dontlockhimup

LOG.

✦ Kumpulan AU ( SEUNGCHAN ) :

CompletedOn-GoingOne-shotFicletVideo Edit

Kritik dan Saran ⭑

Support via TRAKTEER ⭑Cara Kirim Support

PILLOWTALK ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㅤㅤㅤㅤ ㅤㅤㅤ “Sakit?”

“Nggak, kok.” “Cuma .. sedikit aneh.” “Kayak ditendang begitu.”

Jemari lentik Seungwoo masih bergerak di atas perut Byungchan yang tengah berbaring di sampingnya. Tempat tidur yang mereka tempati sekarang tidak megah. Tidak dihiasi seprai berdesain mewah. Kerangka tempat tidurnya sudah agak berkarat, bergerak sedikit pun mungkin sudah memberi suara decit yang bisa membuat gigi ngilu.

Namun di sini, di tempat yang tidak megah ini, Seungwoo merasakan dunianya tengah berputar pada poros yang semestinya. Pada poros terbaik. Di sebuah tempat di mana sesuatu memang semestinya harus bergerak. Byungchan, ada di sisinya, menjaga buah hati mereka berdua dalam rengkuhan tubuhnya.

Tidak ada yang membuat Seungwoo lebih bahagia daripada sekarang. Daripada saat ini, tidak ada.

“Kerasa, nggak?” “Nendang begitu.” “Dia seneng, kayaknya .. bisa dipegang-pegang sama Papanya.”

“Kerasa.” “Banget, kerasanya.”

Sebelah tangan Seungwoo masih mengusapi perut Byungchan, sementara sebelah tangannya yang lain mengusapi rambut si lelaki yang lebih muda. Lembut, seakan ingin menyampaikan semua sayang yang ia rasakan sekarang kepada Byungchan.

“Sayang.”

“Hm?”

“Takut?”

Byungchan paham maksud perkataan Seungwoo. Takut yang si yang lebih tua katakan barusan pasti ditujukan untuk dirinya yang sebentar lagi akan melahirkan sosok si mungil ke dunia. Takut?

“Takut.” “Udah pasti takut.”

Sebelah tangan Seungwoo yang tengah mengusapi rambutnya, kini diraih oleh Byungchan. Disematkan jemarinya di sela jemari si yang lebih tua, menggamitnya erat. Senyum manis terulas di bibir Byungchan. Senyum yang seperti sihir, karena kini Seungwoo juga secara tidak sadar ikut tersenyum karena melihat manisnya senyuman si kesayangan. “Tapi dibanding rasa takut, aku lebih ngerasain rasaㅡ apa, ya?”

“Rasa .. nggak sabar.” “Nggak sabar mau kasih lihat ke jagoan kecil kita, bahwa dia punya Papa yang hebat. Bahwa dia punya Papa yang keren.”

“Namanya Seungwoo.” “Han Seungwoo.”

Seungwoo mengeratkan gamitan jemari Byungchan di tangannya. Terlalu merasa bahagia dengan situasi saat ini. “Kamu tahu, nggak?”

“Hm?”

“Aku pengen kasih segala yang terbaik di dunia ini ke kamu. Apapun itu.”

“Udah, kok.” “Kamu udah kasih itu.”

Tepat ketika Byungchan selesai mengucapkan kalimatnya, tiba-tiba sosok si mungil dalam perutnya menendang kecil. Tak urung, membuat Seungwoo sedikit mengernyitkan alis. “Tuh. Kerasa, nggak? Bahkan si jagoan kecil kita aja setuju. Dia juga mau bilang kalau kamu, Papanya, udah kasih yang terbaik.”

“Kamu, udah kasih kami yang terbaik. Jangan terlalu dipikirin, ya?”

“Apanya yang terbaik?” Pertanyaan Seungwoo sedikit diikuti dengan ekspresi wajah yang muram, biarpun tetap saja sebelah tangannya yang kini tengah digamit oleh jemari Byungchan kini tengah memberi usapan lembut di punggung tangan dengan ibu jarinya. “Kehidupan kita, masih banyak kurangnya.”

“Hm?” Byungchan sedikit memiringkan posisi berbaringnya agar dapat menatap lebih jelas sosok suaminya. Jemari tangan kirinya yang bebas kini mengusapi pipi Seungwoo, berharap dapat menghapus ekspresi muramnya. “Apanya yang kurang dari kehidupan kita? Coba, sebutin.”

“Banyak.”

“Contohnya?”

“Aku masih belum bisa ganti tempat tidur kita dengan yang lebih baik.”

“Aku masih belum bisa ajak kamu ke restoran mahal buat makan makanan yang enak.”

“Aku masih belum bisa bawa kamu ke rumah yang lebih luas. Kita masihㅡ tinggal di tempat kontrak yang tua begini.”

“Banyak kurangnya, dan semua itu gara-gara aku. Maaf, ya?”

Selama Seungwoo mengucapkan kalimatnya, Byungchan menatapi si kesayangan dengan seksama. Memberi perhatian penuh, sekaligus mengusapi pipi dengan harap dapat mengangkat beban pikiran Seungwoo barang sedikit. “Apa yang harus dimaafin, coba?”

“Tempat tidur yang sekarang kita tempatin ini, buat aku adalah tempat tidur terbaik. Kenapa? Karena ada kamu di sini. Biarpun kamu beliin aku kasur dari bulu angsa tapi nggak ada kamu di sana, itu nggak akan jadi hal yang bagus.”

“Terus, perihal makan di restoran .. kenapa mikir begitu, coba?” Bibir Byungchan sedikit mengerucut. Terlihat kesal, walaupun kentara sekali sedang dibuat-buat. “Makanan buatan aku nggak enak? Makanya ngebet ngajak ke restoran, gitu?”

“Nggak!” Seungwoo terlihat sedikit panik. Dasar, lelaki yang lebih tua ini tidak begitu pandai menyembunyikan perasaannya. “Bukan gitu, maksudnya. Aku cuma mau kasih kamu yang terbaiㅡ”

Cup. Cup. Cup.

Tiga kali kecupan kecil diberi dari bibir Byungchan ke bibir Seungwoo. Secara tiba-tiba, sehingga Seungwoo tidak bisa memberi respon apapun selain kedipan mata yang linglung.

“Ini, terbaik.” “Restoran manapun, nggak ada yang bisa sajiin hal yang manisnya semanis bibir kamu. Tahu, nggak?”

Seungwoo tidak tahu sudah semerah apa wajahnya sekarang. Sosok si kesayangan yang tengah berbaring di sisinya sekarang iniㅡ manis. Terlampau manis. Bagaimana mengatakan dan mengekspresikan semua kebahagiaan yang tengah Seungwoo rasakan ini ke dalam kata-kata, coba?

“Payah. Payah banget, aku.” “Aku gampang banget baper.”

Tangan Seungwoo yang semula mengusapi perut Byungchan, kini beralih merengkuh lelaki itu agar berada dalam dekapannya. “Digombalin begituan doang udah baper.”

Byungchan yang kini berada di dekap rengkuhan Seungwoo hanya tertawa kecil seraya menyamankan posisinya. Kepala Byungchan sedikit disembunyikan di ceruk leher jenjang si suami, nafasnya dihirup dalam-dalamㅡ serakah ingin mendapatkan aroma tubuh lelakinya hanya untuk dia sendiri.

“Ini juga.” “Aku nggak butuh rumah luas. Buat aku, ini rumah terbaik.”

“Pelukan kamu.” “Dekapan kamu.” “Rengkuhan kamu.”

Nafas Byungchan yang terhembus terasa hangat di leher Seungwoo. Entah, apakah nafas Byungchan itu yang membuat tubuh Seungwoo terasa panas secara tiba-tiba? Atau karena tubuhnya sendiri tidak bisa menahan sebagaimana rasa sayangnya ini sehingga malah membuat tekanan panas di dalam diri?

Teori konyol, Seungwoo.

“Udahan, ah.” “Aku suka geli kalau digombalin begitu, sayang.”

“Lho? Nggak gombal, lho.” “Aku serius.”

“Iya, iya.” “Iya, sayangkuuuu.” “Iya, maniskuuuuu.” “Iya, suamikuuuuu.”

Nada bicara Seungwoo (seperti) sengaja dimanis-maniskan. Biasanya di situasi begini, Byungchan akan memasang ekspresi wajah jijik. Namun kali ini, Byungchan hanya terkekeh dengan wajah yang dibenamkan di ceruk leher Seungwoo.

“Kak.”

“Apa, Dek?”

“Jangan kecapean, ya?” “Kamu akhir-akhir ini sibuk sama hal di kampus, lho. Tidur pun udah nggak jelas lagi waktunya.”

“Hnnnnngㅡ”

Seungwoo sedikit mengerang. Sedikit gemas jika Byungchan sudah mulai cerewet begini. Bukan berarti ia tidak suka dengan Byungchan yang seperti ini, namunㅡ entahlah, seperti gemas ingin menutupi mulutnya saja, begitu.

“Aku lagi coba buat dapet beasiswa lagi, Dek. Disaranin sama pihak kampus. Katanya, dibanding nunggu status dosen honorer yang belum pasti kapan bisa selesainyaㅡ mendingan aku coba beasiswa ke luar.”

“Hmm.” “Kak.”

“Apa, sayangku?”

“Jangan lupain komitmen Kakak sewaktu dulu, ya? Masih inget, 'kan?”

Seungwoo terdiam. Bukannya tidak ingat, hanya sajaㅡ ia merasa ditampar oleh ucapan Byungchan barusan. “Kamu dulu pernah bilang kalau kamu mau jadi dosen. Kamu juga bilang ke aku sebelum kita nikah dulu, bahwa jalan hidup kita nantinya pasti berat. Kedepannya, mungkin aku nggak bakal punya banyak uang buat dikasih ke kamu. Mungkin aku bakal kalah saing dibanding temen-temenku yang kerja di perusahaan bonafit ibukota. Tapi aku berani janji ke kamu, aku bakal buktiin ke siapapun bahwa keluarga kita adalah keluarga juara. Bukan dari segi harta, tapi dari kebermanfaatannya untuk sesama. Gimana, inget?”

“Kamu punya komitmen yang harus dijaga. Aku juga berusaha biar nggak selalu ngerepotin kamu, kok.”

“Bukan perihal komitmen, Dek. Aku cumaㅡ apa, ya? Aku nggak bisa bohong kalau aku juga pengen kasih yang baik-baik dan bagus buat kamu.”

“Kalau dengan situasi begini terus, susah ..”

“Yang baik-baik?” “Yang bagus?”

“Ini, nih.” “Kamu ngomong begitu tuh karena serius pengen ngomong begitu, atau cuma pengen dipuji?”

”... Kokㅡ pengen dipuji?”

“'Kan ada banyak orang yang begitu, tuh. Orang yang suka ngerendahin dirinya karena pengen dihibur, pengen dipuji.”

“Ohh.” Seungwoo tertawa kecil sebelum akhirnya menggumam pelan. “Ya, kalau mau dipuji, boleh-boleh aja.”

“Berarti pengennya dipuji?”

“Nggak, kok.” “Cuma kalau mau dipuji ya, gapapa.”

“...” “Kok bisa-bisanya aku dulu nikahin kamu yang plin-plan begini, ya?”

“Soalnya .. ganteng?”

Sumpah demi apapun, kalau saja perutnya tidak sebesar ini Byungchan pasti sudah menendangi perut Seungwoo karena semua ucapan kelewat percaya dirinya barusan. “Kak. Kamu harus makasih ke si jagoan kecil. Karena kalau perutku nggak mblendung begini, kamu udah bakal kuinjek. Serius.”

“Lho? Bener 'kan? Ganteng?”

“Iya, sih ...”

“Ya udah. Makanya, iyain aja. Aku juga suka kamu karena manisnya nggak ketolongan, Dek.”

“Manisnya aja?”

”...” “Ini minta dipuji, ya?”

“Iya.”

TERLALU MANIS. BYUNGCHAN DAN SEGALA KEJUJURANNYA, TERLALU MENGGEMASKAN. Seungwoo rasanya ingin berteriak begitu jika saja tidak menyadari bayi di perut Byungchan bisa saja menendangi perut kesayangannya karena terkejut. “Hhhㅡ sayang ..”

”.. jangan manis-manis begini, dong. Akunya lemah. Pusing. Nggak mau 'kan kalau si jagoan kita nanti ketemu adeknya padahal dia belum lahir ke dunia?”

“...” “Maksudnyㅡ” “HEH!? MESUM YA, KAMU!”

“Lho? Mesum apanya?” “Kita 'kan udah nikah, legal.” “Boleh, donㅡ”

“Palamu boleh-boleh?!”

Byungchan sudah seperti ikan yang dilempar ke daratan. Awalnya terlihat damai di rengkuhan Seungwoo, namun sekarang malah memukuli tubuh si yang lebih tua tanpa henti.

“Dek! Hei! Hei!” “Jangan dipukulin!” “Dek! Si jagoan kecil nangis, tuh!”

“Apanya nangis?!” “Malah dia yang nyuruh pukulin Papanya yang mesum!”

“Dek!” “Hei!” “Anjir! Orang hamil kok tenaganya kayak Hulk?!”

“Deeeeek!”

“Mesum kamu!” “Mesuuuuuuum!”

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

* * * * *

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤEPILOG

Dek.”

Hm?

Tapi aku serius.

Apanya?

Tentang aku yang mau kasih kamu segala hal yang terbaik. Memang, mungkin sulit. Memang, mungkin butuh waktu lama. Tapiㅡ coba percayain semua ke aku, ya?

Kak.

Hm?”

Tanpa kamu minta, semua hal itu selalu aku lakuin. Akuㅡ percaya kamu. Sepenuhnya.

Karena aku tahu kamu bisa. Selalu bisa. Walaupun perlahan, tapi aku tahu suatu saat nanti kamu dan aku bisa jalan ke depan. Barengan.

Iya, Dek.“ “Makasih, ya?

Tetap jadi panduan aku buat melangkah, ya, Kak?

Pasti.” “Aku bakal jadi peta kamu.“ “Yang tuntun jalan kamu.“ “Yang arahin langkah kamu.

Aku bakal selalu begitu.

Iya, Kak.“ “Aku percaya.

Percaya?

Percaya.“ “Selalu.

Endㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

ㅤ 2O48. Gudang bawah kediaman Baskara

Kak.

Lagi. Seorang gadis dengan rambut panjang lurus berwarna hitam menanyakan hal yang sama kepada lelaki bertubuh jangkung yang ada di sebelahnya. Pandangannya terlihat khawatir. Ah, tidakㅡ mungkin bukan khawatir, namun .. bagaimana mengatakannya? Tidak yakin? Takut? Sesuatu diantara itu.

“Kak Arka yakin? Aku takut ini malah bakal bikin masalah diantara beliau berdua.”

Lelaki jangkung yang dipanggil Arka barusan oleh si gadis hanya membalas dengan senyuman simpul dan gelengan kecil. “Nggak apa-apa, Mbul.”

“Papa sama Pipi kamu, nggak akan kenapa-kenapa. Ini harus kita lakuin buat mereka. Kamu juga mikir begitu, 'kan?”

“Tapi, Kak ..” “.. aku takut.”

“Takut kenapa, Mbul?”

Rembulan. Gadis itu mewarisi segala hal terbaik dari Ayah dan Ibunya. Wajah yang cantik, rambut yang terurai halus, tubuh yang semampai. Walaupun segalanya terlihat sempurna, ekspresi wajah Rembulan tidak terlihat baik-baik saja.

Tangan kanan si gadis kini meraih lengan si lelaki, Arka, seakan memberi saran bahwa sebaiknya semua hal ini tidak pernah dilakukan. “Aku takut, Kak. Kita udah liat hal yang semestinya nggak kita liat. Rahasia mereka. Semestinya kita juga ikut menutupi, bukan malah ngelakuin ini, Kak.”

“Nggak apa-apa.” “Aku nggak tau kamu sadar atau nggak, tapi aku sedari awal selalu sadar perihal pandangan Papa aku ke Pipi kamu. Aku tau jawabannya sekarang. Aku tau, dan aku pengen ngelakuin ini demi Papa aku.”

“Kamu mau bantuin aku, 'kan? Hm? Kamu juga udah anggap Papa Baskara sebagai Ayah kamu, 'kan? Kamu mau liat Papa bahagia, 'kan?”

“Tolong, bantu aku.” “Ada hal yang harus Papa aku sampaiin dari dulu. Ke Pipi kamu. Tolong, ya?”

Rembulan tidak dapat menolak. Arka, kekasihnya, baru saja meminta dengan penuh nada memohon. Sebuah kelemahan telak bagi si gadis. “Iya.” Pada akhirnya, cengkeraman tangan Rembulan di tangan Arka mengendur diiringi anggukan lemah. “Aku bantu, Kak.”

Arka tersenyum, manis.

Mirip seperti senyum Baskara. Senyum yang membentuk garis lurus karena matanya tertutup seluruhnya. Senyum yang dihiasi lesung pipi tipis di sebelah kiri.

“Makasih, ya, Mbul.”

Rembulan balas tersenyum. Lebih manis. Sama manisnya seperti Cakrawala. Sama manisnya, karena dihiasi lesung pipi dalam di kedua sisi.

Mereka, ingin menyampaikan pesan yang tidak sempat tersampaikan. Mereka, akan menyampaikan perasaan Ayahanda yang belum pernah terungkapkan.

Sekarang. Kali ini, di waktu ini.

* * * * *

Tiga jam setelahnya .. Kediaman Baskara.

“Papa.” “Lagi sibuk?”

Dua ketukan di pintu jati kokoh yang menutupi sebuah ruangan disampaikan, sebelum akhirnya Arka memutar kenop pintu dan melongokkan kepala ke dalam ruangan. Di sana, di bangku yang menghadap lurus ke arah meja kerja ada seorang lelaki berkacamata yang duduk dengan posisi tegak. Terlihat serius, sangat.

Namun tatkala Arka melongokkan kepala ke dalam ruangan, sang lelaki berkacamata segera mengalihkan pandangan dari layar komputer untuk memfokuskan perhatian kepada Arka. “Oh, Kak?”

Baskara. Lelaki berkacamata yang duduk di bangku kerjanya segera tersenyum lebar kemudian menggelengkan kepalanya, cepat. “Nggak. Papa nggak sibuk. Ada apa, Kak?”

Kacamata bacanya dilepas. Kini, Baskara bangkit dari bangku dan beranjak menghampiri Arka. Sementara yang dihampiri kini memilih untuk duduk di sofa panjang nan empuk yang ada di ruang kerja sang Ayahanda. “Nggak apa-apa, Pa. Cuma ada yang mau Arka sampaiin ke Papa. Papa adaㅡ waktu?”

“Ada, lah.”

Baskara ikut duduk di sofa, bersisian dengan Arka. Dari posisi begini dekatnya, Arka baru menyadari bahwa sang Ayah sudah memiliki rambut putih di kepalanya. Dari posisi begini dekatnya, Arka baru menyadari seberapa mulai keriputnya kulit sang Ayahanda. Biarpun tidak dapat dipungkiri bahwa gurat-gurat ketampanan masih tersisa jelas di wajah Baskara. “Masa' Papa nggak punya waktu buat putra semata wayang, sih?”

“Kenapa, Kak?” “Kakak butuh uang?” “Atau kamu setuju buat belajar manajemen hotel? Kamu mau mulai persiapin diri buat jadi pewaris Papa?”

“Bukan, Pa.” “Bukan soal uang.” “Arka mau ngomongin soal Papa.”

“Papa?”

“Iya. Papa ..” “.. sama Pipinya Rembulan.”

Baru juga Arka mengatakan demikian, raut wajah Baskara sedikit berubah. Awalnya tersenyum lebar namun kini menjadi sedikit murung, walaupun apa, ya? Masih ada raut wajah yang dipaksakan untuk terlihat baik-baik saja. “Sama Cakrawala, Kak? Kenapa? Kamu udah siap lamar Rembulan?”

Arka sendiri hampir tersedak. Tidak. Sama sekali tidak. Arka dan Rembulan memang sedang menjalin hubungan, namun ia sendiri masih ingin fokus di pendidikan magisternya. Menikah dengan segera tidak termasuk ke dalam rencananya. “Nggak, Pah. Arka masih belum kepikiran ke sana.”

“Terus? Apa, dong?”, tanya Baskara seraya mengusapi kepala Arka. “Kalian udah kenal dari kecil, lho. Papa juga mau nimang cucu cepet-cepet sebelum keburu meninggal.”

Gamma.”

Demi apapun, Baskara merasa dunianya seakan berhenti berputar. Gamma. Bagi Baskara, nama itu adalah nama yang sangat ia kenali. Gamma adalah nama yang akan ia berikan kepada cucunya kelak. Anak dari pernikahan Arka dan Rembulan suatu saat nanti. “Papa mau namain anaknya Arka sama Rembulan pakai nama itu, 'kan?”

“Pah.”

“Arka nggak sengaja nemuin video itu di laptop Papa yang ada di gudang bawah. Maaf, Arka beneran nggak sengaja lihat video Papa sama Om Cakrawala. Arka kira itu cuma video rekaman perihal cerita yang lucu, Arka nggak nyangka kalau ... kalau ... yaㅡ”

Arka memainkan jemarinya, sebuah kebiasaan ketika ia merasa gugup. Sementara Baskara hanya terdiam sejenak, namun setelahnya segera tersenyum tipis seraya mengusapi puncak kepala si putra semata wayang. “Arka pasti kaget, ya? Papa sama Om Cakrawala ternyata sejahat itu?”

Arka segera menggeleng. “Nggak, Pah. Nggak ada yang jahat. Arka paham, semua pasti Papa sama Om Cakrawala pikirin baik-baik. Arka paham. Rembulan juga.”

Baskara mengernyit. “Rembulan juga lihat?” Arka mengangguk seraya tersenyum kikuk. “Rembulan jugaㅡ tahu?”

“Tahu, Pah.” “Itu alasan yang buat Arka ke sini.”

Arka mengeluarkan ponsel dari dalam kantung celana yang dikenakannya. “Pah. Arka tau, Papa sebegitu sayangnya ke Om Cakrawala. Ada video log Papa yang ceritain gimana Papa kangen dan pengen ucapin berbagai hal ke Om Cakrawala.”

“Ucapin sekarang, Pah.” “Biarin Om Cakrawala tau.”

Baskara menyunggingkan senyum miris. Tidak tahu harus berkata apa. Rahasianya terkuak di hadapan putranya sendiri. Rahasia yang sebisa mungkin Baskara tutup rapat-rapat, sekarang malah diketahui dengan jelas oleh Arka.

Garis hidup, sebercanda itu.

“Papa.” “Arka tau gimana rasanya.” “Biar gimanapun, Arka ini anak Papa. Arka tau segimana Papa sekarang khawatirin Arka.”

“Nggak, Pah.” “Arka sama sekali nggak kecewa.” “Di mata Arka, Papa tetep sosok Ayah terbaik. Di mata Rembulan juga demikian. Papa dan Om Cakrawala tetep sosok yang baik.”

“Kak.” Baskara mengangkat tangan kanannya, mengusapi puncak kepala sang putra semata wayang dengan penuh sayang. “Papa nggak mau ungkit semuanya. Buat Papa sama Cakrawala, semua udah selesai di tahun ketika dia milih untuk bahagia bersama Gerhana.”

“Udah selesai.” “Nggak ada lagi yang bisa Papa perjuangkan setelah itu.”

“Pah.” “Arka tau, Papa belum sepenuhnya tulus merelakan pernikahan Om Cakrawala sama Om Gerhana.”

“Pah.” “Arka tau, Papa sebenernya merencanakan semuanya. Pertemuan Om Gerhana dengan Om Cakrawala. Semua tindakan agar beliau berdua bisa jadi dekat ..”

”.. Arka tau, Pah.”

“Arka nggak mau kebohongan itu tetap ada. Arka nggak mau nantinya kehidupan pernikahan Arka dan Rembulan malah jadi canggung karena Papa dan Om Cakrawala masih menyimpan hal yang bikin sakit satu sama lain.”

Di tengah kalimat yang diucapkan oleh Arka, Baskara sama sekali tidak bersuara. Jemarinya masih bergerak mengusapi puncak kepala si putra kebanggaan, namun bibirnya seperti kelu.

“Pah.” “Izinin Arka bantu Papa sampaikan semua ke Om Cakrawala, ya?”

“...” “Gimana, Kak?”

Arka mengeluarkan selembar kertas dari saku celananya, sedikit kumal karena dilipat menjadi bentuk kecil-kecil. Baskara tahu jelas kertas apa itu. Kertas yang ia simpan di tas laptop miliknya, disembunyikan di salah satu kantung paling dalam karena berisi ungkapan hati paling bodoh.

Paling tolol. Paling idiot.

“Pah.” “Izinin Arka sampaikan isi dari kertas ini ke Om Cakrawala, ya?”

“Sampaikan ini.” “Selesaikan semua.” “Segala perasaan Papa ke beliau.”

“Ya, Pah?”

Baskara menatap sosok si putra semata wayang. Anak lelakinya ini sangat mirip dengannya. Entah, mungkin kemiripan mereka sampai tersalurkan dalam bentuk kecintaan kepada sosok indah bernama Cakrawala bagi Baskara dan Rembulan bagi Arka.

“Iya, Kak.” “Ayo, sampaikan.” “Ayo, selesaikan.”

* * * * *

Di waktu yang sama .. Kediaman Cakrawala.

“Pipiiiii!” “Pipi ikut Mbul dulu sebentar, yuk? Ayo! Temenin Mbul sebentar.”

Cakrawala tengah duduk berdua dengan Gerhana di sofa ruang tamu tatkala Rembulan menarik lengan laki-laki yang ia panggil dengan sebutan Pipi, sedikit memaksa. “Aku mau ngomong sebentar sama Pipi.”

“Sama Pipi aja, Mbul?” Gerhana, memberi pertanyaan kepada Rembulan. Raut wajahnya terlihat kecewa, namun masih disisipi kesan jenaka. Memang hanya berniat bercanda. “Ayah nggak diajak?”

“Sama Ayah Gerhana nanti dulu. Ini urusan hidup dan mati Pipi, soalnya.” Masih dengan nada yang diucapkan dengan manja, Rembulan menariki lengan Cakrawala agar segera bangkit dari sofa ruang tamu. “Ayoooo, ih! Pipi, ayo ikut Mbul.”

Cakrawala hanya tertawa kecil seraya bangkit dari posisi duduknya, kemudian beranjak mengikuti langkah Rembulan menuju lantai dua dari kediaman mereka. “Pipi mau diajak ke mana, Mbul?”

“Pipi.” “Ikut Mbul dulu, ya?” “Sebentar aja. Janji, deh.”

“Lama juga nggak apa-apa.” “Lho, Mbul?” “Kok malah ke kamar kamu?” “Kok pintunya dikunci, Mbul?”

Pertanyaan Cakrawala semakin bertambah karena kini Rembulan sudah membawa dirinya ke dalam kamar si putri. Dengan pintu yang tertutup, pula. “Ada rahasia yang mau kamu ceritain ke Pipi soal Arka, 'kah?”

“Pipi.” “Ini. Pipi pegang ini, ya?”

Ponsel milik Rembulan diserahkan kepada Cakrawala. Di sana, di layar ponsel, terdapat foto Cakrawala bersama Baskara. Foto mereka berdua, diambil bersama dengan senyum lebar di wajah masing-masing.

Cakrawala yang memasang tawa jua tangan kanan yang menariki pipi Baskara dengan jenaka, Baskara yang terlihat kesakitan karena cubitan Cakrawala pada pipinya namun tetap memasang tawa bahagia.

Jantung Cakrawala rasanya berhenti berdetak untuk sejenak ketika melihat foto itu. Bagaimana bisa Rembulan mendapatkan foto ini, coba? Cakrawala sudah menghapus semua foto mereka berdua semenjak lama. Semenjak ia bersama Gerhana, lebih tepatnya.

“Mbul .. ini, maksudnya apa?”

“Pipi.” “Pipi sekarang ada di tahun 2020.” “Bulan Februari, tanggal 29.” “Dan setelah ini, segala hal yang Pipi dengarkan dan ketahui ... semua adalah dari tanggal 29 Februari 2020.”

“...” “Mbul. Pipi nggak paham.” “Ini maksudnya, apa?” “Kenapa kamu bisa punya foto ini, Mbuㅡ”

DRRRRTT. DRRRRTT. DRRRRTT.

Ponsel milik Rembulan bergetar, menandakan ada panggilan yang masuk. Tertera nama yang sangat Cakrawala hafal penulisannya. Babas.

“Mbul ..” “Ini .. apa?”

Cakrawala menoleh ke belakang. Rembulan baru saja memundurkan langkahnya dan menempelkan tubuh ke dinding kamar, seperti takut sang Ayah akan memarahi dirinya. “Pipi. Maafin Mbul, tapi sekali ajaㅡ tolong angkat telefon itu.”

“Ada hal yang harus tersampaikan.” “Ada hal yang nggak boleh lagi disembunyikan.”

Nada bicara Rembulan bergetar. Terdengar sekali bahwa ia juga takut dan ragu, namun sesuatu seperti memaksanya agar meminta Cakrawala untuk mengangkat panggilan telefon ini. “Tolong, Pi. Angkat, sekarang.”

Apa kalian tahu salah satu kelemahan Cakrawala? Permintaan dari Rembulan. Apapun itu, pasti akan Cakrawala kabulkan. Maka, kali ini pun sama.

Tombol berwarna hijau ditekan, layar ponsel kini didekatkan ke telinga si pemilik raga. “Halo?”

Cak?” “Cacak?”

Bukan. Itu bukan suara Baskara. Cakrawala hafal benar suara laki-laki itu, semestinya bukan begini. Cakrawala tahu dengan jelas bahwa ini adalah suara Arka. Namun, intonasi dan nada bicaranya persis seperti Baskara.

Ada nada dan intonasi khusus setiap kali Baskara memanggil nama Cakrawala.

Cak. Cacak.

Ada nada dalam panggilannya, yang tidak pernah bisa ditiru siapapun. Namun, mengapaㅡ Arka .. bisa?

“Halo?”

Lagi, Cakrawala mengulang sapaannya. Setengah berharap Arka akan menjelaskan situasi yang tengah terjadi.

Cak.” “Hari ini ..” “.. 29 Februari 2020.”

Hari ini, lo bilang sesuatu ke gue. Hari ini, lo bilang perihal rencana yang selalu lo bangga-banggain.”

Cakrawala tidak habis pikir. Bagaimana bisa suara Arka menjadi semirip ini dengan Baskara sewaktu dulu? Bagaimana bisa setiap kalimatnya seakan membuat Cakrawala merasa sakit setengah mati di ulu hatinya?

Lo bilang, hari ini lo ketemu cewek yang bisa lo jadiin calon istri. Lo senyum lebar ketika bilang hal itu. Lo .. seneng, karena menganggap cewek itu bisa bikin lo punya keturunan yang pasti cantik.”

Cak.” “Cacak.”

Gue .. nggak tau ngerasain apa saat ini. Gue bahkan nggak tau kenapa gue ngerasain perasaan yang nggak jelas ini.”

Kenapa sekarang gue nangis? Kenapa beberapa saat setelahnya, gue malah ketawa? Lalu kemudian gue nangis lagi, persis kayak orang bego.”

Cak.” “Cacak.”

Apa gue terlalu suka ke lo? Apa gue terlalu sayang ke lo? Apa gue .. terlalu cinta ke lo?”

Apa lo sebegitu berartinya di dalam laju perputaran roda hidup gue? Sampai-sampai ngeliat lo yang ketawa dan seneng karena orang lain pun rasanya kayak .. gue akan kehilangan lo buat selama-lamanya.

Cak.” “Cacak.”

Saat ini, di jam ini, di menit ini, di detik kali ini,

rindu ke lo membuncah tanpa permisi.”

Bikin dada gue sakit.” “Bikin nafas gue sesak.”

Cak.” “Cacak.”

Gue yakin, keputusan gue ketika mengiyakan permintaan bodoh lo perihal punya keturunan yang mirip dengan kitaㅡ adalah keputusan yang salah.

Gue yakin banget, ini keputusan yang salah.”

Gue bakal nyesel. Gue bakal nyalahin diri gue sendiri. Gue bakal bego-begoin diri sendiri karena bersedia ngelepas lo ketika semestinya gue memeluk lo lebih erat dari apapun di dunia.”

Cak.” “Cacak.”

Gue yakin lo nggak akan pernah tau perihal isi surat ini. Gue yakin, karena gue nggak pernah punya niatan buat kasih tau hal ini ke lo. Lo dan gue, kita terlalu gengsi buat saling ungkapin perasaan bahwa kita saling sayang. Mungkin pada akhirnya, surat ini cuma bakal jadi kertas kumal di pojokan kantong tas laptop gue..”

“.. tapi, Cak, semoga lo tahu bahwa gue sayang lo. Lebih dari apapun. Sampai kapanpun.”

Biarpun lo dengan siapapun nantinya. Biarpun lo bilang lo bahagia. Biarpin loㅡ mungkin udah lupa siapa gue di kehidupan lo dulunya. Biarpun begitu, gue akan masih sayang.”

Selalu, Cak.” “Selalu.

Suara Arka seperti tercekat ketika membacakan isi surat curahan hati sang Ayahanda, Baskara. Bukan, bukan karena merasa jijik atau bagaimana. Arka tercekat karena membayangkan sebagaimana sakitnya perasaan Ayahnya ketika harus dipisahkan dengan cara begitu karena nilai norma yang ada.

Mereka pasti, sakit. Tidak terkirakan lagi.

Sementara itu, Baskara yang duduk di samping Arka selama panggilan telefon berlangsung hanya duduk dengan kepala tertunduk. Tidak mengatakan apapun. Semua memori tentang hari itu seakan diputar secara paksa oleh laju kerja otaknya.

Ketika Cakrawala memperlihatkan foto Resty. Ketika Cakrawala tertawa, membayangkan berbagai rencana pernikahan anak mereka berdua nantinya. Ketika Cakrawala seakan lupa, bahwa di hadapannya ada sosok laki-laki yang takut akan perasaan bernama kehilangan.

Di tempat yang berbeda, Rembulan memeluki Cakrawala dari belakang. Rembulan .. menangis, tidak kuasa melihat sang Ayah yang kini memegangi ponsel dengan tangan yang bergetar.

Cakrawala tidak pernah menangis. Ketika dunia menjahatinya, ketika tidak ada yang memihak kepadanya, Cakrawala tidak pernah menangis.

Namun kali ini, entahlah.

Apakah tetesan air yang jatuh dari matanya ini bisa disebut sebagai air mata? Atau hanya tetes air biasa karena matanya terlalu perih karena terus terbuka tanpa terkedip selama beberapa saat?

“Pipi ..” “.. maafin Rembulan.”

“Maaf, karena Rembulan ..” “.. Pipi sama Papa Baskara mesti kepisah padahal kalianㅡ maaf .. maaf udah terlahir ..”

“Rembulan.” “Ini Papa Baskara.”

Suara Arka dari speaker ponsel di tangan Cakrawala kini digantikan oleh suara Baskara.

“Sayang, Papa memang sayang sama Pipinya Rembulan. Memang, dulu Papa Baskara menyesal kenapa mengiyakan permintaan Cakrawala agar bisa memiliki Rembulan.”

“Tapi, Rembulan sayang .. sekarang Papa Baskara nggak ngerasain penyesalan itu lagi. Rembulan lebih berharga dari apapun. Bukan cuma buat Pipi Cakrawala. Buat Papa Baskara juga. Buat Arka, apalagi.”

“Rembulan.” “Makasih, ya?” “Makasih banget, udah mau sampaikan pesan dari Papa Baskara buat Pipi kamu. Papa sekarang lega banget. Papa seneng udah bisa menyampaikan apa yang semestinya disampaikan sedari dulu.”

“Penyesalan Papa Baskara dulu, sekarang jadi sebuah syukur yang tiada batas. Karena biarpun perasaan antara Papa sama Pipi kamu kandas, kami bisa bawa lebih banyak perasaan cinta diantara banyak orang lain nantinya.”

“Kamu dan Arka.” “Anak kalian sama pacarnya. Cucu kalian, sama jodohnya. Ada banyak perasaan yang bisa tercipta dari kandasnya hubungan Papa Baskara sama Pipi Cakrawala.”

“Dan sekarang, Papa Baskara nggak menyesal dengan semua itu. Rembulan jangan salahin diri sendiri, ya?”

Tangis Rembulan semakin terisak. Pelukannya dari belakang ke pundak Cakrawala semakin dieratkan. Sementara itu, Cakrawala berusaha mengendalikan tangisnya dan mengusapi puncak kepala si putri semata wayang. “Ssshhㅡ Rembulan. Jangan nangis. Pipi nangis lagi kalau kamu nangis begitu, ya?”

“Cak.” “Cacak.”

Panggilan dengan nada yang khas, kembali terdengar. Kini bukan suara Arka, itu .. suara Baskara. “Maaf, udah bikin kekacauan. Maaf, semestinya saya nggak mengiyakan permintaan Arka perihal ini. Maaf.”

“Bas.” “Babas.”

“Ya?”

“Mungkin, ini pertanyaan bodoh. Tapi kalau kamu diberi kesempatan mengulang lagi semuanya, ke tempat yang samaㅡ ke waktu yang sama ..”

”.. apa kamu akan jujur dan nggak cuma menuliskan perasaan kamu di buku harian kamu itu?”

“Karena, Bas ..” “.. semuanyaㅡ bisa aja .. memiliki akhir yang berbeda.”

“Apa kamu akan jujur?” “Atau .. nggak?”

* * * * *

Kamu adalah Baskara.

Ketika kamu diberi kesempatan untuk mengulang waktu dan kembali ke waktu yang sama, ke situasi yang sama, tanggal 29 Februari 2020 .. apa yang akan kamu pilih?

Jujur akan perasaanmu? Atau kembali menutupinya?

Beri jawaban kalian disini

“Satu suap, ya?” Lagi, dijawab dengan gelengan.

“Sesuap aja. Habis itu, aku nggak akan maksa lagi. Janji.” Percuma. Dia masih menggeleng.

“Nanti.”

“Tiga jam yang lalu, kamu bilang nanti. Sepuluh jam yang lalu, kamu masih bilang nanti. Kemarin, kamu bahkan bilang nanti. Nanti, nanti, nanti terus tapi nggak pernah dilakuin.”

“Kamu belum makan seharian, Kak. Seharian lebih, mungkin.”

Dia tidak menjawab, hanya menyunggingkan senyum yang terlampau tipis. Kuyakin itu untuk menenangkanku, tapi bagaimana aku bisa tenang kalau dia yang sudah tirus kini malah semakin tirus? Jangan lupakan kantung hitam di bawah matanya. Semakin membuat miris hati saja. “Iya. Aku bakal makan, pasti. Cuma, ya, ituㅡ nanti.”

“Aku masih belum nafsu makan. Nggak tau ke mana nafsu makanku, Byungchan. Aku sama sekali nggak laper.”

“Kamu laper, Kak.”

Kuubah posisi dudukku yang semula berhadapan dengannya menjadi duduk bersisian. Mangkuk berisi bubur abalone yang dibelikan oleh Kak Seungsik hanya kuletakkan begitu saja di atas kursi kecil yang barusan kududuki. “Kamu laper, tapi pura-pura nggak anggap rasa laper itu ada.”

Kami kini duduk bersampingan di pinggir tempat tidur milik kamarnya, kamar Kak Seungwoo di dorm VICTON. Iya, kalian tidak salah membacaㅡ dia di sini. Semenjak beberapa hari lalu, dia ada di sini.

Tinggal di sini. Diam di sini.

Secara harfiah, benar-benar diam. Tidak melakukan apapun. Hanya merenung di atas kasur, kalaupun keluar kamar paling-paling hanya untuk mengambil minum atau ke kamar kecil.

Makan? Tidak. Kalau aku tidak salah mengingat, ini sudah lebih dari sehari semenjak terakhir kali Kak Seungwoo menyantap nasi atau makanan berat lainnya.

Alasannya? Oh, ayolah. Kalian sering mengakses berita di internet, 'kan? Pasti kalian sudah tahu. Karena mungkin saja diantara kalian yang sedang membaca kalimat ini, ada pula kalian yang pernah melayangkan pernyataan kejam yang membuat ia tidak memiliki nafsu makan.

Pura-Pura Lupa

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ Myeongdong, Korea Selatan. 2O27

“Udah sampai mana?”

Baskara menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri di tengah keramaian orang-orang yang berlalu lalang. Kawasan Myeongdong hari ini sangat ramai, sama seperti biasanya.

“Gue di depan Lotte Young Plaza. Lo nggak nyasar, 'kan? Share Location aja, gimana? Gue yang nyamperin.”

Kepala si lelaki bertubuh jangkung kini sedikit dimiringkan, mengapit ponselnya diantara pundak dan leher karena kedua tangannya sibuk membuka dompet.

“삼천 원 맞죠?” [ Tiga ribu won, 'kan? ]

“Wey. Wey. Jangan panik.” “Tenang dulu, tenang.” “Lo di mana?”

Uang tiga ribu won telah berpindah dari dompet Baskara ke tangan penjual dalkk-kkeochi atau jajanan mirip sate ayam di Indonesia. Kini si lelaki jangkung bisa kembali memegang ponsel dengan tangan kiri sementara tangan kanannya memegang tusuk sate, mulai menyantap dengan santai.

“Di mana?” “Depan H&M?” “Ohㅡ ya udah, deket berarti.” “Gue ke sana. Tungguin. Jangan ke mana-mana. Lo nyasar, gue yang dibunuh Gerhana. Lo diem di situ aja. Gue otw.”

Suara di seberang hanya menjawab dengan gumaman paham sebelum akhirnya sambungan telefon di antara mereka diputuskan terlebih dahulu oleh Baskara. Langkah si lelaki jangkung beranjak dipercepat, tidak ingin membuat si penelpon menunggu lebih lama.

Ah. Alasan kau saja, Baskara. Bilang saja, bahwa kau rindu.

Ingin bertemu, lebih cepat dengannya. Ingin bisa menghabiskan waktu lebih banyak dan lebih lama dengannya. Walau hanya semenit lebih lama pun tidak apa.

Bilang saja, Baskara. Bilang saja begitu.

Bilang saja bahwa saat ini kau terlampau senang sehingga langkahmu dipercepat.

Bilang saja bahwa dia yang akan kau temui adalah seseorang yang masih senantiasa mengisi bunga tidurmu di setiap malam.

Bilang saja bahwa dia yang akan kau temui sekarang adalah seseorang yang masih belum bisa kau lupakan, sama sekali.

“Cak!” “Cacak!”

Padahal jarak mereka masih terpisah lumayan jauh namun Baskara sudah melambaikan tangan dan berseru dengan cukup kencang, membuat sebagian orang di sekitarnya menolehkan kepala. Menganggap Baskara kampungan, mungkin.

Persetan dengan kampungan, Baskara terlampau senang ketika melihat lelaki itu di sana. Cakrawala.

ㅤㅤLelaki yang dipanggil, Cakrawala, segera mengulas senyum lebar. Entah karena alasan apa. Apakah senyuman lega karena ia tidak akan menjadi orang-hilang di Korea, ataukahㅡ ada arti senyuman yang lain? Entahlah.

“Anjir. Gue udah takut nyasar di sini.” Ujar Cakrawala ketika Baskara sudah tiba di hadapannya. “Mana gue nggak bisa cang-cing-cong bahasa Korea.”

“Lo bukannya bisa nyanyiin lagu TWICE pas jaman dulu? Ngomong itu aja, lah. Itu juga bahasa Korea.”

“Bangke.” Kalimat Baskara dibalas dengan ucapan singkat dari Cakrawala, namun tak urung membuat ulasan senyum tipis di bibir keduanya. Sepertinya tiga detik sempat berlalu begitu saja sebelum akhirnya Baskara mengulurkan tangan kanannya ke arah Cakrawala.

“Apa kabar, Cak?”

Pertanyaan singkat, namun membuat hati Baskara sesak. Pertanyaan bodoh. Selama ini Baskara tahu bagaimana hari-hari Cakrawala terlewati. Cakrawala melewati harinya dengan bahagia, sangat. Si lelaki di hadapan Baskara ini selalu membagikan setiap momen bahagianya dengan Gerhana dan Rembulan di sosial media.

Baskara tahu jawaban yang akan diberi oleh Cakrawala, namun ia tetap menanyakan kabarnya. Agaknya sedikit berharap lelaki itu akan menjawab bahwa ia rindu kepada Baskara. Agaknya sedikit berharap bahwa lelaki itu menjawab bahwa ia masih sayanㅡ

“Baik, banget!”

Oh. Lupakan. Semua hanya harap semu.ㅤㅤ

“Lo gimana?” “Kapan balik ke Indonesia?”

Baskara tengah mengerjakan project kerja-sama antara usaha perhotelan miliknya dengan salah satu perusahaan tembakau ternama di Korea Selatan, KT&G. Lumayan membuat pusing hingga membuat Baskara harus berdiam di Korea Selatan untuk waktu yang cukup lama. Hari ini adalah bulan ketiganya berdiam di Seoul, setelah dua bulan sebelumnya ia menetap sementara di daerah Suwon.

“Mungkin bentar lagi.”

“Gue cuma ngomongin konsep gede dan umumnya aja, sisanya biar karyawan gue di Jakarta yang ngurus.” Cakrawala mengangguk-angguk kecil, memahami kalimat Baskara. “Oh, iya, Bas.”

“Hm?”

“Gerhana titip salam.” “Katanya harus disampaiin.”

Baskara sempat diam membeku untuk beberapa detik sebelum akhirnya menganggukkan kepala. Itu saja. Tidak ada kata yang memberi tanda bahwa Baskara menerima salam dari Gerhana, juga tidak ada ucapan untuk menitipkan salam balik.

Baskara paham, seharusnya di saat seperti iniㅡ sewajarnya ia menanyakan kembali perihal kabar Gerhana.

Apakah dia baik-baik saja? Apakah tidak ada masalah berarti di kehidupan pernikahan mereka? Apakah Gerhana menjaganya dengan baik?

Baskara paham, semestinya ia menanyakan perihal begitu. Bukannya malah diam dan memasang senyum pahit di depan Cakrawala. Baskara paham, namun hal itu terlampau sulit untuk dilakukan. Sulit, sangat.

“Bas?”

“Hm?” “Sorry. Ngelamun, gue.” “Lo udah makan? Mau makan dulu? Lo bakal diem di sini sampe kapan, Cak?”

“Nanyanya satu-satu.” Cakrawala terkekeh kecil seraya mengeratkan jaket yang dikenakannya. Angin musim dingin di bulan Januari terlalu menusuk tulang. Dingin, beku.ㅤㅤ

“Gue udah makan.” “Gue bakal diem di sini sampe besok pagi. Gue cuma ke sini buat hadirin undangan relasi gue yang nikah, sih. Tadinya Gerhana mau ikut, tapiㅡ”

“Wey! Udah jam segini!” “Mesti buru-buru kita, Cak!” “Nanti antrian naik cable carnya keburu penuh.” “Ayo, berangkat!”

Baskara memotong ucapan Cakrawala. Sisa waktu mereka tidak banyak dan Baskara tidak ingin waktu mereka terbuang dengan cerita tentang Gerhana.

Baskara tahu, Cakrawala mungkin sudah tidak lagi mengharapkan keberadaannya. Baskara paham, Cakrawala mungkin sudah menganggap dirinya sebagai teman semata.

Tidak kurang, tidak lebih.

Baskara tahu. Baskara paham. Namun, selama Cakrawala ada di siniㅡ di tempat di mana hanya ada mereka berdua, biarkan Baskara bersikap egois dengan niatnya memiliki Cakrawala barang beberapa jam saja.

Ah, dasar.

Baskara saja yang tidak tahu. Padahal alasan Cakrawala sedari tadi terus-terusan mengangkat nama Gerhana adalah sebagai penghalau segala halunya yang meraung-raung tanpa henti.

Gerhana tidak pernah menitipkan salam. Sedari awal, Gerhana tidak mau ikut ke Seoul. Sedari awal, Gerhana-Gerhana yang namanya terus diangkat oleh Cakrawala hanyalah pembatas. Agar Cakrawala tidak lagi lupa diri dan mengharapkan segala hal yang lebih dari Baskara.

Agar tidak berharap cerita mereka dapat terulang kembali. Agar tidak berharap demikian. Dasar.

. . .

“Pemandangan di sini pas malem emang bagus, ya?”

Ujaran Cakrawala dibalas dengan anggukan kecil dan tawa sekilas dari Baskara. “Emang. Pemandangan malam di sini emang bagus banget. Lampu-lampu apartemen nyala, pusat kota yang ramai tapi tertata rapi. Semuanya bagus di sini.”

Hari sebelumnya, Cakrawala meminta Baskara untuk menemaninya ke Namsan Tower. Seumur hidupnya, ini adalah perjalanan pertama Cakrawala ke Korea Selatan. Awalnya ia ingin meminta Baskara menemaninya ke gedung JYP, namun Baskara menolak untuk menemani. Ketika diminta menemani ke Namsan Tower, baru diiyakan.

Baskara jahat.

Setidaknya itu yang dipikirkan Cakrawala kemarin. Akan tetapi melihat pemandangan malam di Namsan Tower kini, semua amarah Cakrawala lenyap. Tanpa sisa.

“Gue kira cuma TWICE doang yang bagus di sini. Rupanya emang keseluruhannya bagus.”

“TWICE, sih, bagus muka. Ini bagus tatanan kotanya. TWICE TWICE melulu, anjir. Inget, itu umur udah masuk kepala tiga. Jangan nge-idol melulu, kenapa?”

“Tapi banyak orang yang nggak percaya kalau gue udah masuk kepala tiga dan punya anak satu. Katanya gue awet muda.”

Lo cantik, Cak. Lo selalu sama, kayak pas pertama kali kita ketemu. Masih sama, persis.

“Bas.”

“Hm?”

“Rachel baik?”

“Baik.”

“Arka?”

“Baik juga.”

“Hmm.”

“Cak.”

“Hm?”

“Gue boleh minta satu permintaan?”

“Apa?”

“Buat di sini aja. Di saat kita berdua ada di atas sini. Di Namsan Tower ini. Bolehㅡ kita nggak ngomongin keluarga kita? Maksunya, gue dengan Rachel. Lo dengan Gerhana.”

“Bisa?”

“Kenapa?”

”...” “Mesti banget gue jawab?”

“Jawab, lah.” “Kalo gue kegeeran, gimana?”

“Geer gimana?”

“Bisa aja gue geer. Bisa aja gue mikir kalo lo masih suka sama gue. Masih menaruh harap sama gue. Masih pengen bareng gue.”

Anjing. Iya, Cak. Bener, Cak. Gue masih suka sama lo. Gue masih menaruh harap ke lo. Gue masih pengen sama lo.

“Nggak.”

Tapi gimana bisa gue omongin perasaan gue ini, Cak?

“Gue cumaㅡ apa, ya?” “Kangen sama memori.” “Lo sama gue.” “Bukan ke lonya. Cuma memorinya.”

Bohong. Gue kangen lo. Persetan sama memori bajingan. Gue kangen lo. Diri lo, Cak.

“Lo pernah ngomong begitu, 'kan? Jangan kangen ke lo. Kangen sama memorinya aja.”

Cakrawala tersenyum tipis. Benar, dia yang meminta Baskara melakukan demikian. Sekarang dia tidak memiliki apapun untuk dijadikan argumen. Baskara, benar.

“Iya.” “Sorry. Gue nggak bakal tanya tentang Rachel lagi.”

Beberapa menit berikutnya, hanya terdengar ramai dari sekeliling keduanya. Mereka berdua hanya berdiri bersandar di pagar Namsan Tower.

“Bas.”

“Hm?”

“Gapapa.” “Pengen manggil lo aja.” “Kangen manggil nama lo.”

“Namanya aja?” “Orangnya nggak?”

“Kangen sama memori.” “Bukan orangnya.”

“Cih.” Baskara tertawa miring. Entah sinis, entah merasa geli. “Iya, terserah lo. Panggil aja semau hati sekarang.”

“Bas.”

“Hm?”

“Bas.”

“Apa?”

“Bas.” “Babas.” “Baskara.”

“Apa, Cak?”

“Lo percaya dunia parallel?”

“Gimana? Gimana?”

“Mungkinㅡ mungkin aja di semesta lain, lo dan gue nggak berdiri masing-masing. Mungkin, lo dan gue di semesta lain menyebut diri mereka sebagai kita.”

Baskara mengikuti arah pandangan Cakrawala. Lelaki yang lebih muda darinya itu tengah menatapi rembulan yang bersinar terang dikelilingi taburan bintang. Tatapan matanya seperti kosong, namun bibir mengulas senyum.

“Mungkin.” Baskara menjawab dengan suara beratnya. Sama-sama ikut menatapi objek langit yang sama. “Iri banget, ya?”

“Iri sama mereka di semesta lain. Bisa bareng-bareng. Menjadi kita, bukan jalan sendiri-sendiri.”

“Iya.” “Gue iri.”

“Gue juga.” “Iri banget, malah.”

Tidak ada pengakuan bahwa mereka masih saling sayang. Tidak ada kalimat yang menyatakan keduanya masih ingin bersama. Mereka menyatakan segalanya dengan satu kata, iri.

Semua emosi yang dirasa dapat terwakili dalam satu kata itu.

“Cak.”

“Hm?”

“Cak.”

“Apa?”

“Cak.” “Cacak.” “Cakrawala.”

“Apaan, Bas?”

“Makasih, ya?”

“Buat?”

“Udah ngebiarin gue ngejaga lo beberapa tahun ke belakang.”

Cakrawala diam. Tidak menjawab untuk beberapa saat, namun kemudian menyikut lengan Baskara yang tersandar di palang pagar Namsan Tower. “Emangnya gue lemah, apa? Kalimat lo bikin gue berasa kayak minta dijagain.”

Baskara terkekeh, lagi. “Nggak, Cak. Lo kuat banget. Dari semua orang yang gue kenal, lo orang yang paling pinter dan kuat.”

“Gue bangga.” “Karena orang kayak lo pernah bersedia gue jaga. Bangga aja karena bisa jaga seseorang yang serba mau usaha, nggak manja, dan tegar kayak Cakrawala jaman dulu.”

“Jaman dulu doang?” “Sekarang nggak?”

“Ya, 'kan sekarang lo nya sama Gerhana. Mana gue tau lo manja atau nggak ke dia, 'kan?”

“Katanya tadi nggak mau bawa nama keluarga?”

“Oh, iya.” “Lupa.”

Tidak ada nuansa kikuk atau sedih seperti selayaknya mantan kekasih yang dipaksa untuk bertemu di satu lokasi. Baskara dan Cakrawala, mereka memang tertawa namunㅡ entahlah, hati seseorang siapa yang tahu? Yang pasti, Baskara kini tengah mengelilingkan pandangannya ke banyak gembok dengan berbagai warna dan desain yang dikunci di sela-sela pagar.

“Cak.” “Ngunci gembok, yuk?”

“Sendiri-sendiri, tapi.”

”...” “Gembok 'kan bukan buat orang pacaran doang.”

“Apaan lagi, emangnya?”

“Temen?” “Sahabat?” “Partner?”

Itu yang bikin gue nggak mau tulis nama lo dan gue di gembok yang sama, Baskara tolol. Gimana bisa gue tahan sama kenyataan bahwa lo nulis nama kita bareng tapi lo cuma anggep gue temen?

“Nggak.” “Sendiri-sendiri aja.”

“Ya, udah, iya.” “Ayo, beli dulu gemboknya.” “Keburu tutup itu nanti tokonya.”

“Ayo, buruan!”

“Nggak usah tarik-tarik.”

”...” “Sensi bener.” “Lagi dapet, ya?”

Baper nanti guenya, setan!

“Udah, buruan sana.” “Nggak usah pake tarik tangaㅡ Bas! Bas! Heh! Lepasin, nggak?!”

“Ini bukan tarik.” “Ini genggam.” “Beda.”

“Udah, ayo buruan.”

Setan. Baper gue.

. . .

“Kok milihnya yang biru?”

Ini warna baju lo pas ketemu gue di PIM, nyet. Udah, ah! Nanya melulu! Mana bisa gue jawab jujur, sih?

“Gapapa.” “Lucu aja.” “Lo kenapa merah?”

“Ini warna baju lo.” “Waktu ketemu di PIM dulu.” “Inget, nggak?”

Bangsat. Niat bikin baper, apa?!

“Nggak.” “Emang gue pake merah?”

Baskara hanya mengangkat bahu kemudian membuka penutup spidol dengan menggigit tutupnya. “Seinget gue, sih, merah. Kalo gue, pake biru.”

“Yuk. Cepet nulis abis itu balik. Bisa mati kita kalo ketinggalan shuttle bus terakhir.”

Ujaran Baskara diikuti dengan Cakrawala yang kini tengah membungkukkan badan, menuliskan sesuatu di gembok berwarna birunya.

Mungkin hanya perlu dua menit hingga tulisan selesai dituliskan di atas gembok. Tanpa memberi tahu isi tulisan masing-masing, Baskara dan Cakrawala segera mengunci gembok masing-masing di tempat yang berbeda.

Entah. Mungkin berusaha agar isi yang tertulis di gembok tidak terlihat oleh satu sama lain. Gengsi, seperti biasa.

“Cak.” “Udah?”

Baskara sedikit berseru untuk memanggil Cakrawala karena si lelaki memilih satu ruang di sudut untuk menempatkan gemboknya. “Iya. Bentar!”

Gembok sudah terkunci di sela-sela pagar. Dengan langkah tergesa, Cakrawala segera berderap menghampiri Baskara yang tengah menatapi jam tangannya. “Udah. Ayo pulang.”

“Buruan.” “Shuttle busnya mau berangkat.”

Baskara meraih pergelangan tangan Cakrawala dan menariknya agar ikut berlari bersama menuruni undakan Namsan Tower menuju halte shuttle bus. Cakrawala? Tidak menolak seperti sebelumnya.

Sudah. Sekali ini saja. Sebelum mereka kembali ke keluarga masing-masing. Sebelum mereka kembali menjalani hari-hari sebagai pasangan dari suami dan istrinya. Hanya sekali ini saja ...

... biarkan Cakrawala merasakan kembali hangatnya tangan Baskara.

. . .

EPILOG

“Lo nulis apaan di gembok?”

“Rahasia, lah.”

”... pelit bener.” “Padahal tadi gue pengen kasih tau isi tulisan di gembok gue.”

“Siapa?”

“Gue.”

“Yang nanya?”

”...” “Lo balik sendiri ke hotel.” “Nyasar, nyasar lo.” “Bodo amat.”

“BAS!” “BASKARA!” “HEH! JANGAN PERGI!” “BABAAAAAAAAS!”

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ

Semoga kami di dunia parallel bisa bahagia selamanya. Bersama.Cakrawala, 2027.

Semoga di dunia parallel, aku tetap bisa menjadi seseorang yang menjaga dia. Selamanya, bersama.Baskara, 2027.

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ End

( Baskara Cakrawala )

▪︎ Judul : Cakrawala di Rengkuhan Baskara JILID PERTAMA ▪︎ Genre : Romantic-Comedy, Flangst. ▪︎ Rate : 18+ ▪︎ TW : BL, Social Homophobic.

Sinopsis

Baskara mengisi waktu luangnya dengan bermain role-player di twitter. Karakter yang dia pilih adalah member TWICE, Minatozaki Sana. Di dunia role-playernya, Baskara berkenalan dengan karakter Mina, salah seorang member TWICE yang lain. Baskara jatuh hati dengan cara Mina mengetikkan segala sesuatunya. Tidak dapat menahan rasa penasaran dan kagumnya, Baskara dalam sosok Sana mengajak Mina untuk bertemu secara langsung. Sayangnyaㅡ semua tidak berjalan seindah yang Baskara bayangkan.

Dibalik akun Mina, adalah seorang laki-laki : bernama Cakrawala.

▪︎ Judul : Cakrawala di Rengkuhan Baskara JILID KEDUA : Munculnya Gerhana ▪︎ Genre : Romantic-Comedy, Flangst. ▪︎ Rate : 18+ ▪︎ TW : BL, Social Homophobic.

Sinopsis

Cakrawala memutuskan untuk bercerai dengan istrinya. Baskara siap untuk mempublikasikan hubungan mereka. Namun, sialㅡ sial! Sebuah keteledoran membuat keduanya harus bertekuk lutut pada takdir.

Di tengah langit dan matahari, ada Gerhana yang muncul. Entah akan menjadi sesuatu yang baik, atau sesuatu yang merugikan.

Yang pasti, Cakrawala dan Baskara, keduanya harus memilih. Tetap teguh pada kata cinta atau memilih untuk takluk pada takdir.

Jangan hari ini.“ “Tolong. Jangan.

Seungwoo masih melemparkan pandangannya ke depan. Menatap hamparan sungai dari jembatan Mapo, tempatnya berdiri sekarang. Tangannya terasa dingin, namun ... entahlahㅡ rasa dingin yang dirasakan oleh Seungwoo sekarang, apakah memang berasal dari tangannya? Ataukah dari tangan seseorang yang masih menggenggam erat tangannya sedari tadi ini?

Jangan hari ini.“ “Jangan mati hari ini.

Jangan Hari Ini.

. . .

Bagaimana rasanya mati?

Untuk Dikenang.  

. ㅤ

Silahkan isi buku tamunya.

Ramai, sangat. Semua tertawa. Semua merasa bahagia.

Terkecuali satu orang, yaitu seorang laki-laki dengan jas berwarna hitam yang seakan melekat sempurna di tubuhnya. Lelaki jangkung yang tengah membungkukkan sedikit tubuh untuk menuliskan namanya di buku penerima tamu. Baskara.

Thank you.”

Rachel, yang tengah berdiri di samping Baskara, kini menyerahkan selembar amplop yang terlihat agak tebal kepada si penerima tamu. “Pah,” panggil Rachel kepada Baskara ketika sang suami sudah selesai menuliskan nama keduanya di buku tamu. “Mama sama Arka ke toilet dulu, ya? Daritadi udah nahan, nggak kuat.”

“Papa juga ikut,” ujar Baskara seraya menggendong Arka yang tengah mengelilingkan pandangan ke sekeliling ruang diadakannya aula pernikahan. “Sekalian mau ucapin selamat ke Gerhana juga.”

Pernikahan Cakrawala dan Gerhana. Baskara, Rachel, dan Arka tengah berada di acara pernikahan dua kerabatnya itu. Acara diadakan di Amerika Serikat, kampung halaman Gerhana juga tempat tinggal kedua orangtua kandungnya. “Bareng aja, ya?”

“Papa mau ketemu Gerhana?” “Jangan dipaksain.” “Nggak usah aja.”

Rachel berujar dengan sedikit berbisik, takut terdengar oleh Arka yang kini ada di gendongan Baskara. Padahal putra mereka tidak akan pernah paham perihal apapun yang dahulu terjadi di antara sang Ayahanda dengan sahabatnya itu. “Papa.”

“Papa.” “Papa.” Kaki Arka digerak-gerakkan, sementara tubuh mungilnya yang kini ada di pelukan Baskara sedikit menjauh dari sang Ayahanda. “Embul mana? Aka mau ketemu Embul.”

Baskara menyunggingkan senyum sebelum akhirnya mengecupi pipi Arka dengan gemas. “Kita cari Embul bareng, ya, Kak?”

Rachel yang memandangi pemandangan barusan hanya tersenyum tipis. “Ya udah, Papa sama Arka cari Embul aja, ya? Mama mau ke toilet.” Usai mengujarkan kalimatnya, Rachel mengecup bibir Baskara dan mengusapi pipinya sekilas. “Jangan maksain diri, ya?”, ujarnya sekali lagi dan dibalas dengan anggukan paham dari Baskara.

Kini, Baskara dan Arka dalam gendongannya berjalan menuju ruang rias calon pengantin. Sumpah demi apapun, Baskara dapat merasakan hatinya berdebar bukan main. Segala skenario berkelebat dalam pikiran Baskara.

Apakah dia bisa baik-baik saja setelah melihat Cakrawala nanti? Hal apa yang harus ia ujarkan nanti? Halo? Apa kabar?

Apa kau juga rindu, sepertiku?

“Om Gelhana!”

Suara Arka membuyarkan segala pikiran Baskara mengenai skenario yang mungkin terjadi. Dari sekian banyak skenario yang ia perkirakan, Baskara tidak memperkirakan hal ini. Ia tidak memperkirakan situasi dimana hanya ada Gerhana di dalam ruang rias calon pengantin. Tanpa Cakrawala.

Sedikit lega. Namun juga sedikit kecewa.

“Arka!” Gerhana yang tengah menyisiri rambut dengan jemari kanannya segera berseru lumayan kencang. Semula, tatapannya disampaikan lewat pantulan cermin namun akhirnya Gerhana membalikkan badan dan bergegas menghampiri Baskara juga Arka di gendongannya. “Arka! Om kangen Arka, lho.”

Seperti hal yang semestinya harus terjadi, Arka merentangkan tangannya ke arah Gerhana. Meminta dipeluk. Pada akhirnya, kini Arka sudah berpindah ke pelukan Gerhana sementara Baskara melayangkan pandangan ke sekeliling ruang rias.

Setengah berharap Cakrawala ada di sana, rindu karena tidak berjumpa untuk beberapa waktu. Namun setengahnya lagi berharap Cakrawala tidak ada di sana sehingga ia tidak perlu merasakan sesak di dada.

Entah. Pikiran dan hati Baskara tengah serumit itu, sekarang.

“Om Gelhana.” “Aka mau ketemu Embul.”

Baru saja Baskara akan mengucapkan selamat kepada si pengantin, Gerhana, tiba-tiba Arka sudah merengek. Ingin bertemu dengan Rembulan.

“Arka. Jangan ngerepotin Om Gerhana. Sini, sama Papa ajㅡ”

“Santai, Bas.” “Gue anter Arka dulu.” “Embul lagi sama Neneknya.”

“Lo tunggu sini aja, ya?” “Gue balik asap.” “Wait!”

Sosok Gerhana menghilang di balik pintu ruang rias yang perlahan tertutup, meninggalkan Baskara yang berdiri di tengah ruangan. Sendirian. Tidak ada siapa-siapa di sana, hanya iaㅡ sendiri.

Baskara mengedarkan pandangan ke sekeliling. Pemandangan ini tidak asing. Ada banyak alat rias di atas meja, bau harum dari pengharum ruangan yang khas, juga banyak buket bunga di pojok ruanganㅡ mungkin hadiah pemberian kenalan Gerhana atau Cakrawala.

Dulu, Baskara pernah merasakannya. Pemandangan ini sangat familiar baginya karena Baskara juga mengalaminya ketika menikahi Rachel. Cahaya yang sangat terang dari lampu meja rias, sampai-sampai seperti membuat hampir buta karena silau. Bau harum dari bunga ini-itu yang bercampur dengan harum berbagai alat rias. Semua suasana yang begitㅡ

“Makanya, kalau punya barang tuh dijaga. Masa' bisa sampe ketinggalan di aulㅡ”

Pintu ruang rias pengantin terbuka, diikuti dengan suara yang sangat tidak asing di telinga Baskara. Suara yang pernah mengisi setiap malamnya. Suara yang pernah menjadi candu yang tiada penawarnya.

Cakrawala.

Cakrawala, ada di sana. Berdiri di pintu ruang rias dengan sebelah tangan masih memegangi kenop pintu dan sebelahnya lagi membawa dompet berwarna hitam. Matanya sedikit membelalak ketika menyadari Baskara ada di situ, di ruang rias pengantin yang semestinya ditempati oleh Gerhana.

Satu detik. Dua detik. Tiga detiㅡ

“Hai.”

Baskara membuka suara terlebih dulu, diikuti dengan tangan kanan yang terangkat. Melambai ke arah Cakrawala yang masih terkesiap sebelum akhirnya balas tersenyum tipis. “Gerhana keluar dulu, bentar. Katanya mau anter Arka ketemu Embul.”

Cakrawala mengangguk kecil, masih tidak bersuara maupun berujar apapun. Si lelaki yang lebih muda kini mengenakan jas berwarna putih yang melekat dengan sempurna di tubuhnya, seakan Cakrawala memang ditakdirkan untuk mengenakan jas itu.

Lagi. Lagi dan lagi, Baskara terus saja menganggap Cakrawala manis. Bahkan tatkala si yang lebih muda bukan lagi menjadi miliknya, masih saja kata manis terus berkelebat di benak.

“Gue nunggu di sini, boleh?”

Kaku. Kikuk.

Padahal dahulu Baskara dan Cakrawala pernah sedekat nadi. Pernah saling melengkapi. Pernah tak ragu untuk memberi peluk tanpa permisi. Namun, kini? Bahkan untuk sekedar menunggu di ruang yang sama pun membuat Baskara maupun Cakrawala sesak setengah mati.

“Boleh.” “Santai aja.”

Cakrawala menjawab dengan menyunggingkan senyum tipis namun tetap membuat lesung di kedua sisi pipinya terlihat jelas. Ah, sudah berapa lama semenjak Baskara terakhir kali melihat senyum itu, ya?

Memutuskan untuk tidak melanjutkan perbincangan, Baskara segera menempatkan punggungnya ke sandaran sofa di ruang rias pengantin. Sementara Cakrawala memilih untuk beranjak ke meja rias, mematut diri dan merapikan jas putih kenaannya.

Suara jarum jam tidak pernah senyaring ini. Suara helaan nafas tidak pernah seberisik ini. Baik Cakrawala dan Baskara, dua-duanya memilih untuk tidak bersuara dan hanya melakukan apa yang tengah mereka lakukan. Sendiri-sendiri.

“Nyampe jam berapa?”

Mungkin sekitar dua menit setelah Baskara duduk di sofa, akhirnya Cakrawala membuka suara. Tubuh si yang lebih muda masih memunggungi Baskara, hanya saja tatapannya terpantulkan dari cermin meja rias.

“Kemarin malem.”

“Rachel?”

“Toilet.”

“Hmm.”

Sudah. Percakapan terhenti sampai di situ. Baskara tidak tahu harus mengangkat topik perihal apa lagi. Cakrawala pun demikian. Ia hanya berdiri menghadap ke meja rias sementara kedua tangannya kini meraih dasi yang telah melingkar di leher.

Memang, dasinya sudah terpasang namunㅡ agak miring. Dia sendiri tidak puas dengan warna yang dipilihkan sang penata rias. Rasanya ia terlihat seperti pelayan di tengah acara pesta dibanding sebagai pengantin. Padahal Gerhana bilang bahwa ia sengaja mendatangkan penata rias yang berpengalaman.

Cish. Berpengalaman apanya?

“Sini.”

Tanpa Cakrawala sadari, Baskara sudah berdiri di sampingnya dan membawa sebuah dasi berwarna lain dengan yang melingkar di leher si yang lebih muda. Lagi, kali ini tanpa permisi, Baskara mengarahkan tubuh Cakrawala agar menghadap ke arahnya.

Mereka kini berhadapan. Lagi, Cakrawala sesak.

Ingat, tidak? Sewaktu dulu, Cakrawala pernah bilang bahwa dari tubuh Baskara selalu ada wangi percampuran seperti harum apel dan jeruk yang membuatnya betah berada di sisinya terus-menerus?

Sekarang pun, demikian. Wangi itu masih ada. Apel dan jeruk. Manis.

Mereka kini berhadapan. Lagi, Baskara sesak.

Sebisa mungkin, Baskara bersikap biasa dan sewajarnya. Namun tatkala tangannya menyentuh pundak Cakrawala agar mereka bisa berhadapan, jantungnya segera berdegup tidak menentu. Terlalu cepat.

“Lo mau-mauan aja dipakein dasi warna begini, lagian.” Baskara berujar, sementara tangannya kini melonggarkan dasi di leher Cakrawala. “Kayak waiter,” lanjutnya dan dibalas dengan senyum tipis dari Cakrawala.

“Gerhana bilang si MUA nya udah punya jam kerja tinggi.” Balasan Cakrawala ditanggapi dengan anggukan kecil dari Baskara.

Si yang lebih tua sangat terampil dalam hal memasang dasi sehingga hanya perlu hitungan detik baginya sampai simpul dasi di leher Cakrawala terpasang dengan baik. “Lain kali, kalau lo nggak suka sama apa yang Gerhana pilihinㅡ bilang langsung ke dia. Jangan iya-iya sama terima aja. Dia bego, susah dikodein.”

Cakrawala tertawa kecil. Tangannya terangkat, merapikan jas yang menjadi kenaan. “Dia selalu pikirin banyak hal sebelum kasih atau minta apapun dari gue. Santai. MUAnya keren, emang. Cuma ya, di dasi doang agak payah.”

“Nggak sampe fatal dan bikin gue mesti nolak ide atau pemberian dia.”

Baskara tidak tahu ekspresi wajahnya sekarang sudah seperti apa. Apakah senyumnya terlihat kecut? Apakah wajahnya masam? Entah.

Cakrawala, membicarakan perihal Gerhana dengan sesantai itu. Seperti tidak tahu bahwa Baskara di sini tengah merasakan sakit hati tak terkira setiap kali mendengar nama Gerhana terucap dari bibirnya diiringi senyum manis dan bahagia.

Baskara memang munafik. Dahulu, ia sendiri yang meminta Gerhana untuk menjaga Cakrawala. Namun tatkala Gerhana mengiyakan juga mengabulkan permintaan Baskara dengan jauh lebih baik (menikahi Cakrawala, malah), Baskara malah sakit hati.

Bodoh. Tolol. Idiot. Ini namanya tidak ikhlas. Munafik, Baskara.

“Jahat, ya?”

Baskara memasukkan tangannya ke dalam saku celana sementara kepalanya dimiringkan. Cakrawala mengernyitkan alis, bingung akan maksud pembicaraan Baskara sekarang. “Siapa yang jahat? Gue?”

“Bukan lo.” “Takdir.”

“Takdir kita berdua.” “Jahat banget, sumpah.”

Cakrawala mengerjapkan matanya sekali, dua kali, sebelum akhirnya mengulas senyum yang teramat tipis. “Nggak, Bas.”

“Takdir nggak jahat.” “Sedari awal, yang namanya takdir itu abu-abu. Lo sama gue, dulu, kita terlalu terpaku perihal arti bahwa takdir itu selalu berakhir bahagia.”

“Dulu, lo sama gue, kita berdua terlalu berpendirian bahwa kalimat lo takdir gue berarti hal yang baik.”

“Padahal takdir itu, abu-abu.”

Lo takdir gue.” “Bener, Bas. Kita takdir.” “Kita ditakdirin buat ngejalanin apa yang dinamain sebagai takdir. Takdir itu punya banyak kemungkinan, entah berakhir tawa atau derai air mata.”

“Kita lupa, bahwa takdir bisa berakhir dengan dua kemungkinan itu. Kita lupa, bahwa terkadang takdir cuma kasih kita kesempatan buat saling mengenal tanpa harus berakhir memiliki.”

“Dulu kita senaif itu, Bas.”

Di dalam saku celananya, Baskara mengepalkan tangan. Ingin membantah perkataan Cakrawala, namun ia bisa apa? Semakin ia membantah, semakin terlihat bahwa Baskara masih belum rela melepaskan Cakrawala untuk mencari bahagianya.

“Itu bukan naif, Cak.” “Itu namanya tulus.”

“Gue paham.” “Gue tau. Gue bisa rasain.” “Ketulusan lo ke gue, Bas ..” “.. kerasa banget.” “Saking kerasanya, kadang gue ngerasa sesak sendiri setiap kali lo lakuin segala hal tulus itu ke gue.”

Sorry, gue ..”

Baskara memijat pelipisnya. Pening. Rasanya segala emosi di dalam dirinya bisa segera meledak jika Cakrawala terus berujar begini tentangnya. Membicarakan segala yang baik-baik, mengatakan segala yang positif, padahal semuanya negatif. Tidak ada hal yang baik dari situasi sekarang ini.

”.. gue tau nggak semestinya gue ngomong begini di hari istimewa lo. Gue cuma ..”

”.. cuma ..”

Kangen.”

Baskara dan Cakrawala, keduanya berujar berbarengan. Bedanya, Baskara mengucapkannya sembari tertunduk dan menggaruki tengkuk leher sementara Cakrawala mengucapkannya lurus-lurus. “Gue tau, Bas,” lanjut Cakrawala. “Gue juga kangen, banget.”

“Cuma gue tahu dengan jelas apa yang gue kangenin. Gue kangen kenangan yang pernah kita jalanin bareng. Gue kangen dengan segala tawa yang kita lakuin bareng. Gue kangen memori tentang kita.”

“Memori, Bas.” “Memori. Hal yang nggak bisa dikembalikan sekeras apapun usaha kita. Itu, memori. Ada untuk dikenang aja, bukan untuk dijalanin lagi.”

Sakit. Ternyata sesakit ini. Rasanya seperti ditikam pisau tak kasat mata tepat di ulu hati.

“Gue paham.”

Baskara tidak lagi menunduk. Kini ia menatap Cakrawala lurus-lurus, seakan ingin memberi tahu kepada si yang lebih muda bahwa ia juga siap untuk melepaskan segala tentang mereka dan menjadikan semua sebagai memori untuk dikenang.

“Bas.” “Gue bakal inget tentang lo, selalu. Ketika gue lewatin jalanan dengan angin yang berhembus sejuk, gue bakal inget lo. Ketika gue denger lagu yang pernah kita denger bareng, gue bakal inget lo. Ketika gue lihat pelangi yang muncul setelah hujan, gue bakal inget lo.”

“Gue bakal selalu inget.” “Karena segala tentang lo, pernah menjadi keseharian gue. Nggak akan semudah itu gue bisa lupain lo.”

“Perlahan-lahan, gue coba.” “Perlahan-lahan, walau gue yakin bakal susah banget buat dilakuin. Gue bakal coba.”

“Jadi, lo juga coba, ya?” “Pelan-pelan, lupain gue.” “Inget memori kita aja.” “Jangan inget gue. Ya?”

Baskara menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Mencoba menahan agar air matanya tidak jatuh. Mencoba menerima segala ucapan Cakrawala biarpunㅡ pahit, sangat.

“Iya.” “Gue juga coba.”

Cakrawala tersenyum sebelum akhirnya mengusak rambut Baskara, perlahan. “Jangan cemberut. Mending lo peluk gue. Sini,” usai mengucapkan kalimatnya, Cakrawala merentangkan tangannya lebar-lebar.

Baskara mendengus kecil, namun tetap bergerak untuk memeluk Cakrawala di hadapannya. Pelukannya erat. Bukan pelukan erat yang tidak ingin melepaskan, namun ini adalah pelukan erat yang ingin merasakan setiap detik yang tersisa sebelum akhirnya hilang binasa.

“Makasih, ya, Bas?”

Di tengah pelukan erat keduanya, Cakrawala berujar pelan. Baskara mengangguk kecil seraya mengusapi punggung Cakrawala. “Gue juga, Cak.”

“Makasih, buat semuanya.” “Buat segala tawa dan bahagia.” “Buat segala tangis dan air mata.”

“Gue .. makasih.” “Banget.”

Terima kasih, atas segala luka. Terima kasih, atas segala tawa. Terima kasih, atas bukti bahwa tidak bisa bersama bisa jadi akhir yang bahagia.

. . .

selesai. ( @dontlockhimup )

Untuk Dikenang.  

. ㅤ

Silahkan isi buku tamunya.

Ramai, sangat. Semua tertawa. Semua merasa bahagia.

Terkecuali satu orang, yaitu seorang laki-laki dengan jas berwarna hitam yang seakan melekat sempurna di tubuhnya. Lelaki jangkung yang tengah membungkukkan sedikit tubuh untuk menuliskan namanya di buku penerima tamu. Baskara.

Thank you.”

Rachel, yang tengah berdiri di samping Baskara, kini menyerahkan selembar amplop yang terlihat agak tebal kepada si penerima tamu. “Pah,” panggil Rachel kepada Baskara ketika sang suami sudah selesai menuliskan nama keduanya di buku tamu. “Mama sama Arka ke toilet dulu, ya? Daritadi udah nahan, nggak kuat.”

“Papa juga ikut,” ujar Baskara seraya menggendong Arka yang tengah mengelilingkan pandangan ke sekeliling ruang diadakannya aula pernikahan. “Sekalian mau ucapin selamat ke Gerhana juga.”

Pernikahan Cakrawala dan Gerhana. Baskara, Rachel, dan Arka tengah berada di acara pernikahan dua kerabatnya itu. Acara diadakan di Amerika Serikat, kampung halaman Gerhana juga tempat tinggal kedua orangtua kandungnya. “Bareng aja, ya?”

“Papa mau ketemu Gerhana?” “Jangan dipaksain.” “Nggak usah aja.”

Rachel berujar dengan sedikit berbisik, takut terdengar oleh Arka yang kini ada di gendongan Baskara. Padahal putra mereka tidak akan pernah paham perihal apapun yang dahulu terjadi di antara sang Ayahanda dengan sahabatnya itu. “Papa.”

“Papa.” “Papa.” Kaki Arka digerak-gerakkan, sementara tubuh mungilnya yang kini ada di pelukan Baskara sedikit menjauh dari sang Ayahanda. “Embul mana? Aka mau ketemu Embul.”

Baskara menyunggingkan senyum sebelum akhirnya mengecupi pipi Arka dengan gemas. “Kita cari Embul bareng, ya, Kak?”

Rachel yang memandangi pemandangan barusan hanya tersenyum tipis. “Ya udah, Papa sama Arka cari Embul aja, ya? Mama mau ke toilet.” Usai mengujarkan kalimatnya, Rachel mengecup bibir Baskara dan mengusapi pipinya sekilas. “Jangan maksain diri, ya?”, ujarnya sekali lagi dan dibalas dengan anggukan paham dari Baskara.

Kini, Baskara dan Arka dalam gendongannya berjalan menuju ruang rias calon pengantin. Sumpah demi apapun, Baskara dapat merasakan hatinya berdebar bukan main. Segala skenario berkelebat dalam pikiran Baskara.

Apakah dia bisa baik-baik saja setelah melihat Cakrawala nanti? Hal apa yang harus ia ujarkan nanti? Halo? Apa kabar?

Apa kau juga rindu, sepertiku?

“Om Gelhana!”

Suara Arka membuyarkan segala pikiran Baskara mengenai skenario yang mungkin terjadi. Dari sekian banyak skenario yang ia perkirakan, Baskara tidak memperkirakan hal ini. Ia tidak memperkirakan situasi dimana hanya ada Gerhana di dalam ruang rias calon pengantin. Tanpa Cakrawala.

Sedikit lega. Namun juga sedikit kecewa.

“Arka!” Gerhana yang tengah menyisiri rambut dengan jemari kanannya segera berseru lumayan kencang. Semula, tatapannya disampaikan lewat pantulan cermin namun akhirnya Gerhana membalikkan badan dan bergegas menghampiri Baskara juga Arka di gendongannya. “Arka! Om kangen Arka, lho.”

Seperti hal yang semestinya harus terjadi, Arka merentangkan tangannya ke arah Gerhana. Meminta dipeluk. Pada akhirnya, kini Arka sudah berpindah ke pelukan Gerhana sementara Baskara melayangkan pandangan ke sekeliling ruang rias.

Setengah berharap Cakrawala ada di sana, rindu karena tidak berjumpa untuk beberapa waktu. Namun setengahnya lagi berharap Cakrawala tidak ada di sana sehingga ia tidak perlu merasakan sesak di dada.

Entah. Pikiran dan hati Baskara tengah serumit itu, sekarang.

“Om Gelhana.” “Aka mau ketemu Embul.”

Baru saja Baskara akan mengucapkan selamat kepada si pengantin, Gerhana, tiba-tiba Arka sudah merengek. Ingin bertemu dengan Rembulan.

“Arka. Jangan ngerepotin Om Gerhana. Sini, sama Papa ajㅡ”

“Santai, Bas.” “Gue anter Arka dulu.” “Embul lagi sama Neneknya.”

“Lo tunggu sini aja, ya?” “Gue balik asap.” “Wait!”

Sosok Gerhana menghilang di balik pintu ruang rias yang perlahan tertutup, meninggalkan Baskara yang berdiri di tengah ruangan. Sendirian. Tidak ada siapa-siapa di sana, hanya iaㅡ sendiri.

Baskara mengedarkan pandangan ke sekeliling. Pemandangan ini tidak asing. Ada banyak alat rias di atas meja, bau harum dari pengharum ruangan yang khas, juga banyak buket bunga di pojok ruanganㅡ mungkin hadiah pemberian kenalan Gerhana atau Cakrawala.

Dulu, Baskara pernah merasakannya. Pemandangan ini sangat familiar baginya karena Baskara juga mengalaminya ketika menikahi Rachel. Cahaya yang sangat terang dari lampu meja rias, sampai-sampai seperti membuat hampir buta karena silau. Bau harum dari bunga ini-itu yang bercampur dengan harum berbagai alat rias. Semua suasana yang begitㅡ

“Makanya, kalau punya barang tuh dijaga. Masa' bisa sampe ketinggalan di aulㅡ”

Pintu ruang rias pengantin terbuka, diikuti dengan suara yang sangat tidak asing di telinga Baskara. Suara yang pernah mengisi setiap malamnya. Suara yang pernah menjadi candu yang tiada penawarnya.

Cakrawala.

Cakrawala, ada di sana. Berdiri di pintu ruang rias dengan sebelah tangan masih memegangi kenop pintu dan sebelahnya lagi membawa dompet berwarna hitam. Matanya sedikit membelalak ketika menyadari Baskara ada di situ, di ruang rias pengantin yang semestinya ditempati oleh Gerhana.

Satu detik. Dua detik. Tiga detiㅡ

“Hai.”

Baskara membuka suara terlebih dulu, diikuti dengan tangan kanan yang terangkat. Melambai ke arah Cakrawala yang masih terkesiap sebelum akhirnya balas tersenyum tipis. “Gerhana keluar dulu, bentar. Katanya mau anter Arka ketemu Embul.”

Cakrawala mengangguk kecil, masih tidak bersuara maupun berujar apapun. Si lelaki yang lebih muda kini mengenakan jas berwarna putih yang melekat dengan sempurna di tubuhnya, seakan Cakrawala memang ditakdirkan untuk mengenakan jas itu.

Lagi. Lagi dan lagi, Baskara terus saja menganggap Cakrawala manis. Bahkan tatkala si yang lebih muda bukan lagi menjadi miliknya, masih saja kata manis terus berkelebat di benak.

“Gue nunggu di sini, boleh?”

Kaku. Kikuk.

Padahal dahulu Baskara dan Cakrawala pernah sedekat nadi. Pernah saling melengkapi. Pernah tak ragu untuk memberi peluk tanpa permisi. Namun, kini? Bahkan untuk sekedar menunggu di ruang yang sama pun membuat Baskara maupun Cakrawala sesak setengah mati.

“Boleh.” “Santai aja.”

Cakrawala menjawab dengan menyunggingkan senyum tipis namun tetap membuat lesung di kedua sisi pipinya terlihat jelas. Ah, sudah berapa lama semenjak Baskara terakhir kali melihat senyum itu, ya?

Memutuskan untuk tidak melanjutkan perbincangan, Baskara segera menempatkan punggungnya ke sandaran sofa di ruang rias pengantin. Sementara Cakrawala memilih untuk beranjak ke meja rias, mematut diri dan merapikan jas putih kenaannya.

Suara jarum jam tidak pernah senyaring ini. Suara helaan nafas tidak pernah seberisik ini. Baik Cakrawala dan Baskara, dua-duanya memilih untuk tidak bersuara dan hanya melakukan apa yang tengah mereka lakukan. Sendiri-sendiri.

“Nyampe jam berapa?”

Mungkin sekitar dua menit setelah Baskara duduk di sofa, akhirnya Cakrawala membuka suara. Tubuh si yang lebih muda masih memunggungi Baskara, hanya saja tatapannya terpantulkan dari cermin meja rias.

“Kemarin malem.”

“Rachel?”

“Toilet.”

“Hmm.”

Sudah. Percakapan terhenti sampai di situ. Baskara tidak tahu harus mengangkat topik perihal apa lagi. Cakrawala pun demikian. Ia hanya berdiri menghadap ke meja rias sementara kedua tangannya kini meraih dasi yang telah melingkar di leher.

Memang, dasinya sudah terpasang namunㅡ agak miring. Dia sendiri tidak puas dengan warna yang dipilihkan sang penata rias. Rasanya ia terlihat seperti pelayan di tengah acara pesta dibanding sebagai pengantin. Padahal Gerhana bilang bahwa ia sengaja mendatangkan penata rias yang berpengalaman.

Cish. Berpengalaman apanya?

“Sini.”

Tanpa Cakrawala sadari, Baskara sudah berdiri di sampingnya dan membawa sebuah dasi berwarna lain dengan yang melingkar di leher si yang lebih muda. Lagi, kali ini tanpa permisi, Baskara mengarahkan tubuh Cakrawala agar menghadap ke arahnya.

Mereka kini berhadapan. Lagi, Cakrawala sesak.

Ingat, tidak? Sewaktu dulu, Cakrawala pernah bilang bahwa dari tubuh Baskara selalu ada wangi percampuran seperti harum apel dan jeruk yang membuatnya betah berada di sisinya terus-menerus?

Sekarang pun, demikian. Wangi itu masih ada. Apel dan jeruk. Manis.

Mereka kini berhadapan. Lagi, Baskara sesak.

Sebisa mungkin, Baskara bersikap biasa dan sewajarnya. Namun tatkala tangannya menyentuh pundak Cakrawala agar mereka bisa berhadapan, jantungnya segera berdegup tidak menentu. Terlalu cepat.

“Lo mau-mauan aja dipakein dasi warna begini, lagian.” Baskara berujar, sementara tangannya kini melonggarkan dasi di leher Cakrawala. “Kayak waiter,” lanjutnya dan dibalas dengan senyum tipis dari Cakrawala.

“Gerhana bilang si MUA nya udah punya jam kerja tinggi.” Balasan Cakrawala ditanggapi dengan anggukan kecil dari Baskara.

Si yang lebih tua sangat terampil dalam hal memasang dasi sehingga hanya perlu hitungan detik baginya sampai simpul dasi di leher Cakrawala terpasang dengan baik. “Lain kali, kalau lo nggak suka sama apa yang Gerhana pilihinㅡ bilang langsung ke dia. Jangan iya-iya sama terima aja. Dia bego, susah dikodein.”

Cakrawala tertawa kecil. Tangannya terangkat, merapikan jas yang menjadi kenaan. “Dia selalu pikirin banyak hal sebelum kasih atau minta apapun dari gue. Santai. MUAnya keren, emang. Cuma ya, di dasi doang agak payah.”

“Nggak sampe fatal dan bikin gue mesti nolak ide atau pemberian dia.”

Baskara tidak tahu ekspresi wajahnya sekarang sudah seperti apa. Apakah senyumnya terlihat kecut? Apakah wajahnya masam? Entah.

Cakrawala, membicarakan perihal Gerhana dengan sesantai itu. Seperti tidak tahu bahwa Baskara di sini tengah merasakan sakit hati tak terkira setiap kali mendengar nama Gerhana terucap dari bibirnya diiringi senyum manis dan bahagia.

Baskara memang munafik. Dahulu, ia sendiri yang meminta Gerhana untuk menjaga Cakrawala. Namun tatkala Gerhana mengiyakan juga mengabulkan permintaan Baskara dengan jauh lebih baik (menikahi Cakrawala, malah), Baskara malah sakit hati.

Bodoh. Tolol. Idiot. Ini namanya tidak ikhlas. Munafik, Baskara.

“Jahat, ya?”

Baskara memasukkan tangannya ke dalam saku celana sementara kepalanya dimiringkan. Cakrawala mengernyitkan alis, bingung akan maksud pembicaraan Baskara sekarang. “Siapa yang jahat? Gue?”

“Bukan lo.” “Takdir.”

“Takdir kita berdua.” “Jahat banget, sumpah.”

Cakrawala mengerjapkan matanya sekali, dua kali, sebelum akhirnya mengulas senyum yang teramat tipis. “Nggak, Bas.”

“Takdir nggak jahat.” “Sedari awal, yang namanya takdir itu abu-abu. Lo sama gue, dulu, kita terlalu terpaku perihal arti bahwa takdir itu selalu berakhir bahagia.”

“Dulu, lo sama gue, kita berdua terlalu berpendirian bahwa kalimat lo takdir gue berarti hal yang baik.”

“Padahal takdir itu, abu-abu.”

Lo takdir gue.” “Bener, Bas. Kita takdir.” “Kita ditakdirin buat ngejalanin apa yang dinamain sebagai takdir. Takdir itu punya banyak kemungkinan, entah berakhir tawa atau derai air mata.”

“Kita lupa, bahwa takdir bisa berakhir dengan dua kemungkinan itu. Kita lupa, bahwa terkadang takdir cuma kasih kita kesempatan buat saling mengenal tanpa harus berakhir memiliki.”

“Dulu kita senaif itu, Bas.”

Di dalam saku celananya, Baskara mengepalkan tangan. Ingin membantah perkataan Cakrawala, namun ia bisa apa? Semakin ia membantah, semakin terlihat bahwa Baskara masih belum rela melepaskan Cakrawala untuk mencari bahagianya.

“Itu bukan naif, Cak.” “Itu namanya tulus.”

“Gue paham.” “Gue tau. Gue bisa rasain.” “Ketulusan lo ke gue, Bas ..” “.. kerasa banget.” “Saking kerasanya, kadang gue ngerasa sesak sendiri setiap kali lo lakuin segala hal tulus itu ke gue.”

Sorry, gue ..”

Baskara memijat pelipisnya. Pening. Rasanya segala emosi di dalam dirinya bisa segera meledak jika Cakrawala terus berujar begini tentangnya. Membicarakan segala yang baik-baik, mengatakan segala yang positif, padahal semuanya negatif. Tidak ada hal yang baik dari situasi sekarang ini.

”.. gue tau nggak semestinya gue ngomong begini di hari istimewa lo. Gue cuma ..”

”.. cuma ..”

Kangen.”

Baskara dan Cakrawala, keduanya berujar berbarengan. Bedanya, Baskara mengucapkannya sembari tertunduk dan menggaruki tengkuk leher sementara Cakrawala mengucapkannya lurus-lurus. “Gue tau, Bas,” lanjut Cakrawala. “Gue juga kangen, banget.”

“Cuma gue tahu dengan jelas apa yang gue kangenin. Gue kangen kenangan yang pernah kita jalanin bareng. Gue kangen dengan segala tawa yang kita lakuin bareng. Gue kangen memori tentang kita.”

“Memori, Bas.” “Memori. Hal yang nggak bisa dikembalikan sekeras apapun usaha kita. Itu, memori. Ada untuk dikenang aja, bukan untuk dijalanin lagi.”

Sakit. Ternyata sesakit ini. Rasanya seperti ditikam pisau tak kasat mata tepat di ulu hati.

“Gue paham.”

Baskara tidak lagi menunduk. Kini ia menatap Cakrawala lurus-lurus, seakan ingin memberi tahu kepada si yang lebih muda bahwa ia juga siap untuk melepaskan segala tentang mereka dan menjadikan semua sebagai memori untuk dikenang.

“Bas.” “Gue bakal inget tentang lo, selalu. Ketika gue lewatin jalanan dengan angin yang berhembus sejuk, gue bakal inget lo. Ketika gue denger lagu yang pernah kita denger bareng, gue bakal inget lo. Ketika gue lihat pelangi yang muncul setelah hujan, gue bakal inget lo.”

“Gue bakal selalu inget.” “Karena segala tentang lo, pernah menjadi keseharian gue. Nggak akan semudah itu gue bisa lupain lo.”

“Perlahan-lahan, gue coba.” “Perlahan-lahan, walau gue yakin bakal susah banget buat dilakuin. Gue bakal coba.”

“Jadi, lo juga coba, ya?” “Pelan-pelan, lupain gue.” “Inget memori kita aja.” “Jangan inget gue. Ya?”

Baskara menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Mencoba menahan agar air matanya tidak jatuh. Mencoba menerima segala ucapan Cakrawala biarpunㅡ pahit, sangat.

“Iya.” “Gue juga coba.”

Cakrawala tersenyum sebelum akhirnya mengusak rambut Baskara, perlahan. “Jangan cemberut. Mending lo peluk gue. Sini,” usai mengucapkan kalimatnya, Cakrawala merentangkan tangannya lebar-lebar.

Baskara mendengus kecil, namun tetap bergerak untuk memeluk Cakrawala di hadapannya. Pelukannya erat. Bukan pelukan erat yang tidak ingin melepaskan, namun ini adalah pelukan erat yang ingin merasakan setiap detik yang tersisa sebelum akhirnya hilang binasa.

“Makasih, ya, Bas?”

Di tengah pelukan erat keduanya, Cakrawala berujar pelan. Baskara mengangguk kecil seraya mengusapi punggung Cakrawala. “Gue juga, Cak.”

“Makasih, buat semuanya.” “Buat segala tawa dan bahagia.” “Buat segala tangis dan air mata.”

“Gue .. makasih.” “Banget.”

Terima kasih, atas segala luka. Terima kasih, atas segala tawa. Terima kasih, atas bukti bahwa tidak bisa bersama bisa jadi akhir yang bahagia.

. . .

selesai. ( @dontlockhimup )