“Kak Krishna?”
Krishna tidak mengubah posisi tangannya yang sedang menopang dagu dengan tatapan yang ditujukan lurus-lurus ke wajah Raesaka. Mereka berdua sedang duduk berhadapan di salah satu meja cafe yang ada di sekitar Prawirotaman. Senandung musik terdengar di seluruh penjuru ruangan walaupun tidak disetel dalam volume keras-keras; seakan paham bahwa saat ini Krishna lebih ingin mendengar helaan nafas Raesaka dibandingkan lantunan musik sebagus apapun.
“Kak?” Merasa panggilannya tidak dihiraukan, Raesaka menggerakkan sebelah tangannya ke depan wajah Krishna beberapa kali. Hingga akhirnya si yang lebih tua mengalihkan fokusnya yang semula tertuju ke wajah Raesaka menjadi ke telapak tangan si lelaki di hadapan. “Eh? Apa?”, tanya Krishna seraya mengerjapkan matanya beberapa kali. Rupanya ia juga tidak sadar bahwa dirinya sempat termenung selama beberapa saat. “Sorry, gue ngelamun tadi.”
Raesaka tertawa. “Iya, saya tau Kakak ngelamun, kok. Matanya dari tadi ngeliatin muka saya terus sampai saya jadi grogi sendiri.” Usai dengan kalimatnya, Raesaka mendorong gelas berisi jus stroberi yang Krishna pesan ketika mereka tiba di cafe ini. “Ayo, diminum dulu ini jusnya. Keburu nggak dingin, lho, kalau dianggurin terus, Kak.”
Raesaka memesan jus jeruk. Pemandangan si lelaki yang sekarang sedang menyesap minuman jeruk miliknya itu sempat membuat Krishna kembali terdiam. Ia mengingat sesuatu. “Saka...”
“Ya, Kak Krishna?”
“Sejak kapan lo suka jus jeruk?”, tanya Krishna dan segera dibalas dengan alis Raesaka yang sedikit bertaut; menggambarkan kebingungannya. “Saya— sejak kapan suka jus jeruk?”, ulang Raesaka.
Tak lama, tawa kecil kembali terdengar dari bibir si yang lebih muda. “Saya suka jus jeruk dari dulu, kok, Kak. Diantara semua jus, saya paling suka jus jeruk.”
Jawaban Raesaka membuat Krishna tertegun. Ia teringat di masa depan, Krishna selalu menganggap bahwa minuman kesukaan Raesaka adalah jus apel. “Lo— nggak suka jus apel?”, tanya Krishna dengan sedikit harapan bahwa Raesaka akan menjawab tidak. Akan tetapi, yang Krishna dapatkan malah anggukan kepala dari Raesaka. “Saya nggak suka jus apel, Kak. Rasanya agak gimana gitu.”
“Kamu beliin aku jus apel, sayang? Wah, makasih banyak, ya? Nanti aku minum. Eh? Apa? Kamu tanya aku suka jus apelnya atau nggak? Hahaha, pertanyaan kamu 'tuh kadang suka aneh-aneh aja, deh. Apapun itu yang kamu beliin buat aku, apalagi dengan situasi kamu yang beli sesuatu itu sambil mikirin aku adalah hal yang bakal selalu aku sukai, Krishnaku sayang.”
“Lo— nggak suka jus apel?”, ulang Krishna dengan nada suara yang getir. Wajah Raesaka yang berusia dua puluh tahun di hadapannya seakan bersinggungan dengan wajah Raesaka, lelaki berusia tiga puluh tahun dengan kacamata bacanya yang lumayan tebal, dan semua itu malah semakin membuat Krishna merasakan nyeri tak teridentifikasi di dadanya. “Terus— kenapa lo nggak bilang...?”
“Saya...nggak bilang?”, tanya Raesaka dengan suara berbisik. Tampak jelas bahwa si lelaki berkulit kecoklatan sedikit kebingungan dengan alur perbincangan antara mereka berdua saat ini. Di lain sisi, Krishna menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia berupaya untuk tidak mengalirkan air matanya di sini, tidak di hadapan Raesaka. Walaupun untuk mengusahakan hal itu, Krishna harus berupaya sangat keras karena sekarang perasaannya diliputi emosi yang campur aduk. Perasaan marah, kesal, sesal, dan jutaan negatif lainnya yang membuat Krishna terus menarik nafasnya dalam-dalam agar tidak meledak di dalam cafe.
“Kak? Kak Krishna saki—”
“Saka...” Krishna berujar kecil, menyela kalimat yang barusan ditanyakan oleh Raesaka. “Boleh gue tau warna kesukaan lo apa?” Bukan tanpa alasan jika Krishna menanyakan hal itu karena sejauh yang ia ingat, Raesaka terus dibelikan segala sesuatu dengan warna biru dari kekasihnya. Krishna menganggap warna biru sangat cocok dengan Raesaka dan tentunya, apapun yang terlihat bagus sudah pasti akan menjadi kesukaan orang yang bersangkutan, bukan?
“Saya suka warna hitam, Kak.”
“Wow! Serius kamu beliin baju ini buat aku? Suka! Aku suka banget! Apa? Kamu takut aku nggak suka sama warna birunya? Nggak, lah, sayangku. Aku suka apapun yang kamu beliin buat aku. Makasih, ya? Sini dulu, dong. Aku mau peluk kesayangan aku. Krishnanya aku, sini!”
“Makanan yang lo suka?”
“Apapun, selain sashimi, Kak.”
“Sayang... Boleh nggak kita nggak ke restoran ini? Iya, aku tau kamu mau makan sashimi tapi— okay, okay, okay. Jangan ngambek gitu, dong. Akunya jangan dicemberutin begitu. Ya udah, ayo kita makan sashimi, ya, sayangku? Hm? Jangan manyun gitu, dong. Akunya jadi mau cium, nih. 'Kan nggak lucu kalau aku cium kamu di sini.”
“Anjing...” Krishna mengumpat di balik tangan yang menutupi wajahnya. “Tolol... Krishna, lo tolol banget, sumpah...”, bisik si lelaki yang lebih tua. Kalimat yang terdengar seperti racauan masih diujarkan oleh Krishna dengan suara yang lebih dapat dikategorikan sebagai cicitan. “Kenapa lo nggak bisa sadarin hal itu, sih, Krishna?”
“Kak...” Raesaka meraih lengan Krishna dengan gerak perlahan. “Kak Krishna, hei. Kak? Kak Krishna sakit?” Tangan si yang lebih muda sekarang sudah mengusapi lengan Krishna, berupaya menyampaikan kekhawatirannya yang serupa. “Kak? Dari tadi saya khawatir sama Kakak. Kayaknya Kakak lagi banyak pikiran, ya? Kak Krishna mau pulang aja? Yuk, Kak? Saya anter pulang aja, y—”
Kalimat Raesaka terputus tatkala tangannya yang semula sedang mengusapi lengan Krishna kini digenggam erat oleh si pemilik raga. Genggaman di tangan si yang lebih muda dieratkan kemudian dituntun untuk lebih mendekati wajahnya sendiri. Tangan Raesaka yang digenggam Krishna kini dijadikan sandaran bagi kening si yang lebih tua.
Krishna memejamkan mata sementara kuasanya kini mengarahkan tangan Raesaka yang sedang digenggam untuk mendekati bibir. Di dalam genggamannya sendiri, Krishna mencium tangan Raesaka. Dalam-dalam, seakan ingin menyampaikan segala permintaan maaf karena tidak pernah berusaha untuk mengetahui tentang lelaki ini.
“Saka... Gue bener-bener minta maaf, Ka,” ujar Krishna dengan suara lirih. “Gue bego banget. Gue tolol banget. Gue— bener-bener nggak pantes buat dapetin lo yang sebaik ini. Demi apapun, kenapa gue segoblok ini, sih, Ka?”
“Sshh, Kak Krishna... Hei, jangan ngomong begitu, ah, Kak.” Raesaka ikut menggenggam tangan Krishna dengan sama eratnya. Beruntung, keduanya mengambil posisi duduk di meja yang agak berada pada sudut ruangan dan beruntung pula suasana cafe saat ini tidak ramai. Sepi, hanya diisi oleh mereka berdua. Tidak akan ada yang menaruh perhatian kepada dua lelaki yang sekarang sedah saling menggenggam tangan erat-erat. “Kakak nggak bodoh, kok. Jangan ngomong kayak begitu lagi. Jangan jelek-jelekin diri Kak Krishna sendiri.”
“Tapi kenyataannya emang begitu, Saka! Gue goblok banget, demi Tuhan! Lo tau? Kita pacaran lama banget di masa depan tapi gue bahkan nggak pernah tau hal-hal yang lo sukain, Ka. Gue nggak tau kalau lo suka warna item, selama ini gue kira lo suka warna biru! Gue nggak tau lo suka jus jeruk, bukannya jus apel yang selama ini selalu gue pesanin buat lo setiap kali kita makan bareng! Lo nggak suka sashimi tapi gue sering maksa lo buat makan di restoran yang...” Krishna memotong ucapannya, tidak mampu menahan rasa sakit yang sekarang menyerang dadanya tanpa ampun. “...restoran yang cuma sajiin makanan mentah, Saka.”
“Gue bego banget...” Tangan Krishna yang semula menggenggam tangan Raesaka kini dilepaskan, berganti memukuli kepalanya sendiri dengan cukup keras. “Bego! Krishna goblok banget! Tolol, anjing! Lo idiot, Krishna!”
“Kak. Hei, Kak Krishna... Sssh— hei, kepalanya jangan dipukulin begitu, Kak... Kak Krishna, berhenti.” Raesaka tidak berbicara dengan nada yang dibuat menekankan agar Krishna berhenti melakukan tindakannya. Nada bicara Raesaka terdengar tenang namun tangannya tetap digerakkan agar mampu berupaya menggenggam kembali kuasa Krishna yang masih terus memukuli kepalanya sendiri. “Kak Krishna, nanti kepalanya sakit...”
“Lo nggak punya otak, Krishna! Kepala lo ini fungsinya apa, sih?! Otak dipake! Jangan cuma gedein ego lo sendiri, bego! Goblo—”
Raesaka berhasil meraih tangan Krishna. Segera, kuasa si yang lebih tua digenggam kuat-kuat. Dengan tangannya yang kurus, Raesaka berupaya semampu yang ia bisa untuk menahan tindakan Krishna. “Sssh... Kak. Udah, cukup. Udah, ya? Kasian, nanti sakit kepalanya...”
“Biar! Biar aja kepala gue pecah sekalian! Nggak guna!” Krishna hampir berteriak saking terlampau larut dengan segala emosinya sendiri. Raesaka tidak melakukan hal lain selain tetap berupaya menahan gerak tangan Krishna yang terus memberontak hingga pada akhirnya, Krishna kelelahan sendiri. Krishna sekarang terdiam, namun isakan tangisnya jelas terdengar. “Saka...”, bisik Krishna lirih. “Gue bener-bener minta maaf...”
“Maafin gue...”
Sepanjang Krishna disibukkan dengan emosinya, mata Raesaka tidak pernah lepas dari sosok si yang lebih tua. “Kak Krishna,” ucap Raesaka. “Apa di masa depan, kita juga adalah pasangan yang begini?”
“Pasangan yang cuma saling nyalahin diri sendiri karena ngerasa nggak cukup baik untuk satu sama lain? Pasangan yang harus selalu saling cegah satu sama lain agar nggak lakuin tindakan berbahaya? Pasangan yang—”, Raesaka mengambil jeda dari kalimatnya. “—nggak bahagia?”
Krishna masih terisak, akan tetapi kini kepalanya menggeleng cepat. “Gue bahagia, Saka. Gue bahagia banget. Selama gue menjalin hubungan dengan seseorang, gue nggak pernah ngerasain bahagia yang melebihi ketika gue lagi bareng sama lo. Gue bahagia...”, Krishna menghela nafas di tengah tangisannya. “Gue cuma ngerasa bersalah karena gue ngerasa lo nggak bahagia selama barengan sama gue, Saka.”
Sakit. Ulu hati Krishna kembali merasakan sakit tatkala ia mengangkat pandangannya dan menangkap sosok Raesaka yang lagi-lagi bersinggungan dengan sosok lelaki berusia tiga puluh tahun dengan kacamata bacanya. Ya Tuhan, Krishna rindu Raesakanya. “Lo nggak mungkin bahagia sama gue yang nggak tau apa-apa tentang lo...”
Perlahan, tangan Raesaka yang sedang menggenggam tangan Krishna didekatkan ke dada si yang lebih muda. Raesaka membiarkan tangan Krishna berada di dadanya. Membiarkan si yang lebih tua merasakan degup jantungnya. “Kak Krishna,” ucap Raesaka. “Kakak bisa rasain detak jantung saya?”
Krishna bisa merasakannya. Degup jantung Raesaka berdebar sangat cepat. “Bisa, Kak?”, tanya Raesaka ketika tidak kunjung mendapatkan jawab dari Krishna. Si yang lebih tua memberi anggukan. “Bisa...”, jawab Krishna lirih.
“Itu debar jantung saya setiap kali ada di deket Kak Krishna,” ujar Raesaka. “Saya selalu deg-degan. Saya selalu ngerasa jantung saya bisa lompat dari dalam badan saya kalau Kakak ada di jarak dekat. Saya sebegininya mendamba sosok Kak Krishna.”
“Dan saya yakin...”, lanjut si lelaki Danadyaksa. “...saya di sepuluh tahun kemudian juga pasti ngerasain hal yang sama setiap kali ada di deket Kak Krishna. Saya yakin, saya yang lebih tua usianya sepuluh tahun di masa depan ngerasain bahagia setiap kali Kakak kasih tatapan lekat-lekat kayak yang Kak Krishna kasih lihat ke saya tadi.”
“Saya yakin, Kak. Saya yakin diri saya di sepuluh tahun ke depan akan selalu sayangin Kakak dengan penuh, sama seperti yang saya rasain sekarang. Malah mungkin, dia sayangin Kakak dengan jauh— jaaaauh lebih penuh.” Raesaka mengulas senyum. “Tanpa ada kadar berkurangnya sedikitpun.”
“Kak Krishna.” Jika tadi Krishna mencium tangan Raesaka di dalam genggamannya, sekarang situasi berubah terbalik. Raesaka mencium tangan Krishna yang sedang ia genggam. “Saya cinta Kak Krishna.”
“Dan saya yang dimaksud di sini adalah saya, Raesaka Danadyaksa. Saya dalam wujud yang tidak terhingga. Saya di umur dua puluh tahun. Saya di umur tiga puluh tahun. Juga saya di usia— yang mungkin nggak bisa lagi dihitung dalam bilangan angka.”
“Saya selalu bahagia, asalkan saya— ada di samping Kak Krishna.” Lagi, Raesaka membubuhkan kecup di tangan Krishna yang sedang ia genggam. “Jangan ngerasa kalau Kakak udah bikin saya sedih, ya?”
“Lagian apa gunanya coba tau makanan kesukaan, warna kesukaan, sama buah kesukaan—? 'Toh Kak Krishna udah kasih sesuatu yang jadi kesukaan mutlak saya, kok.” Raesaka melepaskan genggamannya di tangan Krishna kemudian mengarahkan telunjuk kanannya ke pipi kanan Krishna. “Ini.”
“Lesung pipi yang muncul setiap kali Kak Krishna senyum. Kakak selalu kasih saya hal kesukaan yang mutlak dan ini jauh lebih berharga daripada warna kesukaan saya, makanan kesukaan saya, atau buah kesukaan saya.”
“Ayo senyum, dong. Biar saya bisa liat kesukaan mutlaknya saya,” ujar Raesaka dengan nada jenaka dan membuat Krishna tak urung mengikuti perkataan si lelaki di hadapan. Bibir Krisna mengulas senyum sehingga menjadikan lesung pipi yang ditunjuk oleh jari Raesaka terlihat jelas.
“Nah, 'kan. Kalau begini enak dilihatnya daripada nangis terus,” ucap Raesaka. Tangannya kembali menggenggam tangan Krishna diiringi dengan ibu jari yang mengusapi punggung tangan si kakak tingkat. “Jangan nangis lagi, ya, Kak?”
“Karena kalau senyuman Kak Krishna itu kebahagiaan mutlak saya...”, Raesaka mengecup tangan Krishna sebelum kembali mengujarkan kalimatnya. “Maka tangisan Kakak itu adalah kesedihan mutlak buat saya.”
Ruang cafe yang Krishna dan Raesaka tempati benar-benar kosong, hanya diisi oleh mereka berdua. Tidak banyak suara yang mengiterupsi keduanya. Hanya ada suara detik jarum jam dinding mengganggu; seakan ingin memberi tahu bahwa ada sesuatu yang tidak bisa diperintahkan untuk menunggu.
Sisa waktu Raesaka hanya tinggal enam jam.