Hujan.
Lumayan deras.
Setidaknya, lumayan membuat kemacetan di sekitar ruas jalan Fatmawati menjadi semakin hiruk pikuk. Barisan mobil berjajar [tidak begitu] rapi, sesekali diisi dengan selingan klakson dari beberapa mobil; yang seperti memaksa barisan di depan mereka segera melaju sebelum lampu merah di jalan perempatan besar itu kembali menyala.
Biasanya Baskara ada di antara barisan mobil-mobil itu. Biasanya Baskara memasang ekspresi muram ketika berada di balik kemudi, menanti lampu merah berganti warna menjadi hijau. Biasanya Baskara begitu.
Namun, hari ini tidak demikian.
Baskara harus merelakan kenyamanannya berkemudi di balik mobil Fortuner hitamnya direnggut sejenak karena si kesayangannya itu sedang melakukan perawatan mesin rutin. Sehingga si lelaki jangkung itu harus menggunakan transportasi umum, MRT.
Kenapa bukan transportasi online saja, sih? Kenapa mesti capek-capek berdesakan di lorong kereta, coba?
Iya. Alasannya sederhana, Baskara tidak suka disupiri oleh siapapun. Ia merasa tidak nyaman berada di bangku penumpang, untuk alasan apapun. Berlebihan? Mungkin. Yang pasti, Baskara lebih rela berdesakan di MRT daripada harus disupiri oleh orang lain.
“Anjir. Hujannya mesti banget turun pas mobil lagi diservis, apa?”, celetuk Baskara ketika langkahnya berhenti di depan pintu masuk sebuah universitas swasta yang berada di lingkungan jalan Fatmawati, Jakarta Selatan.
Tangan kanan Baskara memegang tangkai besi payung berwarna hitam yang tengah terkembang sementara di tangan kiri, ia memegangi sebuah payung berwarna biru tua yang masih terlipat rapi.
Penampilan si lelaki jangkung itu terlihat sangat— bagaimana, ya, mengatakannya? Lumayan berantakan. Kemeja Polo berwarna putih polos tanpa corak yang dikenakan Baskara terlihat agak kusut, kancingnya dibuka dua dari bagian kerah, belum lagi bagian bawah kemejanya terlihat keluar di beberapa bagian. Namun entah mengapa, tetap saja ada sesuatu hal yang membuat siapapun pasti melirik dan memperhatikan lelaki itu beberapa detik lebih lama.
Berantakan.
Namun masih tetap terlihat tampan juga mempesona— garis bawahi bagian itu, jika perlu.
Sosok Baskara yang terlihat berbeda sempat membuat beberapa mahasiswi dari universitas yang didatanginya hingga kehilangan fokus ketika berjalan. Bahkan barusan saja ada sekelompok mahasiswi yang tanpa malu-malu berdiri dalam jarak cukup dekat, memandangi Baskara hingga beberapa menit dan berbincang seru seakan Baskara tidak ada di sana.
“Ih! Gila! Ganteng banget!“
“Dosen baru, bukan?”
“Dosen manaaa? Gue mau pindah ke jurusan apapun, sumpah!“
“Itu putih banget kulitnya! Tapi kontras banget sama bibirnya, nggak, sih? Merah gitu!”
“Lo liat idungnya, begeee! Mancung banget! Anjing, kalo pas lagi cipokan terus kena idungnya— berdarah nggak, ya? Tajem banget!“
“Jangan ngomong cipokan, jablay! Gue jadi mikir enak-enak, nih!”
“Liat lengan kemejanya, tuh! Keliatan banget badannya kekar, taiii! Pundaknya juga lebar banget? Enak banget dipelukin!“
“Ih. Gila! Gila! Gue samperin aja, apa, ya? Mau gue tembak! Siapa tau beneran jodoh!”
“Heh! Istighfar, lonte! Lo liat itu di tangannya, ada satu payung lagi. Berarti lagi nungguin orang, lah! Lagian, masa jemputnya di luar begitu, sih? Nggak punya mobil, berarti. Ganteng tapi kere mah buat apa?“
“Nggak apa-apa. Biar gue yang ngeride do'i. Hmmmmh, anjir...bayangin aja lo, ngeride do'i pasti. ANJING. ENAK BANGEㅡMMHHHPPM! HHHMPPPH!”
“Diem!!! Lo nggak nyadar apa kalau dia bisa aja denger? Ini lonte satu nafsunya binal banget, anjir!“
“Eh. Gue penasaran. Dia jemput siapa, ya?”
“Anak yang ngehits di kampus, lah. Siapa lagiii? Pasti antara Frederica sama Tyas, nggak, sih?“
“Frederica udah pacaran sama anak padus, woy! Tyas juga udah mau nikah, gue tau muka cowoknya!”
“Anjir. Beneran, lah! Ini mah jodoh gue! Mau gue samperin, fix. My jodoh, i'm cominㅡ“
“CAK!“
“...”
“...”
“...”
Sekelompok mahasiswi yang sedari tadi berdiri memperhatikan Baskara dari seberang, segera diam membisu ketika melihat Baskara kini melambaikan tangannya ke arah seorang lelaki jangkung lain.
Si lelaki jangkung lain itu adalah Cakrawala. Si mahasiswa yang paling tampan di kampus, idola banyak mahasiswi, kesayangan para dosen, dan diketahui masih jomblo.
Kaget? Siapa yang tidak? Bahkan kini sekelompok mahasiswi yang sedari tadi saling berbisik seru, sekarang hanya bisa menganga sambil melirik ke kiri kanan. Saling bertukar pandang, seakan menanyakan hal yang sama : 'SERIUS DIA KE SINI BUAT KETEMU CACAK?'
Baskara yang sedari tadi memang tengah memasang earphone dan tidak memperhatikan sekitar, segera melangkah menghampiri Cakrawala yang kini terlihat kebingungan akan keberadaan si lelaki berkemeja Polo itu di kampusnya.
“Lo ngapain di sini?”, tanya Cakrawala dengan alis setengah bertaut. Baskara hanya mengangkat bahu dengan santai kemudian menyerahkan payung biru tua di tangannya ke si yang lebih muda. “Jemput? Hujan.”
Jawaban Baskara membuat Cakrawala mendengus, namun tetap saja sodoran payung dari si yang lebih tua diterima dan payung berwarna biru tua itu segera terkembang; melindungi si yang lebih muda dari guyuran hujan gerimis di Jakarta sore ini. “Tumben, ngejemput sampe sebegininya.”
“Kebetulan lewat. Gue naik MRT, si item lagi diservis dulu. Kebetulan searah dan kemaren lo bilang kalau lo pulangnya sore, jadi yaㅡ udah.”
“Kenapa? Nggak suka?”, pertanyaan singkat dari Baskara dijawab dengan gelengan kepala dari Cakrawala. Ekspresi si lelaki yang lebih muda terlihat datar, tidak menggambarkan seperti tengah berbunga-bunga atau senang karena dijemput oleh si kekasih.
“Bukannya nggak suka, sih. Cuma, yaㅡ”, Cakrawala mengedikkan bahunya ke samping kiri. Memang, di arah kiri Cakrawala sudah ada beberapa mahasiswi yang tengah berbisik satu sama lain. Seperti membicarakan berbagai kemungkinan perihal Cakrawala dan si lelaki asing yang tampan di sampingnya. “ㅡgue bakal kesusahan ngejelasin ke mereka soal identitas lo.”
“Jarang-jarang aja, ada cowok dijemput cowok, soalnya.” Lanjutan kalimat dari Cakrawala membuat Baskara menggumam kecil sebelum melenguh panjang. “Heh! Lo ngapain lenguh-lenguh begitu?”
Baskara menatapi payung di tangannya yang terkembang, kemudian melirik Cakrawala di sebelahnya; yang juga tengah berdiri dengan payungnya sendiri. “Lo tau, nggak? Kalau gue bisa milih, tadinya gue nggak mau bawain dua payung. Kalau gue mau nekat, gue tadinya cuma mau bawain satu. Buat lo sama gue pake barengan.”
“Tapi emang susah, ya?”, lanjut Baskara seraya menoleh ke arah Cakrawala, si yang lebih tua memasang senyum tipis namun tetap saja bisa membuat Cakrawala berdebar bukan main. “Ketika rasa sayang gue dibatasi sama banyak hal tentang norma dan lain-lainnya,” akhir si yang lebih tua, kali ini sambil mendaratkan tangan kanannya di kepala Cakrawala; mengusak rambutnya sekilas. Gemas.
Sumpah. Sumpah demi apapun, barusan saja jantung Cakrawala rasanya seperti mau jatuh dari tempatnya. Selama ini, Baskara selalu memahami sebagaimana ketakutan Cakrawala mengenai pandangan publik akan hubungan mereka. Maka selama ini, Baskara selalu mengikuti permintaan Cakrawala : untuk diam, untuk tidak pernah berperilaku mencolok.
Namun barusan saja, Baskara mengusak rambutnya seraya tertawa kecil di hadapan orang sebanyak ini. Tawa yang selalu bisa membuat Cakrawala terjatuh dan jatuh lagi tanpa bisa ia kendalikan.
Belum lagi, sekarang si yang lebih tua tengah menyampirkan lengannya ke bahu si yang lebih muda. Memang, bukan sebuah rangkulan yang terlihat romantis. Lebih terlihat seperti rangkulan yang kerap dilakukan antara dua sahabat, namun tetap saja membuat Cakrawala merasa pipinya merah dan panas bukan main.
“Lo ngapain, sih? Lepasin, nggak?”, gertak Cakrawala seraya menggerakkan bahunya agar Baskara melepaskan rangkulannya. Namun si yang lebih tua kini malah semakin mengeratkan rangkulannya. “Coba aja lepasin sendiri kalo bisa,” balas Baskara seraya tergelak; gemas melihat Cakrawala yang tengah mencoba melepaskan rangkulan di bahunya dengan sebelah tangan karena tangannya yang lain sedang memegangi payung.
Cakrawala memang lebih tinggi, namun kekuatannya jauh di bawah Baskara. Lihat, bahkan untuk melepaskan rangkulan si yang lebih tua pun Cakrawala tidak mampu.
Lucu. Lucu, sangat.
Ingin sekali Baskara mengecup bibirnya sekaranㅡ
“Cacaaaaak~!”
“Mau pulang, ya?”
Di tengah perseteruan antara Baskara dan Cakrawala juga rangkulan di bahu, tiba-tiba sekelompok mahasiswi yang tadi sempat berdiri berseberangan dengan Baskara sudah menghampiri keduanya. Mereka berjumlah empat orang, bermake-up cukup tebal dengan parfum yang sangat menyengat dan membuat Baskara pusing dalam sekejap.
“Hai,” balas Cakrawala seadanya; jujur, ia tidak ingat siapa nama mahasiswi-mahasiswi ini. Nama Cakrawala memang sudah sangat terkenal di kampus namun si yang bersangkutan tidak begitu mengetahui banyak nama teman-teman sekampusnya. Maka, ia hanya bisa membalas sapaan tanpa menyebutkan nama. “Iya, pulang.”
“Enak banget, pulangnya dijemput sama kakaknyaaa. Eh, ini kakaknya Cacak, kan, ya? Halo, Masnyaaa.”
Salah satu dari keempat mahasiswi mengulurkan tangannya kepada Baskara, dibarengi dengan senyum genit yang membuat si lelaki jangkung berkemeja Polo itu hanya mengernyitkan dahi. “Gue bukan kakaknya Cacak.”
Jawaban Baskara segera membuat mata Cakrawala membulat; panik akan kemungkinan yang diucapkan lelaki itu. Masa' iya dia mau mengungkap hubungan asmara mereka di depan umum begini?
Cakrawala mencubiti pinggang Baskara secara sembunyi-sembunyi. Memberi kode agar si lelaki yang lebih tua tidak bertindak nekat. “Diem, bangsaaat. Lo jangan nekaaat!”, desisnya dengan suara yang sangat pelan.
“Lho? Bukan kakaknyaa? Aku kira kakaknya lhooo, soalnya sama-sama ganteng gitu. Jangkung jugaa. Iya, kan, gengs?”
Ujaran si mahasiswi dibalas dengan anggukan dari ketiga temannya yang lain. Persis seperti anjing pendukung, pikir Baskara.
“Kakak namanya siapaa? Boleh kenalan, nggak? Aku Laista, kalo yang ini Disty, kalo yang inㅡ”
“Udah punya pacar, sorry”, ujar Baskara seraya melepaskan rangkulannya dari pundak Cakrawala, kemudian mengangkat tangan kiri dan menunjukkan sebuah cincin perak yang melingkar di jari manisnya. “Pacar gue posesif banget. Kalo gue kenalan sama kalian, bisa-bisa besoknya kalian muntah darah.”
“Cacak juga udah punya pacar,” lanjut Baskara tanpa diminta. “Gue kenal banget sama pacarnya si Cacak. Beuh, lo coba ngegodain Cacak, nihㅡ besoknya lo udah nemuin setan nangkring di pojok kamar lo. Pacarnya si Cacak nyeremin, mainnya dukun.”
“Jadi..”, Baskara kembali merangkul bahu Cakrawala tanpa kikuk dan tersenyum [super] manis. “..kalau kalian mau kenalan dengan maksud pengen pacaran atau apapun itu, sorryㅡ”
“ㅡgue sama dia udah sold out.”
Tepat setelah mengujarkan kalimatnya, Baskara melangkah terlebih dahulu tanpa mengucapkan salam pamit atau apapun yang lainnya. Cakrawala yang dirangkul, tidak memiliki pilihan lain selain mengikuti langkah si yang lebih tua. Untungnya, Cakrawala sempat menyunggingkan senyum dan bungkukan singkat ke arah para mahasiswi itu. “Duluan, ya.”
Si keempat mahasiswi menganga tidak percaya; ucapan Baskara sebegitu pedasnya. Saking kesalnya, salah satu dari para mahasiswi yang bertubuh paling tinggi berseru kencang ke arah Baskara dan Cakrawala. “SOK KEGANTENGAN, LO! GUE SUMPAHIN LO JADI GAY, YA! PERCUMA MUKA GANTENG KALO GAY! GUE SUMPAHIN LO YA, MAS MAS PAKE KEMEJA POLO! GUE SUMPAHIN LO GAAAAY!”
Mendengar seruan dari si mahasiswi, Baskara membalikkan tubuhnya untuk kembali menatap keempat mahasiswi itu. Tidak, Baskara tidak balas berteriak atau menghampirinya lagi, kok. Baskara hanya mengangkat tangannya dan membuat gerak hormat dengan jari telunjuk dan jari tengahnya.
Sementara itu, Cakrawala yang masih menghadap ke arah depan hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala sambil menutupi wajah dengan sebelah tangan. Kebingungan harus bersikap bagaimana, hingga akhirnya ia tertawa kecil.
Awalnya hanya kekehan, namun lama kelamaan berubah menjadi tawa yang lumayan kencang dan membuat Baskara melirik heran.
Keheranan itu hanya bertahan sekilas, karena kini Baskara juga ikut tertawa bersama Cakrawala. Tergelak geli, karena alasan yang mungkin sama.
“Dia nyumpahin lo jadi gay— bahahaha! Anjir, kok ada yang nyumpahin begitu, sih?”, ujar Cakrawala di tengah tawanya.
“Gue nggak tau. Orang kok bisa ya nyumpahin hal yang nggak guna banget? Nyumpahin gay ke orang yang emang udah pacaran sama cowokㅡ anjir, temen lo punya bakat jadi dukun atau gimana?”, balas Baskara seraya kembali menyampirkan lengannya di bahu Cakrawala.
Kali ini, Cakrawala tidak menolak. Ia membiarkan dirinya direngkuh oleh Baskara, membiarkan dirinya terlihat kecil di dekap tangan sang matahari.
Di tengah guyuran hujan Jakarta sore hari ini, suara denting kecil terdengar samar-samar dari tas ransel yang tersampir di pundak Cakrawala. Di salah satu gantungan retsleting tasnya, ada sebuah rantai yang di ujungnya tergantung sebuah cincin perak.
Cincin yang sama dengan yang dipakai Baskara di jari manis kirinya. Cincin yang sama dengan yang Baskara pamerkan sebagai cincin yang menunjukkan bahwa ia sudah memiliki kekasih.
Cincin perak itu berdenting kecil di antara gerak tas yang tersampir di bahu Cakrawala. Seakan ingin ikut meramaikan tawa kedua insan bertajuk matahari dan langit yang berbahagia walaupun dunia tengah diguyur gerimis.
Cincin itu, adalah bukti
bahwa si kedua lelaki
saling mencintai
setengah mati.
Hanya saja, mereka
tengah menanti masa
hingga semua ini tiada
menjadi sebuah rahasia.
Masa itu, pasti datang.
Pasti, akan datang.
Pasti, datang.
Iya, 'kan?
END
(dontlockhimup)