dontlockhimup

Pergelangan tangannya sakit.

Itu adalah hal yang paling pertama Baskara rasakan ketika perlahan membuka kelopak matanya. Lalu detik berikutnya, hal yang Baskara sadari adalah Cakrawala di sampingnya. Lelaki yang lebih muda darinya itu kini sedang berlutut di atas kasur, dengan kedua tangan mengikatkan tali ke ujung pilar kepala tempat tidur.

Tali. Iya, benar. Tali. Mengikat tangan Baskara. Kiri dan kanan, catat itu.

Baskara mengerjapkan matanya beberapa kali. Tidak paham dengan situasi yang terjadi, apalagi kini kedua tangannya terentang dan terangkat karena ikatan tali ke masing-masing pilar kepala tempat tidur.

“Cak?”

Suara Baskara serak. Sudah berapa lama ia tertidur? Seingatnya, hingga jarum jam menunjuk ke angka 12 pun Baskara masih terjaga untuk menunggui kedatangan si kekasih. Dilirik olehnya jam yang tergantung di dinding kamar, pukul satu dini hari.

Gila. Ke mana saja, dia?

“Cak.” “Lo ngapain?”

“Mau kasih lo hadiah.”

Cakrawala berujar dengan nada ringan, namun bukan nada ringan yang biasa ia ucapkan. Ini nada ringan seakan ia sudah merasa percaya diri dengan apa yang akan ia lakukan.

Benar saja. Tepat setelah kalimat barusan diucapkan dan Baskara yang tidak bisa menggerakkan tangannya karena diikat oleh tali tautan Cakrawala, kini si yang lebih muda segera menurunkan celana pendek yang dikenakan Baskara dalam sekali tarikan. Alhasil, milik Baskara terekspos jelas tanpa terhalangi apapun.

“Bas.” “Lo abis solo?”

Pertanyaan dilontarkan oleh Cakrawala sementara kini tangannya bergerak naik turun di milik Baskara. “Pengen banget main sama gue atau gimana?”

“A-aah, Cak ..”

Sumpah. Tangan Cakrawala bisa membuat siapapun candu. Baskara pun mengakuinya begitu. Buktinya, sekarang si yang lebih tua tengah mengepalkan tangannya kuat-kuat agar tidak mengaku kalah di hadapan si laki-laki yang biasa menjadi bawahannya ini. “Cak. Lo — mau ngapain?”

Aliran darah di tubuh Baskara rasanya berdesir lebih cepat dari biasanya. Tatkala bersama Cakrawala, segala fungsi tubuhnya memang tidak pernah normal namun kali ini semua benar-benar berbeda.

Ini pengalaman pertama bagi Baskara untuk merasakan hal begini.

Perasaan ketika ruang geraknya dibatasi. Perasaan ketika seseorang melakukan sesuatu untuknya sementara ia hanya perlu menerima. Perasaan yang membuatnya seperti dikekang.

Cakrawala masih tidak menjawab pertanyaan Baskara. Dengan sebelah tangannya yang bebas, Cakrawala menurunkan celana training yang membalut tubuh bagian bawahnya. Tidak penuh, hanya setengah namun cukup untuk membebaskan miliknya yang (entah bagaimana) sudah terlihat tegang.

“Enak?”

Pertanyaan itu biasanya tidak pernah dilontarkan oleh Cakrawala. Seharusnya pertanyaan itu mutlak milik Baskara.

Namun kali ini berbeda, Cakrawala mengatakannyaㅡ juga dengan gerak tangan yang naik turun di milik Baskara dengan tempo lebih cepat. “Enak, Bas?”

“Enak dimainin begini?”

Baskara berusaha untuk tidak mendesah. Namun gerak tangan Cakrawala terlalu memabukkan. Nikmat. Nikmat. Nikmat.

“H-hh ..”

Baskara menggigit bibir bawahnya. Tidak, ia tidak mau dipermainkan begini oleh Cakrawala. Ia adalah pemimpin di dalam hubungan mereka, tidak boleh ada yang mengubah perihal itu.

“Bas.” “Lo pernah bayangin?” “Gimana perasaan gue sewaktu disodok sama lo, hm?”

“Pernah?”

Nada bicara Cakrawala terdengar penuh afeksi, namun tidak demikian dengan jemari di sebelah tangan lainnya. Awalnya sebelah tangan Cakrawala yang lain memang mengusapi buah zakar Baskara, namun perlahan jemarinya bergerak turun untuk memasuki liang kenikmatan milik Baskara.

Satu jari telunjuk saja sudah sulit untuk Cakrawala lesakkan ke liang milik Baskara. Sekilas, Cakrawala tersenyum. “Lo inget, omongan lo waktu pertama kali kita ML?”

Sempit banget, Cak.“ “Sempit, enak banget jepit punya gue. Anjing. Cak. Enak banget, Cak. Fuck. Bangsatㅡ lo .. gue cuma mau ngewe sama lo.

“Inget?”

Seiring ucapan Cakrawala diujarkan, jemari si yang lebih muda perlahan ditambah jumlahnya untuk dilesakkan satu persatu. Tidak bisa penuh hingga empat-atau-lima, bahkan untuk melesakkan jari ketiganya pun Cakrawala sudah kesusahan.

Cakrawala kesusahan. Baskara kebingungan.

Rasa panas di dalam tubuh Baskara seperti akan meledak ketika jari ketiga Cakrawala mencoba menembus liangnya. Sakit. Demi apapun, sakit. Baskara tidak habis pikir bagaimana Cakrawala bisa berujar enak ketika dihujam oleh miliknya, coba?

Tubuh Baskara melengkung sementara tangannya masih terentang di ikatan tali, saking tidak kuat menahan sakit juga nikmat yang menyerang bersamaan. Jemari Cakrawala juga tidak kalah panjangnya dengan jemari Baskara. Di saat begini, Baskara baru mengetahui sebagaimana panjangnya milik Cakrawala.

Lihat. Seperti ingin menggoda Baskara, Cakrawala terus menepuk-nepukkan kejantanannya ke paha si yang lebih tua. Keras. Kali ini, Baskara benar-benar merasa nafasnya sesak. Cakrawala tidak akan benar-benar memasukinya, bukan?

“Emang, ya.” “Susah banget dibikin keluar.”

Cakrawala berujar sementara jemarinya masih melesak dalam ke liang Baskara, juga diikuti sebelah tangan lainnya yang masih bergerak naik turun. Memfokuskan gerak di bagian kepala kejantanan Baskara. “Udah lama, padahal.”

Cakrawala tidak tahu, sedari tadi Baskara berusaha sebisa mungkin untuk tidak keluar. Ini harga dirinya yang terakhir. Untuk tidak keluar, untuk menunjukkan kepada Cakrawala bahwa ia tidak akan takluk di dalam permainannya.

Akan tetapi, Cakrawala bukan lelaki yang mudah menyerah, rupanya. Alih-alih menghentikan gerakannya, Cakrawala malah bergerak merangkak naik untuk mendekati wajah Baskara. Kuluman pada puting adalah yang diberi selanjutnya, masih dengan kedua tangan yang bergerak dengan aktivitasnya masing-masing.

Selama ini, Baskara selalu berujar bahwa melakukan senggama dengan Cakrawala sembari mengulum puting si yang lebih muda adalah aktivitas yang paling ia sukai. Rasanya seperti menjadi bayi yang tengah menikmati sajian sekaligus lelaki dewasa yang tengah memberi kepuasan kepada si kesayangan.

Baskara suka mengulum puting Cakrawala, namun tidak pernah menyangka akan menyukai suatu masa ketika putingnya dikulum oleh Cakrawala.

Geli. Sungguh, geli menggelitik.

“Caakㅡhh .. udah ..” “.. gue taku-t .. takut keluarrㅡ”

Baskara merengek. Diulangi, dengan tebal. Baskara merengek.

Rupanya kuluman pada puting Baskara lebih memberi efek lebih dibanding kocokan selama beberapa menit di kejantanan si lelaki. Lihat, lihat saja bagaimana kini kaki Baskara ditekuk saking nikmatnya. Lihat saja bagaimana kini Baskara tidak lagi mengepalkan tangan namun tengah mencengkeram kepala tempat tidur karena tidak kuat menahan nikmat yang diberi oleh si kesayangan?

Cakrawala menghentikan kulumannya dan menengadah sekilas, menatap Baskara yang berada di atasnya. “Apa, sayang?”

Dipanggil sayang adalah kelemahan Baskara yang lainnya. Baru sekarang Baskara merasakan panggilan sayang dari Cakrawala terdengar sebegini membuatnya berdebar.

“Udah—” “Lepasin ikatannya ..” “.. gue mau mainin lo, Cak.”

Baskara tersengal. Miliknya sudah sangat mengeras, jika dibiarkan masuk ke liang Cakrawala sebentar sajaㅡ Baskara yakin ia akan segera dapat melakukan pelepasan.

Senyum tipis Cakrawala terulas di bibir. Senang melihat ia yang biasanya bersikap kasar kini memohon untuk dibebaskan dari ikatan. “Lepasin?”

Tolong lepasin.”

Semua seperti de javu. Cakrawala yang aktif. Baskara yang tidak bisa melakukan apa-apa. Seperti tengah mengulang sebuah kaset film berisi cerita yang sama namun dengan pemeran yang berbeda.

Sayangnya, Baskara adalah lelaki penuh rasa gengsi. Memohon kepada bawahannya perihal kegiatan di ranjang adalah hal yang tidak ia tolerir, Baskara tidak mau. Maka alih-alih mengucapkan kata tolong, Baskara menggelengkan kepalanya cepat.

“Nggak.” “Lo tau, gue nggak suka liat lo yang begini, Cak! Inget posisi lo, anjing.”

“Posisi?”, kata barusan diulang lambat-lambat oleh Cakrawala. Tubuhnya tidak lagi berada di atas Baskara namun kembali duduk menghadap ke arah kejantanan si kekasih. “Posisi, ya?”

“Bas.” “Inget tadi gue bilang apa?”

Belum juga Baskara sempat menjawab, Cakrawala sudah melanjutkan kalimatnya. “Gue mau kasih lo hadiah.” Kalimat diakhiri seraya kejantanan Cakrawala kini digesek-gesekkan ke pintu liang milik Baskara. “Lo tau apa seharusnya reaksi orang yang dikasih hadiah?”

Makasih.“ “Bilang.

Sakit. Sakit. Sakit.

Sakit, bajingan!

Ingin sekali Baskara meneriakkan kalimat itu namun bibirnya terkatup rapat. Lebih tepatnya, Baskara tidak bisa mengatakan apapun karena kini ia tengah menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Menahan sakit ketika milik Cakrawala perlahan menembus liangnya. “Cak! Ca-akk .. Udah, udah! Anjing, gue nggak kuat. Sakit banget, Caㅡa-annhhng ..”

Entah apa yang membuat Cakrawala seperti kesetanan. Perkataan Baskara sama sekali tidak dihiraukan. Si yang lebih muda berhasil melesakkan miliknya ke dalam Baskara dan perlahan mulai menggerakkan pinggul. Kedua tangannya memijat kejantanan Baskara, semakin membuat yang tangannya terikat semakin tersiksa.

Bilang apa?

“Hhnㅡ ah-nnhh, Caaak ..” “.. Sakit, Ca—k. Udahh ..”

Baskara tidak memberi jawaban yang Cakrawala inginkan. Menganggap bahwa setiap kesalahan harus diberi hukuman, Cakrawala menggerakkan miliknya dengan lebih cepat di dalam Baskara.

Dasar Baskara. Bibirnya saja yang berujar sakit, padahal kini laju kejantanan Cakrawala di dalam Baskara sudah mulai mulus. Baskara basah.

“Sakit?” “Tapi basah?” “Hah? Lonte.”

Kaki Baskara dilebarkan sehingga kini tubuh Cakrawala berada di atas si kekasih. Kedua tangannya bertumpu di masing-masing sisi tubuh Baskara sementara pinggulnya masih bergerak dengan tempo cukup cepat. “Hm? Kenapa nggak mau ngeliat gue begitu?”

Memang benar. Sekarang Baskara sedang menolak untuk menatap Cakrawala. Pandangannya dikesampingkan, juga bibirnya masih terkatup rapat. “Nggak suka—!”

Satu tumbukan dalam dan kuat dilesakkan oleh Cakrawala dan secara otomatis membuat Baskara mengerang, entah sakitㅡ entah karena perasaan lainnya.

“—gue!” Lagi. Tumbukan dalam, dari Cakrawala.

“—mainin begini, hah?!” Lagi. Membuat Baskara mau tidak mau menatap Cakrawala dan segera memberi pandangan yang (di mata Cakrawala) terlihat ambigu.

Perlahan, gerakan pinggul Cakrawala mulai menjadi lambat. Sebelum akhirnya berhenti sejenak dan membuat Baskara dapat mengatur nafasnya kembali.

“Kenapa, hm?”, Cakrawala menundukkan kepalanya untuk mencium bibir Baskara. “Sayangnya Cakrawala, kenapa? Mau keluar?”

Cakrawala dapat menebak arti dan maksud tatapan Baskara dengan tepat. Sedari tadi, Baskara mencoba mempertahankan sisa harga dirinya sebagai top di dalam hubungan mereka.

Diperlakukan begini, sedikit membuatnya tersinggung. Jujur saja, sesungguhnya ia bisa memaksa agar ikatan di pergelangan tangannya terlepas. Namun suguhan dari Cakrawala, senikmat itu.

Baskara ingin menikmati, namun ia takut. Takut Cakrawala akan menganggapnya remeh. Takut Cakrawala akan memiliki pandangan berbeda ketika mereka kembali bersenggama dengan status semula.

Takut. Baskara, takut.

Maka dari itu, Baskara selalu menolak untuk mengatakan enak. Maka dari itu, Baskara selalu mengatakan sakit. Padahal, tidak.

Enak. Sangat enak, malah. Memang sakit. Namun, sakitnya membuat candu.

Sedari tadi, Baskara ingin mengaku begitu namun ia malu. Malu mengakui bahwa ia juga ingin ditumbuk, malu mengakui bahwa ia ingin disebut dengan panggilan yang direndahkan.

Baskara mengangguk kecil dan segera dibalas dengan senyum berhias lesung pipi dari Cakrawala. “Mau keluar?”

Lagi. Pinggul Cakrawala kembali bergerak, kali ini dengan tempo perlahan yang lama-kelamaan dipercepat. “Buka mulutnya, sayang.”

Baskara sudah seperti kerbau yang dicocok hidungnya. Selain membuka mulut seperti yang diperintahkan Cakrawala, ia kini melingkarkan kakinya ke pinggang si kekasih. Sesekali menggerakkan pinggulnya berlawanan arah dengan gerak hujaman Cakrawala sehingga milik si yang lebih muda masuk lebih dalam daripada sebelumnya.

Bibir Baskara yang terbuka segera disambut dengan cium dan lumatan dari Cakrawala. Saling melilitkan lidah, bahkan tidak peduli ketika saliva keduanya berantakan di ujung bibir. “A-annhhng .. Caakㅡ punya lo .. punya lo enak banget, Cak.”

Mendengar pujian begitu membuat Cakrawala seperti semakin kesetanan. Tangan kanan si yang lebih muda kini memijat kejantanan Baskara sementara tangan kirinya memilin puting si kekasih. Lumayan merepotkan, namun semua seakan terbayar ketika melihat wajah putih Baskara yang kini merona merah.

Cantik. Baskara, cantik.

Bukan cantik layaknya seorang wanita. Namun cantik yang berarti indah dan layak untuk dipuja. Cakrawala baru menyadari bahwa kekasihnya secantik ini.

Sesempurna ini.

“B-bas ..” “Gue mau— mau nyampe.”

Baskara kira kegilaan Cakrawala sudah cukup sampai di tahap ini : dengan ia yang mencoba mendominasi. Baskara kira, Cakrawala hanya segila itu.

Namun tanggapannya harus berubah tatkala Cakrawala menarik kejantanannya dari liang Baskara. Detik berikutnya, si yang lebih muda sudah membiarkan milik Baskara mengisi lubangnya.

Gila. Cakrawala gila.

Baru beberapa detik tadi, ia bersikap seperti seseorang yang ingin membuat Baskara klimaks bagaimanapun caranya. Namun kini, di detik ini, Cakrawala tengah menaik turunkan pinggulnya. Sesekali memaju-mundur dan memutarkan pinggulnya di atas milik Baskara.

Baskara? Tersiksa.

Sumpah demi apapun, ia ingin sekali memeluk Cakrawala. Atau mencekik leher si kekasih seperti yang biasa ia lakukan di situasi begini. Baskara ingin, namun ia bisa apa dengan situasi begini?

Tolong.”

Di tengah lenguhan Cakrawala yang tengah menikmati milik Baskara, si yang lebih tua berujar singkat. Tatapannya memohon, sangat. “Tolong bukain ikatan talinya, Cak.

“Gue nggak kuat.” “Gue mau mainin lo.” “Gue mau bikin lo enak kayak lo bikin gue enak tadi.”

Tolong.“ “Tolong bukain.

Cakrawala menghentikan gerakan pinggulnya kemudian tersenyum kecil. Paham bahwa lelakinya sudah banyak tersiksa karena tindakannya malam ini. Sudahlah, mungkin permainan cukup sampai di sini.

Cairan kenikmatan berwarna putih terlihat membaluri kejantanan Baskara ketika Cakrawala menaikkan tubuhnya, berniat melepaskan ikatan tali.

Selama melepaskan ikatan tali, pandangan Baskara tidak pernah lepas dari Cakrawala. Lelakinya itu terlihat mempesona tanpa busana seperti sekarang. Lehernya yang panjang, kulit yang putih, juga setiap idenya di ranjang yang membuat Baskara tidak pernah bosan menjalani hari-hari bersamanya.

Baskara menyayanginya, sangat.

“Udah.” Ujaran dilontarkan dari Cakrawala tepat ketika ikatan simpul di tautan sebelah kiri berhasil ia lepaskan. Tanpa menunggu lama, Cakrawala kembali bergerak kembali menuju kejantanan si kekasih. Memberi kuluman untuk beberapa saat sebelum menempatkan lagi dirinya di atas milik Baskara.

Batang kejantanan Baskara digenggam erat untuk kemudian digesek-gesekkan ke lubang kenikmatan Cakrawala. Senyum tipis diulas dari si yang lebih muda sebelum akhirnya ia berujar dengan penuh nada menggoda.

“Masukin lagi, ya?”

. . . . .

bersambung ..

ㅤ Sulit. Sangat sulit.

Jangankan untuk melanjutkan persiapan segala bahan rapat esok hari, bahkan untuk memfokuskan pikiran pun Baskara tidak bisa. Otaknya masih berseteru dengan hatinya sendiri.

Apalagi jika bukan tentang Cakrawala. Lelaki itu masih juga belum pulang padahal jarum jam sudah menunjuk ke angka sebelas. Apa dia sedang berolahraga untuk membuat ototnya meledak atau apa?

Menyerah dengan fokusnya yang kabur entah ke mana, akhirnya Baskara memutuskan untuk tidur-tiduran barang sejenak. Siapa tahu dengan beristirahat sejenak, pikirannya bisa kembali segar? Berharap demikian, akhirnya Baskara merebahkan diri di atas kasur dan meraih ponsel miliknya. Membuka galeri dan memilih folder video.

Ada banyak video yang hampir sebagian besar didominasi oleh videonya dengan Cakrawala di berbagai kesempatan.

Cakrawala yang sedang makan. Cakrawala yang sedang serius mengerjakan tugas. Cakrawala yang merajuk minta ditemani menonton film di bioskop. Juga Cakrawala, yang tengah memberi tatapan dibalur kenikmatan ketika menerima hujaman dari milik Baskara di lubangnya.

Adalah keputusan yang salah bagi Baskara untuk menonton video itu, karena kini tanpa ia sadari sebelah tangannya sendiri kini mengusapi miliknya dari balik celana yang membungkus. Awalnya hanya usapan kecil, namun perlahan berubah menjadi tarikan agar celana pendek yang Baskara kenakan turun setengah ke pahanya.

Miliknya bebas. Tidak lagi sesak karena dikungkung kain seperti barusan.

“Hhhㅡ”

Desahan kecil lolos dari bibir Baskara ketika melihat video Cakrawala di ponselnya sendiri. Baskara tidak tahu pesona apa yang dimiliki oleh Cakrawala hingga bisa membuatnya merasa hina karena harus memuaskan dirinya sendiri dengan cara begini.

Tatapan lelaki ituㅡ terlihat jelas bahwa Cakrawala tengah kesakitan karena Baskara memperlakukannya seperti jalang yang bisa ia sewa di pinggiran jalan. Namun di tengah tatapan itu, Baskara tahu bahwa Cakrawala suka.

Suka disakiti. Suka dianggap rendah. Suka dibuat tersiksa dengan tindak Baskara yang kasar.

“A-aah ..” “Ca-k. Cacak ..” “Hnnhㅡ Cak, enak banget ..”

Mata Baskara terpejam sementara gerakan sebelah tangan di batang kejantanannya sendiri semakin dipercepat. Di dalam khayalnya, ada Cakrawala di sana. Dengan desahannya, memohon Baskara untuk mempercepat hujamannya. Mengatakan bahwa senggamanya dengan Baskara adalah hal paling nikmat yang pernah ia rasakan.

Milik Baskara sudah terlalu basah hingga menyuarakan decak bunyi yang biasa ia dengar ketika melesakkan batangnya ke lubang Cakrawala. Sial, lama-lama Baskara bisa betul-betul gila jika segala hal tentang si lelaki kurus itu membuat ia sampai rela onani begini.

“C-cak .. hhh—nhh, lo emang paling bisa bikin punya guㅡ arngh!”

Pejaman mata Baskara perlahan terbuka, disertai dengan nafas yang memburu cepat. Sebelah tangan di miliknya kini agak lengket karena cairan kenikmatan yang keluar cukup banyak. Butuh sekitar lima belas detik sebelum akhirnya Baskara berhasil mengatur nafasnya kembali dan segera menggerutu dalam hati.

Sumpah demi apapun. Ini memalukan. Keluar karena tindakanmu sendiri padahal kau punya kekasih?! Memalukan.

Dengan hanya menggerakkan sedikit tubuhnya, Baskara meraih tissue yang ada di nakas tempat tidur dan membersihkan cairan kenikmatannya.

Kesal. Kesal. Kesal.

Kapan, sih, Cakrawala akan pulang?

Ke Laman Selanjutnya.

ㅤ Sulit. Sangat sulit.

Jangankan untuk melanjutkan persiapan segala bahan rapat esok hari, bahkan untuk memfokuskan pikiran pun Baskara tidak bisa. Otaknya masih berseteru dengan hatinya sendiri.

Apalagi jika bukan tentang Cakrawala. Lelaki itu masih juga belum pulang padahal jarum jam sudah menunjuk ke angka sebelas. Apa dia sedang berolahraga untuk membuat ototnya meledak atau apa?

Menyerah dengan fokusnya yang kabur entah ke mana, akhirnya Baskara memutuskan untuk tidur-tiduran barang sejenak. Siapa tahu dengan beristirahat sejenak, pikirannya bisa kembali segar? Berharap demikian, akhirnya Baskara merebahkan diri di atas kasur dan meraih ponsel miliknya. Membuka galeri dan memilih folder video.

Ada banyak video yang hampir sebagian besar didominasi oleh videonya dengan Cakrawala di berbagai kesempatan.

Cakrawala yang sedang makan. Cakrawala yang sedang serius mengerjakan tugas. Cakrawala yang merajuk minta ditemani menonton film di bioskop. Juga Cakrawala, yang tengah memberi tatapan dibalur kenikmatan ketika menerima hujaman dari milik Baskara di lubangnya.

Adalah keputusan yang salah bagi Baskara untuk menonton video itu, karena kini tanpa ia sadari sebelah tangannya sendiri kini mengusapi miliknya dari balik celana yang membungkus. Awalnya hanya usapan kecil, namun perlahan berubah menjadi tarikan agar celana pendek yang Baskara kenakan turun setengah ke pahanya.

Miliknya bebas. Tidak lagi sesak karena dikungkung kain seperti barusan.

“Hhhㅡ”

Desahan kecil lolos dari bibir Baskara ketika melihat video Cakrawala di ponselnya sendiri. Baskara tidak tahu pesona apa yang dimiliki oleh Cakrawala hingga bisa membuatnya merasa hina karena harus memuaskan dirinya sendiri dengan cara begini.

Tatapan lelaki ituㅡ terlihat jelas bahwa Cakrawala tengah kesakitan karena Baskara memperlakukannya seperti jalang yang bisa ia sewa di pinggiran jalan. Namun di tengah tatapan itu, Baskara tahu bahwa Cakrawala suka.

Suka disakiti. Suka dianggap rendah. Suka dibuat tersiksa dengan tindak Baskara yang kasar.

“A-aah ..” “Ca-k. Cacak ..” “Hnnhㅡ Cak, enak banget ..”

Mata Baskara terpejam sementara gerakan sebelah tangan di batang kejantanannya sendiri semakin dipercepat. Di dalam khayalnya, ada Cakrawala di sana. Dengan desahannya, memohon Baskara untuk mempercepat hujamannya. Mengatakan bahwa senggamanya dengan Baskara adalah hal paling nikmat yang pernah ia rasakan.

Milik Baskara sudah terlalu basah hingga menyuarakan decak bunyi yang biasa ia dengar ketika melesakkan batangnya ke lubang Cakrawala. Sial, lama-lama Baskara bisa betul-betul gila jika segala hal tentang si lelaki kurus itu membuat ia sampai rela onani begini.

“C-cak .. hhh—nhh, lo emang paling bisa bikin punya guㅡ arngh!”

Pejaman mata Baskara perlahan terbuka, disertai dengan nafas yang memburu cepat. Sebelah tangan di miliknya kini agak lengket karena cairan kenikmatan yang keluar cukup banyak. Butuh sekitar lima belas detik sebelum akhirnya Baskara berhasil mengatur nafasnya kembali dan segera menggerutu dalam hati.

Sumpah demi apapun. Ini memalukan. Keluar karena tindakanmu sendiri padahal kau punya kekasih?! Memalukan.

Dengan hanya menggerakkan sedikit tubuhnya, Baskara meraih tissue yang ada di nakas tempat tidur dan membersihkan cairan kenikmatannya.

Kesal. Kesal. Kesal.

Kapan, sih, Cakrawala akan pulang?

Ke Laman Selanjutnya.

ㅤ         「   Tukar.  」 ㅤ

Pulang malem lagi?

Baskara, barusan berujar dengan bibir yang sedikit mengerucut. Kepala si lelaki jangkung kini tengah dimiringkan dengan ponsel bermerk ternama (keluaran terbaru, pula) terapit diantara leher dan telinganya. “Lo ngapain, sih? Sibuk banget.”

“Nge-gym.” “Ngapain lagi?”

Baskara saat ini sedang berada di dapur apartemennya, mengenakan celemek berwarna coklat yang membalut kemeja kerja kenaannya. Ia bahkan belum sempat mengganti baju kerjanya karena terburu-buru menyiapkan sesuatu.

Hari ini, adalah perayaan hari jadi mereka berdua. Baskara dan Cakrawala. Selayaknya pasangan normal pada umumnya, Baskara ingin menghabiskan waktu bersama dengan si kekasih. Tidak harus berhubungan intim. Baskara sendiri merasa tenaganya seperti sudah diperas habis-habisan oleh atasannya di kantor.

Sesungguhnya jika boleh jujur, Baskara hanya ingin berbaring dengan si kekasih. Sesekali mengusak rambut atau menekan-nekan lesung pipinya dengan gemas. Memberi atau menerima kecupan manis adalah bonus. Itu saja. Sederhana, bukan?

Namun seakan tidak dapat memahami keinginan Baskara, hari ini Cakrawala malah mengatakan tidak bisa datang ke apartemennya. Alasannya? Gym.

Menyebalkan? Iya. Sangat? Teramat sangat.

Gerakan tangan Baskara yang tengah memotong-motong beberapa buah stoberi kini terhenti. “Cak.”

“Pulang.” “Sekarang.”

Di seberang sana, Cakrawala terkekeh. Seperti menganggap perkataan Baskara barusan sangat konyol. “Bas. Inget situasi.”

“Gue udah bilang, 'kan?” “Gue cuma bawahan lo pas di ranjang doang. Di luar apartemen lo, gue bebas. Lo nggak bisa nyuruh gue begini begitu. Apalagi nyuruh gue pulang dengan nada maksa begitu.”

Baskara sadar bagaimana kini gagang pisau di tangannya sudah ia genggam erat-erat. Menahan emosi agar tidak datang ke tempat fitness Cakrawala dan menikamkan pisaunya ke si pembicara di seberang sambungan telefon. “Lo tau bangsat, nggak? Lo banget, itu.”

“Oh, emang iya.” “Gue bangsat. Baru tau?”

Ujaran Cakrawala barusan terdengar sangat santai. Sama sekali tidak ada rasa bersalah atau apapun lainnya. Terkadang Baskara bingung, bagaimana bisa laki-laki yang suka mengutamakan ego dan gengsinya seperti Cakrawala bisa bersikap sangat penurut di atas ranjang hingga membuat Baskara gila, coba?

“Pulang.” “Kalau lo nggak pulangㅡ”

“Kenapa?” “Lo mau apain gue?”

Apa yang bisa Baskara katakan sekarang, coba? Mengatakan bahwa ia akan mencekik Cakrawala di tengah hubungan intimnya? Mengatakan bahwa ia tidak akan memberi ampun ketika nanti Cakrawala meminta Baskara untuk berhenti bermain-main dengannya? Itu tidak pantas diucapkan di hari istimewa seperti ini. Baskara paham itu.

“Nggak. Terserah lo.” “Hati-hati pulangnya.” “Mau gue jemput?”

Bukannya Baskara ingin mencari muka atau bagaimana. Ia hanya tidak mau berdebat dengan Cakrawala via telefon. Kekasihnya itu terkadang keras kepala. Ketika berdebat langsung, Baskara bisa sesuka hati melakukan kontak fisik yang membuat Cakrawala luluh. Namun, di situasi begini? Jangan harap. Lelaki yang lebih muda dari Baskara itu terlaluㅡ bebal.

“Nggak.” “Gue pulang sendiri nanti.” “Udah, ya. See you.”

Pip.

Bahkan tanpa menunggu balasan dari Baskara, Cakrawala sudah memutuskan sambungan telefon. Merasa tidak lagi perlu menyiapkan perayaan apapun karena si kekasih pun sepertinya tidak mengingat hari istimewa mereka, Baskara memutuskan melepas celemek di tubuh dan menghentikan segala aktivitasnya.

Sudah. Lupakan saja soal bersikap romantis tanpa mengharapkan apapun di hari (yang semestinya) istimewa ini. Lebih baik Baskara menyelesaikan tugas untuk bahan rapatnya esok hari.

Benar. Lebih baik, begitu.

Ke laman selanjutnya.

Halo!

Salam kenal dari tebe untuk semuanya ♡ Sehubungan dengan adanya write.as ini, aku mau sampaikan beberapa hal.

Yang pertama, Baskara dan Cakrawala di jilid kedua harus dihentikan pengerjaannya karena aku sendiri merasa (terbebani) sama alur cerita yang aku rencanakan sendiri. Kenapa? Karena rencananya, aku mau jadiin Babas sama Cacak pisah dan Cacak jadinya sama Gerhana. Mereka pergi ke negara yang memperbolehkan adanya pernikahan sesama jenis dan menikah di sana.

Kali ini bukan pura-pura. Cacak emang sayang ke Gerhana dan mulai hilang rasa ke Babas karena konflik besar yang terjadi.

Ceritanya udah ada. Cuma aku sendiri ngerasa (terbebani) sama akhir dari cerita itu. Bodohnya, aku juga nggak mau ubah alur ceritanya jadi akhir yang bahagia karena emang dari awal kuniatin begitu.

Karena adanya beberapa hal itu, aku putusin untuk nggak melanjutkan cerita Cakrawala di Rengkuhan Baskara Jilid ke dua. Mohon maaf buat kawan-kawan yang mungkin menaruh banyak antisipasi sama kisah Gerhana di antara Baskara sama Cakrawala. Maaf udah mengecewakan pihak yang (mungkin) menanti-nanti dengan sabar.

Maaf. Maaf banget. Akunya nggak tega bikin ceritanya karena sebegitu sayangnya liat Cacak sama Babas 😭

Akhir kata, aku mau ucapin makasih ke banyak temen-temen yang mengutarakan suka sama kisahnya Babas Cacak. Beneran, setiap kalimat dukungan dari kalian bikin aku semangat terus. ㅠㅠ

Kisah Babas Cacak berhenti di tahun 2022, ketika Cacak nikah sama Resty dan Babas menjalani kontraknya dengan Rachel. Itu aja. ♡

Terima kasih.

Salam hangat,

tebe.

Byungchan.

“Ucan?” “Mana minumnya?” “Yang marjan cocopandan.”

“Oh, itu ..” “.. dibuang, Kang.” “Banyak semutnya.”

  「   5 jam setelahnya .. 」

Setelah harus keluar modal lagi untuk membeli gas elpiji demi bisa merebus mawar yang disarankan oleh Ki Sangara (tolong catat bahwa Byungchan harus menggotong gas elpiji di warung paling ujung, pula.) kini Byungchan tengah berdiri di depan kamar Seungwoo dengan segelas air berwarna merah muda di genggaman.

Sesuai yang ia rencanakan, air rebusan mawar selama hampir lima jam (tidak! hampir sepuluh jam, malah) Byungchan seduh kini dicampurkan dengan sedikit sirup marjan cocopandan sisa lebaran bulan Juni kemarin. Tujuannya? Agar Seungwoo tidak curiga, tentu saja.

Tok. Tok.

“Kang.” “Kang Seungwoo.”

“Masuk.” “Nggak dikunci, da.”

Berhasil mendapatkan izin dari si pemilik kamar, Byungchan perlahan memutar kenop pintu kamar si kekasih kemudian melongokkan kepalanya terlebih dahulu. Mengecek situasi. “Kang.”

“Lagi sibuk, teu?”

Seungwoo terlihat sedang duduk di bangku meja belajar, membelakangi Byungchan. Sepertinya tengah sibuk mengerjakan sesuatu.

“Nggak, da.” Jawaban diberi oleh Seungwoo seraya tubuhnya kini bergerak menghadap ke arah Byungchan yang masih berdiri di pintu masuk. “Aya naon, kitu? Ucan ada perlu sama Akang?”

“Nggaaak.”

Kalimat Byungchan barusan terdengar manja. “Cuma mau tau we Akang lagi apa,” lanjut si lelaki seraya berjalan masuk ke dalam kamar dan menghampiri si yang lebih tua. “Bisi lupa makan, gitu.”

“Nggak, lah.” Ketika si yang lebih muda sudah berdiri bersisian dengannya, Seungwoo segera merangkul pinggang Byungchan. “Akang nggak mau bikin Ucan khawatir, jadi nggak pernah telat makan.”

Senyum tipis terulas di bibir Byungchan. Kekasihnya ini sangat menggemaskan. “Adeuh. Pacar aku teh kenapa gemes banget, coba?”

“Gemes?” “Gemes?” Seungwoo memiringkan kepala ke kanan dan kiri, seperti tengah menggoda Byungchan dengan tindak kekanakkannya. “Usap-usap atuh kalau gemes, mah.”

“Iya. Iya.” Badannya saja yang tegap dan kekar, namun ketika tengah manja dan kekanakkan beginiㅡ terkadang Byungchan harus siap-siap hati agar tidak semakin jatuh hati. “Gemesnya Ucan, gemes,” ujar Byungchan seraya mengusak rambut Seungwoo perlahan.

Seungwoo tertawa, sehingga matanya kini terbentuk lurus. Menggemaskan. “Ucan bawa apa buat Akang? Minum?”

“Oh, iya.” Byungchan teringat tujuan utamanya. “Aku teh bawain ini. Sirop. Bisi Akang haus, gitu. Minumnya nanti aja kalau pas haus.” Gelas berisi air berwarna merah muda diletakkan oleh Byungchan ke atas meja di kamar Seungwoo. “Diminum, ya, Kang?”

“Marjan?”, tanya Seungwoo memastikan dan segera dijawab dengan anggukan Byungchan. “Nanti Akang minum, ya?”

“Iya.”

Semoga bener manjur. Biar makin nempel sama aing.

“Ucan udah makan? Kamu teh dari tadi di dapur atas, mau Akang samperin tapi sama Jinhyuk nggak boleh. Katanya lagi ngerjain tugas negara. Lagi ngapain?”

“Nggak lagi ngapa-ngapain. Cuma lagi ngerjain sesuatu, Kang. Tugas kampus.”

Seungwoo tidak bertanya lebih lanjut, ia hanya mengangguk-angguk kecil. “Tapi belum makan, 'kan?”, tanya Seungwoo lagi dan dibalas gelengan Byungchan. “Sok atuh. Makan ke angkringan bareng Akang, mau?”

Byungchan mengangguk, membuat Seungwoo gemas bukan main. “Ya udah, Akang cuci muka dulu, ya? Ucan tunggu aja di sini. Bentar, da.”

“Iya, Kang. Sok aja.”

Selepas permintaan izin kepada si kekasih, Seungwoo segera bangkit dan beranjak ke kamar mandi sementara Byungchan masih berdiri di meja belajar milik Seungwoo. Tatapannya tertuju ke benda persegi di atas meja.

Ponsel Seungwoo.

Ibu kost ngechat lagi, nggak, ya? Itu anaknya udah dikenalin belum? Atuh, euy. Boleh liat isi chatnya, nggak, sih?

Rupanya godaan setan jauh lebih kuat. Dibanding menjaga privasi si kekasih, Byungchan lebih khawatir dengan kemungkinan tentang Ibu Kost yang mulai curi start tanpa sepengetahuannya.

Akhirnya, ponsel Seungwoo diraih oleh Byungchan dan dibuka tanpa permisi.

Namun ...

ㅤ      「   McD, Plaza Malioboro.   」

Pesen apa?”

Kalimat barusan diujarkan oleh Hangyul, dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku dan tatapan yang tertuju ke display menu McDonalds di Plaza Malioboro.

Sementara itu, Seungyoun berdiri bersisian dengan Hangyul. Sebelah tangan lelaki yang lebih tinggi kini menopang dagu. Tatapannya sama, tertuju ke arah display menu yang terpajang. “Ini lo yang traktir?”

“Bayar sendiri-sendiri, lah.”

Ujaran Hangyul hanya dibalas dengan anggukan paham. Toh' semenjak awal Seungyoun sama sekali tidak berharap ditraktir. Ia sendiri paham bahwa Hangyul tidak memiliki uang saku sebanyak dirinya. Hangyul bukan tipikal lelaki yang berdompet tipis, kok. Seungyoun tahu itu. Pacarnya iniㅡ memiliki isi dompet yang pas-pasan. Sederhananya, begitu.

“Ya udah. Gue pesen double cheese burger, upsize kentang sama colanya. Terus fish bites. Terus mcflurry. Terusㅡ”

“Terus, terus, terus.” “Nabrak, ntar. Udah. Itu aja. Jangan banyak-banyak.”

Seungyoun sedikit mengerucutkan bibir. Seharian ini dia sibuk dengan tugas kampusnya, belum makan siang pula. Lha, ketika punya waktu untuk makanㅡ malah dilarang-larang?!

“Gue bayar sendiri.”

“Bukan perihal bayar sendirinya,” respon Hangyul seraya sedikit melangkah maju karena pembeli di depan mereka sudah selesai memesan sehingga hanya tersisa satu pelanggan lagi sebelum giliran mereka tiba. “Lo sakit perut, ntar. Belum makan 'kan pasti? Makan seadanya ada dulu. Perut lo kaget, ntar. Jangan burger, nasi aja. Paket panas spesial, gimana?”

Seungyoun hanya diam, sebisa mungkin mencoba menahan senyum di bibirnya. Tidak lucu jika ia tersenyum lebar karena kesenangan padahal Hangyul terlihat sangat santai. “Iya. Ngikut aja. Panas spesial boleh, ayamnya paha atas.”

“Pedes? Krispㅡ” “Oh, ya. Nggak pedes.” “Lo 'kan nggak bisa makan pedes.”

Sumpah. Pernah tidak, kalian merasakan seakan di perut kalian ada ribuan kupu-kupu berterbangan hanya karena fakta ada seseorang yang tahu perihal kesukaan-dan-ketidaksukaan kalian? “Kok lo tau?”

“Lo sering nitip begitu 'kan ke Jinhyuk. Baso tanpa sambel. Bening.”

“Ya, tapi 'kan gue ngomongnya ke Jinhyuk. Bukan ke lo.”

“Guenya juga denger. Mau gimana lagi? Kedengeran.”

Seungyoun tersenyum tipis. “Kedengeran tapi diinget terus, ya?”

“Nggak, sih.” “Bukan sengaja diinget.” “Emang guenya pinter dari sana. Buku pasal KUHP aja gue lahap, apalagi cuma perihal kesukaan lo, sih.”

Tsch. Gengsian amat. Tapi gemes, gimana dong?

“Ya udah, lo duduk dulu gih. Cari bangku kosong. Gue yang pesenin.” Kalimat Hangyul dijawab dengan anggukan kecil dari Seungyoun. Memang benar, Plaza Malioboro sedang ramai-ramainya hari ini.

Sebelum melangkah pergi, Seungyoun meraih dompetnya di dalam saku dan mengeluarkan uang seratus ribu dari sana. “Nih, buat bayar punya guㅡ”

“Cari bangku, buruan.” “Tuh. Banyak anak SMA masuk, tuh. Buruan sana, cari bangku!”

Bukannya menerima uang dari Seungyoun, Hangyul malah memutarkan tubuh Seungyoun agar tidak lagi menghadap ke arah kasir. “Buruan, sana.”

Lagi, Hangyul berujar. Kini diiringi gerakan tangan seperti mengusir Seungyoun. Uang seratus ribu di tangan Seungyoun masih digenggam, bingung harus dikemanakan.

Sudahlah. Seungyoun paham, Hangyul pasti ingin mentraktirnya. Sudahlah, biarkan saja.

Nanti Seungyoun akan isikan bensin saja sampai full tank sebagai ganti traktiran McD kali ini.

Janji.

ㅤ        「   Lelang. 」 ㅤ

Sembilan ratus ribu won.“ “Sembilan ratus ribu won.“ “Sembilan ratus ribu won!“ “Untuk nona cantik berbaju merah di sebelah sana!

Ucapan Jihoon barusan segera disambut dengan Hanse yang berjalan menuruni tangga panggung, kemudian berjalan santai melewati para wanita yang sekarang tengah berdiri seraya memegangi gelas koktailnya masing-masing. Beberapa langkah setelahnya, Hanse sudah menempatkan diri di samping wanita berbaju merah yang barusan membeli dirinya.

Bukan hanya membeli diri, namun juga membeli segala yang Hanse miliki. Waktu dan perasaan si lelaki, juga termasuk ke dalam hal yang ia jual malam ini.

Hanse cukup profesional. Lihat saja. Bagaikan sudah saling mengenal semenjak dulu, kini Hanse sudah melingkarkan lengannya ke pundak si wanita kemudian membisikkan sesuatu (yang entah apa) dan dibalas dengan tawa kecil dari si lawan bicara.

Tidak hanya Hanse. Seungsik, yang sudah terlebih dahulu dilelang juga melakukan hal serupa. Beradaptasi dalam waktu cepat dengan siapapun yang membeli mereka adalah sebuah keharusan. Maka tidak heran jika keduanya nampak tidak kesusahan untuk bersikap demikian.

Sekarang yang paling ditunggu-tunggu!

Suara Jihoon kembali membelah keramaian di lantai dansa klab. Dua lampu sorot diarahkan menuju panggung dan detik setelahnya, dua sosok laki-laki jangkung terlihat maju beberapa langkah ke bagian tengah panggung.

Han Seungwoo!“ “Choi Byungchan!

Pandangan para wanita yang tengah memegangi gelas koktailnya seakan berubah drastis. Entah, seperti hewan buas yang siap memangsa dua laki-laki di atas panggung sana.

Bukannya Seungwoo dan Byungchan tidak tahu. Keduanya paham, antusiasme para wanita di sini untuk menghabiskan waktu bersama mereka adalah yang paling tinggi. Mereka juga tahu bahwa akan ada persaingan sengit untuk membeli keduanyㅡ

Byungchan, satu juta won!” “Seungwoo, satu koma lima!”

Belum juga Jihoon membuka sesi penawaran harga, para wanita di bawah panggung sudah meneriakkan kemampuan mereka. Bukan hanya satu atau dua, namun banyak.

Suara para wanita di ruang klab terdengar saling bersahut-sahutan. Meneriakkan angka yang perlahan mulai naik sedikit demi sedikit hingga ke angka yang dapat dianggap fantastis.

Seungwoo dan Byungchan, mereka berdua masih berdiri bersisian dengan kedua tangan yang diistirahatkan ke belakang. Di balik punggung, keduanya memainkan cincin di kelingking masing-masing.

Cincin yang mereka beli bersama di sebuah toko souvenir ketika tengah menghabiskan waktu di taman bermain Everland. Cincin yang bahkan tidak terbuat dari bahan emas atau logam mulia, namun hanya perak murahan yang terkadang membuat kulit jari Seungwoo gatal-gatal. Cincin yang saling menandai bahwa Seungwoo adalah milik Byungchan dan Byungchan adalah milik Seungwoo.

Cincin yang meneriakkan status hubungan keduanya di tengah kebisuan yang dilakukan untuk menyelamatkan pekerjaan mereka.

Seungwoo. Tujuh juta!” “Byungchan. Enam juta!”

Dua suara berseru hampir bersamaan. Dua wanita berbeda dengan penampilan yang sangat terlihat menggoda saling bertatapan dengan pandangan culas. Sepertinya tidak suka karena sorotan perihal siapa yang paling kaya diantara mereka semua harus jatuh ke tangan dua orang.

“Ya! Nona berbaju biru di sana berani menawar harga enam juta won untuk Byungchan. Nona berbaju hitam di sana, tujuh juta won untuk Seungwoo!”

“Apa ada yang berani menawar lebih sebelum penawaran mereka kututup?” Terlihat jelas dari suara Jihoon, ia tengah merasa antusias. Bagaimana tidak? Biasanya penawaran selalu ditutup di angka tiga atau empat. Itupun biasanya selalu ditutup oleh penawaran Seungwoo. Tidak pernah naik hingga ke angka enam, apalagi berhenti di Byungchan seperti sekarang.

Jihoon mendapat jackpot malam ini. “Ayo! Jika tidak ada yang menawar lagi, akan segera kuhitung mundur.”

Enam untuk Byungchan. Tujuh untuk Seungwoo.

Enam untuk Byungchan. Tujuh untuk Seungwoo.

Enam untuk Byungcㅡ

Sepuluh.

Seorang wanita bertubuh molek yang berdiri di barisan belakang dari ruang klab mengangkat tangannya. Mendengar angka yang disebut, sontak seluruh tamu yang ada di ruangan segera menoleh ke sumber suara.

“Nona yang di sana! Anda menawar sepuluh? Untuk siapa? Seungwoo, atau Byungchan?”

Cantik. Sangat. Siapapun pasti akan mengakuinya.

Dalam hati, Byungchan sedikit merasa cemburu. Gadis itu pasti akan memilih Seungwoo dengan uang sepuluh juta won-nya. Tidak akan salah.

“Cantik.” Byungchan berbisik dengan suara pelan, seraya memandang lurus ke arah si wanita yang kini sedang berjalan lurus ke arah panggung.

“너 좋겠다.” (Beruntung, kamu.)

“아니.” (Tidak.) “네가 더더더.” (Kamu lebih. Lebih. Lebih.)

Seungwoo berujar singkat tanpa mengalihkan pandangannya. Walaupun begitu, Byungchan mendengar semua ucapan Seungwoo dan sumpahㅡ sesulit itu bagi si yang lebih muda untuk menyembunyikan senyum lebarnya.

Benar. Sudahlah. Kalaupun wanita itu memang memilih Seungwoo, Byungchan tidak akan keberatan.

Ini pekerjaan mereka. Ini tanggung jawab mereka. Hanya semalam, dan esok harinya Seungwoo akan kembali menjadi milik Byungchan.

Mereka percaya satu sama lain. Tidak akan ada masalah sama sekali. Semua ini terlalu sering mereka lewati. Malam ini, tidak akan ada yang berbedㅡ

Sepuluh, untuk masing-masing.“ “Aku ambil mereka berdua.“ “Dua puluh juta won.

Ruangan yang semula cukup hening, kini menjadi ramai bukan main. Para wanita yang berkumpul segera berbisik-bisik dengan yang ada di sampingnya, entah kenal atau tidak. Menyuarakan gila atau sinting ke wanita yang baru saja menawar Byungchan dan Seungwoo di waktu bersamaan.

Untuk dia sendiri.

“말도 안 돼.” (Tidak mungkin)

Seungwoo dan Byungchan berujar berbarengan. Tidak mungkin! Tidak mungkin mereka dibeli berbarengan seperti ini!

Tidak mungkin! Juga, tidak boleh!

“Baiklah! Sepuluh juta won untuk masing-masing dari Byungchan dan Seungwoo!”

“Ada yang berani menawar dengan harga lebih tinggi? Sepuluh juta!”

Hitungan mundur yang diucap oleh Jihoon membuat Byungchan dan Seungwoo saling menoleh ke arah masing-masing. Seungwoo dapat menangkap arti pandangan Byungchan saat ini. Kekasihnya ituㅡ takut.

Sepuluh juta!”

Hitungan kedua. Satu hitungan lagi sebelum mereka akan dijual ke orang yang sama! Jangan, jangan sampai hitungan ketiga itu disebuㅡ

Sepuluh juta!” “Seungwoo dan Byungchan terjual kepada nona cantik berbaju hitam di sana! Selamat!”

Maksudnya, Seungwoo dan Byungchan harus berhubungan intim dengan gadis ini?!

Gila.