dontlockhimup

Kak... nggak ada satupun dari waktu yang aku lewatin sama Kakak diisi dengan kebohongan. Semua tulus, Kak. Semua hal terkecil yang aku lakuin dengan Kakak, semuanya dateng dari hati. Kak... aku bahagia sama kamu. Bahagia sampai rasanya mau serahin hidup aku ke kamu, Kak.

Kak.. aku bohong, Kak. Aku nggak pernah sekalipun ngerasa bosen sama kakak. Setiap waktu yang Kakak sisihin buat aku di saat Kakak lagi sibuk sama berbagai persiapan ujianㅡ aku tau itu dengan baik. Kak, aku tau Kakak itu lelaki terbaik. Aku beruntung dikasih kesempatan buat jadi pasangan Kakak. Kak Seungwoo... tolong... aku bohong, Kak.

Kak.. aku sama sekali nggak pernah ngerasa bosen setiap ada di tempat yang sama dengan kamu. Setiap waktu yang terlewati sama kamu, itu adalah waktu yang terbaik buat aku, Kak. Sumpah demi apapun, dari pertama kita jalin kasih sampai sekarang lima tahun kita barenganㅡ semua itu nggak berubah. Kak.. aku sayang kamu. Aku sayang banget ke kamu.

Dia udah pindah dari kemarin, dibawa orangtuanya buat berobat ke luar negeri.

Langit malam ini cerah bertabur bintang, angin dingin yang kerap membuat siapapun mengeratkan jaketnya ketika berjalan di luar pun tidak berhembus kencang. Semua seakan berada pada poros yang semestinya; yang seharusnya.

Namun tidak bagi poros seorang Han Seungwoo. Dunianya seakan berada pada titik jungkir balik paling rawan, seakan bisa tergelincir kapan saja dari poros lajur semestinya. Bahkan di dunia Han Seungwoo saat ini, langitnya seakan bergemuruh. Meneriakkan dentuman petir yang bersambar dan membuatnya gemetar tidak karuan.

“Piㅡndah?”, tanya Seungwoo dengan nada gamang. Tangannya masih memegangi kenop pintu dari kamar apartemen bermodel one-room milik kekasihnya, Byungchaㅡ

Oh. Mantan kekasihnya, ralat itu.

Tangan Seungwoo masih memegangi tuas pintu, enggan untuk melepas. Berharap dari balik daun pintu berwarna krem itu akan muncul sosok si lelaki jangkung dengan dua lesung di masing-masing sisi pipinya. Berharap Byungchan akan mengernyit keheranan karena mendapati kedatangan Seungwoo yang tiba-tiba, namun detik setelahnya si kekasih akan tertawa karena senang diberi kejut kunjungan begitu.

Akan tetapi, kali ini semua tidak berjalan seperti seharusnya. Semua nihil. Pintu apartemen Byungchan sama sekali tidak terbuka sekeras apapun Seungwoo menggedor pintunya. Tidak ada siapapun yang keluar dari sana biarpun Seungwoo memenceti belnya berpuluh-puluh kali.

Alih-alih Byungchan, malah tetangga yang kamarnya berada persis di samping unit apartemen Byungchan yang menampakkan diri. Mungkin kesal karena mendengar gedoran tidak henti di pintu tetangganya.

“Iya. Pindah. Katanya mau kemoterapi atau apaㅡ gitu. Saya juga kurang paham, tapi... oh! Sebentar!”

“Nama anda... Han Seungwoo?”, tanya si tetangga hati-hati. Seungwoo yang sebelumnya hanya bergeming, kini sedikit menganggukkan kepala. “Oh! Kalau begitu, pesan ini memang ditujukan untuk anda.”

“Pesan?”, ulang Seungwoo tidak paham. Gumaman Seungwoo dibalas oleh si tetangga. “Byungchan selalu bilang ke tetangganya di sini, 'kalau ada orang yang datang namanya Han Seungwoo tapi dia sudah nggak ada lagi di sini, tolong kasih tau bahwa ada surat buat dia di loker lantai basement'. Itu pesan diㅡ eh! Hei!”

Si tetangga bahkan belum menyelesaikan kalimatnya, namun Seungwoo sudah berderap pergi meninggalkan unit apartemen menuju ke lantai basement; tempat loker surat para penghuni apartemen.

Di loker kaca kecil yang di depannya bertuliskan nomor apartemen Byungchan, ada satu amplop yang terlihat menyembul. Loker kaca itu tidak terkunci sehingga Seungwoo bisa mengambil si amplop dan tanpa menunggu waktu lama segera membaca isinya.

Singkat. Hanya beberapa kata yang menjadi satu kalimat.


형. 다 거짓말이야. 내가 하는 말... 다 거짓말이야.

(Kak. Semuanya bohong.) (Apapun yang kukatakan...) (Semua adalah kebohongan.)


Seungwoo merasa nafasnya sesak bukan main setelah membaca isi surat dari Byungchan di tangannya. Sebelah kuasanya gemetar, entah mengapa lembar surat dari si kekasih terasa berat.

Semua...bohong.

Satu tinjuan penuh penyesalan diiringi teriakan tidak terima terdengar menggema di ruang loker lantai basement.

Dari Seungwoo, yang dibohongi tentang perasaan sesungguhnya dari si kekasih.

Byungchan tidak pernah merasakan apartemennya sedingin ini. Sudah berapa lama ia meninggalkan kediamannya ini? Sudah berapa lama penghangat di dalamnya tidak dinyalakan?

“Saya pulang dulu, ya? Ambil beberapa baju buat ganti, baru ke sini lagi.”

Ujaran barusan disampaikan oleh Seungsik. Iya, dokter itu menawarkan diri untuk menjaga Byungchan selama beberapa waktu hingga kondisinya benar-benar dapat dikatakan membaik. Awalnya Byungchan menolak, ia paham sebagaimana lelaki itu sudah sibuk oleh jadwalnya sendiri di Rumah Sakit. Bagaimana bisa ia semakin merepotkannya, coba?

“Oh!”, Byungchan mengingat jelas ujaran Seungsik ketika ia akan meninggalkan kediamannya. “Saya nggak lagi mau dengar kalimat dari kamu yang bilang kamu ngerepotin.”

“Kamu sama sekali nggak ngerepotin. Lagian saya udah janji dengan donatur yang biayain kamu, bahwa saya harus jagain kamu. Jadi, jangan ngerasa keberatan!”

Lalu Seungsik menghilang di balik pintu apartemennya. Kembali ke kediamannya untuk mengambil beberapa baju ganti, katanya.

Byungchan sendirian di dalam apartemen miliknya yang terasa sangat asing. Semuanya terasaㅡ bagaimana mengatakannya? Hampa? Kosong?

Seakan ada sesuatu yang benar-benar menghilang dari sana, namun Byungchan tidak dapat mengingat apa hal itu dan itu semakin membuatnya tersiksa.

“Arghh..”, Byungchan memegangi kepalanya yang tiba-tiba terasa sakit bukan main. Ia segera menempatkan diri di sofa ruang tamu, mencoba menenangkan kembali pikirannya sebelum akan meledak.

Satu menit. Dua menit. Lima menit, adalah waktu yang diperlukan bagi Byungchan untuk menenangkan kembali segala rasa sakit yang menyerang kepalanya secara tiba-tiba.

Hingga akhirnya, tatapan Byungchan terarah ke sebuah benda yang ada atas meja kecil yang berada persis di samping sofa. Orgel berbentuk komidi putar berwarna merah muda, ada di sana.

Byungchan mengernyit. Apa dia pernah membeli benda seperti ini? Rasanya sama sekali tidak sesuai dengan seleranya.

Tanpa berpikir panjang dan setengahnya adalah berupa refleks, Byungchan memutar kunci kecil berwarna emas yang ada di pinggiran orgel. Tak lama, denting musik yang manis terdengar di segala penjuru apartemen.

Namun, aneh. Musik itu malah membuat Byungchan sesak. Musik itu malah membuat Byungchan merasa kini tidak hanya kepalanya yang sakit, namun hatinya juga sama; sakit bukan main.

Nafas Byungchan tersengal. Otaknya kini seakan tengah memutarkan sebuah video yang tidak ia ketahui apa dan siapa, juga dimana, serta kapan kejadiannya.

Semua yang terputar di otaknya sekarang, benar-benar asing. Kepala Byungchan terasa sakit bukan main. Rasanya segala syaraf di otaknya meminta Byungchan untuk berhenti memutarkan potongan kejadian itu, namun kontrasnyaㅡ hati Byungchan seakan memaksa ia untuk terus melihat setiap kejadian itu.

Memaksa Byungchan untuk mengingat tentang seorang lelaki, dengan orgel berbentuk komidi putar itu di tangannya.

Memaksa Byungchan untuk mengingat setiap denting nada dari komidi putar itu, karena setiap nada yang ada di sana seakan pernah ia dengar bersama seseorang yang sangat berarti untuknya.

Namun, siapa?! Dia, siapa?!

Sekeras apapun Byungchan berusaha mengingat, semua seakan percuma. Iaㅡ sulit menemukan jawabannya.

“Jangan maksain diri.” “Gue tau lo nggak siap.”

Seungwoo menyisir rambutnya dengan sebelah tangan yang tidak dipasangi selang infus. Mematut diri sejenak di depan cermin kecil yang dipegangi oleh Seungho, si adik kembar. Setelah merasa penampilannya sudah cukup rapi, ia mengangkat kepala dan memandangi si adik yang berdiri di hadapannya.

“Nggak apa-apa.” “Gue udah bisa terima semuanya.” “Santai aja, gue nggak bakal kenapa-kenapa.”

Terkadang, Seungho bingung; apakah Kakaknya ini benar-benar tulus dengan setiap ucapannya ataukah senyum yang sekarang terpampang pada wajahnya hanyalah kamuflase semata? Sebuah pengalihan agar si adik kembar tidak lagi mengasihinya atau tidak lagi menganggapnya bodoh.

“Ayo.” “Dorongin.”

Seungwoo menoleh ke arah belakang, di mana Seungho kini tengah memegangi pegangan kursi roda yang ditempatinya sekarang. Lagi-lagi Seungho menanyakan hal yang serupa. “Lo yakin?”

“Serius, lo nggak usah maksain.”

“Ayo, Ho.” “Keburu dia pergi.”

Si Kakak kembar sudah memantapkan diri. Sekeras apapun usaha Seungho untuk menyadarkan, semua tidak akan ada perbedaannya. Maka hati si adik kembar juga dimantapkan. Perlahan, Seungho mendorong kursi roda yang ditempati si Kakak menuju ke luar ruang rawatnya. Hal yang dapat mereka dengar setelah mereka berdua keluar dari kamar rawat adalah suara sedikit ramai dari arah kamar rawat yang berada di sebelah; ruang rawat yang ditempati Byungchan.

Seungwoo merasakan hatinya seperti diremas kuat-kuat oleh sesuatu yang tidak kasat mata, membuat sesak dan perih bukan main. Dari tempat duduk di atas kursi rodanya sekarang, Seungwoo bisa melihat Byungchan dengan kemeja POLO putih dan celana berbahan kain yang kelonggaran. Ia tengah berjalan keluar kamar rawat dengan tongkat kruk di sisi kiri dan kanannya.

Seungsik juga ada di sana, ia berdiri di samping Byungchanㅡ seakan ingin memastikan si lelaki Choi tidak akan terjatuh dengan tongkat kruk di tangannya. “Pelan-pelan aja,” ujar Seungsik dan dibalas dengan tawa kecil dari Byungchan.

Telinga Seungwoo rasanya seperti tergelitik oleh suara tawa Byungchan. Sudah seberapa lama semenjak ia terakhir kali mendengar suara itu? Sudah berapa hari terlewati semenjak ia menemui kekasihnya itu?

Seungsik yang semula hanya memfokuskan perhatian kepada Byungchan, kini menyadari bahwa Seungwoo dan Seungho kini sudah ada di luar ruang rawat yang ditempati Byungchan. Ia tidak bersuara apapun, karena paham bahwa tujuan Seungwoo berada di sini sekarang bukanlah untuk menyapa atau memaksa Byungchan untuk mengingat dirinya.

Seungsik tahu, Seungwoo hanya ingin lihat. Melihat Byungchan, sebelum melepaskannya.

Byungchan sedari tadi hanya menatap ke bawah, memastikan langkahnya aman dengan tongkat kruk yang menuntun jalannya. Hingga akhirnya, pandangannya melihat roda dari kursi berjalan yang sedikit menghalangi langkahnya.

Kepala Byungchan terangkat, ingin mengetahui sosok siapa yang menghalangi langkahnya.

Di hadapannya, ada dua lelaki dengan wajah yang teramat persis. Bahkan sangat sulit untuk dibedakan. Paling-paling yang membedakan mereka sekarang hanyalah pakaian yang dikenakan.

Salah satunya terlihat normal dengan kacamata baca berbentuk bundar dan kemeja flanel berwarna coklat, sementara yang satunya lagi terlihatㅡ pucat dengan pakaian rawat.

“Permisi,” ujar Byungchan seraya menyunggingkan senyum; memberi isyarat agar mereka berdua bisa sedikit minggir dari lajur jalannya.

Si lelaki yang berkacamata segera mendorong kursi roda yang ditempati lelaki berpakaian rawat, menjadi agak minggir ke kiri; memberi ruang bagi si lelaki untuk lewat. Sementara yang tengah duduk di kursi roda sama sekali tidak mengalihkan pandangan dari Byungchan.

Byungchan tidak menganggap pusing, toh' ia hanya sekedar lewat saja 'kaㅡ

“Selamat.” Ujaran itu terdengar dari si lelaki berpakaian rawat dan sepertinya ditujukan kepada Byungchan. Menganggap ucapan selamat itu adalah sebagai bentuk syukur karena melihatnya keluar dari Rumah Sakit, Byungchan kembali menyunggingkan senyum ke arah si lelaki yang duduk di kursi roda.

“Terima kasih.” “Anda juga, ya?” “Semoga lekas sembuh.”

Usai mengujarkan kalimatnya, Byungchan kembali melanjutkan langkah dengan ditemani oleh Seungsik yang terus memastikan agar ia tidak terjatuh dari tongkat kruknya.

Seungwoo, masih hanya memandangi Byungchan. Ketika lelaki Choi itu barusan berbicara kepadanya, Seungwoo memperhatikan lekat-lekat segala yang ada di wajah lelaki itu.

Senyumnya. Lesung pipinya. Matanya yang melengkung.

Semua tentang Byungchan, Seungwoo coba tanam lekat-lekat ke dalam ingatannya. Semua tentang Byungchan, Seungwoo coba perhatikan dengan teramat lekat; memastikan agar semua keindahan lelaki itu nantinya akan menjadi cahaya baginya apabila dunianya akan menjadi gelap gulita.

Seungho terdiam. Ia memandangi Seungwoo yang tatapannya masih mengikuti arah langkah Byungchan. “Woo. Udah, ya? Balik ke kamar. Lo harus istirahat.”

Seungwoo terlihat tenang. Seungwoo masih terlihat tenang, tidak terisak atau melakukan hal apapun yang membuat Seungho harus menenangkannya.

Namun, semua hanya sementara. Ketenangan si Kakak kembar tidaklah abadi. Kakak kembarnya, ternyata hanya manusia biasa yang memiliki rasa lelah untuk terus bersikap baik-baik saja.

Tatkala sosok Byungchan sudah menghilang di balik tikungan dinding Rumah Sakit, tepat pada saat itu Seungwoo menarik nafas dalam-dalam. Tangannya segera menutupi wajahnya sendiri, seperti enggan untuk memandangi apa yang ada di depannya.

Sekarang, Seungwoo terisak. Menangis hebat. Bahkan terlihat sesak. Kesulitan mengambil nafas.

“Woo.” “Hei.. Seungwoo..” “Woo, lo mestiㅡ”

Seungho tidak dapat melanjutkan kalimatnya. Ia tidak bisa meminta kakaknya untuk bersikap tenang. Tidak bisa. Ia sendiri paham sebagaimana sakitnya rasa yang dialami si Kakak. Ia paham dengan jelas...

...ini bukanlah hal yang bisa ditenangkan dengan kalimat semata.

Seungwoo merasakan kini tangan Seungho berada di pundaknya, menepuki perlahan seakan ingin memberi tahu bahwa ia ada di sana. Bahwa semua akan baik-baik saja.

Namun Seungwoo yakin, dunianya sudah berubah.

Sekarang, tidak ada lagi Byungchan. Tidak ada lagi senyumnya. Tidak ada lagi tawanya. Tidak ada lagi peluknya. Tidak ada lagi hangatnya.

Byungchan pergi, dan mungkin tidak lagi akan kembali ke sisi.

Sudah. Semuanya berakhir, tragis; seperti ini.

“Mana Byungchan?” “Sik? Ho?” “Byungchan di mana?”

Padahal terlihat jelas bahwa si lelaki yang terbaring di atas kasur rawat itu masih sangat lemah, namun bibirnya terus-terusan menyuarakan tanya itu.

Sekarang, Seungho dan Seungsik tengah berada di ruang rawat Seungwoo. Si anak tengah keluarga Han baru saja siuman dari komanya, membuat seisi keluarga Han dilanda haru sekaligus lega.

Namun bagi Seungho sendiri, rasa lega yang ada di dalam dadanya tidak sebanding dengan rasa khawatir. Kenapa? Karena, alasan ini.

Seungwoo pasti akan bertanya perihal Byungchan. Apa yang harus ia lakukan dan jelaskan jika situasinya seperti ini, coba?

“Woo.” “Lo istirahat dulu.” “Lo baru siuman, jangan terlalu capek.”

“Sik.” “Sik, jawab gue.” “Byungchan..” “..masih hidup, 'kan?” “Dia selamat, 'kan?”

Pergelangan tangan Seungsik yang memang sedang memegangi selusur besi tempat tidur, kini dipegangi oleh Seungwoo. Memang kekuatan tangannya tidak begitu kuat namun Seungsik bisa merasakan sebagaimana ingin tahunya anak tengah si lelaki Han akan keberadaan lelaki Choi itu saat ini.

“Selamat.” “Berkat lo, Byungchan selamat.” “Dia patah tulang kaki, tapi gue sama tim dokter ortopedi bakal coba lakuin operasi penyambungan pakai pen.”

“Lo nggak usah khawatir.” “Dia baik-baik aja.”

Seungwoo terlihat lega bukan main. Senyumnya terulas lebar, yang entah mengapa membuat Seungho merasa sakit bukan main. Apakah Kakak kembarnya itu akan tetap sesenang itu jika mengetahui si kekasih sama sekali tidak mengingat tentang dirinya?

“Lo sekarang istirahat, Woo.” “Tante, Om, sama Kak Sunhwa lagi dipanggil sama dokter buat omongin situasi lo. Lo istirahat dulu, yㅡ”

“Byungchan hilang ingatan.” “Dia nggak inget sama lo.” “Nggak inget gue.” “Mama, Papa, Kak Sunhwa.”

“Dia nggak inget soal kejadian kecelakaan yang bikin kalian berdua kayak begini.”

Seungsik segera membelalakkan matanya ketika mendengar ujaran panjang dari Seungho yang berdiri di sampingnya. Si adik bungsu keluarga Han itu terlihat memandang ke depan dengan pandangan kosong; entah apakah ia sadar atau tidak dengan kalimatnya barusan.

“HO!”

Saking tidak percayanya dengan perkataan Seungho, Seungsik malah membentak dengan suara cukup tinggi dan keras. “HAN SEUNGHO!”

“Lo nyesel, 'kan?” “Lo nyesel karena udah selametin Byungchan, 'kan?” “Lo sampai koma begini, tapi yang udah lo selametin malah nggak inget dengan lo sendiri.”

“Bego. Lo tau? Itu lo.” “Lo tolol banget, Woo.”

Seungsik tahu, Seungho tengah merasa sakit yang mendalam karena melihat saudara kembarnya harus mendapati nasib demikian. Sudah berkorban, namun malah dilupakan. Ia yang awalnya ingin menarik tubuh Seungho keluar dari ruangan, kini malah terdiam di tempatnya. Bingung, harus memihak kepada siapa.

Seungho sudah siap apabila ia harus menghadapi amarah si Kakak. Seungho sudah siap apabila ia harus menenangkan si Kakak yang histeris karena merasa pengorbanannya tidak dinilai.

Namun, yang terjadi malah sesuatu hal yang sama sekali tidak pernah Seungho perkirakan sebelumnya.

Seungwoo tersenyum. Tidak lebar, terkesan simpul. Namun, ia tersenyum. Gila, apa?!

“Syukur, kalau begitu.” “Syukur. Puji Tuhan.”

Seungho tidak percaya dengan apa yang diujarkan si Kakak kembar. Ia berderap menghampiri Seungwoo lebih jelas, bahkan sampai-sampai sedikit mendorong tubuh Seungsik untuk minggir dari posisi yang sebelumnya berada lebih dekat dengan Seungwoo. “Lo gila?!”

“Han Seungwoo!” “Lo gila?!” “Dia lupain lo!” “Lupain pengorbanan lo!”

“Lo, bersyukur?!” “Lo tolol? Hah?!”

“Ho.” “Seungho.” “Dia baru sadar.” “Lo jangan begini.”

Seungsik mencoba menenangkan Seungho dengan menariki tubuhnya agar mundur dari tempatnya berdiri sekarang. “Sabar. Dia kakak kembar lo.”

Benar. Memang tadi Seungwoo mengucapkan kata yang menunjukkan rasa syukur, namun sekarang ia malah menangisㅡ walaupun bibirnya tetap mengulas senyum tipis. “Tau, Ho. Gue tau.”

“Gue sedih.” “Gue nggak bohong.” “Tapi, gue nggak mau..” “Gue nggak mau dia inget kejadian itu lagi. Gue tau, gue tau jelas rasanya gimana. Gue sekarang pun masih inget segimana takutnya gue ketika peluk Byungchan yang kepalanya bocor.. Gue masih inget jelas segimana nafasnya tersengal, kayak bisa berhenti kapanpun. Gue masih inget ketakutan gue itu..”

“Dan kalau bisa milih..” “Gue nggak pengen dia inget.” “Semua ingatan ketika itu, gue nggak mau dia inget rasa takut itu..”

Seungho yang masih berada di dekapan Seungsik karena awalnya tidak bisa menahan emosi, kini merasakan kakinya lemah bukan main. Lemas, mati rasa.

Sedari dulu, Seungwoo selalu begitu. Seungwoo terlalu baik. Tidak pernah sekalipun ia memarahi Seungho walaupun terkadang kelakuan si adik kembar kerap membawa masalah kepada dirinya. Ketika Seungho terlibat masalah, Seungwoo akan berdiri menggantikan; mengatakan bahwa ia adalah Seungho, padahal dirinya adalah Seungwoo.

Sedari dulu, hubungan si kembar diisi dengan berbagai telepati yang sulit dijelaskan. Mereka tidak jarang sakit di waktu yang sama. Mereka tidak jarang merasakan bahagia di waktu dan karena alasan yang sama.

Sekarang pun, sama.

Ketika Seungwoo menangis, Seungho merasakan hatinya terkoyak. Hatinya sama sakit seperti si Kakak, membayangkan sebagaimana peliknya rasa yang muncul di hati Seungwoo membuat Seungho sesak.

“Woo.” “Lo..” “..kenapa bego banget?”

Seungho jatuh terduduk di tempatnya, terlepas dari topangan tangan Seungsik. Ruang rawat nomor 1504 saat itu diisi isak tangis, bukan hanya dari satu orang.

Namun dua orang. Dengan wajah yang sama. Dengan dua hati berbeda. Namun entah bagaimana, merasakan emosi perasaan yang terlampau serupa.

2O28.

“Nggak masuk, Cak?” “Dingin, 'kan?”

Cakrawala, si lelaki jangkung yang tengah menyandarkan tubuhnya ke pagar yang membatasi balkon lantai dua di rumahnya, sedikit menolehkan kepala; mencari tahu siapa yang barusan berujar. Senyuman tipis terukir ketika menyadari bahwa Gerhana tengah menghampirinya, membawa sebuah selimut tipis di tangan sementara ia sendiri mengenakan sweater berwarna coklat tua di tubuh; terlihat hangat.

“Nanti dulu.” “Lagi pengen di sini.”

Gerhana mengangguk kecil, memahami perkataan si lelaki jangkung. Tanpa permisi, ia sedikit membentangkan selimut tipis di tangannya kemudian menyampirkannya ke punggung Cakrawala. Berharap lelakinya itu tidak kedinginan karena suhu cuaca Kanada saat ini lumayan dingin dibanding hari biasanya.

“Boleh ditemenin?”, tanya Gerhana seraya ikut menyandarkan tubuhnya ke pagar balkon, berdiri persis di samping Cakrawala. Si lelaki yang lebih jangkung menoleh sekilas, “... masa' nggak boleh ditemenin sama suami sendiri?”, tanyanya balik, yang kemudian diikuti kekehan tawa kecil.

“Boleh, lah,” ujar Cakrawala. Pandangannya kembali tertuju ke depan, memandangi puluhan rumah lainnya yang ada di sana. Sekarang pukul sebelas, wajar jika tidak ada siapapun yang melintas di sekitar kompleks perumahan yang ditempati oleh keluarga kecil mereka. Gerhana, Cakrawala, dan Rembulan.

Gerhana hanya berdiri di samping Cakrawala, awalnya memang mengambil jarak namun beberapa saat setelahnya ia menyampirkan tangan ke pundak si pasangan dan naik merambat ke kepala; mengusapi pelan kepala Cakrawala. “Hm? Kenapa? Lagi banyak pikiran?”

Pertanyaan diiringi gerak usapan lembut dari Gerhana membuat Cakrawala sedikit merasa lebih nyaman. Tubuhnya tidak lagi terlihat tegang, ia benar-benar terlihat lebih tenang sekarang. “Lumayan.”

“Cuma lagi mikirin berbagai hal yang pernah terlewati, sampai akhirnya aku bisa ada di sini.”

“Ternyata banyak yang pernah aku lewatin, ternyata ada banyak peristiwa yang aku alamin. Sampai akhirnya aku bisa sama kamu di sini. Perjalanan panjang.”

Usapan tangan Gerhana di kepala Cakrawala terkadang turun ke pundak, sesekali mengelus pundak lapang si pasangan yang tetap saja terlihat lemah di matanya. Walaupun tubuh Cakrawala sedikit lebih tinggi dan besar daripada tubuhnya, Gerhana tidak pernah merasa aneh. Karena tetap saja, ketika tubuh Cakrawala ada di pelukannya...semua terasa benar. Karena tetap saja, ketika Cakrawala menangis di pelukannya...sosok lelaki itu terlihat seperti anak kecil yang meminta untuk dilindungi.

“Capek, ya?” “Hm?”

Cakrawala menggeleng, posisi kepalanya sedikit dimiringkan ke kiri agar ia bisa bersandar ke pundak Gerhana di sampingnya. “Nggak. Nggak capek.”

“Capek juga nggak apa-apa. Ada aku di sini, 'kan?”, ujar Gerhana dengan nada suaranya yang selalu terdengar tenang seperti biasa. Tangan si lelaki yang lebih tua kini kembali mengusapi puncak kepala Cakrawala. “Mau aku bikinin minuman hangat?”

Cakrawala menggeleng. Nafasnya ditarik dalam-dalam kemudian dihembuskan perlahan, setelahnya ia melirik si pasangan di samping diri. “Er.”

“Hm?”

“Makasih, ya?”

Gerhana sedikit mengernyitkan dahinya. “Makasih buat apa? Aku cuma bawain selimut, lho.”

“Bukan selimut,” jawab Cakrawala seraya menyunggingkan senyum tipis. “Makasih buat semuanya.”

Gerhana tidak membalas perkataan Cakrawala dengan pertanyaan yang umumnya ditanyakan, seperti makasih buat apa?

Tidak. Tidak perlu.

Tanpa semua itu, Gerhana sudah paham. Gerhana sudah tahu, apa yang dimaksud Cakrawala.

Maka alih-alih pertanyaan, Gerhana hanya memberi kecupan kecil ke kepala Cakrawala yang sedang bersandar di pundaknya. Tidak hanya sekali, namun tiga kali kecupan didaratkan ke kepala si pasangan hidup.

“Nggak usah makasih.” “Kamu pantes dapetin itu.” “Kamu pantes bahagia.”

Cakrawala memberi anggukan kecil, matanya sekarang terpejam untuk sejenak; mencoba merasakan hembusan angin yang bertiup sepoi-sepoi di malam hari ini. Sejuk, seperti Gerhana.

“Kamu juga?”

“Hm?”

“Kamu bahagia sama aku?”

Gerhana terkekeh kecil setelah mendengar ujaran Cakrawala. “Cak,” Gerhana sedikit menjauhkan tubuhnya dari Cakrawala agar bisa memandangi wajah lelaki jangkung itu. “Tingkatanku ini sekarang bukan lagi bahagia. Ini udah sepuluh tingkat di atas bahagia. Kalau dibandingin tuh, ya, perasaan aku sekarang ada di atas awan.”

“Bisa bangun tidur dengan kamu di sisi aku, bisa bacain dongeng sebelum tidur buat Mbul, juga bisa peluk kamu beginiㅡ”

“ㅡitu anugerah buat aku.” “Kebahagiaan terbesar.”

Cakrawala menarik ujung bibirnya, menunjukkan senyum yang teramat manis di mata Gerhana. “Itu gombal?”

“...” “Tulus, sayang.” “Serius. Itu tulus.”

Bukannya Cakrawala meragukan ujaran Gerhana, ia percaya ratus ribu persen kepada lelaki itu. Hanya saja, ia masih beluk terbiasa dengan segala bahasa manis si suaminya ini. Dari dulu, masih belum terbiasa. Terkadang masih sering tersisip rasa tidak percaya diri perihal apakah ia boleh merasa sebahagia ini?.

Karena Cakrawala tahu, ada seseorang yang tengah merasakan kesendiriannya di luar sana. Apa boleh Cakrawala bahagia seperti ini dengan Gerhana sementara Baskaraㅡ sendirian di sana?

Gerhana menangkap tatapan itu lagi. Tatapan kosong dari Cakrawala, seperti tengah memikirkan sesuatu yang tidak ada di sini. Seperti bukan memikirkan Gerhana.

Tidak. Gerhana tidak marah. Gerhana tidak murka.

Gerhana terlihat tenang, ia masih mengusapi punggung Cakrawala dan kembali mengecupi puncak kepala si pasangan. Entah berapa kali, Gerhana tidak sempat menghitung. Ia mengecupi kepala Cakrawala di sampingnya berkali-kali, seperti ingin menyampaikan perasaannya yang terlampau tulus.

Diberi kecupan begitu, Cakrawala menjadi kembali tersadar dari lamunannya. Menyadari bahwa Gerhana tidak mengatakan apapun dan hanya mengecupinya, Cakrawala paham bahwa lelakinya itu tengah berusaha menyingkirkan perasaan yang tengah bergemuruh di dada. Lantas, si yang lebih muda kini menolehkan kepalanya ke atas sehingga bibir Gerhana yang semula tengah memberi kecupan pada kepala menjadi mendarat di bibir Cakrawala yang tengah mendongakkan kepala.

Cup. Cup. Cup.

Kali ini bukan Gerhana yang memberi kecupan, namun Cakrawala yang melakukan demikian. “Er.”

“Hm?” “Apa, sayang?”

“Sabar, ya?” “Aku lagi coba, pelan-pelan.”

Gerhana tahu apa konteks dalam kalimat Cakrawala barusan. Adalah tentang bagaimana hatinya masih dimiliki oleh si lelaki yang dulu pernah mengisi hati; tentang melupakan Baskara seutuhnya, tentang membiarkan Gerhana menjadi satu-satunya di hati Cakrawala.

Tidak akan semudah itu. Semenjak awal, Gerhana tahu perjalanannya untuk mendapatkan hati Cakrawala seutuhnya akan memakan waktu dan pengorbanan yang pastinya tidaklah kecil. Gerhana sudah paham betul, dan ia tidak mengeluhkan hal itu.

“Ya, Er?”

“Iya.” “Aku selalu coba sabar.” “Tapi..”

“Hm?”

“..tolong pastiin satu hal.”

“Apa?”

“Entah kapan itu.” “Entah di tahun berapa..” “..pastiin aku bakal jadi satu-satunya buat kamu, ya?”

Cakrawala mengulas senyum tipis. Berusaha terlihat meyakinkan ketika kepalanya memberi jawaban berupa anggukan kecil.

“Iya.” “Aku pastiin..”

”.. kamu akan jadi satu-satunya.”

. . .

Klik untuk membaca kisah perihal Gerhana. Harap dicamkan, bagian ini adalah angst. Major Character Death.

. . .

2O53.

“Cak.” “Nggak masuk?” “Di luar dingin.”

Dengan sekali dengar, Cakrawala tahu siapa yang ada di belakangnya sekarang. Baskara. Suara lelaki itu ketika memanggil namanya masih saja terdengar sama seperti dulu.

Cakrawala yang tengah menyandarkan tubuhnya di pagar balkon kediamannya, kini sedikit membalikkan tubuhnya. Tidak banyak, agar sekedar bisa menatapi sosok si lelaki yang dulu pernah mewarnai harinya itu.

Baskara. Bahkan di usianya yang sudah melewati setengah abad, sosok lelaki itu masih saja terlihat gagah. Walaupun sekarang rambut si lelaki dengan nama bertajuk matahari itu sudah tidak lagi sepenuhnya hitam legam, tetap saja gurat ketampanan yang dulu pernah membuat siapapun bisa jatuh hati masih tersirat jelas di sana.

“Nanti,” balas Cakrawala singkat, yang kemudian dilanjutkan dengan senyum tipis. “Saya masih mau di sini.”

Baskara masih berdiri di ambang pintu balkon, memilih untuk tidak menghampiri Cakrawala lebih dekat. “Ah..”

“.. ya udah, kalau begitu.” “Jangan malem-malem.” “Dingin.” “Besok juga kita bakal adain acaranya pagi-pagi. Ulang tahun Gamma.”

“Sehabis itu, ke makam Gerhana.”

“Tidur segera, ya?”

Cakrawala mengangguk. Kepalanya tidak menatap Baskara, melainkan hanya tertuju ke lantai balkon rumah. Memang tidak terlihat jelas, namun Baskara tahu Cakrawala tengah menggigiti bibirnya sendiri kuat-kuat; sebuah kebiasaan yang belum bisa ia hapuskan.

Baskara kembali menutup pintu balkon, membiarkan Cakrawala menyelesaikan urusannya di sana. Namun ia tidak pergi, Baskara masih berdiri di balik pintu balkon. Menyandarkan tubuh di sana ..

.. dan mendengarkan isak tangis Cakrawala di balik pintu balkon.

Cakrawala menangis, suara pukulan kecil dari balik sana membuat Baskara yakin bahwa lelaki itu tengah memukuli dadanya sendiri. Berusaha menghilangkan sesak yang sekarang menyerang dirinya tanpa ampun.

Benar. Cakrawala menangis. Terisak, hingga sesak.

Masih, Cakrawala masih menyesali janjinya kepada Gerhana yang baru bisa ia tepati di saat lelakinya itu sudah tidak bisa melewati hari bersama. Masih, Cakrawala masih menyalahi dirinya sendiri yang memakan terlalu banyak waktu hanya untuk mengabulkan permintaan lelaki itu.

Gerhana meminta Cakrawala menjadikan ia sebagai satu-satunya pengisi hati. Cakrawala menjanjikan. Cakrawala mengatakan bahwa akan ada harinya Gerhana menjadi pengisi hati satu-satunya.

Namun, semua terlampau terlambat. Hari di mana Gerhana menjadi satu-satunya di singgasana hati, adalah ketika ia sudah tidak ada di sini.

Cakrawala harus kehilangan Gerhananya untuk menyadari seberapa istimewa sosok lelaki itu di dalam hidupnya. Cakrawala harus melepas Gerhana terlebih dahulu hingga akhirnya menyadari bahwa sesungguhnya lelaki itu sudah lebih daripada cukup untuk dirinya sendiri.

Baskara masih diam di tempatnya, berdiri di balik pintu. Bersandar dengan pandangan yang tertuju ke langit-langit rumah kediaman Gerhana.

Dahulu, mereka bertiga terlalu bodoh. Mengutamakan ego yang tidak ingin saling melepaskan satu sama lain. Ah, tidakㅡ tidak. Bukan mereka bertiga. Sesungguhnya Baskara dan Cakrawala yang terlalu bodoh.

Baskara terlalu memaksakan kehendak untuk terus memiliki Cakrawala. Sementara Cakrawala, tidak pernah bisa melepaskan kenangan yang terlalu mematikan hatinya untuk menerima sosok Gerhana.

Mereka berdua, bodoh. Mereka berdua, egois.

Mungkin, ini karma. Mungkin, ini jawaban atas semua. Bahwa di saat Gerhana pergi, Cakrawala baru menyadari seberapa pentingnya sosok si lelaki. Bahwa di saat Gerhana pergi, Baskara baru menyadari sudah tidak ada ruang di dalam hati Cakrawala untuk ia tempati.

Cakrawala, milik Gerhana seutuhnya. Saat ini, dan mungkin hingga di lain hari. Sampai nanti, yang tidak akan diketahui ujungnya pasti.

“Er..” “Er..” “Aku mesti gimana?”

Isak tangis Cakrawala masih terdengar di balkon, sementara Baskara sekarang jatuh terduduk dengan tubuh yang tersandar di pintu. Daun pintu menghalangi keduanya, seakan mengingatkan agar tidak lagi saling menyalahi takdir.

Langit malam hari ini bertabur bintang. Angin malam hari ini berhembus sejuk. Seakan ingin menyampaikan ketenangan untuk satu jiwa yang tengah terisak, menyesali semua keterlambatannya.

Hari ini, sweater coklat tua milik Gerhana yang dikenakan oleh Cakrawala menjadi saksiㅡ tentang sebagaimana lelaki itu pernah menjadi hangatnya. Tentang sebagaimana lelaki itu pernah menjadi ketulusan terbaik yang datang kepada Cakrawala.

Tentang bagaimana sosok Gerhananya bukan datang untuk memberikan kegelapan, namun untuk menunjukkan jalan penuh cahaya bagi sang langit yang tengah temaram.

Baskara, menyerah untuk memiliki Cakrawala.

Cakrawala, juga menyerah. Ia menyerahkan hati sepenuhnya, untuk Gerhana.

END

Hilang ingatan?“ “... Bercanda, 'kan?

Sunhwa berdiri di luar pintu ruang rawat Byungchan. Di sana, hanya ada Seungho yang berdiri dengan penampilan berantakan. Rambutnya acak-acakan, kacamata yang bertengger di hidungnya juga sudah sedikit miring; tanda lelaki itu tengah merasakan frustasi.

“Seungho.” “Bohong, 'kan?”

“Ini bukan drama.” “Nggak mungkin banget.”

“Nggak, Kak.” “Aku serius.”

Ujaran Seungho barusan diiringi dengan tangan kanan si lelaki yang kini melepaskan kacamatanya, dua jemarinya memijati pelipis; saking bingungnya harus menjelaskan apa ke si Kakak sulung. “Aku sama Seungsik masuk ke kamar rawat dan tanya gimana kondisinya? Dia nggak jawab apa-apa.”

“Dia tatap aku dengan pandangan kayak ketakutan. Pas aku bilang kalau aku Seungho, dia cuma bengong.”

Seungho..siapa?

Sunhwa hanya tertawa getir, seakan berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa ujaran Seungho barusan tidaklah benar. “Bohong. Kamu pasti bohong. Dia mungkin lupa sama kamu tapi dia pasti inget sama Kakaㅡ”

“Nama Papa Mama.” “Nama Kakak.” “Bahkan nama Seungwo..”

”..semua udah kusebut.”

“Nggak ada yang dia ingat, Kak.” “Dia nggak ingat siapa kita.”

“Byungchan inget diri dia sendiri.” “Byungchan tau nama dia.” “Di mana tempat tinggal dia.” “Apa profesi dia, tanggal lahir dia.”

“Dia lupa tentang satu hal aja.” “Dia lupa kita, Kak.”

“Dia lupa pertemuan dia sama Seungwoo. Dia lupa masa-masa dia sama Seungwoo. Dia lupa bahwa dia kenal kita. Dia lupa kecelakaan yang dia alami, Kak..”

“Dia lupa..” “..tentang kita.”

“Makan dulu.” “Udah berapa hari nggak makan?”

Seungsik menyerahkan sepotong burger milik sebuah restoran fast-food ternama di Korea kepada Seungho yang tidak melepaskan pandangan dari si kakak kembarnya, Seungwoo, yang masih terbaring tak berdaya di kasur rawat.

Selang infus dipasang untuk membantu pernafasan Seungwoo, kepala si anak tengah keluarga Han juga sudah dibalut perban. Benar-benar pemandangan yang membuat Seungho tidak tahan memandanginya lama-lama.

Di ingatan Seungho, Seungwoo adalah sosok kakak kembar yang selalu bersemangat. Walaupun ketika SMA Seungwoo mendapatkan peran untuk menjadi anak berandalan di sekolah, sesungguhnya Han Seungwoo adalah lelaki yang sangat dewasa. Berbeda dengan Seungho yang masih kekanakkan dengan sikap tidak mau kalahnya, Seungwoo selalu rela mengalah demi si adik kembar.

Ide memiliki imej yang saling berbeda satu sama lain, sepenuhnya adalah ide Seungho. Ketika mereka melakukan suit, sesungguhnya yang kalah adalah Seungho. Seharusnya Seungho yang menjadi berandalan namun melihat si adik kembar yang kelihatannya enggan, ia mengubah aturanㅡ yang menang, maka harus menjadi berandalan.

Tanpa mengatakan apapun, terkadang Seungwoo bisa memahami isi hati Seungho. Tanpa perlu menjelaskan apapun, terkadang Seungwoo bisa memberikan apa yang Seungho perlukan. Memang hanya terkadang, namun itu saja sudah lebih daripada cukup untuk Seungho.

“Nggak.” “Lo aja.” “Gue kenyang.”

Seungho menolak juluran burger dari tangan Seungsik. Si bungsu Han yang tengah duduk pada bangku yang ditempatkan di samping kasur rawat, kini menangkupkan kedua tangannya ke wajah; menutupinya rapat-rapat.

“Gue bego banget.” “Semestinya gue sadar dari awal. Gue udah dapet banyak firasat kalau Seungwoo bakal kenapa-kenapa di hari itu..”

“Mestinya gue samperin.” “Mestinya gue suruh dia pulang. Mestinya gue nggak suruh dia diem di Mapo.”

Masih dengan tangan yang ditangkupkan di wajah, Seungho berujar dengan nada suara yang gemetar. Seperti menahan tangis. “Gue nggak bisa lihat dia yang begini...”

Seungsik tahu bagaimana perasaan Seungho saat ini. Walaupun tidak saling bertemu setiap hari dengan si kembar, ia pernah dekat sebagai tetangga semasa kecil. Di mata Seungsik sendiri, sosok si kembar Han sangatlah kompak. Seungsik paham sebagaimana rasa kehilangan tengah menggerogoti diri Seungho.

“Makan dulu,” Seungsik kembali menawarkan burger di tangannya; kali ini seraya digoyangkan sesekali, mengisyaratkan Seungho untuk segera mengambilnya. “Gue yakin Seungwoo juga pasti nggak mau liat lo ikutan sakit.”

Awalnya Seungho ingin menolak, namun perutnya juga ternyata lapar. Benar juga kata Seungsik, sudah berapa lama waktu berlalu semenjak terakhir kali ia makan? Sehari? Dua hari?

“Ho,” Seungsik berujar kecil ketika Seungho mulai menyantap burger yang tadi disodori kepadanya. “Lo tau, apa yang terjadi ketika Seungwoo baru dateng ke Rumah Sakit?”

Sesungguhnya, Seungho sedang tidak ingin mendengar apapun tentang kecelakaan yang menimpa Kakak kembarnya. Ia sudah terlalu pusing menonton rekaman video CCTV yang terpasang di jembatan Mapo yang menampilkan kejadian ketika Seungwoo dan Byungchan ditabrak lalu tidak mendapat pertolongan sama sekali.

Memang, beruntung memiliki kedua orangtua yang berkerja di dunia hukum. Ayah dan Ibu Han, beliau berdua adalah anggota kehakiman Korea Selatan. Dengan kuasanya, keluarga Han bisa meminta rekaman CCTV kepada pihak berwajib yang bertugas tanpa perlu ditanyai detail apapun.

Berbekal rekaman CCTV yang dimiliki, Seungho beserta kedua orang tuanya terus mencoba mengetahui sosok yang mencelakai Seungwoo.

Lagi dan lagi, setiap malam rekaman CCTV itu selalu mereka putar demi sebuah pengharapan agar mendapatkan petunjuk sekecil apapun.

Bahkan sepertinya Seungho sudah bisa mendiktekan secara detail perihal bagaimana kejadian itu pernah berlangsung.

Ia ingat, pada rekaman CCTV itu Seungwoo memberhentikan mobilnya tepat di seberang Byungchan yang berdiri di trotoar jembatan Mapo. Lalu ketika Byungchan tengah menyeberang dan Seungwoo tengah berdiri di samping mobilnya untuk menanti kedatangan Byungchan, mobil SUV itu melaju dengan cepat.

Sangat cepat. Seakan tidak terkendali.

Lalu yang ditampilkan dalam rekaman CCTV selanjutnya adalah Seungwoo yang berlari menghampiri Byungchan. Sayangnya, Seungwoo tidak cukup cepat untuk menghindarkan tubuh keduanya dari tabrakan mobil yang melaju itu.

Seungwoo hanya sempat memeluk Byungchan dan membiarkan tubuhnya menjadi yang tertabrak lebih duluan daripada tubuh Byungchan. Maka tidak urung, tubuh keduanya tertabrak dengan keras sehingga membuat mereka terpental sejauh beberapa meter dari lokasi kejadian.

Bodoh. Tolol. Idiot. Brengsek. Bajingan.

Entah sudah berapa banyak umpatan yang Seungho ucapkan ketika melihat rekaman video CCTV itu setelahnya. Mobil SUV putih yang menabrak Seungwoo malah pergi begitu saja tanpa mempedulikan si Kakak kembar yang masih tergeletak tak berdaya di aspal jalanan.

“Nggak,” jawab Seungho singkat. “Gue nggak tau apa yang terjadi pas di Rumah Sakit. Lo cuma ceritain Seungwoo masuk IGD. Parah,” lanjut si bungsu Han. Pandangannya kini dilempar ke sekeliling, berusaha menemukan sesuatu. “Lo nggak pesen minumannya sekalian?”

Seungsik membungkukkan badan dari posisi duduk tegak di bangkunya, berniat mengambil sekaleng cola yang memang ia beli untuk si sahabat. “Lo bisa minum cola, 'kan?”

Seungho tidak menjawab. Ia hanya mengulurkan tangan, memberi isyarat gerak agar Seungsik segera memberikan kaleng cola itu kepadanya. Detik berikutnya, kaleng cola sudah berpindah kepemilikan. “Lain kali jangan beliin gue cola. Perut gue gampang kembungnya.”

“Noted,” sahut Seungsik; terdengar setengah peduli. Entah benar mengingat ucapan Seungho barusan atau tidak.

“Kenapa, emang?” “Pas nyampe di Rumah Sakit, Seungwoo kenapa?”

Seungsik sedikit menolehkan kepalanya untuk memperhatikan Seungwoo yang masih terbaring di atas kasur rawat. Ekspresi wajahnya terlihat damai, terlelap tenang. “Seungwoo iniㅡ bego, kayaknya.”

“Dia nyetir mobilnya sendiri.” “Padahal kaki dia udah terkilir parah. Bibir udah robek. Kepala dia berdarah bukan main.”

“Kalau orang normal, semestinya udah nggak sadarin diri dari semenjak awal dia kecelakaan di tempat.”

“Tapi Kakak lo ini.. entah, deh. Entah hebat, entah bego. Dia masih bisa nyetir dari Mapo sampai ke sini. Gue masih inget banget itu jok driver udah kayak apaan tau, darah semua.”

“Kayaknya bego.” “Soalnya sehabis mobil dia keparkir sembarangan di depan pintu masuk Rumah Sakit, tiba-tiba suara klakson mobil kedengeran kenceng banget.”

“Dia nggak sadarin diri. Kepalanya beneran jatuh lemes di atas tombol klakson.”

“Kayaknya..” “..dia maksain diri buat nyetir biar bisa bawa cowok di bangku belakang ke sini.”

Seungho mendengarkan semua perkataan Seungsik dengan perasaan gamang. Setelahnya, hanya sebuah kalimat pendek yang lolos dari bibirnya. “Iya.”

“Dia emang bego.” “Bucin tolol.”

Saat itu, lagi-lagi pikiran Seungho mengingat rekaman CCTV yang rasanya sudah ia tonton hampir ratusan kali.

Di tengah kondisinya yang tengah terluka parah, Seungwoo masih memaksakan diri untuk menggendong Byungchan ke dalam pelukannya. Dengan langkah yang diseret, Seungwoo masih berjalan menuju mobilnya. Dengan kepala yang bersimbah darah, Seungwoo masih bisa mengendarai mobil.

Yang mana Seungho yakin, semua dilakukan untuk menyelamatkan Byungchan.

Bodoh? Iya. Tolol? Iya. Di mata Seungho, Seungwoo adalah begitu.

Terkadang Kakak kembarnya itu memang benar-benar terlampau baik. Tidak pernah mengutamakan diri di atas apapun, selalu mengutamakan orang lain. Bodoh. Tolol.

“Cowok di bangku belakang,” Seungsik memecahkan keheningan diantara dirinya dan Seungho. “Pacarnya Seungwoo?”

“Calon tunangan, mestinya.” “Gue nggak tau jadi atau nggaknya. Keburu nggak sempet denger kabar.”

“Kayaknya belum,” ujar Seungsik seraya mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna krem dari jas putih yang dikenakannya. “Ini. Ada di bangku penumpang depan.”

“Cincinnya masih ada dua-duanya di sana. Kayaknya belum sempet dikasih,” lanjut si lelaki Kang. Ia meletakkan kotak kecil krem itu kepada Seungho, “lo aja yang pegang. Lo lebih berhak.”

“...” “Gara-gara benda ini, dia sampai begini?”

“Anjing..” “Kakak gue tolol banget.”

Seungsik tidak membalas gumaman Seungho barusan, ia hanya menyesap isi dari kaleng cola di tangannya. Ia paham, dirinya tidak memiliki hak apapun untuk menengahi urusan antar saudara kembar ini.

Sementara itu, tangan Seungho masih terkepal. Dalam hatinya, ia terus-terusan menyalahkan diri sendiri. Ketika Seungwoo pergi ke Mapo, ia memimpikan hal yang aneh tentang si Kakak kembar.

Mimpinya berisikan mereka berdua yang tengah berhadapan satu sama lain. Masing-masing dari mereka menggenggam tali, hanya sajaㅡ tiba-tiba tubuh Seungwoo seakan ditarik ke belakang secara paksa oleh sesuatu yang hitam dan besar. Sesuatu itu menarik Seungwoo menjauh darinya. Sekeras apapun usaha Seungho untuk menarik tali yang menyambungkan mereka berdua, ia tidak bisa meraih tangan Seungwoo.

Kakak kembarnya itu pergi, ditarik oleh hal yang pekat.

Sayangnya, ketika Seungho tersadar dari mimpi...Seungwoo tidak ada di rumah. Seungwoo ada di Mapo, menunggu Byungchan. Seungho berusaha mengingatkan semampu yang ia bisa, namun yang datang selanjutnya bukanlah panggilan telefon dari Seungwoo. Melainkan dari Seungsik, mengabarkan kondisi parah si Kakak kembar.

“Gue salah.” “Gue yang salah.”

“Ho.” “Nggak ada gunanya.” “Kondisi Seungwoo nggak akan baikan dengan lo yang terus-terusan nyalahin diri lo sendiri.”

“Gue bakal coba sebisa mungkin buat bikin Seungwoo pulih, walaupun itu berarti bakal makan waktu lama.”

“Lo juga, mendingan ambil sikap.” “Gue yakin trauma yang bakal diterima Seungwoo itu gede banget. Kalau lo terus-terusan bersikap kayak lo nyalahin diri lo sendiri...lo pikirin aja, apa Seungwoo bakal seneng atau nggak?”

Bibir Seungho digigit kuat-kuat oleh si pemilik raga. Ucapan Seungsik tadi benar. Sekarang, tujuan utama Seungho beserta keluarganya adalah memulihkan kondisi Seungwoo. Jangan malah membuat semuanya semakin menjadi berat daㅡ

dokter Kang!

Tanpa adanya ketukan atau pemberitahuan apapun, tiba-tiba sosok seorang perawat muncul di pintu masuk dari ruang rawat Seungwoo. Wajah si perawat terlihat agak panik, malah terkesan pucat. “dokter Kang..

..pasien di kamar sebelah..

“Byungchan?”, tanya Seungsik dan Seungho berbarengan, kemudian dijawab dengan anggukan dari si perawat.

Dia sudah siuman.