dontlockhimup

Seungwoo tertidur dengan sangat pulas. Mungkin itu akibat malam-malamnya yang kemarin terlewati dengan penuh rasa berdebar karena membayangkan akan seperti apa situasi ketika ia melamar Byungchan, atau karena ia merasa tenang bisa bertemu Byungchanㅡ? Entahlah, yang pasti malam ini Seungwoo merasa senang bukan main.

Mungkin hal itu yang membuat ia bisa tertidur di dalam mobil, padahal tubuhnya tidak bisa berbaring nyaman. Membayangkan sebentar lagi ia bisa bertemu dengan Byungchan, rasanya membuat Seungwoo rela menghabiskan waktu berjam-jam dengan cara apapun.

Berlebihan? Mungkin. Kasmaran memang begini rasanya, ya?

DDDDRRRRRT. DRRRRRTTTT. DRRRRRTTTT.

Hingga akhirnya, Seungwoo terbangun karena getar panjang; notifikasi dari ponselnya. Dengan tergesa, bahkan tanpa sempat mengecek berbagai notifikasi lain yang sudah masuk terlebih dahulu, Seungwoo segera mengangkat panggilan telefon yang masuk ke ponselnya.

Dari Byungchan.

Tak urung, senyum lebar segera terpampang di wajah Seungwoo seiring dengan tangannya yang mengarahkan speaker ponselnya ke telinga. “Halo? B? Udah sampe?”

“Aku di Mapo juga.” “Bukan di jembatannya.” “Aku sedikit maju dari sana.” “Tunggu. Aku puter balik.”

Tanpa menunggu lama, Seungwoo memutar balik kemudi mobil. Jalanan Mapo saat ini memang sangat gelap. Hanya ada cahaya penerangan lampu dari selusur pegangan pembatas jembatan, tidak cukup terang untuk menerangi jalanan. Namun bagi Seungwoo, sosok Byungchan sudah sangat bercahaya.

Yuck. Bahkan Seungwoo sendiri jijik dengan pemikirannya barusan. Dasar, jatuh cinta ternyata memang bisa membuat seseorang jadi senorak ini, ya?

Lihat saja. Bahkan dari jarak segini, Seungwoo bisa melihat sosok Byungchan yang tengah berdiri di pinggir kanan trotoar jembatan Mapo. Mobil Seungwoo ada di lajur kiri, posisi mereka sekarang bersebrangan.

Seungwoo menepikan mobilnya untuk berhenti di lajur kiri jalanan. Lampu hazard dinyalakan, sebagai tanda apabila ada pengemudi di belakangnya agar bisa berhati-hati dalam melaju.

“Hei, cowok,” ujar Seungwoo dari dalam mobilnya. Kaca jendela pada bangku pengemudi diturunkan, agar bisa berbincang dengan Byungchan yang sekarang berdiri di sisi kanan trotoar; bersebrangan dengan pisisi Seungwoo. “Sendirian aja, nih?”

Byungchan tertawa kecil, menganggap ujaran Seungwoo barusan benar-benar sangat bodoh. “Kenapa kalau sendirian, mau digodain?”, Byungchan balas bertanya. Seungwoo mengangkat bahu dan memasang ekspresi jahil, “nggak. Kayaknya kamu udah punya pacar. Pacarnya ganteng, pasti. Aku nggak bakal bisa menang.”

Byungchan menggeleng-gelengkan kepala, tidak habis pikir dengan kepercayaan diri kekasihnya ini. “Udah, ah. Aku boleh ke sana, nggak?”, tanya si lelaki Choi dan dibalas dengan anggukan super cepat dari Seungwoo. Bahkan si lelaki Han sampai keluar dari mobil, berniat untuk membukakan pintu kursi penumpang ketika Byungchan naik.

Semua masih terasa normal. Seungwoo bahkan bisa membayangkan segala yang akan terjadi dalam beberapa detik setelahnya. Adalah Byungchan yang berdiri di hadapannya. Adalah Byungchan yang masuk ke dalam mobilnya dan mereka yang segera saling berbincang seru selama mobil melaju. Adalah Seungwoo yang akhirnya memperlihatkan kotak berisi cincin yang sudah ia persiapkan dari berhari-hari lalu.

Seungwoo bisa membayangkan segalanya. Semuanya akan semanis itu. Semua akan sebahagia itu.

Hingga akhirnya, semua seakan menjadi kepingan puing tidak berarti. Semua hanya menjadi harap semu semata.

Rasanya Seungwoo seakan tuli ketika telinganya menangkap suara klakson mobil yang berseru nyaring. Rasanya mata Seungwoo seakan ditusuki oleh benda tajam ketika matanya menangkap sorotan lampu yang sangat terang. Rasanyaㅡ kaki Seungwoo seakan tertanam sepenuhnya ke aspal, tidak bisa bergerak sama sekali ketika melihat sebuah mobil SUV berwarna putih tengah melaju cepat ke arah Byungchan yang masih menyeberang ke arahnya.

Seungwoo pernah berjanji kepada dirinya sendiri, bahwa ia tidak akan pernah memasukkan adegan kecelakaan tidak bermutu yang sering muncul di drama-drama Korea ke dalam film yang nanti akan dia sutradarai. Karena oh, ayolah...semua adegan kecelakaan di drama itu sama sekali tidak masuk akal! Bagaimana bisa seseorang tidak sadar ketika ada mobil yang melaju ke arahnya? Lalu bagaimana bisa orang yang ada di sekitar korban sebelum kecelakaan terjadi tidak bisa sekedar meneriakkan kata AWAS, coba?

Semua adegan kecelakaan di drama, semuanya tidak masuk akal. Seungwoo selalu berpikiran demikian.

Hingga akhirnya, semua pemikiran itu harus ia telan bulat-bulat. Harus ia terima dengan sepenuh-sepenuhnya.

Semua, benar. Kecelakaan di dalam drama, tidak mengada-ngada. Semua memang benar adanya.

Ketika mobil melaju, seseorang yang ada di sekitar korban akan merasa mulutnya seperti dikunci rapat-rapat. Tidak bisa berteriak. Tidak bisa menyerukan kata AWAS.

Ketika mobil melaju, seseorang yang ada di sekitar korban akan merasa kakinya seperti lumpuh. Mati rasa. Tidak bisa bergerak.

Seungwoo juga demikian. Ia ingin berlari, ia ingin berteriak. Namun semua indera tubuh dan semua syaraf tubuhnya tidak ada yang mau mengikuti.

Beku. Kaku. Tidak tahu kemana harus melaju.

Waktu seakan berputar lambat. Waktu seakan berjalan dengan kecepatan yang tidak masuk akal lambatnya. Seungwoo, tidak bisa bergeraㅡ

Bodoh. Tolol. Lari! LARI!!!

Otak Seungwoo terus-terusan berseru demikian kepada semua syarafnya. Memaksa untuk bergerak, memaksa untuk berlari menyelamatkan Byungchan.

Itu Byungchan!!! Byungchan, bodoh!!! ITU BYUNGCHAN!!

Seruan dalam kepala Seungwoo berakhir. Berganti dengan suara denging panjang yang seakan tidak ada hentinya. Yang bisa Seungwoo lihat berikutnya adalah tubuh Byungchan dalam pelukannya, dengan kepala yang bersimbah darah dan kaki yang terlipat lemah.

Tubuh Seungwoo sakit. Sakit bukan main. Panas; dari kulit hingga seluruh organ dalamnya, semua terasa panas. Tenggorokannya seakan dipenuhi oleh sesuatu, membuatnya tidak tahan untuk terbatuk. Namun yang membuatnya terkejut, batuk yang ia lakukan barusan malah mengeluarkan darah yang kini terhambur ke atas kemeja biru muda yang dikenakan Byungchan.

“By—yung—ch-an?”

Seungwoo mencoba memanggil Byungchan, walaupun sekarang bibirnya sudah tidak jelas rasanya. Mungkin robek? Mungkin...terluka dalam bentuk yang lebih parah?

Byungchan masih belum menjawab panggilannya. Tubuhnya masih terkulai lemah di pelukan Seungwoo. Mereka masih tergeletak di tengah jalanan, dengan hanya satu unit mobil lain yang berada di belakang mereka.

Mobil SUV putih, dengan mesin yang menyala dan lampu yang menyorot terang.

“Tol—ong..” “Tolong.. tolong B—yung-chan..”

Si lelaki Han merintih, tangannya dipaksakan untuk melambai ke arah mobil SUV di belakang mereka.

Seungwoo tidak merasakan dirinya sebagai prioritas utama. Seungwoo tidak mempedulikan dirinya sendiri. Ia hanya ingin Byungchan bisa diselamatkan, dengan cara apapun.

Byungchan harus selamat. Byungchan harus hidup.

Namun pengemudi di mobil SUV putih itu tidak memberi respon apapun. Jangankan menolong, bahkan untuk keluar dari dalam mobil punㅡ sama sekali tidak.

Seakan tidak cukup membuat semua menjadi semakin parah, mobil SUV putih itu melaju begitu saja. Menghindari Byungchan dan Seungwoo yang masih tergeletak di aspal, tidak berdaya melakukan apapun. Terlalu lemah, terlalu sakit.

Sepeninggal mobil SUV itu, dalam sekejap semua menjadi gelap. Tidak ada lagi cahaya terang yang menyorot mereka berdua, hanya ada cahaya temaram dari lampu-lampu yang menyala di pegangan pembatas jembatan Mapo. Seungwoo kehabisan tenaga, Seungwoo terlalu dilanda rasa panik ketika melihat Byungchan yang masih tidak sadarkan diri di dalam pelukannya.

Tiba-tiba, pandangan Seungwoo sedikit buram karena cairan yang mengalir ke pelupuk matanya. Tangan si lelaki Han menyentuh kepalanya sendiri dan setelahnyaㅡ telapak tangan itu sudah dipenuhi oleh lumuran darah.

Tidak hanya Byungchan. Seungwoo, ia juga dalam kondisi yang sama parahnya. Atau malah mungkin lebih parah.

Kenapa, tanyamu? Karena barusan, barusan saja pandangannya tiba-tiba gelap. Hanya sekejap, memang. Seperti hanya sepersekian detik, namun Seungwoo merasakan dunia tiba-tiba gelap seluruhnya padahal jelas-jelas ia tengah membuka mata.

Ketika pandangannya kembali membawa warna, ia segera menatap Byungchan. Seungwoo paham, tidak ada yang bisa menyelamatkan lelaki ini selain dirinya sendiri.

Mencoba menahan semua rasa sakit yang merajam diri, Seungwoo berusaha bangkit dari atas aspal. Mencoba berdiri dan menggendong tubuh Byungchan ke dalam rengkuhannya. Bukan perkara mudah, karena Seungwoo merasa pergelangan kakinya terkilir. Melangkah sekali, rasanya sama saja dengan memukuli tubuh Seungwoo dengan ratus kali cambukan.

“Byung—c-han..” “Tahan sebentar lagi..”

Lagi. Pandangan Seungwoo lagi-lagi gelap untuk beberapa saat hingga akhirnya kembali lagi membawa warna. Lagi. Seungwoo paham, waktunya tidak banyak. Dunianya bisa saja menjadi gelap lagi dalam sekejap.

Dengan langkah kaki yang dipaksakan juga dengan bibir yang digigit kuat-kuat karena berusaha menahan semua sakit yang dirasa, akhirnya Seungwoo bisa kembali ke mobilnya.

Seakan lupa bahwa dirinya juga tengah terluka, ia membaringkan tubuh Byungchan di kursi penumpang bagian belakang dengan sangat hati-hati. Tidak ingin membuat kekasihnya kesakitan lebih banyak lagi.

“Jangan mati..” “Jangan mati, Byungchan..”

“Kamu harus hidup..”

Dalam perjalanannya ke rumah sakit, Seungwoo terus-terusan merapalkan kalimat itu. Entah kepada siapa, tidak ada yang mendengar. Sekelebat, semua ingatan tentang pertemuan pertama mereka di jembatan Mapo kembali terulang.

Tentang bagaimana Seungwoo memeluk tubuh Byungchan dari belakang agar ia tidak lompat dari jembatan Mapo. Tentang bagaimana ia berkali-kali meneriakkan kalinat jangan mati kepada si lelaki Choi. Tentang bagaimana Seungwoo merasa bahagianya datang di saat matanya bertatapan dengan mata Byungchan.

Kali ini juga demikian.

Seungwoo memeluk tubuh Byungchan di jembatan Mapo. Dengan alasan yang sama, agar lelaki itu tidak mati.

Kali ini juga demikian.

Seungwoo berkali-kali mengucapkan kalimat yang sama; jangan mati, kepada Byungchan.

Kali ini juga demikian.

Seungwoo tidak pernah merasa menyesal telah melakukan ini semua. Seungwoo tidak akan pernah menyalahkan Byungchan atas alasan apapun yang nantinya akan muncul di hidupnya.

Karena Byungchan, selamanya akan menjadi kebahagiaan abadi bagi Seungwoo.

“Jangan..” “..matiㅡ”

Mobil yang dikendarai Seungwoo masuk ke pelataran pintu masuk rumah sakit Universitas Hanyang. Tepat pada saat itu, pandangannya menjadi sangat buram. Seungwoo merasa diserang kantuk yang teramat sangat.

“Tetap hidup..”

Seungwoo menoleh ke arah belakang, menatap Byungchan yang terbaring lemah di sana. Seungwoo berusaha menangkap semua pandangan tentang Byungchan malam ini.

Tentang senyum lelaki itu. Tentang tawa lelaki itu. Tentang kekasihnya.

Semua tentang Byungchan, yang mungkin saja tidak bisa ia temui lagi di lain hari lagi nantinya.

DDDDDDDDIIIIIIIIIIIINNNNNN!

Suara klakson mobil milik Seungwoo terdengar nyaring seiring dengan kepala si lelaki Han yang terkulai lemas di atas kemudi mobil.

Sebelum kesadarannya hilang, Seungwoo menyadari satu hal; dunianya gelap. Pekat.

Tidak berwarna. Tidak ada apa-apa.

Kosong. Tanpa Byungchan.

“Nak.” “Nak Byungchan.”

Byungchan mengerjapkan matanya, dua kali. Perlu waktu beberapa detik baginya untuk menyesuaikan diri dengan cahaya sekitar; ia berada di mobil dengan lampu dalam yang dinyalakan.

“Sudah sampai.” “Mapo.”

Setelah matanya bisa menyesuaikan dengan cahaya sekitar, Byungchan baru ingat kembali bahwa ia ada di dalam taksi yang membawanya menuju tempat perjanjian dengan Seungwoo. “Oh, iya, Pak! Maaf, saya kelewatan nyenyak tidurnya. Berapa, Pak?”

“Lima ribu won.”

”...” “Dari tempat saya naik sampai Mapo? Cuma lima ribu won?”, tanya Byungchan, tidak percaya. “Jauh, 'kan, Pak?”

“Jalanannya lancar banget tadi. Jadi argonya juga nggak jalan terlalu banyak.”

“Ohh..”, Byungchan sendiri tidak begitu paham perihal perhitungan argo taksi sehingga ia hanya mengangguk mengiyakan. Selembar uang lima ribu won dikeluarkan dari dalam dompet si lelaki Choi, sebelum akhirnya berpindah kepemilikan ke tangan si supir.

“Makasih banyak, ya, Pak?” “Bapak hati-hati di jalan.”

Si supir taksi menerima uang biaya perjalanan dari Byungchan dengan menyunggingkan senyum tipis. Ia mengangguk, tidak memberi jawab berupa ucapan atau semacamnya. “Hati-hati, Nak Byungchan.”

“Iya, Pak.” “Mari.”

Ketika kaki Byungchan menapak ke tanah aspal, hembusan angin adalah yang paling pertama menyapa dirinya. Lumayan dingin, walaupun bukan dingin yang menusuk. Wajar saja, ini hampir jam tiga pagi. Orang waras seperti apa yang memutuskan untuk diam di luar rumah pada jam segini, coba? Jika saja Seungwoo bukan kekasihnya, ia tidak akan mau mengiyakan permintaan si lelaki untuk mengajak bertemu di jembatan Mapo.

“Mana, sih?” “Nggak ada, kok..”

Byungchan turun di trotoar yang ada pada pertengahan jembatan. Memang bukan tempat yang bagus untuk memarkirkan mobil, sih. Seungwoo bilang, dia naik mobil, 'kan? Berarti seharusnya ada di sekitar sinㅡ

Ah. Sulit. Lebih baik telefon saja, minta dijemput. Bukankah lebih baik begitu?

Ponsel yang ada di dalam saku celana dikeluarkan, berniat menyampaikan kontak kepada si kekasih. Perlu beberapa kali panggilan tunggu berbunyi hingga akhirnya suara yang sangat dikenali oleh Byungchan menyapa dari seberang panggilan telefon.

“Halo, Woo?” “Aku udah di Mapo.” “Kamu di mana?”

“Habis pulang kerja?”

Byungchan baru saja menyapukan cairan pembersih makeup yang ia tuangkan ke atas kapas ketika supir taksi yang ditumpanginya menyuarakan tanya. Dari kaca spion dalam, Byungchan membalas tatap si supir kemudian tersenyum simpul. “Habis syuting, Pak.”

Si supir taksi sedikit menyipitkan mata, seperti ingin mengenali sosok si penumpang. “Syuting? Anda artis? Aktor?”

Tangan kanan Byungchan masih menggenggam kapas dan bergerak di atas wajah; tengah membersihkan sisa-sisa makeup. Ia terburu-buru pulang, bahkan hingga lupa meminta tolong staff penata make-up untuk membersihkan wajahnya. “Aktor, Pak. Masih baru. Mungkin Bapak nggak akan kenal karena saya sendiri masih pegang peran yang kurang penting.”

Si supir taksi segera menggelengkan kepalanya. “Nggak. Nggak boleh mikir begitu. Setiap orang harus hidup dengan mimpi yang besar. Coba beritahu nama kamu, Nak. Biar saya ingat dan jadi fans pertama kamu.”

Byungchan terkekeh kecil. “Makasih banget, Pak. Tapi saya belum sampai di tahap buat punya fans.”

“Nggak. Saya mau jadi fans nomor satu kamu. Nama kamu siapa?”, tanya si supir; sedikit memaksa. Walaupun begitu, Byungchan merasa senang karena ada seseorang yang begitu semangat mau mengakui diri menjadi penggemarnya. Meski ia sendiri paham, bisa jadi supir ini hanya bercanda.

“Byungchan, Pak.” “Choi Byungchan.”

Si supir taksi masih memandangi dari pantulan cermin spion dalam. Kini, si lelaki separuh baya itu mengulas senyum tipisㅡ bukan senyum lebar seperti sebelumnya. Senyum getir, seakan menggambarkan kesedihan. “Ah..”

“Byungchan?” “Saya bakal inget.” “Inget, ya? Saya fans kamu.”

Senyum lebar terkembang di bibir Byungchan, menampakkan lesung pipinya dengan jelas. “Iya, Pak.”

“Saya bakal inget.”

Masih, supir taksi itu masih mengulas senyum namun tidak secerah sebelumnya. “Nak Byungchan, kalau mau istirahat dulu nggak apa-apa. Nanti saya bangunkan sewaktu kita akan sampai Mapo.”

Byungchan yang tengah melipat kapas bekas sekaan make-upnya, segera mengangkat wajah. “Wah, Bapak tau aja. Baru aja saya mau minta dibangunin ketika sampai Mapo.”

“Bapak udah kayak peramal aja,” gurau Byungchan dan dibalas dengan tawa kaku dari si supir taksi. “Oke, Pak. Saya tidur dulu sebentar. Kalau sudah hampir sampai Mapo, tolong bangunin, ya, Pak.”

Lelaki separuh baya yang dititipi pesan hanya memberi anggukan kecil sebagai jawaban. Byungchan yang merasakan semua baik-baik saja, segera menyamankan posisi duduk dan memejamkan matanya; bersiap untuk terlelap sejenak.

“Nyawanya masih muda.” “Tapi kenapaㅡ mesti mati sekarang?”

“Tuhan.” “Aku tau, Engkau Maha Hebat.” “Tapi terkadang, aku heran.” “Kenapa Engkau tega...”

”... mengambil nyawa anak yang baru memulai mimpinya ini?”

Di tengah Byungchan yang terlelap, si supir taksi menggumam pelan. Berbicara sendiri, entah dengan siapa.

Di dashboard mobil taksi yang dikendarai oleh si lelaki paruh baya itu, ada sebuah kartu berwarna putih bersih dengan sebaris nama yang dituliskan dengan tinta merah.

Nama pada kartu itu, Choi Byungchan.

“CUT!”

Pukul 01.32 tengah malam, akhirnya tanda instruksi yang sedari tadi Byungchan tunggu-tunggu terdengar dari bibir Shin Gamdok-nim. Beberapa staff segera menurunkan perangkat syuting masing-masing, begitupun dengan para pemeran drama yang kini saling membungkukkan tubuh kepada satu sama lain. “수고했어요.”

( sugohaesseoyo : terima kasih atas kerja kerasnya. )

Byungchan juga melakukan hal yang tidak jauh berbeda. Ia membungkukkan tubuhnya ke arah sana-sini secara tergesa, bahkan ia tidak mengiyakan ajakan salah satu staff yang mengundang untuk minum bersama di salah satu restoran dekat lokasi syuting mereka.

Bagi Byungchan, hal paling utama baginya sekarang adalah menemui Seungwoo. Kekasihnya itu pasti sudah menunggu terlalu lama di tempat perjanjian temu mereka. “Gamdok-nim, saya permisi dulu!“, ujar Byungchan seraya mengambil tas ranselnya yang tergeletak begitu saja di salah satu meja.

“Lho? Byungchan-ssi, pulang sendiri lagi? Mau diantar bersama staff lain?“, tanya Shin Gamdok-nim. Memang, diantara para pemeran lainnya hanyalah Byungchan yang belum menandatangi kontrak dengan agensi manapun. Sehingga ia belum memiliki kendaraan khusus dan masih bergantung di transportasi umum.

“Bukan masalah, Gamdok-nim,” jawab Byungchan dengan mengulas senyum. “Saya ada janji. Ketemu pacar,” ujaran Byungchan selanjutnya sempat membuat beberapa staff perempuan yang tidak sengaja lewat di depan Byungchan segera menggumam terkejut. Shin gamdok-nim seakan paham akan perasaan para staff perempuan, kemudian berucap santai. “Wah, barusan kayaknya banyak yang sakit hati pas tahu kamu udah punya pacar, nih.”

Byungchan hanya membalas dengan kekehan kecil. “Kalau begitu, saya permisi.” Shin gamdok-nim mengangguk, mengisyaratkan si lelaki Choi agar menyegerakan langkahnya.

Namun, entah mengapaㅡ Shin gamdok-nim merasakan ada yang aneh dari langkah kaki Byungchan. Ketika si lelaki Choi itu melewatinya, entah mengapa...punggungnya terasa menjauhㅡ dalam artian yang teramat jauh.

Seperti akan pergi. Jauh. Menjauh, jauh.

Ah, sudahlah. Terkadang, firasat tidak perlu dipercaya, bukan? Paling-paling hanya perasaan sekilas.

“CUT!”

Pukul 01.32 tengah malam, akhirnya tanda instruksi yang sedari tadi Byungchan tunggu-tunggu terdengar dari bibir Shin Gamdok-nim. Beberapa staff segera menurunkan perangkat syuting masing-masing, begitupun dengan para pemeran drama yang kini saling membungkukkan tubuh kepada satu sama lain. “수고했어요.”

( sugohaesseoyo : terima kasih atas kerja kerasnya. )

Byungchan juga melakukan hal yang tidak jauh berbeda. Ia membungkukkan tubuhnya ke arah sana-sini secara tergesa, bahkan ia tidak mengiyakan ajakan salah satu staff yang mengundang untuk minum bersama di salah satu restoran dekat lokasi syuting mereka.

Bagi Byungchan, hal paling utama baginya sekarang adalah menemui Seungwoo. Kekasihnya itu pasti sudah menunggu terlalu lama di tempat perjanjian temu mereka. “Gamdok-nim, saya permisi dulu!“, ujar Byungchan seraya mengambil tas ranselnya yang tergeletak begitu saja di salah satu meja.

“Lho? Byungchan-ssi, pulang sendiri lagi? Mau diantar bersama staff lain?“, tanya Shin Gamdok-nim. Memang, diantara para pemeran lainnya hanyalah Byungchan yang belum menandatangi kontrak dengan agensi manapun. Sehingga ia belum memiliki kendaraan khusus dan masih bergantung di transportasi umum.

“Bukan masalah, Gamdok-nim,” jawab Byungchan dengan mengulas senyum. “Saya ada janji. Ketemu pacar,” ujaran Byungchan selanjutnya sempat membuat beberapa staff perempuan yang tidak sengaja lewat di depan Byungchan segera menggumam terkejut. Shin gamdok-nim seakan paham akan perasaan para staff perempuan, kemudian berucap santai. “Wah, barusan kayaknya banyak yang sakit hati pas tahu kamu udah punya pacar, nih.”

Byungchan hanya membalas dengan kekehan kecil. “Kalau begitu, saya permisi.” Shin gamdok-nim mengangguk, mengisyaratkan si lelaki Choi agar menyegerakan langkahnya.

Namun, entah mengapaㅡ Shin gamdok-nim merasakan ada yang aneh dari langkah kaki Byungchan. Ketika si lelaki Choi itu melewatinya, entah mengapa...punggungnya terasa menjauhㅡ dalam artian yang teramat jauh.

Seperti akan pergi. Jauh. Menjauh, jauh.

Ah, sudahlah. Terkadang, firasat tidak perlu dipercaya, bukan? Paling-paling hanya perasaan sekilas.

Seungwoo tidak melepaskan pandangan dari layar ponsel miliknya. Jemari lentiknya masih bergerak di atas layar, terus bergerak maju dan mundur; seperti tengah menarik sesuatu.

“Argh!” “Transisinya jelek!” “Kok aneh, sih?” “Ganti. Ganti.”

Hingga akhirnya setelah lama waktu berlalu, ekspresi muram di wajah Seungwoo berganti dengan ulas senyum penuh rasa puas.

“Jadi!” “Bikin video dua menit aja sampe dua jam, heran...”

Seungwoo masih menunggu di jembatan Mapo. Bahkan setelah waktu terlewati berjam-jam tanpa kontak dari Byungchan, Seungwoo masih menunggu di sana. Sebagai pengalihan dari rasa bosan, Seungwoo memutuskan untuk membuat video kejutan agar bisa ia berikan kepada Byungchan nantinya. Sebagai hadiah tambahan selain lamaran, pikirnya.

Sekilas, pandangan Seungwoo tertuju ke arah jam digital yang tertera di dashboard mobil. Pukul 12.45 tengah malam. Byungchan masih belum memberi kabar apa-apa.

Tidak apa. Tidak masalah. Seungwoo akan menunggu. Terus menunggu, sampai kekasihnya datang.

Lalu ketika ia datang, Seungwoo akan memberikan semuanya. Kejutannya, rasa sayangnya, lamarannya. Semua yang terbaik, untuk Byungchan.

Ketika Byungchan datang, mereka akan bahagia.

Pasti, bahagia.

“NG!”

“NG!”

“NG!”

Entah sudah keberapa kalinya adegan NG itu dibuat oleh salah satu senior, dan entah sudah keberapa kalinya Byungchan berusaha mencuri kesempatan untuk melirik waktu pada arloji yang dikenakan di pergelangan tangannya.

Hampir pukul 12 tengah malam dan masih belum ada tanda-tanda perihal syuting akan segera berakhir. Inilah yang membuat banyak pihak sangat enggan melakukan pengambilan adegan dengan banyak orang, karena semakin banyak pihak yang terlibatㅡ akan semakin tinggi kemungkinan untuk melakukan adegan NG. Bahkan untuk aktris senior yang sekarang sedang berada di set lokasi yang sama dengan Byungchan pun tidak luput dari hal itu.

Waktu semakin larut, membuat Byungchan semakin khawatir. Dari tempat syuting mereka ke Mapo bahkan mungkin butuh waktu sekitar satu jam. Kalaupun ia pulang sekarang, ia akan tiba pukul satu pagi.

Apa Seungwoo masih ada di sana?

Gamdok-nim.

Byungchan tampak rapi dengan kemeja kerja juga celana bahan berwarna hitam, belum lagi rambutnya ditata sedemikian rupa agar terlihat klimis; tatanan umum para karyawan kantoran di Korea.

Choi Byungchan, perlahan-lahan mulai dikenal sebagai aktor baru. Walaupun perannya masih sekedar pemeran pembantu yang berpihak ke salah satu karakter (entah itu mendapat peran sebagai sahabat si karakter protagonis atau terkadang menjadi si peneman karakter antagonis), keberadaannya di dunia seni peran mulai dilirik oleh berbagai pihak.

Memang, masih jauh untuk menyebut sosok Byungchan sebagai aktor papan atas. Ia masih berada di list C, belum mencapai puncak. Namun si lelaki Choi yakin, perlahan mimpinya akan bisa tercapai jika ia berusaha keras.

Maka ia tidak pernah membuang waktu untuk mengasah kemampuan aktingnya, setiap waktu di lokasi syuting selalu ia gunakan untuk memperhatikan teknik akting para senior. Terkadang, itu yang membuat ia selalu pulang tengah malam dari lokasi syuting. Ia terlalu sibuk memperhatikan segala hal yang bisa ia pelajari. Bagaimana cara menguasai emosi penonton? Bagaimana cara menunjukkan kemarahan tanpa terlihat berlebihan?

Byungchan mempelajari itu semua, sendiri. Hal itu yang membuat ia terkadang lupa menyisihkan waktu untuk Seungwoo, karena ia terlalu fokus dengan tujuannya.

Gamdok-nim.

Lelaki yang dipanggil gamdok-nim atau sutradara oleh Byungchan segera menolehkan kepala. Senyum ramah terulas di bibir si lelaki bertubuh sedikit tambun itu, “ya? Ada apa, Byungchan-ssi?”

“Itu...scene yang nanti malam rencananya akan dilakuin bareng-bareng dengan semua castㅡ”

“Ya?”

Byungchan terdiam sejenak. Ia masih ragu dengan keputusannya untuk meminta absen dari scene yang mengharuskan pemerannya berkumpul. Ia memang ingin mengutamakan Seungwoo lebih daripada apapun, tapi meminta hal seperti ini padahal statusnya masih sebagai aktor baruㅡ? Sombong sekali. Tidak punya tata krama, namanya.

“Scene nanti malam?” “Ada apa, Byungchan-ssi?”

Tidak kunjung mendapat kalimat lanjutan dari Byungchan, akhirnya sang sutradara menyuarakan tanya. Byungchan menggelengkan kepala, tidak jadi menyatakan permintaan.

“Bukan apa-apa, Gamdok-nim.“ “Saya akan datang tepat waktu untuk pengambilan adegan nanti malam.”

Byungchan tidak bisa mengutarakan permintaannya untuk absen. Tidak bisa. Ini langkah awalnya untuk mewujudkan mimpi mereka. Mimpinya sendiri. Mimpi Seungwoo pula.

Seungwoo pasti akan paham jika Byungchan sedikit datang terlambat nanti malam. Seungwoo pasti tidak akan mempermasalahkannya.

Seungwoo pasti akan paham.

“...” “Beneran?”

Seungwoo dan Byungchan sedang berada di jok belakang mobil si putra tengah keluarga Han. Beruntung, ruang bagian belakang mobil SUV itu cukup luas sehingga mereka masih memiliki sisa ruang walaupun tubuh keduanya bisa dikatakan jangkung untuk lelaki kebanyakan.

Seungwoo tengah duduk berhadapan dengan Byungchan, sementara si lelaki Choi juga duduk berhadapan dengan si kekasih dengan kemeja yang sudah dibuka dua kancingnya dari bagian kerah. Memperlihatkan leher jenjang Byungchan yang putih, membuat Seungwoo berkali-kali harus meneguk ludah agar tidak terlalu terlihat seperti orang mesum.

Byungchan memberi anggukan sebagai jawaban dari pertanyaan Seungwoo barusan. Ia mengambil sekaleng whipped cream yang sudah ia simpan sebelumnya di bagian bawah jok belakang mobil kemudian menyerahkannya ke si kekasih. “Ini...”

”...hadiah kamu.”

Seungwoo menerima sodoran kaleng whipped cream dari Byungchan dengan tangan gemetar. Dalam hati, ia mengutuki dirinya sendiri; benar-benar terlihat sangat payah, pikirnya.

“Aku..” “..harus lakuin di mana?”

Byungchan merasakan wajahnya memanas. Jujur saja, ia ingin menjawab berbagai tempat di tubuhnya yang sekiranya bisa memberi kenikmatan lebih untuknya sendiri namun apa boleh bertindak sefrontal itu?

Ini kali pertama bagi Seungwoo dan Byungchan melakukan permainan ini. Bahkan jujur saja, mereka ... belum pernah berciuman.

Di bibir, tambahi itu.

Jika sekedar kecupan ringan di kening, Seungwoo sering melakukannya. Kecupan ringan di pipi, Byungchan sering memberikannya. Namun di bibir? Belum, mereka masih belum berani memulainya.

“Terserah kamu.” “Di tempat yang kamu mau.”

Jawaban yang terlalu ambigu. Kalau misalnya Seungwoo malah meminta terlalu banyak, apa Byungchan bisa memberikannya sekarang juga? Ah, Byungchan memang bodoh. Ia asal berujar.

Kaleng whipped cream yang digenggam oleh Seungwoo, kini dibuka tutupnya. Seungwoo mengocok isi kaleng whipped cream itu beberapa kali sebelum mencoba menyemprotkan isinya ke punggung tangannya sendiri.

Selagi Seungwoo melakukan tindakannya, Byungchan berkali-kali menghela nafas. Entah perasaan apa yang sekarang menyerangnya, namun yang bisa ia pastikan sekarang adalah sedari tadi celananya terasa sesak. Miliknya seakan meronta ingin dibebaskan, tidak tahan melihat sosok Seungwoo di hadapannya yang sekarang terlihat sangat...menggoda.

Saat ini di punggung tangan si lelaki Han sudah ada sedikit whipped cream, lalu dengan perlahan Seungwoo mengulurkan tangannya ke arah bibir Byungchan.

Yang disodori hanya bisa mengerjapkan matanya, bingung harus melakukan apa. “... Apa?”

“Oles pakai jari kamu.” “Terus lumuri ke sekitar bibir.” “Jangan dijilat. Biarin aja.”

Sungguh, tidak bohong. Byungchan berani bersumpah, miliknya yang terbungkus di balik celana rasanya seperti mengeluarkan sedikit cairan. Entah benar atau tidak, Byungchan tidak bisa memastikan. Hanya saja, miliknya menegang hanya dengan mendengar instruksi begitu dari Seungwoo.

Berusaha menjadi anak yang baik, Byungchan mengikuti perkataan yang lebih tua. Whipped cream di punggung tangan Seungwoo ia oles dengan jari telunjuk kemudian dibalurkan kembali ke sekitar bibirnya. Alhasil, sekitar bibir Byungchan sekarang sudah dipenuhi krim berwarna putih yang manis itu.

“Udah?”

“Kamu diem, ya?”, ujar Seungwoo seraya meletakkan kaleng whipped cream di tangannya ke bantalan jok. Sebelah tangan Byungchan digenggam, sengaja menautkan jari jemarinya yang lentik ke jemari si kekasih. Berusaha menyampaikan perasaan sayang teramat dalam yang sedang ia rasakan saat ini. “Aku yang bersihin krimnya.”

Seiring dengan perkataan Seungwoo, tubuh si lelaki Han semakin mendekati Byungchan. Semakin dekat, dan Byungchan memilih untuk menutup matanya rapat-rapat. Tidak ingin jantungnya keluar dari mulut karena menyaksikan akan bagaimana nantinya ketika jarak diantara Seungwoo dan dirinya semakin tiada.

Byungchan dapat merasakan nafas Seungwoo terdengar mendekat, diiringi dengan suara jantungnya sendiri yang semakin bergemuruh. Bahkan Byungchan sempat menahan nafas ketika suara nafas Seungwoo semakin mendekaㅡ

Cup.

Bibir Seungwoo mendaratkan ciuman di daerah sekitar bibir Byungchan. Tidak tepat di bibir, memangㅡ namun terpisah jarak yang sangat tipis dari bibirnya. Hal pertama yang bisa Byungchan rasakan adalah : bibir Seungwoo dingin. Saking dinginnya, bahkan Byungchan bisa merasakan bulu kuduknya merinding.

“Sssh..” “Aku pelan-pelan, kok.”

Seungwoo melihat dengan jelas bagaimana kini pundak Byungchan terangkat (mungkin) karena ketakutan dengan pengalaman dari ciuman pertamanya. Berusaha menenangkan, sebelah tangan Seungwoo yang masih bebas kini menelusup ke punggung leher Byungchan. Memberi usapan pelan dan lembut agar lelaki itu tidak lagi merasa ketakutan akan sentuhan dari bibirnya. “Sssh..”

“Byungchan.” “Aku lanjutin lagi, boleh?”

Padahal baru satu kecupan, itupun hanya di sudut bibirnya saja namun Byungchan sudah merasakan debaran sebegininya. Bagaimana jika Seungwoo menciumnya di bibir? Atau menjilati sisa krim di bibirnya nanti, coba?

Namun, tidak ingin munafikㅡ Byungchan juga ingin mengetahui akan bagaimana jadinya jika Seungwoo melakukan hal itu? Akan sebagaimana manisnya jika lidah mereka bertemu dalam pagutan mulut dengan mulut?

Maka anggukan adalah jawaban yang diberi. Membiarkan Seungwoo melanjutkan tindakannya. “Boleh..”, jawab Byungchan dengan suara yang agak mencicit.

Mendapat persetujuan dari si kekasih, Seungwoo kembali mencoba mengecupi sisa krim di sekitar bibir Byungchan. Iya, awalnya tindak pembersihan krim hanya dilakukan dengan pemberian kecup namun lama kelamaan lidah Seungwoo ikut berusaha ambil bagian. Mulai menjilati krim, hingga akhirnya sesekali menyentuh bibir Byungchan.

Byungchan yang merasakan bibirnya disapu secara tidak sengaja oleh lidah Seungwoo, sesekali tersentak kaget. Namun pada saat itu juga tangan Seungwoo yang ada di punggung leher Byungchan bergerak perlahan. Berusaha menyampaikan pesan bahwa ia tidak perlu khawatir, bahwa Seungwoo akan melakukannya dengan penuh kehati-hatian.

Maka, Byungchan mencoba mempercayai tindak Seungwoo. Maka, lama kelamaan posisi duduk Byungchan tidak lagi berdiri tegak namun mulai bersender ke pintu kaca jendela di jok belakang. Mencoba menyamankan posisi bagi Seungwoo melakukan tindakan yang lebih.

Selesai dengan tugasnya untuk membersihkan krim di sekitar bibir Byungchan, Seungwoo menjauhkan posisi kepalanya agar bisa bertukar pandang dengan si kekasih. Byungchan sedari awal sudah memandangi Seungwoo terlebih dahulu. Seakan sudah bisa memahami apa yang ingin diujarkan si kekasih, Byungchan segera berujar dengan lembut. “Boleh.”

“Boleh. Silahkan, lakuin apa aja yang kamu mau sama hadiahmu ini.”

Tidak ingin membuang kesempatan yang diberi, Seungwoo segera meraih kembali kaleng whipped cream yang semula ia telantarkan begitu saja. “Sayang.”

“Hm?”

“Sedikit dongak, bisa?” “Lehernya miringin juga.”

Oh. Tujuan Seungwoo selanjutnya adalah leher. Jujur saja semenjak awal menjalin hubungan dengan Byungchan, Seungwoo selalu mengagumi sebagaimana leher kekasihnya itu sangat jenjang dan putih. Membuat Seungwoo selalu berfantasi; akan sebagaimana indahnya leher Byungchan jika ia berhasil membubuhkan tanda merah sebagai jejak kemenangan?

Maka diberi kesempatan begini, Seungwoo tidak ingin menyia-nyiakannya. Sedikit krim diletakkan di leher Byungchan, Seungwoo menjilati putih itu dan mengecupi leher si kekasih setelahnya. Sesekali memberi hisapan kecil agar tanda kemerahan bisa ia bubuhkan di sana. “Hnnh— mmm...hhh, sayang..”

Ketika kecupan Seungwoo mulai terasa sedikit menuntut, Byungchan tidak sadar meloloskan desah nikmat. Yang mana, malah membuat Seungwoo kehilangan kendali serta akal warasnya.

“Lagi,” gumam Seungwoo tanpa mengangkat kepalanya dari ceruk leher Byungchan; masih terus mengecupi si jenjang.

Tidak paham dengan apa yang diujarkan Seungwoo, Byungchan tidak meloloskan desah lagi. Namun nafas Byungchan semakin tidak teratur ketika tangan Seungwoo yang semula menggamit jemarinya kini dilepas dan beralih mengusapi paha bagian dalam si lelaki Choi. “Hhh.. S-seungwoo..”

Dengan kepala Seungwoo yang tengah berada di ceruk leher Byungchan, bibir si lelaki Choi benar-benar berada di dekat telinga Seungwoo. Fantasi Seungwoo semakin dibuat melayang karena suara Byungchan yang seakan menggema di kepalanya. “Hm?”

“Kenapa, sayang?”

Pertanyaan Seungwoo dibarengi dengan gerak tangan si lelaki Han yang perlahan mulai naik, dari yang semula hanya mengusapi paha bagian dalam kini naik menjalar ke pangkal paha. “Suka?”

Tangan Byungchan yang sejak semula tengah meremat rambut Seungwoo, kini berubah menjadi sebuah jambakan kecil karena tangan Seungwoo sekarang tengah bergerak di atas kemaluannya yang masih terbalut celana jeans. “Buka, ya, sayang?”

Byungchan menggelengkan kepala ketika mendengar pertanyaan Seungwoo barusan. Ia masih belum siap untuk melakukan hal ini. Bahkan untuk memperlihatkan miliknya secara langsung di hadapan Seungwoo pun sesungguhnya Byungchan masih malu bukan main.

“Jangan..”

“Kenapa?”, tanya Seungwoo lagi; kali ini seraya mendaratkan beberapa kecupan kecil di pelupuk mata Byungchan. “Hm? Malu?”

Anggukan diberi sebagai jawaban. Namun di mata Seungwoo, segala tindakan Byungchan barusan terlampau manis. “Sssh.. nggak apa-apa.”

“Nggak usah malu.” “Kamu tutup mata aja, ya?”

Diberi instruksi begitu, Byungchan tidak memiliki pilihan lain selain mengiyakan. Kedua mata ditutup, namun telinganya masih mendengar suara kancing celana yang dibuka dan retsleting yang diturunkan ke bawah. Dalam kegelapan begini, Byungchan malah semakin merasa sesak. Ia semakin ingin membayangkan sebagaimana jadinya wajah Seungwoo di bawahnya sekarang. Ia ingin melihat apa yang tengah dilakukan oleh Seungwoo saat inㅡ

“Hnnhh—” “Saya..ngg..” “Hhh..”

Nafas Byungchan berantakan. Matanya masih tertutup, masih belum berani terbuka. Sekarang, ia bisa merasakan tangan Seungwoo bergerak di kejantanannya. Memberi pijatan kecil yang membuat Byungchan mabuk kepayang, tidak kuat menahan nikmat. Ini kali pertamanya mendapati orang lain memanjakan miliknya. Biasanya Byungchan hanya melakukan pelepasan dengan tangannya sendiri.

Dari posisinya, Seungwoo memandangi Byungchan yang tengah menengadahkan kepala dan melenguh terus-terusan. Pemandangan yang indah bagi Seungwoo, tentu saja. Mendapati kekasih merasakan nikmat di tangan kita, perasaan apa lagi yang lebih hebat daripada itu?

“Sssh..” “Jangan terlalu banyak gerak. Nanti orang-orang sadar kalau ada kita di dalem mobil, Byungchan.”

Sontak, Byungchan menghentikan gerakan geliatnya. Namun itu sebuah hal yang menyulitkan karena gerak tangan Seungwoo seakan tidak mau berhenti dalam waktu singkat. Sekarang, si lelaki Han malah mengusapi buah zakar Byungchan dengan sebelah tangannya yang lain dan membuatnya perlu menggigiti bibirnya kuat-kuat agar tidak berteriak.

“Sayang..” “Aku jilat, ya?”

Apa? Apa yang dijilat?

Byungchan masih tidak berani membuka matanya. Bukan apa-apa, ia takut akan melakukan pelepasan hanya dengan melihat sosok Seungwoo di hadapannya. Jujur saja, semua aktivitas yang tengah mereka lakukan sekarang sangatlah nikmat dan Byungchan tidak ingin melakukan pelepasannya cepat-cepat.

“Jilat apㅡ kkhh..”

Rasa dingin segera menyerang di daerah sekitar dada Byungchan diiringi dengan suara kaleng whipped cream yang isinya tengah disemprotkan keluar. Lebih tepatnya, rasa dingin yang sekarang dirasakan oleh Byungchan ada di bagian puting kirinya.

Dalam satu hitungan berikutnya, Byungchan segera melengkungkan tubuhnya ke atas. Merasakan nikmat tiada terkira karena sekarang Seungwoo tengah menjilati krim di atas putingnya dengan ujung lidah. “S—stopp.. sayang.. ud—ah.. nnnggh..”

Geli. Sangat. Ujung lidah Seungwoo yang mengenai ujung putingnya di setiap jilatan membuat Byungchan menggila. Namun Seungwoo seakan tidak mempedulikan permintaan Byungchan, ia malah melancarkan hisapannya pada puting Byungchan setelah krim yang ada di sana telah bersih dijilati. Sesekali mendaratkan gigitan kecil dan menarik agar puting Byungchan bisa lebih mencuat keluar. “Hnnnmmh— satu-satu...”

“Sayangg, jangan dua-duanya..”

Iya. Byungchan tidak kuat menahan nikmat yang diberi di dua titik vitalnya. Kejantanan dan puting yang terus dimanjakan oleh Seungwoo membuat Byungchan kewalahan menahan pelepasannya. Belum lagi gerak tangan Seungwoo di batang kejantanannya semakin dipercepat karena bantuan cairan pelumas dari miliknya sendiri yang mengalir sedikit demi sedikit.

“Sayang..” “Buka matanya, Byungchan.”

Byungchan masih menolak permintaan Seungwoo yang satu itu. Ia masih belum siap membayangkan akan sebagaimana nyatanya sosok Seungwoo yang tengah memegangi kejantanannya dan dengan bibir yang penuh whipped cream hasil jilatan dari putingnya. “N-nnggak.. hhhnh..”

Setelahnya, beberapa kali kecupan mendarat di pelupuk mata Byungchan diiringi kalimat yang terdengar memohon. “Sayang, tolong..”

“Buka mata kamu.” “Tatap aku sebentar.”

Tidak tega untuk tidak mengindahkan suara penuh permohononan itu, akhirnya Byungchan perlahan membuka matanya. Lalu yang selanjutnya menyambut mata si lelaki Choi sungguh sangat sesuai perkiraan.

Tangan kanan Seungwoo yang masih bergerak naik turun di batang kejantanan milik Byungchan, dua jemari yang memilin puting, dan juga Seungwoo yang tengah menatapinya lurus-lurus; dengan bibir yang berbalur whipped cream, berantakan.

“A-apa..?”, tanya Byungchan seraya menggigiti tulang jari telunjuknya sendiri agar tidak melenguh keras-keras karena baru saja Seungwoo sedikit menggenggam kejantanannya dengan agak kuat.

“Buka mulut, bisa?” “Terus julurin lidah..”

Tahu. Byungchan tahu dengan jelas apa yang diinginkan oleh Seungwoo. Maka dengan perlahan, Byungchan melakukan sesuai dengan yang diinstruksikan; membuka mulut dan menjulurkan lidahnya.

Setelahnya, yang dilakukan Seungwoo sungguh sesuai dengan yang diperkirakan Byungchan. Adalah lidah yang dimasukkan ke dalam mulut Byungchan, meminta untuk diperlakukan istimewa. Byungchan dan Seungwoo saling berbagi pagutan dalam-dalam, bahkan Byungchan tidak lagi mempedulikan bagaimana penampilan sekarang karena sudah pasti berantakan. Ia bisa merasakan salivanya sendiri mengalir dari ujung bibir, hasil dari pergumulan bibirnya dengan Seungwoo yang terlalu menuntut barusan.

“Seungw-oo...” “A-hnhh, sayangㅡ” “Tolongg.. cepetin..”

Seungwoo sendiri bisa merasakan bagaimana sekarang kejantanan Byungchan berkedut dalam genggamannya. Maka sesuai yang diminta, Seungwoo menggerakan tangannya dengan tempo lebih cepat. Tubuh Byungchan yang melengkung ke atas karena merasakan nikmat dipeluki oleh Seungwoo, pula bibir si lelaki Han segera kembali meraup puting Byungchan yang mencuat banyak-banyak.

Hingga akhirnya, Byungchan tidak dapat menahan lenguhnya. Putihnya dilepaskan berbarengan dengan lenguhan yang cukup keras. Berantakan, bahkan cairan pelepasan Byungchan ada yang berceceran ke head-rest jok penumpang bagian depan.

Seungwoo tertawa kecil ketika melihat Byungchan yang kini menyandarkan punggungnya dengan lemas ke pintu jendela mobil. Tidak kuat berkata apapun dan masih berusaha mengatur nafasnya kembali. “Sayang..”

“Hm?”

Seungwoo perlahan mendekati wajah Byungchan dan mendaratkan satu kecupan di keningnya. Lembut. “Kalau kamu udah siap, bilang, ya?”

“Aku bakal nunggu sampai kamu yang beri aku kesempatan buat milikin kamu seutuhnya.”

“Nggak usah buru-buru,” lanjut si lelaki Han seraya mengambil tisu dan menyeka bekas cairan pelepasan Byungchan yang berceceran ke banyak tempat. Selanjutnya, ia mengambil tisu kembali untuk membersihkan daerah sekitar kejantanan Byungchan yang juga terkena cairan pelepasan. “Aku bakal nunggu sampai kamu siap.”

Byungchan yang sudah berhasil mengatur nafasnya sedikit demi sedikit, akhirnya memberi anggukan setuju. Ia tidak mampu berujar apapun lagi, sudah terlalu merasa lemas padahal ini baru tangan Seungwoo yang memanjakannya.

Apalagi...itu, coba? Bisa mati, Byungchan.

“Kayaknya, aku gay.”

Hampir. Hampir saja ramyeon yang tengah disantap oleh Seungwoo dimuncratkan kembali lewat hidung. Ia terlalu terkejut akan pengakuan Byungchan yang terlalu tiba-tiba barusan.

Mereka tengah duduk berhadapan di pinggiran sungai Han, di salah satu meja bundar depan sebuah mini market. Di atas meja, ada dua kotak ramyeon beserta dua butir telur rebus yang belum sempat dikupas cangkangnya.

Seungwoo sempat merasa heran dengan Byungchan yang sedari tadi memainkan jemarinya sendiri, bukannya malah menyantap mienya yang sudah mengembang. Namun ia sama sekali tidak menyangka bahwa si lelaki jangkung itu tengah mempertimbangkan perihal cara menyampaikan kegundahannya.

”... Gimana? Gimana?”

Seraya memukuli dada kanannya (karena tersedak, tentu saja), Seungwoo mencoba memastikan tentang hal yang baru saja ia dengar dari bibir Byungchan. “Kamuㅡ apa?”

“Jijik, ya?”, tanya Byungchan dengan senyum tipis yang tersungging. Bukan senyum bahagia atau apa, namun senyum miris yang...bagaimana, ya? Seakan khawatir. “Aku nggak keberatan kalau kamu menjauh sehabis inㅡ”

“Nggak. Nggak.” Seungwoo segera menggelengkan kepala, mencoba menyelaraskan pemahaman sebelum semuanya menjadi sebuah kesalahpahaman. “Aku nggak akan menjauh atau gimana. Aku cuma mau pastiin dulu perihal yang kamu ucapin tadi.”

“Kamu...gay?”, tanya Seungwoo, pelan-pelan. Keheningan tercipta beberapa detik sebelum akhirnya Byungchan memberi anggukan kecil.

Sungguh. Jika boleh jujur, Seungwoo rasanya ingin berteriak saat itu juga. Ingin menyerukan rasa bahagianya. Ingin segera menghamburkan diri untuk memeluk Byungchan, segera menyatakan suka. Kali ini, tidak perlu ada ragu akan menerima penolakan karena Byungchan juga sama sepertinya!

Namun, semua keinginannya itu seakan dihalangi oleh akal sehatnya. Akalnya seakan menyadarkan bahwa pasti ada alasan lain, hingga Byungchan memilih untuk jujur perihal ini kepadanya.

Jika dilihat dari film atau drama yang sering Seungwoo saksikan, biasanya di situasi begini...pihak yang memberikan pengakuan tentang dirinya memilih untuk membeberkan rahasia kepada seseorang yang sudah ia anggap sebagai keluarganya sendiri. Karena sudah dianggap sangat nyaman layaknya saudara sendiri, maka dari itu Byungchan memilih Seungwoo sebagai tempat untuk membeberkan rahasianyㅡ

“Kamu..” “..masih mau temenan?” “Sama aku.”

Oh. Iya juga.

Saat ini, teman Byungchan hanyalah Seungwoo. Saat ini, mungkin saja Byungchan membeberkan rahasianya bukan karena ia merasa nyaman dengan Seungwooㅡ namun karena...ya, hanya Seungwoo satu-satunya tempat yang bisa ia beri pengakuan.

Paham dengan situasi dan kemungkinan akan posisi dirinya, Seungwoo mengulas senyum tipis dan menepuki puncak kepala Byungchan. Tangannya bergerak kecil di atas kepala si lelaki Choi, memberi usakan. “Udah janji, 'kan?”

“Aku bakal jadi temen kamu. Aku nggak akan ninggalin kamu.”

“Lagian, orang kolot kayak apaan yang masih berpikir bahwa punya preferensi berbeda itu adalah sebuah aib, coba? Nggak, kok. Cinta ituㅡ bebas. Dari siapa mau mencintai ke siapa, semua punya hak.”

Byungchan menundukkan kepala, tangannya memainkan ujung kausnya sendiri. Terlihat gugup. “Aku cuma takut...”

“Om sama Tante..” “Kak Sunhwa..” “Kak Seungho juga..”

“Gimana kalau mereka jijik?”

Seungwoo terkekeh, merasa geli akan pemikiran Byungchan. Dalam hati, ia berandaiㅡ jika Byungchan tahu bahwa Seungwoo memiliki preferenai berbeda, pasti kegundahan perihal mengundang rasa jijik di mata keluarga Han ini tidak akan ada.

“Nggak.” “Nggak akan.”

“Mama Papa aku, orangnya beneran berpikiran terbuka. Walaupun usianya udah nggak lagi muda, beliau berdua beneran hebat buat mengikuti perkembangan zaman. Otaknya nggak kolot.”

“Kamu nggak perlu takut,” lanjut Seungwoo. “Keluargaku nggak akan ngejauhin kamu, atau ngelarang kamu buat main ke rumah cuma gara-gara hal ini.”

Lucu. Byungchan yang tengah tersenyum, lucu.

Lihat. Lihat, coba. Sekarang, si lelaki Choi itu tidak lagi terlihat gundah, lelaki itu tidak lagi memilin ujung kausnya karena gugup. Sekarang, si lelaki jangkung itu mengangkat kepalanya, memandangi Seungwoo lurus-lurus. Memasang senyum termanisnya dan mengujarkan tanya dengan nada semangat, “beneran?”

Seandainya. Seandainya saja, Seungwoo lebih berani untuk mengungkapkan perasaannya saat ini.

Seandainya. Seandainya saja, Seungwoo tidak perlu mempertimbangkan banyak kemungkinan.

Mungkin sekarang bukan hanya tangan kanan Seungwoo yang ada di atas kepala Byungchan. Mungkin sekarang, kedua tangannya sudah merengkuh tubuh lelaki itu ke dalam pelukan. Mengatakan sayang. Mengatakan suka. Mengatakanㅡ segala rasa yang ada.

“Iya.” “Beneran.”

Seandainya saja, Seungwoo lebih berani.

“Ya udah, ayo makan ramyeonnya. Habis itu aku anter pulang. Nanti Tante kamu ngomel lagi, nggak enak, 'kan?”

Mungkin, semua akan lebih berarti.