru? Aku kaget liat Mas Banyu bisa pegang tangan Birru soalnya setau aku, Birru itu agak takut deket-deket sama cowok kecuali sama temen setim bolanya. Kok Mas Banyu bisa—“

“Udah ciuman, kok.”

“HAH?!”

Sontak, Telaga langsung berteriak dan membulatkan matanya lebar-lebar. Tatapannya benar-benar terlihat tidak percaya terhadap setiap ucapan yang keluar dari mulut Banyu barusan. “AP—HMMMHHH! HNNNHHH!” Seruan Telaga langsung terhenti karena Banyu segera menutup mulut si ( mantan ) teman serumah kuat-kuat dan menarik tubuhnya ke belakang agar semakin menjauh dari Albirru. “HMMMHH! MHAAS! HHHHMMMH!”

Jika diibaratkan, Telaga sudah seperti ikan yang diangkat ke daratan. Gelepak-gelepak nggak jelas, begitu. Banyu segera mendesis, seakan menyuruh Telaga untuk tenang dan tidak membuat Albirru curiga. “Heh! Ga! Sumpah! Nyante aja, nyante!”

“Ya, gimana bisa santai?! Mas, lo nyium Birr—eh, sorry gue panggil pake ‘lo-gue’, tapi ini seriusan nggak gue sangka banget, anjir! Kok bisa lo ciuman sama Birru?!”

Banyu sebisa mungkin menahan tawanya yang seperti akan meledak sekarang juga. Ekspresi Telaga saat ini sangat lucu, matanya membulat dan nada bicaranya sungguh penuh rasa panik. Walaupun Banyu tahu, sih, tidak semestinya ia menertawakan kekhawatiran Telaga tapi tetap saja—lucu.

“Santai, Ga. Santai. Gini, ya—“ Banyu merangkul bahu Telaga dan ikut mengecilkan volume suaranya. “Pertama, lo nggak perlu khawatir akan apapun karena bukan gue yang nyium Birru.”

Mata Telaga lebih membulat daripada sebelumnya. “M-maksud lo, Mas?”

“Ya, itu,” sahut Banyu seraya mengangkat bahunya dengan ringan. “Birru yang nyium gue.”

THE FUCK!?!” Telaga menyumpah dengan suara kencang dan membuat beberapa orang yang ikut melintas di sebelah mereka kini jadi memberi tatapan keheranan. Segera saja, Telaga tersenyum kikuk agar dapat terlepas dari pandangan menilai orang-orang yang melewatinya.

Banyu melepaskan rangkulannya dari pundak Telaga kemudian menepuk-nepuk bahunya dengan santai. “Ga. Lo jangan khawatir. Kadang yang namanya khilaf bisa aja terjadi. Tapi ya, anggep aja ini hal yang baik, lah, ya? Buktinya, gue sama dia udah nggak berantem lagi, ‘kan?”

Telaga memegangi kepalanya, terlalu pusing akan segala hal yang terjadi saat ini. Sumpah, ia kebingungan sendiri akan semua peristiwa yang ada. Dalam waktu sesingkat itu (yang mana Telaga yakini paling tidak hanya sekitar dua bulan), bagaimana bisa Banyu mengubah segala sikap arogan dan rasa takut yang dimiliki Albirru, coba?

“Mas.” Telaga meraih tangan Banyu yang baru saja akan menghampiri Albirru di sebuah toko buku bekas dengan tumpukan buku yang terpajang di depan emperannya. “Mas Banyu, lo nggak bakal mainin Birru, ‘kan?”

Banyu menaikkan alisnya, bingung dengan maksud perkataan Telaga. “Maksud lo?”

“Lo nggak bakal bikin sahabat gue sakit dan ngerasain hal yang sama kayak waktu dulu, ‘kan? Lo nggak bakal bikin dia ngerasa jijik sama dirinya sendiri lagi, ‘kan?” Pertanyaan Telaga dibalas dengan senyum tipis dari Banyu. “Ga,” jawab Banyu. “Gue sendiri masih nggak paham sama perasaan gue.”

“Sahabat lo itu terlalu susah buat gue simpulin kayak gimana wataknya. Gue masih butuh waktu buat pahamin tentang dia, tapi yang lebih penting—gue lebih butuh waktu buat mantapin perasaan gue sendiri. Sebenernya apa yang gue rasain ke Birru? Apa Cuma sekedar perasaan temen spesial atau malah lebih daripada itu? Gue harus cari tau dulu perkara itunya, Ga.”

Telaga menghembuskan nafasnya dengan berat ketika mendengar ujaran Banyu barusan. Telaga paham sepaham-pahamnya bahwa ia sama sekali tidak memiliki hak untuk menilai orientasi seksual siapapun. Sedari remaja, Telaga diajari bahwa setiap orang berhak menikmati cintanya masing-masing dalam bentuk apapun. Keluarga Telaga bersikap sangat terbuka, namun ia sama sekali tidak menyangka bahwa pemikirannya untuk terbuka harus diterapkan kepada sahabat karibnya sendiri, Albirru.

“Lo jangan khawatir, Ga,” Banyu menepuk-nepuki pundak Telaga, berharap dapat membuang sedikit kekhawatiran di pikiran si ( mantan ) teman serumahnya itu. “Terlepas dari gimana perasaan gue ke Birru, gue bisa janjiin satu hal buat lo. Gue nggak bakal bikin Birru ngerasain hal yang sama kayak pas jaman dulu. Gue bakal jagain Birru.”

Telaga mengacak rambutnya sendiri, terlalu merasa gemas dengan segala situasi yang terjadi. “Argh! Gila! Plot twist banget sih, anjing! Ampun, dah. Mas, gue tau lo itu ganteng sama ramahnya kebangetan sampe bisa bikin anak perawan kejang-kejang, tapi mana gue sangka, anak perjaka juga bisa kemakan pesona lo?”

Banyu terkekeh kecil. Sedari awal, ia sama sekali tidak menutup kemungkinan akan segala bentuk cinta yang menghampirinya. Banyu selalu terbuka karena menurutnya sendiri, bentuk cinta itu ada bermacam-macam. Mungkin Albirru adalah cinta untuknya? Mungkin saja, Banyu tidak akan menolak jika memang itu memang sudah suratan takdirnya. Cinta itu—ya, sesederhana itu, bukan?

“Ya udah, kita obrolin soal ini nanti.” Banyu menutup kalimatnya dan bergerak menghampiri Albirru yang tengah berdiri di depan sebuah tumpukan buku, terlihat serius dengan bacaannya. “Gue temenin Birru dulu. Lo ikut, nggak?”

Telaga menggelengkan kepalanya. Ia menunjuk ke arah sebuah warung kelontong yang ada di seberang jalan tempat mereka berdiri saat ini. “Aku ke sana dulu, Mas. Beli minum. Udah mah Jakarta panasnya kebangetan, otakku dibikin panas gara-gara pengakuan Mas barusan. Mas duluan aja samperin Birru. Nanti aku bawain minuman juga. Aqua?”, tanya Telaga yang segera dibalas dengan anggukan dari Banyu.

“Oh. Kalo bisa, Aqua buat Birru jangan yang dingin. Itu anak katanya rada pilek kemarin,” sahut Banyu sebelum meninggalkan Telaga yang masih menganga, tidak percaya dengan ujaran Banyu yang terlihat jelas sangat memperhatikan kondisi Albirru.

Dari arah belakang ketika Banyu meninggalkan dirinya untuk menghampiri Albirru, Telaga hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya; tidak habis pikir. “Gila,” bisik Telaga. “Udah jelas-jelas lagi jatuh cinta, itu mah.”

“Lo kesurupan setan apaan?”

Kalimat itu disuarakan oleh Banyu tatkala ia melihat teman serumahnya sedang duduk di sofa ruang tamu. Bukan apa-apa, biasanya Albirru selalu diam di kamarnya setiap kali mengetahui Banyu telah pulang ke rumah. Biasanya ketika Albirru sedang menonton TV, semua tindakannya segera dihentikan dan ia akan buru-buru berderap ke kamar agar tidak bertemu dengan si teman serumah di lantai dua. Namun sekarang Albirru terlihat santai di sofa ruang tamu, tidak terburu-buru pergi ke kamar untuk bersembunyi atau semacamnya.

Albirru hanya menoleh sekilas kemudian mengangkat bahunya ringan sebagai jawaban untuk pertanyaan Banyu barusan. “Nggak apa-apa.”

Banyu menurunkan tas ranselnya dari gendongan di pundak dan meletakkannya di atas meja dekat pintu masuk utama. Keningnya masih berkerut ketika memperhatikan Albirru yang kelihatannya tidak memiliki keinginan untuk pindah dari bangku sofa. “Lo salah minum obat, ya? Atau lo overdosis pas minum obat yang gue kasih?”, cecar Banyu.

Merasa sedikit khawatir, Banyu segera menghampiri Albirru dan meletakkan tangan kanannya ke dahi si jejaka Bandung sementara tangan kiri berada di keningnya sendiri. Banyu berusaha membandingkan suhu badannya dengan suhu tubuh Albirru, siapa tahu lelaki itu benar-benar dalam state yang mengkhawatirkan hingga melakukan tindak aneh begini. “Nggak, kok. Badan lo nggak panas-panas banget. Wajar-wajar aja..”

Blush.

Padahal itu hanya sentuhan di kening, namun dengan posisi Banyu yang berdiri di hadapan Albirru sementara ia sendiri tengah duduk di sofa membuat sosok Banyu tampak sangat gagah di hadapan Albirru. Padahal Albirru yakin lelaki itu tidak lebih tinggi darinya, akan tetapi pundak yang lebar dan perawakannya yang besar membuat Albirru merasa kecil. Sungguh sebuah hal yang menakjubkan, mengingat sepanjang hidupnya—Albirru Rezkisetya selalu dipanggil dengan julukan raksasa.

“Apaan, sih?!” Albirru menepis tangan Banyu dari keningnya dan segera mengusak rambut poninya sendiri yang sempat terpinggirkan karena ulah tangan si lelaki lantai dua. “Gue sehat. Nggak perlu lebay khawatir sampai sebegitunya, kali.”

Banyu sedikit mengerucutkan bibirnya, kesal sendiri dengan respon dari tindakan yang dilakukannya. “Bilang makasih juga cukup kali. Gengsian banget lo jadi orang,” sahut Banyu dengan nada merajuk yang jelas terdengar. “Gue udah nyari tukang bubur sampai ke kompleks sebelah, mampir ke apotek 24 jam sebelum berangkat kerja. Nggak ada banget itu kata ‘makasih’. Heran gue.”

Dari sofa yang didudukinya, Albirru mengeratkan genggaman tangan yang ia letakkan di atas paha. Ia masih menundukkan kepalanya dalam-dalam, tidak memberikan jawaban apapun terhadap segala kalimat yang diujarkan Banyu barusan.

“Yaaa, dari awal gue juga nggak berharap dapet ucapan makasih, sih.” Banyu masih berujar santai. Ia melangkahkan tungkai jenjangnya ke arah kulkas dan membuka pintu mesin pendingin itu. Tubuh Banyu sedikit dirundukkan, ingin melihat apakah bubur ayam yang ia belikan untuk Albirru pagi tadi sudah disantap atau belum.

Syukur, lah. Dimakan.

Banyu bergumam kecil dalam hati ketika menemukan toples yang semula ia isi dengan suguhan bubur ayam, kini sudah hampir kosong dan hanya terisi sisa-sisa kerukan bubur dalam jumlah sedikit. Lelaki yang lebih tua itu juga mengecek beberapa persediaan buah yang ada di kulkas. Jumlah jeruk dan apel berkurang.

“Obatnya dimakan sesuai yang gue bilang, ‘kan?”, ujar Banyu seraya menutup pintu kulkas dengan perlahan. Pertanyaan Banyu tidak digubris oleh Albirru, si lelaki yang lebih muda masih diam di tempatnya dengan kedua tangan yang terkepal kuat. Banyu sempat melengos kesal dengan segala respon dari Albirru, namun ia tidak ingin kehilangan emosinya lagi di depan lelaki itu. Maka semua amarah ditelan bulat-bulat, dan Banyu memilih untuk mengecek sendiri persediaan obat yang ia belikan khusus untuk Albirru di atas meja makan.

Banyu sempat terdiam sejenak sementara tangannya kini mengangkat beberapa plastik obat dan menghitung jumlah sisanya; ingin memastikan apakah Albirru memakan obatnya sesuai anjuran yang diberikan atau tidaㅡ

“Waktu gue masih SD, gue jadi korban sodomi.”

Baru juga hitungan Banyu sampai di angka lima butir pil obat, tiba-tiba suara Albirru memecah keheningan diantara mereka. Banyu terkesiap, lalu beberapa detik setelahnya ia segera memalingkan tubuh untuk menatapi si lelaki yang barusan berbicara. Sementara itu, Albirru masih menundukkan kepala; menolak untuk menatap si rekan serumahnya.

Banyu ingin menyuarakan kalimat, namun ia sendiri tidak tahu kalimat apa yang pantas ia katakan. Ia takut apabila pertanyaannya bisa terdengar sangat sensitif di telinga Albirru, maka si lelaki yang lebih tua hanya diam di tempatnya; berdiri dengan plastik obat di sebelah tangan, menunggu Albirru melanjutkan kalimatnya dengan sukarela.

Albirru sedikit bersyukur Banyu tidak menanyakan kelanjutan kisahnya dengan agresif. Sesungguhnya, Albirru selalu merasakan ketakutan perihal itu untuk membuka diri perihal masa lalunya. Albirru takut orang yang mendengar ceritanya hanya akan menganggap kisah masa lalu Albirru sebagai sebuah lantunan kisah yang seru untuk didengar. Tanpa merasakan simpati, tanpa mau mengetahui bagaimana perasaan si lelaki itu yang sesungguhnya.

“Gue nggak inget siapa yang ngelakuin itu ke gue. Gue diajak masuk ke sebuah kamar dan dicekokin minuman keras,” Albirru melanjutkan kalimatnya dengan suara getir. Tangan sebelah kanannya mengusapi lengan kiri, membuat gerakan seakan ia sedang berusaha menghangatkan dirinya dari rasa dingin yang menyerang. “Gue masih inget banget bau minuman dan bau ruangan sewaktu itu.”

“Baunya..” “bikin gue mau muntah.”

“Semua yang ada di situ bikin gue ketakutan setengah mati.”

Dengan gerak perlahan, Banyu meletakkan kembali plastik obat di tangannya ke atas meja makan. Tangannya yang bebas kini mengacak rambutnya sendiri, entah mengapa merasakan sesak yang teramat sangat ketika mendengar kisah dari bibir Albirru. Banyu merasa hatinya seperti ditusuk oleh ribuan jarum tak kasat mata, mengingatkannya akan sebuah peristiwa yang ia coba kubur sedalam-dalamnya.

Banyu berusaha mengatur laju nafasnya yang kini terembus tidak beraturan. Dadanya sesak, kepalanya terasa pusing karena tiba-tiba sosok seorang wanita muncul terbersit di pikirannya.

Wanita yang pernah menjadi titik poros kehidupan Banyu. Wanita yang pernah mengajarkan Banyu perihal arti hidup yang sesungguhnya, sebelum akhirnya pergi begitu saja tanpa menepati janji yang pernah mereka berdua buat bersama.

“Semuanya gelap..”

Di situ gelap, Bay..

“Tapi gue inget segimana nafsunya suara laki-laki bajingan itu pas megang tubuh gue..”

Aku jijik sama diriku sendiri, Bay. Aku udah disentuh sama mereka.. Mereka bener-bener sentuh aku semacam aku ini cewek jalang..

“Dia ketawa puas pas masukin gue..”

Mereka ketawa, Bay.. Mereka pake aku gantian.. Aku nggak tau.. berapa kali aku— dipake sama mereka..

“Gue ngerasa nggak pantes hidup lagi..”

Bay.. aku malu..“ “Aku mau mati aja, Bay..

“Gue mau mati aj──”

Ujaran Albirru terhenti karena secara tiba-tiba Banyu sudah merengkuh tubuhnya erat ke dalam pelukan. Tubuh tegap Albirru tampak kecil mungil di pelukan Banyu, membuat si yang lebih muda seperti merasa menjadi anak kecil kembali saat ini.

Sementara itu, Banyu tidak mengatakan apapun di tengah pelukannya pada tubuh Albirru. Tiada kalimat yang terucap, hanya pelukan yang terus dieratkan. Banyu seakan tidak mau melepaskan. Banyu seakan ingin menyampaikan perasaan yang sulit untuk ia jelaskan kepada lelaki itu, kepada Albirru.

“Lo— kenapa?” Setelah beberapa menit diisi dengan keheningan dan dengan Albirru yang direngkuh erat oleh Banyu, akhirnya si jejaka Bandung menyuarakan kalimat. Memberi tanya akan alasan dari setiap tindakan si rekan serumah. “Gue udah nggak apa-apa, woy. Gue cuma kadang suka kebawa parno sendiri. Gue suka keinget sama setiap kejadian waktu it──”

“Maaf..” Satu-satunya kata yang terucap dari bibir Banyu malah pernyataan maaf, diiringi dengan usapan lembut pada punggung kepala Albirru. “Maafin, gue nggak ada di sana ketika lo alamin semua itu..”

Albirru terkesiap. Benar-benar tidak tahu harus berbuat atau mengatakan apa akan kalimat yang diujarkan Banyu barusan. Sejauh yang pernah ia alami, Albirru tidak menceritakan perihal masa kecilnya itu kepada banyak orang. Hanya kepada orang-orang terdekatnya; orangtua, kakak perempuan, Telaga, juga satu lagi sahabat dekatnya.

Hanya mereka yang mengetahui masa lalu Albirru itu. Respon yang diberi pun biasanya berkisar pada isak tangis dan ujaran yang mengharapkan Albirru untuk lupa dan terus bersemangat. Bahwa semua segera berlalu dan hari yang baik akan tiba. Itu saja.

Tidak ada yang memeluknya seerat Banyu. Tidak ada yang mengusapi punggung kepalanya dengan sebegini lembutnya seperti Banyu. Tidak ada yang mengatakan 'maaf' karena tidak bisa menyelamatkannya dari peristiwa menyeramkan itu seperti Banyu.

Tidak ada, tidak ada yang begitu selain Banyu.

Tiba-tiba saja, dada Albirru terasa sesak. Bukan sesak karena menahan sakit yang menyiksa, namun sesak karena ada sesuatu yang hangat membuncah dari dalam dirinya. Seakan terlalu bahagia karena mendapatkan hal yang selama ini paling ingin ia rasakan; pelukan erat, juga kalimat yang mengatakan bahwa semestinya ada ia yang berada di sana. Bahwa Albirru pantas untuk diselamatkan, bukan sekedar pantas untuk dihibur dengan kalimat yang memintanya meninggalkan masa lalu begitu saja.

Albirru tidak bisa menahan air mata, tangisnya meledak di pelukan si lelaki yang tengah merengkuh. Tangan Albirru ikut mencengkeram bagian belakang baju kemeja yang dikenakan Banyu, seakan berharap dengan begitu— Banyu bisa paham bahwa itu adalah cara Albirru untuk menyampaikan rasa terima kasih karena bersedia memeluknya seperti ini.

“Gue masih keinget segala hal yang dia lakuin.. gue masih inget semua.. sesak.. sakit.. semuanya masih kerasa..”

“Sssh..”, Banyu sedikit mendesis ketika tangis Albirru benar-benar terdengar tidak terkendali. Bahkan hingga seperti membuat lelaki itu kesulitan untuk mengambil nafas di tengah isakannya. “Birru. Hei, lo aman di sini.”

“Gue bakal jagain lo. Lo aman di sini, sama gue. Ya?”

Albirru tidak paham akan maksud kalimat yang diujarkan Banyu barusan. Ia ingin menanyakan maksud yang diujarkan Banyu, Apakah itu berarti lelaki itu menaruh hati untuk Albirru? Atau hanya sekedar ingin memberikan kalimat penenang tanpa maksud apapun?

Bolehkah?

“Hei,” Albirru menyuarakan suara setelah bisa menguasai tangisnya. Ia sedikit mengangkat kepalanya ke atas agar bisa bertatapan dengan Banyu yang masih memeluknya erat. “Lo— straight, 'kan?”

Pertanyaan Albirru barusan dibalas dengan senyum tipis dari Banyu. Perlu beberapa detik hingga akhirnya Banyu memberikan jawaban; yang entah mengapa malah terasa bagai petir menyambar di hati Albirru.

“Iya.” “Gue straight.”

Albirru bingung bukan main. Semestinya ia bahagia. Banyu straight, tidak perlu lagi Albirru memasang pagar pembatas di antara ia dan Banyu karena alasan takut lelaki itu menyukainya.

Semestinya Albirru bahagia. Tapi kenapa.. hatinya.. jadi segamang ini? Sekosong.. ini?

Kenapa?

Banyu mengalihkan perhatian dari ponsel di tangan kanan ketika secara tiba-tiba kuasa Albirru mencengkeram lengannya dengan erat. Mata lelaki itu masih terpejam, namun tangannya mencengkeram erat— seakan tidak ingin ditinggal sendirian.

Mungkin Banyu terlalu cepat mengambil kesimpulan untuk hal barusan. Siapa tahu Albirru sebenarnya hanya mengigau dan mencengkeram lengannya sebagai bentuk refleks semata tanpa mengikutsertakan perasaan apapun. Siapa tahu, Albirru masih membencinya karena sudah membentak dan membuat ketakutan.

Namun sungguh, dari bagian otaknya yang paling dalam— Banyu seakan membuat logika bahwa sesungguhnya Albirru hanyalah seorang lelaki yang lemah. Tubuhnya memang tinggi dan tegap akan tetapi ketika tengah terlelap dengan tubuh yang gemetar begini, Albirru tampak seperti anak kecil yang butuh ditemani agar tidak menangis ketakutan.

Mungkin Banyu sudah gila ketika tangan kanannya yang bebas kini malah bergerak menghampiri surai rambut Albirru yang hitam pekat. Jemarinya bergerak menyeka rambut poni yang terjatuh di atas dahi Albirru, menyingkirkannya ke pinggir agar tidak ikut basah karena lelaki itu terus menerus berkeringat. Tatkala rambut poni lelaki itu sudah dikepinggirkan, dahi si lelaki terekspos jelas.

Sumpah. Sumpah. Sumpah.

Banyu berkali-kali menyadarkan dirinya sendiri agar berhenti melakukan geraknya saat ini. Banyu berusaha menghentikan tubuhnya yang sekarang tengah condong ke bawah, mendekati wajah Albirru yang tengah terlelap di sampingnya.

Stop, Banyu! Woy! Sadar, anjing! Athalla Banyurekas, you must sto—

Cup.

Percuma. Semua perintah dari dirinya sendiri untuk menghentikan semua gerak tubuhnya sama sekali tidak dihiraukan oleh semua syaraf. Pada akhirnya, Banyu tetap mendaratkan kecupan di kening Albirru. Pada akhirnya Banyu merasakan jantungnya berdegup bukan main, terlampau cepat, hingga ia merasa ketakutan jika Albirru bisa saja terbangun karena suara detak jantungnya yang sangat keras.

Albirru masih merangkul lengan kiri Banyu. Tampak sangat nyaman, seperti menganggap lengan Banyu adalah bantal guling empuk yang bisa ia peluk semau hati.

Albirru tidak tahu, bahwa si pemilik lengan yang tengah dirangkul itu tengah mengacak-acak rambutnya sendiri dengan gemas. Beberapa kali malah menampari pipinya sendiri, seperti menyuruh segala syaraf dari tubuhnya untuk segera sadar dan tidak melakukan hal bodoh lagi.

“Hnn—”

Di tengah kekalutan yang dirasakan oleh Banyu, Albirru menggumam dalam tidurnya. Bukan gumaman dalam arti yang istimewa, ia hanya sedikit mengerang seperti dihampiri mimpi yang buruk lagi.

Banyu mengangkat tangannya, lagi-lagi tanpa persetujuan akal dan logikanya lelaki itu kembali mengusapi puncak kepala Albirru. Membiarkan jemarinya terbenam di antara surai rambut hitam pekat milik si teman serumah, berusaha menyampaikan pesan tersirat bahwa ia tidak sendirian.

Cahaya lampu kamar Albirru menimpa bayangan dua lelaki yang berada di bawahnya. Sedikit kerlip kilau terlihat sekilas dari bebatuan berwarna hitam putih yang terlingkar di masing-masing pergelangan tangan Banyu dan Albirru.

Gelang itu, masih mereka pakai.

Tok. Tok. Tok.

Albirru mengetuk pintu kamarnya sendiri dari arah dalam. Tiga kali, tidak mendapatkan jawaban. Pada akhirnya, ia menyuarakan suara dari dalam kamarnya. “Woy. Lo di sana, nggak?”

“Apaan?”, jawab Banyu singkat. Suaranya sedikit teredam karena selaan suara dari speaker televisi di lantai satu. “Lo kekunci atau gimana?”, lanjut Banyu tanpa bangkit dari posisinya semula yang masih mengunyah semangkuk popcorn di bangku sofa ruang tamu.

Mengetahui bahwa Banyu ada di tempat yang cukup jauh dari kamarnya, Albirru memberanikan diri untuk membuka sedikit daun pintu kamar. Tidak banyak, namun cukup untuknya melongokkan kepala ke luar. “Woy. Gue mau ngomong.”

Mendengar ujaran Albirru, Banyu membalas dengan nada tidak acuh. Namun si lelaki bertubuh tegap itu meraih dan mengecilkan volume televisi agar bisa mendengar ujaran si jejaka Bandung dengan lebih jelas. “Ya udah, ngomong.”

“Lo ... straight, ‘kan?”

To the point. Bahkan tanpa ujaran basa-basi sedikitpun.

Pertanyaan Albirru barusan tidak segera dibalas oleh Banyu. Lelaki yang duduk di sofa ruang tamu itu hanya terdiam dan memandangi layar televisi di hadapannya dengan pandangan nanar. Untuk beberapa saat, tidak ada suara lain yang terdengar selain suara pengisi suara di sebuah acara. Albirru yang merasa pertanyaannya tidak dihiraukan, akhirnya berseru sekali lagi. “Woy! Gue nanya, nih!”

Banyu menghela nafas sejenak sebelum akhirnya menghembuskan dengan sekali embusan berat. “Bukan urusan lo, kali,” jawab Banyu dengan nada ketus.

Sumpah, baru sekali Albirru mendengar suara teman serumahnya itu seketus demikian. Biasanya, walaupun Albirru tahu Banyu tengah kesal dengan setiap tindakannya, lelaki itu tidak pernah berujar dengan nada ketus kepada Albirru. Nada bicaranya masih terdengar ramah walaupun diselipi nada jengkel diantaranya.

“Itu urusan gue juga!” Albirru sedikit berseru dari posisinya yang masih berdiri di selusur daun pintu kamar. “Kalo lo bisa jawab lo straight, gue nggak bakal ngediemin lo lagi! Gue nggak bakal ketakutan dan nggak bakal mikir macem-macem lagi!”

Seruan Albirru barusan membuat Banyu menolehkan kepala dan memberikan atensi sepenuhnya ke arah kamar si teman serumah. Ia menatap lurus-lurus kepala si jejaka Bandung yang kini tengah sedikit menunduk, seakan malu dengan kalimat yang ia ujarkan barusan.

“Emang lo pikir kalau misalnya gue straight, gue nggak akan ngelakuin hal-hal jahat ke lo?”, tanya Banyu dengan nada terlampau dingin. “Kalau gue bilang gue straight, tetep aja gue bisa bunuh lo. Gue bisa tipu dan bawa kabur duit lo. Dengan gue kasih tau gue straight atau nggak, hidup lo nggak bakal bisa jadi lebih tenang, dude.”

Jujur, Albirru langsung merasakan bulu kuduknya berdiri ketika mendengar nada bicara Banyu barusan. Rasanya Albirru seperti dipaksa untuk masuk ke sebuah gua gelap dan dikungkung tanpa ruang untuk keluar, suara dingin Banyu sebegitu mengintimidasinya.

“Jangan bawa omongannya jadi muter-muter. Gue cuma nanya satu hal dan lo cuma perlu jawab! Lo straight atau nggak?!”

Albirru Rezkisetya bukanlah seorang lelaki yang mudah untuk dimintai maaf. Rasa gengsi dan harga diri si jejaka Bandung itu terlalu tinggi, egonya terlalu biasa dimanjakan karena statusnya sebagai anak bungsu di keluarga yang kerap mendapatkan apa yang diinginkan tanpa perlu bersusah payah. Albirru masih memaksa Banyu untuk memberikan jawaban walau ia sendiri sudah mendapat pertanda bahwa Banyu tidak menyukai topik pembicaraan mereka sekarang.

Sementara itu di bangkunya, Banyu hanya terkekeh kecil seraya memasukkan satu persatu popcorn di mangkuk genggamannya dengan gerakan perlahan. “Ru. Lo beneran masih kecil banget, ya? Cemen banget.”

“Maksud lo apaan, jing?! Gue cemen?!” Albirru sedikit terbawa emosi akan ujaran Banyu. Kini ia tidak lagi bersembunyi di balik daun pintu, si jejaka Bandung itu kini berderap menuju ruang tamu dan berdiri dengan sikap menantang ke lelaki bertubuh tegap di hadapannya. “Ngomong yang bener, sat! Lo yang boong sama gue bertaun-taun! Lo yang kayak anak kecil, ketawa haha-hihi di balik akun cewek, bikin salah paham! Jangan malah mutarbalikin keadaan!”

“Lo cemen banget, anjing.” Banyu masih berujar dengan nada tenang, sepertinya masih bisa menguasai amarah walaupun genggamannya pada mangkuk popcorn di tangan semakin dieratkan. “Masalah roleplayer aja lo bawa-bawa sampai tahap lo nilai orientasi seksual segala. Dude, stop being childish. Selama gue jadi Dahyun, gue juga ngewe sama cewek asli. Gue coli tiap minggu tanpa mikirin lo dan akun Jungkook lo itu. Shoot! I’m not that pathetic.

Albirru mengepalkan tangannya kuat-kuat. Oke, memang awalnya ia hanya ingin mengetahui orientasi seksual lelaki di hadapannya ini. Ia bertekad, jika Banyu memang straight dan masih menyukai wanita, maka ia akan menganggap semua yang terjadi di masa lalu hanyalah sebuah kesalahan. Tidak perlu diingat-ingat. Namun melihat tingkah dan ucapan Banyu yang ( menurutnya ) sok superior, Albirru jadi ikut naik pitam.

“Gue nanya baik-baik, ya. Jangan bikin gue jadi naik emosi.” Albirru berujar dengan nada menggeram. “Lagian apa susahnya lo tinggal jawab ‘i’m straight’ coba? Kalau lo emang bener-bener muak sama tingkah gue yang menurut lo cuma bisa bikin stress, lo tinggal bilang begitu. Gue puas. Masalah kita selesai.”

“Lo kenapa, sih?” Pertanyaan singkat dari Banyu langsung membuat Albirru terkesiap. Si jejaka Bandung langsung membeku di tempat, seakan membatu. “Emang orientasi seksual gue sebegitu pentingnya buat lo? Dude, we’re living in 2020! Lo nggak bisa mikir negatif ke mereka yang emang percaya bahwa mereka berbeda. Lagian lo pernah diapain, sih, sama orang yang nggak straight sampai lo sebegininya ngedesak gue?”

Kepalan tangan Albirru yang semula sangat erat, tiba-tiba mengendur. Lututnya tiba-tiba terasa lemas dan nafasnya juga sesak seperti dicekik oleh sesuatu yang tidak kasat mata. Perlahan Albirru memundurkan langkah hingga akhirnya benar-benar membalikkan tubuh sepenuhnya, ia berderap ke arah kamar kemudian membanting pintunya keras-keras.

Banyu yang ditinggalkan di ruang tamu, hanya bisa mengacak rambutnya; merasa kesal bercampur bingung juga rasa bersalah yang tiba-tiba menguasai diri. Apa gue tadi salah ngomong? Tapi iya juga──gue tadi sampai ngebentak dia segala, sih. Argh! Tapi dia yang provokasi gue sampai gue nggak bisa jaga emosi!

Banyu bukan lelaki yang mudah kehilangan kendali atas emosinya. Ia paham, usianya sudah cukup matang untuk dapat bertindak dengan pikiran jernih tanpa perlu mengikutsertakan emosi di dalamnya. Namun barusan ketika Albirru mendesaknya terus menerus dan memberikan omongan yang tanpa alasan jelas, Banyu jadi kesal sendiri. Menurutnya, tindakan Albirru terlalu kekanakkan.

Sesungguhnya, Banyu bisa saja menjawab dengan jawaban sesungguhnya. Banyu straight. Banyu menyukai perempuan. Barisan mantan kekasih Banyu adalah perempuan, belum pernah terselip lelaki di daftar mantannya. Bisa saja Banyu menjawab pertanyaan Albirru dengan jelas, maka hubungan mereka bisa berjalan dengan baik sebagai teman serumah.

Namun Banyu tidak suka dengan cara lelaki itu mengujarkan pertanyaannya dengan nada menjatuhkan satu pihak. Banyu memiliki banyak teman yang memiliki preferensi seksual berbeda dengan kebanyakan. Tidak ada yang salah bagi Banyu, mereka bisa tetap menjadi teman yang baik bagimya. Tidak ada yang perlu dijadikan alasan untuk jijik hanya karena mereka memperjuangkan cinta yang berbeda.

Banyu sama sekali tidak berniat untuk membentak Albirru. Hanya saja, tatapan dan nada bicara Albirru terlalu menyebalkan bagi Banyu. Tatapan lelaki itu seperti jijik, tatapan Albirru seperti benci.

Di ruang tamu, Banyu masih duduk dengan kedua tangan memegangi kepalanya. Pandangannya tertunduk sementara nafasnya masih berusaha ia atur agar dapat terembus seperti biasa; agar tidak terlalu cepat. Banyu ditekan dilema untuk meminta maaf atau tidak kepada Albirru.


⚠️ — TW : rape, childhood trauma, depression. harap melangkahi cerita dengan penanda [ ⚠️ ] apabila anda tidak berkenan membaca cerita dengan suguhan konten tertera di atas.


Di lain sisi, pada kamar yang pintunya tertutup rapat──Albirru terduduk dengan kaki terlipat, ia menekuk lututnya kuat-kuat. Tubuh si jejak Bandung meringkuk dan gemetar hebat; seperti menggigil.

Lagian lo pernah diapain, sih, sama orang yang nggak (straight) sampai lo sebegininya ngedesak gue?”

Albirru menggigiti kuku ibu jari kanannya dengan tubuh yang masih gemetar hebat. Tidak hanya kuku ibu jari, Albirru berganti menggigiti kuku jemarinya yang lain. Berantakan, hingga air liurnya sendiri ikut merembes ke dagu saking geraknya tidak beraturan.

“Hhh.. hh-kkh..”

Dada Albirru langsung terasa sesak secara tiba-tiba. Lehernya seperti tercekik oleh sesuatu yang tidak kasat mata. Albirru memukuli dadanya sendiri, berkali-kali.

Bugh. Bugh. Bugh.

Suara pukulan terdengar samar, seperti teredam karena Albirru memukuli dadanya sambil meringkukkan badan. Albirru memukuli dada dengan harapan sesuatu yang tengah mencengkeram dadanya itu bisa pergi dari sana. Menghilang, dan membuat ia bisa bernafas lagi.

“Ahk—hh.. nnhh..”

Padahal tidak ada yang menyakiti fisik Albirru, namun lelaki itu masih meringkuk di lantai dan membuat suara seakan ia tengah disakiti oleh sesuatu. Albirru menjambak rambutnya sendiri dengan kuasa kanan, sementara kuasanya yang bebas memukuli lantai dengan kekuatan yang cukup keras.

BUK. BUK. BUK.

Albirru menangis tertahan. Bibirnya ia gigit kuat-kuat, tidak ingin suara tangisnya terdengar hingga ke telinga Banyu yang berada di luar.

Tanpa diminta juga tanpa diinginkan, Albirru memutar sebuah memori dari masa lalu yang muncul samar-samar. Tentang ia yang ada di sebuah kamar, juga sosok seorang lelaki bertubuh tambun yang tertawa dengan suara paling menjijikkan.

Kamar yang gelap, kamar yang diisi botol minuman berwarna hijau yang tergeletak berantakan. Bahkan saat ini, Albirru bisa mencium bau menyengat dari minuman di botol itu bercampur dengan bau pengap dan apek dari kamar yang sudah lama tidak dibuka.

Albirru menutup kedua telinga karena indera pendengarnya itu seperti memperdengarkan suara yang ia yakini hanya sekedar ilusi. Albirru mendengar suara besi ranjang yang berdecit, suaranya nyaring── derit memekikkan telinga karena besinya sudah berkarat itu membuat Albirru ingin muntah.

Tubuh Albirru tiba-tiba terasa panas. Sosok laki-laki bertubuh tambun yang awalnya terlihat samar itu kini menjadi semakin jelas. Wajah lelaki itu memenuhi pikiran Albirru, membuatnya teringat akan ekspresi penuh nafsu ketika menggerayangi tubuh si lelaki kecil. Albirru teringat bau nafas busuk si lelaki itu di belakang tubuhnya ketika ia ditengkurapkan di atas kasur yang seprainya bau pesing.

Albirru merasakan sakit di analnya, Albirru merasakan sakit di rambutnya yang dijambak kuat. Semua itu terasa, jelas── sangat jela...

“ARRRRGHHH!” “JANGAN KE SINI!” “PERGI! PERGI, SANA!”

Albirru tidak bisa lagi mengatur semua emosinya. Teriakannya lolos, tubuh si lelaki berkeringat deras padahal ia sendiri merasa setiap bagian tubuhnya menggigil hingga ke tulang.

Albirru, lepas kendali.

⚠️ — end.


Di luar kamar, tepatnya di ruang televisi, Banyu yang masih terduduk di sofa tiba-tiba terkejut dengan teriakan Albirru.

Sesungguhnya, Banyu sudah mendengar suara debuman samar dari dalam kamar Albirru. Seperti suara lantai yang ditinju berkali-kali, namun lelaki itu menganggap Albirru sedang melampiaskan emosinya semata. Maka Banyu hanya diam di bangkunya, ikut berusaha meredakan emosinya yang masih meluap.

Namun teriakan Albirru barusan bukan seperti teriakan seseorang yang sedang merasa emosi. Itu teriakan minta tolong, desperately seeking for help.

Sontak, Banyu berderap ke kamar Albirru dan menggedor pintunya berkali-kali. Berusaha mencari tahu situasi lelaki itu di kamarnya. “Birru! Ru! Lo kenapa? Hei!”

“NGGAK!” “BIRRU NGGAK MAU!” “BIRRU MAU KELUAR!” “NGGAK!”

Panggilan Banyu tidak dibalas oleh apapun, Albirru malah semakin berteriak kencang. Bahkan sekarang Banyu mendengar suara kaki yang diinjak-injakkan ke tanah dengan ritme berantakan, seperti seseorang yang mencoba melawan diri untuk lepas dari sesuatu.

Tanpa permisi, Banyu memutar kenop pintu kamar Albirru dan membukanya dengan cepat. Yang ia lihat setelahnya adalah Albirru yang tengah memeluki dirinya sendiri seraya terbaring di atas lantai. Tubuhnya bergerak ke sana kemari, matanya tertutup seperti ketakutan. Kakinya menendang ke sana kemari, tak tentu arah.

“Birru!” “Birru! Hei!” “Birru! Ini gue, Banyu!”

“PERGI!” “PERGI! PERGI!” “JANGAN! NGGAK MAU!”

“Birru!” “Birru, nggak apa-apa!” “Birru, lo mesti tenang.” “Gue Banyu, Ru.” “Lo aman sama gue.”

Ujaran bernada menenangkan dari Banyu cukup bisa membuat Albirru tenang. Kakinya tidak lagi menendang ke sana kemari, teriakannya tidak lagi terlalu membahana. Namun tetap saja, jejaka Bandung itu masih meringkuk dengan kedua tangan yang menutupi kedua sisi telinganya dan menangis terisak hebat.

“Sssh.. Ru.” “Ru, tenang..” “Ada gue, Ru.” “Lo nggak sendirian.”

Banyu memeluk tubuh Albirru yang masih meringkuk, tangannya dilingkarkan dan menepuki punggung teman sekamarnya itu dengan lembut; berharap bisa menyampaikan rasa nyaman untuk Albirru.

Albirru masih menggigil, tangisnya masih terisak, akan tetapi ia tidak menolak pelukan dari Banyu. Di tengah tangisannya, sesekali Albirru masih menggumam dengan nada yang teramat pelan; seperti mencicit. “Pergi...”

“..Jangan ke sini..” “Pergi..”

Walaupun mendengar suara cicitan Albirru, Banyu sama sekali tidak menginterupsi. Ia masih tetap menepuki punggung Albirru dengan perlahan, sesekali diselingi dengan usapan lembut di puncak kepala. “Sshh, Birru.. nggak apa-apa. Lo aman di sini. Nggak bakal ada yang jahatin lo, Ru.”

“Ada gue di sini.” “Gue nggak ke mana-mana.”

Ketika itu, Banyu tidak pernah sadar bahwa ucapannya itu pada akhirnya berubah menjadi sebuah janji; yang harus ia tepati.

Athalla Banyurekas tidak menduga bahwa kalimatnya bisa berubah menjadi sebuah sumpah. Untuk tidak pergi ke mana-mana. Untuk selalu ada, menemani lelaki bernama Albirru Rezkisetya.

“Sampai kapan mau duduk di kasur gue? Gue mau ganti baju, nih.”

Hampir sepuluh menit berlalu semenjak tragedi teriakan diantara mereka berdua. Bahkan Albirru harus menenangkan diri di atas kasur milik Banyu karena kepalanya terlampau pusing, tidak yakin mampu berjalan turun ke lantai satu.

“Bentar. Gue lagi mikirin semua dan coba ambil kesimpulan..” Suara Albirru terdengar sedikit ketus. Tidak ada lagi panggilan 'saya' untuk dirinya sendiri, ia mengubahnya ke kata ganti 'gue'── entah karena merasa sudah kenal lama dengan Banyu atau karena ia terlampau kesal dengan kenyataan bahwa selama ini ia menghabiskan waktu dua tahun bersama seorang laki-laki?!

“Jadi..” Albirru sedikit mengangkat kepalanya untuk menatap lurus ke arah Banyu yang masih berdiri di ambang pintu masuk menuju kamar. “..lo─ beneran Dahyun?”

Banyu menggaruk pipinya yang sama sekali tidak gatal, lebih karena alasan merasa kikuk; tidak tahu harus menjawab apa atas pertanyaan lelaki di hadapannya sekarang. “Yaaaa..”, nada bicara Banyu terdengar menggantung. “..anggap aja begitu, lah.”

“Anjing. Anjing. Anjing.” Tidak lama, Albirru mengacak-acak rambutnya sendiri. Terlalu merasa gemas dengan segala situasi yang tengah terjadi. “Anjing, kok bisa, sih?”

Rutukan Albirru membuat Banyu terkekeh kecil. Tidak lagi menunggu persetujuan dari Albirru, Banyu kini berjalan menuju lemari baju di dalam kamar dan membuka pintunya; berniat untuk mengganti kaus dalamnya dengan kaus biasa. “Kenapa emangnya kalau gue Dahyun? Lo nggak nyangka cowok badan kayak Ade Rai begini bisa ngetik manis begitu?”, ujar Banyu seraya membuka kaus dalam kenaannya sehingga kini tubuh lelaki itu terekspos jelas.

“Ya, bukan gitu. Gue nggak pernah nyangka aja kalau Dahyun itu cow── shit!” Albirru langsung menghentikan kalimat ketika matanya melirik ke arah kanan dan melihat Banyu tengah bertelanjang dada. Bukan deg-degan, sih. Apa, ya? Albirru langsung merasa insecure karena membandingkan tubuh gagah Banyu dengan tubuhnya sendiri yang biasa-biasa saja. “Bilang kek kalau mau ganti baju!”

“Apaan, dah?” Banyu terlihat masih melakukan tindakannya dengan teramat santai. Tubuh bagian atasnya masih dibiarkan telanjang, sementara kuasanya masih memilih-milih kaus mana yang akan ia kenakan hari ini. “Sama-sama cowok ini, 'kan? Kayak nggak pernah liat cowok naked aja.”

Albirru merasakan wajahnya tiba-tiba memanas. Sial! Jangan bilang muka gue sekarang merah! Albirru merutuk dalam hati seraya menaikkan hoodie jaket yang dikenakannya, berusaha menutupi wajah yang kemungkinan tengah memerah.

Bukan tanpa alasan jika Albirru merasakan wajahnya memerah dan panas. Seumur hidupnya, Albirru tidak terbiasa melihat orang lain telanjang di depannya. Jangankan perempuan, bahkan laki-laki pun tidak pernah. Di tim sepak bola yang ia pimpin ketika SMP dan SMA pun, rasanya hanya Albirru sendiri yang mengganti baju di dalam ruang ganti. Teman-temannya yang lain biasa mengganti baju di ruang ganti dekat dengan loker, beramai-ramai.

Mungkin itu yang menjadikan Albirru tidak berani melakukan hubungan yang lebih jauh dengan si mantan kekasih, Frederica, walaupun mereka sudah berpacaran cukup lama. Yah, sekedar berbagi ciuman dengan lidah atau sedikit remasan di sana-sini── pernah, sih. Namun di luar itu, nihil. Albirru tidak pernah mengambil inisiatif ke arah sana.

Alasannya? Entah. Albirru juga bingung. Ia sendiri juga tidak tahu mengapa ia merasa sebegininya ketika melihat orang lain melakukan hal demikian. Jika memang ada alasan dari masa lalu, Albirru tidak ingat apapun.

“Lo ngapain pake hoodie di dalem ruangan, dah?” Pertanyaan Banyu membuat Albirru segera menggelengkan kepala dengan cepat. “Lo malu liat gue ganti baju atau apaan? Udah pake baju nih, gue.”

Banyu mencoba menurunkan hoodie yang menutupi kepala Albirru. Namun si jejaka Bandung tiba-tiba menaikkan pandangannya ke arah kanan, arah tempat Banyu berada. Tangan Banyu yang awalnya berniat menurunkan hoodie tiba-tiba terhenti di udara, mata si lelaki lebih tua kini bertatapan dengan manik coklat Albirru yang tengah menengadah menatapnya.

Pernah tidak, kalian merasakan waktu berjalan sangat lambat? Seperti──apa, ya? Seakan satu detik itu seperti satu menit, juga suara detik jarum jam seakan terdengar sangat perlahan.

Tik. Tok. Tik. Tok.

Dalam waktu yang sangat singkat, kedua manik mata Banyu menyusuri wajah Albirru. Hidung lelaki yang tengah duduk di kasurnya itu sangat bangir, bibirnya mirip seperti chestnut── atau jelly?, lingkar wajah lelaki itu juga sangat kecil.

Di sisi lain, Albirru juga mau tidak mau ikut menilai sosok Banyu di atasnya. Lelaki itu melihat garis dagu yang sangat tegas dari Banyu, sebuah hal yang dapat dibilang tidak dimiliki oleh Albirru. Wajah si jejaka Bandung memang tidak tembam, namun tidak sampai membuat garis dagu yang tercetak jelas seperti milik Banyu. Katakanlah, Banyu memiliki tipe wajah yang tampan layaknya lelaki dewasa dengan segala pesonanya sementara Albirru lebih pantas disebut ganteng karena wajahnya yang di atas rata-rata. Mereka mirip, namun berbeda dengan caranya sendiri.

Deg. Deg. Deg.

Entah sejak kapan, suara detik jarum jam berganti dengan suara degupan jantung yang bertabuh sangat keras layaknya gendang penanda perang. Banyu merasa dadanya sesak, begitupun dengan Albirru yang merasakan dadanya penuh akan sebuah hal tak kasat mata.

“BIRRRUUUUU!!!”

Tiba-tiba, suara teriakan dari lantai satu terdengar membelah keheningan. Sontak Banyu dan Albirru segera tersadar dari lamunan masing-masing, keduanya langsung terbatuk-batuk ( yang sudah jelas dilakukan hanya untuk mencari pengalihan ). Banyu mengacak rambutnya dan berjalan ke arah jendela, berusaha menciptakan jarak dengan sosok si penghuni lantai satu. Albirru bahkan segera bangun dari atas kasur dan sedikit melakukan lompat-lompat kecil seperti pemanasan sebelum mulai bermain sepak bola. Keduanya salah tingkah.

“BIRRRRUUU! LO DI MANA?!”

Suara Telaga terdengar kencang, mencari sosok si sahabat di lantai satu namun tidak ada siapapun di sana. “BIRR──”

“Berisik, Nyet.”

Tiba-tiba, sosok Albirru muncul dari kamar Banyu dan membuat Telaga kebingungan bukan main. “Lho? Kok lo di situ? Lo ngapain di sana? Lo udah kenalan sama Mas Bany──eh, halo, Mas.”

Telaga mengangkat tangan kanannya, memberi sapa kepada Banyu yang muncul di belakang sosok Albirru. Banyu membalas sapaan Telaga dengan melambaikan tangan singkat, “Yo, Ga.”

“Lha. Aku kira kalian tuh' lagi berantem, lho? Tapi kok malah di kamar barengan? Udah nggak berantem?”

Albirru melirik ke samping kanannya, melihat sosok Banyu yang berdiri di sana. Biasanya, Albirru bisa melihat puncak kepala siapapun yang berdiri di sampingnya karena tinggi badan si jejaka Bandung itu memang jauh lebih tinggi dibanding lelaki Indonesia kebanyakan. Tinggi badan Albirru 185 sentimeter, tidak banyak lelaki yang bisa mengimbangi.

Namun sekarang, Banyu berdiri di sampingnya dan Albirru hanya bisa melihat sebatas hidungnya saja. Tidak sampai puncak kepala, menandakan lelaki penghuni lantai dua itu juga sama tinggi sepertinya. Sialnya, hal itu malah membuat degup jantung Albirru tiba-tiba berdetak lebih cepat.

Anjing! Tenang kek, lo!

Albirru berusaha menenangkan jantungnya dengan memberi telepati walaupun sepertinya tidak begitu signifikan, sih.

“Nggak berantem, kok.” Banyu tiba-tiba menyela ucapan Telaga dan tanpa persetujuan siapapun, ia malah merangkul pundak Albirru. Menunjukkan tindak tanduk seakan mereka sudah akrab dan situasi Dahyun-Jungkook tidak pernah terjadi. “Kita nggak berantem, 'kan, Dek?”

Deeek?!

Dalam hati, Albirru meneriakkan kata yang diucapkan oleh Banyu. Seumur-umur, tidak pernah ada yang memanggilnya dengan nama panggilan 'Dek' walaupun itu seniornya di sekolah atau kampus. Hanya keluarganya yang memanggil demikian. Semua orang selain keluarganya menganggap lelaki dengan tinggi badan 185 sentimeter tidaklah pantas dipanggil dengan sebutan 'Dek'.

Lalu lelaki ini, Banyu, tanpa seizin siapapun memanggilnya dengan panggilan 'Dek'─ HAH?!

Albirru merasa tidak nyaman dengan situasi ini sehingga tangan Banyu yang terangkul di bahunya kini sedikit dijauhkan, memberi isyarat bahwa ia enggan disentuh oleh lelaki penghuni di lantai dua itu. “Awas. Gue mau ke bawah.”

Mendengar ujaran Albirru, Telaga sempat membelalakkan matanya sekilas. Ia tidak salah dengar, 'kan? Barusan Albirru menggunakan kata ganti 'gue' kepada Banyu yang jelas-jelas lebih tua daripada dirinya sendiri?

Tatkala Albirru sudah sampai di lantai satu, Telaga segera menghampiri si sahabat dan berbisik-bisik dengan nada mendesis. “Heh! Lo gila, apa? Mas Banyu itu lebih tua daripa lo, nyet! Nggak sopan bener udah panggil gue-elo ke dia?”

BRUGH!

Seakan tidak menghiraukan ujaran Telaga, Albirru tetap berjalan lurus menuju kamarnya di lantai satu. Hingga akhirnya pintu kamar dibanting dengan cukup keras, membuat Telaga hanya bisa diam di luar kamar dan menggaruki kepalanya dengan ekspresi bingung. “Yeee. Si monyet, kerjaannya ngambek melulu! Kayak cewek, lo, Ru!”

“Ga.” Tiba-tiba dari arah lantai dua, Banyu menyuarakan suara. Tubuhnya disandarkan ke selusur pagar penyangga yang membatasi lantai dua ke lantai satu. “Temen lo orangnya gampang sensian, ya?”

Telaga terkekeh kikuk seraya menggaruki pipinya yang sama sekali tidak gatal. “Hehehe. Ya gitu, deh, Ma──”

“GUE NGGAK SENSIAN YA, BANGSAT!”

Suara dari kamar di lantai satu tiba-tiba terdengar membahana dan membuat Telaga tersentak kaget, begitupun dengan Banyu yang juga ikut tersentak namun kemudian dilanjut dengan tawa yang renyah.

“NYANTE AJA, MONYET!” Telaga balas berteriak, terlampau kesal dengan tindakan si sahabat yang terkadang dianggapnya berlebihan. “Apaan, sih, suka lebay banget pake ngamuk tiba-tiba?!”

Dari lantai atas, Banyu hanya tertawa ketika melihat tindak dua sahabat itu. Sekilas, bebatuan berwarna hitam-putih dari gelang yang ia kenakan sedikit berkilat karena ditimpa sinar cahaya lampu.

Banyu sedikit tersenyum tipis ketika mengingat bagaimana takdir rupanya membawa ia bertemu dengan si pemberi gelang yang sudah hampir dua tahun melingkar di pergelangan tangannya itu.

Memang benar, ya. Semesta senang bercanda.

“Gue nekat banget, anjir. Ke PIM jalan kaki di siang bolong begini. Panas, bangsat. Panaas. Hareudang, nyet.”

Kedua tangan Albirru tengah menenteng dua buah kantong plastik yang di dalamnya terisi berbagai keperluan sehari-hari, guna melengkapi kesehariannya selama berada di Jakarta. Bukan tanpa alasan jika Albirru memutuskan untuk berangkat ke Pondok Indah Mall dengan berjalan kaki. Alasannya adalah karena ia ingin berolahraga, walaupun itu hanya sekedar berjalan kaki saja. Lagipula jarak rumah kostnya ke Pondok Indah Mall tidak terpaut jarak cukup jauh, paling-paling tidak sampai satu kilometer.

Jarak yang pendek bagi Albirru yang terbiasa menghabiskan waktu dengan berlari-lari di lapangan bola sampai berkeringat. Satu kilometer? Ah, cetek.

Sialnya, Albirru melupakan poin bahwa ia kini berada di tanah Jakarta yang super-panas. Bukan di tanah bumi pasundan yang diselimuti kesejukan walaupun matahari berada di atas kepala. Di Jakarta, matahari seperti terus-menerus marah. Menyeruakkan cahaya sekaligus panasnya, membuat gerah bukan main.

Akibatnya, ya, begini. Sepanjang perjalanan menuju rumah kost, Albirru terus-terusan merutuk dan menggerutu dalam bahasa Sunda. Sebenarnya, sih, bisa saja ia memilih untuk naik ojek online namun hell-o... jaraknya tidak sampai satu kilometer! Sayang sekali uangnya, 'kan?

( Iya. Tolong garis bawahi bahwa seorang Albirru Rezkisetya adalah orang yang sangat perhitungan tentang uang. )

Perjalanan yang dirasa sangat panjang kini menemui akhir. Hanya tinggal beberapa meter hingga akhirnya Albirru bisa mencapai rumah kostnya. Nafas si jejaka Bandung sedikit tersengal, terlihat jelas sebagaimana ia sangat membenci situasinya saat ini. Keringat yang bahkan membasahi kaus, kantung berat di kedua sisi tangan── ARRRGH!

“Mas. Permisi. Blok MG nomor 8, 'kan, ya?”

Baru saja Albirru akan membuka pintu pagar dari rumah kostnya, tiba-tiba sosok seorang lelako berjaket merah dengan logo sebuah perusahaan ekspedisi tertera di bagian dada, menyapa dirinya. Albirru mengangguk kecil. “Iya. MG nomor 8, ini.”

Si kurir ekspedisi tersenyum lebar kemudian mengeluarkan sebuah kotak berukuran cukup besar dari kantung yang terpasang di bagian jok motornya. “Ini, Mas. Paket. Tadi saya telfonin ke yang punya barang tapi nggak diangkat-angkat.”

Setelah menerima paket yang disodorkan, Albirru menyipitkan matanya untuk mengetahui siapa sebenarnya pemilik asli dari penerima paket di tangannya.

Athalla Banyurekas.

“Wah. Bukan punya saya, ini. Mungkin punya orang yang tinggal di kamar lain, Mas.”

Tatkala Albirru berencana menyerahkan kembali kotak paket itu kepada si kurir, lelaki berjaket ekspedisi itu segera berujar cepat. “Mas. Boleh titip nggak, ya? Saya masih harus ke tempat lain. Dari tadi saya telfonin ke nomor handphonenya tapi nggak diangkat-angkat.”

Paham bahwa si kurir memang sepertinya benar sedang sibuk, Albirru akhirnya mengiyakan permintaan si lelaki. “Oke, Mas. Saya kasih ke pemiliknya nanti.”

“Makasih banyak, ya, Mas. Saya permisi kalau begitu.”

Pamit diberi, diikuti dengan suara motor yang berderu beberapa detik setelahnya. Sekarang hanya tinggal Albirru dengan kedua kantung belanjaan juga sebuah kotak paket ( yang kemungkinan ) milik si teman kost serumahnya.

“Ah, elah..”

Albirru, lagi-lagi merutuk.

Thanks, God. Finallyㅡ!

Jakarta sudah mulai gelap ketika Albirru memberhentikan mobil Fortuner hitamnya di depan pagar sebuah rumah yang bisa dikatakan cukup megah. Mesin mobil masih menyala hingga beberapa menit setelahnya karena si pengemudi terlihat sibuk mengetikkan sesuatu di layar ponsel miliknya.

Albirru baru saja selesai mengetikkan pesan kepada kedua orangtuanya, menyampaikan kabar bahwa ia sampai dengan selamat tanpa kurang satu apapun di rumah yang akan menjadi tempat peristirahatannya selama setahun ke depan. Hampir saja Albirru secara refleks mengirimkan pesan kabar kepada Rika, si mantan kekasih, jika saja ia segera tidak ingat bahwa mereka baru memutuskan hubungan kemarin malam.

Sesungguhnya jika diujarkan secara gamblang, putus dari Frederica adalah sebuah hal yang sangat ambigu untuk Albirru. Bagaimana menjelaskannya, ya? Dibilang sedih, ya, tentu saja. Bagaimanapun mereka sudah menghabiskan waktu hampir lima tahun bersama. Terlalu banyak cerita yang sudah diukir walaupun tidak semuanya adalah cerita bahagia. Namun persentase kesedihan yang Albirru rasakan saat ini tidaklah lebih besar dibandingkan rasa tenang karena tidak perlu mendapati rasa kosong yang belakangan selalu ia rasakan tatkala bersama dengan Frederica.

Albirru menghela nafas dalam-dalam sebelum akhirnya menghembuskan dalam satu dorongan kuat. Kepala Albirru sudah terlalu pusing untuk dibuat memikirkan sosok perempuan yang pernah menjadi satu-satunya. Sudahlah, mungkin ia hanya perlu segera beristirahat dan membereskan kamarnya.

Esok, Albirru akan membeli segala perlengkapan yang diperlukan dan melakukan desain ulang untuk kamarnya. Satu hari penuh, Albirru berencana untuk memfokuskan diri dengan segala hal penting yang harus ia beli dan ia lakukan.

Kemudian esok lusa, ia akan mulai menjalani masa dewasanya. Status mahasiswa yang selama ini ia emban, kali ini berganti dengan status karyawan kantoran.

Albirru sudah dewasa. Dan bagi lelaki dewasa, putus cinta dan patah hati tidaklah menjadi hal yang pantas dijadikan alasan untuk galau terus menerus.

Iya, 'kan?

* * *

Ralat. Lelaki dewasa juga bisa menangis karena putus cinta dan patah hati. Bukti nyatanya adalah seorang Albirru Rezkisetya yang baru saja selesai menelfon si sahabat, Telaga, dengan menangis super jelek karena menemui fakta bahwa si mantan kekasih sudah menemukan pengganti dirinya. Lelaki lain, dalam waktu kurang dari 24 jam.

“Gaaaaa! Emang gue— Gue sebegitu gampangnya dilupain apa, Gaaaa? Lima taun lho, Gaaaa! Lima taun gue sama dia pacaraaan?! Sehabis gue minta putus, nggak nyampe sehari dia udah update instagram dan punya cowok baru lagi? Gaaaaa! Emang gue sejelek itu apa, Gaaaa? MAMAAAAAAAA!”

Di seberang panggilan telefon, Telaga hanya mengorek-ngorek telinganya dengan pandangan jengah. Sesekali speaker ponsel Telaga dijauhkan dari telinga si pemilik karena suara rengekan Albirru terlalu membuat telinganya penging. Sakit. “Nyet. Apaan, sih? Cengeng banget jadi cowok!”

“COWOOOOK JUGA MANUSIAAAAA. PUNYA RASAAA PUNYA HATIIII. JANGAN SAMAKAAAN DENGAN PISAU BELAAATIII.”

Ah, si anjing. Ini anak abis nyimeng atau minum alkohol, sih? Telaga tidak habisnya memikirkan berbagai kemungkinan yang tengah terjadi kepada si sahabat di seberang sana. Bukan apa-apa, setahu Telagaㅡ sosok seorang Albirru Rezkisetya bukanlah lelaki cengeng yang akan merajuk perihal apapun. Tapi sekarang, ia bahkan menangisi sosok perempuan itu. Ah, memang cinta bisa membuat orang waras bisa jadi gila dengan cara terkonyol.

“Ru. Ah, elah. Udahan, kenapa? Lo nangisin dia, sama aja dengan lo ngakuin bahwa lo lemah! Ayolah, lo itu kuat. Lo itu ganteng. Lo itu tinggi. Lo itu cowok!!! Tunjukin kalo lo bisa sama hebatnya kayak si Rika!”

Terdengar suara tarikan ingus dalam volume yang cukup keras dari seberang panggilan telefon dan membuat Telaga sedikit bergidik, membayangkan sebagaimana jijiknya wajah si sahabat saat ini. “Tapi, Gaaaaa ..” Lagi-lagi, Albirru merajuk. “.. Gue mana bisa dapetin yang kayak Rika lagiiii? Yang seksi. Yang bohaaay. Yang jago ciumaaan. DI MANA LAGIII, GAAAA? HIK!”

“...” Telaga terdiam. “Nyet. Lo beneran nyimeng, ya?”

“KAGAK, ANJING!”, jawab Albirru dengan nada suara tegas namun terdengar jelas masih linglung. “Gue nggak maboook! Gue cuma minum fanta dicampur sprite, dicampur sama coca-colaaaa... terus campur yakulttt!”

Telaga menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak habis pikir dengan kelakuan si lelaki yang secara terpaksa harus ia akui sebagai sahabat. “Udah, deh, ah. Capek gue denger lo nangisin cewek kayak begitu, Ru. Cewek kayak Rika, sih, ada banyak di Jakarta. Lo kapan-kapan gue bawa ke Southbank, dah. Biar kebuka tuh' isi otak, kalau cewek di dunia nggak cuma Rika.”

“Soutthbaaank?”, tanya Albirru dengan nada tidak jelas. “Southbank itu apanya BCA, Gaaaa? Sepupunya Bank Bukopiiiin? Bapaknya Bank Mandiriii?”

“...” “Anak haramnya BNI.”

Telaga memberi jawaban asal. Kemudian tanpa memberi salam perpisahan dalam bentuk apapun, Telaga segera memutuskan sambungan telefon dengan Albirru dan menjadikan si lelaki yang tengah patah hati kini semakin dirundung sepi.

Albirru tengah menyenderkan punggungnya ke kepala tempat tidur di kamarnya. Lututnya kini ditekuk dan kepalanya dibenamkan diantara tekukan. “Sabtuuu malaaam, ku sendiiiriii.. tiada temaaan kunanti..”

Ya, namanya juga sedang patah hati. Iyain aja, deh.

* * *

Jam dua pagi. Jalanan menuju kompleks perumahan di Pondok Indah sudah sangat sepi. Namun lelaki bernama lengkap Athalla Banyurekas itu masih membelah jalanan menuju rumah kostnya, ingin segera beristirahat setelah menjalani hari melelahkannya di kantor.

Mobil Range Rover hitam milik Banyu kini terhenti di depan pintu pagar yang menjulang. Lampu rumah kostnya menyala. Biasanya, lampu rumah kost yang ditempati Banyu selalu mati sebelum ia sampai di rumah. Melihat lampu bagian depan yang sekarang sudah menyala, berarti hanya ada dua kemungkinan : Telaga ada di kamar, atau si penghuni baru itu sudah menempati kamarnya. Biarpun ya, sepertinya kemungkinan kedua memiliki persentase kemungkinan lebih besar.

Ketika sosok lelaki jangkung berkemeja biru muda dengan lengan yang digulung itu tengah membuka pagar rumah, sosok seorang lelaki lainnya dengan sarung yang disampirkan memyimpang ke pundak tiba-tiba memberikan sapa. “Eh, Mas Banyu. Baru pulang, tah, Mas?”

Kalau Banyu tidak salah ingat, nama lelaki dengan sarung tersampir miring itu adalah Kang Dadang. Salah satu anggota keamanan di kompleksnya yang memang sehari-hari ditugaskan untuk berkeliling kompleks saat tengah malam seperti begini. “Iya, Kang. Abis lembur, banyak kerjaan di kantor.” Banyu menjawab seadanya seraya memutarkan kunci gembok di kuasa agar bisa segera terbuka. “Muter-muter, Kang?”

“Iya, euy, Mas. Ini si saya lagi mau ngapelin Neng Kuntilanak di blok sebelah, nih.” Jawaban bernada jenaka diberi oleh Kang Dadang, tak urung membuat Banyu juga ikut terkekeh kecil. Si lelaki jangkung merogoh saku celananya dan mengeluarkan selembar uang kertas dua puluh ribi, kemudian menyerahkannya ke si lelaki di hadapan. “Ini, Kang. Buat rokok sama kopi. Titip rumah kalau misalnya saya nggak ada, ya, Kang.”

“Euleeeuh. Hatur nuhun, Mas Banyu. Sing berkah, ya, ini. Sing rejekinya dilancarin, jodohnya juga.” Rentetan doa dengan aksen Sunda yang sangat kental terdengar diujarkan oleh Kang Dadang, membuat Banyu hanya menjawab dengan anggukan dan senyum simpul khasnya. “Oh, Mas. Itu tadi ada penghuni baru, ya? Saya dikasih tau Kang Telaga, katanya sekarang yang isi kamar dia teh orang lain.”

“Oh, iya.” Banyu menjawab singkat. “Orang baru, Kang. Telaga udah nggak tinggal di sini, tapi katanya bakal sering mampir,” lanjutnya dan dibalas dengan anggukan Kang Dadang.

Paham bahwa dirinya tidak boleh mengulur pembicaraan lebih lama karena mungkin saja Banyu ingin segera beristirahat, Kang Dadang segera undur diri. “Ya udah atuh, ya, Mas. Kang Dadang pamit dulu. Kasian si Neng Kunti, takut marah gara-gara Akang telat jenguk.”

Banyu tertawa kecil. “Iya, Kang. Hati-hati.”

Setelah memastikan sosok Kang Dadang menghilang di balik tikungan menuju blok sebelah rumah kost mereka, barulah Banyu kembali menaiki mobilnya. Begitu pintu garasi dibuka, keberadaan mobil Fortuner hitam yang sudah terparkir terlebih dahulu membuat Banyu sedikit mengernyitkan alisnya. Lumayan kaya, berarti. Mobilnya Fortuner.

Pikiran Banyu segera ditepis oleh rasa lelah yang menyerang tubuh. Sudahlah, memikirkan siapa teman sekamarnya ituㅡ nanti saja.

Banyu hanya perlu istirahat, sumpah. Tubuhnya hanya ingin segera bertemu dengan kasur kamarnya yang empuk. Ingin lelap. Segera.

“Lo putus sama Rika?”

Padahal Albirru baru saja menjejakkan kakinya di atas aspal jalanan Jakarta, namun bukannya memberi pelukan atau sapaan hangatㅡ si sahabat sekaligus ( mantan ) tetangga semenjak kecil, Telaga, malah mengajukan pertanyaan yang sangat sensitif. Setidaknya, begitulah yang dirasakan Albirru saat ini.

“Nyet. Gue baru nyampe abis nyetir puluhan kilo, lo nggak bisa kasih pertanyaan yang lebih bener, apa?”, sahut Albirru dengan nada ketus. Setelah memastikan sang Ayah yang ikut bersamanya dari Bandung menuju Jakarta sudah keluar dari dalam mobil, Albirru menekan tombol kunci pada pengatur mobilnya. Tlak, suara yang tidak asing itu terdengar jelas; menandakan mobil Fortuner Hitam milik keluarganya sudah terkunci. “Salam dulu ke Papah, nyet.”

Diberitahu begitu, Telaga segera menyadari bahwa ia sudah melupakan urutan tatakrama terpenting. Dengan tergesa, Telaga kembali berderap ke arah pintu dimana Ayah sahabatnya berada kemudian segera menyalami tangan beliau dengan penuh hormat. Hampir dua menit Telaga dengan lelaki paruh baya itu berbincang, entah hanya basa-basi atau memang saling melemparkan pertanyaan yang mereka herankan mengenai jawabannya.

Tidak begitu tertarik dengan isi perbincangan sang Ayah dengan si sahabat, Albirru lebih memilih untuk memperhatikan rumah yang dikatakan oleh Telaga sebagai rumah kost milik sang Bibi, Tante Rima.

Rumahnya cukup megah. Apalagi berada di kawasan lingkungan Pondok Indah, semakin menjadikan rumah ini semakin menunjukkan kesan elite yang sangat memukau. Dalam hati, Albirru sedikit terharu karena berhasil mendapatkan biaya sewa yang sangat terjangkau untuk berada di sini. Lain kali, sepertinya Albirru harus membelikan oleh-oleh yang istimewa untuk Tante Rima sebagai bentuk rasa terima kasih.

“Bagus, 'kan?”

Tiba-tiba saja, tepukan di pundak kanan Albirru terasa dan membuat sedikit perih di tubuh si penerima. Albirru menoleh, Telaga sudah berdiri di sebelahnya dan ikut memperhatikan rumah di hadapan mereka. “Ini rumah ekslusif, lho, Ru. Banyak yang pengen ngekost di sini soalnya Tante Rima emang kasih harga miring buat yang nyewa, tapi Tante gue orangnya rada-rada selektif. Nggak sembarangan ngasih izin, gitu. Makanya, lo beruntung banget bisa diizinin tinggal di sini. Dikasih harga murah juga. Berapa sebulannya?”

“Tante Rima bilang enam bulan pertama, gue dikasih gratis. Terus enam bulan setelahnya bayar 50 persen. Baru taun depannya bayar full,” jelas Albirru dan dibalas dengan kekehan kecil dari si sahabat. “Tante lo bilang, gue mending kumpulin duit dulu. Ketika duit gue udah lumayan banyak, baru gue disuruh bayar sepenuhnya.”

“Duh, elah. Tante gue ...”, ujar Telaga seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. “... dari dulu, dia sayang banget sama lo, 'kan? Katanya pengen banget punya anak kayak lo, soalnya Tante emang nggak punya anak. Kebelet pengen punya anak, kali.”

Albirru ikut tertawa kecil. Memang benar, seingat dirinya pun sosok Tante Rima adalah seseorang yang sangat baik. Setiap kali keluarga besar Telaga berkunjung ke rumah si sahabat, terkadang Albirru ikut ramai bermain di sana. Namanya juga tetangga, tidak ada salahnya. Namun itu pula yang membuat keluarga Telaga tahu sedikit perihal Albirru dan keluarganya, rasanya seperti benar-benar keluarga saja.

“Kamarnya ada berapa?”, tanya Albirru dan dijawab dengan jari telunjuk juga jari tengah Telaga yang terangkat. Alis si jejaka Bandung segera terangkat, seperti tidak mempercayai perkataan si sahabat. “Dua doang? Segede ini?”

“Iya. Dua doang.” Telaga sedikit bergerak menyingkir dari sisi Albirru karena kini Ayahanda si sahabat ikut berdiri di antara mereka. “Rumahnya emang gede, tapi kamarnya cuma dua. Kamar di lantai satu sama lantai dua. Kamar mandi ada satu, di lantai satu.”

“Lebih gede ruang tamu sama ruang musik di lantai dua, sih, Om. Di lantai satu itu ada ruang baca. Lantai dua ada ruang musik sama ruang main billyard. Kadang Tante Rima kalau lagi ngumpul sama temen-temennya buat arisan, mainnya sering ke sini,” jelas Telaga kepada Ayah Albirru. Sang lelaki separuh baya hanya mengangguk-angguk kecil. “Sewaktu Tante kamu main ke sini buat arisan, Birru harus pergi atau gimana gitu, nggak, Aga?”

Telaga mengibaskan tangannya cepat. “Nggak usah, Om! Kayak ada inspeksi aja, pake kabur segala. Santai aja. Setahu Aga, Tante biasanya main di lantai dua, kok. Temen saya yang di lantai dua juga udah biasa didatengin Tante saya pas lagi arisan. Biasanya dia di kamar aja kalau Tante lagi main di sini.”

“Temen lo di lantai dua?”, sela Albirru. Nada bicaranya sedikit dipenuhi rasa keheranan. “Kok mau-mauan di lantai dua? Lo bilang toiletnya ada di lantai satu doang, 'kan?”

“Dia suka main musik,” jawab Telaga dengan ringan. “Lantai dua udah jadi kayak daerah kekuasaan dia, lah. Apalagi ruang musik. Kerjaannya ngedrum atau ngegitar terus. Jago main musiknya, doi.”

Penjelasan Telaga membuat Albirru mengangguk paham. Cukup masuk akal, sih, pikirnya.

“Ngomong-ngomong ..”, Albirru melanjutkan tanyanya kepada si sahabat. Nada bicaranya terdengar sedikit ragu. “.. gue beneran boleh gantiin posisi lo di rumah ini?”

Telaga tertawa kemudian segera menepuki bahu sahabatnya. Ia menoleh ke arah Ayah Albirru sebelum menyuarakan kalimatnya. “Ya Allah, Om. Liat nih, anak Om paling bisa akting nggak enakannya. Padahal dari dulu kerjaannya emang ngerepotin Aga terus, Om.” Kalimat barusan disuarakan dengan nada bercanda sehingga Ayah Albirru tidak terlihat tersinggung dan malah ikut tertawa bersama Telaga. “Udah, Ru. Lo kayak minta tolong ke siapa aja. Lo 'kan sering gue mintain contekan pas sekolah. Anggep aja ini bales budi gue.”

“Lagian gue juga jaaaaarang banget tinggal di sini. Gue palingan mampir pas lagi capek buat nyetir balik ke Bandung doang. Bahkan gue belum pernah ketemu sama temen-temen arisan si Tante.” Telaga masih menepuk-nepuki pundak Albirru, mencoba meyakinkan bahwa ia tidak masalah dengan keberadaan Albirru di sana. “Gue ngekeep kamar doang. Kalau ada yang bisa tinggal beneran di sini, ya, bagus.”

Albirru menyunggingkan senyum tipis. Perjalanannya seperti diberi jalan yang mulus sampai dengan saat ini. Ya, terlepas dari pertikaiannya dengan si kekasih, sih. Selain itu, semua baik-baik saja. Mungkin ini memang jalan terbaik untuknya?

“Oh! Temen gue yang kamarnya di lantai dua itu karyawan juga di perusahaan SCBD. Dia sering pulang malem, sih. Kayaknya nggak bisa lo temuin sekarang. Ntar aja, kalo lo bener-bener pindahㅡ gue kenalin lo sama dia.”

“Anaknya asik?”, tanya Albirru; sedikit merasa khawatir. Jujur, ia sedikit kikuk untuk memulai sebuah perkenalan atau bersosialisasi di lingkungan yang ramai. Jika si teman satu rumahnya ini sulit untuk didekati, matilah Albirru.

Untungnya, Telaga menggeleng. “Nggak. Anaknya nyantai banget. Mas-mas gitu. Umurnya berapa, ya? 27 atau 28an, gitu. Lupa gue. Tapi baik banget, sumpah. Ramah juga. Doi sering jadi rebutan pembantu-pembantu di sini, kayaknya.”

”...” Alis Albirru sedikit naik, merasa geli dengan deskripsi yang diberikan oleh Telaga. “Ganteng?”

“Yaaa, gimana, ya?” Telaga meletakkan jarinya di dagu, seperti menimbang-nimbang pertanyaan Albirru. “Ganteng itu relatif, sih. Tapi kalo lo tanya gue dan dari sudut pandang gue sebagai cowokㅡ itu si Mas-Mas emang ganteng. Badannya kekar, dadanya bidang, kulitnya lumayan putih. Wah, pokoknya gitu, lah. Lo liat aja sendiri nanti, susah gue jelasinnya.”

Albirru menggaruk pipi kanannya sekilas. Bergaul dengan lelaki yang tampan entah mengapa adalah sebuah hal yang menakutkan bagi Albirru. Ia kerap merasakan insecure, padahal tidak ada yang membandingkan. Padahal ( pula ) banyak yang mengatakan bahwa fisik dan wajah Albirru tidak buruk-buruk amat. Namun tetap saja ada sebuah hal yang sulit untuk dijelaskan setiap kali Albirru berdekatan dengan sosok lelaki tampan. Seperti rasa sesak dan penuh yang membuatnya sulit bernafa──

“Ru!”

Panggilan dari Telaga membuat Albirru tersadar dari lamunannya. Rupanya si sahabat sudah berada di depan pagar rumah dengan sosok sang Ayah yang berdiri di sampingnya. “Lo ngapain bengong? Ayo, sini! Lo mau liat kamarnya dulu, nggak?”

Anggukan diberi sebagai jawaban sebelum akhirnya tungkai jenjang si jejaka Bandung mulai bergerak menapaki jalanan aspal Jakarta.

Masa dewasanya akan dimulai dari saat ini. Di detik ini. Sekarang.