dontlockhimup

“NOONAAAA?” Seungyoun ketawa.

“Pft—” Seungwoo nahan tawa.

“Apaan, sih?! Liat, dong!” Byungchan condongin badan ke arah Seungyoun, mau lihat isi percakapan soalnya handphone dia rusak.

“...” Wooseok cuma angkat alis, kemudian lirik Jinhyuk dengan tatapan jijik.

Jinhyuk? Malu. Mau kubur diri.

“Nggak bakal ada yang ninggalin gue karena gue gay, 'kan?”, pertanyaan barusan terucap dari bibir Byungchan yang masih setengah berbaring di kasurnya. Punggung si lelaki Choi masih bersandar ke kepala tempat tidur, sementara sebelah tangannya masih dipegangi erat oleh Seungwoo yang duduk di sisi kiri kasurnya.

Jinhyuk, Wooseok, dan Seungyoun kini kembali sudah berada di ruang rawat Byungchan. Setelah Jinhyuk dan Wooseok saling menyatakan perasaan, juga setelah Seungyoun selesai mengisi perutnya— sekarang mereka berkumpul lagi, berlima.

Wooseok tidak lagi berdiri di dekat Seungwoo. Ia memilih berdiri di belakang Jinhyuk, dengan sebelah tangan yang memegangi ujung kemeja flanel kenaan si lelaki Lee. Terlihat menolak untuk menatapi Seungwoo yang sekarang malah mengusapi punggung tangan Byungchan.

“Kak.” Seungyoun berceletuk kecil kepada Seungwoo yang segera menoleh ke arahnya. “Entah ini cuma perasaan gue aja atau gimana, sih— tapi sekarang lo beneran keliatan kayak suami yang lagi jagain istri pas lagi sakit, sumpah.”

Ujaran Seungyoun membuat Seungwoo yang sedari tadi berwajah muram, kini terkekeh kecil. Tangannya masih tidak berhenti mengusapi punggung tangan Byungchan. Si yang tangannya diusapi pun seperti tidak keberatan diperlakukan demikian. “Gue gay.”

Iya. Seungwoo barusan mengucapkan kata penggantinya dengan kata gue. Tidak lagi kaku dengan kata aku seperti sebelumnya.

“Gue kemarin putus sama pacar gue karena ngerasa semua ini bakal berakhir ke jalan yang bahaya. Gue nggak mau karir dia hancur karena berita hubungan kami. Gue pun nggak mau terlalu kasih dampak buruk ke grup kita.”

“Jadi, gue putus.”

“Tapi— tetep aja, disseupechi rilis semuanya ke publik.”

Tanpa menoleh, Jinhyuk merasakan ujung kemeja flanelnya seperti ditarik dengan lebih kencang daripada sebelumnya. Tahu bahwa itu adalah tindakan Wooseok, Jinhyuk menggerakkan tangannya ke belakang dan menggenggam tangan Wooseok. Mencoba menenangkannya, walau ia sendiri tidak tahu mengapa Wooseok bertindak demikian.

“Tapi Byungchan ngakuin bahwa semua berita yang dirilis disseupechi itu adalah tentang dia,” ujar Seungwoo dan dibalas dengan senyum tipis dari Byungchan. “Gue bingung..”

“Dari tadi gue mikir, apa cara ini bener buat dilakuin? Apa kita bakal baik-baik aja dengan situasi begini? Apa semua nggak bakalan jadi tambah ribet?”

Byungchan mengeratkan genggamannya di tangan Seungwoo, mencoba menyampaikan sesuatu yang kini tengah dirasakan. “Kak.”

“Aku udah siuman dari kemarin. Semenjak CEO-nim dateng. Aku nggak kuat aja liat semua yang terjadinkemarin, tapi aku juga nggak begitu kuat buat bangun dan ikut campur obrolan kalian berdua. Semenjak Kakak ditampar dan dibego-begoin sama CEO-ni..”

HAH?!

Jinhyuk, Wooseok, dan Seungyoun segera melakukan koor serempak. Berteriak kompak. Tidak percaya dengan yang barusan diujarkan oleh Byungchan. Bahkan, kini Seungyoun sudah berderap menghampiri Seungwoo dan menangkup kedua wajah si lelaki Han kemudian memiringkannya ke kanan-kiri; melakukan pengecekan singkat.

“Kak! Gapapa?” “Mana yang ditampar?” “Anjir, emang ya itu CEO— bajingan. Kerjanya cuma main tangan aja.”

Jinhyuk segera menimpali. “Kok mau aja sih, Kak?! Tampar balik, lah! Badan Kakak aja segede gitu, Kakak dorong pake kelingking juga pasti jatoh dia!”, ujar Jinhyuk membara. Wooseok yang berdiri di belakang Jinhyuk, memperhatikan sosok si lelaki Lee dari tempatnya sekarang.

Oke. Mungkin ini agak kurang pada tempatnya namun Wooseok boleh mengatakan ini, tidak? Bahwa biarpun kalimat yang diucapkan Jinhyuk barusan terdengar seperti marah-marah...tetap saja genggaman tangan Jinhyuk di tangan Wooseok sama sekali tidak dieratkan. Seperti takut menyakiti. Seperti takut membuat Wooseok kesakitan.

“Iya, 'kan, Seok?!”, tanya Seungyoun.

Ketika Wooseok tengah memandangi wajah Jinhyuk dari samping, tiba-tiba si objek yang diperhatikan malah menolehkan kepalanya. Wooseok segera tergagap, tidak menyangka tatapan diam-diamnya malah bertemu pandang dengan yang diperhatikan.

Sialnya, Wooseok sama sekali tidak memperhatikan perkataan Seungyoun sehingga ia semakin tergugup ketika semua pasang mata kini tertuju ke arahnya. Pandangan mereka terlihat sangat serius.

“H-hah? Iya! Iya! Bener banget! Gue setuju banget! Mending begitu aja!”

Seungyoun segera membuat gerak mengacungkan tangannya ke udara, begitupun dengan Byungchan yang kini bertepuk tangan senang (walaupun setelahnya, dia segera mengaduh kesakitan). Sementara Seungwoo dan Jinhyuk hanya terdiam, seperti diliputi kebingungan.

Wooseok baru menyadari bahwa ada yang salah dari situasi ini. Apakah jawabannya menjadi sebuah penentuan dari hal yang sangat penting? Hal apa?

“Sorry—” “—bisa ulang pertanyaannya?”

Euphoria yang ditunjukkan Byungchan dan Seungyoun tiba-tiba terhenti, digantikan dengan pandangan heran. “Lo nggak denger omongan gue, ya?”, tanya Seungyoun dan dibalas dengan senyum kikuk dari Wooseok.

“Yeeee, anak setan.” “Gue nanya, apa si sugar mommynya Jinhyuk bisa bantuin kita buat keluar dari agensi atau nggak? Soalnya dari yang gue liat, kayaknya sugar mommy si Jinhyuk ini kayanya kebangetan.”

“Gue sama Byungchan setuju,” lanjut Seungyoun dan dibalas dengan anggukan kepala Byungchan. “Kak Seungwoo sama Jinhyuk masih ragu.”

“Gue takut Jinhyuk malah semakin dibuat terikat sama orang itu ketika dia minta terlalu banyak hal yang menyulitkan,” timpal Seungwoo. “Gue nggak mau Jinhyuk malah seakan punya hutang budi ke orang itu.”

Jinhyuk masih menggenggam tangan Wooseok, genggamannya sekarang sedikit lebih erat daripada sebelumnya. Seperti meminta pertolongan? Atau meminta sebuah kalimat yang dapat meyakinkan? Entah.

“Jawaban akhir ada di lo.” “Dua lawan dua.” “Lo, penentunya.”

Kalimat yang diujarkan Seungyoun barusan membuat Wooseok terdiam, pandangannya masih sedikit melirik ke arah Jinhyuk. Mencoba mencari tahu apa yang tengah dipikirkan oleh si lelaki Lee.

Mencoba menebak, apa alasan dari genggaman tangannya yang dipererat barusan?

“Gue..”

Apa jawaban Wooseok ini adalah hal yang benar, Jinhyuk?

”..setuju.”

Genggaman tangan Jinhyuk di tangan Wooseok semakin diperkuat. Seperti genggaman seseorang ketika tengah merasa ketakutan. Wooseok yang merasakan hal itu segera balas menggenggam tangan Jinhyuk dengan sama kuatnya. “Gue setuju buat kita minta bantuan dari si tante ini. Malah, kalau bisa ya minta aja permintaan paling gila yang bisa kita minta.”

“Tapi—” “—jangan jadiin ini sebagai beban Jinhyuk doang.”

“Jangan cuma Jinhyuk yang minta tolong ke tante-tante ini.”

“Kita.” “Barengan.” “Minta tolong ke dia.”

“Biarin ini jadi tanggung jawab kita berlima. Ketika tante ini mau mengikat karena kita udah hutang budi ke dia, kita berlima yang harus bersedia diikat. Jangan cuma Jinhyuk.”

Seungyoun dan Byungchan segera terdiam sementara Seungwoo tersenyum simpul. Merasa senang akan kalimat yang diucapkan oleh si adik dalam grupnya. Jinhyuk? Tangannya kini gemetaran di dalam genggaman tangan Wooseok, tidak tahu harus mengekspresikan perasaannya saat ini dengan cara bagaimana.

Senang? Sangat. Bahagia? Tentu. Jatuh cinta? Lagi.

“Kita berlima yang minta bantuan ke orang itu, Hyuk,” ujar Seungwoo seraya mengulurkan tangannya ke arah Jinhyuk. “Siniin, handphone lo.”

“Kita minta tolong biar bisa terlepas dari masalah ini.”

“Barengan.” “Berlima.”

Wooseok berderap cepat, nafasnya tersengal. Biarpun hanya sedetik lebih cepat, ia ingin segera menemui Seungwoo.

Menatap wajah lelaki itu, menggenggam tangannya, mengatakan apa yang selama ini terkungkung dalam pikir dan bibirnya.

Suka. Setengah mati.

Hingga akhirnya langkah Wooseok hanya tinggal beberapa meter dari pintu menuju ruang rawat Byungchan. Ia mengatur kembali nafasnya, tidak ingin terlihat berantakan di depan sosok si lelaki pujaan.

Cklek!

Baru saja Wooseok ingin memutar kenop pintu ruang rawat, tiba-tiba pintu berwarna krem itu sudah terbuka dari arah berlawanan. Seungyoun, berdiri di sana, dengan sebelah tangan yang tengah memegangi ponselnya sendiri.

“Lo— mau ke mana?”, tanya Wooseok. Seungyoun menatapi Wooseok sekilas, melihat sekeliling dan tidak menemui sosok Jinhyuk di sekeliling lelaki Lee ini.

Seungyoun bisa menebak, Jinhyuk pasti baru saja bertindak bodoh. Entah itu menjelaskan perihal preferensi seksual Seungwoo, entah itu menyatakan cinta kepada Wooseok, entah itu menyuruh Wooseok untuk menyatakan cinta kepada Seungwoo—– atau .. entah itu melakukan ketiganya.

“Keluar sebentar.”

Jawaban singkat dari Seungyoun hanya dibalas dengan anggukan kecil dari Wooseok, terlihat tidak begitu peduli. “Kak Seungwoo ada di dalem?”, tanya Wooseok, tergesa.

“Ada,” balas Seungyoun santai. Namun tatkala Wooseok ingin mendorong pintu ruang rawat Byungchan, tiba-tiba Seungyoun menahan tangan Wooseok. “Seok.”

“Mending lo nggak usah ke dalem,” lanjut Seungyoun dan dibalas dengan tatapan heran dari Wooseok. “Mereka lagi butuh waktu berdua.”

Wooseok hanya mendengus, menganggap ujaran Seungyoun terlalu kekanakkan. “Apaan, sih? Gue udah tau rahasia Kak Seungwoo. Gue juga udah tau rahasia Byungchan. Kita semua udah tau rahasia masing-masing, apalagi yang—”

Kalimat Wooseok terhenti ketika tangannya membuka sedikit pintu ruang rawat Byungchan. Hanya menjadi celah, namun cukup bagi Wooseok melihat apa yang tengah terjadi di dalam ruangan.

Seungwoo memeluk Byungchan yang masih terduduk di kasurnya dengan erat. Sangat erat. Sementara, Byungchan hanya mengulas senyum seraya mengusapi punggung Seungwoo dengan lembut. Terlihat sekali seberapa banyak afeksi yang tersimpan di setiap usapan tangan Byungchan ke punggung Seungwoo.

Dari sini, dari posisinya sekarang— Wooseok bisa melihat bagaimana punggung Seungwoo seperti gemetar.

Seungwoo, menangis. Terisak. Hebat.

Sepengetahuan Wooseok, leadernya itu tidak pernah menangis. Sekalipun, tidak pernah. Di hadapan mereka, sosok Seungwoo adalah lelaki yang kuat dan hebat. Itulah yang membuat Wooseok terkagum, hingga rasanya berubah menjadi sayang yang tiada bisa ditakar besarnya.

Namun kini, Seungwoo menangis. Di pelukan Byungchan. Di depan lelaki Choi, si lelaki Han menunjukkan sisi lemahnya.

“Seok.” Seungyoun menarik kenop pintu yang tengah dipegangi oleh Wooseok agar kembali tertutup. Setelahnya, Seungyoun menyodorkan ponselnya.

Sebuah platform didominasi warna putih dan biru segera menyambut pandangan Wooseok.

Twitter. Akun OBVIOUS_TWT. Posting atas nama Byungchan.

Semua yang dilihat oleh Wooseok sekarang segera membuatnya tersadar, bahwa selamanya ia tidak akan pernah bisa menang.

Pengorbanan yang diberikan oleh Byungchan untuk Seungwoo, tidak akan pernah bisa ia lawan.

Wooseok paham, dirinya tidak akan bisa menjadi sandaran bagi sang lelaki kuat untuk berbagi lemahnya. Bagi sang lelaki kuat, yang ia butuhkan adalah seseorang yang hebat. Yang mau mengorbankan segalanya, lebih daripada ia yang terlalu sering untuk berkorban.

Wooseok paham, ia tidak akan menang. Kalah, sudah. Telak.

“Udah, Seok.”

Seungyoun mengusak rambut Wooseok, ingin membagi semangat ke si lelaki Kim. “Jangan sakitin hati lebih banyak lagi.”

“Cukup hati lo, sama hati orang yang suka ke lo. Itu aja yang harus ngerasain sakit.”

“Jangan sampe lo terlalu egois dengan maksain diri dan sakitin lebih banyak hati lagi,” ujar Seungyoun. Usakan tangannya di kepala Wooseok beralih dengan tepukan pada pundak si lelaki yang lebih kecil. “Gue nyari makan dulu, laper.”

Wooseok masih terdiam. Hatinya benar-benar gamang, kosong.

Sementara itu, Seungyoun beranjak pergi dari tempatnya menuju ke arah seorang laki-laki bertubuh jangkung yang sedari tadi memandangi dirinya dan Wooseok.

Jinhyuk.

Seungyoun tersenyum kecil ketika melewati Jinhyuk yang hanya berdiri di tempatnya. “Jangan bengong doang.”

“Temenin dia.” “Tepuk-tepuk kepalanya kalo dia nangis, jangan lo omongin macem-macem.”

Ujaran Seungyoun dibalas dengan anggukan Jinhyuk yang segera menghampiri Wooseok. Tubuh si lelaki Lee dibungkukkan agar bisa menyamai pandangan Wooseok, mereka berbincang sejenak sebelum akhirnya Wooseok membenamkan wajahnya ke rengkuhan Jinhyuk.

Mungkin, terisak? Entah. Seungyoun tidak bisa menangkap apa yang terjadi secara jelas dari jarak segini.

Namun satu hal yang pasti, si lelaki dingin akhirnya menunjukkan sisi cairnya di hadapan si lelaki matahari.

Seungyoun hanya tersenyum tipis dan melanjutkan langkahnya untuk keluar dari dalam Rumah Sakit. Berniat mencari restoran terdekat untuk menghilangkan rasa lapar di perutnya yang sedari tadi menyerang.

Di tengah perjalanannya, Seungyoun menengadah ke atas. Menatapi langit malam bertabur bintang yang terlihat sangat indah.

“Sejin-ah,” ujar Seungyoun pelan; kedua maniknya masih menatapi langit gelap berbintang di atasnya. Menyampaikan sebuah pesan kepada si sahabat yang terlalu ia rindukan, setengah mati.

“Tolong tanyakan ke Tuhan.” “Dosaku karena menyimpan dendam sudah dihapuskan, 'kan?”

Di hamparan langit hitam bertabur bintang, Seungyoun bisa melihat sosok Sejin di sana. Menjadi salah satu dari bintang yang paling terang, memberikan ucapan terima kasih kepada si sahabat yang telah melupakan dendamnya.

Terima kasih.“ “Sudah memberi tanda, sebelum semuanya jadi sebuah celaka.”

“Apaan, sih?” “Biasa aja megangnya!”

Suasana lorong Rumah Sakit saat ini sepi, tidak begitu banyak orang yang berlalu lalang. Kalaupun ada, paling hanya beberapa dan mereka terlalu sibuk dengan urusannya sendiri; memilih untuk tidak memperhatikan kedua lelaki dengan perbedaan tinggi badan yang cukup mencolok itu.

Jinhyuk menghentikan langkahnya di sebuah sudut Rumah Sakit yang memang tidak dilalui oleh siapapun. Bagus, mungkin di sini sudah cukup aman untuk menjelaskan semuanya. “Seok. Lo mesti tau satu hal perihal Kak Seungwoo.”

Wooseok menghentakkan tangan Jinhyuk dengan sedikit kasar, tidak tahan dengan cengkeraman tangan si lelaki Lee yang cukup kuat. “Apaan, sih? Sakit, woy! Kenapa, emangnya? Kalo tentang Kak Seungwoo, ceritain aja di depan anak-anak lain, sih?”

“Kak Seungwoo gay.” “Dia pacaran..” “..sama laki-laki.”

Wooseok yang tengah memijati pergelangan tangannya, segera terdiam membeku. Tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. “...”

“Berita disseupechi itu bener. Itu tentang Kak Seungwoo.” Jinhyuk meletakkan tangannya di pundak Wooseok, seakan mencoba menyadarkan si lelaki Kim dari lamunannya. “Lo jangan diem aja, Seok. Gue khawatiㅡ”

Ujaran Jinhyuk terhenti ketika Wooseok segera membalikkan badannya dan berderap kembali menuju arah ruang rawat Byungchan. Langkah Wooseok terlihat tergesa, bahkan membuat Jinhyuk sedikit sulit menyamai langkahnya. “Lo— heh! Lo mau ke mana?”, Jinhyuk meraih lengan Wooseok namun segera ditepis oleh si lelaki yang lebih kecil. “Seok!”

Suara Jinhyuk sedikit meninggi, juga raih genggaman tangannya kini sudah mengunci pergelangan tangan kiri Wooseok. Lagi, ditarik olehnya tubuh si lelaki Kim menuju sudut ruang yang tidak dilewati oleh siapapun. Sepi.

Mau tidak mau, Wooseok mengikuti langkahnya dan segera menatap Jinhyuk dengan kesal ketika lagi-lagi mereka berada di sudut ruang yang sama seperti barusan. “Lepasin! Gue mesti ketemuin Kak Seungwoo! Gue mesti ungkapin perasaan gue sekarang! Ada kemungkinan dia bisa nerima gue karena dia juga gaㅡ”

Jinhyuk mencium bibir Wooseok. Tangannya menangkup kedua sisi pipi Wooseok, sedikit menuntun tubuh si lelaki yang lebih kecil untuk sedikit berjinjit; ingin mempertipis perbedaan tinggi diantara mereka berdua.

Tidak. Tidak ada adegan romantis lagi setelahnya. Semua hanya berlangsung sepersekian detik karena Wooseok langsung mendorong tubuh Jinhyuk untuk menjauh darinya. Tatapannya tajam, menatapi Jinhyuk. Sementara si lelaki Lee hanya menundukkan kepalanya dalam-dalam, menolak untuk balas bertatap mata dengan Wooseok.

“Lo— ngapain?”

“Seok.” “Gue suka lo.” “Banget. Kebangetan.”

Mata Wooseok membelalak lebar, tidak menyangka kalimat itu yang keluar dari bibir Jinhyuk. “Lo—”

“Gue tau, lo nggak suka gue. Gue paham. Lebih dari siapapun, sumpah— gue paham hal itu dengan sangat baik, Seok.”

“Tapi, gue..sakit.”

“Hati gue sakit, ngeliat lo yang sebegini terpakunya ke Kak Seungwoo.”

Wooseok masih tidak mampu mengatakan apapun. Bibirnya benar-benar menjadi kelu, segala pikiran dalam otaknya menjadi semrawut. Berantakan tanpa bentuk, abstrak.

“Seok.” “Kak Seungwoo nggak suka sama lo. Dia cuma anggep lo sebagai adek, sebagai member. Dia nggak pernah anggep lo sebagai yang lainnyㅡ”

“Lo juga begitu.” “Gue ke lo, juga begitu.”

Jinhyuk tahu rasa sakit yang dirasakannya sekarang adalah hasil dari tusukan benda tajam tak kasat mata di hatinya. Jinhyuk tahu, bahkan tanpa perlu melihat— bahwa kini Wooseok tengah memandanginya dengan tatapan datar kebanggaannya.

Jinhyuk tahu, ia tengah ditolak.

“Gue anggep lo temen.” “Temen, member grup.”

“Hyuk.” “Lo temen terbaik gue.” “Jangan bikin hubungan kita jadi kikuk begini, tolong.”

Perlahan, Jinhyuk mengangkat kepalanya. Perlahan, Jinhyuk memberanikan diri untuk menatap Wooseok di hadapannya. Namun dengan tidak perlahan, hatinya terasa bagai ditikam ribuan belati. Dikoyak tanpa henti.

Mata Wooseok, masih indah. Di mata Wooseok, bayangan diri Jinhyuk terpantul jelas. Pada mata Wooseok, Jinhyuk pernah jatuh cinta. Namun pada mata Wooseok, Jinhyuk menemukan sebuah arti tatapan yang menyatakan bahwa dirinya tidak memiliki posisi lain sebagai seorang teman.

”...” “Iya.” “Gue bego, malah confess di tengah situasi genting begini ke lo— yang gue tau seberapa bucinnya ke Kak Seungwoo.”

“Pergi, Seok.” “Gue nggak apa-apa.” “Maafin gue, udah ngomong begini.”

“Pergi.” “Kasih tau semuanya, ke Kak Seungwoo.”

Wooseok menatapi wajah Jinhyuk yang tengah tersenyum tipis. Sekali lihat pun, semua bisa menebak bahwa ada banyak luka di balik senyuman itu. Namun, Wooseok terlalu egois. Ia tidak mengatakan apapun dan segera membalikkan tubuh, kembali berderap menuju ke arah ruang rawat Byungchan.

Meninggalkan Jinhyuk yang berdiri dengan tatapan nanar, mengikuti setiap langkah Wooseok hingga akhirnya menghilang di balik tikungan dinding Rumah Sakit.

Meninggalkan Jinhyuk, juga segala kepingan hatinya yang hancur berantakan tanpa tahu siapa yang bisa merapihkan.

“...” “Siapa?”

Wooseok adalah yang pertama kali membuka suara setelah keheningan mengelilingi mereka berlima. Wajar jika hanya Wooseok yang berbicara, karena diantara mereka berlima hanyalah Wooseok yang masih belum tahu mengenai preferensi seksual Seungwoo. “Ini .. berita apa?”

Tunggu, hanya Wooseok? Tunggu, bukannya .. seharusnya ada seorang lagi yang belum tahu, 'kan?

Byungchan. Semestinya Byungchan belum tahu mengenai hal ini, 'kan?

Namun, Byungchan terlihat tidak begitu terkejut. Ia hanya menatapi Seungwoo yang tengah melihat layar ponselnya dengan tatapan gamang. Bibir bawah Byungchan digigiti olehnya sendiri, terlihat kalut.

Tidak hanya Byungchan yang kalut. Jinhyuk dan Seungyoun juga demikian. Mereka bingung harus menjawab atau mengatakan apa akan situasi yang terjadi sekarang. Pada akhirnya, mereka hanya bisa memandangi Seungwoo yang sama sekali tidak bersuara dari tadi.

“Kak.”

Seungyoun memberanikan diri untuk memanggil Seungwoo. Si lelaki Han yang sedari tadi hanya memandangi layar ponselnya, sekarang mengangkat kepala. Hal yang dilakukan setelahnya, malah membuat Seungyoun dan Jinhyuk merasa sakit bukan main.

Seungwoo tersenyum, kemudian menggeleng-gelengkan kepala dan beranjak dari kursi yang ditempatinya. “Aku keluar dulu. Cari angin,” ujar Seungwoo singkat hingga akhirnya sosok si lelaki Han benar-benar menghilang di balik pintu ruang rawat Byungchan.

Wooseok tadinya sudah bersiap menyusul langkah Seungwoo, namun Jinhyuk segera menahan langkah Wooseok dengan menggenggam lengannya erat-erat. “Jangan. Jangan sekarang,” ucap Jinhyuk dan membuat Wooseok kebingungan bukan main.

“Maksudnya apa? Kenapa malah dia yang pergi? Apa yang salah di sini, sih?”, cecar Wooseok. Terlalu banyak pertanyaan di benaknya saat ini. Terlalu banyak yang ingin dia tanyakan. Jinhyuk mengendurkan cengkeraman tangannya di lengan Wooseok, beralih meraih pergelangan tangan si lelaki Kim untuk mengajaknya keluar dari ruang rawat. Wooseok harus tahu perihal semuanya.

Sepeninggal Seungwoo, Wooseok, dan Jinhyuk, hanya tinggal Byungchan dan Seungyoun yang ada di dalam ruang rawat. Seungyoun masih berdiri di samping kiri dari tempat tidur yang ditempati Byungchan. Si lelaki Cho mengacak rambutnya sendiri, merasa sedikit frustasi.

“Aaah! Bajingan emang orang-orang disseupechi!”, rutuk Seungyoun, seperti sudah melupakan situasi ketika ia melapor perihal skandal di dalam grupnya sendiri. “Mesti gimana sekarang, coba?”

Byungchan masih menggigiti bibir bawahnya sendiri. Telapak tangannya berkeringat, merasa gugup akan apa yang tengah ia pikirkan.

“Kak.” Byungchan memanggil Seungyoun seraya mengulurkan tangan kirinya. “Handphone gue rusak pas kemarin berantem sama selingkuhannya Jiwon noona.”

Seungyoun mengernyitkan dahinya, heran dengan ucapan Byungchan juga heran dengan tindakannya yang tengah menjulurkan tangan kepadanya. “Terus?”

“Boleh pinjem handphone?”

Byungchan sudah memutuskan, kali ini dia yang akan menjaga Seungwoo. Kali ini, dia yang akan menjaga leadernya.

Kali ini, Seungwoo tidak perlu mengorbankan apapun lagi. Sudah cukup.

Seungwoo, akan ia lindungi. Sepenuh hati. Sampai mati.

Janji. Janji. Janji.

“Berat badan lo seratus kilo, ya, Byungchan? Jujur aja, mendingan.”

Kini, keempat member OBVIOU5 tengah mengelilingi kasur yang ditempati Byungchan. Di tangan Wooseok, Seungyoun, dan Jinhyuk sudah ada sepotong roti dengan varian rasanya masing-masing. Sementara Seungwoo tengah menyuapi Byungchan bubur nasi yang disediakan dari pihak Rumah Sakit.

Ujaran Seungyoun dibalas dengan tatapan heran dari Jinhyuk yang tengah mengunyah roti sosisnya. “Byungchan badannya kurus begini, apaan yang seratus kilo? Lebay, lo.”

“Heh! Lo nggak ngangkat dia pas lagi pingsan sehabis ditonjokin, ya?! Gue yang ngangkat, nih! Gila, tulang gue udah mau patah, rasanya. Mana kaki si Byungchan juga panjang banget, 'kan? Gue mesti angkat lebih tinggi biar kaki dia nggak keseret di tanah.”

Byungchan dan Seungwoo terkekeh melihat perdebatan antara Seungyoun dan Jinhyuk, sementara Wooseok hanya menggeleng-gelengkan kepala; bingung akan tingkah teman seusianya yang semenjak kemarin terus saja berdebat mengenai hal-hal yang tidak penting.

“Tapi, Kak..”, di tengah perdebatan konyol antara Seungyoun dan Jinhyuk, Byungchan melontarkan pertanyaan. “..selama gue pingsan kemarin ada banyak hal yang terjadi, kayaknya, ya?”

Pertanyaan Byungchan barusan dibalas dengan alis yang berkerut dari member lain, bingung. Byungchan yang memahami maksud tatapan para member segrupnya, hanya mengulas senyum dan mengangkat bahunya. “Maksud gue..”

“..situasi sekarang, kerasa hangat banget.”

“Kayaknya seinget gue, nggak pernah kita berlima ngobrol di satu ruangan kayak begini sambil ketawa-ketawa,” lanjut Byungchan. Seungyoun menghabiskan potongan terakhir dari roti kejunya sebelum memberi jawaban singkat, “kemaren kita sadar, Chan.”

“Sadar, bahwa OBVIOU5 ini terlalu banyak cacatnya. Sadar, bahwa selama ini kita selalu berusaha jadi sempurna dengan tutupin kekurangan kita sehingga pada akhirnya— kita malah nggak jujur ke satu sama lain.”

Berbeda dengan membernya yang lain, Byungchan tidak terlihat kebingungan. Ia hanya mengangguk kecil seraya mengulas senyum. Membuat lesung pipinya terlihat jelas. “Jadi, kita semua udah jujur ke satu sama lain?”

Pertanyaan Byungchan barusan membuat keempat member lainnya saling bertatapan satu sama lain. Seungyoun memberi cengiran tipis kepada Jinhyuk yang terlihat kikuk, “Belum semuanya jujur, sih. Mungkin— hampir?”

“Kalau gitu..”, Byungchan sedikit membetulkan posisi bersandarnya. Kini, posisi duduk Byungchan sedikit lebih tegak daripada sebelumnya. “..kita jelasin semuanya.”

“Halo.” Tanpa menjelaskan apapun lebih lanjut, Byungchan mengangkat sebelah tangannya. Terlihat seperti seseorang yang tengah memperkenalkan diri kepada seseorang yang baru pertama kali ditemuinya. “Nama aku Byungchan. Choi Byungchan, lengkapnya. 24 tahun, pakai umur Korea.”

“Aku pernah pacaran sama manager grupku sendiri. Dia ketauan selingkuh, lalu aku samperin dan ternyata malah ditinju sama si selingkuhannya sampai pingsan.”

Baik Seungwoo, Jinhyuk, Seungyoun, dan Wooseok mengerjapkan mata beberapa kali. Masih bingung dengan situasi yang terjadi saat ini. “Lo ngapaiㅡ”

“Ya, anda?”, Byungchan menunjuk Jinhyuk yang baru saja menggumam pelan. “Bisa tolong perkenalkan diri anda secara jujur?”

Setelahnya, baru mereka berempat paham bahwa ini adalah cara Byungchan untuk meminta mereka untuk saling jujur. Memberitahukan segalanya tentang mereka, membongkar segala rahasia yang selama ini mereka tutupi rapat-rapat.

Untuk membuat OBVIOU5 menjadi benar-benar obvious.

“Gue..”, Jinhyuk kini juga mengangkat tangannya, persis seperti yang dilakukan Byungchan barusan. “..Lee Jinhyuk. 25 tahun.”

“Dan gue— punya sugar mommy yang bantu gue dalam beberapa hal yang perlu uang banyak.”

Sontak kalimat Jinhyuk tadi membuat Wooseok, si satu-satunya member yang belum tahu perihal rahasia Jinhyuk, segera membulatkan matanya. Tidak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. “Hah? Loㅡ apa?”

“Bentar, Seok. Gue bisa jelasin. Nanti, nanti gue jelasin. Sumpah, ini nggak kayak yang lo pikir.”

“Gue, Seungyoun.”

Seakan paham bahwa situasi antara Jinhyuk dan Wooseok bisa saja memburuk, Seungyoun segera mengucapkan perkenalannya.

“Gue masuk STAREAST karena mau balasin dendam sahabat gue yang meninggal karena nggak dianggap sama agensi. Namanya Sejin. Lagu-lagu yang ada di album First Step juga kebanyakan diciptain sama orang lain yang gue manfaatin.”

Kali ini, giliran Byungchan yang membelalak. Tidak sadar bahwa Seungyoun mengenal Sejin. Seungwoo yang paham akan maksud tatapan Byungchan segera menepuk-nepuk kepala Byungchan pelan, “nanti aku ceritain detailnya,” ujar Seungwoo.

Member yang belum memperkenalkan diri hanya tinggal Seungwoo dan Wooseok. Mereka berdua saling bertatapan sekilas sebelum akhirnya Wooseok mengangkat tangannya terlebih dahulu. “Gue Wooseok. 25 tahun. Agensi bilang gue udah pernah pacaran sama idol lain, padahal gue belum pernah pacaran. Agensi bilang, hubungan gue sama Kakak gue itu harmonis padahal sama sekali nggak. Agensi nyuruh gue bikin imej yang dingin padahal sebenernya gue kaleㅡ”

“Ehem.” Byungchan menyela perkataan Wooseok. “Diharapkan jangan memberi informasi palsu.”

”...” “Iya, gue emang dingin dari sananya.”

Keempat member lainnya tertawa, dan tak urung membuat Wooseok tertawa juga. “Lalu, gue..”

”..lagi suka sama seseorang. Udah dari lama, tapi gue sadar bahwa gue nggak bakal bisa dapetin dia. Jadi sekarang gue lagi dalam usaha ngelupain dia.”

Jinhyuk tersenyum pahit sementara Seungwoo yang tidak tahu akan apa yang dirasakan oleh Wooseok, malah menepuk-nepuki punggung si lelaki Kim. “Gue tau rasanya. Sabar, Seok.”

Seungyoun memijat keningnya, pusing akan situasi yang terjadi sekarang. Seungwoo tahu tidak sih bahwa dia baru saja menepuki punggung laki-laki yang menyukai dirinya sendiri?!

“Nah,” Byungchan ganti melirik ke arah Seungwoo. “Kalau anda? Nggak mau mulai perkenalan diri?”

Seungwoo terdiam sejenak. Tidak tahu harus berkata apa. Dibanding pengakuan member yang lain, pengakuan miliknya adalah yang paling akan sulit untuk diterima.

“Halo..”, dengan ragu Seungwoo mengangkat tangannya. “..aku, Seungwoo. Han Seungwoo, 27 tahun.”

“Aku pernah punya pacar. Iya, pernah. Baru aja putus kemarin.” Ujaran Seungwoo barusan membuat Jinhyuk sedikit terbelalak dan Wooseok yang segera menyunggingkan senyum, walaupun segera berusaha ia tutupi. “Lalu pacarku itu—”

TING. TING. TING.

Dalam waktu bersamaan, ada notifikasi yang masuk ke ponsel para member. Notifikasi dari twitter.

Anji—

Notifikasi yang membuat kelimanya seakan membeku kaku, dalam sekejap.

“Kak.”

Seungwoo merasakan ada usapan lembut pada punggung tangannya. Matanya masih terpejam, enggan untuk terbuka. Ia terlalu lelah akibat menangis tertahan setelah menyampaikan kalimat perpisahan kepada si kekasih, Seongwu, kemarin malam. Usapan di punggung tangannya sekarang bukannya menjadi hal untuk membangunkan, malah menjadikan ia semakin enggan untuk terbangun.

“Kak Seungwoo.”

Usapan pada punggung tangan kini beralih ke kepala si lelaki Han. Masih sama lembutnya, namun kali ini ditambah dengan usakan kecil diantara surai rambut. “Kak.”

Merasakan tenang sekaligus penasaran dalam waktu bersamaan, akhirnya Seungwoo sedikit memaksakan diri untuk membuka matanya. Hal pertama yang menyambut pandangannya adalah cahaya terang dari lampu ruang rawat, lalu selanjutnya adalah tangan seseorang yang mengarah ke kasur berseprai hijau muda.

“Byungchan?”

Si lelaki Choi sudah siuman, juga tengah duduk bersandar ke kepala tempat tidur dengan pakaian yang umumnya dikenakan para pasien. Senyumnya terulas tipis ketika melihat Seungwoo menatapnya penuh takjub, “kamu udah siuman?”

Pertanyaan Seungwoo dijawab dengan bahu yang terangkat dari Byungchan, “kalau belum siuman, nggak bisa ngelus kepala Kakak kayak tadi, donㅡ lha? Kak? Kak, kenapa malah nangis?! Kak Seungwoo! Duh, kenapa malah nangis? Kak, udah dong ..”

Benar saja, Seungwoo sekarang tengah menangis dengan kepala tertunduk. Tidak terisak, memang. Namun cukup untuk membuat Byungchan kebingungan dan tidak tahu harus berbuat apa. “Kak, Kakak kenapa? Aku nggak apa-apa, Kak. Udah, nggak apa-apa..”

“Kamu nggak mati.” “Tuhan, kamu selamat..” “Makasih, Tuhan.” “Tuhan, makasih banyak.” “Makasih udah selamatin Byungchan, Tuhan.”

Ujaran Seungwoo dirapalkan berulang kali, terdengar seperti sebuah mantra yang menyakitkan hati Byungchan sendiri. Sebegini khawatirnya 'kah sang leader terhadap kondisinya?

“Kak.” “Nggak ada yang berhak dapet kata makasih lebih daripada kamu sendiri,” ujaran Byungchan disertai dengan usapan pada punggung tangan Seungwoo. “Beneran, aku nggak bohong. Kamu yang paling capek dari semua hal ini.”

Seungwoo menggeleng. Tangisannya diseka dengan sebelah tangan, berusaha agar tidak benar-benar terisak di depan maknaenya. “Nggak. Aku nggak apa-apa. Aku nggak ngelakuin apa-apaan juga.”

Bohong. Byungchan tahu Seungwoo berbohong. Kantung mata sang leader terlihat sangat sembab, bukti bahwa ia sudah menangis dalam waktu lama. Lalu, bagaimana bisa ia mengatakan bahwa ia tidak apa-apa, coba?

“Bentar. Aku kabarin anak-anak yang lain dulu kalau kamu udah siuman, ya? Sekalian panggil suster sama dokteㅡ”

“Dokter sama suster udah tau kalau aku siuman dari tadi, Kak. Mereka yang jelasin situasinya sementara Kakak tidur tadi. Lagian, Kakak kira gimana cara aku ganti baju begini kalau nggak dibantu sama suster, coba?” Byungchan menunjuk baju pasien yang dikenakannya sekarang, dan dibalas dengan anggukan serta gumam 'aaah—' dari Seungwoo.

“Ya udah. Kalau gitu, aku kabarin anak-anak dulu. Kamu mau makan? Laper? Biar aku beliin roti atau makanan lainnyㅡ”

“Kak.” “Santai aja.” “Sikap kamu sekarang tuh kayak suami yang khawatir karena istrinya habis ngelahirin, nyadar nggak?”

Seungwoo terkekeh kecil seraya menggaruki pipinya. Betul juga, sih. Bahkan Seungwoo sendiri baru menyadarinya. “Sorry. Aku agak kelewat seneng bisa liat kamu yang begini, soalnya.”

Ujaran Seungwoo dibalas dengan senyum tipis dari Byungchan. “Aku nggak butuh apa-apa. Kakak selesaiin aja apa yang mau Kakak lakuin.”

Seungwoo mengangguk kecil, ponsel miliknya yang ia letakkan di atas nakas tempat tidur segera diraih. Seungwoo berdiri dari tempat duduknya dan beranjak melangkah keluar dari dalam ruang rawat Byungchan. “Ya udah, aku kabarin mereka dulu sekaligus cari roti buat mereka makan pas udah sampe di sini, ya?”

“Kamu istirahat dulu aja. Kalau butuh apa-apa, langsung pencet tombol di samping kasur aja. Nanti suster bakal dateng,” jelas Seungwoo dan dibalas dengan anggukan paham dari Byungchan.

Setelahnya, sosok si lelaki Han sudah menghilang di balik pintu. Sementara Byungchan masih bersandar ke kepala tempat tidur, menggigiti bibirnya sendiri; terlihat bingung akan sesuatu hal yang sudah ia pikirkan semenjak kemarin.

Iya. Semenjak kemarin. Semenjak ia siuman. Tanpa diketahui siapapun.

“Kabar ini, benar?”

Di dalam ruang rawat Byungchan, hanya diisi oleh tiga orang. Byungchan yang terbaring, serta Seungwoo yang tengah berdiri berhadapan dengan sang CEO.

Tangan kanan sang CEO menjulurkan ponselnya, memperlihatkan beberapa baris tulisan yang terpajang di layar. “Kamu gay, Seungwoo?”

Seungwoo menundukkan kepalanya dalam-dalam. Tidak berani menatap CEOnya tepat di mata. Kepalanya juga pusing bukan main, rasanya permukaan lantai yang dipijakinya terasa bergoyang. Membuatnya mual.

“Jawab.” “Beri saya jawaban biar saya bisa segera ambil tindakan.”

Seungwoo masih terdiam, tidak memberi jawaban apapun. Lidahnya kelu, takut untuk menjawab. Takut pula untuk memikirkan berbagai kemungkinan yang mungkin ada setelah ia melakukan sesuatu; entah itu mengiyakan atau mengatakan tidak.

“Jawab, Seungwoo.”

”...”

Jawab? Tidak? Jawab? Tidaㅡ

“Benar.”

Lalu yang Seungwoo dapatkan setelahnya adalah tamparan keras di pipi kirinya. Benar, keras karena berhasil membuat Seungwoo terhuyung-huyung kehilangan keseimbangannya. Hampir saja ia terjatuh.

Seungwoo tidak memberi pembelaan apapun. Ia hanya diam, memegangi pipi kirinya dengan kepala masih tertunduk dalam. “Maaf, CEO-nim,” setelah keheningan yang menyerang selama beberapa saat, hanya jawaban itu yang terucap dari bibir Seungwoo.

Sang CEO juga tidak mengatakan apapun, namun nafasnya memburu cepat. Berusaha sebisa mungkin menahan emosi, sepertinya. “Kamu leader.”

“Seharusnya kamu bisa buat grup ini jadi lebih baik, bukannya malah membuat kekacauan di tengah semua hal sialan yang terjadi sekarang!”

“Grup ini jadi berantakan karena kamu sendiri! Leader tidak becus!”

Seungwoo merasa kakinya lemas. Pemikiran yang sedari tadi menyerang diri dan membuatnya sesak bukan main, kini diucapkan secara terang-terangan. Sakit, sangat.

“Kamu pikir sendiri.” “Saya akan mulai membereskan semua sesuai prioritas.”

Seungwoo tidak paham akan perkataan sang CEO, namun ia juga tidak berani mengangkat kepala untuk bertatapan mata dengan lelaki separuh baya di hadapannya sekarang.

“Prioritas.” “Popularitas.”

“Seungyoun. Wooseok. Byungchan. Kamu. Jinhyuk.”

“Kamu pikir kenapa dari dulu saya tidak beri penjelasan atau klarifikasi apapun tentang masalah Jinhyuk?”

Seungwoo merasa ulu hatinya seperti dipukuli oleh palu tak kasat mata. Sebegitu rendahnya diri mereka di hadapan sang CEO hingga hanya dinilai berdasarkan popularitas?

“Karena popularitas Jinhyuk paling bawah diantara kalian. Seungyoun, yang memang paling terkenal, saya akan bela sampai mati-matian.”

“Kamu?”

Sakit. Jangan dilanjutkan.

“Yang popularitasnya nomor empat?”

Tolong. Jangan dijelaskan.

“Masih perlu banyak waktu buat kamu menunggu sampai masalah kamu bisa saya tangani.”

Seungwoo memilih untuk tidak mengangkat kepalanya. Ia takut emosinya tidak dapat ia kendalikan ketika matanya menangkap sosok laki-laki yang merendahkan dirinya seperti sekarang.

“Sekarang terserah kamu.” “Ingin mengakui dengan mulut kamu sendiri, atau mengatakan tidak tanpa didukung pernyataan apapun dari agensi.”

Sang CEO menepukkan tangannya beberapa kali, seperti ingin membersihkan debu atau hal kotor lainnya yang menempel setelah menampar pipi Seungwoo. Jijik. “Pikirkan baik-baik.”

Usai mengatakan kalimatnya, sang CEO pergi keluar meninggalkan ruang rawat Byungchan. Tanpa sekalipun menanyakan kabar Byungchan, tanpa sekalipun menanyakan kondisi member lainnya, tanpa mengetahui seberapa sakitnya hati Seungwoo sekarang— ia pergi.

Begitu saja. Pergi.

“Lo udah tau dari kapan?” Kalimat barusan diujarkan oleh Jinhyuk, ketika keduanya kini ada di sebuah lorong kosong dari Rumah Sakit tempat Byungchan dirawat.

Paham bahwa tindak Jinhyuk sekarang bisa saja didengar secara diam-diam oleh oknum tidak bertanggung jawab, Seungyoun mengusulkan sesuatu. “Mendingan kita jangan diem di tempat yang sepi begini. Lo tau, nggak? Kalo di film-film tuh ketika kita ada di tempat sepi begini, sebenernya orang yang dengerin perbincangan kita malah bakal lebih banyak.”

“Santai aja. Jangan dibawa tegang atau gimana, Hyuk. Gue juga nggak ada niatan buat ngasih tau ke si itu, kok.”

Seungyoun menepuk bahu Jinhyuk sekali, seperti ingin menerangkan tentang sesuatu. “Kita jalan aja, muter-muterin Rumah Sakit. Jangan sebut nama si yang kita tahu siapa secara terang-terangan. Sebut aja dia sebagai itu. Oke?”

Seungyoun melangkahkan kakinya terlebih dahulu, berbalik arah meninggalkan Jinhyuk yang masih terdiam di tempat. Sikap Seungyoun yang seakan-akan sudah tahu akan akibat dari segala hal ketika mereka melakukan sesuatu, membuat Jinhyuk sedikit terkesan.

Gila. Sesungguhnya apa saja yang sudah diketahui seorang Cho Seungyoun?

* * *

“Kalo lo nanya gimana caranya gue bisa tau, ayolahㅡ dari cara lo tatap dia aja udah beda, Hyuk. Jangankan gue, lah. Kalo misalnya Kak Seungwoo sama Byungchan peka, pasti mereka juga tau perihal perasaan lo ke dia, lah.”

Kini, Seungyoun dan Jinhyuk sudah berjalan bersisian di tengah aktivitas para penghuni Rumah Sakit. Mencoba membaurkan diri agar tidak terlihat terlalu mencurigakan, kata Seungyoun. Sekaleng kopi dingin dari vending machine sudah digenggam di tangan masing-masing, biarpun tidak sering diteguk karena keduanya terlalu serius akan topik pembicaraan mereka.

“Tapi dia nggak pernah tau soal perasaan gue,” ujar Jinhyuk dengan suara lirih. Ujung kukunya tergerak di sekeliling pinggiran kaleng, membuat suara geratan yang sedikit membuat ngilu. “Masih aja dia jelas-jelas dan terang-terangan ngaku suka sama— ya, lo tau, lah, siapa.”

Seungyoun terkekeh kecil. “Itu sih, emang dianya aja yang bego. Terlalu bucin sampe nggak bisa liat siapapun yang lainnya,” jawaban Seungyoun barusan dibalas dengan senyuman tipis dari Jinhyuk. Seperti merasakan pahit yang mau tidak mau harus ia terima. “Tapi lo udah tau, kan, kalau si itu udah punya pacar?”

“Hah? Yang mana?”

“Yang itu. Si dia.”

”...” “Yang mana?”

“Ah, lo bego banget.” “Yang dari tadi kita omongin!”

“Kita ngomongin banyak orang, woy!” “Lebih spesifik, dong!”

“Bukan yang bantet!” “Yang tinggi!”

“Oh..” “Bukan yang bantet.”

Jinhyuk mengangguk kecil, “gue sama yang bantet udah tau kok kalau yang tinggi ini udah punya pacar. Dari kapan, ya? Lumayan udah lama, sih.”

Seungyoun mengangkat kaleng kopi di genggamannya dan mulai meneguk isinya sedikit demi sedikit. Di tengah tengukannya, Sengyoun kembali berujar, “ya, berarti lo mesti buruan nembak si bantet, menurut gue. Siapa tau yang tinggi bakal putus sama cowoknya dan lo bakal kecurian start lagㅡ BHHHUEEK.”

“HAH?!?!?!” “COWOK?!?!”

Barusan. Barusan saja, Jinhyuk menepuk punggung Seungyoun yang tengah meneguk kopinya dengan kencang. Terlampau kencang malahan, hingga Seungyoun tersedak dan terbatuk-batuk seperti sekarang.

Lupakan Seungyoun yang tengah tersiksa, saat ini Jinhyuk terlalu terkejut dengan informasi yang didapatkan. Ia segera membungkukkan badannya agar bisa mengujarkan kalimat sambil berbisik, “Lo serius?! Maksud lo, pacarnya itu cowok?! Hah?! Dia sama juga kayak si bantet?! Haaaah?!”

Percuma. Seungyoun tidak bisa menjawab karena kini ia tengah terbatuk-batuk parah. Akibatnya, beberapa pasien maupun para tenaga kesehatan yang ada di Rumah Sakit segera memperhatikan keduanya dan tak urung menjadikan mereka pusat perhatian. Jinhyuk, lagi-lagi menarik tangan Seungyoun untuk pergi dari tempat mereka berada sekarang.

Pembicaraan ini harus dilakukan lebih serius!

***

“Jadi, Kak Seungwoo pacaran sama cowok?!”

“BENTAR, KENAPA?” “GUE MASIH NYARI NAFAS!”

Bentakan dari suara Seungyoun seakan bergaung ke seluruh ruang toilet laki-laki yang ditempati oleh mereka berdua. Setelah memastikan bahwa setiap bilik di dalam toilet tengah kosong, Jinhyuk tidak lagi berbisik-bisik. Ia secara jelas-jelas menyuarakan semuanya.

Sayangnya, Seungyoun masih berusaha mengatur nafas dan kondisinya setelah tersedak. Sedikit kesal karena si lelaki Lee ini seakan tidak mau peduli dan masih saja mencecarnya dengan pertanyaan.

“Pacarnya cowok.” “Lo juga tau siapa.”

”...” “Lo?”

“...” “Kepala lo mau gue ceburin ke dalem septic tank, nggak?”

“Lo bilang kan gue tau siapa.” “Ya gue taunya cuma lo.”

Seungyoun menggelengkan kepalanya, bingung akan pemikiran Jinhyuk yang terlalu polos. “Udah, ah. Gue kira lo udah tau soal ini soalnya lo tau perihal dia yang udah punya pacar. Mana gue tau kalau lo nggak tau tentang pacarnya itu cowok.”

“Bentar.” “Bentar.” “Gue pusing.”

“Anjir. OBVIOU5 isinya kebohongan semua.”

Seungyoun ikut tertawa miris ketika mendengar ujaran Jinhyuk. Benar, mereka memiliki nama grup yang menunjukkan arti jelas dan terang-terangan namun kenyataannya, mereka sendiri malah memiliki rahasia gelap yang tidak ingin diungkap kepada siapapun.

Ironis.

“Lo diem aja.” “Pura-pura aja nggak tau.” “Kalo mau, lo tembak Wooseok segera biar nantinya pas Kak Seungwoo putus sama pacarnya, lo nggak usah khawatir.”

Jinhyuk hanya mengangguk kecil. Otaknya sudah terlalu banyak ditempa oleh berbagai hal mengejutkan hari ini. Serba membingungkan. “Iya. Kayaknya gue mesti lakuin itㅡ”

CKLEK!

Tiba-tiba pintu masuk toilet terbuka, membuat Seungyoun dan Jinhyuk segera berpura-pura tengah mematut diri ke arah cermin. Namun tindak keduanya langsung terhenti ketika menyadari siapa yang barusan memasuki toilet.

“Wooseok?”, ucap Jinhyuk ketika melihat sosok si lelaki Kim memasuki toilet dengan ekspresi wajah datar. “Lha. Kok lo ke sini juga?”, tanya Jinhyuk dan dibalas dengan ekspresi tidak kalah datar.

“Apa sekarang kalau gue mau boker itu harus cerita dulu ke lo?”

Pertanyaan Wooseok barusan segera dibalas dengan gelengan kepala Jinhyuk, juga tawa tertahan dari Seungyoun yang geli melihat pemandangan di depannya. Sekilas, Seungyoun menepuk punggung Jinhyuk. Berupaya menyampaikan semangatnya agar si lelaki Lee dapat bertahan lebih kuat ketika menyukai Wooseok.

“Ya udah, deh,” ujar Seungyoun, “gue balik lagi ke kamar Byungchan. Nemenin Kak Seungwoo.”

Namun baru saja Seungyoun mengujarkan niatnya, Wooseok sudah kembali menyela. “Mendingan jangan dulu, kata gue, sih.”

“CEO-nim dateng.” “Dia nyuruh gue keluar karena ada hal yang mau dia bicarain sama Kak Seungwoo, katanya.”

“Kayaknya perbincangan serius. Mending lo nggak usah ke sana dulu,” akhir Wooseok dan membuat Seungyoun segera menaikkan alisnya. Heran.

Untuk apa CEO mereka sampai datang ke sini, coba?

“Kata dokter sih udah nggak apa-apa. Memar di sana-sini, tapi nggak sampai kena bagian yang terlalu vital. Palingan butuh istirahat buat pulihin semuanya.”

Ujaran Seungyoun dibalas dengan anggukan Jinhyuk yang kini berdiri di pinggir kanan dari kasur yang ditempati oleh Byungchan. Sementara itu, Wooseok berdiri di belakang Seungwoo yang tengah duduk di samping kiri kasur Byungchan. Kepala si lelaki Han masih tertunduk dalam, tidak berani terangkat karena takut menatapi wajah Byungchan.

Masih merasa bersalah, karena tidak bisa menjaga membernya.

“Kak.” “Mau makan dulu, nggak?”, tanya Wooseok seraya menepuk punggung Seungwoo sekali. Sang leader menggeleng, tanpa memberi jawab berupa ucapan apapun. “Nggak usah, Seok. Kalau mau makan, bisa sama Seungyoun. Dia belum makan.”

“Oh, iya. Gue belum makan, sih. Lo mau makan apaan, Seok? Ayo, lah. Makan barenㅡnggak, iya. Iyaaa, nggak! Nggak makan bareng!”, Seungyoun segera menggelengkan kepala dan membatalkan ajakan barusan ketika Wooseok menatapnya tajam. Seperti menyuruh Seungyoun untuk tidak mengganggu niatannya yang ingin memberi perhatian lebih kepada Seungwoo. “Buset. Serem banget, sumpah. Iya, nggak, Hyuk?”

Pertanyaan dilayangkan kepada Jinhyuk yang hanya mengulas senyum tipis. Terlihat sekali tengah memaksakan diri untuk tersenyum. Seungyoun yang melihat situasi itu akhirnya menepuk-nepuk punggung Jinhyuk, seakan ingin memberi semangat secara tersirat.

”...” “Lo ngapain?”, tanya Jinhyuk ketika merasakan kini tepukan tangan Seungyoun di punggungnya sudah berubah menjadi pijatan kecil pada pundak. Seungyoun mengangkat bahu, ringan.

“Mau ngasih semangat aja,” ujar Seungyoun santai. “Kayaknya lo lagi butuh hal itu lebih daripada siapapun.” Memang, ujaran Seungyoun ditujukan kepada Jinhyuk namun ujung matanya kini melirik Wooseok yang tengah memijati pundak Seungwoo. “Iya, nggak?”

Jinhyuk menganga. Tidak menduga bahwa Seungyoun juga mengetahui perihal perasaan sukanya kepada Wooseok. Tiba-tiba saja, tangan kanan Seungyoun sudah ditarik oleh Jinhyuk menuju ke arah luar ruang rawat Byungchan.

Sungguh, Jinhyuk harus tahu seberapa banyak hal yang diketahui oleh seorang Cho Seungyoun!