Seungwoo tertidur dengan sangat pulas. Mungkin itu akibat malam-malamnya yang kemarin terlewati dengan penuh rasa berdebar karena membayangkan akan seperti apa situasi ketika ia melamar Byungchan, atau karena ia merasa tenang bisa bertemu Byungchanㅡ? Entahlah, yang pasti malam ini Seungwoo merasa senang bukan main.
Mungkin hal itu yang membuat ia bisa tertidur di dalam mobil, padahal tubuhnya tidak bisa berbaring nyaman. Membayangkan sebentar lagi ia bisa bertemu dengan Byungchan, rasanya membuat Seungwoo rela menghabiskan waktu berjam-jam dengan cara apapun.
Berlebihan? Mungkin. Kasmaran memang begini rasanya, ya?
DDDDRRRRRT. DRRRRRTTTT. DRRRRRTTTT.
Hingga akhirnya, Seungwoo terbangun karena getar panjang; notifikasi dari ponselnya. Dengan tergesa, bahkan tanpa sempat mengecek berbagai notifikasi lain yang sudah masuk terlebih dahulu, Seungwoo segera mengangkat panggilan telefon yang masuk ke ponselnya.
Dari Byungchan.
Tak urung, senyum lebar segera terpampang di wajah Seungwoo seiring dengan tangannya yang mengarahkan speaker ponselnya ke telinga. “Halo? B? Udah sampe?”
“Aku di Mapo juga.” “Bukan di jembatannya.” “Aku sedikit maju dari sana.” “Tunggu. Aku puter balik.”
Tanpa menunggu lama, Seungwoo memutar balik kemudi mobil. Jalanan Mapo saat ini memang sangat gelap. Hanya ada cahaya penerangan lampu dari selusur pegangan pembatas jembatan, tidak cukup terang untuk menerangi jalanan. Namun bagi Seungwoo, sosok Byungchan sudah sangat bercahaya.
Yuck. Bahkan Seungwoo sendiri jijik dengan pemikirannya barusan. Dasar, jatuh cinta ternyata memang bisa membuat seseorang jadi senorak ini, ya?
Lihat saja. Bahkan dari jarak segini, Seungwoo bisa melihat sosok Byungchan yang tengah berdiri di pinggir kanan trotoar jembatan Mapo. Mobil Seungwoo ada di lajur kiri, posisi mereka sekarang bersebrangan.
Seungwoo menepikan mobilnya untuk berhenti di lajur kiri jalanan. Lampu hazard dinyalakan, sebagai tanda apabila ada pengemudi di belakangnya agar bisa berhati-hati dalam melaju.
“Hei, cowok,” ujar Seungwoo dari dalam mobilnya. Kaca jendela pada bangku pengemudi diturunkan, agar bisa berbincang dengan Byungchan yang sekarang berdiri di sisi kanan trotoar; bersebrangan dengan pisisi Seungwoo. “Sendirian aja, nih?”
Byungchan tertawa kecil, menganggap ujaran Seungwoo barusan benar-benar sangat bodoh. “Kenapa kalau sendirian, mau digodain?”, Byungchan balas bertanya. Seungwoo mengangkat bahu dan memasang ekspresi jahil, “nggak. Kayaknya kamu udah punya pacar. Pacarnya ganteng, pasti. Aku nggak bakal bisa menang.”
Byungchan menggeleng-gelengkan kepala, tidak habis pikir dengan kepercayaan diri kekasihnya ini. “Udah, ah. Aku boleh ke sana, nggak?”, tanya si lelaki Choi dan dibalas dengan anggukan super cepat dari Seungwoo. Bahkan si lelaki Han sampai keluar dari mobil, berniat untuk membukakan pintu kursi penumpang ketika Byungchan naik.
Semua masih terasa normal. Seungwoo bahkan bisa membayangkan segala yang akan terjadi dalam beberapa detik setelahnya. Adalah Byungchan yang berdiri di hadapannya. Adalah Byungchan yang masuk ke dalam mobilnya dan mereka yang segera saling berbincang seru selama mobil melaju. Adalah Seungwoo yang akhirnya memperlihatkan kotak berisi cincin yang sudah ia persiapkan dari berhari-hari lalu.
Seungwoo bisa membayangkan segalanya. Semuanya akan semanis itu. Semua akan sebahagia itu.
Hingga akhirnya, semua seakan menjadi kepingan puing tidak berarti. Semua hanya menjadi harap semu semata.
Rasanya Seungwoo seakan tuli ketika telinganya menangkap suara klakson mobil yang berseru nyaring. Rasanya mata Seungwoo seakan ditusuki oleh benda tajam ketika matanya menangkap sorotan lampu yang sangat terang. Rasanyaㅡ kaki Seungwoo seakan tertanam sepenuhnya ke aspal, tidak bisa bergerak sama sekali ketika melihat sebuah mobil SUV berwarna putih tengah melaju cepat ke arah Byungchan yang masih menyeberang ke arahnya.
Seungwoo pernah berjanji kepada dirinya sendiri, bahwa ia tidak akan pernah memasukkan adegan kecelakaan tidak bermutu yang sering muncul di drama-drama Korea ke dalam film yang nanti akan dia sutradarai. Karena oh, ayolah...semua adegan kecelakaan di drama itu sama sekali tidak masuk akal! Bagaimana bisa seseorang tidak sadar ketika ada mobil yang melaju ke arahnya? Lalu bagaimana bisa orang yang ada di sekitar korban sebelum kecelakaan terjadi tidak bisa sekedar meneriakkan kata AWAS, coba?
Semua adegan kecelakaan di drama, semuanya tidak masuk akal. Seungwoo selalu berpikiran demikian.
Hingga akhirnya, semua pemikiran itu harus ia telan bulat-bulat. Harus ia terima dengan sepenuh-sepenuhnya.
Semua, benar. Kecelakaan di dalam drama, tidak mengada-ngada. Semua memang benar adanya.
Ketika mobil melaju, seseorang yang ada di sekitar korban akan merasa mulutnya seperti dikunci rapat-rapat. Tidak bisa berteriak. Tidak bisa menyerukan kata AWAS.
Ketika mobil melaju, seseorang yang ada di sekitar korban akan merasa kakinya seperti lumpuh. Mati rasa. Tidak bisa bergerak.
Seungwoo juga demikian. Ia ingin berlari, ia ingin berteriak. Namun semua indera tubuh dan semua syaraf tubuhnya tidak ada yang mau mengikuti.
Beku. Kaku. Tidak tahu kemana harus melaju.
Waktu seakan berputar lambat. Waktu seakan berjalan dengan kecepatan yang tidak masuk akal lambatnya. Seungwoo, tidak bisa bergeraㅡ
Bodoh. Tolol. Lari! LARI!!!
Otak Seungwoo terus-terusan berseru demikian kepada semua syarafnya. Memaksa untuk bergerak, memaksa untuk berlari menyelamatkan Byungchan.
Itu Byungchan!!! Byungchan, bodoh!!! ITU BYUNGCHAN!!
Seruan dalam kepala Seungwoo berakhir. Berganti dengan suara denging panjang yang seakan tidak ada hentinya. Yang bisa Seungwoo lihat berikutnya adalah tubuh Byungchan dalam pelukannya, dengan kepala yang bersimbah darah dan kaki yang terlipat lemah.
Tubuh Seungwoo sakit. Sakit bukan main. Panas; dari kulit hingga seluruh organ dalamnya, semua terasa panas. Tenggorokannya seakan dipenuhi oleh sesuatu, membuatnya tidak tahan untuk terbatuk. Namun yang membuatnya terkejut, batuk yang ia lakukan barusan malah mengeluarkan darah yang kini terhambur ke atas kemeja biru muda yang dikenakan Byungchan.
“By—yung—ch-an?”
Seungwoo mencoba memanggil Byungchan, walaupun sekarang bibirnya sudah tidak jelas rasanya. Mungkin robek? Mungkin...terluka dalam bentuk yang lebih parah?
Byungchan masih belum menjawab panggilannya. Tubuhnya masih terkulai lemah di pelukan Seungwoo. Mereka masih tergeletak di tengah jalanan, dengan hanya satu unit mobil lain yang berada di belakang mereka.
Mobil SUV putih, dengan mesin yang menyala dan lampu yang menyorot terang.
“Tol—ong..” “Tolong.. tolong B—yung-chan..”
Si lelaki Han merintih, tangannya dipaksakan untuk melambai ke arah mobil SUV di belakang mereka.
Seungwoo tidak merasakan dirinya sebagai prioritas utama. Seungwoo tidak mempedulikan dirinya sendiri. Ia hanya ingin Byungchan bisa diselamatkan, dengan cara apapun.
Byungchan harus selamat. Byungchan harus hidup.
Namun pengemudi di mobil SUV putih itu tidak memberi respon apapun. Jangankan menolong, bahkan untuk keluar dari dalam mobil punㅡ sama sekali tidak.
Seakan tidak cukup membuat semua menjadi semakin parah, mobil SUV putih itu melaju begitu saja. Menghindari Byungchan dan Seungwoo yang masih tergeletak di aspal, tidak berdaya melakukan apapun. Terlalu lemah, terlalu sakit.
Sepeninggal mobil SUV itu, dalam sekejap semua menjadi gelap. Tidak ada lagi cahaya terang yang menyorot mereka berdua, hanya ada cahaya temaram dari lampu-lampu yang menyala di pegangan pembatas jembatan Mapo. Seungwoo kehabisan tenaga, Seungwoo terlalu dilanda rasa panik ketika melihat Byungchan yang masih tidak sadarkan diri di dalam pelukannya.
Tiba-tiba, pandangan Seungwoo sedikit buram karena cairan yang mengalir ke pelupuk matanya. Tangan si lelaki Han menyentuh kepalanya sendiri dan setelahnyaㅡ telapak tangan itu sudah dipenuhi oleh lumuran darah.
Tidak hanya Byungchan. Seungwoo, ia juga dalam kondisi yang sama parahnya. Atau malah mungkin lebih parah.
Kenapa, tanyamu? Karena barusan, barusan saja pandangannya tiba-tiba gelap. Hanya sekejap, memang. Seperti hanya sepersekian detik, namun Seungwoo merasakan dunia tiba-tiba gelap seluruhnya padahal jelas-jelas ia tengah membuka mata.
Ketika pandangannya kembali membawa warna, ia segera menatap Byungchan. Seungwoo paham, tidak ada yang bisa menyelamatkan lelaki ini selain dirinya sendiri.
Mencoba menahan semua rasa sakit yang merajam diri, Seungwoo berusaha bangkit dari atas aspal. Mencoba berdiri dan menggendong tubuh Byungchan ke dalam rengkuhannya. Bukan perkara mudah, karena Seungwoo merasa pergelangan kakinya terkilir. Melangkah sekali, rasanya sama saja dengan memukuli tubuh Seungwoo dengan ratus kali cambukan.
“Byung—c-han..” “Tahan sebentar lagi..”
Lagi. Pandangan Seungwoo lagi-lagi gelap untuk beberapa saat hingga akhirnya kembali lagi membawa warna. Lagi. Seungwoo paham, waktunya tidak banyak. Dunianya bisa saja menjadi gelap lagi dalam sekejap.
Dengan langkah kaki yang dipaksakan juga dengan bibir yang digigit kuat-kuat karena berusaha menahan semua sakit yang dirasa, akhirnya Seungwoo bisa kembali ke mobilnya.
Seakan lupa bahwa dirinya juga tengah terluka, ia membaringkan tubuh Byungchan di kursi penumpang bagian belakang dengan sangat hati-hati. Tidak ingin membuat kekasihnya kesakitan lebih banyak lagi.
“Jangan mati..” “Jangan mati, Byungchan..”
“Kamu harus hidup..”
Dalam perjalanannya ke rumah sakit, Seungwoo terus-terusan merapalkan kalimat itu. Entah kepada siapa, tidak ada yang mendengar. Sekelebat, semua ingatan tentang pertemuan pertama mereka di jembatan Mapo kembali terulang.
Tentang bagaimana Seungwoo memeluk tubuh Byungchan dari belakang agar ia tidak lompat dari jembatan Mapo. Tentang bagaimana ia berkali-kali meneriakkan kalinat jangan mati kepada si lelaki Choi. Tentang bagaimana Seungwoo merasa bahagianya datang di saat matanya bertatapan dengan mata Byungchan.
Kali ini juga demikian.
Seungwoo memeluk tubuh Byungchan di jembatan Mapo. Dengan alasan yang sama, agar lelaki itu tidak mati.
Kali ini juga demikian.
Seungwoo berkali-kali mengucapkan kalimat yang sama; jangan mati, kepada Byungchan.
Kali ini juga demikian.
Seungwoo tidak pernah merasa menyesal telah melakukan ini semua. Seungwoo tidak akan pernah menyalahkan Byungchan atas alasan apapun yang nantinya akan muncul di hidupnya.
Karena Byungchan, selamanya akan menjadi kebahagiaan abadi bagi Seungwoo.
“Jangan..” “..matiㅡ”
Mobil yang dikendarai Seungwoo masuk ke pelataran pintu masuk rumah sakit Universitas Hanyang. Tepat pada saat itu, pandangannya menjadi sangat buram. Seungwoo merasa diserang kantuk yang teramat sangat.
“Tetap hidup..”
Seungwoo menoleh ke arah belakang, menatap Byungchan yang terbaring lemah di sana. Seungwoo berusaha menangkap semua pandangan tentang Byungchan malam ini.
Tentang senyum lelaki itu. Tentang tawa lelaki itu. Tentang kekasihnya.
Semua tentang Byungchan, yang mungkin saja tidak bisa ia temui lagi di lain hari lagi nantinya.
DDDDDDDDIIIIIIIIIIIINNNNNN!
Suara klakson mobil milik Seungwoo terdengar nyaring seiring dengan kepala si lelaki Han yang terkulai lemas di atas kemudi mobil.
Sebelum kesadarannya hilang, Seungwoo menyadari satu hal; dunianya gelap. Pekat.
Tidak berwarna. Tidak ada apa-apa.
Kosong. Tanpa Byungchan.