Kantung mata Krishna tidak ubahnya seperti panda.
Berulang kali si lelaki meletakkan sendok berwarna perak yang sudah ia dinginkan di dalam kulkas ke bagian bawah matanya, tetap saja tidak ada yang berubah. Kantung matanya sungguh menggantung dan tampak hitam. Perpaduan dari dua hal; tidak bisa tidur dan tidak bisa berhenti menangis.
Padahal Krishna baru seminggu berada di timeline yang membingungkan ini namun rasanya waktu berputar sangat lambat untuknya. Seminggu terasa bagai beberapa bulan yang melelahkan. Bahkan parahnya, dalam seminggu ke belakang ini Krishna merasa dirinya sangat mudah untuk menangis. Lemah. Setiap kali melihat Raesaka, rasanya keran air mata Krishna seperti dinyalakan sepenuhnya. Pasti menangis, tidak mungkin tidak.
Kemarin pun demikian. Krishna berulang kali berupaya untuk tertidur namun bayang-bayang Raesaka terus menghantui. Krishna paham, bahwa mungkin kesempatan keduanya untuk kembali ke masa 2021 ini semestinya ia gunakan dengan baik. Entah itu untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan Raesaka atau bagaimana, lah. Bukannya malah dijadikan ajang untuk menangis tanpa henti setiap kali ia teringat berbagai memori yang mereka habiskan bersama di masa depan.
Setelah menyadari bahwa sendok perak yang ia dinginkan itu tidak akan memberi efek signifikan pada kantung matanya yang membengkak, akhirnya Krishna menyerah. Ia menjatuhkan sendok di tangannya begitu saja ke lantai kamar asrama. Nafasnya terembus dengan berat, kedua tangan Krishna bertumpu ke meja rias kecil yang dipasangi cermin di bagian atasnya. Ia memandangi lekat-lekat pantulan bayang diri hingga akhirnya tangan kanan bergerak dengan cepat — untuk menampar pipinya sendiri.
Oh, tamparannya terasa sakit. Lagi, Krishna tidak sedang bermimpi.
“Tuhanku...” Krishna mendesah, setengah merasa miris dan setengahnya merasakan hampa yang teramat sangat. Lama kelamaan, Krishna merasakan kehidupannya di timeline ini seakan tidak ada arti. Mengulangi hari yang sama dengan yang pernah ia lalui namun dengan orang terkasih yang sama sekali tidak mengingat tentang diri kita sendiri. Bayangkan, akan semenyebalkan apa setiap hari yang terlewati?
Dengan membawa fakta bahwa hari yang ia lewati sekarang bukanlah mimpi, Krishna meraih tas ranselnya yang ia letakkan begitu saja di atas kasur. Tali tas disampirkan ke pundak, langkah kaki dibawa keluar dari kamar ke destinasi parkiran sepeda di asrama. Hari ini juga, Krishna akan mengendarai sepedanya menuju kampus. Bagi Krishna, mengendarai sepeda ke kampus bisa mengurangi sedikit rasa stress yang sedang dirasakannya. Merasakan angin sepoi-sepoi seraya menghirup udara segar di sekeliling kampus Ganesha Mandala adalah satu solusi bagi kepenatannya.
Baru saja Krishna akan menaikkan tuas penyangga sepeda, tiba-tiba perhatian Krishna dialihkan oleh ban depan sepedanya yang ternyata kempes total. Krishna segera berjongkok, memeriksa kondisi ban. Jika memang kempes, ia bisa memompa secara manual; 'toh ia memiliki pemompa di kamar asramanya. Akan tetapi semua harapannya pupus tatkala ia menemui lubang menganga di salah satu bagian ban dan paku berukuran lumayan besar yang tergeletak di pinggir ban sepedanya.
Jelas sudah, ada yang dengan sengaja mengempeskan ban sepeda Krishna. Tidak tahu untuk tujuan apa.
Dengan perasaan dongkol bukan main, Krishna memukul body sepedanya. Sayang, itu bukan pilihan tepat. Body sepeda yang kokoh tidak akan mengapa namun tangan Krishna yang sekarang merasa kesakitan bukan main. “Ah, anjing banget emang. Siapa yang iseng bocorin ban sepeda gue, cob—”
“Kak Krishna?”
Gerutuan Krishna segera ditelan begitu saja tatkala rungu menangkap panggilan yang berjarak tidak jauh dari tempatnya berada. Beberapa meter di hadapannya, ada motor sport berwarna hitam yang dikendarai oleh seseorang dalam balutan jaket fakultas berwarna merah — khas milik jurusan Teknik Industri.
Krishna sedikit mengernyitkan dahi, tidak begitu bisa menyadari siapa yang memanggilnya karena wajah si pengendara tertutupi oleh helm full face yang dikenakan. Belum lagi suara si pemanggil juga sedikit terbenam akibat suara mesin motor yang lumayan berisik. “Siapa?”, tanya Krishna masih dalam posisi berjongkok di samping sepedanya.
Detik setelahnya, Krishna merasa ingin kabur saja dari tempatnya sekarang. Bukan karena alasan tertentu akan tetapi karena ketika si pengendara membuka kaca penutup helm full facenya, Krishna menemukan wajah Raesaka di sana. Lelaki itu memasang senyum lebar, seakan tidak tahu bahwa beberapa hari terakhir ia telah menjadi alasan bagi seorang lelaki yang sesungguhnya berusia tiga-puluh-empat tahun untuk menangis di setiap malam.
“Saka, Kak.”
Krishna merutuk dalam hati. Tanpa diberitahu pun Krishna tahu bahwa lelaki itu bernama Saka. Bahkan tanggal lahir dan nama lengkapnya pun Krishna ketahui. “O-oh..” Krishna tertawa gugup. “Hai. Tumben pagi-pagi ada di sini. Mau ngapain?”
Raesaka menurunkan tuas penyangga motor yang dikendarainya dan melepas helm secara penuh. Belum cukup begitu, kini ia turun dari motor kemudian beranjak mendekati Krishna yang masih berjongkok dengan sangat tidak keren di samping sepedanya. “Motor saya lagi dibenerin di bengkel, Kak. Terus Mbak Tania katanya punya temen yang tinggal di asrama sini dan motornya nggak pernah dipakai. Jadi saya disuruh pinjam motor temennya Mbak Tania. Kak Krishna kenal Kak Freddie yang tinggal di lantai satu? Anak Ekonomi, seangkatan di bawah Kak Krishna.”
Krishna berpikir sejenak sebelum bibirnya membuat bentuk bulat, menandakan sudah mengingat siapa seseorang yang barusan disebut oleh Raesaka. “Oh, Freddie...”, gumam Krishna. “Gue nggak kenal, sih. Cuma anaknya lumayan dikenal di sini soalnya kaya raya.”
Raesaka mengangguk. “Iya, kaya. Itu motor sport aja diparkir lama, katanya nggak pernah dipakai.” Krishna ikut melirik ke arah yang ditunjuk oleh Raesaka. Gila, memang. Motor sport seperti itu hanya dibiarkan tergeletak begitu saja di parkiran, ck.
“Sepedanya kempes, ya, Kak?”, tanya Raesaka ketika menyadari ban depan sepeda Krishna bermasalah. Krishna mendengus kecil. “Nggak. Ban sepeda gue lagu on the way ngembang kayak balon udara. Lo nggak liat, ini bannya lagi mulai gede, nih. Wuush— wussh—“, ujar Krishna dengan nada sedikit sarkas. Tak urung, Raesaka terkekeh. “Ya, maaf, Kak. 'Kan saya cuma nanya.”
“Nanyanya yang agak kompeten sedikit, kek. Udah tau emang kempes.” Krishna menggerutu. Bibirnya sedikit mengerucut, sebuah tanda jika ia sedang merasa kesal bukan main. Netra milik si yang lebih tua kini tertuju ke arloji di pergelangan tangan.
Sial, Krishna sudah hampir terlambat masuk ke kelasnya.
“Mau saya anter, Kak?”
Krishna secara refleks mengalihkan pandangan. Barusan Raesaka menawarinya untuk naik motor bersama? Saking tidak percaya, Krishna memiringkan kepala kemudian sedikit lebih mendekatkan posisinya ke arah Raesaka. “Lo ngomong apa, barusan?”
Raesaka tidak segera membalas ujaran Krishna. Ia malah bergerak mendekati motor pinjamannya dan mengambil sebuah helm lain yang memang diletakkan di bagian penumpang. Tanpa ba-bi-bu, Raesaka sekarang malah beranjak mendekati Krishna kemudian tanpa permisi berniat memasangkan helmnya langsung ke kepala si Kakak tingkat.
“Woy! Woy! Mau ngapain?!” Dengan gesit, Krishna segera menghindar. Ia terlalu merasa terkejut dengan tindak Raesaka yang terkesan sangat tiba-tiba. “Gue 'kan belum bilang iya buat ajakan lo!”
“Memangnya Kak Krishna mau nolak?”, tanya Raesaka dengan nada bicara yang agak terkesan jahil. “Tadi saya sempet liat Kak Krishna lirik arloji. Berarti waktu masuk kelasnya udah semakin dekat, 'kan? Yakin mau jalan kaki dari sini ke kampus teknik?”
Krishna berdecak, kesal dengan sikap Raesaka yang seakan bisa membaca semua gerak-geriknya. Akhirnya, Krishna meraih helm dari tangan Raesaka dan memasang ke kepalanya sendiri. Asal-asalan. “Ya udah, ayo.”
“Sebentar..” Bukannya mengikuti ajakan Krishna, Raesaka malah semakin mendekati posisi Krishna dan meraih tali yang terpasang pada helm yang dikenakan si kakak tingkat. “Kalau pakai helm itu harus yang bener, Kak. Jangan asal-asalan. Harus sampai...”
“Harus sampai bunyi 'klik' begini, Krishnaku.“
”...bunyi 'klik' begini, Kak Krishna.”
Barusan saja, Krishna seperti merasa sosok Raesaka yang bersamanya selama sepuluh tahun berada di hadapannya. Perasaan asing yang sebelumnya kerap Krishna rasakan setiap kali berhadapan dengan Raesaka, tiba-tiba tiada. Bayang-bayang Raesaka berusia dua puluh tahun yang tadi memasangkan tali helm, rasanya seperti berkelebat— saling berpapasan dengan sosok Raesaka yang menjadi kekasihnya.
“Nah, kalau begini 'kan aman.” Ujaran Raesaka barusan segera membuat bayang-bayang Raesaka dalam usia tiga puluhan segera menghilang dari pandangan Krishna. Lelaki Haliem itu seakan ditarik kembali ke realita dan dibuat menyadari bahwa Raesaka yang dihadapannya sekarang adalah lelaki berusia dua puluh.
Lelaki yang tidak mencintai dirinya.
“Yuk, Kak.” Raesaka bergerak lebih dahulu menuju motor sport pinjamannya sementara Krishna masih diam di tempat. Bukan apa-apa, ini adalah kali pertama bagi Krishna menaiki motor sport begini! Apalagi untuk naik sebagai seseorang yang dibonceng— pengalaman Krishna juga sama buruknya. Nol besar.
Raesaka sudah menaikkan kembali tuas penyangga motor. Mesin sudah dinyalakan, hanya tinggal berangkat saja. “Kak Krishna? Nggak mau ke kelas? Nanti telat.”
“Gue..” Krishna merasa ragu setengah mati. Apa dia harus jujur mengatakan yang sejujurnya?
“Hah? Apa, Kak Krishna?”
“Gue..” Ah, sialan! “..belum pernah nyoba naik motor beginian tapi dibonceng.” Sesudah kalimat itu terucap, Krishna segera menyesali semuanya. Kenapa? Karena sekarang Raesaka sedang tertawa geli. Menyebalkan.
“Ya, ampun.” Raesaka menggeleng-gelengkan kepalanya. “Saya kira Kakak nggak mau dibonceng sama saya gara-gara sayanya bau badan atau gimana. Ternyata gara-gara nggak tau cara naiknya, 'toh.” Raesaka berujar ringan sementara kini kedua kakinya dipijakkan ke tanah. “Sini, Kak Krishnanya ngedeket dulu ke sini biar bisa saya tunjukin caranya.”
“Kaki kiri taruh dulu ke sini,” jelas Raesaka seraya menunjuk ke penginjak kaki di sisi sebelah kiri. “Tangannya, Kak.”
“Hah?” Krishna baru saja akan menaikkan kakinya ke penginjak kaki ketika Raesaka mengucapkan kalimat berikutnya. “Apaan?”
Tanpa menjelaskan apapun lagi, Raesaka meraih tangan kiri Krishna kemudian meletakkan kuasa itu ke pundaknya sendiri. “Tangan Kakak, pegangan ke sini. Biar nggak jatuh.”
Krishna berdebar bukan main. Barusan Raesaka menyentuh tangan Krishna kemudian mengarahkan ke pundaknya sendiri. Sudah lama rasanya Krishna tidak merasakan hangat tangan lelaki itu dan rupanya— hangatnya masih terasa sama walau Krishna rasakan sekilas saja. “Nah, coba naik pelan-pelan.”
Dibimbing dengan kalimat dari Raesaka, Krishna berupaya menaiki penginjak kaki di sebelah kiri. Walau agak kerepotan, akhirnya si yang lebih tua sekarang bisa memposisikan diri duduk di bangku pembonceng motor. “Wait! Wait!” Baru saja Krishna berhasil duduk, bibirnya sudah kembali terbuka; seperti ingin menyuarakan protesan. “Ini motornya modus banget, sih, anjir! Turun banget ke bawah! Mana bisa gue nggak merosot?”
Dari balik helm yang dikenakan, Raesaka tertawa kecil. “Jangan tanya saya dong, Kak. 'Kan ini bukan motor saya.” Seraya mengucapkan kalimatnya, Raesaka bersiap menyalakan mesin motor kembali. Namun akibat gerakannya yang tiba-tiba, Krishna menjadi sedikit oleng. “Eh— Eh! Ka! Woy, jangan grasak grusu—”
Greb.
Sesungguhnya Krishna hanya ingin menyeimbangkan tubuhnya yang tidak terbiasa dengan bangku pembonceng motor yang sempit dan sangat menjorok ke bawah namun sial— si tangan seakan memiliki pemikirannya sendiri. Sekarang kedua tangan Krishna malah secara refleks meraih sisi kanan dan kiri pinggang Raesaka. Katakanlah, Krishna sekarang sedang memeluk Raesaka dari belakang.
“Sorry! Nggak sengaj—”
Baru saja Krishna akan melepaskan pelukannya dari pinggang Raesaka, tiba-tiba si pengendara malah menahan kedua tangan Krishna agar tidak terlepas dari posisinya semula. Parahnya, Raesaka sekarang malah semakin mengeratkan tangan Krishna agar tetap berada di pelukannya.
“Pegangan yang erat, ya, Kak? Saya bakal agak ngebut buat ngejar kelas Kak Krishna, soalnya.” Segala kalimat yang diujarkan Raesaka barusan rasanya bagai pemicu bom yang ada di hati Krishna. Sungguh, Krishna merasa jantungnya sekarang akan meledak saking berdebarnya. “Berangkat, ya?”
Dari bangku belakang, Krishna memberi anggukan kecil. Entah dapat disadari atau tidak oleh Raesaka yang sekarang mulai memacu motor yang dikendarainya untuk membelah jalanan.
Sementara dari bangku depan, Raesaka sedang tersenyum lebar. Sangat lebar, malahan. Sebab paku yang sengaja ia bawa dari rumah dan ia tusukkan ke ban sepeda milik Krish secara diam-diam rupanya menjalankan tugasnya dengan sangat baik.
How deep is your love? I really need to learn. Cause we're living in a world of fools. Breaking us down.. ..when they all should let us be.
We belong to you and me.
( A.N : MAAP AKU NULISNYA SAMBIL SENYUM SENYUM SENDIRI )