dontlockhimup

“Aku anterin pulang, ya?”

Seungwoo baru saja memasukkan kembali dompet hitamnya ke dalam saku celana kain bagian belakang yang ia kenakan ketika kalimat barusan lolos dari bilah bibirnya. Byungchan yang tengah mengeratkan jaket padding kenaannya segera menolehkan kepala, terlihat sedikit kikuk namun jelas-jelas mencoba agar tetap terkesan santai. “Nggak usah, Kak. Di sini banyak taksi juga.”

“Aku bisa pulang sendiri.”

Sesungguhnya, itu hanya alasan semata agar ia tidak perlu berhadapan lagi dengan Seungwoo. Kejadian di ruang karaoke tadi membuat Byungchan ingin menggali lubang dalam-dalam untuk bersembunyi, apalagi di kejadian (ehem, ciuman) tadi ia menjadi pihak yang lebih menuntut. Seingat Byungchan, sepertinya ia yang lebih dahulu memaksa untuk menelusupkan lidah ke dalam ruang mulut Seungwoo.

Seungwoo mengangguk-anggukkan kepala, sementara tangan kanannya kini bergerak mengusapi tengkuk leher. Terlihat kebingungan harus mengangkat topik pembicaraan perihal apa lagi. Di otaknya sekarang, hanya bayang-bayang keduanya yang tengah berciuman terus berputar di kepala. Semoga saja Byungchan tidak menyadari bahwa wajahnya sekarang panas bukan main. “Byungchan..”

“Hm?”, Byungchan membetulkan tali tas ransel di pundak kirinya sebelum menggumamkan respon untuk si lelaki Han. “Kenapa, Kak?”

“Itu—”, Seungwoo terlihat kikuk, bahkan kini kaki kanannya diketuk-ketukkan ke tanah dengan tempo tidak karuan. “—soal yang tadi..”

“Maaf!”

Byungchan menyela ucapan Seungwoo dengan kedua tangan yang kini dikatupkan, persis seperti seseorang ketika memohon permintaan maaf. “Maafin tindakanku tadi, Kak! Kakak pasti marah, 'kan? Maaf! Maaf banget!”

Tangan Seungwoo yang tadinya tengah mengusapi tengkuk lehernya kini berhenti bergerak. Tangannya secara perlahan turun ke bawah, bahkan terlihat lemas. “A..ah—”

Seakan tidak menyadari apa yang tengah dirasakan oleh Seungwoo, Byungchan masih sibuk menyuarakan berbagai alasan yang menurut Seungwoo sendiri sama sekali tidak penting untuk disuarakan. “Aku nggak akan lagi-lagi ngelakuin itu! Nggak akan lagi-lagi aku minta Kakak nemenin buat minum, deh! Janji!”

“Kalau aku minta minum, nih'— ketok aja kepalaku, nggak apa-apa!” Tangan kanan Byungchan meraih tangan kiri si lelaki Han dan meletakkan kuasa gagah itu ke kepalanya sendiri. “Ketok aja. Jitak aja, nggak apa-apa!”, ujar Byungchan seraya menggerak-gerakkan tangan Seungwoo di atas kepalanya.

Seungwoo hanya tertawa kecil dan mengubah gerak jitakan di kepala menjadi usapan lembut dan tepukan hangat layaknya dua kawan yang saling bercanda. “Nggak, lah. Kamu juga 'kan nggak sadar ngelakuinnya. Namanya juga mabuk, nggak perlu dilebih-lebihin sampai harus dijitak atau dipukul segala.”

“Ya udah,” Seungwoo melepaskan tangannya dari genggaman Byungchan dan memasukkan kuasa ke dalam saku celana panjang berbahan kain yang dikenakannya. “Kamu jadi mau naik taksi?”, tanya Seungwoo lagi, berniat memastikan.

Byungchan memberi jawab berupa anggukan dan dibalas dengan senyum tipis dari Seungwoo. “Hati-hati, ya?”

Hati-hati.

Hanya satu kalimat itu yang terujar dari bibir si lelaki Han. Tidak ada tawaran yang seperti paksaan lagi. Seungwoo baru memahami bahwa Byungchan sudah memutuskan tindak bagi mereka berdua.

Byungchan tidak ingin lagi dikaitkan dengannya. Byungchan sama sekali tidak menaruh perasaan di ciuman yang mereka lakukan tadi. Byungchan— sudah menetapkan garis bahwa mereka tidak usah bersikap layaknya sepasang kekasih.

Padahal.. Padahal, ya.. Padahal Byungchan hanya ingin tahu.

Ia ingin tahu sebagaimana lelaki Han ini ingin memilikinya kembali. Ia ingin tahu sebagaimana Seungwoo akan memaksanya untuk kembali. Ia hanya ingin tahu.

Maka ujaran yang berkesan seperti penolakan disuarakan, namun hanya karena beberapa kalimat— Seungwoo memilih untuk menyerah dan tidak menyuarakan inginnya lagi.

Seungwoo, selemah itu tekadnya.

Pada akhirnya, semua kembali berakhir dengan dua raga yang terpisah oleh jarak. Seungwoo yang memegangi kemudi mobilnya erat-erat, juga Byungchan yang memandangi arus jalan raya yang tengah dibelah oleh laju taksi yang ditumpanginya.

Pada akhirnya, semua tidak lagi tersuarakan. Pada akhirnya semua perasaan kembali harus terpendam dibalik ego dan harga diri yang terlalu tinggi, juga tenggelam karena kuriositas yang sama sekali tidak pantas dijadikan prioritas.

Lagi. Semua berakhir. Begitu saja, begini lagi.

“DON'T MATTER!” “IF YOU LOVE ME!” “OR HATE MEEEE!”

Seungwoo hanya bisa menyunggingkan senyum tipis ketika melihat Byungchan kini tengah memutar-mutarkan kepalanya tidak karuan, mikrofon di tangan kanannya pun seperti tidak memiliki guna yang lebih karena suara teriakan si lelaki Choi terdengar lebih nyaring; bahkan tanpa bantuan pengeras suara dalam bentuk apapun.

“I WANNA BE ME!” “ONE AND ONLY Mㅡ HOOOOEEEK!”

Baru juga lagu WANNABE yang ia nyanyikan tengah menuju bagian puncaknya, Byungchan tiba-tiba terduduk di lantai dan segera mengeluarkan isi perutnya. Mabuk, adalah alasan utama. Lihat saja, di atas meja ruang karaoke yang ditempati keduanya, sudah ada tujuh botol bir yang kosong. Hampir lebih dari setengahnya ditenggak oleh Byungchan, padahal Seungwoo tahu lelaki yang lebih muda darinya itu sungguh sangat lemah daya toleransinya akan alkohol.

Maka ketika si lelaki Choi mengeluarkan isi perutnya ke dalam kantong plastik berwarna hitam yang sengaja disediakan oleh Seungwoo, si lelaki Han tidak terlihat panik sama sekali. Ia hanya menghentikan sejenak alunan musik yang berkumandang dan beranjak mendekati Byungchan untuk memijati tengkuk lehernya. “Keluarin semua. Keluarin.”

“HOOOOEEEEK!”

Seungwoo hanya menghela nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya ke dalam satu hentakan berat. Ingin memarahi, namun ia menyadari bahwa dirinya bukan lagi siapa-siapa bagi Byungchan. Hubungan mereka sudah kandas di tahun lalu. Walaupun mereka berdua masih menyandang status sendiri dan belum memproklamirkan diri sudah dimiliki oleh orang lain, tetap saja Seungwoo harus paham segala batasan; bahwa Byungchan bukan lagi miliknya.

“Uda—h.” “Udah..” “Nggak usah dipijit lagi.”

Byungchan sedikit menegakkan kepala dan menyeka ujung bibir dengan lengan kemeja yang dikenakan. Nafasnya terlihat tersengal, wajahnya juga memerah; mungkin karena menahan rasa pusing yang mendera. Mengikuti ujaran si lelaki Choi, Seungwoo tidak lagi memijat tengkuk Byungchan. Ia hanya duduk di samping si lelaki yang lebih muda dan menolehkan kepala, “Lagianㅡ udah tau nggak bisa minum alkohol, malah minta sajiannya bir semua. Kamu 'tuh kenapa, coba? Kalau mau rayain kenaikan jabatan di kantor, coba pakai cara yang wajar-wajar aja. Makan, atau apaaa gitu.”

Byungchan hanya terdiam. Kalimat Seungwoo barusan tidak digubris olehnya. Kepala si lelaki yang lebih muda kini hanya menengadah ke atas, bersandar pada sofa ruang karaoke yang sudah terkelupas kulitnya. “Yang wajar, ya?”

“Kalau kita masih barengan, Kak... aku pasti bakal bikin makanan kesukaan Kakak. Aku bakal persiapin apapun di apartemen buat menyambut kamu dan kasih tau dengan wajah gembira bahwa aku naik jabatan.”

“Kalau aku dan kamu masih bersama, semua yang wajar-wajar itu masih bisa terjadi. Tapi karena kita nggak barengan lagi, jadi yahㅡ”, kalimat Byungchan diakhiri dengan tawa getir dan tangan kanan yang kembali mengusapi ujung bibirnya sendiri. “ㅡaku cuma bisa ajak Kakak ke karaoke begini. Nikmatin waktu sebagai sesama teman.”

Tidak lagi bersandar, kini Byungchan duduk dengan tubuh yang sedikit dibungkukkan ke depan. Tangannya kembali meraih botol bir yang masih terisi setengah, berniat untuk menuangkan isinya ke dalam gelas miliknya.

Namun Seungwoo menahan gerak tangan si lelaki Choi, “kamu udah mabuk banget. Udah.”

Byungchan menepis tangan Seungwoo. Tidak kencang, memang. Akan tetap tetap bisa membuat Seungwoo terhenyak, sedikit tidak percaya bahwa si lelaki yang lebih muda ini bisa melawannya. “Ini pesta kenaikan jabatan aku, Kak. Aku mau bener-bener nikmatin sampai puaㅡ”

Bibir Byungchan terkatup. Bukan oleh tangan si lelaki Han, namun oleh bibirnya yang mengunci setiap laju kalimat selanjutnya dari bibir Byungchan. Untuk dua detik pertama, Seungwoo hanya diamㅡ begitupun dengan Byungchan yang seakan kaget; tidak tahu harus berbuat apa.

Memberi pagut balasan? Atau mendorongnya menjauh?

Detik setelahnya, Seungwoo sedikit memundurkan kepalanya; memberi waktu kepada Byungchan untuk kembali mendapatkan warasnya. Byungchan benar-benar tidak bergerak, bahkan mengerjapkan matapun tidak.

“Byungchan?”, Seungwoo mengusapi pipi Byungchan, seakan ingin menyampaikan pernyataan maafnya lewat sana. “Hei, maafin aku, yㅡ”

“Kak..” “Boleh aku..cium Kakak?”

Tangan Byungchan ikut menggenggam tangan Seungwoo yang tengah mengusapi pipinya. Jujur, ia bisa merasakan bagaimana kini jantungnya berdegup lebih cepat daripada biasanya. Dalam hati, Byungchan setengah berharap Seungwoo akan menolak permintaannya barusan.

Jika Seungwoo menolak, maka akan lebih mudah baginya untuk memutuskan tindakan yang harus dilakukan ke depannya. Jika Seungwoo menolak, maka Byungchan sudah dapat memastikan bahwa Seungwoo hanya menginginkan hubungan diantara keduanya hanya sekedar teman.

Namun setengah hatinya yang lain berharap Seungwoo mengiyakan. Bukan apa-apa, Byungchan rindu akan bibir lelaki itu. Byungchan ingin merasakan lagi pagutan manis dari Seungwoo. Byungchan inginㅡ

Tiba-tiba saja, semua pemikirannya terhenti secara mendadak karena Seungwoo kini perlahan tengah memajukan kepalanya ke arah Byungchan. Sedikit demi sedikit, jarak diantara keduanya terkikis hingga akhirnya menjadi tiada.

Bibir Seungwoo, mendarat lembut di bibir Byungchan. Bibir Seungwoo, memagut pelan bibir Byungchan. Bibir Seungwoo, seakan menemukan tempatnya kembali di bibir Byungchan.

Hati si lelaki Choi dikerumuni berbagai keraguan. Apakah semua ini benar? Apakah mereka boleh melakukan ini?

Namun, logika harus takluk akan hatinya sendiri. Setiap logikanya yang meneriakkan untuk berhenti seakan dibungkam rapat-rapat oleh hatinya yang mendamba setiap sentuhan si lelaki Han. Maka penolakan dipendam, digantikan oleh bibir yang kini terbuka; membiarkan lelaki Han melakukan tindak lebih di bibirnya.

Mereka tahu, ini salah. Namun, ini terasa benar.

Entah. Semua terlalu rumit. Perkara hati, iniㅡ rumit.

“Byungchan.” “Byungchan, hei.”

Byungchan mengerjapkan mata, samar-samar terdengar suara yang memanggil diri. Namun rasa pusing sudah keburu menguasai. Sehingga alih-alih memfokuskan pandangan, Byungchan malah mencengkeram rambutnya sendiri; walaupun, yahㅡ tidak terlalu kencang, sih.

“A-anhh..” Erangan kecil lolos keluar dari bibir Byungchan. Sumpah demi apapun, barusan kepalanya seperti mengeluarkan bunyi piiiㅡp tanpa henti. Pusing sekali.

“Byungchan?” “Kamu nggak apa-apa?”

Jika yang barusan memanggilnya adalah suara berat laki-laki, kini suara lembut dari seorang perempuan lah yang terdengar. Memaksakan diri, akhirnya Byungchan membuka matanya dan melihat sosok Sunhwa yang memandanginya dari bangku pengemudi di bagian depan. Di samping Sunhwa, ada seorang laki-laki berkacamata yang memandanginya lekat-lekat. “Byungchan, hei? Udah mendingan?”

“Kakㅡ Seungho?” “Kak Sunhwa?”

Sunhwa terlihat seperti akan menangis ketika mendengar ujaran Byungchan. Begitupun dengan Seungho yang sekarang tengah membuka mulutnya lebar-lebar, seperti tidak percaya bahwa Byungchan bisa mengingat dirinya. “Sumpahㅡ lo.. inget kita, Byungchan?”

Byungchan seperti tidak termakan euforia yang ada. Dia terlihat bingung untuk sejenak, hingga akhirnya pandangannya terfokus pada sesuatu dan ujaran yang selanjutnya keluar dari bibirnya hanyalah satu hal.

“Seungwoo!” “Mana Seungwoo?!”

Dia harus segera menemui kekasihnya. Dia harus mengetahui kondisi kekasihnya. Dia harus, dan dengan segera memeluk kekasihnya.

“Woo.” “Gue mau minta maaf.”

“Kenapa?”

“Gue..” “..bikin akun pake nama lo.” “Terus gue DMin Byungchan.” “Berkali-kali, setiap ending.” “... Sekarangㅡ” “ㅡdia mau nelfon.”

”...” “...” “Pisau dapur ada di laci, 'kan?”

“HEH!” “SADAR, HEH!” “GUE KEMBARAN LO!”

“KENAPA PAKE LO DM, BEGO?!” “LO KAN UDAH JANJI KE GUE!”

“GUE JANJINYA BUAT NGGAK NGOMONG KE DIA! GUE NGGAK NGOMONG! GUE NGETIK! GUE NGETIK DIAAAA! WOO! YA TUHAN, HEH! KAGAK PAKE LEMPAR TIANG LAMPU! SEUNGWOO! WOY! WOY! WOY! DIA NELFON! DIA NELFOOOOON!”

“Ini adegan yang ada di halaman 74. Pertemuan kedua Seung sama Bit.”

Jemari Seungwoo bergerak di atas lembar halaman skrip dari cerita buatan si Kakak. Ada satu eksemplar yang Sunhwa minta untuk dibuatkan versi braille dan dipersembahkan untuk si adik. Dari eksemplar itu, Seungwoo bisa mengetahui bagaimana sang Kakak menjelaskan kisah hidupnya ke dalam bentuk kumpulan kata.

“Dialognya sama persis, ya, kayak yang di buku?”, tanya Seungho yang sekarang tengah duduk berdampingan dengan Seungwoo di sofa ruang tamu yang menghadap langsung ke televisi. Seungwoo memang tidak bisa melihat apapun dari setiap adegan di televisi namun dengan mendengar suara Byungchan dari speaker televisi dan berbagai penjelasan secara tertulis yang ada pada skrip di tangannya, Seungwoo bisa sedikit membayangkan setiap adegan yang terjadi. “Penulis skripnya agak payah, nih, gue liat-liat. Beneran plek ikutin apa yang ada di buku.”

Seungwoo mengulas senyum tipis dan mengangguk kecil. “Ho..”

“Hm?”, Seungho menggumam untuk membalas panggilan Seungwoo barusan. “Apa?”

“Byungchan.. manis banget, pasti, ya?”, lanjutan kalimat dari Seungwoo rasanya membuat Seungho ingin terisak lagi. Kalimat Seungwoo barusan diucapkan dengan tenang, namun Seungho bisa merasakan bagaimana kesedihan yang ada di dalamnya.

Ingin melihat langsung. Bukannya hanya mendengar suara dan membayangkan setiap tindakannya dari skrip yang ia baca secara braille. Seungho yakin, Kakaknya pasti ingin begitu.

“Manis.” “Lucu.” “Aktingnya bagus.”

Kata-kata Seungho barusan segera membuat senyum di bibir Seungwoo terulas jauh lebih lebar. Seperti bangga mendengar ketika ada yang mengapresiasi Byungchan.

“Gue ke dapur dulu, haus.” Tepat setelah mengujarkan kalimatnya, Seungho beranjak dari sofanya dan melangkah menuju dapur. Haus? Itu hanya alasan, sesungguhnya ia hanya tidak ingin melihat si Kakak yang seperti barusan.

Kasihan. Sang Kakak kembar terkurung dalam gelapnya, sementara sang cahaya berkeliaran di luar sana; menunjukkan bakat dan sinarnya ke hadapan orang lain.

Cahaya Byungchan ditunjukkan kepada semua orang yang melihat. Semua, kecuali Seungwoo.

Dan itu, menyakitkan.

“Byungchan ikutan casting.” “Produser kayaknya suka ke akting dia. Ada kemungkinan dia bakal ikut syuting.”

Ujaran Seungho barusan membuat gerak tangan Seungwoo yang sedang menggigit potongan sandwichnya segera terhenti. Di meja makan, saat ini hanya ada mereka berdua. Semenjak pertengahan tahun 2019, kedua orangtua putra-putri Han diwajibkan untuk membantu perihal hukum di luar negeri. Adalah tugas negara yang dititahkan membuat keduanya harus menerima dengan sepenuh hati.

Sang Kakak sulung, Sunhwa, sudah berumah tangga sehingga di rumah keluarga Han yang megah hanya ada si kembar, Seungho dan Seungwoo.

Pada kisaran awal 2019, pengelihatan Seungwoo hilang sepenuhnya. Dunianya benar-benar gelap, namun si pemilik raga tidak terlihat begitu panik. Iya, tolong garis bawahi kalimat tidak begitu karena tetap saja si anak tengah Han itu menangis di pagi hari setelah tersadar dari tidurnya; berteriak histeris memanggil nama Seungho, mengatakan dunianya gelap pekat. Tidak ada yang bisa ia lihat.

Semenjak itu, Seungho menjadi mata bagi si Kakak kembar. Dimulai dari yang paling sederhana, braille. Seungwoo mulai membiasakan diri untuk membaca tulisan braille dan megetahui sesuatu dari sentuhan tangannya. Seungho membantu dalam semua hal, perihal makan dan mandi (ya— biarpun pada awalnya Seungho harus menabahkan hati karena ia kembali harus melihat si Kakak dalam situasi telanjang bulat), dan segala hal kecil lainnya.

Beruntung Seungwoo adalah lelaki yang cerdas. Ia tidak memerlukan waktu lama untuk memahami cara membaca tulisan braille dengan cepat juga untuk mengoperasikan komputer khusus bagi penyandang tunanetra yang dibelikan oleh Seungho pun ia hanya memerlukan waktu singkat.

Semua terasa tepat dan benar serta berada pada lajur yang seharusnya, hingga pada suatu hari Sunhwa meminta izin kepada Seungwoo untuk mendokumentasikan setiap kejadian yang pernah terjadi kepadanya dahulu ke dalam bentuk tulisan. Menjadi sebuah novel yang diadaptasi dari segala kejadian yang dialami si adik tengah.

Seungwoo awalnya tida setuju. Ia sendiri sudah berjanji untuk tidak lagi berada di lajur hidup seorang Choi Byungchan. Ia ingin Byungchan hidup dengan bahagia tanpa perlu mengingat kejadian yang menjadi traumanya.

Namun Sunhwa bersikeras, bahkan menangis meraung-raung di hadapan si adik demi mewujudkan keinginannya merilis novel itu. Tidak tega melihat si Kakak kesayangan menangis begitu, akhirnya Seungwoo mengiyakan dengan syarat setiap kejadian harus disamarkan dan diubah menjadi kejadian lain.

Maka syarat diiyakan. Nama Seungwoo dan Byungchan diubah menjadi Bit dan Seung. Kejadian ingin lompat terjun ke sungai Mapo untuk bunuh diri diganti menjadi kejadian melemparkan hasil karya ke sungai Mapo. Kebutaan yang dialami Seungwoo, diubah menjadi penyakit jantung yang diderita oleh Bit sejak lama.

Hasil akhirnya? Buku karangan Sunhwa meledak di pasaran. Hasil akhirnya? Nama Bit dan Seung menjadi sebuah karakter yang iconic dan dielu-elukan sebagai karakter kesayangan masyarakat Korea. Bahkan tidak sekali dua kali stasiun berita di televisi nasional menayangkan berita tentang sebagaimana cerita karangan si Kakak sangat digandrungi oleh masyarakat.

Seungwoo khawatir. Ia takut apabila Byungchan nantinya juga akan membaca cerita itu dan mengingat kembali memori yang sudah dilupakannya. Seungwoo tidak ingin Byungchan mengingat dirinya dan menemui kenyataan bahwa Seungwoo sudah buta. Pasti lelaki Choi itu tidak akan berhenti menyalahkan dirinya sendiri.

Seakan kekhawatirannya belum cukup besar, Kakaknya mengatakan bahwa cerita karangannya akan diadaptasi ke bentuk drama. Semakin takut saja Seungwoo karena membayangkan Byungchan akan menonton dramanya dan mengingat semua.

Namun saat itu, semua kekhawatirannya seakan tidak ada apa-apanya dengan kenyataan yang terjadi. Seungwoo takut Byungchan akan membaca novel atau melihat dramanya tapi kenyataannya...

“Ikut—syuting?”, tanya Seungwoo dengan nada suara yang teramat pelan, seakan bingung harus bersikap bagaimana. “Kok...bisa?”

“Dia 'kan aktor, lo nggak lupa 'kan? Mungkin dia liat iklan bahwa 4EVER lagi bikin casting buat pemeran utama. Jadi yaaa—”, Seungho menggantung nada kalimatnya dan menuangkan segelas susu ke gelas milik si Kakak. “—mungkin aja dia iseng ikutan?”

Dalam hati, Seungho berharap nada suaranya terdengar meyakinkan. Ia tidak pintar berbohong dan harus berakting seakan pura-pura tidak tahu seperti ini sangat menyulitkan. “Yang gue denger dari Kak Sunhwa, sih, Byungchan dianggap sangat memenuhi penggambaran sosok Seung yang ada di novel Kak Sunhwa. Tinggi, manis tapi ganteng di waktu yang bersamaan, punya lesung pipi di kedua sisi juga. Produser pengen banget ngegambarin karakter di dramanya nanti sesuai sama penggambaran di novel.”

”...” “Lo yang kasih tau Byungchan?”

“KOK GUE?!”, seru Seungho tidak terima. “Ya Tuhan, Woo. Gue udah sumpah ke lo buat nggak ngehubungin Byungchan, lho! Udah janji antar kembaran juga, nggak boleh dilanggar! Kalo dilanggar, gue jadi kambing!”

Iya. Seungho tidak berbohong, kok. Ia hanya berkomunikasi dengan Seungsik dan Seungsik yang melanjutkan sisanya. Ia tidak menyalahi janji, 'kan?

Seungwoo segera meletakkan sandwichnya begitu saja ke atas piring kemudian memijati keningnya yang tiba-tiba pusing. “Dia nggak boleh main drama itu..”

“Dia bisa keinget gue lagi.”

“Woo.” Seungho berujar seraya mengambili potongan remah-remah roti milik Seungwoo yang berceceran di atas meja. “Lo nggak bisa apa-apa lagi kalo Tuhan emang rencanainnya begitu. Terima aja, apapun hasil akhirnya, ya— kalo emang itu udah garis jalan Tuhan, lo mau gimana lagi?”

Seungwoo terdiam, lama. Bingung menentukan perihal apa yang harus ia rasakan sekarang. Haruskah ia mengiyakan apa yang diujarkan Seungho dan mengiyakan segala yang Tuhan rencanakan? Ataukah— tetap berusaha menjauh dari ia yang dulu pernah sedekat nadi?

“Udah tau, kok.” “Kalian nggak usah takut buat jelasin semuanya.”

Seungwoo berujar dengan nada ringan tatkala menemui Seungho dan Seungsik yang ada di kamar tidurnya. Kedua lelaki itu sudah bertekad untuk memberi tahu si putra tengah Han perihal kondisinya namun yang dimaksud malah terlihat tenang. Sama sekali tidak terlihat ekspresi panik ketika mendengar ujaran Seungsik yang mengajaknya untuk bertemu dengan alasan ingin mengatakan sesuatu. “Gue udah rasain sendiri, gimana semakin lama semua di sekeliling gue rasanya semakin gelap dan perlahan gue juga sering ngerasa dunia gue gelap secara tiba-tiba.”

“Nggak apa-apa.” “Gue— nggak apa-apa.”

“Gue bakal belajar braille mulai dari sekarang, kayaknya. Lalu bakal belajar gimana caranya terbiasa ngelakuin sesuatu dalam gelap.”

“Tapi, Ho..”, ditengah ujaran kalimatnya Seungwoo memanggil si adik kembar. “..Sorry kalau nantinya gue bakal rada sering repotin lo, ya? Gue masih butuh bantuan sampai akhirnya bisa terbiasa sama semua.”

Seungho menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan agar tangisnya tidak meledak. Memalukan. Ia paling tidak ingin terlihat paling lemah diantara dua lelaki ini. “Gue usahain..”

“Sebisa gue..” “..buat bantu lo, Woo.”

Seungwoo tersenyum tipis dan mengangguk-anggukkan kepala. Setelahnya, ia menghampiri si adik kembar dan mendaratkan pelukan hangat kepada si lelaki yang terpaut jarak waktu lahir sepuluh menit darinya. “Udah, ngapain nangis? Gue masih di sini, kali. Nggak mati.”

“Gue...”, kalimat yang diujarkan Seungho terdengar terputus-putus, menandakan si lelaki yang paling muda memang sedang menahan isak tangisnya. “...nggak nangis.”

Hanya berkisar lima detik setelahnya, tangis Seungho berakhir meledak. Yang lebih tua hanya menepuki punggung si adik perlahan, kemudian tatapan beralih kepada Seungsik yang hanya menundukkan kepala. “Sik.”

“Gue titip Byungchan.” “Tolong pastiin dia baik-baik aja.”

Seungsik bisa apa selain menganggukkan kepala dan menjawab dengan suara lirih, mengiyakan.

“Gue usahain, Woo.”

Pada akhirnya, semua benar-benar seperti dirampas dari kehidupan Seungwoo. Dengan hilangnya sosok Byungchan yang bagaikan penerang di kehidupan Seungwoo, cahaya lainnya juga ikut hilang.

Pada akhirnya, dunia Seungwoo gelap. Pekat, tidak lagi berwarna. Semuanya, hitam.

Kak. Aku serius. Aku sayang Kakak.

Kak.. aku sayang kamu.

Ya, Tuhan. Kak, aku sayang kamu. Dari awal jumpa sampai sekarang, rasa ini nggak pernah hilang. Rasa ini bertambah terus-terusan. Kak... aku mesti gimana? Kakㅡ ini sakit. Kak Seungwoo... aku sayang kamu. Tolong ketahui ini, Kak..