dontlockhimup

Baru juga Seungyoun menutup pintu toilet, Seungwoo sudah berdiri di hadapannya. Tangan kanan Seungwoo terjulur, dengan ponsel milik Seungyoun di genggamannya.

“Ini apa?” “Choi Woosik?” “Disseupechi?”

Seungyoun melirik ponsel miliknya yang kini berada di genggaman Seungwoo. Bukannya panik, Seungyoun malah terlihat tenang dan meraih ponsel dari tangan si leader. “Oh..”

“..ketauan juga rupanya.”

Seungwoo kebingungan. Empat dari mereka kini sudah duduk membuat lingkaran di ruang latihan, juga dengan masing-masing tangan menggenggam mangkuk berisi jjajangmyeon.

Iya, hanya berempat. Byungchan tiba-tiba pergi entah ke mana. Menyisakan Seungwoo yang duduk berhadapan dengan Wooseok, lalu diapit oleh Jinhyuk dan Seungyoun.

Jinhyuk menyantap jjajangmyeonnya dengan lahap. Wooseok hanya menusuk-nusukkan sumpitnya ke mie berwarna hitam itu, sementara Seungyoun hanya menimang mangkuknya saja. Tanpa menyantap, karena kini sebelah tangannya sibuk mengetikkan sesuatu di layar ponselnya.

Suasana tim sedang sangat tidak menyenangkan, Seungwoo paham akan hal itu. Lalu sekarang ia bingung setengah mati harus bagaimana untuk menaikkan mood di groupnya.

“Mau nambah lagi, nggak?”, tanya Seungwoo kepada Jinhyuk yang baru saja menyelesaikan mangkuk pertamanya. Jinhyuk menggeleng seraya menyeka ujung bibirnya sendiri. “Udah, Kak. Kenyang.”

“Punya gue, nih. Makan.” Ujaran Wooseok dibarengi dengan tangannya yang menyodorkan mangkuk berisi jjajangmyeon miliknya. “Kenyang.”

“Abis makan apa, emang?”, tanya Jinhyuk, sedikit khawatir. “Atau diet lagi?”

“Semestinya lo bukan diet,” sahut Seungyoun seraya mulai menyumpit jjajangmyeonnya. “Olahraga. Lo sendirian yang badannya kecil di grup.”

”...” Jinhyuk terdiam.

Seungwoo hanya bisa menggelengkan kepala ketika mendengar ujaran Seungyoun yang terlampau jujur itu. “Udahan. Makan dulu, berantemnya ntaㅡ”

“Seenggaknya, gue bukan orang yang punya masalah dan bikin grup jadi goyah.” Namun, bukan Wooseok namanya jika rapuh dan terjatuh hanya karena ujaran Seungyoun. Alih-alih ikut terdiam atau murung karena ujaran si lelaki Cho, Wooseok mendengus. “Orang yang kerjanya bikin masalah melulu, kayak lo, yang semestinya paham gimana cara bertindak.”

Seungwoo memijat keningnya, tiba-tiba merasakan pusing yang teramat sangat. Seingat dia, dulu nuansa dan suasana di dalam grup tidak pernah sekelam ini. Seingat Seungwoo, ruang latihan ini selalu diisi dengan segala hal yang positif.

Tentang mereka yang selalu berbincang dengan seru, membayangkan akan sebagaimana serunya pengalaman yang akan mereka miliki setelah terkenal. Tentang mereka yang terengah-tengah dan terbaring lelah di lantai ruang latihan setelah melakukan dance practice berjam-jam.

Memang, Seungyoun datang bergabung sebagai member terakhir di OBVIOU5 sehingga tidak banyak moment yang bisa mereka lalui berlima selain latihan bersama-sama. Namun, selama iniㅡ Seungyoun tidak pernah bertingkah semenyebalkan ini. Seungyoun biasanya lebih sering diam, menyendiri di sudut ruangan dengan tablet i-padnya.

Biarpun begitu, mereka berlima sangat paham akan apa yang dimau oleh para fans. Mereka bersikap layaknya mereka sangat dekat. Bercanda bersama di fansign, saling bertingkah seakan-akan mereka sangat dekat, padahal kenyataannyaㅡ begini.

Tidak dekat. Kaku. Saling sindir.

Seungyoun tertawa kecil setelah mendengar ujaran Wooseok. “Ya, ya, ya. Gue emang sebaiknya nggak join sedari awal di sini, sih.”

“Bisanya bikin hancur dinamika grup aja, ya?”, tanya Seungyoun seraya meletakkan mangkuk jjajangmyeonnya dari tangan kanannya ke lantai. “Mungkin sebaiknya gue keluar aja, kali, ya?”

“Bagus, lah, kalo lo nyadar.” Wooseok berujar santai, tanpa sekalipun melirik Seungyoun. Jinhyuk menyikut lengan Wooseok pelan dan mendesis, seakan menyuruh Wooseok untuk menjaga sikapnya. “Semakin cepet lo keluar, kayaknya OBVIOUS bisa lebih cepet baliknya.”

“Kalo masalah lagu, ada Kak Seungwoo,” lanjut si lelaki Kim. “Nggak perlu lah semua serba dimonopoli sama lo.”

“Wooseok.” “Udah. Cukup.” “Gue nggak mau kita yang lagi jatoh malah semakin dibikin rapuh dari dalem. Diem.”

Seungwoo sudah memanggil kata pengganti gue dan itu berarti dirinya sedang tidak boleh dibantah. Sontak, Wooseok langsung terdiam dan kembali hanya menusuk-nusukkan sumpit ke mie. Sama sekali tidak terlihat memiliki keinginan untuk menyantap makanannya.

Seungyoun mengangkat bahu, sebelum akhirnya bangkit dari posisi duduk dan berujar ringan. “Tenang aja. Sebentar lagi bakal kejadian, kok.”

“Tenang aja.” “Sebentar lagi gue bakal pergi, dan keinginan kalian bakal tercapai.”

Tepat setelah mengatakan kalimat itu, Seungyoun beranjak melangkah ke luar ruang latihan; meninggalkan ketiga rekan grupnya yang masih diam di tempat.

“Mau kemana, Youn?”, tanya Jinhyuk, sedikit berteriak.

“Toilet,” jawab si lelaki Cho sampai akhirnya sosok jangkungnya hilang di balik pintu ruang latihan.

Sepeninggal Seungyoun, Seungwoo segera menaruh mangkuk jjajangmyeonnya dan menatap Wooseok tajam-tajam. “Wooseok.”

Wooseok mengangkat kepalanya, balik menatap Seungwoo dengan jengah. “Kak. Ayolah. Jangan marahin aku cuma karena hal ini. Kakak pantes dibela. Kita nggak bisa bertahan kalau terus-terusan dimonopoli sama Seungyoun.”

“Kak Seungwoo bisa ciptain lagu. Suaranya bagus, dancenya juga keren. Byungchan? Dia nggak cuma sekedar visual. Dia punya kemampuan dance yang lumayan. Jinhyuk? Kak, ayolah. Jangan bohong. Kakak juga sebenernya setuju, kan, bahwa sebenernya Jinhyuk pantes dapet yang lebih selain cuma satu-dua line dan dia juga berhak berdiri di depan? Selama ini Jinhyuk berdiri di belakang terus, Kak.”

“Gue tinggi, makanya ditaro di belakang.” Bodohnya, Jinhyuk malah seperti tidak paham situasi dan malah berujar demikian dengan wajah tanpa dosa. “Iya, kaㅡAWWWWW! KENAPA DITABOK, SIH?”

“Diem, lo.” Wooseok berujar ketus setelah mendaratkan pukulan di punggung kepala Jinhyuk. “Kak Seungwoo, aku serius.”

“Aku bukannya nggak suka Seungyouㅡ eh, emang beneran nggak suka, deh.”

“Cuma aku pengen kita bisa lepas dari monopoli dia, Kak. Makanya aku ngomong ketus begitu biar dia sadar bahwa sebenernya kita keberatan dengan cara dia bertingkah.”

“Wooseok,” jawab Seungwoo setelah Wooseok menyelesaikan kalimatnya. “Ini bukan salah Seungyoun. Dia juga nggak punya pilihan apapun selain ngikutin kemauan CEO-nim, kan? Kalau mau marah atau protes, semestinya ke CEO-niㅡ”

“KAK!!!” “JANGAN TERLALU BAIK BEGINI!!!” “BIKIN MUAK, TAU, KAK!!!”

Seungwoo dan Jinhyuk sedikit tersentak ketika tiba-tiba Wooseok berteriak kencang. Bahkan jjajangmyeon yang ada di mangkuknya kini sudah tumpah berantakan ke lantai ruang latihan. “Kak, kakak tuh leader. Jangan lembek begini! Kami sebagai anggota mesti gimana kalau kakak sendiri nggak bisa bertindak dan cuma iya-iya aja?!”

“Wooseok, hei..”, Jinhyuk meraih lengan Wooseok kemudian mengusapinya pelan. Berharap dapat memberi ketenangan walau sedikit saja. “..itu kak Seungwoo, lho. Jangan diteriakin begiㅡ EH. WOOSEOK! MAU KE MANA? HEI!”

Wooseok pergi meninggalkan tempatnya dengan langkah cepat. Jinhyuk segera berlari menyusul Wooseok dengan tergesa, “Kak, aku nyusul Wooseok dulu. Bentar, Kak! WOOSEOK! WOY! HEII!”

Suara pintu tertutup, lalu detik setelahnya semua tiba-tiba hening. Seungwoo masih ada di ruang latihan. Pusing dengan pikirannya sendiri. Ia hanya berusaha bertindak netral agar tidak menyakiti pihak manapun, namun kenapa semua tindakannya seakan salah?

katalk! katalk!

Di tengah kekalutannya, tiba-tiba suara notifikasi kakaotalk terdengar nyaring dari arah kirinya. Dari tempat Seungyoun duduk, layar ponselnya berkerlap-kerlip. Ada dua ponsel (Seungyoun memang memiliki dua ponsel, sepengetahuan Seungwoo) namun hanya salah satu yang berkerlip layarnya; adalah ponsel yang sedari tadi memang terus-terusan dipegang oleh Seungyoun.

Awalnya, Seungwoo tidak mau peduli. Ia tidak suka mencampuri urusan dan privasi orang lain. Namun, nama seseorang yang muncul di layar ponsel Seungyoun membuat Seungwoo seakan tidak mempercayai pandangannya.

Nama itu...

365247

“Kamu baru pulang, lho. Nggak mau makan dulu, Kak?”

Byungchan, lelaki bertubuh jangkung yang tengah berdiri menghadap kitchen rack berisi kumpulan makanan ringan, sekarang sedikit memiringkan lehernya ke kanan. Bukan tanpa alasan jika ia bertindak demikian.

Si kekasih, Seungwoo, sekarang sedang memeluk dirinya dari belakang dan mengecupi lehernya berkali-kali dengan seduktif. Bahkan sesekali memberikan gigitan dan kuluman kecil pada bekas kemerahan yang muncul setelah ia mendaratkan kecupan di leher Byungchan.

Sementara si yang menjadi objek kecupan kini sedikit merapatkan pahanya. Tidak bisa menahan sensasi penuh kenikmatan yang didapat, walaupun baru hanya bibir si kekasih yang mewarnai kanvas putih di tubuhnya. “K-kak, jangan sekarang,” bisik Byungchan pelan; sebisa mungkin mencoba agar suaranya tidak terdengar seperti sedang melenguh.

Bukan apa-apa. Lelakinya ini baru saja pulang dari aktivitasnya yang padat. Setidaknya, beristirahat sejenak pasti lebih dibutuhkan oleh Seungwoo dibanding melampiaskan hasrat seksual mereka, bukan?

Seungwoo tidak menghentikan kulumannya, malah sekarang si lelaki Han beralih mengulum daun telinga Byungchan dengan sama seduktif seperti sebelumnya. “Kenapa nggak boleh sekarang?”, tanya Seungwoo dengan suara sangat pelan, yang malah seakan-akan membuat bulu kuduk Byungchan berdiri; bukan, ini bukan perasaan takut atau apa. Entah, rasanya ada perasaan lain yang menelusup masuk ke diri Byungchan setiap kali Seungwoo berbisik tepat di telinganya. “Hm? Kenapa, sayang?”

Byungchan menggigiti bibir bawahnya. Tangan si lelaki yang lebih muda kini menggenggami tangan Seungwoo yang bergerak menuruni perut ke arah kejantanannya. Sebisa mungkin, Byungchan masih berusaha agar Seungwoo mendapatkan waktu istirahat yang lebih. Itu tekadnya sekarang.

“Kak...”, tangan Byungchan yang sedang menggenggam tangan Seungwoo kini diarahkan naik ke atas; sebuah cara agar Seungwoo tidak menjadikan kejantanan si yang lebih muda sebagai objek permainannya. “...makan dulu, ya? Habis makan, mandi, terus tidur.”

Byungchan bertindak munafik. Biarpun sekarang bibirnya meminta Seungwoo untuk beristirahat, ia tidak dapat membohongi diri sendiri. Rasa sesak di celana pendek yang ia kenakan seperti menyiksa. Belum lagi telinganya yang pasti sudah memerah karena kuluman Seungwoo barusan, sudahlah cukup untuk dijadikan bukti bahwa sebenarnya ia juga menginginkan hal yang sama.

Bercinta, sampai gila. Bercumbu, sampai mampus.

“Kamu capek, lho.” “Istirahat, ya?”

Namun bibirnya berujar lain. Alih-alih menyambut baik ajakan dari Seungwoo, Byungchan malah menyarankan untuk tidur. Dalam hati, Byungchan mengutuki dirinya sendiri.

Beberapa hari ini, Seungwoo sibuk dengan dunia kerjanya. Bahkan beberapa hari ini, Seungwoo tidak mengabarinya lewat pesan atau telefon. Hingga akhirnya sebuah pesan dikirimkan dari si yang lebih tua, dengan hanya berisi satu kalimat : aku tunggu di apartemen.

Sudah. Tidak ada kalimat tambahan apapun. Byungchan yang menganggap bahwa si kekasih hanya ingin menghabiskan waktu dengan obrolan ringan bahkan menyempatkan diri membeli kudapan untuk disantap bersama. Namun sekarang, kudapan yang dibeli Byungchan hanya terhidang di mangkuk tanpa terlihat adanya kemungkinan untuk disantap.

Kenapa, tanyamu?

Karena sekarang Seungwoo seperti tidak memiliki keinginan untuk menyantap kudapan yang dibeli oleh Byungchan. Karena sekarang, sepertinya Seungwoo memiliki tujuan lain yang bersebrangan dengan ide yang diusulkan Byungchan.

“Ini, aku mau makan.”

Seungwoo melepaskan tangannya dari genggaman Byungchan dengan agak sedikit kasar dan beralih meraih dagu si yang lebih muda; masih dengan posisinya yang memeluk dari belakang. “Makan kamu.”

Raihan tangan Seungwoo di dagu Byungchan kini diperkuat, sehingga membuat Byungchan sedikit mengerang karena rahangnya terasa agak sakit. “K-kak...”

“Hm?” “Nyuruh aku mandi, sayang?” “Aku mau mandi.”

Sebelah tangan Seungwoo yang bebas, kini menelusup ke dalam kaus yang dikenakan Byungchan. Mengusapi perut si kekasih dan perlahan naik hingga usapan dari Seungwoo kini berubah menjadi pilinan di puting Byungchan. “Mandi keringet, abis ngewe sama kamu.”

Byungchan merasa nafasnya sesak bukan main. Lenguhannya lolos tanpa bisa dilawan. Kakinya terasa lemas, ia butuh sokongan agar tidak terjatuh dan bodohnya Byungchan malah memundurkan tubuhnya sehingga kini jarak antara ia dan Seungwoo menjadi tiada. Habis.

Keras. Milik Seungwoo terasa sudah mengeras. Padahal si lelaki Han masih mengenakan kenaan kerjanya yang lengkap, namun Byungchan dapat merasakan itu ketika bokongnya bersentuhan dengan tubuh bagian bawah Seungwoo.

Gila. Akan sebagaimana jadinya jika celana Seungwoo sudah dilepaskan, coba? Akan seberapa tegang dan besarnya kejantanan lelaki itu jika sudah tidak dikungkung oleh celananya, coba?

“A-ahhnn..”

Punggung Byungchan sedikit melengkung ke depan ketika kini bibir Seungwoo kembali mengecupi lehernya. Bayangkan, puting yang sedang dipilin, dagu yang dicengkeram dengan kuat, lalu leher yang tengah dikecup dan dikulumi dengan lihai. Byungchan bingung harus fokus akan kenikmatan yang mana.

Semua tindak dari Han Seungwoo terlalu memabukkan, sungguh.

“Nyuruh aku istirahat?” “Hm?”

Di tengah kecupan, Seungwoo kembali berbisik tepat di telinga Byungchan. Lagi, Byungchan merasa merinding.

“Iya. Nanti istirahat.” “Kontol aku, istirahat.” “Di dalem kamu.”

Seakan tidak menganggap ucapannya sudah hampir membuat Byungchan kehabisan nafas, Seungwoo melanjutkan kalimatnya hampir tanpa jeda. “Tadi aku ke karaoke sama temen-temen sekantorku.”

“Sayangku tau sesuatu?”

Masih, Seungwoo masih menggerakkan jemari lentiknya di puting Byungchan. Namun kini sebelah tangannya yang lain menuntun Byungchan agar membalikkan tubuh sehingga kini mereka berdua sudah saling berdiri berhadapan. “Di tempat karaoke, temen-temenku pada nyewa cewek.”

“Terus pada ngewe.” “Bego emang, pada mau-maunya ngewe sama cewek sewaan yang sering dipake sama orang lain.”

Kedua tangan Seungwoo kini bergerak menurunkan celana pendek yang dikenakan Byungchan secara perlahan. Tidak banyak, hanya hingga kejantanan si yang lebih muda dapat dikeluarkan dari kungkungan dan digenggam oleh tangan si lelaki Han. “Sayangku tau? Ada lonte yang sehabis ngewe sama temenku, langsung nyamperin aku. Telanjang bulat.”

“Padahal aku cuma diem di sofa. Ngerokok. Tapi si lonte bego itu langsung nyamperin aku dan buka kancing celanaku.”

“Katanya, mau nyepong kontol. Katanya, kontol aku pasti lebih enak. Katanya, mau dikontolin sama aku sampe bego.”

Byungchan tidak dapat memilah perasaannya saat ini. Sebelah hati, ia ingin marah. Bagaimana tidak? Barusan saja lelakinya mengakui bahwa ia baru saja melakukan kontak intim dengan orang lain. Orang gila mana yang tidak akan marah, coba? Namun sebelah hatinya yang lain ingin bertindak tidak peduli. Apa yang harus dipedulikan jika sekarang kejantanannya tengah dipijat dengan penuh kenikmatan begini, sih?

“Hh-nnn..” “Kakk..”

“Aku biarin dia buka celanaku.” Ujaran Seungwoo barusan membuat Byungchan terhenyak. “Aku biarin dia nyepongin aku.”

Kaki Byungchan semakin lemas, namun kali ini alasannya bukan hanya karena kenikmatan yang diberi oleh Seungwoo. Byungchan tidak menyangka lelakinya akan sejujur ini. “Tapiㅡ”

“ㅡdia lonte payah.” “Nyepongin lama, tapi nggak bisa bikin aku tegang. Kasih aku tit fuck, juga.”

Setiap ucapan dari kalimat Seungwoo tidak terdengar seperti tengah membujuk Byungchan agar mendapatkan maaf atau semacamnya. Seungwoo mengucapkannya dengan nada suara datar dan tubuh yang seiring beranjak turun hingga akhirnya berjongkok tepat di depan kejantanan Byungchan yang sudah tegang sempurna.

Lidah Seungwoo terjulur dan memberi jilatan kecil di kepala kejantanan Byungchan, sebelum akhirnya Seungwoo mulai memasukkan milik si kekasih ke dalam mulutnya. Memberi blowjob yang membuat Byungchan tidak bisa melakukan apa-apa selain bersandar sepenuhnya ke kitchen rack di apartemen Seungwoo; tidak ingin terjatuh karena kakinya sudah benar-benar lemas.

“Ahhk—khh..” “K-kak, lepa-..”

Mana bisa Byungchan mengutamakan egonya yang ingin melampiaskan kesal kepada Seungwoo jika kini si lelaki Han tengah memanjakan miliknya dengan teramat andal? Mulut Seungwoo seakan memijat kejantanan Byungchan dan menghimpitnya dengan ketat. Belum lagi terkadang Seungwoo melesakkan milik Byungchan hingga mencapai tenggorokannya; deep throat.

Gila. Bangsat. Han Seungwoo, brengsek.

“Hmmhh?” “Henakk, hayanng?” ( Enak, sayang? )

Tubuh Byungchan gemetar hebat ketika Seungwoo berujar barusan. Getaran dari suaranya membuat sensasi getar yang terlampau memabukkan untuk si lelaki Choi. “K-kaak.. mau kelua-aahnng..”

Entah sejauh mana Seungwoo ingin memanjakan Byungchan (atau malah ingin menyiksa? entahlah), kini si yang lebih tua mengeluarkan kejantanan Byungchan dari mulutnya dan ganti memberi kenikmatan dengan tangannya. Handjob. “Keluarin aja, sayang.”

“Keluarin pejuhnya.” “Keluarin, buat aku.”

Tangan Seungwoo yang bergerak cepat. Seungwoo yang berada di bawahnya dan menengadahkan kepala agar dapat bertatapan dengan Byungchan. Seungwoo yang kini di bibirnya mengalir cairan kenikmatan dari kejantanan Byungchan.

Semua kenikmatan yang didapat, ditambah semua pemandangan indah yang dilihat membuat Byungchan tidak kuat mempertahankan diri. Tidak perlu waktu lama hingga akhirnya Byungchan melakukan pelepasannya dan membuat wajah dan kemeja kerja Seungwoo berlumur cairan kenikmatan milik si kekasih.

“Hhhㅡ hhh..”

Nafas Byungchan tersengal. Ia kesulitan mempertahankan posisi berdirinya sehingga tubuh si lelaki Choi kini merosot jatuh ke lantai, terduduk lunglai.

Sementara Seungwoo hanya tersenyum tipis dan menyeka cairan kenikmatan Byungchan dengan jemarinya. Hasilnya, sekarang jemari si lelaki yang lebih tua malah berlumur cairan pelepasan Byungchan. “Enak, udah keluar?”, tanya Seungwoo seraya menatapi Byungchan yang kini terduduk; tingginya sudah sejajar dengan Seungwoo yang tengah berjongkok.

Byungchan menolak untuk menatap balik Seungwoo. Pandangannya dialihkan, bibirnya sedikit mengerucut. “Nggak,” jawab Byungchan ketus. “Nggak enak.”

Seungwoo terkekeh. Sudah bisa menebak bahwa kekasihnya akan memberi jawaban demikian. “Ceweknya nangis, sayang. Katanya aku payah karena nggak bisa ereksi padahal aku udah diperlakuin gila-gilaan sama dia.”

“Gimana aku bisa ereksi sama lonte pasar, coba?”, tanya Seungwoo seraya mempertipis jarak antara wajahnya dan wajah Byungchan. “Sementara aku udah punya lonte sendiri. Yang cuma bisa dipake sama aku. Yang cuma bisa dikontolin sama aku.”

Kamu.

Ucapan Seungwoo terdengar manis, namun tatapan dan senyuman sinis yang diberi dari si lelaki Han membuat Byungchan merasakan sesuatu bergejolak dari dalam dirinya.

Ingin, diperlakukan rendahan lebih daripada ini. Ingin, disebut dengan panggilan hina lebih daripada ini.

Byungchan belum puas.

Ingin, lebih. Ingin, lagi.

Tanpa aba-aba apapun, Byungchan meraih ujung dasi yang melingkar di kemeja Seungwoo dan menariknya mendekat. Byungchan melumat bibir Seungwoo dengan liar, seperti tidak ingin membagi segala hal tentang kekasihnya kepada siapapum. Sementara itu, si lelaki Han seperti sudah menunggu kesempatan ini. Ketika lidah Byungchan menelusup masuk ke dalam ruang mulutnya, Seungwoo memberi akses penuh. Mulutnya dibuka, lidahnya dijulurkan; memberi kesempatan bagi Byungchan untuk melakukan apa yang diinginkan.

Posisi Byungchan yang semula terduduk menyandar di kitchen rack, berganti terbaring di atas lantai. Tanpa alas apapun. Namun tidak masalah, kenikmatan yang diberi Seungwoo sudah lebih dari cukup untuk meniadakan kenyamanan berupa kasur empuk dan lainnya.

Puas dengan pergumulan lidah, Seungwoo melepas pagutan mereka dan melepaskan kaus serta celana pendek yang dikenakan Byungchan sehingga kini lelakinya sudah terbaring tanpa sehelai benangpun yang membaluti. Sementara ia sendiri masih mengenakan pakaian kerja lengkap.

“Buka, Kak..” “Buka bajunya..”

Seungwoo terkekeh. “Sabar, sayang,” ujar Seungwoo seraya melonggarkan ikatan dasi merah di kerah leher kemejanya. “Udah nggak sabar mau dikontolin, hm?”

Byungchan mengangguk cepat, tidak terlihat malu-malu. “Mau, sayang...mau dikontolin sama kontol gedenya pacar aku,” sekarang si lelaki Choi malah sedang memanjakan miliknya sendiri sementara sebelah tangannya yang lain tengah memilin putingnya sendiri pula. Saking frustasi karena Seungwoo tidak kunjung membuka kemeja dan kenaan bawahnya. “Kaaak..”

“Ayo, ngewe..” “Aku nggak tahannn—”

Dasi merah di tangan Seungwoo terlihat sangat serasi dengan kulit putih si lelaki Han. Byungchan kira, Seungwoo akan melemparkan dasi merahnya lalu segera membuka kemeja. Namun, si kekasih malah tetap memegangi dasinya dan beranjak menuntun Byungchan untuk kembali terduduk.

Byungchan menelan air liurnya dengan sedikit takut-takut. “Kak?”, tanya Byungchan, sedikit mencicit. “Mau...apa?”

“Main, sayang.” “Kita main, sambil ngewe.”

Ujaran Seungwoo dibarengi dengan tangan yang membentangkan dasinya tepat di hadapan Byungchan dan membuat si yang lebih muda merasakan darahnya berdesir lebih cepat. Terlampau cepat, malahan.

Han Seungwoo, kekasihnya, terlihat sangat mempesona di mata Byungchan dengan tampilan pakaian kerjanya sekarang.

Seakan tidak tahu bahwa ada yang tengah terpesona dengan dirinya, Seungwoo kini beranjak melingkarkan dasinya di sekeliling kepala Byungchan; menutupi pandangan si lelaki Choi sepenuhnya.

Memukau.

Baru sekarang Seungwoo melihat Byungchan dalam tampilan begini. Tanpa busana dan hanya berhiaskan dasi merah di kepalanya. Indah. Perpaduan kulitnya yang putih, rambutnya yang hitam legam, dan warna merah dari dasinya membuat sosok Byungchan terlihat sangat memukau.

“Cantik banget, kamu.” “Indah banget, sayang.”

Seungwoo mengusapi pipi Byungchan dengan lembut, sebelum akhirnya memasukkan dua jemarinya ke dalam mulut Byungchan. Meminta si kekasih untuk menghisapnya seakan jarinya itu adalah kejantanannya. “Jarinya enak?”

Di tengah kegiatan mengulum jemari Seungwoo dengan liar, Byungchan mengangguk agak kencang. “Enak, Kakk..”

”..tapi enakan kontol Kakak..” “Enakan kontol pacarku yang gede..”

Byungchan masih terduduk di lantai dapur dengan matanya yang tertutupi dasi, juga Seungwoo yang masih berjongkok di hadapan si lelaki Choi. “Sabar, sayang,” ujar Seungwoo tenang. Setelahnya terdengar suara benda pecah belah yang beradu; pelan, namun terdengar berkali-kali hingga membuat Byungchan kebingungan.

Sekarang, ada suara pintu kulkas yang dibuka. Hawa dingin dari dalam kulkas membuat bulu kuduk Byungchan berdiri untuk sekilas, kedinginan karena ia tidak mengenakan sehelai benangpun.

Sekeliling Byungchan gelap. Matanya yang ditutupi oleh dasi membuatnya tidak dapat mengetahui apa yang tengah Seungwoo lakukan atau ekspresi apa yang tengah terulas di wajah si kekasih saat ini.

Semua, gelap.

“Kak..” “Gelap..”

Byungchan sedikit merengek, karena sesungguhnya ia pun takut akan suasana gelap. “Shh- shhh- sayang, shhh-”, mungkin hanya berkisar jeda dua detik setelah Byungchan merengek, Seungwoo sudah kembali bersuara. Suara Seungwoo semakin terdengar mendekat, begitupun dengan denting barang pecah belah yang seperti diletakkan tidak jauh dari tempat Byungchan duduk sekarang. “Shh- aku di sini, jangan takut.”

Tanpa meminta persetujuan, Byungchan memeluk Seungwoo. Erat. “Kak.. aku takut..”

“Gelap..”

Memang, ada sensasi asing yang membuat Byungchan senang ketika Seungwoo mengajaknya bercumbu dengan cara begini. Namun, Byungchan juga takut dengan kegelapan di sekelilingnya. Byungchan ingin melihat Seungwoo. Byungchan ingin memandangi wajah kekasihnya.

Seungwoo tidak menjawab apapun, namun kini bibirnya memagut bibir Byungchan dengan sedikit memaksa. Byungchan, dengan matanya yang tertutup, hanya bisa menerima lumatan dari bibir Seungwoo dengan clueless.

Jika saja matanya terbuka dan dasi ini tidak menutupi pandangannya, Byungchan dapat mengira-ngira tindak apa yang mungkin akan dilakukan Seungwoo. Ketika Seungwoo bergerak ke arah bawah, Byungchan dapat mempersiapkan kenjantanannya untuk menerima serangan kenikmatan. Ketika Seungwoo beranjak ke atas, Byungchan bisa mengecupi wajah kekasihnya dengan sesuka hati.

Namun sekarang, Byungchan tidak tahu apa-apa.

Ketika Seungwoo melumat bibirnya, Byungchan tidak tahu harus menggerakkan kepalanya ke mana. Byungchan tidak bisa mengira, Byungchan tidak bisa menebak. Maka yang bisa ia lakukan hanya balas memberi lumat dengan kepala yang tegak, sesekali hanya menjulurkan lidah agar Seungwoo yang dapat melakukan tindak kesukaannya; mengulum lidah Byungchan.

“H-hhntt—” “Kak.. Kakk..”

Di tengah lumatan dari bibir Seungwoo di mulutnya, tiba-tiba Byungchan merasakan sensasi dingin di putingnya. Ada benda asing yang digerakkan di putingnya dengan gerak memutar, membuat Byungchan memundurkan kepalanya dan sedikit melengkungkan punggung. Menahan nikmat yang sulit dijelaskan bagaimana rasanya. “..dingin, Kaak—”

Seungwoo tidak memberi jawaban apapun. Si yang lebih tua hanya menuntun tubuh Byungchan agar kembali berbaring di lantai.

Dengan posisi berbaring, Byungchan malah semakin merasa terangsang karena kini ia bisa menghirup harum parfum Seungwoo secara dekat. Byungchan tebak, lelakinya itu sekarang sedang duduk di sampingnya dengan ekspresi sinis. Senang melihat Byungchan takluk di dalam permainannya kali ini. “Dingin?”, tanya Seungwoo dan dibalas dengan anggukan Byungchan.

Byungchan menggigiti bibir bawahnya, menahan lenguh. “Ngilu, Kak. Putingnya, dingiㅡhhnnmh..”

Tiba-tiba, bibir Byungchan dibungkam dengan ciuman dari Seungwoo dan sesuatu yang kini ikut memasuki mulutnya. Sama, dingin. Es batu.

Benda dingin itu ikut bergulir di dalam mulut Seungwoo dan Byungchan ketika mereka saling memagut. Biasanya hanya suara decak yang terdengar kala mereka saling bertukar saliva, namun kini suara detuk es batu di dalam mulut mereka ikut terdengar.

Bibir Byungchan sudah berantakan. Tidak hanya saliva yang kini mengalir dari sisi mulutnya, air yang mencair dari es batu di dalam mulut mereka pun ikut tumpah.

Mungkin es batu dalam mulut Byungchan hanya tinggal tersisa sedikit dan kecil, sebelum akhirnya Seungwoo melepaskan ciuman mereka. “Habisin es batunya, sayang.”

Diperhatikan lagi olehnya sosok Byungchan yang terbaring tanpa busana, kali ini dengan es batu di dalam mulut. Terdapat jeda berupa keheningan diantara mereka berdua, hanya diselingi suara kuluman es batu dari Byungchan dan nafas Seungwoo yang sedikit...memburu.

“Lo berantakan banget, anjing.”

Hampir. Hampir saja Byungchan tersedak es batu di dalam mulutnya ketika mendengar Seungwoo memanggilnya dengan panggilan itu. Lo.

Seungwoo tidak pernah memanggilnya dengan panggilan itu secara sembarangan. Byungchan tahu, Seungwoo menyayanginya dan ingin menghargai sosok satu sama lain. Ketika Seungwoo sudah memanggilnya dengan panggilan itu, berarti ada sesuatu yang tidak bisa Seungwoo tahan lagi : hasrat seksnya.

Es batu yang semula dikulum dalam mulutnya, kini sengaja hanya Byungchan gigit dan disembulkan sedikit ke permukaan mulut. Seakan ingin menunjukkan kepada Seungwoo bahwa ia tidak melakukan sesuatu sebagaimana mestinya. Bahwa ia patut untuk dihukum.

“Kenapa nggak diabisin?”

Byungchan menggeleng. Diantara giginya, Byungchan masih menyelipkan es batu. Si lelaki Choi tidak tahu ekspresi apa yang tengah dibuat oleh Seungwoo, mungkin...tersenyum sinis? Atau malah tengah menatapinya dengan tatapan tajam tidak suka?

“Tsch.” “Jadi lonte gue sekarang mulai berani ngelawan, hm?”

Sumpah. Dengan mata yang tertutup seperti sekarang Byungchan malah bisa membayangkan seperti apa sosok Seungwoo yang ingin dia lihat.

Byungchan membayangkan tengah melihat Seungwoo yang tersenyum sinis kepadanya. Dengan kemeja kerja yang kancingnya terbuka dua, dengan tato di dada kanannya yang menyembul malu-malu, Byungchan membayangkan itu semua dan sialnya semua itu malah membuat fantasinya meninggi.

“Ahhkk—”

Spontan, es batu yang semula digigit oleh Byungchan di giginya tiba-tiba terlepas begitu saja ketika ia merasakan ada cairan yang dituangkan ke atas perutnya. “Kak.. yang barusan dituang— apa?”

“Tebak.”

Baru saja Seungwoo menyelesaikan kalimatnya, Byungchan segera dapat merasakan lidah si kekasih bermain-main di tempat dimana cairan tadi dituangkan. Di atas perut, sekitar dada.

Byungchan melengkungkan punggungnya ke atas, saking merasakan geli dan tidak sabar karena Seungwoo sekarang memberi kecup dan jilatan secara lembut di areal dadanya. Seakan ingin membersihkan cairan yang ada di atas tubuh Byungchan, padahal dia sendiri yang menuangkannya.

“Hnhh— say-annggh..” “..udah, sayang..” “Mau dikontolin, Kak..” “Udah..”

Entah tengah memohon, entah tengah memaksa. Yang pasti, tanpa melihat pun Byungchan tahu kejantanannya pasti sudah ereksi maksimal. Entah bagaimana dengan milik Seungwoo.

“Payah,” ujar Seungwoo di tengah kecupan dan jilatannya di dada Byungchan. “Baru gue jilatin begini aja udah mau keluar.”

Byungchan merutuk dalam hati. Masalahnya, Seungwoo bisa dikatakan tidak pernah melakukan semuanya dengan siklus perlahan begini. Biasanya Seungwoo meminta dengan cara sedikit memaksa, itupun langsung ke permainan inti. Tidak pernah Seungwoo membuang waktu dengan menuang cairan apalah itu ke tubuh Byungchan terlebih dulu.

“Kakk..”

Byungchan mengulurkan tangannya ke udara hampa, ingin meraih sosok Seungwoo yang tidak terlihat olehnya. “Mau jilatin kontol Kakak.. nggak tahan, Kak..”

Tangan Byungchan yang terjulur sempat dianggurkan selama beberapa detik, sebelum akhirnya diraih dan ditarik oleh Seungwoo sehingga kini Byungchan kembali terduduk. “Byungchan.”

Suara panggilan dari Seungwoo barusan segera membuat Byungchan meneguk air liur, gugup. “Ya, K-”

Barusan saja, Seungwoo kembali mencium Byungchan dalam-dalam. Namun, alih-alih es batu yang sekarang bisa Byungchan rasakan dari mulut Seungwoo adalah rasa coklat yang agak pahit.

Persetan.

Memangnya kenapa kalau pahit? Tetap saja ini bibir Seungwoo, lelakinya yang paling ia gilai. Setelah dimabuk dengan permainan lidah si lelaki Han, Byungchan tidak lagi bisa fokus dengan rasa pahit di mulutnya.

Semua terfokus hanya pada satu hal : bagaimana caranya menikmati ciuman Seungwoo dengan lebih lama, lebih nikmat, lebih memabukkan lagi?

“Coklat..”

“Kamu bisa nggak, setiap kali mau ngapa-ngapain tuh bilang dulu ke aku, Kak?”

Byungchan berujar dengan nada sedikit gemas. Bagaimana tidak? Seungwoo kini ada di Jeonju, kampung halaman Byungchan, dengan hanya mengenakan kaus t-shirt berlapis jaket adidas hitam serta celana trainingnya yang kebesaran.

Tanpa mengabari apapun, si lelaki Han itu datang ke apartemen kediaman keluarga Byungchan secara tiba-tiba dan membuat si yang lebih muda tidak habis pikir. Seoul ke Jeonju itu lumayan jauh, padahal. Lalu, atas pemikiran apa Seungwoo memberanikan diri untuk menyetir mobil sendiri tanpa ditemani manager, cobㅡ

“Kangen.” “Sebelum aku sempet angkat handphone buat telfon atau kirim kakaotalk ke kamu, aku udah keburu kangen.” “Gimana, dong?”

Oke. Sebelum Byungchan sempat menanyakan alasan kedatangan Seungwoo, si lawan bicara sudah menjelaskan tanpa diminta. Secara gamblang, pula. Tanpa basa-basi sama sekali.

Tidak ingin terlihat terlalu kegirangan, Byungchan agak menundukkan kepala seraya mengusak-usak rambutnya sendiri. Berusaha menyembunyikan senyum. Walau sebenarnya tidak perlu juga, sih. Toh' mereka berdua sekarang mengenakan masker hitam yang hampir menutupi lebih dari separuh wajah, untuk mengetahui bahwa keduanya adalah idol Han Seungwoo dan Choi Byungchan tidaklah semudah itu.

“Arrgh! Kamu tuh, ya, bisa nggak apa-apanya dipikir dulu? Kamu ke sini sendirian, nggak sama managerㅡ nyupir, pula. Kalau pas pulangnya nanti kamu ngantuk, gimana coba?”

Seungwoo memasukkan kedua tangan ke dalam saku jaketnya sendiri kemudian mengangkat bahu dengan ringan. “Kalau ngantuk, ya...tidur? Ada gunanya pemerintah bikin rest-area, 'kan?”

Byungchan berdecak, gemas. “Maksud aku bukan gitu. Point omonganku tuh' lebih ke aku yang nggak mau liat kamu kecapeaㅡ”

Ucapan Byungchan terhenti karena kini Seungwoo sudah melangkah mendekati Byungchan dan setelahnya segera meletakkan dahinya di pundak kanan si lelaki Choi. “Udah.”

“Aku nggak apa-apa.” “Semua capek yang aku rasain langsung hilang sehabis liat kamu kayak sekarang,” ujar Seungwoo dengan dahi yang masih bersandar di pundak Byungchan. Tinggi mereka berdua hanya terpaut beberapa sentimeter sehingga tidak sulit bagi Seungwoo untuk menyamakan tinggi dengan Byungchan. “Byungchan.”

Panggilan Seungwoo barusan membuyarkan segala degup di jantung Byungchan yang berdetak lebih cepat dari biasanya. Membuat sesak, namun memberi kehangatan yang tiada tara. “Ya, Kak?”, jawab Byungchan.

“Kangen.” “Kangen banget.” “Aku nggak tau segila apa aku karena nekat jalan dari Seoul ke Jeonju naik mobil tanpa bilang-bilang ke siapapㅡ”

“KAMU NGGAK BILANG?” “KE SIAPAPUN?” “KE KAK SEUNGSIK?” “KE MANAGER?” “HAH?”

Semua perasaan dan nuansa romantis yang semula tercipta segera hancur berantakan karena sekarang Byungchan bergerak mundur dan membentak Seungwoo dengan suara agak keras. “Kak! Kamu tuh, ya! Kalau misalnya kamu tabrakan pas ke sini terus kamu mental keluar dari mobil, mendarat di hutan belantara, kamu kejebak selamanya di hutan, terus kamu nggak bilang ke siapa-siapa bahwa kamu ke Jeonju, bisa-bisa kamu dikira mati gara-gara CORONA, coba!!!”

Byungchan berujar dengan penuh keseriusan. Bahkan wajahnya sudah agak memerah karena kalimatnya barusan diujarkan dengan cepat dan lantang. Namun berbeda dengan Seungwoo, yang malah tertawa kecil ketika melihat tindak Byungchan saat ini.

“Kenapa ketawa?!” “Aku marah, lho, ini!”

“Pft.” “Coba kamu jadi aku, deh.” “Sehari aja.” “Nggak usah sehari deh, lima menit juga nggak apa-apa.”

“Buat apaan?”

“Aku mau kamu bisa ngerasain dan tau sendiri segimana manisnya sosok kamu di mata aku. Aku mau kamu bisa liat sendiri segimana kamu keliatan ngegemesin banget padahal muka kamu ketutupan masker semua,” terang Seungwoo seraya mengulurkan tangannya dan mengusak rambut Byungchan dengan lembut. “Lima menit aja cukup buat paham segimana lucunya sosok kamu di mata aku.”

Byungchan mendengus seraya tertawa sinis. Bukan tawa sinis, sih. Namun tawa yang...bagaimana, ya? Seperti ingin mengejek?

“Makanya sampe cium-ciumin standeeku, ya? Saking kangennya?”

Seungwoo tersedak air liurnya sendiri. Tidak menyangka pembicaraan mengenai hal itu akan keluar, “seb—uhuk! Bentar! Uhuk! Uhuk! Kenapa liat adegan itu, coba?”

Byungchan kini tidak tertawa sinis, tawanya sudah berganti menjadi tawa jenaka. Tidak kuat melihat tingkah Seungwoo yang dianggapnya sangat menggemaskan. “Uuutuu, ada yang malu? Mana yang katanya kangen sama Byungchannie~~~? Mana yang kangen? Manaaa?”

Byungchan sedikit membungkukkan tubuhnya, sesekali ikut menggerakkan tubuh ke kiri dan kanan mengikuti Seungwoo yang kini tengah menghindari pandangan Byungchan. Malu, habisnya...digoda, sih.

“Jangan digodain begitu,” ujar Seungwoo, masih berupaya tenang dan tidak merajuk. Namun Byungchan tidak sepeka itu untuk memahami situasi dan malah semakin semangat bergerak ke sana kemari agar bisa bertatap pandang dengan Seungwoo yang masih berusaha menghindarinya. “Uri Tteungunni hyeongi, kangen banget sama Byungcㅡ”

Di tengah kalimatnya yang terujar, tiba-tiba Byungchan berhenti bergerak. Begitupun dengan bibirnya yang kini segera terkatup, diam.

Kenapa, tanyamu?

Karena Seungwoo kini meraih tangan kanan Byungchan dengan tangan kirinya. Erat, kuat-kuat namun tidak membuat Byungchan kesakitan.

Genggaman khas seorang Han Seungwoo, menurut Byungchan. Genggaman yang hanya bisa diberikan oleh Seungwoo, pikir Byungchan.

“Daripada buang waktu buat ngegodain aku...”, ujar Seungwoo seraya memasukkan tangan kanan Byungchan yang tengah digenggam olehnya ke dalam saku jaket adidas kenaannya. “...mending kita habisin waktu buat muter-muter sebentar.”

“Waktu aku dalam perjalanan ke sini, ada bunga sakura yang udah mulai mekar. Nggak jauh dari sini.”

Tangan Byungchan yang ada di saku jaket Seungwoo kini digenggam erat oleh si pemilik jaket, sesekali punggung tangan si yang lebih muda diusap perlahan. “Bersedia temenin aku jalan-jalan sebentar?”

“Mau, ya?”

Byungchan menatap Seungwoo. Lelakinya itu mengenakan masker yang menutupi hampir sebagian wajahnya, namun Byungchan seakan dapat melihat dengan jelas bagaimana sekarang bibir Seungwoo sedikit mengerucut. Seperti tidak sabar menunggu jawaban dari Byungchan, tidak sabar mendengar kalimat mengiyakan dari ajakannya barusan.

“Byungchan.” Melihat tidak ada respon dari si lawan bicara, Seungwoo memanggil dengan memberi sedikit penekanan di nada bicaranya. “Mau, ya? Temenin, sebentaㅡ”

“Boleh.” “Temenin sebentar.” “Temenin lama.” “Temenin selama-lamanya juga boleh,” ujar Byungchan seraya menggenggam balik tangan Seungwoo di dalam saku jaketnya dengan erat. “Boleh, selalu.”

Di balik masker yang dikenakan, Seungwoo tersenyum senang. Perjuangannya menempuh jarak dari Seoul ke Jeonju tidak sia-sia. Ia bisa menemukan semuanya yang terindah dalam sekali kesempatan.

Bunga yang bermekaran, juga bersama perpaduan dari murni keindahan Choi Byungchan.

* * * *

Epilog

“Kak.”

“Hm?”

“Kamu pegangin tangan aku terus di dalem jaket.”

“Terus?”

”...” “Kamu udah cuci tangan, belum?”

“Belum.” “Untung kamu ingetin.” “Aku belum cuci tangan.” “Padahal habis BAB di rest areㅡ LHA? LHA? BYUNGCHAN! WOY! KENAPA KABUR?! HEI! YA BUDDHA, CHOI BYUNGCHAN! BERCANDA! AKUUUUU UDAAAAH CUUCIII TANGAAAAN!!!!! JANGAN DITINGGALIN!!! JAUH-JAUH DARI SEOUL, NIHHHH!!!” 😭😭😭😭😭😭

END (dontlockhimup)

[ 2020, April ]

Bas.“ “Mainin piano, coba.

Hah?“ “Ngapain?

Ya, nggak apa-apa.“ “Kepengen aja dengerin.“ “Lo yang lagi main piano, keren.

Keren?“ “Beneran?

Dih. Ngapain lo angkat-angkat alis begitu? Jijik, nyet. Kayak om-om kurang belaian, anjir.

Lo nggak bisa bikin pacar seneng sedikit, apa? Jawab iya, kek. Kalo emang keren, ya bilang.

Iya, keren.“ “Tapi sedikit, kerennya.

Njing, baru mau senyam-senyum gue. Udah dijatohin lagi.

Buruan, mainin pianonya.“ “Lagu apa aja boleh.

Lagu apa aja boleh?

Baskara ingat dengan teramat jelas, lagu yang ia mainkan untuk Cakrawala pada saat itu adalah instrumen musik milik Yiruma yang berjudul River Flows In You.

Dari tempat duduk yang menghadap ke piano yang ada di apartemennya, Baskara sesekali melirik ke arah Cakrawala yang sudah berganti posisi duduk menjadi berbaring santai di atas sofa.

Bas.

Hm?

Kalau, ya..”, ujar Cakrawala seraya menjulurkan tangannya ke arah langit-langit ruang tamu apartemen milik Baskara kemudian membuat gerakan tidak beraturan. Seperti berusaha menggapai sesuatu yang tidak kasat mata. “..kalau aja antara lo atau gue, di antara kita berdua ada yang jadi cewek..

..seandainya begitu..“ “..semua bakal jadi lebih gampang, ya?

Jemari Baskara masih bergerak luwes di atas tuts piano, seakan menari dengan indah. Setiap nada dari instrumen lagu River Flows In You milik Yiruma seakan sudah melekat di dalam otak Baskara sehingga tanpa berusaha keras untuk mengingat pun, ia sudah biaa memainkan instrumen itu dengan fasih.

Apanya yang gampang?

Pertanyaan Baskara diujarkan tanpa menoleh sedikitpun ke arah Cakrawala. Si yang lebih tua tahu, jika ia menatap si kekasih yang tengah berbaring di sofa pastilah hatinya akan luluh. Pasti Baskara akan hancur lagi. Pasti Baskara akan menyesal lagi.

Menyesali apa, tanyamu?

Menyesali keputusannya dulu untuk mengiyakan permintaan Cakrawala : masing-masing dari mereka menikah dengan perempuan, lalu menikahkan anak mereka berdua demi mendapatkan cucu yang mirip dengan mereka.

Bodoh, pikir Baskara.

Semenjak awal, Baskara tahu bahwa semua tidak akan pernah berjalan lancar. Sebagaimanapun hebatnya mereka mencoba bersandiwara, tetap saja pada kenyataannya baik Baskara dan Cakrawala terlalu mencintai satu sama lain.

Pada akhirnya, mereka menikah dengan perempuan hanya untuk menutupi sesuatu yang mereka anggap sebagai aib. Tidak ada alasan yang lebih.

Ya, itu..“ “Kalau gue terlahir jadi cewek, gue nggak perlu khawatir lo bakal dicap jelek sama orang-orang karena udah suka sama gue.

Atau kalau lo terlahir sebagai cewek, gue nggak perlu ngerasa takut bikin nyokap gue jantungan karena tau anaknya gay.

Seandainya segampang itu.

Setiap ketukan tuts piano yang dimainkan Baskara semakin mendekati akhir dari lagu River Flows In You. Sementara itu juga, Cakrawala semakin merasakan pandangannya yang tengah menatapi langit-langit ruang tamu di apartemen Baskara semakin menjadi kosong.

Seperti terhanyut akan pikirannya sendiri, perihal seandainya.

Sementara itu, di depan piano, pikiran Baskara terasa penuh. Ia ingin mengatakan sesuatu yang sedari dulu ingin ia katakan.

Lupain soal nikah sama cewek. Lo sama gue juga bisa nikah! Nikah sama gue, bahagia sama gue tanpa harus pura-pura! Cak, buat gueㅡ nggak akan masalah kalau ada yang jelekin gue, ngejekin gue, selama ada lo, Cak!

Percuma. Semua, semu belaka.

Setiap kalimat yang ingin Baskara ujarkan lantang-lantang, kini ditelan kembali. Bulat-bulat, menjadi sebuah gundukan kesedihan yang tidak akan pernah bisa terlampiaskan.

Akhirnya hingga instrumen lagu yang dimainkan oleh Baskara berakhir, Baskara tidak memberikan jawaban apapun lagi. Tidak ada jawaban perihal seandainya yang dibayangkan oleh Cakrawala. Tidak ada pula kalimat yang merajuk untuk memohon Cakrawala menjadi miliknya secara utuh tanpa sandiwara apapun.

Akhirnya, semua menjadi sebuah kebisuan yang tidak bisa diungkap secara gamblang. Akhirnya, Baskara hanya bisa menarik nafas dalam-dalam sebelum akhirnya mengembuskan dalam satu hembusan. “Hhaaahㅡ

Lo nyesel?

Pertanyaan Baskara dibalas dengan tawa kecil dari Cakrawala. “Nyesel?

Nggak, lah.“ “Ini semua 'kan ide gue.

Lagian, Bas..“ “Lo mesti tau sesuatu.

Apa?

Gue nggak pernah kepikiran buat labuhin hati gue ke orang lain, beneran.

Biarpun gue sekarang sama Resty, tetep aja..

Cakrawala menolehkan kepalanya ke arah kiri, tidak lagi menatapi langit-langit namun beralih menatap Baskara yang masih duduk bersebrangan dengannya di kursi piano. “..cuma lo yang pengen gue jadiin seseorang buat nemenin gue sampai mati.

Baskara tersenyum tipis kemudian beranjak dari bangkunya untuk menghampiri Cakrawala yang tengah berbaring di sofa. “Mata-mati-mata-mati.” Baskara menyentilkan jemari kanannya ke dahi Cakrawala, “lo sama gue bakal hidup barengan sampe lo muak liat gue.

Barengan.“ “Paham?

Cakrawala terkekeh kecil seraya menganggukkan kepalanya. Sekilas, si yang lebih muda mengusapi dahinya lalu memasang ekspresi wajah seperti tengah kesakitan. Baskara mendengus, “Jangan akting pura-pura sakit.

Nanti gue cium, nih.

Dapat ancaman begitu, Cakrawala kini malah memasang ekspresi seperti tengah menangis tersedu sambil mengusapi dahinya dengan lebih kencang. “Atit...caka abis dipukuyin ama babas...

Baskara sontak mendesis gemas seraya menangkup pipi Cakrawala kemudian memainkannya dengan gemas. “Heh! Udah dibilangin, jangan sok kesakitan!

Cakrawala tertawa. Lagi, Baskara merasakan lututnya lemas ketika melihat mata Cakrawala yang menjadi bulan sabit. Berjuta kali Baskara katakan, namun tidak pernah ia bosan untuk mengatakannya lagi dan lagi.

Cakrawala, manis.

Suara tawa Cakrawala teredam oleh bibir Baskara yang kini tengah memagut bibir Cakrawala dengan dalam. Tangkupan tangan Baskara yang semula menangkup pipi Cakrawala kini beralih meraih leher si yang lebih muda dan mengusapinya dengan lembut.

Pagutan dibagi seiring dengan dua hati yang paham akan hal yang mereka inginkan dari hati yang paling dalam : untuk selalu bersama, hingga ajal memisahkan mereka berdua.

* * * *

Baca ini terlebih dahulu sebelum mulai membaca cerita selanjutnya yang ada di bawah.

* * * *

Alunan nada dari instrumen River Flows In You terdengar di seluruh penjuru gereja. Baskara duduk di depan grand piano berwarna hitam yang mengilat.

Semua hampir sama seperti ketika Baskara tengah menghabiskan malamnya dengan Cakrawala.

Hanya saja, sekarang tidak ada Cakrawala yang tengah berbaring di atas sofa. Hanya saja, sekarang tidak ada Cakrawala yang tengah menjulurkan tangannya ke langit-langit apartemen. Hanya saja, sekarang Cakrawala bukan lagi seseorang yang bisa Baskara rengkuh dan kecup bibirnya dalam-dalam.

Sekarang, hanya ada Cakrawala yang tengah berdiri di seberang sana. Berdiri di balik pintu yang terbuka dengan pakaiannya yang terlihat melekat sempurna, seakan memang sudah ditakdirkan untuk dikenakan oleh Cakrawala.

Sekarang, hanya ada Cakrawala yang tengah berjalan dengan senyum merekah di wajahnya ketika berjalan di atas karpet merah bertabur kelopak bunga.

Sekarang, hanya ada Cakrawala yang melangkah menuju seseorang yang bukanlah Baskara.

Sekarang, Cakrawala menghampiri Gerhana. Sekarang, sang langit memutuskan untuk tidak lagi berada di rengkuhan sang matahari. Cakrawala, tidak lagi berada di sisi Baskara.

Baskara bisa apa? Baskara harus bagaimana?

Siapapun, yang bisa memberi tahunyaㅡ tolong teriakkan apapun. Baskara tidak tahu bagaimana perasaannya saat ini.

Sakit? Benar. Sesak? Betul. Ikut berbahagia? Iya. Hanya sedikit, garis bawahi itu.

Yang pasti, Baskara tidak tahu kenapa ia sebodoh ini...kenapa ia setolol ini karena menawarkan diri untuk memainkan piano sebagai lagu pengiring ketika pengantin masuk ke dalam gereja.

Anjing. Goblok, Bas. Lo tolol banget, tai!

Sakit. Sesak.

Namun tidak ada rasa marah atau geram yang terasa di dada Baskara. Hanya rasa sesak dan sakit yang seakan bergumul menjadi satu, membuat ia bahkan sulit untuk bernafas.

Sekalipun, tidak sekalipun Baskara mengangkat kepalanya ataupun mencoba melihat bagaimana prosesi pengikatan janji sehidup semati yang dilakukan oleh Cakrawala dan Gerhana. Baskara hanya diam di bangku piano yang ditempati, mengepalkan tangan kuat-kuat; berusaha mengatur nafas agak rasa sesak yang menyerang dadanya tidak membuat ia mati kehabisan nafas.

Dahulu, Cakrawala pernah bertanya : akan bagaimana jadinya jika salah satu di antara mereka berdua adalah perempuan?

Apakah semua tentang cinta mereka akan lebih mudah?

Dahulu, Baskara hanya diam. Tidak memberi jawaban karena ia takut menyuarakan pendapatnya. Dahulu, Baskara hanya diam. Tidak berani menolak permintaan Cakrawala karena ia pun sebenarnya takut akan berbagai hal yang mungkin menimpa mereka berdua nantinya.

Lalu, sekarang gantian Baskara yang berandai dengan kata seandainya.

Di tengah gereja; tempat di mana cinta sejatinya tengah mengikat janji setia dengan teman dekatnya, Baskara berandai.

Akan bagaimana jadinya jika kala itu ia jujur akan apa yang ada di pikirannya?

Akan bagaimana jadinya jika Baskara mengatakan ia tidak peduli akan pandangan orang-orang mengenai dirinya yang mencintai seorang lelaki?

Akan bagaimana jadinya jika Baskara mengatakan semua itu sebelum Gerhana muncul?

Saya bersedia.

Semua pengandaian yang berputar di kepala Baskara hancur begitu saja ketika suara Cakrawala memasuki indera pendengarannya.

Suara Cakrawala terdengar tenang, namun tanpa melihatpun Baskara sudah dapat membayangkan bagaimana sekarang kedua lesung pipi khas milik Cakrawala tengah terlihat jelas karena si empunya merasa senang bukan kepalang.

Tanpa menolehkan kepala pun, Baskara sudah tahu bahwa kini Cakrawala dan Gerhana tengah mengumumkan kepada dunia bahwa mereka sudah saling memiliki seutuhnya karena semua tamu undangan bertepuk tangan riuh.

Tangan kanan Baskara meremas ujung jas hitam yang ia kenakan. Menahan segala emosi yang seakan bisa meledak kapan saja.

Tidak, Baskara tidak akan membenci Cakrawala. Ia tidak cukup kuat untuk melakukannya. Ia juga tidak akan pernah menjauhi atau menghilangkan Gerhana dari daftar teman dekatnya.

Baskara hanya akan membenci dan menyesali satu hal : ia terlambat menyadari bahwa kata seandainya yang berputar di otaknya sekarang sewajarnya diubah menjadi seharusnya.

Seharusnya, kala itu Baskara jujur. Seharusnya, kala itu Baskara lebih berani. Seharusnya, Baskara tetap merengkuh Cakrawala.

Semua, terlambat.

Langit telah memilih untuk merengkuh gerhana, meninggalkan matahari yang menganggap dirinya tak cukup terang untuk terus memberi cahaya kehangatan bagi sang langit.

Sekarang, sang matahari hanya bisa berharap satu hal; bahwa gerhana bisa merengkuh langitnya dengan lebih erat.

Karena sekarang, Cakrawala tidak lagi ada di rengkuhan Baskara.

. . .

Untuk kalian yang sudah membaca sampai kalimat ini,

Waktu bukanlah yang bisa diputar kembali. Dunia ini bukan dongeng yang bisa mengabulkan segalanya dengan satu jentikan jari. Sebelum semua menjadi sebuah penyesalan, ubah semua kata seandainya yang ada di pikiran kalian menjadi seharusnya.

Bukan perihal seandainya aku jujur namun adalah tentang seharusnya aku jujur.

Bukan perihal seandainya semua berakhir baik namun adalah tentang seharusnya semua berakhir baik.

Ungkapkan rasa sukamu kepada ia yang kau sukai. Ungkapkan rasa sayangmu kepada mereka yang sepantasnya menerima kalimat itu. Ungkapkan semuanya, sebelum terlambat.

Sebelum kau menjadi Baskara yang kehilangan rengkuhan Cakrawala, lakukan apa yang menjadi seharusnya.

Sekarang.

END ( @dontlockhimup )

Terkadang Byungchan bingung dengan apa yang dirasakan oleh seorang Han Seungwoo. Bukan, bukan perihal menebak apa yang tidak bisa lelaki Han itu ucapkan. Melainkan bingung karena perubahan mood Seungwoo yang mudah sekali berubah bagaikan ayunan yang didorong kencang dari belakang.

Cepat. Terkadang drastis. Tidak bisa dikontrol.

Padahal baru beberapa jam lalu mereka berjalan-jalan santai di taman, menikmati waktu bersama dengan saling melempar canda serta tawa akan topik yang dianggap sangat sepele sekalipun. Namun sekarang, Byungchan kebingungan setengah mati karena kini Seungwoo sedang mengusapi paha bagian dalamnya yang masih terbungkus celana jeans kenaan. Dari gerakan tangannya, Byungchan tahu Seungwoo menginginkan sesuatu yang lebih.

Lelakinya itu sangat payah dalam mengatur birahi. Byungchan tahu itu. Jika sudah memberi usapan dengan cara begini, Byungchan paham yang harus ia berikan adalah sentuhan fisik dalam artian khusus.

“Kak.”

“Hm?”

“Kakak .. mau?”

Seungwoo terkekeh. Lesung pipi tipis di sebelah kiri pipinya terlihat, biarpun hanya sekilas. “Hm? Mau apa?”

Lihat, selalu saja begini. Padahal Seungwoo yang memberi umpan, namun selalu saja Byungchan yang harus menjelaskan terang-terangan mengenai apa kemungkinan yang diinginkan oleh kekasihnya itu. “Itu ... yaㅡ itu ...”

Tangan kiri Seungwoo yang memegang kemudi masih bergerak santai mengatur kendali laju mobil yang tengah dikendarai. Sementara tangan kirinya yang semula mengusapi paha Byungchan kini beralih mengusapi pipi si yang lebih muda. Benar-benar lembut, tidak memberi tekanan atau pemaksaan secara tersirat. “Nggak, kok. Aku nggak mau apa-apa. Cuma pengen barengan sama kamu aja.”

“Byungchan.”

“Hm?”

Di tengah perjalanan keduanya yang tengah membelah jalan raya, Seungwoo berujar pelan. Lagu pop yang mengalun di dalam mobilnya seakan menjadi musik pengiring setiap kalimatnya saat ini. “Aku lagi tahap sayang-sayangnya banget ke kamu. Kayak .. apa, ya? Kamu nafas aja rasanya udah jadi salah satu alasan buat aku pengen pelukin kamu.”

“Nggak tau.” “Pengen banget sayang-sayangin kamu semampu yang aku bisa. Pengen banget jagain kamu lebih dari apapun yang aku punya.”

“Gimana, dong?” “Kalau saking sayangnya, bikin aku malah gila ke kamu, gimana?”

Tangan Seungwoo yang tengah mengusapi pipi Byungchan, kini diraih oleh kedua tangan si yang lebih muda. Byungchan mengusapi punggung tangan Seungwoo dan mengecupi setiap jemari lentik kekasihnya itu dengan sama lembutnya. “Kak.”

“Jangan takut jadi gila buat aku.” “Aku bakal tanggung jawab.” “Aku nggak akan pergi.” “Kegilaan Kakak, nggak jatuh ke tangan yang salah.”

“Kak Seungwoo.” “Aku emang nggak percaya adanya Tuhan. Aku atheist, tapi aku percayaㅡ kalaupun di dunia ini ada sebuah eksistensi yang bisa kupercayai secara penuh, aku mau percaya Kakak.”

“Kak. Nggak apa-apa, beneran.” “Gila buat aku, nggak apa-apa.” “Sumpah, gila buat aku. Tolong.”

“Aku pengen dimiliki dengan perasaan begitu. Dimiliki secara sepenuhnya sama seseorang yang aku sayang.”

Masih. Byungchan masih mengecupi punggung tangan Seungwoo, seperti ingin menyampaikan segala obsesi kepada si lelaki di sebelahnya. Sementara Seungwoo, sesekali menoleh ke samping untuk memperhatikan sosok Byungchan walaupun sedetik setelahnya segera memperhatikan jalanan di hadapan. Tidak ingin lengah. Ia tengah bertanggung jawab dengan membawa nyawa seseorang yang paling ia sayangi, tidak ingin bertindak ceroboh yang nantinya malah bisa mencelakakan mereka berdua.

“Byungchan.”

“Hm?”

“Aku nggak maksa ..” “Beneran, aku nggak mau memaksakan apa keinginanku ini. Kamu berhak nolak.”

“Boleh kita mampir ke motel buat..”

“Buat..”

“Buat?”

Byungchan mengulangi ucapan Seungwoo dengan nada jahil. Lucu melihat wajah Seungwoo yang memerah begini. Biasanya, kekasihnya itu kerap sedikit memaksa ketika merasa birahinya harus dipuaskan. Byungchan tidak keberatan, sih. 'Toh ia pun senang diperlakukan demikian. Mereka berdua saling melengkapi dalam hal demikian.

Namun baru kali ini Seungwoo mengutarakan keinginannya dengan wajah yang tersipu, bukannya dengan wajah penuh gurat permohonan agar keinginannya dipenuhi. Baru kali ini Seungwoo memberi pilihan kepada Byungchan untuk menerima atau tidak, bukannya memaksa Byungchan untuk mengiyakan.

Jujur, semua ini malah membuat Byungchan merasakan debar yang baru pertama kali ia rasa. Biasanya, Byungchan hanya merasakan debar yang bercampur dengan antusiasnya dalam melakukan hubungan intim bersama si kekasih. Namun kali ini, berbeda.

Semacam ada satu rasa yang baru pertama kali dirasa. Yang membuat Byungchan ingin tahu bagaimana nanti jadinya apabila ia mengiyakan segala hal yang diusulkan oleh Seungwoo.

“Nggak tau..” “Mungkin cuma tidur, bareng.” Seungwoo memberi jeda pada pengucapan kata tidur-bareng sebelum akhirnya melanjutkan, “tapi bisa juga jadi tidur bareng.”

Byungchan tertawa kecil kemudian mengecup pipi Seungwoo yang masih sibuk mengendalikan kemudi mobil yang tengah dikendarainya. Setelah memberi kecup, tangan kanan Seungwoo digenggam erat oleh Byungchan. Memberi tanda bahwa ia setuju dengan apapun yang diusulkan.

“Boleh, Kak.” “Apapun itu, boleh.”

“Ayo.” “Lakuin, apapun yang Kakak mau.”

* * * * *

Lampu kamar motel yang ditempati oleh Seungwoo dan Byungchan agak temaram. Tidak terang seperti lampu-lampu hotel berbintang, sepertinya memang sengaja didesain sedemikian rupa agar memberi nuansa yang menuntun penghuninya agar merasakan gairah birahinya naik.

Tidak ada riset resmi yang menunjukkan demikian, sih. Yang berpikir demikian barusan adalah Byungchan, itupun hanya asal tebak. Namun sepertinya tebakan yang ia buat lumayan tepat pada sasaran, karena setelah mereka berdua masuk ke dalam kamar motel yang dipesan oleh Seungwoo...si lelaki yang lebih tua itu segera merengkuh Byungchan dalam dekapannya. Erat, seperti tidak mau melepas.

“Kak?”

Byungchan bersuara ketika Seungwoo tidak melakukan apapun selain memeluknya erat. Tidak biasanya seperti ini. Biasanya ketika mereka berdua masuk ke kamar hotel, Seungwoo segera melucuti pakaian Byungchan atau memberi cekikan kecil pada leher si yang lebih muda lalu melumat bibirnya dengan serakah.

Biasanya demikian.

Namun kini, Seungwoo hanya memeluk Byungchan erat. Sesekali mengusapi puncak kepala Byungchan, membuat si yang lebih muda merasakan perasaan nyaman tiada terkira.

“Sayang.” “Sayang banget ke kamu.”

Byungchan tersenyum di dalam rengkuhan Seungwoo. “Iya, Kak,” balas Byungchan seraya meletakkan tangannya ke sekeliling pinggang si kekasih. “Aku juga sayang banget ke Kakak.”

Setelah mengujarkan perasaannya, Byungchan menaikkan pandangan; menatap Seungwoo lurus ke matanya. Biasanya di situasi begini, mereka berdua akan berciuman dengan liar. Lidah saling melilit, saling bertukar saliva, dan tidak sabar melesakkan lidah ke ruang mulut satu sama lain seperti tengah kesetanan. Namun kini, Byungchan menatap Seungwoo lurus-lurus. Baru sekarang Byungchan menyadari bahwa hidung lelakinya ini sangat mancung. Tidak, ia sudah tahu semenjak awal namun baru kali ini Byungchan memperhatikan keseluruhan detail bentuk wajah Seungwoo.

Rahang dagu Seungwoo juga bukan main tegasnya. Selama ini Byungchan tidak pernah memperhatikan sampai sebegininya. Kerap Byungchan selalu memandangi langit-langit kamar atau hanya memejamkan mata setiap kali Seungwoo melesakkan miliknya ke dalam dirinya. Tidak bisa membuka mata dan memandangi lelakinya karena setiap lesakan dari Seungwoo membuatnya gila. Sakit, namun nikmat.

Namun saat ini, semua tentang Seungwoo seperti menjadi sebuah musik bagi mata Byungchan. Semua tentang Seungwoo; apalagi wajahnya, seakan menjadi sebuah pemandangan yang terlampau indah untuk Byungchan nikmati.

Tanpa sadar, sebelah tangan Byungchan mengusapi rahang tegas Seungwoo dan beralih mengusapi pipinya. Seungwoo meraih sebelah tangan Byungchan, menggenggamnya erat dan semakin menempelkan tangan si kekasih di pipinya. “Mukaku, aneh?”

Byungchan menggeleng cepat. “Nggak. Sama sekali nggak.”

“Aku cuma...ngerasa seneng.” “Punya pacar seganteng kamu.” “Punya pacar kayak Han Seungwoo.”

Seungwoo tersenyum tipis. Sebelah tangannya yang semula menggenggam tangan Byungchan di pipinya kini dilepaskan. Beralih merengkuh leher Byungchan dan mendekatkan wajahnya ke wajah si kekasih. “Sayang..”

“Byungchan..”

Tidak pernah Seungwoo memanggilnya selembut ini. Mereka tidak pernah membuat jarak setipis ini hanya untuk saling tatap. Biasanya dari jarak belasan sentimeter pun Seungwoo sudah meraup bibirnya, melumat tanpa ampun. Bahkan seringkali membuat Byungchan kesulitan mengambil nafas.

Namun sekarang, mereka hanya terpisah jarak beberapa sentimeter. Tiga? Empatㅡ sentimeter? Mungkin sekitar itu. Yang pasti, sekarang Byungchan bisa merasakan debaran yang berkali-kali lipat terasa mengguncang dirinya karena helaan nafas Seungwoo yang teratur dan tenang dapat ia dengar dengan jelas. Biasanya Byungchan hanya mendengar suara deru nafas Seungwoo ketika menumbukkan miliknya ke diri si yang lebih muda. Biasanya Byungchan merasakan cengkeraman kuat di rambutnya dari tangan Seungwoo, bukannya malah elusan halus dan rematan kecil di sela helai rambutnya seperti sekarang.

“.. bolehㅡ cium?”

Ingin sekali Byungchan berseru mengiyakan. Namun jawaban yang diberi malah anggukan kecil disertai wajahnya yang terasa panas, mungkin sekarang wajahnya sudah semerah kepiting rebus.

Mendapat persetujuan dari Byungchan, Seungwoo meniadakan jarak diantaranya dan si kekasih. Awalnya, bibir si yang lebih tua hanya menempel ringan di bibir Byungchan. Hingga akhirnya Seungwoo mulai membuka bilah bibirnya dan Byungchanpun melakukan hal serupa.

Ciuman mereka terasa manis. Baik Seungwoo dan Byungchan baru pertama kali merasakan ciuman yang tidak memaksakan kehendak seperti begini. Seungwoo tidak memaksa untuk mempercepat laju ciumannya, Byungchan pun sebisa mungkin berusaha mengikuti arahan yang diberi oleh Seungwoo. Ditambah, si yang lebih muda merasa bulu kuduknya berdiri; bukan karena merasakan hal yang menakutkan, namun merasa nyaman karena tangan Seungwoo yang kini merengkuh lehernya tengah mengelusi daun telinganya dengan penuh afeksi.

Setelah saling berbagi pagutan lembut selama beberapa saat, Seungwoo melepaskan ciuman mereka dan segera terkekeh kecil ketika melihat wajah Byungchan yang merah bukan main. Daun telinga apa lagi, merah padam. “Pftㅡ”

“ㅡmalu?”

Byungchan menggigiti bibir bawahnya. Tidak tahu harus menjawab apa. Ia hanya mengepalkan kedua tangannya di samping sisi celana, berusaha menutupi kegugupannya. “N-nggak tau...aku baru pertama kali ngerasa diperlakuin begini sama kamu.”

“Aku...bingung.”

Seungwoo mengulas senyum tipis. Paham benar dengan apa yang dimaksud oleh Byungchan. Perlahan, tangan Seungwoo meraih kancing kemeja kelonggaran bergaris putih-biru yang dikenakan Byungchan. “Boleh aku buka, ya?”

Mana pernah Seungwoo meminta izin begini? Mana pernah! Maka ketika ditanya begini, Byungchan malah salah tingkah bukan main. Tangannya yang semula terkepal kini ikut memegangi tangan Seungwoo yang bersiap membuka kancing kemejanya. “Iya...”

Perlahan, kemeja ditanggalkan oleh si yang lebih tua. Kecupan kecil diberi di leher jenjang Byungchan, beralih dengan kuluman pada puting si kekasih. Semua diberi dengan penuh afeksi. Tidak memaksa, tidak menuntut.

Byungchan tidak kuasa menahan berat tubuhnya sendiri. Semua yang dilakukan Seungwoo kepadanya terlalu memabukkan dalam artian yang tidak seperti biasanya. “K-kaak...”

Seungwoo menghentikan kulumannya, kemudian mengangkat kepala untuk menatap si kekasih. Wajah Byungchan benar-benar terlihat sayu, membuat Seungwoo merasakan aliran darahnya berdesir lebih cepat dari sebelumnya. “...aku nggak kuat kalau sambil berdiri.”

“Boleh di kasur?”

Pertanyaan Byungchan diujarkan dengan suara lirih dan sedikit bergetar. Seungwoo memberi anggukan, menyetujui permintaannya. “Kenapa, sayang? Capek?”

“Nggak...” “...yang Kakak lakuin, terlalu enak. Aku ngerasa bisa keluar cepet kalau Kakak terus-terusan lakuinnya begitu.”

Lagi, Seungwoo hanya bisa meloloskan kekehan dari bibirnya. “Kalau keluar cepet, kenapa emangnya? Nggak apa-apa,” ujar si yang lebih tua seraya menggerakkan telunjuk kanannya di puting kanan Byungchan sementara tangan kirinya bergerak membuka kancing celana yang dikenakan Byungchan; menurunkan kenaan bawah si kekasih dengan cepat, seperti sudah sangat terbiasa.

Hasilnya, milik Byungchan kini terekspos jelas. “Hm? Kamu mau sambil tiduran?”, tanya Seungwoo seraya menggerakkan tangannya dengan tempo perlahan di milik Byungchan. Sesekali memberi pijatan dan remasan kecil di kepala kejantanan si yang lebih muda.

Diperlakukan demikian, tungkai jenjang Byungchan semakin lemas. Kedua tangannya kini terlingkar di leher Seungwoo, berusaha mempertahankan posisi tubuhnya agar tidak ambruk. “Hh-aah, Kaakㅡ”

“ㅡnggak kuat..”

Kini, Byungchan yang sepertinya haus akan sentuhan Seungwoo. Tanpa persetujuan si yang lebih tua, Byungchan mencium bibir Seungwoo dan memberikan pagutan dalam. Seungwoo memberi balasan dengan membiarkan Byungchan melesakkan lidah ke dalam ruang mulutnya, sesekali saling melilitkan lidah walaupun tidak terlalu liar seperti biasanya.

Perlahan, Seungwoo melangkah maju dan Byungchan mengikuti arahannya dengan berjalan mundur. Ketika betis Byungchan menyentuh pinggiran kasur motel, ia membaringkan tubuhnya ke sana. Kini Seungwoo disuguhkan pemandangan yang terlampau mempesona; Byungchan yang terbaring di kasur tanpa sehelai benangpun yang membalut. Tubuhnya putih, namun wajahnya merah. Sungguh kontras, namun terlihat sangat indah bagi Seungwoo.

“Kaaak..”

Byungchan merengek, tangannya terangkat ke atas; seperti meminta Seungwoo untuk segera memeluknya. “..sini, dingin.”

Setelah menanggalkan kemeja dan celananya sendiri, Seungwoo beranjak menghampiri Byungchan. “Dingin?”, tanya Seungwoo seraya memeluk Byungchan dari belakang. Sehingga kini posisi Byungchan adalah tengah memunggungi Seungwoo. “Udah anget sekarang?”

Byungchan hanya bisa merutuk dalam hati. Ucapan Seungwoo terdengar sangat manis, namun gerak tangannya sekarang membuat Byungchan kesulitan bernafas.

Tangan Seungwoo tengah memberi pijatan pada miliknya, bergerak dengan tempo yang semula lambat namun perlahan-lahan dipercepat. Belum lagi kejantanan Seungwoo kini terus bergesekan dengan bagian belakang pahanya. Entah sengaja atau tidak, namun Byungchan merasa Seungwoo terus menggerakkan pinggulnya perlahan; seperti ingin menggoda Byungchan, yang malah terasa seperti siksaan bagi si yang lebih muda.

“Hm?” “Udah anget?”

Tangan Seungwoo terjulur di bawah kepala Byungchan, menjadi bantalan bagi si kekasih. Byungchan yang merasa terlalu dimabuk nikmat dari segala tindak Seungwoo kini malah meraih jemari tangan Seungwoo yang menjadi bantalan kepalanya dan menjilati serta mengulum jemari kekasihnya dengan seduktif. “A-hhn, Kaaak...”

“Kak S-seungwoo...”

Dengan posisi Byungchan yang kini membelakanginya, Seungwoo seakan memiliki kanvas putih yang bebas untuk ia warnai. Punggung Byungchan berkali-kalu dikecupi oleh si lelaki Han, sesekali pundak Byungchan digigiti kecil, lalu daun telinga Byungchan dikulumi. Apapun itu, Seungwoo memberi tindakan yang membuat si kekasih merasa nyaman.

Mendengar desahan Byungchan yang memanggil namanya, Seungwoo memperlambat gerakan tangannya di milik Byungchan. “Hm? Kenapa, sayang? Sakit?”

Byungchan menggeleng. Gila saja, apa yang sakit dari tindakan Seungwoo sekarang, coba?

“Kak..” “..aku takut keluar pas kamu kocok begitu.”

Gerakan tangan Seungwoo di milik Byungchan yang semula diperlambat, kini dipercepat tepat setelah Byungchan mengujarkan kalimatnya. Sebelah tangan Seungwoo yang menjadi bantalan kepala Byungchan, kini bergerak ke bawah sehingga bisa memberi cekikan kecil di leher Byungchan.

Namanya saja cekik, padahal sesungguhnya Seungwoo hanya memegang leher Byungchan. Namun dengan begitu saja, Byungchan sudah merasakan sensasi pusing tidak terkira. Nikmat. Keenakan, bukan main.

“H-hhnnnh..K-kaak..” “Pelaann..”

“Nggak apa-apa, sayang,” Seungwoo sedikit menaikkan posisi tubuhnya agar ia bisa membisikkan kalimatnya langsung ke telinga Byungchan. Tangannya masih bergerak cepat di kejantanan si lelaki Choi, sesekali memberi pijitan dan remasan agak kuat. “Keluarin aja. Nggak apa-apa.”

“Nggak ada yang marah.”

Byungchan menggigit bibir bawahnya, takut akan berteriak saking merasakan nikmat yang teramat sangat dari segala tindakan Seungwoo. “Hhkkㅡ Kak—”

“Kak Seungw..fuck, fuck..Ka-kk, enak banget..”

Perlahan, nafas Seungwoo yang semula tenang menjadi sedikit memburu karena erangan Byungchan. Semakin gerakan tangannya dipercepat, semakin Seungwoo membenamkan wajahnya di ceruk leher Byungchan. “Sayangg..”

“Mau— k-keluar, Kak..”

Tidak perlu waktu lama hingga si yang lebih muda mencapai klimaksnya setelah kalimat tadi diujarkan. Tangan Seungwoo kini berlumur cairan kenikmatan dari Byungchan, sementara yang dimanjakan kini terengah-engah. Lemas setelah melakukan pelepasan barusan.

“Enak, udah keluar?”, tanya Seungwoo seraya memindahkan posisi tubuhnya menjadi ke atas Byungchan yang tengah berbaring.

Byungchan sendiri kini memiringkan posisi tubuhnya sehingga kini ia berbaring terlentang, “hm-mm,” ujar si yang lebih muda seraya menganggukkan kepala. Nafasnya masih tersengal, namun ekspresi matanya yang sayu menggambarkan dengan jelas bahwa kini ia mendambakan yang lebih daripada hanya sekedar tangan Seungwoo.

“Kak..”, sebelah tangan Byungchan merangkul leher Seungwoo yang berada di atasnya, menarik kepala si kekasih agar mereka dapat saling berbagi pagut ciuman. Sementara sebelah tangan Byungchan yang lain meraih kejantanan Seungwoo, memberi pijatan sekilas sebelum akhirnya mengarahkan milik Seungwoo ke lubangnya.

Perlahan, Byungchan menggerak-gerakkan milik Seungwoo di bibir lubangnya. Mencoba membiasakan keberadaan idamannya itu sebelum masuk melesak dan memberi nikmat tiada tara. Seungwoo melepaskan ciuman diantara mereka berdua kemudian berbisik pelan, “coba..”

“Hm?”, gumam Byungchan, sedikit kebingungan dengan kalimat Seungwoo. “Coba apa?”

“Coba, memohon.” “Memohon minta dimasukin.”

Byungchan mengulas senyum tipis setelah mendengar kalimat kekasihnya barusan. “Nanti kamu jadi kasar, hayo. Kamu kinknya 'kan di situ.”

Seungwoo mengerucutkan bibir, sedikit mengajukan protes. “Nggak, malem ini aku bakal lakuin pelan-pelan.”

“Janji?”

“Janji.”

“Cium dulu, dong.”

Detik berikutnya, Seungwoo mendaratkan ciuman di bibir Byungchan. Tiga kali, dengan ciuman ketiga yang diakhiri dengan gigitan gemas di bibir bawah si yang lebih muda.

Sesuai janji, Byungchan kini menarik kepala Seungwoo agar mendekati wajahnya. Kemudian membisikkan kalimat yang diminta si kekasih tepat di telinganya, “Kak..”

“Kak Seungwoo..”

“Hm?”, balas Seungwoo seraya menggerak-gerakkan pinggulnya perlahan; maju mundur. Bersiap melesakkan miliknya ke lubang Byungchan. “Apa?”

”..mau dimasukin sama kontol gedenya Kakak..”

“Abis dimasukin sama kontolnya pacar kamu, mau ngapain?”

“Mau nikmatin..” “Mau ngerasain enaknya di ewe sama kontol gagahnya Kakak sampai nangiㅡhhhnnng..”

“K-kaak..”

Di tengah bisikan yang diberi oleh Byungchan ke telinganya, Seungwoo perlahan menggerakkan pinggul. Membiarkan miliknya masuk dan mengisi ruang pada lubang milik Byungchan yang kini memeluk punggungnya erat.

”..gede banget, K-kak.”

Byungchan tahu kejantanan kekasihnya memang gagah, namun ketika dilakukan dengan perlahan begini Byungchan malah merasakan milik Seungwoo seakan mengoyak ruang di lubangnya yang belum pernah tersentuh sebelumnya. Sensasi aneh, namun nikmat.

Seungwoo mengangkat kepalanya dan menatap Byungchan dalam-dalam. Ekspresi sayu di wajah kekasihnya itu masih sama. Terlihat manis. Selama ini, Seungwoo selalu melakukan hubungan intim dengan kekasihnya itu secara kasar. Jangankan untuk memperhatikan wajah Byungchan ketika menerima hujam tumbukan dari miliknya, biasanya Seungwoo terlalu sibuk mencapai titik kepuasannya sehingga tidak pernah memperhatikan sekitar.

Sekarang ketika mengetahui ekspresi Byungchan yang demikian, Seungwoo seperti ingin merengkuh lelaki ini erat-erat. Takut melukai. Takut menyakiti. “Sakit, sayang?”

Byungchan menggeleng. “N-nggak, Kak..”

“Enak.” “Mau lagi, Kak.” “Mau lebih.”

“Gerakin..”

Merasa Seungwoo terlalu lama diam, akhirnya Byungchan yang mulai menggerakkan pinggulnya terlebih dahulu. Membuat gerakan berlawanan arah dan menumbuki lubangnya dengan milik Seungwoo secara sukarela. “Kak Seungwoo..”

”..gerakin, tolong..” “Enak banget..” “Bikin lebih enak, Kakk..”

Milik Seungwoo seperti dikungkung oleh dinding lubang Byungchan. Membuat sebuah rasa yang baru pertama dirasakan oleh Seungwoo juga.

Paham bahwa kekasihnya butuh bantuan untuk mencapai puncaknya, akhirnya Seungwoo mulai menggerakkan pinggul. Memberi tumbukan pada arah yang berlawanan dengan gerak yang tengah dilakukan oleh Byungchan. Lambat laun, gerakan lambat yang dibuat oleh keduanya mulai menjadi sebuah tempo cepat yang menimbulkan suara decak tidak senonoh. Anehnya, malah membuat Byungchan maupun Seungwoo semakin dimabuk kenikmatan.

“Hhnㅡ” “Byungch-an..”

Panggilan dari Seungwoo barusan membuat Byungchan membuka mata. Hingga dengan barusan, ia tengah memejamkan mata karena ingin merasakan dengan sepenuhnya kenikmatan yang diberi oleh Seungwoo. Namun panggilan lembut dari si kekasih membuat Byungchan menatap sosok lelaki Han yang tengah berada di atasnya.

Sekarang, Seungwoo tengah balas menatap dirinya. Dalam-dalam. Keringat terlihat mengalir dari pelipisnya. Nafas Seungwoo terdengar memburu. Wajah Seungwoo memerah, ditambah dengan urat yang sedikit muncul pada lehernya. Rahang dagu Seungwoo yang memang semula sudah tegas, kini semakin terlihat tajam.

Baru sekarang Byungchan melihat sosok kekasihnya dalam wujud seperti itu. Sesempurna itu.

Di tengah tumbukan dan lesakan dari milik Seungwoo yang menghujam lubangnya, Byungchan mengangkat tangannya dan mengusapi pipi Seungwoo. “K-kak..”, suaranya bergetar; mengikuti tempo tumbukan dari pinggul Seungwoo. “..aku sayang kamu.”

“Sayang banget.”

Kedua tangan Seungwoo yang semula menopang berat tubuhnya agar tidak jatuh di atas Byungchan kini digerakkan sebelah untuk meraih tangan Byungchan di pipinya. Seungwoo mengecup tangan Byungchan lalu tersenyum simpul. “Nggak cuma kamu..”

“..aku juga sayang.” “Sayang banget.”

Usai memberi kecupan pada tangan Byungchan, Seungwoo merendahkan tubuhnya dan sedikit menjatuhkan diri di atas tubuh Byungchan. Kini tubuh keduanya saling berdekapan tanpa batas apapun. Kaki Byungchan masih terkangkang lebar dan pinggul Seungwok masih menumbuk kencang dan dalam-dalam.

“A-hhnnh..” “..K-kak.. sayangg..” “M-mau keluar..”

“Ba—rengan, sayangg..”

Gerakan pinggul Seungwoo dipercepat lebih dari sebelumnya dan kungkungan tangan Byungchan di leher Seungwoo juga diperkuat. Byungchan tidak tahu kapan pastinya, namun miliknya mengeluarkan cairan kenikmatan tepat ketika lubangnya terasa hangat bukan main.

Detik berikutnya, Seungwoo benar-benar ambruk di atas tubuh Byungchan. Nafasnya tersengal dan milik si lelaki Han terasa berdenyut cepat di lubang milik Byungchan. Perlahan, Seungwoo menarik kejantanannya dari lubang Byungchan. “Hhhㅡ aku .. capek.”

Byungchan tertawa kecil. Sebelah tangannya kini meraba perutnya sendiri. Cairan kenikmatan miliknya ada di sana, kental. “Kak, punyaku kental banget, lho.”

Byungchan mengulurkan jarinya yang berlumur sedikit cairannya ke dekat wajah Seungwoo. “Mau coba, nggak?”

Seungwoo segera menggeleng dengan kepalanya yang masih berada di dada Byungchan. “Nggak. Nggak mau,” tolak Seungwoo dengan nada merajuk. Otomatis Byungchan tertawa kecil.

Sebelah tangan Byungchan yang bersih kini mengusapi kepala Seungwoo yang bersandar di dadanya. “Udah. Istirahat dulu, ya? Kasian, capek.”

Seungwoo mengangguk kecil kemudian perlahan nafasnya terdengar mulai teratur. Byungchan masih mendekap Seungwoo dalam rengkuhannya, sesekali mengusapi puncak kepala si kekasih dengan lembut.

Entah apakah di kesempatan lainnya, Seungwoo akan tetap bersikap manis dan lembut seperti sekarang atau tidak. Namun yang pasti, pengalaman mereka malam ini sudah menjadi pengalaman paling manis bagi Byungchan.

“Kak.”

“Hm?”

“Aku serius.”

“Apa?”

“Aku bahagia.” “Bisa milikin kamu seutuhnya.”

“Sama.” “Aku juga.”

“Aku juga, Byungchan.” “Bahagia, karena kamu yang jadi zona nyamanku.”

END

Layar laptop milik Wooseok masih terbuka, sementara si pemilik laptop masih sibuk dengan lembaran kertas yang bertumpuk di hadapannya.

Sesekali ia membetulkan posisi kacamata yang menggantung di ujung hidung, sesekali mengangkat kacamata dengan ujung pulpen di tangan kanan; sekedar ingin mengusak mata yang terasa perih karena terlalu lama memandangi dokumen yang harus ia kumpulkan esok hari kepada pimpinannya.

Namun di tengah semua kegiatan yang dilakukan, Wooseok masih selalu menyempatkan diri untuk melirik layar laptopnya.

Di seberang sana, sosok seorang lelaki berpakaian kaus t-shirt putih dan mengenakan kacamata yang sama persis dengan yang dikenakan Wooseok terpajang jelas di layar laptop. Tingkahnya hampir mirip dengan Wooseok, sibuk dengan benda di hadapan. Bedanya, lelaki yang ada di seberang panggilan video itu disibukkan dengan berbagai kabel, perkakas semacam obeng, dan semacamnya.

“Masih lama?”, tanya Wooseok setelah berhasil menyelesaikan paragraf terakhir dari laporan yang harus ia serahkan esok hari. Lelaki di seberang sana kini mengalihkan pandangan dan mengulas senyum tipis. Terlihat jelas bahwa ia lelah, namun sebisa mungkin tidak ingin menunjukkan hal itu kepada Wooseok.

“Lumayan.”

“Kali ini pengerjaannya emang agak rumit,” ujar lelaki di seberang sana seraya menggaruki pipinya. Mungkin dilema, tidak ingin membiarkan Wooseok menemaninya lebih lama lagi namun ia juga tidak ingin mengerjakan semua ini sendirian. “Kalau kamu ngantuk, tidur duluan aja. Nggak apa-apa.”

Wooseok melepas kacamatanya, sekarang pandangannya menjadi agak buram namun cukup jelas untuk tetap melihat segala hal yang dilakukan si lelaki di seberang panggilan video sana. “Nggak. Aku tungguin, nggak apa-apa.”

“Lanjutin aja.”

Jinhyuk. Lelaki di seberang panggilan video sana merasakan emosi yang bercampur aduk dalam dirinya. Dari kemarin, Jinhyuk hampir merasa gila karena pimpinannya terus menanyai perkembangan project yang tengah dikerjakannya.

Maka ketika Wooseok mengatakan tetap ingin menemaninya hingga tugas yang dikerjakan Jinhyuk selesai, di satu sisi Jinhyuk merasa senang. Namun di satu sisi lainnya, Jinhyuk merasa bersalah bukan main.

Bukannya ia tidak tahu, Wooseok juga sama sibuknya. Malah mungkin, lebih sibuk daripada Jinhyuk sendiri.

Lelaki itu, Wooseok; sangat hebat. Tidak hanya di mata Jinhyuk semata, namun juga di mata para rekan kerjanya. Menjadi salah satu karyawan yang mendapat kepercayaan dari perusahaan untuk ditempatkan pada cabang perusahaan yang berada di salah satu negara asing, bukanlah hal yang main-main. Wooseok berhasil mewujudkan itu, walaupun usianya masih sangat muda.

Hasilnya? Jinhyuk bangga. Bangga, teramat sangat. Walaupun itu berarti keduanya harus terpisah jarak serta zona waktu yang lumayan besar, tidak masalah. Jinhyuk paham akan kemampuan dirinya untuk menahan rindu. Ia paham, hatinya akan tetap dimiliki oleh Wooseok. Tidak ada keraguan perihal rasa sayangnya. Namun, di beberapa bagianㅡ tetap saja sulit.

Dengan jarak yang tercipta, Jinhyuk harus puas dengan pelukan guling alih-alih merengkuh tubuh ramping Wooseok ke dalam peluknya. Dengan perbedaan zona waktu yang ada, Jinhyuk harus sabar menunggu beberapa jam lebih lama untuk mendapat balasan pesan dari Wooseok karena lelaki itu tidak bisa membalas pesannya ketika sedang berkerja.

Dengan semua yang menghalangi, Jinhyuk harus puas dengan sosok Wooseok yang terhalangi lapisan kaca monitor. Tidak bisa merengkuh, tidak bisa mengecup, tidak bisaㅡ

“Jinhyuk.” “Kenapa bengong?”

“O-oh! Sorry!” “Lagi kepikiran sesuatu.”

Jinhyuk terlalu larut dalam pemikirannya sendiri, sampai-sampai ia tidak menyadari bahwa dirinya sempat terdiam hampir satu menit dengan pandangan yang tertuju lurus ke arah Wooseok di seberang panggilan videonya. “Tunggu sebentar lagi, ya? Aku segera beresin biar kamu bisa istirahat.”

Ujaran Jinhyuk barusan dibarengi dengan gerak tangan si lelaki jangkung yang menjadi lebih cepat dari sebelumnya. Beberapa komponen perangkat di hadapannya segera diutak-utik sedemikian rupa. Terlihat mahir. Namun di mata Wooseok, yang menjadi fokusnya adalah Jinhyuk.

Wooseok ingat bagaimana lelaki itu pernah menjadi pria idaman para adik tingkat di SMA mereka berdua. Iya, mereka lulusan SMA yang sama; ada di angkatan yang sama, namun berbeda kelas.

Kala SMA, Wooseok tahu bahwa para adik tingkatnya menganggap sosok Jinhyuk yang supel dan ramah itu adalah tipe ideal untuk dijadikan kekasih. Sementara dirinya kerap dijadikan sosok yang ditakuti karena tingkahnya yang mungkin dianggap kurang bersahabat. Hingga akhirnya, ketika kelulusan SMA, Jinhyuk menyatakan perasaannya kepada Wooseok.

Suka. Sayang. Ingin memiliki.

Gila. Itu hal yang pertama kali terlintas di pikiran Wooseok. Mereka, dua laki-laki. Mereka, sejenis. Bagaimana bisa ia menerima pernyataan itu, coba?

Namun seiring berjalannya waktu, Wooseok mengetahui bahwa terkadang ada banyak hal yang tidak bisa kita atur bagaimana jadinya. Pemikirannya yang jijik akan hal terkait sejenis yang muncul diantara mereka berdua, berhasil dipatahkan dengan kegigihan Jinhyuk yang seperti tanpa rasa bosan dan tanpa keinginan untuk menyerah berusaha mendapatkan hati Wooseok.

Keduanya berkuliah di universitas yang berbeda, namun Jinhyuk tidak keberatan untuk melintasi bentang jarak demi memberikan hadiah ulang tahun Wooseok tepat di jam 12 malam. Mengucapkan selamat, membawakan kue ulang tahun dengan lilin berjumlah usia Wooseok, menyuruh Wooseok membuat permohonan, kemudian berseru kencang ketika lilin-lilin yang ditiup Wooseok sudah padam.

Lambat laun, semua tentang Jinhyuk menjadi sebuah kebiasaan bagi Wooseok. Seperti pesan yang dikirimkan setiap pagi berisi perhatian-perhatian dalam bentuk sederhana; “udah makan?”, “ada film seru! nonton bareng, mau?”, “kuliahnya hari ini gimana?

Jinhyuk tidak datang dengan cara yang istimewa. Jinhyuk datang ke hidup Wooseok dengan caranya sendiri, berhasil membuat ruang di mana ia menempatkan diri dan membuat Wooseok merasa tidak keberatan ketika lelaki itu berada di salah satu ruang hatinya. Pada akhirnya, Jinhyuk berhasil membuat Wooseok merasa nyaman.

Pada akhirnya, Wooseok menerima Jinhyuk. Pada akhirnya, mereka berdua menjalin kasih walau harus menerima pandangan miring dari beberapa pihak yang menganggap keberadaan keduanya sebagai hal yang menjijikkan.

Namun mereka berusaha semampunya agar dapat diterima secara normal di masyarakat. Wooseok, berhasil menempati posisi penting di kantornya walau usianya masih muda. Jinhyuk; dengan kemampuannya di bidang elektro, berhasil menjadi salah satu tenaga kerja andal di tempatnya berkerja.

Tidak ada yang perlu mereka takutkan saat ini. Semua bisa berlangsung norma—-

Oh, tidak juga. Masih ada jarak yang membentang diantara keduanya.

Masih ada jarak yang menghalangi ketika Wooseok ingin memeluk Jinhyuk dari belakang, atau sekedar memberi pijatan kecil di pundak lebar lelakinya itu. Ingin memberi semangat secara langsung, bukannya hanya saling menatap lewat layar monitor laptop seperti ini.

“Hyuk.”

“Hm?”, Jinhyuk membalas panggilan Wooseok tanpa mengangkat kepalanya. Masih menaruh fokus sepenuhnya pada hal di hadapan. “Kenapa?”

“Liat ke sini, sebentar.” “Sebentar aja.”

Mengikuti perkataan Wooseok, Jinhyuk mengangkat kepalanya. Pemandangan selanjutnya yang ia lihat, segera membuat Jinhyuk tertawa kecil. Wooseok sekarang sedang mengangkat tangan kanannya ke arah kamera dan membuat gerakan seperti sedang mengusap di udara kosong. “Kamu ngapain, hei?”

Pertanyaan Jinhyuk barusan dibalas dengan jawaban singkat dari Wooseok. “Uri Jinhyuk-ie, pasti capek, 'kan?”

“Jangan lupa makannya dijaga. Aku nggak bisa ada di sana bareng kamu, jadi harus mandiri, ya? Kalau sakit, aku yang khawatir di sini.”

Masih, Wooseok masih menggerakkan tangannya pada udara kosong. Jinhyuk yang awalnya hanya mengulas senyum, kini bergerak mendekatkan kepalanya ke arah kamera laptop. Membuat gerakan seakan-akan Wooseok memang benar tengah mengusapi kepalanya. “Iya, di sini selalu rajin makan, kok. Biarpun keliatannya kurus-kurus aja, aku sebenernya selalu makan. Tepat waktu juga.”

Sekarang, tangan Jinhyuk bergerak mengusapi kepalanya sendiri. “Aku lagi usap-usapin kepalaku sendiri, nih. Biar kerasa lagi diusapin sama kamu,” ujarnya dan membuat Wooseok terkekeh. “Seandainya layar monitor bisa dimasukin sama tangan sendiri kayak film The Ring itu, ya? Seru, pasti.”

Jinhyuk kembali ke posisi duduknya semula. Kini, fokusnya tidak lagi pada perkakas kerja namun kepada Wooseok di seberang sana. “Seandainya bisa, aku pengen ...”

Wooseok mengernyitkan alis, memasang ekspresi seakan curiga kepada kalimat lanjutan Jinhyuk. “Pengen apa?”

Jinhyuk tertawa. Paham bahwa pasti kekasihnya itu mengira bahwa ia akan berujar macam-macam. “Aku pengen beli layar laptop yang lebarnya 50 inchi, biar aku bisa masuk dan nembus ke tempat kamu sekarang.”

“Mau peluk kamu.” “Mau bikinin kamu cemilan ketika kamu lagi nugas.” “Mau pijitin pundak kamu pas lagi capek.” “Mau kasih semangat.”

“Mau bikin kamu ngerasa nyaman ketika aku ada di sekeliling kamu.”

Wooseok segera terkekeh setelah mendengar kalimat Jinhyuk barusan dan membuat si lelaki jangkung kebingungan. “Kok ketawa? Imajinasiku lucu?”

“Lucu.” “Soalnya aku barusan juga mikirin hal yang sama persis. Aku pengen banget peluk kamu, kasih kamu semangat ketika lagi kerjain deadline dengan mijitin pundak kamu.”

“Hal-hal sesederhana itu.” “Aku pengen lakuin itu.”

Jinhyuk menghela nafas dalam-dalam. Bagaimana mengatakannya, ya? Hatinya sekarang terasa sangat hangat hingga membuatnya sesak bukan main. “Seok..”

“Hm?”

“Minggu depan, aku ke sana, ya?” “Ke tempat kamu.”

“...” “Hah?”

“Mungkin nggak bisa lama. Kalau aku minta cuti pas hari Sabtu, aku berangkatnya hari Jumat. Paling-paling bisa mendarat di tempat kamu hari Sabtu pagi. Pulang lagi hari Minggu.”

“Sebentar, sih.” “Tapi aku pengen banget ketemu kamu. Sebentar juga nggak apa-apa.”

“Yang penting bisa ketemu kamu.” “Bisa peluk kamu. Bisa sebut nama kamu dan cubitin pipi kamu. Bisa hirup lagi aroma parfum yang bercampur sama bau tubuh kamu. Bisa ada di tempat yang sama kayak kamu, itu aja.”

Wooseok tersenyum, sangat tipis. Kepalanya mengangguk kecil, setelahnya berujar singkat kepada Jinhyuk. “Makasih, ya.”

“Makasih udah selalu jadi orang yang berjuang buat aku. Makasih udah selalu bikin aku ngerasa istimewa. Aku nggak tau apa yang sekarang aku lakuin setimpal atau nggak buat balas segala yang kamu kasih buat aku ...”

“... tapi Hyuk, kalau ada yang bisa aku ucapin sekarang buat kamu; 'aku selalu mikirin kamu. Dari awal aku buka mata sampai aku tidur lagi, aku cuma inget tentang kamu.' Aku serius.”

“Hei. Hei. Sshㅡ” “Nggak usah ngomong begitu.” “Aku nggak suka dengernya.”

Jinhyuk kini sedikit memajukan posisi duduknya, kedua lengannya ia lipat di atas meja. Sebuah tanda bahwa ia tengah serius. “Kamu nggak perlu ngerasa kalau aku memperlakukan kamu secara istimewa. Aku memperlakukan kamu sebagai seorang Kim Wooseok.”

“Karena pada dasarnya, buat akuㅡ seorang Kim Wooseok itu adalah seseorang yang pantes aku perjuangin.”

“Aku memperlakukan kamu sebagai kamu apa adanya. Karena kamu sendiri udah jadi sosok yang hebat di mata aku.”

“Ya? Jangan anggap rendah diri kamu sendiri, ya? Janji?”

Jinhyuk mengacungkan jari kelingkingnya ke arah kamera, meminta Wooseok untuk berjanji perihal yang ia sebut barusan. Wooseok tertawa, “gimana mau janjinya, deh? Nggak bisa ditautin jari kita, tuh.”

Jinhyuk mengerjapkan matanya beberapa kali, menyadari kebodohannya. “Angkat jari kelingking kamu dua-duanya kayak begini,” ujar Jinhyuk seraya kini mengangkat dua jari kelingkingnya. “Terus tautin sendiri satu sama lain, kayak begini.”

Iya. Sosok Jinhyuk yang sekarang tengah mengaitkan kedua jari kelingkingnya sendiri terlihat sangat menggemaskan di mata Wooseok. Tidak ingin membuat kecewa, akhirnya Wooseok melakukan hal yang sama; mengaitkan dua jari kelingkingnya ke satu sama lain.

“Ayo, ucapin.” “Bareng.”

“...” “Apaan?”

“Janji!” “Mumpung lagi pinky promise, nih.”

“Tuhan ..” “Kayak anak kecil banget, sih.”

“Janji.”

“...”

“Ayo, sebutiiin.” “Janji.”

“Janji.”

“Saya, Kim Wooseok.”

“Saya, Kim Wooseok.”

“Akan menjaga kondisi kesehatan saya dengan baik. Makan tepat waktu. Nggak pernag lewatin makan. Rajin olahraga.”

“...” “Susah, itu.” “Aku orang kantoran.” “Boro-boro buat olahraga, buat makan aja kadang lupa ..”

“Aku marah, nih.” “Minggu depan aku nggak ke tempat kamu, nih.”

“Akan menjaga kondisi kesehatan saya dengan baik. Makan tepat waktu. Nggak pernag lewatin makan. Rajin olahraga.”

“Hehehe.” “Satu lagi.”

“Apa lagiiii?”

“Saya berjanji.”

“Saya berjanji.”

“Akan menepati janji saya untuk menikah dengan Jinhyuk ketika yang bersangkutan sudah berhasil mengumpulkan cukup uang untuk modal pernikahan kami.”

“...” “Itu sih kamu aja yang janji ke diri sendiri.”

“Aku selalu janji!” “Tau nggak, tiap pagi aku liat cermin terus ucapin janji ke diri sendiri buat terus sabar kalau dimarahin bos hari ini. Soalnya aku butuh uang buat ditabung jadi modal nikah sama kamu.”

“Serius?”

“Iyaaaa!” “Makanya, aku butuh kepastian.” “Aku mau denger janji dari kamu juga.”

“Ya?” “Ya?” “Ya?”

“Hhhㅡ” “Ya, udah.” “Aku sebut.” “Apa tadi, janjinya?”

“Akan menepati janji saya untuk menikah dengan Jinhyuk ketika yang bersangkutan sudah berhasil mengumpulkan uanㅡ”

“Saya berjanji.”

“Heh! Belum selesaㅡ”

“Akan selalu ada di sisi Lee Jinhyuk dalam saat senang maupun susah. Akan berjuang bersama Lee Jinhyuk untuk melangkah berbarengan dalam hubungan yang sakral. Tidak akan membebani Lee Jinhyuk secara sepihak dan akan bersama-sama membangun kondisi finansial yang cukup bagi kami berdua.”

”...”

“Udah, kan?”

“Tau, nggak?”

“Apa?”

“Aku sayang kamu.” “Sayang banget.” “Gimana, dong?”

“Ya, udah.” “Minggu depan ke sini.” “Peluk aku.” “Erat. Erat, banget.”

Jinhyuk mengangguk mantap. Tidak ada ragu sedikitpun dari tindakannya. “Pasti. Pasti.”

“Aku pasti dateng.” “Lalu peluk kamu, erat.” “Buat pastiin, bahwa kamu udah mempercayai janjimu ke orang yang tepat.”

“Ke orang yang bakal sayangin kamu, orang yang bakal perjuangin kamu ..”

”.. selamanya. Tanpa ada ragu sedikitpun.”

Aku, Lee Jinhyuk, janji.”

END

“Kak.”

Byungchan lagi-lagi mengetukkan jemarinya ke atas meja. Baik tempo maupun nadanya tidak menentu. Tidak membentuk nada dari sebuah lagu yang belakangan ramai digandrungi para remaja, tidak pula menyerupai nada lagu anak-anak. Pokoknya semua nada yang terbentuk dari ketukan jemarinya, acak-acakan.

“Kak Seungwoo.”

Lagi, panggilan diserukan. Kali ini dengan memanggil si pemilik nama, memikirkan kemungkinan bukan hanya si lelaki itu saja yang ia panggil dengan panggilan kak di sini.

Seungwoo, lelaki yang dipanggil namanya, menolehkan kepala dari arah lemari bajunya. Beberapa detik sebelumnya, ia masih berdiri menghadap ke lemari baju; terlihat kebingungan memilih baju apa untuk ia kenakan. “Ya?”

“Nggak usah rapi-rapi.” “Aku cuma mau ajak Kakak ke sungai Han. Sebentar. Beneran cuma...sebentar.”

Kini tidak hanya jemari Byungchan yang diketuk-ketukkan ke atas meja, kakinya juga kini bergerak tidak tentu. Persis seperti orang yang sedang gugup. Ataukah, dia memang sebegitu gugupnya?

Karena apa?

“Iya.” “Cuma ya, nggak enak aja kalau asal pilih baju. Sementara kamu sendiri...”

Seungwoo menatap Byungchan dari ujung kepala hingga kaki. Lelaki itu mengenakan jaket dari salah satu brand ternama, sepatu yang terlihat senada dengan pakaiannya, juga dengan rambut yang tertata rapi. Jika Byungchan menyuruh Seungwoo untuk berpakaian seadanya, mengapa ia sendiri malah berpakaian berlebihan begitu, coba?

”...jangan sampai nantinya kalau ada fans yang liat, cuma kamu yang keliatan bagus di kamera, lah.”

Usai mengujarkan kalimatnya, Seungwoo kembali menatapi isi lemari baju. Bingung dengan pilihan baju yang akan ia kenakan nanti.

Padahal, sumpah...sumpah demi apapun, Byungchan tidak mempermasalahkan apapun yang Seungwoo kenakan. Dengan kenaan apapun, lelaki itu sudah terlihat menarik.

Terlihat sempurna. Paling tidak, di matanya demikian.

“Ngomong-ngomong...”

Byungchan tengah memandangi punggung Seungwoo, hampir saja terbawa lamunannya; ketika si lelaki yang lebih tua darinya itu kembali membuka pembicaraan. “...mau ngapain ke sungai Han? Cuma berdua? Nggak mau ajak member lain? Siapa tau, kita bisa bikin V-LIVE dadakan di sana, 'kan?”

“Nggak.” Singkat. Jelas. Penolakan yang diberikan Byungchan terucap dengan sangat lugas. “Cuma kita berdua aja.”

“Berdua aja?” “Mau ngapain, emangnya?”

“Kalau mau minta dibeliin susu kotak stroberi, aku nggak mau beliin cuma buat kamu doang. Mesti beli buat yang lainnya juga, laㅡ”

“Nggak.” “Bukan itu.” “Di sana. Kita omongin di sana. Jangan di sini.”

Byungchan mengucapkan kalimatnya tanpa mengangkat kepalanya. Memilih untuk tidak menatap Seungwoo tepat pada matanya. Pandangannya tertuju ke lantai kamar, berharap setidaknya ada satu objek yang bisa ia gunakan sebagai alasan tuju pandangnya sekarang.

Namun percuma, kamar Seungwoo terlalu bersih. Semua diletakkan rapi di tempatnya.

Seungwoo? Alisnya berkerut ketika mendengar ujaran Byungchan barusan. Hal apa yang seharusnya dibicarakan berdua, di sungai Han pula. Seperti orang yang ingin berpacaran sajㅡ

”...” “Byungchan.”

“Ya?”

“Jujur.” “Alasan kita ke Sungai Han...”

“...”

”...apa?”

Seungwoo tidak lagi menatapi isi lemari pakaiannya. Dengan hanya sepotong kaus tanpa lengan yang menjadi kenaan, Seungwoo membalikkan tubuhnya; melangkah menghampiri Byungchan yang kini segera bangkit dari kursi yang tengah ia tempati.

Byungchan berupaya menghindari Seungwoo. Kakinya melangkah mundur, pandangannya diarahkan tidak tentu arah. Sesekali ke atas, ke kiri, ke kanan, ke bawahㅡ hingga akhirnya tidak sengaja ditujukan ke depan dan membuatnya hampir tersedak. Seungwoo sudah ada di hadapannya, hanya terpisah jarak minim yang membuat Byungchan bisa menghirup aroma body mist yang biasa digunakan Seungwoo. “

Mau nonton?“ “Berdua.“ “Film apa aja.“ “Apapun, boleh.

Ajakan dari Seungwoo itulah yang membuat Byungchan menghabiskan waktu hampir lima jam di depan cermin. Di atas kasurnya, sudah ada banyak baju yang bergeletakan tidak teratur. Asal dilempar begitu saja, berantakan.

Di tangan Byungchan, sudah ada sepotong flanel berwarna biru-hitam sementara di tubuhnya sendiri kaus berwarna hitam polos sudah terbalut rapi. Alis Byungchan masih berkerut, bibirnya mengerucut; seakan masih belum puas dengan penampilannya sekarang.

Padahal siapapun yang melihat penampilan laki-laki jangkung ini pasti akan mengatakan hal yang sama : tampan namun manis di saat yang bersamaan. Byungchan sengaja membuat tatanan rambutnya menjadi sedikit seperti anak-sekolahan, dengan poni yang menutupi kening.

Ah, namun detik berikutnya Byungchan menyampirkan poninya ke pinggir. Seperti tidak suka melihat penampilannya yang sekarang dianggap terlalu kekanakan. Poninya dikepinggirkan, membuat tatanan rambut yang memperlihatkan keningnya dengan jelas.

Diubah lagi, rupanya. Kembali berponi. Plin-plan, dasar.

Jangan.“ “Aku mohon, jangan.

Nggak apa-apa.“ “Aku yang minta.“ “Bukannya kakak yang bilang, bahwa bakal kabulin apa yang aku minta? Iya, 'kan?

Byungchan..” “..tolong, jangan.

Seungwoo, lelaki yang kini tengah duduk berhadapan dengan lelaki jangkung lainnya, Byungchan; masih menundukkan kepalanya. Kedua tangan Seungwoo terkepal kuat di atas meja, sedikit gemetar. Entah karena alasan apa. Kedinginan? Tidak. Jaket tebal yang dikenakan semestinya bisa menghalau rasa itu. Takut? Mungkin. Namun, apa yang sebenarnya ia takutkan?

Takut, mendengar permintaan Byungchan barusan?

Takut, memikirkan kemungkinan apa yang mungkin muncul di kemudian hari jika ia mengiyakan permintaan Byungchan?

Takut, terlalu amat takut.

Apapun, boleh.“ “Apapun, selain itu.

Aku cuma mau itu.“ “Ya, Kak?“ “Temenin aku.“ “Aku percaya, semua bakal baik-baik aja. Asal Kakak ada di sana.

Asal ada Kak Seungwoo di sana, aku percaya nggak akan ada apa-apa.

Byungchan..” “..aku takut.

Byungchan meraih tangan Seungwoo yang terkepal kemudian menggenggamnya kuat-kuat. Mungkin hanya usahanya saja yang ingin meremat kuat, karena bagi Seungwoo yang tangannya digenggam...genggaman tangan Byungchan terasa lemah. Ringkih. Seakan-akan jika sedikit diperkuat daripada sekarang, bisa saja tulang tangan Byungchan yang patah.

Paham bahwa dirinya bisa saja luluh atas bujukan yang Byungchan berikan melalui genggaman tangannya, Seungwoo berupaya menarik tangannya dari kungkungan tangan si lelaki yang lebih muda. Perlahan saja.

Namun Byungchan seperti tahu dan paham akan niatan Seungwoo sehingga kini genggamannya malah diperkuat. Mencegah agar Seungwoo tidak lari darinya.

Kak.“ “Tolong..” “..aku nggak mau lupain kamu begitu aja. Aku nggak mau kenangan tentang kamu terhenti di hari itu.

Tolong, Kak.“ “Temenin aku.“ “Bikin memori baru..” “..buat aku kenang.”

Tolong kabulin, Kak.

Sakit. Setiap ujaran Byungchan rasanya seakan membuat sebuah lubang yang menganga lebar di dada Seungwoo. Setiap rematan yang diperkuat di tangan Seungwoo, kini membuat si lelaki Han seakan bisa meledakkan tangisnya kapan saja.

Jangan bikin aku jadi semakin ngerasa bersalah, Byungchan..”

Nggak, Kak.“ “Nggak akan ada yang nyalahin Kakak.

Aku paham segala konsekuensi dan resikonya. Aku yakin, aku kuat.

Aku kuat.“ “Asalkan di sampingku ada Kakak..”

Kepala Seungwoo yang semula menunduk, akhirnya diberanikan untuk diangkat. Keputusan yang salah, karena kini mata Seungwoo bertatapan dengan mata bening Byungchan. Menatap seorang lelaki yang kepalanya terbalut perban, juga dengan wajah yang sedikit pucat serta lekuk pipi yang terlihat tirus.

Pemandangan yang berbeda dengan seseorang yang ia lihat sekitar tiga minggu lalu.

Tiga minggu lalu, sosok Byungchan terlihat manis dengan jaket fakultasnya yang kebesaran. Sosok Byungchan terlihat menawan dengan potongan rambut yang ia katakan baru ia tata karena akan bertemu dan berkencan dengan Seungwoo.

Tiga minggu lalu, semua seindah itu. Semua semanis itu.

Namun semua seakan berubah menjadi malapetaka ketika di tengah perjalanan mereka, ada segerombolan pemuda berandalan yang menghadang.

Berandalan itu mengatakan jijik melihat dua lelaki dengan penampilan begitu berjalan beriringan. Mereka mengatakan dunia tidak akan mau melihat dua lelaki seperti mereka saling menjalin kasih juga mengatakan mereka berdua hanya membuat dunia menjadi tempat yang penuh dengan hal menjijikkan.

Seungwoo masih ingat. Kala itu, Byungchan terlihat ketakutan. Ia sedikit bersembunyi di balik Seungwoo dengan tubuh yang gemetar ketakutan. Tangannya menggenggam tangan Seungwoo kuat-kuat dari balik punggung si lelaki Han, seakan meminta perlindungan.

Tanpa diminta, Seungwoo akan melakukannya. Tanpa diminta, Seungwoo akan menjaga Byungchan dengan cara apapun.

Awalnya, Seungwoo berusaha mencari jalan keluar dengan cara damai. Tidak ingin terlibat dalam perkelahian yang sudah pasti akan dimenangkan oleh sekelompok berandalan itu. Lagi, Seungwoo ingat ... jumlah mereka ada tujuh, atau delapan?

Entah. Yang pasti, Seungwoo dan Byungchan tidak akan dapat memenangkan situasi itu.

Seungwoo menawarkan segala yang dapat ia tawarkan. Harta yang ia bawa, lebih tepatnya. Namun, para berandalan itu lebih tertarik dengan kenyataan bahwa mereka dapat melecehkan keadaan Seungwoo dan Byungchan yang istimewa dibandingkan orang-orang pada umumnya.

Mengatakan jijik. Mengatakan tidak suka. Mengatakan ingin memusnahkan mereka dari muka bumi.

Untuk kalimat terakhir, itu benar adanya. Tepat setelah salah satu diantara para berandalan mengatakan ingin memusnahkan mereka, salah satu yang lainnya melayangkan tinju ke perut Seungwoo.

Seungwoo bukan lelaki yang lemah, ia paham bagaimana cara untuk bertahan dan melindungi diri. Sehabis menerima tinjuan pada perut, Seungwoo berusaha melawan.

Namun, mau bagaimana? Ia kalah dalam jumlah. Mau bagaimana? Jangankan untuk fokus melawan, perhatiannya selalu terbagi kepada Byungchan yang tidak lagi bisa sembunyi di belakangnya. Takut akan adanya kemungkinan bahwa kekasihnya itu akan diserang oleh para berandalan.

Lari!“ “LARI, BYUNGCHAN!

Di tengah pukulan dan tinjuan yang dilayangkan ke tubuhnya, Seungwoo berusaha berteriak. Mengingatkan Byungchan untuk menyelamatkan diri sendiri terlebih dulu. Beruntung, Byungchan paham. Dirinya bukan tipikal orang yang akan membuat drama dengan mengatakan tidak mau pergi demi menyelamatkan Seungwoo.

Tidak. Byungchan bukan lelaki yang begitu. Ia paham bahwa ia harus lari demi mencari bantuan agar bisa menyelamatkan Seungwoㅡ

JANGAN!

Namun, semuanya berbanding terbalik.

Byungchan paham, ia harus pergi. Akan tetapi ia tidak tahu mengapa kakinya malah berlari ke arah kerumunan yang mengelilingi Seungwoo. Ia tidak tahu mengapa ia kini malah berbaring di atas tubuh Seungwoo. Detik berikutnya, ia tidak tahu mengapa kepalanya terasa sangat panas dan nyeri. Sakit, rasanya seperti mau pecah.

Atau mungkin memang sudah pecah?

BYUNGCHAN!

Tubuh Byungchan menghalangi pandangan Seungwoo. Ia hanya bisa melihat bayangan orang-orang yang mengelilinginya. Akan tetapi semua tidak terlihat jelas karena darah yang mengalir dari pelipis Seungwoo juga karena rasa sakit di sekujur tubuh sehabis ditendangi tanpa ampun.

Namun barusan saja, Seungwoo mendengar ada suara pukulan yang keras. Lalu detik berikutnya, suara kerumunan itu seperti menjadi ramai. Terdengar panik.

Menit berikutnya, suara kayu yang terjatuh ke tanah terdengar diikuti dengan derap langkah banyak orang yang berlarian meninggalkan tempat Seungwoo dan Byungchan berada sekarang.

Dua menit berikutnya, sepi.

Seungwoo tahu, semestinya ia bangun. Seungwoo tahu, semestinya ia memeriksa kondisi Byungchan karena sekarang lelaki itu seperti tidak bergerak dari atas tubuhnya. Namun tubuhnya tidak cukup kuat untuk melakukan itu.

Sekujur tubuhnya sakit. Pelipisnya berdarah sehingga membuat pandangannya kabur. Nafasnya sesak.

Yang Seungwoo ingat, tiba-tiba dirinya diserang rasa kantuk yang teramat sangat. Yang Seungwoo ingat, ia tertidur.

Yang Seungwoo ingat, ketika ia terbangun...pandangannya sudah disambut oleh langit-langit ruang rumah sakit. Yang Seungwoo ingat, ketika ia menolehkan kepalanya...Byungchan ada di sana. Tertidur lelap dengan perban terbalut di kepalanya.

Gegar otak.

Itu yang dokter katakan kepada Seungwoo perihal kondisi Byungchan. Pukulan di kepala Byungchan diberi dari batang balok kayu tebal dan mendarat tepat di titik vital bagian kepala.

Rasa sakit yang awalnya menjalar di sekujur tubuh Seungwoo, seakan tidak lagi ada artinya. Membayangkan seberapa rasa sakit yang Byungchan rasakan ketika berusaha menyelematkan dirinya malah membuat Seungwoo jauh lebih kesakitan.

Dia bisa sembuh, 'kan, dok?”

“Kemungkinan untuk sembuh selalu ada. Namun saya tidak berani menjanjikan seratus persen bahwa keadaan dan kondisi saudara Byungchan akan kembali seperti semula. Di tengah masa penyembuhan, pasien mungkin akan merasakan pusing yang teramat sangat, mual, bahkan hingga muntah.”

“Kami menyarankan bahwa perawatan saudara Byungchan dilakukan di rumah sakit hingga kondisinya dinyatakan membaik.”

Jadi, di sinilah Seungwoo sekarang. Duduk berhadapan dengan Byungchan di meja kecil yang ada di samping jendela kamar. Tangannya sedang digenggam kuat oleh si yang lebih muda, bingung harus melakukan apa.

Apakah harus mengabulkan? Apakah harus menolak?

Mengabulkan apa, tanyamu? Menolak apa, tanyamu?

Permintaan Byungchan untuk pergi dari rumah sakit, berdua. Melanjutkan kencan mereka yang sewaktu itu bahkan belum sempat dimulai.

Permintaan bodoh. Sumpah, demi apapun, ingin sekali Seungwoo berujar demikian.

Ingin sekali Seungwoo berteriak dan menyadarkan Byungchan bahwa dirinya memiliki kemungkinan terburuk akan hidupnya apabila terlalu kelelahan. Ingin sekali Seungwoo mengingatkan bahwa baru saja tadi siang, Byungchan tidak mengenali salah satu sahabat akrabnya, Sejun, yang datang menjenguk.

Kondisi Byungchan sudah separah itu. Namun yang bersangkutan malah ingin pergi dari sokongan infusnya, dari sambungan tabung oksigennya, hanya untuk menjalani kencan yang dahulu tidak sempat terlaksana?

Itu sama saja seperti menjemput kematian. Bukannya begitu?

Namun di sisi lain, hati kecil Seungwoo bergembira. Membayangkan akan sebagaimana bahagianya mereka berdua nantinya, membayangkan banyak hal yang dapat mereka lakukan berdua, membayangkan sebagaimana banyak memori yang dapat mereka simpan dari kencan yang dimaksud oleh Byungchan.

Seungwoo pusing. Pemikirannya terbagi dua. Pusing. Sangat. Pusing.

Mengiyakan? Atau, menolak?

* * * * *

Seungwoo membenci dirinya sendiri.

Seungwoo membenci dirinya yang memaksa dokter perawat Byungchan agar membiarkan kekasihnya keluar dari rumah sakit. Seungwoo membenci dirinya yang mengatakan semua akan bisa terkendali. Seungwoo membenci dirinya sendiri yang menjanjikan sebuah hal yang ia sendiri tidak tahu bagaimana akan jadinya.

Kak.

Seungwoo membenci dirinya sendiri yang barusan saja melupakan penyesalannya ketika melihat Byungchan keluar dari kamarnya dengan penampilan yang sama persis seperti ketika mereka berjanji untuk menghabiskan waktu berdua. Potongan rambut yang sama. Senyum manis yang sama. Jaket fakultas yang kebesaran di tubuhnya pun, masih sama.

Yang berbeda hanyalah kini Byungchan tidak lagi berdiri di hadapannya melainkan tengah duduk di atas kursi roda. Kedua tangannya ada di masing-masing roda, menggerakkannya agar ia dapat menghampiri Seungwoo.

Jangan!“ “Biar aku aja.

Seungwoo segera menghampiri Byungchan dan berdiri di belakang kursi roda yang dinaikinya. Mengambil alih agar kursi itu bisa ia kendalikan. “Kamu nggak usah capek-capek, ya? Diem aja. Aku yang dorong. Kalau mau apa-apa bilang aja. Aku bakal lakuin.

Byungchan menggeleng. Kepalanya sedikit menengadah agar dapat menatap Seungwoo di belakangnya. “Nggak, Kak. Udah cukup. Ini udah lebih daripada cukup.

Ada Kakak, barengan sama aku. Semua udah lebih daripada cukup.

Seungwoo tersenyum tipis, terlalu sulit menjelaskan semua yang ia rasakan saat ini kepada si kekasih. Rasa sayangnya sudah terlampau dalam. Rasa sukanya sudah terlampau jauh melewati batas.

Tubuh Seungwoo sedikit dirundukkan, sebuah kecupan didaratkan di kening Byungchan yang kepalanya masih menengadah. Respon Byungchan? Terkekeh. Terlihat senang, walaupun Seungwoo dapat melihat wajah kekasihnya pucat dari jarak pandang sedekat ini.

Mereka berdua memutuskan pergi ke taman bermain di daerah Incheon. Bukan taman bermain yang ramai seperti Lotte World atau Everland, karena Seungwoo paham semua itu terlalu beresiko untuk Byungchan. Maka dipilihlah taman bermain yang tidak cukup ramai namun tetap memiliki berbagai fasilitas yang tidak kalah lengkap dibanding dua taman bermain terkenal lainnya. Wolmi Theme Park.

Byungchan tidak terlihat keberatan. Semenjak mereka berdua tiba di taman bermain Wolmi, senyum lebar tidak henti-hentinya terulas di bibir Byungchan. Selama Seungwoo mendorong kursi roda yang dinaiki Byungchan, si lelaki yang lebih muda menggenggam tangan Seungwoo di belakangnya. Seperti tidak ingin terpisah, walau hanya sekejap saja.

Seungwoo merutuk dalam hati. Seandainya para berandalan sialan itu tidak menghadang mereka, bagaimana mereka akan menghabiskan waktu seperti saat ini?

Tentu, akan tertawa dan berseru histeris ketika menaiki wahana menyeramkan bersama-sama.

Tentu, akan saling mengejek karena melihat sosok satu sama lain yang terlihat jenaka ketika mengenakan bando berbentuk kuping binatang.

Tentu, akan saling berbagi icip dari eskrim yang mereka beli bersama. Dua rasa berbeda, sengaja mereka beli agar dapat mengetahui kesukaan satu sama lain.

Pasti, akan begitu, 'kan?

Kak..”

Genggaman tangan Byungchan di tangan Seungwoo yang masih memegangi pegangan kursi roda, terasa dikuatkan. Si lelaki yang lebih muda memanggil Seungwoo dengan suara lemah juga kepala yang menengadah. “Kakak terpaksa ngajak aku ke sini, ya?”

Hm?“ “Nggak, kok.“ “Kenapa mikirnya begitu?

Daritadi..” “..kamu cemberut.” “Sama sekali nggak senyum.”

Seungwoo meneguk ludah, merasakan perasaan campur aduk di perutnya yang malah membuat mual. Apakah dia sudah bodoh? Tolol? Padahal Byungchan hanya ingin menghabiskan waktu bersamanya. Padahal Byungchan sudah merelakan pasokan infus dan oksigen yang semestinya masuk ke tubuh dilepaskan. Kenapa ia malah tidak bisa fokus dan memberikan kebahagiaan ke kekasihnya, sih?

Perlahan, genggaman tangan Seungwoo di pegangan kursi roda dilepaskan. Seungwoo berjalan ke arah depan, menghampiri Byungchan dan berlutut di hadapannya. “Byungchan..”

”..aku nggak tau, apa kamu mikir hal yang sama atau nggak tentang aku. Tapi, tolong ketahui satu hal..”

”..aku sayang kamu.“ “Banget.“ “Kebangetan.

Byungchan yang hanya bisa duduk di kursi rodanya, memandangi Seungwoo yang tengah berlutut di hadapan dengan senyum terulas manis. Tangan si lelaki yang lebih muda kini terangkat, mengusapi pipi Seungwoo dengan lembut. “Kak..”

“..aku nggak tau apakah kamu tau hal ini atau nggak..”

“..tapi kalau ada kosakata yang bisa ngegambarin perasaan melebihi kata banget, sangat, terlalu, amat, dan semacamnya..”

“..tolong ketahui kalau itu adalah kata yang mau aku sampaiin buat kamu.

Ya?

Tidak tahu. Seungwoo tidak tahu apa yang barusan merasuki tubuhnya, namun ia baru saja merasakan perasaan hangat namun sesak di saat yang bersamaan. Tanpa ia sadari, tangisnya pecah. Persis seperti anak kecil, menangis di hadapan Byungchan yang diam memperhatikannya seraya menyunggingkan senyum manis dihiasi lesung pipi. Usapan tangannya beralih dari pipi Seungwoo ke rambut si kekasih. “Kak..”

“..jangan nangis.“ “Aku bahagia.“ “Bisa sama Kakak kayak begini, aku seneng.

Kalau Kakak nangis, aku ngerasa keberadaanku cuma nyusahin Kakak. Hm? Kakak mau aku mikir begitu?

Seungwoo menggeleng cepat. Suara tarikan nafasnya terdengar seperti ditahan agar tangisannya tidak lagi pecah. Byungchan tertawa kecil, kemudian mencubit pelan ujung hidung Seungwoo. “Ya, udah. Sekarang senyum, bangun, terus dorongin bangku aku. Ayo? Aku mau beli gulali di depan. Go! Go! Go!

Byungchan tahu, ia tidak akan lama-lama dapat mengenang semua memori indah ini. Tadi pagi, ketika Byungchan bangun dari tidurnya, kepalanya sakit bukan main. Parahnya, untuk sesaat setelah ia bangun dari tidur, Byungchan tidak dapat mengenali sosok Seungwoo. Setelah ia berusaha keras, barulah ia mengingat bahwa sosok lelaki yang ada di sampingnya itu adalah Seungwoo.

Byungchan tidak dapat mengatakan hal itu kepada Seungwoo. Byungchan tidak mampu menjelaskan bahwa dirinya bahkan sudah tidak lagi dapat mengingat Seungwoo.

Untuk terakhir kalinya, biarpun mungkin akan dapat terlupakan dalam sekejap...Byungchan ingin mengingat momen ini.

Ketika langit terlihat cerah. Ketika angin berhembus sejuk. Ketika ia dapat mendengar suara Seungwoo. Ketika Seungwoo tersenyum kepadanya. Ketika mereka tertawa bersama.

Byungchan ingin mengingat.

Semuanya, tanpa terkecuali.

* * * * *

Lagi-lagi Seungwoo bermimpi buruk.

Sudah dua bulan berlalu semenjak kencan keduanya di taman bermain Wolmi di Incheon. Semenjak itu pula, Seungwoo memutuskan untuk merawat Byungchan di rumah dengan fasilitas seadanya. Orangtua Byungchan sudah tiada, ia dibesarkan di panti asuhan hingga akhirnya memutuskan untuk pergi dari sana dengan niat untuk mandiri.

Seungwoo sendiri tidak memiliki niatan untuk menceritakan perihal Byungchan ke keluarganya. Tidak akan ada hasil yang baik, pasti. Lebih baik begini, Seungwoo sendirian mengurus Byungchan. Mengusahakan kesembuhan sebisanya.

Namun, semenjak beberapa saat ke belakang...kondisi Byungchan tidak bisa dikatakan membaik. Keadaan si lelaki Choi itu malah semakin memprihatinkan. Tubuhnya semakin kurus, setiap makanan yang ditelannya akan kembali dimuntahkan.

Seungwoo paham, Byungchan tidak berniat memuntahkannya namun tubuhnya yang menolak untuk mencerna. Wajahnya pucat. Bahkan kerapkali Byungchan kejang-kejang secara tiba-tiba dan membuat Seungwoo histeris di awal-awal.

Sahabat Byungchan, Sejun, masih sering datang untuk menjenguk si sahabat. Sesekali membantu Seungwoo untuk menjaga Byungchan. Berulang kali, Sejun mengingatkan Seungwoo untuk pasrah dan selalu bersiap untuk kemungkinan terburuk.

Tidak salah jika Sejun berujar demikian. Byungchan sudah tidak dapat berbicara secara wajar. Terkadang bicaranya menjadi gagap. Ingatannya tentang sekitar sudah sangat minim. Ia tidak ingat apapun, terkecuali Seungwoo.

Lalu, seakan belum cukup tragis...Seungwoo sering dilanda mimpi buruk akhir-akhir ini. Mimpi di mana Byungchan benar-benar pergi meninggalkannya. Pergi, ke tempat jauh yang sama sekali tidak bisa ia raih. Seperti saat ini, Seungwoo terbangun dengan nafas tersengal karena mimpi yang sama.

Seungwoo jadi takut untuk terlelap, karena khawatir mimpinya bisa menjadi kenyataan kala ia sedang tertidur.

Kak..“, bisik Byungchan lemah. Sepertinya Byungchan juga ikut terbangun kala Seungwoo tersentak karena mimpinya barusan.

Seungwoo yang barusan sedang menangis tanpa suara, segera menghapus air matanya kemudian mengulas senyum lebar. “Hm? Kenapa? Haus? Mau minum?

Byungchan menggeleng. Tangan ringkihnya meraih tangan Seungwoo, tidak sanggup menggenggam dan hanya berakhir memegangnya saja. “Kenapa nangis?”

Nggak.“ “Nggak nangis.“ “Ini lagi berdoa.

Seungwoo menggenggam tangan Byungchan. Terasa dingin, kurus pula. “Berdoa buat kesembuhan kamu.

Byungchan tidak menjawab. Kepalanya terasa lebih pusing daripada biasanya akhir-akhir ini. Ia pun semakin sering muntah, tidak hanya ketika sedang makan namun juga ketika ia tidak sedang melakukan apa-apa. Berulang kali, ia hampir melupakan dan tidak ingat perihal Seungwoo. Byungchan sampai harus menuliskan nama Seungwoo di banyak tempat di sekeliling kasurnya agar ia dapat mengingat Seungwoo tanpa harus berpikir keras.

Seungwoo mengangkat tangan Byungchan yang ia genggam dan mengecupi punggung tangannya beberapa kali.

Byungchan.“ “Jangan tinggalin aku.

Byungchan terdiam. Tidak sanggup mengiyakan, tidak mau berjanji karena ia tahu bisa saja janji itu ia ingkari. Jika bisa memilih, Byungchan tidak ingin meninggalkan Seungwoo. Namun, ia bisa apa? Tubuhnya semakin sering kejang-kejang.

Kak..” “.. kalau Tuhan berbaik hati kasih aku satu permintaan buat dikabulin, aku pengen bisa hidup lebih lama.

Kalaupun aku nggak bisa sembuh, nggak apa-apa. Beneran. Aku cuma pengen bisa lebih lama barengan sama kamu.

Ingin sekali Seungwoo menyela kalimat Byungchan dengan mengatakan bahwa ia pasti bisa sembuh. Ingin sekali Seungwoo bersikeras menyatakan bahwa Byungchan tidak akan pergi atas alasan apapun.

Namun lidahnya kelu. Otak Seungwoo seakan mengingat bahwa semuanya tidak semudah itu. Kemungkinan Byungchan untuk sembuh sudah sangat rendah, yang bisa ia lakukan hanyalah menjaga Byungchan agar waktu hidup lelaki itu menjadi lebih panjang.

Kak..” “..Kakak kuat, ya?“ “Bakal ada masanya Kakak jalanin semuanya sendirian..”

Kalau Tuhan baik, aku bakal minta Tuhan izinin aku buat jagain Kakak dari surga sana..”

Seungwoo berusaha mati-matian agar tangisnya tidak lagi meledak. Byungchan mengatakan kalimatnya dengan manis, dengan kedua lesung pipi yang terbentuk dalam-dalam.

Lesung pipi yang membuat Seungwoo selalu terjatuh ke dalam pesona lelaki itu.

Tanpa Seungwoo sadari, genggaman tangan Seungwoo di tangan Byungchan semakin dieratkan hingga membuat kekasihnya itu sedikit mengaduh kesakitan.

A— Kak, sakit..”

Seungwoo segera mengendurkan genggamannya dan meminta maaf. Tangannya kini beralih mengusapi rambut Byungchan, seperti menina-bobokannya. “Istirahat, ya?

Byungchan mengangguk lemah. Perlahan, matanya terpejam dan nafasnya terembus teratur. Seungwoo masih mengusapi rambut Byungchan, memilih untuk tidak tidur.

Ia takut, mimpi buruknya kembali datang untuk menyapa.

* * * * *

Lima hari kemudian, mimpi buruk Seungwoo benar-benar menjadi kenyataan.

Byungchan tidak terbangun dari tidurnya walaupun Seungwoo berkali-kali memanggil namanya. Byungchan sama sekali tidak bergeming walaupun Seungwoo menepuki pipinya dengan cukup kencang.

Byungchan pergi, setelah malam sebelumnya ia menghabiskan waktu dengan terbangun hingga larut malam demi untuk berbicara tentang banyak hal dengan Seungwoo.

Byungchan mengatakan tubuhnya terasa lebih baik. Sehingga ia meminta Seungwoo untuk membiarkannya terbangun hingga larut malam. Byungchan mengatakan tubuhnya cukup kuat untuk bangun dari kasur, maka ia meminta Seungwoo menuntunnya ke sofa ruang tamu untuk menonton film bersama.

Selama menonton film bersama, Seungwoo merasakan senang yang bukan main. Byungchan tidak terlihat lemah. Nada bicaranya juga tidak lagi terdengar lemah dan terbata-bata. Byungchan merengek, mengatakan ingin meminum susu stroberi dan camilan biskuit.

Seungwoo sudah khawatir apabila kekasihnya itu akan muntah-muntah lagi. Namun tidak demikian. Hampir setengah bungkus camilan dilahap, hampir sekotak susu diteguk, Byungchan tidak menunjukkan tanda bahwa ia merasa mual. Ia malah tergelak puas ketika salah satu adegan film menunjukkan situasi komedi yang menggelitik perut.

Saat itu, Seungwoo merasa bahwa mukjizat itu memang benar adanya. Bahwa Byungchan benar, kondisinya sudah membaik.

Maka Seungwoo membiarkan Byungchan terbangun hingga larut malam. Maka Seungwoo menghabiskan tengah malamnya dengan membicarakan banyak hal bersama Byungchan.

Maka Seungwoo terlelap dengan senyum merekah. Membayangkan akan sebagaimana bahagia masa yang akan datang dengan Byungchan di sisinya.

Namun semua semu. Semua hanya halu.

Kini Seungwoo berdiri bersisian dengan Sejun yang masih merangkulnya erat. Takut-takut kekasih sahabatnya itu akan ambruk, Sejun terus merangkul Seungwoo selama prosesi pemakaman Byungchan berlangsung. Hingga semua prosesi sudah selesai, Sejun meminta izin untuk pulang terlebih dulu.

Hingga akhirnya, hanya Seungwoo yang tersisa di area pemakaman. Bersama dengan Byungchan, di tempat yang kini berbeda.

Di dunia yang juga berbeda.

Dari dalam sakunya, Seungwoo mengeluarkan sepucuk surat yang ada di atas nakas tempat tidur. Surat yang ditinggalkan Byungchan untuknya. Entah ditulis sejak kapan, Seungwoo tidak tahu. Namun diantara banyak kalimat yang dituliskan, ada satu kalimat yang membuat Seungwoo merasa sesak bukan main.

우리, 힘든 기약 대신 .. daripada menjanjikan hal yang sulit ditepati 말없이 믿어 보기로 해 .. mari kita diam saja dan saling percaya

Semenjak awal, Byungchan tidak berani berjanji. Namun ia percaya kepada Seungwoo bahwa dirinya akan selalu aman di pelukan lelaki itu. Byungchan menyerahkan semuanya kepada Seungwoo.

Seungwoo mengusapi foto Byungchan yang ada di atas gundukan tanah tempat kekasihnya dikebumikan. Foto yang diambil oleh Seungwoo ketika mereka masih awal-awal menjalin hubungan. Foto Byungchan yang tersenyum manis ke arah kamera, sehingga Seungwoo jadikan wallpaper handphonenya karena saking menyukai sang objek di dalamnya.

“그토록 봐왔던 얼굴 ..” wajahmu yang sekarang kupandang “오늘은 유난히 더 예쁘구나 ..” begitu cantik dibanding hari lainnya “나보다 더 씩씩하게 웃어줘서 고마워 ..” terima kasih sudah tersenyum sebegitu cerahnya untukku

“최병찬 ..” Choi Byungchan “이 밤을 뒤로 안녕 ..” Selamat tinggal, untuk malam ini “잠시만 안녕 ..” hanya untuk sebentar saja, selamat tinggal

Masih, Seungwoo masih mengusapi kaca bingkai yang melapisi foto Byungchan. Berusaha menyampaikan seluruh rasa sayang yang ia miliki kepada si kekasih melalui setiap sentuhannya.

“반드시 한 뼘 더 자란 모습으로 ..” aku akan jadi lebih baik lagi “네 앞에 설 테니까 ..” lalu berdiri di hadapanmu nanti

Seungwoo menghela nafas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan. Byungchan tidak akan pernah pergi darinya. Ia pernah berjanji bahwa akan menjaga Seungwoo dari tempatnya berada sekarang, di surga. Tuhan tidak akan sejahat itu untuk membiarkan Byungchan terkungkung di penjaranya.

Tuhan pasti akan mengabulkan karena tidak kuat melihat manisnya senyum Byungchan. Sama seperti Seungwoo yang selalu bertekuk lutut akan setiap permintaan si kekasih ketika ia sudah tersenyum manis.

Di dunia ini, di saat ini, biarlah Byungchan yang menjaga dirinya dari surga. Lalu di suatu saat nanti, ketika mereka sudah kembali bisa bersama, Seungwoo akan menjalankan tanggung jawabnya yang tertunda.

Menjaga Byungchan. Sebaik yang ia bisa.

Hingga akhirnya saat itu tiba, selamat tinggal untuk sementara.

END