“Kamu mau ke Jakarta, Cak?”
Gerhana berujar. Cakrawala menggelengkan kepalanya. Terlihat jelas bibir bawahnya digigit kuat-kuat, seperti menahan sesuatu yang akan meledak dalam waktu kapan saja. Entah yang dimaksud sesuatu itu adalah apa; mungkin emosi, mungkin air mata, mungkin—teriakan histeris? Entah. Kalau ditanyakan kepada Gerhana, ia akan menjawab bahwa ia tidak bisa menebak apapun. Namun ada hal yang pasti Gerhana ketahui, Cakrawala tengah berbohong dengan ujarannya barusan.
“Cak.” Gerhana mengusapi pipi kanan Cakrawala yang masih tertunduk. Tidak banyak, hanya usapan sekali dua kali akan tetapi Gerhana memastikan setiap sentuhannya berisi semua ketulusan yang ia miliki di dalam diri. “Nggak apa-apa.”
“Aku nggak apa-apa.” Gerhana mencubit kecil kulit pipi Cakrawala yang terasa lembut di jemarinya. “Hm? Jangan digigitin gitu bibirnya. Sakit aku liatnya,” lanjut si lelaki seraya beralih menggeserkan gerak ibu jarinya untuk menyentuh bibir Cakrawala.
Sementara di lain sisi, Cakrawala benar-benar menolak untuk bertatapan dengan sosok Gerhana di hadapannya. Cakrawala takut. Takut apabila mata mereka bertemu, maka Gerhana bisa membaca semua yang ada dalam pikirannya tanpa terkecuali. Cakrawala takut. Takut apabila Gerhana tahu sedikit saja tentang pikirannya saat ini, lelaki itu bisa merasakan sakit yang teramat dalam.
Tidak salah. Gerhana tengah merasakan semua itu. Sakit yang menikam layaknya sayatan pisau yang dirajamkan ke setiap bagian tubuh, mengulitinya hidup-hidup. Melihat lelaki di hadapannya hanya menundukkan kepala tanpa mau membalas tatapannya, apa lagi yang harus Gerhana rasakan selain sakit yang teramat dalam, coba?
“Er..”, Cakrawala meraih tangan Gerhana yang masih mengusapi pipi kanannya. Tangan Gerhana sedingin itu ketika digenggam oleh Cakrawala. Sungguh, sesakit apa lelakinya saat ini? Sesedih apa lelakinya saat ini? Sejahat apa Cakrawala hingga membiarkan lelakinya merasakan semua perasaan ini?
“Hm?” Namun semua pemikiran Cakrawala seakan ditepis jauh-jauh tatkala Gerhana malah menyunggingkan senyuman manis. Senyuman yang menunjukkan dua lesung di masing-masing pipinya, senyum yang mirip seperti milik Cakrawala. “Apa, Cak?”
Cakrawala memberanikan diri mengangkat kepala dan menatap lelaki di hadapannya sekarang. Tatapan Gerhana masih sama, selalu damai dan hangat. Tatapan yang tidak pernah menuntut, tatapan yang selalu membuat Cakrawala merasa direngkuh dengan pelukan paling besar dari segala hal di dunia.
“Er.. please,” Cakrawala lebih mengeratkan genggaman tangannya di tangan Gerhana. Suaranya ketika mengajukan permohonan barusan terdengar bergetar, gemetar. Awalnya Cakrawala hanya menggenggam tangan kanan Gerhana dengan sebelah tangan namun setelah kalimat terujar dengan penuh memohon, Cakrawala menjadikan kedua tangannya untuk menggenggam tangan Gerhana kuat-kuat. Erat, saking eratnya malah membuat Gerhana harus menenangkan Cakrawala karena tahu tidak hanya ia yang merasa sakit—Cakrawala juga pasti merasakan sakit yang sama akibat menggenggam tangannya sekuat ini.
“Please, Er..”, Cakrawala mengucapkan kalimatnya dengan suara yang teramat kecil, seperti mencicit. Tampak sangat ketakutan dalam arti takut yang agak berbeda; takut, karena ia merasa bisa melakukan kesalahan fatal apabila Gerhana tidak menahan dirinya. “Marahin aku.”
“Tahan aku. Caci aku.”
Gerhana hanya mengulas senyum tipis hingga akhirnya jawaban yang ia berikan atas semua permintaan Cakrawala hanyalah gelengan kecil. Menolak untuk mengabulkan permintaan si lelaki kesayangan –yang bahkan terlampau ia sayangi melebihi apapun yang ada di dunia— ini. “Nggak, Cak. Aku nggak akan marahin kamu. Aku nggak bisa..”, ujar Gerhana seraya mengusapi punggung tangan Cakrawala yang masih menggenggami tangannya dengan erat. “Nggak. Lagipula, kamu nggak salah. Hm? Jangan minta marahin lagi, ya?”
“Er..” Kali ini, Cakrawala sedikit menaikkan nada bicaranya. Seakan menekankan kepada si lelaki di hadapan untuk mengetahui bahwa permintaannya barusan adalah sesuatu yang sangat penting untuk dilakukan. “Kalau kamu nggak tahan aku, kalau kamu nggak marahin aku, aku bisa lakuin hal yang jahat banget..”
“Tolong, Er.” Cakrawala merasakan kakinya lemas bukan main hingga tidak sanggup untuk menopang berat badannya sendiri. Ia jatuh dengan posisi terduduk, seperti membuat situasi seakan dia tengah memohon ke hadapan Gerhana hingga berlutut begini. “Aku nggak mau jahatin kamu lagi..”
“Tolong..”, air mata Cakrawala dirasakan sudah hingga di ujung pelupuk mata. Tinggal berkedip sekali, ia yakin air matanya akan jatuh dan bisa mengalir tanpa henti. Sebisa mungkin Cakrawala berusaha mencoba agar bisa terlihat lebih tegar, walaupun ia yakin semua akan percuma jika Gerhana terus menyuarakan penolakannya. “..kamu nggak boleh sakit lagi.”
“Sssh, Cakrawala. Hei, dengerin aku.”
“Cakrawala, angkat kepala. Tatap aku sebentar.”
“Kamu, Cakrawala... adalah orang yang paling aku sayang dari semua eksistensi mahluk hidup di dunia ini.” Gerhana ikut membungkukkan tubuhnya, berjongkok di hadapan Cakrawala agar bisa menyamakan pandangannya dengan si lelaki kesayangan. Hingga akhirnya mereka berhadapan, Gerhana merasakan tengah menatap segala yang terindah dari hal di dunia. Mata Cakrawala.
Mata yang terus berbinar, mata yang berkilau; bahkan hingga membuat Gerhana bingung dan sedikit kecewa dengan ujaran bahwa Tuhan menciptakan mahluk-Nya dengan adil. Tidak, Tuhan tidak adil. Tuhan memberikan semua yang terbaik kepada Cakrawala.
Mata yang indah, hingga membuat Gerhana bersedia untuk menjatuhkan diri sepenuhnya ke dalam sana. Bahkan untuk tenggelam di sana juga tidak apa. Mati di dalam raga Cakrawala mungkin menjadi sesuatu yang diimpikan Gerhana saat ini.
Bibir yang merah ranum, hingga membuat Gerhana merasa menjadi lelaki paling beruntung sedunia karena pernah melabuhkan bibirnya di sana dan mendapat pagutan balik ketika menyuarakan kalimat cinta kepada sang pemilik raga.
Lesung pipi yang dalam di kedua sisi. Lesung pipi yang pernah Gerhana benci karena terus membuatnya terjaga di sepertiga malam akibat membayangkan akan sebagaimana bahagia dirinya apabila ia yang menjadi alasan agar lesung pipi itu terlihat jelas. Lesung pipi yang menjadi bukti apabila Cakrawala tengah bahagia. Gerhana tidak pernah bisa waras untuk memikirkan bagaimana cara agar lesung manis itu dapat terus terlihat di pipi Cakrawala; khususnya, muncul karena alasan yang adalah dirinya.
Tuhan tidak pernah adil ketika Ia menciptakan Cakrawala. Tuhan sedang dalam fase yang teramat egois ketika menciptakan lelaki itu, Ia menumpahkan segala yang terbaik kepada lelaki di hadapan Gerhana sekarang.
“Cak. Aku bahagia.” Gerhana berujar dengan nada yang sangat tenang, dibarengi dengan usapan di pipi kanan si lelaki kesayangan—membuat Cakrawala hanya bisa kembali menundukkan kepalanya. Cakrawala tidak ingin menangis. Setidaknya tidak di hadapan Gerhana yang terus-terusan menunjukkan sikap bahwa ia sedang-baik-baik-saja.
“Bisa barengan sama kamu di berbagai kesempatan. Bisa jadi alasan kamu ketawa, bisa jadi alasan kamu ngedumel di setiap pagi, bahkan jadi alasan kemarahan kamu karena kesal liat aku yang susah dibilangin buat tidur gara-gara mau selesaiin tugas, semua hal yang kamu rasain dan aku yang jadi alasannya—aku ngerasa bahagia karena hal itu.”
“Tapi Cak..”, Gerhana perlahan-lahan menaruh telapak tangannya untuk menangkup pipi Cakrawala kemudian menuntun wajah lelakinya untuk terangkat dan menatapi dirinya sendiri. “..sumpah demi Tuhan, aku nggak mau jadi alasan kamu nangis.”
“Sekalipun. Buat sekalipun, aku bener-bener nggak mau, Cak.”
Gerhana bergerak, memajukan sedikit tubuhnya untuk memeluk Cakrawala ke dalam rengkuhan. “Cakrawala..”, perlahan Gerhana menepuki punggung Cakrawala di dalam pelukannya; berupaya memberi nyaman dan kepastian bahwa dirinya tidak akan pernah menyakiti ia yang ada di rengkuhan. “..kamu boleh nangis.”
“Nangis sesuka kamu, nggak apa-apa. Mau pukulin aku dan jadiin aku samsak tinju buat lepasin semua emosi kamu ketika lagi marah juga nggak apa-apa.” Gerhana mengambil jeda sejenak sebelum kembali melanjutkan kalimatnya. “Tapi, Cak.. aku punya satu permohonan..”
Kepala Cakrawala yang ada di dagunya kini diusapi lembut oleh Gerhana. Mencoba memastikan bahwa setiap sentuhan jemarinya di rambut si kesayangan tidak akan memberikan sakit, sekecil apapun itu. “..jangan nangis karena aku.”
“Ketika kamu nangis karena aku, aku nggak tau harus ngapain. Aku bahkan nggak berani buat tatap mata kamu. Ketika kamu nangis karena aku, aku nggak kuat redam emosi kemarahan ke diri aku sendiri karena udah bikin kamu sedih. Karena udah nyakitin kamu, aku nggak yakin bisa maafin diri aku sendiri, Cak.”
Pecah. Cakrawala menangis di pelukan Gerhana, terisak hingga membuat dadanya sendiri terasa sesak. Gerhana terdiam. Semua ucapannya barusan seakan sia-sia, pada akhirnya Cakrawala menangis—entah apakah karena dirinya atau bukan, Gerhana tidak tahu. Namun setiap isakan tangis yang disuarakan Cakrawala membuat Gerhana sama sesaknya. Setiap tarikan nafas yang kesulitan ditarik oleh Cakrawala rasanya memberikan rasa sakit yang serupa ke diri Gerhana. Sakit. Gerhana juga sama sakitnya.
“Jangan nangis.”
“Cakrawala..”
“Jangan.. nangis..”
Gerhana menyuarakan kalimat yang sama berulang kali. Ujaran untuk tidak menangis. Tidak tahu ditujukan kepada siapa. Untuk Cakrawala? Ataukah kepada dirinya sendiri, agar tidak ikut tenggelam dalam rasa sesak di dadanya saat ini?
“Maaf..” Cakrawala mengatakan kata itu tanpa henti layaknya mesin penyuara yang rusak. Tangannya mencengkeram kain kenaan yang melekat di tubuh Gerhana, seperti menyampaikan permintaan maaf lewat sana kepada si lelaki yang masih mendaratkan usapan lembut ke punggungnya. Berusaha menjelaskan bahwa dirinya tidak memiliki kuasa apapun terhadap sebuah rasa yang terus-terusan menggerogoti dirinya saat ini.
Rasa sulit melupakan cinta lama yang tak kunjung tiada.
Kepada ia, Baskara.
“Ayah Gerhana. Pipi ke mana? Mbul mau dibacain dongeng sama Pipi.”
Baru saja Gerhana hendak menaikkan selimut bergambarkan karakter dari animasi Winnie The Pooh ke tubuh Rembulan, si gadis kecil dengan rambut halus tergerai itu melemparkan pertanyaan bernada sangat naif. Seakan tidak tahu bahwa seharian ini Gerhana sudah sebisa mungkin mencari cara agar tidak memikirkan sosok lelaki yang dipanggil Pipi olehnya, Cakrawala.
“Hayo. Mbul lupa, ya?” Gerhana mengusapi puncak kepala si gadis kecil yang kini memeluki boneka berbentuk Piglet di rengkuhannya. Sebisa mungkin, Gerhana berusaha menampilkan senyum sewajar yang ia bisa di hadapan anak perempuannya ini. “Pipi ‘kan lagi ke Jakarta. Tadi pagi udah pamitan juga ke Mbul. Lupa, ya?”
Penjelasan dari Gerhana dibalas dengan mata si gadis kecil yang mengerjap beberapa kali, seperti berusaha mengingat-ingat peristiwa apa yang terjadi kemarin malam. Berupaya mencari memori tentang hal yang diujarkan Gerhana. “Oh, iyaaa..” Rembulan, si gadis kecil itu membuat bentuk bundar sempurna dengan mulutnya, teringat akan hal yang dijelaskan oleh sang Ayahnya tadi.
Gerhana tertawa kecil. Tangannya kembali menaikkan selimut di tubuh Rembulan agar bisa lebih naik, memastikan si gadis tidak kedinginan dengan suhu di luar ruangan yang memang sedang dingin-dinginnya. Malam ini salju sedang turun deras di Vancouver, kota kediaman Gerhana dan Cakrawala serta Rembulan berada selama beberapa tahun ke belakang. Tepatnya, semenjak mereka berdua mengikat janji suci dalam ikatan pernikahan.
“Mbul tidur, ya? Besok Ayah Gerhana anterin Mbul ke sekolah. Mbul mau sarapan apa besok, sayang?”
Rembulan menjawab rentet pertanyaan dari Gerhana dengan gelengan kepala. Matanya sedikit lebih membulat, menampakkan binar yang sama seperti sang Ayah kandungnya; Cakrawala. “Ayah, Mbul mau denger dongeng. Pipi biasanya selalu bacain dongeng buat Mbul sebelum tidur.”
Gerhana melirik jam dinding di kamar Rembulan. Pukul sembilan lebih. Sudah lewat dari jam malam yang diwajibkan Cakrawala untuk menjaga waktu agar jam tidur Rembulan tetap terjaga. “Ini udah jam sembilan lewat, sayang. Nanti Ayah Gerhana dimarahin Pipi kalau biarin Mbul tidur lewat dari jam sembilan,” ujar Gerhana, kali ini ditambah dengan bibir bawah yang sedikit dimajukan. Berharap dengan cara bujuk seperti itu, si gadis kecil bisa memahami dan bergegas segera tidur.
Akan tetapi Gerhana kerap melupakan satu fakta, bahwa Rembulan adalah putri kandung Cakrawala. Rembulan mewarisi segala sifat yang dimiliki sang Ayah. Ambisius, tidak mau kalah, sedikit manja; semua dilahap sampai habis dan tidak bersisa. Maka ketika Gerhana menyuarakan keberatan, Rembulan malah merajuk. Malah sampai mengancam akan menangis dan tidak akan tidur sampai esok hari jika Gerhana tidak mengabulkan pintanya untuk memperdengarkan cerita dongeng.
Pada akhirnya, Gerhana mengalah.
“Tapi Mbul langsung tidur, ya? Jangan malah minta diceritain dua kali. Ayah dimarahin Pipi, lho, nanti,” ujar Gerhana seraya menempatkan dirinya untuk ikut berbaring di kasur milik Rembulan. Sedikit sempit, karena tinggi badannya sendiri pun sudah melewati batas bingkai kasur empunya si gadis kecil.
Rembulan segera mengangguk semangat. Namun bukannya meraih buku dongeng yang ada di dekat nakas tempat tidur, Rembulan malah memiringkan tubuhnya agar dapat bertatap langsung dengan sang Ayah. “Ayah. Rembulan mau denger cerita Ayah Gerhana sama Pipi! Ayah Gerhana pernah nyelamatin Pipi dari menara kayak cerita Rapunzel? Ayah Gerhana pernah cium Pipi pas Pipi tidur karena apel beracun? Ayah Gerhana pernah temuin sepatu Pipi yang hilang?”
Deret kalimat panjang yang diujarkan dengan nada teramat polos dari Rembulan tak urung membuat Gerhana tertawa geli. “Mbul. Hei. Ya ampun, kamu kok bisa kepikiran kayak gitu? Hmm? Gemes banget anaknya Ayah ini.” Saking gemasnya dengan tingkah laku si gadis kecil, Gerhana mencubiti kedua sisi pipi Rembulan. Yang dicubit tidak merasa keberatan, dia malah tertawa tergelak.
“Kalau gitu, Ayah Gerhana pernah nyelamatin Pipi kayak pangeran-pangeran di cerita dongeng?”
Kali ini, pertanyaan Rembulan sempat membuat Gerhana terdiam. Di benaknya, pertanyaan Rembulan barusan seakan memberi makna lain yang terlampau sulit untuk dijelaskan. Pada akhirnya, Gerhana tersadar dari lamunan dan memilih untuk balas menatapi si putri kesayangan di sampingnya. “Ayah Gerhana ceritain tentang Ayah sama Pipi tapi Mbul harus udah tidur sebelum jam sepuluh. Soalnya besok Mbul sekolah dan Ayah juga harus anter Mbul pagi-pagi. Ya?”
Gadis kecil itu tidak memberi argumen apapun. Layaknya anak kecil lainnya yang polos, Rembulan hanya memberi anggukan dengan semangat. Membuat Gerhana dapat melihat bagaimana sosok putrinya itu sangat mirip dengan sang suami yang sekarang tidak berada di sisinya. “Ayah Gerhana nyelamatin Pipi?”
Anggukan kecil diberi. Tatapan Gerhana sedikit menerawang, tengah memikirkan beberapa peristiwa yang pernah terjadi di masa lalu. Tatkala ia dan Cakrawala masih menertawakan berbagai hal konyol di dunia, tanpa pernah mengerti perihal rasa sakit karena sebuah perasaan yang mereka sebut sebagai cinta. “Iya.”
“Dulu Pipi pernah kesusahan, kayak Cinderella yang dulu dijahatin sama Ibu tiri dan kakak-kakaknya.” Baru saja satu kalimat disuarakan, Rembulan sudah memasang ekspresi tidak percaya bahkan air mata sudah seperti menggenang di pelupuk mata. “Pipi kenapa dijahatin? Pipi baik! Kenapa Pipi dibegituin?”
Gerhana tertawa kecil, respon dari Rembulan yang polos membuat Gerhana gemas bukan main. “Mbul. Pipi nggak jahat. Pipi orang baik. Cuma emang dunia ini nggak selalu dipenuhin sama orang baik. Ada banyak orang jahatnya juga. Pipi ketemu sama banyak orang jahat yang jahatin Pipi lewat tulisan dan omongan. Pipi pernah jadi kayak Cinderella.”
“Terus?” Rembulan menginterupsi, “Ayah Gerhana selamatin Pipi dari orang jahat?”
Gerhana terdiam untuk sejenak, sebelum akhirnya mengangguk kecil. Rembulan terlihat senang, namun Gerhana dilanda berbagai keraguan untuk menjelaskan tentang situasi selanjutnya yang pernah terjadi di masa lalu. “Ayah Gerhana dateng..”
“..lalu selamatin Pipi dari orang-orang jahat.”
Gerhana paham suaranya sekarang terdengar amat membingungkan. Semestinya ia menjelaskan semua situasi dengan bersemangat seperti Cakrawala yang mahir memainkan emosi pada nada suaranya ketika membacakan dongeng, bukannya malah terdengar murung seperti sekarang.
“Ayah. Kenapa sedih gitu?”, tanya Rembulan dengan tatapan yang seperti akan menangis. “Ayah Gerhana nggak seneng karena bisa selamatin Pipi dari orang jahat?”
Gerhana segera menggeleng cepat. “Nggak, Mbul. Nggak..” Sang Ayah mencoba menyunggingkan senyum selebar mungkin. “Ayah Gerhana bukannya nggak seneng karena bisa selamatin Pipi.”
“Tapi..”
Sunggingan senyum lebar di bibir Gerhana lagi-lagi memudar. “..Ayah ngerasa sedih karena tanpa sadar, dulu Ayah juga pernah jadi bagian dari orang-orang jahat itu.”
Rembulan sedikit mengernyitkan dahi. Tentu, cerita seperti ini terlampau membingungkan untuk seorang gadis kecil yang bahkan belum genap berusia lima tahun. Gerhana tersadar, gaya berceritanya harus diubah. “Ayah Gerhana dulu selamatin Pipi karena ada yang nawarin sesuatu ke Ayah, Mbul. Ayah dulu sempet jahat juga.”
Masih, kerutan di dahi Rembulan masih belum hilang. “Ayah Gerhana jahat...?”, tanya Rembulan dengan nada ketakutan yang bercampur dengan kebingungan. Bahkan gadis kecil itu kini bergerak sedikit menjauhi Gerhana, seperti ketakutan.
“Mbul. Ayah nggak jahat.” Gerhana sebisa mungkin memutar otak, mencari cara bagaimana untuk meluruskan situasi yang perlahan menjadi rumit ini. Tidak lucu jika nantinya ia dicap sebagai lelaki jahat oleh putrinya sendiri. “Mbul juga pernah ‘kan, cuma mau nurutin omongan Pipi buat makan sayur paprika karena Pipi bilang mau beliin boneka Pooh buat Mbul?”
Rembulan mengangguk.
“Nah, itu. Ayah Gerhana juga begitu. Ayah nyelamatin Pipi dari orang jahat juga karena alasan yang sama kayak Mbul.”
Rembulan mengerjapkan mata. “Ayah juga mau nolongin Pipi karena dipaksa makan paprika?” Kalimat yang diujarkan si putri membuat Gerhana kehabisan kata-kata, kebingungan harus melanjutkan ceritanya dengan cara bagaimana lagi.
“Iya, sayang. Mbul bener banget.”
Sudahlah. Iyakan saja.
“Jadi ada orang yang maksa Ayah Gerhana buat makan paprika tapi Ayah nggak mau. Nah, orang yang maksa Ayah Gerhana bilang— dia bakal berhenti maksa Ayah makan paprika asalkan Ayah Gerhana bisa selamatin Pipi dari orang jahat. Makanya, Ayah Gerhana iyain, deh.”
Rembulan menganggukkan kepalanya beberapa kali, bahkan mulutnya membuat bentuk bulat sempurna; di pikirannya, Rembulan merasa kagum dengan tindak sang Ayah yang berhasil bersiteru dengan benda menjijikkan bernama paprika.
“Terus, terus? Ayah Gerhana selamatin Pipi pakai baju batman? Ayah Gerhana bawa terbang Pipi? Syyuuuuung~~~ gitu?”, tanya Rembulan seraya menggerakkan tangannya di udara kemudian membuat gerakan meliuk-liuk seakan menggambarkan sesuatu yang tengah terbang bebas. Tak urung, Gerhana tertawa geli kemudian mengusak kepala si putri kesayangan di sampingnya dengan gemas.
“Ayah Gerhana nggak bisa terbang. Jadinya Ayah bawa Pipi sambil digendong gitu, Mbul.”
“Kok bisa? Pipi ‘kan lebih gede dari Ayah!”
“Lho? Ayah kuat lho, Mbul. Mbul juga, ‘kan, lebih tembem dari Ayah Gerhana tapi bisa diangkat sama Ayah, hayo! Iya, nggak?”
“Ih. Tapi, ‘kan, Mbul nggak lebih gede dari Ayah!”
“Pipinya lebih tembem dari Ayah, tapi.”
“Nggaaak! Nggak begituuu!”
Waktu seakan berjalan dengan lambat bagi Gerhana ketika suara tawa geli Rembulan terdengar membahana di seluruh kamar. Rembulan terlihat bahagia walaupun malam ini Cakrawala tidak ada di sisi. Rembulan tidak bertanya banyak perihal di mana keberadaan sang Ayah kandung, atau dengan siapa sekarang Ayahnya itu sedang menghabiskan waktu.
Syukurlah. Dalam hati, Gerhana benar-benar bersyukur karena Rembulan tidak menanyakan banyak hal. Karena Gerhana tidak yakin bisa memberi jawaban yang sejujurnya kepada si gadis kecil. Gerhana tidak bisa mengatakan hal yang sesungguhnya kepada Rembulan bahwa Ayahnya, Cakrawala, tengah pergi ke Jakarta untuk bertemu dengan sang mantan kekasih hati yang masih dicinta setengah mati.
Tatkala Rembulan terlelap dengan masih memeluki boneka berbentuk Piglet, Gerhana memutuskan untuk keluar dari dalam kamar. Sengaja, Gerhana tidak mematikan lampu yang ada di atas nakas tempat tidur karena tahu terkadang putrinya itu kerap terbangun di tengah malam dan bisa saja menangis ketika menyadari kamarnya gelap gulita. Sedikit cahaya diperlukan agar dia tidak terkejut ketika diselimuti kegelapan. Selimut bergambar karakter kartun pun dinaikkan kembali, memastikan sang putri tidak kedinginan di tengah lelapnya.
Dengan langkah perlahan, Gerhana keluar dari kamar si putri kesayangan juga dengan gerak yang terlampau dilakukan dengan perlahan, Gerhana menutup pintu kamar; tidak ingin membuat suara sekecil apapun. Ketika pintu sudah ditutup, keheningan rumah segera menyapa. Sepi, tidak ada suara apapun selain suara patahan kayu yang terbakar di perapian ruang tamu serta detik jarum jam yang seakan ingin mengingatkan Gerhana seberapa banyak waktu yang terus terlewati tanpa adanya Cakrawala di sisi.
Gerhana menghembuskan nafas dengan berat. Lagi-lagi, dadanya terasa sesak. Ada sebuah perasaan yang mengendap di sana, tertanam di satu bagian hati yang paling dalam. Saking dalamnya, bahkan Gerhana bingung bagaimana harus mengangkat perasaan itu ke permukaan. Ia terlalu sering membiarkan perasaan itu untuk berada di dasar, ditekan kuat-kuat agar tidak ada yang tahu. Perasaan ingin marah, ingin berteriak hingga rasanya tenggorokan akan pecah. Perasaan ingin menangis dan memukuli dinding sekeras-kerasnya hingga buku-buku jarinya memutih dan darah membaluri kuasa. Gerhana ingin melakukan semua itu namun segala maunya terlampau sering ia tahan, dipendam ke palung paling dasar dan hanya mengangkat perasaan kosong yang dihiasi senyum penuh ketenangan.
Gerhana terlalu sering tersenyum. Gerhana terlalu sering mengatakan tidak apa-apa. Gerhana terlalu dimabuk akan perasaan sayangnya kepada Cakrawala sampai-sampai ia melupakan situasi di mana ia juga harus menyayangi dirinya sendiri; ia melupakan fakta bahwa ia juga pantas merasa bahagia.
Pusing. Gerhana terus-terusan memikirkan kata itu di dalam kepalanya. Ujung pelipisnya dipijat dengan sebelah tangan, berusaha menghilangkan rasa yang seakan menekan kedua sisi kepalanya kuat-kuat; membuatnya mual. Merasa bahwa tidak akan ada untungnya jika dia memilih untuk berkutat dengan rasa sesak yang dirasa, akhirnya Gerhana memilih untuk segera terlelap. Esok hari, ia harus mengantar Rembulan ke playgroup dan memastikan dirinya tidak terlambat untuk menghadiri sebuah rapat penting yang akan menjadi titik balik keputusan karirnya.
Gerhana tidak boleh terlambat barang sedetikpun. Lebih baik ia mengusir semua pemikirannya tentang apa yang sedang dilakukan Cakrawala di Jakarta. Lebih baik ia tidak memikirkan segala kemungkinan tentang apakah lelakinya itu tengah tertawa di rengkuhan tangan kokoh milik Baskara. Lebih baik ia tidak memikirkan segala probabilitas perihal Cakrawala yang mungkin lebih bahagia di pelukan Baskara dibandingkan dirinya.
Lebih baik Gerhana tidak memikirkan semua itu.
Iya. Lebih baik, begitu.
“Lo bisa bantuin gue, ‘kan, Er?”
Gerhana menyesap isi minuman di gelas yang ada di hadapan. Tatapannya sedikit memicing ketika mendengar kalimat ujaran lelaki berkemeja biru langit yang kancingnya sudah dibuka dua dari bagian kerah, Baskara. Penampilan lelaki yang sekarang sedang duduk berhadapan dengan Gerhana di meja milik sebuah bar ternama di daerah Kemang itu terlihat berantakan walaupun tetap saja mampu membuat gadis-gadis manapun akan bertekuk lutut ketika diminta menemani untuk berbincang atau bercumbu di ranjang.
“Please. Gue beneran pusing banget.” Baskara memegangi gelas berisi alkohol dalam kandungan yang cukup keras di tangannya dengan erat, seakan berharap bahwa apabila gelas di genggamannya ini pecah maka permasalahan di hidupnya juga bisa ikut terpecahkan. “Bokapnya Rachel brengsek banget, anjing. Gue udah kayak kerbau yang dicocok hidungnya, nggak bisa ngapa-ngapain selain ngikutin omongan dia. Bangsat emang itu kakek bangkotan, pengen gue bunuh.”
“Lo bunuh dia, lo nggak bisa terima apapun dari harta si kakek bangkotan itu.” Gerhana berujar dengan tenang seraya mengangkat sebelah tangannya, memberi tanda kepada bartender untuk mengisi kembali gelas miliknya yang sudah kosong. “Pikir pakai akal sehat, lah. Gue tau sebenernya lo juga nggak bisa hidup tanpa harta mertua lo itu, ‘kan?”
Baskara berdecak, tidak ingin mengakui bahwa seluruh ucapan Gerhana itu benar adanya namun ya—apa mau dikata? Setiap ujaran Gerhana adalah kenyataan. Baskara sudah menjadi budak dari kekayaan keluarga sang istri, Rachel. Jika diminta mundur, Baskara tidak akan sanggup untuk mengiyakan karena harta yang harus ia lepaskan sebagai resiko sudah terlalu besar. Baskara tidak segila itu untuk melepaskan semua kenikmatan materi yang didapat demi alasan apapun.
“Makanya gue butuh bantuan lo, Er.” Baskara kembali menekankan kalimat yang ia ucapkan di awal, nada suaranya terdengar lebih menuntut seakan memaksa Gerhana untuk menerima permintaannya. “Gue cuma bisa minta bantuan ke lo. Cuma lo yang gue percaya.”
Gerhana melirik sekilas ke arah si lelaki di hadapan sebelum akhirnya mendengus kecil. “Lo minta bantuan dari gue karena alasan percaya atau karena lo ngerasa gue ini bawahan lo yang bisa disuruh-suruh semau hati, Bas?”, tanya Gerhana seraya menaikkan ujung bibirnya, membentuk sebuah senyuman sinis yang jarang sekali diperlihatkan si lelaki. “Jangan suka ketuker gitu. Gue nggak mau lo ngomong manis biar gue nge-iya’in permintaan lo, lah. Jujur-jujuran aja.”
Baskara menatapi lelaki di hadapannya dengan sedikit sinis. Siapapun yang baru mengenal Gerhana pasti akan menganggap lelaki itu adalah sosok yang ramah dan bersahabat, manis dalam tutur kata pula. Namun tidak demikian dengan Baskara yang menemui sosok Gerhana sebagai rekan bisnis. Gerhana dalam sosok yang begitu adalah lelaki yang paling licik dan cerdik. Berbagai celah yang muncul akan dijadikan jalan untuk mencapai apa yang diinginkan.
Tidak heran, di usianya yang dapat dikatakan masih muda Gerhana sudah bisa mencapai posisi yang cukup tinggi di pekerjaannya. Baskara mengakui Gerhana adalah lelaki yang sangat berkompetensi maka ia berani membayar lebih kepada lelaki ini untuk masuk ke jajaran staff pengurus hotel miliknya. Lambat laun, hubungan mereka berubah menjadi teman akrab—hingga membuat Baskara bisa terang-terangan mencurahkan isi hatinya tentang situasi pelik yang tengah dialami.
Perihal video seksnya dengan Cakrawala yang bocor ke publik.
“Kalau gue jujur, lo bakal bantuin gue?” Pertanyaan Baskara membuat Gerhana terkekeh kecil. “Jangan ketawa, anjing. Gue serius. Lo bisa bantuin gue atau nggak? Gue butuh jawaban lo.”
Gerhana mengangkat bahu dengan santai, tangannya kembali mengangkat gelas kristal yang sudah terisi alkohol. “Bas. Gue nanya tujuan lo yang sesungguhnya biar gue bisa tentuin sikap tentang apa yang semestinya gue lakuin. Ketika lo butuhin bantuan gue karena lo bener-bener percaya, gue bakal pikir dua kali buat terima atau nggak. Tapi kalau lo butuh gue karena lo anggap gue bawahan yang bisa lo suruh-suruh, gue bakal terima tanpa pikir panjang.” Baskara menyipitkan mata, namun Gerhana seakan tidak ambil pusing dengan pandangan menilai yang diberikan oleh Baskara barusan. Ia malah melanjutkan kalimatnya dengan ketenangan yang sama seperti sebelumnya. “Lo bos gue. Lo berhak minta tenaga dan semua dari gue buat kerjain apa yang lo suruh.”
“Tapi sama kayak lo yang berhak minta gue buat kerja, gue juga berhak minta imbalan yang serupa dengan apa yang gue lakuin nantinya.” Ujaran Gerhana selanjutnya membuat Baskara menyandarkan punggungnya ke kursi yang ditempati, paham betul dengan alur pembicaraan yang tengah mereka lakukan saat ini. Di lain sisi, Gerhana kini menggerakkan jari telunjuknya di permukaan gelas, seakan menunggu reaksi dari Baskara sebelum kembali melanjutkan kalimatnya.
“Berapa?” Pertanyaan singkat dari Baskara membuat Gerhana tersenyum tipis, merasa sedikit senang karena Baskara paham akan maksudnya tanpa ia harus menjelaskan dengan lebih jauh. Gerhana sedikit menghela nafas dalam-dalam, otaknya memikirkan nominal uang yang akan ia tawarkan kepada sang atasan di hadapannya. “Berapa, Er?”
“Gue baru kepikiran di angka 100.”
“M?”, tanya Baskara memastikan. Gerhana mengangguk kecil, “Lo tau sendiri. Bantuan yang lo minta dari gue ini adalah sesuatu yang libatin perasaan. Gue harus pastiin Cacak nggak tau kalau gue Cuma pura-pura. Gue harus bikin Cacak nyaman sama gue. Dan yang pasti, gue harus membiasakan diri buat deket sama Cacak padahal gue straight.”
“Buat bagian yang terakhir, kayaknya itu bagian yang bikin gue minta imbalan banyak.” Penjelasan dari Gerhana membuat Baskara mendengus, dalam hati tengah merutuki kelakuan si lelaki di hadapan yang terkesan sangat superior. “Yaaa, terserah lo, sih, mau ngeiyain atau nggak. Gue menawarkan aja. Siapa tau lo mau minta bantuan ke orang lain, ya—silahkan.”
Baskara tahu, ia tidak bisa meminta bantuan ke yang lain. Tidak banyak orang yang tahu perihal ini. Tidak banyak orang yang tahu bahwa lelaki di dalam video seks yang tersebar luas di publik saat ini adalah Cakrawala dan Baskara. Yang publik ketahui lelaki yang menjadi objek dalam video adalah Cakrawala. Perihal siapa yang merekam, publik tidak mengetahui dengan jelas. Banyak yang menerka bahwa lelaki satunya lagi adalah Baskara namun publik seakan dipaksa untuk bungkam tatkala pihak media mengatakan secara gamblang bahwa Baskara sama sekali tidak terlibat. Orang yang ada di dalam video rekaman seks itu hanya sekedar mirip dengan Baskara.
Padahal sudah jelas, itu adalah Baskara.
Akan tetapi yang terlibat tidak memiliki kemampuan apapun itu mengelak atau menyuarakan omongannya sendiri. Karena mertuanya sendiri yang melakukan demikian. Ayahanda Rachel, pemilik saham terbesar dari banyaknya usaha perhotelan yang tengah dijalankan oleh Baskara adalah dalang dibalik semua berita yang menyuarakan bahwa Baskara sama sekali tidak ada urusannya dengan video seks yang beredar. Media berkoar, mengatakan Baskara tidak bersalah. Namun media tutup mulut dalam pembelaan perihal Cakrawala. Baskara diselamatkan dengan tumpukan kertas bertajuk uang miliyaran, sementara Cakrawala terjatuh di palung paling dalam dari sebuah kenyataan. Cakrawala tidak bisa terselamatkan, ia hancur menjadi kepingan tanpa arti.
Baskara bukannya tidak mau peduli. Bagaimanapun juga, Baskara mencintai Cakrawala dibandingkan apapun tetapi rasa sayang kepada lelaki itu tidak cukup mampu untuk membuat Baskara melepaskan harta yang dimilikinya saat ini.
Baskara memiliki banyak hal lainnya untuk dipertaruhkan selain cintanya kepada Cakrawala. Baskara masih harus menyelamatkan Ibunda dan kedua kakak perempuannya yang masih harus bersembunyi dari kejaran sang Ayah. Baskara memiliki kisah kelam dengan kata bernama keluarga. Di kehidupan si lelaki, makna dari keluarga tidak pernah bisa berarti baik. Keluarga hanyalah sebuah hal yang memberatkan. Keluarga hanyalah sesuatu yang terus menyakiti orang-orang yang paling Baskara sayangi.
Sokongan materi dari keluarga Rachel lah yang menyelamatkan Ibunda serta kedua kakak perempuan Baskara agar dapat kabur dari kejaran sang Ayah yang sama sekali tidak bertanggung jawab. Apabila Baskara memutuskan untuk melepas Rachel, maka di saat itu juga hidup Baskara akan mati total. Nasib Ibunda dan kakak perempuannya tidak akan baik-baik saja di balik bayang-bayang kejaran sang Ayah. Tidak. Baskara belum bisa melepaskan semua ini begitu saja, walaupun itu semua demi Cakrawala.
“Tapi janjiin gue, lo bakal jaga Cacak sebaik yang lo bisa.”
Ujaran yang diucapkan Baskara segera dijawab dengan anggukan mantap dari Gerhana. Gelas kristal yang ada di tangan kanannya kini diletakkan ke atas meja, denting butiran es yang bertemu dengan dinding gelas terdengar bercampur di antara ramai riuh perbincangan para tamu di bar. “Lo bos gue, Bas,” ujar Gerhana seraya mengeluarkan dompet kulit miliknya dari dalam saku jas kenaan. Beberapa lembar uang kertas dengan nominal ratus-ribu dikeluarkan kemudian diletakkan di atas meja yang mereka tempati. “Apapun yang lo bilang, gue bakal lakuin.”
“Malem ini gue yang traktir,” lanjut Gerhana kemudian mengangkat tangannya lagi untuk memanggil salah satu waiter yang ada di bar. “Anggap aja ungkapan terima kasih karena lo udah mau mempercayakan misi penting ini ke gue, Bas.”
Ketika itu, Gerhana belum menyadari bahwa misi yang dijalaninya malah akan menjadi sebuah misi seumur hidup—yang bahkan tidak Gerhana ketahui kapan bisa ia selesaikan. Ketika itu, Gerhana belum menyadari bahwa misi yang ia lakukan karena bujuk rayuan uang harus berakhir dengan sebuah keinginan untuk menghabiskan waktu bersama dalam satu ruang.
Ruang, yang mereka sebut sebagai rumah.
“Dadah, Ayaaah!”
Gerhana membalas lambaian tangan Rembulan dengan senyum yang terhias lebar di wajahnya. Gadis kecil itu sekarang sedang menggandeng tangan seorang wanita dengan pakaian yang terlihat kasual namun sopan juga rapi. Jika Gerhana tidak salah mengingat, nama wanita itu adalah Sophia; salah seorang tenaga pengajar di playgroup yang didatangi oleh Rembulan untuk mengisi keseharian.
Pagi ini, Gerhana hampir saja membuat dapur rumahnya kebakaran karena terlalu sibuk mempersiapkan sarapan sekaligus memandikan Rembulan sebelum berangkat ke sekolah. Belum lagi ia harus menghadapi Rembulan yang merengek karena tidak mau rambutnya ditata dengan model yang digerai, anak perempuannya itu ingin memakai tatanan rambut yang dikuncir dua.
Parah. Hampir saja Gerhana keluar rumah dengan hanya mengenakan kemeja dan celana boxernya saja karena terlalu sibuk melingkarkan syal ke leher Rembulan serta memakaikan jaket tebal ke si putri. Terlalu fokus mengurus anak, sampai melupakan dirinya sendiri; itulah situasi Gerhana hari ini.
Setelah memastikan Rembulan tidak terlihat lagi dari jarak pandang, barulah Gerhana masuk ke dalam mobil untuk bergegas menuju gedung kantornya. Jalanan kota Vancouver di musim dingin memang selalu dipenuhi salju, membuat Gerhana yang sedang terburu-buru pun tidak mampu melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh. Hanya hatinya yang tergesa, mobilnya hanya bisa membelah jalanan bersalju dengan kecepatan yang sangat—lelet.
Di tengah perjalanannya menuju gedung kantor, Gerhana menyempatkan diri untuk memandangi pemandangan di sekeliling. Suasana natal mulai terasa di sekitar jalanan menuju kantornya. Dekorasi dengan dominan warna hijau dan merah terlihat mulai dipasangi di dinding-dinding bangunan, baik itu gedung atau rumah-rumah di pinggiran jalan. Pohon natal dengan ukuran besar juga mulai dihias dengan berbagai pajangan lucu, menghangatkan hati siapapun yang melihat.
Sekilas, Gerhana melirik ke sebuah kalender sekaligus jam digital berukuran besar yang terpasang pada sebuah gedung tinggi di hadapannya. Hari itu, 24 Desember 2029. Christmas eve. Hari yang dinanti-nantikan oleh banyak orang untuk menghabiskan waktu bersama orang yang paling mereka sayangi. Namun, Gerhana harus menerima kenyataan bahwa Cakrawala tidak pernah bahagia untuk menyambut hari natal di setiap tahun yang mereka lewati bersama.
Karena sebelum natal, Cakrawala harus melewati tanggal ulang tahun Baskara. 24 Desember, adalah tanggal lahir lelaki yang masih menduduki posisi tertinggi pada singgasana hati Cakrawala. Setiap tahun, Cakrawala tidak pernah absen untuk tidak menghabiskan malam christmas eve dengan menangis sendirian; entah itu di balkon atau ruang tamu. Dua tahun dihabiskan oleh Gerhana semenjak pernikahannya dengan Cakrawala, selama itu pula di setiap tahunnya Cakrawala selalu terlihat murung ketika merayakan datangnya hari natal.
Kenapa Gerhana tidak memarahi Cakrawala, tanyamu?
Entah. Gerhana ingin memarahi pasangannya itu karena selalu terlihat murung di setiap waktu menuju hari natal yang semestinya menjadi hari yang berbahagia untuk mereka. Gerhana ingin sekali menegur Cakrawala karena membuat Rembulan berpikir bahwa hari natal adalah hari yang menyedihkan karena sang Ayah kandung tidak pernah terlihat bahagia. Gerhana ingin sekali bilang bahwa Rembulan sangat memikirkan kondisi Cakrawala bahkan hingga menjawab hadiah yang ingin ia terima dari sinterklas adalah senyuman bahagia agar bisa gadis kecil itu hadiahkan kepada si Ayah kandung.
Namun mau bagaimana? Ia tidak mampu memarahi Cakrawala.
Rasanya setiap bagian dari eksistensi diri seorang Saka Adjie Cakrawala adalah sebuah hal yang terlampau rapuh. Gerhana tidak bisa memarahi atau menegur Cakrawala karena takut tindak kasarnya akan menghancurkan si pasangan lebih parah lagi. Jangankan untuk memarahi, bahkan untuk memeluk dengan sedikit lebih erat pun Gerhana tidak kuasa melakukannya. Ia takut rengkuhan yang terlalu erat malah membuat Cakrawala sesak. Ia tidak mau Cakrawala kehabisan nafas di dalam pelukannya.
Maka tatkala Gerhana dengan secara tidak sengaja menemukan sebuah foto berisikan potret Baskara dan Cakrawala yang diambil ketika mereka merayakan ulang tahun Baskara, Gerhana menanyakan perihal keinginan Cakrawala untuk mendatangi Baskara di Jakarta.
Semua pertanyaan itu diberi karena dibalik foto mereka berdua, Gerhana menemukan tulisan Baskara dan Cakrawala yang menuliskan janji untuk bertemu lagi di tahun 2029; sepuluh tahun semenjak hari jadi mereka berdua. Apapun yang terjadi, dengan status apapun mereka nantinya, juga tidak peduli dengan bagaimana jadinya jalinan hubungan diantara mereka berdua—Baskara dan Cakrawala menuliskan janji seperti itu di balik potret mereka berdua.
Awalnya Cakrawala menolak. Awalnya Cakrawala mengatakan bahwa ia tidak ingin mengingat atau terlibat pembicaraan yang menyangkutpautkan nama Baskara di dalamnya. Cakrawala mengatakan bahwa ia ingin melupakan segala tentang Baskara.
Namun Gerhana bisa apa ketika menatap mata Cakrawala yang berdiri di hadapannya kala itu? Mata Cakrawala tidak pernah bisa berbohong. Gerhana paham apa yang dimaksud dari tatapan mata si pasangan, bahwa sesungguhnya lelaki itu ingin bertemu dengan Baskara. Bahwa sesungguhnya Cakrawala ingin mewujudkan janji yang pernah mereka buat berdua.
Gerhana harus merelakan amarahnya kembali ia telan bulat-bulat ketika Cakrawala menangis di dalam pelukannya. Gerhana harus kembali menekan segala emosinya dan mengatakan semuanya baik-baik saja ketika Cakrawala terisak, mengulangi kata ‘maaf’ berulang kali seperti kaset rusak.
Pada akhirnya, Cakrawala benar-benar pergi ke Jakarta. Meninggalkan Vancouver dengan sebuah kotak yang tidak Gerhana ketahui apa isinya, namun ia bisa memastikan apapun isinya pastilah ada hubungannya dengan Baskara. Gerhana mengantarkan Cakrawala ke bandara. Gerhana membalas pelukan Cakrawala ketika pasangannya itu meminta untuk menjaga Rembulan dengan baik. Gerhana tersenyum ketika melambaikan tangan, melepaskan keberangkatan Cakrawala yang masuk ke dalam terminal keberangkatan.
Pada akhirnya, Gerhana lagi-lagi kalah. Pada akhirnya, Gerhana hanya berakhir menjadi pengecut. Pada akhirnya, sejauh apapun Gerhana mengajak Cakrawala untuk pergi meninggalkan semua yang ada di masa lalu—ada satu bagian dari diri Cakrawala yang tidak akan pernah bisa ikut berlari. Adalah memori, tentang kejadian bersama Baskara yang tidak akan pernah bisa pergi. Pada akhirnya, semua usaha Gerhana hanya berakhir jadi bahan tertawaan karena tidak ada yang bisa menjadi bukti. Semua fana, tidak nyata.
DDDINNN!
Refleks, Gerhana menginjak pedal rem mobilnya kuat-kuat ketika hampir saja ia melewatkan lampu lalu lintas yang berwarna merah dan malah berniat melaju dengan kecepatan cukup kencang. Beruntung, mobil yang datang dari arah sebelah kirinya segera menekan klakson dan membuat Gerhana bisa tersadar dari lamunan yang hampir melayangkan nyawanya sendiri.
Di balik kemudi, Gerhana mencengkeram setir kemudinya kuat-kuat bahkan membuat buku-buku jarinya agak memutih. Tangannya gemetar tidak karuan ketika mengingat jarak mobil yang hampir saja menabrak mobilnya itu hanya terpisah jarak yang teramat tipis. Nafasnya tersengal, bahkan Gerhana sedikit mengerang ketika tiba-tiba dadanya terasa nyeri bukan main. Dengan sedikit panik, Gerhana memukuli dadanya sendiri dan mencoba mengatur nafasnya dengan perlahan.
Butuh waktu belasan detik agar Gerhana bisa menemukan tenangnya. Hingga akhirnya nafas si lelaki bisa kembali terdengar normal, Gerhana menyandarkan keningnya ke setir kemudi. Ia menatapi ujung sepatunya sendiri yang menempel ke pedal gas serta rem, menyadari sebagaimana kejadian yang dialaminya tadi bisa saja menjadi sesuatu yang parah bukan main.
“Fokus. Er, lo harus fokus.”
Pikirannya tiba-tiba dibuat seperti naik turun, layaknya tengah menaiki wahana roller coaster di taman bermain. Memori tentang banyak hal yang Gerhana lewati dengan Cakrawala rasanya seakan bergantian masuk ke dalam otak, membuat si lelaki semakin mengeratkan genggamannya pada setir kemudi. Ingin melampiaskan semua emosinya ke sana. Gerhana ingin semuanya bisa berakhir seperti biasa, dengan ia yang bisa menahan emosi dan amarah, dengan ia yang bis—
“ARRRRRGHHHHHHH!!!”
Teriakan Gerhana pecah seiring dengan suara klakson yang ia bunyikan panjang, membuat para pengemudi yang ikut membelah jalanan raya di kota Vancouver jadi kebingungan. Gerhana, kehilangan kendali dirinya sendiri.
“Lo udah bilang? Anjir! Berarti bakal lamaran? Ah, gila! Gercep amat, bangsat! WOY. Gerhana mau nika— HMPH!” Seruan Chandra segera terhenti ketika Gerhana membekap mulut si sepupunya erat-erat. Bahkan mungkin hingga membuat ia hampir tidak bisa bernafas. “HNNGH—! HUE HAHIHA HAHAS HEGO!” (Gue nggak bisa nafas, bego!)
Seakan tidak mempedulikan permintaan Chandra, Gerhana masih saja membekap mulut si sepupunya. Kepala Gerhana menoleh ke kiri kanan, memastikan tidak ada orang yang berada dalam jarak dengar cukup dekat; berharap tidak ada orang yang mendengar seruan Chandra barusan.
Oke, aman. Tidak begitu ada banyak orang yang mampir ke foodcourt Mall Senayan City di jam segini. Paling hanya beberapa karyawan kantoran yang tengah duduk di bangku dengan laptop di hadapan. Entah tengah mengerjakan tugas kantor sambil bersantai atau tengah memanfaatkan fasilitas wifi yang tersedia. Yang pasti, mereka sepertinya tidak sadar dengan apa yang barusan Chandra (hampir) serukan. Padahal kalaupun sadar, tidak akan ada yang mempedulikan, kok.
Memastikan situasi sudah aman, Gerhana membuka bekapan tangannya dari mulut Chandra. Detik setelahnya, lelaki itu segera bernafas dengan tersengal-sengal dan memasang ekspresi layaknya akan mati. “Gila. Gila. Gue dibekep sampe nggak bisa nafas. Gila, lo, gila.” Gerhana terlihat tidak begitu mempedulikan ujaran Chandra dan kembali memposisikan diri untuk duduk di bangku coklat panjang yang berhadapan langsung dengan Chandra. “Ya, lo diem aja, kali. Sekalian sono, pake toa. Lagian siapa yang mau nikah? Gue cuma ajakin dia ketemu Ayah,” jelas Gerhana yang dibalas dengan Chandra yang merengut.
“Ya, tetep aja. Lo jarang-jarang bawa pasangan ke depan keluarga. Apalagi buat ketemu si Om Adzihru. Gue tau lah, Ayah lo ‘tuh kayak gimana. Kalau lo udah berani bawa pacar lo itu—siapa namanya?”
“Cacak,” jawab Gerhana.
“Nah, itu. Kalau lo berani bawa Cacak ke rumah buat ketemu Ayah lo, ya—lo berarti serius.”
“Emang gue serius.” Gerhana menjawab dengan nada datar. Kuasa kanannya masih mengetuki papan meja, membuat ketukan nada tidak beraturan. “Gue serius sama Cakrawala.”
Chandra sempat mengerjapkan mata, terlihat tidak tahu harus merespon seperti apa akan kalimat yang diucapkan Gerhana. “Er.. lo dipelet, ya?” Sontak saja, Gerhana tertawa kecil. Ia paham akan maksud kalimat Chandra. Jujur, Gerhana juga bingung akan perjalanan cintanya. Bagaimana ia malah mendamba sosok seorang lelaki yang sama seperti dirinya dan bagaimana ia malah ingin melabuhkan semua perasaan dan sisa waktu hidup kepada seorang lelaki. “Nggak tau, Chan. Mungkin juga gue beneran dipelet. Kayak mustahil banget, gue malah mau seriusin seorang cowok.”
“Terus kapan lo mau bawa Cacak ke tempat bokap lo di Kanada?”
“Belum tau.”
”.....”
“.....”
”.....”
“.....”
“Er.. Seandainya lo bukan sepupu gue, bakal gue tendang lo pake jurus taekwondo gue. Gue kira lo ngomong begini tuh karena udah tau kapan bakal bawa si Cacak ke Kanada. Ah, penonton kecewa!”
Gerhana ikut menghela nafas, ikut memikirkan setiap kalimat yang diujarkan si sepupu. “Nggak tau. Gue belom ngehubungin Ayah. Gue masih bingung.”
“Katanya lo udah yakin? Sekarang malah bingung?! Tuhan Yesus, gue tampol juga, ni—”
“Bingung, kalimat apa yang mesti gue ucapin buat nelfon Ayah. Apa kalimat awal yang mesti gue sebutin biar obrolan gue sama Ayah nggak kaku.”
“Hah? Gimana? Gimana?” Chandra memajukan posisi tubuhnya, tidak yakin dengan apa yang barusan ia dengar. “Lo bingung mesti ngomong apaan ke Ayah lo, gitu? Emang bisa?”
“Emang lo nggak?” Gerhana malah balik bertanya dan segera dijawab dengan gelengan kepala dari Chandra. “Mana pernah! Gue kalo nelfon bokap 'tuh jatohnya pasti ngelawak. Kadang tebak-tebakan juga. Apa, ya, tebakan yang kemaren bokap gue kasih? Oh! Mushola apa yang ada di tengah laut?”
“Hah?” Gerhana mengernyitkan dahi. “Apaan?”
“MUSH—SHOOOO—HIL. HAHAHAHAHAHA.”
“.....”
“Ha Ha Ha... nggak lucu, ya?” Chandra menggaruki pipinya, merasa malu karena sudah tertawa heboh sendirian. Gerhana terkekeh kecil seraya menggelengkan kepalanya. “Lucu, kok. Lucu. Gue cuma iri aja. Gue sama Ayah nggak pernah bisa kayak begitu. Obrolan kami selalu aja kaku. Kalo nggak tentang kerjaan, ya, palingan tentang gimana kondisi gue di Jakarta. Kurang duit atau kagak. Abis itu, selesai. Nggak ada hal lain yang pernah ditanyain.”
“Nggak pernah ada tebak-tebakan jayus?”, tanya Chandra, memastikan. “Atau ejekan kalo kulit lo item?”
“Nggak pernah.” Gerhana menggeleng, kemudian menghembuskan nafas dengan berat. “Malah gue ragu, Ayah gue tau kulit gue tuh item, putih, atau ijo.”
“Yakali ijo. Lo kira alien?”, Chandra ikut menimpali dengan nada senewen. “Gini, Er. Gue 'kan dulu satu SD sama lo, perasaan waktu kita masih SD Ayah lo nggak sebegitu nyereminnya. Kok dari cerita lo itu, kayaknya si Om ‘tuh nyeremin banget kayak anjing kena rabies.”
“Gue juga nggak tau. Nggak tau sejak kapan, gue jadi jauh sama Ayah.”
“Dulunya deket?”
Gerhana menganggukkan kepala sementara kedua kuasa jemarinya saling memainkan kuku. Tiba-tiba saja banyak kejadian di masa lalu berkelebat di otak, membutnya sesak. “Dulu gue selalu pengen nyeritain apa yang gue alamin ke Ayah. Gue abis dapet ini, lah. Itu, lah. Mau gue kasih tau.”
“Terus?”
“Kapan, ya? Kayaknya pas ulang taun gue yang ke tiga belas? Ayah gue janjiin bakal dateng di hari ulang taun gue. Bawain kue stroberi.”
“Kue kesukaan lo, ya?”
Gerhana mengangguk, pandangannya masih hanya tertuju kepada papan meja di hadapan. “Gue udah nungguin tapi beliau nggak dateng-dateng.”
“Sibuk, kali, Er. Lo tau sendiri bokap lo 'kan jabatannya tinggi.” Pandangan Gerhana tiba-tiba menjadi nanar. “Gue juga kira begitu. Semua pemikiran gue masih baik-baik aja waktu itu. Tapi..”
“Tapi?” Ulang Chandra, penasaran.
“Pas tengah malem, Ayah gue balik.”
“Tuh, 'kan! Pulangnya aja tengah malem. Pasti sibuk, la—”
“Sama cewek.”
“Hah? Gimana? Gimana?”
“Ayah pulang. Mabok. Sama cewek. Masuk ke kamar. Ngewe.”
“Seriusan?”
Gerhana tertawa getir. “Goblok, 'kan? Anaknya ulang tahun, bukannya bawa makanan atau kado malah bawa cewek. Mabok. Ngewe sampai suara si cewek kedengeran ke kamar gue.”
“Bentar. Gue beneran bingung mesti ngomong apaan, Er. Sorry.”
Gerhana mengibaskan tangan, memberi isyarat bahwa ia tidak apa-apa. “Nyantai. Dulu hal ini sempet bikin gue down tapi sekarang udah biasa.” Biarpun mendapat kalimat penghiburan begitu tetap saja Chandra terlihat bingung. Pula pandangannya kini menjadi tatapan iba ketika menatap Gerhana.
“Gue kira, lo seneng.”
“Apanya?”
“Ya, itu. Semuanya yang lo punya. Banyak yang iri sama lo. Dari SD, SMA, gue tau banyak yang iri sama lo.”
“Karena?”
“Semuanya. Lo pinter. Muka ganteng. Anak perintis usaha gede di Indonesia, punya vila di Kanada. Apa-apa berkecukupan. Lengkap.”
“Lengkap apanya? Gue piatu dari lahir.” Ujaran Gerhana diakhiri dengan kekehan kecil, seakan menertawakan nasibnya sendiri. Chandra ikut tertawa kecil walaupun malah terdengar sangat kikuk. “Iya. Terkecuali yang itu, sih.” Hening sempat menyambut sejenak diantara mereka berdua sebelum akhirnya Chandra berujar kecil.
“Pantes lo nggak suka ngerayain ulang taun. Gue kira, lo beneran pelit soalnya nggak pernah kasih traktiran.”
“Anjir.” Gerhana tergelak. “Nggak, lah. Duit mah ada. Gue loyal ke temen-temen, juga. Emang guenya aja yang nggak suka sama tanggal 4 Mei. Selain karena Ibu gue meninggal tanggal 5 Mei setelah ngelahirin gue, gue juga nggak suka tanggal 4 Mei karena di tanggal itu gue tau segimana brengsek dan bejatnya bokap.”
Chandra mengangguka kecil, memahami maksud perkataan Gerhana. “Jadi semenjak itu, lo nggak deket sama si Om?”
“Gitu, lah. Semenjak itu, gue bener-bener ngejauh dari Ayah. Nggak cerita apapun. Nggak berniat ngomong apapun juga kalau bukan perihal yang urgent-urgent amat.”
“Tapi Er.. ini beda. Lo mesti minta restu Ayah lo. Tau sendiri, lah, hal yang lo lakuin sekarang ini masih dianggap tabu sama beberapa orang. Siapa tau bokap lo kurang setuju? Siapa tau, ya. Sekarang lo mau mulai langkah baru sama pacar lo itu, at least— bilang ke Ayah lo. Wajib itu. Sebenci apapun, lo tetep harus minta restu.”