“Aku anterin pulang, ya?”
Seungwoo baru saja memasukkan kembali dompet hitamnya ke dalam saku celana kain bagian belakang yang ia kenakan ketika kalimat barusan lolos dari bilah bibirnya. Byungchan yang tengah mengeratkan jaket padding kenaannya segera menolehkan kepala, terlihat sedikit kikuk namun jelas-jelas mencoba agar tetap terkesan santai. “Nggak usah, Kak. Di sini banyak taksi juga.”
“Aku bisa pulang sendiri.”
Sesungguhnya, itu hanya alasan semata agar ia tidak perlu berhadapan lagi dengan Seungwoo. Kejadian di ruang karaoke tadi membuat Byungchan ingin menggali lubang dalam-dalam untuk bersembunyi, apalagi di kejadian (ehem, ciuman) tadi ia menjadi pihak yang lebih menuntut. Seingat Byungchan, sepertinya ia yang lebih dahulu memaksa untuk menelusupkan lidah ke dalam ruang mulut Seungwoo.
Seungwoo mengangguk-anggukkan kepala, sementara tangan kanannya kini bergerak mengusapi tengkuk leher. Terlihat kebingungan harus mengangkat topik pembicaraan perihal apa lagi. Di otaknya sekarang, hanya bayang-bayang keduanya yang tengah berciuman terus berputar di kepala. Semoga saja Byungchan tidak menyadari bahwa wajahnya sekarang panas bukan main. “Byungchan..”
“Hm?”, Byungchan membetulkan tali tas ransel di pundak kirinya sebelum menggumamkan respon untuk si lelaki Han. “Kenapa, Kak?”
“Itu—”, Seungwoo terlihat kikuk, bahkan kini kaki kanannya diketuk-ketukkan ke tanah dengan tempo tidak karuan. “—soal yang tadi..”
“Maaf!”
Byungchan menyela ucapan Seungwoo dengan kedua tangan yang kini dikatupkan, persis seperti seseorang ketika memohon permintaan maaf. “Maafin tindakanku tadi, Kak! Kakak pasti marah, 'kan? Maaf! Maaf banget!”
Tangan Seungwoo yang tadinya tengah mengusapi tengkuk lehernya kini berhenti bergerak. Tangannya secara perlahan turun ke bawah, bahkan terlihat lemas. “A..ah—”
Seakan tidak menyadari apa yang tengah dirasakan oleh Seungwoo, Byungchan masih sibuk menyuarakan berbagai alasan yang menurut Seungwoo sendiri sama sekali tidak penting untuk disuarakan. “Aku nggak akan lagi-lagi ngelakuin itu! Nggak akan lagi-lagi aku minta Kakak nemenin buat minum, deh! Janji!”
“Kalau aku minta minum, nih'— ketok aja kepalaku, nggak apa-apa!” Tangan kanan Byungchan meraih tangan kiri si lelaki Han dan meletakkan kuasa gagah itu ke kepalanya sendiri. “Ketok aja. Jitak aja, nggak apa-apa!”, ujar Byungchan seraya menggerak-gerakkan tangan Seungwoo di atas kepalanya.
Seungwoo hanya tertawa kecil dan mengubah gerak jitakan di kepala menjadi usapan lembut dan tepukan hangat layaknya dua kawan yang saling bercanda. “Nggak, lah. Kamu juga 'kan nggak sadar ngelakuinnya. Namanya juga mabuk, nggak perlu dilebih-lebihin sampai harus dijitak atau dipukul segala.”
“Ya udah,” Seungwoo melepaskan tangannya dari genggaman Byungchan dan memasukkan kuasa ke dalam saku celana panjang berbahan kain yang dikenakannya. “Kamu jadi mau naik taksi?”, tanya Seungwoo lagi, berniat memastikan.
Byungchan memberi jawab berupa anggukan dan dibalas dengan senyum tipis dari Seungwoo. “Hati-hati, ya?”
Hati-hati.
Hanya satu kalimat itu yang terujar dari bibir si lelaki Han. Tidak ada tawaran yang seperti paksaan lagi. Seungwoo baru memahami bahwa Byungchan sudah memutuskan tindak bagi mereka berdua.
Byungchan tidak ingin lagi dikaitkan dengannya. Byungchan sama sekali tidak menaruh perasaan di ciuman yang mereka lakukan tadi. Byungchan— sudah menetapkan garis bahwa mereka tidak usah bersikap layaknya sepasang kekasih.
Padahal.. Padahal, ya.. Padahal Byungchan hanya ingin tahu.
Ia ingin tahu sebagaimana lelaki Han ini ingin memilikinya kembali. Ia ingin tahu sebagaimana Seungwoo akan memaksanya untuk kembali. Ia hanya ingin tahu.
Maka ujaran yang berkesan seperti penolakan disuarakan, namun hanya karena beberapa kalimat— Seungwoo memilih untuk menyerah dan tidak menyuarakan inginnya lagi.
Seungwoo, selemah itu tekadnya.
Pada akhirnya, semua kembali berakhir dengan dua raga yang terpisah oleh jarak. Seungwoo yang memegangi kemudi mobilnya erat-erat, juga Byungchan yang memandangi arus jalan raya yang tengah dibelah oleh laju taksi yang ditumpanginya.
Pada akhirnya, semua tidak lagi tersuarakan. Pada akhirnya semua perasaan kembali harus terpendam dibalik ego dan harga diri yang terlalu tinggi, juga tenggelam karena kuriositas yang sama sekali tidak pantas dijadikan prioritas.
Lagi. Semua berakhir. Begitu saja, begini lagi.