dontlockhimup

halo, malam semuanya. ♡ aku mau menyampaikan sesuatu berbarengan sama dipostnya tweet ini. aku, tebe, memutuskan buat meninggalkan akun dontlockhimup dalam keadaan inactive. untuk sementara (dan entah sampai kapan), aku memilih untuk meninggalkan akun ini dan nggak coba untuk menulis dulu.

alasannya karena belakangan ini aku ngerasa kondisiku bener-bener aneh. beberapa waktu ini, aku ngerasa semua yang aku lakuin di sini semacam kurang. aku ngerasa nggak bisa memenuhi antisipasi yang dikasih kepada tulisanku. iya, mungkin aku juga salah dan berlebihan karena anggap kegiatan menulis bukan lagi cuma sekedar buat seneng-seneng.

belakangan, aku merasa terbebani dengan semua yang aku dapet. nggak bisa munafik, aku sering merasa terbebani sama beberapa komentar yang aku dapat di CC dan juga aku tahu ada beberapa pihak yang merasa keberadaanku di sini cukup mengganggu. aku terlalu lemah buat menganggap semua hal yang memberati itu cuma sekedar lewat. aku malah mikirin semuanya terlalu larut sampai kadang aku nggak bisa tidur sampai subuh dan nangis tengah malem. aku ngerasa apa yang aku rasain sekarang akan semakin merusak kalau aku tetap berusaha diem di sini.

jadi, aku pengen pergi dulu dari akun ini. karena nggak bohong, akun dontlockhimup ini bikin aku ngerasa takut dan insecure terus. mungkin aku harus tenangin diri dan perbaiki apa yang rusak di diri aku sebelum berani mulai semuanya lagi di sini.

aku minta maaf jika ada yang pernah merasa dikecewakan atau tersakiti sama tindakan atau ucapanku, ya ♡ hampir setahun aku ada di akun dontlockhimup. aku dapet banyak temen baik di sini, juga ngerasain banyak dukungan karena cerita yang pernah kubuat. makasih buat yang udah kasih support dan antusias ke cerita yang kubuat, ya. kalian bener-bener baik banget ♡

oh, iya. nggak menutup kemungkinan buat aku kembali ke akun ini buat menulis, kok. semoga ketika ada saatnya aku berani kembali ke sini, kalian masih inget bahwa ada seseorang yang namanya tebe, ya! ♡

salam terakhirku, semoga kalian sehat selalu! ♡

  • tebe.

Percaya, tidak? Sesungguhnya di dunia ini—di bumi ini, ada banyak dewa dan dewi asmara yang berkeliaran dalam wujud manusia untuk melancarkan segala percintaan yang setiap harinya terjadi. Mungkin saja anak kecil yang sedang asyik menjilati lolipop di tangannya adalah dewa cinta yang sudah sangat profesional dalam memasangkan dua insan, mungkin saja siswi SMA yang kerajingan segala hal tentang Korea adalah dewi cinta yang berpengalaman untuk menyatukan dua hati.

Setiap dewa-dewi asmara bebas memilih bentuk kamuflasenya masing-masing. Jangan heran jika sosok sesungguhnya dari orang yang kau anggap biasa-biasa saja, bisa jadi adalah dewa-dewi asmara yang disegani di tempatnya. Mereka bisa menyamarkan dirinya menjadi sosok yang sama sekali tidak terduga, sih.

Satu diantaranya, aku. Si karyawan di sebuah perusahaan swasta yang dijuluki ratu cupid. Alias, semua pasangan yang ditugaskan untuk kupasangkan selalu menjadi pasangan super langgeng. Aku tidak pernah melakukan kesalahan sedikitpun! Oh, iya—aku juga selalu berhasil memasangkan dua hati menjadi satu dalam jangka waktu yang singkat! Tidak pernah lebih dari sebulan, lho. Hebat, ‘kan?

Setiap dewa-dewi memang memiliki durasi pemasangan hati yang berbeda-beda. Ada juga dewa-dewi yang membutuhkan waktu sampai bertahun-tahun hanya untuk memasangkan dua hati menjadi satu. Tidak menjadi masalah, kok, seberapa lama waktu yang dibutuhkan. Semua sah-sah saja. Namun semakin kamu membutuhkan waktu yang lama untuk memasangkan dua hati menjadi satu, maka level yang kalian miliki akan semakin turun.

Ada lima belas level. Level satu adalah tingkatan terendah, level lima belas adalah tingkatan tertinggi. Ada banyak dewa-dewi yang gagal meraih level kelima belas karena misi yang diberikan untuk mereka mencapai tingkatan terakhir kerapkali merupakan misi yang amat sulit.

Aku? Aku hampir mencapai level lima belas! Aku hanya perlu menunggu satu misi lagi dari departemen dan voila!, aku bisa mencapai level tertinggi. Semua pasti akan lancar-lancar saja karena aku adalah ratunya dalam memasangkan dua hati!

Halo! Namaku wuv, dan ini adalah kisahku mencapai tingkat tertinggi dalam misi hidup! : )

tags : memuat adegan berisi penjelasan situasi kecelakaan, trauma masa kecil, alur cerita maju mundur.


Mew memijat pelipisnya yang tiba-tiba diserang rasa pening teramat sangat. Sepanjang perjalanannya menuju toko jas serta kenaan pengantin lelaki yang diwariskan dari sang Ayahanda, Mew tidak berhenti memikirkan perihal sosok lelaki yang muncul di mimpinya beberapa waktu ke belakang.

Iya, memang mimpi tentang lelaki itu baru muncul sekitar dua minggu ke belakang namun intensitasnya terlalu sering. Seperti──bagaimana, ya, menjelaskannya? Setiap kali Mew terlelap, sosok lelaki itu seperti terus menerus muncul di sisipan mimpinya. Bahkan membuat Mew sempat takut untuk terlelap atau hanya sekedar memejamkan mata barang sekejap.

Kalau ditanya mengapa, Mew juga bingung. Sosok lelaki di dalam mimpinya berwajah normal─ dalam artian, ya...wajahnya tidak berdarah di sana sini atau tercabik di beberapa bagian. Sebetulnya tidak ada yang perlu ditakuti kalaupun ia harus berhadapan dengan lelaki di mimpinya itu. Malah sejujurnya, Mew ingin mengapresiasi dirinya sendiri yang bisa memilih karakter yang muncul dalam mimpi dengan sosok semanis itu.

Iya. Lelaki itu manis. Iya. Jujur saja, lucu. Iya. Mew tidak keberatan disambangi dalam mimpi.

Akan tetapi yang membuat Mew sedikit terganggu adalah kenyataan bahwa ia mengajak lelaki itu untuk menikah.

Mew, laki-laki. Juga ia di dalam mimpi, sama-sama lelaki.

Sumpah. Mew tidak pernah habis pikir perihal yang satu itu. Bagaimana bisa ia menjanjikan hal yang sakral itu kepada lelaki yang bahkan tidak pernah ia kenali siapanya, coba? Menikah dengan lelaki adalah hal terakhir yang ingin Mew lakukan sepanjang hidupnya.

Sementara sebelah kuasa memegangi setir kemudi mobil Audi yang dikendarai, Mew masih tetap memijat pelipisnya. Rasa pusing yang dirasakan semakin menguar, bahkan membuat dada Mew sedikit sakit dan sesak.

Seperti ada hal penting yang ia lupakan. Seperti ada sesuatu yang terus menerus beresiko untuk hilang, padahal semestinya Mew genggam. Seperti ada sesuatu yang akan pergi, jika Mew tidak menyadari sesuatu itu dengan cepat.

Masalahnya, sesuatu itu apㅡ

DDDDIIIN!

Mew menginjak pedal rem di mobilnya secara mendadak tatkala suara klakson mobil terdengar nyaring dan panjang dari arah kanan. Kilat cahaya mobil yang melewatinya dalam jarak yang terlampau tipis membuat tubuh Mew gemetar bukan main. Kedua tangannya dieratkan pada setir kemudi, bahkan hingga membuat buku-buku jarinya memutih.

Tiba-tiba saja, semua memori tentang hal yang pernah terjadi dua puluh tahun lalu seakan menghampirinya tanpa permisi. Mew ingat dengan jelas bagaimana bau tanah yang dibasahi air hujan di malam hari itu. Mew ingat dengan jelas sebagaimana bau tanah bercampur air hujan yang biasanya bisa ia nikmati tanpa rasa bosan, kini terinterupsi dengan bau anyir dari aliran darah. Entah milik siapa.

Apa darah dari tubuhnya sendiri? Ah, masa' iya? Tubuhnya tidak sakit sama sekali.

Tungguㅡ memang tubuhnya tidak sakit, namun mengapa tangannya sekarang tidak mau bergerak sekeras apapun usahanya untuk mencoba demikian? Tungguㅡ kakinya juga...mati rasa.

Di tengah pandangannya yang mulai semakin buram, Mew melihat bagaimana tubuh sang Ibunda tergeletak di atas tanah yang basah. Persis seperti dirinya sendiri. Ibunda memunggungi dirinya, membuat Mew ingin bangkit untuk menghampiri namun semua syarafnya seakan menolak untuk melakukan segala instruksi yang diberi oleh si pemilik raga.

Sakit.

Mew masih ingat dengan jelas perihal sebagaimana rasa sakit yang dirasakannya kala itu. Tenggorokannya seakan tercekat, tidak bisa menyuarakan apa-apa walaupun sebisa mungkin ia berusaha meneriakkan panggilan agar sang Ibunda bisa tersadar.

Mew terbatuk sekali, rasanya bagaikan memuntahkan jutaan duri yang bersarang pada perut. Ia tersadar air liurnya sendiri sudah bercampur dengan darah di dalam mulut, pantas saja jika bibirnya terasa sakit bukan main.

“A-akhhk..” Sekeras apapun usaha yang dilakukan, Mew hanya bisa meneriakkan erangan tanpa arti. Ingin meneriakkan kalimat berisi permintaan tolong namun semua di sini terlampau sepi dan gelap. Tidak ada satupun kendaraan yang melintas.

Bau anyir darah sedikit bercampur dengan bau menyengat yang sangat Mew ketahui asalnya. Mew ingat, ia sangat menyukai bau minyak bensin yang kerap ia hirup tatkala orangtuanya tengah membeli bahan bakar. Dan sekarang bau yang ia sukai itu dapat diendus di sini, di dekat mobil yang sudah terbalik dan Ibunya yang tergeletak sangat dekat dengan kap penutup untuk mengisi bahan bakar.

Panas, padahal hujan. Merah, padahal gelap.

Mew tidak tahu apa yang salah, Kepalanya terlalu sakit untuk mencari tahu apa yang terjadi setelahnya. Yang ia ingat hanyalah dirinya terbangun di salah satu ruang kamar rawat rumah sakit dengan perban tebal terlingkar di kepalanya. Juga sosok sang Ayah yang tengah terlelap di pinggir kasur rawat dengan memegangi tangan Mew erat-erat.

Mew kembali memijat pelipisnya yang semakin terasa pening. Suara klakson dari barisan mobil di belakangnya membuat Mew paham, bahwa ia tidak boleh lagi terlarut dalam masa lalu yang terlalu kelam untuk diingat. Pedal gas diinjak perlahan, si lelaki jangkung kembali melanjutkan perjalanannya untuk mendatangi toko warisan dari sang Ayahanda.

Enggan mengingat lebih jauh. Lebih baik lupakan semua. Iya, lupakan saja.

Lupakan, Mew.

“Kamu mau ke Jakarta, Cak?”

Gerhana berujar. Cakrawala menggelengkan kepalanya. Terlihat jelas bibir bawahnya digigit kuat-kuat, seperti menahan sesuatu yang akan meledak dalam waktu kapan saja. Entah yang dimaksud sesuatu itu adalah apa; mungkin emosi, mungkin air mata, mungkin—teriakan histeris? Entah. Kalau ditanyakan kepada Gerhana, ia akan menjawab bahwa ia tidak bisa menebak apapun. Namun ada hal yang pasti Gerhana ketahui, Cakrawala tengah berbohong dengan ujarannya barusan.

“Cak.” Gerhana mengusapi pipi kanan Cakrawala yang masih tertunduk. Tidak banyak, hanya usapan sekali dua kali akan tetapi Gerhana memastikan setiap sentuhannya berisi semua ketulusan yang ia miliki di dalam diri. “Nggak apa-apa.”

“Aku nggak apa-apa.” Gerhana mencubit kecil kulit pipi Cakrawala yang terasa lembut di jemarinya. “Hm? Jangan digigitin gitu bibirnya. Sakit aku liatnya,” lanjut si lelaki seraya beralih menggeserkan gerak ibu jarinya untuk menyentuh bibir Cakrawala.

Sementara di lain sisi, Cakrawala benar-benar menolak untuk bertatapan dengan sosok Gerhana di hadapannya. Cakrawala takut. Takut apabila mata mereka bertemu, maka Gerhana bisa membaca semua yang ada dalam pikirannya tanpa terkecuali. Cakrawala takut. Takut apabila Gerhana tahu sedikit saja tentang pikirannya saat ini, lelaki itu bisa merasakan sakit yang teramat dalam.

Tidak salah. Gerhana tengah merasakan semua itu. Sakit yang menikam layaknya sayatan pisau yang dirajamkan ke setiap bagian tubuh, mengulitinya hidup-hidup. Melihat lelaki di hadapannya hanya menundukkan kepala tanpa mau membalas tatapannya, apa lagi yang harus Gerhana rasakan selain sakit yang teramat dalam, coba?

“Er..”, Cakrawala meraih tangan Gerhana yang masih mengusapi pipi kanannya. Tangan Gerhana sedingin itu ketika digenggam oleh Cakrawala. Sungguh, sesakit apa lelakinya saat ini? Sesedih apa lelakinya saat ini? Sejahat apa Cakrawala hingga membiarkan lelakinya merasakan semua perasaan ini?

“Hm?” Namun semua pemikiran Cakrawala seakan ditepis jauh-jauh tatkala Gerhana malah menyunggingkan senyuman manis. Senyuman yang menunjukkan dua lesung di masing-masing pipinya, senyum yang mirip seperti milik Cakrawala. “Apa, Cak?” Cakrawala memberanikan diri mengangkat kepala dan menatap lelaki di hadapannya sekarang. Tatapan Gerhana masih sama, selalu damai dan hangat. Tatapan yang tidak pernah menuntut, tatapan yang selalu membuat Cakrawala merasa direngkuh dengan pelukan paling besar dari segala hal di dunia.

“Er.. please,” Cakrawala lebih mengeratkan genggaman tangannya di tangan Gerhana. Suaranya ketika mengajukan permohonan barusan terdengar bergetar, gemetar. Awalnya Cakrawala hanya menggenggam tangan kanan Gerhana dengan sebelah tangan namun setelah kalimat terujar dengan penuh memohon, Cakrawala menjadikan kedua tangannya untuk menggenggam tangan Gerhana kuat-kuat. Erat, saking eratnya malah membuat Gerhana harus menenangkan Cakrawala karena tahu tidak hanya ia yang merasa sakit—Cakrawala juga pasti merasakan sakit yang sama akibat menggenggam tangannya sekuat ini.

Please, Er..”, Cakrawala mengucapkan kalimatnya dengan suara yang teramat kecil, seperti mencicit. Tampak sangat ketakutan dalam arti takut yang agak berbeda; takut, karena ia merasa bisa melakukan kesalahan fatal apabila Gerhana tidak menahan dirinya. “Marahin aku.”

“Tahan aku. Caci aku.”

Gerhana hanya mengulas senyum tipis hingga akhirnya jawaban yang ia berikan atas semua permintaan Cakrawala hanyalah gelengan kecil. Menolak untuk mengabulkan permintaan si lelaki kesayangan –yang bahkan terlampau ia sayangi melebihi apapun yang ada di dunia— ini. “Nggak, Cak. Aku nggak akan marahin kamu. Aku nggak bisa..”, ujar Gerhana seraya mengusapi punggung tangan Cakrawala yang masih menggenggami tangannya dengan erat. “Nggak. Lagipula, kamu nggak salah. Hm? Jangan minta marahin lagi, ya?”

“Er..” Kali ini, Cakrawala sedikit menaikkan nada bicaranya. Seakan menekankan kepada si lelaki di hadapan untuk mengetahui bahwa permintaannya barusan adalah sesuatu yang sangat penting untuk dilakukan. “Kalau kamu nggak tahan aku, kalau kamu nggak marahin aku, aku bisa lakuin hal yang jahat banget..”

“Tolong, Er.” Cakrawala merasakan kakinya lemas bukan main hingga tidak sanggup untuk menopang berat badannya sendiri. Ia jatuh dengan posisi terduduk, seperti membuat situasi seakan dia tengah memohon ke hadapan Gerhana hingga berlutut begini. “Aku nggak mau jahatin kamu lagi..”

“Tolong..”, air mata Cakrawala dirasakan sudah hingga di ujung pelupuk mata. Tinggal berkedip sekali, ia yakin air matanya akan jatuh dan bisa mengalir tanpa henti. Sebisa mungkin Cakrawala berusaha mencoba agar bisa terlihat lebih tegar, walaupun ia yakin semua akan percuma jika Gerhana terus menyuarakan penolakannya. “..kamu nggak boleh sakit lagi.”

“Sssh, Cakrawala. Hei, dengerin aku.” “Cakrawala, angkat kepala. Tatap aku sebentar.” “Kamu, Cakrawala... adalah orang yang paling aku sayang dari semua eksistensi mahluk hidup di dunia ini.” Gerhana ikut membungkukkan tubuhnya, berjongkok di hadapan Cakrawala agar bisa menyamakan pandangannya dengan si lelaki kesayangan. Hingga akhirnya mereka berhadapan, Gerhana merasakan tengah menatap segala yang terindah dari hal di dunia. Mata Cakrawala.

Mata yang terus berbinar, mata yang berkilau; bahkan hingga membuat Gerhana bingung dan sedikit kecewa dengan ujaran bahwa Tuhan menciptakan mahluk-Nya dengan adil. Tidak, Tuhan tidak adil. Tuhan memberikan semua yang terbaik kepada Cakrawala.

Mata yang indah, hingga membuat Gerhana bersedia untuk menjatuhkan diri sepenuhnya ke dalam sana. Bahkan untuk tenggelam di sana juga tidak apa. Mati di dalam raga Cakrawala mungkin menjadi sesuatu yang diimpikan Gerhana saat ini.

Bibir yang merah ranum, hingga membuat Gerhana merasa menjadi lelaki paling beruntung sedunia karena pernah melabuhkan bibirnya di sana dan mendapat pagutan balik ketika menyuarakan kalimat cinta kepada sang pemilik raga.

Lesung pipi yang dalam di kedua sisi. Lesung pipi yang pernah Gerhana benci karena terus membuatnya terjaga di sepertiga malam akibat membayangkan akan sebagaimana bahagia dirinya apabila ia yang menjadi alasan agar lesung pipi itu terlihat jelas. Lesung pipi yang menjadi bukti apabila Cakrawala tengah bahagia. Gerhana tidak pernah bisa waras untuk memikirkan bagaimana cara agar lesung manis itu dapat terus terlihat di pipi Cakrawala; khususnya, muncul karena alasan yang adalah dirinya.

Tuhan tidak pernah adil ketika Ia menciptakan Cakrawala. Tuhan sedang dalam fase yang teramat egois ketika menciptakan lelaki itu, Ia menumpahkan segala yang terbaik kepada lelaki di hadapan Gerhana sekarang.

“Cak. Aku bahagia.” Gerhana berujar dengan nada yang sangat tenang, dibarengi dengan usapan di pipi kanan si lelaki kesayangan—membuat Cakrawala hanya bisa kembali menundukkan kepalanya. Cakrawala tidak ingin menangis. Setidaknya tidak di hadapan Gerhana yang terus-terusan menunjukkan sikap bahwa ia sedang-baik-baik-saja.

“Bisa barengan sama kamu di berbagai kesempatan. Bisa jadi alasan kamu ketawa, bisa jadi alasan kamu ngedumel di setiap pagi, bahkan jadi alasan kemarahan kamu karena kesal liat aku yang susah dibilangin buat tidur gara-gara mau selesaiin tugas, semua hal yang kamu rasain dan aku yang jadi alasannya—aku ngerasa bahagia karena hal itu.”

“Tapi Cak..”, Gerhana perlahan-lahan menaruh telapak tangannya untuk menangkup pipi Cakrawala kemudian menuntun wajah lelakinya untuk terangkat dan menatapi dirinya sendiri. “..sumpah demi Tuhan, aku nggak mau jadi alasan kamu nangis.”

“Sekalipun. Buat sekalipun, aku bener-bener nggak mau, Cak.”

Gerhana bergerak, memajukan sedikit tubuhnya untuk memeluk Cakrawala ke dalam rengkuhan. “Cakrawala..”, perlahan Gerhana menepuki punggung Cakrawala di dalam pelukannya; berupaya memberi nyaman dan kepastian bahwa dirinya tidak akan pernah menyakiti ia yang ada di rengkuhan. “..kamu boleh nangis.”

“Nangis sesuka kamu, nggak apa-apa. Mau pukulin aku dan jadiin aku samsak tinju buat lepasin semua emosi kamu ketika lagi marah juga nggak apa-apa.” Gerhana mengambil jeda sejenak sebelum kembali melanjutkan kalimatnya. “Tapi, Cak.. aku punya satu permohonan..”

Kepala Cakrawala yang ada di dagunya kini diusapi lembut oleh Gerhana. Mencoba memastikan bahwa setiap sentuhan jemarinya di rambut si kesayangan tidak akan memberikan sakit, sekecil apapun itu. “..jangan nangis karena aku.”

“Ketika kamu nangis karena aku, aku nggak tau harus ngapain. Aku bahkan nggak berani buat tatap mata kamu. Ketika kamu nangis karena aku, aku nggak kuat redam emosi kemarahan ke diri aku sendiri karena udah bikin kamu sedih. Karena udah nyakitin kamu, aku nggak yakin bisa maafin diri aku sendiri, Cak.”

Pecah. Cakrawala menangis di pelukan Gerhana, terisak hingga membuat dadanya sendiri terasa sesak. Gerhana terdiam. Semua ucapannya barusan seakan sia-sia, pada akhirnya Cakrawala menangis—entah apakah karena dirinya atau bukan, Gerhana tidak tahu. Namun setiap isakan tangis yang disuarakan Cakrawala membuat Gerhana sama sesaknya. Setiap tarikan nafas yang kesulitan ditarik oleh Cakrawala rasanya memberikan rasa sakit yang serupa ke diri Gerhana. Sakit. Gerhana juga sama sakitnya.

“Jangan nangis.” “Cakrawala..” “Jangan.. nangis..”

Gerhana menyuarakan kalimat yang sama berulang kali. Ujaran untuk tidak menangis. Tidak tahu ditujukan kepada siapa. Untuk Cakrawala? Ataukah kepada dirinya sendiri, agar tidak ikut tenggelam dalam rasa sesak di dadanya saat ini?

“Maaf..” Cakrawala mengatakan kata itu tanpa henti layaknya mesin penyuara yang rusak. Tangannya mencengkeram kain kenaan yang melekat di tubuh Gerhana, seperti menyampaikan permintaan maaf lewat sana kepada si lelaki yang masih mendaratkan usapan lembut ke punggungnya. Berusaha menjelaskan bahwa dirinya tidak memiliki kuasa apapun terhadap sebuah rasa yang terus-terusan menggerogoti dirinya saat ini.

Rasa sulit melupakan cinta lama yang tak kunjung tiada. Kepada ia, Baskara.


“Ayah Gerhana. Pipi ke mana? Mbul mau dibacain dongeng sama Pipi.”

Baru saja Gerhana hendak menaikkan selimut bergambarkan karakter dari animasi Winnie The Pooh ke tubuh Rembulan, si gadis kecil dengan rambut halus tergerai itu melemparkan pertanyaan bernada sangat naif. Seakan tidak tahu bahwa seharian ini Gerhana sudah sebisa mungkin mencari cara agar tidak memikirkan sosok lelaki yang dipanggil Pipi olehnya, Cakrawala.

“Hayo. Mbul lupa, ya?” Gerhana mengusapi puncak kepala si gadis kecil yang kini memeluki boneka berbentuk Piglet di rengkuhannya. Sebisa mungkin, Gerhana berusaha menampilkan senyum sewajar yang ia bisa di hadapan anak perempuannya ini. “Pipi ‘kan lagi ke Jakarta. Tadi pagi udah pamitan juga ke Mbul. Lupa, ya?”

Penjelasan dari Gerhana dibalas dengan mata si gadis kecil yang mengerjap beberapa kali, seperti berusaha mengingat-ingat peristiwa apa yang terjadi kemarin malam. Berupaya mencari memori tentang hal yang diujarkan Gerhana. “Oh, iyaaa..” Rembulan, si gadis kecil itu membuat bentuk bundar sempurna dengan mulutnya, teringat akan hal yang dijelaskan oleh sang Ayahnya tadi.

Gerhana tertawa kecil. Tangannya kembali menaikkan selimut di tubuh Rembulan agar bisa lebih naik, memastikan si gadis tidak kedinginan dengan suhu di luar ruangan yang memang sedang dingin-dinginnya. Malam ini salju sedang turun deras di Vancouver, kota kediaman Gerhana dan Cakrawala serta Rembulan berada selama beberapa tahun ke belakang. Tepatnya, semenjak mereka berdua mengikat janji suci dalam ikatan pernikahan.

“Mbul tidur, ya? Besok Ayah Gerhana anterin Mbul ke sekolah. Mbul mau sarapan apa besok, sayang?”

Rembulan menjawab rentet pertanyaan dari Gerhana dengan gelengan kepala. Matanya sedikit lebih membulat, menampakkan binar yang sama seperti sang Ayah kandungnya; Cakrawala. “Ayah, Mbul mau denger dongeng. Pipi biasanya selalu bacain dongeng buat Mbul sebelum tidur.”

Gerhana melirik jam dinding di kamar Rembulan. Pukul sembilan lebih. Sudah lewat dari jam malam yang diwajibkan Cakrawala untuk menjaga waktu agar jam tidur Rembulan tetap terjaga. “Ini udah jam sembilan lewat, sayang. Nanti Ayah Gerhana dimarahin Pipi kalau biarin Mbul tidur lewat dari jam sembilan,” ujar Gerhana, kali ini ditambah dengan bibir bawah yang sedikit dimajukan. Berharap dengan cara bujuk seperti itu, si gadis kecil bisa memahami dan bergegas segera tidur.

Akan tetapi Gerhana kerap melupakan satu fakta, bahwa Rembulan adalah putri kandung Cakrawala. Rembulan mewarisi segala sifat yang dimiliki sang Ayah. Ambisius, tidak mau kalah, sedikit manja; semua dilahap sampai habis dan tidak bersisa. Maka ketika Gerhana menyuarakan keberatan, Rembulan malah merajuk. Malah sampai mengancam akan menangis dan tidak akan tidur sampai esok hari jika Gerhana tidak mengabulkan pintanya untuk memperdengarkan cerita dongeng.

Pada akhirnya, Gerhana mengalah.

“Tapi Mbul langsung tidur, ya? Jangan malah minta diceritain dua kali. Ayah dimarahin Pipi, lho, nanti,” ujar Gerhana seraya menempatkan dirinya untuk ikut berbaring di kasur milik Rembulan. Sedikit sempit, karena tinggi badannya sendiri pun sudah melewati batas bingkai kasur empunya si gadis kecil.

Rembulan segera mengangguk semangat. Namun bukannya meraih buku dongeng yang ada di dekat nakas tempat tidur, Rembulan malah memiringkan tubuhnya agar dapat bertatap langsung dengan sang Ayah. “Ayah. Rembulan mau denger cerita Ayah Gerhana sama Pipi! Ayah Gerhana pernah nyelamatin Pipi dari menara kayak cerita Rapunzel? Ayah Gerhana pernah cium Pipi pas Pipi tidur karena apel beracun? Ayah Gerhana pernah temuin sepatu Pipi yang hilang?”

Deret kalimat panjang yang diujarkan dengan nada teramat polos dari Rembulan tak urung membuat Gerhana tertawa geli. “Mbul. Hei. Ya ampun, kamu kok bisa kepikiran kayak gitu? Hmm? Gemes banget anaknya Ayah ini.” Saking gemasnya dengan tingkah laku si gadis kecil, Gerhana mencubiti kedua sisi pipi Rembulan. Yang dicubit tidak merasa keberatan, dia malah tertawa tergelak.

“Kalau gitu, Ayah Gerhana pernah nyelamatin Pipi kayak pangeran-pangeran di cerita dongeng?”

Kali ini, pertanyaan Rembulan sempat membuat Gerhana terdiam. Di benaknya, pertanyaan Rembulan barusan seakan memberi makna lain yang terlampau sulit untuk dijelaskan. Pada akhirnya, Gerhana tersadar dari lamunan dan memilih untuk balas menatapi si putri kesayangan di sampingnya. “Ayah Gerhana ceritain tentang Ayah sama Pipi tapi Mbul harus udah tidur sebelum jam sepuluh. Soalnya besok Mbul sekolah dan Ayah juga harus anter Mbul pagi-pagi. Ya?”

Gadis kecil itu tidak memberi argumen apapun. Layaknya anak kecil lainnya yang polos, Rembulan hanya memberi anggukan dengan semangat. Membuat Gerhana dapat melihat bagaimana sosok putrinya itu sangat mirip dengan sang suami yang sekarang tidak berada di sisinya. “Ayah Gerhana nyelamatin Pipi?”

Anggukan kecil diberi. Tatapan Gerhana sedikit menerawang, tengah memikirkan beberapa peristiwa yang pernah terjadi di masa lalu. Tatkala ia dan Cakrawala masih menertawakan berbagai hal konyol di dunia, tanpa pernah mengerti perihal rasa sakit karena sebuah perasaan yang mereka sebut sebagai cinta. “Iya.”

“Dulu Pipi pernah kesusahan, kayak Cinderella yang dulu dijahatin sama Ibu tiri dan kakak-kakaknya.” Baru saja satu kalimat disuarakan, Rembulan sudah memasang ekspresi tidak percaya bahkan air mata sudah seperti menggenang di pelupuk mata. “Pipi kenapa dijahatin? Pipi baik! Kenapa Pipi dibegituin?”

Gerhana tertawa kecil, respon dari Rembulan yang polos membuat Gerhana gemas bukan main. “Mbul. Pipi nggak jahat. Pipi orang baik. Cuma emang dunia ini nggak selalu dipenuhin sama orang baik. Ada banyak orang jahatnya juga. Pipi ketemu sama banyak orang jahat yang jahatin Pipi lewat tulisan dan omongan. Pipi pernah jadi kayak Cinderella.”

“Terus?” Rembulan menginterupsi, “Ayah Gerhana selamatin Pipi dari orang jahat?”

Gerhana terdiam untuk sejenak, sebelum akhirnya mengangguk kecil. Rembulan terlihat senang, namun Gerhana dilanda berbagai keraguan untuk menjelaskan tentang situasi selanjutnya yang pernah terjadi di masa lalu. “Ayah Gerhana dateng..”

“..lalu selamatin Pipi dari orang-orang jahat.”

Gerhana paham suaranya sekarang terdengar amat membingungkan. Semestinya ia menjelaskan semua situasi dengan bersemangat seperti Cakrawala yang mahir memainkan emosi pada nada suaranya ketika membacakan dongeng, bukannya malah terdengar murung seperti sekarang.

“Ayah. Kenapa sedih gitu?”, tanya Rembulan dengan tatapan yang seperti akan menangis. “Ayah Gerhana nggak seneng karena bisa selamatin Pipi dari orang jahat?”

Gerhana segera menggeleng cepat. “Nggak, Mbul. Nggak..” Sang Ayah mencoba menyunggingkan senyum selebar mungkin. “Ayah Gerhana bukannya nggak seneng karena bisa selamatin Pipi.”

“Tapi..”

Sunggingan senyum lebar di bibir Gerhana lagi-lagi memudar. “..Ayah ngerasa sedih karena tanpa sadar, dulu Ayah juga pernah jadi bagian dari orang-orang jahat itu.”

Rembulan sedikit mengernyitkan dahi. Tentu, cerita seperti ini terlampau membingungkan untuk seorang gadis kecil yang bahkan belum genap berusia lima tahun. Gerhana tersadar, gaya berceritanya harus diubah. “Ayah Gerhana dulu selamatin Pipi karena ada yang nawarin sesuatu ke Ayah, Mbul. Ayah dulu sempet jahat juga.”

Masih, kerutan di dahi Rembulan masih belum hilang. “Ayah Gerhana jahat...?”, tanya Rembulan dengan nada ketakutan yang bercampur dengan kebingungan. Bahkan gadis kecil itu kini bergerak sedikit menjauhi Gerhana, seperti ketakutan.

“Mbul. Ayah nggak jahat.” Gerhana sebisa mungkin memutar otak, mencari cara bagaimana untuk meluruskan situasi yang perlahan menjadi rumit ini. Tidak lucu jika nantinya ia dicap sebagai lelaki jahat oleh putrinya sendiri. “Mbul juga pernah ‘kan, cuma mau nurutin omongan Pipi buat makan sayur paprika karena Pipi bilang mau beliin boneka Pooh buat Mbul?”

Rembulan mengangguk.

“Nah, itu. Ayah Gerhana juga begitu. Ayah nyelamatin Pipi dari orang jahat juga karena alasan yang sama kayak Mbul.”

Rembulan mengerjapkan mata. “Ayah juga mau nolongin Pipi karena dipaksa makan paprika?” Kalimat yang diujarkan si putri membuat Gerhana kehabisan kata-kata, kebingungan harus melanjutkan ceritanya dengan cara bagaimana lagi.

“Iya, sayang. Mbul bener banget.”

Sudahlah. Iyakan saja.

“Jadi ada orang yang maksa Ayah Gerhana buat makan paprika tapi Ayah nggak mau. Nah, orang yang maksa Ayah Gerhana bilang— dia bakal berhenti maksa Ayah makan paprika asalkan Ayah Gerhana bisa selamatin Pipi dari orang jahat. Makanya, Ayah Gerhana iyain, deh.”

Rembulan menganggukkan kepalanya beberapa kali, bahkan mulutnya membuat bentuk bulat sempurna; di pikirannya, Rembulan merasa kagum dengan tindak sang Ayah yang berhasil bersiteru dengan benda menjijikkan bernama paprika.

“Terus, terus? Ayah Gerhana selamatin Pipi pakai baju batman? Ayah Gerhana bawa terbang Pipi? Syyuuuuung~~~ gitu?”, tanya Rembulan seraya menggerakkan tangannya di udara kemudian membuat gerakan meliuk-liuk seakan menggambarkan sesuatu yang tengah terbang bebas. Tak urung, Gerhana tertawa geli kemudian mengusak kepala si putri kesayangan di sampingnya dengan gemas.

“Ayah Gerhana nggak bisa terbang. Jadinya Ayah bawa Pipi sambil digendong gitu, Mbul.”

“Kok bisa? Pipi ‘kan lebih gede dari Ayah!”

“Lho? Ayah kuat lho, Mbul. Mbul juga, ‘kan, lebih tembem dari Ayah Gerhana tapi bisa diangkat sama Ayah, hayo! Iya, nggak?”

“Ih. Tapi, ‘kan, Mbul nggak lebih gede dari Ayah!”

“Pipinya lebih tembem dari Ayah, tapi.”

“Nggaaak! Nggak begituuu!”

Waktu seakan berjalan dengan lambat bagi Gerhana ketika suara tawa geli Rembulan terdengar membahana di seluruh kamar. Rembulan terlihat bahagia walaupun malam ini Cakrawala tidak ada di sisi. Rembulan tidak bertanya banyak perihal di mana keberadaan sang Ayah kandung, atau dengan siapa sekarang Ayahnya itu sedang menghabiskan waktu.

Syukurlah. Dalam hati, Gerhana benar-benar bersyukur karena Rembulan tidak menanyakan banyak hal. Karena Gerhana tidak yakin bisa memberi jawaban yang sejujurnya kepada si gadis kecil. Gerhana tidak bisa mengatakan hal yang sesungguhnya kepada Rembulan bahwa Ayahnya, Cakrawala, tengah pergi ke Jakarta untuk bertemu dengan sang mantan kekasih hati yang masih dicinta setengah mati.

Tatkala Rembulan terlelap dengan masih memeluki boneka berbentuk Piglet, Gerhana memutuskan untuk keluar dari dalam kamar. Sengaja, Gerhana tidak mematikan lampu yang ada di atas nakas tempat tidur karena tahu terkadang putrinya itu kerap terbangun di tengah malam dan bisa saja menangis ketika menyadari kamarnya gelap gulita. Sedikit cahaya diperlukan agar dia tidak terkejut ketika diselimuti kegelapan. Selimut bergambar karakter kartun pun dinaikkan kembali, memastikan sang putri tidak kedinginan di tengah lelapnya.

Dengan langkah perlahan, Gerhana keluar dari kamar si putri kesayangan juga dengan gerak yang terlampau dilakukan dengan perlahan, Gerhana menutup pintu kamar; tidak ingin membuat suara sekecil apapun. Ketika pintu sudah ditutup, keheningan rumah segera menyapa. Sepi, tidak ada suara apapun selain suara patahan kayu yang terbakar di perapian ruang tamu serta detik jarum jam yang seakan ingin mengingatkan Gerhana seberapa banyak waktu yang terus terlewati tanpa adanya Cakrawala di sisi.

Gerhana menghembuskan nafas dengan berat. Lagi-lagi, dadanya terasa sesak. Ada sebuah perasaan yang mengendap di sana, tertanam di satu bagian hati yang paling dalam. Saking dalamnya, bahkan Gerhana bingung bagaimana harus mengangkat perasaan itu ke permukaan. Ia terlalu sering membiarkan perasaan itu untuk berada di dasar, ditekan kuat-kuat agar tidak ada yang tahu. Perasaan ingin marah, ingin berteriak hingga rasanya tenggorokan akan pecah. Perasaan ingin menangis dan memukuli dinding sekeras-kerasnya hingga buku-buku jarinya memutih dan darah membaluri kuasa. Gerhana ingin melakukan semua itu namun segala maunya terlampau sering ia tahan, dipendam ke palung paling dasar dan hanya mengangkat perasaan kosong yang dihiasi senyum penuh ketenangan.

Gerhana terlalu sering tersenyum. Gerhana terlalu sering mengatakan tidak apa-apa. Gerhana terlalu dimabuk akan perasaan sayangnya kepada Cakrawala sampai-sampai ia melupakan situasi di mana ia juga harus menyayangi dirinya sendiri; ia melupakan fakta bahwa ia juga pantas merasa bahagia.

Pusing. Gerhana terus-terusan memikirkan kata itu di dalam kepalanya. Ujung pelipisnya dipijat dengan sebelah tangan, berusaha menghilangkan rasa yang seakan menekan kedua sisi kepalanya kuat-kuat; membuatnya mual. Merasa bahwa tidak akan ada untungnya jika dia memilih untuk berkutat dengan rasa sesak yang dirasa, akhirnya Gerhana memilih untuk segera terlelap. Esok hari, ia harus mengantar Rembulan ke playgroup dan memastikan dirinya tidak terlambat untuk menghadiri sebuah rapat penting yang akan menjadi titik balik keputusan karirnya.

Gerhana tidak boleh terlambat barang sedetikpun. Lebih baik ia mengusir semua pemikirannya tentang apa yang sedang dilakukan Cakrawala di Jakarta. Lebih baik ia tidak memikirkan segala kemungkinan tentang apakah lelakinya itu tengah tertawa di rengkuhan tangan kokoh milik Baskara. Lebih baik ia tidak memikirkan segala probabilitas perihal Cakrawala yang mungkin lebih bahagia di pelukan Baskara dibandingkan dirinya.

Lebih baik Gerhana tidak memikirkan semua itu. Iya. Lebih baik, begitu.


“Lo bisa bantuin gue, ‘kan, Er?”

Gerhana menyesap isi minuman di gelas yang ada di hadapan. Tatapannya sedikit memicing ketika mendengar kalimat ujaran lelaki berkemeja biru langit yang kancingnya sudah dibuka dua dari bagian kerah, Baskara. Penampilan lelaki yang sekarang sedang duduk berhadapan dengan Gerhana di meja milik sebuah bar ternama di daerah Kemang itu terlihat berantakan walaupun tetap saja mampu membuat gadis-gadis manapun akan bertekuk lutut ketika diminta menemani untuk berbincang atau bercumbu di ranjang.

Please. Gue beneran pusing banget.” Baskara memegangi gelas berisi alkohol dalam kandungan yang cukup keras di tangannya dengan erat, seakan berharap bahwa apabila gelas di genggamannya ini pecah maka permasalahan di hidupnya juga bisa ikut terpecahkan. “Bokapnya Rachel brengsek banget, anjing. Gue udah kayak kerbau yang dicocok hidungnya, nggak bisa ngapa-ngapain selain ngikutin omongan dia. Bangsat emang itu kakek bangkotan, pengen gue bunuh.”

“Lo bunuh dia, lo nggak bisa terima apapun dari harta si kakek bangkotan itu.” Gerhana berujar dengan tenang seraya mengangkat sebelah tangannya, memberi tanda kepada bartender untuk mengisi kembali gelas miliknya yang sudah kosong. “Pikir pakai akal sehat, lah. Gue tau sebenernya lo juga nggak bisa hidup tanpa harta mertua lo itu, ‘kan?”

Baskara berdecak, tidak ingin mengakui bahwa seluruh ucapan Gerhana itu benar adanya namun ya—apa mau dikata? Setiap ujaran Gerhana adalah kenyataan. Baskara sudah menjadi budak dari kekayaan keluarga sang istri, Rachel. Jika diminta mundur, Baskara tidak akan sanggup untuk mengiyakan karena harta yang harus ia lepaskan sebagai resiko sudah terlalu besar. Baskara tidak segila itu untuk melepaskan semua kenikmatan materi yang didapat demi alasan apapun.

“Makanya gue butuh bantuan lo, Er.” Baskara kembali menekankan kalimat yang ia ucapkan di awal, nada suaranya terdengar lebih menuntut seakan memaksa Gerhana untuk menerima permintaannya. “Gue cuma bisa minta bantuan ke lo. Cuma lo yang gue percaya.”

Gerhana melirik sekilas ke arah si lelaki di hadapan sebelum akhirnya mendengus kecil. “Lo minta bantuan dari gue karena alasan percaya atau karena lo ngerasa gue ini bawahan lo yang bisa disuruh-suruh semau hati, Bas?”, tanya Gerhana seraya menaikkan ujung bibirnya, membentuk sebuah senyuman sinis yang jarang sekali diperlihatkan si lelaki. “Jangan suka ketuker gitu. Gue nggak mau lo ngomong manis biar gue nge-iya’in permintaan lo, lah. Jujur-jujuran aja.”

Baskara menatapi lelaki di hadapannya dengan sedikit sinis. Siapapun yang baru mengenal Gerhana pasti akan menganggap lelaki itu adalah sosok yang ramah dan bersahabat, manis dalam tutur kata pula. Namun tidak demikian dengan Baskara yang menemui sosok Gerhana sebagai rekan bisnis. Gerhana dalam sosok yang begitu adalah lelaki yang paling licik dan cerdik. Berbagai celah yang muncul akan dijadikan jalan untuk mencapai apa yang diinginkan.

Tidak heran, di usianya yang dapat dikatakan masih muda Gerhana sudah bisa mencapai posisi yang cukup tinggi di pekerjaannya. Baskara mengakui Gerhana adalah lelaki yang sangat berkompetensi maka ia berani membayar lebih kepada lelaki ini untuk masuk ke jajaran staff pengurus hotel miliknya. Lambat laun, hubungan mereka berubah menjadi teman akrab—hingga membuat Baskara bisa terang-terangan mencurahkan isi hatinya tentang situasi pelik yang tengah dialami.

Perihal video seksnya dengan Cakrawala yang bocor ke publik. “Kalau gue jujur, lo bakal bantuin gue?” Pertanyaan Baskara membuat Gerhana terkekeh kecil. “Jangan ketawa, anjing. Gue serius. Lo bisa bantuin gue atau nggak? Gue butuh jawaban lo.”

Gerhana mengangkat bahu dengan santai, tangannya kembali mengangkat gelas kristal yang sudah terisi alkohol. “Bas. Gue nanya tujuan lo yang sesungguhnya biar gue bisa tentuin sikap tentang apa yang semestinya gue lakuin. Ketika lo butuhin bantuan gue karena lo bener-bener percaya, gue bakal pikir dua kali buat terima atau nggak. Tapi kalau lo butuh gue karena lo anggap gue bawahan yang bisa lo suruh-suruh, gue bakal terima tanpa pikir panjang.” Baskara menyipitkan mata, namun Gerhana seakan tidak ambil pusing dengan pandangan menilai yang diberikan oleh Baskara barusan. Ia malah melanjutkan kalimatnya dengan ketenangan yang sama seperti sebelumnya. “Lo bos gue. Lo berhak minta tenaga dan semua dari gue buat kerjain apa yang lo suruh.”

“Tapi sama kayak lo yang berhak minta gue buat kerja, gue juga berhak minta imbalan yang serupa dengan apa yang gue lakuin nantinya.” Ujaran Gerhana selanjutnya membuat Baskara menyandarkan punggungnya ke kursi yang ditempati, paham betul dengan alur pembicaraan yang tengah mereka lakukan saat ini. Di lain sisi, Gerhana kini menggerakkan jari telunjuknya di permukaan gelas, seakan menunggu reaksi dari Baskara sebelum kembali melanjutkan kalimatnya.

“Berapa?” Pertanyaan singkat dari Baskara membuat Gerhana tersenyum tipis, merasa sedikit senang karena Baskara paham akan maksudnya tanpa ia harus menjelaskan dengan lebih jauh. Gerhana sedikit menghela nafas dalam-dalam, otaknya memikirkan nominal uang yang akan ia tawarkan kepada sang atasan di hadapannya. “Berapa, Er?”

“Gue baru kepikiran di angka 100.”

“M?”, tanya Baskara memastikan. Gerhana mengangguk kecil, “Lo tau sendiri. Bantuan yang lo minta dari gue ini adalah sesuatu yang libatin perasaan. Gue harus pastiin Cacak nggak tau kalau gue Cuma pura-pura. Gue harus bikin Cacak nyaman sama gue. Dan yang pasti, gue harus membiasakan diri buat deket sama Cacak padahal gue straight.”

“Buat bagian yang terakhir, kayaknya itu bagian yang bikin gue minta imbalan banyak.” Penjelasan dari Gerhana membuat Baskara mendengus, dalam hati tengah merutuki kelakuan si lelaki di hadapan yang terkesan sangat superior. “Yaaa, terserah lo, sih, mau ngeiyain atau nggak. Gue menawarkan aja. Siapa tau lo mau minta bantuan ke orang lain, ya—silahkan.”

Baskara tahu, ia tidak bisa meminta bantuan ke yang lain. Tidak banyak orang yang tahu perihal ini. Tidak banyak orang yang tahu bahwa lelaki di dalam video seks yang tersebar luas di publik saat ini adalah Cakrawala dan Baskara. Yang publik ketahui lelaki yang menjadi objek dalam video adalah Cakrawala. Perihal siapa yang merekam, publik tidak mengetahui dengan jelas. Banyak yang menerka bahwa lelaki satunya lagi adalah Baskara namun publik seakan dipaksa untuk bungkam tatkala pihak media mengatakan secara gamblang bahwa Baskara sama sekali tidak terlibat. Orang yang ada di dalam video rekaman seks itu hanya sekedar mirip dengan Baskara.

Padahal sudah jelas, itu adalah Baskara.

Akan tetapi yang terlibat tidak memiliki kemampuan apapun itu mengelak atau menyuarakan omongannya sendiri. Karena mertuanya sendiri yang melakukan demikian. Ayahanda Rachel, pemilik saham terbesar dari banyaknya usaha perhotelan yang tengah dijalankan oleh Baskara adalah dalang dibalik semua berita yang menyuarakan bahwa Baskara sama sekali tidak ada urusannya dengan video seks yang beredar. Media berkoar, mengatakan Baskara tidak bersalah. Namun media tutup mulut dalam pembelaan perihal Cakrawala. Baskara diselamatkan dengan tumpukan kertas bertajuk uang miliyaran, sementara Cakrawala terjatuh di palung paling dalam dari sebuah kenyataan. Cakrawala tidak bisa terselamatkan, ia hancur menjadi kepingan tanpa arti.

Baskara bukannya tidak mau peduli. Bagaimanapun juga, Baskara mencintai Cakrawala dibandingkan apapun tetapi rasa sayang kepada lelaki itu tidak cukup mampu untuk membuat Baskara melepaskan harta yang dimilikinya saat ini.

Baskara memiliki banyak hal lainnya untuk dipertaruhkan selain cintanya kepada Cakrawala. Baskara masih harus menyelamatkan Ibunda dan kedua kakak perempuannya yang masih harus bersembunyi dari kejaran sang Ayah. Baskara memiliki kisah kelam dengan kata bernama keluarga. Di kehidupan si lelaki, makna dari keluarga tidak pernah bisa berarti baik. Keluarga hanyalah sebuah hal yang memberatkan. Keluarga hanyalah sesuatu yang terus menyakiti orang-orang yang paling Baskara sayangi.

Sokongan materi dari keluarga Rachel lah yang menyelamatkan Ibunda serta kedua kakak perempuan Baskara agar dapat kabur dari kejaran sang Ayah yang sama sekali tidak bertanggung jawab. Apabila Baskara memutuskan untuk melepas Rachel, maka di saat itu juga hidup Baskara akan mati total. Nasib Ibunda dan kakak perempuannya tidak akan baik-baik saja di balik bayang-bayang kejaran sang Ayah. Tidak. Baskara belum bisa melepaskan semua ini begitu saja, walaupun itu semua demi Cakrawala.

“Tapi janjiin gue, lo bakal jaga Cacak sebaik yang lo bisa.”

Ujaran yang diucapkan Baskara segera dijawab dengan anggukan mantap dari Gerhana. Gelas kristal yang ada di tangan kanannya kini diletakkan ke atas meja, denting butiran es yang bertemu dengan dinding gelas terdengar bercampur di antara ramai riuh perbincangan para tamu di bar. “Lo bos gue, Bas,” ujar Gerhana seraya mengeluarkan dompet kulit miliknya dari dalam saku jas kenaan. Beberapa lembar uang kertas dengan nominal ratus-ribu dikeluarkan kemudian diletakkan di atas meja yang mereka tempati. “Apapun yang lo bilang, gue bakal lakuin.”

“Malem ini gue yang traktir,” lanjut Gerhana kemudian mengangkat tangannya lagi untuk memanggil salah satu waiter yang ada di bar. “Anggap aja ungkapan terima kasih karena lo udah mau mempercayakan misi penting ini ke gue, Bas.”

Ketika itu, Gerhana belum menyadari bahwa misi yang dijalaninya malah akan menjadi sebuah misi seumur hidup—yang bahkan tidak Gerhana ketahui kapan bisa ia selesaikan. Ketika itu, Gerhana belum menyadari bahwa misi yang ia lakukan karena bujuk rayuan uang harus berakhir dengan sebuah keinginan untuk menghabiskan waktu bersama dalam satu ruang.

Ruang, yang mereka sebut sebagai rumah.


“Dadah, Ayaaah!”

Gerhana membalas lambaian tangan Rembulan dengan senyum yang terhias lebar di wajahnya. Gadis kecil itu sekarang sedang menggandeng tangan seorang wanita dengan pakaian yang terlihat kasual namun sopan juga rapi. Jika Gerhana tidak salah mengingat, nama wanita itu adalah Sophia; salah seorang tenaga pengajar di playgroup yang didatangi oleh Rembulan untuk mengisi keseharian. Pagi ini, Gerhana hampir saja membuat dapur rumahnya kebakaran karena terlalu sibuk mempersiapkan sarapan sekaligus memandikan Rembulan sebelum berangkat ke sekolah. Belum lagi ia harus menghadapi Rembulan yang merengek karena tidak mau rambutnya ditata dengan model yang digerai, anak perempuannya itu ingin memakai tatanan rambut yang dikuncir dua.

Parah. Hampir saja Gerhana keluar rumah dengan hanya mengenakan kemeja dan celana boxernya saja karena terlalu sibuk melingkarkan syal ke leher Rembulan serta memakaikan jaket tebal ke si putri. Terlalu fokus mengurus anak, sampai melupakan dirinya sendiri; itulah situasi Gerhana hari ini.

Setelah memastikan Rembulan tidak terlihat lagi dari jarak pandang, barulah Gerhana masuk ke dalam mobil untuk bergegas menuju gedung kantornya. Jalanan kota Vancouver di musim dingin memang selalu dipenuhi salju, membuat Gerhana yang sedang terburu-buru pun tidak mampu melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh. Hanya hatinya yang tergesa, mobilnya hanya bisa membelah jalanan bersalju dengan kecepatan yang sangat—lelet.

Di tengah perjalanannya menuju gedung kantor, Gerhana menyempatkan diri untuk memandangi pemandangan di sekeliling. Suasana natal mulai terasa di sekitar jalanan menuju kantornya. Dekorasi dengan dominan warna hijau dan merah terlihat mulai dipasangi di dinding-dinding bangunan, baik itu gedung atau rumah-rumah di pinggiran jalan. Pohon natal dengan ukuran besar juga mulai dihias dengan berbagai pajangan lucu, menghangatkan hati siapapun yang melihat.

Sekilas, Gerhana melirik ke sebuah kalender sekaligus jam digital berukuran besar yang terpasang pada sebuah gedung tinggi di hadapannya. Hari itu, 24 Desember 2029. Christmas eve. Hari yang dinanti-nantikan oleh banyak orang untuk menghabiskan waktu bersama orang yang paling mereka sayangi. Namun, Gerhana harus menerima kenyataan bahwa Cakrawala tidak pernah bahagia untuk menyambut hari natal di setiap tahun yang mereka lewati bersama.

Karena sebelum natal, Cakrawala harus melewati tanggal ulang tahun Baskara. 24 Desember, adalah tanggal lahir lelaki yang masih menduduki posisi tertinggi pada singgasana hati Cakrawala. Setiap tahun, Cakrawala tidak pernah absen untuk tidak menghabiskan malam christmas eve dengan menangis sendirian; entah itu di balkon atau ruang tamu. Dua tahun dihabiskan oleh Gerhana semenjak pernikahannya dengan Cakrawala, selama itu pula di setiap tahunnya Cakrawala selalu terlihat murung ketika merayakan datangnya hari natal.

Kenapa Gerhana tidak memarahi Cakrawala, tanyamu?

Entah. Gerhana ingin memarahi pasangannya itu karena selalu terlihat murung di setiap waktu menuju hari natal yang semestinya menjadi hari yang berbahagia untuk mereka. Gerhana ingin sekali menegur Cakrawala karena membuat Rembulan berpikir bahwa hari natal adalah hari yang menyedihkan karena sang Ayah kandung tidak pernah terlihat bahagia. Gerhana ingin sekali bilang bahwa Rembulan sangat memikirkan kondisi Cakrawala bahkan hingga menjawab hadiah yang ingin ia terima dari sinterklas adalah senyuman bahagia agar bisa gadis kecil itu hadiahkan kepada si Ayah kandung.

Namun mau bagaimana? Ia tidak mampu memarahi Cakrawala.

Rasanya setiap bagian dari eksistensi diri seorang Saka Adjie Cakrawala adalah sebuah hal yang terlampau rapuh. Gerhana tidak bisa memarahi atau menegur Cakrawala karena takut tindak kasarnya akan menghancurkan si pasangan lebih parah lagi. Jangankan untuk memarahi, bahkan untuk memeluk dengan sedikit lebih erat pun Gerhana tidak kuasa melakukannya. Ia takut rengkuhan yang terlalu erat malah membuat Cakrawala sesak. Ia tidak mau Cakrawala kehabisan nafas di dalam pelukannya.

Maka tatkala Gerhana dengan secara tidak sengaja menemukan sebuah foto berisikan potret Baskara dan Cakrawala yang diambil ketika mereka merayakan ulang tahun Baskara, Gerhana menanyakan perihal keinginan Cakrawala untuk mendatangi Baskara di Jakarta. Semua pertanyaan itu diberi karena dibalik foto mereka berdua, Gerhana menemukan tulisan Baskara dan Cakrawala yang menuliskan janji untuk bertemu lagi di tahun 2029; sepuluh tahun semenjak hari jadi mereka berdua. Apapun yang terjadi, dengan status apapun mereka nantinya, juga tidak peduli dengan bagaimana jadinya jalinan hubungan diantara mereka berdua—Baskara dan Cakrawala menuliskan janji seperti itu di balik potret mereka berdua.

Awalnya Cakrawala menolak. Awalnya Cakrawala mengatakan bahwa ia tidak ingin mengingat atau terlibat pembicaraan yang menyangkutpautkan nama Baskara di dalamnya. Cakrawala mengatakan bahwa ia ingin melupakan segala tentang Baskara. Namun Gerhana bisa apa ketika menatap mata Cakrawala yang berdiri di hadapannya kala itu? Mata Cakrawala tidak pernah bisa berbohong. Gerhana paham apa yang dimaksud dari tatapan mata si pasangan, bahwa sesungguhnya lelaki itu ingin bertemu dengan Baskara. Bahwa sesungguhnya Cakrawala ingin mewujudkan janji yang pernah mereka buat berdua.

Gerhana harus merelakan amarahnya kembali ia telan bulat-bulat ketika Cakrawala menangis di dalam pelukannya. Gerhana harus kembali menekan segala emosinya dan mengatakan semuanya baik-baik saja ketika Cakrawala terisak, mengulangi kata ‘maaf’ berulang kali seperti kaset rusak.

Pada akhirnya, Cakrawala benar-benar pergi ke Jakarta. Meninggalkan Vancouver dengan sebuah kotak yang tidak Gerhana ketahui apa isinya, namun ia bisa memastikan apapun isinya pastilah ada hubungannya dengan Baskara. Gerhana mengantarkan Cakrawala ke bandara. Gerhana membalas pelukan Cakrawala ketika pasangannya itu meminta untuk menjaga Rembulan dengan baik. Gerhana tersenyum ketika melambaikan tangan, melepaskan keberangkatan Cakrawala yang masuk ke dalam terminal keberangkatan.

Pada akhirnya, Gerhana lagi-lagi kalah. Pada akhirnya, Gerhana hanya berakhir menjadi pengecut. Pada akhirnya, sejauh apapun Gerhana mengajak Cakrawala untuk pergi meninggalkan semua yang ada di masa lalu—ada satu bagian dari diri Cakrawala yang tidak akan pernah bisa ikut berlari. Adalah memori, tentang kejadian bersama Baskara yang tidak akan pernah bisa pergi. Pada akhirnya, semua usaha Gerhana hanya berakhir jadi bahan tertawaan karena tidak ada yang bisa menjadi bukti. Semua fana, tidak nyata.

DDDINNN!

Refleks, Gerhana menginjak pedal rem mobilnya kuat-kuat ketika hampir saja ia melewatkan lampu lalu lintas yang berwarna merah dan malah berniat melaju dengan kecepatan cukup kencang. Beruntung, mobil yang datang dari arah sebelah kirinya segera menekan klakson dan membuat Gerhana bisa tersadar dari lamunan yang hampir melayangkan nyawanya sendiri.

Di balik kemudi, Gerhana mencengkeram setir kemudinya kuat-kuat bahkan membuat buku-buku jarinya agak memutih. Tangannya gemetar tidak karuan ketika mengingat jarak mobil yang hampir saja menabrak mobilnya itu hanya terpisah jarak yang teramat tipis. Nafasnya tersengal, bahkan Gerhana sedikit mengerang ketika tiba-tiba dadanya terasa nyeri bukan main. Dengan sedikit panik, Gerhana memukuli dadanya sendiri dan mencoba mengatur nafasnya dengan perlahan.

Butuh waktu belasan detik agar Gerhana bisa menemukan tenangnya. Hingga akhirnya nafas si lelaki bisa kembali terdengar normal, Gerhana menyandarkan keningnya ke setir kemudi. Ia menatapi ujung sepatunya sendiri yang menempel ke pedal gas serta rem, menyadari sebagaimana kejadian yang dialaminya tadi bisa saja menjadi sesuatu yang parah bukan main.

“Fokus. Er, lo harus fokus.”

Pikirannya tiba-tiba dibuat seperti naik turun, layaknya tengah menaiki wahana roller coaster di taman bermain. Memori tentang banyak hal yang Gerhana lewati dengan Cakrawala rasanya seakan bergantian masuk ke dalam otak, membuat si lelaki semakin mengeratkan genggamannya pada setir kemudi. Ingin melampiaskan semua emosinya ke sana. Gerhana ingin semuanya bisa berakhir seperti biasa, dengan ia yang bisa menahan emosi dan amarah, dengan ia yang bis—

“ARRRRRGHHHHHHH!!!”

Teriakan Gerhana pecah seiring dengan suara klakson yang ia bunyikan panjang, membuat para pengemudi yang ikut membelah jalanan raya di kota Vancouver jadi kebingungan. Gerhana, kehilangan kendali dirinya sendiri.


“Lo udah bilang? Anjir! Berarti bakal lamaran? Ah, gila! Gercep amat, bangsat! WOY. Gerhana mau nika— HMPH!” Seruan Chandra segera terhenti ketika Gerhana membekap mulut si sepupunya erat-erat. Bahkan mungkin hingga membuat ia hampir tidak bisa bernafas. “HNNGH—! HUE HAHIHA HAHAS HEGO!” (Gue nggak bisa nafas, bego!)

Seakan tidak mempedulikan permintaan Chandra, Gerhana masih saja membekap mulut si sepupunya. Kepala Gerhana menoleh ke kiri kanan, memastikan tidak ada orang yang berada dalam jarak dengar cukup dekat; berharap tidak ada orang yang mendengar seruan Chandra barusan.

Oke, aman. Tidak begitu ada banyak orang yang mampir ke foodcourt Mall Senayan City di jam segini. Paling hanya beberapa karyawan kantoran yang tengah duduk di bangku dengan laptop di hadapan. Entah tengah mengerjakan tugas kantor sambil bersantai atau tengah memanfaatkan fasilitas wifi yang tersedia. Yang pasti, mereka sepertinya tidak sadar dengan apa yang barusan Chandra (hampir) serukan. Padahal kalaupun sadar, tidak akan ada yang mempedulikan, kok.

Memastikan situasi sudah aman, Gerhana membuka bekapan tangannya dari mulut Chandra. Detik setelahnya, lelaki itu segera bernafas dengan tersengal-sengal dan memasang ekspresi layaknya akan mati. “Gila. Gila. Gue dibekep sampe nggak bisa nafas. Gila, lo, gila.” Gerhana terlihat tidak begitu mempedulikan ujaran Chandra dan kembali memposisikan diri untuk duduk di bangku coklat panjang yang berhadapan langsung dengan Chandra. “Ya, lo diem aja, kali. Sekalian sono, pake toa. Lagian siapa yang mau nikah? Gue cuma ajakin dia ketemu Ayah,” jelas Gerhana yang dibalas dengan Chandra yang merengut.

“Ya, tetep aja. Lo jarang-jarang bawa pasangan ke depan keluarga. Apalagi buat ketemu si Om Adzihru. Gue tau lah, Ayah lo ‘tuh kayak gimana. Kalau lo udah berani bawa pacar lo itu—siapa namanya?” “Cacak,” jawab Gerhana.

“Nah, itu. Kalau lo berani bawa Cacak ke rumah buat ketemu Ayah lo, ya—lo berarti serius.”

“Emang gue serius.” Gerhana menjawab dengan nada datar. Kuasa kanannya masih mengetuki papan meja, membuat ketukan nada tidak beraturan. “Gue serius sama Cakrawala.”

Chandra sempat mengerjapkan mata, terlihat tidak tahu harus merespon seperti apa akan kalimat yang diucapkan Gerhana. “Er.. lo dipelet, ya?” Sontak saja, Gerhana tertawa kecil. Ia paham akan maksud kalimat Chandra. Jujur, Gerhana juga bingung akan perjalanan cintanya. Bagaimana ia malah mendamba sosok seorang lelaki yang sama seperti dirinya dan bagaimana ia malah ingin melabuhkan semua perasaan dan sisa waktu hidup kepada seorang lelaki. “Nggak tau, Chan. Mungkin juga gue beneran dipelet. Kayak mustahil banget, gue malah mau seriusin seorang cowok.”

“Terus kapan lo mau bawa Cacak ke tempat bokap lo di Kanada?”

“Belum tau.”

”.....”

“.....”

”.....”

“.....”

“Er.. Seandainya lo bukan sepupu gue, bakal gue tendang lo pake jurus taekwondo gue. Gue kira lo ngomong begini tuh karena udah tau kapan bakal bawa si Cacak ke Kanada. Ah, penonton kecewa!” Gerhana ikut menghela nafas, ikut memikirkan setiap kalimat yang diujarkan si sepupu. “Nggak tau. Gue belom ngehubungin Ayah. Gue masih bingung.”

“Katanya lo udah yakin? Sekarang malah bingung?! Tuhan Yesus, gue tampol juga, ni—”

“Bingung, kalimat apa yang mesti gue ucapin buat nelfon Ayah. Apa kalimat awal yang mesti gue sebutin biar obrolan gue sama Ayah nggak kaku.”

“Hah? Gimana? Gimana?” Chandra memajukan posisi tubuhnya, tidak yakin dengan apa yang barusan ia dengar. “Lo bingung mesti ngomong apaan ke Ayah lo, gitu? Emang bisa?”

“Emang lo nggak?” Gerhana malah balik bertanya dan segera dijawab dengan gelengan kepala dari Chandra. “Mana pernah! Gue kalo nelfon bokap 'tuh jatohnya pasti ngelawak. Kadang tebak-tebakan juga. Apa, ya, tebakan yang kemaren bokap gue kasih? Oh! Mushola apa yang ada di tengah laut?”

“Hah?” Gerhana mengernyitkan dahi. “Apaan?”

“MUSH—SHOOOO—HIL. HAHAHAHAHAHA.”

“.....”

“Ha Ha Ha... nggak lucu, ya?” Chandra menggaruki pipinya, merasa malu karena sudah tertawa heboh sendirian. Gerhana terkekeh kecil seraya menggelengkan kepalanya. “Lucu, kok. Lucu. Gue cuma iri aja. Gue sama Ayah nggak pernah bisa kayak begitu. Obrolan kami selalu aja kaku. Kalo nggak tentang kerjaan, ya, palingan tentang gimana kondisi gue di Jakarta. Kurang duit atau kagak. Abis itu, selesai. Nggak ada hal lain yang pernah ditanyain.”

“Nggak pernah ada tebak-tebakan jayus?”, tanya Chandra, memastikan. “Atau ejekan kalo kulit lo item?”

“Nggak pernah.” Gerhana menggeleng, kemudian menghembuskan nafas dengan berat. “Malah gue ragu, Ayah gue tau kulit gue tuh item, putih, atau ijo.”

“Yakali ijo. Lo kira alien?”, Chandra ikut menimpali dengan nada senewen. “Gini, Er. Gue 'kan dulu satu SD sama lo, perasaan waktu kita masih SD Ayah lo nggak sebegitu nyereminnya. Kok dari cerita lo itu, kayaknya si Om ‘tuh nyeremin banget kayak anjing kena rabies.”

“Gue juga nggak tau. Nggak tau sejak kapan, gue jadi jauh sama Ayah.”

“Dulunya deket?”

Gerhana menganggukkan kepala sementara kedua kuasa jemarinya saling memainkan kuku. Tiba-tiba saja banyak kejadian di masa lalu berkelebat di otak, membutnya sesak. “Dulu gue selalu pengen nyeritain apa yang gue alamin ke Ayah. Gue abis dapet ini, lah. Itu, lah. Mau gue kasih tau.”

“Terus?”

“Kapan, ya? Kayaknya pas ulang taun gue yang ke tiga belas? Ayah gue janjiin bakal dateng di hari ulang taun gue. Bawain kue stroberi.”

“Kue kesukaan lo, ya?”

Gerhana mengangguk, pandangannya masih hanya tertuju kepada papan meja di hadapan. “Gue udah nungguin tapi beliau nggak dateng-dateng.”

“Sibuk, kali, Er. Lo tau sendiri bokap lo 'kan jabatannya tinggi.” Pandangan Gerhana tiba-tiba menjadi nanar. “Gue juga kira begitu. Semua pemikiran gue masih baik-baik aja waktu itu. Tapi..”

“Tapi?” Ulang Chandra, penasaran.

“Pas tengah malem, Ayah gue balik.”

“Tuh, 'kan! Pulangnya aja tengah malem. Pasti sibuk, la—”

“Sama cewek.”

“Hah? Gimana? Gimana?”

“Ayah pulang. Mabok. Sama cewek. Masuk ke kamar. Ngewe.”   “Seriusan?”

Gerhana tertawa getir. “Goblok, 'kan? Anaknya ulang tahun, bukannya bawa makanan atau kado malah bawa cewek. Mabok. Ngewe sampai suara si cewek kedengeran ke kamar gue.”

“Bentar. Gue beneran bingung mesti ngomong apaan, Er. Sorry.” Gerhana mengibaskan tangan, memberi isyarat bahwa ia tidak apa-apa. “Nyantai. Dulu hal ini sempet bikin gue down tapi sekarang udah biasa.” Biarpun mendapat kalimat penghiburan begitu tetap saja Chandra terlihat bingung. Pula pandangannya kini menjadi tatapan iba ketika menatap Gerhana.

“Gue kira, lo seneng.”

“Apanya?”

“Ya, itu. Semuanya yang lo punya. Banyak yang iri sama lo. Dari SD, SMA, gue tau banyak yang iri sama lo.”

“Karena?”

“Semuanya. Lo pinter. Muka ganteng. Anak perintis usaha gede di Indonesia, punya vila di Kanada. Apa-apa berkecukupan. Lengkap.”

“Lengkap apanya? Gue piatu dari lahir.” Ujaran Gerhana diakhiri dengan kekehan kecil, seakan menertawakan nasibnya sendiri. Chandra ikut tertawa kecil walaupun malah terdengar sangat kikuk. “Iya. Terkecuali yang itu, sih.” Hening sempat menyambut sejenak diantara mereka berdua sebelum akhirnya Chandra berujar kecil.

“Pantes lo nggak suka ngerayain ulang taun. Gue kira, lo beneran pelit soalnya nggak pernah kasih traktiran.”

“Anjir.” Gerhana tergelak. “Nggak, lah. Duit mah ada. Gue loyal ke temen-temen, juga. Emang guenya aja yang nggak suka sama tanggal 4 Mei. Selain karena Ibu gue meninggal tanggal 5 Mei setelah ngelahirin gue, gue juga nggak suka tanggal 4 Mei karena di tanggal itu gue tau segimana brengsek dan bejatnya bokap.”

Chandra mengangguka kecil, memahami maksud perkataan Gerhana. “Jadi semenjak itu, lo nggak deket sama si Om?”

“Gitu, lah. Semenjak itu, gue bener-bener ngejauh dari Ayah. Nggak cerita apapun. Nggak berniat ngomong apapun juga kalau bukan perihal yang urgent-urgent amat.”

“Tapi Er.. ini beda. Lo mesti minta restu Ayah lo. Tau sendiri, lah, hal yang lo lakuin sekarang ini masih dianggap tabu sama beberapa orang. Siapa tau bokap lo kurang setuju? Siapa tau, ya. Sekarang lo mau mulai langkah baru sama pacar lo itu, at least— bilang ke Ayah lo. Wajib itu. Sebenci apapun, lo tetep harus minta restu.”

Dia yang menjelajah dunia seorang diri, adalah lelaki yang paling sunyi tapi tidak takut menyendiri. Dia yang menjelajah dunia seorang diri, adalah lelaki berhunuskan belati dengan sejuta puisi tersembunyi.

Didasari kelakar semesta, keduanya dipertemukan. Pertemuan mereka, seperti ketidaksengajaan yang telah diatur baik oleh Tuhan. Kini hanya tinggal menunggu, hingga tiba waktunya kelakar menjadi sebuah restu.


Ospek Fakultas Universitas Bina Negara, 2017.

“Jinhyuk. Lo pernah kepikiran, nggak? Mungkin jodoh kita ada diantara ribuan orang ini. Mungkin jodoh kita lagi pake topi caping kayak kita. Pake jas almamater BiNer kayak kita. Kali aja dia juga lagiㅡ”

“ㅡkelaperan dan ngantuk.” “Kayak kita.”

Dialog singkat barusan berasal dari dua mahasiswa yang salah satu diantaranya memakai topi caping berwarna kuning sedangkan satu mahasiswa lainnya bertopi caping merah. Yang membedakan, lelaki bercaping merah tidak mengenakan topinya. Ia hanya mengibas-ibaskan topi caping berwarna merah di tangan dengan ekspresi risih. Sesekali kerah bajunya juga dikepakkan, berharap paling tidak cara demikian bisa mengusir rasa panas yang menyerang. Walaupun pada akhirnya, semua percuma. Si lelaki bertopi caping merah tetap saja kegerahan bukan kepalang.

Perkenalkan mereka yang terlibat di kisah ini. Lelaki bercaping kuning, Byungchan. Lelaki bercaping merah, Jinhyuk. Mereka adalah sedikit dari ribuan mahasiswa baru Universitas Bina Negara angkatan 2017 yang tengah menjalani ospek universitas.

Byungchan, si lelaki yang memiliki lesung pipit di kedua sisi pipi, terlihat antusias memperhatikan sambutan dari para petinggi Universitas walaupun teriknya matahari di siang hari ini seakan membakar kulit. Memang inilah mimpi Byungchan. Berada diantara ribuan orang bertitel Mahasiswa Baru Universitas Bina Negara. Jadi tidak heran jika senyuman lebar tak pernah lepas dari wajah si lelaki berlesung pipi.

Sementara Jinhyuk? Sesungguhnya, ia sama seperti Byungchan. Menjadi satu dari para intelek yang berhasil lolos seleksi Universitas Bina Negara adalah salah satu mimpinya juga. Biarpun jujur, lebih banyak /paksaan/ dari sang Ayah yang turut andil dalam pencapaiannya kali ini, namun Jinhyuk tetap merasa bangga bisa berada diantara ribuan mahasiswa Bina Negara lainnya.

Bangga. Iya, hanya 'bangga' saja. Perihal dijemur di lapangan hanya untuk mendengarkan sambutan ini itu, Jinhyuk tidak menyukainya. Bukan tidak menyukai, sih. Jinhyuk hanya...bagaimana mengatakannya? Gerah? Ya, bisa disimpulkan demikian.

Cuaca kota Jogjakarta yang terik seakan menusuk kulit. Belum lagi ditambah celana dengan bahan kain berwarna hitam juga jas almamater yang dikenakanㅡ ah, semakin panas saja.

“Lo yang semangat dikit, kek! Cuma kita berdua perwakilan dari SMA Pribadi, lho, Hyuk!”

“Gue semangat”, ujar Jinhyuk, membalas perkataan Byungchan. Namun kalimat yang diucapkan si lelaki bertopi caping merah sungguh sangat berbanding terbalik dengan tindakan yang dilakukan olehnya saat ini. Jinhyuk tidak semangat, Jinhyuk malah menguap. “Hoaaaahmh. Gue sema-ngaaatㅡ eeeargh. Pinggang gue keram, Chan.”

Jinhyuk merenggangkan pinggang dalam posisi duduk. Terlalu lama berdiam di tanah bisa membuat pinggangnya sakit, ternyata. Byungchan hanya menggeleng-gelengkan kepala ketika melihat tindak Jinhyuk yang ogah-ogahan. Sedikit khawatir juga sebenarnya, siapa tahu ada kakak senior yang memperhatikan tindak Jinhyuk dan merasa si lelaki jangkung itu sedang merendahkan upacara penerimaan mahasiswa ini. Jangan sampai nama baik SMA Pribadi hancur di tangan seorang Lee Jinhyuk, deh.

“Jinhyuk.”

“Hm?”

Byungchan masih tersenyum dengan sumringah, pandangannya tertuju ke atas langit. Bagaikan tengah menjadi pemeran utama dari sebuah film remaja, Byungchan berujar dengan nada penuh gairah muda. “Kita cuma berdua ya dari Pribadi.”

Berbeda dengan Byungchan, Jinhyuk hanya melirik si teman sealumni di sampingnya dengan tatapan miring. “Terus?”

“Iya gitu, Hyuk.”

“Apanya yang gitu?”

“Cuma lo sama gue. Berarti kita harus saling jaga.”

Jinhyuk terdiam. Ia sedikit menjauhkan jarak antara mereka berdua. Seakan tidak menyadari perubahan ekspresi di wajah Jinhyuk, Byungchan kembali menyuarakan kalimatnya. “Harus saling mengasihi.”

“...” Lagi, Jinhyuk menggeser posisi duduknya, menjauhi Byungchan.

“Mencintaㅡ”

“Gue masih demen cewek.”

“Hah?” Kalimat selaan yang diujarkan Jinhyuk membuat Byungchan mengernyitkan alisnya barusan. Tidak menemui korelasi yang menghubungkan kalimat mereka barusan. “Apaan?”

“Biarpun pas SMA dulu gue digosipin jadi homoannya si Seungyoun, gue masih demen cewek. Biarpun di OSIS SMA, gue kerjaannya nempel melulu sama Jaehwan, gue masih demen cewek.”

Byungchan hampir saja meninju bahu Jinhyuk. Untung saja ia segera sadar bahwa mereka ada di upacara penerimaan mahasiswa, bukannya di kamar kost masing-masing. “Yee, si anjing. Gue dikira naksir lo, gitu? Najis, bangsat,” ujar Byungchan sambil setengah tergelak.

Jinhyuk merasa sedikit aman setelah melihat tawa keluar dari bibir Byungchan. Itu tandanya Byungchan hanya bercanda, bukan? “Gue mendingan sama kucing betina daripada sama lo, Hyuk”, lanjut Byungchan seraya mengusap ujung matanya yang berair, merasa geli karena ucapan Jinhyuk barusan.

“Lagian..”, pandangan Byungchan tertuju ke depan; lurus memandangi punggung seorang lelaki berambut agak kecoklatan dengan caping merah di tangan. Tindakan lelaki yang dipandanginya itu hampir mirip dengan Jinhyuk. Ia tengah mengipas-ngipaskan topi caping di tangannya ke wajah, seperti merasa kegerahan juga. “..ngapain gue naksir ke mahluk bejat kayak lo kalo masih ada bidadari jatuh dari surga. Di hadapanku..”

EAAAAAA.”

Jinhyuk refleks melanjutkan ucapan Byungchan dengan penggalan lagu Cowboy Junior. Bodohnya, Jinhyuk berujar dengan volume suara yang agak keras. Akibatnya? Beberapa mahasiswa baru menoleh ke belakang untuk mencari tahu apa yang terjadi, menjadikan Jinhyuk dan Byungchan segera menundukkan kepala mereka dalam-dalam. Malu, bukan main.

“Jinhyuk! Nyet! Lo sih, ah! Nggak bisa berhenti jadi kampungan, apa?”

“Lo yang sok jadi satria bergitar. Jijik gue denger kalimat lo barusan, Chan!”

“Mampus! Itu gebetan gue ngeliatin kesini! Malu gue, Hyuk! Malu!”

“Peduli setan, nyet! Lagian mana, sih, orangnya?”

“Jangan diliatin, bego! Malu gue!”

Jinhyuk dan Byungchan saling berujar dengan desisan; namun tetap saja terdengar ramai. Apalagi tatkala dengkul Byungchan sengaja menyenggol paha Jinhyuk dengan cukup keras. Padahal, Jinhyuk penasaran dengan sosok si lelaki yang katanya sedang diincar oleh Byungchan. Namun, sudahlah. Rasa penasaran yang dirasakan Jinhyuk tidak jauh lebih penting daripada usaha untuk menyembunyikan wajahnya dari para senior agar tidak dihukum.

Aduh, Jinhyuk. Mati saja, lah.

* * *

Masih PPSMB Hari Pertama Auditorium Fakultas Kedokteran Bina Negara

“Lo nguap terus, Hyuk. Ketauan senior, mampus lo.”

Byungchan menyikut lengan Jinhyuk yang tengah menguap, entah sudah untuk yang keberapa kali. Yang disikut lengannya, Jinhyuk, hanya melirik balik dengan ekspresi malas. Merasa terganggu, lebih tepatnya. “Ya, namanya juga ngantuk,” balas Jinhyuk.

“Ya nunduk, kek. Kalo nguap ya ditahan, kek. Apa, kek.” Byungchan berbisik dan dibalas dengan anggukan malas dari Jinhyuk. “Iya, gue nguap sambil nunduk, nih. Gue nguap sambil nundukㅡ”, ujar Jinhyuk. Kali ini seraya berpura-pura menguap sambil menundukkan tubuhnya dalam-dalan.

Ospek universitas yang diadakan pada lapangan utama telah selesai. Kini para mahasiswa baru Bina Negara diberi kesempatan untuk saling mengenal dengan teman-teman dari gugusnya masing-masing.

Jinhyuk dan Byungchan yang tergabung dalam gugus Hardjono 7 bergerak bersama teman-teman satu gugusnya menuju auditorium Fakultas Kedokteran, tempat dimana beberapa gugus lain akan mempelajari seluk beluk kampus yang akan menjadi kebanggaannya selama beberapa tahun kedepan.

Byungchan? Senang, sangat. Ya, biarpun sesungguhnya tidak hanya Byungchan yang merasa senang. Hampir seluruh mahasiswa yang tergabung di gugus Hardjono 6 hingga 8 merasakan hal sama. Fakultas Kedokteran. Surga bagi para kaum adam yang mendamba sosok seorang pasangan intelek, katanya. Siapa yang tidak merasa senang?

Oh, ada satu orang. Ia, Jinhyuk. Si lelaki jangkung hanya menumpukan dagu dengan sebelah tangan, memandangi podium yang ada di auditorium dengan pandangan kosong. Ia mencoba menahan kantuk sekaligus lapar yang terus menyerang tanpa henti.

Sebenarnya Jinhyuk bukan individu pemalas yang ogah menjalani ospek, hanya saja pertandingan sepakbola Manchester United melawan Liverpool yang ditayangkan menjelang dini hari tadi yang menjadi alasan kantuknya sekarang. Bahkan ketika para senior mengadakan permainan atau hiburan ringan, Jinhyuk sama sekali tidak menaruh perhatian.

Sumpah demi apapun, ia hanya ingin tidur. Keinginannya saat ini cuma itu saja.

“Mau lagi, nggaaaak?” Suara seorang senior kampua dengan tingkah agak kemayu terdengar lantang di seluruh sudut auditorium. Jinhyuk mengalihkan fokus sejenak sebelum akhirnya mengambil nafas lama untuk menjawab dengan penuh kepura-puraan. “Maaaㅡ”

Nggaak!”

Hening. Suasana auditorium segera dilingkupi keheningan. Alasannya hanya satu, karena suara seruan seorang lelaki yang menjawab pertanyaan si senior dengan jawaban tidak seharusnya.

“Siapa, sih?” “Keren tapi kok rada pe'a, sih?” “Gila, nggak takut, apa?” “Mantep, dihukum tuh pasti.”

Bisikan dari beberapa teman di gugusnya membuat Jinhyuk juga secara spontan ikut mengalihkan pandangan. Suara si lelaki terdengar dari bangku belakang sementara Jinhyuk duduk di barisan depan sehingga membuat Jinhyuk harus menolehkan tubuhnya ke belakang.

Lelaki bermasalah itu ada di barisan gugus Hardjono 8. Rambutnya sedikit berwarna kecoklatan, terlihat sangat halus bak artis-artis ibukota.

“Anjir, gebetan gue.” Bisikan Byungchan terdengar. Jinhyuk mengernyitkan alis kemudian menatap si lelaki bermasalah itu lekat-lekat. Memang sih, keren. Kulitnya putih, bibirnya merah. Dari jarak segini, Jinhyuk bisa menebak tubuh lelaki itu sedikit lebih mungil jika dibandingkan dengan dirinya yang jangkung.

Senior yang tadi menyuarakan pertanyaan kini meracau seperti menahan kesal, sementara si lelaki bermasalah hanya tertawa kecil dari bangkunya.

“Lo demen sama orang kayak begitu?”, bisik Jinhyuk pada Byungchan. “Auranya kayak si Descha, tukang labrak anak kelas sepuluh di sekolah kita dulu.”

“Mana gue tau dia begitu. Nggak jadi, dah. Ogah, serem. Gue dipites kalau telat ngapel ntar.”

“Emang dia mau lo apelin?”

“Ya makanya gue bilang kalau, buluk! Lo ngehina amat, sih?”

“Ya, maaf.”

Sementara perdebatan kecil di antara Jinhyuk dan Byungchan masih tetap berlanjut, si lelaki bermasalah kini berjalan menuju ke podium. Sepertinya ia harus menjalankan hukuman dari senior karena jawaban asal-asalan yang dikemukakan barusan.

Perdebatan di antara Jinhyuk dan Byungchan selesai, menjadikan Jinhyuk kembali memutarkan tubuh untuk kembali menghadap ke arah podium. Jinhyum menatap kosong ke arah depan, sesi hukuman seperti ini tidak menyenangkan baginya.

Sumpah. Jinhyuk hanya ingin segera pulanㅡ

“Itu! Kamu! Yang di depan! Planga plongo melulu! Sini maju ke depan juga!”

Senior menunjuk ke arah barisan tempat Jinhyuk berada. Tidak menyadari bahwa yang dipanggil oleh si senior adalah dirinya, Jinhyuk malah menengok kesana kemari.

“Maba yang lagi tengak tengok! Kamu maju ke depan! Kenapa malah tengok kiri kanan?”

“Saya, Kak?”, tanya Jinhyuk seraya menunjuk dirinya sendiri. Ragu bahwa yang dimaksud adalag dirinya.

“Iya, kamu! Daritadi nguap terus, 'kan? Bengong terus, juga. Maju!”

“Lha, kok saya juga ikut dipanggㅡawwawaw!” Argumen Jinhyuk terhenti ketika Byungchan mencubiti paha si kawan sealumbi dengan lumayan kencang; setidaknya cukup perih untuk membuat Jinhyuk mengaduh.

“Apaan sih lo, Chan? Nggak pake cabat-cubit, anjir!”

“Udah, maju aja napa?! Bawel amat! Makin ditandain senior kalau lo ngelak terus!”, ujar Byungchan, mengingatkan.

“Iya! Iya!”

Benar juga, sih. Jinhyuk tidak ingin memiliki masalah lebih banyak dengan menentang perkataan senior. Jadi yaㅡ sudahlah. Lagipula hukuman apa, sih, yang paling parah? Paling-paling hanya disuruh menyanyi atau menari.

“Nih, Wooseok. Kamu tembak dia.”

Jinhyuk segera terkesiap.

Baru saja Jinhyuk menempatkan diri untuk berdiri disamping lelaki yang dipanggil Wooseok, tiba-tiba perkataan si senior berpenampilan kemayu segera membuat si lelaki jangkung membelalakkan matanya.

“CIYEEEEEE.”

Teriakan serempak terdengar jelas. Para mahasiswa baru yang lainnya terlihat antusias menyaksikan tontonan yang tersuguh di atas podium auditorium Fakultas Kedokteran saat ini. Jinhyuk menggaruk kepalanya, merasa sedikit gemas dengan situasi yang terjadi. Kesal, pula.

“Ssstㅡ! Wooseok, buruan tembak. Yang so sweet. Biar dia nggak ngantuk lagi.”

Ya, elah. Orang ngantuk harusnya tidur biar nggak ngantuk lagi. Bukan malah dihukum terus dipermaluin di depan umum begini!

Ingin rasanya Jinhyuk menyahut demikian, namun lagi-lagi itu hanya angan. Semua ucapannya tertahan di ujung lidah. Awalnya Jinhyuk dan si lelaki bermasalah di sampingnya hanya saling berdiri berdampingan. Akan tetapi, entah senior sialan mana yang mengambil inisiatif untuk mengubah posisi keduanya menjadi saling berhadapan.

Si lelaki bermasalah menundukkan kepala, menatapi lantai panggung auditorium. Sementara Jinhyuk menatap lurus ke depan; benar-benar hanya lurus ke depan. Sama sekali tidak melirik lelaki di hadapannya sekarang ini.

Ah, lama amat, sih?!

Jinhyuk merutuk, tidak sabar. Si lelaki bermasalah ini terlalu lelet. Apa susahnya, sih, bilang hal yang sederhana seperti itu?

“A-aku..” “suka..” “kamu.”

“Mau nggak jadi pacar aku?”

Si lelaki bermasalah berujar sesuai dengan apa yang diminta oleh senior yang menghukum mereka. Kalimatnya sederhana namun lelaki ini sangat sangat lambat dalam bertindak. Kaki Jinhyuk sampai agak pegal dibuat berdiri terlalu lama.

“TERIMA! TERIMA!”

“Gimana, Jinhyuk? Diterima cintanya Wooseok barusan?” Pertanyaan dari salah satu senior perempuan dengan rambut dikuncir kuda itu membuat Jinhyuk agak mendengus.

Ya lo kira sendiri, Kak?! Dikira gue bakal iyain?

“Hahaha.” Jinhyuk membalas dengan tawa kaku. Keki, lebih tepatnya. “Sekarang udah boleh duduk, Kak?” Sengaja, Jinhyuk tidak menjawab pertanyaan si senior. Toh, memang tidak penting untuk dibalas pula.

“Eh, diterima nggak? Jawab dulu!” Si senior perempuan malah mendesak Jinhyuk untuk memberi jawaban dengan segera. Mendengar ujaran si senior, para mahasiswa baru lainnya malah semakin menyuarakan koor yang lebih riuh dibanding sebelumnya. “TERIMA! TERIMA!”

“Aduh, Kak.” Jinhyuk melirik ke arah si lelaki bermasalah di hadapannya yang masih menundukkan kepalanya dalam. Benar-benar malu, sepertinya. “Ini anak orang disuruh duduk aja dulu, Kak. Kasian.”

“CIYEEE. KASIAN, KATANYA. CIYEEEE, PERHATIAN!”

Ya elah. Norak banget sih lo semua?

“Ya udah, Wooseok bakal disuruh duduk. Tapi gantinya, kamu..” Si senior melirik ke arah papan nama yang terkalung di leher si lelaki jangkung. “..Jinhyuk?”

“Iya, Kak. Jinhyuk.”

“Jinhyuk, kamu yang mesti gantian dapet hukuman. Gimana?”

Jinhyuk membelalakkan mata dan segera menggeleng dengan cepat, seperti refleks. “Nggak jadi, Kak. Nggak mau.”

Ya, jika beberapa dari kalian mengharapkan jawaban heroik nan romantis layaknya novel karangan Ayah Pidi Baiq, maaf mengecewakan harapan kalian. Bagi seorang Jinhyuk, terlepas dari hukuman konyol ini adalah hal yang paling utama.

“Makanya, jawab dulu, dong,” ujar si senior dan membuat Jinhyuk menggaruki pipinya sekilas.

Mampus. Jawab apaan, dah?

“Jinhyuk, lelet banget, sih. Kasian Wooseok, nih, deg-degan nungguin jawaban kamu.” Ujaran si senior yang bertindak kemayu itu segera dibalas dengan kekehan tawa dari mahasiswa lainnya, namun dibalas dengan bibir Jinhyuk yang mengerucut.

Ahelah, Kak. Kok bacot amat, sih?

“Ayo, jawab! Acaranya jadi molor gara-gara kalian!”

Ya udah, udahin aja! Kenapa malah dilanjutin? Udah tau bikin molor!

“TERIMA. TERIMA. TERIMA.”

“Jinhyuk! Ayo, jawab!”

“TERIMA. TERIMA. TERIMA.”

“Kasian Wooseoknya, nih!”

“TERIMA! TERIMA! TERIMA!”

Jinhyuk merasa ia bisa gila. Koor kompak dari mahasiswa baru juga kalimat si kakak senior terdengar semakin bersahutan. Semua menjadi semakin menyebalkan ketika Jinhyuk menangkap sosok Byungchan sebagai salah satu dari mereka yang berseru paling lantang.

Si teman sialan itu, pasti dia bahagia melihat Jinhyuk tersiksa seperti sekarang ini.

“Iya.”

Akhirnya, Jinhyuk membuka suara. Para senior segera berdesis, memberi instruksi kepada mahasiswa baru lainnya untuk diam. “Sssstㅡ! Diem, semuanya! Jinhyuk ngejawab! Ssstㅡ! Gimana, Jinhyuk?”

“Saya terima, Kak.”

“Apa, Jinhyuk? Nggak kedengeran, nih! Kalian yang duduk di sana, kedengeran barusan Jinhyuk ngomong apa?”

“NGGAK KEDENGERAN, KAK!” Seakan ingin menggoda, para senior dan rekan-rekannya sesama mahasiswa baru berpura-pura tidak mendengar ujaran Galang barusan.

“IYA, KAK! SAYA TERIMA, KAK. PERNYATAAN CINTANYA DIA, SAYA TERIMA. TERIMAAA! SAYA TERIMA DIA JADI PACAR SAYA!”

Suasana auditorium menjadi riuh, bukan main ramainya. Mengelu-elukan jawaban Jinhyuk teruntuk si lelaki bermasalah (yang bahkan sudah Jinhyuk lupakan siapa namanya) itu.

“CIYEEEEEEEE.”

Astaghfirullah. Apa salah hamba, Ya Allah? Perasaan tadi hamba masih shalat Subuh di kostan, Ya Allah.

Mungkin hari itu adalah hari terburuk dari banyak hari sempurna yang dilalui seorang Jinhyuk. Hari itu, Jinhhyuk bertekad bulat untuk tidak pernah terlibat dalam urusan apapun dengan si lelaki bermasalah itu. Dari sisa ospek yang dijalani, Jinhyuk sebisa mungkin tidak berpapasan atau tidak berada dalam jarak radius lima meter dari si lelaki bermasalah yang sudah ia lupakan siapa namanya itu.

Jinhyuk tidak ingin berurusan lagi dengan si lelaki bermasalah itu, pokoknya.

Tidak untuk kemarin. Tidak untuk sekarang. Tidak untuk masa depan. Tidak untuk selama-lamanya.


Tok. Tok. Tok.

Seungwoo sedikit mengerang kesal ketika waktu tidurnya diinterupsi oleh suara ketukan pintu kamar. Satu detik. Dua detik. Tiga detik adalah waktu yang diperlukan untuk Seungwoo mengumpulkan sebagian nyawa agar bisa menyuarakan tanya perihal sosok di balik pintu kamarnya. “Siapaㅡ?”, tanya Seungwoo dengan suara agak serak.

“Byungchan.”

Jawaban singkat itu tidak membuat Seungwoo mengumpat. Ia hanya sedikit berdecak, merasa sedikit sebal karena waktu tidurnya yang sudah semakin menipis karena jadwal latihan untuk album debut solonya seakan diganggu oleh kedatangan Byungchan. “Sebentar..” Sedikit memaksakan langkah, Seungwoo membukakan pintu dengan setengah sadar karena kantuk yang terlalu menyerang. Kunci pintu secara perlahan dibuka dan sosok Byungchan sudah berdiri di balik pintu dengan memeluk bantal (yang Seungwoo yakini) miliknya.

“Apa?”, tanya Seungwoo dengan mata segarisㅡ yang ia paksakan untuk sedikit terbukaㅡ dan jemari kanan yang tengah mengacak-acak rambutnya sendiri. “Sejun ngoroknya kekencengan makanya kamu nggak bisa tidur?”

Byungchan menggeleng. Tanpa ucapan permisi dalam bentuk apapun, ia berlalu melewati Seungwoo untuk kemudian berbaring di kasur si paling tua diantara member grupnya.

Seungwoo yang melihat hal itu terlalu mengantuk barang sekedar menyuarakan seruan agar si lelaki Choi menghentikan langkahnya. Maka, si yang lebih tua hanya berjalan kembali menuju tempat tidur dan duduk di pinggiran kasur. Tidak segera berbaring, Seungwoo malah menyuarakan pertanyaan kepada Byungchan. “Kamu mau tidur di sini? Kalau iya, biar aku pindah ke sofa ruang tamu,” ujarnya dengan mata yang terpejam. Berani sumpah, ia sangat mengantuk saat ini.

“Ngg..” Byungchan sedikit menggumam, kepalanya menggeleng.

Memahami bahwa si yang lebih tua tidak akan sadar dengan gerakan kepalanya karena matanya terpejam rapat, akhirnya Byungchan menarik ujung baju Seungwoo; sebagai isyarat baginya untuk segera meniadakan jarak diantara mereka. “Sini aja.”

“Bareng.”

Kata yang diujarkan Byungchan barusan membuat Seungwoo sedikit membuka mata dan menolehkan kepala, menatapi si lebih muda yang tengah berbaring di tempat tidur miliknya. “Hei. Jangan suka macem-macem kalau di dorm.”

“Kalau ada yang liat, gimana? Bisa parah jadinya.”

Tidak ada yang tahu tentang yang sebenarnya dari hubungan Byungchan dan Seungwoo. Yang mereka ketahui, keduanya adalah sosok teman yang baik dan siap membantu satu sama lain di situasi sesulit apapun. Banyak orang menganggap Byungchan dan Seungwoo adalah sahabat.

Padahal, lebih daripada itu. Lebih tepatnya, semenjak musim dingin di tahun laluㅡ Byungchan menyatakan semuanya yang tertanam dalam hati selama beberapa tahun belakangan. Bahwa semua kalimat 'idolaku itu Kak Seungwoo', 'aku suka Kak Seungwoo', 'aku selalu kagum dengan sosok Kak Seungwoo' yang pernah keluar dari bibirnya bukanlah basa-basi semata.

Bahwa sesungguhnya, Byungchan benar-benar kagum. Bahwa sesungguhnya, Byungchan benar-benar suka. Bahwa sesungguhnya, perasaan yang selama ini dipendam terlalu sulit untuk terus disimpan dengan kedok adik-kakak atau sekedar sebagai teman satu grup.

Perasaan dinyatakan. Kalimat suka disuarakan. Dewi fortuna benar-benar berpihak kepada Byungchan karena Seungwoo menjawab dengan anggukan. Seungwoo mengatakan bersedia untuk menyambut perasaan Byungchan.

Dengan satu syarat, semua harus disembunyikan sampai saatnya mereka benar-benar siap. Bukan karena Seungwoo tidak sayang, namun karena Seungwoo juga sama besarnya dalam urusan menyayangi Byungchan. Ia tidak ingin lelaki itu mendapat akibat yang buruk di saat karir mereka sedang menanjak pesat.

Alasan klise, namun apa boleh buatㅡ? Memang begitu adanya.

“Aku nggak bakal tidur.” Byungchan berujar pelan, tangannya masih menariki ujung kaus yang dikenakan Seungwoo. “Aku cuma mau tiduran sebentar sama Kakak.”

“Kakak boleh tidur, nggak apa-apa. Aku pastiin, aku nggak bakal tidur. Pas aku udah ngerasa cukup, aku bakal balik lagi ke kamar.”

Seungwoo sempat terdiam. Seperti menimbang-nimbang perihal keputusan yang harus ia ambil. Apa bisa Byungchan terjaga di saat mereka tengah berdua begini? Tidak lucu kalau nanti pagi mereka berdua ditemukan berada di kasur yang sama dengan posisi saling berpelukan, 'kan?

“Ya, udah.” Bulat dengan keputusannya, akhirnya Seungwoo memilih untuk mengiyakan permintaan Byungchan. Ia membalikkan tubuh dan ikut berbaring di samping tubuh si lelaki yang lebih mudㅡ ah, tidak. Di samping tubuh kekasihnya, lebih mudah sebut begitu. “Boleh.”

Byungchan tertawa kecil, merasa puas karena rujukannya tadi berhasil meluluhkan hati Seungwoo. Ketika Seungwoo berbaring di sampingnya, Byungchan segera menarik tangan kanan Seungwoo agar terjulur dan dapat dijadikan bantalan untuk kepalanya sendiri. Seungwoo yang diperlakukan begitu, hanya bisa terkekeh kecil seraya melirik Byungchan dengan tatapan tajam yang diselingi candaan. “Hei, lenganku kebas nanti kalau ditidurin begitu sama kamu.”

Seakan tidak peduli, Byungchan kini memiringkan tubuhnya ke arah kanan. Membuat ia sekarang berhadapan dengan Seungwoo yang masih terlentang di sampingnya. “Sebentar aja.”

“Aku kangen.” “Kangen banget.”

Ujaran Byungchan barusan diujarkan dengan kepala yang sedikit ditengadahkan agar dalam memperhatikan setiap lekuk wajah Seungwoo yang terlampau indah di matanya. “Kak.”

“Hm?” Seungwoo hanya memberi jawaban dengan gumaman kecil. Matanya terpejam, tidak bisa berbohong bahwa sesungguhnya ia tengah mengantuk. “Kenapa?”

“Capek?”, tanya Byungchan dan membuat Seungwoo perlahan membuka matanya. Sekilas, pandangannya difokuskan ke arah Byungchan yang ada di sampingnya sebelum berakhir kembali memandangi langit-langit kamarnya yang polos tidak dihiasi apapun. “Capek apa?”, Seungwoo balas bertanya.

Byungchan sedikit merapatkan tubuhnya dengan Seungwoo sehingga jarak di antara mereka berdua sudah benar-benar tiada. “Latihan buat debut. Capek?”

Seungwoo tidak memberi jawaban dengan segera. Lengan si lelaki Han yang terjulur dan sedang ditiduri oleh Byungchan sedikit membuatnya kesemutan. “Sebentar, tanganku agak mati rasa. Aku tarik dulu, nggak apa-apa?”

Dengan sigap, Byungchan mengangkat kepala dan membuat Seungwoo dapat leluasa menarik tangannya kembali. Tindak selanjutnya yang dilakukan oleh si lelaki Han adalah memiringkan tubuhnya ke kiri, sehingga kini mereka berdua berbaring dengan posisi saling berhadapan. “Kenapa nanya begitu, hm? Khawatir?”

Jawaban yang diberi oleh Byungchan adalah anggukan tegas, seakan diberi tanpa ada rasa ragu sedikitpun. Melihat si kekasih yang sangat jujur, Seungwoo segera terbahak. “Pftㅡ!”

Byungchan sedikit merengut, bibirnya menjadi bentuk kerucut. “Aku serius, lho! Khawatir, serius. Apalagi kadang Sunhwa noona suka ngechat dan bilang buat pastiin kamu makan teratur, Kak.”

Seungwoo mengangguk-angguk, masih dengan upaya menutupi tawa. Kedua tangannya kini tergerak untuk mencubiti kedua sisi pipi Byungchan dan digoyang-goyangkan pelan, membuat si yang lebih muda segera berusaha melepaskan diri. “Kamu gemes banget, tau, nggak? Liat, kamu yang lagi manyun gitu karena aku yang ketawa. Kamu yang begitu..”

”..sumpah, demi apapunㅡ”

Cup. Cup. Cup.

Tiga kecupan singkat didaratkan dari bibir Seungwoo ke bibir si kekasih, Byungchan. Yang menerima kecupan hanya mengerjapkan matanya beberapa kali karena tidak menyangka akan diserang dengan sebegitu cepatnya.

“ㅡlucu banget.”

Seakan semua kantuknya sudah hilang, kini Seungwoo malah menarik tubuh Byungchan agar bisa ia dekap dengan lebih erat. Harum shampoo yang dikenakan Byungchan dapat terhirup dengan jelas oleh Seungwoo, membuat dirinya lebih merasa nyaman untuk memeluki lelaki Choi ini.

Aigoo..” Seungwoo berujar seraya menepuki punggung kepala Byungchan dengan perlahan, sesekali mengusapi dengan sama lembutnya. “Byungchan yang tujuh tahun lalu kerjaannya cuma dateng ke aku buat ngeluh, sekarang udah bisa dateng nyamperin ke kamar buat nanyain aku capek atau nggak. Bilang khawatir pula.”

Aigoo..” Dagu Seungwoo dibenamkan diantara ceruk leher si kekasih, seakan berusaha menghirup harum tubuh Byungchan yang entah bagaimana bisa membuatnya tenang. “Byungchan udah dewasa, ya?”

Di dalam dekapan Seungwoo, Byungchan hanya tersenyum tipis. Tangannya yang semula hanya terlipat di dekat perut, akhirnya bergerak untuk terlingkar diantara pinggang si lelaki Han. Perlahan, lingkar pelukannya naik ke atas dan bermuara ke punggung; menghadiahkan tepukan pelan di sana. Berharap bisa menjadi penyemangat untuk kekasihnya.

“Semua berkat Kakak.” Jawaban Byungchan barusan membuat usapan tangan Seungwoo di kepala si lelaki Choi terhenti. “Aku bisa begini karena Kakak.”

“Aku ngapain, emangnya?” Kepala Seungwoo sedikit dimundurkan, agar bisa menatapi wajah Byungchan dengan lekat. “Hm? Aku nggak ngapa-ngapain, kok.”

“Ngg...” Seakan tidak suka dengan jarak diantara dirinya dan Seungwoo yang tercipta saat ini, Byungchan segera menarik tubuh si kekasih agar kembali mendekat. “Jangan jauh-jauh.”

Seungwoo yang mendekapnya, harum tubuh si lelaki yang manis karena jenis parfum yang digunakannya, Byungchan tidak akan pernah merasa cukup puas dengan segala yang dimiliki seorang Han Seungwoo.

Dipeluki begitu, Seungwoo tidak dapat melakukan apa-apa. Ia hanya terkekeh kecil dan membiarkan Byungchan membenamkan wajah ke ceruk lehernya. Sedikit geli, memang. Namun karena lelaki Choi itu nampaknya nyaman dengan posisinya saat ini, Seungwoo hanya diam dan mengecupi pipi kiri Byungchan yang dekat dengan bibirnya.

“Kadang kamu bisa jadi sosok yang dewasa.” “Kadang bisa jadi bayi kayak begini.” “Yang maunya dimanjain terus.”

Byungchan mengangguk. Seakan sengaja, Byungchan menggerakkan kepalanya ke kiri dan kanan. Membuat Seungwoo sedikit menjauhkan kepala karena merasa terlalu geli akibat rambut Byungchan yang terus menyentuhi lehernya. “Tuh. Tuh. Mulai lagi, kan, sikap kayak bayinya.”

Si lelaki Choi terkekeh. Pelukannya di tubuh Seungwoo semakin dieratkan. Terkadang Byungchan masih tidak percaya lelaki yang selama beberapa tahun ke belakang selalu ia kagumi, sekarang bisa berada di pelukannya. Membalas rengkuhannya. Mengecupi bibirnya.

“Kak.”

“Hm?”

“Banyak hal yang udah kita lewatin, ya?”

Seungwoo terdiam sejenak, seakan memikirkan apa yang barusan diujarkan oleh Byungchan. “Banyak, banget.” Jawaban Seungwoo diberi seraya tangannya mengusapi leher Byungchan yang jenjang. “Semuanya hal yang baik. Nggak ada yang buruk.”

Byungchan menengadahkan kepalanya, ingin mengetahui ekspresi apa yang tengah diulas oleh kekasihnya ini. Seungwoo terlihat biasa-biasa saja. Tidak terlihat murung atau kesal, padahal Byungchan tahu pernah selelah apa lelaki yang tengah memeluki dirinya ini.

“Jangan bohong.” “Semuanya hal baik?”

Tanya dari Byungchan dibalas dengan tatapan balik dari Seungwoo. Lelaki Han mengulas senyum yang terlampau berkilau di mata Byungchan, senyuman yang selalu berhasil membuat jantungnya berdegup kencang lebih dari yang biasa. “Baik semua, kok.”

“Aku bisa jadi sosok yang jauh lebih baik. Sekarang pun, karena aku udah jadi sosok yang baikㅡ aku ngerasa bisa bawa orang sekeliling aku ngerasain banyak hal yang baik.”

Tangan kanan Seungwoo yang diletakkan di atas pinggang Byungchan kini diraih oleh si lelaki Choi. Jemari lentik Seungwoo diusapi oleh Byungchan. “Hm? Kenapa nanya begitu?”, tanya Seungwoo seraya menatapi Byungchan yang masih memainkan jemari lentiknya.

Byungchan menggeleng. “Aku cuma sempet mikir, Kakak pernah ngerasain banyak hal yang mungkin sulit dirasain oleh banyak orang. Kakak pernah ada di posisi yang mungkin sulit dipahami oleh banyak pihak. Aku cuma mikir... pasti capek karena harus berada di bawah penilaian banyak orang.”

Byungchan seperti mencicit, saking kecilnya suara yang ia keluarkan. Seungwoo membiarkan Byungchan memainkan jemarinya, bahkan ketika Byungchan mulai mengecupi ujung jemari lentiknyaㅡ Seungwoo hanya diam.

“Aku ngerasa payah karena pernah nyerah di saat Kakak berusaha selesaiin semuanya.” Byungchan tidak lagi mengecupi ujung jemari Seungwoo, hal itu membuat tangan si lelaki Han bebas. Segera, Seungwoo mengusapi pipi Byungchan dan mendaratkan kecupan di kening Byungchan. Dua kali.

“Ssshhㅡ” Seungwoo mendesis. Tubuh Byungchan lebih ditarik mendekat dan tepukan pada punggung si lelaki Choi diberi, dengan niatan agar Byungchan bisa merasa sedikit lebih tenang. “Udah. Kamu nggak boleh mikirin hal yang begitu. Ayo, tidur. Besok kamu masih harus syuting drama, 'kan? Hm?”

Dagu Byungchan diarahkan agar sedikit mendongak ke atas, memudahkan Seungwoo untuk mengecupi ujung bibir si lelaki Choi. “Sayang..”, Seungwoo mendesis, dibarengi dengan kecupan di puncak hidung Byungchan. “..tidur, ya?”

Rasanya darah Byungchan berdesir cepat ketika Seungwoo memanggilnya dengan panggilan sayang. Byungchan mengangguk, matanya diarahkan agar bisa menatap si lelaki di hadapan dengan lekat-lekat. “Kak..”

“Hm?”

“Ada banyak hal yang pengen aku omongin ke kamu. Ada banyak banget cerita yang mau aku bagi ke kamu. Tentang segimana aku sayang banget ke kamu. Tentang seberapa besarnya aku pengen nemenin kamu di setiap momen yang kamu lewati...”

“...tentang semua itu.”

Seungwoo mengulas senyum tipis seraya mengangguk-anggukkan kepalanya, berusaha memberi tanda bahwa ia paham akan maksud kalimat yang diujarkan Byungchan dan ia pun merasakan hal serupa. “Iya. Aku paham. Aku juga mau bagi banyak cerita sama kamu, tapi kamu udah mesti istirahat. Hm? Kantung matanya udah keliatan banget, itu. Nggak lucu kalau kamu dimarahin sutradara gara-gara kantung matㅡ”

“Aku selalu kangen Kakak.” “Biarpun aku ada di deket Kakak kayak begini, kayak sekarangㅡ tetep aja rasanya aku nggak pernah ngerasa cukup sama keberadaan Kakak.”

Seungwoo beralih mengusapi pipi Byungchan, sesekali mencubiti kecil pipi si kekasih yang sangat lentur. Lucu, pikir Seungwoo.

“Tapi kalo gitu, aku bakal ngerepotin Kakak, 'kan? Aku bakal bikin Kakak ngerasa terbebani karena akunya terlalu manja, 'kan?”

Seungwoo menggeleng, dan segera dibalas dengan mata Byungchan yang memicing juga bibir yang sedikit mengerucut. “Bohong.”

“Jujur, kok,” balas Seungwoo segera tanpa terdengar adanya keraguan sedikitpun. “Aku selalu coba lihat segala sesuatunya dari hal yang positif. Kalau kamu lagi manja sama aku, aku bakal mikir oh, berarti dia sayang banget sama aku. Tapiii..“, Seungwoo menggantungkan kalimatnya. Bibir Byungchan dikecupi lagi, bahkan hingga membuat si lelaki Choi bingungㅡ sudah berapa kali si kekasih menciumi dirinya malam ini?

”..tetep kasih aku ruang buat bergerak, ya, sayang? Hm? Bisa, 'kan?“, lanjut Seungwoo. Dahinya kini ditempelkan berdekatan dengan dahi Byungchan, membuat si lelaki Chou merasakan degupan jantungnya berdebar tidak menentu. Terlalu cepat.

“Aku yakin, pacarku ini orang yang dewasa. Yang bisa bedain kapan aku lagi kerja dan kapan aku lagi main-main. Di saat aku lagi sibuk kerja, aku harap kamu bisa paham dan maklum kalau chat dari kamu kubalas agak telat.”

“Tapi kalau aku lagi main dan chat kamu nggak aku balas segera, nihㅡ sini, nih..” Tangan kanan Byungchan diraih oleh Seungwoo untuk digenggam dan diarahkan ke kepala si lelaki Han, guna menjitakinya. Tidak keras, memang. “..pukulin aja, nggak apa-apa.”

Byungchan tertawa kecil. Tangan yang masih digenggam oleh Seungwoo kini digerakkan oleh si pemilik raga aslinya untuk mengusapi bagian kepala yang tadi dijitaki. “Nggak, lah. Aku paham ada batasan yang harus kita jaga buat masalah pekerjaan.”

Usai mengusapi kepala Seungwoo, Byungchan mengusapi pipi si kekasih. Sesekali menggerakkan jemarinya untuk menyusuri rahang tegas Seungwoo yang terbentuk sempurna. “Hhhㅡ”, Byungchan sedikit menghela nafas dengan berat. “ㅡmakan yang bener, kamu, 'tuh.”

Tak urung, gerutuan Byungchan barusan membuat Seungwoo mendengus. Pelukan kembali dieratkan, kali ini kepalanya dibenamkan di ceruk leher Byungchan; berusah mencari tempat yang nyaman untuknya bersandar. “Kamu udah kayak Sunhwa noona, tau, nggak? Setiap kali ketemu aku, yang dibahas cuma makan, makan, makaaaan melulu.”

Si lelaki Choi mendaratkan kecupan ke puncak kepala Seungwoo yang berada dekat dengan bibirnya. Memilih untuk tidak memberi balasan apapun karena perlahan ia merasakan nafas Seungwoo mulai melambat, seperti akan terlelap.

noreul manna geu ihuro..” “sasohan byeonhwadeul-e haengbokhatjyo..”

Di penghujung malam, suara Byungchan terdengar samar-samar dari arah kamar Seungwoo. Tidak ada yang mendengar, bahkan mungkin Seungwoo di dalam pelukannya pun sudah terlalu dibuai dan terbawa ke alam mimpi hingga tidak sempat mendengar alunan nada yang disenandungkan Byungchan.

Sudahlah, tidak apa. Biarkan saja. Yang penting, semuanya tersampaikan.

Bahwa Byungchan merasa semua penantiannya terbayarkan karena berhasil mendekap seseorang yang membawa banyak hal menakjubkan baginya. Seseorang yang mengubah setiap harinya dengan kebahagiaan, dengan tawa. Seseorang yang membuat dirinya ingin menjadi pribadi yang jauh lebih baik dari sekarang. Seseorang yang mau memeluk dirinya yang masih memiliki banyak kekurangan.

Bahwa seseorang itu adalah Han Seungwoo. Byungchan, bahagia. Sangat, bahagia.

Bahagia. Karena itu adalah Han Seungwoo.

Tok. Tok. Tok.

Seungwoo sedikit mengerang kesal ketika waktu tidurnya diinterupsi oleh suara ketukan pintu kamar. Satu detik. Dua detik. Tiga detik adalah waktu yang diperlukan untuk Seungwoo mengumpulkan sebagian nyawa agar bisa menyuarakan tanya perihal sosok di balik pintu kamarnya. “Siapaㅡ?”, tanya Seungwoo dengan suara agak serak.

“Byungchan.”

Jawaban singkat itu tidak membuat Seungwoo mengumpat. Ia hanya sedikit berdecak, merasa sedikit sebal karena waktu tidurnya yang sudah semakin menipis karena jadwal latihan untuk album debut solonya seakan diganggu oleh kedatangan Byungchan. “Sebentar..” Sedikit memaksakan langkah, Seungwoo membukakan pintu dengan setengah sadar karena kantuk yang terlalu menyerang. Kunci pintu secara perlahan dibuka dan sosok Byungchan sudah berdiri di balik pintu dengan memeluk bantal (yang Seungwoo yakini) miliknya.

“Apa?”, tanya Seungwoo dengan mata segarisㅡ yang ia paksakan untuk sedikit terbukaㅡ dan jemari kanan yang tengah mengacak-acak rambutnya sendiri. “Sejun ngoroknya kekencengan makanya kamu nggak bisa tidur?”

Byungchan menggeleng. Tanpa ucapan permisi dalam bentuk apapun, ia berlalu melewati Seungwoo untuk kemudian berbaring di kasur si paling tua diantara member grupnya.

Seungwoo yang melihat hal itu terlalu mengantuk barang sekedar menyuarakan seruan agar si lelaki Choi menghentikan langkahnya. Maka, si yang lebih tua hanya berjalan kembali menuju tempat tidur dan duduk di pinggiran kasur. Tidak segera berbaring, Seungwoo malah menyuarakan pertanyaan kepada Byungchan. “Kamu mau tidur di sini? Kalau iya, biar aku pindah ke sofa ruang tamu,” ujarnya dengan mata yang terpejam. Berani sumpah, ia sangat mengantuk saat ini.

“Ngg..” Byungchan sedikit menggumam, kepalanya menggeleng.

Memahami bahwa si yang lebih tua tidak akan sadar dengan gerakan kepalanya karena matanya terpejam rapat, akhirnya Byungchan menarik ujung baju Seungwoo; sebagai isyarat baginya untuk segera meniadakan jarak diantara mereka. “Sini aja.”

“Bareng.”

Kata yang diujarkan Byungchan barusan membuat Seungwoo sedikit membuka mata dan menolehkan kepala, menatapi si lebih muda yang tengah berbaring di tempat tidur miliknya. “Hei. Jangan suka macem-macem kalau di dorm.”

“Kalau ada yang liat, gimana? Bisa parah jadinya.”

Tidak ada yang tahu tentang yang sebenarnya dari hubungan Byungchan dan Seungwoo. Yang mereka ketahui, keduanya adalah sosok teman yang baik dan siap membantu satu sama lain di situasi sesulit apapun. Banyak orang menganggap Byungchan dan Seungwoo adalah sahabat.

Padahal, lebih daripada itu. Lebih tepatnya, semenjak musim dingin di tahun laluㅡ Byungchan menyatakan semuanya yang tertanam dalam hati selama beberapa tahun belakangan. Bahwa semua kalimat 'idolaku itu Kak Seungwoo', 'aku suka Kak Seungwoo', 'aku selalu kagum dengan sosok Kak Seungwoo' yang pernah keluar dari bibirnya bukanlah basa-basi semata.

Bahwa sesungguhnya, Byungchan benar-benar kagum. Bahwa sesungguhnya, Byungchan benar-benar suka. Bahwa sesungguhnya, perasaan yang selama ini dipendam terlalu sulit untuk terus disimpan dengan kedok adik-kakak atau sekedar sebagai teman satu grup.

Perasaan dinyatakan. Kalimat suka disuarakan. Dewi fortuna benar-benar berpihak kepada Byungchan karena Seungwoo menjawab dengan anggukan. Seungwoo mengatakan bersedia untuk menyambut perasaan Byungchan.

Dengan satu syarat, semua harus disembunyikan sampai saatnya mereka benar-benar siap. Bukan karena Seungwoo tidak sayang, namun karena Seungwoo juga sama besarnya dalam urusan menyayangi Byungchan. Ia tidak ingin lelaki itu mendapat akibat yang buruk di saat karir mereka sedang menanjak pesat.

Alasan klise, namun apa boleh buatㅡ? Memang begitu adanya.

“Aku nggak bakal tidur.” Byungchan berujar pelan, tangannya masih menariki ujung kaus yang dikenakan Seungwoo. “Aku cuma mau tiduran sebentar sama Kakak.”

“Kakak boleh tidur, nggak apa-apa. Aku pastiin, aku nggak bakal tidur. Pas aku udah ngerasa cukup, aku bakal balik lagi ke kamar.”

Seungwoo sempat terdiam. Seperti menimbang-nimbang perihal keputusan yang harus ia ambil. Apa bisa Byungchan terjaga di saat mereka tengah berdua begini? Tidak lucu kalau nanti pagi mereka berdua ditemukan berada di kasur yang sama dengan posisi saling berpelukan, 'kan?

“Ya, udah.” Bulat dengan keputusannya, akhirnya Seungwoo memilih untuk mengiyakan permintaan Byungchan. Ia membalikkan tubuh dan ikut berbaring di samping tubuh si lelaki yang lebih mudㅡ ah, tidak. Di samping tubuh kekasihnya, lebih mudah sebut begitu. “Boleh.”

Byungchan tertawa kecil, merasa puas karena rujukannya tadi berhasil meluluhkan hati Seungwoo. Ketika Seungwoo berbaring di sampingnya, Byungchan segera menarik tangan kanan Seungwoo agar terjulur dan dapat dijadikan bantalan untuk kepalanya sendiri. Seungwoo yang diperlakukan begitu, hanya bisa terkekeh kecil seraya melirik Byungchan dengan tatapan tajam yang diselingi candaan. “Hei, lenganku kebas nanti kalau ditidurin begitu sama kamu.”

Seakan tidak peduli, Byungchan kini memiringkan tubuhnya ke arah kanan. Membuat ia sekarang berhadapan dengan Seungwoo yang masih terlentang di sampingnya. “Sebentar aja.”

“Aku kangen.” “Kangen banget.”

Ujaran Byungchan barusan diujarkan dengan kepala yang sedikit ditengadahkan agar dalam memperhatikan setiap lekuk wajah Seungwoo yang terlampau indah di matanya. “Kak.”

“Hm?” Seungwoo hanya memberi jawaban dengan gumaman kecil. Matanya terpejam, tidak bisa berbohong bahwa sesungguhnya ia tengah mengantuk. “Kenapa?”

“Capek?”, tanya Byungchan dan membuat Seungwoo perlahan membuka matanya. Sekilas, pandangannya difokuskan ke arah Byungchan yang ada di sampingnya sebelum berakhir kembali memandangi langit-langit kamarnya yang polos tidak dihiasi apapun. “Capek apa?”, Seungwoo balas bertanya.

Byungchan sedikit merapatkan tubuhnya dengan Seungwoo sehingga jarak di antara mereka berdua sudah benar-benar tiada. “Latihan buat debut. Capek?”

Seungwoo tidak memberi jawaban dengan segera. Lengan si lelaki Han yang terjulur dan sedang ditiduri oleh Byungchan sedikit membuatnya kesemutan. “Sebentar, tanganku agak mati rasa. Aku tarik dulu, nggak apa-apa?”

Dengan sigap, Byungchan mengangkat kepala dan membuat Seungwoo dapat leluasa menarik tangannya kembali. Tindak selanjutnya yang dilakukan oleh si lelaki Han adalah memiringkan tubuhnya ke kiri, sehingga kini mereka berdua berbaring dengan posisi saling berhadapan. “Kenapa nanya begitu, hm? Khawatir?”

Jawaban yang diberi oleh Byungchan adalah anggukan tegas, seakan diberi tanpa ada rasa ragu sedikitpun. Melihat si kekasih yang sangat jujur, Seungwoo segera terbahak. “Pftㅡ!”

Byungchan sedikit merengut, bibirnya menjadi bentuk kerucut. “Aku serius, lho! Khawatir, serius. Apalagi kadang Sunhwa noona suka ngechat dan bilang buat pastiin kamu makan teratur, Kak.”

Seungwoo mengangguk-angguk, masih dengan upaya menutupi tawa. Kedua tangannya kini tergerak untuk mencubiti kedua sisi pipi Byungchan dan digoyang-goyangkan pelan, membuat si yang lebih muda segera berusaha melepaskan diri. “Kamu gemes banget, tau, nggak? Liat, kamu yang lagi manyun gitu karena aku yang ketawa. Kamu yang begitu..”

”..sumpah, demi apapunㅡ”

Cup. Cup. Cup.

Tiga kecupan singkat didaratkan dari bibir Seungwoo ke bibir si kekasih, Byungchan. Yang menerima kecupan hanya mengerjapkan matanya beberapa kali karena tidak menyangka akan diserang dengan sebegitu cepatnya.

“ㅡlucu banget.”

Seakan semua kantuknya sudah hilang, kini Seungwoo malah menarik tubuh Byungchan agar bisa ia dekap dengan lebih erat. Harum shampoo yang dikenakan Byungchan dapat terhirup dengan jelas oleh Seungwoo, membuat dirinya lebih merasa nyaman untuk memeluki lelaki Choi ini.

“Aigoo..” Seungwoo berujar seraya menepuki punggung kepala Byungchan dengan perlahan, sesekali mengusapi dengan sama lembutnya. “Byungchan yang tujuh tahun lalu kerjaannya cuma dateng ke aku buat ngeluh, sekarang udah bisa dateng nyamperin ke kamar buat nanyain aku capek atau nggak. Bilang khawatir pula.”

“Aigoo..” Dagu Seungwoo dibenamkan diantara ceruk leher si kekasih, seakan berusaha menghirup harum tubuh Byungchan yang entah bagaimana bisa membuatnya tenang. “Byungchan udah dewasa, ya?”

Di dalam dekapan Seungwoo, Byungchan hanya tersenyum tipis. Tangannya yang semula hanya terlipat di dekat perut, akhirnya bergerak untuk terlingkar diantara pinggang si lelaki Han. Perlahan, lingkar pelukannya naik ke atas dan bermuara ke punggung; menghadiahkan tepukan pelan di sana. Berharap bisa menjadi penyemangat untuk kekasihnya.

“Semua berkat Kakak.” Jawaban Byungchan barusan membuat usapan tangan Seungwoo di kepala si lelaki Choi terhenti. “Aku bisa begini karena Kakak.”

“Aku ngapain, emangnya?” Kepala Seungwoo sedikit dimundurkan, agar bisa menatapi wajah Byungchan dengan lekat. “Hm? Aku nggak ngapa-ngapain, kok.”

“Ngg...” Seakan tidak suka dengan jarak diantara dirinya dan Seungwoo yang tercipta saat ini, Byungchan segera menarik tubuh si kekasih agar kembali mendekat. “Jangan jauh-jauh.”

Seungwoo yang mendekapnya, harum tubuh si lelaki yang manis karena jenis parfum yang digunakannya, Byungchan tidak akan pernah merasa cukup puas dengan segala yang dimiliki seorang Han Seungwoo.

Dipeluki begitu, Seungwoo tidak dapat melakukan apa-apa. Ia hanya terkekeh kecil dan membiarkan Byungchan membenamkan wajah ke ceruk lehernya. Sedikit geli, memang. Namun karena lelaki Choi itu nampaknya nyaman dengan posisinya saat ini, Seungwoo hanya diam dan mengecupi pipi kiri Byungchan yang dekat dengan bibirnya.

“Kadang kamu bisa jadi sosok yang dewasa.” “Kadang bisa jadi bayi kayak begini.” “Yang maunya dimanjain terus.”

Byungchan mengangguk. Seakan sengaja, Byungchan menggerakkan kepalanya ke kiri dan kanan. Membuat Seungwoo sedikit menjauhkan kepala karena merasa terlalu geli akibat rambut Byungchan yang terus menyentuhi lehernya. “Tuh. Tuh. Mulai lagi, kan, sikap kayak bayinya.”

Si lelaki Choi terkekeh. Pelukannya di tubuh Seungwoo semakin dieratkan. Terkadang Byungchan masih tidak percaya lelaki yang selama beberapa tahun ke belakang selalu ia kagumi, sekarang bisa berada di pelukannya. Membalas rengkuhannya. Mengecupi bibirnya.

“Kak.”

“Hm?”

“Banyak hal yang udah kita lewatin, ya?”

Seungwoo terdiam sejenak, seakan memikirkan apa yang barusan diujarkan oleh Byungchan. “Banyak, banget.” Jawaban Seungwoo diberi seraya tangannya mengusapi leher Byungchan yang jenjang. “Semuanya hal yang baik. Nggak ada yang buruk.”

Byungchan menengadahkan kepalanya, ingin mengetahui ekspresi apa yang tengah diulas oleh kekasihnya ini. Seungwoo terlihat biasa-biasa saja. Tidak terlihat murung atau kesal, padahal Byungchan tahu pernah selelah apa lelaki yang tengah memeluki dirinya ini.

“Jangan bohong.” “Semuanya hal baik?”

Tanya dari Byungchan dibalas dengan tatapan balik dari Seungwoo. Lelaki Han mengulas senyum yang terlampau berkilau di mata Byungchan, senyuman yang selalu berhasil membuat jantungnya berdegup kencang lebih dari yang biasa. “Baik semua, kok.”

“Aku bisa jadi sosok yang jauh lebih baik. Sekarang pun, karena aku udah jadi sosok yang baikㅡ aku ngerasa bisa bawa orang sekeliling aku ngerasain banyak hal yang baik.”

Tangan kanan Seungwoo yang diletakkan di atas pinggang Byungchan kini diraih oleh si lelaki Choi. Jemari lentik Seungwoo diusapi oleh Byungchan. “Hm? Kenapa nanya begitu?”, tanya Seungwoo seraya menatapi Byungchan yang masih memainkan jemari lentiknya.

Byungchan menggeleng. “Aku cuma sempet mikir, Kakak pernah ngerasain banyak hal yang mungkin sulit dirasain oleh banyak orang. Kakak pernah ada di posisi yang mungkin sulit dipahami oleh banyak pihak. Aku cuma mikir... pasti capek karena harus berada di bawah penilaian banyak orang.”

Byungchan seperti mencicit, saking kecilnya suara yang ia keluarkan. Seungwoo membiarkan Byungchan memainkan jemarinya, bahkan ketika Byungchan mulai mengecupi ujung jemari lentiknyaㅡ Seungwoo hanya diam.

“Aku ngerasa payah karena pernah nyerah di saat Kakak berusaha selesaiin semuanya.” Byungchan tidak lagi mengecupi ujung jemari Seungwoo, hal itu membuat tangan si lelaki Han bebas. Segera, Seungwoo mengusapi pipi Byungchan dan mendaratkan kecupan di kening Byungchan. Dua kali.

“Ssshhㅡ” Seungwoo mendesis. Tubuh Byungchan lebih ditarik mendekat dan tepukan pada punggung si lelaki Choi diberi, dengan niatan agar Byungchan bisa merasa sedikit lebih tenang. “Udah. Kamu nggak boleh mikirin hal yang begitu. Ayo, tidur. Besok kamu masih harus syuting drama, 'kan? Hm?”

Dagu Byungchan diarahkan agar sedikit mendongak ke atas, memudahkan Seungwoo untuk mengecupi ujung bibir si lelaki Choi. “Sayang..”, Seungwoo mendesis, dibarengi dengan kecupan di puncak hidung Byungchan. “..tidur, ya?”

Rasanya darah Byungchan berdesir cepat ketika Seungwoo memanggilnya dengan panggilan sayang. Byungchan mengangguk, matanya diarahkan agar bisa menatap si lelaki di hadapan dengan lekat-lekat. “Kak..”

“Hm?”

“Ada banyak hal yang pengen aku omongin ke kamu. Ada banyak banget cerita yang mau aku bagi ke kamu. Tentang segimana aku sayang banget ke kamu. Tentang seberapa besarnya aku pengen nemenin kamu di setiap momen yang kamu lewati...”

“...tentang semua itu.”

Seungwoo mengulas senyum tipis seraya mengangguk-anggukkan kepalanya, berusaha memberi tanda bahwa ia paham akan maksud kalimat yang diujarkan Byungchan dan ia pun merasakan hal serupa. “Iya. Aku paham. Aku juga mau bagi banyak cerita sama kamu, tapi kamu udah mesti istirahat. Hm? Kantung matanya udah keliatan banget, itu. Nggak lucu kalau kamu dimarahin sutradara gara-gara kantung matㅡ”

“Aku selalu kangen Kakak.” “Biarpun aku ada di deket Kakak kayak begini, kayak sekarangㅡ tetep aja rasanya aku nggak pernah ngerasa cukup sama keberadaan Kakak.”

Seungwoo beralih mengusapi pipi Byungchan, sesekali mencubiti kecil pipi si kekasih yang sangat lentur. Lucu, pikir Seungwoo.

“Tapi kalo gitu, aku bakal ngerepotin Kakak, 'kan? Aku bakal bikin Kakak ngerasa terbebani karena akunya terlalu manja, 'kan?”

Seungwoo menggeleng, dan segera dibalas dengan mata Byungchan yang memicing juga bibir yang sedikit mengerucut. “Bohong.”

“Jujur, kok,” balas Seungwoo segera tanpa terdengar adanya keraguan sedikitpun. “Aku selalu coba lihat segala sesuatunya dari hal yang positif. Kalau kamu lagi manja sama aku, aku bakal mikir oh, berarti dia sayang banget sama aku. Tapiii..“, Seungwoo menggantungkan kalimatnya. Bibir Byungchan dikecupi lagi, bahkan hingga membuat si lelaki Choi bingungㅡ sudah berapa kali si kekasih menciumi dirinya malam ini?

”..tetep kasih aku ruang buat bergerak, ya, sayang? Hm? Bisa, 'kan?“, lanjut Seungwoo. Dahinya kini ditempelkan berdekatan dengan dahi Byungchan, membuat si lelaki Chou merasakan degupan jantungnya berdebar tidak menentu. Terlalu cepat.

“Aku yakin, pacarku ini orang yang dewasa. Yang bisa bedain kapan aku lagi kerja dan kapan aku lagi main-main. Di saat aku lagi sibuk kerja, aku harap kamu bisa paham dan maklum kalau chat dari kamu kubalas agak telat.”

“Tapi kalau aku lagi main dan chat kamu nggak aku balas segera, nihㅡ sini, nih..” Tangan kanan Byungchan diraih oleh Seungwoo untuk digenggam dan diarahkan ke kepala si lelaki Han, guna menjitakinya. Tidak keras, memang. “..pukulin aja, nggak apa-apa.”

Byungchan tertawa kecil. Tangan yang masih digenggam oleh Seungwoo kini digerakkan oleh si pemilik raga aslinya untuk mengusapi bagian kepala yang tadi dijitaki. “Nggak, lah. Aku paham ada batasan yang harus kita jaga buat masalah pekerjaan.”

Usai mengusapi kepala Seungwoo, Byungchan mengusapi pipi si kekasih. Sesekali menggerakkan jemarinya untuk menyusuri rahang tegas Seungwoo yang terbentuk sempurna. “Hhhㅡ”, Byungchan sedikit menghela nafas dengan berat. “ㅡmakan yang bener, kamu, 'tuh.”

Tak urung, gerutuan Byungchan barusan membuat Seungwoo mendengus. Pelukan kembali dieratkan, kali ini kepalanya dibenamkan di ceruk leher Byungchan; berusah mencari tempat yang nyaman untuknya bersandar. “Kamu udah kayak Sunhwa noona, tau, nggak? Setiap kali ketemu aku, yang dibahas cuma makan, makan, makaaaan melulu.”

Si lelaki Choi mendaratkan kecupan ke puncak kepala Seungwoo yang berada dekat dengan bibirnya. Memilih untuk tidak memberi balasan apapun karena perlahan ia merasakan nafas Seungwoo mulai melambat, seperti akan terlelap.

noreul manna geu ihuro..” “sasohan byeonhwadeul-e haengbokhatjyo..”

Di penghujung malam, suara Byungchan terdengar samar-samar dari arah kamar Seungwoo. Tidak ada yang mendengar, bahkan mungkin Seungwoo di dalam pelukannya pun sudah terlalu dibuai dan terbawa ke alam mimpi hingga tidak sempat mendengar alunan nada yang disenandungkan Byungchan.

Sudahlah, tidak apa. Biarkan saja. Yang penting, semuanya tersampaikan.

Bahwa Byungchan merasa semua penantiannya terbayarkan karena berhasil mendekap seseorang yang membawa banyak hal menakjubkan baginya. Seseorang yang mengubah setiap harinya dengan kebahagiaan, dengan tawa. Seseorang yang membuat dirinya ingin menjadi pribadi yang jauh lebih baik dari sekarang. Seseorang yang mau memeluk dirinya yang masih memiliki banyak kekurangan.

Bahwa seseorang itu adalah Han Seungwoo. Byungchan, bahagia. Sangat, bahagia.

Bahagia. Karena itu adalah Han Seungwoo.

Hari ini dia ada di sini lagi.

Sebenarnya bukan hal yang aneh, sih. Ini gedung perkantoran dan setahuku dia juga salah satu karyawan di lantai lain; entah di lantai berapa. Aku tidak peduli dan tidak mau tahu.

Hanya saja, yang aku bingungkan hanya satu. Dia selalu saja seperti sengaja menunggu giliran agar bisa naik lift yang sama denganku. Kenapa aku bisa sepercaya diri ini, tanyamu? Ya, karena aku pernah dengan sengaja datang lebih awal agar bisa bersembunyi di balik pot pohon buatan yang ada di samping meja resepsionis; hanya untuk memperhatikan si lelaki itu.

Iya. Kalian ingat, 'kan? Lelaki aneh itu. Han Seungwoo.

Setelah aku sembunyi dan memperhatikan tingkahnya, dia seperti menunggu sesuatu. Bukannya masuk ke dalam lift, dia malah berdiri bersandar ke dinding kaca yang membatasi gedung perkantoran kami.

Menungguku? Masa' iya?

Hari ini juga demikian, dia datang terlebih dulu namun tidak langsung menaiki elevator. Dia diam, berdiri di barisan paling belakang dari antrean penumpang yang ingin menaiki elevator. Namun ketika aku datang, dia segera berusaha merengsek masuk agar bisa satu tumpangan denganku.

... Apa maksudnya, coba?

“Sorry. Bisa tolong pencet lantai dua lima?”, ujarnya kepadaku. Sekarang kami ada di ruang yang sama, sedikit berdesakan karena banyaknya penumpang yang naik di elevator. Lelaki itu, Seungwoo, berada di belakangku. Persis, di belakangku.

Aku hanya mengangguk dan menekan tombol dengan angka dua puluh lima. Oh, rupanya dia kerja di lantai dua puluh lima? Perusahaan ekspor impor itu, 'kan? Bagian apa, ya?

Ketika aku disibukkan dengan lamunan, tiba-tiba harum sesuatu mengusik diriku. Harum parfum yangㅡ bagaimana mengatakannya, ya? Manis. Seperti perpaduan antara buah peach, apel, dan jeruk.

Ting!

Pintu elevator terbuka. Kutengadahkan kepala; masih lantai sepuluh namun hampir lebih dari separuh penumpang keluar di lantai ini. Wajar, lantai ini diisi perusahaan asuransi paling besar di Korea Selatan, juga memiliki jumlah karyawan yang paling banyak diantara perusahaan lainnya di gedung ini.

Ting!

Kali ini lantai lima belas, tiga orang yang lainnya keluar berbarengan. Menyisakan aku danㅡ Seungwoo, berdua.

Harum manis itu masih ada, tercium jelas. Oh, wangi parfum milik lelaki ini, rupanya. Dia pakai parfum apa, ya?

Ting!

Lantai delapan belas, giliranku turun. Tanpa menoleh ke belakang, aku segera melangkah keluar dari elevator. Namun baru saja sekitar dua langkah kakiku keluar dari ruang sempit berlapis dinding kaca itu, suara seseorang memanggilku.

Suara yang agak familiar. Suaranya. Suara dia.

“Byungchan-ssi.”

Tanpa sadar, aku segera menolehkan kepala ke arah belakang. Alis sedikit berkerut, tidak menyangka ia tahu namaku. Dari mana, coba?

Namun semua keherananku segera hilang ketika Seungwoo yang tengah memasukkan sebelah tangannya ke saku celana kini sedang melambaikan sebelah tangannya yang lain ke arahku. Sebelah tangannya yang terlambai itu kini membentuk kepalan; diiringi ucapan, “semoga harimu di kantor menyenangkan.”

Senyumannya, lucu. Dia punya lesung pipi juga, walaupun tipis; tidak sepertiku.

Pintu lift mulai tertutup perlahan, seiring dengan sosok yang kini menghilang di baliknya. Aku sempat terdiam untuk sejenak, mencoba menenangkan jantungku yang kini berdegup cepat tanpa alasan yang tidak bisa kupahami.

Maksudnya...apa, sih?

“Teh terooos. Teh lagi.”

Padahal Hime tengah asyik menenggak isi dari teh kotak di genggamannya, namun tiba-tiba benda kecil berbentuk segi empat itu direbut oleh tangan seorang lelaki dengan kulit putih dan jemari yang super lentik. “Gimana kamu nggak gampang batuk kalau minumnya begini terus, coba? Hm?”

Baru saja Hime akan meneriakkan rajukan namun si lelaki bertubuh jangkung itu kini sudah melemparkan kotak berisi teh di tangannya ke dalam tempat sampah yang berada tidak jauh dari meja si gadis. “Jangan minum beginian terus, ah. Jelek.”

Jarum pendek di jam dinding yang terpasang di tembok kantor sudah menunjuk ke angka delapan, Hime tadinya tengah sendirian mengerjakan rekap dokumen import milik perusahaan tempatnya berkerja. Iya, tadinya sendirian. Karena sekarang, ia ditemani oleh sosok lelaki bertubuh tegap dengan kenaan serba hitam dari ujung kepala sampai ujung kaki; Byungchan, namanya.

Oh. Untuk lebih jelas; Byungchan, kekasihnya semenjak dua tahun yang lalu.

“Itu biar aku nggak ngantuk, tau.” Lagi-lagi, rajukan berisi alasan yang sama sekali tidak masuk akal itulah yang lolos dari bibir Hime. Disertai dengan bibir yang sedikit mengerucut, berharap si kekasih bisa sedikit merasa iba, mungkin.

“Biar nggak ngantuk itu tidur, makanya,” ujar Byungchan seraya mendudukkan dirinya di salah satu bangku milik rekan kerja Hime yang ditarik ke depan meja si gadis. “Bukannya malah lembur terus. Loyal banget ke kantor, padahal ke pacar sendiri aja suka lupa.”

Nah, lho. Sekarang kok malah jadi gantian Byungchan yang merajuk?

Sudah terlalu terbiasa dengan rajukan dari si lelaki, Hime memilih untuk tidak menggubris kalimatnya barusan. Dialihkan kembali fokusnya ke barisan angka di layar komputer, setidaknya tugas-tugas ini harus ia selesaikan segera agar Byungchan tidak perlu menungguinya lebih lama.

“Kamu 'kok bisa masuk ke sini? Nggak ditanyai sama satpam, 'kah?”, tanya Hime tanpa mengalihkan pandangan dari layar komputer sementara tangannya masih sibuk bergerak di atas keyboard. “Satpamku galak, lho, padahal.”

“Rokok dua bungkus udah jadi kartu akses paling mujarab, kok,” jawaban dari Byungchan barusan sontak membuat Hime terkekeh kecil. “Malah si Bapak satpamnya bilang besok-besok jangan bawain rokok marlboro soalnya kemahalan. Bawain rokok kretek biasa aja, katanya.”

“Udah dikasih, kok, malah nawar— heran aku,” gumaman Byungchan segera dijawab dengan senyum tipis dari bibir Hime. “Bagus, 'kan? Nawarnya ke sesuatu yang lebih murah? Nggak mau ngerepotin kamu, itu namanya.”

Byungchan mengangguk-angguk kecil. Untuk beberapa detik, tidak ada yang bersuara diantara mereka. Hanya ada suara ketikan dari keyboard yang terdengar mengisi seisi ruangan. Entah karena bosan atau apa, tiba-tiba Byungchan meraih tangan kiri Hime dan dibawa mendekat ke wajahnya sendiri.

“Hei. Hei, aku lagi ngetik, lho, ini?”, ujar si gadis; sedikit melayangkan protes. Byungchan seakan tidak peduli dan malah mengecupi ujung jemari si kekasih kemudian dituntun untuk mengusapi pipinya yang lembut. “Byungchan. Hei, ini susah, lho, ngetik pakai satu tangan.”

“Sebentar aja,” balas si lelaki. “Ini aku lagi coba romantisin kamu, lho. Makasih, kek. Jangan malah diprotesin.”

Diberi respon begitu, otomatis Hime tertawa. Lucu, bagaimana kini bibir lelaki kesayangannya itu tengah mengerucut dan kacamata yang dikenakannya kini sedikit turun ke ujung hidung karena kepalanya sedikit menunduk. Lucu, semua tentang Byungchan itu— lucu.

“Ya, kalau digangguin begini— aku semakin lama ngetiknya. Kita pulangnya semakin malem, lho?”

Begitu menyadari ucapan Hime ada benarnya, Byungchan melepaskan genggamannya dari tangan Hime (walaupun terlihat jelas sangat enggan) dan memutuskan bangkit dari bangkunya menuju dispenser air yang ada di sudut ruangan. “Aku bikinin teh tawar hangat aja, ya? Biar kamu bisa cepet selesaiin tugasnya.”

Hime mengangguk, sebetulnya tidak begitu menaruh peduli. Di pikirannya sekarang hanya diisi oleh keinginan untuk segera pulang. Ia tidak ingin Byungchan menungguinya lebih lama lagi—

“PUUUAAAANAAAAS!!!” “PANAS!! PANAS!!”

Dari sudut ruangan, Byungchan tampak sedang mengibas-ngibaskan tangannya ke atas dan bawah. Sekali lihat, Hime sudah menebak bahwa kekasihnya itu baru saja berulah lagi. Maka dengan segera, langkah Hime berderap menuju ke arah si lelaki jangkung untuk memastikan bahwa Byungchan tidak kenapa-kenap—

“HEH!” “B-BYUNGCH-HMMPH!” “NAPHAAS! HHMMK—HEH!” “LEPASIN, NGGAK?”

Padahal Hime hanya meraih tangan Byungchan yang tadinya dikibas-kibaskan, sekedar ingin mengecek apakah luka yang didapatkannya itu fatal atau tidak. Namun semua tindakannya seakan tidak berguna karena Byungchan segera menarik tangan Hime untuk berada di dalam pelukannya. Sekarang, Byungchan sedang memeluk si kekasih erat-erat; bahkan sesekali tubuh Hime digoyang-goyangkan, saking gadis itu memiliki perbedaan tinggi tubuh yang lumayan besar dengannya. “Uututu— pendek banget pacarku? Enak banget dipelukin begini.”

“Bukan aku yang pendek!” “Kamu yang ketinggian!”

“Ya. Ya. Ya.” “Nggak apa-apa, biar nanti anak kita nggak kayak galah atau pohon pinang. Kalau kamu tinggi, mana enak aku giniin, 'kan?”

Cup. Cup. Cup.

Tiga kecup didaratkan di bibir si gadis yang ada di rengkuhan. Bahkan kepala Hime sampai harus menengadah dan kakinya sedikit dijinjitkan; saking kekasihnya itu terlalu tinggi. Setelah itu, Byungchan mencubiti ujung hidung si kekasih dan memelukinya erat.

Teramat erat, seakan tidak ingin melepaskannya atas godaan apapun yang ditawarkan. “Jangan terlalu kecapean.”

“Kamu yang kecapean begitu, bikin aku khawatir nggak jelas, tahu.” Dengan perbedaan tinggi badan yang tercipta, Byungchan berujar seraya mengistirahatkan dagunya di atas puncak kepala Hime. Tangan si gadis kini mengusapi lengan si lelaki yang terlingkar ke tubuhnya, berusaha menyampaikan pesan bahwa Byungchan tidak perlu mengkhawatirkan apapun.

“Nggak, kok.” “Emang udah mesti begini.” “Kan' mau beliin Rolex buat kamu.”

Byungchan segera tertawa kecil ketika mendengar ujaran Hime. “Ralak Rolex, apaan? Kamu jauh lebih penting. Kesehatan kamu utama, tau?”

“Eheii, apaan?” “Dari semenjak ketemu kamu, jantung aku udah lemah. Kamunya ganteng banget, soalnya.”

”...” “...” “Kok jijik, ya?”, bisik Byungchan, pundaknya bergidik ke atas; merasa geli karena gombalan Hime barusan.

Hime terkekeh, dibarengi dengan Byungchan yang kini menuntun dagu si gadis untuk kembali menengadah. Untuk kembali menatap dirinya, dan...

TING!

Katanya, garis takdir bisa membawa sebuah kisah paling sederhana namun memberi perubahan paling besar di dalam hidup kalian. Katanya, sih. Perihal benar atau tidaknya, kita juga tidak tahㅡ

Oh, ada yang bisa membuktikan, katanya. Ada yang bisa memberi bukti nyata bahwa sesuatu hal paling sederhana bisa membawa sebuah perubahan yang luar biasa.

Ini tentang Seungwoo, Byungchan, dan elevator yang membawa mereka menuju ke lantai delapan belas.

. . .

Mampus! Mampus! Mampuuuus! Banyak banget orangnya, mampusss! Apa gue naik tangga aja, ya? Tadi gue liat mobil si bos udah masuk parkiran, pula! Mampus!

Barusan adalah suara teriakan hati dari seseorang di tengah sekumpulan karyawan kantor yang mengantre giliran menaiki elevator menuju lantainya masing-masing. Jika dijelaskan secara lebih mendetail, suara itu adalah teriakan hati Choi Byungchan.

Rasanya isi kepala Byungchan sudah dipenuhi dengan berbagai macam rencana yang tidak jelas.

Sedetik, ia ingin mengumpat. Sedetik berikutnya, ia ingin berbalik untuk menaiki tangga menuju lantai di mana kantornya berada, lantai delapan belas. Lalu sedetik yang lainnya, ia ingin menangis karena ternyata sosok direkturnya sudah memasuki ruang lobi dan menaiki lift khusus yang hanya boleh ditumpangi oleh para petinggi perusahaan.

Byungchan sudah dipastikan terlambat. Itupun di minggu pertamanya menjadi karyawan percobaan, pula.

Ting!

Byungchan baru saja berniat akan kembali ke rumah (karena toh' ia sudah terlambat) ketika denting bel yang menandakan lift elevator berhenti di lantai yang ditempatinya terdengar. Dalam sekejap, kumpulan karyawan yang awalnya berbaris rapi tiba-tiba segera berusaha merengsek masuk ke dalam elevator.

Byungchan memang memiliki tubuh yang tinggi, namun kekuatannya benar-benar...payah. Digiring di tengah lautan karyawan, bukannya malah maju— Byungchan malah menjadi terpinggirkan ke arah kiri. Keluar dari alur menuju elevator; tersisihkan, istilahnya.

Hingga akhirnya, tiba-tiba sebuah tangan menarik lengan Byungchan untuk masuk ke dalam elevator. Tangan itu besar dengan jemari yang sangat panjang, sebagai tambahan. Byungchan ditarik dengan agak kuat sehingga kini dirinya sudah berada di dalam elevator; di bagian paling dekat dengan pintu.

Sementara di hadapannya, berdiri seorang laki-laki dengan tubuh yang hampir sama tinggi dengan Byungchan. Berkulit putih, bahkan lebih terkesan pucat. Namun yang paling Byungchan ingat adalah hidung si lelaki yang sangat mancung. “Kamu duluan,” ujarnya singkat; yang mungkin hanya didengar oleh Byungchan, sih.

Dari segala situasi yang terjadi, Byungchan bisa mengambil kesimpulan bahwa lelaki itu sudah terlebih dahulu naik ke elevator namun ia memutuskan untuk mendahulukan Byungchan daripada dirinya. Ouch, sungguh sebuah adegan yang menghangatkan hati.

Maka dari itu, Byungchan berniat untuk mengucapkan terima kasih. Bilah bibir sudah terbuka, suara sudah siap untuk diloloskan, namun—

BEEEEP! BEEEEEP! BEEEEP!

Suara nyaring itu terdengar dari dalam elevator, menandakan bahwa tumpangan kali ini sudah kelebihan beban muatan.

Byungchan terdiam di tempatnya, memilih untuk berpura-pura bodoh. Ia tidak mau keterlambatannya semakin parah. Ia harus segera naik ke lantai delapan bela—

“Yang badannya paling tinggi, sadar diri, dong. Masuk paling terakhir, 'kan?”

Celetukan sinis dari elevator bagian dalam membuat Byungchan mendengus kesal. Ia tidak memiliki pilihan lain karena sekarang seluruh penumpang yang sudah menaiki elevator seakan membuat satu suara yang bulat; menyuruh Byungchan untuk turun.

Pada akhirnya, Byungchan turun dari lift dengan wajah yang merengut. Bibirnya mengerucut.

“Pftㅡ percuma, ya, saya kasih giliran ke kamu buat masuk duluan?”

Byungchan menoleh ke arah kirinya. Lelaki yang tadi memberikan giliran kepadanya untuk naik ke dalam elevator terlebih dulu ternyata berdiri di sana. Namun yang lebih membuatnya heran, sekarang hanya mereka berdua yang ada di depan elevator lantai lobby. “Lho? Yang lainnya?”

Kepala si lelaki berkulit putih itu sedikit digerakkan ke kiri, menunjuk ke arah elevator lainnya yang sedang menuju ke lantai atas. “Barusan naik sewaktu kamu disuruh turun sama penumpang lainnya. Masih ada ruang tempat, padahal.”

Byungchan menepukkan telapak tangannya ke dahi, merasa kesal bukan main. Kalau tahu semenjak awal bahwa elevator sebelahnya masih memiliki sisa ruang, untuk apa ia bersikeras berada di elevator yang kelebihan muatan, coba?

Namun kebingungan Byungchan hanya bertahan sejenak. Sekarang ia lebih heran karena satu hal, “lho? Anda— kenapa nggak naik lift yang itu aja?”

Lelaki itu mengangkat bahu dengan ringan. Tangannya yang sedang dimasukkan ke dalam saku celana kini dikeluarkan dan beralih mengusapi tengkuk lehernya sendiri. Sekali lihat, siapapun bisa menebak bahwa lelaki itu sedang merasa kikuk. “Yaa— nggak apa-apa, sih. Bos saya lagi ada dinas luar jadi karyawan-karyawan di kantor saya nggak buru-buru banget buat ada di kantor tepat waktu.”

“Lagian..” “..penasaran juga, kamu berhenti di lantai berapa.”

Ujaran si lelaki di sampingnya itu membuat Byungchan sempat mengernyitkan dahi, kebingungan. “Hah? Gimana, maksudnya?”

Ting!

Pertanyaan Byungchan tidak dijawab oleh lelaki yang tidak dikenalinya itu. Kini, si lelaki putih malah melangkah terlebih dahulu ke dalam elevator yang kosong dan menahan tombol di dalamnya agar pintu tetap terbuka. “Mau naik?”, tanyanya singkat.

Byungchan mengangguk. Pemikirannya akan maksud dari kalimat si lelaki di hadapannya itu akhirnya ditelan bulat-bulat. Sudahlah. Toh' pasti bukan hal yang penting, pikirnya.

“Lantai berapa?”, tanyanya.

“Delapan belas,” jawab Byungchan.

Sekilas, Byungchan melirik ke arah kartu identitas yang terpasang di kalung lanyard pada leher si lelaki di samping.

Han Seung Woo, itu namanya.

Lelaki yang aneh.