“Jadi, karena terus-terusan nggak lolos audisi jadi aktor, makanya kamu mau lompat dari jembatan?”
Pertanyaan Seungwoo diutarakan dengan mereka berdua tengah duduk berdampingan di sebuah kursi panjang yang berada tidak jauh dari lokasi insiden beberapa waktu lalu. Di tangan Byungchan, sudah ada sekaleng kopi hangat; hasil pemberian Seungwoo. Sementara Seungwoo? Tidak menggenggam kaleng kopi, melainkan menggenggam sebuah hot-pack.
Suhu cuaca hari ini memang cukup dingin. Tadinya Seungwoo ingin mengajak Byungchan untuk menepi sejenak ke cafè atau tempat lainnya, mencari tempat yang lebih nyaman untuk berbagi cerita. Namun yang diajak malah menolak; mengatakan ia belum ingin bertemu dengan banyak orang atau berada di tempat yang ramai.
Selang beberapa detik semenjak Seungwoo menyuarakan pertanyaannya, Byungchan baru memberi jawaban. Anggukan kecil diiringi ujaran simpul, “tapi sebenernya bukan karena itu aja...”
“...aku punya temen yang selalu latihan bareng-bareng. Kami sama-sama suka akting. Kami sama-sama pengen jadi aktor, tapi...”
Ah. Seungwoo sudah bisa menebak alur perbincangan ini.
“Dia lulus audisi dan jadi aktor lebih dulu daripada kamu?”
Byungchan mengangguk. Kepalan tangannya semakin dieratkan pada kaleng kopi di genggaman, seperti tengah menahan emosi yang meluap. “Aku nggak masalah kalau dia jadi aktor duluan. Aku nggak masalah kalau dia jadi terkenal. Cuma...”
“...jangan bersikap seakan nggak kenal aku sama sekali.”
Byungchan menundukkan kepalanya, berusaha menahan air mata yang seperti akan segera turun jika tidak ia kendalikan. Seungwoo melirik sejenak ke arah si lelaki Choi, kemudian menghembuskan nafas berat. “Kamu nggak punya keluarga?”
“Nggak.” Byungchan menggeleng. “Orang tua udah meninggal karena kecelakaan. Aku sekarang tinggal sama Om Tante, tapi mereka...sama sekali nggak peduli. Aku yakin mereka cuma pengen menguasai uang warisan Papa Mama.”
“Aku pengen cepet kabur dari sana. Tinggal sendiri, bangun kehidupan sendiri. Mandiri. Aku bisa, nggak butuh bantuan siapa-siapa.”
”...” “Yakin?”
Byungchan menoleh ke arah Seungwoo, memberi pandangan tidak suka karena merasa diremehkan. “Bisa!”
“Ohh.” “Ya, aku cuma nanya aja.”
“Abis, katanya bisa sendiri.” “Katanya bisa mandiri.” “Tapi masa' ditinggalin sama temen aja sampai nangis dan pengen bunuh diri gitu, sih? Cengeng banget.”
Ujaran Seungwoo barusan diujarkan dengan nada santai, bahkan si pembicaranya pun sekarang tengah menyenderkan tubuh ke sandaran kursi panjang. Benar-benar terlihat relaks; tidak seperti seseorang yang tengah mencoba menenangkan orang lain.
Byungchan sedikit merasa malu, tentu. Merasa ketahuan akan ketidak-konsistenan dirinya ketika berujar. Namun, bagaimana lagi? Rasa gengsi menguasai dirinya dan menyuruh untuk tetap bersikap kuat. “Nggak. Aku nggak nangis.”
Seungwoo yang semula bersandar ke sandaran kursi, kini segera menegakkan tubuhnya dan sedikit membungkuk; memandangi Byungchan dari bawah, karena si lelaki Choi kini sedang menundukkan kepala. “Masa' nggak nangis? Itu matanya bengkak.”
“Nggak!”, seru Byungchan, saking paniknya ia malah berteriak. “Nggak nangis!”
Seungwoo terkekeh kecil, kemudian menggumam mengiyakan. Walaupun terdengar sama sekali tidak terdapat nada persetujuan di ujarannya itu. “Iya. Iyaaa. Nggak nangis, iya.”
“Dia sahabat kamu satu-satunya, ya?”, tanya Seungwoo, membuat Byungchan sedikit mengernyitkan alis. “Itu, temenmu yang lolos audisi jadi aktor.”
“Iya.” “Sahabat aku satu-satunya.” “Aku nggak punya keluarga.” “Cuma dia, satu-satunya.”
Seungwoo mengangguk-anggukkan kepala, terdengar menggumam sejenak sebelum akhirnya bangkit dari kursi panjang yang tadi tengah ditempati. Byungchan mengangkat kepala, mengikuti arah gerak tingkah Seungwoo. “Mau...kemana?”
“Pulang,” jawab Seungwoo singkat. Ia menepuk-nepuk bagian belakang celana jeansnya yang sedikit kotor karena terkena debu dari bangku panjang. “Udah hampir sore. Harus makan malem, 'kan?”
Byungchan memasang senyum lirih. Merasa bodoh karena sempat percaya bahwa Seungwoo memang tulus menyuarakan kalimatnya tentang keinginan untuk menjadi teman. Sudah pasti tidak mungkin. Pasti Seungwoo berujar begitu karena rasa simpati belaka. Tidak mungkin Seungwoo bersedia menjadi teman dari anak yang sangat apatis seperti Byungchaㅡ
“Ngapain, kamu?”, tanya Seungwoo ketika Byungchan masih duduk di bangku panjang. “Nggak bangun?”
Byungchan menaikkan alis, memperlihat ekspresi bingung. “... Hah?”
“Ayo. Ikut aku pulang.” “Aku temen kamu, 'kan, sekarang?”
“Karena kita sekarang udah temenan, aku mau kenalin kamu ke keluarga aku.”
“Jadi, kamu nggak sendirian lagi.”
“...”
Byungchan tidak dapat berujar apapun, rasanya segala organ dalam tubuhnya sekarang seperti tengah digenggam kuat-kuat oleh sesuatu yang tidak kasat mata. Tidak, itu tidak membuatnya sesak seperti biasanya. Rasa yang muncul saat ini malah perasaan hangat yang seakan membuncah.
Senang. Bahagia. Ia, memiliki teman.
Sementara Seungwoo? Ia merasa hatinya tengah digenggam kuat-kuat pula. Entah oleh apa, ia tidak tahu. Namun perasaan ini, perasaan hangat yang tidak bisa ia kendalikan ini, muncul secara tiba-tiba.
Karena senyuman Byungchan. Karena lesung pipi yang terbentuk dalam-dalam di kedua sisi pipi Byungchan. Karena suara Byungchan yang terdengar dalam nada yang lebih tinggi, bukan karena ia tengah berseru marah atau membentak namun karena ia merasa senang.
Perasaan ini muncul karena Byungchan.