dontlockhimup

“Jadi, karena terus-terusan nggak lolos audisi jadi aktor, makanya kamu mau lompat dari jembatan?”

Pertanyaan Seungwoo diutarakan dengan mereka berdua tengah duduk berdampingan di sebuah kursi panjang yang berada tidak jauh dari lokasi insiden beberapa waktu lalu. Di tangan Byungchan, sudah ada sekaleng kopi hangat; hasil pemberian Seungwoo. Sementara Seungwoo? Tidak menggenggam kaleng kopi, melainkan menggenggam sebuah hot-pack.

Suhu cuaca hari ini memang cukup dingin. Tadinya Seungwoo ingin mengajak Byungchan untuk menepi sejenak ke cafè atau tempat lainnya, mencari tempat yang lebih nyaman untuk berbagi cerita. Namun yang diajak malah menolak; mengatakan ia belum ingin bertemu dengan banyak orang atau berada di tempat yang ramai.

Selang beberapa detik semenjak Seungwoo menyuarakan pertanyaannya, Byungchan baru memberi jawaban. Anggukan kecil diiringi ujaran simpul, “tapi sebenernya bukan karena itu aja...”

“...aku punya temen yang selalu latihan bareng-bareng. Kami sama-sama suka akting. Kami sama-sama pengen jadi aktor, tapi...”

Ah. Seungwoo sudah bisa menebak alur perbincangan ini.

“Dia lulus audisi dan jadi aktor lebih dulu daripada kamu?”

Byungchan mengangguk. Kepalan tangannya semakin dieratkan pada kaleng kopi di genggaman, seperti tengah menahan emosi yang meluap. “Aku nggak masalah kalau dia jadi aktor duluan. Aku nggak masalah kalau dia jadi terkenal. Cuma...”

“...jangan bersikap seakan nggak kenal aku sama sekali.”

Byungchan menundukkan kepalanya, berusaha menahan air mata yang seperti akan segera turun jika tidak ia kendalikan. Seungwoo melirik sejenak ke arah si lelaki Choi, kemudian menghembuskan nafas berat. “Kamu nggak punya keluarga?”

“Nggak.” Byungchan menggeleng. “Orang tua udah meninggal karena kecelakaan. Aku sekarang tinggal sama Om Tante, tapi mereka...sama sekali nggak peduli. Aku yakin mereka cuma pengen menguasai uang warisan Papa Mama.”

“Aku pengen cepet kabur dari sana. Tinggal sendiri, bangun kehidupan sendiri. Mandiri. Aku bisa, nggak butuh bantuan siapa-siapa.”

”...” “Yakin?”

Byungchan menoleh ke arah Seungwoo, memberi pandangan tidak suka karena merasa diremehkan. “Bisa!”

“Ohh.” “Ya, aku cuma nanya aja.”

“Abis, katanya bisa sendiri.” “Katanya bisa mandiri.” “Tapi masa' ditinggalin sama temen aja sampai nangis dan pengen bunuh diri gitu, sih? Cengeng banget.”

Ujaran Seungwoo barusan diujarkan dengan nada santai, bahkan si pembicaranya pun sekarang tengah menyenderkan tubuh ke sandaran kursi panjang. Benar-benar terlihat relaks; tidak seperti seseorang yang tengah mencoba menenangkan orang lain.

Byungchan sedikit merasa malu, tentu. Merasa ketahuan akan ketidak-konsistenan dirinya ketika berujar. Namun, bagaimana lagi? Rasa gengsi menguasai dirinya dan menyuruh untuk tetap bersikap kuat. “Nggak. Aku nggak nangis.”

Seungwoo yang semula bersandar ke sandaran kursi, kini segera menegakkan tubuhnya dan sedikit membungkuk; memandangi Byungchan dari bawah, karena si lelaki Choi kini sedang menundukkan kepala. “Masa' nggak nangis? Itu matanya bengkak.”

“Nggak!”, seru Byungchan, saking paniknya ia malah berteriak. “Nggak nangis!”

Seungwoo terkekeh kecil, kemudian menggumam mengiyakan. Walaupun terdengar sama sekali tidak terdapat nada persetujuan di ujarannya itu. “Iya. Iyaaa. Nggak nangis, iya.”

“Dia sahabat kamu satu-satunya, ya?”, tanya Seungwoo, membuat Byungchan sedikit mengernyitkan alis. “Itu, temenmu yang lolos audisi jadi aktor.”

“Iya.” “Sahabat aku satu-satunya.” “Aku nggak punya keluarga.” “Cuma dia, satu-satunya.”

Seungwoo mengangguk-anggukkan kepala, terdengar menggumam sejenak sebelum akhirnya bangkit dari kursi panjang yang tadi tengah ditempati. Byungchan mengangkat kepala, mengikuti arah gerak tingkah Seungwoo. “Mau...kemana?”

“Pulang,” jawab Seungwoo singkat. Ia menepuk-nepuk bagian belakang celana jeansnya yang sedikit kotor karena terkena debu dari bangku panjang. “Udah hampir sore. Harus makan malem, 'kan?”

Byungchan memasang senyum lirih. Merasa bodoh karena sempat percaya bahwa Seungwoo memang tulus menyuarakan kalimatnya tentang keinginan untuk menjadi teman. Sudah pasti tidak mungkin. Pasti Seungwoo berujar begitu karena rasa simpati belaka. Tidak mungkin Seungwoo bersedia menjadi teman dari anak yang sangat apatis seperti Byungchaㅡ

“Ngapain, kamu?”, tanya Seungwoo ketika Byungchan masih duduk di bangku panjang. “Nggak bangun?”

Byungchan menaikkan alis, memperlihat ekspresi bingung. “... Hah?”

“Ayo. Ikut aku pulang.” “Aku temen kamu, 'kan, sekarang?”

“Karena kita sekarang udah temenan, aku mau kenalin kamu ke keluarga aku.”

“Jadi, kamu nggak sendirian lagi.”

“...”

Byungchan tidak dapat berujar apapun, rasanya segala organ dalam tubuhnya sekarang seperti tengah digenggam kuat-kuat oleh sesuatu yang tidak kasat mata. Tidak, itu tidak membuatnya sesak seperti biasanya. Rasa yang muncul saat ini malah perasaan hangat yang seakan membuncah.

Senang. Bahagia. Ia, memiliki teman.

Sementara Seungwoo? Ia merasa hatinya tengah digenggam kuat-kuat pula. Entah oleh apa, ia tidak tahu. Namun perasaan ini, perasaan hangat yang tidak bisa ia kendalikan ini, muncul secara tiba-tiba.

Karena senyuman Byungchan. Karena lesung pipi yang terbentuk dalam-dalam di kedua sisi pipi Byungchan. Karena suara Byungchan yang terdengar dalam nada yang lebih tinggi, bukan karena ia tengah berseru marah atau membentak namun karena ia merasa senang.

Perasaan ini muncul karena Byungchan.

Langit benar-benar cerah hari ini. Sangat sesuai dengan perasaan Seungwoo yang ibaratnya seperti bunga sedang bermekaran. Pagi tadi, ia mendapat berita yang sungguh membanggakan diri. Yoon Tae Yang, salah satu seniornya di stasiun TV KBS mengajak dirinya untuk menjalani proses magang di stasiun TV ternama di Korea Selatan itu.

Bisa melakukan percobaan kerja di salah satu stasiun TV ternama, apalagi itu rekomendasi dari seorang senior yang sudah sukses, tentu menjadi sebuah hal yang sangat memuaskan. Tidak percuma Seungwoo mencoba melebarkan pertemanannya ke sana-sini, menjadi social butterfly, dan menjadi sosok yang berprestasi, tentunya. Mulai minggu depan, ia bisa memulai tugasnya menjadi operator kamera untuk sebuah acara talk-show mingguan; Happy Together.

Mungkin karena saking bersemangatnya, Seungwoo ingin melewati perjalanan menuju kediaman keluarganya dengan berjalan kaki dan bukannya menaiki transportasi bus seperti biasanya. Kalian pernah merasakannya, tidak? Perasaan seperti ingin menikmati setiap hembusan angin sejuk yang menerbangkan helai rambut, mendengarkan kicauan burung yang terasa damai, juga merengkuh sinar mentari yang tidak begitu terik. Perasaan begitu, apa kalian pernah merasakannya? Jika pernah, kalian pernah menjadi seperti Seungwoo.

Seungwoo, tengah merasa bahagia.

Rasanya, teriknya matahari hari ini sama sekali tidak menusuk kulit. Rasanya angin yang berhembus saat ini benar-benar membawa kesejukan. Rasanya kicauan burung-burung bahkan bisa mengalahkan riuhnya suara laju kendaraan yang tengah melaju.

Semua, sempurna. Mapo di hari ini, sempurna.

”... Eh?”

Hingga akhirnya, kedua manik coklat tua Seungwoo menangkap sosok seseorang yang berdiri di pinggir pagar pembatas jembatan Mapo. Seseorang itu terlihat menatapi aliran sungai di bawah dengan tatapan gamang. Kosong. Bahkan dari posisi Seungwoo yang masih terpisah jarak beberapa puluh meter dari si lelaki, ia bisa menangkap sebagaimana lelaki di pinggir jembatan itu terlihat lemas.

“Eh?”

Kaki kanan laki-laki di pinggir jembatan itu naik ke salah satu pijakan.

“Eh?!”

Disusul dengan kaki kirinya, yang juga naik ke pijakan berikutnya.

“HEH!'

Sudah jelas, lelaki itu ingin melakukan tindakan nekat; menghilangkan nyawanya sendiri dengan terjun ke aliran sungai Mapo.

Seungwoo menolehkan kepala ke kanan dan kiri. Di jembatan ini, hanya ada mereka berdua. Bukan, bukan berarti mereka benar-benar hanya berdua. Tentu, ada banyak mobil berlalu-lalang namun semuanya tidak menaruh peduli.

Kesibukan duniawi seakan membuat mereka lupa untuk melirik sekeliling, sehingga tidak menaruh peduli kepada si lelaki yang tengah memanjat menaiki pembatas jembatan. Kalaupun ada yang melihat tingkah si lelaki itu, kemungkinan besar mereka tidak akan memilih untuk ikut campur. Persaingan di Korea sudah terlalu ketat dengan segala sesuatunya, banyak dari mereka yang akan memilih untuk tidak peduli karena tidak ingin mendapat masalah.

Jujur saja, Seungwoo dilema. Ia juga bukan orang terlampau baik yang akan menolong siapapun. Ia bahkan masih suka mencuri eskrim Kakak perempuannya tanpa bicara terlebih dahulu. Ia bahkan masih suka meminjam celana dalam adik kembarnya tanpa meminta izin terlebih dulu. Ia tidak sebaik itu.

Tapi...

Ini hari yang baik. Ini hari yang sempurna.

Orang itu juga harus tahu.

Pada akhirnya, Seungwoo memilih untuk berlari menghampiri si lelaki yang tengah memijakkan kakinya ke pembatas jembatan Mapo. Cepat, sangat cepat; bahkan Seungwoo sendiri tidak tahu ia bisa berlari secepat ini.

Dalam sekali hitungan, dari arah belakangㅡ Seungwoo segera memeluk pinggang si lelaki yang tengah memanjat. Kemudian menariki tubuhnya agar turun kembali ke tanah aspal. “HEH! TURUN!”

Si lelaki yang memanjat terlihat terkejut, namun sepertinya keinginan untuk menghilangkan nyawa sangatlah kuat. Lihat saja, sekarang ia malah semakin berusaha memijakkan kakinya yang lain agar bisa memanjat lebih tinggi. “LEPASIN!”

“TURUN!”

“JANGAN!” “JANGAN MATI!” “JANGAN BUNUH DIRI!”

Seungwoo sudah berteriak. Berharap suaranya barusan bisa menyadarkan lelaki ini agar tidak melakukan tindakan nekat. Memang, lelaki di pelukannya sekarang sudah tidak lagi memberontak. Ia diam, namun masih menolak untuk kembali turun dari panjatannya walaupun Seungwoo menariki dirinya.

“Capek.”

Satu kata dari si lelaki di pelukannya itu membuat Seungwoo mengernyitkan alis. Bingung. Namun ia memilih untuk tidak membalas apapun, ia paham bahwa lelaki ini membutuhkan tempat untuk meluapkan apa yang ada di dalam hatinya.

“Semua di dunia ini nggak adil.” “Hidup ini, nggak ada gunanya.”

Seungwoo masih diam. Ingin menyuarakan tanya, namun takut menyinggung pihak yang ada di pelukannya. Ingin menenangkan, namun ia sendiri tidak mengetahui masalah apa yang tengah dihadapi oleh si lelaki ini.

“Kenapa?”

“...” “Ya?”

“Kenapa kamu nyuruh aku buat jangan mati?”

“Apa alasan kamu ngomong begitu?”

“Kenapa aku harus hidup?”

Diberi pertanyaan begitu, Seungwoo segera meneguk ludah dengan gugup. Ia sama sekali tidak memikirkan alasan atas tindakannya barusan. Kalimat jangan mati tadi terucap begitu saja. Bisa dikatakan, formalitas. Bukannya memang begitu, semestinya?

Tidak mendapatkan jawaban apapun selama beberapa detik, membuat si lelaki yang tengah dipeluk dari belakang itu segera menyuarakan tawa skeptis. “Iya, 'kan?”

“Bahkan kamu bingung cari alasan kenapa aku harus tetap hidup.”

“Kenapa aku harus hiduㅡ”

“Jangan.” “Jangan mati.” “Kamu harus tetap hidup.” “Banyak yang sayang sama kamu.”

Seungwoo merasa bodoh. Jawabannya barusan terlalu sangat...apa, ya? Umum. Jawaban yang sangat bohong. Jawaban yang terlaluㅡ

“Klise.”

Nah, tuh. Pihak yang ditenangkan saja merasa demikian. Klise.

“Siapa yang sayang?” “Semua udah ninggalin aku.” “Orangtua. Keluarga. Temen.”

“Semua udah niggalin. Pergi.”

“Siapa yang sayang?” “Hah?”

Sial. Seungwoo tidak pernah menyangka jawabannya malah akan menjadi boomerang. Ia tidak pernag menyangka bahwa si lelaki di pelukannya sekarang memiliki permasalahan yang lebih rumit daripada yang ia perkirakan.

Berpikir, Seungwoo. Berpikir, cepat.

“Nggak.” “Kamu nggak sendirian.” “Aku ada di sini.”

“Aku bakal jadi temen kamu.” “Bakal nemenin kamu.” “Aku nggak akan pergi.”

Janji yang terlalu beresiko. Seungwoo sendiri paham akan hal itu. Tidak semestinya ia menjanjikan hal yang sepenting nyawa seseorang. Apalagi janji untuk terus bersama juga tidak akan meninggalkan.

Tapi ah, sudahlah. Yang penting, lelaki itu tenang terlebih dahulu. Itu yang paling penting.

Nampaknya ucapan Seungwoo membuahkan hasil. Si lelaki di pelukannya tidak lagi memaksakan diri untuk tetap berdiri di ujung pijakan pagar pembatas. Kekuatan lelaki itu melemah, membuat Seungwoo bisa menarik tubuhnya agar turun menapaki aspal jalanan.

Berhasil. Lelaki itu sudah turun. Lelaki itu tidak lagi nekaㅡ

Oh, sial. Siasatnya memang berhasil. Namun, ada hal lebih gawat.

Lelaki itu membalikkan tubuhnya dan pada saat itu juga jantung Seungwoo berdegup lebih cepat daripada biasanya. Lelaki itu mengangkat kepalanya untuk memandangi Seungwoo dan pada saat itu juga wajah Seungwoo terasa memanas, seperti terbakar. Lelaki itu membuka mulutnya seperti akan mengatakan sesuatu dan pada saat itu juga mata Seungwoo seakan terpaku pada bibir merah ranum di hadapannya.

“Siapa?”

“... Ya?”

“Nama kamu.” “Siapa?”

“Seungwoo.” “Han Seungwoo.”

“Kamu?”

“Byungchan.”

Pada saat itu, Seungwoo menyadari satu hal. Bahwa pagi harinya tadi belumlah sempurna. Bahwa berita magangnya di stasiun TV KBS belumlah bisa dianggap sebagai hal yang membahagiakan.

Kesempurnaan pada hari ini, barulah muncul di saat ini. Pada waktu ini, di detik ini.

Ketika Seungwoo mengenal dirinya. Mengenali ia, Choi Byungchan.

Jakka-nim..” “Berhenti.” “Tolongㅡ” “Kepala saya..”

Sakit. Kepala Byungchan, sakit. Perlu berapa kali menjelaskan? Perlu berapa kata harus diucap?

SAKIT. SAKIT. SAKIT.

Bahkan Byungchan secara tidak sadar menggerakkan kepalanya ke kanan berkali-kali, hingga berbenturan cukup keras dengan kaca jendela penumpang. Berharap dengan cara begitu, setidaknya rasa sakit di kepalanya bisa berkurang.

Namun percuma. Bukannya menghilang, rasa sakit di kepala Byungchan malah semakin menyerang seiring dengan mobil yang melaju. Membelah jalan raya, menuju tempat yang terasa sangat familiar untuknya.

Familiar. Namun entah mengapa, menyakitkan. Sesak.

Seakan ada sebuah memori menyakitkan yang pernah terjadi di sini. Seakan ada sebuah kejadian yang membuatnya bisa menangis terisak ketika mengingatnya.

CKIIIIT.

Tiba-tiba, mobil yang dikendarai oleh Sunhwa menepi di bahu jalan; tepat di salah satu sisi jembatan Mapo.

“Byungchan.” “Hei, lihat aku.”

Sunhwa tidak lagi selembut ketika mereka berada di restoran. Sekarang tangannya mencengkeram bahu Byungchan, kuat-kuat. Menggerakkan bahu si lelaki agar dapat mengalihkan fokus kepada dirinya. “Tahan sebentar lagi, Byungchan.”

“Bisa, 'kan?” “Bisa bertahan, 'kan?”

Byungchan memandang gamang ke arah Sunhwa. Ia tidak tahu akan situasi yang tengah terjadi saat ini. Kepalanya terlalu sakit. Dadanya sesak. Ucapan Sunhwa tidak bisa ia cerna dengan baik.

Namun di balik semua rasa sakit yang tengah dirasa, Byungchan menangkap sosok seorang laki-laki yang tengah memanjat pembatas jembatan menuju aliran sungai di bawah. “D-dia..”

“.. mau bunuh diriㅡ” “Dia mau terjun dari sana.”

Tubuh Byungchan gemetar. Suaranya terdengar seperti cicitan yang terlampau pelan. “Dia.. bisa matiㅡ”

Berbanding terbalik dengan situasinya sekarang, Byungchan malah menghentakkan tangan Sunhwa dari pundaknya dengan agak kasar. Setelah terbebas dari tangan Sunhwa, Byungchan segera keluar dari dalam mobil.

Berlari menuju si lelaki yang tengah berusaha memanjat pembatas menuju aliran sungai, kemudian segera memeluknya dari belakang agar tindakan nekat itu bisa dihindari.

“JANGAN!” “JANGAN MATI!” “JANGAN BUNUH DIRI!”

Saat ini, bayangan putih berkelebat di dalam kepala Byungchan. Layaknya sebuah roll film yang tengah diputar, kepala Byungchan seperti menggambarkan setiap situasi yang ia tidak pahami sama sekali alurnya.

Kata Jangan Mati ini pernah terucap. Byungchan ingat jelas pernah mendengar kalimat ini, namun bukan dari bibirnya.

Ini dari bibir orang lain.

Pernah ada orang lain yang mengatakan kalimat itu kepadanya. Pernah ada orang lain yang pernah memeluk Byungchan dari belakang dan menariknya untuk turun dari pembatas jembatan. Pernah ada orang lainㅡ yang berada di posisinya.

SIAPA DIA?! DEMI TUHAN! SIAPA ORANG ITU?!

“LEPAS!”

Orang yang ada di pelukan Byungchan masih belum membalikkan tubuhnya. Ia masih dipeluk oleh si lelaki Choi dari belakang, membuat wajahnya tidak terlihat. “LEPAS! CAPEK! SEMUA DI DUNIA INI NGGAK ADIL!”

“HIDUP INI NGGAK ADA GUNANYA!”

Byungchan merasa kepalanya makin sakit ketika mendengar teriakan si lelaki di dekapannya sekarang. Belum lagi, tubuh lelaki ini terus berontak; membuat Byungchan lebih kewalahan.

“Jangan..”

Kalimat ini..

“Jangan mati..”

..pernah Byungchan dengar.

“Kamu harus hidup..”

Dari seorang laki-laki.

“Banyak yang sayang kamu.”

Dengan senyum paling hangat.

“KLISE!”

Jawaban itu.. ..tidak asing.

“NGGAK ADA YANG SAYANG!” “SEMUA PERGI!” “SEMUA NINGGALIN!”

Jawaban itu.. ..familiar.

“Nggak..” “Kamu nggak sendirian.” “Aku di sini..” “Aku bakal jadi temen kamu.” “Temenin kamu.” “Aku nggak akan pergi.”

Seungwoo. Han Seungwoo.

“Han Seungwoo...”

Tepat ketika Byungchan mengucapkan nama itu, sosok lelaki dalam pelukannya segera membalikkan tubuh. Senyumnya merekah cerah. Wajah ituㅡ familiar.

“LO INGET?!” “BYUNGCHAN, LO SERIUS!?” “LO INGET SEUNGWOO?!”

“...” “Seungwoo.. yang nyelametin aku di sini.”

“Seungwoo..” “Seungwㅡ”

Setelahnya, Byungchan hanya dapat melihat putih. Tidak ada warna lain. Kepalanya tidak lagi sakit. Semua film yang tadi seakan terputar acak di dalam kepalanya, kini terputar dengan sempurna.

Membawa ingatan tentang dia. Han Seungwoo. Lelakinya. Kekasihnya.

“Kamu mau pesan apa, Byungchan?”

Sunhwa baru saja menutup buku menu, sepertinya sudah menentukan pilihan akan memesan apa. Sementara Byungchan sedari tadi hanya membolak-balik buku menu dengan tidak begitu fokus; sudah menjadi adat budaya bagi warga Korea untuk memesan makanan yang harganya lebih murah atau paling tidak setara dengan menu pilihan orang yang lebih tua daripada mereka. Maka Byungchan juga demikian, ia menunggu hingga Sunhwa memutuskan pilihanㅡ baru ia akan mengatakan pesanannya, tentu dengan harga yang lebih murah.

Jakka-nim pesan apa?”

“Rosè pasta. Lagi kepengen makan yang creamy.”

“Ohh.” Seraya menggumamkan jawabannya, Byungchan melirik ke arah buku menu. Membandingkan harga setiap makanan, mencari menu yang memiliki harga lebih murah daripada rosè pasta. “Saya carbonara pasta, boleh?”

“Boleh, dong. Yakin itu aja? Mau tambah daging?”

Gelengan kepala diberi sebagai jawaban. Paham dengan maksud si lelaki, Sunhwa mengangkat tangannya untuk memanggil pramusaji; mengutarakan pesanan mereka berdua. Sampai akhirnya si pramusaji meninggalkan mereka berdua, Sunhwa segera mengalihkan pandangannya ke arah Byungchan. “Nah.”

“Gimana jadwal kamu sekarang? Syuting udah beres. Kamu banyak waktu luang?”

Byungchan tersenyum tipis kemudian memberi anggukan kecil. “Waktu luang, sih, ada. Cuma kalau disebut banyakㅡ kayaknya belum bisa dibilang demikian.”

“Hmm.” “Tapi udah tenang, 'kan?”

Udah tenang, 'kan?

Byungchan sedikit merasakan bulu kuduknya merinding ketika mendengar ujaran Sunhwa barusan. Bukan apa-apa, ia teringat akan ujaran seseorang. Seperti ujaran lelaki misterius bernama Seungwoo yang pernah Byungchan terima lewat pesan langsung di twitter beberapa hari lalu.

“Byungchan?”

Saking bingungnya, Byungchan sampai tidak memperhatikan ujaran Sunhwa. Barulah ketika Sunhwa mengusapi punggung tangannya, Byungchan tersadar dari lamunannya. “Ah. Ampun. Maaf, jakka-nim. Saya malah bengong.”

Sunhwa menggeleng, senyum tipis yang memperlihatkan kecantikannya kini tersungging jelas. “Nggak apa-apa.”

“Tapi jakka-nim..“, tanya Byungchan setelah mereka sempat terdiam masing-masing selama beberapa detik. “..ngapain ada di apartemen saya? Ada perlu apa sampai nunggu begitu? Padahal bisa kabari saya atau telfon dulu, biar saya bisa segera temui.”

Ekspresi wajah Sunhwa sedikit berubah, dari yang semula cerah menjadi sedikit murung. Walaupun tetap saja senyum tetap terulas walaupun hanya tipis. “Saya harus punya alasan buat ketemu kamu, 'kah?” Pertanyaan dari Sunhwa segera membuat Byungchan menyela dengan gugup. “Eh! Bukan gitu, maksudnya, jakka-nim! Tentu jakka-nim boleh temui saya tanpa alasan apapun. Tadi saya cuma bingung aja, kok jakka-nim sampai tunggu di luaㅡ”

“Aku cuma mau ucapin terima kasih, Byungchan.”

“Ya?” “Makasih karena...”

“Ya, karena kamu bersedia ambil peran sebagai Seung di 4everㅡ drama itu bisa berhasil.” Ujaran Sunhwa segera dibalas dengan elakan tidak setuju; atau berusaha merendah, lebih tepatnya. “Eh, nggak! Bukan karena saya, kok. Ini semua karena jakka-nim berhasil buat cerita yang sederhana tapi menyentuh. Cerita yang sangat menyentuh ke realita. Perihal saya yang jadi Seung, sebenernya itu sama sekali nggak berpengaruh.”

“Malah, saya yang harusnya makasih banyak ke jakka-nim karena mau beri pertimbangan ke saya untuk memainkan peran Seung.”

“Saya dengar dari Kim gamdok-nim, katanya saya video audisi saya dipilih langsung oleh jakka-nim agar bisa lolos secara otomatis sebagai Seung.”

( gamdok-nim : panggilan hormat untuk seorang sutradara )

“Padahal saya belum punya banyak pengalaman, sewaktu itu. Saya cuma sering dapat peran figuran di drama-drama yang kurang banyak peminatnya. Makanya, semua yang saya raih sekarang nggak lepas dari Han jakka-nim.”

Selama si lelaki berbicara, Sunhwa hanya memandangi Byungchan dengan pandangan yang sulit dijelaskan. Sepertiㅡ apa, ya? Senang, namun juga tersirat perasaan perih sekaligus sedih di sana.

“Byungchan.”

“Ya, jakka-nim?”

“Kamu bahagia?” “Sekarang?”

“Ya?”

“Saat ini.” “Kamu nggak merasa kekurangan sesuatu?”

”... Maksud jakka-nim, materi?”

“Apapun itu.” “Mungkinㅡ memori?”

“Memori?”

“Tentang seseorang.” “Yang semestinya kamu kenali, mungkin?” “Seseorang yang mestinya kamu ingat?”

“Sia...pa?” “Kita lagi bicarain siapa, jakka-nim?”

Tiba-tiba, Sunhwa menggenggam erat tangan Byungchan yang diletakkan di atas meja. Tatapannya tertuju lurus ke arah si lelaki Choi, sedikit menuntut. Seakan meminta Byungchan untuk melakukan sesuatu untuk dirinya. “Byungchan, tolongㅡ”

“Tolong inget-inget semuanya.” “Kami butuh kamu.” “Apalagi dia, Byungchan.” “Tolong kami.”

”...” “Jakka-nim?” Dengan sedikit ketakutan, Byungchan melepaskan genggaman tangan Sunhwa secara perlahan. “Kenapaㅡ tiba-tiba begini? Saya jadi...takut.”

“Yang jakka-nim maksud kami itu...siapa?” “Dia itu...siapa?”

“Ada apa, sebenarnya?”

Waktu semakin menipis. Sunhwa tidak bisa membuang waktunya untuk meminta Byungchan mengingat dengan cara begini. Jika semua dilakukan dengan lambat, Seungwoo harus kembali terkurung di gelapnya dunia lebih lama lagi. Sebagai Kakak, Sunhwa tidak bisa membiarkannya demikian.

Sunhwa merogoh isi tas tangannya dan mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu won dari dalam sana. Tanpa permisi, si sulung keluarga Han segera menarik tangan Byungchan agar segera bangkit dari posisi duduknya. Sedikit menarik paksa, membuat Byungchan tambah kebingungan.

Jakka-nim? Kita mau...kemana?”

“Byungchan.” “Kamu bilang, kamu berterima kasih ke aku?”

“Iㅡ iya..” “Saya makasih banget ke jakka-nim karena bantu saya buat jadi seperti sekarang dengan beri peran sebagai Seung di 4ever..”

“Kalau begitu, tolong aku.” “Tolong keluargaku.” “Tolong adikku.”

“Kami bener-bener butuh kamu.”

Byungchan terdiam, berusaha mencerna apa yang dikatakan oleh Sunhwa barusan. Namun, baru sajaㅡ benar-benar baru saja...sesuatu tersirat di pikiran Byungchan ketika melihat sosok Sunhwa di hadapannya.

Sosok yang mirip dengan gadis itu. Ada. Ada seseorang yang mirip dengan Sunhwa.

Tangan Byungchan yang sekarang digenggam oleh Sunhwa, lalu sosok si gadis yang mirip dengan seseorang yang tidak bisa ia ingatㅡ semua...membuat kepala Byungchan tiba-tiba terasa sakit. Rasanya seakan ditusuk oleh ribuan jarum tidak kasat mata.

Pernah.

Dulu tangan Byungchan pernah digenggam begini, oleh seseorang yang mirip dengan Sunhwa. Hanya saja, bukan begini rasanya. Tangan seseorang ituㅡ lebih besar. Jemarinya lebih panjang, seperti bisa menggenggam seluruh tangan Byungchan di dalam genggamannya.

Pernah.

Satu sosok itu pernah ada. Tapi siapa? Kapan? Bagaimana?

“Arghhㅡ” “Jakka-nim, kepala saya...” “...sakit.”

Sunhwa tidak mengindahkan ujaran Byungchan dan malah menarik tangan si lelaki Choi untuk keluar dari restoran tempat mereka berada sebelumnya. Dengan langkah yang terhuyung dan sebelah tangan yang terus memegangi kepala, Byungchan tidak memiliki pilihan lain selain mengikuti langkah Sunhwa.

Menuju mobil SUV sang penulis novel, yang kini tengah melaju membawanya entah ke mana.

“Maaf, Byungchan.” “Maafin kami.” “Ini demi dia.” “Demi Seungwoo.”

“Cepat sembuh, Pak.”

“Terima kasih, dok.”

Sosok lelaki tua itu menghilang di balik pintu ruang praktik milik Seungsik. Dilirik sekilas ujung meja kerjanya, tidak ada map apapun yang diletakkan di sana. Biasanya Hanna, salah satu staff Rumah Sakit yang bertugas di bagian registrasi, selalu membawakan beberapa map yang berisi informasi dari pasien berikutnya yang harus Seungsik periksa. Jika sekarang tidak ada, berarti benarㅡ lelaki paruh baya barusan adalah pasiennya yang terakhir.

Pandangan si lelaki Kang berganti teredar ke penjuru ruangan. Terkadang ia masih belum bisa mempercayai bahwa ia berhasil mewujudkan cita-citanya menjadi seorang dokter. Ketika kecil, ia terus dianggap sebagai lelaki yang payah. Terlalu kutu buku. Bukan sebuah hal yang memalukan, 'toh untuk menjadi seorang yang hebat ia harus mengorbankan segalanya, bukan?

Termasuk pertemanan.

Seungsik kecil tidak memiliki teman dekat. Hingga pada saatnya di satu masa, ada sebuah keluarga yang pindah ke unit di samping apartemen keluarga Kang.

Seungsik masih ingat dengan jelas, kala itu musim panas 2006. Usianya baru 12 tahun. Sementara dua anak laki-laki yang menjadi tetangganya itu mengenalkan diri sebagai hyeong, usia mereka 13 tahun.

Iya. Dua-duanya berusia 13 tahun. Persis. Tidak hanya tanggal lahir yang sama, wajah mereka juga sama persis. Tidak ada perbedaan sedikitpun. Mereka kembar, identik. Bahkan Seungsik tidak tahu bagaimana caranya anak kembar bisa semirip ini. Sepengetahuannya, pasti ada sesuatu yang membedakan biarpun sepasang anak terlahir sebagai kembar.

Namun, mereka berduaㅡ benar-benar sama. Sebagaimanapun kerasnya Seungsik berusaha mencari cara untuk membedakan, terkadang semua masih saja sulit.

Han Seungwoo. Han Seungho.

Kata mereka, Seungwoo terlahir sepuluh menit lebih cepat daripada Seungho. Kata mereka, Seungwoo dan Seungho tidak memiliki perbedaan pada sifat layaknya kembar lain yang setidaknya punya perbedaan di sifat atau kesukaan.

Mereka sama. Seungwoo dan Seungho, serupa. Mereka tidak membuat batasan seperti misalnya, Seungwoo adalah lelaki bengal dan Seungho adalah lelaki yang kutu buku. Tidak. Mereka benar-benar tidak demikian. Sifat mereka persis sama, serupa.

Mereka berdua, adalah lelaki dengan kemampuan akademis di atas rata-rata. Mereka berdua, memiliki wajah tampan yang bisa menaklukkan hati siapapun dalam sekali pandang.

Kalaupun Seungsik boleh membagikan sebuah rahasia, Seungwoo dan Seungho pernah berbuat iseng di masa SMA. Seungsik dan mereka berdua memang alumnus dari SMA yang sama, membuat si lelaki Kang tahu perihal bagaimana sikap si para lelaki Han di sekolah.

Mereka pernah berpura-pura membuat imej yang berbeda. Hanya sekedar iseng. Seungwoo, sebagai lelaki bengal. Seungho, sebagai lelaki kutu buku.

Seisi sekolah mengatakan bahwa Seungho adalah anak kesayangan guru sementara Seungwoo adalah lelaki yang harus dihindari.

Mereka tidak tahu saja, bahwa sesungguhnya mereka sedang dibodohi. Di setiap awal pagi hari sebelum berangkat sekolah, Seungsik selalu melihat bagaimana kedua tetangganya itu melakukan suit di depan unit apartemen; untuk menentukan siapa yang menjadi Seungwoo dan Seungho.

Bagaimana menentukannya, tanyamu? Mudah. Siapa yang di kelasnya sedang mengadakan ujian, maka yang kalah harus menjadi seseorang itu. Singkat cerita, jika misalnya di kelas Seungho tengah diadakan ulanganㅡ maka siapapun yang kalah dalam adu suit, harus merelakan diri menjadi Seungho. Entah itu Seungwoo, atau Seungho sendiri.

Beruntung bagi Seungsik. Karena setiap pagi menyaksikan tanding adu suit, ia tahu siapa yang tengah menjadi Seungho ataupun Seungwoo. Terkadang ia merasa geli sendiri ketika melihat salah seorang diantara si kembar sering salah tangkap dalam menanggapi panggilan teman-temannya.

Ketika Seungho tengah menjadi Seungwoo, si adik kembar terkadang tidak menyahut ketika dipanggil sebagai Seungwoo. Begitupun sebaliknya.

Namun, semua dianggap sebagai cerita lucu masa lalu. Hingga pada akhirnya, mereka bertiga memutuskan untuk melanjutkan perkuliahan ke universitas yang berbeda. Seungsik sebagai seseorang yang berasal dari keluarga dokter, mau tidak mau harus merelakan langkahnya dilanjut ke dunia kesehatan. Sementara si kembar Han, (seperti yang dibilang tadi, mereka memiliki kesukaan yang serupa) memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke bidang broadcasting.

Iya. Terkadang Seungsik iri akan nasib si kembar Han. Langkah mereka selalu didukung oleh sang orangtua. Biarpun kedua orang tua mereka berkecimpung di dunia hukum, mereka tidak memaksakan anak-anaknya untuk mengambil hal serupa.

Mungkin itu yang membuat Seungwoo dan Seungho tumbuh menjadi dua sosok lelaki hangat yang ramah dan saling mendukung satu sama lain. Karena, yaㅡ mereka selalu mendapat kehangatan dan kasih sayang yang serupa.

“Hhh..”

Seungsik menyandarkan tubuhnya ke bangku, menengadahkan kepala untuk menatap langit-langit kamarnya. Ia teringat akan kejadian yang terjadi beberapa hari lalu.

Ketika Byungchan melihat isi album miliknya dan berteriak histeris, bahkan menangis tanpa bisa terkendali.

Masih. Tatapan Seungsik masih menatapi langit-langit ruangan prakteknya. Dalam hati mengingat kembali sebagaimana dirinya juga panik ketika melihat Byungchan dapat mengenali Seungwoo yang tengah mendandani dirinya sebagai Seungho. Apakah ituㅡ yang namanya insting untuk mengenali kekasih hatinya?

Tidak. Tidak mungkin. Jika berdasarkan ilmu kedokteran, semua itu sulit dilakukan.

Dari kejadian dua tahun lalu, Byungchan mengalami Retrograde Amnesia. Sebuah situasi dimana pengidapnya akan mengalami hilang ingatan pada kejadian tertentu secara total.

Semestinya, Byungchan tidak mengingat Seungwoo. Semestinya, Byungchan hanya mengingat bahwa dirinya mengalami kecelakaan mobil yang parah. Semestinya, tidak ada memori tentang Seungwoo di ingatan Byungchan.

DRRRRTT. DRRRRTT. DRRRRTT.

Ketika Seungsik tengah memikirkan berbagai kemungkinan yang bisa saja terjadi, tiba-tiba ponselnya bergetar. Menandakan ada panggilan telefon yang masuk.

Awalnya, si lelaki Kang tidak ingin menerima panggilan itu karena dirinya masih dalam jam praktek. Tidak etis, pikirnya.

Namun pikirannya berubah 180 derajat ketika maniknya menangkap nama pemanggil di seberang sana yang tertera di layar ponsel.

Bank mata.

“Halo?”

“Ya. Saya Kang Seungsik.”

“Oh! Young Gwang-ie hyeong!”

“Apa kabar, hyeong?

“Iya. Lagi praktek, tapi nggak terlalu rame, kok. Ada apa, hyeong?”

“Ya?”

“Oke.”

”...”

“Serius?”

Terkadang, yang namanya kebetulan bisa membawa skenario yang sama sekali tidak terduga.

“Telat, lho, kamu!” “Tiga menit!”

”...” “Yah, sayang.” “Tadi mobil di depanku lama banget jalannya. Aku udah klaksonin tapi dia teteeeep aja pelan.”

Padahal kaki Wooseok belum masuk ke dalam ruang bangku penumpang, namun gerutuannya sudah terdengar mendahului. Untung saja, Jinhyuk sudah terbiasa dengan hal itu sehingga ia lebih bisa mengontrol emosinya dan tidak kelepasan berbicara dengan nada ngotot.

Wooseok, kekasihnya itu, memang sangat telaten. Perihal apapun yang mendetail, bisa ia ingat dengan baik. Tidak heran, di usianya yang masih dibilang cukup mudaㅡ ia sudah berhasil menduduki posisi sebagai salah satu staff dengan jabatan cukup tinggi di rumah studio yang ikut memproduksi drama 4ever.

Memang, kisah mereka bisa dikatakan sebagai cinta lokasi. Tidak sengaja bertemu di lokasi syuting, Jinhyuk segera jatuh cinta dengan Wooseok yang baginya adalah definisi dari sempurna. Meskipun awalnya ragu dengan kemungkinan bahwa preferensi seksual diantara keduanya bisa menjadi penghalang, namun semuanya malah berjalan lancar.

Gayung bersambut. Wooseok dan Jinhyuk berpacaran. Secara diam-diam, tentunya.

“Jangan cemberut gitu, dong. Akunya gemes. Nanti malah kuciumin terus, gimana? Hm?” Paham bahwa kekasihnya sedang perlu dibujuk, Jinhyuk mendekatkan wajah ke arah Wooseok dan mengecupi pipinya gemas. “Udah, ya? Sayangku?”

Bibir Wooseok masih mengerucut, namun ekspresi wajahnya tidak semarah sebelumnya. “Udah, ayo jalan. Nanti keburu penuh tokonya. Ngantri, coba!”

“Siap, Bos!”, sahut Jinhyuk dengan nada jenaka dan dibalas dengan kekehan Wooseok.

Semua terasa wajar. Hingga akhirnya...

. . .

“Hmmh, s-sayang..” “Enak banget, sayangㅡ”

Tangan kiri Jinhyuk masih memegang kendali pada kemudi mobil, namun tangan kanannya difungsikan untuk menuntun kepala Wooseok agar menggerakkan kepalanya naik turun dengan lebih cepat di batang kejantanannya. “A-aah, Woo-sseo..kㅡ”

Ketika kepala Wooseok ditekan agar dapat melahap batang kejantanannya dengan lebih dalam, di saat itu juga Jinhyuk mengeluarkan putihnya. Mencapai klimaks, dengan pelampiasan di dalam mulut Wooseok. Si kekasih tentu saja langsung terbatuk-batuk, sama sekali tidak menduga kekasihnya akan tega melakukan pelepasan di dalam mulut.

“Ahhk— Jinhyuk!” “Jijik, tau!”

Wooseok menggerutu seraya mengambil tissue dari dashboard mobil si kekasih dan memuntahkan cairan kenikmatan Jinhyuk yang ada di mulutnya ke tissue. Yang dimarahi hanya memasang ekspresi lugu, “abisnya— kalo udah dimainin sama mulut kamu, aku udah nggak bisa pegang kendali kapan mau keluar. Enak banget.”

“Apalagi..”, Jinhyuk melanjutkan kalimatnya. “..dari kemarin aku dibuat pusing melulu sama anak-anak 4ever. Nggak Sejin, nggak Byungchanㅡ bikin pusing, mereka. Untuk Kyungming masih waras.”

Setelah merasa sekitar mulutnya juga sudah bersih, Wooseok membalas ujaran Jinhyuk. “Kalian kenapa? Berantem?”

“Nggak. Nggak berantem. Tapiㅡ arrrrgh!”, Jinhyuk mengacak-acak rambutnya sendiri; frustasi. “Aku mau ceritain ini ke kamu tapi ini perihal masalah personalnya Byungchan. Aku bingung...”

Wooseok mengulas senyum tipis. “Iya, ya udah. Aku paham setiap orang punya masalahnya masing-masing. Jangan khawatir, nggak perlu maksa buat cerita.”

Jinhyuk mengangguk kecil, berusaha menyiratkan rasa terima kasih karena Wooseok mau memahami posisinya. “Oh, ya, sayang. Sehabis nganterin ddadda, mau kuanter ke kantor?”

“Nggak. Nggak usah, janjiku dibatalin.” Jawaban Wooseok membuat Jinhyuk mengernyit kecil, “lho? Dibatalin? Bukannya kamu ada janji sama Sunhwa jakka-nim?”

( jakka-nim : panggilan hormat untuk seorang penulis. )

Wooseok mengangkat bahu. “Iya. Tadinya emang gitu. Kak Sunhwa minta buat ketemu buat ngomongin beberapa hal perihal 4ever ke depannya karena katanya dia mau bikin sekuel.”

“Lho? Mau ada sekuel? Aku nggak tau sama sekali!”

“Belum pasti, sayangku.” “Ini baru rencana.” “Makanya ini mau diomongin.” “Dari tempat aku sih, pada kepengen bikin sekuel. Soalnya respon pasar udah gila-gilaan banget. CEO aku udah kepengen teken kontrak sama Kak Sunhwa buat bikin sekuel. Biasalah, ambil untung selagi ada.”

Jinhyuk mengangguk-angguk, memahami perkataan si kekasih. “Kamu deket, ya, sama Sunhwa jakka-nim?”

“Lumayan deket.” “Aku kuliah di kampus yang sama kayak adek-adeknya, sih.”

”...” “Adek?” “Sunhwa jakka-nim punya adek?”

“Ada.” “Keluarga dia serba rahasia, sih. Jangankan adek-adeknya, orangtuanya aja aku nggak tau mukanya kayak gimana. Aku tau bahwa temen sekampusku itu adeknya Kak Sunhwa juga karena kebetulan kami pernah sekelompok bareng pas ada tugas presentasi.”

“Mereka ituㅡ apa, ya?” “Ekslusif, sayang.”

“Mereka kayak nggak mau disentuh sama dunia luar gitu, lho. Duh, susah jelasinnya. Pokoknya, mereka ini ekslusif. Kalau ada tugas apapun, biasanya mereka selalu sekelompok. Karena di kampus aku emang biasanya tugas kelompok itu cuma dua orang, mereka selalu kerjain tugas barengan tanpa gabung sama orang lain.”

“Lha? Terus, kamu?”

“Itu kebetulan banget, pas itu lagi ada tugas kelompok yang wajibin satu kelompok ada 3 orang. Aku bego banget, waktu itu nggak masuk kelas karena diare. Makanya aku masuk ke tim yangㅡ itu.”

“Tim mereka.” “Adek-adeknya Kak Sunhwa.”

Jinhyuk masih mengernyitkan alis, mencoba membayangkan setiap peristiwa yang digambarkan Wooseok. “Kamu nggak diapa-apain sama mereka, 'kan, tapi?”

“Diapa-apain gimana?” “Mereka baiiiiik banget!”

“Kesan ekslusif mereka tuh sebenernya bukan karena mereka yang bikin demikian tapi karena emang mereka keren banget. Pinter, badan tinggi, muka ganteng, terusㅡ”

“Coba liat!” Ujaran Wooseok disela oleh Jinhyuk. “Coba liat, foto mereka!”

“... buat apaan?”

“Gantengan mana aku sama mereka?!” Ujaran Jinhyuk selanjutnya malah membuat Wooseok tertawa geli. “Jangan ketawa! Aku serius mau liat! Mana, fotonya?”

Saking lucunya, Wooseok sampai menyeka air mata. “Aduh, sayang. Kamu cemburu? Itu kejadian udah lama banget, lho. Pas aku kuliah. Sekarang udah nggak. Aku juga jarang ketemu mereka lagi setelah insiden itu,” jawab Wooseok seraya mengeluarkan ponsel miliknya dari saku celana. “Aku nggak tau gimana kabar mereka sekarang setelah salah satu dari mereka kena insiden kecelakaan.”

Belum juga Jinhyuk sempat merespon cerita Wooseok, si kekasih kini sudah menyodorkan layar ponselnya ke arah Jinhyuk yang menyetir dengan kecepatan lambat. “Nih, fotonya.”

Dan selanjutnya, dunia Jinhyuk seperti seakan diputar balik. Semua teka-teki yang dari kemarin membuatnya pusing, sekarang membuatnya semakin bingung tidak kepalang.

Benar kata orang-orang. Semesta, senang bercanda.

“Nggak sakit, 'kan?”

Seorang lelaki dengan jas berwarna putih kini tengah menggerakkan kaki kanan Byungchan agar tertekuk sedikit demi sedikit. Tindakannya terlihat sangat hati-hati, seakan tidak ingin membuat kesalahan akan hal yang ia lakukan sekarang.

“Nggak, dok.” Jawab Byungchan, walaupun wajahnya sedikit mengernyit. “Agak sedikit sakit, sih, tapi kayak cuma nyeri-nyeri doang.”

“Hmm.” “Coba saya lihat lebih lanjut dulu, ya. Apa harus lepas pen atau nggak.”

“Lepas pen?”, tanya Byungchan, memastikan. “Itu bukannya agak bahaya, ya, dok? Saya lihat di internet, kalau salah langkah sewaktu lepas pen bisa-bisa nanti ada komplikasi apaaa gitu.”

Si lelaki yang dipanggil dokter, Seungsik, hanya terkekeh kecil setelah mendengar ujaran Byungchan barusan. “Prosedur lepas pen emang agak susah, Byungchan. Tapi kalau emang kamu ngerasa sakit atau gimana, yaㅡ ada kemungkinan prosedur itu harus dilakuin. Karena bisa aja besi yang ditanam di tulang kamu itu infeksi atau gimana.”

“Biarpun, yaㅡ iya, sih. Sebaiknya emang jangan lepas pen karena resiko begitu selalu aja ada.”

Ujaran Seungsik barusan membuat Byungchan mengigiti bibir bawahnya, sedikit ketakutan. Ia masih ingat sebagaimana menyeramkannya situasi operasi ketika melakukan penanaman besi ke tulang kakinya yang patah agar bisa tersambung kembali. Jika bisa memilih, lebih baik Byungchan menghindar daripada harus menjalani situasi seperti begitu lagi.

Seakan bisa memahami kekhawatiran Byungchan, Seungsik menyunggingkan senyum tipis sebelum akhirnya menepuki bahu kanan Byungchan. “Tenang. Kemarin dulu sewaktu kamu kecelakaan, saya udah bertekad buat nyelamatin kamu. Sekarang juga begitu. Kalaupun memang kemungkinan terburuknya kamu harus lepas pen, saya bakal lakuin sebaik yang saya bisa. Jangan khawatir berlebihan, Byungchan.”

Ujaran Seungsik barusan membuat Byungchan tersenyum tipis. “Makasih, dok.”

“Ya udah, saya lihat hasil scan dulu, sebentar. Kamu di sini aja, ya? Sebentar.”

Ujaran Seungsik barusan dijawab dengan anggukan kecil dari Byungchan. Sepeninggal si dokter, hanya tinggal Byungchan sendiri di dalam ruang praktek. Pandangannya mengedar ke seluruh ruangan, bingung harus memperhatikan apa. Ponselnya kehabisan baterai sehingga ia tidak bisa memainkan sesuatu untuk menghilangkan suntuk.

Pada akhirnya, Byungchan memilih untuk mengelilingi ruang praktek Seungsik. Sesekali memperhatikan desain interior ruangan yang sesungguhnya sama sekali tidak penting untuk dilakukan. Hingga pada akhirnya, pandangan Byungchan tertuju ke salah satu buku yang ada di atas lemari kecil di pojok ruangan. Ada di samping sofa kecil, sepertinya memang dikhususkan sebagai tempat beristirahat si dokter.

Menganggap itu adalah majalah, Byungchan mengambil buku bersampul biru itu dan membuka lembar isinya satu persatu.

Oh. Bukan majalah, rupanya. Itu adalah album foto. Milik Seungsik.

Lucu. Ada berbagai foto si dokter di sana. Foto ketika ia masih balita, foto bersama orang tuanya. Foto dengan seorang wanita yang tidak Byungchan ketahui siapa. Lalu fotㅡ

“Euurgh..”

Tiba-tiba saja kepala Byungchan terasa sakit bukan main ketika lembar halaman album yang ia buka kini menuju halaman akhir.

Ada foto Seungsik, bersama dengan seorang lelaki lain. Mengenakan pakaian seragam yang sama. Memasang ekspresi bahagia yang sama. Lembar selanjutnya, ada Seungsik dengan lelaki yang samaㅡ mereka mengenakan pakaian jas yang hampir senada.

Mereka tertawa. Bahagia.

Namun, tiba-tiba saja kepala Byungchan terasa sakit. Seakan dipukuli oleh berbagai benda berat yang memaksanya untuk mengingat sesuatu.

Bukan. Ini bukan tentang Seungsik.

Ini tentang si lelaki itu. Lelaki yang lain itu.

Ada yang harus Byungchan ingat. Ada yang harus segera Byungchan bawa kembali ke dalam ingatannya! Segera! Harus!

Karena jika tidak, seseorang itu akan sendirian. Seseorang itu akan tetap berdiri memandangi hal kosong dari jendela.

Byungchan harus ingat! Ingat, Byungchan!

“ARRRRGHH!”

“Byungchan!”

Amplop putih berisikan hasil scan rontgen kaki kanan Byungchan terjatuh begitu saja dari tangan Seungsik ketika ia melihat si pasien kini tengah berjongkok dengan kedua tangan yang menjambaki rambutnya sendiri. Seperti tersiksa akan suatu hal yang tidak kasat mata. “Byungchan! Hei! Kamu kenapa? Sadar, Byungchㅡ”

Di tengah kepanikannya untuk menenangkan Byungchan, Seungsik menemukan buku album miliknya tergeletak di lantai. Terbuka pada lembaran foto bersama seorang lelaki sebayanya.

Bersama sahabatnya.

Segera, Seungsik menutup buku albumnya dengan tergesa dan melemparnya menjauh dari jangkauan Byungchan.

Lelaki yang sedang histeris itu masih belum boleh tahu tentang semua itu. Lelaki yang sedang histeris ini tidak boleh mengingat semua itu.

Belum. Waktunya belum tepat.

Seungwoo, masih belum siap.

“Byungchan.” “Byungchan, tenang.” “Nggak apa-apa.” “Ssshㅡ Byungchan.” “Semua baik-baik aja.”

Tidak. Byungchan masih terisak. Kuat. Kencang. Terisak.

Tangannya tidak lagi menjambaki rambutnya, namun beralih memukuli dadanya sendiri. Berusaha mengambil oksigen karena nafasnya terasa sesak.

Kesal. Benci. Murka.

Karena sejauh apapun ia berusaha, ada satu hal yang tidak bisa ia ingat. Sekeras apapun ia menangis, sosok lelaki dalam album foto itu tidak bisa ia ingat siapanya.

Byungchan ingin tahu. Byungchan ingin ingat.

Lelaki itu. Siapa dia?!

Barisan nomor yang tampak di layar ponsel Byungchan kini terlihat bagai sebuah kode matematika yang terlampau sulit untuk dipecahkan. Di bawah baris tulisan itu ada icon untuk memanggil lewat telefon, dan ibu jari Byungchan terus menari tidak jelas di sana. Bergerak tidak beraturan, seakan bingung untuk melakukan apa.

Tekan. Tidak. Tekan. Tidak.

Setelah dimainkan dalam dilema yang sangat dalam, akhirnya ibu jari Byungchan yang awalnya bergerak tidak jelas arahㅡ kini benar-benar menekan icon berwarna hijau.

Gambar pada layar berubah, nada sambung mulai terdengar. Sepanjang nada dering berbunyi, Byungchan terus-terusan menggigiti kukunya; saking merasa gugup.

Akan seperti apa suaranya? Apa suaranya bisa membuat Byungchan menggambarkan wajahnya dengan lebih jelas? Apa si Seungwoo-Seungwoo ini adalah seseorang yang ia kenali sebelumnyㅡ

Halo?

Sakit. Sesak.

Byungchan tidak tahu perasaan apa yang tengah menyerang dirinya saat ini. Namun, tatkala suara di seberang sana menyampaikan salam sapaㅡ pada saat itu juga Byungchan merasakan sesuatu yang terlampau besar tengah menghantam ulu hatinya. Membuat nafasnya seakan sesak bukan main. Bahkan Byungchan sampai memukuli dada kirinya sendiri berkali-kali (walaupun pelan) agar oksigen bisa masuk ke paru-parunya.

Berlebihan? Tidak.

Hanya satu sapaan saja, Byungchan merasa sesak. Hanya satu sapaan saja, mata Byungchan serasa bisa saja mengalirkan air mata kapanpun.

Lelaki ini, siapa? Seungwoo, siapa?

Halo?

Panggilan di sana kembali diserukan, membuat Byungchan tersadar dari lamunannya. Si lelaki Choi berhenti memukuli dada kirinya, kemudian berdehem sejenak sebelum memberi balas sapaan.

Halo.“ “Seungwoo?

Tidak ada jawaban selama beberapa detik setelah Byungchan menyuarakan sapaannya. Keheningan tercipta diantara keduanya sebelum akhirnya suara di seberang sana memberi respon. “Iya.

Ini Seungwoo.”

Suaranya, membuat Byungchan tenang. Suaranya, seakan membuat Byungchan merasa terlindungi dari segala apapun yang jahat di dunia.

Suaranya, seperti membuat Byungchan ingin menghamburkan diri ke dalam pelukannya. Ingin menangis. Ingin terisak. Inginㅡ menyuarakan semua kesedihan dan rasa sesak yang sekarang tengah ia rasakan.

Ah, iya..“ “Akhirnya bisa ngobrol..

Iya.“ “Akhirnya.

Tidak ada yang menyuarakan kalimat pertanyaan lagi setelahnya. Mereka berdua terdiam. Hanya suara detik jam di kamar Byungchan yang terdengar, entah kenapa terdengar sangat nyaring pula.

Apa sebaiknya ia memutuskan panggilan telefon ini? Sangat kikuk, rasanyㅡ

Gimana? Udah tenang?

Entah. Pertanyaan Seungwoo barusan entah ditujukan untuk hal apa. Apakah untuk dirinya yang barusan sempat merasa sesak, atau untuk hal lainnya?

Tenang?

Iya.“ “Syuting 4ever udah selesai.“ “Udah tenang? Nggak harus mikirin syuting selanjutnya lagi?

Oh..“ “Tentang syuting..

Iya. Tenang, sekarang.“ “Rasanya kayak semua bebanku keangkat sekaligus. Akhirnya sekarang bisa tidur dengan tenang. Akhirnyㅡ

Tapi nanti bangun lagi, 'kan?

Hah?

Nggak.“ “Ituㅡ kamu bilang, bakal tidur dengan tenang. Tapi nanti kamu bakal bangun dari tidur, 'kan?

Tidur tenang kamu ituㅡ nggak buat selamanya, 'kan?

“...” “Maksudnya..“ “Kamu kira aku mau mati?

Ya nggak, lah!“ “Aku lagi di puncak karir.

Semua ini kudapetin secara susah payah. Nggak akan aku lepasin begitu aja.

Aku nggak akan mati segampang itu.

Tidak ada balas jawaban dari seberang sana selama beberapa saat, membuat Byungchan sedikit khawatir. Apakah jawabannya menyakiti hati pihak di seberang sanㅡ

Makasih.

“... Ya?”

Makasih.” “Karena nggak akan mati segampang itu.

Makasih.” “Terus begitu, ya?“ “Tetap hidup.

Kenapa?

Hm?

Kenapa aku harus tetap hidup?

Karena banyak yang sayang kamu.

Tsck.“ “Itu jawaban klise.

Hm?“ “Kamu butuh jawaban kayak apa?

Iya, Byungchan. Kamu butuh jawaban apa?

Lagipula siapa Seungwoo? Kenapa kamu tanya hal begini ke dia, coba?

Ke orang yang belum pernah kamu temui? Ke orang yang bahkan kamu nggak ketahui mukanya?

Tunggu. Apa benar.. ..mereka belum pernah bertemu?

Bukan jawaban klise.

Apa benar.. ..Byungchan tidak tahu wajahnya?

Hmm.“ “Karena ketika kamu hidup lebih lama, mungkin kamu bisa ingat berbagai hal lain yang mungkin pernah kamu lupain?

Ketika kamu hidup lebih lama, mungkin kamu bisa obatin berbagai hal yang pernah bikin kamu takut. Kamu bisa coba buat rangkul hal itu, menerimanya sebagai sesuatu dari masa lalu yang semestinya dimaklumi.

Ketika kamu hidup lebih lama, mungkin..“ “..kamu bisa liat aku.“ “Dan aku, bisa liat kamu.

Byungchan terdiam. Semua kalimat yang diujarkan Seungwoo seakan menekannya tepat di satu titik yang membuat ia merasa tenang. Bahwa ia, memang harus hidup lebih lama agar semua hal itu bisa ia lakukan.

Iya.“ “Aku harus terus hidup.

Hehehe.“ “Pinter. Pinter banget.

Jadi, setelah jadi Seung di 4everㅡ beneran ada cinlok antara kamu sama Jinhyuk?

Kok kepo?

Bukannya kepo.“ “Sebagai fans, pengen tau.

Cemburu?

Eheeei.“ “Nggak, lah!“ “Aku sadar diri.

Yakin?

”...” “Sedikit?

Byungchan tertawa kecil, yang juga dibalas dengan kekehan dari seberang sana. Dari Seungwoo.

Perbincangan selanjutnya tidak ada jeda. Perbincangan selanjutnya diwarnai dengan tawa. Perbincangan selanjutnya seakan menumbuhkan sebuah rasa yang sebelumnya tidak ada.

Atau.. ..pernah ada?

Gerhana hanya memainkan garpu di kuasa ke atas irisan salad yang ada di mangkuknya. Matanya tidak lepas memperhatikan Cakrawala yang sekarang tengah memegangi ponsel miliknya; menunggu panggilan diangkat oleh pihak di seberang.

Oleh Baskara.

“Cak. Jangan dipukulin gitu, sakit lo-nya,” ujar Gerhana seraya meraih sebelah tangan Cakrawala yang sedang memukuli dadanya sendiri. “Tenang, Cak.”

“Sakit, Er.” “Dada gue sakit banget.” “Sesak, Er. Sakit..”

Bukannya Gerhana tidak melihat bagaimana kini sebelah tangan Cakrawala yang sedang memegangi ponselnya juga gemetar tidak karuan. Tidak tahan melihat itu semua, Gerhana bangkit dari bangkunya dan beranjak mendekati Cakrawala. Ia akhirnya memilih untuk berjongkok di depan si lelaki jangkung dan menawarkan bantuan untuk memegangi ponsel. “Gue yang pegang, ya? Masih belum dijawab sama Babas?”

Betul saja. Tepat ketika Gerhana memegangi ponsel miliknya agar tetap berada di telinga Cakrawala, tangan si lelaki jangkung itu segera terjatuh; lemas. Dengan sebelah tangannya yang lain, Gerhana menggenggami tangan Cakrawala yang masih saja memukuli dadanya sendiri. Mencoba menghentikan si lawan bicara untuk tidak menyakiti dirinya sendiri, lagi dan lagi.

“Cak. Jangan dipukulin gitu, ya? Ada gue. Gue di sini. Jangan gitu, y—”

“Halo!”

Kalimat Gerhana terputus karena kini nada sambung yang sedari tadi terdengar tiba-tiba terhenti. Cakrawala juga seperti menyadari itu terlebih dahulu dan segera memberi sapaan dengan nada terlampau senang. “Bas! Babas!”

Namun, sapaan itu tidak dibalas oleh jawaban apapun dari seberang sana. Baskara, diam membisu.

Gerhana sudah memastikan bahwa panggilan itu benar-benar tersambung. Memang iya, panggilan itu tersambung hanya saja Baskara tidak memberi jawaban apa-apa.

“Bas!” “Bas! Ini gue, Cacak!”

Masih membisu. Baskara tidak memberi jawaban apa-apa, entah karena alasan apa dan hal itu malah membuat Gerhana semakin merasa sakit. Iya, Gerhana saja merasa sesakit ini— apalagi Cakrawala.

“.. Bas—” “— jawab, Bas.” “Kenapa lo diem aja?” “Bas, please..”

“Gue butuh lo, Bas.”

“Baskara..” “Gue bukan apa-apa tanpa lo, Bas. Tolong— gue capek nyalahin diri gue sendiri.”

“Bas..” “Lo kenapa diem, Bas?”

Gerhana merasa ulu hatinya seakan tengah dirajam oleh berbagai jarum tidak kasat mata. Terlampau sakit. Tidak kuat membiarkan Cakrawala merasakan sakit yang lebih daripada ini, Gerhana berujar cepat. “Cak, udah y—”

“Oh.” “Lo pasti lagi nangis, ya, Bas? Sama kayak gue—”

“Bas. Nggak apa-apa.” “Lo nggak salah, Bas.”

“Gue masih sayang lo.”

“Jangan takut, Bas..” “Gue bakal terima lo.”

“Baskara..” “Sakit, Bas..” “Dada gue sakit banget.”

Beruntung, sebelah tangan Cakrawala tengah digenggam kuat oleh Gerhana sehingga ia tidak bisa memukuli dadanya sendiri lagi. Gerhana yakin, jika ia tidak memeganginya— pasti Cakrawala sudah menggila.

“Tolong, Bas.” “Tolong balik lagi.”

“Selametin gue, Bas..” “Ini sakit banget..”

“Sakit..”

Tidak. Gerhana tidak bisa lagi menahan semua yang tengah terjadi. Dengan sepihak, Gerhana memutuskan panggilan dan segera memeluk Cakrawala yang kini tengah terisak kencang. “Cak.. Cacak, hei— udah. Lo nangis begitu, malah gue yang ikut sesak.”

“Babas, Er..” “Gue butuh Babas.”

Gerhana menggigiti bibir bawahnya kuat-kuat. Berusaha menahan air matanya tumpah. Hatinya juga merasa sakit bukan main ketika melihat seseorang yang ingin ia jaga setengah mati malah masih merelakan dirinya disakiti oleh orang lain. Perlahan, Gerhana menepuki punggung Cakrawala— berharap hal itu dapat membuat si lelaki di dekapan menjadi lebih tenang. “Cak. Udah, ya?”

“Udahan sakitnya.” “Udahan sedihnya.” “Udahan nangisnya.”

“Gue bakal jagain lo, Cak.” “Sebisa gue. Semampu gue.”

“Udah, ya, Cak?” “Udahan. Guenya sesak.”

“Terima gue perlahan-lahan, ya, Cak?”

Entah. Gerhana sendiri tidak tahu apakah ujarannya barusan didengar oleh Cakrawala atau tidak karena kini lelaki dalam dekapannya itu masih terisak kencang sambil menyebut nama Baskara tanpa henti.

Entah. Apakah Cakrawala paham akan perasaan Gerhana saat ini atau tidak.

Entah. Sungguh, entah.

Namun, satu hal yang pastiㅡ Gerhana sudah paham akan apa yang harus ia lakukan. Adalah untuk menjaga Cakrawala. Adalah untuk membuatnya bahagia.

Cakrawala, tidak akan lagi menangis di dekapan Gerhana. Tidak akan pernah. Sekalipun, tidak akan.

Itu, janjinya.

“Saya juga bingung, Tante. Tadi dia langsung jatuh begitu aja di tempat. Terus tiba-tiba gemeteran begini badannya.”

Rowoon berusaha sebisa mungkin untuk menjelaskan situasi Byungchan yang kini sedang terbaring di peti matinya. Bukan apa-apa, tubuh Byungchan tiba-tiba saja menggigil hebat setelah pertemuan mereka dengan tetangga baru di sebelah rumah.

Inna, sang Ibu, hanya mengangguk-anggukkan kepala. Berusaha memberi isyarat kepada Rowoon untuk tidak usah khawatir, karena ia sendiri tidak menyalahkan si putra kedua werewolf itu. “Nggak apa-apa, Rowoon. Mungkin Byungchan terlalu kepanasan karena kelamaan ada di luar di tengah cuaca terik begini,” ujar Inna seraya mengolesi bagian mata kaki Byungchan yang sangat memerah dengan salep khusus milik para vampire. “Kalau orang-orang lain menggigil karena kedinginan, kami menggigil karena kepanasan.”

“Tapi, kenapa dia tiba-tiba mau keluar rumah? Dia ini fisiknya paling lemah diantara anak-anak Tante, padahal.”

Pertanyaan Inna membuat Rowoon segera berusaha mengalihkan pemikirannya; takut-takut si Ibu Vampire ini akan mencoba membaca pemikirannya tanpa izin. “Kurang tau, Tante. Dia cuma minta ketemu sama saya di depan pagar. Mau ngeliat manusia dengan lebih deket.”

Inna mengernyitkan dahi. “Lihat manusia dengan lebih dekat?”, tanya Inna memastikan dan dibalas dengan anggukan Rowoon. “Saya usahain nggak akan biarin Byungchan deket-deket sama manusia di sebelah lagi, Tante. Kalau memang itu bikin Byungchan sakit begini...”

Senyum tipis terukir di bibir Inna tatkala mendengar ujaran Rowoon. “Makasih, ya, Rowoon. Kamu emang anak yang baik banget, dari dulu selalu mau jagain anak Tante yang satu ini. Tante juga heran, kenapa Byungchan beda banget sama Kakak dan Adeknya.”

“Dia terlalu lemah. Bahkan sampai sekarang belum berani hisap darah manusia langsung dari leher mereka. Jujur, Tante agak khawatir—”

“Khawatir?”, tanya Rowoon hati-hati. “Ini—hal biasa, 'kan, Tante? Maksud saya, sama aja kayak saya yang lebih suka makan daging sapi dibanding daging manusia... ini cuma perihal preferensi, 'kan?”

“Nggak,” Inna menggeleng. “Di antara kami, para vampire, ketika ada salah satu yang belum bisa hisap darah manusia langsung dari lehernya padahal usia mereka sudah bisa dikategorikan cukup umur...”

“...biasanya mereka nggak akan kuat untuk bertahan hidup lebih lama.”

Rowoon meneguk ludahnya dengan gugup. Baru sekarang ia mengetahui hal ini, bahwa Byungchan betul-betul selemah itu. “Lalu batas waktu sampai satu vampire diberi waktu untuk hisap darah manusia itu—”

“Sampai usia 250 tahun.” Jawaban Inna segera membuat Rowoon menghitung cepat dalam otaknya. Oke, seingatnya Byungchan lahir di tahun 1820. Berarti— semestinya masih ada cukup waktu bagi Byungchan untuk memperbaiki dirinya.

“50 tahun lagi, ya, Tan?”, tanya Rowoon memastikan dan dibalas dengan anggukan Inna.

“Semestinya 50 tahun itu waktu yang cukup untuk dia cari kesempatan biar mulai berani hisap darah dari tubuh manusia secara langsung, Woon. Cuma, yaㅡ Tante agak khawatir aja. Soalnya Sehun dan Gowon bahkan udah berani hisap darah manusia di umur lima belasan.”

Rowoon terdiam sejenak, mencoba memikirkan baik-baik segala kalimat si tetangga sebelum akhirnya berujar, “Rowoon coba bantu, ya, Tante? Mungkin perlahan Rowoon bakal bujuk Byungchan biar mulai berani hisap darah manusia secara langsung. Tante jangan terlalu khawatir. Biarpun keliatannya lemah, Byungchan ini vampire terhebat yang Rowoon kenal, kok.”

Sang Ibunda vampire tersenyum manis. Kuasanya menepuki pipi Rowoon dengan perlahan, ingin menunjukkan rasa terima kasihnya di sana. “Makasih, ya, Rowoon. Kami sekeluarga beneran bersyukur bisa bertetangga sama keluarga kalian yang baik, biarpun sejarah kita nggak baik— tapi sekarang kita bisa hidup berdampingan sebagai vampire dan werewolf. Tante beneran bersyukur banget Byungchan punya temen kayak kamu.”

Di tengah tepukan tangan Inna di pipinya, Rowoon balas tersenyum simpul. Merasakan hatinya tengah berseteru atas dua emosi yang saling bertabrakan.

Bahwa sesungguhnya, ia tidak hanya memikirkan Byungchan sebagai kawan. Bahwa sesungguhnya, ada perasaan lain yang ia simpan untuk Byungchan. Perasaan yang terlampau rumit untuk bisa diuraikan kembali.