2O28.
“Nggak masuk, Cak?”
“Dingin, 'kan?”
Cakrawala, si lelaki jangkung yang tengah menyandarkan tubuhnya ke pagar yang membatasi balkon lantai dua di rumahnya, sedikit menolehkan kepala; mencari tahu siapa yang barusan berujar. Senyuman tipis terukir ketika menyadari bahwa Gerhana tengah menghampirinya, membawa sebuah selimut tipis di tangan sementara ia sendiri mengenakan sweater berwarna coklat tua di tubuh; terlihat hangat.
“Nanti dulu.”
“Lagi pengen di sini.”
Gerhana mengangguk kecil, memahami perkataan si lelaki jangkung. Tanpa permisi, ia sedikit membentangkan selimut tipis di tangannya kemudian menyampirkannya ke punggung Cakrawala. Berharap lelakinya itu tidak kedinginan karena suhu cuaca Kanada saat ini lumayan dingin dibanding hari biasanya.
“Boleh ditemenin?”, tanya Gerhana seraya ikut menyandarkan tubuhnya ke pagar balkon, berdiri persis di samping Cakrawala. Si lelaki yang lebih jangkung menoleh sekilas, “... masa' nggak boleh ditemenin sama suami sendiri?”, tanyanya balik, yang kemudian diikuti kekehan tawa kecil.
“Boleh, lah,” ujar Cakrawala. Pandangannya kembali tertuju ke depan, memandangi puluhan rumah lainnya yang ada di sana. Sekarang pukul sebelas, wajar jika tidak ada siapapun yang melintas di sekitar kompleks perumahan yang ditempati oleh keluarga kecil mereka. Gerhana, Cakrawala, dan Rembulan.
Gerhana hanya berdiri di samping Cakrawala, awalnya memang mengambil jarak namun beberapa saat setelahnya ia menyampirkan tangan ke pundak si pasangan dan naik merambat ke kepala; mengusapi pelan kepala Cakrawala. “Hm? Kenapa? Lagi banyak pikiran?”
Pertanyaan diiringi gerak usapan lembut dari Gerhana membuat Cakrawala sedikit merasa lebih nyaman. Tubuhnya tidak lagi terlihat tegang, ia benar-benar terlihat lebih tenang sekarang. “Lumayan.”
“Cuma lagi mikirin berbagai hal yang pernah terlewati, sampai akhirnya aku bisa ada di sini.”
“Ternyata banyak yang pernah aku lewatin, ternyata ada banyak peristiwa yang aku alamin. Sampai akhirnya aku bisa sama kamu di sini. Perjalanan panjang.”
Usapan tangan Gerhana di kepala Cakrawala terkadang turun ke pundak, sesekali mengelus pundak lapang si pasangan yang tetap saja terlihat lemah di matanya. Walaupun tubuh Cakrawala sedikit lebih tinggi dan besar daripada tubuhnya, Gerhana tidak pernah merasa aneh. Karena tetap saja, ketika tubuh Cakrawala ada di pelukannya...semua terasa benar. Karena tetap saja, ketika Cakrawala menangis di pelukannya...sosok lelaki itu terlihat seperti anak kecil yang meminta untuk dilindungi.
“Capek, ya?”
“Hm?”
Cakrawala menggeleng, posisi kepalanya sedikit dimiringkan ke kiri agar ia bisa bersandar ke pundak Gerhana di sampingnya. “Nggak. Nggak capek.”
“Capek juga nggak apa-apa. Ada aku di sini, 'kan?”, ujar Gerhana dengan nada suaranya yang selalu terdengar tenang seperti biasa. Tangan si lelaki yang lebih tua kini kembali mengusapi puncak kepala Cakrawala. “Mau aku bikinin minuman hangat?”
Cakrawala menggeleng. Nafasnya ditarik dalam-dalam kemudian dihembuskan perlahan, setelahnya ia melirik si pasangan di samping diri. “Er.”
“Hm?”
“Makasih, ya?”
Gerhana sedikit mengernyitkan dahinya. “Makasih buat apa? Aku cuma bawain selimut, lho.”
“Bukan selimut,” jawab Cakrawala seraya menyunggingkan senyum tipis. “Makasih buat semuanya.”
Gerhana tidak membalas perkataan Cakrawala dengan pertanyaan yang umumnya ditanyakan, seperti makasih buat apa?
Tidak.
Tidak perlu.
Tanpa semua itu,
Gerhana sudah paham.
Gerhana sudah tahu,
apa yang dimaksud Cakrawala.
Maka alih-alih pertanyaan, Gerhana hanya memberi kecupan kecil ke kepala Cakrawala yang sedang bersandar di pundaknya. Tidak hanya sekali, namun tiga kali kecupan didaratkan ke kepala si pasangan hidup.
“Nggak usah makasih.”
“Kamu pantes dapetin itu.”
“Kamu pantes bahagia.”
Cakrawala memberi anggukan kecil, matanya sekarang terpejam untuk sejenak; mencoba merasakan hembusan angin yang bertiup sepoi-sepoi di malam hari ini. Sejuk, seperti Gerhana.
“Kamu juga?”
“Hm?”
“Kamu bahagia sama aku?”
Gerhana terkekeh kecil setelah mendengar ujaran Cakrawala. “Cak,” Gerhana sedikit menjauhkan tubuhnya dari Cakrawala agar bisa memandangi wajah lelaki jangkung itu. “Tingkatanku ini sekarang bukan lagi bahagia. Ini udah sepuluh tingkat di atas bahagia. Kalau dibandingin tuh, ya, perasaan aku sekarang ada di atas awan.”
“Bisa bangun tidur dengan kamu di sisi aku, bisa bacain dongeng sebelum tidur buat Mbul, juga bisa peluk kamu beginiㅡ”
“ㅡitu anugerah buat aku.”
“Kebahagiaan terbesar.”
Cakrawala menarik ujung bibirnya, menunjukkan senyum yang teramat manis di mata Gerhana. “Itu gombal?”
“...”
“Tulus, sayang.”
“Serius. Itu tulus.”
Bukannya Cakrawala meragukan ujaran Gerhana, ia percaya ratus ribu persen kepada lelaki itu. Hanya saja, ia masih beluk terbiasa dengan segala bahasa manis si suaminya ini. Dari dulu, masih belum terbiasa. Terkadang masih sering tersisip rasa tidak percaya diri perihal apakah ia boleh merasa sebahagia ini?.
Karena Cakrawala tahu, ada seseorang yang tengah merasakan kesendiriannya di luar sana. Apa boleh Cakrawala bahagia seperti ini dengan Gerhana sementara Baskaraㅡ sendirian di sana?
Gerhana menangkap tatapan itu lagi. Tatapan kosong dari Cakrawala, seperti tengah memikirkan sesuatu yang tidak ada di sini. Seperti bukan memikirkan Gerhana.
Tidak.
Gerhana tidak marah.
Gerhana tidak murka.
Gerhana terlihat tenang, ia masih mengusapi punggung Cakrawala dan kembali mengecupi puncak kepala si pasangan. Entah berapa kali, Gerhana tidak sempat menghitung. Ia mengecupi kepala Cakrawala di sampingnya berkali-kali, seperti ingin menyampaikan perasaannya yang terlampau tulus.
Diberi kecupan begitu, Cakrawala menjadi kembali tersadar dari lamunannya. Menyadari bahwa Gerhana tidak mengatakan apapun dan hanya mengecupinya, Cakrawala paham bahwa lelakinya itu tengah berusaha menyingkirkan perasaan yang tengah bergemuruh di dada. Lantas, si yang lebih muda kini menolehkan kepalanya ke atas sehingga bibir Gerhana yang semula tengah memberi kecupan pada kepala menjadi mendarat di bibir Cakrawala yang tengah mendongakkan kepala.
Cup.
Cup.
Cup.
Kali ini bukan Gerhana yang memberi kecupan, namun Cakrawala yang melakukan demikian. “Er.”
“Hm?”
“Apa, sayang?”
“Sabar, ya?”
“Aku lagi coba, pelan-pelan.”
Gerhana tahu apa konteks dalam kalimat Cakrawala barusan. Adalah tentang bagaimana hatinya masih dimiliki oleh si lelaki yang dulu pernah mengisi hati; tentang melupakan Baskara seutuhnya, tentang membiarkan Gerhana menjadi satu-satunya di hati Cakrawala.
Tidak akan semudah itu. Semenjak awal, Gerhana tahu perjalanannya untuk mendapatkan hati Cakrawala seutuhnya akan memakan waktu dan pengorbanan yang pastinya tidaklah kecil. Gerhana sudah paham betul, dan ia tidak mengeluhkan hal itu.
“Ya, Er?”
“Iya.”
“Aku selalu coba sabar.”
“Tapi..”
“Hm?”
“..tolong pastiin satu hal.”
“Apa?”
“Entah kapan itu.”
“Entah di tahun berapa..”
“..pastiin aku bakal jadi satu-satunya buat kamu, ya?”
Cakrawala mengulas senyum tipis. Berusaha terlihat meyakinkan ketika kepalanya memberi jawaban berupa anggukan kecil.
“Iya.”
“Aku pastiin..”
”.. kamu akan jadi satu-satunya.”
. . .
Klik untuk membaca kisah perihal Gerhana. Harap dicamkan, bagian ini adalah angst. Major Character Death.
. . .
2O53.
“Cak.”
“Nggak masuk?”
“Di luar dingin.”
Dengan sekali dengar, Cakrawala tahu siapa yang ada di belakangnya sekarang. Baskara. Suara lelaki itu ketika memanggil namanya masih saja terdengar sama seperti dulu.
Cakrawala yang tengah menyandarkan tubuhnya di pagar balkon kediamannya, kini sedikit membalikkan tubuhnya. Tidak banyak, agar sekedar bisa menatapi sosok si lelaki yang dulu pernah mewarnai harinya itu.
Baskara.
Bahkan di usianya yang sudah melewati setengah abad, sosok lelaki itu masih saja terlihat gagah. Walaupun sekarang rambut si lelaki dengan nama bertajuk matahari itu sudah tidak lagi sepenuhnya hitam legam, tetap saja gurat ketampanan yang dulu pernah membuat siapapun bisa jatuh hati masih tersirat jelas di sana.
“Nanti,” balas Cakrawala singkat, yang kemudian dilanjutkan dengan senyum tipis. “Saya masih mau di sini.”
Baskara masih berdiri di ambang pintu balkon, memilih untuk tidak menghampiri Cakrawala lebih dekat. “Ah..”
“.. ya udah, kalau begitu.”
“Jangan malem-malem.”
“Dingin.”
“Besok juga kita bakal adain acaranya pagi-pagi. Ulang tahun Gamma.”
“Sehabis itu, ke makam Gerhana.”
“Tidur segera, ya?”
Cakrawala mengangguk. Kepalanya tidak menatap Baskara, melainkan hanya tertuju ke lantai balkon rumah. Memang tidak terlihat jelas, namun Baskara tahu Cakrawala tengah menggigiti bibirnya sendiri kuat-kuat; sebuah kebiasaan yang belum bisa ia hapuskan.
Baskara kembali menutup pintu balkon, membiarkan Cakrawala menyelesaikan urusannya di sana. Namun ia tidak pergi, Baskara masih berdiri di balik pintu balkon. Menyandarkan tubuh di sana ..
.. dan mendengarkan isak tangis Cakrawala di balik pintu balkon.
Cakrawala menangis, suara pukulan kecil dari balik sana membuat Baskara yakin bahwa lelaki itu tengah memukuli dadanya sendiri. Berusaha menghilangkan sesak yang sekarang menyerang dirinya tanpa ampun.
Benar.
Cakrawala menangis.
Terisak, hingga sesak.
Masih, Cakrawala masih menyesali janjinya kepada Gerhana yang baru bisa ia tepati di saat lelakinya itu sudah tidak bisa melewati hari bersama. Masih, Cakrawala masih menyalahi dirinya sendiri yang memakan terlalu banyak waktu hanya untuk mengabulkan permintaan lelaki itu.
Gerhana meminta Cakrawala menjadikan ia sebagai satu-satunya pengisi hati. Cakrawala menjanjikan. Cakrawala mengatakan bahwa akan ada harinya Gerhana menjadi pengisi hati satu-satunya.
Namun, semua terlampau terlambat. Hari di mana Gerhana menjadi satu-satunya di singgasana hati, adalah ketika ia sudah tidak ada di sini.
Cakrawala harus kehilangan Gerhananya untuk menyadari seberapa istimewa sosok lelaki itu di dalam hidupnya. Cakrawala harus melepas Gerhana terlebih dahulu hingga akhirnya menyadari bahwa sesungguhnya lelaki itu sudah lebih daripada cukup untuk dirinya sendiri.
Baskara masih diam di tempatnya, berdiri di balik pintu. Bersandar dengan pandangan yang tertuju ke langit-langit rumah kediaman Gerhana.
Dahulu, mereka bertiga terlalu bodoh. Mengutamakan ego yang tidak ingin saling melepaskan satu sama lain. Ah, tidakㅡ tidak. Bukan mereka bertiga. Sesungguhnya Baskara dan Cakrawala yang terlalu bodoh.
Baskara terlalu memaksakan kehendak untuk terus memiliki Cakrawala. Sementara Cakrawala, tidak pernah bisa melepaskan kenangan yang terlalu mematikan hatinya untuk menerima sosok Gerhana.
Mereka berdua, bodoh.
Mereka berdua, egois.
Mungkin, ini karma.
Mungkin, ini jawaban atas semua. Bahwa di saat Gerhana pergi, Cakrawala baru menyadari seberapa pentingnya sosok si lelaki. Bahwa di saat Gerhana pergi, Baskara baru menyadari sudah tidak ada ruang di dalam hati Cakrawala untuk ia tempati.
Cakrawala, milik Gerhana seutuhnya. Saat ini, dan mungkin hingga di lain hari. Sampai nanti, yang tidak akan diketahui ujungnya pasti.
“Er..”
“Er..”
“Aku mesti gimana?”
Isak tangis Cakrawala masih terdengar di balkon, sementara Baskara sekarang jatuh terduduk dengan tubuh yang tersandar di pintu. Daun pintu menghalangi keduanya, seakan mengingatkan agar tidak lagi saling menyalahi takdir.
Langit malam hari ini bertabur bintang. Angin malam hari ini berhembus sejuk. Seakan ingin menyampaikan ketenangan untuk satu jiwa yang tengah terisak, menyesali semua keterlambatannya.
Hari ini, sweater coklat tua milik Gerhana yang dikenakan oleh Cakrawala menjadi saksiㅡ tentang sebagaimana lelaki itu pernah menjadi hangatnya. Tentang sebagaimana lelaki itu pernah menjadi ketulusan terbaik yang datang kepada Cakrawala.
Tentang bagaimana sosok Gerhananya bukan datang untuk memberikan kegelapan, namun untuk menunjukkan jalan penuh cahaya bagi sang langit yang tengah temaram.
Baskara,
menyerah untuk
memiliki Cakrawala.
Cakrawala,
juga menyerah.
Ia menyerahkan hati
sepenuhnya, untuk Gerhana.
END