Klik di sini untuk dengarkan lagu yang pas didengar ketika membaca cerita ini.
* * * * *
“Yakin, nggak ikut?“
Seungsik, kembali melongokkan kepala ke dalam ruang latihan. Di dalam ruang yang di sekelilingnya dipasangi cermin berukuran super-besar, masih ada Seungwoo yang tengah menyandarkan tubuhnya di dinding juga Byungchan yang sedang membetulkan tali sepatunya.
Keempat member yang lain? Sudah berlalu menuju ruang yang lain, ke ruang dimana sang manager mengatakan sudah membelikan pizza untuk mereka bertujuh.
“Kalau nggak pergi sekarang, pasti kehabisan.”
Seungwoo menggeleng seraya sedikit menolehkan kepalanya ke arah Seungsik. “Habisin aja. Kalau mau, makan aja punyaku juga.”
Seungsik mengangguk paham. Mereka sudah bukan di masanya untuk saling memaksa untuk makan, terlebih leader mereka pastilah sudah lebih paham akan hal itu. Tidak perlu memaksa untuk makan jika memang tidak mau. “Ya udah, kalau gitu. Byungchan?”
“Pass.“
“Lewat, Kak.”
“Mesti diet.”
Seungwoo mengalihkan pandangan ke arah si lelaki Choi yang kini tengah duduk bersila di depan cermin besar seraya mengarahkan kamera ponselnya ke sana. Selfie, lagi-lagi. “Makan, Byungchan.”
Seungwoo berujar dari tempatnya, masih sembari bersandar di dinding. Hanya tatapannya saja yang tertuju ke arah si yang lebih muda. “Makan, sakit nanti.”
“Kakak juga makan, lah.”
“Jangan nyuruh doang.”
“Sendirinya nggak.”
Seungsik meloloskan tawa kecil. Menganggap semua yang terjadi di hadapannya sekarang sangatlah lucu. Ketika Seungwoo tidak ada, Byungchan selalu merengek. Mengatakan rindu dan segala hal lain perihal ini-itu. Sekarang ketika Seungwoo ada di sini, ia malah bersikap acuh tidak acuh.
Seorang Choi Byungchan adalah sosok yang sangat sulit ditebak.
“Ya udah, Kak.” Seungsik beranjak menutup pintu ruang latihan, sepertinya ia juga tidak ingin kehabisan jatah pizza. “Kuusahain buat sisain pizza buat kalian. Coba kamu bujuk Byungchan buat keluar juga. Itu anak dayat-diyet melulu, sakit nanti.”
Seungwoo mengangguk kecil. Melihat jawaban yang diberi oleh Seungwoo, Seungsik akhirnya benar-benar pergi meninggalkan ruang latihan. Menyisakan si lelaki Han dan lelaki Choi yang masih ada di sana, duduk dengan terpisah jarak beberapa meter antara satu sama lain.
“Byungchan-a.”
Pada akhirnya, Seungwoo memilih untuk bangkit dan menghampiri si yang lebih muda. Pundak Byungchan ditepuk, sementara tubuh Seungwoo hanya setengah membungkuk. “Ayo, makan. Bareng. Kamu mesti makan.”
Byungchan melirik sekilas ke arah Seungwoo dari pantulan cermin di hadapan keduanya. Bukannya bangkit untuk berdiri, Byungchan malah menarik tangan kanan Seungwoo yang semula berdiam di pundaknya. Meminta si yang lebih tua agar ikut duduk di sampingnya.
“Mau apa, hei?”, tanya Seungwoo ketika Byungchan menariki tangannya. Yang ditanyai hanya mengulas senyum tipis.
“Foto.”
“Sekali aja.”
Mendengar jawaban singkat dari Byungchan, Seungwoo hanya mendengus kecil— seperti menahan tawa geli, sebelum memutuskan untuk duduk di samping Byungchan. Mengikuti permintaannya. “Foto kayak gimana, hm? Cuma disimpen aja, 'kan?”
“Iya.”
“Cuma buat aku aja.”
Mungkin foto Seungwoo yang tengah berfoto berdua dengan Byungchan sudah ada beribu jumlahnya. Semua tersimpan rapi di ponsel si lelaki Choi, tidak semudah itu disebarkan untuk menjadi konsumsi publik.
Foto ketika mereka sedang jalan-jalan berdua. Foto ketika mereka makan di supermarket pinggiran, berdua. Foto ketika mereka latihan dance bersama. Foto ketika merekaㅡ tertidur di atas ranjang yang sama. Banyak. Banyak sekali, malahan.
“Tapi habis itu makan?”
“Kamu belum makan.”
“Iyaaa.”
“Iya, aku pasti makan.”
Byungchan semakin menarik tangan Seungwoo sehingga mau tidak mau kini si lelaki Han sudah duduk di samping si yang lebih muda. Hitungan aba-aba diberi oleh Byungchan, membuat Seungwoo segera memasang pose yang (memang) tidak begitu sulit untuknya.
Satu foto.
Dua foto.
Tiga foto.
Hingga mungkin sampai jepretan foto ke dua puluh lima, Byungchan baru menyatakan puas dengan foto-foto yang mereka ambil barusan.
“Udah?”
Byungchan masih tersenyum. Jemarinya bergerak di atas layar ponselnya, memandangi banyak foto yang sudah mereka ambil. Seungwoo? Sama. Ia juga tersenyum ketika memperhatikan Byungchan yang begitu.
Byungchan yang manis.
Byungchan yang polos.
Byungchan-nya.
“Heeeu.” Saking gemasnya, Seungwoo mengusak kepala Byungchan. “Sebegitu senengnya, hm?”
“Yang kayak begituan, masih ditanyain?”, tanya Byungchan seraya melemparkan tatapan yang sedikit tajam ke si lelaki Han.
Seungwoo paham akan maksud dari jawaban Byungchan barusan. Bahwa sesungguhnya, Byungchan juga senang. Bahwa sesungguhnya, Byungchan juga bahagia ketika mendapati Seungwoo ada di sisinya lagi.
Si lelaki Choi itu hanya tidak ingin menyuarakan pemikirannya dengan terlalu gamblang. Mungkin, mungkin saja ia memikirkan perasaan Seungwoo yang kerap masih dilanda perasaan tidak jelas bentuknya karena banyak hal yang terjadi selama beberapa bulan ke belakang.
“Ya udah, yuk?”
“Fotonya udahan, 'kan?”
“Makan dulu, ya?”
“Kak.”
Byungchan kembali menahan tangan si yang lebih tua ketika ia sudah beranjak untuk bangkit dari posisi duduknya. “Kak Seungwoo ..”
“Hm?”
“Sebentar lagi, boleh?”
“Sebentar aja.”
“Mau berdua.”
“Sebentar lagi.”
“Boleh, ya?”
Tidak ada yang tahu perihal hubungan keduanya kecuali mereka berdua, dan Tuhan tentunya. Tidak ada yang tahu perihal perasaan mereka berdua yang sesungguhnya saling bersambut. Tidak ada yang tahu bahwa Choi Byungchan dan Han Seungwoo adalah sepasang kekasih yang saling mencinta.
Yang para membernya ketahui hanyalah Seungwoo yang sangat dekat dengan Byungchan sebagai adik kesayangan. Yang para managernya ketahui hanyalah Seungwoo adalah sosok leader yang baik karena selalu menjaga Byungchan yang notabene adalah member terlemah di dalam grup. Yang para fans mereka ketahui hanyalah Seungwoo dan Byungchan adalah muse mereka dan kerap dipasangkan untuk kepuasan halusinasi semata.
Tidak ada yang tahu bahwa kasih mereka memang nyata adanya. Tidak ada yang menyangka bahwa omongan cocok dari mulut setiap orang memang berarti benar, bahwa mereka cocok dari segi personalitas dan perasaan antara satu sama lain.
Byungchan dan Seungwoo, mereka merahasiakannya. Belum siap untuk mengakui kepada dunia bahwa mereka sudah saling memegang hati satu sama lain. Belum siap, terlalu takut.
“Tapi kamu mesti makan,” Seungwoo berujar seraya beralih menggenggam jemari tangan Byungchan yang semula menahan lengannya agar tidak pergi. Sekarang jemari sudah digenggam, punggung tangan Byungchan diusapi pelan oleh ibu jari Seungwoo. “Makan dulu, ya? Abis itu kita keluar buat ngobrol.”
“Nnnnggㅡ”
Mana bisa Seungwoo menolak ketika Byungchan kini merajuk seraya menggeleng-gelengkan kepalanya? Mana bisa Seungwoo menolak ketika bibir manis si lelaki Choi kini mengerucut dan membuatnya gemas setengah mati?
“ㅡ maunya sekarang.”
“Sebentar aja.”
“Aku kangen.”
Seungwoo mengulas senyum tipis sebelum akhirnya mengangguk mengiyakan. Tidak ada gunanya menolak, toh jika Byungchan meminta apapunㅡ ia tidak bisa mengatakan tidak. “Iya. Ayo.”
“Tapi pindah tempat, ya?”
“Kalo diem di tengah begini, keliatan CCTV.”
Seungwoo melirik ke arah atas, dimana ada sebuah unit CCTV yang diinstal oleh pihak agensi dengan maksud untuk mengawasi para trainee maupun artisnya. Byungchan menggeleng, lagi. “Nggak apa-apa.”
“CCTVnya rusak.”
“Waktu Kakak nggak di sini, Subin nggak sengaja lemparin sepatu Kak Sejun ke atas. Terus, ya ..”
“Kena CCTVnya?”, tebak Seungwoo dan dibalas dengan anggukan dari Byungchan.
“Katanya, sih, mau diganti tapi masih belum panggil teknisi juga. Jadi ya, gitu. Masih rusak.”
Penjelasan Byungchan sedikit membuat Seungwoo terkekeh. Cara bercanda mereka memang terkadang sedikit ekstrem. “Ya udah, kita ngobrol.”
“Sambil nyender di belakang, ya? Punggungku sakit. Udah lama nggak latihan jadinya berasa encok.”
Ujaran Seungwoo dibalas dengan tawa dari Byungchan. Namun si yang lebih muda tetap bangkit, mengikuti permintaan si lelaki untuk duduk di bagian belakang ruang latihan. “Dasar, pantes aja di fanmeeting kemaren disebut om-om sama fansnya.”
“Heh!”
“Nggak usah ingetin, ya!”
Byungchan masih tertawa geli. Teringat akan peristiwa dimana Seungwoo disebut sebagai 삼촌 atau Paman oleh fansnya sendiri yang adalah siswi kelas 3 SMA. “Lho, aku ngomong kenyataan,” tukas Byungchan, mencoba memberi pembelaan diri.
Seungwoo sedikit mencibirkan bibir sebelum akhirnya kembali duduk di bagian belakang dari ruang latihan. Ia kembali menempatkan diri di posisi yang sama seperti sebelumnya, kemudian segera menyandarkan punggung ke dinding. “Udah. Jangan malah bikin aku kesel. Duduk, sini.”
Seungwoo menepuk-nepuk ruang kosong di sampingnya, memberi isyarat kepada Byungchan untuk duduk di sana. Yang diberi isyarat segera paham dan tanpa menunggu lama, langsung duduk di sebelah Seungwoo kemudian menyenderkan kepalanya di pundak si lelaki Han.
“Aaaaaahㅡ”
“ㅡemang, ini tempat terbaik.”
Ujaran Byungchan yang tiba-tiba membuat Seungwoo mengernyitkan alis. Bingung. “Apanya? Ruang latihan?”
“Bukan.” Ujar Byungchan seraya mengetuk-ngetukkan kepalanya pelan ke bahu Seungwoo. “Ini, di sini.”
“Bahu Kakak.”
“Tempat terbaik.”
“Pftㅡ”, hampir saja Seungwoo terbahak jika saja ia tidak mengingat bahwa Byungchan bisa saja marah jika ia melakukan hal demikian. “ㅡ ini gombalan versi terbaru atau gimana?”
“Pundak aku tulang doang. Keras. Kamu kalo nyender juga pasti kletak kletuk kepalanya. Iya, 'kan? Enakan juga tiduran di sofa.”
“Ngggㅡ”
Byungchan menggeleng, menyatakan tidak setuju dengan ujaran Seungwoo barusan. “Kamu nggak akan paham karena nggak pernah ngerasain ini.”
“Senderan di pundak orang yang kita sayang, walaupun emang keras dan mungkin cuma tulang doang .. tetep aja berasa empuk.”
Ketika Byungchan mengujarkan kalimatnya, si lelaki Choi meraih tangan kanan Seungwoo. Memperhatikannya sejenak sebelum akhirnya menautkan jemarinya ke sana, menggenggam erat. “Kamu nggak akan paham gimana rasanya aku ngerasa nyaman ketika senderan begini dan nyium bau tubuh kamu.”
Seungwoo menjawab pelan. “Badanku bau?”
Byungchan mengangguk. “Bau, lah. Bau keringat. Kayak sekarang, sehabis latihan. Kadang juga bau keringat sehabis ...”
Ujaran Byungchan terhenti, membuat Seungwoo mengernyit sekilas sebelum akhirnya tertawa kecil. Paham akan maksud ujarannya barusan. “Sehabis apa, hm?”, tanya Seungwoo, jahil.
“Yaa ..”
Bagaimana bisa Byungchan mengatakan dengan gamblang bahwa situasi Seungwoo yang berkeringat lainnya adalah ketika mereka selesai berhubungan intim, coba? Malu.
”.. sehabis nge-gym?“, lanjut Byungchan, mencoba mengarahkan pembicaraan ke topik yang lebih aman untuk diperbincangkan. Seungwoo tertawa, tergelak kencang. Byungchan mengerucutkan bibir, malu sekaligus kesal melihat Seungwoo yang seperti kesenangan karena berhasil membuatnya salah tingkah begini. “Jangan ketawa.”
“Ya, abisnya ..”
“.. kamu lucu.”
“Kebangetan.”
Seungwoo mencoba meredam tawanya dan beralih membalas genggaman erat jemari Byungchan di telapak tangannya. “Lucu banget, kamu.”
Byungchan masih merengut. “Apaan, sih? Lucu-lucu. Aku nggak lucu.”
“Lucu.”
“Nggak.”
“Luucu.”
“Nggaaak.”
“Manis.”
“Nggㅡ hm?”
“Manis? Boleh, deh.”
Selama pertikaian kecil itu berlangsung, Byungchan masih menyenderkan kepalanya di pundak Seungwoo sehingga si lelaki Han tidak bisa memastikan bagaimana ekspresi wajah Byungchan. Namun dari nada bicaranya saja, Seungwoo bisa membayangkan sebagaimana manisnya Byungchan saat ini. Gemas, pasti.
Tangan kanan Byungchan di genggaman Seungwoo kini dikecupi punggungnya. Tidak banyak, hanya tiga kali. Sebagai bentuk pelampiasan kegemasan yang tengah dirasa, mungkin.
“Kamu gemes banget, tau, nggak? Gemes, gemes, gemessss. Sampai rasanya kalau bisa, aku pengen masukin kamu ke kantung celana aku biar bisa aku bawa-bawa ke manapun.”
Byungchan yang masih menyandarkan kepalanya di pundak Seungwoo hanya bisa tertawa kecil. Cermin besar di hadapan mereka sekarang membuat pantulan yang cukup membantu Byungchan untuk mengetahui ekspresi wajah Seungwoo tanpa perlu menengadahkan kepala. “Aku 185cm, lho. Mau masukin ke kantung celana, gimana, coba?”
“Nggak tau.”
“Makanya, coba kalau cerita Charlie and The Chocolate Factory itu nyata. Aku mau masukin kamu ke mesin teleport itu. Yang bisa bikin manusia jadi kecil. Biar kamu bisa dibawa ke mana-mana.”
Byungchan terkekeh. Lelakinya ini memang terkadang memiliki pemikiran yang kekanak-kanakan. Sebagaimanapun ia pernah mengemban tugas menjadi leader, tetap saja Han Seungwoo adalah bungsu di keluarganya yang terkadang kerap melemparkan ide tidak masuk akal. Contohnya, ya .. seperti sekarang.
“Kalau aku jadi kecil, nanti pas kamu mau .. gimana ngelakuinnya, coba?”
Seungwoo terdiam. Benar juga, ia tidak pernah berpikir sampai ke sana. “Iya, ya ..”
“Ya udah.”
“Begini aja, deh.”
“Nggak usah bawa kamu ke mana-mana. Begini aja udah lebih dari cukup.”
Tangan kanan Byungchan masih digenggam erat oleh Seungwoo. Sesekali diusapi punggung tangannya, sesekali dikecupi pula. “Byungchan-a.”
“Hm?”
“...”
“Apa?”
“Nanti aja, deh.”
“Tuh.”
“Tuh.”
“Suka kesel aku, kalau pas mau ngomong malah ditunda-tunda.”
Seungwoo tertawa. “Beneran, nanti aja. Setelah aku pikir, nggak penting juga buat ditanyain.”
“Siapa bilang?”
“Hm?”
“Siapa bilang tentang kamu itu nggak penting? Semua tentang kamu itu penting buatku, Kak.”
“Inget, nggak? Ketika kamu bilang bahwa kamu baik-baik aja beberapa bulan lalu? Hm?”
“Aku di sini udah nangis kayak apaan tau, deh. Coba aja tanya ke Kak Sejun. Mataku udah bengkak, suara juga serak. Saking udah nangis nggak karuan di kamar.”
Seungwoo tersenyum tipis. Tangannya kini dilepaskan dari genggaman jemari Byungchan dan beralih mengusapi rambut Byungchan, perlahan. “Iya. Iya. Udah, nggak apa-apa.”
“Aku cuma mau tanya, nanti malam enaknya kita beli makan apa? Soalnya pasti pizza bagian kita udah dimakan sama mereka berlima.”
Byungchan menatap tajam ke arah Seungwoo dari pantulan cermin di hadapan. “Serius? Mau tanya itu? Nggak bohong?”
Seungwoo balas menatap Byungchan melalui pantulan cermin besar di hadapan mereka. “Iya. Serius. Nggak bohong.”
Byungchan mengangguk-angguk kecil. Mencoba mempercayai ucapan si lelaki Han. “Ya udah, aku percaya. Awas aja, kalau bohong.”
Seungwoo menggeleng, mencoba meyakinkan bahwa ucapannya memang serius. “Udah. Makan dulu, yuk? Ayo, banguㅡ”
“Nggak.”
“Nggak mau pindah.”
“Masih mau begini.”
Byungchan tidak beranjak dari posisinya yang bersandar di pundak Seungwoo. “Sebentar lagi.”
Seungwoo tidak bisa menolak. Permintaan Byungchan terlalu .. apa, ya? Diucapkan dengan manis. Hingga ketika kita mengajukan penolakan, rasanya seperti melakukan dosa besar.
“Iya.”
“Boleh.”
Seungwoo pada akhirnya kembali menyandarkan tubuh ke tembok. Tangannya sedikit tergerak untuk memindahkan posisi kepala Byungchan agar dapat bersandar dengan lebih nyaman di pundaknya. “Mau tidur, hm?”
Byungchan mengangguk.
“Kebiasaan.”
“Kamu selalu ketiduran setiap kali nyender di pundakku. Nggak baik, padahal. Keras. Mendingan tidur di sofa atau kasur, 'kaㅡ”
“Ssst.” Byungchan mendesis, mengisyaratkan Seungwoo untuk diam. “Bayinya Seungwoo mau tidur. Ngantuk.”
“Tschㅡ”, Seungwoo mendengus. “Bayi apaan yang tingginya 185cm, coba?”, balasnya ketus namun tangannya tetap bergerak untuk mengusapi kepala Byungchan yang bersandar di pundaknya.
Byungchan terkekeh kecil, sebelum akhirnya memejamkan mata. Hanya untuk sejenak, karena kini matanya terbuka lagi dan memandangi pantulan mereka berdua dari cermin besar. Lebih tepatnya, memperhatikan Seungwoo yang tengah menatapi langit-langit ruang latihan.
Seungwoo selalu begitu.
Biarpun terlihat baik-baik saja, sesungguhnya seorang Han Seungwoo selalu memiliki banyak pemikiran di benaknya. Banyak hal yang ia tutup rapat-rapat, kesedihan atau berbagai perasaan muram yang ia pendam dalam-dalam agar tidak banyak orang yang tahu.
Byungchan paham, sebagaimana lelakinya itu pernah bimbang. Byungchan tahu, sebagaimana lelakinya mencoba untuk berlaku adil namun malah berakhir dengan hasil yang tidak baik. Byungchan mengerti, sebagaimana lelakinya pernah menangis karena tidak kuat menahan segala cemooh yang datang dari berbagai sisi.
Seungwoo yang sekarang juga demikian. Biarpun barusan ia masih bisa tertawa dan bercanda dengan Byungchan, sekarang lelakinya tengah kembali menatapi langit-langit ruangan. Seperti memikirkan sesuatu yang tiada akan pernah ada habisnya.
Byungchan meraih tangan Seungwoo, lagi. Sebelum akhirnya menggenggam erat, seperti tidak pernah dan tidak ingin melepaskannya lagi.
Seungwoo tersadar dari lamunannya karena genggaman erat dari tangan Byungchan. “Hm? Katanya mau tidur? Kok malah masih bangun?”, tanya Seungwoo seraya kembali mengusapi puncak kepala Byungchan. Sepertinya ia mengira genggaman tangan Byungchan barusan adalah bentuk protes karena Seungwoo berhenti mengusapi kepalanya.
“내가 니 편이 되어줄게 ..”
(aku akan selalu di sisimu)
“괜찮다 말해줄게 ..”
(aku akan mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja)
Secara tiba-tiba, Byungchan menyanyikan lirik barusan dengan suaranya yang serak. Seungwoo mengernyitkan alisnya untuk sejenak, sebelum akhirnya paham bahwa si kekasih ingin menyampaikan sesuatu lewat nyanyiannya. Maka Seungwoo hanya diam, dengan tangannya yang kini mengusapi daun telinga Byungchan.
“다 잘 될거라고 넌 빛날거라고 ..”
(bahwa semua akan berjalan dengan baik, bahwa kau akan bersinar)
“넌 나에게 소중한다고 ..”
(bahwa kau berharga untukku)
“모두 끝난 것 같은 날에 ..”
(di hari dimana kau merasa semuanya akan berakhir begitu saja)
“내 목소릴 기억해 ..”
(ingatlah suaraku)
“괜찮아 다 잘 될거야 ..”
(tidak apa-apa, semua akan berjalan dengan baik)
“넌 나에게 가장 소중한 사람 ..”
(kau adalah seseorang yang paling berharga untukku)
Seungwoo tersenyum tipis setelah mendengar nyanyian Byungchan barusan. Entahlah, perasaannya seperti bercampur aduk. Ingin menangis? Iya. Merasa tenang? Ada juga perasaan demikian. Perasaan marah dan menyalahkan dirinya sendiri? Tentu ada. Terlalu banyak perasaan yang kini bercampur menjadi satu. Sulit untuk dijelaskan.
“Kak.”
Kali ini gantian Byungchan yang mengecupi punggung tangan Seungwoo. Seakan ingin menyampaikan segala perasaan dalam diri bahwa ia siap berada di samping Seungwoo sampai kapanpun. “Semua akan baik-baik aja.”
“Perlahan-lahan, ayo, mulai lagi.”
“Pelan-pelan aja.”
“Satu-satu.”
Seungwoo merasakan kecupan dari bibir Byungchan ke punggung tangannya seperti mengalirkan perasaan hangat ke seluruh tubuh. Perasaan seperti tenang karena mengetahui ada yang selalu mendukung. Perasaan sepertiㅡ entah bagaimana mengungkapkannya. Senang? Lebih daripada itu. Bahagia? Mungkin, hampir mirip. Namun ini jauh lebih daripada itu.
“Mulai lagi, ya?”
“Kali ini, sama-sama.”
Seungwoo menghela nafas dalam-dalam. Sebisa mungkin mencoba untuk tidak menangis atau menunjukkan sisi lemahnya di depan Byungchan. “Iya.”
“Mulai lagi.” Seungwoo menolehkan kepalanya agar bisa mengecup puncak kepala Byungchan yang tengah bersandar di sisinya. Memberi kecupan dalam, seakan ingin menyampaikan segala perasaan sayangnya lewat sana.
“Sama-sama.”
Tidak ada janji yang terucap dari bibir keduanya. Karena mereka paham, janji bisa saja diingkari. Mereka hanya berusaha untuk mencoba melangkah lagi.
Perlahan-lahan.
Selangkah demi selangkah.
Bersama-sama.
* * * * *
END