dontlockhimup

“Kak Krishna?”

Krishna tidak mengubah posisi tangannya yang sedang menopang dagu dengan tatapan yang ditujukan lurus-lurus ke wajah Raesaka. Mereka berdua sedang duduk berhadapan di salah satu meja cafe yang ada di sekitar Prawirotaman. Senandung musik terdengar di seluruh penjuru ruangan walaupun tidak disetel dalam volume keras-keras; seakan paham bahwa saat ini Krishna lebih ingin mendengar helaan nafas Raesaka dibandingkan lantunan musik sebagus apapun.

“Kak?” Merasa panggilannya tidak dihiraukan, Raesaka menggerakkan sebelah tangannya ke depan wajah Krishna beberapa kali. Hingga akhirnya si yang lebih tua mengalihkan fokusnya yang semula tertuju ke wajah Raesaka menjadi ke telapak tangan si lelaki di hadapan. “Eh? Apa?”, tanya Krishna seraya mengerjapkan matanya beberapa kali. Rupanya ia juga tidak sadar bahwa dirinya sempat termenung selama beberapa saat. “Sorry, gue ngelamun tadi.”

Raesaka tertawa. “Iya, saya tau Kakak ngelamun, kok. Matanya dari tadi ngeliatin muka saya terus sampai saya jadi grogi sendiri.” Usai dengan kalimatnya, Raesaka mendorong gelas berisi jus stroberi yang Krishna pesan ketika mereka tiba di cafe ini. “Ayo, diminum dulu ini jusnya. Keburu nggak dingin, lho, kalau dianggurin terus, Kak.”

Raesaka memesan jus jeruk. Pemandangan si lelaki yang sekarang sedang menyesap minuman jeruk miliknya itu sempat membuat Krishna kembali terdiam. Ia mengingat sesuatu. “Saka...”

“Ya, Kak Krishna?”

“Sejak kapan lo suka jus jeruk?”, tanya Krishna dan segera dibalas dengan alis Raesaka yang sedikit bertaut; menggambarkan kebingungannya. “Saya— sejak kapan suka jus jeruk?”, ulang Raesaka.

Tak lama, tawa kecil kembali terdengar dari bibir si yang lebih muda. “Saya suka jus jeruk dari dulu, kok, Kak. Diantara semua jus, saya paling suka jus jeruk.”

Jawaban Raesaka membuat Krishna tertegun. Ia teringat di masa depan, Krishna selalu menganggap bahwa minuman kesukaan Raesaka adalah jus apel. “Lo— nggak suka jus apel?”, tanya Krishna dengan sedikit harapan bahwa Raesaka akan menjawab tidak. Akan tetapi, yang Krishna dapatkan malah anggukan kepala dari Raesaka. “Saya nggak suka jus apel, Kak. Rasanya agak gimana gitu.”

“Kamu beliin aku jus apel, sayang? Wah, makasih banyak, ya? Nanti aku minum. Eh? Apa? Kamu tanya aku suka jus apelnya atau nggak? Hahaha, pertanyaan kamu 'tuh kadang suka aneh-aneh aja, deh. Apapun itu yang kamu beliin buat aku, apalagi dengan situasi kamu yang beli sesuatu itu sambil mikirin aku adalah hal yang bakal selalu aku sukai, Krishnaku sayang.”

“Lo— nggak suka jus apel?”, ulang Krishna dengan nada suara yang getir. Wajah Raesaka yang berusia dua puluh tahun di hadapannya seakan bersinggungan dengan wajah Raesaka, lelaki berusia tiga puluh tahun dengan kacamata bacanya yang lumayan tebal, dan semua itu malah semakin membuat Krishna merasakan nyeri tak teridentifikasi di dadanya. “Terus— kenapa lo nggak bilang...?”

“Saya...nggak bilang?”, tanya Raesaka dengan suara berbisik. Tampak jelas bahwa si lelaki berkulit kecoklatan sedikit kebingungan dengan alur perbincangan antara mereka berdua saat ini. Di lain sisi, Krishna menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia berupaya untuk tidak mengalirkan air matanya di sini, tidak di hadapan Raesaka. Walaupun untuk mengusahakan hal itu, Krishna harus berupaya sangat keras karena sekarang perasaannya diliputi emosi yang campur aduk. Perasaan marah, kesal, sesal, dan jutaan negatif lainnya yang membuat Krishna terus menarik nafasnya dalam-dalam agar tidak meledak di dalam cafe.

“Kak? Kak Krishna saki—”

“Saka...” Krishna berujar kecil, menyela kalimat yang barusan ditanyakan oleh Raesaka. “Boleh gue tau warna kesukaan lo apa?” Bukan tanpa alasan jika Krishna menanyakan hal itu karena sejauh yang ia ingat, Raesaka terus dibelikan segala sesuatu dengan warna biru dari kekasihnya. Krishna menganggap warna biru sangat cocok dengan Raesaka dan tentunya, apapun yang terlihat bagus sudah pasti akan menjadi kesukaan orang yang bersangkutan, bukan?

“Saya suka warna hitam, Kak.”

“Wow! Serius kamu beliin baju ini buat aku? Suka! Aku suka banget! Apa? Kamu takut aku nggak suka sama warna birunya? Nggak, lah, sayangku. Aku suka apapun yang kamu beliin buat aku. Makasih, ya? Sini dulu, dong. Aku mau peluk kesayangan aku. Krishnanya aku, sini!”

“Makanan yang lo suka?”

“Apapun, selain sashimi, Kak.”

“Sayang... Boleh nggak kita nggak ke restoran ini? Iya, aku tau kamu mau makan sashimi tapi— okay, okay, okay. Jangan ngambek gitu, dong. Akunya jangan dicemberutin begitu. Ya udah, ayo kita makan sashimi, ya, sayangku? Hm? Jangan manyun gitu, dong. Akunya jadi mau cium, nih. 'Kan nggak lucu kalau aku cium kamu di sini.”

“Anjing...” Krishna mengumpat di balik tangan yang menutupi wajahnya. “Tolol... Krishna, lo tolol banget, sumpah...”, bisik si lelaki yang lebih tua. Kalimat yang terdengar seperti racauan masih diujarkan oleh Krishna dengan suara yang lebih dapat dikategorikan sebagai cicitan. “Kenapa lo nggak bisa sadarin hal itu, sih, Krishna?”

“Kak...” Raesaka meraih lengan Krishna dengan gerak perlahan. “Kak Krishna, hei. Kak? Kak Krishna sakit?” Tangan si yang lebih muda sekarang sudah mengusapi lengan Krishna, berupaya menyampaikan kekhawatirannya yang serupa. “Kak? Dari tadi saya khawatir sama Kakak. Kayaknya Kakak lagi banyak pikiran, ya? Kak Krishna mau pulang aja? Yuk, Kak? Saya anter pulang aja, y—”

Kalimat Raesaka terputus tatkala tangannya yang semula sedang mengusapi lengan Krishna kini digenggam erat oleh si pemilik raga. Genggaman di tangan si yang lebih muda dieratkan kemudian dituntun untuk lebih mendekati wajahnya sendiri. Tangan Raesaka yang digenggam Krishna kini dijadikan sandaran bagi kening si yang lebih tua.

Krishna memejamkan mata sementara kuasanya kini mengarahkan tangan Raesaka yang sedang digenggam untuk mendekati bibir. Di dalam genggamannya sendiri, Krishna mencium tangan Raesaka. Dalam-dalam, seakan ingin menyampaikan segala permintaan maaf karena tidak pernah berusaha untuk mengetahui tentang lelaki ini.

“Saka... Gue bener-bener minta maaf, Ka,” ujar Krishna dengan suara lirih. “Gue bego banget. Gue tolol banget. Gue— bener-bener nggak pantes buat dapetin lo yang sebaik ini. Demi apapun, kenapa gue segoblok ini, sih, Ka?”

“Sshh, Kak Krishna... Hei, jangan ngomong begitu, ah, Kak.” Raesaka ikut menggenggam tangan Krishna dengan sama eratnya. Beruntung, keduanya mengambil posisi duduk di meja yang agak berada pada sudut ruangan dan beruntung pula suasana cafe saat ini tidak ramai. Sepi, hanya diisi oleh mereka berdua. Tidak akan ada yang menaruh perhatian kepada dua lelaki yang sekarang sedah saling menggenggam tangan erat-erat. “Kakak nggak bodoh, kok. Jangan ngomong kayak begitu lagi. Jangan jelek-jelekin diri Kak Krishna sendiri.”

“Tapi kenyataannya emang begitu, Saka! Gue goblok banget, demi Tuhan! Lo tau? Kita pacaran lama banget di masa depan tapi gue bahkan nggak pernah tau hal-hal yang lo sukain, Ka. Gue nggak tau kalau lo suka warna item, selama ini gue kira lo suka warna biru! Gue nggak tau lo suka jus jeruk, bukannya jus apel yang selama ini selalu gue pesanin buat lo setiap kali kita makan bareng! Lo nggak suka sashimi tapi gue sering maksa lo buat makan di restoran yang...” Krishna memotong ucapannya, tidak mampu menahan rasa sakit yang sekarang menyerang dadanya tanpa ampun. “...restoran yang cuma sajiin makanan mentah, Saka.”

“Gue bego banget...” Tangan Krishna yang semula menggenggam tangan Raesaka kini dilepaskan, berganti memukuli kepalanya sendiri dengan cukup keras. “Bego! Krishna goblok banget! Tolol, anjing! Lo idiot, Krishna!”

“Kak. Hei, Kak Krishna... Sssh— hei, kepalanya jangan dipukulin begitu, Kak... Kak Krishna, berhenti.” Raesaka tidak berbicara dengan nada yang dibuat menekankan agar Krishna berhenti melakukan tindakannya. Nada bicara Raesaka terdengar tenang namun tangannya tetap digerakkan agar mampu berupaya menggenggam kembali kuasa Krishna yang masih terus memukuli kepalanya sendiri. “Kak Krishna, nanti kepalanya sakit...”

“Lo nggak punya otak, Krishna! Kepala lo ini fungsinya apa, sih?! Otak dipake! Jangan cuma gedein ego lo sendiri, bego! Goblo—”

Raesaka berhasil meraih tangan Krishna. Segera, kuasa si yang lebih tua digenggam kuat-kuat. Dengan tangannya yang kurus, Raesaka berupaya semampu yang ia bisa untuk menahan tindakan Krishna. “Sssh... Kak. Udah, cukup. Udah, ya? Kasian, nanti sakit kepalanya...”

“Biar! Biar aja kepala gue pecah sekalian! Nggak guna!” Krishna hampir berteriak saking terlampau larut dengan segala emosinya sendiri. Raesaka tidak melakukan hal lain selain tetap berupaya menahan gerak tangan Krishna yang terus memberontak hingga pada akhirnya, Krishna kelelahan sendiri. Krishna sekarang terdiam, namun isakan tangisnya jelas terdengar. “Saka...”, bisik Krishna lirih. “Gue bener-bener minta maaf...”

“Maafin gue...”

Sepanjang Krishna disibukkan dengan emosinya, mata Raesaka tidak pernah lepas dari sosok si yang lebih tua. “Kak Krishna,” ucap Raesaka. “Apa di masa depan, kita juga adalah pasangan yang begini?”

“Pasangan yang cuma saling nyalahin diri sendiri karena ngerasa nggak cukup baik untuk satu sama lain? Pasangan yang harus selalu saling cegah satu sama lain agar nggak lakuin tindakan berbahaya? Pasangan yang—”, Raesaka mengambil jeda dari kalimatnya. “—nggak bahagia?”

Krishna masih terisak, akan tetapi kini kepalanya menggeleng cepat. “Gue bahagia, Saka. Gue bahagia banget. Selama gue menjalin hubungan dengan seseorang, gue nggak pernah ngerasain bahagia yang melebihi ketika gue lagi bareng sama lo. Gue bahagia...”, Krishna menghela nafas di tengah tangisannya. “Gue cuma ngerasa bersalah karena gue ngerasa lo nggak bahagia selama barengan sama gue, Saka.”

Sakit. Ulu hati Krishna kembali merasakan sakit tatkala ia mengangkat pandangannya dan menangkap sosok Raesaka yang lagi-lagi bersinggungan dengan sosok lelaki berusia tiga puluh tahun dengan kacamata bacanya. Ya Tuhan, Krishna rindu Raesakanya. “Lo nggak mungkin bahagia sama gue yang nggak tau apa-apa tentang lo...”

Perlahan, tangan Raesaka yang sedang menggenggam tangan Krishna didekatkan ke dada si yang lebih muda. Raesaka membiarkan tangan Krishna berada di dadanya. Membiarkan si yang lebih tua merasakan degup jantungnya. “Kak Krishna,” ucap Raesaka. “Kakak bisa rasain detak jantung saya?”

Krishna bisa merasakannya. Degup jantung Raesaka berdebar sangat cepat. “Bisa, Kak?”, tanya Raesaka ketika tidak kunjung mendapatkan jawab dari Krishna. Si yang lebih tua memberi anggukan. “Bisa...”, jawab Krishna lirih.

“Itu debar jantung saya setiap kali ada di deket Kak Krishna,” ujar Raesaka. “Saya selalu deg-degan. Saya selalu ngerasa jantung saya bisa lompat dari dalam badan saya kalau Kakak ada di jarak dekat. Saya sebegininya mendamba sosok Kak Krishna.”

“Dan saya yakin...”, lanjut si lelaki Danadyaksa. “...saya di sepuluh tahun kemudian juga pasti ngerasain hal yang sama setiap kali ada di deket Kak Krishna. Saya yakin, saya yang lebih tua usianya sepuluh tahun di masa depan ngerasain bahagia setiap kali Kakak kasih tatapan lekat-lekat kayak yang Kak Krishna kasih lihat ke saya tadi.”

“Saya yakin, Kak. Saya yakin diri saya di sepuluh tahun ke depan akan selalu sayangin Kakak dengan penuh, sama seperti yang saya rasain sekarang. Malah mungkin, dia sayangin Kakak dengan jauh— jaaaauh lebih penuh.” Raesaka mengulas senyum. “Tanpa ada kadar berkurangnya sedikitpun.”

“Kak Krishna.” Jika tadi Krishna mencium tangan Raesaka di dalam genggamannya, sekarang situasi berubah terbalik. Raesaka mencium tangan Krishna yang sedang ia genggam. “Saya cinta Kak Krishna.”

“Dan saya yang dimaksud di sini adalah saya, Raesaka Danadyaksa. Saya dalam wujud yang tidak terhingga. Saya di umur dua puluh tahun. Saya di umur tiga puluh tahun. Juga saya di usia— yang mungkin nggak bisa lagi dihitung dalam bilangan angka.”

“Saya selalu bahagia, asalkan saya— ada di samping Kak Krishna.” Lagi, Raesaka membubuhkan kecup di tangan Krishna yang sedang ia genggam. “Jangan ngerasa kalau Kakak udah bikin saya sedih, ya?”

“Lagian apa gunanya coba tau makanan kesukaan, warna kesukaan, sama buah kesukaan—? 'Toh Kak Krishna udah kasih sesuatu yang jadi kesukaan mutlak saya, kok.” Raesaka melepaskan genggamannya di tangan Krishna kemudian mengarahkan telunjuk kanannya ke pipi kanan Krishna. “Ini.”

“Lesung pipi yang muncul setiap kali Kak Krishna senyum. Kakak selalu kasih saya hal kesukaan yang mutlak dan ini jauh lebih berharga daripada warna kesukaan saya, makanan kesukaan saya, atau buah kesukaan saya.”

“Ayo senyum, dong. Biar saya bisa liat kesukaan mutlaknya saya,” ujar Raesaka dengan nada jenaka dan membuat Krishna tak urung mengikuti perkataan si lelaki di hadapan. Bibir Krisna mengulas senyum sehingga menjadikan lesung pipi yang ditunjuk oleh jari Raesaka terlihat jelas.

“Nah, 'kan. Kalau begini enak dilihatnya daripada nangis terus,” ucap Raesaka. Tangannya kembali menggenggam tangan Krishna diiringi dengan ibu jari yang mengusapi punggung tangan si kakak tingkat. “Jangan nangis lagi, ya, Kak?”

“Karena kalau senyuman Kak Krishna itu kebahagiaan mutlak saya...”, Raesaka mengecup tangan Krishna sebelum kembali mengujarkan kalimatnya. “Maka tangisan Kakak itu adalah kesedihan mutlak buat saya.”

Ruang cafe yang Krishna dan Raesaka tempati benar-benar kosong, hanya diisi oleh mereka berdua. Tidak banyak suara yang mengiterupsi keduanya. Hanya ada suara detik jarum jam dinding mengganggu; seakan ingin memberi tahu bahwa ada sesuatu yang tidak bisa diperintahkan untuk menunggu.

Sisa waktu Raesaka hanya tinggal enam jam.


“Kak Krishna?”

Krishna tidak mengubah posisi tangannya yang sedang menopang dagu dengan tatapan yang ditujukan lurus-lurus ke wajah Raesaka. Mereka berdua sedang duduk berhadapan di salah satu meja cafe yang ada di sekitar Prawirotaman. Senandung musik terdengar di seluruh penjuru ruangan walaupun tidak disetel dalam volume keras-keras; seakan paham bahwa saat ini Krishna lebih ingin mendengar helaan nafas Raesaka dibandingkan lantunan musik sebagus apapun.

“Kak?” Merasa panggilannya tidak dihiraukan, Raesaka menggerakkan sebelah tangannya ke depan wajah Krishna beberapa kali. Hingga akhirnya si yang lebih tua mengalihkan fokusnya yang semula tertuju ke wajah Raesaka menjadi ke telapak tangan si lelaki di hadapan. “Eh? Apa?”, tanya Krishna seraya mengerjapkan matanya beberapa kali. Rupanya ia juga tidak sadar bahwa dirinya sempat termenung selama beberapa saat. “Sorry, gue ngelamun tadi.”

Raesaka tertawa. “Iya, saya tau Kakak ngelamun, kok. Matanya dari tadi ngeliatin muka saya terus sampai saya jadi grogi sendiri.” Usai dengan kalimatnya, Raesaka mendorong gelas berisi jus stroberi yang Krishna pesan ketika mereka tiba di cafe ini. “Ayo, diminum dulu ini jusnya. Keburu nggak dingin, lho, kalau dianggurin terus, Kak.”

Raesaka memesan jus jeruk. Pemandangan si lelaki yang sekarang sedang menyesap minuman jeruk miliknya itu sempat membuat Krishna kembali terdiam. Ia mengingat sesuatu. “Saka...”

“Ya, Kak Krishna?”

“Sejak kapan lo suka jus jeruk?”, tanya Krishna dan segera dibalas dengan alis Raesaka yang sedikit bertaut; menggambarkan kebingungannya. “Saya— sejak kapan suka jus jeruk?”, ulang Raesaka.

Tak lama, tawa kecil kembali terdengar dari bibir si yang lebih muda. “Saya suka jus jeruk dari dulu, kok, Kak. Diantara semua jus, saya paling suka jus jeruk.”

Jawaban Raesaka membuat Krishna tertegun. Ia teringat di masa depan, Krishna selalu menganggap bahwa minuman kesukaan Raesaka adalah jus apel. “Lo— nggak suka jus apel?”, tanya Krishna dengan sedikit harapan bahwa Raesaka akan menjawab iya. Akan tetapi, yang Krishna dapatkan malah gelengan kepala dari Raesaka. “Saya nggak suka jus apel, Kak. Rasanya agak gimana gitu.”

> “Kamu beliin aku jus apel, sayang? Wah, makasih banyak, ya? Nanti aku minum. Eh? Apa? Kamu tanya aku suka jus apelnya atau nggak? Hahaha, pertanyaan kamu 'tuh kadang suka aneh-aneh aja, deh. Apapun itu yang kamu beliin buat aku, apalagi dengan situasi kamu yang beli sesuatu itu sambil mikirin aku, adalah hal yang bakal selalu aku sukai, Krishnaku sayang.”

“Lo— nggak suka jus apel?”, ulang Krishna dengan nada suara yang getir. Wajah Raesaka yang berusia dua puluh tahun di hadapannya seakan bersinggungan dengan wajah Raesaka, lelaki berusia tiga puluh tahun dengan kacamata bacanya yang lumayan tebal, dan semua itu malah semakin membuat Krishna merasakan nyeri tak teridentifikasi di dadanya. “Terus— kenapa lo nggak bilang...?”

“Saya...nggak bilang?”, tanya Raesaka dengan suara berbisik. Tampak jelas bahwa si lelaki berkulit kecoklatan ini sedikit kebingungan dengan alur perbincangan antara mereka berdua saat ini. Di lain sisi, Krishna menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia berupaya untuk tidak mengalirkan air matanya di sini, tidak di hadapan Raesaka. Walaupun untuk mengusahakan hal itu, Krishna harus berupaya sangat keras.

Karena sekarang perasaannya diliputi emosi yang campur aduk. Perasaan marah, kesal, sesal, dan jutaan negatif lainnya yang membuat Krishna terus menarik nafasnya dalam-dalam agar tidak meledak di dalam cafe.

“Kak? Kak Krishna saki—”

“Saka...” Krishna berujar kecil, menyela kalimat yang barusan ditanyakan oleh Raesaka. “Boleh gue tau warna kesukaan lo apa?” Bukan tanpa alasan jika Krishna menanyakan hal itu karena sejauh yang ia ingat, Raesaka terus membelikan segala sesuatu dengan warna biru untuk kekasihnya. Krishna menganggap warna biru sangat cocok dengan Raesaka dan tentunya, apapun yang terlihat bagus sudah pasti akan menjadi kesukaan orang yang bersangkutan, bukan?

“Saya suka warna hitam, Kak.”

“Wow! Serius kamu beliin baju ini buat aku? Suka! Aku suka banget! Apa? Kamu takut aku nggak suka sama warna birunya? Nggak, lah, sayangku. Aku suka apapun yang kamu beliin buat aku. Makasih, ya? Sini dulu, dong. Aku mau peluk kesayangan aku. Krishnanya aku, sini!”

“Makanan yang lo suka?”

“Apapun, selain sashimi, Kak.”

“Sayang... Boleh nggak kita nggak ke restoran ini? Iya, aku tau kamu mau makan sashimi tapi— okay, okay, okay. Jangan ngambek gitu, dong. Akunya jangan dicemberutin begitu. Ya udah, ayo kita makan sashimi, ya, sayangku? Hm? Jangan manyun gitu, dong. Akunya jadi mau cium, nih. 'Kan nggak lucu kalau aku cium kamu di sini.”

“Anjing...” Krishna mengumpat di balik tangan yang menutupi wajahnya. “Tolol... Krishna, lo tolol banget, sumpah...”, bisik si lelaki yang lebih tua. Kalimat yang terdengar seperti racauan masih diujarkan oleh Krishna dengan suara yang lebih dapat dikategorikan sebagai cicitan. “Kenapa lo nggak bisa sadarin hal itu, sih, Krishna?”

“Kak...” Raesaka meraih lengan Krishna dengan gerak perlahan. “Kak Krishna, hei. Kak? Kak Krishna sakit?” Tangan si yang lebih muda sekarang sudah mengusapi lengan Krishna, berupaya menyampaikan kekhawatirannya yang serupa. “Kak? Dari tadi saya khawatir sama Kakak. Kayaknya Kakak lagi banyak pikiran, ya? Kak Krishna mau pulang aja? Yuk, Kak? Saya anter pulang aja, y—”

Kalimat Raesaka terputus tatkala tangannya yang semula sedang mengusapi lengan Krishna kini digenggam erat oleh si pemilik raga. Genggaman di tangan si yang lebih muda dieratkan kemudian dituntun untuk lebih mendekati wajahnya sendiri. Tangan Raesaka yang digenggam Krishna kini dijadikan sandaran bagi kening si yang lebih tua.

Krishna memejamkan mata sementara kuasanya kini mengarahkan tangan Raesaka yang sedang digenggam untuk mendekati bibir. Di dalam genggamannya sendiri, Krishna mencium tangan Raesaka. Dalam-dalam, seakan ingin menyampaikan segala permintaan maaf karena tidak pernah berusaha untuk mengetahui tentang lelaki ini.

“Saka... Gue bener-bener minta maaf, Ka,” ujar Krishna dengan suara lirih. “Gue bego banget. Gue tolol banget. Gue— bener-bener nggak pantes buat dapetin lo yang sebaik ini. Demi apapun, kenapa gue segoblok ini, sih, Ka?”

“Sshh, Kak Krishna... Hei, jangan ngomong begitu, ah, Kak.” Raesaka ikut menggenggam tangan Krishna dengan sama eratnya. Beruntung, keduanya mengambil posisi duduk di meja yang agak berada pada sudut ruangan dan beruntung pula suasana cafe saat ini tidak ramai. Sepi, hanya diisi oleh mereka berdua. Tidak akan ada yang menaruh perhatian kepada dua lelaki yang sekarang sedah saling menggenggam tangan erat-erat. “Kakak nggak bodoh, kok. Jangan ngomong kayak begitu lagi. Jangan jelek-jelekin diri Kak Krishna sendiri.”

“Tapi kenyataannya emang begitu, Saka! Gue goblok banget, demi Tuhan! Lo tau? Kita pacaran lama banget di masa depan tapi gue bahkan nggak pernah tau hal-hal yang lo sukain, Ka. Gue nggak tau kalau lo suka warna item, selama ini gue kira lo suka warna biru! Gue nggak tau lo suka jus jeruk, bukannya jus apel yang selama ini selalu gue pesanin buat lo setiap kali kita makan bareng! Lo nggak suka sashimi tapi gue sering maksa lo buat makan di restoran yang...” Krishna memotong ucapannya, tidak mampu menahan rasa sakit yang sekarang menyerang dadanya tanpa ampun. “...restoran yang cuma sajiin makanan mentah, Saka.”

“Gue bego banget...” Tangan Krishna yang semula menggenggam tangan Raesaka kini dilepaskan, berganti memukuli kepalanya sendiri dengan cukup keras. “Bego! Krishna goblok banget! Tolol, anjing! Lo idiot, Krishna!”

“Kak. Hei, Kak Krishna... Sssh— hei, kepalanya jangan dipukulin begitu, Kak... Kak Krishna, berhenti.” Raesaka tidak berbicara dengan nada yang dibuat menekankan agar Krishna berhenti melakukan tindakannya. Nada bicara raesaka terdengar tenang namun tangannya tetap digerakkan agar mampu berupaya menggenggam kembali kuasa Krishna yang masih terus memukuli kepalanya sendiri. “Kak Krishna, nanti kepalanya sakit...”

“Lo nggak punya otak, Krishna! Kepala lo ini fungsinya apa, sih?! Otak dipake! Jangan cuma gedein ego lo sendiri, bego! Goblo—”

Raesaka berhasil meraih tangan Krishna. Segera, kuasa si yang lebih tua digenggam kuat-kuat. Dengan tangannya yang kurus, Raesaka berupaya semampu yang ia bisa untuk menahan tindakan Krishna. “Sssh... Kak. Udah, cukup. Udah, ya? Kasian, nanti sakit kepalanya...”

“Biar! Biar aja kepala gue pecah sekalian! Nggak guna!” Krishna hampir berteriak saking terlampau larut dengan segala emosinya sendiri. Raesaka tidak melakukan hal lain selain tetap berupaya menahan gerak tangan Krishna yang terus memberontak hingga pada akhirnya, Krishna kelelahan sendiri. Krishna sekarang terdiam, namun isakan tangisnya jelas terdengar. “Saka...”, bisik Krishna lirih. “Gue bener-bener minta maaf...”

“Maafin gue...”

Sepanjang Krishna disibukkan dengan emosinya, mata Raesaka tidak pernah lepas dari sosok si yang lebih tua. “Kak Krishna,” ucap Raesaka. “Apa di masa depan, kita juga adalah pasangan yang begini?”

“Pasangan yang cuma saling nyalahin diri sendiri karena ngerasa nggak cukup baik untuk satu sama lain? Pasangan yang harus selalu saling cegah satu sama lain agar nggak lakuin tindakan berbahaya? Pasangan yang—”, Raesaka mengambil jeda dari kalimatnya. “—nggak bahagia?”

Krishna masih terisak, akan tetapi kini kepalanya menggeleng cepat. “Gue bahagia, Saka. Gue bahagia banget. Selama gue menjalin hubungan dengan seseorang, gue nggak pernah ngerasain bahagia yang melebihi ketika gue lagi bareng sama lo. Gue bahagia...”, Krishna menghela nafas di tengah tangisannya. “Gue cuma ngerasa bersalah karena gue ngerasa lo nggak bahagia selama barengan sama gue, Saka.”

Sakit. Ulu hati Krishna kembali merasakan sakit tatkala ia mengangkat pandangannya dan menangkap sosok Raesaka yang lagi-lagi bersinggungan dengan sosok lelaki berusia tiga puluh tahun dengan kacamata bacanya. Ya Tuhan, Krishna rindu Raesakanya. “Lo nggak mungkin bahagia sama gue yang nggak tau apa-apa tentang lo...”

Perlahan, tangan Raesaka yang sedang menggenggam tangan Krishna didekatkan ke dada si yang lebih muda. Raesaka membiarkan tangan Krishna berada di dadanya. Membiarkan si yang lebih tua merasakan degup jantungnya. “Kak Krishna,” ucap Raesaka. “Kakak bisa rasain detak jantung saya?”

Krishna bisa merasakannya. Degup jantung Raesaka berdebar sangat cepat. “Bisa, Kak?”, tanya Raesaka ketika tidak kunjung mendapatkan jawab dari Krishna. Si yang lebih tua memberi anggukan. “Bisa...”, jawab Krishna lirih.

“Itu debar jantung saya setiap kali ada di deket Kak Krishna,” ujar Raesaka. “Saya selalu deg-degan. Saya selalu ngerasa jantung saya bisa lompat dari dalam badan saya kalau Kakak ada di jarak dekat. Saya sebegininya mendamba sosok Kak Krishna.”

“Dan saya yakin...”, lanjut si lelaki Danadyaksa. “...saya di sepuluh tahun kemudian juga pasti ngerasain hal yang sama setiap kali ada di deket Kak Krishna. Saya yakin, saya yang lebih tua usianya sepuluh tahun di masa depan ngerasain bahagia setiap kali Kakak kasih tatapan lekat-lekat kayak yang Kak Krishna kasih lihat ke saya tadi.”

“Saya yakin, Kak. Saya yakin diri saya di sepuluh tahun ke depan akan selalu sayangin Kakak dengan penuh, sama seperti yang saya rasain sekarang. Malah mungkin, dia sayangin Kakak dengan jauh— jaaaauh lebih penuh.” Raesaka mengulas senyum. “Tanpa ada kadar berkurangnya sedikitpun.”

“Kak Krishna.” Jika tadi Krishna mencium tangan Raesaka di dalam genggamannya, sekarang situasi berubah terbalik. Raesaka mencium tangan Krishna yang sedang ia genggam. “Saya cinta Kak Krishna.”

“Dan saya yang dimaksud di sini adalah saya, Raesaka Danadyaksa. Saya dalam wujud yang tidak terhingga. Saya di umur dua puluh tahun. Saya di umur tiga puluh tahun. Juga saya di usia— yang mungkin nggak bisa lagi dihitung dalam bilangan angka.”

“Saya selalu bahagia, asalkan saya— ada di samping Kak Krishna.” Lagi, Raesaka membubuhkan kecup di tangan Krishna yang sedang ia genggam. “Jangan ngerasa kalau Kakak udah bikin saya sedih, ya?”

“Lagian apa gunanya coba tau makanan kesukaan, warna kesukaan, sama buah kesukaan—? 'Toh Kak Krishna udah kasih sesuatu yang jadi kesukaan mutlak saya, kok.” Raesaka melepaskan genggamannya di tangan Krishna kemudian mengarahkan telunjuk kanannya ke pipi kanan Krishna. “Ini.”

“Lesung pipi yang muncul setiap kali Kak Krishna senyum. Kakak selalu kasih saya hal kesukaan yang mutlak dan ini jauh lebih berharga daripada warna kesukaan saya, makanan kesukaan saya, atau buah kesukaan saya.”

“Ayo senyum, dong. Biar saya bisa liat kesukaan mutlaknya saya,” ujar Raesaka dengan nada jenaka dan membuat Krishna tak urung mengikuti perkataan si lelaki di hadapan. Bibir Krisna mengulas senyum sehingga menjadikan lesung pipi yang ditunjuk oleh jari Raesaka terlihat jelas.

“Nah, 'kan. Kalau begini enak dilihatnya daripada nangis terus,” ucap Raesaka. Tangannya kembali menggenggam tangan Krishna diiringi dengan ibu jari yang mengusapi punggung tangan si kakak tingkat. “Jangan nangis lagi, ya, Kak?”

“Karena kalau senyuman Kak Krishna itu kebahagiaan mutlak saya...”, Raesaka mengecup tangan Krishna sebelum kembali mengujarkan kalimatnya. “Maka tangisan Kakak itu adalah kesedihan mutlak buat saya.”

Ruang cafe yang Krishna dan Raesaka tempati benar-benar kosong, hanya diisi oleh mereka berdua. Tidak banyak suara yang mengiterupsi keduanya. Hanya ada suara detik jarum jam dinding mengganggu; seakan ingin memberi tahu bahwa ada sesuatu yang tidak bisa diperintahkan untuk menunggu.

Sisa waktu Raesaka hanya tinggal enam jam.


“Kak Krishna?”

Krishna tidak mengubah posisi tangannya yang sedang menopang dagu dengan tatapan yang ditujukan lurus-lurus ke wajah Raesaka. Mereka berdua sedang duduk berhadapan di salah satu meja cafe yang ada di sekitar Prawirotaman. Senandung musik terdengar di seluruh penjuru ruangan walaupun tidak disetel dalam volume keras-keras; seakan paham bahwa saat ini Krishna lebih ingin mendengar helaan nafas Raesaka dibandingkan lantunan musik sebagus apapun.

“Kak?” Merasa panggilannya tidak dihiraukan, Raesaka menggerakkan sebelah tangannya ke depan wajah Krishna beberapa kali. Hingga akhirnya si yang lebih tua mengalihkan fokusnya yang semula tertuju ke wajah Raesaka menjadi ke telapak tangan si lelaki di hadapan. “Eh? Apa?”, tanya Krishna seraya mengerjapkan matanya beberapa kali. Rupanya ia juga tidak sadar bahwa dirinya sempat termenung selama beberapa saat. “Sorry, gue ngelamun tadi.”

Raesaka tertawa. “Iya, saya tau Kakak ngelamun, kok. Matanya dari tadi ngeliatin muka saya terus sampai saya jadi grogi sendiri.” Usai dengan kalimatnya, Raesaka mendorong gelas berisi jus stroberi yang Krishna pesan ketika mereka tiba di cafe ini. “Ayo, diminum dulu ini jusnya. Keburu nggak dingin, lho, kalau dianggurin terus, Kak.”

Raesaka memesan jus jeruk. Pemandangan si lelaki yang sekarang sedang menyesap minuman jeruk miliknya itu sempat membuat Krishna kembali terdiam. Ia mengingat sesuatu. “Saka...”

“Ya, Kak Krishna?”

“Sejak kapan lo suka jus jeruk?”, tanya Krishna dan segera dibalas dengan alis Raesaka yang sedikit bertaut; menggambarkan kebingungannya. “Saya— sejak kapan suka jus jeruk?”, ulang Raesaka.

Tak lama, tawa kecil kembali terdengar dari bibir si yang lebih muda. “Saya suka jus jeruk dari dulu, kok, Kak. Diantara semua jus, saya paling suka jus jeruk.”

Jawaban Raesaka membuat Krishna tertegun. Ia teringat di masa depan, Krishna selalu menganggap bahwa minuman kesukaan Raesaka adalah jus apel. “Lo— nggak suka jus apel?”, tanya Krishna dengan sedikit harapan bahwa Raesaka akan menjawab iya. Akan tetapi, yang Krishna dapatkan malah gelengan kepala dari Raesaka. “Saya nggak suka jus apel, Kak. Rasanya agak gimana gitu.”

“Kamu beliin aku jus apel, sayang? Wah, makasih banyak, ya? Nanti aku minum. Eh? Apa? Kamu tanya aku suka jus apelnya atau nggak? Hahaha, pertanyaan kamu 'tuh kadang suka aneh-aneh aja, deh. Apapun itu yang kamu beliin buat aku, apalagi dengan situasi kamu yang beli sesuatu itu sambil mikirin aku, adalah hal yang bakal selalu aku sukai, Krishnaku sayang.”

“Lo— nggak suka jus apel?”, ulang Krishna dengan nada suara yang getir. Wajah Raesaka yang berusia dua puluh tahun di hadapannya seakan bersinggungan dengan wajah Raesaka, lelaki berusia tiga puluh tahun dengan kacamata bacanya yang lumayan tebal, dan semua itu malah semakin membuat Krishna merasakan nyeri tak teridentifikasi di dadanya. “Terus— kenapa lo nggak bilang...?”

“Saya...nggak bilang?”, tanya Raesaka dengan suara berbisik. Tampak jelas bahwa si lelaki berkulit kecoklatan ini sedikit kebingungan dengan alur perbincangan antara mereka berdua saat ini. Di lain sisi, Krishna menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia berupaya untuk tidak mengalirkan air matanya di sini, tidak di hadapan Raesaka. Walaupun untuk mengusahakan hal itu, Krishna harus berupaya sangat keras.

Karena sekarang perasaannya diliputi emosi yang campur aduk. Perasaan marah, kesal, sesal, dan jutaan negatif lainnya yang membuat Krishna terus menarik nafasnya dalam-dalam agar tidak meledak di dalam cafe.

“Kak? Kak Krishna saki—”

“Saka...” Krishna berujar kecil, menyela kalimat yang barusan ditanyakan oleh Raesaka. “Boleh gue tau warna kesukaan lo apa?” Bukan tanpa alasan jika Krishna menanyakan hal itu karena sejauh yang ia ingat, Raesaka terus membelikan segala sesuatu dengan warna biru untuk kekasihnya. Krishna menganggap warna biru sangat cocok dengan Raesaka dan tentunya, apapun yang terlihat bagus sudah pasti akan menjadi kesukaan orang yang bersangkutan, bukan?

“Saya suka warna hitam, Kak.”

“Wow! Serius kamu beliin baju ini buat aku? Suka! Aku suka banget! Apa? Kamu takut aku nggak suka sama warna birunya? Nggak, lah, sayangku. Aku suka apapun yang kamu beliin buat aku. Makasih, ya? Sini dulu, dong. Aku mau peluk kesayangan aku. Krishnanya aku, sini!”

“Makanan yang lo suka?”

“Apapun, selain sashimi, Kak.”

“Sayang... Boleh nggak kita nggak ke restoran ini? Iya, aku tau kamu mau makan sashimi tapi— okay, okay, okay. Jangan ngambek gitu, dong. Akunya jangan dicemberutin begitu. Ya udah, ayo kita makan sashimi, ya, sayangku? Hm? Jangan manyun gitu, dong. Akunya jadi mau cium, nih. 'Kan nggak lucu kalau aku cium kamu di sini.”

“Anjing...” Krishna mengumpat di balik tangan yang menutupi wajahnya. “Tolol... Krishna, lo tolol banget, sumpah...”, bisik si lelaki yang lebih tua. Kalimat yang terdengar seperti racauan masih diujarkan oleh Krishna dengan suara yang lebih dapat dikategorikan sebagai cicitan. “Kenapa lo nggak bisa sadarin hal itu, sih, Krishna?”

“Kak...” Raesaka meraih lengan Krishna dengan gerak perlahan. “Kak Krishna, hei. Kak? Kak Krishna sakit?” Tangan si yang lebih muda sekarang sudah mengusapi lengan Krishna, berupaya menyampaikan kekhawatirannya yang serupa. “Kak? Dari tadi saya khawatir sama Kakak. Kayaknya Kakak lagi banyak pikiran, ya? Kak Krishna mau pulang aja? Yuk, Kak? Saya anter pulang aja, y—”

Kalimat Raesaka terputus tatkala tangannya yang semula sedang mengusapi lengan Krishna kini digenggam erat oleh si pemilik raga. Genggaman di tangan si yang lebih muda dieratkan kemudian dituntun untuk lebih mendekati wajahnya sendiri. Tangan Raesaka yang digenggam Krishna kini dijadikan sandaran bagi kening si yang lebih tua.

Krishna memejamkan mata sementara kuasanya kini mengarahkan tangan Raesaka yang sedang digenggam untuk mendekati bibir. Di dalam genggamannya sendiri, Krishna mencium tangan Raesaka. Dalam-dalam, seakan ingin menyampaikan segala permintaan maaf karena tidak pernah berusaha untuk mengetahui tentang lelaki ini.

“Saka... Gue bener-bener minta maaf, Ka,” ujar Krishna dengan suara lirih. “Gue bego banget. Gue tolol banget. Gue— bener-bener nggak pantes buat dapetin lo yang sebaik ini. Demi apapun, kenapa gue segoblok ini, sih, Ka?”

“Sshh, Kak Krishna... Hei, jangan ngomong begitu, ah, Kak.” Raesaka ikut menggenggam tangan Krishna dengan sama eratnya. Beruntung, keduanya mengambil posisi duduk di meja yang agak berada pada sudut ruangan dan beruntung pula suasana cafe saat ini tidak ramai. Sepi, hanya diisi oleh mereka berdua. Tidak akan ada yang menaruh perhatian kepada dua lelaki yang sekarang sedah saling menggenggam tangan erat-erat. “Kakak nggak bodoh, kok. Jangan ngomong kayak begitu lagi. Jangan jelek-jelekin diri Kak Krishna sendiri.”

“Tapi kenyataannya emang begitu, Saka! Gue goblok banget, demi Tuhan! Lo tau? Kita pacaran lama banget di masa depan tapi gue bahkan nggak pernah tau hal-hal yang lo sukain, Ka. Gue nggak tau kalau lo suka warna item, selama ini gue kira lo suka warna biru! Gue nggak tau lo suka jus jeruk, bukannya jus apel yang selama ini selalu gue pesanin buat lo setiap kali kita makan bareng! Lo nggak suka sashimi tapi gue sering maksa lo buat makan di restoran yang...” Krishna memotong ucapannya, tidak mampu menahan rasa sakit yang sekarang menyerang dadanya tanpa ampun. “...restoran yang cuma sajiin makanan mentah, Saka.”

“Gue bego banget...” Tangan Krishna yang semula menggenggam tangan Raesaka kini dilepaskan, berganti memukuli kepalanya sendiri dengan cukup keras. “Bego! Krishna goblok banget! Tolol, anjing! Lo idiot, Krishna!”

“Kak. Hei, Kak Krishna... Sssh— hei, kepalanya jangan dipukulin begitu, Kak... Kak Krishna, berhenti.” Raesaka tidak berbicara dengan nada yang dibuat menekankan agar Krishna berhenti melakukan tindakannya. Nada bicara raesaka terdengar tenang namun tangannya tetap digerakkan agar mampu berupaya menggenggam kembali kuasa Krishna yang masih terus memukuli kepalanya sendiri. “Kak Krishna, nanti kepalanya sakit...”

“Lo nggak punya otak, Krishna! Kepala lo ini fungsinya apa, sih?! Otak dipake! Jangan cuma gedein ego lo sendiri, bego! Goblo—”

Raesaka berhasil meraih tangan Krishna. Segera, kuasa si yang lebih tua digenggam kuat-kuat. Dengan tangannya yang kurus, Raesaka berupaya semampu yang ia bisa untuk menahan tindakan Krishna. “Sssh... Kak. Udah, cukup. Udah, ya? Kasian, nanti sakit kepalanya...”

“Biar! Biar aja kepala gue pecah sekalian! Nggak guna!” Krishna hampir berteriak saking terlampau larut dengan segala emosinya sendiri. Raesaka tidak melakukan hal lain selain tetap berupaya menahan gerak tangan Krishna yang terus memberontak hingga pada akhirnya, Krishna kelelahan sendiri. Krishna sekarang terdiam, namun isakan tangisnya jelas terdengar. “Saka...”, bisik Krishna lirih. “Gue bener-bener minta maaf...”

“Maafin gue...”

Sepanjang Krishna disibukkan dengan emosinya, mata Raesaka tidak pernah lepas dari sosok si yang lebih tua. “Kak Krishna,” ucap Raesaka. “Apa di masa depan, kita juga adalah pasangan yang begini?”

“Pasangan yang cuma saling nyalahin diri sendiri karena ngerasa nggak cukup baik untuk satu sama lain? Pasangan yang harus selalu saling cegah satu sama lain agar nggak lakuin tindakan berbahaya? Pasangan yang—”, Raesaka mengambil jeda dari kalimatnya. “—nggak bahagia?”

Krishna masih terisak, akan tetapi kini kepalanya menggeleng cepat. “Gue bahagia, Saka. Gue bahagia banget. Selama gue menjalin hubungan dengan seseorang, gue nggak pernah ngerasain bahagia yang melebihi ketika gue lagi bareng sama lo. Gue bahagia...”, Krishna menghela nafas di tengah tangisannya. “Gue cuma ngerasa bersalah karena gue ngerasa lo nggak bahagia selama barengan sama gue, Saka.”

Sakit. Ulu hati Krishna kembali merasakan sakit tatkala ia mengangkat pandangannya dan menangkap sosok Raesaka yang lagi-lagi bersinggungan dengan sosok lelaki berusia tiga puluh tahun dengan kacamata bacanya. Ya Tuhan, Krishna rindu Raesakanya. “Lo nggak mungkin bahagia sama gue yang nggak tau apa-apa tentang lo...”

Perlahan, tangan Raesaka yang sedang menggenggam tangan Krishna didekatkan ke dada si yang lebih muda. Raesaka membiarkan tangan Krishna berada di dadanya. Membiarkan si yang lebih tua merasakan degup jantungnya. “Kak Krishna,” ucap Raesaka. “Kakak bisa rasain detak jantung saya?”

Krishna bisa merasakannya. Degup jantung Raesaka berdebar sangat cepat. “Bisa, Kak?”, tanya Raesaka ketika tidak kunjung mendapatkan jawab dari Krishna. Si yang lebih tua memberi anggukan. “Bisa...”, jawab Krishna lirih.

“Itu debar jantung saya setiap kali ada di deket Kak Krishna,” ujar Raesaka. “Saya selalu deg-degan. Saya selalu ngerasa jantung saya bisa lompat dari dalam badan saya kalau Kakak ada di jarak dekat. Saya sebegininya mendamba sosok Kak Krishna.”

“Dan saya yakin...”, lanjut si lelaki Danadyaksa. “...saya di sepuluh tahun kemudian juga pasti ngerasain hal yang sama setiap kali ada di deket Kak Krishna. Saya yakin, saya yang lebih tua usianya sepuluh tahun di masa depan ngerasain bahagia setiap kali Kakak kasih tatapan lekat-lekat kayak yang Kak Krishna kasih lihat ke saya tadi.”

“Saya yakin, Kak. Saya yakin diri saya di sepuluh tahun ke depan akan selalu sayangin Kakak dengan penuh, sama seperti yang saya rasain sekarang. Malah mungkin, dia sayangin Kakak dengan jauh— jaaaauh lebih penuh.” Raesaka mengulas senyum. “Tanpa ada kadar berkurangnya sedikitpun.”

“Kak Krishna.” Jika tadi Krishna mencium tangan Raesaka di dalam genggamannya, sekarang situasi berubah terbalik. Raesaka mencium tangan Krishna yang sedang ia genggam. “Saya cinta Kak Krishna.”

“Dan saya yang dimaksud di sini adalah saya, Raesaka Danadyaksa. Saya dalam wujud yang tidak terhingga. Saya di umur dua puluh tahun. Saya di umur tiga puluh tahun. Juga saya di usia— yang mungkin nggak bisa lagi dihitung dalam bilangan angka.”

“Saya selalu bahagia, asalkan saya— ada di samping Kak Krishna.” Lagi, Raesaka membubuhkan kecup di tangan Krishna yang sedang ia genggam. “Jangan ngerasa kalau Kakak udah bikin saya sedih, ya?”

“Lagian apa gunanya coba tau makanan kesukaan, warna kesukaan, sama buah kesukaan—? 'Toh Kak Krishna udah kasih sesuatu yang jadi kesukaan mutlak saya, kok.” Raesaka melepaskan genggamannya di tangan Krishna kemudian mengarahkan telunjuk kanannya ke pipi kanan Krishna. “Ini.”

“Lesung pipi yang muncul setiap kali Kak Krishna senyum. Kakak selalu kasih saya hal kesukaan yang mutlak dan ini jauh lebih berharga daripada warna kesukaan saya, makanan kesukaan saya, atau buah kesukaan saya.”

“Ayo senyum, dong. Biar saya bisa liat kesukaan mutlaknya saya,” ujar Raesaka dengan nada jenaka dan membuat Krishna tak urung mengikuti perkataan si lelaki di hadapan. Bibir Krisna mengulas senyum sehingga menjadikan lesung pipi yang ditunjuk oleh jari Raesaka terlihat jelas.

“Nah, 'kan. Kalau begini enak dilihatnya daripada nangis terus,” ucap Raesaka. Tangannya kembali menggenggam tangan Krishna diiringi dengan ibu jari yang mengusapi punggung tangan si kakak tingkat. “Jangan nangis lagi, ya, Kak?”

“Karena kalau senyuman Kak Krishna itu kebahagiaan mutlak saya...”, Raesaka mengecup tangan Krishna sebelum kembali mengujarkan kalimatnya. “Maka tangisan Kakak itu adalah kesedihan mutlak buat saya.”

Ruang cafe yang Krishna dan Raesaka tempati benar-benar kosong, hanya diisi oleh mereka berdua. Tidak banyak suara yang mengiterupsi keduanya. Hanya ada suara detik jarum jam dinding mengganggu; seakan ingin memberi tahu bahwa ada sesuatu yang tidak bisa diperintahkan untuk menunggu.

Sisa waktu Raesaka hanya tinggal enam jam.


“Kak Krishna!”

Raesaka melambaikan tangannya ke arah seorang lelaki yang sedang berjalan dengan langkah perlahan; terlihat baru saja keluar dari pintu gerbang asrama mahasiswa Universitas Ganesha Mandala. Lelaki itu, Krishna, segera mengangkat kepala ketika mendengar seruan yang memanggil namanya. Benar saja, Raesaka ada di sana— duduk di atas jok motor scoopy hitam miliknya. Dengan senyum yang terulas tipis dan getir, Krishna balas melambai; gerakannya sama lemah dengan senyuman yang ia ulas pada bibir.

“Kak, di situ aja! Saya yang jemput!” Raesaka sedikit berteriak seraya menaikkan posisi tuas penyangga motornya. Motor scoopy hitam milik Raesaka kini berhenti tepat di depan Krishna yang terdiam dan memasang wajah sedikit muram, sangat kontras dengan bibir Raesaka yang terus mengukir senyum super lebar. “Hampir saya mau samperin Kakak ke kamar soalnya udah tiga puluh menit terlambat dari waktu janjian kita buat ketemu.”

“Krishna. Jam pasir yang dulu jadi penunjuk sisa waktu Raesaka untuk hidup, sekarang pecah. Waktu hidup yang tersisa buat Saka itu sangat— sangat tipis.”

Krishna mengangkat kepala dan yang pertama kali menyambut pandangannya adalah Raesaka yang sekarang sedang sedikit memiringkan kepala seraya menatap Krishna lekat-lekat. Lelaki itu tersenyum, manis. Manis sekali.

Sejujurnya selama tiga puluh menit ke belakang, Krishna menghabiskan waktunya dengan mondar-mandir di dalam kamarnya sendiri. Krishna terus mempertimbangkan segala kemungkinan dan cara agar ia bisa menjaga Raesaka, agar lelaki itu bisa hidup lebih lama daripada segala perkiraan yang telah Ibu Laras dan Om Budi jelaskan kemarin. Dari pemikirannya selama tiga puluh menit, Krishna memikirkan banyak hal gila. Salah satunya, menculik Raesaka dan mengajaknya pergi ke pulau terpencil. Hidup berdua tanpa ada siapapun di sekeliling. Jika begitu, tidak akan ada bahaya yang mengintai Raesaka dan memungkinkan lelaki itu kehilangan nyawa, bukan?

Namun semua pemikirannya buyar tatkala perbincangan dengan dua dewasa kemarin malam kembali menyambangi ingatannya.

“Krishna, kamu nggak akan bisa ubah semua takdirnya Saka. Semenjak awal, Saka punya takdirnya sendiri. Dia memang harus meninggal, lebih dulu daripada kamu. Di kecelakaan mobil. Semua itu pasti akan terjadi dan kamu nggak akan bisa ubah semua itu.”

“Om. Sumpah, Om. Bercandaannya Om, 'tuh, nggak lucu sama sekali! Okay, tunggu— biar Krishna coba simpulin semuanya dari omongan Om Budi. Jadi Om Budi dan Ibu Laras ini kabur dari surga dan tarik Saka buat kabur juga dari sana? Tujuannya semata buat bikin Saka bisa balik ke waktu ketika dia baru ketemu Krishna. Ingatan Saka hilang karena itu konsekuensi dari jiwa-jiwa yang kabur dari surga? Lalu kenapa Om Budi sama Ibu Laras nggak hilang ingatan juga? Kalian berdua juga kabur dari surga, 'kan?!”

“Karena kami nggak ikut campur sebagai jiwa yang hidup di kisah ini, Krishna. Kami di sini sebagai penjaga Saka, bukan sebagai jiwa yang hidup.”

“Hahaha. Ya ampun, Ibu Laras. Wow, ide ceritanya keren banget. Pasti ini akal-akalan kalian buat bikin cerita, 'kan? Hal beginian nggak akan mungkin terjadi. Tuhan nggak akan biarin semua hal ini terjadi! Pasti kalian lagi mau liat reaksi saya buat menilai cerita karangan kalian, 'kan? WOW. BRAVO! KEREN! Nah, udah puas 'kan, Om? Bu? Jadi stop semua akting kalian, okay? Saya pusing. Mau muntah.”

“Kami nggak berbohong, Krishna. Memang itu kenyataannya. Kami hanya arwah sementara Raesaka sekarang adalah jiwa yang hidup, sama seperti kamu.”

Om, please... tolong udahin akting kalian. Saya nggak bisa percaya. Saya nggak bisa percaya omongan tentang kabur dari surga. Maksud Krishna, kalian bertiga udah bahagia di surga! Kenapa harus kabur?! Nggak ada hal lazim apapun yang bisa jelasin hal itu, Om.”

“Krishna. Coba kamu ulang kesimpulan yang kamu buat tadi. Semuanya.”

“Tante, tolong... Krishna udah nggak mau terlibat ke akting kalian berdua. Ini nggak masuk aka—

“Kamu bilang, kami tarik Saka buat kabur dari surga? Kamu bilang, kami yang bawa dia ke tahun ini buat ketemu kamu lagi?”

“Nggak, Krishna. Nggak. Kesimpulan kamu salah besar! Kami nggak pernah tarik Raesaka untuk keluar dari surga! Kayak yang kamu bilang, buat apa kami kabur dari surga cuma untuk ulang sesuatu yang sudah jelas akhirnya bakal gimana?”

“Maksud...Om?”

“Saka kabur sendirian dengan kemauan dia sendiri, Krishna. Dia kabur dan kami ditugaskan sebagai penjaga sekaligus penjemput Saka ketika waktunya tiba. Kami diberi jam pasir itu sebagai penunjuk waktu kapan kami harus jemput Raesaka. Kamu pernah pikir, segimana sakitnya hati saya sama istri saya ketika harus jemput nyawa anak saya sendiri?”

“Nggak... Nggak mungkin. Buat apa dia pertaruhin semua kebahagiaannya cuma buat ketemu saya yang udah bikin dia sakit dan sedih terus? Nggak... Om pasti salah beranggapan...”

“Krishna... Nak...”

“STOP! STOP DI SITU, TANTE! JANGAN DEKETIN SAYA! NGGAK! SAYA NGGAK PERCAYA SEMUA INI TERJADI! SEMUA INI PASTI CUMA MIMPI!”

“Krishna... Ini bukan mimpi, Nak. Sudah kenyataannya semua ini harus terjadi. Semenjak awal, Tante dengan Om Budi sudah berlapang dada dengan semua kemungkinan yang ada. Kamu tau kemungkinan apa aja yang bisa terjadi, Krishna?”

“Kemungkinan...apa?”

“Kemungkinan bahwa takdir Raesaka berubah. Awalnya pasir di jam itu warnanya biru, Krishna. Itu menunjukkan bahwa takdir Raesaka masih berada di lajur yang sama seperti di masa depan. Di awal, semua masih berjalan seperti semestinya...”

“Biru—? Tapi pasir yang Tante bawa sekarang...merah—”

“Takdir Raesaka berubah, Krishna. Jika ikuti semua takdir itu, Raesaka akan jalani akhir hidupnya bersama Kirana. Bukan kamu.”

“Ki—rana?”

“Iya. Kirana yang kamu kenal. Kirana yang rencananya akan berangkat ke acara organisasi bareng kamu dan Saka. Kirana yang itu.”

“Nggak... Nggak mungkin... Dia baru aja meninggal, Tante. Kalau takdir Saka emang berubah dan mesti berakhir sama Kirana, lalu kenapa Kirana meningga—”

“Kami yang hancurkan jam pasirnya, Krishna.”

“Hah?! Om yang pecahin jam pasirnya?! Om! Om sendiri yang bilang waktu hidup Raesaka bakal sangat jadi singkat kalau jamnya kenapa-kenapa! Lalu kenapa Om pecahi—”

“Itu permintaan Raesaka.”

“Apany—”

“Saka tahu semua resikonya, Krishna. Dia tahu bahwa ingatannya akan hilang seluruhnya tentang kamu. Tapi dia tetap nekat kabur dari surga demi ketemu kamu! Kenapa? Karena dia mau ulang setiap waktu yang pernah terlewati tanpa bikin kamu ngerasa bahagia, Krishna.”

“Ayah... Stop... Raesaka bilang itu rahasia yang harus kita simpan...”

“Dia harus tau, Bu! Dia harus tau segimana anak kita relain kebahagiaannya cuma buat bikin dia yang ada di depan kita ini bahagia!”

“Nggak... Nggak mungkin...”

“Krishna. Raesaka tahu dengan semua resiko yang ada. Dia tahu soal perubahan takdir yang mungkin terjadi. Dia tahu, Krishna! Dan dia bilang, ketika takdirnya berubah— jam pasir yang sisakan waktu hidup dia ini harus hancur.”

“Nggak mungkin...”

“Kamu tau kenapa, Krishna?”

“Ayah... sudah...”

“Ini salah gue...”

“Karena Saka nggak mau lewatin hari-harinya dengan orang selain kamu, Krishna.”

“Maafin gue...”

“Dia lebih memilih takdirnya berhenti sampai di situ, Krishna. Dia lebih memilih takdirnya nggak berjalan lagi daripada nggak berakhir dengan kamu.”

“Semua gara-gara gue...”

“Dia bilang, ketika pasirnya berubah warna— jam pasir ini harus kami pecahkan.”

Ingatan Krishna tentang kejadian kemarin segera buyar ketika tubuhnya beranjak mendekati Raesaka dan tanpa permisi memberi peluk kepada si yang lebih muda. Tentu, Raesaka sedikit terkejut ketika tiba-tiba Krishna menghambur ke tubuhnya dan memeluk dirinya erat-erat. Tidak berselang lama, si yang lebih muda merasakan pundak Krishna bergerak naik turun; si lelaki Haliem menangis terisak.

“Kak...” Raesaka berupaya memundurkan sedikit tubuhnya agar bisa memeriksa kondisi si lelaki yang berada di pelukan. Ia sedikit heran, mengapa tiba-tiba kakak tingkatnya ini menangis? Akan tetapi semua percuma. Raesaka tidak bisa memundurkan tubuhnya barang sedikitpun karena Krishna sudah terlanjur memelukinya erat. “Kak... Kak Krishna kenapa? Saya lakuin kesalahan? Coba diomongin dulu salah saya apa— biar saya coba perbaiki.”

Tangan Krishna secara perlahan memukuli punggung Raesaka. Tangisnya masih sama, terisak. “Lo bego—”

“Demi Tuhan, lo bego banget, Saka... Kenapa lo harus lakuin itu semua cuma demi orang tolol kayak gue? Kenapa—” Krishna masih memukuli punggung Raesaka dengan sedikit keras, terlalu merasa emosi akan tindak si lelaki yang terlalu mengorbankan apapun untuk dirinya.

Mengorbankan surga. Mengorbankan kebahagiaan abadi; hanya untuk mengulang waktu di dunia demi membuat Krishna lebih bahagia dari sebelumnya.

Raesaka sedikit mengernyitkan alis, kebingungan dengan pembicaraan Krishna walaupun pada akhirnya ia terkekeh kecil kemudian mengusapi punggung kepala Krishna dengan sangat lembut. “Saya nggak tau Kakak ngomongin apaan tapi saya minta maaf, ya, Kak?”

“Maaf kalau saya pernah bikin keputusan yang mungkin bikin Kak Krishna kesal sampai nangis kayak begini. Maaf kalau saya terlalu gegabah dalam ambil keputusan apapun yang mungkin malah bikin setiap kejadian jadi memburuk. Apapun itu kesalahan saya, walau saya sekarang nggak tau kesalahannya itu apa, saya minta maaf, ya?”

“Tapi, Kak...” Raesaka menghela nafas dalam-dalam. “...Saya harap Kak Krishna tau, bahwa di setiap tindakan yang saya lakuin itu— saya selalu pikirin Kak Krishna.”

“Maaf, ya— saya udah lancang sayangin Kak Krishna kayak begini.”

Tangis Krishna meledak. Tumpah, ruah. Sementara tangan Raesaka masih terus mengusapi punggung kepala Krishna, sesekali menepuki puncak kepalanya; seakan ingin memberitahu bahwa ia ada di tempat yang sama dengan Krishna.

Raesaka tidak paham dengan apa yang membuat Krishna menangis sampai sebegininya. Namun kalaupun memang alasan Krishna menangis itu adalah karena dirinya— Raesaka ingin membalas setiap titik air mata itu dengan senyuman dari bibir si kakak tingkat.

Karena Raesaka menyukai lesung pipi yang tercipta di bibir Krishna setiap kali lelaki itu tersenyum lebar. Senyuman Krishna, lebih cerah dari berbagai sinar yang tercipta di semesta dan Raesaka rela menukar apapun hanya untuk dapat menikmati sinarnya itu lebih lama.

“Udah. Jangan nangis, ya, Kak? Sayanya ikut sakit...” Raesaka mengusap punggung Krishna, berbanding terbalik dengan Krishna yang masih memukuli punggung Raesaka. “...bukan sakit badan.”

“Hati saya...sakit.”

Sementara itu, kain berbentuk kepalan berisi pasir berwarna merah yang kemarin Krishna terima dari Ibu Laras dan ia letakkan di dalam tas slempangnya itu semakin mengecil. Isi pasir di dalam kain semakin berkurang, seakan menguap ke udara. Menghilang, terbang.

Sisa waktu hidup Raesaka, hanya tinggal sepuluh jam lagi dari sekarang. Dan Krishna— tidak tahu harus bagaimana mengucapkan selamat tinggal untuk kedua kalinya.

“Om mau minum apa? Biar Krishna pesenin ke kantin asrama.”

Pertanyaan Krishna dibalas dengan gelengan kepala sang Laksamana Madya Angkatan Laut TNI yang disegani; walau sesungguhnya dalam kepala Krishna dipenuhi pertanyaan, untuk apa lelaki di hadapannya itu mengenakan seragam yang lazim dikenakan para supir taksi?

Saat ini, Krishna dengan lelaki yang akrab ia sapa Om Budi bersama seorang wanita berpakaian serba hitam dari ujung kaki sampai ujung kepala sedang berjalan menuju lobi asrama mahasiswa. Krishna memimpin perjalanan sementara kedua paruh baya mengikuti di belakangnya sehingga mau tidak mau ( juga demi bentuk kesopanan ), Krishna membukakan pintu lobi untuk kedua dewasa yang mengekori. “Silahkan duduk, Om. Tante juga, silahkan.”

Suasana lobi saat ini kosong melompong. Televisi yang terpasang di dinding lobi tidak menyala, hanya suara hembusan angin dari pendingin ruangan yang terdengar samar. Krishna duduk di bangku yang dibentuk melingkar, berada di antara dua dewasa yang masih belum membuka suara semenjak tadi keduanya mengetuk pintu kamar asrama Krishna.

“Ada apa, ya, Om?”, tanya Krishna dengan sedikit canggung. Kedua tangannya digosok-gosokkan ke atas paha, berupaya menghilangkan rasa gugup yang entah mengapa menyerangnya tanpa henti. “Sampai datang ke tempat Krishna malem-malem begini...”

“Krishna, kenalin dulu. Yang di samping kamu, namanya Ibu Laras.” Ujaran Om Budi membuat Krishna segera menoleh ke sosok wanita paruh baya di sampingnya kemudian segera mengembangkan senyum. Sebuah bentuk kesopanan kepada yang lebih tua. “Laras, ini Krishna.”

Sang wanita balas memberi anggukan, masih memberi kesan ramah walau senyumannya hanya bergaris tipis. “Apa kabar, Krishna?”, tanya Laras dan dibalas segera oleh ujaran ramah dari Krishna. “Puji Tuhan, Bu. Saya baik-baik aja. Ibu Laras gimana?” Pertanyaan basa-basi. Krishna sendiri juga sesungguhnya tidak begitu ingin tahu kabar dari orang asing yang baru ditemuinya ini. Lagipula Om Budi ini aneh, untuk apa datang ke asrama orang di jam segini, pula?

Wanita paruh baya bernama Laras sedikit membungkukkan kepala. Krishna ikut memperhatikan arah pandang Laras dan menemukan sesuatu yang rupanya sedari tadi sedang digenggam oleh wanita di sampingnya. Sebuah kain yang dibentuk menjadi kepalan, seperti untuk membungkus sesuatu tanpa wadah.

“Saya...nggak baik-baik aja.”

Krishna menggumam kecil, merasa sedikit kikuk dengan situasi ini. Lalu Krishna harus apa jika wanita ini tidak sedang baik-baik saja? Ia harus menghiburnya—? Oh, ayolah! Kenapa juga Om Budi diam saja? Siapapun, ayolah— tolong jelaskan situasi apa yang sedang terjadi saat ini!

“Krishna.”

Syukurlah, Om Budi akhirnya buka suara! “Iya, Om?”, sahut Krishna dengan nada sedikit tinggi saking ia merasa senang bisa terbebas dari suasana kikuk ini. “Kenapa, Om?”

“Laras ini...Ibunya Saka.”

Krishna terdiam, sempat terhenyak hingga tidak mampu mengeluarkan kalimat apapun. Hingga akhirnya sadar kembali didapat dan si lelaki Haliem menguar tawa yang terdengar hambar. “Hahaha... Om— jangan bercanda... Ibunya Saka, 'kan, udah...”

KRIEET.

Suara derit pintu yang terbuka sontak membuat si lelaki menolehkan kepala. Freddie, salah satu kenalannya di kampus, rupanya adalah yang membuka pintu ruang lobi. “Lho, Krishna?”, sapa Freddie dan dibalas dengan lambaian ringan dari si lelaki Haliem. “Lo ngapain anjir di lobi sendirian jam segini?”, lanjut si kenalan seraya berjalan mendekati bangku yang ditempati Krishna.

Alis Krishna sedikit bertaut. Dahinya berkerut, menandakan kebingungan akan hal yang barusan diujarkan Freddie. “Apaan yang sendiri, anjir? Orang jelas-jelas gue di sini lagi ngobrol sama dua ora—”

Krishna seakan membatu ketika Freddie duduk di bangku yang ditempati oleh Om Budi. Seketika, tubuh Om Budi yang semula nampak sangat jelas di pandangan Krishna tiba-tiba menjadi semi-transparan dan tampak bagaikan asap. “Ngobrol apaan, wey? Gue liat dari luar tadi lo lagi sendirian di sini. Lo butuh temen ngobrol? Sini gue temenin daripada lo ngomong sendirian kayak orang gila.”

Perkataan Freddie hanya mampir sekilas ke rungu Krishna. Si lelaki Haliem sekarang mengalihkan fokus kepada si wanita yang duduk berhadapan dengan Freddie. Kepada Laras, yang sekarang sedang tersenyum getir ke arah Krishna.

“Saya Ibunya Saka, Krishna.”

Oh, shit.

“Kak Krishna ngerokok?”

Krishna sedikit terkesiap ketika suara Raesaka menyambangi rungunya yang sedang bersandar ke pagar balkon kamar asrama. Pandangannya diarahkan ke belakang, si yang lebih muda berdiri di ambang pintu pembatas antara kamar dengan balkon dengan tubuh yang mengenakan kaus milik Krishna. Rambutnya basah, menjadikan titik-titik air sedikit membekas ke kaus yang dikenakan.

Krishna memang menyuruh Raesaka untuk segera mandi tatkala mereka tiba di kamar asramanya. Lelaki itu kehujanan sepanjang mengendarai motor sportnya dari kampus fakultas teknik ke asrama putra bahkan sesekali bersin, yang mana tentu membuat Krishna khawatir bukan main. Sementara dirinya sendiri beruntung tidak begitu kehujanan karena jaket merah muda dan jaket merah fakultasnya melindungi diri.

“Syukur, deh, bajunya cukup.” Krishna terkekeh kecil seraya membuang abu rokoknya ke asbak yang ia letakkan ke selusur pagar balkon. “Tapi pasti cukup, sih, ya... badan lo di jaman sekarang 'kan cungkring. Baru nanti pas di masa depan, lo mulai fitness dan badan lo jadi lebih gede daripada gue.” Kalimat terakhir Krishna ujarkan dengan suara pelan, berupaya agar tidak didengar oleh Raesaka.

“Badan saya kurus, sih, Kak.” Beruntung, Raesaka tampak tidak mendengar celetukan Krishna. Si yang lebih muda kini memilih untuk berdiri berdampingan dengan si kakak tingkat di balkon. “Saya nggak nyangka Kak Krishna ngerokok,” lanjut Raesaka seraya memandangi batang rokok yang puntungnya sudah hampir habis terbakar di tangan Krishna. “Bibir Kakak manis, soalnya.”

Krishna terkekeh. Tanpa terlihat kikuk atas godaan yang diberi oleh Raesaka, ia kembali mengisap rokoknya. “Malah katanya bibir orang yang ngerokok itu yang manis, tau. Gue juga nggak paham tapi mantan-mantan gue ngomong begitu setiap kali abis ciuman sama gue.”

Bukannya Krishna tidak menyadari, ekspresi wajah Raesaka sedikit berubah tatkala ia mengangkat tema pembicaraan tentang mantan kekasih. Si yang lebih tua juga tidak melanjutkan perbincangan selama beberapa saat hingga rokok di tangannya sudah terbakar sampai ujung. Baru ketika puntung rokoknya sudah ia buang ke asbak, Krishna kembali berujar. “Saka.”

“Ya, Kak?”

“Menurut lo, apa yang paling penting di hubungan antara dua orang?” Pertanyaan Krishna dibalas dengan kepala Raesaka yang menoleh, memandangi si kakak tingkat dengan pandangan penuh tanya. Heran dengan topik yang di luar dugaan, sepertinya. Krishna yang paham sedang dipandangi begitu, ikut menolehkan kepala hingga kini netra keduanya saling bertatapan. “Menurut lo, ketika orang pacaran— apa yang paling penting?”

Raesaka menggelengkan kepalanya. “Saya— belum pernah pacaran, Kak.” Tak lama, tawa kecil mengiringi ujaran si yang lebih muda. “Saya nggak begitu paham gimana semestinya sebuah hubungan berjalan. Mungkin kalau saya pacaran sama seseorang, saya bakal kebingungan mesti gimana.”

Krishna mengangguk-anggukan kepala, mencoba memahami perkataan lelaki di sebelahnya. Kemudian nafas si lelaki Haliem ditarik dalam-dalam, “lo tau, nggak?”

“Gue pernah suka sama seseorang. Cowok.” Krishna merogoh saku celana jeans yang dikenakan kemudian mengambil sebatang rokok dari dalam bungkusan. “Cowok itu duluan yang suka gue. Dia ngejar-ngejar gue. Dia selalu kasih bahan pembicaraan nggak habis-habis biar perbincangan gue sama dia nggak pernah selesai.”

“Lalu setelah perjuangan yang lumayan berat, kami pacaran.” Krishna melanjutkan ucapannya. “Awalnya dulu gue kira yang namanya orang pacaran itu, ya, buat luapin rasa sayang antara satu sama lain aja. Kalau mau peluk, ya, pelukan. Kalau mau cium, ya, ciuman. As simple as that. Tapi bareng pacar gue yang cowok ini, gue ngerasa kalau yang namanya pacaran itu emang proses buat menjadi lebih dewasa. Walau ternyata kadang proses itu nggak selalu berjalan baik, gue bahagia banget bisa pacaran sama dia.”

“Pacar gue 'tuh anaknya lucu,” ujar Krishna seraya meloloskan tawa. “Kadang dia kalau ngegodain gue suka pakai cara yang sumpah kampungan banget. Sayangnya gue keseringan jaga gengsi, sih. Makanya susah kasih apresiasi buat pacar gue itu. Gue nggak menyadari bahwa selama ini dia selalu berusaha buat ngertiin gue sementara guenya lebih sering diem.”

Rokok di tangan Krishna kini diselipkan antara jari tengah dan jari telunjuknya. “Dia pacar yang baik banget,” akhir Krishna dengan tatapan nanar dan nada bicara yang lemah. “Baik...banget.”

Nampak jelas ekspresi wajah Raesaka menjadi muram. “Oh...”, bisik Raesaka. “Pacarannya lumayan lama, Kak?”, tanya si lelaki yang lebih muda dengan jemari yang saling bergerak tidak jelas. Mungkin itu salah satu caranya untuk melampiaskan emosi tidak teridentifikasi yang ada di dada.

Rokok di sela jemari Krishna tidak dipantik. Si lelaki Haliem hanya memainkannya di sela jari telunjuk dan jari tengahnya, diputar-putar. “Lumayan,” ujar Krishna. “Sepuluh tahunan.”

“Sepuluh tahun?!” Raesaka seperti memekik, tidak percaya. “Kak, kalau sepuluh tahun— berarti itu dari umur Kak Krishna masih... dua belas tahun? Terus bukannya Kak Krishna pernah pacaran sama Kak Jane? Berarti jauh lebih muda, dong?”

Rentet pertanyaan Raesaka dibalas dengan tawa kecil dari Krishna. “Nggak, kok. Gue pacaran sama dia semenjak tahun 2021.” Kepala Krishna sedikit menengadah ke atas, memandangi langit senja berwarna orange. Indah. “Bulan Juli, tanggal 28.”

Raesaka mengerjapkan matanya. “Hah?”, tanya si yang lebih muda. “Bulan Juli? Kak, ini masih bulan Maret. Gimana bisa Kakak pacaran sama seseorang di waktu yang bahkan belum terjadi?”

Krishna tersenyum miris. “Iya, ya,” ujarnya pelan. “Gimana bisa gue pacaran sama seseorang yang bahkan nggak tau bahwa pacarnya lagi berdiri di samping dia?”

Langit senja secara tiba-tiba berubah warna. Pendar jingga menghilang dan digantikan dengan kelamnya warna abu-abu. Hembusan angin yang semula terasa sejuk berganti suara sambaran petir, walau terdengar sangat jauh.

“Gimana, Kak?”, tanya Raesaka. “Kakak— pacaran sama seseorang yang lagi berdiri di samping Kak Krishna?”

Rintik hujan turun.

“Iya,” jawab Krishna seraya masih memandangi langit yang sekarang mendung; kelabu. “Gue pacaran sama lo.”

Kaca jam pasir semakin retak.

“Pacaran— sama... saya?”

Wanita dengan pakaian serba hitam menangis, pilu.

Krishna mengangguk. “Saka..”

Setiap manusia di luar sana tidak bergerak, berhenti di tempatnya. Dalam posisi beragam, mereka terdiam— seperti boneka yang mati. Tidak bernyawa.

“Ya, Kak Krishna?”

Waktu berhenti bergerak.

“Di masa depan, lo adalah pacar gue.”

Hanya pasir di jam pasir yang terus bergerak.

“Di masa depan, kita bahagia barengan.”

Petir menyambar. Membuat kilat cahaya yang sempat membuat Krishna dan Raesaka seakan buta untuk sesaat. Detik setelahnya, para manusia di luar sana yang semula diam membeku di posisinya tiba-tiba bergerak; melanjutkan setiap tindakan yang semula mereka tengah lakukan. Jarum jam kembali menunjukkan gerak detik.

“Gue dateng dari masa depan buat ketemu lo, Saka.”

Jam pasir berwarna merah, pecah.

Krishna memandangi layar ponselnya dengan pandangan nanar. Rangkaian pesan dari Semeru dan Armand yang ia dapati secara berturut-turut seakan membuatnya kebingungan bukan main. Bagaimana bisa dalam waktu beberapa jam saja semua hal seakan berubah secara drastis seperti begini?

Semeru tidak mengadakan seleksi yang membuat Krishna serta Raesaka bersaing sengit, bahkan harus diberi garis bawah dengan bubuhan pena yang tebal : Semeru bahkan menyuruh Krishna berhubungan dekat dengan Raesaka. Jika ini semua terjadi di masa lalu, Semeru akan bersikap sangat protektif kepada kedekatan antara Krishna dengan adik sepupunya. Lalu kenapa sekarang semuanya berbeda jauh?

Belum lagi, perbincangan di ruang chat KRIDA membuat Krishna semakin kebingungan. Jadwal acara yang dipercepat seakan tidak menjadi masalah bagi peserta yang lain. Padahal lazimnya, paling tidak semestinya akan ada satu-dua celetukan kesal yang mengiringi, bukan?

Tok. Tok. Tok.

Belum juga Krishna menemukan jawaban dari semua tanyanya, pintu kamar asramanya diketuk. Mengenyampingkan pemikirannya, Krishna bangkit dari posisinya dan beranjak menuju pintu kamar. Setelahnya, yang menyambut pandangan si lelaki Haliem adalah sesuatu yang membuat ia terkesiap.

Sosok lelaki berusia paruh baya yang mengenakan kenaan yang umum dikenakan para supir taksi berdiri di depan pintu, berdampingan dengan seorang wanita berusia tiga puluhan berpakaian serba hitam. Krishna terhenyak, ia mengenali lelaki di hadapannya ini namun yang dirinya ingat— tidak semestinya ia bertemu dengan si lelaki di waktu secepat ini.

“O-Om Budi?”, tanya Krishna dengan suara agak tergagap saking merasa diliputi kebingungan. Si lelaki paruh baya tersenyum tipis kemudian berujar dengan suaranya yang sangat tegas, khas seseorang yang sudah lama berkecimpung di dunia kemiliteran. Persis sesuai dengan yang Krishna ingat.

“Boleh kita bicara sebentar, Krishna?”

“Topinya agak ke bawah. Kayak begini.”

Raesaka menurunkan posisi topi berwarna hitam yang dikenakan Krishna saat ini. Ia berusaha membuat wajah Krishna menjadi tidak terlihat walau tetap saja, upayanya sia-sia, sih. Wajah si lelaki berkulit putih itu tetap saja terlihat, hanya saja sekarang tidak begitu kentara. “Tas slempang Kak Krishna saya masukin ke tas saya aja, ya? Biar kalau misalnya Kak Jane masih di luar, dia nggak tau kalau ini 'tuh Kak Krishna.”

Krishna tidak bisa banyak memberi jawab karena Raesaka seakan tidak memberinya kesempatan untuk berujar. Semua gerakan yang dilakukan Raesaka dilakukan sangat cepat. Lihat saja, sekarang lelaki itu sudah memasukkan tas hitam si kakak tingkat ke tas ransel miliknya sendiri. Sekilas, ketika Raesaka membuka tasnya, Krishna bisa melihat kotak tumbler yang memang biasa selalu berada di tas si yang lebih muda.

Tumbler yang berisi obat pertolongan pertama milik Raesaka jikalau lelaki itu mengalami pendarahan darurat akibat penyakit hemofilia yang diderita.

“Lo sering bawa tumbler? Isinya apaan? Air?” Sengaja, Krishna membuka percakapan dan bersikap seakan ia pura-pura tidak tahu bahwa Raesaka mengidap penyakit hemofilia. Yang mendapat pertanyaan sontak seperti terkesiap. Ia berupaya menutupi tumbler di dalam tasnya kemudian terkekeh kikuk. “Iya, Kak. Air. Saya emang gampang haus makanya bawa tumbler terus.

Raesaka berbohong.

Krishna tahu dengan jelas alasannya namun ia tidak mau lagi memaksa. Biarkan saja semua sandiwara ini berjalan seperti semestinya. Maka tanya tidak lagi disuarakan, Krishna lebih memilih untuk menurunkan posisi jaket merah muda yang dikenakannya agar menutupi keseluruhan jaket fakultas yang ia kenakan di bagian dalam. Suara retsleting tas yang ditarik membuat Krishna mengalihkan fokus, rupanya tas slempang miliknya sudah tersimpan sempurna di dalam tas Raesaka. Setelahnya, si yang lebih muda tanpa permisi menggamit tangan Krishna, erat.

“Yuk. Berangkat? Saya antar sampai ke asrama lagi.”

Hujan masih turun walau hanya rintik-rintik. Krishna mengenakan jaket merah muda pemberian Raesaka sementara si yang lebih muda mengenakan jaket merah yang menjadi simbol fakultas Teknik. Raesaka bilang, ia tidak membawa jaket yang lebih tebal ataupun yang bertudung seperti yang dikenakan Krishna sekarang.

Sumpah. Sumpah demi apapun, perjalanan dari gedung D ke area parkir mahasiswa fakultas teknik tidak pernah semenegangkan ini. Sepanjang perjalanan langkah keduanya, Raesaka tidak pernah melepaskan genggaman tangan Krishna sementara si kakak tingkat terus menundukkan kepala agar tidak ada siapapun yang mengenali. Krishna tahu bahwa Raesaka sengaja memilih rute yang berbeda dengan yang biasanya para mahasiswa gunakan. Raesaka memilih jalan yang jarang dilewati agar tidak banyak yang melihat sosok Krishna dalam balutan jaket merah muda ini.

Beruntung, tidak ada halangan berarti yang menghambat langkah keduanya. Entah mengapa, semua seakan memberi jalan kepada Raesaka dan Krishna untuk mencapai area parkir dengan lancar. Tidak ada Jane, tidak ada pula mahasiswa atau mahasiswi yang menghambat langkah keduanya padahal Krishna sadar ada beberapa pasang kaki yang lewat di samping mereka.

Agak sedikit membingungkan bagi Krishna. Mengingat reputasi Raesaka di kampus yang kerap dijuluki mahasiswa baru yang tampan semestinya akan ada banyak mahasiswi yang berupaya mencari tahu siapa seseorang yang tangannya digenggam erat oleh Raesaka.

Agaknya, semesta mengizinkan keduanya untuk berbahagia. Walaupun Krishna sendiri merasa pemikirannya barusan sangatlah konyol. Sepanjang yang ia ingat, semesta tidak pernah berbaik hati kepada ia dan Raesaka. Lalu ketika semua berjalan selancar ini, Krishna menganggap semesta seperti sedang bercanda.

“Nah, sampai.” Langkah kaki Raesaka berhenti, membuat Krishna juga melakukan hal yang serupa. “Udah, Kak. Angkat aja kepalanya. Nggak ada siapa-siapa di sini.”

Mengikuti ujaran si adik tingkat, Krishna mengangkat kepalanya. Yang kemudian menyambut pandangan si yang lebih tua malah membuat ia terhenyak. Bukan, bukan dalam artian yang buruk melainkan sangat— positif. Hujan rintik-rintik membuat rambut Raesaka agak kebasahan walau tidak sampai basah kuyup. Namun itulah alasan yang membuat Krishna tidak dapat berujar untuk beberapa saat.

Raesaka sangat tampan saat ini. Rambutnya yang agak basah agaknya menambah kadar ketampanannya sebanyak beberapa kali lipat. Belum lagi senyuman manis khas si lelaki berkulit kecoklatan itu terulas jelas seraya tangannya meraih helm yang ada di atas motor. “Lepas dulu topinya biar bisa pake helm, ya, Kak?”

Krishna tidak bisa melakukan apapun, ia masih terpesona akan sosok si lelaki yang berdiri di hadapannya. Selama ini, Krishna selalu menganggap adegan di drama Korea yang ditonton si kakak perempuan terlalu menggambarkan roman picisan. Selama ini, Krishna menganggap setiap alur cerita di drama Korea terlalu menjijikkan.

Hingga akhirnya Krishna merasakannya sendiri. Ia merasakan bagaimana seseorang bisa tampak sangat tampan tanpa harus berupaya keras untuk terlihat keren. Hanya dengan senyuman dan gerak sederhana, seseorang bisa tampak bersinar di mata insan yang memandang.

Raesaka tampaknya tidak sadar bahwa ia sudah membuat lelaki di hadapannya sekarang tidak mampu berkata atau melakukan apapun. Sekarang si yang lebih muda malah melepaskan topi yang dikenakan Krishna kemudian memasangkan helm di tangannya ke kepala si lelaki Haliem.

“Nah, selesai.”

Walaupun helm sudah terpasang sempurna di kepala Krishna, Raesaka masih belum melepaskan pandangannya dari wajah si kakak tingkat. Jelas saja, itu membuat Krishna sedikit merasa kikuk karena tatapan Raesaka seakan menelanjanginya bulat-bulat. “Apaan, sih? Ngeliatinnya biasa aja 'kan bisa.”

“Kak Krishna cantik banget.”

Kamu cantik banget, Krishnaku.” “Saka! Aku nggak cantik!“ “Cantik. Kamu paling cantik..

Krishna terkesiap tatkala kelebat bayang wajah Raesaka di masa depan bersinggungan dengan sosok Raesaka yang sekarang berada di hadapannya. Bukannya Krishna tidak merasa, ia juga sadar bahwa semakin ke sini— Raesaka yang berusia dua puluh tahun semakin mirip dengan Raesaka yang berusia tiga puluh tahun. Entah sejak kapan, segala hal tentang Raesaka di hadapannya semakin mirip dengan Raesakanya di masa depan.

“Gue nggak cantik.” Seakan sudah menjadi respon refleks, Krishna menjawab dengan singgahan serupa yang kerap ia lemparkan selama sepuluh tahun ke depan. Raesaka terkekeh kecil kemudian menyentuh pipi kanan Krishna sekilas, menyuarakan sebagaimana ia merasa gemas dengan sosok Krishna saat ini. “Masa' iya, nggak cantik? Liat, nih. Pipinya aja jadi merah begini. Masa' nggak suka disebut cantik? Hm?”

Krishna menyingkirkan tangan Raesaka dengan memasang ekspresi kesal yang malah terlihat menggemaskan di mata si yang lebih muda. “Apaan, sih? Nggak lucu, tau. Jangan suka bercanda. Jangan lupa kalau gue ini kakak tingkat lo.”

Kekehan Raesaka memudar, digantikan dengan ulas senyum simpul. “Kak Krishna,” ucap Raesaka lirih dan dibalas dengan gumaman dari Krishna. “Mungkin nggak, kalau ada sesuatu yang lain dari kita berdua?”

“Maksud lo?”, tanya Krishna.

“Entah,” balas Raesaka. “Kayak— apa, ya, Kak? Apa Kakak pernah ngerasain hal kayak ketika Kak Krishna memandang seseorang 'tuh Kak Krishna ngerasain rindu yang besar banget. Rindu yang kayak membuncah. Padahal Kak Krishna baru ketemu orang itu sekali dua kali.”

“Apa Kak Krishna pernah ngerasain situasi ketika bibir Kakak terkadang kayak terbuka sendiri dan ucapin berbagai hal yang selama ini nggak pernah Kakak kira bisa lakuin? Kayak kata cantik yang saya sebut barusan, otak saya nggak pernah nyuruh buat berucap kayak begitu tapi— nggak tau. Semuanya terucap begitu aja.”

“Terus...” Raesaka berujar dengan sedikit ragu. “Apa Kak Krishna pernah ngerasain perasaan marah yang gede banget ketika Kakak tau bahwa ada orang lain yang suka ke seseorang yang kita sukai? Karena ketika saya tau dari Mbak Tania kalau Kak Jane bakal dateng ke fakultas kita buat jemput Kak Krishna, rasanya saya marah banget, Kak.”

Raesaka mengambil jeda di akhir kalimatnya. “Apa Kakak pernah ngerasain semua itu? Apa semua ini cuma dirasain sama saya? Apa Kak Krishna— ngerasain hal yang sama?”

Terlalu cepat.

Bukannya Krishna tidak sadar bahwa semua yang terjadi saat ini berlalu dalam lini masa yang terlalu cepat. Seingat Krishna, di waktu ini semestinya mereka berdua masih bersikap acuh tak acuh. Semestinya mereka berdua bersiteru perihal siapa yang lebih pantas menjadi danton, bukannya malah berdiri berhadapan dengan salah satu yang mengungkapkan perasaannya terlebih dahulu.

“Saya cinta Kakak.”

Pengakuan cinta ini berbeda dengan yang dulu Krishna dapatkan. Dahulu, Raesaka tidak akan berani menyatakannya dengan blak-blakan seperti ini. Krishna ingat bagaimana dulu Raesaka berujar di balik punggungnya, mengira si yang lebih tua sudah terlelap duluan. Krishna ingat bagaimana dulu semua terasa rumit dengan penolakan dari banyak pihak.

Dari Tania. Dari Semeru.

Lalu sekarang— ke mana mereka? Ke mana perginya Semeru yang dahulu seakan selalu ingin ikut campur atas segala interaksi antara Krishna dengan Raesaka? Ke mana perginya Tania yang selalu sinis kepada Krishna karena menganggap keberadaan lelaki itu adalah pengaruh buruk untuk Raesaka?

Kenapa semua berbeda jauh? Kenapa semua selancar ini?

“Kak..” Raesaka berujar lagi karena tidak mendapat respon dalam bentuk apapun dari si kakak tingkat. “Saya terlalu lancang, ya, ngomong begini tiba-tiba?”

Sontak, Krishna menjawab dengan gelengan kepala. “Nggak. Nggak lancang, kok. Gue cuma kaget aja...”, Krishna memutus kalimatnya sebelum kembali melanjutkan. “Gue nggak nyangka bahwa orang yang gue suka juga rupanya punya perasaan yang sama kayak gue.”

“Gue juga sayang lo, Saka.” “Gue suka lo. Gue cinta lo.”

Pengakuan Krishna menjadikan senyuman lebar terkembang di wajah tampan Raesaka. Kepalanya sekarang menengadah ke atas, memandangi langit yang rupanya sudah berhenti menurunkan rintik air hujan. Mungkin langit juga ikut bergembira akan pengakuan hati dua insan dan memilih untuk tidak lagi menangis.

“Hujannya berhenti, Kak.” Ucapan Raesaka membuat Krishna juga ikut menengadahkan kepala ke atas, memandangi langit yang bersih tanpa awan. Krishna tersenyum tipis. “Iya, hujannya berhenti.”

“Wah!” Seperti anak kecil yang baru melihat sesuatu menakjubkan untuk kali pertama, Raesaka menunjuk ke langit. “Kak, ada pelangi!”

Krishna mengikuti arah telunjuk Raesaka dan menemukan apa yang membuat si lelaki Danadyaksa terkagum-kagum. Benar, ada pelangi melintang di atas awan. Tampak indah, namun tidak lebih indah dari senyuman yang sekarang terpajang jelas di wajah Raesaka. “Iya, pelangi...”, gumam Krishna seraya memandangi untaian warna yang tercipta di atas sana.

Di tempat lain, pasir berwarna merah di jam pasir yang kacanya sedikit pecah turun sangat cepat, tanpa siapapun bisa mencegah.

“Saka...”

“Ya, Kak Krishna?”

Lo mau liat pelangi di kamar gue?

Raesaka tidak pernah menduga bahwa jantungnya bisa berdegup dengan sangat cepat seperti saat ini. Padahal ia sudah terbiasa berlari mengelilingi lapangan dalam jarak berapapun semenjak kecil. Lapangan sekolah, lapangan kampus, hingga lapangan latihan dari ruang markas TNI Angkatan Laut sewaktu mengunjungi tempat kerja sang Ayah sudah pernah Raesaka jajal.

Namun sekarang jarak dari gedung A ke gedung D yang berjarak tidak sampai dua ratus meter sudah membuat dada Raesaka berdebar tidak karuan. Kelas terakhir Raesaka di gedung A mungkin menjadi saksi bisu bagaimana semenjak tadi Raesaka mengetuk-ngetukkan kakinya ke lantai dengan gugup. Pandangan Raesaka terus berganti fokus selama dosennya menjelaskan materi di depan kelas. Terkadang fokus sekilas ke papan tulis, dan sisanya lebih banyak dihabiskan memandangi jarum jam di arloji dengan tidak sabar.

Raesaka ingin segera menjemput Krishna. Raesaka tidak ingin Krishna bertemu Jane. Raesaka ingin mencegah semua itu terjadi.

Alasannya? Untuk ribuan kali, Raesaka harus menjawabnya lagi. Entah. Jika disebut sebagai rasa cemburu, Raesaka sendiri paham bahwa ia tidak semestinya merasakan demikian. Memangnya apa hubungan antara dirinya dengan Krishna, coba?

Kekasih? Bukan. Teman dekat? Mereka baru kenal.

Tidak ada alasan bagi Raesaka untuk merasakan rasa yang sepatutnya orang namai sebagai cemburu. Lalu jika bukan cemburu, maka— perasaan apa ini?

Di tengah langkahnya yang dibawa melangkah agak cepat menuju gedung D, Raesaka mendengar bisikan dengan suara yang amat kecil dari dalam hatinya sendiri. Jatuh cinta, adalah yang Raesaka dengar samar-samar di setiap langkahnya yang dibawa ke gedung tujuan. Rindu, adalah kata tambahan yang kerap menyela kata jatuh cinta di pikiran Raesaka.

Raesaka berdecak kesal seraya mengacak rambutnya sendiri. Tingkah si lelaki sempat membuat beberapa mahasiswi menoleh ke arahnya namun berakhir dengan mereka yang terpesona dengan sosok Raesaka yang kadar ketampanannya bertambah tatkala rambutnya menjadi sedikit berantakan.

Akan tetapi semua tidak menjadi fokus Raesaka. Peduli setan dengan setiap tanggapan orang-orang tentang dirinya. Raesaka tidak ingin mengetahui pendapat mereka, yang ingin Raesaka ketahui sekarang adalah— mengapa ia merasakan semua ini kepada Krishna yang baru dikenalinya sekitar seminggu?

Kulit lengan Raesaka merasakan jatuhnya bulir rintik hujan. Kepala si lelaki sedikit menengadah ke atas. Betul, rupanya— langit benar-benar sudah mendung padahal beberapa jam ke belakang matahari tampak bersemangat memancarkan sinar teriknya. Plin-plan, pikir Raesaka.

Akan tetapi pemikirannya akan kata plin-plan tiba-tiba membuatnya teringat ke dirinya sendiri. Jika dipikir secara lebih baik, Raesaka juga sangat plin-plan, pendiriannya tampak sangat mudah berubah. Beberapa hari lalu, Raesaka menawarkan tantangan dengan sikap tidak sopan kepada Krishna di kali pertama mereka bertemu sewaktu latihan Paskibra.

Awalnya Raesaka kukuh akan pendiriannya untuk tidak menjalin kasih dengan siapapun. Raesaka berniat untuk memfokuskan semua perhatiannya pada akademik, ia sama sekali tidak ingin menghancurkan semua harapan sang Ayahanda. Lucunya, semua keinginan Raesaka seakan hancur sepenuhnya ketika netra menatap wajah Krishna.

Dari wajah Krishna, Raesaka merasakan jutaan emosi campur aduk. Seperti melihat seseorang yang sudah lama tidak ia temui, seakan melihat wajah yang sangat ia rindukan senyumannya. Raesaka merasakan marah karena tidak bisa meraih tangan Krishna dan mengatakan bahwa dirinya rindu, namun di sisi lain ia juga merasakan perasaan bimbang yang membingungkan — karena ia tidak tahu dari mana semua perasaan ini berasal.

Kemudian dari perasaan yang rumit disimpulkan akan sosok si kakak tingkat, Raesaka merasakan sendu yang teramat sangat tatkala Krishna memeluk dirinya tanpa alasan. Bahkan yang Raesaka tidak percayai, ia menangis dalam diam ketika sosok Krishna berjalan menjauhinya untuk pulang ke asrama. Seakan ada rasa rindu yang membuncah dan tidak ingin berpisah yang terus diserukan alam bawah sadarnya.

Tidak terlepas dari itu saja, setiap kali Krishna mengirimkan chat kepadanya, Raesaka selalu tersenyum di kasurnya. Setiap kalimat yang Krishna beri sungguh seperti endorphin bagi Raesaka.

Gue boleh anggap kita sebagai temen, 'kan?

Namun Raesaka bisa apa ketika Krishna menawarkan hubungan pertemanan yang diwakili dalam jabatan tangan yang paling menyakitkan? Padahal genggaman tangan Krishna sama sekali tidak erat namun Raesaka merasakan tangannya seakan dirajam dengan jarum panas ketika semua itu mewakilkan sebuah hubungan yang membuatnya sesak bukan main. Pertemanan.

Tungkai Raesaka masih melangkah sementara rintik hujan perlahan turun; kali ini tidak hanya satu-dua melainkan mulai turun berbarengan walau masih malu-malu. Gedung D yang disebut sebagai tempat kelas terakhir Krishna berada sudah berada di depan mata. Dalam hati, Raesaka terus berharap agar Jane masih belum bertemu dengan Krishna.

Jangan ketemu dulu. Jangan ketemu dulu. Jangan ketemu dul—

Hiperbolis, memang. Akan tetapi barusan Raesaka merasa jantungnya sempat berhenti berdetak sekejap tatkala netranya menangkap sosok seorang gadis berambut panjang dengan paras ayu berdiri di pijakan tangga menaiki gedung D. Rambutnya diikat dengan kepangan simpul dan tangannya menggenggam sebuah payung berwarna transparan. Berulang kali Raesaka melihat gadis itu melirik arloji di pergelangan tangan kirinya, tampak menunggu kedatangan seseorang.

Gadis itu Jane. Jelas, menunggu Krishna.

Raesaka berupaya mengatur ekspresi wajahnya ketika melewati Jane untuk masuk ke dalam gedung D. Pandangan si gadis ayu sempat mengikuti bayangan Raesaka yang lewat di hadapannya, tampak ingin menyapa namun juga seperti takut salah mengenali. Raesaka pernah dengar dari Tania bahwa kakak sepupunya itu menceritakan soal hubungan mereka sebagai sepupu kepada Jane, pasti si gadis ayu ingin menyapa Raesaka karena alasan itu.

Namun sekarang tidak ada waktu untuk bertegur sapa. Saat ini Raesaka menganggap dirinya dengan Jane tidak ubahnya seperti rival; saingan. Jika Raesaka tidak melangkah lebih cepat maka Jane yang pasti akan melangkah di depannya dengan menggamit lengan Krishna.

Tidak. Tidak mau. Raesaka tidak mau itu terjadi.

Si lelaki berhasil melewati Jane dan memasuki ruang di dalam gedung D terlebih dahulu. Bodohnya, Raesaka hanya mengetahui si Kakak tingkat berada di gedung D namun tidak dengan detail ruangannya. Raesaka tidak tahu di ruangan mana Krishna berada.

Ruangan pertama dibuka, nihil. Tidak ada siapapun di sana. Ruangan kedua dibuka, hampir saja membuat Raesaka disemprot amarah dari dosen yang mengira Raesaka adalah anak didiknya yang datang terlambat masuk kelas. Hingga akhirnya di pintu ruangan kelima yang dibuka, Raesaka menemui sosok Krishna yang tengah duduk di salah satu bangku. Seorang diri.

“Ampun, dah. Lo ngapain nyuruh gue nunggu, cob—”

Krishna baru saja akan menyapa si adik tingkat namun semua niatannya terhalang ketika Raesaka berderap menghampirinya dan menarik tangannya untuk berdiri. Tanpa permisi, Raesaka memeluk tubuh Krishna erat-erat. Dari posisi mereka saat ini, Krishna bisa merasakan degup jantung Raesaka yang berdebar sangat cepat. “Saka, lo— oke?”, tanya Krishna sedikit khawatir. “Lo deg-degan banget, sumpah. Lo lari ke sini?”

Raesaka tidak memberi jawaban apapun. Si yang lebih muda masih memeluk tubuh Krishna hingga yang dipeluk merasa sedikit sesak. “K-Ka. Saka, hei. Sesak..”, bisik Krishna seraya berupaya mencari ruang baginya agar mampu menarik nafas dengan lebih nyaman. “Lo kenap—”

“Jangan pergi sama yang lain, Kak.” “Jangan ke mana-mana, sama saya aja.” “Saya nggak bisa kalau nggak ada Kakak.”

Raesaka tidak tahu mengapa bibirnya bisa berujar demikian. Dirinya dengan Krishna baru saling mengenal sekitar seminggu namun semua alam bawah sadarnya seperti terus membisikkan pemikiran bahwa Krishna bukanlah seseorang yang baru ia kenal seminggu.

Raesaka seperti sudah mengenal Krishna dengan sangat lama. Tidak hanya setahun dua tahun, malah. Raesaka merasakan bahwa ia sudah jauh— jauh mengenal Krishna lebih lama daripada itu.

Krishna? Terhenyak. Ia tidak tahu harus bereaksi seperti bagaimana. Raesaka yang sampai dengan kemarin mengatakan bahwa ia tidak ingin menukar segala fokus akademiknya untuk hubungan istimewa seperti jalinan kekasih tiba-tiba malah memeluki dirinya erat-erat begini. Bagaimana bisa Krishna tidak kebingungan, coba?

Hingga akhirnya, Krishna mengangkat tangan kanannya dan mengusapi puncak kepala Raesaka dengan sangat lembut. Di masa depan, Krishna sangat sering melakukan hal ini setiap kali Raesaka mengatakan bahwa dirinya sedang merasa letih. Sepenggal kalimat diucap oleh Krishna, lambat-lambat. “Gue nggak ke mana-mana, Saka.”

“Gue ada di sini, selalu sama lo. Walau lo ngejauh, pada akhirnya gue kejar lo. Walau lo bilang nggak mau, pada akhirnya gue ada di tempat yang sama— cuma buat sekedar liat lo dan pastiin lo baik-baik aja.”

“Gue nggak ke mana-mana, Saka.” “I'm not moving.”

Di luar hujan deras. Di dalam ruangan, dua lelaki yang beberapa hari lalu berada dalam posisi yang berbeda— dengan Raesaka yang dipeluk oleh Krishna, kini seakan menemui jalannya kembali. Sekarang di tengah derasnya hujan yang turun, Krishna merengkuh Raesaka di pelukannya.

Sama persis seperti sepuluh tahun lalu.

“Mas Krishna?”

Oh, sialan. Sontak, Raesaka melepaskan pelukannya dari tubuh Krishna dan segera mengeluarkan jaket berwarna merah muda yang tadi ia pinjam dari salah seorang mahasiswi di kelas yang diikutinya. Tanpa mempedulikan si kakak tingkat yang tampak kebingungan, Raesaka tetap berupaya memakaikan jaket merah muda itu ke tubuh Krishna. “Kak, please. Jangan tanya apa-apa. Sekarang Kakak pakai jaket ini aja, buruan!”

“Heh? Buat apaa—”

Jaket berwarna merah muda itu belum dipakai seluruhnya secara sempurna. Baru bagian tudungnya saja yang menutupi wajah Krishna, sementara jaket almamater merahnya masih terlihat lumayan jelas. Baru saja Raesaka berniat menurunkan jaket merah muda di tubuh Krishna untuk menutupi jaket almamater merah kenaan Krishna, tiba-tiba pintu ruangan terbuka.

Dengan cepat, Raesaka memutarkan posisi tubuh Krishna agar si kakak tingkat berdiri membelakangi pintu. Supaya siapapun yang nantinya masuk lewat pintu ruangan ini tidak akan bisa mengenali sosok Krishna. Dengan sigap, sebelah tangan Raesaka merengkuh pinggang ramping Krishna agar kelebat jaket merah yang dikenakannya tidak terlihat dari belakang. Dengan tiba-tiba, Raesaka meraih dagu Krishna dan melabuhkan bibirnya ke bibir lelaki di hadapan.

Raesaka dan Krishna berciuman. Di kelas kosong yang pintunya dibuka; oleh ──── Jane.

Krishna terkesiap ketika bibir Raesaka bergerak secara perlahan untuk memberi pagut di bagian bibir bawahnya. Raesaka menuntun bibir Krishna untuk terbuka, seperti yang kerap lelaki itu lakukan selama sepuluh tahun ke depan — bertukar lilitan lidah. Sebelah tangan Raesaka yang semula berada pada dagunya kini beranjak merengkuh punggung leher Krishna, menjadikan si yang lebih tua tidak memiliki pilihan selain ikut membuka mulut dan membiarkan lelaki di hadapannya semakin nyaman memainkan lidahnya di dalam mulut si pemilik raga.

“S-Sak—” Krishna berupaya mencari jeda diantara ciuman mereka. Walaupun Krishna tahu bahwa Raesaka yang berusia dua puluh tahun belum pernah berpacaran sekalipun, ia selalu saja dibuat takjub dengan kemampuan berciuman lelaki ini. Memabukkan.

Diem.”

Satu kata yang Raesaka ucapkan itu membuat semua fungsi syaraf Krishna seakan mati dalam sekejap. Kata barusan diujarkan dengan perlahan dan dalam suara berat. Krishna terhipnotis, ia ingin segera menikmati bibir merah itu lagi. Ia rindu ciuman dari seorang Raesaka.

Tidak bisa menahan semua hasrat, Krishna mengangkat kedua tangan dan membiarkannya terlingkar di leher Raesaka. Tanpa basa-basi, Krishna melabuhkan bibirnya terlebih dulu ke bibir si lelaki yang dulunya bertahta sebagai kekasih. Entah atas dorongan apa, Raesaka seakan paham bahwa Krishna memang mendamba setiap sentuhannya. Maka akses diberikan secara penuh; bibir dibuka, lidah dijulurkan, hisap yang terkadang disela oleh lenguh kenikmatan yang disuarakan secara tertahan mengisi ruang kelas kosong disertai iringan hujan di luar gedung.

Jika mereka masih dalam status waras, semestinya paling tidak terbersit pikiran agar tidak melakukan semua ini di dalam ruang kelas. Namun baik Krishna dan Raesaka, keduanya tidak menaruh peduli. Krishna terlalu merindukan sentuh Raesaka sementara Raesaka terlalu dimabukkan oleh perasaan yang seperti pertama namun tidak-juga-begitu-terasa seperti pengalaman pertama.

“A-anhh, K-Ka..”

Cklek.

Krishna terkesiap tatkala pintu ruang kelas yang mereka tempati terbuka kemudian disusul dengan derit pintu yang engselnya sudah berkarat. Refleks, Krishna melepaskan ciumannya dari bibir Raesaka sementara si yang lebih muda tampak memandangi pintu ruang kelas dengan lurus-lurus; tanpa berkedip, malah. Belum juga Krishna berhasil menguasai rasa terkejutnya, tiba-tiba rungu Krishna menangkap suara yang sangat ia kenali.

Sorry, liat Krishna anak 2019, nggak?”

Suara Jane.

Dari posisinya, Krishna bisa merasakan dengan jelas bahwa tubuhnya sedang gemetaran. Ia takut ketahuan oleh Jane dalam situasi seperti ini. Walaupun memang keduanya memang tidak lagi menjalin kasih, Krishna tetap saja merasa khawatir. Namun kekhawatirannya bukan karena reputasi dirinya sendiri melainkan ke reputasi Krishna. Akan bagaimana jadinya jika Jane mengetahui ia dan Raesaka berada di ruang kelas kosong hanya berduaan? Lalu dalam posisi berpelukan begini?!

Raesaka semakin merangkul pinggang Krishna untuk semakin mendekati dirinya. Sebisa mungkin, si yang lebih muda juga berupaya menutupi sisa jaket almamater merah yang dikenakan Krishna agar tertutupi sepenuhnya oleh jaket merah muda yang dikenakan. “Krishna?”, tanya Raesaka balik. “Kurang tau, mungkin udah pulang?”

Nada suara Raesaka terdengar dingin. Sepanjang keduanya menjalin kasih, Krishna tahu dengan jelas bahwa nada suara Raesaka yang seperti itu adalah tanda bahwa ia sedang mempertahankan si lelaki Haliem. Sebuah tanda bahwa Raesaka Danadyaksa sedang cemburu.

“Tapi dia belum keliatan keluar gedu—”

Rungu Krishna masih bisa mendengar ucapan Jane namun bibirnya merasakan ciuman Raesaka yang dilabuhkan dengan cukup liar. Raesaka menciumnya lagi, kali ini di depan Jane.

Belum juga Krishna berhasil menyimpulkan situasi apa yang terjadi, si lelaki melepas ciuman diantara mereka berdua kemudian sedikit memiringkan kepalanya untuk memandangi Jane yang tampaknya agak shock dengan apa yang barusan ia lihat. “Bisa tolong tutup pintunya lagi? Atau lo mau terus-terusan liat gue ciuman sama pacar gue?”

Jaket merah muda dan Krishna yang diposisikan membelakangi pintu, semua adalah taktik Raesaka agar Jane mengira bahwa yang sedang ada di ruangan kelas ini adalah dirinya dengan seorang perempuan. Bukan Krishna.

“O-oh, sorry! Maaf, gue nggak tau lo berdua lagi mojok! Sorry, sorry banget, ya!” Suara Jane betul-betul terdengar seperti seseorang yang tidak tahu harus melakukan apa. Hilang petunjuk. Beberapa detik setelahnya, yang terdengar adalah suara pintu kelas yang ditutup rapat.

Raesaka yang semula memasang ekspresi wajah sinis, tiba-tiba mengubah ekspresinya menjadi layaknya seorang anak remaja puber yang baru saja berhasil menyelesaikan masalah; tampak lega bukan main. Kepalanya kini bersandar di pundak Krishna. “Hhh... ampun, lega banget.”

Krishna yang sekarang paham akan maksud tindakan yang dilakukan Raesaka kepadanya hanya bisa tertawa kecil seraya menjitaki kepala Raesaka yang sedang bersandar di pundaknya. Jitakan kecil, tidak kencang atau keras sama sekali. “Gila emang, lo. Pantes aja dari tadi lo nyuruh gue beli payung.”

“Ya, mau gimana lagi?”, gumam Raesaka masih dengan posisi keningnya yang bersandar di pundak Krishna. “Kalau nggak kayak begini, nanti Kak Krishna pulang bareng Kak Jane. Saya nggak lagi punya kesempatan.”

Hening. Selanjutnya, baik Raesaka maupun Krishna, tidak ada yang membuka pembicaraan. Raesaka terlalu merasa malu sementara Krishna terlalu takut untuk berharap. Hingga akhirnya setelah menimbang lama, Krishna lah yang terlebih dahulu membuka suara. “Kesempatan... apa?”

“Kesempatan...” Raesaka mengangkat kepalanya, ia tidak lagi menyandarkan kening ke pundak si kakak tingkat. “...buat antar Kak Krishna pulang.”

Perlahan, tangan Raesaka terangkat dan meraih tali pengikat tudung di jaket berwarna merah muda yang dikenakan Krishna. Perlahan, tali jaket ditarik sehingga tubuh Krishna menjadi condong ke arah Raesaka, hampir terjatuh. Di saat itulah, lagi-lagi Raesaka mendaratkan kecupannya di bibir Krishna.

Di luar gedung, hujan deras. Di dalam ruang kelas, Raesaka dan Krishna masih berbagi pagut dengan diselingi senyuman tipis di setiap sela helaan nafas yang membuat ciuman mereka terputus. Hanya untuk sepersekian detik saja karena di detik setelahnya, kedua bibir kembali saling balas pagut guna melampiaskan rasa yang masih asing namun sungguh amat sangat mereka rindukan.

Hanya saja keduanya tidak tahu bahwa di luar gedung fakultas teknik, satu unit mobil taksi terparkir di pinggir jalanan. Lampu hazard menyala, menandakan si pengemudi tidak sedang menunggu penumpang untuk datang.

Di dalam taksi, seorang lelaki berusia tiga puluh tahunan duduk di bangku pengemudi sementara seorang wanita dengan pakaian berwarna hitam dari ujung kaki hingga ujung kepala duduk di bangku penumpang bagian belakang. Sang wanita yang terlihat berpenampilan anggun memegang jam pasir yang isinya terjatuh ke arah bawah; membuat gundukan pasir yang layaknya ada di setiap jam pasir.

Warna pasir itu, biru.

“Kita nggak bisa lakuin apa-apa lagi...” Si wanita berpenampilan serba hitam itu memandangi jam pasir di tangannya dengan tatapan sendu. “...pasirnya jatuh semakin cepat.”

“Kalau pasirnya terus jatuh kayak begini, waktunya nggak akan sampai sepuluh tahun. Jatuhnya terlalu— cepat, Ayah.”

Si lelaki yang duduk di bangku pengemudi tampak mengeratkan genggamannya ke setir kemudi. Hingga secara tiba-tiba, ia memukuli setir kemudi dengan geram. Lelaki itu, marah. Sementara di bangku belakang, si wanita mengeratkan genggamannya ke jam pasir di tangan. Berharap dengan cara begitu, paling tidak arus pasir yang jatuh ke bawah akan melambat. Walau pada kenyataannya, tidak sama sekali.

Pasir di jam yang digenggamnya, jatuh────semakin cepat. Terlalu cepat.

“Maaf..” “Maafin Ibu, Saka..” “Ibu nggak bisa apa-apa lag—”

Tiba-tiba, cahaya terang terlihat bersinar dari arah jam pasir yang dipegang oleh si wanita dan secara refleks membuatnya membuka genggaman yang semula diremat erat-erat. Setelah genggamannya dibuka, si wanita berteriak tertahan. “Ayah!”

“Warna pasirnya jadi merah..” “Takdir Saka.. berubah..”

Raesaka menatapi layar ponsel miliknya; yang menampilkan jendela pesan antara dirinya dengan si kakak sepupu, Tania. Baru sekali ini ia berbohong kepada si kakak sepupu yang paling disayanginya itu. Sebuah hal yang tidak mungkin terjadi di masa lalu, karena Raesaka sangat menghargai Tania sebagai seseorang yang lebih dewasa daripada dirinya.

Raesaka terbiasa mengabulkan semua keinginan Tania. Jika Tania meminta satu hal, tanpa pikir panjang maka Raesaka akan melakukannya. Akan tetapi, rasanya ada sedikit perbedaan di hari tatkala Tania mendatangi kamar tidurnya dan mengucap satu permintaan kepada Raesaka :

Dek. Besok kamu ke asrama cowok, ya? Di sana ada motornya temen Mbak yang namanya Freddie. Kamu pake aja motor dia! Mbak udah ngomong ke Freddie, kok! Katanya boleh.

Buat apaan, Mbak?”

Ih! Kamu bantu Mbak, ya? Jadi besok kamu jemput Kak Krishna! Tapi sebelum jemput, kamu kempesin dulu ban sepedanya Kak Krishna! Kamu tau 'kan sepedanya yang mana? Kalau nggak tau, nanti Mbak kirimin fotonya, deh.”

Buat...apa?”

Pokoknya kamu bikin alibi seakan kamu cuma dateng secara kebetulam ke asrama dan tawarin dia buat naik motor bareng kamu! Pokoknya bikin Kak Krishna nggak punya pilihan selain harus pulang jalan kaki atau naik gocar!”

Iya, tapi buat ap—”

Mbak mau comblangin Kak Krishna sama Jane lagi, Dek! Tau, 'kan? Yang itu, lho. Temen mayoret Mbak.

Raesaka terpaksa menjalankan perintah kakak sepupunya karena ia terlalu terbiasa mengiyakan permintaan si yang lebih tua. Raesaka mengempiskan ban sepeda Krishna, Raesaka menawarkan Krishna untuk dibonceng dengan motor pinjaman dari Freddie──semua sudah sesuai rencana.

Yang tidak sesuai rencana adalah Raesaka yang merasa senang setengah mati tatkala tangan Krishna terlingkar secara tidak sengaja di pinggangnya. Yang keluar dari semua perkiraan Raesaka adalah kedua tangannya yang kembali meraih tangan Krishna agar tetap memeluknya dari belakang.

Dan sekarang, ada lagi yang di luar rencana. Raesaka tidak menanyakan hal apapun perihal kelas terakhir yang dijalani si kakak tingkat agar Jane bisa menghampiri Krishna guna menjalankan rencananya.

Untuk pertama kalinya, Raesaka berbohong kepada Tania. Dan jika kau menanyakan alasan mengapa Raesaka berbuat demikian───

───entahlah.

Ini perasaan yang baru pertama kali Raesaka rasakan. Perasaan marah yang bercampur dengan kesal setiap kali Tania mengikutsertakan nama Jane di perbincangan mereka berdua perihal Krishna. Perasaan dengki karena Tania kerap memperlihatkan kepada Raesaka foto-foto Krishna dengan Jane tatkala keduanya masih menjalin kasih; belum lagi dengan ucapan yang mengatakan bahwa Krishna dan Jane sering dijuluki pasangan paling cocok se-UGAMA.

Masih seraya dibuat berkutat dengan pemikirannya sendiri, ibu jari kanan Raesaka bergerak di atas layar. Menekan beberapa tombol, memperlihatkan jendela percakapan yang bergulir dari perbincangannya dengan Tania menjadi jendela yang memperlihatkan chat antara Krishna dan Raesaka sendiri.

Beberapa hari yang lalu, Raesaka dibuat heran dengan datangnya chat dari Krishna secara tiba-tiba. Awalnya dipenuhi dengan barisan bubble yang kosong melompong, tanpa tulisan apapun.

Hingga akhirnya pada hari itu di tengah malam, ada beberapa bubble yang datang lagi mengiringi──kali ini dibarengi dengan beberapa kalimat di dalamnya.

Tidak kosong.