dontlockhimup

Rendra Astario Soedibyo.        Galang Prawindu Soedibyo.        Tiada yang menyambungkan kami.        Tiada hubungan darah.        Tiada bernaung pada Tuhan yang sama.

       Kami tidak berbagi darah Ayah, pula tiada berbagi keyakinan Ibu.

       Satu yang sama; Mimpi yang dikekang.

                        ***

Semenjak terlahir ke dunia, gue terbiasa dengan ketidakberadaan sosok seorang wanita yang oleh kebanyakan orang biasa dipanggil sebagai Ibu. Gue terlahir sebagai seorang piatu. Ibu gue meninggal dua puluh menit setelah gue dilahirkan.

Miris? Tentu, gue tahu.

Ibunda, Diana Setyaningsih Liem, adalah sosok perempuan yang /katanya/ memiliki fisik hampir mendekati sempurna. Gue nggak tahu apakah hal itu fakta atau hanya rumor. Namun, kalau melihat dari kumpulan video yang direkam Ayah, sosok Ibu memang setara cantiknya dengan artis papan atas. Bahkan nggak hanya sampai disitu, menurut orang-orang Ibu adalah seorang intelek. Cerdas. Berkelas. Penggambaran sosok wanita sempurna mungkin bisa diaplikasikan dari sosok Ibu kala itu.

Namun sesuai apa yang sering dibicarakan orang, di dunia ini nggak ada yang sempurna. Begitupun dengan Ibu. Beliau nggak sempurna, beliau pernah khilaf.

Ibu, hamil di luar nikah akibat ulah seseorang yang entah harus gue panggil dengan sebutan apa. Babi? Anjing? Semua panggilan laknat itu ingin gue lontarkan untuk mahluk yang menjebak Ibu. Semua hal yang Ibu dapatkan dengan susah payah, menghilang dalam sekejap setelah kabar kehamilan tanpa suami tersebar luas. Semua kepercayaan orang-orang ke Ibu langsung ludes, hilang tanpa sisa. Semua orang menganggap Ibu sebagai seorang yang hina.

Belum cukup bikin Ibu hancur, si anjing babi yang membuat Ibu jatuh, kabur. Entah hilang kemana. Semua itu bikin Ibu frustasi, hilang arah tanpa tahu harus berbuat apa lagi.

Beruntung, di saat Ibu berniat mengakhiri hidup ada seorang calon tentara TNI yang secara kebetulan melintas dan menolong Ibu. Dia adalah Ayah gue yang sekarang menjabat sebagai Laksamana Madya di Angkatan Laut Indonesia, Gunawan Brahmana Soedibyo.

Itu sekilas kisah balik tentang Ayah dan Ibu.

Jijik? Geli? Sama, gue juga. Biarpun gue kerap mendengar cerita itu dari sanak famili, gue masih merasa jijik dan geli ketika membayangkan pertemuan pertama Ayah dan Ibu. Mungkin gue terlahir tanpa naluri untuk menjadi seseorang yang romantis. Yah, sepertinya begitu.

Ayah dan Ibu menikah, melahirkan seorang anak laki-laki yang dinamai Rendra. Ayah menyematkan nama keluarga di belakang namanya. Rendra Astario Soedibyo. Padahal, anak itu bukan putra kandung Ayah. Namun Ayah nggak ragu menamainya begitu.

Ayah, selalu menganggap bahwa Rendra (selanjutnya akan gue sebut sebagai Kak Rendra) adalah putera sulungnya.

“Kamu kebanggaan Ayah.” “Kamu putera Ayah.”

Ayah selalu berujar demikian. Lagipula, nggak ada yang mempermasalahkan perihal garis wajah oriental yang dimiliki Kak Rendra, karena orang-orang akan berpendapat bahwa semua itu didapat dari garis keturunan Ibu yang adalah orang Tionghoa asli.

Kehidupan mereka bertiga bahagia, kala itu. Hingga malapetaka datang. Gue, dilahirkan ke dunia. Sementara Ibu pergi ke surga.

Awalnya, gue kira hidup gue akan dihantui rasa bersalah karena telah menghancurkan apa yang orang-orang bilang sebagai sesuatu yang sempurna. Keberadaan gue menghancurkan keluarga harmonis. Merusak kebahagiaan sang Laksamana Madya dan si lelaki muda yang cerdas pula tampan.

Namun untungnya, nggak. Nggak sama sekali, malah. Kak Rendra nggak pernah mengatakan bahwa ia menyesal memiliki gue sebagai adik. Bahwa ia selalu menganggap gue adalah hadiah yang dititipkan Tuhan melalui Ibu. Kak Rendra, begitu.

Gue belajar banyak hal tentang apapun dari Kak Rendra. Status 'tiri' diantara kami berdua nggak berdampak apa-apa. Kami akrab.

Kak Rendra adalah spesial, dalam tanda kutip. Penampilan fisik, oke. Otak cemerlang. Tinggi. Putih. Nggak ada yang bisa dicela darinya. Gue terbiasa menerima pertanyaan atau respon dari orang-orang bahwa gue dan Kak Rendra secara hukum tercatat sebagai adik-kakak. “Kakak Adek kok nggak mirip sama sekali? Yang satu 'ncek, yang satu lagi kok lokal banget?” Gue yang disebut lokal. Sialan.

Memang nggak terbantahkan, muka kami memang beda banget. Kak Rendra bergaris wajah oriental yang kental, apalagi dengan mata sipit dan ujung mata ke atas. Sekali lihat, siapapun bisa menebak bahwa dia adalah keturunan Tionghoa.

Lalu, gue? Gue kloningan asli dari Ayah. Ayah memang memiliki sedikit darah keturunan Tionghoa tapi entah itu zaman nenek moyang keberapa. Karena nyatanya, Ayah gue memeluk agama Islam biarpun beliau dahulunya berdarah keturunan Tionghoa. Mata gue sipit, hanya nggak ketarik ke atas seperti Kak Rendra.

Sedari kecil, kami memiliki hobi yang sama, Judo. Gue juga heran sejak kapan gue dan Kak Rendra bisa menggemari olahraga ini. Bukan sekedar gemarㅡ tapi cinta, itu penggambaran yang tepat. Bahkan hingga tahap, gue dan Kak Rendra berniat menjadi atlet judo sungguhan.

Kami sempat bertekad jujur ke Ayah perihal keinginan untuk menekuni bidang olahraga Judo. Namun seperti sudah mengetahui niatan kami, Ayah berujar, “Rendra. Galang ..”

”.. Ayah ingin kalian menjadi abdi negara.”

Sial. Sialan. Semua rencana, gagal total.

Semua niatan kami untuk jujur, segera disudahi. Gue dan Kak Rendra hanya bisa diam sebelum akhirnya dia  berujar dengan mantap. “Baik, Yah.”

Gue? Nggak ada hal lain yang bisa gue lakukan selain ikut mengiyakan titah Ayah untuk menjadi abdi negara.

Sebenarnya, Ayah bukan seseorang yang berpikiran kolot. Ayah adalah penganut paham demokratis. Kalaupun misalnya gue ataupun Kak Rendra tetap jujur dan mengatakan bahwa kami ingin menjadi atlet Judo, ada kemungkinan bahwa Ayah akan mengizinkan. Biarpun nggak 100%, sih. Namun yang menjadi masalah, Kak Rendra adalah seseorang yang teramat sangat menghormati Ayah. Penjelasan sederhananya, kalau Ayah meminta Kak Rendra untuk terjun dari tebingㅡ ya, Kak Rendra pasti akan mengiyakan tanpa syarat. Gue nggak bohong. Pasti demikian.

Kadang gue heran, kenapa Kak Rendra mau sebegitunya mengiyakan segala keinginan Ayah. Setelah gue ulik, Kakak gue menganggap bahwa keberadaan Ayah adalah penolongnya. Dia, yang seharusnya berstatus sebagai anak dari hasil hubungan gelap dan diluar nikah, berhasil dinaikkan statusnya menjadi seorang putra sulung Laksamana Madya TNI AL. Bagi Kak Rendra, keberadaan Ayah nggak  kalah penting daripada Tuhannya. Gue nggak bisa membantah. Gue nggak bisa protes. Itu memang hak Kak Rendra.

Gue? Dengan status gue sebagai anak kandung seorang Gunawan Brahmana Soedibyo, seharusnya gue nggak perlu memikirkan hal yang rumit seperti dalam kasus Kak Rendra. Seharusnya, kalaupun gue jujur perihal keinginan menjadi atlit judo, nggak ada masalah yang akan timbul. Karena gue anak kandung beliau.

Namun, gue nggak ingin mewujudkan mimpi gue sendirian. Tanpa Kak Rendra, mimpi gue ini nggak akan ada artinya. Alhasil, gue juga mengurungkan niatan untuk jujur mengenai kegemaran kami terhadap Judo dan mengiyakan keinginan Ayah perihal menjadi abdi negara barusan. Percuma kalau hanya gue yang berhasil mewujudkan mimpi, sementara Kak Rendra berjuang di jalan yang nggak dia inginkan

Akhirnya, kami menyerah. Demi Ayah.

Lulus SMA, Kak Rendra memutuskan daftar ke AKPOL di Semarang. Jalannya mulus? Nggak. Berantakan, malah. Ketika Kak Rendra memutuskan masuk AKPOL, para guru BK di SMAnya sampai demo di depan rumah keluarga gue. Bahkan Kepala Sekolah SMAnya juga datang. Mereka ingin mencegah Kak Rendra masuk AKPOL, karena Kakak sulung gue sudah diterima melalui jalur undangan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Wajar, 'sih. Siapa juga yang nggak mau melihat anak didiknya masuk ke Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia pula. Yang salah disini hanyalah keteguhan Ayah untuk menjadikan para putranya menjadi abdi negara, dan kebodohan Kak Rendra yang akan melakukan apapun demi tidak mengecewakan Ayah.

Yah, begitulah. Pada akhirnya, nggak ada yang berjalan sesuai rencana. Begitupun dengan gue yang sekarang malah berkutat dengan buku Undang Undang mengenai pasal hukum di Indonesia; bukannya berlatih teknik Judo seperti yang pernah gue bayangkan sebelumnya.

Gue dan Kak Rendra pernah memiliki mimpi. Mengenakan atribut Judo dan berdiri diatas arena tanding pernah kami anggap sebagai satu kebanggaan dan kepuasan terbesar. Namun, alih-alih begitu sekarang kami berdiri di arena berbeda. Tidak dengan atribut yang sama. Tidak merasakan  kebanggaan; pula kepuasan yang semestinya.

Gue, Galang. Kakak gue, Rendra.

      Kami disini; berdiri rapuh       demi wujudkan mimpi panutan       yang takkan luruh.

“Rendra, Galang ..” ”.. Ayah ingin kalian jadi abdi negara.”

Kala titah dari Ayah terucap, apalagi yang bisa diucap?

Jawaban sudah ditentukan; ialah sebuah anggukan, mengiyakan.

***

Ayah.

Apa yang pertama kali terlintas di benak kalian ketika mendengar kata Ayah?

Sosok yang baik? Panutan? Atau malah, sebaliknya?

Pasti setiap orang memiliki definisinya masing-masing perihal sosok laki-laki yang kerap dijuluki superhero ini. Termasuk gue. Secara pribadi, sosok Ayah gue definisikan sebagai sosok yang tegas. Wajar, memang. In my case, Ayah adalah seseorang yang sudah lama terjun di dunia militer. Angkatan Laut, tepatnya.

Sehingga /entah/ disengaja atau nggak, imbas dari semua kebiasaan beliau di lapangan diberlakukan ketika mendidik gue dan Kakak gue, Rendra.

Disiplin. Etika. Mental.

Semenjak kecil, gue terbiasa dididik mengenai hal itu dari Ayah. Ayah selalu bilang, “Kamu laki-laki, Galang. Jangan nangis.” Beliau bukan sosok yang akan membujuk dengan sebungkus permen kaki. Mungkin karena hal itu, ketika gue disunat pun gue nggak nangis sama sekali. Sebelum gue disunat, Ayah berujar, “Galang, jangan nangis, kamu laki-laki. Perempuan wajar nangis. Laki-laki? Harus kuat.”

Gue jarang nangis. Kejadian tangisan gue yang paling konyol adalah ketika menonton adegan terakhir film Doraemon. Tolol, 'sih. Saat disunat, gue kuat, padahal.

Ah, memang fungsi syaraf gueㅡ aneh.

Hal sama juga sepertinya berlaku buat Kak Rendra. Gue jarang lihat Kak Rendra nangis. Ya, kurang tahu juga, 'sih, apa Kak Rendra pernah nangis atau nggak waktu putus dari Lita, mantannya di kala SMA.

Yang pasti, cara didikan Ayah berhasil membuat gue dan Kak Rendra tumbuh sebagai pribadi yang kuat juga nggak manja. Menurut Ayah, pendidikan adalah hal paling utama. Mungkin itu hal yang sempat membuat Kak Rendra lebih memilih fokus ke kuliah dan memilih putus dari pacarnya ketika SMA.

Gue? Gue juga berusaha fokus ke pendidikan. Walaupun nggak mutusin siapa-siapa. Jangan salah tebak, gue single berprinsip, bukannya jomblo karena nasib.

Semenjak kecil, gue nggak terbiasa dengan kata cinta. Cinta, ya? Sebenarnya, seperti apa bentuknya? Rasanya? Warnanya? Gue nggak tahu apa artinya cinta (dalam hal ini adalah perasaan antara perempuan dan laki-laki) yang sering dibicarakan khalayak.

Setiap kali kerabat gue berujar, “Gue lagi jatuh cinta,” terkadang gue merenung: berpikir perihal bagaimana cara mereka menyimpulkan bahwa perasaan yang mereka rasakan adalah jatuh cinta.

“Memang apa hal dari dia yang bisa bikin lo jatuh cinta?”

Itu pertanyaan yang sering gue tanyakan ke teman-teman gue yang /katanya/ sedang jatuh cinta. Mayoritas menjawab, “Cantik, Lang.”

“Gitar spanyol, jir. Bohai. Semok.” “Goyangannya di kasuㅡ” SKIP! SKIP, WOY!

Singkat cerita, kebanyakan dari mereka menjawab dengan alasan yang memang /nyata/ bentuknya. Gue pernah menanyakan hal yang sama ke Ayah, perihal alasan yang membuat beliau bisa jatuh cinta ke Ibu. Beliau menjawab singkat, “Nggak ada alasan apapun.”

“Ayah nggak pernah mencintai Ibu karena alasan tertentu tapi Ibu kamu, yang menjadi alasan bagi Ayah untuk mencinta.”

Jijik, Yah. Jijik pisan.

Dari situ gue menyimpulkan, bahwa ketika gue tertarik pada seseorang dan ditanyai perihal, “Lo suka dia gara-gara apanya, sih?”, ketika gue bisa menjabarkan alasannya dengan mendetail  itu berarti gue belum benar-benar sedang jatuh cinta. Yang sedang gue rasain adalah perasaan serakah untuk memiliki segala kesempurnaan pada diri seseorang. Karena jika lo jatuh cinta, lo bakal mencintainya tanpa alasan. Dia, apa adanya.

Mungkin karena itu gue masih jomblo sampe sekarang. Gue orangnya egois, serakah; menuntut kesempurnaan, dan masih mirip bocah SD yang keinginannya harus terpenuhi. Gue sadar diri, masih merasa belum pantes buat memiliki seseorang dengan peringai begini.

Ayah selalu sibuk dengan tugas militernya. Itu yang membuat gue dan Kak Rendra semenjak kecil menjadi sosok lelaki yang mandiri . Ayah memperkerjakan Pembantu Rumah Tangga tapi beliau nggak mengizinkan si pembantu untuk campur tangan membereskan kamar kami. Kenapa? Karena ruang pribadi adalah tanggung jawab kami berdua. Menurut beliau, kami dilarang manja dengan selalu bergantung ke pembantu. Hal yang berhubungan dengan ruang pribadi, harus kami sendiri yang atur.

Ganti seprai sehabis mimpi basah? Ya, ganti sendiri.

Ketika makan, kami diharuskan bersikap mandiri. Piring harus diambil sendiri, minum ambil sendiri, ketika cuci piring pun harus dicuci sendiri. Tugas pembantu di rumah kami? Memasak. Hampir lupa, kami juga nggak boleh bawel perihal menu makanan yang dihidangkan. Biarpun bibi pembantu memastikan untuk tidak memasak masakan yang dibenci oleh gue dan Kak Rendra, 'sih.

Bibi pembantu yang sudah lama berkerja bersama keluarga kami, biasa disapa Mbok Retno. Usianya hampir 60 tahun, namun masih bugar dan sehat. Mbok Retno sudah berkerja denggan keluarga kami semenjak Ayah dan Ibu masih pengantin baru, kurang lebihㅡ 22 tahun? Secara praktiknya, Mbok Retno adalah bagian dari keluarga Soedibyo.

Pelatihan kedisiplinan Ayah tidak berhenti sampai di sini. Sewaktu gue dan Kak Rendra masih bersekolah dan belum diberi fasilitas kendaraan pribadi, Ayah selalu menginstruksikan supir keluarga kami, Pak Tarno, untuk berangkat tepat waktu ketika mengantar kami ke sekolah.

Mobil selalu berangkat pukul 06.30 pagi. TENG. Terlambat barang semenit? Selamat menikmati perjalan ke sekolah dengan naik ojek yang ongkosnya ditanggung pribadi, alias dipotong dari uang jajan. Kami pernah hampir terlambat ke sekolah. Tepatnya, ketika gue dan Kak Rendra terlambat bangun sehabis tanding Play Station. Sialnya, Ayah juga menginstruksikan Mbok Retno agar tidak membangunkan kami berdua ketika gue dan Kak Rendra masih tidur pulas di jam 6 pagi.

Alhasil? Apa mau dikataㅡ terlambat bangun lah, hasilnya. Tertinggal shalat Subuh, pula. Astaghfirullah.

“AKU DULU, KAK!” “LANG! KAKAK ADA ULANGAN!”

Kami berebut giliran memakai kamar mandi, sampai akhirnya kami mandi bersama. Amit-amit, gue ogah mengingat bentukan kami berdua kala itu. Belum lagi, kami harus berebut memakai gayung. Gue, si adik egois memaksa untuk memakai gayung. Sementara Kak Rendra? Lari ke dapur, memakai panci sebagai pengganti gayung. Kakak gue jenius atau tolol? Entah.

Acara mandi selesai pukul 06.23 pagi. Hanya tersisa 7 menit sebelum mobil pak Tarno berangkat. Alhasil, kami berdua nekat lari ke mobil dengan badan masih terbalut handuk dan tas ransel serta seragam di tangan kiri dan kanan. “Loh, 'Den Galang. 'Den Rendra. Bajunya ya dipake dulu, toh.”

“Cabs, Pak! Lang, geseran!” “Kak! Dasi aku jangan diinjek!”

Begitu situasi kala itu.

Perjalanan menuju sekolah bagaikan menaiki wahana bombomcar di Dufan. Goyang sana, goyang sini karena harus memakai sepatu dan seragam di dalam mobil.

Tunggu, gue mau berbagi kisah tentang Ayah tapi kenapa malah membongkar aib sendiri? Kembali ke topik utama, Ayah. Singkat kata, Ayah adalah sosok yang disiplin, tegas, berkharisma, berwibawa, beretika, dan /ber ber ber ber/ lainnya. Tidak jarang, dahulu ada banyak janda muda di kompleks perumahan kami yang berharap dapat mencuri perhatian Ayah.

Gue dan Kak Rendra sering kecipratan rezeki. Janda-janda muda itu sering datang ke rumah, menanyakan Ayah dengan sekantong martabak telur hangat atau bajigur ditambahi kacang juga jagung rebus. Diterima? Oh, tentu. Menolak rezeki 'kan haram hukumnya.

“Iya, Tante. Nanti saya sampaikan ke Ayah kalau (makanan) ini dikasih dari Tante.”

Padahal sebelum Ayah pulang ke rumah, si martabak telur sudah ludes duluan dan pesan dari si Tante nggak pernah tersampaikan. Pinter? Pinter. Banget? Banget.

Kami bertiga jarang berfoto bersama. Selain karena Ayah memang jarang berada di rumah, Ayah bukan tipikal pria narsis yang gemar berfoto.

Ayah dan Kak Rendra sama sekali nggak mirip. Sementara gue? Sama, nggak mirip juga, 'sih. Cuma seenggaknya, ketika gue berujar bahwa Gunawan Brahmana Soedibyo adalah Ayah gue, orang-orang nggak akan kaget.

Ya, sudahlah. Singkat cerita, Ayah adalah sosok yang berhasil membuat gue menjadi seorang Galang yang sekarang. Gue yang ganteng, gue yang cool, gue yang penuh pesonㅡ

Bercanda, kok. Bercanda.

Pokoknya, apapun bentukan dan kesan pertama dari seorang Galang Prawindu Soedibyo yang ada di depan mata kalian, ini adalah hasil didikan dari Ayah bernama Gunawan Brahmana Soedibyo. Mungkin sekian yang bisa gue kisahkan tentang Ayah. Kalaupun nantinya ada yang ingin gue kisahkan, pasti akan disampaikan segera. Sampai berjumpa nanti!

Tertanda,

si bungsu Soedibyo ( Galang )

Sudut Pandang Seungwoo

Byungchan-a.

Dia terlihat serius mengetikkan sesuatu ke layar komputer di ruang latihan vokal. Entah apa itu, aku sendiri tidak begitu memperhatikan. Yang pasti bibirnya saat ini sedang sedikit mengerucut, mungkin saking terlalu menaruh perhatian ke benda berbentuk segi empat itu.

Panggilanku barusan membuahkan hasil. Ia yang semula hanya menaruh perhatian ke layar komputer kini mengalihkan pandangan ke arahku, kemudian tersenyum lebar. Entah sengaja atau tidak, memamerkan lesung di kedua sisi pipinya. Entah sengaja atau tidak, seperti ingin membuatku terjatuh lagi dan lagi ke dalam jurang pesona yang seakan tidak akan pernah kutemukan ujungnya.

“Hm?” “Kenapa, Kak?”

Aku duduk di hadapannya. Dia yang semula duduk dengan posisi tegak kini sedikit membungkukkan badan, seperti berusaha untuk menyamakan posisi pandangan denganku. “Kenapa?”

Tangannya terangkat, kemudian mengusapi kepalaku. Jemarinya berada di antara rambutku, membuat sebuah perasaan tenang dan nyaman karena tahu bahwa aku tengah disayangi secara penuh. Aku memejamkan mata, sementara kepala sengaja kuistirahatkan di lengan yang terlipat di atas meja. Ingin menikmati sepuasnya akan sentuhan lelaki di hadapanku ini.

“Nggak apa-apa,” jawabku dengan mata yang terpejam. Aku tidak tahu apakah Byungchan bisa menangkap senyumku atau tidak, namun aku tahu bahwa aku tengah tersenyum saat ini. Senang, terlampau bahagia.

“Kalau nggak apa-apa, kenapa manggil barusan?”, tanya Byungchan. Dengan mata yang terpejam, aku tidak tahu sekarang ia tengah melakukan apa. Namun dengan suara yang terdengar semakin mendekat dan embusan nafas yang terasa di lenganku, aku tebak bahwa kini ia sedang mengistirahatkan kepalanya dekat denganku saat ini.

Dugaanku tepat. Ketika kubuka mata, Byungchan sedang meletakkan kepalanya di lipatan lengan yang ia taruh di atas meja. Sama sepertiku.

Dari posisi begini, aku bisa lihat sebagaimana sempurna segala hal yang terpahat di wajahnya. Iya, terpahat. Karena .. semua di wajahnya seperti sengaja dibuat setelah berbagai pertimbangan yang penuh perhitungan ini-itu.

Hidungnya, mancung. Bibirnya, merah dan tebal di bagian bawah. Pipinya, sedikit tembam. Lehernya, jenjang.

“Ngantuk? Kakak mau balik duluan aja ke dorm?”

Pertanyaan Byungchan barusan diujarkan seraya sebelah tangannya mengusapi pipiku. Kuraih tangannya, kemudian beberapa usapan kudaratkan pada punggung tangannya. Berusaha menyampaikan perasaan nyaman yang sama. Berusaha menyampaikan perasaan sayang yang tiada pernah bisa diukur besarnya.

“Nggak.” “Aku cuma mau manggil.” “Kangen, soalnya.”

Menjijikkan? Iya. Aku tahu, kok. Aku sendiri bukan orang yang pintar menyampaikan kalimat manis. Aku sendiri biasanya akan memasang ekspresi wajah datar ketika ada orang yang menyampaikan perasaan sukanya dengan cara berlebihan.

Aku tahu, kok.

Namun, kali ini ... semua tidak tertahankan. Sumpah demi apapun, aku rindu kepadanya. Walaupun saat ini aku sedang berhadapan dengannya, walaupun sekarang aku ada bersamanya ... rasanya masih kurang.

Byungchan tersenyum. Lagi-lagi seakan tidak tahu bahwa senyumannya yang menyunggingkan lesung pipi itu bisa saja membuatku gila dimabuk perasaan sayang yang terlampau banyak. Ia tersenyum, sangat manis.

“Aku di sini, Kak.” “Nggak ke mana-mana.”

Awalnya aku menggenggam tangan kanannya, namun kini Byungchan menggantikan tangan kanannya ke tangan kiri untuk kugenggam. Posisi kepalanya tidak lagi beristirahat di atas meja, kini ia sedikit bangkit agar kembali duduk tegak di bangkunya. “Aku ada sama Kakak terus, 'kan?”

“Sekalipun, nggak kepikiran buat aku buat nggak ada di sisi Kak Seungwoo. Jadi jangan kangen berlebihan, ya?”

“Aku belum mati.” “Masih hidup.” “Kalau mau ketemu, bilang. Kalau mau lihat aku, bilang. Aku janji, cuma butuh waktu lima menitㅡ aku pasti ada di hadapan Kakak.”

“Nggak akan lebih.”

Aku hanya terkekeh kecil mendengar ucapannya. Tangan kirinya yang kini ada digenggamanku masih kupegang erat, sesekali kuberi usapan di punggung tangannya dengan ibu jari agar ia tahu bahwa aku sangat mendambakan sosoknya. “Kalau ternyata lebih dari lima meniㅡ”

“Nggak akan.” “Aku nggak akan berani sejauh-jauh itu dari Kakak.”

Aku tahu, itu hanya kalimat manisnya agar aku tidak perlu merasa khawatir. Aku tahu, ia hanya berusaha membuatku merasa tenang dan tidak panik berlebihan. Aku tahu, bisa saja ia datang lebih daripada lima menit.

Aku tahu. Namun, kuputuskan untuk percaya. Sesekali mempercayai kebohongan yang manis bisa membuatmu sedikit merasa lebih tenang. Biarpun kuyakin tidak semua orang berpendapat sama, bagiku ya ... demikian.

“Kakak pulang duluan aja, gimana? Aku masih mesti rapihin folder di komputer. Sebentar lagi selesai, sih. Cuma kalau Kakak ngantuk dan mau pulang duluaㅡ”

“Nggg ..”, aku sedikit mengerang seraya menggelengkan kepala. Menolak idenya barusan. “Pulang bareng.”

“Kamu lanjutin aja. Aku tidur sebentar. Nanti tepuk-tepuk aja kepalaku biar bangun. Ya?”

Perlahan, kupejamkan mata sementara ibu jariku masih kugerakkan perlahan di punggung tangannya. Memastikan harum parfum yang terlalu sudah sangat kuhafal baunya itu masih menyambut indera penciumanku, tidak ingin membiarkannya terlalu jauh.

Aku .. .. tidak mau jauh, darinya.

Dari Byungchan.

* * * *

Sudut Pandang Byungchan

Lelaki ini, manja. Sangat teramat manja.

Walaupun sudah mendapat julukan sebagai leader, walau semua orang menganggapnya sebagai orang yang mampu dijadikan sandaran dari berbagai masalahㅡ di depanku, ia masih saja begini.

Manja. Kerapkali meminta hal yang akan terdengar kekanakan di telinga sebagian orang.

Byungchan-a!!!“ “Ada kecoak!!!

Byungchan-a.“ “Selca bareng, ayo.

Byungchan-a.“ “Bisa pikir sekali lagi?“ “Hampir selesai ..“ “.. jangan tinggalin aku sendirian.

Tidak. Untuk bagian yang terakhir, sama sekali tidak kekanakan. Aku masih ingat tatapannya kala itu. Penuh pandangan memohon, penuh harapan agar aku mengatakan tidak akan keputusanku untuk berhenti dari acara laknat itu. Permintaannya yang terakhir, tidak kekanakan.

Mungkin aku yang kekanakan. Menyerah karena rasa sakit yang menyerang. Padahal dia juga sakit. Padahal dia juga sama lelahnya. Namun, aku terlalu kekanakan karena menyerah dan meninggalkannya berjuang sendirian di sana.

Mungkin baru sekitar tiga menit setelah Kak Seungwoo mengatakan ia ingin tidur sebentar, namun kini dengkuran halusnya sudah terdengar. Usapan ibu jarinya di punggung tangan kiriku pun sudah berhenti, tidak lagi tergerak.

Memang, tangannya tidak lagi memberi usapan. Namun genggaman tangannya masih kuat, seakan tidak ingin melepaskan.

Aku suka dia. Aku sayang dia.

Bagaimana cara untuk mengungkapkannya dengan lebih jelas?

Aku suka dia. Aku sayang dia.

Segala hal tentangnya, membuatku terkadang merasakan sesak yang terlampau sangat. Ketika dia tertawa puas setelah mencetak gol di pertandingan sepak bola yang kami adakan, ketika dia terlihat serius ketika fokus mengerjakan sesuatu namun segera memasang senyum ketika ada yang memanggilnya. Ketika ia bernyanyi dan mencurahkan segala perasaannya di sana ...

... semua yang ia lakukan, terkadang membuatku ingin menangis. Bukan menangis karena sedih atau bagaimana, namun karena sesak yang membuncah di dada.

Sebab ia yang tengah tertawa itu adalah milikku. Sebab ia yang tengah serius itu adalah milikku. Sebab ia yang tengah menyanyi dengan bersinar itu ... adalah milikku.

Tangan kananku yang bebas kini tergerak kembali untuk mengusapi rambutnya. Terkadang aku heran, bagaimana bisa lelaki yang terlihat maskulin dengan pundak dan dada yang lapang begini memiliki rambut sehalus dan lembut begini?

Aku terkadang tidak habis pikir bagaimana seorang Han Seungwoo bisa merawat diri sebegininya.

Dengkuran halusnya masih terdengar, pun dengan tangannya yang masih menggenggam tangan kiriku erat-erat. Dasar, katanya dia menyuruhku melanjutkan tugasㅡ bagaimana bisa melanjutkan kalau sebelah tanganku dibebat begini, coba?

Dari rambutnya, tanganku tanpa sadar bergerak menuruni hidungnya. Kemudian beralih mengusapi pipi kanannya. Dia juga punya lesung pipi di sana, walaupun tidak terlalu dalam seperti milikku namun ada hal yang membuatku tidak pernah bosan menatapi senyumannya.

“Kangen?”

“Aku lebih, Kak.” “Bahkan .. aku nggak tau perasaan apa ini. Bukan cuma kangen, ini perasaan yang lebih.”

Bisa kurasakan suaraku terdengar serak karena berujar dengan suara yang terlalu kecil. “Kalau kangen ituㅡ perasaan pengen ketemu ketika dua raga terpisah.”

“Kalau yang aku rasain sekarang, lebih daripada itu.”

“Jelas-jelas kita ada di tempat yang sama. Jelas-jelas sekarang Kakak ada di depanku. Jelas-jelas sekarang nggak ada yang memisahkan kita berdua ...”

”... tapi Kakㅡ”

“ㅡaku nggak bohong.”

“Bahkan dengan segala situasi itu, aku masih kangen.”

“Biarpun kamu ada di depanku, biarpun kamu lagi di genggamanku, biarpun kamu ada di jarak pandangku ... aku masih kangen.”

Lelaki ini, bisa menjadi segalanya untukku. Penyemangatku di awal perjalanan, ketika aku tidak tahu apakah aku bisa atau tidak melewati semua ini. Pembimbingku dalam segala hal yang kulakukan.

Penyembuhku. Penyelamatku. Sahabatku. Saudaraku. Kekasihku.

Aku .. tidak tahu harus mengatakan apa lagi untuk menjelaskan eksistensi lelaki ini di perjalanan hidupku. Aku tidak bisa merangkai kata yang manis. Aku hanya bisa mengutarakan apa yang sedang kurasa dengan bahasa yang sama sekali tidak romantis begini.

Namun, ini ketulusanku. Ini kesungguhanku. Bahwa aku ... suka dia. Bahwa aku ... sayang dia.

“Kak.” “Aku sayang, banget.” “Sayang kakak, kebangetan.”

Dan aku harap, dia tahu.

“Di setiap saat, di setiap momen, di setiap kejadian, aku bersyukur karena diberi kesempatan buat menyayangi dan disayangi sama kamu, Kak. Aku serius.”

Aku harap, dia tahu.

Selamat tidur, Kak.

Han Seungwoo, aku nggak akan pernah bisa lepasin diri dari kamu.

END

Desktop ↳ 📂 Seungwoo ↳ 📂 Jangan dibuka (.. enter password ..) ( enter : 950825 ) ↳ 📂 ㅇ ㅗ ㅇ ↳ 📂 직캠 (FANCAM)

2004. Kediaman keluarga Kim.

“Namamu siapa?”

Anak lelaki berusia sekitar delapan tahunan itu masih duduk di sudut ruangan dengan kaki yang terlipat. Lututnya ia peluk, sementara kepalanya tertunduk. Seakan takut untuk memandang ke depan, entah karena alasan apa.

“Sayang, namamu siapa?”

Lagi, seorang wanita dengan tubuh agak sedikit tambun mengulangi kalimatnya. Tangannya tergerak untuk mengusapi kepala si anak lelaki yang tubuhnya tengah gemetar, seakan ingin memberi ketenangan walau sedikit saja.

“Sung Joon.”

Suara si anak lelaki terdengar sangat kecil, seperti mencicit. Ra Miran sampai harus mendekatkan kepalanya agar bisa mendengar ujaran si anak lelaki dengan jelas. “Sung Joon? Kenapa kamu ada di sini, tengah malam begini? Kamu sendirian? Orang tuamu di manㅡ”

“Ayah .... membunuh .... semuanya. Kakek, nenek, .... ibu, kakak ....”

“Aku .... kabur ....”

“Sembunyikan aku, ahjumma ....”

”.... aku takut ....”

Ra Miran sedikit terhenyak akan ucapan si anak lelaki yang bernama Sungjoon itu. Tubuh Sungjoon benar-benar gemetar hebat, entah karena kedinginan karena berada di luar dalam waktu yang cukup lama atau karena alasan lainnya. “Sung Joon, siapa nama Ayahmu?”

Sung Joon menggelengkan kepalanya, tidak ingin memberi tahu. “Aku tidak akan beri tahu! Kalau aku beri tahu, ahjumma pasti akan membawa aku ke kantor polisi karena ahjumma takut berada di dekatku!”

Suara Sung Joon tidak lagi mencicit, ia berteriak. Bahkan hingga sempat membuat Ra Miran terkejut bukan main.

“Aku kabur .... dari Ayah .... aku takut, tidak tahu mau ke mana .... tolong aku ....”

MIRAN!

Baru saja Miran ingin bertanya lebih jauh, suaminya, Kim Sung Kyun, berderap menghampiri sang istri dengan tergesa. “Barusan ada berita terkini. Katanya di daerah Hwaseong ada pembunuhan satu keluarga oleh seorang laki-laki bernamaㅡ”

“Lee Chun Jae ...”

Sung Joon berbisik, tubuhnya semakin bergetar. Pelukannya pada lutut yang terlipat semakin dieratkan, “.... yang membunuh .... Lee Chun Jae ....”

Mi Ran dan Sung Kyun saling bertatapan dengan pandangan yang sulit dijelaskan. “Sung Joon, nama lengkapmu ....”

“Lee Sung Joon ....” “.... pembunuh itu, Ayahku ....”

Sung Joon tidak berani mengangkat kepalanya. Ia masih tertunduk menatapi permukaan lantai rumah, takut melihat ekspresi dua orang paruh baya ini. Pasti mereka tengah menatapnya dengan pandangan takut. Pasti mereka akan mengusirnya karena tidak ingin berurusan dengan anak seorang tersangka kriminaㅡ

Namun semua pemikiran Sung Joon terbantahkan ketika sebuah tangan mengusapi kepalanya dengan lembut dan tangan lain kini terjulur ke hadapannya. “Sung Joon-a.”

“Kamu tinggal di sini saja dulu, ya?”

“Bersama ahjusshi, ahjumma, juga dua kakakmu nantinya.”

Sung Joon mengangkat kepalanya ketika mendengar kata kakak yang diucapkan oleh Sung Kyun. Benar saja, di samping Miran kini ada dua anak laki-laki yang terlihat lebih tua darinya (mungkin berusia belasan) tengah menatapi ia dengan pandangan iba.

“Ini Kak Jung Bong.” “Ini Kak Jung Hwan.”

“Jung Hwan, Jung Bong. Sekarang dia akan tinggal bersama kita, ya? Saling jaga, ya? Namanya Sung Jooㅡ”

“Ah, bukan.” “Namanya Jinhyuk.” “Lee Jinhyuk.”

Semenjak itu, Lee Sung Joon adalah keluarga dari Kim Sung Kyun. Oh .. ralat. Bukan Lee Sung Joon, melainkan Lee Jinhyuk.

Dia, Lee Jinhyuk.

Selamat datang di semesta OBVIOUS! Mulai dari sekarang, kalian yang membaca cerita ini adalah Eurydice.

Pertama, aku mau jelasin dulu. Kenapa sih namanya Eurydice? Eurydice diambil dari kisah Yunani, tepatnya pasangan Orpheus dan Eurydice. Nama OBVIOUS sendiri adalah nama yang sudah di'sesuai'kan dari kata Orpheus yang merupakan sosok seorang penyair dan musisi paling terkenal di masanya. Lalu, Eurydice sendiri adalah pasangan Orpheus. Maka dilambangkan bahwa Eurydice adalah mereka yang mencinta dan mencintai OBVIUS (di mana memang awalnya direncanakan untuk diberi nama Orpheus.)

Terus, kenapa lightsticknya kayak monas? 흐흐흐 menurut penjelasan dari kakak yang bikin desain lightsticknya, itu bukan monas tapi angka 6. Kalau dilihat baik-baik, keliatan kok angka 6nya 😁 Terus dadu disitu diambil dari kata 'dice' di Eurydice dan merah biru yang muncul warnanya ketika lightstick dinyalain berarti keberanian juga ketenangan di satu waktu sekaligus. 👌

Lalu, kedua. AU OBVIOUS ini adalah interactive!au. Yang mana, akhir ceritanya belum aku tentukan dan bakal aku bawa sesuai tanggapan dan komentar yang kalian tinggalkan pada official account OBVIOUS.

Iya. Kalian tau, kan, ada akun officialnya? Nah, temen-temen semua yang baca AU ini silahkan tinggalkan komentar pada setiap postingan dari para member OBVIOUS yang nantinya akan dipost di akun @OBVIOU5_twt. Bersikaplah seakan-akan kalian fans OBVIOUS yang nggak tau apa-apa perihal segala konflik internal di dalam grup ataupun perkara campur tangan agensi. Kita lihat, sejago apa kalian bisa berakting 흐흐흐.

Ingat! Biarpun akhir cerita ini kalian yang tentukan, namun aku akan tetap ambil respon atau jawaban yang paling mayoritas.

Misalnya : Wooseok post tweet dimana dia nanya mesti makan apa. Walaupun kamu kasih saran ke dia buat makan nasi, kalau misalnya jawaban mayoritas dari temen-temeb lain ngasih tau buat makan mie, Wooseoknya bakal makan mie.

Begitu. Paham, 'kan? ^^

Ketiga. Di awal cerita, kalian semua nggak tau soal keberadaan Hangyul sebagai member yang akan ditambahkan ke OBVIOUS. Kalian adalah Eurydice yang dukung kelima member a.k.a OT5. Semua alur cerita bakal kubawa ke awal di mana mereka baru debut, baru ngerasain gimana serunya jadi artis, dan lain sebagainya. Ceritanya nggak akan langsung JEDER ke bagian Hangyul dileaked sebagai member baru. Seloooow ☺ Kalian ikutin aja semua permainan yang nantinya ada di dalam cerita.

Keempat, ketika Hangyul sudah direveal sebagai member baru barulah kalian boleh memilih untuk tetap jadi OT5 buat OBVIOU(5) atau mau jadi Eurydice yang mendukung Hangyul di dalam grup buat OB(VI)OUS. INGAT! Sebelum cerita perihal Hangyul ini diangkat, kalian masih tetap jadi pendukung OT5.

Kelima. Aku belum bisa kasih tau ini bakal jadi kisah bxb atau bxg. Cuma aku mengusahakan bakal angkat cerita yang emang banyak terjadi di situasi nyata. Ingat, semua akhir cerita itu ditentukan sama kalian! Kalau pada mau bxb, ayo ramein dengan komentar bxb. Kalau mau bxg, jangan lupa cari kawan seperjuangan buat mewujudkan keinginan kalian. 😁😁😁

Keenam, aku mau tau segimana antusias kalian buat jadi Eurydice! Biar semakin berasa, kalian yang mau join jadi Eurydice silahkan tinggalkan komentar di kolom (EURYDICE 1기) ini, ya! 👇👇👇 Tenang, kayak fandom aslinya yang selalu kasih fankit ke mereka yang daftar ke fanclubㅡ temen-temen yang nantinya tinggalkan komentar di bawah ini bakal aku tag sesuatu yang masih dalam masa pengerjaan 😁😄

Bagi yang mau join jadi Eurydice, bisa tinggalkan komentar dengan format begini, ya!

“Halo! Aku Eurydice 1기! Member favoritku (isi nama member) karena (isi alasan kenapa kalian suka member ini). Salam kenal, ya.”

Kalian yang sudah kirim tweet begini, otomatis jadi Eurydice dan kemungkinan buat dibales mentionnya sama member OBVIOUS pas mereka lagi mention party bakal lebih gede! 😁

Ketujuh dan yang terakhir, ini AUku yang (jujur) effortnya paling banyak. Aku nggak berharap yang muluk-muluk, aku cuma pengen temen-temen semua yang baca bisa ngerasain seneng dan seru pas baca OBVIOUS, ya. Semoga nggak ada yang menganggap bahwa semua yang kujelasin di atas ini berlebihan ㅠ kalau memang ada yang mau disampaikan atau ada unek-unek, boleh mampir ke CCku di bawah ini, ya! 💕💕💕

Terima kasih, semua! Beri cinta yang banyak buat OBVIOUS, ya. 😄

Salam hangat, tebe. ☆

Klik di sini untuk dengarkan lagu yang pas didengar ketika membaca cerita ini.

* * * * *

Yakin, nggak ikut?

Seungsik, kembali melongokkan kepala ke dalam ruang latihan. Di dalam ruang yang di sekelilingnya dipasangi cermin berukuran super-besar, masih ada Seungwoo yang tengah menyandarkan tubuhnya di dinding juga Byungchan yang sedang membetulkan tali sepatunya.

Keempat member yang lain? Sudah berlalu menuju ruang yang lain, ke ruang dimana sang manager mengatakan sudah membelikan pizza untuk mereka bertujuh.

“Kalau nggak pergi sekarang, pasti kehabisan.”

Seungwoo menggeleng seraya sedikit menolehkan kepalanya ke arah Seungsik. “Habisin aja. Kalau mau, makan aja punyaku juga.”

Seungsik mengangguk paham. Mereka sudah bukan di masanya untuk saling memaksa untuk makan, terlebih leader mereka pastilah sudah lebih paham akan hal itu. Tidak perlu memaksa untuk makan jika memang tidak mau. “Ya udah, kalau gitu. Byungchan?”

Pass.“ “Lewat, Kak.” “Mesti diet.”

Seungwoo mengalihkan pandangan ke arah si lelaki Choi yang kini tengah duduk bersila di depan cermin besar seraya mengarahkan kamera ponselnya ke sana. Selfie, lagi-lagi. “Makan, Byungchan.”

Seungwoo berujar dari tempatnya, masih sembari bersandar di dinding. Hanya tatapannya saja yang tertuju ke arah si yang lebih muda. “Makan, sakit nanti.”

“Kakak juga makan, lah.” “Jangan nyuruh doang.” “Sendirinya nggak.”

Seungsik meloloskan tawa kecil. Menganggap semua yang terjadi di hadapannya sekarang sangatlah lucu. Ketika Seungwoo tidak ada, Byungchan selalu merengek. Mengatakan rindu dan segala hal lain perihal ini-itu. Sekarang ketika Seungwoo ada di sini, ia malah bersikap acuh tidak acuh.

Seorang Choi Byungchan adalah sosok yang sangat sulit ditebak.

“Ya udah, Kak.” Seungsik beranjak menutup pintu ruang latihan, sepertinya ia juga tidak ingin kehabisan jatah pizza. “Kuusahain buat sisain pizza buat kalian. Coba kamu bujuk Byungchan buat keluar juga. Itu anak dayat-diyet melulu, sakit nanti.”

Seungwoo mengangguk kecil. Melihat jawaban yang diberi oleh Seungwoo, Seungsik akhirnya benar-benar pergi meninggalkan ruang latihan. Menyisakan si lelaki Han dan lelaki Choi yang masih ada di sana, duduk dengan terpisah jarak beberapa meter antara satu sama lain.

“Byungchan-a.” Pada akhirnya, Seungwoo memilih untuk bangkit dan menghampiri si yang lebih muda. Pundak Byungchan ditepuk, sementara tubuh Seungwoo hanya setengah membungkuk. “Ayo, makan. Bareng. Kamu mesti makan.”

Byungchan melirik sekilas ke arah Seungwoo dari pantulan cermin di hadapan keduanya. Bukannya bangkit untuk berdiri, Byungchan malah menarik tangan kanan Seungwoo yang semula berdiam di pundaknya. Meminta si yang lebih tua agar ikut duduk di sampingnya.

“Mau apa, hei?”, tanya Seungwoo ketika Byungchan menariki tangannya. Yang ditanyai hanya mengulas senyum tipis.

“Foto.” “Sekali aja.”

Mendengar jawaban singkat dari Byungchan, Seungwoo hanya mendengus kecil— seperti menahan tawa geli, sebelum memutuskan untuk duduk di samping Byungchan. Mengikuti permintaannya. “Foto kayak gimana, hm? Cuma disimpen aja, 'kan?”

“Iya.” “Cuma buat aku aja.”

Mungkin foto Seungwoo yang tengah berfoto berdua dengan Byungchan sudah ada beribu jumlahnya. Semua tersimpan rapi di ponsel si lelaki Choi, tidak semudah itu disebarkan untuk menjadi konsumsi publik.

Foto ketika mereka sedang jalan-jalan berdua. Foto ketika mereka makan di supermarket pinggiran, berdua. Foto ketika mereka latihan dance bersama. Foto ketika merekaㅡ tertidur di atas ranjang yang sama. Banyak. Banyak sekali, malahan.

“Tapi habis itu makan?” “Kamu belum makan.”

“Iyaaa.” “Iya, aku pasti makan.”

Byungchan semakin menarik tangan Seungwoo sehingga mau tidak mau kini si lelaki Han sudah duduk di samping si yang lebih muda. Hitungan aba-aba diberi oleh Byungchan, membuat Seungwoo segera memasang pose yang (memang) tidak begitu sulit untuknya.

Satu foto. Dua foto. Tiga foto.

Hingga mungkin sampai jepretan foto ke dua puluh lima, Byungchan baru menyatakan puas dengan foto-foto yang mereka ambil barusan.

“Udah?”

Byungchan masih tersenyum. Jemarinya bergerak di atas layar ponselnya, memandangi banyak foto yang sudah mereka ambil. Seungwoo? Sama. Ia juga tersenyum ketika memperhatikan Byungchan yang begitu.

Byungchan yang manis. Byungchan yang polos. Byungchan-nya.

“Heeeu.” Saking gemasnya, Seungwoo mengusak kepala Byungchan. “Sebegitu senengnya, hm?”

“Yang kayak begituan, masih ditanyain?”, tanya Byungchan seraya melemparkan tatapan yang sedikit tajam ke si lelaki Han.

Seungwoo paham akan maksud dari jawaban Byungchan barusan. Bahwa sesungguhnya, Byungchan juga senang. Bahwa sesungguhnya, Byungchan juga bahagia ketika mendapati Seungwoo ada di sisinya lagi.

Si lelaki Choi itu hanya tidak ingin menyuarakan pemikirannya dengan terlalu gamblang. Mungkin, mungkin saja ia memikirkan perasaan Seungwoo yang kerap masih dilanda perasaan tidak jelas bentuknya karena banyak hal yang terjadi selama beberapa bulan ke belakang.

“Ya udah, yuk?” “Fotonya udahan, 'kan?” “Makan dulu, ya?”

“Kak.” Byungchan kembali menahan tangan si yang lebih tua ketika ia sudah beranjak untuk bangkit dari posisi duduknya. “Kak Seungwoo ..”

“Hm?”

“Sebentar lagi, boleh?” “Sebentar aja.” “Mau berdua.”

“Sebentar lagi.” “Boleh, ya?”

Tidak ada yang tahu perihal hubungan keduanya kecuali mereka berdua, dan Tuhan tentunya. Tidak ada yang tahu perihal perasaan mereka berdua yang sesungguhnya saling bersambut. Tidak ada yang tahu bahwa Choi Byungchan dan Han Seungwoo adalah sepasang kekasih yang saling mencinta.

Yang para membernya ketahui hanyalah Seungwoo yang sangat dekat dengan Byungchan sebagai adik kesayangan. Yang para managernya ketahui hanyalah Seungwoo adalah sosok leader yang baik karena selalu menjaga Byungchan yang notabene adalah member terlemah di dalam grup. Yang para fans mereka ketahui hanyalah Seungwoo dan Byungchan adalah muse mereka dan kerap dipasangkan untuk kepuasan halusinasi semata.

Tidak ada yang tahu bahwa kasih mereka memang nyata adanya. Tidak ada yang menyangka bahwa omongan cocok dari mulut setiap orang memang berarti benar, bahwa mereka cocok dari segi personalitas dan perasaan antara satu sama lain.

Byungchan dan Seungwoo, mereka merahasiakannya. Belum siap untuk mengakui kepada dunia bahwa mereka sudah saling memegang hati satu sama lain. Belum siap, terlalu takut.

“Tapi kamu mesti makan,” Seungwoo berujar seraya beralih menggenggam jemari tangan Byungchan yang semula menahan lengannya agar tidak pergi. Sekarang jemari sudah digenggam, punggung tangan Byungchan diusapi pelan oleh ibu jari Seungwoo. “Makan dulu, ya? Abis itu kita keluar buat ngobrol.”

“Nnnnggㅡ”

Mana bisa Seungwoo menolak ketika Byungchan kini merajuk seraya menggeleng-gelengkan kepalanya? Mana bisa Seungwoo menolak ketika bibir manis si lelaki Choi kini mengerucut dan membuatnya gemas setengah mati?

“ㅡ maunya sekarang.” “Sebentar aja.” “Aku kangen.”

Seungwoo mengulas senyum tipis sebelum akhirnya mengangguk mengiyakan. Tidak ada gunanya menolak, toh jika Byungchan meminta apapunㅡ ia tidak bisa mengatakan tidak. “Iya. Ayo.”

“Tapi pindah tempat, ya?” “Kalo diem di tengah begini, keliatan CCTV.”

Seungwoo melirik ke arah atas, dimana ada sebuah unit CCTV yang diinstal oleh pihak agensi dengan maksud untuk mengawasi para trainee maupun artisnya. Byungchan menggeleng, lagi. “Nggak apa-apa.”

“CCTVnya rusak.” “Waktu Kakak nggak di sini, Subin nggak sengaja lemparin sepatu Kak Sejun ke atas. Terus, ya ..”

“Kena CCTVnya?”, tebak Seungwoo dan dibalas dengan anggukan dari Byungchan.

“Katanya, sih, mau diganti tapi masih belum panggil teknisi juga. Jadi ya, gitu. Masih rusak.”

Penjelasan Byungchan sedikit membuat Seungwoo terkekeh. Cara bercanda mereka memang terkadang sedikit ekstrem. “Ya udah, kita ngobrol.”

“Sambil nyender di belakang, ya? Punggungku sakit. Udah lama nggak latihan jadinya berasa encok.”

Ujaran Seungwoo dibalas dengan tawa dari Byungchan. Namun si yang lebih muda tetap bangkit, mengikuti permintaan si lelaki untuk duduk di bagian belakang ruang latihan. “Dasar, pantes aja di fanmeeting kemaren disebut om-om sama fansnya.”

“Heh!” “Nggak usah ingetin, ya!”

Byungchan masih tertawa geli. Teringat akan peristiwa dimana Seungwoo disebut sebagai 삼촌 atau Paman oleh fansnya sendiri yang adalah siswi kelas 3 SMA. “Lho, aku ngomong kenyataan,” tukas Byungchan, mencoba memberi pembelaan diri.

Seungwoo sedikit mencibirkan bibir sebelum akhirnya kembali duduk di bagian belakang dari ruang latihan. Ia kembali menempatkan diri di posisi yang sama seperti sebelumnya, kemudian segera menyandarkan punggung ke dinding. “Udah. Jangan malah bikin aku kesel. Duduk, sini.”

Seungwoo menepuk-nepuk ruang kosong di sampingnya, memberi isyarat kepada Byungchan untuk duduk di sana. Yang diberi isyarat segera paham dan tanpa menunggu lama, langsung duduk di sebelah Seungwoo kemudian menyenderkan kepalanya di pundak si lelaki Han.

“Aaaaaahㅡ” “ㅡemang, ini tempat terbaik.”

Ujaran Byungchan yang tiba-tiba membuat Seungwoo mengernyitkan alis. Bingung. “Apanya? Ruang latihan?”

“Bukan.” Ujar Byungchan seraya mengetuk-ngetukkan kepalanya pelan ke bahu Seungwoo. “Ini, di sini.”

“Bahu Kakak.” “Tempat terbaik.”

“Pftㅡ”, hampir saja Seungwoo terbahak jika saja ia tidak mengingat bahwa Byungchan bisa saja marah jika ia melakukan hal demikian. “ㅡ ini gombalan versi terbaru atau gimana?”

“Pundak aku tulang doang. Keras. Kamu kalo nyender juga pasti kletak kletuk kepalanya. Iya, 'kan? Enakan juga tiduran di sofa.”

“Ngggㅡ”

Byungchan menggeleng, menyatakan tidak setuju dengan ujaran Seungwoo barusan. “Kamu nggak akan paham karena nggak pernah ngerasain ini.”

“Senderan di pundak orang yang kita sayang, walaupun emang keras dan mungkin cuma tulang doang .. tetep aja berasa empuk.”

Ketika Byungchan mengujarkan kalimatnya, si lelaki Choi meraih tangan kanan Seungwoo. Memperhatikannya sejenak sebelum akhirnya menautkan jemarinya ke sana, menggenggam erat. “Kamu nggak akan paham gimana rasanya aku ngerasa nyaman ketika senderan begini dan nyium bau tubuh kamu.”

Seungwoo menjawab pelan. “Badanku bau?”

Byungchan mengangguk. “Bau, lah. Bau keringat. Kayak sekarang, sehabis latihan. Kadang juga bau keringat sehabis ...”

Ujaran Byungchan terhenti, membuat Seungwoo mengernyit sekilas sebelum akhirnya tertawa kecil. Paham akan maksud ujarannya barusan. “Sehabis apa, hm?”, tanya Seungwoo, jahil.

“Yaa ..”

Bagaimana bisa Byungchan mengatakan dengan gamblang bahwa situasi Seungwoo yang berkeringat lainnya adalah ketika mereka selesai berhubungan intim, coba? Malu.

”.. sehabis nge-gym?“, lanjut Byungchan, mencoba mengarahkan pembicaraan ke topik yang lebih aman untuk diperbincangkan. Seungwoo tertawa, tergelak kencang. Byungchan mengerucutkan bibir, malu sekaligus kesal melihat Seungwoo yang seperti kesenangan karena berhasil membuatnya salah tingkah begini. “Jangan ketawa.”

“Ya, abisnya ..” “.. kamu lucu.” “Kebangetan.”

Seungwoo mencoba meredam tawanya dan beralih membalas genggaman erat jemari Byungchan di telapak tangannya. “Lucu banget, kamu.”

Byungchan masih merengut. “Apaan, sih? Lucu-lucu. Aku nggak lucu.”

“Lucu.”

“Nggak.”

“Luucu.”

“Nggaaak.”

“Manis.”

“Nggㅡ hm?” “Manis? Boleh, deh.”

Selama pertikaian kecil itu berlangsung, Byungchan masih menyenderkan kepalanya di pundak Seungwoo sehingga si lelaki Han tidak bisa memastikan bagaimana ekspresi wajah Byungchan. Namun dari nada bicaranya saja, Seungwoo bisa membayangkan sebagaimana manisnya Byungchan saat ini. Gemas, pasti.

Tangan kanan Byungchan di genggaman Seungwoo kini dikecupi punggungnya. Tidak banyak, hanya tiga kali. Sebagai bentuk pelampiasan kegemasan yang tengah dirasa, mungkin.

“Kamu gemes banget, tau, nggak? Gemes, gemes, gemessss. Sampai rasanya kalau bisa, aku pengen masukin kamu ke kantung celana aku biar bisa aku bawa-bawa ke manapun.”

Byungchan yang masih menyandarkan kepalanya di pundak Seungwoo hanya bisa tertawa kecil. Cermin besar di hadapan mereka sekarang membuat pantulan yang cukup membantu Byungchan untuk mengetahui ekspresi wajah Seungwoo tanpa perlu menengadahkan kepala. “Aku 185cm, lho. Mau masukin ke kantung celana, gimana, coba?”

“Nggak tau.” “Makanya, coba kalau cerita Charlie and The Chocolate Factory itu nyata. Aku mau masukin kamu ke mesin teleport itu. Yang bisa bikin manusia jadi kecil. Biar kamu bisa dibawa ke mana-mana.”

Byungchan terkekeh. Lelakinya ini memang terkadang memiliki pemikiran yang kekanak-kanakan. Sebagaimanapun ia pernah mengemban tugas menjadi leader, tetap saja Han Seungwoo adalah bungsu di keluarganya yang terkadang kerap melemparkan ide tidak masuk akal. Contohnya, ya .. seperti sekarang.

“Kalau aku jadi kecil, nanti pas kamu mau .. gimana ngelakuinnya, coba?”

Seungwoo terdiam. Benar juga, ia tidak pernah berpikir sampai ke sana. “Iya, ya ..”

“Ya udah.” “Begini aja, deh.” “Nggak usah bawa kamu ke mana-mana. Begini aja udah lebih dari cukup.”

Tangan kanan Byungchan masih digenggam erat oleh Seungwoo. Sesekali diusapi punggung tangannya, sesekali dikecupi pula. “Byungchan-a.”

“Hm?”

“...”

“Apa?”

“Nanti aja, deh.”

“Tuh.” “Tuh.” “Suka kesel aku, kalau pas mau ngomong malah ditunda-tunda.”

Seungwoo tertawa. “Beneran, nanti aja. Setelah aku pikir, nggak penting juga buat ditanyain.”

“Siapa bilang?”

“Hm?”

“Siapa bilang tentang kamu itu nggak penting? Semua tentang kamu itu penting buatku, Kak.”

“Inget, nggak? Ketika kamu bilang bahwa kamu baik-baik aja beberapa bulan lalu? Hm?”

“Aku di sini udah nangis kayak apaan tau, deh. Coba aja tanya ke Kak Sejun. Mataku udah bengkak, suara juga serak. Saking udah nangis nggak karuan di kamar.”

Seungwoo tersenyum tipis. Tangannya kini dilepaskan dari genggaman jemari Byungchan dan beralih mengusapi rambut Byungchan, perlahan. “Iya. Iya. Udah, nggak apa-apa.”

“Aku cuma mau tanya, nanti malam enaknya kita beli makan apa? Soalnya pasti pizza bagian kita udah dimakan sama mereka berlima.”

Byungchan menatap tajam ke arah Seungwoo dari pantulan cermin di hadapan. “Serius? Mau tanya itu? Nggak bohong?”

Seungwoo balas menatap Byungchan melalui pantulan cermin besar di hadapan mereka. “Iya. Serius. Nggak bohong.”

Byungchan mengangguk-angguk kecil. Mencoba mempercayai ucapan si lelaki Han. “Ya udah, aku percaya. Awas aja, kalau bohong.”

Seungwoo menggeleng, mencoba meyakinkan bahwa ucapannya memang serius. “Udah. Makan dulu, yuk? Ayo, banguㅡ”

“Nggak.” “Nggak mau pindah.” “Masih mau begini.”

Byungchan tidak beranjak dari posisinya yang bersandar di pundak Seungwoo. “Sebentar lagi.”

Seungwoo tidak bisa menolak. Permintaan Byungchan terlalu .. apa, ya? Diucapkan dengan manis. Hingga ketika kita mengajukan penolakan, rasanya seperti melakukan dosa besar.

“Iya.” “Boleh.” Seungwoo pada akhirnya kembali menyandarkan tubuh ke tembok. Tangannya sedikit tergerak untuk memindahkan posisi kepala Byungchan agar dapat bersandar dengan lebih nyaman di pundaknya. “Mau tidur, hm?”

Byungchan mengangguk.

“Kebiasaan.” “Kamu selalu ketiduran setiap kali nyender di pundakku. Nggak baik, padahal. Keras. Mendingan tidur di sofa atau kasur, 'kaㅡ”

“Ssst.” Byungchan mendesis, mengisyaratkan Seungwoo untuk diam. “Bayinya Seungwoo mau tidur. Ngantuk.”

“Tschㅡ”, Seungwoo mendengus. “Bayi apaan yang tingginya 185cm, coba?”, balasnya ketus namun tangannya tetap bergerak untuk mengusapi kepala Byungchan yang bersandar di pundaknya.

Byungchan terkekeh kecil, sebelum akhirnya memejamkan mata. Hanya untuk sejenak, karena kini matanya terbuka lagi dan memandangi pantulan mereka berdua dari cermin besar. Lebih tepatnya, memperhatikan Seungwoo yang tengah menatapi langit-langit ruang latihan.

Seungwoo selalu begitu. Biarpun terlihat baik-baik saja, sesungguhnya seorang Han Seungwoo selalu memiliki banyak pemikiran di benaknya. Banyak hal yang ia tutup rapat-rapat, kesedihan atau berbagai perasaan muram yang ia pendam dalam-dalam agar tidak banyak orang yang tahu.

Byungchan paham, sebagaimana lelakinya itu pernah bimbang. Byungchan tahu, sebagaimana lelakinya mencoba untuk berlaku adil namun malah berakhir dengan hasil yang tidak baik. Byungchan mengerti, sebagaimana lelakinya pernah menangis karena tidak kuat menahan segala cemooh yang datang dari berbagai sisi.

Seungwoo yang sekarang juga demikian. Biarpun barusan ia masih bisa tertawa dan bercanda dengan Byungchan, sekarang lelakinya tengah kembali menatapi langit-langit ruangan. Seperti memikirkan sesuatu yang tiada akan pernah ada habisnya.

Byungchan meraih tangan Seungwoo, lagi. Sebelum akhirnya menggenggam erat, seperti tidak pernah dan tidak ingin melepaskannya lagi.

Seungwoo tersadar dari lamunannya karena genggaman erat dari tangan Byungchan. “Hm? Katanya mau tidur? Kok malah masih bangun?”, tanya Seungwoo seraya kembali mengusapi puncak kepala Byungchan. Sepertinya ia mengira genggaman tangan Byungchan barusan adalah bentuk protes karena Seungwoo berhenti mengusapi kepalanya.

“내가 니 편이 되어줄게 ..” (aku akan selalu di sisimu) “괜찮다 말해줄게 ..” (aku akan mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja)

Secara tiba-tiba, Byungchan menyanyikan lirik barusan dengan suaranya yang serak. Seungwoo mengernyitkan alisnya untuk sejenak, sebelum akhirnya paham bahwa si kekasih ingin menyampaikan sesuatu lewat nyanyiannya. Maka Seungwoo hanya diam, dengan tangannya yang kini mengusapi daun telinga Byungchan.

“다 잘 될거라고 넌 빛날거라고 ..” (bahwa semua akan berjalan dengan baik, bahwa kau akan bersinar) “넌 나에게 소중한다고 ..” (bahwa kau berharga untukku)

“모두 끝난 것 같은 날에 ..” (di hari dimana kau merasa semuanya akan berakhir begitu saja) “내 목소릴 기억해 ..” (ingatlah suaraku)

“괜찮아 다 잘 될거야 ..” (tidak apa-apa, semua akan berjalan dengan baik) “넌 나에게 가장 소중한 사람 ..” (kau adalah seseorang yang paling berharga untukku)

Seungwoo tersenyum tipis setelah mendengar nyanyian Byungchan barusan. Entahlah, perasaannya seperti bercampur aduk. Ingin menangis? Iya. Merasa tenang? Ada juga perasaan demikian. Perasaan marah dan menyalahkan dirinya sendiri? Tentu ada. Terlalu banyak perasaan yang kini bercampur menjadi satu. Sulit untuk dijelaskan.

“Kak.”

Kali ini gantian Byungchan yang mengecupi punggung tangan Seungwoo. Seakan ingin menyampaikan segala perasaan dalam diri bahwa ia siap berada di samping Seungwoo sampai kapanpun. “Semua akan baik-baik aja.”

“Perlahan-lahan, ayo, mulai lagi.” “Pelan-pelan aja.” “Satu-satu.”

Seungwoo merasakan kecupan dari bibir Byungchan ke punggung tangannya seperti mengalirkan perasaan hangat ke seluruh tubuh. Perasaan seperti tenang karena mengetahui ada yang selalu mendukung. Perasaan sepertiㅡ entah bagaimana mengungkapkannya. Senang? Lebih daripada itu. Bahagia? Mungkin, hampir mirip. Namun ini jauh lebih daripada itu.

“Mulai lagi, ya?” “Kali ini, sama-sama.”

Seungwoo menghela nafas dalam-dalam. Sebisa mungkin mencoba untuk tidak menangis atau menunjukkan sisi lemahnya di depan Byungchan. “Iya.”

“Mulai lagi.” Seungwoo menolehkan kepalanya agar bisa mengecup puncak kepala Byungchan yang tengah bersandar di sisinya. Memberi kecupan dalam, seakan ingin menyampaikan segala perasaan sayangnya lewat sana.

“Sama-sama.”

Tidak ada janji yang terucap dari bibir keduanya. Karena mereka paham, janji bisa saja diingkari. Mereka hanya berusaha untuk mencoba melangkah lagi.

Perlahan-lahan. Selangkah demi selangkah. Bersama-sama.

* * * * *

END

“Dek?” “Malam.”

“Iya, Pak.” “Malam juga.”

“Hehehe.” “Tiba-tiba banget, ya?”

“Iya, Pak.” “Saya .. kaget.” “Ada apa, ya, Pak?”

“Nggak apa-apa, Dek.” “Mau ngobrol sama kamu aja. Sekaligus bilang makasih karena udah balikin jaket saya tadi sore.”

“Oh ..” “Harusnya saya yang makasih, Pak. Dipinjemin jaket jadinya saya bisa ngumpet tanpa ketahuan cewek-cewek.”

“Maaf, ya? Gara-gara saya, kamu jadi kerepotan.”

“He he he ..” “Lumayan sih, Pak, repotnya. Tapi yaㅡ udah, mau gimana lagi?”

“Iya.” “Mau gimana lagi?” “Sayanya terlanjur sayang dan maunya cuma sama kamu, soalnya.”

“...” “...”

“Dek?” “Masih di sana?”

“Ya, Pak ..”

“Ahㅡ syukur, lah.” “Saya masih mau ngobrol, soalnya. Masih belum mau udahan.”

“...” “Pak.” “Saya boleh tanya sesuatu? Saya penasaran soal ini dari dulu.”

“Boleh, Dek.” “Tentang apa?”

“Kenapa .. harus saya? Maksud saya, ini saya bukan siapa-siapa, lho. Cuma mahasiswa semester akhir yang masih stuck sama skripsi. Bukan mahasiswa berprestasi kayak Bapak. Saya denger dari Bang Jinhyuk, katanya Bapak ngelamar saya karena saya bisa ngusir kecoakㅡ”

“Nggak, kok.” “Awalnya memang karena kecoak. Tapi semakin ke sini, saya mau barengan sama kamu karena ... karena kamu.”

“Saya pengen serius sama kamu. Saya yakin kalau ke depannya, saya bisa jadi pribadi yang lebih baik kalau sama kamu.”

“Saya mau menyayangi kamu, Dek.”

“...” “Pak.” “Pak Seungwoo emang seblak-blakan ini, ya? Segampang ini bilang kalau sayang ke seseorang?”

“Nggak.” “Baru ke kamu, Dek.” “Serius. Saya orangnya jarang ngomong manis. Suka merinding sendiri, malah. Tapi ke kamuㅡ apa, ya? Kepengen aja. Pengen kamu tau perasaan saya. Pengen kamu paham segimana saya pengen sama kamu.”

“Gapapa, kan?”

“...” “...” “...”

“Dek?”

“Boleh, Pak.”

“...” “Tau nggak, Dek?” “Muka saya panas.” “Saya deg-deg'an.” “Duh. Kenapa, ya?”

“Sama, Pak.” “Saya juga ..”

“Dek.”

“Ya, Pak?”

“Boleh saya minta jangan panggil Pak? Sayaㅡ mau serius dengan kamu. Rasanya agak kikuk kalau kamu masih panggil saya pakai panggilan Bapak.”

“Panggil apapun boleh. Asal jangan Bapak. Panggil nama aja juga boleh, saya nggak masalah. Boleh, Dek?”

“...” “Boleh ..” “.. Kak.”

“Kak?”

“Iya.” “Kak Seungwoo.”

“Hehehe.” “Iya, Dek.” “Mulai sekarang panggil itu, ya?”

“Iya, Kak.”

“Dek.”

“Hm?”

“Besok sibuk?” “Malem Minggu ..” “.. mau makan barengㅡ” “ㅡ sama aku?”

“...” “Besok?”

“Iya.” “Kita berdua.” “Kamu sama aku.” “Boleh?”

“Iya, Kak.” “Boleh.”

“YESSSS!” “Eh! Sorry!” “Kelepasan senengnya!”

“...” “Pftㅡ” “Kamu lucu banget, sih, Kak?”

“Nggak.” “Aku nggak lucu.”

“Lucu.” “Kebangetan.”

“Iya, buat kamuㅡ aku boleh jadi lucu, deh. Ngomong-ngomong, Dek ..”

“.. lagi apa?”

Toilet lantai dua di gedung jurusan Fakultas Ilmu Budaya benar-benar .. bersih. Jangankan kecoak, bahkan untuk menemukan barisan semut pun sulit.

Bangunannya memang terlihat kuno, namun kebersihannya benar-benar patut diacungi jempol. Sial, semua siasat Byungchan hancur lebur.

Sudahlah. Lupakan saja segala niatan untuk balas dendam. Hal yang dicari tidak bisa ditemukan, lebih baik segera ke prodi Bahasa Korea lalu kembalikan jaket ini ke si pemiliknyㅡ

BRUGH.

“Eh! Sorry! Sorry!” “Nggak apa-apa?”

Kesialan tampaknya tidak sungkan menghampiri Byungchan. Padahal tangannya baru saja meraih kenop pintu kamar mandi, namun tiba-tiba saja dari arah berlawanan ada seseorang yang membuka pintu dengan sedikit kencang. Eh, tidak sedikitㅡ namun cukup kencang. Hingga membuat kepala Byungchan terbentur pintu dan ia terdorong ke belakang cukup jauh.

“Duuuh ..” “Liat-liat, keㅡ”

“Byungchan?”

“...”

Kesialan kedua. Ternyata yang barusan masuk ke dalam toilet adalah Seungwoo! Kurang sial apalagi Byungchan hari ini?

“Kamu kenapa ada di sini, Dek?”

Mau balas dendam. Tapi gagal.

Mana bisa Byungchan berujar demikian, coba? Minta dibunuh, namanya.

Jadi alih-alih mengatakan demikian, Byungchan hanya memasang senyum tipis seraya meraih jaket abu-abu milik Seungwoo yang sedari tadi ia sampirkan di pundak. “Mau balikin ini, Pak. Tadi saya keburu kebelet ke toilet, jadi belum sempet cari Bapak ke ruang prodi.”

Sumpah. Kenapa mesti di toilet, sih? Suasananya malah jadi kikuk begini, 'kan?

Kikuk? Ah. Tidak.

Seungwoo tidak berpikir demikian. Entah Byungchan menyadarinya atau tidak, tapi Seungwoo bisa merasakan wajahnya memanas ketika menerima sodoran jaket dari Byungchan.

“Makasih, ya, Dek.” “Padahal nggak dikembaliin juga nggak apa-apa.”

“Ya, jangan, lah.” “Itu 'kan barang Bapak.” “Lagian hubungan Bapak sama saya 'kan bukan hubungan yang menganggap pinjam-meminjam barang itu wajar.”

Seungwoo hanya terkekeh. Paham arah pembicaraan Byungchan. “Dek. Saya orangnya nggak gampang nyerah, lho. Semakin didorong menjauh, saya bakal semakin ngedeketiㅡ HHHHMPPPH!!!!!”

Sakit. Itu yang bisa Byungchan rasakan saat ini. Sakit, sampai membuat dadanya sedikit sesak.

Barusan saja, Seungwoo memeluknya erat. Barusan saja, Seungwoo menabrakkan diri ke tubuh Byungchan sehingga kini lelaki bertubuh lumayan kekar itu merengkuh Byungchan erat ke dalam peluknya. Terlalu erat, hingga Byungchan kesulitan bernafas.

“P-Pak.” “Kasih saya waktu buat mikir. Jangan berusaha bikin saya goyah dengan cara beginㅡ”

“K-” “Ke-kecoak, Dek ..”

“...” “Hah?”

“D-di atas pintu kamar mandi. Barusan ... jalan ... cepet banget.”

“...” “...”

“Saya .. takut ..” “.. sama .. kecoak.”

Sumpah. Coba bayangkan. Lelaki bertubuh lumayan kekar, berkulit putih bersih seperti susu, berwajah tampan, terlihat memiliki kharisma, kini tengah berbicara dengan nada tergagap dan tubuh yang sedikit bergetar di pelukan Byungchan.

Seungwoo, sedang begitu.

“Pak.” “Lepasin saya dulu.”

“Nggak mau!” “Kalau kecoaknya terbang, gimana?!”

Tunggu. Ini dia lagi merajuk atau gimana, sih? Nggak cocok banget sama badannya, woy!

“Pak. Bapak lepasin saya dulu, biar saya bisa hajar kecoaknya. Kalau dibiarin begitu, nanti kecoaknya malah beneran terbang.”

Tepat setelah Byungchan mengatakan demikian, Seungwoo melepaskan pelukannya di tubuh Byungchan. Mengira semua selesai sampai di situ? Oh, tidak! Sekarang Seungwoo sedang bersembunyi di balik tubuh Byungchan. Benar-benar seperti anak kecil yang ketakutan, buktinya tangan Seungwoo yang sedang memegangi ujung baju Byungchan juga bergetar.

“Di mana liatnya, Pak?”

“Di pintu. Tadi dia merayaㅡ ITU! ITU! ITUUUU! KELUAR DARI SELA PINTU, SEKARANG MERAYAP KE TEMBOㅡ”

PRAAAK.

Suara plastik yang dipukul ke dinding tembok terdengar nyaring di tengah ruang kamar mandi. Setelahnya, pemandangan yang terlihat adalah kecoak yang jatuh dari dinding dan Byungchan yang kembali melemparkan gayung berwarna orange ke dalam ember di salah satu bilik toilet.

Semudah itu, semua terselesaikan. Juga semudah itu, Seungwoo semakin dibuat kagum dengan sosok lelaki yang ada di hadapannya.

“Udah, 'kan, Pak?”

Byungchan berujar seakan hal yang terjadi barusan bukanlah hal yang besar, padahal kini di mata Seungwooㅡ sosok Byungchan terlihat jauh lebih keren daripada seluruh karakter kartun Marvel yang disatukan.

“Bangkai kecoaknya dibiarin di situ aja nggak apa-apa, 'kan? Nanti ada janitor yang masuk, 'kan, yㅡ”

Byungchan menghentikan kalimatnya secara tiba-tiba. Bukan, bukan karena ia melihat kecoak yang lain melainkan karena baru saja Seungwoo mengecup pipi kanannya.

Benar-benar hanya sekilas. Mungkin hanya bibir yang menyentuh tipis pipinya. Begitu saja, namun segera membuat tubuh Byungchan seakan mati rasa. Hanya kedua matanya yang mengerjap beberapa kali, awalnya memandang kosong namun akhirnya menatap Seungwoo di hadapan.

Iya. Wajah Seungwoo memerah, sangat. Benar-benar memerah. Kulit putih susunya benar-benar terlihat merona saat ini.

“Pak ..”

“Dek. Maaf.” “Beneran, maaf.” “Saya bener-bener nggak maksud begitu, cuma .. aduh, beneran. Saya nggak tau kenapa malah bertindak begitu. Maaf.”

Seungwoo berjalan mundur seraya mengucapkan kalimatnya barusan. Kini tangannya membuka kenop pintu kamar mandi, seperti berniat untuk kabur. Dengan cahaya yang masuk dari luar kamar mandi, Byungchan dapat dengan lebih jelas melihat rona merah di wajah Seungwoo.

Sungguh. Han Seungwoo, dia benar-benar seperti kepiting rebus.

Lucu.

“Maaf, ya, Dek. Saya .. duluan. Ada panggilan rapat dari kepala prodi! Makasih jaketnya. Nanti kapan-kapan saya ajak makan, tolong jangan ditolak, ya. Mari, Dek.”

Ucapan Seungwoo diucapkan dengan super-duper cepat sehingga Byungchan tidak sempat memahami semua kalimat Seungwoo. Hingga akhirnya, sosok Seungwoo menghilang di balik pintu kamar mandi dan menjadikan Byungchan sendirian di sana.

Deg. Deg. Deg.

Sendirian, dengan degup jantung yang tidak jelas apa maksudnya.

Byungchan, salah tingkah.

“Gue udah dimaafin, 'kan?”

“Belum.”

“Lha, kok?” “Kenapa belum?” “Gue udah relain waktu gue buat nilai tugas anak-anak, Chan. Gue udah relain demi bisa anterin lo ke FIB begini, tapi lo belum mau maafin gue?”

“Belum.”

”...” “Gue pulang aja lagi, daㅡ”

“JANGAN!”

Langkah Wooseok dihentikan oleh Byungchan yang kini tengah mencengkeram lengan si lelaki bertubuh lebih pendek darinya itu. Pandangannya terlihat memohon, meminta Wooseok untuk tidak pergi meninggalkannya. “Bercanda, Kak. Udah gue maafin, sumpah.”

“Beneran?”

“Beneran.”

“Serius?”

“Serius.”

Wooseok tersenyum penuh kemenangan sebelum akhirnya melepaskan cengkeraman tangan Byungchan dari lengannya. “Nah, gitu dong. Dunia udah penuh sama peperangan, ngapain juga lo sama gue berantem, coba?”

Byungchan sedikit mendengus. Jujur saja, ia belum sepenuhnya rela untuk memaafkan Wooseok. Bagaimanapun juga, si lelaki satu ini yang sudah memperpanjang urusan antara Byungchan dengan Seungwoo.

Kalau saja Wooseok tidak memberikan tas laptopnya kepada Seungwoo, Seungwoo tidak akan memberikan jaketnya kepada Byungchan, lalu Byungchan tidak akan perlu datang ke Fakultas Ilmu Budaya seperti ini hanya untuk mengembalikan jaket milik Seungwoo. Intinya, ini semua adalah kesalahan Wooseok.

Iya. Kini Byungchan dan Wooseok sedang berada di gerbang masuk Fakultas Ilmu Budaya. Sedikit berbeda dengan Fakultas Ekonomi yang diisi dengan mahasiswa dan mahasiswi yang kerap disibukkan dengan pakaian kenaan, Fakultas Ilmu Budaya terasa lebih ramah dan hangat. Entah bagaimana menjelaskannya, namun ada perbedaan yang terasa sangat signifikan di sana.

Byungchan dan Wooseok juga demikian. Padahal mereka berdua hanya mengenakan kemeja kaus POLO, pakaian standard yang lumrah dikenakan mahasiswa Fakultas Ekonomi, namun— entahlah, mereka merasa sangat berbeda.

“...” “Kak.”

“Hm?”

“Cewek-cewek arah jarum jam sebelas, lagi ngeliatin gue, ya? Sumpah, pandangan mereka kayak nusuk gue.”

“Chan.” “Jangankan dari arah jam sebelas.” “Dari jam dua belas, jam empat, jam enam, jam delapan, ngeliatin lo semua. Berasa jam-jam sholat, udah.”

Byungchan melengos, sedikit kesal namun selebihnya merasa takut. Yang ia ketahui, perempuan bisa menjadi mahluk paling bar-bar ketika sedang patah hati. Siapa yang bisa tahu nasibnya di masa depan, coba? Bisa saja dia diketemukan mati karena diracuni lalu ditenggelamkan ke kolam ikan di belakang Fakultas Ilmu Budaya, 'kan?

“Ya udah, buruan kasihin jaketnya. Abis itu kita pulang. Sumpah, gue merinding di sini lama-lama.”

“Seungwoonya di mana?”

“Nggak tau.”

”...” “Hah?”

“Gue nggak tau dia di mana.” “Mesti cari dulu.”

”...” “Lo tau, nggak?” “Ini kekeselan gue udah nyampe di sini, nih. Pas banget di sini,” ujar Wooseok seraya menyentuh dadanya. “Naik sedikit, bisa-bisa kekeselan gue naik ke tenggorokan dan keluar jadi bola api.”

“Wih. Keren. Kayak Dragon Ball. Cobain, Kak. Siapa tau bisa viral.”

Wooseok tahu bahwa Byungchan sedang bercanda, maka ia tidak bisa marah. Sebisa mungkin, ia mencoba menahan emosi. Tidak mau hubungan pertemanan mereka menjadi rusak lagi. “Ayo, cari dia, dah. Buruan.”

“Carinya gimana, Kak?”

“Lo cari cangkul terus coba gali tanah, gih. Siapa tau Seungwoo ada di bawah tanah. Ngubur diri soalnya nyesel udah ngelamar orang minim pengetahuan umum kayak lo.”

“YA TANYA ORANG, LAH.” “LO MAU NANYA DUKUN SEKALIAN?”

Byungchan mengerucutkan bibir setelah mendengar ucapan Wooseok. “Iya. Gue cari dulu, deh. Palingan ada di ruang prodi Bahasa Korea, 'kan?”

“Gimana kalau dia nggak masuk hari ini?”

“Ya udah, gue titipin jaketnya ke prodi.” Byungchan menyampirkan jaket abu-abu milik Seungwoo dari tangan kanannya ke pundak. “Tapi gue kebelet kencing, Kak. Gue ke toilet dulu, deh. Lo duluan aja ke ruang prodi.”

“Beser banget jadi orang.” “Mau dianterin, nggak?”

“Nggak.” “Gue ke toilet dulu!” “Ketemuan di prodi Bahasa Korea, ya!”

“Oke.”