dontlockhimup

Kantung mata Krishna tidak ubahnya seperti panda.

Berulang kali si lelaki meletakkan sendok berwarna perak yang sudah ia dinginkan di dalam kulkas ke bagian bawah matanya, tetap saja tidak ada yang berubah. Kantung matanya sungguh menggantung dan tampak hitam. Perpaduan dari dua hal; tidak bisa tidur dan tidak bisa berhenti menangis.

Padahal Krishna baru seminggu berada di timeline yang membingungkan ini namun rasanya waktu berputar sangat lambat untuknya. Seminggu terasa bagai beberapa bulan yang melelahkan. Bahkan parahnya, dalam seminggu ke belakang ini Krishna merasa dirinya sangat mudah untuk menangis. Lemah. Setiap kali melihat Raesaka, rasanya keran air mata Krishna seperti dinyalakan sepenuhnya. Pasti menangis, tidak mungkin tidak.

Kemarin pun demikian. Krishna berulang kali berupaya untuk tertidur namun bayang-bayang Raesaka terus menghantui. Krishna paham, bahwa mungkin kesempatan keduanya untuk kembali ke masa 2021 ini semestinya ia gunakan dengan baik. Entah itu untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan Raesaka atau bagaimana, lah. Bukannya malah dijadikan ajang untuk menangis tanpa henti setiap kali ia teringat berbagai memori yang mereka habiskan bersama di masa depan.

Setelah menyadari bahwa sendok perak yang ia dinginkan itu tidak akan memberi efek signifikan pada kantung matanya yang membengkak, akhirnya Krishna menyerah. Ia menjatuhkan sendok di tangannya begitu saja ke lantai kamar asrama. Nafasnya terembus dengan berat, kedua tangan Krishna bertumpu ke meja rias kecil yang dipasangi cermin di bagian atasnya. Ia memandangi lekat-lekat pantulan bayang diri hingga akhirnya tangan kanan bergerak dengan cepat — untuk menampar pipinya sendiri.

Oh, tamparannya terasa sakit. Lagi, Krishna tidak sedang bermimpi.

“Tuhanku...” Krishna mendesah, setengah merasa miris dan setengahnya merasakan hampa yang teramat sangat. Lama kelamaan, Krishna merasakan kehidupannya di timeline ini seakan tidak ada arti. Mengulangi hari yang sama dengan yang pernah ia lalui namun dengan orang terkasih yang sama sekali tidak mengingat tentang diri kita sendiri. Bayangkan, akan semenyebalkan apa setiap hari yang terlewati?

Dengan membawa fakta bahwa hari yang ia lewati sekarang bukanlah mimpi, Krishna meraih tas ranselnya yang ia letakkan begitu saja di atas kasur. Tali tas disampirkan ke pundak, langkah kaki dibawa keluar dari kamar ke destinasi parkiran sepeda di asrama. Hari ini juga, Krishna akan mengendarai sepedanya menuju kampus. Bagi Krishna, mengendarai sepeda ke kampus bisa mengurangi sedikit rasa stress yang sedang dirasakannya. Merasakan angin sepoi-sepoi seraya menghirup udara segar di sekeliling kampus Ganesha Mandala adalah satu solusi bagi kepenatannya.

Baru saja Krishna akan menaikkan tuas penyangga sepeda, tiba-tiba perhatian Krishna dialihkan oleh ban depan sepedanya yang ternyata kempes total. Krishna segera berjongkok, memeriksa kondisi ban. Jika memang kempes, ia bisa memompa secara manual; 'toh ia memiliki pemompa di kamar asramanya. Akan tetapi semua harapannya pupus tatkala ia menemui lubang menganga di salah satu bagian ban dan paku berukuran lumayan besar yang tergeletak di pinggir ban sepedanya.

Jelas sudah, ada yang dengan sengaja mengempeskan ban sepeda Krishna. Tidak tahu untuk tujuan apa.

Dengan perasaan dongkol bukan main, Krishna memukul body sepedanya. Sayang, itu bukan pilihan tepat. Body sepeda yang kokoh tidak akan mengapa namun tangan Krishna yang sekarang merasa kesakitan bukan main. “Ah, anjing banget emang. Siapa yang iseng bocorin ban sepeda gue, cob—”

“Kak Krishna?”

Gerutuan Krishna segera ditelan begitu saja tatkala rungu menangkap panggilan yang berjarak tidak jauh dari tempatnya berada. Beberapa meter di hadapannya, ada motor sport berwarna hitam yang dikendarai oleh seseorang dalam balutan jaket fakultas berwarna merah — khas milik jurusan Teknik Industri.

Krishna sedikit mengernyitkan dahi, tidak begitu bisa menyadari siapa yang memanggilnya karena wajah si pengendara tertutupi oleh helm full face yang dikenakan. Belum lagi suara si pemanggil juga sedikit terbenam akibat suara mesin motor yang lumayan berisik. “Siapa?”, tanya Krishna masih dalam posisi berjongkok di samping sepedanya.

Detik setelahnya, Krishna merasa ingin kabur saja dari tempatnya sekarang. Bukan karena alasan tertentu akan tetapi karena ketika si pengendara membuka kaca penutup helm full facenya, Krishna menemukan wajah Raesaka di sana. Lelaki itu memasang senyum lebar, seakan tidak tahu bahwa beberapa hari terakhir ia telah menjadi alasan bagi seorang lelaki yang sesungguhnya berusia tiga-puluh-empat tahun untuk menangis di setiap malam.

“Saka, Kak.”

Krishna merutuk dalam hati. Tanpa diberitahu pun Krishna tahu bahwa lelaki itu bernama Saka. Bahkan tanggal lahir dan nama lengkapnya pun Krishna ketahui. “O-oh..” Krishna tertawa gugup. “Hai. Tumben pagi-pagi ada di sini. Mau ngapain?”

Raesaka menurunkan tuas penyangga motor yang dikendarainya dan melepas helm secara penuh. Belum cukup begitu, kini ia turun dari motor kemudian beranjak mendekati Krishna yang masih berjongkok dengan sangat tidak keren di samping sepedanya. “Motor saya lagi dibenerin di bengkel, Kak. Terus Mbak Tania katanya punya temen yang tinggal di asrama sini dan motornya nggak pernah dipakai. Jadi saya disuruh pinjam motor temennya Mbak Tania. Kak Krishna kenal Kak Freddie yang tinggal di lantai satu? Anak Ekonomi, seangkatan di bawah Kak Krishna.”

Krishna berpikir sejenak sebelum bibirnya membuat bentuk bulat, menandakan sudah mengingat siapa seseorang yang barusan disebut oleh Raesaka. “Oh, Freddie...”, gumam Krishna. “Gue nggak kenal, sih. Cuma anaknya lumayan dikenal di sini soalnya kaya raya.”

Raesaka mengangguk. “Iya, kaya. Itu motor sport aja diparkir lama, katanya nggak pernah dipakai.” Krishna ikut melirik ke arah yang ditunjuk oleh Raesaka. Gila, memang. Motor sport seperti itu hanya dibiarkan tergeletak begitu saja di parkiran, ck.

“Sepedanya kempes, ya, Kak?”, tanya Raesaka ketika menyadari ban depan sepeda Krishna bermasalah. Krishna mendengus kecil. “Nggak. Ban sepeda gue lagu on the way ngembang kayak balon udara. Lo nggak liat, ini bannya lagi mulai gede, nih. Wuush— wussh—“, ujar Krishna dengan nada sedikit sarkas. Tak urung, Raesaka terkekeh. “Ya, maaf, Kak. 'Kan saya cuma nanya.”

“Nanyanya yang agak kompeten sedikit, kek. Udah tau emang kempes.” Krishna menggerutu. Bibirnya sedikit mengerucut, sebuah tanda jika ia sedang merasa kesal bukan main. Netra milik si yang lebih tua kini tertuju ke arloji di pergelangan tangan.

Sial, Krishna sudah hampir terlambat masuk ke kelasnya.

“Mau saya anter, Kak?”

Krishna secara refleks mengalihkan pandangan. Barusan Raesaka menawarinya untuk naik motor bersama? Saking tidak percaya, Krishna memiringkan kepala kemudian sedikit lebih mendekatkan posisinya ke arah Raesaka. “Lo ngomong apa, barusan?”

Raesaka tidak segera membalas ujaran Krishna. Ia malah bergerak mendekati motor pinjamannya dan mengambil sebuah helm lain yang memang diletakkan di bagian penumpang. Tanpa ba-bi-bu, Raesaka sekarang malah beranjak mendekati Krishna kemudian tanpa permisi berniat memasangkan helmnya langsung ke kepala si Kakak tingkat.

“Woy! Woy! Mau ngapain?!” Dengan gesit, Krishna segera menghindar. Ia terlalu merasa terkejut dengan tindak Raesaka yang terkesan sangat tiba-tiba. “Gue 'kan belum bilang iya buat ajakan lo!”

“Memangnya Kak Krishna mau nolak?”, tanya Raesaka dengan nada bicara yang agak terkesan jahil. “Tadi saya sempet liat Kak Krishna lirik arloji. Berarti waktu masuk kelasnya udah semakin dekat, 'kan? Yakin mau jalan kaki dari sini ke kampus teknik?”

Krishna berdecak, kesal dengan sikap Raesaka yang seakan bisa membaca semua gerak-geriknya. Akhirnya, Krishna meraih helm dari tangan Raesaka dan memasang ke kepalanya sendiri. Asal-asalan. “Ya udah, ayo.”

“Sebentar..” Bukannya mengikuti ajakan Krishna, Raesaka malah semakin mendekati posisi Krishna dan meraih tali yang terpasang pada helm yang dikenakan si kakak tingkat. “Kalau pakai helm itu harus yang bener, Kak. Jangan asal-asalan. Harus sampai...”

Harus sampai bunyi 'klik' begini, Krishnaku.

”...bunyi 'klik' begini, Kak Krishna.”

Barusan saja, Krishna seperti merasa sosok Raesaka yang bersamanya selama sepuluh tahun berada di hadapannya. Perasaan asing yang sebelumnya kerap Krishna rasakan setiap kali berhadapan dengan Raesaka, tiba-tiba tiada. Bayang-bayang Raesaka berusia dua puluh tahun yang tadi memasangkan tali helm, rasanya seperti berkelebat— saling berpapasan dengan sosok Raesaka yang menjadi kekasihnya.

“Nah, kalau begini 'kan aman.” Ujaran Raesaka barusan segera membuat bayang-bayang Raesaka dalam usia tiga puluhan segera menghilang dari pandangan Krishna. Lelaki Haliem itu seakan ditarik kembali ke realita dan dibuat menyadari bahwa Raesaka yang dihadapannya sekarang adalah lelaki berusia dua puluh.

Lelaki yang tidak mencintai dirinya.

“Yuk, Kak.” Raesaka bergerak lebih dahulu menuju motor sport pinjamannya sementara Krishna masih diam di tempat. Bukan apa-apa, ini adalah kali pertama bagi Krishna menaiki motor sport begini! Apalagi untuk naik sebagai seseorang yang dibonceng— pengalaman Krishna juga sama buruknya. Nol besar.

Raesaka sudah menaikkan kembali tuas penyangga motor. Mesin sudah dinyalakan, hanya tinggal berangkat saja. “Kak Krishna? Nggak mau ke kelas? Nanti telat.”

“Gue..” Krishna merasa ragu setengah mati. Apa dia harus jujur mengatakan yang sejujurnya?

“Hah? Apa, Kak Krishna?”

“Gue..” Ah, sialan! “..belum pernah nyoba naik motor beginian tapi dibonceng.” Sesudah kalimat itu terucap, Krishna segera menyesali semuanya. Kenapa? Karena sekarang Raesaka sedang tertawa geli. Menyebalkan.

“Ya, ampun.” Raesaka menggeleng-gelengkan kepalanya. “Saya kira Kakak nggak mau dibonceng sama saya gara-gara sayanya bau badan atau gimana. Ternyata gara-gara nggak tau cara naiknya, 'toh.” Raesaka berujar ringan sementara kini kedua kakinya dipijakkan ke tanah. “Sini, Kak Krishnanya ngedeket dulu ke sini biar bisa saya tunjukin caranya.”

“Kaki kiri taruh dulu ke sini,” jelas Raesaka seraya menunjuk ke penginjak kaki di sisi sebelah kiri. “Tangannya, Kak.”

“Hah?” Krishna baru saja akan menaikkan kakinya ke penginjak kaki ketika Raesaka mengucapkan kalimat berikutnya. “Apaan?”

Tanpa menjelaskan apapun lagi, Raesaka meraih tangan kiri Krishna kemudian meletakkan kuasa itu ke pundaknya sendiri. “Tangan Kakak, pegangan ke sini. Biar nggak jatuh.”

Krishna berdebar bukan main. Barusan Raesaka menyentuh tangan Krishna kemudian mengarahkan ke pundaknya sendiri. Sudah lama rasanya Krishna tidak merasakan hangat tangan lelaki itu dan rupanya— hangatnya masih terasa sama walau Krishna rasakan sekilas saja. “Nah, coba naik pelan-pelan.”

Dibimbing dengan kalimat dari Raesaka, Krishna berupaya menaiki penginjak kaki di sebelah kiri. Walau agak kerepotan, akhirnya si yang lebih tua sekarang bisa memposisikan diri duduk di bangku pembonceng motor. “Wait! Wait!” Baru saja Krishna berhasil duduk, bibirnya sudah kembali terbuka; seperti ingin menyuarakan protesan. “Ini motornya modus banget, sih, anjir! Turun banget ke bawah! Mana bisa gue nggak merosot?”

Dari balik helm yang dikenakan, Raesaka tertawa kecil. “Jangan tanya saya dong, Kak. 'Kan ini bukan motor saya.” Seraya mengucapkan kalimatnya, Raesaka bersiap menyalakan mesin motor kembali. Namun akibat gerakannya yang tiba-tiba, Krishna menjadi sedikit oleng. “Eh— Eh! Ka! Woy, jangan grasak grusu—”

Greb.

Sesungguhnya Krishna hanya ingin menyeimbangkan tubuhnya yang tidak terbiasa dengan bangku pembonceng motor yang sempit dan sangat menjorok ke bawah namun sial— si tangan seakan memiliki pemikirannya sendiri. Sekarang kedua tangan Krishna malah secara refleks meraih sisi kanan dan kiri pinggang Raesaka. Katakanlah, Krishna sekarang sedang memeluk Raesaka dari belakang.

Sorry! Nggak sengaj—”

Baru saja Krishna akan melepaskan pelukannya dari pinggang Raesaka, tiba-tiba si pengendara malah menahan kedua tangan Krishna agar tidak terlepas dari posisinya semula. Parahnya, Raesaka sekarang malah semakin mengeratkan tangan Krishna agar tetap berada di pelukannya.

“Pegangan yang erat, ya, Kak? Saya bakal agak ngebut buat ngejar kelas Kak Krishna, soalnya.” Segala kalimat yang diujarkan Raesaka barusan rasanya bagai pemicu bom yang ada di hati Krishna. Sungguh, Krishna merasa jantungnya sekarang akan meledak saking berdebarnya. “Berangkat, ya?”

Dari bangku belakang, Krishna memberi anggukan kecil. Entah dapat disadari atau tidak oleh Raesaka yang sekarang mulai memacu motor yang dikendarainya untuk membelah jalanan.

Sementara dari bangku depan, Raesaka sedang tersenyum lebar. Sangat lebar, malahan. Sebab paku yang sengaja ia bawa dari rumah dan ia tusukkan ke ban sepeda milik Krish secara diam-diam rupanya menjalankan tugasnya dengan sangat baik.

How deep is your love? I really need to learn. Cause we're living in a world of fools. Breaking us down.. ..when they all should let us be.

We belong to you and me.


( A.N : MAAP AKU NULISNYA SAMBIL SENYUM SENYUM SENDIRI )

“Kak Krishna ngapain ke rumah, Dek?”

Tania mengambil sepotong kue cubit yang dibelikan oleh si adik sepupu dalam perjalanannya pulang ke rumah. Memang, tukang penjual martabak yang diinginkan tidak membuka kedai— sebagai gantinya, Raesaka membelikan kue cubit. Alhasil, sekarang kedua sepupu itu sedang duduk di sofa ruang tamu dengan masing-masing tangan yang sedang memegang sepotong kue dan bibir yang mengunyah; nikmat.

Pertanyaan Tania dibalas dengan bahu Raesaka yang terangkat ringan. “Nggak tau, Mbak. Dia tiba-tiba aja bilang mau ke rumah padahal kondisinya 'tuh di luar udah gledek dar-der-dar-der gitu.”

“Hmm.” Tania mengangguk-anggukkan kepalanya, tanda memahami separuh cerita Raesaka. “Terus? Pas udah sampe rumah, dia ngapain?”

Raesaka sontak terdiam. Apa sebaiknya ia menceritakan bahwa tatkala Krishna sampai di rumah, hal pertama yang dilakukannya adalah memeluk Raesaka kemudian menangis terisak hingga dirinya juga ikut sesak? Kira-kira, Kakak sepupunya akan menganggap apa?

“Nggak ngapa-ngapain, sih, Mbak.” Raesaka sebisa mungkin berbicara dengan nada santai agar Tania tidak menaruh curiga. Instingnya mengatakan, tidak sebaiknya ia bercerita lebih jauh tentang situasi diantara dirinya dengan Krishna. Entah mengapa, Raesaka merasa— jika ia berbicara lebih jauh, akan ada malapetaka yang datang. “Dia cuma dateng terus ngajak makan ke warung burjo. Katanya dia nggak punya temen buat diajak makan bareng, makanya minta aku nemenin.”

Raesaka, berbohong.

Tania mengernyitkan dahinya. “Beneran cuma gitu doang? Padahal setau Mbak, Kak Krishna punya temen deket yang selalu ke mana-mana bareng, lho. Siapa itu? Yang sama-sama putih... Oppie!” Lagi, kuasa Tania meraih sepotong kue cubit yang ada di atas meja. “Kasian banget kalau dia nggak punya temen.”

“Tapi emang anaknya jutek banget, sih. Dingin, sinis. Makanya Mbak juga heran kok temen Mbak yang mayoret itu, Jane, mau-mauan jadi pacarnya Kak Krishna. Rumornya rame kok, kalau si Kak Krishna itu dingin banget ke siapapun.”

Ujaran Tania yang diucapkan dengan berapi-api hanya dibalas dengan anggukan sekilas dari Raesaka. Dalam hati, ia terus mengingat-ingat segala tindakan si Kakak tingkat. Semuanya terasa wajar. Krishna tidak terlalu bersikap dingin kepadanya, Krishna juga tidak sinis.

“Tapi dia 'tuh laku, lho, Dek!” Tania melanjutkan ucapannya seraya mencomot potongan kue ketiga. “Banyak mahasiswi yang naksir dia. Katanya ganteng, mirip oppa-oppa Korea. Padahal kata Mbak, sih, nggak ada mirip-miripnya. Kalau ngomongin oppa Korea, lebih mirip Nakuladewa, tuh.”

Raesaka tertawa. “Mbak suka Kak Dewa, tah? Mau aku salamin pas nanti latihan paskib?”

“Ih, nggak!” Tania menggelengkan kepalanya, tergesa. Ia tidak ingin adik sepupunya sampai salah paham. “Mbak nggak suka sama Nakuladewa. Cuma kalau disuruh bandingin gantengan siapa, ya, Mbak lebih milih dia, gitu. Lagian Mbak udah punya calon pacar, kok. Sama-sama temen di marching band juga.”

Raesaka menggumam paham walaupun kekehan tawa masih tersirat di bibir. “Iya, percaya aku. Percaya.”

Kue cubit di atas meja hanya tinggal tersisa satu buah. Sengaja, Raesaka mendorong kue cubit itu ke arah Tania. “Nih, Mbak. Yang terakhir buat Mbak aja.”

“Ya ampuuuun.” Terlihat jelas, mata Tania berkaca-kaca. “Yang jadi pacarnya adekku ini pasti bakal bahagia, deh. Udah ganteng, baik, sopan, pengertian sama cewek. Aduh, tipe suami ideal.”

Tak urung, Raesaka tertawa tatkala mendengar celetukan si Kakak sepupu. “Apaan, sih, Mbak? Aku belum kepikiran pacaran,” ujar Raesaka seraya menepuk-nepukkan tangannya untuk membuang sisa remah kue yang menempel di kedua kuasa. “Lagian Mbak tau sendiri, 'kan? Aku punya cerita nggak enak tentang orang-orang yang suka sama aku?”

Tania mengangguk. Sesungguhnya, Tania lebih paham mengenai apapun terkait adik sepupunya. Bahkan mungkin lebih baik daripada Ayah kandung Raesaka sendiri. Maka setelah suapan terakhir dari kue cubit ditelan, Tania berangsur membuka pembicaraan baru. “Dek.”

“Hm?”, jawab Raesaka seraya mengumpulkan bekas plastik kue cubit yang sudah mereka makan barusan. “Kenapa, Mbak?”

“Mbak mau minta bantuan, deh.” Tania tidak berdiam diri, ia juga ikut membereskan sisa remahan kue yang terjatuh ke atas meja kemudian memasukkan ke plastik yang digenggam Raesaka. “Ituuu... Mbak 'kan punya temen yang mayoret itu.”

“Hm-mm,” gumam Raesaka. “Lalu?”

“Nah, dia 'tuh kayaknya masih sayang sama Kak Krishna.”

Mungkin terdengar berlebihan namun barusan saja Raesaka seperti merasakan sesuatu yang tidak kasat mata menghantam dirinya. Memberi pukulan tidak terlihat; sakit.

“Oh...” Raesaka mencoba bersikap wajar. “Lalu? Aku emangnya bisa kasih bantuan apa?”

“Kamu mau nggak jadi informan rahasia buat cari informasi soal Kak Krishna? Jadi kamu coba deket aja gitu sama Kak Krishna. Nanti kalau sekiranya ada informasi yang bagus buat Mbak share ke Jane, kasih tau Mbak. Mau, nggak?”

Raesaka tertawa kecil. “Dasar, cewek-cewek emang bisa halalin segala cara asal bisa deket sama cowok pujaannya, ya?” Si lelaki mengikat ujung plastik di tangannya kemudian bangkit dari sofa, berniat membuangnya ke tempat sampah. “Kalau aku iyain, Mbak mau kasih aku apa?”

Tania merengut. “Kok kamu jadi tukang pamrih begini, sih, Dek?” Bercanda, Tania melemparkan tisu bekasnya membersihkan remahan kue ke arah Raesaka dan segera ditangkap sigap oleh si adik sepupu. “Emang kamu maunya apa?”

“Hmmm.” Raesaka menggumam sebelum berujar ringan. “Imbalannya, aku mau Mbak nggak ngenalin aku ke temen Mbak yang anak FKG itu.”

“Gimana, Mbak?” “Deal?”

“Thanks, ya. Udah dianterin sampe ke asrama. Padahal gue bisa balik naik ojek online aja.”

Krishna menyerahkan helm yang dikenakannya kepada si pemilik, Raesaka. Keduanya sekarang sedang berada beberapa puluh meter terpisah dari pintu masuk asrama khusus mahasiswa Universitas Ganesha Mandala. Krishna sengaja meminta begitu agar Raesaka bisa memutarkan arah motornya karena di jarak segini, ada ruang yang cukup bagi lelaki itu agar bisa membelokkan motornya dengan mudah.

Raesaka membuka kaca helm full-face yang dikenakannya sehingga kini Krishna hanya bisa melihat separuh dari wajah si lelaki di hadapan. “Nggak apa-apa, Kak. 'Toh ini sama aja kayak Kakak bayar biaya ojek online, 'kan? Kan' tadi Kak Krishna bayarin saya makan di warung burjo.”

“Kalau soal makan di burjo tadi, sih, bukan buat bayar biaya nganter.” Krishna mengambil jeda diantara ucapannya. “Itu buat pelukan yang tadi gue lakuin di depan rumah lo.”

Ujaran Krishna yang terakhir terdengar sangat pelan, lebih mirip seperti cicitan dibanding ucapan normal. Raesaka yang sedang mengenakan helm yang menutupi seluruh wajah tentu kesusahan untuk mendengar ujaran Krishna barusan yang sangat pelan. “Hah? Gimana, Kak? Maaf, tadi ngomong apa?” Raesaka beranjak membuka pengunci kaitan tali helmnya dan seketika— Krishna seperti merasakan darahnya berdesir seribu kali lebih cepat.

Dalam jarak waktu beberapa hari, entah sudah berapa kali Krishna mengulangi kalimat ini; Raesaka sangat tampan. Bukan tampan yang berarti sempurna perawatan wajahnya layaknya member boyband Korea. Raesaka tampan dengan kulit coklatnya, alis yang tebal, bibir yang agak tebal namun merah ranum, serta garis rahang yang tajam.

Dahulu, Krishna selalu merasa heran kenapa banyak yang tergila-gila kepada Rasesaka padahal menurutnya, wajah si kekasih biasa-biasa saja. Hingga sekarang, baru Krishna menyadari bahwa Raesaka memang───tampan.

“Nggak. Nggak apa-apa.” Krishna berupaya menyembunyikan kegugupannya rapat-rapat. Pandangannya sengaja ditujukan ke titik fokus pohon yang berada di belakang tubuh Raesaka. Pokoknya Krishna tidak mau menatapi Raesaka; tidak tatkala ia merasa salah tingkah seperti sekarang. “Oh, ngomong-ngomong... ini baju lo, mau digimanain? Gue cuci dulu baru dibalikin, nggak apa-apa?”

Raesaka terkekeh sambil mengibaskan tangannya. “Nggak usah, Kak. Santai aja. Dibawa besok pas ke kampus tanpa dicuci juga nggak apa-apa. Tapi baju Kak Krishna juga ada di mesin cuci rumah saya, 'kan, ya? Karena udah terlanjur masuk mesin cuci, biar saya cuci dulu, ya? Baru saja balikin ke Kak Krishna.”

Krishna menepuk dahinya. Sial, ia benar-benar lupa bahwa dirinya terbiasa memasukkan segala cuciannya ke mesin cuci di rumah Raesaka jika sedang berkunjung ke sana. Biasanya, Krishna akan mencuci pakaiannya esok hari. Ia terlalu terbiasa hingga melupakan fakta bawah sekarang dirinya berada si tahun 2021. Bukan 2031.

Krishna, bodoh.

“Oh, iya...” Krishna terkekeh kikuk, berbanding terbalik dengan Raesaka yang tertawa geli melihat sikap si Kakak tingkat. Seketika, Krishna terhipnotis. Sudah lama sekali rasanya semenjak ia mendengar tawa Raesaka yang seperti anak kecil.

Gelak tawa yang sangat renyah. Yang semula terkadang Krishna benci karena kerap disisipi guyonan yang menurutnya tidak penting. Namun tatkala ia kembali ke masa ini, Krishna tersadar bahwa kekasihnya— ternyata tidak memiliki apapun yang sepantasnya ia benci.

Raesaka memiliki segala sesuatu yang sepatutnya dicintai, bukan dibenci. Gelak tawanya, suara bernada khawatirnya, kalimatnya yang santun, semua hal yang ada adalah sesuatu yang terbaik.

Sayangnya, segala yang baik itu baru bisa Krishna ketahui keberadaannya saat ia sudah tidak bisa meraihnya.

Lagi. Krishna, bodoh.

Raesaka menangkap ekspresi Krishna yang tampak tidak nyaman dengan situasi saat ini. Lantas, Raesaka berdehem beberapa kali kemudian menaikkan penyangga motornya untuk bersiap pulang ke rumah. “Oke, Kak. Kalau gitu, saya pulang dulu, ya? Kayaknya udah mau hujan lagi. Saya nggak bawa jas hujan..”

Don't go tonight. Stay here one more time.

Awalnya, Krishna sempat memikirkan alasan mengapa banyak orang yang kata si supir taksi memilih untuk tetap membongkar perihal dirinya yang mendapat kesempatan kedua. Dalam hati, Krishna melayangkan heran— apa mereka yang mendapatkan kesempatan kedua tidak pernah memikirkan kondisi si orang yang mereka sayangi; seperti Krishna yang memikirkan kondisi Raesaka.

Remind me what it's like. And let's fall in love one more time. I need you now by my side.

Namun sekarang Krishna memahaminya dengan jelas. Saat ini, di detik ini— Krishna menyadari alasan mengapa orang-orang memilih untuk menjelaskan perihal keberadaan dirinya kepada si yang tersayang. Mungkin, mereka menjelaskan semua itu karena terlalu merasa sakit hati ketika harus berpisah seperti sekarang.

Perpisahan yang hambar, tanpa peluk atau kecup yang biasanya mereka dapatkan tatkala menjalin kasih. Perpisahan yang terasa menyedihkan, hampa.

Krishna mengeratkan genggamannya ke jaket yang tengah dikenakannya sendiri. Jaket milik Raesaka. Ingin sekali Krishna jelaskan semua, agar setidaknya perpisahan mereka sekarang tidak sehambar ini. Paling tidak, Raesaka mungkin akan sedikit lebih hangat. Paling tidak, mungkin Raesaka akan tinggal lebih lama dan tidak selalu menjadi pihak yang ingin menyudahi semuanya.

Menyudahi percakapan di chat, menyudahi percakapan tatkala bertatap pandang begini.

It tears me up when you turn me down. I'm begging. Please, just stick around.

I'm sorry.. Don't leave me. I want you here for me.

“Kak Krishna?” Panggilan dari Raesaka membuyarkan lamunan Krishna. Sontak, si yang lebih tua segera mengangkat kepalanya dan memandang lurus ke manik milik lelaki di hadapannya. Raesaka mengulas senyum tipis kemudian berujar kecil. “Kalau Kakak punya hal yang mau diceritain ke saya, Kakak boleh chat saya kapanpun. Walau semenjak kita di warung Indomie tadi sebenernya saya nunggu-nunggu Kakak ceritain alasan tentang pelukan itu, sih.”

Kekehan tawa Raesaka rupanya tidak memberi efek serupa kepada Krishna. Lelaki itu hanya terdiam dengan tangan yang masih menggenggam erat ujung jaket yang dikenakan.

Lagi, Raesaka berdehem dilanjutkan kalimat pendek. “Kak Krishna, boleh saya tanya?”

“Apa?”

“Kak Krishna... apa Kakak— suka saya? Dalam artian khusus, bukan sebagai kakak atau adik tingkat.”

“Kenapa... tanya begitu?”

“Hahaha,” Raesaka menggaruki tengkuknya. “Saya cuma... mau pastiin aja. Supaya saya tau tindakan apa yang semestinya saya lakuin ke Kak Krishna.”

“Tindakan apa...”

“Saya udah bertekad semenjak masuk ke UGAMA bahwa saya nggak mau pacaran dulu. Saya mau fokus ke belajar. Jadi kalau Kakak suka saya...” Lagi, Raesaka berdehem. Tampak jelas bahwa ia kurang suka dengan topik perbincangan saat ini. “...mungkin— saya bakal sedikit ambil jarak.”

I know that your love is gone.

“Oh..” Dalam hati, Krishna terus mengutuk dirinya sendiri. Dalam hati, Krishna terus menghipnotis dirinya sendiri untuk paling tidak memberi respon berupa tawa guyon dan pukulan kecil di lengan Raesaka untuk memberi pertanda bahwa ia tidak menyukai Raesaka.

Namun tidak bisa. Krishna tidak bisa melakukan apapun selain menggosok sisi jaket lengan kanannya dengan tangan kiri, memberi gesture seakan ia sedang kedinginan. “Dingin juga, ya, rupanya,” Krishna tertawa kikuk. “Ya udah, lo buruan balik, gih. Kayaknya ini udah angin yang nunjukin bakal hujan. Gih, sana balik.”

I can't breath. I'm sorry, i know this isn't easy...

Raesaka mengangguk kecil. “Kakak duluan gih, pulangnya. Saya liatin dari sini. Lumayan gelap, situasinya. Kalau saya di sini, saya bisa senterin Kakak pakai lampu motor, 'kan? Paling nggak, jadi nggak terlalu gelap.”

Krishna memberi balasan serupa. Hanya anggukan kecil dan senyum terlampau hampa. “Iya, gue pulang dulu kalau gitu.”

“Kak, sebentar.” Baru saja Krishna akan membalikkan tubuhnya, tiba-tiba tangan kanan Raesaka terangkat dan tubuhnya sedikit condong ke arah depan. Telapak tangan kanan Raesaka tertuju ke arah rambut Krishna dan mengusapnya dari ujung atas ke ujung bawah. Sontak, gerak tangan Raesaka membuat Krishna terpaku. Membeku.

“Ada daun di kepala Kakak tadi. Saya bantu buang. Maaf, kalau nggak sopan.”

Ah. Hanya daun, Krishna.

“Oh,” Krishna tertawa getir. “Thanks”, jawab si yang lebih tua seraya menepuk-nepuki kepalanya sendiri. Memastikan bahwa daun-daun bodoh yang sempat membuatnya menaruh harapan palsu itu tidak lagi ada di sana. “Udah nggak ada lagi?”, tanya Krishna. Raesaka mengangguk.

“Saya pulang, ya, Kak?” Raesaka pamit, tangannya kembali bergerak untuk memasang helm yang semula ia lepas. “Kalau Kakak punya hal yang mau diceritain ke saya, boleh hubungi saya kapanpun. Kalau ada waktu, saya usahain balas secepatnya.”

“Saka...” Krishna berujar lirih sehingga membuat gerak tangan Raesaka yang semula akan memasangkan helm tiba-tiba berhenti. Tatapannya tertuju lurus ke arah Krishna. “Ya, Kak?”

Perlahan, tangan kanan Krishna terangkat dan terjulur kepada Raesaka. Senyum lirih terulas di bibir si lebih tua, tampak getir. “Boleh gue anggap hubungan kita sebagai temen?”

Don't tell me that your love is gone..

Raesaka sempat memandangi uluran tangan Krishna untuk beberapa saat sebelum akhirnya memberi balas jabat dan anggukan kecil. “Sure thing, Kak.”

That your love is gone.

Langit bergermuruh seiring dengan Krishna yang sekarang sedang berjalan dengan langkah gontai menuju pintu masuk utama asrama yang dikediaminya. Dari arah belakang, motor yang dikendarai Raesaka masih menyala dan menerangi jalanan yang dilalui Krishna. Sesuai dengan apa yang Raesaka ucapkan, ia masih menunggu hingga Krishna masuk ke asramanya sebab jalanan di sekitar sini agak temaram. Suram.

Teman adalah hubungan yang keduanya ketahui saat ini. Teman adalah hubungan yang keduanya setujui untuk dijalani.

Namun ada hal lain yang tidak keduanya ketahui. Adalah tentang Krishna yang melangkah gontai dengan air mata yang mengalir tanpa bisa ia kendalikan. Sebisa mungkin, Krishna tidak menyeka air matanya dan tidak membiarkan pundaknya bergerak selayak orang yang sedang menangis.

Krishna beranggapan, Raesaka tidak boleh mengetahui lagi soal tangisannya. Krishna tidak mau Raesaka menganggap bahwa ia menyukai dirinya; karena jika begitu maka Raesaka akan bergerak menjauh. Raesaka tidak menyukai jika ada orang yang mengganggu fokusnya di akademis.

Jadi teman, cukup sebagai itu saja.

Paling tidak, dengan status itu Raesaka tidak akan berjalan lebih jauh daripada sekarang.

Sementara dari atas jok motornya, Raesaka memandangi langkah Krishna dengan helm yang sudah terpasang sempurna. Mesin sudah menyala, lampu depan menerangi dan menemani langkah Krishna.

Namun ada yang tidak Krishna ketahui. Bahwa di balik helm yang dikenakannya, Raesaka sedang menangis. Air matanya mengalir— tanpa ia ketahui apa penyebabnya.

Raesaka tidak paham apa yang sekarang sedang dirasakannya. Lagi-lagi perasaan sakit pada ulu hati yang sama rasanya ketika ia memberi balas peluk pada Krishna di bawah naungan payung tatkala hujan tadi, kini lagi-lagi ia rasakan.

Raesaka merasakan perasaan yang asing di dadanya. Perasaan yang selama ini tidak pernah ia rasakan keberadaannya karena disibukkan oleh berbagai kegiatan akademis di sekolah. Raesaka merasakan perasaan sesak yang seperti membuatnya sulit bernafas.

Sakit, yang bahkan terasa lebih menyakitkan dibanding ketika darahnya harus hilang karena luka di tubuh.

Ada daun di rambut Kakak..

Krishna tidak tahu, bahwa semenjak awal tidak ada daun yang tertinggal di kepalanya. Tangan Raesaka bergerak sendiri tanpa si pemilik inginkan, tanpa sadar— tangan Raesaka terangkat; seperti refleks ingin memberi usap pada kepala Krishna. Seperti menjadi sebuah kebiasaan, tangan Raesaka bergerak sendiri tanpa ia rencanakan.

Raesaka hanya berharap, Krishna tidak menyadari suaranya yang sempat gemetar karena merasa panik atas tindakannya sendiri. Raesaka berharap, Krishna tidak menyadari apapun.

Karena sekarang, keduanya sudah menyepakati satu hal; bahwa hubungan keduanya... hanya sekedar teman.

“Thanks, ya. Udah dianterin sampe ke asrama. Padahal gue bisa balik naik ojek online aja.”

Krishna menyerahkan helm yang dikenakannya kepada si pemilik, Raesaka. Keduanya sekarang sedang berada beberapa puluh meter terpisah dari pintu masuk asrama khusus mahasiswa Universitas Ganesha Mandala. Krishna sengaja meminta begitu agar Raesaka bisa memutarkan arah motornya karena di jarak segini, ada ruang yang cukup bagi lelaki itu agar bisa membelokkan motornya dengan mudah.

Raesaka membuka kaca helm full-face yang dikenakannya sehingga kini Krishna hanya bisa melihat separuh dari wajah si lelaki di hadapan. “Nggak apa-apa, Kak. 'Toh ini sama aja kayak Kakak bayar biaya ojek online, 'kan? Kan' tadi Kak Krishna bayarin saya makan di warung burjo.”

“Kalau soal makan di burjo tadi, sih, bukan buat bayar biaya nganter.” Krishna mengambil jeda diantara ucapannya. “Itu buat pelukan yang tadi gue lakuin di depan rumah lo.”

Ujaran Krishna yang terakhir terdengar sangat pelan, lebih mirip seperti cicitan dibanding ucapan normal. Raesaka yang sedang mengenakan helm yang menutupi seluruh wajah tentu kesusahan untuk mendengar ujaran Krishna barusan yang sangat pelan. “Hah? Gimana, Kak? Maaf, tadi ngomong apa?” Raesaka beranjak membuka pengunci kaitan tali helmnya dan seketika— Krishna seperti merasakan darahnya berdesir seribu kali lebih cepat.

Dalam jarak waktu beberapa hari, entah suka berapa kali Krishna mengulangi kalimat ini; Raesaka sangat tampan. Bukan tampan yang berarti sempurna perawatan wajahnya layaknya member boyband Korea. Raesaka tampan dengan kulit coklatnya, alis yang tebal, bibir yang agak tebal namun merah ranum, serta garis rahang yang tajam.

Dahulu, Krishna selalu merasa heran kenapa banyak yang tergila-gila kepada Rasesaka padahal menurutnya, wajah si kekasih biasa-biasa saja. Hingga sekarang, baru Krishna menyadari bahwa Raesaka memang───tampan.

“Nggak. Nggak apa-apa.” Krishna berupaya menyembunyikan kegugupannya rapat-rapat. Pandangannya sengaja ditujukan ke titik fokus pohon yang berada di belakang tubuh Raesaka. Pokoknya Krishna tidak mau menatapi Raesaka; tidak tatkala ia merasa salah tingkah seperti sekarang. “Oh, ngomong-ngomong... ini baju lo, mau digimanain? Gue cuci dulu baru dibalikin, nggak apa-apa?”

Raesaka terkekeh sambil mengibaskan tangannya. “Nggak usah, Kak. Santai aja. Dibawa besok pas ke kampus tanpa dicuci juga nggak apa-apa. Tapi baju Kak Krishna juga ada di mesin cuci rumah saya, 'kan, ya? Karena udah terlanjur masuk mesin cuci, biar saya cuci dulu, ya? Baru saja balikin ke Kak Krishna.”

Krishna menepuk dahinya. Sial, ia benar-benar lupa bahwa dirinya terbiasa memasukkan segala cuciannya ke mesin cuci di rumah Raesaka jika sedang berkunjung ke sana. Biasanya, Krishna akan mencuci pakaiannya esok hari. Ia terlalu terbiasa hingga melupakan fakta bawah sekarang dirinya berada si tahun 2021. Bukan 2031.

Krishna, bodoh.

“Oh, iya...” Krishna terkekeh kikuk, berbanding terbalik dengan Raesaka yang tertawa geli melihat sikap si Kakak tingkat. Seketika, Krishna terhipnotis. Sudah lama sekali rasanya semenjak ia mendengar tawa Raesaka yang seperti anak kecil.

Gelak tawa yang sangat renyah. Yang semula terkadang Krishna benci karena kerap disisipi guyonan yang menurutnya tidak penting. Namun tatkala ia kembali ke masa ini, Krishna tersadar bahwa kekasihnya— ternyata tidak memiliki apapun yang sepantasnya ia benci.

Raesaka memiliki segala sesuatu yang sepatutnya dicintai, bukan dibenci. Gelak tawanya, suara bernada khawatirnya, kalimatnya yang santun, semua hal yang ada adalah sesuatu yang terbaik.

Sayangnya, segala yang baik itu baru bisa Krishna ketahui keberadaannya saat ia sudah tidak bisa meraihnya.

Lagi. Krishna, bodoh.

Raesaka menangkap ekspresi Krishna yang tampak tidak nyaman dengan situasi saat ini. Lantas, Raesaka berdehem beberapa kali kemudian menaikkan penyangga motornya untuk bersiap pulang ke rumah. “Oke, Kak. Kalau gitu, saya pulang dulu, ya? Kayaknya udah mau hujan lagi. Saya nggak bawa jas hujan..”

Don't go tonight. Stay here one more time.

Awalnya, Krishna sempat memikirkan alasan mengapa banyak orang yang kata si supir taksi memilih untuk tetap membongkar perihal dirinya yang mendapat kesempatan kedua. Dalam hati, Krishna melayangkan heran— apa mereka yang mendapatkan kesempatan kedua tidak pernah memikirkan kondisi si orang yang mereka sayangi; seperti Krishna yang memikirkan kondisi Raesaka.

Remind me what it's like. And let's fall in love one more time. I need you now by my side.

Namun sekarang Krishna memahaminya dengan jelas. Saat ini, di detik ini— Krishna menyadari alasan mengapa orang-orang memilih untuk menjelaskan perihal keberadaan dirinya kepada si yang tersayang. Mungkin, mereka menjelaskan semua itu karena terlalu merasa sakit hati ketika harus berpisah seperti sekarang.

Perpisahan yang hambar, tanpa peluk atau kecup yang biasanya mereka dapatkan tatkala menjalin kasih. Perpisahan yang terasa menyedihkan, hampa.

Krishna mengeratkan genggamannya ke jaket yang tengah dikenakannya sendiri. Jaket milik Raesaka. Ingin sekali Krishna jelaskan semua, agar setidaknya perpisahan mereka sekarang tidak sehambar ini. Paling tidak, Raesaka mungkin akan sedikit lebih hangat. Paling tidak, mungkin Raesaka akan tinggal lebih lama dan tidak selalu menjadi pihak yang ingin menyudahi semuanya.

Menyudahi percakapan di chat, menyudahi percakapan tatkala bertatap pandang begini.

It tears me up when you turn me down. I'm begging. Please, just stick around.

I'm sorry.. Don't leave me. I want you here for me.

“Kak Krishna?” Panggilan dari Raesaka membuyarkan lamunan Krishna. Sontak, si yang lebih tua segera mengangkat kepalanya dan memandang lurus ke manik milik lelaki di hadapannya. Raesaka mengulas senyum tipis kemudian berujar kecil. “Kalau Kakak punya hal yang mau diceritain ke saya, Kakak boleh chat saya kapanpun. Walau semenjak kita di warung Indomie tadi sebenernya saya nunggu-nunggu Kakak ceritain alasan tentang pelukan itu, sih.”

Kekehan tawa Raesaka rupanya tidak memberi efek serupa kepada Krishna. Lelaki itu hanya terdiam dengan tangan yang masih menggenggam erat ujung jaket yang dikenakan.

Lagi, Raesaka berdehem dilanjutkan kalimat pendek. “Kak Krishna, boleh saya tanya?”

“Apa?”

“Kak Krishna... apa Kakak— suka saya? Dalam artian khusus, bukan sebagai kakak atau adik tingkat.”

“Kenapa... tanya begitu?”

“Hahaha,” Raesaka menggaruki tengkuknya. “Saya cuma... mau pastiin aja. Supaya saya tau tindakan apa yang semestinya saya lakuin ke Kak Krishna.”

“Tindakan apa...”

“Saya udah bertekad semenjak masuk ke UGAMA bahwa saya nggak mau pacaran dulu. Saya mau fokus ke belajar. Jadi kalau Kakak suka saya...” Lagi, Raesaka berdehem. Tampak jelas bahwa ia kurang suka dengan topik perbincangan saat ini. “...mungkin— saya bakal sedikit ambil jarak.”

I know that your love is gone.

“Oh..” Dalam hati, Krishna terus mengutuk dirinya sendiri. Dalam hati, Krishna terus menghipnotis dirinya sendiri untuk paling tidak memberi respon berupa tawa guyon dan pukulan kecil di lengan Raesaka untuk memberi pertanda bahwa ia tidak menyukai Raesaka.

Namun tidak bisa. Krishna tidak bisa melakukan apapun selain menggosok sisi jaket lengan kanannya dengan tangan kiri, memberi gesture seakan ia sedang kedinginan. “Dingin juga, ya, rupanya,” Krishna tertawa kikuk. “Ya udah, lo buruan balik, gih. Kayaknya ini udah angin yang nunjukin bakal hujan. Gih, sana balik.”

I can't breath. I'm sorry, i know this isn't easy...

Raesaka mengangguk kecil. “Kakak duluan gih, pulangnya. Saya liatin dari sini. Lumayan gelap, situasinya. Kalau saya di sini, saya bisa senterin Kakak pakai lampu motor, 'kan? Paling nggak, jadi nggak terlalu gelap.”

Krishna memberi balasan serupa. Hanya anggukan kecil dan senyum terlampau hampa. “Iya, gue pulang dulu kalau gitu.”

“Kak, sebentar.” Baru saja Krishna akan membalikkan tubuhnya, tiba-tiba tangan kanan Raesaka terangkat dan tubuhnya sedikit condong ke arah depan. Telapak tangan kanan Raesaka tertuju ke arah rambut Krishna dan mengusapnya dari ujung atas ke ujung bawah. Sontak, gerak tangan Raesaka membuat Krishna terpaku. Membeku.

“Ada daun di kepala Kakak tadi. Saya bantu buang. Maaf, kalau nggak sopan.”

Ah. Hanya daun, Krishna.

“Oh,” Krishna tertawa getir. “Thanks”, jawab si yang lebih tua seraya menepuk-nepuki kepalanya sendiri. Memastikan bahwa daun-daun bodoh yang sempat membuatnya menaruh harapan palsu itu tidak lagi ada di sana. “Udah nggak ada lagi?”, tanya Krishna. Raesaka mengangguk.

“Saya pulang, ya, Kak?” Raesaka pamit, tangannya kembali bergerak untuk memasang helm yang semula ia lepas. “Kalau Kakak punya hal yang mau diceritain ke saya, boleh hubungi saya kapanpun. Kalau ada waktu, saya usahain balas secepatnya.”

“Saka...” Krishna berujar lirih sehingga membuat gerak tangan Raesaka yang semula akan memasangkan helm tiba-tiba berhenti. Tatapannya tertuju lurus ke arah Krishna. “Ya, Kak?”

Perlahan, tangan kanan Krishna terangkat dan terjulur kepada Raesaka. Senyum lirih terulas di bibir si lebih tua, tampak getir. “Boleh gue anggap hubungan kita sebagai temen?”

Don't tell me that your love is gone..

Raesaka sempat memandangi uluran tangan Krishna untuk beberapa saat sebelum akhirnya memberi balas jabat dan anggukan kecil. “Sure thing, Kak.”

That your love is gone.

Langit bergermuruh seiring dengan Krishna yang sekarang sedang berjalan dengan langkah gontai menuju pintu masuk utama asrama yang dikediaminya. Dari arah belakang, motor yang dikendarai Raesaka masih menyala dan menerangi jalanan yang dilalui Krishna. Sesuai dengan apa yang Raesaka ucapkan, ia masih menunggu hingga Krishna masuk ke asramanya sebab jalanan di sekitar sini agak temaram. Suram.

Teman adalah hubungan yang keduanya ketahui saat ini. Teman adalah hubungan yang keduanya setujui untuk dijalani.

Namun ada hal lain yang tidak keduanya ketahui. Adalah tentang Krishna yang melangkah gontai dengan air mata yang mengalir tanpa bisa ia kendalikan. Sebisa mungkin, Krishna tidak menyeka air matanya dan tidak membiarkan pundaknya bergerak selayak orang yang sedang menangis.

Krishna beranggapan, Raesaka tidak boleh mengetahui lagi soal tangisannya. Krishna tidak mau Raesaka menganggap bahwa ia menyukai dirinya; karena jika begitu maka Raesaka akan bergerak menjauh. Raesaka tidak menyukai jika ada orang yang mengganggu fokusnya di akademis.

Jadi teman, cukup sebagai itu saja.

Paling tidak, dengan status itu Raesaka tidak akan berjalan lebih jauh daripada sekarang.

Sementara dari atas jok motornya, Raesaka memandangi langkah Krishna dengan helm yang sudah terpasang sempurna. Mesin sudah menyala, lampu depan menerangi dan menemani langkah Krishna.

Namun ada yang tidak Krishna ketahui. Bahwa di balik helm yang dikenakannya, Raesaka sedang menangis. Air matanya mengalir— tanpa ia ketahui apa penyebabnya.

Raesaka tidak paham apa yang sekarang sedang dirasakannya. Lagi-lagi perasaan sakit pada ulu hati yang sama rasanya ketika ia memberi balas peluk pada Krishna di bawah naungan payung tatkala hujan tadi, kini lagi-lagi ia rasakan.

Raesaka merasakan perasaan yang asing di dadanya. Perasaan yang selama ini tidak pernah ia rasakan keberadaannya karena disibukkan oleh berbagai kegiatan akademis di sekolah. Raesaka merasakan perasaan sesak yang seperti membuatnya sulit bernafas.

Sakit, yang bahkan terasa lebih menyakitkan dibanding ketika darahnya harus hilang karena luka di tubuh.

Ada daun di rambut Kakak..

Krishna tidak tahu, bahwa semenjak awal tidak ada daun yang tertinggal di kepalanya. Tangan Raesaka bergerak sendiri tanpa si pemilik inginkan, tanpa sadar— tangan Raesaka terangkat; seperti refleks ingin memberi usap pada kepala Krishna. Seperti menjadi sebuah kebiasaan, tangan Raesaka bergerak sendiri tanpa ia rencanakan.

Raesaka hanya berharap, Krishna tidak menyadari suaranya yang sempat gemetar karena merasa panik atas tindakannya sendiri. Raesaka berharap, Krishna tidak menyadari apapun.

Karena sekarang, keduanya sudah menyepakati satu hal; bahwa hubungan keduanya... hanya sekedar teman.

“Thanks, ya. Udah dianterin sampe ke asrama. Padahal gue bisa balik naik ojek online aja.”

Krishna menyerahkan helm yang dikenakannya kepada si pemilik, Raesaka. Keduanya sekarang sedang berada beberapa puluh meter terpisah dari pintu masuk asrama khusus mahasiswa Universitas Ganesha Mandala. Krishna sengaja meminta begitu agar Raesaka bisa memutarkan arah motornya karena di jarak segini, ada ruang yang cukup bagi lelaki itu agar bisa membelokkan motornya dengan mudah.

Raesaka membuka kaca helm full-face yang dikenakannya sehingga kini si Krishna hanya bisa melihat separuh dari wajah si lelaki di hadapan. “Nggak apa-apa, Kak. 'Toh ini sama aja kayak Kakak bayar biaya ojek online, 'kan? Kan' tadi Kak Krishna bayarin saya makan di warung burjo.”

“Kalau soal makan di burjo tadi, sih, bukan buat bayar biaya nganter.” Krishna mengambil jeda diantara ucapannya. “Itu buat pelukan yang tadi gue lakuin di depan rumah lo.”

Ujaran Krishna yang terakhir terdengar sangat pelan, lebih mirip seperti cicitan dibanding ucapan normal. Raesaka yang sedang mengenakan helm yang menutupi seluruh wajah tentu kesusahan untuk mendengar ujaran Krishna barusan yang sangat pelan. “Hah? Gimana, Kak? Maaf, tadi ngomong apa?” Raesaka beranjak membuka pengunci kaitan tali helmnya dan seketika— Krishna seperti merasakan darahnya berdesir seribu kali lebih cepat.

Dalam jarak waktu beberapa hari, entah suka berapa kali Krishna mengulangi kalimat ini; Raesaka sangat tampan. Bukan tampan yang berarti sempurna perawatan wajahnya layaknya member boyband Korea. Raesaka tampan dengan kulit coklatnya, alis yang tebal, bibir yang agak tebal namun merah ranum, serta garis rahang yang tajam.

Dahulu, Krishna selalu merasa heran kenapa banyak yang tergila-gila kepada Rasesaka padahal menurutnya, wajah si kekasih biasa-biasa saja. Hingga sekarang, baru Krishna menyadari bahwa Raesaka memang───tampan.

“Nggak. Nggak apa-apa.” Krishna berupaya menyembunyikan kegugupannya rapat-rapat. Pandangannya sengaja ditujukan ke titik fokus pohon yang berada di belakang tubuh Raesaka. Pokoknya Krishna tidak mau menatapi Raesaka; tidak tatkala ia merasa salah tingkah seperti sekarang. “Oh, ngomong-ngomong... ini baju lo, mau digimanain? Gue cuci dulu baru dibalikin, nggak apa-apa?”

Raesaka terkekeh sambil mengibaskan tangannya. “Nggak usah, Kak. Santai aja. Dibawa besok pas ke kampus tanpa dicuci juga nggak apa-apa. Tapi baju Kak Krishna juga ada di mesin cuci rumah saya, 'kan, ya? Karena udah terlanjur masuk mesin cuci, biar saya cuci dulu, ya? Baru saja balikin ke Kak Krishna.”

Krishna menepuk dahinya. Sial, ia benar-benar lupa bahwa dirinya terbiasa memasukkan segala cuciannya ke mesin cuci di rumah Raesaka jika sedang berkunjung ke sana. Biasanya, Krishna akan mencuci pakaiannya esok hari. Ia terlalu terbiasa hingga melupakan fakta bahwa sekarang dirinya berada si tahun 2021. Bukan 2031.

Krishna, bodoh.

“Oh, iya...” Krishna terkekeh kikuk, berbanding terbalik dengan Raesaka yang tertawa geli melihat sikap si Kakak tingkat. Seketika, Krishna terhipnotis. Sudah lama sekali rasanya semenjak ia mendengar tawa Raesaka yang seperti anak kecil.

Gelak tawa yang sangat renyah. Yang semula terkadang Krishna benci karena kerap disisipi guyonan yang menurutnya tidak penting. Namun tatkala ia kembali ke masa ini, Krishna tersadar bahwa kekasihnya— ternyata tidak memiliki apapun yang sepantasnya ia benci.

Raesaka memiliki segala sesuatu yang sepatutnya dicintai, bukan dibenci. Gelak tawanya, suara bernada khawatirnya, kalimatnya yang santun, semua hal yang ada adalah sesuatu yang terbaik.

Sayangnya, segala yang baik itu baru bisa Krishna ketahui keberadaannya saat ia sudah tidak bisa meraihnya.

Lagi. Krishna, bodoh.

Raesaka menangkap ekspresi Krishna yang tampak tidak nyaman dengan situasi saat ini. Lantas, Raesaka berdehem beberapa kali kemudian menaikkan penyangga motornya untuk bersiap pulang ke rumah. “Oke, Kak. Kalau gitu, saya pulang dulu, ya? Kayaknya udah mau hujan lagi. Saya nggak bawa jas hujan..”

Don't go tonight. Stay here one more time.

Awalnya, Krishna sempat memikirkan alasan mengapa banyak orang yang kata si supir taksi memilih untuk tetap membongkar perihal dirinya yang mendapat kesempatan kedua. Dalam hati, Krishna melayangkan heran— apa mereka yang mendapatkan kesempatan kedua tidak pernah memikirkan kondisi si orang yang mereka sayangi; seperti Krishna yang memikirkan kondisi Raesaka.

Remind me what it's like. And let's fall in love one more time. I need you now by my side.

Namun sekarang Krishna memahaminya dengan jelas. Saat ini, di detik ini— Krishna menyadari alasan mengapa orang-orang memilih untuk menjelaskan perihal keberadaan dirinya kepada si yang tersayang. Mungkin, mereka menjelaskan semua itu karena terlalu merasa sakit hati ketika harus berpisah seperti sekarang.

Perpisahan yang hambar, tanpa peluk atau kecup yang biasanya mereka dapatkan tatkala menjalin kasih. Perpisahan yang terasa menyedihkan, hampa.

Krishna mengeratkan genggamannya ke jaket yang tengah dikenakannya sendiri. Jaket milik Raesaka. Ingin sekali Krishna jelaskan semua, agar setidaknya perpisahan mereka sekarang tidak sehambar ini. Paling tidak, Raesaka mungkin akan sedikit lebih hangat. Paling tidak, mungkin Raesaka akan tinggal lebih lama dan tidak selalu menjadi pihak yang ingin menyudahi semuanya.

Menyudahi percakapan di chat, menyudahi percakapan tatkala bertatap pandang begini.

It tears me up when you turn me down. I'm begging. Please, just stick around.

I'm sorry.. Don't leave me. I want you here for me.

“Kak Krishna?” Panggilan dari Raesaka membuyarkan lamunan Krishna. Sontak, si yang lebih tua segera mengangkat kepalanya dan memandang lurus ke manik milik lelaki di hadapannya. Raesaka mengulas senyum tipis kemudian berujar kecil. “Kalau Kakak punya hal yang mau diceritain ke saya, Kakak boleh chat saya kapanpun. Walau semenjak kita di warung Indomie tadi sebenernya saya nunggu-nunggu Kakak ceritain alasan tentang pelukan itu, sih.”

Kekehan tawa Raesaka rupanya tidak memberi efek serupa kepada Krishna. Lelaki itu hanya terdiam dengan tangan yang masih menggenggam erat ujung jaket yang dikenakan.

Lagi, Raesaka berdehem dilanjutkan kalimat pendek. “Kak Krishna, boleh saya tanya?”

“Apa?”

“Kak Krishna... apa Kakak— suka saya? Dalam artian khusus, bukan sebagai kakak atau adik tingkat.”

“Kenapa... tanya begitu?”

“Hahaha,” Raesaka menggaruki tengkuknya. “Saya cuma... mau pastiin aja. Supaya saya tau tindakan apa yang semestinya saya lakuin ke Kak Krishna.”

“Tindakan apa...”

“Saya udah bertekad semenjak masuk ke UGAMA bahwa saya nggak mau pacaran dulu. Saya mau fokus ke belajar. Jadi kalau Kakak suka saya...” Lagi, Raesaka berdehem. Tampak jelas bahwa ia kurang suka dengan topik perbincangan saat ini. “...mungkin— saya bakal sedikit ambil jarak.”

I know that your love is gone.

“Oh..” Dalam hati, Krishna terus mengutuk dirinya sendiri. Dalam hati, Krishna terus menghipnotis dirinya sendiri untuk paling tidak memberi respon berupa tawa guyon dan pukulan kecil di lengan Raesaka untuk memberi pertanda bahwa ia tidak menyukai Raesaka.

Namun tidak bisa. Krishna tidak bisa melakukan apapun selain menggosok sisi jaket lengan kanannya dengan tangan kiri, memberi gesture seakan ia sedang kedinginan. “Dingin juga, ya, rupanya,” Krishna tertawa kikuk. “Ya udah, lo buruan balik, gih. Kayaknya ini udah angin yang nunjukin bakal hujan. Gih, sana balik.”

I can't breath. I'm sorry, i know this isn't easy...

Raesaka mengangguk kecil. “Kakak duluan gih, pulangnya. Saya liatin dari sini. Lumayan gelap, situasinya. Kalau saya di sini, saya bisa senterin Kakak pakai lampu motor, 'kan? Paling nggak, jadi nggak terlalu gelap.”

Krishna memberi balasan serupa. Hanya anggukan kecil dan senyum terlampau hampa. “Iya, gue pulang dulu kalau gitu.”

“Kak, sebentar.” Baru saja Krishna akan membalikkan tubuhnya, tiba-tiba tangan kanan Raesaka terangkat dan tubuhnya sedikit condong ke arah depan. Telapak tangan kanan Raesaka tertuju ke arah rambut Krishna dan mengusapnya dari ujung atas ke ujung bawah. Sontak, gerak tangan Raesaka membuat Krishna terpaku. Membeku.

“Ada daun di kepala Kakak tadi. Saya bantu buang. Maaf, kalau nggak sopan.”

Ah. Hanya daun, Krishna.

“Oh,” Krishna tertawa getir. “Thanks”, jawab si yang lebih tua seraya menepuk-nepuki kepalanya sendiri. Memastikan bahwa daun-daun bodoh yang sempat membuatnya menaruh harapan palsu itu tidak lagi ada di sana. “Udah nggak ada lagi?”, tanya Krishna. Raesaka mengangguk.

“Saya pulang, ya, Kak?” Raesaka pamit, tangannya kembali bergerak untuk memasang helm yang semula ia lepas. “Kalau Kakak punya hal yang mau diceritain ke saya, boleh hubungi saya kapanpun. Kalau ada waktu, saya usahain balas secepatnya.”

“Saka...” Krishna berujar lirih sehingga membuat gerak tangan Raesaka yang semula akan memasangkan helm tiba-tiba berhenti. Tatapannya tertuju lurus ke arah Krishna. “Ya, Kak?”

Perlahan, tangan kanan Krishna terangkat dan terjulur kepada Raesaka. Senyum lirih terulas di bibir si lebih tua, tampak getir. “Boleh gue anggap hubungan kita sebagai temen?”

Don't tell me that your love is gone..

Raesaka sempat memandangi uluran tangan Krishna untuk beberapa saat sebelum akhirnya memberi balas jabat dan anggukan kecil. “Sure thing, Kak.”

That your love is gone.

Langit bergermuruh seiring dengan Krishna yang sekarang sedang berjalan dengan langkah gontai menuju pintu masuk utama asrama yang dikediaminya. Dari arah belakang, motor yang dikendarai Raesaka masih menyala dan menerangi jalanan yang dilalui Krishna. Sesuai dengan apa yang Raesaka ucapkan, ia masih menunggu hingga Krishna masuk ke asramanya sebab jalanan di sekitar sini agak temaram. Suram.

Teman adalah hubungan yang keduanya ketahui saat ini. Teman adalah hubungan yang keduanya setujui untuk dijalani.

Namun ada hal lain yang tidak keduanya ketahui. Adalah tentang Krishna yang melangkah gontai dengan air mata yang mengalir tanpa bisa ia kendalikan. Sebisa mungkin, Krishna tidak menyeka air matanya dan tidak membiarkan pundaknya bergerak selayak orang yang sedang menangis.

Krishna beranggapan, Raesaka tidak boleh mengetahui lagi soal tangisannya. Krishna tidak mau Raesaka menganggap bahwa ia menyukai dirinya; karena jika begitu maka Raesaka akan bergerak menjauh. Raesaka tidak menyukai jika ada orang yang mengganggu fokusnya di akademis.

Jadi teman, cukup sebagai itu saja.

Paling tidak, dengan status itu Raesaka tidak akan berjalan lebih jauh daripada sekarang.

Sementara dari atas jok motornya, Raesaka memandangi langkah Krishna dengan helm yang sudah terpasang sempurna. Mesin sudah menyala, lampu depan menerangi dan menemani langkah Krishna.

Namun ada yang tidak Krishna ketahui. Bahwa di balik helm yang dikenakannya, Raesaka sedang menangis. Air matanya mengalir— tanpa ia ketahui apa penyebabnya.

Raesaka tidak paham apa yang sekarang sedang dirasakannya. Lagi-lagi perasaan sakit pada ulu hati yang sama rasanya ketika ia memberi balas peluk pada Krishna di bawah naungan payung tatkala hujan tadi, kini lagi-lagi ia rasakan.

Raesaka merasakan perasaan yang asing di dadanya. Perasaan yang selama ini tidak pernah ia rasakan keberadaannya karena disibukkan oleh berbagai kegiatan akademis di sekolah. Raesaka merasakan perasaan sesak yang seperti membuatnya sulit bernafas.

Sakit, yang bahkan terasa lebih menyakitkan dibanding ketika darahnya harus hilang karena luka di tubuh.

Ada daun di rambut Kakak..

Krishna tidak tahu, bahwa semenjak awal tidak ada daun yang tertinggal di kepalanya. Tangan Raesaka bergerak sendiri tanpa si pemilik inginkan, tanpa sadar— tangan Raesaka terangkat; seperti refleks ingin memberi usap pada kepala Krishna. Seperti menjadi sebuah kebiasaan, tangan Raesaka bergerak sendiri tanpa ia rencanakan.

Raesaka hanya berharap, Krishna tidak menyadari suaranya yang sempat gemetar karena merasa panik atas tindakannya sendiri. Raesaka berharap, Krishna tidak menyadari apapun.

Karena sekarang, keduanya sudah menyepakati satu hal; bahwa hubungan keduanya... hanya sekedar teman.

“Indomie rebus kari ayam.”

“Punya saya, Mas.” Krishna menyingkirkan ponsel dan dompet miliknya yang semula berada tepat di atas meja, berhadapan dengan diri. Sengaja, agar ada ruang yang cukup bagi pramusaji di warung Indomie yang mereka sambangi untuk menaruh pesanan. “Tolong taruh di sini aja.”

Sesuai permintaan Krishna, si pramusaji meletakkan mie rebus kari ayam ke atas meja. Masih ada satu mangkuk tersisa di nampan yang dibawa oleh si pramusaji. “Kalau Indomie goreng pake cabe rawit dua puluh ini punyanya—”

“Saya,” jawab Raesaka. “Dia,” jawab Krishna. Keduanya berujar berbarengan.

Si pramusaji hanya memberi anggukan kecil, tidak begitu menaruh peduli walaupun sekarang malah Krishna yang tampak kikuk. Entah karena alasan apa. Mangkuk berisi Indomie goreng super pedas itu berpindah dari atas nampan ke hadapan Raesaka. Ucapan terima kasih diberi dan dijawab sembari lalu; tidak begitu menyinggung si dua pelanggan, Raesaka dan Krishna, toh' mereka berdua tahu bahwa si pramusaji pasti sibuk melayani pelanggan lain.

Suasana warung Indomie yang didatangi Krishna dan Raesaka memang cukup ramai. Buktinya, tidak ada bangku yang tersisa untuk ditempati oleh pelanggan baru. Banyak mahasiswa yang duduk di bangku panjang dan berkumpul dalam jumlah lumayan banyak, di meja yang ditempati mereka lebih dipenuhi oleh laptop daripada oleh makanan sajian warung.

Tidak mengherankan, sih. Bagi mahasiswa Universitas Ganesha Mandala, warung Indomie adalah satu dari beberapa tujuan yang kerap mereka datangi sebagai tempat mampir tatkala mengerjakan tugas. Warung Indomie, McDonalds, dan Dunkin Donuts di Jalan Kaliurang adalah tiga tempat dengan jumlah pengunjung paling padat ketika di masa-masa penuh pemberian tugas dari dosen kesayangan. Namun jarang-jarang ada lelaki yang duduk berdua berhadapan hanya untuk memakan mie. Sepertinya Raesaka dan Krishna adalah satu pasang dari yang jarang itu.

“Jaketnya nggak kerasa kekecilan, 'kan, Kak?” Pertanyaan dari Raesaka membuat Krishna memandangi jaket berwarna hitam yang dikenakannya saat ini. Krishna memberi balas berupa gelengan kepala dan bibir yang mengulas senyum tipis. “Nggak, kok. Cukup-cukup aja, nggak kerasa kekecilan.”

Mereka berdua kehujanan hingga membuat baik baju Krishna maupun baju Raesaka kebasahan. Setelah kejadian berpelukan dan menangis yang dilakukan oleh Krishna, si lelaki Haliem itu hanya bisa diam seribu bahasa. Saking merasa malu dengan tindakan bodoh yang ia lakukan.

Beruntung, sepertinya Raesaka tidak menaruh rasa penasaran yang terlalu dalam. Si yang lebih muda tidak banyak memberi tanya dan hanya menuntun langkah Krishna untuk masuk ke dalam rumah kediamannya bersama sang Paman, Bibi, serta Tania. “Kak Krishna mendingan ganti baju dulu, ya? Nanti kalau kayak begini terus, malah sakit.” Raesaka berujar seraya menyodorkan handuk kering yang cukup tebal kepada si Kakak tingkat, lumayan berhasil mengusir rasa menggigil yang menyerang diri. “Saya ambil baju punya saya dulu. Kayaknya ukuran badan saya sama Kak Krishna agak mirip. Kakak tunggu dulu di sini, ya? Saya segera balik lagi.”

Sepanjang Raesaka kembali ke kamar miliknya yang berada di lantai dua, Krishna berdiri di ruang tamu dengan tubuh yang dibaluti oleh handuk. Pandangannya mengedar ke segala arah. Ketika keduanya menjalin hubungan selama sepuluh tahun, hubungan Krishna dengan keluarga Paman serta Bibi Raesaka sudah lumayan dekat. Bahkan Krishna di masa depan bersahabat cukup akrab dengan Tania. Putri Tania, Rembulan, pun mengatakan bahwa ia menyayangi Krishna sama besarnya seperti ia menyayangi Pamannya yang asli; Raesaka.

Namun saat ini, di tahun 2021— Krishna hanya berstatus sebagai tamu yang memasuki rumah tidak berpenghuni selain ditempati oleh Raesaka. Krishna tahu bahwa rumah megah yang dimiliki orangtua Tania ini memang jarang ditempati secara utuh. Paman Raesaka adalah pebisnis yang memiliki usaha di sana sini sementara Ibu Tania juga adalah seorang pemilik butik yang namanya cukup dikenal. Beliau berdua jarang berada di rumah namun Krishna tahu sebagaimana kedua orangtua Tania sangat menyayangi si putri dan keponakan lelakinya.

Walaupun terkesan sepi, kesan dan nuansa hangat tetap terasa jelas di rumah ini.

“Kak Krishna,” panggilan dari arah tangga sontak membuat Krishna membalikkan badan dan mengalihkan fokus pandangannya yang semula tertuju ke foto keluarga Tania beserta kedua orangtuanya yang terpajang di dinding ruang tamu. Raesaka ada di sana, sedang menuruni tangga dengan membawa sebuah jaket berwarna hitam dan kaus berwarna serupa; hitam. “Ini baju, jaket, sama celana jeansnya. Lalu—”, kalimat Raesaka sedikit menggantung ketika ia menyodorkan sebuah plastik hitam yang sudah dililit. “—ini ada celana boxer..”

“Agak kurang sopan kayaknya kalau saya kasih celana dalam jadi.. ini aja, nggak apa-apa, ya, Kak?” Kalimat dari Raesaka barusan membuat Krishna sontak terkekeh kecil. Ia menerima sodoran baju, celana, serta kantung plastik dari tangan Raesaka. “Thanks.”

“Ganti di kamar mandi aja, Kak. Kamar mandinya ada di—”

“Yang ada di samping dapur, 'kan?”, jawab Krishna dibarengi senyuman simpul. “Ya udah, gue ganti dulu, ya?”

Setelahnya, Raesaka sempat mengernyitkan alisnya dalam-dalam. Seingatnya, ia sendiri belum memberitahu dan menjelaskan tentang rumah kediaman Bibinya kepada Krishna. Lalu bagaimana ceritanya lelaki itu bisa mengetahui posisi kamar mandinya dengan sangat amat paham, coba?

“Saka.”

Lamunan Raesaka segera buyar ketika Krishna yang berada di dalam kamar mandi memanggil namanya. “Iya, Kak. Kenapa? Ada yang mau dibantu?”, tanya Raesaka sambil mendekatkan telinganya ke arah pintu kamar mandi. Krishna memberi jawab, terdengar suara kantung plastik yang seperti sedang dibuka. “Ini semua yang lo pinjemin kayaknya masih barang baru, deh. Mau baju, celana, jaket, bahkan celana boxernya— masih ada label semua.”

“Iya, Kak. Sengaja,” jawab Raesaka. “Itu baju yang sama sekali belum saya pakai. Nggak enak kalau saya pinjemin Kak Krishna baju punya saya, takutnya Kakak gatel-gatel...”

Sorry,” Krishna sedikit membuka pintu kamar mandi kemudian melongokkan kepalanya. “Gue ada alergi sama baju baru. Boleh gue pinjem baju lo aja? Yang udah agak lama juga nggak apa-apa.”

Jadi, ya, begitulah. Sekarang Krishna duduk di bangku warung Indomie dengan mengenakan jaket dan baju milik Raesaka. Apalagi, jaketnya betul-betul jaket yang katanya masih belum sempat dicuci. Namun sesungguhnya, itu yang menjadi tujuan bagi Krishna. Ia ingin menikmati harum si kekasih secara lebih dekat — dan, salah satu caranya adalah dengan cara ini; mengenakan kenaannya. Jujur, Krishna sendiri sedikit merasa merinding karena tindakannya lama-lama terasa bagai stalker atau orang yang sedang terobsesi.

“Syukur, deh, kalau gitu.” Raesaka terlihat memasang ekspresi lega. Kini tangan kanan si yang lebih muda terangkat untuk mengambil kotak bubuk cabe super pedas yang ada di dekat Krishna, hanya saja si yang lebih tua lebih gesit untuk mengambil kotak cabe itu dan menuangkan isinya ke mangkuknya sendiri.

Raesaka sedikit memanyunkan bibir. Krishna menuangkan cukup banyak bubuk cabe ke mangkuk mienya sehingga hanya menyisakan sedikit untuk Raesaka. Begitupun dengan sambal yang ada di atas meja, hampir semuanya dituangkan ke mangkuk Krishna.

“Kak Krishna suka pedes, ya?”, tanya Raesaka dengan nada sedikit menyindir. Akibat tindakan si Kakak tingkat, Raesaka harus berpuas diri dengan hanya menaburkan sedikit bubuk cabe dan sambal ke mie goreng miliknya.

Diberi pertanyaan begitu, Krishna hanya mengangkat bahu seraya terkekeh kecil. Mana bisa ia menjawab bahwa sebenarnya ia tidak begitu kuat untuk menyantap makanan pedas? Adapun tindak yang ia lakukan sekarang sesungguhnya hanya untuk menahan Raesaka agar tidak memakan makanan pedas.

Karena sesungguhnya, semenjak berpacaran dengan Krishna— Raesaka kerap mengonsumsi obat untuk mengobati penyakit lambungnya gara-gara terlalu banyak memakan masakan pedas. Karena sesungguhnya, Krishna sudah terlalu terbiasa untuk memarahi kekasihnya itu dengan tatapan tajam dan dinginnya tatkala Raesaka mulai bandel dengan menuangkan bubuk cabe ke makanannya banyak-banyak.

Namun sekarang, Krishna tidak bisa membentak Raesaka. Tidak dengan hubungan keduanya yang bukan siapa-siapa. Bukan kekasih, bukan teman dekat. Hubungan mereka sekarang, hanya sebatas adik-kakak tingkat; itu pun baru kenal.

Selama beberapa menit, keduanya hanya terdiam seraya menyantap hidangan yang mereka pesan. Keramaian yang ada di sekeliling warung Indomie banyak membantu hingga keduanya tidak perlu merasa terlalu canggung. Hingga pada akhirnya, Raesaka membuka perbincangan terlebih dahulu. “Kak Krishna suka minum segarsari yang pink ini, ya?”

Krishna sontak menoleh ke samping kirinya. Memang di situ ada segelas minuman berwarna merah muda, soda gembira. Tak urung, Krishna tertawa. “Lo suka merhatiin tindakan orang-orang, ya?”, tanya si yang lebih tua. Raesaka mengangkat bahunya, “nggak juga, sih, Kak.”

“Cuma ke beberapa orang aja yang menarik perhatian saya.”

Jawaban dari Raesaka membuat Krishna tersedak kuah mie rebusnya. Dengan segera, ia meraih minuman di hadapannya namun bukan minuman berwarna pink miliknya— Krishna malah tanpa sadar meraih teh manis panas milik Raesaka. Sialnya, minuman yang ia tenggak itu PANAS dan ia sedang TERSEDAK.

Apa lagi situasi yang kalian harapkan selain Krishna yang semakin dibuat merasa kesakitan di bagian tenggorokan?

“Astaghfirullah, Kak! Kak Krishna! Ampun, saya cuma bercanda! Ya Allah, maafin! Nggak sengaja saya ngomong begitu! Ya Allah, Kak— lagian kenapa teh panas langsung ditelen begitu? Ini, minum ini dulu. Segarsarinya, minum dulu.”

Di tengah kericuhan yang terjadi dan pandangan dari banyak mata yang tertuju pada keduanya, bibir Raesaka mengulas senyuman yang teramat tipis. Hanya sekilas, sungguh— benar-benar untuk sekilas, barusan Raesaka menganggap sosok Kakak tingkatnya ini ternyata tidak semenyeramkan yang ia duga sebelumnya.

Di luar dugaan, sosok lelaki di hadapan ternyata— menggemaskan.

“Indomie rebus kari ayam.”

“Punya saya, Mas.” Krishna menyingkirkan ponsel dan dompet miliknya yang semula berada tepat di atas meja, berhadapan dengan diri. Sengaja, agar ada ruang yang cukup bagi pramusaji di warung Indomie yang mereka sambangi untuk menaruh pesanan. “Tolong taruh di sini aja.”

Sesuai permintaan Krishna, si pramusaji meletakkan mie rebus kari ayam ke atas meja. Masih ada satu mangkuk tersisa di nampan yang dibawa oleh si pramusaji. “Kalau Indomie goreng pake cabe rawit dua puluh ini punyanya—”

“Saya,” jawab Raesaka. “Dia,” jawab Krishna. Keduanya berujar berbarengan.

Si pramusaji hanya memberi anggukan kecil, tidak begitu menaruh peduli walaupun sekarang malah Krishna yang tampak kikuk. Entah karena alasan apa. Mangkuk berisi Indomie goreng super pedas itu berpindah dari atas nampan ke hadapan Raesaka. Ucapan terima kasih diberi dan dijawab sembari lalu; tidak begitu menyinggung si dua pelanggan, Raesaka dan Krishna, toh' mereka berdua tahu bahwa si pramusaji pasti sibuk melayani pelanggan lain.

Suasana warung Indomie yang didatangi Krishna dan Raesaka memang cukup ramai. Buktinya, tidak ada bangku yang tersisa untuk ditempati oleh pelanggan baru. Banyak mahasiswa yang duduk di bangku panjang dan berkumpul dalam jumlah lumayan banyak, di meja yang ditempati mereka lebih dipenuhi oleh laptop daripada oleh makanan sajian warung.

Tidak mengherankan, sih. Bagi mahasiswa Universitas Ganesha Mandala, warung Indomie adalah satu dari beberapa tujuan yang kerap mereka datangi sebagai tempat mampir tatkala mengerjakan tugas. Warung Indomie, McDonalds, dan Dunkin Donuts di Jalan Kaliurang adalah tiga tempat dengan jumlah pengunjung paling padat ketika di masa-masa penuh pemberian tugas dari dosen kesayangan. Namun jarang-jarang ada lelaki yang duduk berdua berhadapan hanya untuk memakan mie. Sepertinya Raesaka dan Krishna adalah satu pasang dari yang jarang itu.

“Jaketnya nggak kerasa kekecilan, 'kan, Kak?” Pertanyaan dari Raesaka membuat Krishna memandangi jaket berwarna hitam yang dikenakannya saat ini. Krishna memberi balas berupa gelengan kepala dan bibir yang mengulas senyum tipis. “Nggak, kok. Cukup-cukup aja, nggak kerasa kekecilan.”

Mereka berdua kehujanan hingga membuat baik baju Krishna maupun baju Raesaka kebasahan. Setelah kejadian berpelukan dan menangis yang dilakukan oleh Krishna, si lelaki Haliem itu hanya bisa diam seribu bahasa. Saking merasa malu dengan tindakan bodoh yang ia lakukan.

Beruntung, sepertinya Raesaka tidak menaruh rasa penasaran yang terlalu dalam. Si yang lebih muda tidak banyak memberi tanya dan hanya menuntun langkah Krishna untuk masuk ke dalam rumah kediamannya bersama sang Paman, Bibi, serta Tania. “Kak Krishna mendingan ganti baju dulu, ya? Nanti kalau kayak begini terus, malah sakit.” Raesaka berujar seraya menyodorkan handuk kering yang cukup tebal kepada si Kakak tingkat, lumayan berhasil mengusir rasa menggigil yang menyerang diri. “Saya ambil baju punya saya dulu. Kayaknya ukuran badan saya sama Kak Krishna agak mirip. Kakak tunggu dulu di sini, ya? Saya segera balik lagi.”

Sepanjang Raesaka kembali ke kamar miliknya yang berada di lantai dua, Krishna berdiri di ruang tamu dengan tubuh yang dibaluti oleh handuk. Pandangannya mengedar ke segala arah. Ketika keduanya menjalin hubungan selama sepuluh tahun, hubungan Krishna dengan keluarga Paman serta Bibi Raesaka sudah lumayan dekat. Bahkan Krishna di masa depan bersahabat cukup akrab dengan Tania. Putri Tania, Rembulan, pun mengatakan bahwa ia menyayangi Krishna sama besarnya seperti ia menyayangi Pamannya yang asli; Raesaka.

Namun saat ini, di tahun 2021— Krishna hanya berstatus sebagai tamu yang memasuki rumah tidak berpenghuni selain ditempati oleh Raesaka. Krishna tahu bahwa rumah megah yang dimiliki orangtua Tania ini memang jarang ditempati secara utuh. Paman Raesaka adalah pebisnis yang memiliki usaha di sana sini sementara Ibu Tania juga adalah seorang pemilik butik yang namanya cukup dikenal. Beliau berdua jarang berada di rumah namun Krishna tahu sebagaimana kedua orangtua Tania sangat menyayangi si putri dan keponakan lelakinya.

Walaupun terkesan sepi, kesan dan nuansa hangat tetap terasa jelas di rumah ini.

“Kak Krishna,” panggilan dari arah tangga sontak membuat Krishna membalikkan badan dan mengalihkan fokus pandangannya yang semula tertuju ke foto keluarga Tania beserta kedua orangtuanya yang terpajang di dinding ruang tamu. Raesaka ada di sana, sedang menuruni tangga dengan membawa sebuah jaket berwarna hitam dan kaus berwarna serupa; hitam. “Ini baju, jaket, sama celana jeansnya. Lalu—”, kalimat Raesaka sedikit menggantung ketika ia menyodorkan sebuah plastik hitam yang sudah dililit. “—ini ada celana boxer..”

“Agak kurang sopan kayaknya kalau saya kasih celana dalam jadi.. ini aja, nggak apa-apa, ya, Kak?” Kalimat dari Raesaka barusan membuat Krishna sontak terkekeh kecil. Ia menerima sodoran baju, celana, serta kantung plastik dari tangan Raesaka. “Thanks.”

“Ganti di kamar mandi aja, Kak. Kamar mandinya ada di—”

“Yang ada di samping dapur, 'kan?”, jawab Krishna dibarengi senyuman simpul. “Ya udah, gue ganti dulu, ya?”

Setelahnya, Raesaka sempat mengernyitkan alisnya dalam-dalam. Seingatnya, ia sendiri belum memberitahu dan menjelaskan tentang rumah kediaman Bibinya kepada Krishna. Lalu bagaimana ceritanya lelaki itu bisa mengetahui posisi kamar mandinya dengan sangat amat paham, coba?

“Saka.”

Lamunan Raesaka segera buyar ketika Krishna yang berada di dalam kamar mandi memanggil namanya. “Iya, Kak. Kenapa? Ada yang mau dibantu?”, tanya Raesaka sambil mendekatkan telinganya ke arah pintu kamar mandi. Krishna memberi jawab, terdengar suara kantung plastik yang seperti sedang dibuka. “Ini semua yang lo pinjemin kayaknya masih barang baru, deh. Mau baju, celana, jaket, bahkan celana boxernya— masih ada label semua.”

“Iya, Kak. Sengaja,” jawab Raesaka. “Itu baju yang sama sekali belum saya pakai. Nggak enak kalau saya pinjemin Kak Krishna baju punya saya, takutnya Kakak gatel-gatel...”

Sorry,” Krishna sedikit membuka pintu kamar mandi kemudian melongokkan kepalanya. “Gue ada alergi sama baju baru. Boleh gue pinjem baju lo aja? Yang udah agak lama juga nggak apa-apa.”

Jadi, ya, begitulah. Sekarang Krishna duduk di bangku warung Indomie dengan mengenakan jaket dan baju milik Raesaka. Apalagi, jaketnya betul-betul jaket yang katanya masih belum sempat dicuci. Namun sesungguhnya, itu yang menjadi tujuan bagi Krishna. Ia ingin menikmati harum si kekasih secara lebih dekat — dan, salah satu caranya adalah dengan cara ini; mengenakan kenaannya. Jujur, Krishna sendiri sedikit merasa merinding karena tindakannya lama-lama terasa bagai stalker atau orang yang sedang terobsesi.

“Syukur, deh, kalau gitu.” Raesaka terlihat memasang ekspresi lega. Kini tangan kanan si yang lebih muda terangkat untuk mengambil kotak bubuk cabe super pedas yang ada di dekat Krishna, hanya saja si yang lebih tua lebih gesit untuk mengambil kotak cabe itu dan menuangkan isinya ke mangkuknya sendiri.

Raesaka sedikit memanyunkan bibir. Krishna menuangkan cukup banyak bubuk cabe ke mangkuk mienya sehingga hanya menyisakan sedikit untuk Raesaka. Begitupun dengan sambal yang ada di atas meja, hampir semuanya dituangkan ke mangkuk Krishna.

“Kak Krishna suka pedes, ya?”, tanya Raesaka dengan nada sedikit menyindir. Akibat tindakan si Kakak tingkat, Raesaka harus berpuas diri dengan hanya menaburkan sedikit bubuk cabe dan sambal ke mie goreng miliknya.

Diberi pertanyaan begitu, Krishna hanya mengangkat bahu seraya terkekeh kecil. Mana bisa ia menjawab bahwa sebenarnya ia tidak begitu kuat untuk menyantap makanan pedas? Adapun tindak yang ia lakukan sekarang sesungguhnya hanya untuk menahan Raesaka agar tidak memakan makanan pedas.

Karena sesungguhnya, semenjak berpacaran dengan Krishna— Raesaka kerap mengonsumsi obat untuk mengobati penyakit lambungnya gara-gara terlalu banyak memakan masakan pedas. Karena sesungguhnya, Krishna sudah terlalu terbiasa untuk memarahi kekasihnya itu dengan tatapan tajam dan dinginnya tatkala Raesaka mulai bandel dengan menuangkan bubuk cabe ke makanannya banyak-banyak.

Namun sekarang, Krishna tidak bisa membentak Raesaka. Tidak dengan hubungan keduanya yang bukan siapa-siapa. Bukan kekasih, bukan teman dekat. Hubungan mereka sekarang, hanya sebatas adik-kakak tingkat; itu pun baru kenal.

Selama beberapa menit, keduanya hanya terdiam seraya menyantap hidangan yang mereka pesan. Keramaian yang ada di sekeliling warung Indomie banyak membantu hingga keduanya tidak perlu merasa terlalu canggung. Hingga pada akhirnya, Raesaka membuka perbincangan terlebih dahulu. “Kak Krishna suka minum segarsari yang pink ini, ya?”

Krishna sontak menoleh ke samping kirinya. Memang di situ ada segelas minuman berwarna merah muda, soda gembira. Tak urung, Krishna tertawa. “Lo suka merhatiin tindakan orang-orang, ya?”, tanya si yang lebih tua. Raesaka mengangkat bahunya, “nggak juga, sih, Kak.”

“Cuma ke beberapa orang aja yang menarik perhatian saya.”

Jawaban dari Raesaka membuat Krishna tersedak kuah mie rebusnya. Dengan segera, ia meraih minuman di hadapannya namun bukan minuman berwarna pink miliknya— Krishna malah tanpa sadar meraih teh manis panas milik Raesaka. Sialnya, minuman yang ia tenggak itu PANAS dan ia sedang TERSEDAK.

Apa lagi situasi yang kalian harapkan selain Krishna yang semakin dibuat merasa kesakitan di bagian teronggokan?

“Astaghfirullah, Kak! Kak Krishna! Ampun, saya cuma bercanda! Ya Allah, maafin! Nggak sengaja saya ngomong begitu! Ya Allah, Kak— lagian kenapa teh panas langsung ditelen begitu? Ini, minum ini dulu. Segarsarinya, minum dulu.”

Di tengah kericuhan yang terjadi dan pandangan dari banyak mata yang tertuju pada keduanya, bibir Raesaka mengulas senyuman yang teramat tipis. Hanya sekilas, sungguh— benar-benar untuk sekilas, barusan Raesaka menganggap sosok Kakak tingkatnya ini ternyata tidak semenyeramkan yang ia duga sebelumnya.

Di luar dugaan, sosok lelaki di hadapan ternyata— menggemaskan.

“Kak Krishna! Ya Allah, ini gerimis, lho, Kak!”

Krishna bukannya tidak tahu jika sekarang rintik hujan sudah menyapa kepala serta tubuhnya yang berdiri tanpa peneduh apapun. Krishna tahu dengan jelas semenjak ia berada di dalam mobil taksi tadi, bahwa suara gemuruh dari langit sudah menjadi penanda bahwa langit akan menangis. Namun tubuhnya sudah terlalu mati rasa dan otaknya sudah tidak mempedulikan banyak hal perihal resiko ia akan sakit atau semacamnya.

Krishna hanya ingin menemui Raesaka.

“Padahal kalau ada yang mau Kak Krishna omongin ke saya, bisa lewat chat, 'kan? Kenapa mesti nekat begini? Sayanya yang nggak enak.” Krishna yang semula memandangi permukaan tanah yang dipijak, sekarang memberanikan diri untuk mengangkat kepalanya. Di hadapannya saat ini sudah ada Raesaka, berdiri dengan kedua tangan yang masing-masing memegang satu payung.

Payung terkembang di tangan kanan. Sementara payung yang masih menutup dipegang di tangan kiri dan dijulurkan kepada Krishna. “Ini, Kak. Pakai payungnya. Nanti kehujanan Kak Krishnanya.”

Kamu kenapa, sih, nggak pernah bolehin aku beli dua payung, Saka?! Sumpah, kalau begini, akunya yang ribet! Masa' kita harus dempet-dempetan begini pake payungnya setiap kali hujan? Sempit, tau!

Nggak, ah. Aku nggak bakal bolehin kamu punya dua payung, sayang. Aku mau setiap kali hujan begini, kamu sama aku jadi kayak perangko. Nempel terus, nggak kepisah. 'Kan enak kalau dempetan begini. Iya, nggak?

Sakaaa! Woy! Jangan ditarik-tarik gitu, hei!

'Kan biar kamu nggak kebasahan, Krishnakuuu!

Krishna tersenyum miris. Kali ini ada dua payung, tidak hanya satu. Kali ini, Raesaka tidak memayunginya— Raesaka yang berdiri di hadapannya saat ini hanya menyodorkan payung yang masih belum terkembang. Kali ini, Raesaka tidak tertawa bersamanya. Kali ini, Raesaka hanya menyuarakan rasa khawatir yang Krishna tidak ketahui apakah tulus diujarkan atau tidak.

“Saka..” Krishna membuka suara tanpa meraih sodoran payung dari Raesaka. Si yang lebih mudah sedikit panik karena sekarang hujan semakin turun deras dan Krishna sudah kehujanan lebih parah dari sebelumnya. Tak urung, akhirnya Raesaka menyelipkan tangkai gagang payungnya diantara pundak dan leher sementara kini kedua tangannya digunakan untuk mengembangkan payung yang semula ingin ia berikan kepada Krishna. “Kak Krishna, kalau Kakak kehujanan nanti saya yang ngerasa nggak ena—”

Tanpa peringatan apapun, Krishna memeluk Raesaka erat-erat. Sangat erat dan tiba-tiba hingga tangkai gagang payung yang smeula terselip di leher dan pundak Raesaka menjadi terjatuh ke tanah. Tangan Raesaka terangkat ke atas, saking ia merasa terkejut dengan peluk yang diberi Krishna secara mendadak.

Krishna seakan tidak mempedulikan bagaimana sekarang hujan membasahi tubuh keduanya. Bagaimana kini ia juga merasakan baju yang dikenakan Raesaka menjadi basah oleh guyuran air hujan, Krishna berupaya tidak mempedulikannya. Yang ingin ia pedulikan hanyalah kehangatan yang diberi oleh tubuh Raesaka.

Rupanya kehangatan itu masih sama. Tubuh Raesaka memang sudah menjadi sumber kehangatan Krishna semenjak dua belas tahun lalu. Berada di pelukan Raesaka rupanya sehangat ini, senyaman ini. Mengapa Krishna tidak bisa menyadarinya lebih cepat bahwa ia membutuhkan lelaki ini dan segala kehangatannya agar waras yang dimiliki lelaki Haliem selalu bisa digenggam?

Perlahan, Krishna merasakan rintik hujan yang semula mengguyuri pundak dan kepalanya menjadi terhalau oleh sesuatu. Sekarang, tubuhnya tidak lagi terkena guyuran hujan. Perlahan, Krishna mengangkat kepalanya dan menemui kenyataan bahwa tangan Raesaka sekarang sudah mengembangkan payung yang semula masih tertutup. Payung itu digenggam dengan tangan kanan dan diposisikan agar dapat menaungi mereka berdua.

Raesaka, tengah memayungi Krishna. Dengan satu payung yang sama. Keduanya berdiri, bersama.

Tidak cukup dengan begitu saja, sekarang Krishna merasakan sesuatu menepuk punggung kepalanya dengan sangat lembut. Krishna menyadari dan tahu dengan jelas dari mana tepukan itu berasal. Tepukan itu sangat ia rindukan.

Tepuk dari tangan Raesaka.

“Sshh— nggak apa-apa, Kak. Kalau mau nangis, nangis aja.” Raesaka berujar dengan nada yang amat menenangkan, membuat Krishna merasa air mata di pelupuk matanya yang sudah menggenang tinggal dibuat turun saja. “Saya nggak akan ngomong apa-apa ke siapapun tentang ini.”

“Saya ada di sini, sama Kak Krishna.”

“Kak Krishna nggak sendirian.”

“Kak Krishna aman sama saya.”

Tumpah, ruah. Tangis yang rasanya sedari tadi Krishna tahan kuat-kuat pada akhirnya lepas tanpa kendali. Krishna terisak, tangannya meremat kaus yang dikenakan Raesaka; seakan enggan untuk melepaskan. Segala keinginan tentang asal-usul dirinya sudah Krishna telan bulat-bulat. Krishna tidak bisa lagi mengutamakan keegoisannya saat ini.

Krishna sekarang hanya ingin Raesaka bahagia. Krishna sekarang hanya ingin Raesaka hidup lebih lama. Krishna, tidak akan merubah apapun lagi saat ini.

Sementara itu, Raesaka yang berdiri di tempatnya dengan tubuh yang direngkuh Krishna dan sebelah tangan yang memayungi dirinya dan si Kakak tingkat hanya bisa terdiam. Dalam sunyinya, ia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Tidak tahu dari mana asalnya namun Raesaka merasakan sakit dan perih yang teramat sangat dari ulu hati. Seakan ada sesuatu yang dilemparkan dengan keras ke hatinya.

Pelukan yang diberi oleh Krishna terasa amat familiar untuk Raesaka. Tangis yang Krishna keluarkan saat ini terasa bukan hanya sekali dua kali ia lihat. Entah bagaimana, namun Raesaka seakan merasakan semua ini tidak terasa asing.

Pelukan Krishna. Tangisan Krishna. Mereka berdua yang tidak terpisah jarak. Semua, seakan jadi kebiasaan bagi Raesaka.

Hujan masih turun, semakin deras. Namun Raesaka masih tidak beranjak dari posisinya untuk terus memayungi si lelaki yang tengah merengkuh dirinya. Lalu Krishna, masih dengan tangan yang terlingkar di pinggang Raesaka— ia memantapkan niatannya.

Untuk tidak membuat semuanya lebih menjadi berantakan daripada saat ini.


“Kak Krishna! Ya Allah, ini gerimis, lho, Kak!”

Krishna bukannya tidak tahu jika sekarang rintik hujan sudah menyapa kepala serta tubuhnya yang berdiri tanpa peneduh apapun. Krishna tahu dengan jelas semenjak ia berada di dalam mobil taksi tadi, bahwa suara gemuruh dari langit sudah menjadi penanda bahwa langit akan menangis. Namun tubuhnya sudah terlalu mati rasa dan otaknya sudah tidak mempedulikan banyak hal perihal resiko ia akan sakit atau semacamnya.

Krishna hanya ingin menemui Raesaka.

“Padahal kalau ada yang mau Kak Krishna omongin ke saya, bisa lewat chat, 'kan? Kenapa mesti nekat begini? Sayanya yang nggak enak.” Krishna yang semula memandangi permukaan tanah yang dipijak, sekarang memberanikan diri untuk mengangkat kepalanya. Di hadapannya saat ini sudah ada Raesaka, berdiri dengan kedua tangan yang masing-masing memegang satu payung.

Payung terkembang di tangan kanan. Sementara payung yang masih menutup dipegang di tangan kiri dan dijulurkan kepada Krishna. “Ini, Kak. Pakai payungnya. Nanti kehujanan Kak Krishnanya.”

Kamu kenapa, sih, nggak pernah bolehin aku beli dua payung, Saka?! Sumpah, kalau begini, akunya yang ribet! Masa' kita harus dempet-dempetan begini pake payungnya setiap kali hujan? Sempit, tau!

Nggak, ah. Aku nggak bakal bolehin kamu punya dua payung, sayang. Aku mau setiap kali hujan begini, kamu sama aku jadi kayak perangko. Nempel terus, nggak kepisah. 'Kan enak kalau dempetan begini. Iya, nggak?

Sakaaa! Woy! Jangan ditarik-tarik gitu, hei!

'Kan biar kamu nggak kebasahan, Krishnakuuu!

Krishna tersenyum miris. Kali ini ada dua payung, tidak hanya satu. Kali ini, Raesaka tidak memayunginya— Raesaka yang berdiri di hadapannya saat ini hanya menyodorkan payung yang masih belum terkembang. Kali ini, Raesaka tidak tertawa bersamanya. Kali ini, Raesaka hanya menyuarakan rasa khawatir yang Krishna tidak ketahui apakah tulus diujarkan atau tidak.

“Saka..” Krishna membuka suara tanpa meraih sodoran payung dari Raesaka. Si yang lebih mudah sedikit panik karena sekarang hujan semakin turun deras dan Krishna sudah kehujanan lebih parah dari sebelumnya. Tak urung, akhirnya Raesaka menyelipkan tangkai gagang payungnya diantara pundak dan leher sementara kini kedua tangannya digunakan untuk mengembangkan payung yang semula ingin ia berikan kepada Krishna. “Kak Krishna, kalau Kakak kehujanan nanti saya yang ngerasa nggak ena—”

Tanpa peringatan apapun, Krishna memeluk Raesaka erat-erat. Sangat erat dan tiba-tiba hingga tangkai gagang payung yang smeula terselip di leher dan pundak Raesaka menjadi terjatuh ke tanah. Tangan Raesaka terangkat ke atas, saking ia merasa terkejut dengan peluk yang diberi Krishna secara mendadak.

Krishna seakan tidak mempedulikan bagaimana sekarang hujan membasahi tubuh keduanya. Bagaimana kini ia juga merasakan baju yang dikenakan Raesaka menjadi basah oleh guyuran air hujan, Krishna berupaya tidak mempedulikannya. Yang ingin ia pedulikan hanyalah kehangatan yang diberi oleh tubuh Raesaka.

Rupanya kehangatan itu masih sama. Tubuh Raesaka memang sudah menjadi sumber kehangatan Krishna semenjak dua belas tahun lalu. Berada di pelukan Raesaka rupanya sehangat ini, senyaman ini. Mengapa Krishna tidak bisa menyadarinya lebih cepat bahwa ia membutuhkan lelaki ini dan segala kehangatannya agar waras yang dimiliki lelaki Haliem selalu bisa digenggam?

Perlahan, Krishna merasakan rintik hujan yang semula mengguyuri pundak dan kepalanya menjadi terhalau oleh sesuatu. Sekarang, tubuhnya tidak lagi terkena guyuran hujan. Perlahan, Krishna mengangkat kepalanya dan menemui kenyataan bahwa tangan Raesaka sekarang sudah mengembangkan payung yang semula masih tertutup. Payung itu digenggam dengan tangan kanan dan diposisikan agar dapat menaungi mereka berdua.

Raesaka, tengah memayungi Krishna. Dengan satu payung yang sama. Keduanya berdiri, bersama.

Tidak cukup dengan begitu saja, sekarang Krishna merasakan sesuatu menepuk punggung kepalanya dengan sangat lembut. Krishna menyadari dan tahu dengan jelas dari mana tepukan itu berasal. Tepukan itu sangat ia rindukan.

Tepuk dari tangan Raesaka.

“Sshh— nggak apa-apa, Kak. Kalau mau nangis, nangis aja.” Raesaka berujar dengan nada yang amat menenangkan, membuat Krishna merasa air mata di pelupuk matanya yang sudah menggenang tinggal dibuat turun saja. “Saya nggak akan ngomong apa-apa ke siapapun tentang ini.”

“Saya ada di sini, sama Kak Krishna.”

“Kak Krishna nggak sendirian.”

“Kak Krishna aman sama saya.”

Tumpah, ruah. Tangis yang rasanya sedari tadi Krishna tahan kuat-kuat pada akhirnya lepas tanpa kendali. Krishna terisak, tangannya meremat kaus yang dikenakan Raesaka; seakan enggan untuk melepaskan. Segala keinginan tentang asal-usul dirinya sudah Krishna telan bulat-bulat. Krishna tidak bisa lagi mengutamakan keegoisannya saat ini.

Krishna sekarang hanya ingin Raesaka bahagia. Krishna sekarang hanya ingin Raesaka hidup lebih lama. Krishna, tidak akan merubah apapun lagi saat ini.

Sementara itu, Raesaka yang berdiri di tempatnya dengan tubuh yang direngkuh Krishna dan sebelah tangan yang memayungi dirinya dan si Kakak tingkat hanya bisa terdiam. Dalam sunyinya, ia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Tidak tahu dari mana asalnya namun Raesaka merasakan sakit dan perih yang teramat sangat dari ulu hati. Seakan ada sesuatu yang dilemparkan dengan keras ke hatinya.

Pelukan yang diberi oleh Krishna terasa amat familiar untuk Raesaka. Tangis yang Krishna keluarkan saat ini terasa bukan hanya sekali dua kali ia lihat. Entah bagaimana, namun Raesaka seakan merasakan semua ini tidak terasa asing.

Pelukan Krishna. Tangisan Krishna. Mereka berdua yang tidak terpisah jarak. Semua, seakan jadi kebiasaan bagi Raesaka.

Hujan masih turun, semakin deras. Namun Raesaka masih tidak beranjak dari posisinya untuk terus memayungi si lelaki yang tengah merengkuh dirinya. Lalu Krishna, masih dengan tangan yang terlingkar di pinggang Raesaka— ia memantapkan niatannya.

Untuk tidak membuat semuanya lebih menjadi berantakan daripada saat ini.


“Pak, udah ada taksi online yang lewat sini?”

Krishna berujar di sela-sela helaan nafasnya yang sangat memburu. Ia barusan keluar dari kamar asramanya dengan langkah sangat tergesa, bahkan ia belum sempat mengenakan jaket secara betul. Jangankan jaket, sepatu ketsnya pun ia injak asal-asalan; tidak dikenakan sewajarnya.

Security bertubuh agak tambun yang berjaga di pintu masuk gedung asrama yang dikhususkan bagi mahasiswa Universitas Ganesha Mandala menggelengkan kepalanya sebagai bentuk jawaban atas tanya yang diberi Krishna. “Belum ada, Krish. Kamu pesen taksi online? Mau ke mana malem-malem begini?”

“Rumah temen, Pak,” ujar Krishna seadanya. Ia menjawab sambil lalu tanpa menuruh fokus ke si penanya. Kedua netranya kini hanya tertuju ke layar ponsel yang sedang ia genggam, berniat memastikan keberadaan taksi yang dipesannya. Jika dilihat dari penunjuk navigasi, semestinya taksinya sudah berada di asramanya semenjak tiga menit yang lal—

“Ayo, Mas. Naik.”

Baru juga Krishna selesai memastikan keberadaan taksi pesanannya di aplikasi pada ponsel, tiba-tiba sebuah suara mengejutkannya. Krishna sontak mengangkat kepala dan menemui satu unit mobil taksi sudah terparkir di hadapannya; tepat di depan tempatnya berdiri dan si penjaga security yang tadi Krishna ajak berbincang.

“Hah?” Krishna keheranan, jelas. Beberapa detik yang lalu, taksi itu tidak ada di hadapannya. Beberapa detik yang lalu, di hadapannya tidak ada apapun. Kosong melompong. Namun sekarang, dengan jarak beberapa detik— sudah ada satu unit taksi terparkir. Hal konyol macam apa ini?!

Krishna menoleh ke arah kiri, ia berniat memastikan situasi kepada si security namun lelaki bertubuh tambun yang mengenakan seragam hitam-putih itu masih memandang ke arah depan dengan tatapan yang kosong. Seperti sedang terhipnotis akan sesuatu. “Pak—? Pak! Pak, tadi di depan kita nggak ada apapun, 'kan?! Bapak? Pak, jangan diem aja!”

“Mas. Kalau nggak naik, argonya bakal bertambah terus, lho,” ujar seseorang dari dalam taksi. Krishna merasakan bulu kuduknya berdiri, situasi ini sama sekali tidak masuk akal. Baru saja Krishna akan memutarkan tubuh dan memilih untuk kembali ke kamarnya, tiba-tiba langkahnya berhenti tatkala sesosok tubuh melongok dari arah bangku supir. Tubuhnya dicondongkan ke bangku penumpang sehingga situasinya sekarang— Krishna bisa bertatapan dengan lelaki di dalam taksi.

“Ayo, Mas. Naik. Mau ke rumah Raesaka, 'kan?”

Krishna meneguk ludahnya dengan susah payah. Lelaki yang sekarang sedang melongok ke arahnya adalah supir taksi yang dulu mengantarkannya ke Cikarang di tahun 2033.

Lelaki yang mungkin awal dari semua situasi ini.


Hening.

Padahal sudah sekitar sepuluh menit berlalu semenjak Krishna menduduki bangku penumpang di bagian belakang dari taksi yang dinaiki. Selama itu pula, Krishna hanya duduk dengan kedua tangan yang dikepal dan diletakkan di atas kedua pahanya. Bibirnya kelu. Ia ingin menanyakan berbagai macam hal namun semua yang sedang dialaminya terlalu mustahil untuk dipikir dengan akal sehat.

“Kita lewat jalan gang aja, ya, Mas? Jalan ke tujuan Masnya di jam segini agak mace—”

“Kenapa saya nggak bisa jujur tentang diri saya sendiri?”

Pertanyaan Krishna menyela ujaran si supir taksi. Tak urung, si supir taksi yang penampilannya tampak tidak begitu lazim untuk disebut sebagai supir taksi itu mengulas senyum tipis dan mengalihkan pandangannya kepada Krishna lewat pantulan kaca spion dalam. “Memangnya Mas mau jujur tentang apa?”

Krishna meneguk ludahnya, gugup. “Saya mau jujur tentang saya sendiri. Bahwa saya sebenernya datang dari tahun 2033 dan saya punya hubungan istimewa dengan Saka. Saya mau dia tau bahwa kami bukan cuma sekedar kenala—”

“Berantakan.”

Ujaran dari si supir taksi membuat kalimat Krishna terhenti. Untuk beberapa detik, Krishna hanya terdiam. Ia berharap si supir taksi akan melanjutkan kalimat atau memberi penjelasan perihal ucapannya namun nihil— supir taksi itu hanya diam sehingga Krishna memutuskan untuk bertanya terlebih dahulu. “Berantakan, apanya?”

“Semuanya,” jawab si supir taksi; singkat. “Semua tindakan yang Mas lakuin sekarang, semuanya bikin timeline di takdir Raesaka dan Masnya jadi berantakan. Total.”

Si supir taksi membelokkan kemudinya ke gang cukup sempit yang Krishna ketahui memang mengarah menuju rumah Paman dan Bibi Raesaka. “Kalau Mas bingung kenapa omongan Masnya di chat tadi nggak muncul di mata temen-temen Mas dan Raesaka sendiri— itu, karena kami masih berusaha beri Mas kesempatan untuk bereskan segalanya dengan baik.”

Krishna berujar pelan. “Kami?”

Si supir taksi memberi pandangan lagi dari kaca spion di dalam taksi kemudian mengangkat bahunya dengan ringan. “Ya, sekarang saya beri dua pilihan. Masnya mau lebih dengar siapa kami atau lebih mau dengar penjelasan saya tentang kenapa Mas nggak bisa jelasin apapun? Ini sebentar lagi kita sampai di tujuan, lho.”

Pertanyaan dari si supir taksi membuat Krishna segera memberi jawab tanpa pikir panjang. “Alasan,” ujar Krishna.

“Alasan, ya...”, gumam si supir taksi. Tangannya kembali memutar kemudi untuk berbelok ke arah kanan. Krishna sadar, tidak lama lagi mereka akan tiba di depan rumah kediaman Raesaka. “Mas. Timeline yang dipunyai Raesaka sekarang berantakan. Kalau Mas mau berantakin semuanya dan jelasin hal yang semestinya jadi rahasia selama dua belas tahun ke depan, timeline Raesaka bakal jadi pendek.”

Krishna mengernyitkan dahinya, tidak paham.

“Kita anggap, ajal Raesaka adalah sampai tahun 2031. Selama itu, dia punya berbagai hal untuk dijalani yang tentunya masih jadi rahasia. Tapi kalau Masnya bongkar semua rahasia itu di depan Raesaka cuma untuk meyakinkan dia bahwa Mas adalah seseorang yang penting bagi dia... apa Mas nggak pernah memikirkan akibatnya?”

“Waktu yang Raesaka punya buat mengungkap rahasia hidupnya menjadi lebih cepat dari yang semestinya. Itu juga yang nantinya akan mempengaruhi timeline dia. Bisa jadi...” Si supir taksi menghela nafas sebelum kembali melanjutkan kalimatnya. “...kalau Mas beberkan semua cuma untuk dapatkan kepercayaan dari dia, mungkin masa hidupnya akan lebih pendek dari seharusnya.”

“Siapa tahu, masa hidup yang semestinya bertahan sampai 2031...” Lelaki yang tengah mengemudi itu kembali mengarahkan pandangannya ke arah Krishna. “...jadi dipercepat karena timelinenya berantakan.”

“Bisa jadi dia mati besok.”

Krishna meneguk ludahnya dengan berat.

Tidak, Krishna tidak mau Raesakanya pergi lebih cepat dari yang semestinya. Jika memang ini kesempatan kedua baginya untuk menghabiskan waktu lebih lama dengan Raesaka, Krishna tidak boleh menghancurkan semua.

“Mas tau kenapa setiap chat yang Mas kirim tentang diri Mas berakhir jadi chat kosong?“, tanya si supir taksi. Sekarang taksi sudah kembali melintasi jalan raya, sungguh tidak lama lagi mereka akan tiba di lokasi kediaman Raesaka. “Itu karena kami masih ingin beri kesempatan ke Mas untuk nggak semakin buat semuanya semakin berantakan.”

“Dan sebenarnya kami tau apa tujuan Mas buat datang ke rumah Raesaka,” diberi jeda diantara kalimat. “Mas mau jujur ke dia tentang semuanya.”

“Iya, 'kan?”

Krishna menjambaki rambutnya sendiri di bangku penumpang. Semua yang ia dengar saat ini terlalu rumit. Ia tidak bisa menemui korelasi antara apa yang sedang dijalankan saat ini dengan penjelasan yang diberikan oleh si supir taksi. Sesungguhnya, yang sekarang sedang ia jalankan adalah realita atau khayalan semata?!

Kami serahkan semuanya ke Mas sekarang.” Si supir taksi mulai memperlambat laju mobil yang dikendarai. Mobil sudah memasuki wilayah kompleks perumahan, tinggal hanya beberapa puluh meter lagi hingga mereka tiba di lokasi tujuan. “Kalau di chat tadi Masnya nggak bisa jelaskan karena ulah dari kami yang bikin chatnya jadi kosong, sekarang kami nggak akan beri halangan apapun.”

“Silahkan jelaskan apapun yang Masnya mau.”

Tepat setelah si supir taksi menyelesaikan kalimatnya, mobil taksi berhenti di depan sebuah rumah yang sangat Krishna kenali. Kediaman dari orangtua Tania sekaligus tempat Raesaka tinggal. Krishna memandangi rumah itu dari bangkunya, masih belum keluar dari dalam mobil. Sumpah, pemikirannya sekarang sangat rumit.

“Mas,” si supir taksi sedikit mengubah posisi duduknya sehingga kini ia bisa memandangi Krishna yang duduk di bangku penumpang belakang. “Saya bukan sekali dua kali dapati situasi seperti yang Mas hadapi sekarang. Kebanyakan dari mereka yang ada di posisi Masnya sekarang, lebih memilih untuk jelaskan semua.”

“Mereka ingin bahagia lebih cepat. Mereka ingin dapatkan memori yang dulu mereka nikmati tanpa makan waktu lebih lama.”

“Tentu, kami nggak pernah menyalahkan. Semua udah jadi keputusan tiap individu. Tapi, Mas...“, si supir taksi sedikit mengulas senyum. “...kalau boleh saya sarankan, jangan terlalu mempersempit definisi bahagia sebagai sesuatu yang bisa muncul hanya dalam hubungan kekasih.”

“Bahagia itu luas maknanya. Mas bisa jadikan ini sebagai kesempatan untuk kenali Raesaka lebih jauh dan dalam. Apa Mas tau apa makanan kesukaan Raesaka? Mas tau apa warna kesukaan Raesaka? Nggak, 'kan, Mas?”

“Tanpa Mas sadari, selama sepuluh tahun— semuanya terlalu terpusat ke Masnya sendiri. Mungkin di pikiran Masnya, selama Raesaka sehat dan nggak kambuh penyakitnya, semua bakal baik-baik aja. Tapi apa Mas pernah pikir... Mas nggak tau apa warna kesukaan dia. Mas nggak tau lagu apa yang paling sering dia dengar di daftar putar musiknya. Banyak yang belum Mas ketahui selama sepuluh tahun kalian barengan.”

“Jangan Mas pikirin bahagia dari sisi Masnya aja.”

“Buat sekarang, pikirin dari sisi dia juga.”

Krishna ingin menangis, demi apapun. Membayangkan Raesaka berada di sampingnya bukan sebagai sosok seorang kekasih adalah hal yang sulit untuk dipikirkan olehnya. Sepuluh tahun, keduanya menjalin kasih hingga maut memisahkan. Maka tidak heran jika sekarang Krishna menjadi sangat gegabah dalam melakukan semua tindakannya.

Krishna ingin bisa lebih cepat memeluk Raesaka. Krishna ingin lebih leluasa mengucapkan bahwa ia mencintai lelaki itu dengan segera. Krishna tidak ingin menunggu lama. Mungkin itu yang menjadikan segala tindakannya semenjak tadi sangat berkebalikan dengan apa yang ia lakukan di waktu terdahulu.

Mungkin itu juga yang menjadikan Raesaka tidak memiliki rasa yang sama kepada Krishna seperti dua belas tahun lalu ketika mereka sama-sama bertemu sebagai lelaki di usia yang semestinya.

“Tapi gimana...”, Krishna berujar di sela-sela nafasnya yang terasa sangat sesak. “...gimana kalau ketika saya biarin dia bahagia di jalannya— dia malah semakin berjalan menjauh dari saya? Gimana kalau pada akhirnya...”

“...saya nggak bisa raih dia lagi?”

Si supir taksi tersenyum, sangat tipis. “Kalau memang dia nggak bisa diraih lagi sama Masnya...”, ada jeda diantara kalimat. “...paling nggak, dia bahagia, 'kan, Mas?”

“Mas udah dapetin bahagia dari dia selama sepuluh tahun kemarin. Dia yang berusaha sayangi Masnya tanpa mengharap apapun. Dia yang bener-bener tulus beri segala yang dia punya. Mungkin bagi dia, Mas adalah segalanya. Mungkin bagi dia, semua bakal rela dia kasih buat Mas asalkan Mas bahagia.”

“Lalu— apa Mas mau seegois itu? Lagi?”

Krishna menangis, terisak tanpa suara. Tangisan yang kata orang-orang adalah bentuk tangis yang paling menyakitkan. Si supir taksi tidak lagi menghadapkan tubuhnya ke belakang, ia memutar tubuh untuk kembali memandang ke arah depan. Ke arah jalanan. “Silahkan, Mas, turun. Argonya rusak, jadi saya nggak bisa minta bayaran.”

Si supir taksi menghela nafasnya dalam-dalam tatkala ia melihat Krishna turun dengan langkah lemah dari dalam taksi yang dikendarainya. Ia sudah sangat sering melihat situasi seperti ini namun masih saja tidak terbiasa dengan segalanya.

Si supir taksi sering melihat orang-orang yang ia antarkan memilih untuk bersikap egois, mengutamakan keinginan untuk mendapat segala kenangan manis dalam bentuk hubungan yang erat. Entah sebagai kekasih, entah sebagai pasangan yang menjalin ikatan sakral. Banyak dari mereka yang mengorbankan waktu si pasangan yang sudah berpulang hanya agar mereka bisa merasakan lagi kebahagiaan ketika keduanya menjalin hubungan bersama.

“Hhh—” Lagi, si supir taksi menghela nafas dengan berat. Perlahan kuasanya meraih bingkai kaca spion di bagian dalam mobil dan memandangi pantulan bayangannya sendiri di sana. Wajahnya yang semula tampak kencang tanpa kerutan sedikitpun, perlahan berubah mengendur. Tampak kerutan, tidak hanya satu dua. Wajah si supir taksi yang semula terlihat berusia sekitar tiga-puluhan, sekarang tampak menjadi paruh baya. Agak menua.

Dengan sedikit lunglai, tangan si supir taksi meraih kartu tanda pengenal yang biasanya ditempelkan di dashboard mobil. Ia mengusapi kaca pelapis kartu pengenal yang terpasang di sana kemudian berujar kecil. “Dasar anak muda, nggak pernah bisa aware sama apa yang ada di sekelilingnya.”

Di kartu tanda pengenal supir, tertulis satu nama. Budianto.