dontlockhimup

“Halo?”

“Kak!” “Lo di mana?!” “Byungchan gimana?!”

Sambungan telefon Jinhyuk memang tersambung ke ponsel Seungwoo, namun yang menerima panggilan itu adalah Seungyoun. Padahal baru mengucapkan satu kata, namun Jinhyuk sudah menanyakan berbagai hal kepadanya dari sambungan telefon mereka kali ini. Seungyoun sampai harus menjauhkan speaker ponselnya dari telinga saking Jinhyuk berbicara terlalu nyaring. “Pelan, kenapa, sih? Kuping gue pengang.”

“Lo tau dari mana kalau Byungchan kenapa-kenapa?”, tanya Seungyoun seraya mendudukkan dirinya ke bangku panjang yang ada di ruang tunggu IGD. Sedikit meluruskan kakinya karena lelah berlari menuju mobil sambil menggendong Byungchan [ yang tinggi badannya 185cm, catat itu ] dan harus mengemudikan mobil Seungwoo menuju Rumah Sakit karena si empunya mobil mengatakan tidak kuat mengendarai kendaraannya. Memang, sepanjang perjalanan— Seungwoo hanya duduk dengan kepala menunduk dalam dan kedua tangan yang menjambaki rambutnya sendiri. Terlihat frustasi.

Barulah ketika mereka bertiga sampai di IGD Rumah Sakit terdekat dan Byungchan tengah mendapat perawatan dari tim medis, Seungwoo bisa terlihat agak tenang. Namun, yaㅡ masih sama ... ia masih belum bisa diajak berbicara. Bahkan panggilan telefon dari CEO sama sekali tidak diterima, padahal CEO sudah menelfoni ponsel Seungwoo berkali-kali.

Ponsel Seungyoun? Baterainya habis. Ponsel Byungchan? Entah di mana. Wajar saja jika sekarang hanya ponsel Seungwoo yang berdering terus-terusan.

Tidak tahan dengan panggilan yang terus dianggurkan, akhirnya Seungyoun mengambil ponsel milik Seungwoo dari tangan si pemilik dan mengangkat panggilan telefon yang baru saja masuk. Kali ini, panggilannya adalah dari Jinhyuk. Bukan dari sang CEO.

“Kok lo yang jawab?”, tanya Jinhyuk keheranan. Seungyoun hanya menjawab singkat, “panjang ceritanya. Kapan-kapan aja gue ceritain.”

“Lo tau dari mana kalau Byungchan kenapa-kenapa?”, Seungyoun mengulangi pertanyaannya lagi karena belum mendapat jawaban dari Jinhyuk di seberang sana. “Jangan bilang kalo udah ada berita soal Byungchan masuk IGD?”

“57 ribu likes di twitter.” “Ada yang ngeliat lo bertiga.”

Seungyoun segera bangkit dari bangkunya dan mengenakan kembali hoodie ke kepalanya. Setelahnya Seungyoun menghampiri Seungwoo, mengambil jaket milik si lelaki Han yang tadinya ia gunakan untuk menutupi wajah Byungchan dan mengelilingi kepala leadernya dengan jaket itu. “Pake, Kak. Ada yang liat kita,” ujar Seungyoun kepada Seungwoo yang masih berjongkok di samping pintu masuk IGD yang tertutup; menanti kabar perihal kondisi Byungchan.

Seungwoo tidak mengiyakan. Ia hanya membiarkan jaket miliknya menutupi kepala. Dari jaket itu, sedikit tercium bau anyir dari darah yang menempel. Bau darah Byungchan, entah mengapa malah membuat Seungwoo merasakan sakit hatinya bertambah berkali-kali lipat.

“57 ribu likes?”, tanya Seungyoun, memastikan. “Gila. Banyak yang udah tau, kalau gitu.”

“Wooseok lagi liat-liat akun orang yang nyebarin tweetnya pertama kali. Katanya sih, cewek itu belum kasih tau lokasi Rumah Sakit tempat lo ada sekarang. Lo hati-hati aja, jangan sampai kefoto atau apa, lah.”

Seungyoun menggumam paham, matanya mulai berkeliling memperhatikan sekeliling; memastikan tidak ada yang berada di sekitar mereka. “Kayaknya sampai sekarang masih aman, sih. Rumah Sakit ini bisa jaga privasi, setau gue. Mungkin informasi di twitter itu kesebar karena gue sama Kak Seungwoo terlalu panik pas bawa Byungchan ke IGD.”

“Lo berdua di mana? Gue sama Wooseok mau nyusul ke sana,” ucap Jinhyuk dengan suara agak tersengal. Sepertinya ia sedang berjalan tergesa hingga nafasnya menjadi tidak beraturan. “Lo berdua mending sekarang masuk mobil atau apa, kek. Jangan malah berdiri di ruang terbuka. Bisa ketauan.”

“Gue sama Kak Seungwoo mesti tau situasinya Byungchan dulu baru bisa ke mana-mana, bego,” jawab Seungyoun dan dibalas dengan ujaran kecil 'oh-iya' dari Jinhyuk. “Hyuk..”

Ada jeda sejenak sebelum akhirnya Seungyoun melanjutkan kalimatnya. “..daripada lo sama Wooseok ke sini, mendingan lo lakuin hal ini.”

“Hah?”, Jinhyuk terdengar kebingungan. “Lakuin apa?”

“Lindungin OBVIOU5.”

“Gimana?”

Seungwoo menolehkan kepalanya ke arah Seungyoun yang barusan berujar santai. “Hm? Apanya?”

“Danielle.” “Cantik, 'kan?”

Barusan saja, mereka selesai berkunjung ke apartemen yang ditempati oleh Danielle. Seungyoun dan Seungwoo menjelaskan maksud kedatangan mereka dengan singkat dan jelas, yaitu meminta Danielle agar tidak mengatakan hal apapun terkait lagu buatannya yang pernah diberikan untuk Seungyoun kepada pihak disseupechi.

Danielle mengiyakan dengan sangat mudah. Tanpa syarat, pula. Membuat Seungwoo sempat kebingungan karena awalnya ia kira harus menemui berbagai drama agar bisa menemui kesepakatan dengan Danielle.

“Cantik, sih.” “Tapi mau gimana?” “Gue sukanya cowok.”

Sontak, Seungyoun langsung tertawa kencang. “Bener! Astaga, kenapa gue bisa lupa? Gue tawarin yang semacam Danielle pun tetep nggak bisa bikin lo lurus lagi, ya, Kak? Gilaaa, sebagus apa pacar lo sampe bisa loyal begini, sih?”

Seungwoo memilih untuk tidak membalas sindiran Seungyoun dan hanya mengangkat bahu, ringan.

“Tapi gue heran, dia santai banget ngeiyain permintaan kita. Padahal kita minta permintaan yang susah banget, itu.”

“Iya, lah.” “Dia punya banyak lagu, Kak. Anaknya pinter banget soal aransemen lagu dan semacamnya.”

Seungyoun nengeratkan jaket hitam yang ia kenakan, berusaha merapatkan penyamarannya biarpun sesungguhnyaㅡ tidak begitu berarti, sih. Dari penampilan dan tinggi badannya saja, siapapun bisa menebak bahwa Seungwoo dan Seungyoun yang tengah terbalut jaket tebal, mengenakan topi, dan masker penutup wajah itu adalah selebriti.

“Lagu-lagu yang dia kasih ke gue, cuma lagu sisa yang nggak tau mau dia apain.”

“Lagian, selama ini gue juga bagi hasil royalti sama dia, kali. Gue nggak sejahat itu dengan ngakuin karya orang sebagai punya gue tapi nggak mau bagi hasil untung.”

Seungwoo mengangguk-angguk paham. Rupanya sosok Seungyoun tidaklah seburuk yang ia pikirkan saat awal mengetahui rencana balas dendamnya. “Tapi, youn..”

“Hm?”

“Lo tau, kan?” “Danielle itu..”

“Udah nikah?” “Tau, lah.”

“Itu yang bikin gue pilih dia jadi target buat gue manfaatin, Kak.”

Jujur, Seungwoo pun merasa terkejut ketika ia pertama kali masuk ke dalam apartemen Danielle. Baru juga langkah pertama, Seungwoo sudah disambut dengan foto Danielle yang tengah mengenakan pakaian pengantin—tengah berciuman dengan seorang lelaki berkenaan tuxedo. Segera, ia menoleh ke arah Seungyoun namun si lelaki Cho terlihat sangat santai dan malah memberi kecupan manis di bibir Danielle.

“Gue manfaatin orang yang jahat. Gue manfaatin orang yang gue yakin nggak bakal setulus itu buat mencintai gue. Ayolah, gue juga punya nyokap. Lo kira gue sebegitu teganya ngerjain anak cewek polos?”

“...” “Persiapan lo mateng banget, ya?”

Seungyoun menyunggingkan cengiran, menganggap ucapan Seungwoo barusan sebagai pujian.

“Oh, ngomong-ngomong..”, Seungyoun berujar kecil ketika menyadari bahwa langkah mereka sudah membawa keduanya menuju Hongdae. “..Byungchan bukannya mau ke sini, Kak?”

Seungwoo melirik sekeliling. Benar juga, ini Hongdae. “Dia bilang mau ke sini makanya nggak mau makan jjajangmyeon, 'kan? Mau ngapain, cobㅡ”

Jangan jadi banci, bangsat!

Suara seruan kencang disertai dengan suara teriakan histeris dari seorang perempuan terdengar jelas dari arah ujung jalan yang dilintasi oleh Seungyoun dan Seungwoo. Keduanya saling bertatapan sekilas sebelum akhirnya memahami sesuatu.

Mereka lupa akan satu kemungkinan : bahwa Byungchan ada di Hongdae untuk menemui Jiwon yang tengah bersama dengan lelaki lain.

Segera, Seungyoun dan Seungwoo berderap tergesa menuju ujung jalan. Di sana, ada seorang lelaki yang tengah menghujamkan tinjuannya ke seorang laki-laki lain yang terbaring di tanah. Suara teriakan si perempuan terdengar nyaring, namun tidak cukup kuat untuk membuat Seungyoun dan Seungwoo mengalihkan perhatian dari sosok lelaki yang tengah dipukuli.

“BYUNGC—”

Seungyoun menutupi mulut Seungwoo dengan sebelah tangannya. Memberi isyarat untuk tidak menyerukan nama si lelaki Choi karena bisa saja itu membuat mereka yang tengah melihat jadi tahu akan identitas mereka.

Paham akan yang diisyaratkan, Seungwoo tidak berteriak. Merasa Seungwoo sudah paham akan apa yang harus dilakukan, Seungyoun segera berderap mendekati si lelaki yang masih memukuli Byungchan. Tanpa ba-bi-bu, Seungyoun langsung menarik kerah baju lelaki itu dan balik melayangkan bogem mentah ke wajahnya.

“HEH!” “BRENGSEK! LO NGAPAIN, HAH?”

Sementara Seungyoun balik memukuli Seojoon, Seungwoo segera menghampiri Byungchan yang terkapar tak berdaya di tanah. Wajahnya babak belur, entah sudah dipukuli beberapa kali. “Byungchan! Byungchan? Hei! Sadar. Tetep sadar, Byungchan..”

“Noona!” “Bantu, noona!” “Telefon ambulans!”

Seungwoo berusaha meminta pertolongan dari Jiwon, namun perempuan itu tengah menangis terisak sambil menjambaki rambutnya sendiri. Terlihat ketakutan.

Paham bahwa segala situasi yang terjadi saat ini bisa saja membuat kondisi Byungchan semakin memburuk, Seungwoo segera melepaskan jaketnya dan menutupi wajah Byungchan. Yang paling utama, identitas Byungchan tidak boleh terkuak.

Setelah memastikan wajah Byungchan tidak lagi terlihat, Seungwoo mengangkat tubuh Byungchan ke dalam gendongannya dan berseru ke arah Seungyoun. “STOP! KITA HARUS CEPET KE RUMAH SAKIT!”

Seungyoun masih belum selesai melayangkan pukulan pembalasan kepada Seojoon namun teriakan Seungwoo barusan membuat Seungyoun tersadar bahwa yang paling darurat saat ini adalah keselamatan Byungchan.

Tubuh Seojoon segera dihempaskan begitu saja ke aspal oleh Seungyoun, tidak lagi dipedulikan. Si lelaki Cho kini berbalik, mengikuti langkah cepat Seungwoo yang tengah menggendong Byungchan. “Kak. Lo yakin kita ke Rumah Sakit? Bisa-bisa kita ketauaㅡ”

“Rumah Sakit!” “Byungchan..” “..nggak boleh mati.”

“Harus selamat.”

“Rumah Sakit..”

Seungwoo merasa kakinya lemas bukan main. Lagi-lagi ia mengutuk dirinya sendiri karena anggapan bahwa dirinya adalah leader yang tidak becus. Karena dirinya yang tidak bisa mengatur tim, Byungchan babak belur seperti ini. Kaki Seungwoo lemas, namun ia tetap memaksakan diri untuk berlari menuju mobilnya yang terparkir lumayan jauh dari tempat mereka berada sekarang.

Tangan Seungwoo juga sama lemasnya. Bukan lemas karena beban tubuh Byungchan, namun karena ia takut si lelaki Choi yang ada di dalam gendongannya sekarang terlalu lelah untuk mencoba bertahan.

“Byungchan..” “..tetep sadar, Byungchan.”

“Bertahan, sebentar lagi.”

Kalimat dirapalkan dari bibir Seungwoo, berkali-kali. Sungguh, terlihat jelas bahwa Seungwoo sangat khawatir dengan kondisi Byungchan saat ini.

Seungyoun yang memperhatikan keduanya, segera menyadari bahwa langkah Seungwoo melambat. Ia berdecak sekali, menganggap tingkah Seungwoo terlalu dramatis. “Jangan bikin drama dulu, anjir. Siniin!”, Seungyoun segera mengambil alih gendongan tubuh Byungchan dari tangan Seungwoo dan segera berderap duluan menuju mobil.

Langkahnya lebih cepat. “Lari, Kak! Kalo lo lelet gitu, dia bisa mati!”

Benar. Ucapan Seungyoun benar. Maka Seungwoo segera ikut berlari, menyamai langkah Seungyoun walaupun hatinya terasa seperti ditusuk jarum tak kasat mata ketika melihat tangan Byungchan yang terkulai lemas di gendongan Seungyoun.

“Bertahan, Byungchan..” “Tolong..” “..tolong tetap hidup.”

“Byung—chan, sakit!” “Lepasin!”

Jiwon masih mencoba melepaskan tangannya dari cengkeraman tangan Byungchan. Namun hasilnya nihil, percuma. Byungchan masih mencengkeram pergelangan tangannya, kali ini lebih kuat daripada sebelumnya. “Byungchan!”

“Siapa?”

Hanya satu kata itu yang meluncur keluar dari bibir Byungchan. Mulutnya terasa kelu untuk mengatakan lebih banyak kata. “Ini..siapㅡ”

“OPPA!” “TOLONG AKU!”

Jiwon berseru, entah kepada siapa. Yang Byungchan bisa pastikan, panggilan itu bukan ditujukan untuknya. Jiwon tidak pernah memanggilnya Oppa, lalu kepada siapㅡ

BUGH!!!

Belum juga Byungchan memahami segala situasi yang terjadi, tiba-tiba si lelaki Choi sudah mendapatkan tinjuan kencang di pipi kanannya. Cengkeraman Byungchan di pergelangan tangan Jiwon kini terlepas, digantikan dengan tubuhnya yang terhuyung sebelum akhirnya terhempas jatuh ke tanah.

Sakit. Pipinya terasa nyeri, bukan main. Pandangannya sekarang kabuㅡ

BUGH!!!

Di tengah pandangannya yang tidak bisa menemukan fokus, bogem mentah sudah mendarat lagi di wajah Byungchan.

“Jangan jadi banci, bangsat!”, seruan itu terdengar diiringi dengan pukulan bertubi-tubi ke wajah Byungchan yang terbaring lemas di atas tanah. “Lawan gue! Jangan malah gangguin cewek gue!”

Cewek gue?

Di tengah pukulan yang diterima, lagi-lagi Byungchan dipaksa untuk berpikir keras.

Selama ini, di mata Jiwon— eksistensinya itu...sebagai apa?

Jiwon, sendirian.

Berbeda dengan apa yang diperkirakan Byungchan sebelumnya, Jiwon hanya berdiri sendirian tanpa ada siapapun di sampingnya. Tidak ada sosok si lelaki yang diberitahu oleh Wooseok sebelumnya.

“Byungchan!”

Jiwon yang baru saja selesai membaca pesan dari Byungchan, segera membalikkan tubuhnya dan ... Byungchan merasa mual bukan main. Gadis ini tengah tersenyum, sangat manis.

Namun kini, Byungchan tidak tahu apakah senyum itu tulus atau tidak? Apakah di sana ada kebohongan yang terukir atau tidak?

“Kamu ngapain ke sini? Nggak pakai hoodie atau masker juga. Kalau ada yang liat gimana, coba?”, ujar Jiwon, masih dengan nada ramahnya yang seperti biasa. Tanpa diminta oleh siapapun, Jiwon menaruh jaket tipis di tangannya ke kepala Byungchan; ingin menutupi wajah si kekasihnya agar tidak dikenali oleh publik. “Hm? Pulang, ya? Kita omongin ini di dorㅡaaa! Aaa! Sakit!”

Ketika Jiwon tengah meletakkan jaketnya ke kepala Byungchan, secara tidak sengaja Byungchan melihat pantulan layar ponsel milik si kekasih. Di layar ponsel milik Jiwon, foto terpajang sekarang bukanlah foto mereka berdua.

Foto asing, yang belum pernah Byungchan lihat sebelumnya.

Sontak, Byungchan meraih pergelangan tangan Jiwon dan mengambil ponsel gadis itu tanpa izin.

”... tsch,” Byungchan tersenyum sinis ketika ponsel Jiwon sudah berada di tangannya dan layarnya kini bersinar terang, menunjukkan foto yang sama sekali tidak pernah ia duga akan ada di sana.

“Siapa?”

“Nih. Minum dulu.”

Jinhyuk menempelkan sekaleng cola dingin ke pipi Wooseok yang tengah berdiri bersandar ke palang jembatan penyebrangan, tidak jauh dari lokasi agensi STAREAST berada.

Wooseok yang awalnya sedikit melamun, tiba-tiba sedikit tersentak dan menjauhkan wajahnya. Namun begitu mengetahui bahwa oknum yang mengganggu lamunannya barusan adalah Jinhyuk, ia langsung mendengus dan mengambil sodoran kaleng cola dari tangan si pemuda Lee. “Thanks.”

Jinhyuk mengangguk kecil, kemudian mematikan handphonenya. Tidak ingin waktunya diganggu oleh chat dari Mrs. Lee. Setelahnya, ia membuka penutup kaleng soda miliknya sendiri dan mulai menenggak minumannya perlahan.

“Ngggh—”, tiba-tiba suara dari arah sampingnya terdengar dan Jinhyuk segera menolehkan kepala. Tak lama, si lelaki jangkung itu tertawa kecil ketika melihat Wooseok yang tengah kesusahan membuka penutup di kaleng soda miliknya.

“Pft.” Jinhyuk berusaha menahan tawa ketika Wooseok kini menatapinya dengan tajam. “Siniin, kalengnya”, ujar Jinhyuk seraya meraih kaleng soda dari tangan Wooseok dan membukakan penutupnya dengan sekali coba. “Masih aja belum bisa buka penutup kaleng soda sendiri, ya, lo?”

“Diem,” jawab Wooseok dingin, namun tetap saja menerima sodoran kaleng soda yang penutupnya sudah dibuka oleh Jinhyuk. “Gue lagi nggak dalam mood baik buat diomongin.”

Jinhyuk melirik Wooseok sekilas kemudian tersenyum simpul. Tangan kanannya terangkat dan berakhir mendarat di puncak kepala Wooseok di sebelahnya, memberi tepukan kecil beberapa kali. “Aigoo, uri Wooseokie..”

”..jangan jutek-jutek, lah. Gue di sini buat nemenin lo, lho. Mana ada temen sebaik gue, coba?“, ujar Jinhyuk ringan disertai cengiran sebelum akhirnya kembali memfokuskan pandangan ke arah jalan raya di bawah mereka.

“Jadi..”, Jinhyuk menyesap isi kaleng colanya. “..lo keinget sama perasaan yang udah lo coba kubur dalem-dalem?”

Wooseok terdiam, tidak memberi jawaban dan hanya menggoyang-goyangkan isi kaleng sodanya hingga beberapa tetes dari isinya tumpah. “Woy! Gue susah-susah beli cola itu di UC, dimintain tanda tangan, dimintain foto, malah dibuang-buang begitu! Kalau nggak niat minum, nggak usah diambil jugㅡ”

“Gue beneran udah lupain perasaan ke dia, sumpah.” Tiba-tiba Wooseok berujar dan membuat Jinhyuk segera menghentikan kalimatnya. “Semenjak gue paham bahwa perasan gue nggak akan pernah berbalas, sebisa mungkin gue coba lupain dia.”

“Lupain Kak Seungwoo.”

“Semua juga udah sesuai rencana, Hyuk. Gue mulai bisa bersikap wajar ke dia, gue udah bisa menatap dia dengan tatapan yang sama kayak pas gue tatap lo atau member lainnya.”

Jeda sejenak, Wooseok mulai meneguk isi soda di kaleng miliknya. “Tapi tadi, pas Seungyoun mulai ngomong macem-macem, gue kesel.”

“Gue kesel ke Kak Seungwoo yang cuma diem. Gue kesel, sampe rasanya gue pengen peluk dia erat-erat. Gue pengen jagain dia. Gue nggak pengen dia sedih.”

Jinhyuk tidak menjawab apapun. Ia hanya bersandar ke depan, menggigiti bibir bawahnya kuat-kuat. Entah karena alasan apa.

“Sampe akhirnya, gue nggak sadar bahwa gue udah teriak ke dia. Gue nggak sadar apa yang gue ucapin saking gue ngerasa kesel.”

“Hmm,” Jinhyuk akhirnya memberi respon; itupun hanya gumaman kecil. “Lo tadi teriak kenceng, lho. Kak Seungwoo kaget, pasti.”

“Makanya..”, Wooseok menundukkan kepalanya dalam-dalam kemudian mengerang. Kesal kepada dirinya sendiri. “..gue bego banget, sih? Kenapa gue mesti teriak, coba?”

“Kak Seungwoo nggak salah apa-apa, padahal. Kenapa gue malah bersikap begitu dan malah bikin dia semakin pusing?”

Rutukan Wooseok masih dilakukan sambil menundukkan kepalanya. Jinhyuk melirik sekilas sebelum akhirnya kembali menepuk-nepuk puncak kepala Wooseok kemudian mengusapinya perlahan. Kali ini, Wooseok tidak menolak. Ia hanya terdiam, masih seraya menundukkan kepala.

“Hyuk.”

“Hm?”

“Suka ke seseorang..” “..ternyata sesakit ini, ya?”

Jinhyuk menolehkan kepalanya, kali ini memandangi Wooseok yang tengah menundukkan kepala dengan lekat-lekat. Tangannya yang semula tengah mengusapi puncak kepala Wooseok kini berhenti bergerak. Bibirnya kembali ia gigiti kuat-kuat, seakan ingin menghipnotis dirinya sendiri.

Untuk menjadi lebih kuat. Untuk tidak merasakan sakit teramat sangat di ulu hatinya. Untuk bisa berujar dengan nada ringan seperti biasanya.

“Iya.” “Suka ke seseorang..” “..emang sesakit itu.” “Emang sepahit itu.”

Jinhyuk memahami perasaan itu dengan teramat jelas. Karena ia menyukai Wooseok, yang sama sekali tidak pernah menyukai dirinya lebih daripada seorang teman.

Dengan teramat sangat. Sayang, hingga sesak.

“Sejin?”

Seungwoo sempat mengerjapkan matanya beberapa kali, sedikit mencurigai pendengarannya. Siapa tahu ia salah mendengar. Karena bagaimana ceritanya Seungyoun bisa mengenal Sejin, coba?

“Lo—kenal dia?”, tanya Seungwoo dengan suara sedikit tercekat. Selalu saja ada rasa nyeri di hati si lelaki Han setiap kali mendengar nama Sejin. Bukan karena apa-apa, namun Seungwoo selalu merasa jahat setiap kali mendengar nama lelaki itu.

“Gue sahabatan sama dia udah lama banget. Mungkin semenjak masih SMA. Gue jadi trainee di Yuehua, dia jadi trainee di sini.”

“Dan, yahㅡ”, Seungyoun mengambil jeda sejenak sebelum kembali berujar, “..gue tau tentang semuanya.”

“Tentang perlakuan CEO, tentang lo dan Byungchan yang juga kayak tutup mata akan kondisi si Sejin.” Seungyoun masih menengadahkan kepalanya, menatap langit gelap. “Gue tau semuanya.”

“Tentang lo yang pacaran sama Seongwu. Tentang Byungchan yang pacaran sama Jiwon Nunㅡ”

“HAH?”

Oke, mungkin ini agak sedikit merusak suasana yang tercipta. Namun kini Seungwoo tengah menganga lebar dan menolehkan kepalanya ke arah Seungyoun, memasang ekspresi tidak percaya. “Apaan?! Siapa yang pacaran?! Jiwon nuna? Sama Byungchan?! Hah?! Gimana ceritanya?”

Seungyoun terkekeh kecil kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya, heran. “Kak, lo tuh leader tapi kerjaannya cuma ikutin perintah CEO. Lo terlalu anggap bahwa semua bakal berjalan dengan baik ketika kita ikutin perintah CEO.”

“Lo nggak tau, kan, soal Byungchan yang pacaran sama Jiwon nuna semenjak kita belum debut? Terus tentang Jinhyuk yang punya sponsor tante-tante kaya raya? Lalu Wooseok yang suka samㅡ”

Seungyoun menghentikan kalimatnya. Hampir saja, hampir saja ia membocorkan perihal yang seharusnya ia simpan rapat-rapat. “Ya, pokoknya OBVIOU5 punya banyak masalah di dalem dan lo terlalu sibuk ngeiya-iyain perintah CEO aja.”

Seungwoo memijat keningnya, tiba-tiba merasakan pusing yang teramat sangat. Tidak tahu apakah semua kalimat Seungyoun bisa dipercaya sepenuhnya atau tidak.

Byungchan, berbohong dan menyimpan rahasia darinya? Berpacaran dengan manager pula! Lalu Jinhyuk? Lelaki itu sangat sopan kepada Seungwoo, tidak terlihat seperti tipikal orang yang gila materi, pula. Lalu apa maksudnya dengan sponsor?

“Tanpa adanya masalah gue pun, OBVIOU5 pasti bakal hancur sih, Kak. Cepat atau lambat, semua bakal ketauan. Biarpun dari luar, kita keliatan sangat hebat tapi sebenernya di dalem tuh udah bobrok banget.”

Seungwoo mengerang pelan, kepalanya benar-benar terasa sakit sekarang. “Bentar. Gue harus coba pahamin semua hal yang lagi terjadi dulu. Semuanya terlalu rumit.”

Seungyoun mendecakkan lidahnya, heran melihat Seungwoo yang terlihat linglung padahal barusan ia sudah menjelaskan semuanya. “Gue jelasin lagi nih, ya?”,

“Pertama, lo pacaran sama Seongwu. Kedua, Byungchan pacaran sama Jiwon nuna. Ketiga, Jinhyuk punya sponsor. Keempat, gue ngakuin lagu buatan cewek yang gue manfaatin sebagai lagu ciptaan gue sendiri. Itu garis besarnya.”

“Kalau ngomongin orang yang bersih ya palingan Wooseok aja, sih. Biarpun sebenernya dia nggak bersih-bersih banget tapi seenggaknya dia nggak punya masalah yang bikin pusing.”

Seungyoun sama sekali tidak terlihat geram atau panik. Jika mengingat tindakannya yang ingin membalaskan dendam, sosok Seungyoun sekarang terlihat sangat santai. Punggungnya bersandar di sandaran bangku panjang yang ia tempati sementara kepalanya masih menengadah menatapi bintang yang berkerlip di langit malam. “Tenang aja, kalau gue keluar dari grup pasti semua masalah bakal ketutupin, Kak.”

“Gue belom ngasih tau soal identitas siapa yang pacaran ke pihak disseupechi. Tenang, kalo misalnya lo sama Byungchan bisa selesaiin semuanya sekaranㅡ”

“Selesaiin?”, sela Seungwoo, “apa maksudnya?”

“Ya, itu. Lo putus sama Seongwu. Byungchan putus sama Jiwon nuna,” jawab Seungyoun masih dengan nada tenang. “Kalo lo tutup jejak, semua tuduhan nggak akan bisa terbukti.”

Seungwoo menghembuskan nafas dengan berat. Tidak tahu harus membalas apa akan perkataan Seungyoun barusan. “Youn.”

“Lo tau, Sejin bakal segimana kecewanya ngeliat tingkah lo yang kayak begini?”

Seungyoun tertawa, skeptis. “Ayolah, Kak. Mending lo jangan bawa topik soal Sejin di saat-saat begini. Lo nggak tau segimana menderitanya dia berada di sini, dan lo sama Byungchan nggak lakuin apa-apa buat dukung dia.”

“Jangan ngomongin soal dia yang kecewa sama gue sementara lo dan Byungchan adalah orang yang bikin dia kehilangan harapan.”

Seungwoo tidak mengelak. Apa yang dikatakan Seungyoun memang benar. Semenjak awal, Seungwoo kerap merasa bersalah. Walaupun ia mencoba terlihat biasa saja di depan Byungchan yang notabene mengetahui setiap situasi yang pernah terjadi, sesungguhnya Seungwoo sering menyalahkan dirinya sendiri.

Seandainya sewaktu itu Seungwoo lebih membuka diri dan mengulurkan tangan untuk membantu Sejin ketika si lelaki Lee itu membutuhkan bimbingan perihal menguasai koreografi. Seandainya sewaktu itu Seungwoo tidak terlalu menganggap keberadaan Sejin sebagai rival yang harus ia kalahkan. Seandainya begitu, mungkin sekarang Sejin masih hidup.

Sorry.” Ucap Seungwoo, pada akhirnya. Seungyoun melirik sekilas sebelum akhirnya kembali tertawa. Namun tawanya kali ini terdengar sangat pahit, seperti miris.

“Tsk.” “Buat apa juga gue ngerelain waktu sekitar lima taun buat ngerencanain semua ini kalau pada akhirnya permintaan maaf dari lo bisa gue dapetin segampang ini, Kak?”

“Lucu, ya?” “Gue kira, kita mesti tabok-tabokan atau adu jotos dulu sebelum akhirnya lo mengaku salah atas kejadian yang dulu ada.”

“Ternyata..”, kedua tangan Seungyoun diletakkan ke belakang punggung kepala, menyamankan posisi kepalanya yang masih menengadah ke atas. “..segampang ini buat gue dapetin permintaan maaf lo.”

“Gue minta maaf ke Sejin,” ujar Seungwoo seraya ikut menengadahkan kepalanya ke atas. “Bukan ke lo.”

“Gue tau.” “Sedari awal, semua ini gue lakuin buat Sejin. Gue nggak pernah berharap dapat apapun lagi.”

“Gue udah berhasil bikin CEO jadi pusing setengah mati karena stock saham STAREAST yang turun jauh. Gue juga berhasil bikin STAREAST goyah. Kalau dibilang, sih, kayaknya gue udah berhasil balesin apa yang pernah didapetin Sejin.”

“Tsch.” “Gue kira lo tipikal orang yang nggak bakal bisa punya temen. Ternyata..bisa jadi sosok sahabat yang keren juga.”

Seungyoun sedikit melirik ke arah Seungwoo di sebelahnya. “Lo nggak nyadar? Banyak eurydice yang ngeship kita?”

“Tau.” “Gue sih serba dipasangin sama segala. Sama Byungchan iya, sama Wooseok iya, sama Jinhyukㅡ jarang sih, tapi ada aja.”

“Tapi pacarannya sama yang lain, ya?”, ujar Seungyoun dan dibalas dengan tawa kecil dari si lelaki Han. “Hhhㅡ parah juga ini OBVIOU5. Udah nipu banyak orang.”

“Ngomong-ngomong,” Seungwoo mulai membuka topik pembicaraan lain. “Coba siniin handphone lo.”

Seungyoun mengernyitkan dahi dan menatap heran ke arah tangan Seungwoo yang kini terjulur. “Mau ngapain?”

“Udah, siniin.”

Seungyoun terlihat ragu, namun tetap saja tangannya menyerahkan ponsel hitam miliknya yang tadi dibawakan oleh Seungwoo. “Lo mau ngapain, Kaㅡ Hah? Lo ngapain ngebuka casingnya? Pelan-pelan! Itu handphone mahaㅡEH? KAK! WOY! SIM CARDNYA MAU LO APAIN?! ANJING, KOK DIPATAHIN! HEH! HAPE GUE! HAPE GUE JANGAN DIBANTINㅡ”

PRAAAKK!

Handphone Seungyoun sudah terjatuh ke tanah. Seakan belum cukup parah, kini Seungwoo menginjak ponsel milik Seungyoun dengan cukup kuat. Setidaknya, cukup untuk membuat suara layar handphone yang pecah terdengar sangat jelas.

“...” Seungyoun memandangi ponselnya yang sudah hancur parah dengan pandangan nanar. “Handphone gue..”

“Nah.”

Seungwoo berujar kecil sambil menepuk-nepukkan tangannya, persis seperti seseorang yang tengah membersihkan debu dari tangannya setelah melakukan sesuatu. “Karena barang bukti udah berhasil dihilangkan, sekarang waktunya lo beresin yang lainnya.”

“...” “Barang bukti apaan?” “Beresin apaan, pula?!”

“Lo bilang, lo belum ceritain identitas gue dan Byungchan ke disseupechi. Berarti, semua tuduhan itu bisa aja dibantah asalkan gue sama Byungchan bisa mikir cara yang tepat buat mengelak.”

“Lalu, perihal masalah lo dan cewek yang lo pake lagunya...ayo, diberesin.”

“Kita ambil tindakan duluan sebelum disseupechi sadar bahwa lo nggak bisa dihubungi dan datengin si cewek lo itu secara langsung buat korek informasi.”

“...” “Maksudnya?”

Seungwoo menaruh kedua tangan di dalam saku celana kenaannya kemudian mengangkat bahu dengan ringan. “Maksudnya? Gue nggak pengen lo pergi dari grup.”

“Enak aja, sehabis bikin grup ada di masa gawat kayak begini terus lo kabur. Nggak mau lah, gue. Lo mesti stay di sini, bantuin grup keluar dari masalah dan bangkit lagi.”

Seungyoun mengerjapkan mata, kebingungan dengan apa yang harus ia katakan. Takut salah menangkap maksud dari perkataan leadernya barusan. “Gue, masih boleh ada di grup?”

Seungwoo mengangguk. “Lo harus ada di grup buat bantu gue beresin semuanya. Gue nggak bisa benerin semuanya sendiri.”

“Lagian, gue nggak mau ngelakuin kesalahan dua kali. Dulu gue udah biarin Sejin keluar dari sini dan semua berakhir nggak baik.”

“Sekarang, gue nggak mau ada lagi orang yang mati karena alasan yang sama,” ujar Seungwoo seraya mengangkat tangan kanannya. Di tangannya, ada sekotak obat yang berisi pil penenang benzodiazepine. Seungyoun yang melihat kotak obat di tangan Seungwoo segera membelalakkan mata dan merogoh saku jaket yang dikenakannya.

Sial. Sial. Sial. Seungwoo mengetahuinya. “Kapan lo ambil obatnya dari jaket gue, Kak?”

“Barusan. Pas gue lagi pusing pijet kening, nggak sengaja ini kotak obat nyembul dari saku jaket lo,” ujar Seungwoo seraya memasukkan kotak obat itu ke saku celana jeansnya. “Cukup sekali aja gue ngelakuin kesalahan.”

“Cukup sekali aja gue ngerasa jadi leader nggak becus,” tambahnya seraya menyunggingkan cengiran tipis. “Sekarang, gue mau coba jadi tegas dan bakal bangun grup yang bobrok ini pelan-pelan.”

Seungyoun mendengus, namun senyum tipis tetap terukir di wajahnya. “Lo tau, Kak?”

“Gue pernah berharap, Sejin bakal ngasih gue jalan atau kasih tanda apapun itu kalau misalnya gue ada di lajur yang salah. Gue pernah berharap, Sejin bakal bilang bahwa gue salah. Bahwa gue harus berhenti.”

“Sekarang, gue yakin.” “Sejin udah kasih tau gue tentang jawabannya.”

“Tetep di grup?”, tanya Seungwoo memastikan. Seungyoun sempat terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk kecil. “Yahㅡ bisa, lah. Biarpun sebenernya gue males berhadapan sama Byungchan atau Wooseok yang udah jelas-jelas keliatan nggak suka sama gue tapi ya, udahlah.”

“Lo juga sih, nyebelin. Mereka sebenernya baik, kok. Lo aja yang sikapnya keterlaluan,” ujar Seungwoo yang kemudian dibalas dengan tawa kencang dari Seungyoun.

“Yaaa, iyalah. Wooseok pasti bakal baik ke lo, lah, Kak,” balas Seungyoun seraya bangkit dari bangku panjang dan memunguti bangkai ponselnya yang tadi masih tergeletak di atas tanah. “Mana mungkin Wooseok berani jahat atau jutek ke lo?”

Kalimat Seungyoun barusan dibalas dengan dahi Seungwoo yang berkerut. Bingung akan maksud kalimatnya. “Maksud lo?

Seungyoun mengangkat bahu, menolak untuk memberi jawaban dan malah beranjak mendahului Seungwoo menuju pintu keluar rooftop. “Gue nggak mau jelasin apa-apa. Bukan hak gue buat ngomong ke lo, Kak.”

Seungwoo masih dibuat bingung dengan maksud kalimat Seungyoun, namun si lelaki Cho membuyarkan pemikirannya ketika ia membalikkan tubuh dan berujar singkat. “Jadi, nggak?”

“Hah?” “Apanya?”

“Katanya mau ke rumah cewek yang gue manfaatin lagu-lagunya? Ayo. Sebelum orang disseupechi yang datengin dia.”

Seungwoo pernah salah. Seungyoun pernah salah.

Seungwoo pernah memendam rasa berdosa dalam diri. Seungyoun pernah menyimpan dendam di dalam diri.

“Oh, iya.” “Oke. Ayo.”

Namun, mereka dibuat paham bahwa ada rasa lain yang lebih kuat dibandingkan rasa berdosa dan dendam.

Menerima. Mengikhlaskan.

Seungwoo mencoba menerima bahwa dirinya pernah membuat kesalahan dan kini mencoba memperbaiki semuanya sebelum rasa berdosa itu kembali datang untuk menerpanya lebih kencang.

Seungyoun mencoba mengikhlaskan apa yang sudah pergi dan kini mencoba beralih ke lajur yang seharusnya. Bukan lajur untuk melancarkan dendam, namun lajur untuk membanggakan sosok sahabat yang selalu memperhatikannya dari tempat terindah.

Namun sayangnya, jalan hidup tidak bisa berjalan semudah itu.

Jika saja di dunia ini sosok jin yang dapat mengabulkan setiap permintaan memang ada nyatanya, Seungyoun sudah memastikan diri untuk meminta satu hal : putar kembali waktu, agar ia dapat membiarkan Sejin menyerah di kala lelaki itu merasa lelah.

Ia akan meminta Sejin berhenti dan tidak memaksakan diri. Ia akan mengatakan bahwa mimpi mereka tidak akan terwujud jika salah satu dari mereka tidak melakukannya dengan sepenuh hati.

Ia akan datang mendatangi rumah Sejin dengan sekantung cemilan ringan dan minuman soda, mengatakan bahwa ada kalanya kegagalan datang tanpa permisi. Namun sama seperti kegagalan, sebuah kesuksesan akan datang tanpa diminta.

Lalu mereka akan berbincang seru, tertawa di tengah sebuah topik yang dibicarakan sambil berebut menghabiskan keping terakhir dari keripik kentang yang dibawa oleh Seungyoun.

Jika saja jin pengabul permintaan itu nyata, Seungyoun ingin meminta itu. Satu permintaan saja, cukup. Lebih daripada cukup, malahan.

Jika permintaannya itu terkabul, pasti sekarang Seungyoun sedang berada di apartemen Sejin yang sempit namun nyaman untuk ditinggali. Bukannya malah berada di sebuah ruang yang hanya diisi oleh undakan altar yang di bagian tengahnya terpajang foto Sejin.

Jika permintaannya itu terkabul, pasti sekarang Seungyoun sedang membicarakan perihal lagu barunya yang ia ciptakan. Bukannya malah tengah membungkukkan badan dalam-dalam untuk memberikan penghormatan terakhir ke si sahabat.

“Maaf.” “Maafin gue, Sejin.” “Maaf, semua salah gue.” “Maaf, terlambat dateng.” “Maaf, terlalu egois.” “Maaf, gue— maaf, Sejin.”

Semua terlambat.

Mimpi mereka, hancur. Bersama dengan senyum sang sahabat yang juga ikut hilang ke sebuah tempat yang sama sekali tidak bisa diraih kembali oleh Seungyoun sejauh apapun ia mencoba menggapainya.

Mimpi dan impian, hanya tinggal kenangan.

“Rokok?”

Seungyoun mengulurkan sekotak rokok menthol kepada Seungwoo yang segera menggelengkan kepala, menolak tawaran si lelaki Cho. “Lha? Bukannya lo ngerokok juga, Kak?”

“Nggak biasa pake yang menthol. Aneh rasanya,” jawab Seungwoo singkat dan dibalas dengan anggukan paham dari Seungyoun. Kotak rokok di tangannya kembali dimasukkan ke dalam jaket. Pada akhirnya Seungyoun pun memilih untuk tidak merokok dan hanya menengadahkan kepala, menatap langit malam yang terlihat seperti kanvas hitam bertabur kerlip cahaya bintang. Indah.

Seungyoun dan Seungwoo, mereka berdua tengah berada di rooftop gedung STAREAST dan duduk di sebuah bangku panjang yang ada di salah satu sudut. Jarak duduk diantara mereka lumayan jauh, mungkin sekitar satu meter?

“Lo sebegininya mau ngehancurin OBVIOU5?” Seungwoo membuka pembicaraan yang segera dijawab dengan kekehan kecil dari Seungyoun. “Pake ngelaporin tentang semua skandal yang ada di dalem grup?”

“Hhhㅡ”, helaan nafas dalam-dalam ditarik oleh si lelaki Cho. Kepalanya masih menengadah ke atas, menatapi langit malam. “Yang gue laporin cuma skandal lo sama Byungchan, Kak. Sama tindak gue sendiri.”

“Daripada dibilang mau ngehancurin OBVIOU5, mungkin lebih tepat kalau dibilang..apa, ya?”, Seungyoun memberi jeda di tengah kalimatnya sebelum kembali melanjutkan, “gue mau bikin lo dan Byungchan sedikit hancur? Tapi kalau bisa sekalian ngehancurin agensi ya, gue lebih seneng.”

“Kenapa?”, tanya Seungwoo tidak habis pikir. “Kenapa sama gue dan Byungchan? Apa kami pernah bikin kesalahan ke lo?”

Seungyoun menggeleng, “nggak, kok. Kalian berdua nggak pernah bikin salah ke gue. Malah lo selalu biarin gue dapet spotlight lebih, kan, Kak?”

“Ya terus kenapa?!”

Dengan tenang kini tangan Seungyoun terangkat ke atas, menunjuk ke arah langit malam bertabur bintang. “Karena dia, yang udah jadi salah satu diantara bintang-bintang itu.”

“Karena Sejin.”

“Wooseok!” “Hei! Jangan lari-lari gitu!”

Jinhyuk berlari di selusur lorong gedung agensi STAREAST, mengejar Wooseok yang juga tengah berlari dengan langkah terlampau cepat. “WOOSEOK!”, hingga akhirnya Jinhyuk mulai berhasil menyusul dan menyamai langkah cepat Wooseok, si lelaki jangkung itu segera meraih lengan kiri si lelaki Kim.

Menahannya, erat. Agar Wooseok tidak lagi bisa berlari. “Wooseoㅡ”

Lelaki itu menangis. Wooseok, menangis. Tidak terisak, namun air mata mengalir dan bibir bawahnya ia gigit kuat-kuat. Ujung hidungnya memerah, terlihat persis bahwa ia sedang menahan diri agar tangisnya tidak meledak.

Genggaman tangan Jinhyuk sedikit dikendurkan ketika melihat Wooseok yang begitu. Jujur, hatinya sekarang sedikit sakit melihat Wooseok dalam kondisi begini. “Hei, jangan nangiㅡ”

Wooseok seakan kehilangan kekuatan kakinya dan tiba-tiba jatuh terduduk. Tangannya kini menggenggam rambutnya sendiri, kuat-kuat; seakan ingin menjambak. “Kenapa..”

Jinhyuk berjongkok di hadapan Wooseok, berusaha menyamakan tinggi dengan si lelaki Kim. Wooseok masih menangis. Tidak terisak memang, namun nafasnya yang sedikit memburu membuat Jinhyuk paham bahwa Wooseok sedang tidak dapat mengatur emosinya. Tangan kanan si lelaki jangkung terulur hingga akhirnya mendarat di puncak kepala Wooseok, memberi beberapa kali tepukan kecil. Berharap dapat memberi ketenangan walau hanya sedikit.

“..kenapa, Hyuk?”

Jinhyuk terdiam, paham ke mana arah pembicaraan ini akan berlanjut.

“Kenapa gue mesti suka Kak Seungwoo?”

Ke arah pembicaraan yang membuatnya merasakan sakit dan patah hati yang terlampau dalam.

Hujan. Lumayan deras.

Setidaknya, lumayan membuat kemacetan di sekitar ruas jalan Fatmawati menjadi semakin hiruk pikuk. Barisan mobil berjajar [tidak begitu] rapi, sesekali diisi dengan selingan klakson dari beberapa mobil; yang seperti memaksa barisan di depan mereka segera melaju sebelum lampu merah di jalan perempatan besar itu kembali menyala.

Biasanya Baskara ada di antara barisan mobil-mobil itu. Biasanya Baskara memasang ekspresi muram ketika berada di balik kemudi, menanti lampu merah berganti warna menjadi hijau. Biasanya Baskara begitu.

Namun, hari ini tidak demikian.

Baskara harus merelakan kenyamanannya berkemudi di balik mobil Fortuner hitamnya direnggut sejenak karena si kesayangannya itu sedang melakukan perawatan mesin rutin. Sehingga si lelaki jangkung itu harus menggunakan transportasi umum, MRT.

Kenapa bukan transportasi online saja, sih? Kenapa mesti capek-capek berdesakan di lorong kereta, coba?

Iya. Alasannya sederhana, Baskara tidak suka disupiri oleh siapapun. Ia merasa tidak nyaman berada di bangku penumpang, untuk alasan apapun. Berlebihan? Mungkin. Yang pasti, Baskara lebih rela berdesakan di MRT daripada harus disupiri oleh orang lain.

“Anjir. Hujannya mesti banget turun pas mobil lagi diservis, apa?”, celetuk Baskara ketika langkahnya berhenti di depan pintu masuk sebuah universitas swasta yang berada di lingkungan jalan Fatmawati, Jakarta Selatan.

Tangan kanan Baskara memegang tangkai besi payung berwarna hitam yang tengah terkembang sementara di tangan kiri, ia memegangi sebuah payung berwarna biru tua yang masih terlipat rapi.

Penampilan si lelaki jangkung itu terlihat sangat— bagaimana, ya, mengatakannya? Lumayan berantakan. Kemeja Polo berwarna putih polos tanpa corak yang dikenakan Baskara terlihat agak kusut, kancingnya dibuka dua dari bagian kerah, belum lagi bagian bawah kemejanya terlihat keluar di beberapa bagian. Namun entah mengapa, tetap saja ada sesuatu hal yang membuat siapapun pasti melirik dan memperhatikan lelaki itu beberapa detik lebih lama.

Berantakan. Namun masih tetap terlihat tampan juga mempesona— garis bawahi bagian itu, jika perlu.

Sosok Baskara yang terlihat berbeda sempat membuat beberapa mahasiswi dari universitas yang didatanginya hingga kehilangan fokus ketika berjalan. Bahkan barusan saja ada sekelompok mahasiswi yang tanpa malu-malu berdiri dalam jarak cukup dekat, memandangi Baskara hingga beberapa menit dan berbincang seru seakan Baskara tidak ada di sana.

Ih! Gila! Ganteng banget!“ “Dosen baru, bukan?” “Dosen manaaa? Gue mau pindah ke jurusan apapun, sumpah!

“Itu putih banget kulitnya! Tapi kontras banget sama bibirnya, nggak, sih? Merah gitu!” “Lo liat idungnya, begeee! Mancung banget! Anjing, kalo pas lagi cipokan terus kena idungnya— berdarah nggak, ya? Tajem banget!“ “Jangan ngomong cipokan, jablay! Gue jadi mikir enak-enak, nih!” “Liat lengan kemejanya, tuh! Keliatan banget badannya kekar, taiii! Pundaknya juga lebar banget? Enak banget dipelukin!

“Ih. Gila! Gila! Gue samperin aja, apa, ya? Mau gue tembak! Siapa tau beneran jodoh!” “Heh! Istighfar, lonte! Lo liat itu di tangannya, ada satu payung lagi. Berarti lagi nungguin orang, lah! Lagian, masa jemputnya di luar begitu, sih? Nggak punya mobil, berarti. Ganteng tapi kere mah buat apa?“ “Nggak apa-apa. Biar gue yang ngeride do'i. Hmmmmh, anjir...bayangin aja lo, ngeride do'i pasti. ANJING. ENAK BANGEㅡMMHHHPPM! HHHMPPPH!” “Diem!!! Lo nggak nyadar apa kalau dia bisa aja denger? Ini lonte satu nafsunya binal banget, anjir!

“Eh. Gue penasaran. Dia jemput siapa, ya?” “Anak yang ngehits di kampus, lah. Siapa lagiii? Pasti antara Frederica sama Tyas, nggak, sih?“ “Frederica udah pacaran sama anak padus, woy! Tyas juga udah mau nikah, gue tau muka cowoknya!” “Anjir. Beneran, lah! Ini mah jodoh gue! Mau gue samperin, fix. My jodoh, i'm cominㅡ

CAK!

“...” “...” “...”

Sekelompok mahasiswi yang sedari tadi berdiri memperhatikan Baskara dari seberang, segera diam membisu ketika melihat Baskara kini melambaikan tangannya ke arah seorang lelaki jangkung lain.

Si lelaki jangkung lain itu adalah Cakrawala. Si mahasiswa yang paling tampan di kampus, idola banyak mahasiswi, kesayangan para dosen, dan diketahui masih jomblo.

Kaget? Siapa yang tidak? Bahkan kini sekelompok mahasiswi yang sedari tadi saling berbisik seru, sekarang hanya bisa menganga sambil melirik ke kiri kanan. Saling bertukar pandang, seakan menanyakan hal yang sama : 'SERIUS DIA KE SINI BUAT KETEMU CACAK?'

Baskara yang sedari tadi memang tengah memasang earphone dan tidak memperhatikan sekitar, segera melangkah menghampiri Cakrawala yang kini terlihat kebingungan akan keberadaan si lelaki berkemeja Polo itu di kampusnya.

“Lo ngapain di sini?”, tanya Cakrawala dengan alis setengah bertaut. Baskara hanya mengangkat bahu dengan santai kemudian menyerahkan payung biru tua di tangannya ke si yang lebih muda. “Jemput? Hujan.”

Jawaban Baskara membuat Cakrawala mendengus, namun tetap saja sodoran payung dari si yang lebih tua diterima dan payung berwarna biru tua itu segera terkembang; melindungi si yang lebih muda dari guyuran hujan gerimis di Jakarta sore ini. “Tumben, ngejemput sampe sebegininya.”

“Kebetulan lewat. Gue naik MRT, si item lagi diservis dulu. Kebetulan searah dan kemaren lo bilang kalau lo pulangnya sore, jadi yaㅡ udah.”

“Kenapa? Nggak suka?”, pertanyaan singkat dari Baskara dijawab dengan gelengan kepala dari Cakrawala. Ekspresi si lelaki yang lebih muda terlihat datar, tidak menggambarkan seperti tengah berbunga-bunga atau senang karena dijemput oleh si kekasih.

“Bukannya nggak suka, sih. Cuma, yaㅡ”, Cakrawala mengedikkan bahunya ke samping kiri. Memang, di arah kiri Cakrawala sudah ada beberapa mahasiswi yang tengah berbisik satu sama lain. Seperti membicarakan berbagai kemungkinan perihal Cakrawala dan si lelaki asing yang tampan di sampingnya. “ㅡgue bakal kesusahan ngejelasin ke mereka soal identitas lo.”

“Jarang-jarang aja, ada cowok dijemput cowok, soalnya.” Lanjutan kalimat dari Cakrawala membuat Baskara menggumam kecil sebelum melenguh panjang. “Heh! Lo ngapain lenguh-lenguh begitu?”

Baskara menatapi payung di tangannya yang terkembang, kemudian melirik Cakrawala di sebelahnya; yang juga tengah berdiri dengan payungnya sendiri. “Lo tau, nggak? Kalau gue bisa milih, tadinya gue nggak mau bawain dua payung. Kalau gue mau nekat, gue tadinya cuma mau bawain satu. Buat lo sama gue pake barengan.”

“Tapi emang susah, ya?”, lanjut Baskara seraya menoleh ke arah Cakrawala, si yang lebih tua memasang senyum tipis namun tetap saja bisa membuat Cakrawala berdebar bukan main. “Ketika rasa sayang gue dibatasi sama banyak hal tentang norma dan lain-lainnya,” akhir si yang lebih tua, kali ini sambil mendaratkan tangan kanannya di kepala Cakrawala; mengusak rambutnya sekilas. Gemas.

Sumpah. Sumpah demi apapun, barusan saja jantung Cakrawala rasanya seperti mau jatuh dari tempatnya. Selama ini, Baskara selalu memahami sebagaimana ketakutan Cakrawala mengenai pandangan publik akan hubungan mereka. Maka selama ini, Baskara selalu mengikuti permintaan Cakrawala : untuk diam, untuk tidak pernah berperilaku mencolok.

Namun barusan saja, Baskara mengusak rambutnya seraya tertawa kecil di hadapan orang sebanyak ini. Tawa yang selalu bisa membuat Cakrawala terjatuh dan jatuh lagi tanpa bisa ia kendalikan.

Belum lagi, sekarang si yang lebih tua tengah menyampirkan lengannya ke bahu si yang lebih muda. Memang, bukan sebuah rangkulan yang terlihat romantis. Lebih terlihat seperti rangkulan yang kerap dilakukan antara dua sahabat, namun tetap saja membuat Cakrawala merasa pipinya merah dan panas bukan main.

“Lo ngapain, sih? Lepasin, nggak?”, gertak Cakrawala seraya menggerakkan bahunya agar Baskara melepaskan rangkulannya. Namun si yang lebih tua kini malah semakin mengeratkan rangkulannya. “Coba aja lepasin sendiri kalo bisa,” balas Baskara seraya tergelak; gemas melihat Cakrawala yang tengah mencoba melepaskan rangkulan di bahunya dengan sebelah tangan karena tangannya yang lain sedang memegangi payung.

Cakrawala memang lebih tinggi, namun kekuatannya jauh di bawah Baskara. Lihat, bahkan untuk melepaskan rangkulan si yang lebih tua pun Cakrawala tidak mampu.

Lucu. Lucu, sangat. Ingin sekali Baskara mengecup bibirnya sekaranㅡ

“Cacaaaaak~!” “Mau pulang, ya?”

Di tengah perseteruan antara Baskara dan Cakrawala juga rangkulan di bahu, tiba-tiba sekelompok mahasiswi yang tadi sempat berdiri berseberangan dengan Baskara sudah menghampiri keduanya. Mereka berjumlah empat orang, bermake-up cukup tebal dengan parfum yang sangat menyengat dan membuat Baskara pusing dalam sekejap.

“Hai,” balas Cakrawala seadanya; jujur, ia tidak ingat siapa nama mahasiswi-mahasiswi ini. Nama Cakrawala memang sudah sangat terkenal di kampus namun si yang bersangkutan tidak begitu mengetahui banyak nama teman-teman sekampusnya. Maka, ia hanya bisa membalas sapaan tanpa menyebutkan nama. “Iya, pulang.”

“Enak banget, pulangnya dijemput sama kakaknyaaa. Eh, ini kakaknya Cacak, kan, ya? Halo, Masnyaaa.”

Salah satu dari keempat mahasiswi mengulurkan tangannya kepada Baskara, dibarengi dengan senyum genit yang membuat si lelaki jangkung berkemeja Polo itu hanya mengernyitkan dahi. “Gue bukan kakaknya Cacak.”

Jawaban Baskara segera membuat mata Cakrawala membulat; panik akan kemungkinan yang diucapkan lelaki itu. Masa' iya dia mau mengungkap hubungan asmara mereka di depan umum begini?

Cakrawala mencubiti pinggang Baskara secara sembunyi-sembunyi. Memberi kode agar si lelaki yang lebih tua tidak bertindak nekat. “Diem, bangsaaat. Lo jangan nekaaat!”, desisnya dengan suara yang sangat pelan.

“Lho? Bukan kakaknyaa? Aku kira kakaknya lhooo, soalnya sama-sama ganteng gitu. Jangkung jugaa. Iya, kan, gengs?”

Ujaran si mahasiswi dibalas dengan anggukan dari ketiga temannya yang lain. Persis seperti anjing pendukung, pikir Baskara.

“Kakak namanya siapaa? Boleh kenalan, nggak? Aku Laista, kalo yang ini Disty, kalo yang inㅡ”

“Udah punya pacar, sorry”, ujar Baskara seraya melepaskan rangkulannya dari pundak Cakrawala, kemudian mengangkat tangan kiri dan menunjukkan sebuah cincin perak yang melingkar di jari manisnya. “Pacar gue posesif banget. Kalo gue kenalan sama kalian, bisa-bisa besoknya kalian muntah darah.”

“Cacak juga udah punya pacar,” lanjut Baskara tanpa diminta. “Gue kenal banget sama pacarnya si Cacak. Beuh, lo coba ngegodain Cacak, nihㅡ besoknya lo udah nemuin setan nangkring di pojok kamar lo. Pacarnya si Cacak nyeremin, mainnya dukun.”

“Jadi..”, Baskara kembali merangkul bahu Cakrawala tanpa kikuk dan tersenyum [super] manis. “..kalau kalian mau kenalan dengan maksud pengen pacaran atau apapun itu, sorryㅡ”

“ㅡgue sama dia udah sold out.”

Tepat setelah mengujarkan kalimatnya, Baskara melangkah terlebih dahulu tanpa mengucapkan salam pamit atau apapun yang lainnya. Cakrawala yang dirangkul, tidak memiliki pilihan lain selain mengikuti langkah si yang lebih tua. Untungnya, Cakrawala sempat menyunggingkan senyum dan bungkukan singkat ke arah para mahasiswi itu. “Duluan, ya.”

Si keempat mahasiswi menganga tidak percaya; ucapan Baskara sebegitu pedasnya. Saking kesalnya, salah satu dari para mahasiswi yang bertubuh paling tinggi berseru kencang ke arah Baskara dan Cakrawala. “SOK KEGANTENGAN, LO! GUE SUMPAHIN LO JADI GAY, YA! PERCUMA MUKA GANTENG KALO GAY! GUE SUMPAHIN LO YA, MAS MAS PAKE KEMEJA POLO! GUE SUMPAHIN LO GAAAAY!”

Mendengar seruan dari si mahasiswi, Baskara membalikkan tubuhnya untuk kembali menatap keempat mahasiswi itu. Tidak, Baskara tidak balas berteriak atau menghampirinya lagi, kok. Baskara hanya mengangkat tangannya dan membuat gerak hormat dengan jari telunjuk dan jari tengahnya.

Sementara itu, Cakrawala yang masih menghadap ke arah depan hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala sambil menutupi wajah dengan sebelah tangan. Kebingungan harus bersikap bagaimana, hingga akhirnya ia tertawa kecil.

Awalnya hanya kekehan, namun lama kelamaan berubah menjadi tawa yang lumayan kencang dan membuat Baskara melirik heran.

Keheranan itu hanya bertahan sekilas, karena kini Baskara juga ikut tertawa bersama Cakrawala. Tergelak geli, karena alasan yang mungkin sama.

“Dia nyumpahin lo jadi gay— bahahaha! Anjir, kok ada yang nyumpahin begitu, sih?”, ujar Cakrawala di tengah tawanya.

“Gue nggak tau. Orang kok bisa ya nyumpahin hal yang nggak guna banget? Nyumpahin gay ke orang yang emang udah pacaran sama cowokㅡ anjir, temen lo punya bakat jadi dukun atau gimana?”, balas Baskara seraya kembali menyampirkan lengannya di bahu Cakrawala.

Kali ini, Cakrawala tidak menolak. Ia membiarkan dirinya direngkuh oleh Baskara, membiarkan dirinya terlihat kecil di dekap tangan sang matahari.

Di tengah guyuran hujan Jakarta sore hari ini, suara denting kecil terdengar samar-samar dari tas ransel yang tersampir di pundak Cakrawala. Di salah satu gantungan retsleting tasnya, ada sebuah rantai yang di ujungnya tergantung sebuah cincin perak.

Cincin yang sama dengan yang dipakai Baskara di jari manis kirinya. Cincin yang sama dengan yang Baskara pamerkan sebagai cincin yang menunjukkan bahwa ia sudah memiliki kekasih.

Cincin perak itu berdenting kecil di antara gerak tas yang tersampir di bahu Cakrawala. Seakan ingin ikut meramaikan tawa kedua insan bertajuk matahari dan langit yang berbahagia walaupun dunia tengah diguyur gerimis.

Cincin itu, adalah bukti bahwa si kedua lelaki saling mencintai setengah mati.

Hanya saja, mereka tengah menanti masa hingga semua ini tiada menjadi sebuah rahasia.

Masa itu, pasti datang. Pasti, akan datang. Pasti, datang. Iya, 'kan?

END (dontlockhimup)