“Jangan.“
“Aku mohon, jangan.“
“Nggak apa-apa.“
“Aku yang minta.“
“Bukannya kakak yang bilang, bahwa bakal kabulin apa yang aku minta? Iya, 'kan?“
“Byungchan..”
“..tolong, jangan.“
Seungwoo, lelaki yang kini tengah duduk berhadapan dengan lelaki jangkung lainnya, Byungchan; masih menundukkan kepalanya. Kedua tangan Seungwoo terkepal kuat di atas meja, sedikit gemetar. Entah karena alasan apa. Kedinginan? Tidak. Jaket tebal yang dikenakan semestinya bisa menghalau rasa itu. Takut? Mungkin. Namun, apa yang sebenarnya ia takutkan?
Takut,
mendengar permintaan Byungchan barusan?
Takut,
memikirkan kemungkinan apa yang mungkin muncul di kemudian hari jika ia mengiyakan permintaan Byungchan?
Takut,
terlalu amat takut.
“Apapun, boleh.“
“Apapun, selain itu.“
“Aku cuma mau itu.“
“Ya, Kak?“
“Temenin aku.“
“Aku percaya, semua bakal baik-baik aja. Asal Kakak ada di sana.“
“Asal ada Kak Seungwoo di sana, aku percaya nggak akan ada apa-apa.“
“Byungchan..”
“..aku takut.“
Byungchan meraih tangan Seungwoo yang terkepal kemudian menggenggamnya kuat-kuat. Mungkin hanya usahanya saja yang ingin meremat kuat, karena bagi Seungwoo yang tangannya digenggam...genggaman tangan Byungchan terasa lemah. Ringkih. Seakan-akan jika sedikit diperkuat daripada sekarang, bisa saja tulang tangan Byungchan yang patah.
Paham bahwa dirinya bisa saja luluh atas bujukan yang Byungchan berikan melalui genggaman tangannya, Seungwoo berupaya menarik tangannya dari kungkungan tangan si lelaki yang lebih muda. Perlahan saja.
Namun Byungchan seperti tahu dan paham akan niatan Seungwoo sehingga kini genggamannya malah diperkuat. Mencegah agar Seungwoo tidak lari darinya.
“Kak.“
“Tolong..”
“..aku nggak mau lupain kamu begitu aja. Aku nggak mau kenangan tentang kamu terhenti di hari itu.“
“Tolong, Kak.“
“Temenin aku.“
“Bikin memori baru..”
“..buat aku kenang.”
“Tolong kabulin, Kak.“
Sakit. Setiap ujaran Byungchan rasanya seakan membuat sebuah lubang yang menganga lebar di dada Seungwoo. Setiap rematan yang diperkuat di tangan Seungwoo, kini membuat si lelaki Han seakan bisa meledakkan tangisnya kapan saja.
“Jangan bikin aku jadi semakin ngerasa bersalah, Byungchan..”
“Nggak, Kak.“
“Nggak akan ada yang nyalahin Kakak.“
“Aku paham segala konsekuensi dan resikonya. Aku yakin, aku kuat.“
“Aku kuat.“
“Asalkan di sampingku ada Kakak..”
Kepala Seungwoo yang semula menunduk, akhirnya diberanikan untuk diangkat. Keputusan yang salah, karena kini mata Seungwoo bertatapan dengan mata bening Byungchan. Menatap seorang lelaki yang kepalanya terbalut perban, juga dengan wajah yang sedikit pucat serta lekuk pipi yang terlihat tirus.
Pemandangan yang berbeda dengan seseorang yang ia lihat sekitar tiga minggu lalu.
Tiga minggu lalu, sosok Byungchan terlihat manis dengan jaket fakultasnya yang kebesaran. Sosok Byungchan terlihat menawan dengan potongan rambut yang ia katakan baru ia tata karena akan bertemu dan berkencan dengan Seungwoo.
Tiga minggu lalu, semua seindah itu. Semua semanis itu.
Namun semua seakan berubah menjadi malapetaka ketika di tengah perjalanan mereka, ada segerombolan pemuda berandalan yang menghadang.
Berandalan itu mengatakan jijik melihat dua lelaki dengan penampilan begitu berjalan beriringan. Mereka mengatakan dunia tidak akan mau melihat dua lelaki seperti mereka saling menjalin kasih juga mengatakan mereka berdua hanya membuat dunia menjadi tempat yang penuh dengan hal menjijikkan.
Seungwoo masih ingat. Kala itu, Byungchan terlihat ketakutan. Ia sedikit bersembunyi di balik Seungwoo dengan tubuh yang gemetar ketakutan. Tangannya menggenggam tangan Seungwoo kuat-kuat dari balik punggung si lelaki Han, seakan meminta perlindungan.
Tanpa diminta, Seungwoo akan melakukannya. Tanpa diminta, Seungwoo akan menjaga Byungchan dengan cara apapun.
Awalnya, Seungwoo berusaha mencari jalan keluar dengan cara damai. Tidak ingin terlibat dalam perkelahian yang sudah pasti akan dimenangkan oleh sekelompok berandalan itu. Lagi, Seungwoo ingat ... jumlah mereka ada tujuh, atau delapan?
Entah. Yang pasti, Seungwoo dan Byungchan tidak akan dapat memenangkan situasi itu.
Seungwoo menawarkan segala yang dapat ia tawarkan. Harta yang ia bawa, lebih tepatnya. Namun, para berandalan itu lebih tertarik dengan kenyataan bahwa mereka dapat melecehkan keadaan Seungwoo dan Byungchan yang istimewa dibandingkan orang-orang pada umumnya.
Mengatakan jijik.
Mengatakan tidak suka.
Mengatakan ingin memusnahkan mereka dari muka bumi.
Untuk kalimat terakhir, itu benar adanya. Tepat setelah salah satu diantara para berandalan mengatakan ingin memusnahkan mereka, salah satu yang lainnya melayangkan tinju ke perut Seungwoo.
Seungwoo bukan lelaki yang lemah, ia paham bagaimana cara untuk bertahan dan melindungi diri. Sehabis menerima tinjuan pada perut, Seungwoo berusaha melawan.
Namun, mau bagaimana? Ia kalah dalam jumlah. Mau bagaimana? Jangankan untuk fokus melawan, perhatiannya selalu terbagi kepada Byungchan yang tidak lagi bisa sembunyi di belakangnya. Takut akan adanya kemungkinan bahwa kekasihnya itu akan diserang oleh para berandalan.
“Lari!“
“LARI, BYUNGCHAN!“
Di tengah pukulan dan tinjuan yang dilayangkan ke tubuhnya, Seungwoo berusaha berteriak. Mengingatkan Byungchan untuk menyelamatkan diri sendiri terlebih dulu. Beruntung, Byungchan paham. Dirinya bukan tipikal orang yang akan membuat drama dengan mengatakan tidak mau pergi demi menyelamatkan Seungwoo.
Tidak. Byungchan bukan lelaki yang begitu. Ia paham bahwa ia harus lari demi mencari bantuan agar bisa menyelamatkan Seungwoㅡ
“JANGAN!“
Namun, semuanya berbanding terbalik.
Byungchan paham, ia harus pergi. Akan tetapi ia tidak tahu mengapa kakinya malah berlari ke arah kerumunan yang mengelilingi Seungwoo. Ia tidak tahu mengapa ia kini malah berbaring di atas tubuh Seungwoo. Detik berikutnya, ia tidak tahu mengapa kepalanya terasa sangat panas dan nyeri. Sakit, rasanya seperti mau pecah.
Atau mungkin memang sudah pecah?
“BYUNGCHAN!“
Tubuh Byungchan menghalangi pandangan Seungwoo. Ia hanya bisa melihat bayangan orang-orang yang mengelilinginya. Akan tetapi semua tidak terlihat jelas karena darah yang mengalir dari pelipis Seungwoo juga karena rasa sakit di sekujur tubuh sehabis ditendangi tanpa ampun.
Namun barusan saja, Seungwoo mendengar ada suara pukulan yang keras. Lalu detik berikutnya, suara kerumunan itu seperti menjadi ramai. Terdengar panik.
Menit berikutnya, suara kayu yang terjatuh ke tanah terdengar diikuti dengan derap langkah banyak orang yang berlarian meninggalkan tempat Seungwoo dan Byungchan berada sekarang.
Dua menit berikutnya, sepi.
Seungwoo tahu, semestinya ia bangun. Seungwoo tahu, semestinya ia memeriksa kondisi Byungchan karena sekarang lelaki itu seperti tidak bergerak dari atas tubuhnya. Namun tubuhnya tidak cukup kuat untuk melakukan itu.
Sekujur tubuhnya sakit. Pelipisnya berdarah sehingga membuat pandangannya kabur. Nafasnya sesak.
Yang Seungwoo ingat, tiba-tiba dirinya diserang rasa kantuk yang teramat sangat. Yang Seungwoo ingat, ia tertidur.
Yang Seungwoo ingat, ketika ia terbangun...pandangannya sudah disambut oleh langit-langit ruang rumah sakit. Yang Seungwoo ingat, ketika ia menolehkan kepalanya...Byungchan ada di sana. Tertidur lelap dengan perban terbalut di kepalanya.
Gegar otak.
Itu yang dokter katakan kepada Seungwoo perihal kondisi Byungchan. Pukulan di kepala Byungchan diberi dari batang balok kayu tebal dan mendarat tepat di titik vital bagian kepala.
Rasa sakit yang awalnya menjalar di sekujur tubuh Seungwoo, seakan tidak lagi ada artinya. Membayangkan seberapa rasa sakit yang Byungchan rasakan ketika berusaha menyelematkan dirinya malah membuat Seungwoo jauh lebih kesakitan.
“Dia bisa sembuh, 'kan, dok?”
“Kemungkinan untuk sembuh selalu ada. Namun saya tidak berani menjanjikan seratus persen bahwa keadaan dan kondisi saudara Byungchan akan kembali seperti semula. Di tengah masa penyembuhan, pasien mungkin akan merasakan pusing yang teramat sangat, mual, bahkan hingga muntah.”
“Kami menyarankan bahwa perawatan saudara Byungchan dilakukan di rumah sakit hingga kondisinya dinyatakan membaik.”
Jadi, di sinilah Seungwoo sekarang. Duduk berhadapan dengan Byungchan di meja kecil yang ada di samping jendela kamar. Tangannya sedang digenggam kuat oleh si yang lebih muda, bingung harus melakukan apa.
Apakah harus mengabulkan?
Apakah harus menolak?
Mengabulkan apa, tanyamu?
Menolak apa, tanyamu?
Permintaan Byungchan untuk pergi dari rumah sakit, berdua. Melanjutkan kencan mereka yang sewaktu itu bahkan belum sempat dimulai.
Permintaan bodoh. Sumpah, demi apapun, ingin sekali Seungwoo berujar demikian.
Ingin sekali Seungwoo berteriak dan menyadarkan Byungchan bahwa dirinya memiliki kemungkinan terburuk akan hidupnya apabila terlalu kelelahan. Ingin sekali Seungwoo mengingatkan bahwa baru saja tadi siang, Byungchan tidak mengenali salah satu sahabat akrabnya, Sejun, yang datang menjenguk.
Kondisi Byungchan sudah separah itu. Namun yang bersangkutan malah ingin pergi dari sokongan infusnya, dari sambungan tabung oksigennya, hanya untuk menjalani kencan yang dahulu tidak sempat terlaksana?
Itu sama saja seperti menjemput kematian. Bukannya begitu?
Namun di sisi lain, hati kecil Seungwoo bergembira. Membayangkan akan sebagaimana bahagianya mereka berdua nantinya, membayangkan banyak hal yang dapat mereka lakukan berdua, membayangkan sebagaimana banyak memori yang dapat mereka simpan dari kencan yang dimaksud oleh Byungchan.
Seungwoo pusing.
Pemikirannya terbagi dua.
Pusing. Sangat. Pusing.
Mengiyakan?
Atau, menolak?
* * * * *
Seungwoo membenci dirinya sendiri.
Seungwoo membenci dirinya yang memaksa dokter perawat Byungchan agar membiarkan kekasihnya keluar dari rumah sakit. Seungwoo membenci dirinya yang mengatakan semua akan bisa terkendali. Seungwoo membenci dirinya sendiri yang menjanjikan sebuah hal yang ia sendiri tidak tahu bagaimana akan jadinya.
“Kak.“
Seungwoo membenci dirinya sendiri yang barusan saja melupakan penyesalannya ketika melihat Byungchan keluar dari kamarnya dengan penampilan yang sama persis seperti ketika mereka berjanji untuk menghabiskan waktu berdua. Potongan rambut yang sama. Senyum manis yang sama. Jaket fakultas yang kebesaran di tubuhnya pun, masih sama.
Yang berbeda hanyalah kini Byungchan tidak lagi berdiri di hadapannya melainkan tengah duduk di atas kursi roda. Kedua tangannya ada di masing-masing roda, menggerakkannya agar ia dapat menghampiri Seungwoo.
“Jangan!“
“Biar aku aja.“
Seungwoo segera menghampiri Byungchan dan berdiri di belakang kursi roda yang dinaikinya. Mengambil alih agar kursi itu bisa ia kendalikan. “Kamu nggak usah capek-capek, ya? Diem aja. Aku yang dorong. Kalau mau apa-apa bilang aja. Aku bakal lakuin.“
Byungchan menggeleng. Kepalanya sedikit menengadah agar dapat menatap Seungwoo di belakangnya. “Nggak, Kak. Udah cukup. Ini udah lebih daripada cukup.“
“Ada Kakak, barengan sama aku. Semua udah lebih daripada cukup.“
Seungwoo tersenyum tipis, terlalu sulit menjelaskan semua yang ia rasakan saat ini kepada si kekasih. Rasa sayangnya sudah terlampau dalam. Rasa sukanya sudah terlampau jauh melewati batas.
Tubuh Seungwoo sedikit dirundukkan, sebuah kecupan didaratkan di kening Byungchan yang kepalanya masih menengadah. Respon Byungchan? Terkekeh. Terlihat senang, walaupun Seungwoo dapat melihat wajah kekasihnya pucat dari jarak pandang sedekat ini.
Mereka berdua memutuskan pergi ke taman bermain di daerah Incheon. Bukan taman bermain yang ramai seperti Lotte World atau Everland, karena Seungwoo paham semua itu terlalu beresiko untuk Byungchan. Maka dipilihlah taman bermain yang tidak cukup ramai namun tetap memiliki berbagai fasilitas yang tidak kalah lengkap dibanding dua taman bermain terkenal lainnya. Wolmi Theme Park.
Byungchan tidak terlihat keberatan. Semenjak mereka berdua tiba di taman bermain Wolmi, senyum lebar tidak henti-hentinya terulas di bibir Byungchan. Selama Seungwoo mendorong kursi roda yang dinaiki Byungchan, si lelaki yang lebih muda menggenggam tangan Seungwoo di belakangnya. Seperti tidak ingin terpisah, walau hanya sekejap saja.
Seungwoo merutuk dalam hati. Seandainya para berandalan sialan itu tidak menghadang mereka, bagaimana mereka akan menghabiskan waktu seperti saat ini?
Tentu, akan tertawa dan berseru histeris ketika menaiki wahana menyeramkan bersama-sama.
Tentu, akan saling mengejek karena melihat sosok satu sama lain yang terlihat jenaka ketika mengenakan bando berbentuk kuping binatang.
Tentu, akan saling berbagi icip dari eskrim yang mereka beli bersama. Dua rasa berbeda, sengaja mereka beli agar dapat mengetahui kesukaan satu sama lain.
Pasti, akan begitu, 'kan?
“Kak..”
Genggaman tangan Byungchan di tangan Seungwoo yang masih memegangi pegangan kursi roda, terasa dikuatkan. Si lelaki yang lebih muda memanggil Seungwoo dengan suara lemah juga kepala yang menengadah. “Kakak terpaksa ngajak aku ke sini, ya?”
“Hm?“
“Nggak, kok.“
“Kenapa mikirnya begitu?“
“Daritadi..”
“..kamu cemberut.”
“Sama sekali nggak senyum.”
Seungwoo meneguk ludah, merasakan perasaan campur aduk di perutnya yang malah membuat mual. Apakah dia sudah bodoh? Tolol? Padahal Byungchan hanya ingin menghabiskan waktu bersamanya. Padahal Byungchan sudah merelakan pasokan infus dan oksigen yang semestinya masuk ke tubuh dilepaskan. Kenapa ia malah tidak bisa fokus dan memberikan kebahagiaan ke kekasihnya, sih?
Perlahan, genggaman tangan Seungwoo di pegangan kursi roda dilepaskan. Seungwoo berjalan ke arah depan, menghampiri Byungchan dan berlutut di hadapannya. “Byungchan..”
”..aku nggak tau, apa kamu mikir hal yang sama atau nggak tentang aku. Tapi, tolong ketahui satu hal..”
”..aku sayang kamu.“
“Banget.“
“Kebangetan.“
Byungchan yang hanya bisa duduk di kursi rodanya, memandangi Seungwoo yang tengah berlutut di hadapan dengan senyum terulas manis. Tangan si lelaki yang lebih muda kini terangkat, mengusapi pipi Seungwoo dengan lembut. “Kak..”
“..aku nggak tau apakah kamu tau hal ini atau nggak..”
“..tapi kalau ada kosakata yang bisa ngegambarin perasaan melebihi kata banget, sangat, terlalu, amat, dan semacamnya..”
“..tolong ketahui kalau itu adalah kata yang mau aku sampaiin buat kamu.“
“Ya?“
Tidak tahu. Seungwoo tidak tahu apa yang barusan merasuki tubuhnya, namun ia baru saja merasakan perasaan hangat namun sesak di saat yang bersamaan. Tanpa ia sadari, tangisnya pecah. Persis seperti anak kecil, menangis di hadapan Byungchan yang diam memperhatikannya seraya menyunggingkan senyum manis dihiasi lesung pipi. Usapan tangannya beralih dari pipi Seungwoo ke rambut si kekasih. “Kak..”
“..jangan nangis.“
“Aku bahagia.“
“Bisa sama Kakak kayak begini, aku seneng.“
“Kalau Kakak nangis, aku ngerasa keberadaanku cuma nyusahin Kakak. Hm? Kakak mau aku mikir begitu?“
Seungwoo menggeleng cepat. Suara tarikan nafasnya terdengar seperti ditahan agar tangisannya tidak lagi pecah. Byungchan tertawa kecil, kemudian mencubit pelan ujung hidung Seungwoo. “Ya, udah. Sekarang senyum, bangun, terus dorongin bangku aku. Ayo? Aku mau beli gulali di depan. Go! Go! Go!“
Byungchan tahu, ia tidak akan lama-lama dapat mengenang semua memori indah ini. Tadi pagi, ketika Byungchan bangun dari tidurnya, kepalanya sakit bukan main. Parahnya, untuk sesaat setelah ia bangun dari tidur, Byungchan tidak dapat mengenali sosok Seungwoo. Setelah ia berusaha keras, barulah ia mengingat bahwa sosok lelaki yang ada di sampingnya itu adalah Seungwoo.
Byungchan tidak dapat mengatakan hal itu kepada Seungwoo. Byungchan tidak mampu menjelaskan bahwa dirinya bahkan sudah tidak lagi dapat mengingat Seungwoo.
Untuk terakhir kalinya, biarpun mungkin akan dapat terlupakan dalam sekejap...Byungchan ingin mengingat momen ini.
Ketika langit terlihat cerah. Ketika angin berhembus sejuk. Ketika ia dapat mendengar suara Seungwoo. Ketika Seungwoo tersenyum kepadanya. Ketika mereka tertawa bersama.
Byungchan ingin mengingat.
Semuanya,
tanpa terkecuali.
* * * * *
Lagi-lagi Seungwoo bermimpi buruk.
Sudah dua bulan berlalu semenjak kencan keduanya di taman bermain Wolmi di Incheon. Semenjak itu pula, Seungwoo memutuskan untuk merawat Byungchan di rumah dengan fasilitas seadanya. Orangtua Byungchan sudah tiada, ia dibesarkan di panti asuhan hingga akhirnya memutuskan untuk pergi dari sana dengan niat untuk mandiri.
Seungwoo sendiri tidak memiliki niatan untuk menceritakan perihal Byungchan ke keluarganya. Tidak akan ada hasil yang baik, pasti. Lebih baik begini, Seungwoo sendirian mengurus Byungchan. Mengusahakan kesembuhan sebisanya.
Namun, semenjak beberapa saat ke belakang...kondisi Byungchan tidak bisa dikatakan membaik. Keadaan si lelaki Choi itu malah semakin memprihatinkan. Tubuhnya semakin kurus, setiap makanan yang ditelannya akan kembali dimuntahkan.
Seungwoo paham, Byungchan tidak berniat memuntahkannya namun tubuhnya yang menolak untuk mencerna. Wajahnya pucat. Bahkan kerapkali Byungchan kejang-kejang secara tiba-tiba dan membuat Seungwoo histeris di awal-awal.
Sahabat Byungchan, Sejun, masih sering datang untuk menjenguk si sahabat. Sesekali membantu Seungwoo untuk menjaga Byungchan. Berulang kali, Sejun mengingatkan Seungwoo untuk pasrah dan selalu bersiap untuk kemungkinan terburuk.
Tidak salah jika Sejun berujar demikian. Byungchan sudah tidak dapat berbicara secara wajar. Terkadang bicaranya menjadi gagap. Ingatannya tentang sekitar sudah sangat minim. Ia tidak ingat apapun, terkecuali Seungwoo.
Lalu, seakan belum cukup tragis...Seungwoo sering dilanda mimpi buruk akhir-akhir ini. Mimpi di mana Byungchan benar-benar pergi meninggalkannya. Pergi, ke tempat jauh yang sama sekali tidak bisa ia raih. Seperti saat ini, Seungwoo terbangun dengan nafas tersengal karena mimpi yang sama.
Seungwoo jadi takut untuk terlelap, karena khawatir mimpinya bisa menjadi kenyataan kala ia sedang tertidur.
“Kak..“, bisik Byungchan lemah. Sepertinya Byungchan juga ikut terbangun kala Seungwoo tersentak karena mimpinya barusan.
Seungwoo yang barusan sedang menangis tanpa suara, segera menghapus air matanya kemudian mengulas senyum lebar. “Hm? Kenapa? Haus? Mau minum?“
Byungchan menggeleng. Tangan ringkihnya meraih tangan Seungwoo, tidak sanggup menggenggam dan hanya berakhir memegangnya saja. “Kenapa nangis?”
“Nggak.“
“Nggak nangis.“
“Ini lagi berdoa.“
Seungwoo menggenggam tangan Byungchan. Terasa dingin, kurus pula. “Berdoa buat kesembuhan kamu.“
Byungchan tidak menjawab. Kepalanya terasa lebih pusing daripada biasanya akhir-akhir ini. Ia pun semakin sering muntah, tidak hanya ketika sedang makan namun juga ketika ia tidak sedang melakukan apa-apa. Berulang kali, ia hampir melupakan dan tidak ingat perihal Seungwoo. Byungchan sampai harus menuliskan nama Seungwoo di banyak tempat di sekeliling kasurnya agar ia dapat mengingat Seungwoo tanpa harus berpikir keras.
Seungwoo mengangkat tangan Byungchan yang ia genggam dan mengecupi punggung tangannya beberapa kali.
“Byungchan.“
“Jangan tinggalin aku.“
Byungchan terdiam. Tidak sanggup mengiyakan, tidak mau berjanji karena ia tahu bisa saja janji itu ia ingkari. Jika bisa memilih, Byungchan tidak ingin meninggalkan Seungwoo. Namun, ia bisa apa? Tubuhnya semakin sering kejang-kejang.
“Kak..”
“.. kalau Tuhan berbaik hati kasih aku satu permintaan buat dikabulin, aku pengen bisa hidup lebih lama.“
“Kalaupun aku nggak bisa sembuh, nggak apa-apa. Beneran. Aku cuma pengen bisa lebih lama barengan sama kamu.“
Ingin sekali Seungwoo menyela kalimat Byungchan dengan mengatakan bahwa ia pasti bisa sembuh. Ingin sekali Seungwoo bersikeras menyatakan bahwa Byungchan tidak akan pergi atas alasan apapun.
Namun lidahnya kelu. Otak Seungwoo seakan mengingat bahwa semuanya tidak semudah itu. Kemungkinan Byungchan untuk sembuh sudah sangat rendah, yang bisa ia lakukan hanyalah menjaga Byungchan agar waktu hidup lelaki itu menjadi lebih panjang.
“Kak..”
“..Kakak kuat, ya?“
“Bakal ada masanya Kakak jalanin semuanya sendirian..”
“Kalau Tuhan baik, aku bakal minta Tuhan izinin aku buat jagain Kakak dari surga sana..”
Seungwoo berusaha mati-matian agar tangisnya tidak lagi meledak. Byungchan mengatakan kalimatnya dengan manis, dengan kedua lesung pipi yang terbentuk dalam-dalam.
Lesung pipi yang membuat Seungwoo selalu terjatuh ke dalam pesona lelaki itu.
Tanpa Seungwoo sadari, genggaman tangan Seungwoo di tangan Byungchan semakin dieratkan hingga membuat kekasihnya itu sedikit mengaduh kesakitan.
“A— Kak, sakit..”
Seungwoo segera mengendurkan genggamannya dan meminta maaf. Tangannya kini beralih mengusapi rambut Byungchan, seperti menina-bobokannya. “Istirahat, ya?“
Byungchan mengangguk lemah. Perlahan, matanya terpejam dan nafasnya terembus teratur. Seungwoo masih mengusapi rambut Byungchan, memilih untuk tidak tidur.
Ia takut, mimpi buruknya kembali datang untuk menyapa.
* * * * *
Lima hari kemudian, mimpi buruk Seungwoo benar-benar menjadi kenyataan.
Byungchan tidak terbangun dari tidurnya walaupun Seungwoo berkali-kali memanggil namanya. Byungchan sama sekali tidak bergeming walaupun Seungwoo menepuki pipinya dengan cukup kencang.
Byungchan pergi, setelah malam sebelumnya ia menghabiskan waktu dengan terbangun hingga larut malam demi untuk berbicara tentang banyak hal dengan Seungwoo.
Byungchan mengatakan tubuhnya terasa lebih baik. Sehingga ia meminta Seungwoo untuk membiarkannya terbangun hingga larut malam. Byungchan mengatakan tubuhnya cukup kuat untuk bangun dari kasur, maka ia meminta Seungwoo menuntunnya ke sofa ruang tamu untuk menonton film bersama.
Selama menonton film bersama, Seungwoo merasakan senang yang bukan main. Byungchan tidak terlihat lemah. Nada bicaranya juga tidak lagi terdengar lemah dan terbata-bata. Byungchan merengek, mengatakan ingin meminum susu stroberi dan camilan biskuit.
Seungwoo sudah khawatir apabila kekasihnya itu akan muntah-muntah lagi. Namun tidak demikian. Hampir setengah bungkus camilan dilahap, hampir sekotak susu diteguk, Byungchan tidak menunjukkan tanda bahwa ia merasa mual. Ia malah tergelak puas ketika salah satu adegan film menunjukkan situasi komedi yang menggelitik perut.
Saat itu, Seungwoo merasa bahwa mukjizat itu memang benar adanya. Bahwa Byungchan benar, kondisinya sudah membaik.
Maka Seungwoo membiarkan Byungchan terbangun hingga larut malam. Maka Seungwoo menghabiskan tengah malamnya dengan membicarakan banyak hal bersama Byungchan.
Maka Seungwoo terlelap dengan senyum merekah. Membayangkan akan sebagaimana bahagia masa yang akan datang dengan Byungchan di sisinya.
Namun semua semu.
Semua hanya halu.
Kini Seungwoo berdiri bersisian dengan Sejun yang masih merangkulnya erat. Takut-takut kekasih sahabatnya itu akan ambruk, Sejun terus merangkul Seungwoo selama prosesi pemakaman Byungchan berlangsung. Hingga semua prosesi sudah selesai, Sejun meminta izin untuk pulang terlebih dulu.
Hingga akhirnya, hanya Seungwoo yang tersisa di area pemakaman. Bersama dengan Byungchan, di tempat yang kini berbeda.
Di dunia yang juga berbeda.
Dari dalam sakunya, Seungwoo mengeluarkan sepucuk surat yang ada di atas nakas tempat tidur. Surat yang ditinggalkan Byungchan untuknya. Entah ditulis sejak kapan, Seungwoo tidak tahu. Namun diantara banyak kalimat yang dituliskan, ada satu kalimat yang membuat Seungwoo merasa sesak bukan main.
우리, 힘든 기약 대신 ..
daripada menjanjikan hal yang sulit ditepati
말없이 믿어 보기로 해 ..
mari kita diam saja dan saling percaya
Semenjak awal, Byungchan tidak berani berjanji. Namun ia percaya kepada Seungwoo bahwa dirinya akan selalu aman di pelukan lelaki itu. Byungchan menyerahkan semuanya kepada Seungwoo.
Seungwoo mengusapi foto Byungchan yang ada di atas gundukan tanah tempat kekasihnya dikebumikan. Foto yang diambil oleh Seungwoo ketika mereka masih awal-awal menjalin hubungan. Foto Byungchan yang tersenyum manis ke arah kamera, sehingga Seungwoo jadikan wallpaper handphonenya karena saking menyukai sang objek di dalamnya.
“그토록 봐왔던 얼굴 ..”
wajahmu yang sekarang kupandang
“오늘은 유난히 더 예쁘구나 ..”
begitu cantik dibanding hari lainnya
“나보다 더 씩씩하게 웃어줘서 고마워 ..”
terima kasih sudah tersenyum sebegitu cerahnya untukku
“최병찬 ..”
Choi Byungchan
“이 밤을 뒤로 안녕 ..”
Selamat tinggal, untuk malam ini
“잠시만 안녕 ..”
hanya untuk sebentar saja, selamat tinggal
Masih, Seungwoo masih mengusapi kaca bingkai yang melapisi foto Byungchan. Berusaha menyampaikan seluruh rasa sayang yang ia miliki kepada si kekasih melalui setiap sentuhannya.
“반드시 한 뼘 더 자란 모습으로 ..”
aku akan jadi lebih baik lagi
“네 앞에 설 테니까 ..”
lalu berdiri di hadapanmu nanti
Seungwoo menghela nafas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan. Byungchan tidak akan pernah pergi darinya. Ia pernah berjanji bahwa akan menjaga Seungwoo dari tempatnya berada sekarang, di surga. Tuhan tidak akan sejahat itu untuk membiarkan Byungchan terkungkung di penjaranya.
Tuhan pasti akan mengabulkan karena tidak kuat melihat manisnya senyum Byungchan. Sama seperti Seungwoo yang selalu bertekuk lutut akan setiap permintaan si kekasih ketika ia sudah tersenyum manis.
Di dunia ini, di saat ini, biarlah Byungchan yang menjaga dirinya dari surga. Lalu di suatu saat nanti, ketika mereka sudah kembali bisa bersama, Seungwoo akan menjalankan tanggung jawabnya yang tertunda.
Menjaga Byungchan.
Sebaik yang ia bisa.
Hingga akhirnya saat itu tiba,
selamat tinggal untuk sementara.
END