“Serius, ini rumahnya?”
Seungsik, Sejun, dan Subin tengah menatapi rumah megah di hadapan mereka dengan pandangan tidak percaya. Sejun malah menganga lebar, benar-benar tidak menduga bahwa omongan Seungwoo dari kemarin adalah benar; bahwa rumah yang akan ditempatinya sangat besar.
Seakan tidak peduli dengan ketakjuban para temannya, Seungwoo mulai menurunkan boks karton berukuran sedang dari bak mobil pick-up milik Sejun. “Kalian ke sini mau ngebantuin atau mau hah hah doang?”
Ujaran Seungwoo menyadarkan ketiga temannya. Dengan sigap, Subin segera bantu menurunkan boks karton berukuran sama sementara Sejun dan Seungsik bersama-sama menurunkan boks yang berukuran lebih besar. “Tapi serius, Kak— beneran nggak nyangka rumahnya bakal segede begini. Apalagi harganya cuma seratus juta won. Gila, untung besar, ini, sih.”
Seungwoo menggumam kecil, menyetujui ujaran Seungsik barusan. “Bener, makanya kemarin langsung iyain aja. Biarpun, yah, Sunhwa noona agak-agak marah, sih.”
“Ngomong-ngomong, Sunhwa noona...” Subin menyambung pembicaraan, “...berani ke sini sendirian?”
Seungwoo menggeleng. “Nggak berani. Makanya, selagi nunggu noona pulang dari waktu kerjanya, kita beres-beres ini dulu. Sehabis barang udah turun, kita balik lagi ke Seoul buat jemput noona. Mobilku ada di mall tempat noona kerja, jadi tolong anterin ke mall, ya, Jun.”
“Siap,” jawab Sejun. “Kalau butuh bantuan apapun, bilang aja, Kak.”
Beralih dari percakapan antar manusia—sesuai janji, Rowoon menjemput Byungchan di depan pagar rumahnya. Si putra kedua keluarga vampire itu sudah mengenakan semua perlengkapannya; topi berwarna hitam, kacamata hitam, masker yang hampir menutupi seluruh wajahnya, juga selimut besar yang dikelilingi di tubuh. Semua persiapan Byungchan untuk keluar di tengah paparan sinar matahari sudah lengkap.
“...”
“Apa?”
Ditanya singkat begitu, Rowoon hanya menggelengkan kepalanya. Terkadang prihatin dengan kondisi si tetangga yang harus selalu mengenakan perlengkapan begini demi hanya untuk keluar rumah. “Nggak. Cuma lagi bersyukur karena dilahirin jadi werewolf.”
Byungchan mendengus kecil. Ia juga sebenarnya tidak suka mengenakan semua perlengkapan ini. Membuat sesak. Namun mau bagaimana lagi? Jika ia tidak begini maka tubuhnya akan memerah dan punggungnya akan terluka. Jika punggungnya terluka, otomatis hal itu akan mengurangi keluwesannya ketika sedang terbang sebagai kelelawar. Memang, menjadi vampire terkadang melelahkan. Bukan sekali dua kali Byungchan terkadang berharap dirinya terlahir sebagai werewolf. Lihat saja, Rowoon terlihat sangat santai. Dengan kaus berwana hijau dan celana pendek berwarna coklat, tanpa mengenakan perlindungan apapun— benar-benar ... menyebalkan.
“Ayo, buruan.” Seperti biasa, Byungchan selalu bersembunyi di balik tubuh Rowoon yang sedikit lebih tinggi darinya. Sebagai upaya untuk menghindari cahaya matahari juga, sih, sebetulnya. Sudah terlampau biasa dengan tingkah si tetangga, Rowoon hanya membiarkannya. Langkah mereka berdua kini mendekati mobil pick-up milik Sejun yang terparkir di depan rumah yang akan ditempati oleh si pemilik baru.
“Baru pindah, ya?” Pertanyaan klasik, namun Rowoon tahu itu adalah pertanyaan yang tepat untuk memulai pembicaraan. Sejun yang kebetulan berada paling dekat dengan mobil, segera menjawab pertanyaan Rowoon. “Oh! Siang!”
“Iya. Ini kawan saya baru pindah dari Seoul ke sini. Anda dari—”, kalimat yang diujarkan Sejun menggantung. Paham dengan arah pembicaraan, Rowoon segera menyambung kalimat. “Saya tinggal di rumah sebelah. Nomor tiga. Kawan saya yang dibelakang, tinggal di nomor satu.”
“OH, TETANGGA!!!”, ujaran yang diucapkan dengan cukup keras itu hampir membuat Rowoon dan Byungchan terkesiap. Tidak tahu dengan akibat dari tingkah yang barusan ia perbuat, Sejun melongok ke arah rumah; berusaha memanggil Seungwoo. “KAK! KAK SEUNGWOO! ADA TETANGGANYA, INI! KAK! KELUAR DULU!”
Rowoon hanya tertawa kikuk. Lelaki ini benar-benar berisik. Selang beberapa menit, sosok seorang lelaki dengan tinggi badan yang cukup jangkung keluar dari dalam rumah. Lelaki itu hanya mengenakan kaus putih polos dengan kedua lengan yang sudah digulung hingga ke pundak; memperlihatkan otot tangannya yang terbentuk lugas, juga celana jeans yang sudah agak kusam.
“Kak! Ini tetangga! Yang depan tinggal di nomor tiga, yang di belakang— eh, ini yang belakang nggak keliatan, ya? Katanya yang belakang itu nomor satu.”
Rowoon menyunggingkan senyum tipis ke arah Seungwoo yang tengah melakukan hal serupa, hanya saja senyum Seungwoo lebih lebar dan tangannya tengah terjulur untuk menjabat tangan si tetangga. “Halo, saya baru pindah. Seungwoo, Han Seungwoo. Mohon bantuannya,” ujar si lelaki Han. Rowoon tidak membalas uluran tangan Seungwoo dan hanya meletakkan tangan kanannya ke dada kiri. “Maaf, tangan saya agak kotor.”
Tentu saja hanya alasan, bagaimana bisa seorang werewolf menyentuh tubuh seorang manusia begitu saja? Bisa-bisa insting serigalanya kembali muncul, lebih baik berjaga-jaga seperti ini, 'kan?
“Saya Rowoon. Tinggal di rumah nomor tiga. Keluarga saya yang lain agak pemalu, jadi mungkin anda akan sulit menemukan kami keluar berkeliling. Lalu yang di belakang saya—”, Rowoon menaruh tangannya ke belakang agar bisa menarik Byungchan untuk keluar dari persembunyiannya. “—namanya..By—ungc—han.”
Percuma, Byungchan memilih untuk tidak keluar dan masih bersembunyi di balik punggung Rowoon. Ia hanya menyembulkan sedikit kepalanya untuk melihat sosok yang bernama Seungwoo itu. Lalu detik setelahnya, sesuatu dalam diri Byungchan seakan disengat oleh sesuatu bertegangan sangat tinggi ketika matanya menangkap sosok si lelaki dengan setelan kaus putih dan jeans hitam agak kusam. Entah, sungguh Byungchan tidak tahu alasan apa yang membuatnya merasa demikian— namun alih-alih bau manis yang semula menjadi alasan rasa penasarannya, sekarang Byungchan malah merasa sesuatu tengah menggelitik di dalam dirinya.
Byungchan menariki ujung kaus yang dikenakan Rowoon. Suaranya mencicit, “pulang, ayo..” Rowoon yang mendengar kalimat Byungchan segera mengernyitkan alis, “hah? emangnya udah ketauan apa yang mani—”
“Pulang..” “Aku lemes, nggak kuat.”
“Heh?”
Tepat setelah mengujarkan kalimatnya, Byungchan segera jatuh terduduk di tempat. Beruntung, Rowoon dengan sigap segera memapah tubuh si tetangga sebelum Seungwoo dan teman-teman manusianya berusaha menyentuh Byungchan. “Nggak, nggak apa-apa. Biar saya yang bawa dia balik ke rumah. Anda lanjutin aja pindahannya. Maaf mengganggu, Seungwoo-ssi.”
Seungwoo mengangguk kecil, namun pandangannya tetap mengikuti sosok si lelaki jangkung dengan selimut yang menutupi seluruh tubuh. Dari sela-sela bagian yang tidak tertutupi selimut, Seungwoo menangkap pandang bagian tubuh si lelaki (kalau tidak salah, namanya Byungchan) yang sangat— kemerahan.
Seperti seseorang berkulit super putih yang kulitnya memerah karena terkena sinar matahari. Byungchan juga kelihatannya begit—
PRANGG!
Suara barang pecah yang terdengar dari arah mobil membuat Seungwoo segera mengalihkan pandangan. Di sana, ada Subin yang memandangi sesuatu di tanah. Vas bunga, pecah. “...”
“Hehehe,” Subin tertawa kikuk, terdengar sedikit takut-takut. “Licin, Kak.”
Sudahlah. Lupakan perihal tetangga, ada hal lain yang lebih penting harus Seungwoo kerjakan; memindahkan barangnya segera dengan selamat, agar tidak lagi ada barang yang hancur di tangan kawan-kawannya.