dontlockhimup

“Serius, ini rumahnya?”

Seungsik, Sejun, dan Subin tengah menatapi rumah megah di hadapan mereka dengan pandangan tidak percaya. Sejun malah menganga lebar, benar-benar tidak menduga bahwa omongan Seungwoo dari kemarin adalah benar; bahwa rumah yang akan ditempatinya sangat besar.

Seakan tidak peduli dengan ketakjuban para temannya, Seungwoo mulai menurunkan boks karton berukuran sedang dari bak mobil pick-up milik Sejun. “Kalian ke sini mau ngebantuin atau mau hah hah doang?”

Ujaran Seungwoo menyadarkan ketiga temannya. Dengan sigap, Subin segera bantu menurunkan boks karton berukuran sama sementara Sejun dan Seungsik bersama-sama menurunkan boks yang berukuran lebih besar. “Tapi serius, Kak— beneran nggak nyangka rumahnya bakal segede begini. Apalagi harganya cuma seratus juta won. Gila, untung besar, ini, sih.”

Seungwoo menggumam kecil, menyetujui ujaran Seungsik barusan. “Bener, makanya kemarin langsung iyain aja. Biarpun, yah, Sunhwa noona agak-agak marah, sih.”

“Ngomong-ngomong, Sunhwa noona...” Subin menyambung pembicaraan, “...berani ke sini sendirian?”

Seungwoo menggeleng. “Nggak berani. Makanya, selagi nunggu noona pulang dari waktu kerjanya, kita beres-beres ini dulu. Sehabis barang udah turun, kita balik lagi ke Seoul buat jemput noona. Mobilku ada di mall tempat noona kerja, jadi tolong anterin ke mall, ya, Jun.”

“Siap,” jawab Sejun. “Kalau butuh bantuan apapun, bilang aja, Kak.”

Beralih dari percakapan antar manusia—sesuai janji, Rowoon menjemput Byungchan di depan pagar rumahnya. Si putra kedua keluarga vampire itu sudah mengenakan semua perlengkapannya; topi berwarna hitam, kacamata hitam, masker yang hampir menutupi seluruh wajahnya, juga selimut besar yang dikelilingi di tubuh. Semua persiapan Byungchan untuk keluar di tengah paparan sinar matahari sudah lengkap.

“...”

“Apa?”

Ditanya singkat begitu, Rowoon hanya menggelengkan kepalanya. Terkadang prihatin dengan kondisi si tetangga yang harus selalu mengenakan perlengkapan begini demi hanya untuk keluar rumah. “Nggak. Cuma lagi bersyukur karena dilahirin jadi werewolf.”

Byungchan mendengus kecil. Ia juga sebenarnya tidak suka mengenakan semua perlengkapan ini. Membuat sesak. Namun mau bagaimana lagi? Jika ia tidak begini maka tubuhnya akan memerah dan punggungnya akan terluka. Jika punggungnya terluka, otomatis hal itu akan mengurangi keluwesannya ketika sedang terbang sebagai kelelawar. Memang, menjadi vampire terkadang melelahkan. Bukan sekali dua kali Byungchan terkadang berharap dirinya terlahir sebagai werewolf. Lihat saja, Rowoon terlihat sangat santai. Dengan kaus berwana hijau dan celana pendek berwarna coklat, tanpa mengenakan perlindungan apapun— benar-benar ... menyebalkan.

“Ayo, buruan.” Seperti biasa, Byungchan selalu bersembunyi di balik tubuh Rowoon yang sedikit lebih tinggi darinya. Sebagai upaya untuk menghindari cahaya matahari juga, sih, sebetulnya. Sudah terlampau biasa dengan tingkah si tetangga, Rowoon hanya membiarkannya. Langkah mereka berdua kini mendekati mobil pick-up milik Sejun yang terparkir di depan rumah yang akan ditempati oleh si pemilik baru.

“Baru pindah, ya?” Pertanyaan klasik, namun Rowoon tahu itu adalah pertanyaan yang tepat untuk memulai pembicaraan. Sejun yang kebetulan berada paling dekat dengan mobil, segera menjawab pertanyaan Rowoon. “Oh! Siang!”

“Iya. Ini kawan saya baru pindah dari Seoul ke sini. Anda dari—”, kalimat yang diujarkan Sejun menggantung. Paham dengan arah pembicaraan, Rowoon segera menyambung kalimat. “Saya tinggal di rumah sebelah. Nomor tiga. Kawan saya yang dibelakang, tinggal di nomor satu.”

“OH, TETANGGA!!!”, ujaran yang diucapkan dengan cukup keras itu hampir membuat Rowoon dan Byungchan terkesiap. Tidak tahu dengan akibat dari tingkah yang barusan ia perbuat, Sejun melongok ke arah rumah; berusaha memanggil Seungwoo. “KAK! KAK SEUNGWOO! ADA TETANGGANYA, INI! KAK! KELUAR DULU!”

Rowoon hanya tertawa kikuk. Lelaki ini benar-benar berisik. Selang beberapa menit, sosok seorang lelaki dengan tinggi badan yang cukup jangkung keluar dari dalam rumah. Lelaki itu hanya mengenakan kaus putih polos dengan kedua lengan yang sudah digulung hingga ke pundak; memperlihatkan otot tangannya yang terbentuk lugas, juga celana jeans yang sudah agak kusam.

“Kak! Ini tetangga! Yang depan tinggal di nomor tiga, yang di belakang— eh, ini yang belakang nggak keliatan, ya? Katanya yang belakang itu nomor satu.”

Rowoon menyunggingkan senyum tipis ke arah Seungwoo yang tengah melakukan hal serupa, hanya saja senyum Seungwoo lebih lebar dan tangannya tengah terjulur untuk menjabat tangan si tetangga. “Halo, saya baru pindah. Seungwoo, Han Seungwoo. Mohon bantuannya,” ujar si lelaki Han. Rowoon tidak membalas uluran tangan Seungwoo dan hanya meletakkan tangan kanannya ke dada kiri. “Maaf, tangan saya agak kotor.”

Tentu saja hanya alasan, bagaimana bisa seorang werewolf menyentuh tubuh seorang manusia begitu saja? Bisa-bisa insting serigalanya kembali muncul, lebih baik berjaga-jaga seperti ini, 'kan?

“Saya Rowoon. Tinggal di rumah nomor tiga. Keluarga saya yang lain agak pemalu, jadi mungkin anda akan sulit menemukan kami keluar berkeliling. Lalu yang di belakang saya—”, Rowoon menaruh tangannya ke belakang agar bisa menarik Byungchan untuk keluar dari persembunyiannya. “—namanya..By—ungc—han.”

Percuma, Byungchan memilih untuk tidak keluar dan masih bersembunyi di balik punggung Rowoon. Ia hanya menyembulkan sedikit kepalanya untuk melihat sosok yang bernama Seungwoo itu. Lalu detik setelahnya, sesuatu dalam diri Byungchan seakan disengat oleh sesuatu bertegangan sangat tinggi ketika matanya menangkap sosok si lelaki dengan setelan kaus putih dan jeans hitam agak kusam. Entah, sungguh Byungchan tidak tahu alasan apa yang membuatnya merasa demikian— namun alih-alih bau manis yang semula menjadi alasan rasa penasarannya, sekarang Byungchan malah merasa sesuatu tengah menggelitik di dalam dirinya.

Byungchan menariki ujung kaus yang dikenakan Rowoon. Suaranya mencicit, “pulang, ayo..” Rowoon yang mendengar kalimat Byungchan segera mengernyitkan alis, “hah? emangnya udah ketauan apa yang mani—”

“Pulang..” “Aku lemes, nggak kuat.”

“Heh?”

Tepat setelah mengujarkan kalimatnya, Byungchan segera jatuh terduduk di tempat. Beruntung, Rowoon dengan sigap segera memapah tubuh si tetangga sebelum Seungwoo dan teman-teman manusianya berusaha menyentuh Byungchan. “Nggak, nggak apa-apa. Biar saya yang bawa dia balik ke rumah. Anda lanjutin aja pindahannya. Maaf mengganggu, Seungwoo-ssi.”

Seungwoo mengangguk kecil, namun pandangannya tetap mengikuti sosok si lelaki jangkung dengan selimut yang menutupi seluruh tubuh. Dari sela-sela bagian yang tidak tertutupi selimut, Seungwoo menangkap pandang bagian tubuh si lelaki (kalau tidak salah, namanya Byungchan) yang sangat— kemerahan.

Seperti seseorang berkulit super putih yang kulitnya memerah karena terkena sinar matahari. Byungchan juga kelihatannya begit—

PRANGG!

Suara barang pecah yang terdengar dari arah mobil membuat Seungwoo segera mengalihkan pandangan. Di sana, ada Subin yang memandangi sesuatu di tanah. Vas bunga, pecah. “...”

“Hehehe,” Subin tertawa kikuk, terdengar sedikit takut-takut. “Licin, Kak.”

Sudahlah. Lupakan perihal tetangga, ada hal lain yang lebih penting harus Seungwoo kerjakan; memindahkan barangnya segera dengan selamat, agar tidak lagi ada barang yang hancur di tangan kawan-kawannya.

Gochang Werewolf

Werewolf tidak lagi seperti yang dulu. Mereka tidak lagi menyerang manusia setiap kali bulan purnama muncul. Perubahan genetika dari generasi ke generasi membuat perubahan pada gaya hidup mereka. Kini, werewolf hanya melakukan perburuannya di kala fenomena supermoon muncul; dalam setahun, paling mereka melakukan perburuan hanya sebanyak tiga kali.

Keluarga werewolf di Gochang Lily Residence termasuk ke dalam jenis bloodhounds, berarti kelompok werewolf yang memiliki paras dan fisik serupa manusia namun bisa berubah menjadi serigala tatkala fenomena supermoon tiba. Ketika melakukan perburuan mangsa, mereka dapat memilih siapa yang akan mereka serang. Walaupun werewolf jenis bloodhounds dipisahkan kembali ke dalam beberapa tingkatan, keluarga werewolf yang menetap di Gochang ini masuk ke dalam tingkatan paling atas. Mereka adalah elite yang dapat mengendalikan kewarasan, bahkan ketika mereka tengah berubah menjadi serigala.

Klan bloodhounds berada satu tingkat di bawah klan berserker yang adalah klan para bangsawan. Klan berserker tidak berbeda jauh dengan bloodhounds; mereka memiliki paras dan fisik serupa manusia, hanya saja pemikiran mereka berubah menjadi liar tatkala menjadi serigala. Mereka tidak segan menyerang siapapun, asalkan insting serigala mereka mengatakan demikian.

Keluarga Gochang werewolf ini mulai membiasakan diri untuk tidak terlalu sering memakan daging manusia. Di kehidupan sehari-hari, mereka hanya memakan daging sapi atau kambing yang tidak diolah melalui proses masak sama sekali. Mereka memakannya mentah-mentah.

Mereka bisa berlari dengan super cepat. Menurut mitos, itulah yang membuat manusia tidak bisa menangkap werewolf dari dulu.

Jangan terlalu percaya cerita twilight karena di zaman sekarang, para werewolf dan vampire hidup berdampingan dengan baik. Contohnya? Lihat saja keluarga Gochang yang tinggal dengan hanya terpisah satu blok rumah.

Populasi werewolf ada lebih banyak daripada vampire. Mereka memiliki sekolah yang tersembunyi di tengah hutan dan hanya diisi oleh para werewolf sebagai tempat belajar mereka.

Anggota keluarga Gochang Werewolf :

Woobin

Kepala keluarga Gochang Werewolf. Umurnya sudah lebih dari empat ratus tahun namun gurat ketampanan juga tubuh yang atletis masih sangat tampak dari sosoknya. Sangat protektif ke putri bungsu, Ryujin. Gemar online shopping di aplikasi monspee. Hampir setiap hari selalu saja ada pesanan baru yang datang ke rumah mereka, terkadang berupa barang yang benar-benar tidak penting. Duh.

Mina

Sosok Ibu yang sangat ... ketinggalan zaman. Ketika orang-orang sudah beralih ke trend yang jauh lebih baru, Mina baru tertarik ke trend yang sudah sangat ketinggalan zaman. Biarpun begitu, dia adalah sosok Ibu yang sangat baik dan selalu berusaha adil kepada anak-anaknya. Oh, Woobin juga sangat bucin ke pasangannya ini. Wajar, sih— Mina adalah sosok yang sangat digilai kecantikannya, bahkan tidak hanya di kalangan werewolf, para monster dari berbagai jenis pun banyak yang mengidolai si Ibu dari tiga anak ini.

Kai

Anak pertama. Sekali lihat, semua monster akan bisa menebak Kai adalah keturunan werewolf. Kulitnya yang agak kecoklatan juga tubuh yang atletis sangat memperlihatkan identitasnya. Sangat bangga dengan titel sebagai klan bloodhounds dan akan mempertaruhkan apapun untuk menjaga kemurnian darahnya. Sama seperti sang Ayah, dia juga sangat protektif kepada si adik bungsu.

Rowoon

Biarpun usianya lebih muda, Rowoon memiliki tubuh yang lebih tinggi daripada Kai. Sama seperti Kai, kulit tubuh Rowoon lebih kecoklatan dibanding monster kebanyakan. Ketika masih bersekolah, Rowoon dikenal sebagai siswa yang sangat telaten sehingga diberi kepercayaan untuk menjadi ketua di periode sekolahnya. Rowoon lebih suka memakan daging sapi daripada daging manusia, bahkan terkadang ia bisa muntah ketika memakan daging manusia; walaupun, yah, kejadian begitu jarang-jarang terjadi, sih. Kerap mendapat pengakuan cinta dari werewolf betina, namun selalu ditolak karena katanya dia sudah memiliki seseorang yang disukai.

Ryujin

Sang putri, selalu mendapatkan apa yang ia mau. Perlindungan ekstra dari Kakak-Kakak dan Ayah, juga perhatian super dari sang Ibu membuat siapapun akan iri dengan kehidupan Ryujin. Belum lagi, sosok Ryujin juga dikenal supel di sekolah werewolf. Bayangan embel-embel adik Kai dan Rowoon tidak membuat Ryujin kesulitan untuk berbaur dengan siapapun. Sikap cerianya terkadang berbanding terbalik dengan ekspresi wajah si bungsu yang terkesan dingin, namun itu yang membuat banyak orang menaruh hati ke bungsu bloodhounds ini.

Rowoon berbohong. Sesungguhnya, Ayah dan Ibu Werewolf tidak mengajak anak-anaknya untuk berkumpul. Sang Ibu sibuk mengurusi si sulung, Kai, yang tubuhnya terluka cukup parah.

Kai terjebak di salah satu lubang jebakan yang dibuat oleh para manusia, memang tidak sampai berakibat fatal, namun si sulung sempat terkena ujung tombak yang dipasangi pada lubang cukup dalam. Parahnya lagi, di ujung tombak itu dipasangi peluru perak yang sepertinya sudah diberi mantra pembunuh. Untung saja, ujung tombak itu tidak mengenai titik vital tubuh Kai.

Namun tetap saja, tubuh si sulung kini tengah menggigil kedinginan. Tidak jelas apa sebabnya, namun membuat sang Ibu panik bukan main.

Sang Ayah tengah sibuk membicarakan perihal penyerangan werewolf yang terjadi tadi malam bersama para petinggi kaum manusia serigala. Sesungguhnya, tidak ada yang berinisiatif untuk mengajak kumpul bersama.

Lalu, kenapa Rowoon harus berbohong?

Karena si adik bungsu, Ryujin, kini tengah menangis sambil terisak tertahan. Biarpun ia terlihat biasa-biasa saja di percakapan mereka dengan keluarga Vampire, sesungguhnya dia adalah yang paling berduka.

“Ryujin,” panggil Rowoon seraya menepuki puncak kepala si adik. “Udah, jangan nangis. Kalau ketauan Mama atau Papa, bisa-bisa kamu dimarahin.”

Menangis, adalah hal yang paling nista untuk dilakukan oleh seorang werewolf. Walaupun tidak ada aturan tertulis yang menyatakan demikian, mereka semua tahu bahwa kata menangis dan werewolf sama sekali tidak memiliki korelasi. Seberapapun sakit yang dirasakan oleh seorang werewolf, menangis adalah pilihan yang sama sekali tidak boleh dipilih.

Paham dengan ucapan si Kakak kedua, Ryujin mencoba menghentikan tangisannya. Tarikan nafas ia hela dalam-dalam, berusaha menutupi rasa sesak yang kini dirasa. “Hhhhㅡ”

Tepukan pada puncak kepala Ryujin berubah menjadi usakan lembut. Rowoon kembali berujar pelan, “Oppa ikut berduka, tapi— kita nggak bisa apa-apa. Kematian itu hal yang paling nggak bisa kita atur kapan datengnya, Dek.”

“Tapi.. kenapa.. mesti Hyunjin?”

Rowoon terdiam. Bingung harus menjawab apa akan pertanyaan si adik. “Kenapa harus Hyunjin yang kena tembakan, Kak?”

Itu pertanyaan yang tidak akan bisa Rowoon temukan jawabannya. Hyunjin, teman dekat si Adik bungsu, entah mengapa mengambil rute perburuan ke daerah Incheon. Tidak hanya dia, sebetulnya— seluruh keluarga Hyunjin yang merupakan klan Berserker memang gemar memilih jalur perburuan yang dihindari oleh banyak klan manusia serigala lainnya.

“Aku udah bilang sewaktu balikin jaket kemarin, Oppa. Aku udah bilang ke dia, jangan ke Incheon. Aku bilang berkali-kali.”

“Tapi kenapa dia masih ke sana?”

Ujaran Ryujin malah membuat si adik kembali terisak. Ingin menyamakan tingkat pandangan, Rowoon memilih untuk sedikit berjongkok agar ia bisa bertatapan dengan adik bungsunya. “Ryujin, Dek—”

“Kamu nggak salah.” “Kamu udah ingetin dia.” “Kamu udah bertindak bener.”

“Perihal Hyunjin ngelakuin atau nggak, itu pilihan dia. Sama sekali nggak ada sangkut pautnya sama kamu.”

“Kamu nggak salah.” “Inget ini terus, ya?” “Kamu nggak salah.”

Diberi kalimat begitu, isakan Ryujin menjadi agak berhenti. Ia balas menatap si Kakak kedua, kemudian memberi anggukan kecil. “Iya..”

“Nah. Gitu, dong. Itu baru bungsu kebanggaannya Bloodhounds,” ujar Rowoon seraya mengusak kembali kepala si adik. “Udah, sekarang ayo ke kamar Kak Kai. Temenin Mama, pasti beliau kerepotan ngurus sendirian.”

Nada bicara Rowoon boleh terdengar semangat. Namun, sesungguhnya— ia juga merasa sedikit ketakutan. Para manusia yang semula ia kira sebagai mahluk pengecut, kini mulai menunjukkan keberanian mereka. Bahkan bisa menjebak serta menembak klan Berserker yang dikenal paling jahat diantara jenis manusia serigala.

Sepertinya, mereka tidak bisa bermain-main lagi. Para manusia serigala, mereka harus mulai waspada dari sekarang.

Gochang Vampire.

Keluarga yang tinggal di Gochang Lily Residence nomor satu ini adalah Vamalia, klan yang berasal dari Hamburg—Jerman. Mereka dikenal sebagai klan vampire yang berhati baik dan cinta kedamaian.

Keluarga ini tidak mempermasalahkan untuk melakukan kontak dengan manusia, karena mereka sudah bisa menyesuaikan diri untuk tidak menghisap darah manusia sebagai santapan sehari-hari. Mereka biasa menyantap darah binatang sebagai pengganti darah manusia. Kalaupun mereka menyantap darah manusia, itu hanya pada saat-saat tertentu dan hari-raya keluarga yang mereka anggap sakral.

Warna kulit keluarga Vamalia sangat putih, bahkan terlihat pucat. Mereka tidak terbiasa keluar rumah di siang hari jika bukan untuk hal yang sangat darurat. Sebagai gantinya, mereka keluar rumah di malam hari— dengan berubah sosok menjadi kelelawar. Ketika mereka nekat keluar rumah di siang hari, kulit mereka akan memerah. Itu sebabnya anak-anak keluarga Vamalia tidak ada yang mengikuti jenjang pendidikan di sekolah, mereka hanya membaca banyak buku di perpustakaan super besar yang tersedia di rumah mereka yang megah.

Jangan pernah coba iseng-iseng memotret keluarga ini. Tidak akan ada hasilnya! Nihil, sosok mereka tidak akan terlihat. Ini juga yang menjadikan mereka selalu bisa kabur dari berbagai tindak yang mereka lakukan; karena tidak adanya dokumentasi yang bisa dijadikan bukti. Foto mereka akan bisa ditangkap kamera jika kalian menggunakan monster-filter yang bisa diunduh hanya oleh para monster.

Mereka juga memiliki kemampuan untuk menghipnotis para manusia dengan tatapan matanya. Jadi, semakin tidak heran, deh, kenapa keberadaan para vampire semakin dapat disembunyikan dengan lebih mudah.

Anggota keluarga Gochang Vampire :

Dongwook

Kepala keluarga Vamalia di Lily Residence. Sewaktu muda, dikenal sebagai sosok flamboyan yang gemar menghisap darah para perawan. Namun ketika bertemu dengan sang pasangan, Yoo Inna, kehidupan glamournya langsung berubah 180⁰. Sosok yang sangat perhatian terhadap keluarganya.

Inna

Pasangan Dongwook. Berasal dari klan Vamalia yang dihormati. Sudah sangat membiasakan diri untuk hidup dengan hanya menyantap darah binatang, tidak lagi menyantap darah manusia. Sangat sensitif dengan sinar matahari, ketika keluar rumah— ia akan mengenakan pakaian yang menutupi seluruh tubuh bahkan hingga ke wajah.

Sehun

Anak pertama. Bertubuh atletis, berkulit sangat putih. Ketika pertama kali mengenal, pasti siapapun akan menganggap sosoknya sebagai seseorang yang sinis karena tidak banyak bicara. Padahal dia sangat perhatian kepada keluarganya, hanya saja sulit untuk mengekspresikan diri. Mewarisi wajah tampan sang Ayah, terkadang Sehun kerap keluar rumah di malam hari guna mencari mangsa untuk dihisap darahnya. Biasanya para perempuan muda akan menjadi korban. Namun, Sehun tidak akan menghisap habis darah si perempuan; ia hanya akan menghisap secukupnya dan membuat si mangsa kehilangan kesadaran.

Byungchan

Anak kedua. Berkulit paling coklat diantara keluarganya (walaupun jika dibandingkan dengan manusia biasa, kulit Byungchan dapat dikatakan putih) dan mengikuti jejak sang Ibu— ia tidak lagi mengonsumsi darah manusia. Bahkan, Byungchan sudah terbiasa meminum jus tomat sebagai pengganti darah manusia. Semenjak lahir, Byungchan belum pernah sekalipun menghisap darah seseorang dari tubuhnya. Ia mengatakan masih belum siap, namun entah sampai kapan ketidak siapannya itu akan berlanjut.

Gowon

Bungsu keluarga Vamalia. Sosoknya yang berambut pirang dan berkulit putih membuatnya paling terlihat seperti vampire diantara keluarganya. Biarpun terlihat sinis, sesungguhnya Gowon adalah sosok yang ceria. Pecinta pelangi dan eksis di sosial media monstagram (versi instagram dari para monster). Memiliki banyak pengikut di akun monstagramnya, dikagumi banyak monster lain namun sesungguhnya—Gowon sedang menyimpan rasa terhadap seseorang, yaitu tetangganya sendiri : Kai.

“Semuanya masih bagus, 'kan?”

Memang, lelaki bermarga Heo ini tidak berbohong. Walaupun dari luar, rumah yang tengah dikunjungi oleh kakak-beradik Han ini terlihat tidak terawat, semua interior yang ada di dalam rumah masih tampak bagus. Tidak dalam kondisi berkarat, juga tidak ada lumut di sana-sini. Tidak terasa lembab, pula.

Seperti yang disebutkan, semua dalam situasi dan kondisi yang bisa disebut baik.

Sunhwa berjalan di belakang Seungwoo dengan tangan memegangi ujung baju si lebih muda. Di saat seperti ini, sosok si adik benar-benar terlihat seperti seseorang yang sangat bisa diandalkan dan Sunhwa benar-benar beruntung karena hal itu. “Bagus, sih..”, bisik Sunhwa; entah benar-benar serius atau hanya sekedar basa-basi.

Menganggap ujaran Sunhwa barusan sebagai lampu hijau, Gyeonghwan segera terlihat sumringah. “Nah! Jadi bagaimana? Kalau anda mau membeli dengan harga yang saya tawarkan, semua yang ada di sini bisa anda miliki! Atau mau tawar harga?! Tidak apa-apa! Sebut saja berapa uang yang anda puny—”

“Seratus,” ujar Seungwoo dengan cepat, menyela ucapan si pemilik rumah. “Kami hanya bisa menawar dengan harga segitu, Tuan Heo.”

“SERATUS?!” “Harga interiornya aja udah berapa, lho, in—”

“Lokasi rumahnya ternyata lebih terpencil daripada yang kami kira. Tadi saya lihat, supermarket terdekat pun jaraknya lumayan jauh dari sini. Kami harus naik mobil pula, setiap mau ke sana. Lalu di sini cuma ada tiga rumah, kami agak riskan dengan situasi ini.”

“Jadi, kami hanya bisa menawar seratus.” “Kalau anda tidak mau, kami tidak akan ambil.”

Sunhwa sedikit membelalakkan mata. Ia sendiri tahu bahwa adiknya memang adalah sarjana lulusan jurusan bisnis dari universitas ternama, namun selama ini ia menyangka si adik hanya sekedar beruntung semata karena buktinya hampir dua tahun semenjak dinyatakan lulus, si adik masih menganggur. Rupanya ilmu berbisnis si adik bisa dibuktikan di situasi seperti ini.

Gyeonghwan terlihat sedikit ragu. Dilema pula, sebagai tambahan. “Seratus..”, ujarnya; seperti menimbang-nimbang. Sesungguhnya, ia sendiri sudah tidak ingin lagi berurusan dengan rumah ini. Bukan berhantu, sih. Hanya saja segala hal tentang rumah ini terasa menyeramkan. Beberapa orang yang pernah membeli rumah ini pun banyak yang meminta uang mereka dikembalikan karena berbagai pengalaman aneh yang mereka alami. Lalu, mereka hanya menawar seratus juta wo—

“Bisa,” jawab Gyeonghwan pada akhirnya dan membuat si kakak-beradik Han sedikit terkesiap. “Tapi dengan beberapa syarat..”

“Pertama, saya ingin biaya pembelian rumah ini diberikan kepada saya dalam sekali pembayaran. Tidak ada cicilan. Harus selesai di hari ini juga. Lalu yang kedua, uang yang sudah anda beri kepada saya tidak boleh diminta kembali. Jika ada ketidak nyamanan yang muncul, itu bukan tanggung jawab saya dan anda harus cari jalan keluarnya sendiri.”

Sunhwa mengernyitkan dahi, bingung dengan ujaran Gyeonghwan. Semenjak awal kakinya menginjak ke dalam rumah, ia memang sudah merasakan adanya aura tidak mengenakkan. Namun sebisa mungkin ia kesampingkan, namun ketika si pemilik rumah sampai berujar demikian— ia harus bagaimana, coba?

Si kakak masih memegangi ujung pakaian yang dikenakan adiknya. Kali ini ditambah dengan tarikan kecil, sebagai tanda untuk merundingkan semuanya terlebih dahulu. Namun sepertinya si adik terlihat tidak mau melewatkan kesempatan, ia malah tidak mengindahkan hirauan si Kakak dan malah mengulurkan tangan kanannya; mengajak Gyeonghwa untuk bersalaman.

“Setuju.”

Sunhwa membelalakkan matanya, tidak percaya.

KENAPA ADIKNYA SUKA MAIN AMBIL KEPUTUSAN SEENAKNYA, SIH?

Noona udah tau, mau pindah ke mana?”

Seungwoo tengah duduk berhadapan dengan sang Kakak, Sunhwa, di meja makan yang ada di ruang tengah kediaman mereka. Lampu yang dinyalakan hanya dari ruang tengah, sementara penerang lainnya dalam keadaan mati. Entah lupa dinyalakan atau memang sengaja tidak dinyalakan karena ‘toh kini penghuni ruang hanyalah dua kakak beradik ini saja.

Sunhwa menggelengkan kepala, memberi jawaban tidak kepada si adik yang kini sedang menyuap sesendok bubur ke dalam mulutnya. “Makannya pelan-pelan, Seungwoo-ya.”

Si adik mengangguk, walaupun kedua kuasanya seakan tidak mengikuti tindak anggukannya barusan. Tangannya tetap menyendok isi mangkuk berisi bubur dengan lahap, sepertinya santapan mie tadi pagi sama sekali tidak cukup untuk memenuhi isi perutnya yang seakan menolak untuk diisi semenjak beberapa hari lalu; tepatnya ketika keduanya disibukkan dengan prosesi pemakaman kedua orangtua mereka.

“Tadi noona ketemu sama pihak asuransi jiwa yang Ayah pakai. Biarpun memang jumlah yang mereka kasih ke kita lumayan banyak tapi menurut noona, kalau kita masih tinggal di sini—pada akhirnya, uang asuransi dari Ayah dan Ibu bakal habis buat bayar apartemen aja,” jelas Sunhwa seraya menuangkan teh gandum hangat ke gelas milik si adik. “Perihal warisan juga, ya—“

“—noona sebenernya nggak mau pakai uang warisan itu sebelum kamu sama noona siap buat bagi dua secara adil. Intinya, sebelum kamu dan noona berkeluarga dengan pilihan masing-masing, rencananya ‘sih uang warisan dari Ayah sama Ibu nggak akan diganggu gugat.”

Seungwoo mengangguk kecil, memahami penjelasan si Kakak yang menurutnya cukup bijak. “Berarti kita cari apartemen yang lebih sederhana aja, noona?”

Bahu yang diangkat dijadikan sebagai jawaban. Sunhwa menghela nafas dalam-salam sebelum menghembuskannya dengan berat, “kalau bisa—kita cari rumah, biar bisa sekalian kita milikin sekaligus tanpa harus mikir perihal biaya sewanya.”

“Tapi kayaknya bakal susah banget,” lanjut si Kakak seraya menyesap teh gandum di gelas miliknya sendiri. “Nyari rumah di Korea sama aja kayak cari jarum di antara jerami.”

Seungwoo menyapu sendokan terakhir bubur di mangkuknya, dalam beberapa menit saja semangkuk bubur yang dicampur dengan potongan abalone itu sudah habis tak bersisa. Melihat si bungsu yang tampak sangat kelaparan, Sunhwa menyodorkan bubur di mangkuk miliknya yang masih tersisa cukup banyak. Mungkin ia baru makan seperempatnya. “Lagi?”

Si bungsu menggeleng, “noona aja.” Usai menyelesaikan kalimat, Seungwoo merapikan mangkuk bubur miliknya ke dapur. “Noona,” panggil Seungwoo dari arah wastafel dapur. Sunhwa membalas dengan gumaman kecil dari arah meja makan di ruang tengah. “Hm?” “Noona istirahat aja dulu. Nanti aku bangunin agak sore, sekalian aku mau beres-beres isi kamar Ayah sama Ibu.”

Dari bangku meja makan, Sunhwa tersenyum tipis. Masih merasa terharu melihat si adik yang rupanya sudah sedewasa ini. Ketika mereka mendengar berita perihal Ayah dan Ibu keduanya meninggal karena kecelakaan lalu lintas, Seungwoo memang menangis namun hanya sebentar. Mungkin ia melihat Sunhwa yang lebih histeris daripada dirinya, maka si bungsu mencoba menahan semua air matanya agar dapat menenangkan si Kakak sulung. Sepanjang prosesi pemakaman, si bungsu juga tidak menitikkan air mata sedikitpun. Ia terlihat tenang ketika menyambut para peziarah yang berdatangan untuk menyampaikan pesan duka.

Maka ketika melihat Seungwoo yang kini menyuruh dirinya untuk beristirahat, rasanya Sunhwa benar-benar bersyukur bahwa masih ada si adik bungsu di sisinya. Jika tidak, ia sendiri tidak tahu akan seperti apa jadinya. “Iya, noona tidur dulu sebentar. Nanti tolong bangunin jam empat, ya? Noona mau cari-cari informasi ke beberapa agent properti soal rumah yang mungkin dijual murah.”

Masih dari arah wastafel, Seungwoo hanya memberi jawaban berupa gumaman singkat. Sunhwa yang menganggap bahwa si adik menyanggupi permintaannya, beranjak melangkah menuju kamar tidurnya yang ada di samping kamar milik orangtua mereka.

Syukurlah. Syukurlah, Sunhwa tidak menyadari bahwa sesungguhnya alasan Seungwoo meminta si Kakak untuk beristirahat sejenak di kamarnya adalah karena ia tidak ingin tertangkap basah sedang menangis. Di tengah aliran air dari keran yang ia nyalakan, Seungwoo tengah menggigiti bibir bawahnya kuat-kuat. Tidak ingin isakannya terdengar sampai kamar si Kakak.

Dalam diamnya, Seungwoo lagi-lagi menumpahkan semua kesedihan yang rasanya tidak akan pernah bisa ia ungkapkan. Karena semua sudah terlalu ditelan oleh kalimat aku kuat, aku bisa, dan semua akan baik-baik aja.

Padahal, semua sesakit itu. Padahal, semua sesedih itu. Padahal, semua tidak sebaik-baik itu.

“Jam lima, gimana?”

“Terserah.” “Kakak yang reservasi, 'kan?” “Gimana Kakak aja.”

“Tapi tetep harus ada kamunya, Byungchan.”

“Hmm.” “Aku sedikit sibuk, sih.” “Kalau terlambat, gimana?” “Jam pulangku masih belum jelas.”

“Ya, udah.” “Jam delapan, gimana?”

“Kak..” “Aku beneran nggak tau.” “Jam pulang kerjaku in──”

“Oke. Jam delapan.” “Di buong cafe, Namsan Tower. Oke?”

My true feelings on a torn paper are getting clear somethin' bout you ...

“Aku nggak janji.”

“Nggak apa-apa.” “Aku tunggu.” “Sampai kamu dateng.”

* * * * *

You look like me but different somehow. I wonder if you feel the way as I do. There's no hope but I expect it..

“Aku kira kamu nggak akan dateng. Udah lewat tiga puluh menit tapi kamu nggak dateng-dateng. Syukurlah, bisa dateng.”

“Aku banyak kerjaan, Kak. Demi ke sini, aku sampai ngelempar kerjaan urgent buat lusa ke besok, coba.”

“Lain kali jangan begini, aku beneran lagi sibuk di pertengahan tahun ini.”

“Iya.” “Iya.” “Lain kali nggak begini lagi.”

“Mau pesan apa?” “Donkatsu?” “Kesukaan kamu, 'kan?”

“Apa aja, boleh.”

“Hm-mm.” “Aku udah tau kamu bakal bilang begitu, jadi udah aku pesenin donkatsu dari awal. Tinggal tunggu dateng aja pesanannya.”

After a day, a month and a year, we would live different lives..

“Byungchan.”

“Hm?”

“Baik-baik aja, 'kan?”

“Ya, gitu aja.” “Aku sibuk sama kerjaan ini itu.” “Jadi hatiku kalah sama otak, Kak. Lebih ngerasa capek fisik.”

“Hmm.” “Begitu, ya?”

“Kakak gimana?”

“Baik, kok.” “Kerjaanku lancar juga.”

“Syukur, deh.” “Nggak sering begadang, 'kan?”

“Udah nggak begitu sering, si─oh, yang donkatsu sebelah sana. Saya pasta. Iya, punya dia. Terima kasih.”

“Terima kasih.”

“Kakak pesan pasta? Tumben.”

“Iya. Lagi pengen.” “Makan duluan aja.”

“Hm-mm.” “Bareng, lah. Nunggu.” “Nggak enak makan sendiri.”

“Kak.”

“Hm?”

“Udah ada gandengan baru?”

No I'm not. I don't think it'll be easy for me. You still fill my days ..

“Yang nawarin diri, sih, banyak. Cewek-cowok, ada. Tapi, yaㅡ gimana, ya?”

“Belum kepikiran.”

“Aah..”

“Kamu? Gimana?” “Udah mulai kepikiran?”

“Apanya?”

“Punya pacar baru.”

No not yet. I'm repeating like a fool. I can't hold the words lingering on my lips. It's not fine..

“Mungkin, segera.” “Sendirian itu agak bosen.” “Tapi ya, liat nanti, lah.”

“Hmm.” “Gampang, lah, buat kamu.” “Pasti tinggal milih, 'kan?”

“Bisa dibilang begitu.” “Mantan-mantanku langsung ngehubungin balik pas tau aku putus dari Kakak.”

“Oh, ya?” “Siapa-siapa aja?”

After a day, a month, and a year, by then. I thought I could recall it with a smile..

“Sejun.” “Jinhyuk.” “Ya, gitu-gitu aja, sih.” “Akunya bales seadanya.”

“Sejun?” “Masih belum bisa moveon juga dari kamu berarti, ya, dia?”

“Mungkin.” “Padahal Kakak aja bisa cepet, ya, moveonnya. Dia udah lima tahun, masih aja begitu.”

No I'm not. I don't think it'll be easy for me. You still fill my days. No not yet. I'm repeating like a fool. I can't hold the words lingering on my lips. It's not fine..

“Aku juga susah pas awalnya, kok. Terlalu terbiasa sama kehadiran kamu, jadi ketika kamu nggak ada ya, pasti kesusaha─Oh, iya. Pastanya punya saya. Terima kasih.”

“Makan dulu?” “Atau ngobrol dulu?”

“Kenapa harus milih, kalau bisa dua-duanya?”

Meaningless jokes, small talk. I look fine in a crowd..

“Rame, ya, di sini.” “Kayak biasa.”

“Hm-mm.” “Emang enak, 'kan, makanannya.”

“Iya.” “Suasananya juga enak.”

“Masih nggak berubah, ya?” “Dari semenjak kita ke sini tahun lalu.”

“Sewaktu rayain anniversary keempat kita, di tanggal ini juga.”

I'm pretending to be fine with a smile on my face. I try not to think of the shadow called “you”..

“Iya.” “Pemiliknya konsisten.” “Bahkan dia selalu tempatin kita di meja yang sama. Di deket jendela begini.”

“Hm-mm.” “Pemiliknya konsisten.” “Kitanya aja yang nggak konsisten.”

“Hm? Apa?” “Ngomongnya jangan bisik-bisik begitu. Apa?”

“Nggak.” “Bukan apa-apa.” “Ayo, Kak. Aku masih harus segera balik ke rumah. Seenggaknya aku harus cicil semua tugas deadlinenya cepet-cepet.”

“Iya.” “Sebentar. Sedikit lagi habis ini, pastanya.”

“Iya, habisin dulu.”

“Udah, deh. Biarin aja.” “Kenyang banget, aku.” “Aku ke kasir dulu, bayar.”

“Nggak.” “Aku bayar sendiri.” “Kakak bayar sendiri.”

“Semestinya begitu, 'kan?”

“Oh.” “Iya.”

“Aku bayar punyaku duluan, kalau gitu, ya? Kakak habisin dulu aja itu pastanya. Masih sisa banyak.”

“Mau aku anteㅡ”

“Aku bisa sendiri.” “Kakak juga bisa sendiri, 'kan?”

“Ah.” “Oke.”

“Ya udah, Kak.” “Aku pamit, ya?” “Makasih udah temenin aku makan malam, kapan-kapan aku yang gantian traktir.”

“Hm-mm.” “Santai.”

“Aku pulang, Kak.” “Take care, ya?” “Jangan ngebut-ngebut pulangnya.”

I can't help, thinking of our last moment. The parting that “take care” was all of it. No not yet. The words I repeat like a fool. I can't hold the words lingering on my lips. It's not fine..

“Iya.” “Kamu juga.” “Take care.”

It's not fine.

end (dontlockhimup)

“Bisa, 'kan, sendiri?”

“Bisa.”

”...” “Kayaknya bakal kesusahan.” “Udah, siniin. Biar aku yang bawa.”

Lihat. Lihat bagaimana kamu masih saja bertahan dengan sikap sok pahlawanmu, Han Seungwoo. Tanganmu seperti melakukan semuanya karena terbiasa, ya? Terbiasa membawakan barang-barangku dan terbiasa membuatku merasa nyaman. Dasar.

“Nggak, Kak.” “Bisa, kok. Santai.” “Kakak bantu buka bagasi mobil aja, bisa?”

Kamu mengangguk, tidak memberi argumen apapun. Namun, ya──memang argumen apa yang seharusnya dikatakan? Kamu dan aku juga sudah sama-sama dewasa, tidak perlu ada pembicaraan alot mengenai ini dan itu, 'kan?

“Thanks, Kak.” Kalimat itu kuujarkan singkat kepada kamu yang tengah menahan pintu bagasi mobil agar tidak kembali menutup. Kamu mengangguk, lagi-lagi hanya mengangguk tanpa mengucapkan apapun yang berarti. “Sisanya kuambil pas pulang kerja, ya?”

Lagi. Lagi-lagi hanya anggukan. Jika sudah begini, aku bisa-bisa kesal setengah mati, Han Seungwoo. Kau bisu atau apa, sih? Apa kau tidak bisa beri jawaban lain yang lebih bai───

Oh. Ternyata kau bisa melakukannya. Kamu, sekarang sedang memelukku. Erat, tidak pernah seerat ini sebelumnya. Dalam hati, aku sedikit tertawa miris. Kenapa kamu baru memelukku di saat semuanya berakhir, sih?

“Byungchan.”

“Hm?”

“Makasih buat semuanya.”

Aku terdiam sejenak. Dalam hati, bingung perihal yang barusan kau ujarkan. Apakah ada yang bisa kuhaturkan terima kasih untukmu, Han Seungwoo? Empat tahun membangun kisah, kau yang beri kenyamanan dan rasa aman bagiku ketika ada di sampingmu. Namun, kamu juga yang beri ribuan alasan untuk berpisah.

Ketika aku sebutkan puluh ribu alasan untuk kita tetap bersama, kamu masih bertahan di ribuan opinimu. Agar kita berpisah. Agar kita tidak lagi bersama. Mengatakan ada banyak orang yang bisa membahagiakanku lebih daripada caramu membahagiakanku sekarang.

Sungguh, Han Seungwoo. Sungguh, itu alasan yang terlampau klasik. Sungguh, terlampau klise, demi apapun.

Maka ketika kamu ucapkan terima kasih, apa yang harus kukatakan? Mengatakan hal yang sama? Tidak. Aku tidak merasa ada yang harus kuujarkan demikian setelah membuatku nyaman lalu menjatuhkanku begitu saja ke bagian terdalam dari bumi.

“Iya, Kak.” “Sama-sama.”

Hanya ujaran tanpa perasaan, dibarengi dengan tepukan di punggung lapangmu itulah yang bisa kusampaikan. Entah akan sampai dengan perasaan bagaimana di dirimu, Seungwoo.

“Aku pergi dulu, Kak.”

Iya. Pergi dari apartemenmu yang pernah kudesain setiap interiornya demi untuk memadukan dua kesukaan kita berdua. Pergi dari ruang hidupmu yang pernah kuisi dengan jutaan kasih tak terkira. Pergi dari duniamu, yang kukira mampu menjadi tempat hatiku untuk berlabuh selamanya.

“Sisa barang-barangku, kuambil sehabis pulang kerja.”

Pada akhirnya, sebisa apapun aku mencoba mempertahankan───tidak akan bisa menahan kamu yang terlalu ingin melepaskan.

Sudahlah. Lebih baik, lupakan.

Sebenarnya, ada banyak hal yang tidak kusuka dari kamu. Contoh sederhana adalah ketika salju pertama turun di Seoul, kamu akan datang menghampiriku. Mengatakan bahwa ketika salju turun menghiasi keindahan bumi, tidak semestinya aku hanya diam di kamar. Mengatakan bahwa aku terlihat seperti pak Tua karena lebih memilih untuk diam di dalam ruang segi empat, memandangi langit-langit kamar dalam diam.

Aku tidak suka dengan kamu yang terus menariki tanganku untuk keluar kamar. Merajuk untuk pergi melihat ini dan itu, padahal sudah kubilang aku enggan. Bukan enggan untuk berada di luar bersamamu, namun aku enggan berada di tengah suasana yang dingin hingga menusuk tulang. Aku dari Busan, lelaki yang terbiasa dengan mentari cerahㅡ bukan dengan tumpukan salju seperti ini.

Namun, kamu terlihat tidak peduli. Yang selanjutnya akan keluar dari bibirmu adalah kalimat terujar ringan, bahwa aku tidak akan mati kedinginan. Ketika aku bertanya, kenapa? Jawabanmu selalu sama. Adalah sebelah tangan yang dimasukkan ke dalam saku jaketku, meraih untuk genggam erat di antara jari jemari.

“나 인간 난로이니까.” ( karena aku versi manusianya hot-pack )

Lalu, kamu akan tertawa. Setelahnya, pasti dibalas dengan dengan aku yang mengernyitkan dahi karena tidak paham akan korelasi kelucuan dari kalimat yang kamu katakaㅡ

ah, sebentar ...

Memang, aku tidak mengetahui di mana letak kelucuan dari arti kalimatmu. Namun aku memahami bagaimana arti kalimatmu memang benar adanya. Kamu, versi manusia dari hot-pack.

Benar. Benar sekali, malahan. Kamu yang tertawa begitu, terlihat sangat indah. Bukan indah yang perlu kulukiskan dengan ratus rangkaian kalimat puitis. Keindahan yang kau bawa tatkala tengah tertawa adalah indah yang sederhana.

Indah yang membuatku ingin tetap tinggal karena terlampau merasa nyaman. Indah yang membuatku ingin tetap diam agar genggaman tanganmu tidak pernah terlepas. Indah yang membuatku paham bahwa di antara satu ketidak sukaanku akan dirimu, tetap saja ada ribuan alasan yang membuat aku ingin mempertahankanmu lebih daripada apapun.

Di tengah ketidak sukaanku padamu, suara tawamu yang renyah dan lesung pipi yang terbentuk diantara keindahanmu membuatku tersadar bahwa yang orang-orang namai cinta adalah sebuah hal yang sederhana.

Cinta adalah manis. Cinta adalah terang. Cinta adalah putih. Cinta adalah senyum. Cinta adalahㅡ tawa.