ㅤ Pergelangan tangannya sakit.
Itu adalah hal yang paling pertama Baskara rasakan ketika perlahan membuka kelopak matanya. Lalu detik berikutnya, hal yang Baskara sadari adalah Cakrawala di sampingnya. Lelaki yang lebih muda darinya itu kini sedang berlutut di atas kasur, dengan kedua tangan mengikatkan tali ke ujung pilar kepala tempat tidur.
Tali. Iya, benar. Tali. Mengikat tangan Baskara. Kiri dan kanan, catat itu.
Baskara mengerjapkan matanya beberapa kali. Tidak paham dengan situasi yang terjadi, apalagi kini kedua tangannya terentang dan terangkat karena ikatan tali ke masing-masing pilar kepala tempat tidur.
“Cak?”
Suara Baskara serak. Sudah berapa lama ia tertidur? Seingatnya, hingga jarum jam menunjuk ke angka 12 pun Baskara masih terjaga untuk menunggui kedatangan si kekasih. Dilirik olehnya jam yang tergantung di dinding kamar, pukul satu dini hari.
Gila. Ke mana saja, dia?
“Cak.” “Lo ngapain?”
“Mau kasih lo hadiah.”
Cakrawala berujar dengan nada ringan, namun bukan nada ringan yang biasa ia ucapkan. Ini nada ringan seakan ia sudah merasa percaya diri dengan apa yang akan ia lakukan.
Benar saja. Tepat setelah kalimat barusan diucapkan dan Baskara yang tidak bisa menggerakkan tangannya karena diikat oleh tali tautan Cakrawala, kini si yang lebih muda segera menurunkan celana pendek yang dikenakan Baskara dalam sekali tarikan. Alhasil, milik Baskara terekspos jelas tanpa terhalangi apapun.
“Bas.” “Lo abis solo?”
Pertanyaan dilontarkan oleh Cakrawala sementara kini tangannya bergerak naik turun di milik Baskara. “Pengen banget main sama gue atau gimana?”
“A-aah, Cak ..”
Sumpah. Tangan Cakrawala bisa membuat siapapun candu. Baskara pun mengakuinya begitu. Buktinya, sekarang si yang lebih tua tengah mengepalkan tangannya kuat-kuat agar tidak mengaku kalah di hadapan si laki-laki yang biasa menjadi bawahannya ini. “Cak. Lo — mau ngapain?”
Aliran darah di tubuh Baskara rasanya berdesir lebih cepat dari biasanya. Tatkala bersama Cakrawala, segala fungsi tubuhnya memang tidak pernah normal namun kali ini semua benar-benar berbeda.
Ini pengalaman pertama bagi Baskara untuk merasakan hal begini.
Perasaan ketika ruang geraknya dibatasi. Perasaan ketika seseorang melakukan sesuatu untuknya sementara ia hanya perlu menerima. Perasaan yang membuatnya seperti dikekang.
Cakrawala masih tidak menjawab pertanyaan Baskara. Dengan sebelah tangannya yang bebas, Cakrawala menurunkan celana training yang membalut tubuh bagian bawahnya. Tidak penuh, hanya setengah namun cukup untuk membebaskan miliknya yang (entah bagaimana) sudah terlihat tegang.
“Enak?”
Pertanyaan itu biasanya tidak pernah dilontarkan oleh Cakrawala. Seharusnya pertanyaan itu mutlak milik Baskara.
Namun kali ini berbeda, Cakrawala mengatakannyaㅡ juga dengan gerak tangan yang naik turun di milik Baskara dengan tempo lebih cepat. “Enak, Bas?”
“Enak dimainin begini?”
Baskara berusaha untuk tidak mendesah. Namun gerak tangan Cakrawala terlalu memabukkan. Nikmat. Nikmat. Nikmat.
“H-hh ..”
Baskara menggigit bibir bawahnya. Tidak, ia tidak mau dipermainkan begini oleh Cakrawala. Ia adalah pemimpin di dalam hubungan mereka, tidak boleh ada yang mengubah perihal itu.
“Bas.” “Lo pernah bayangin?” “Gimana perasaan gue sewaktu disodok sama lo, hm?”
“Pernah?”
Nada bicara Cakrawala terdengar penuh afeksi, namun tidak demikian dengan jemari di sebelah tangan lainnya. Awalnya sebelah tangan Cakrawala yang lain memang mengusapi buah zakar Baskara, namun perlahan jemarinya bergerak turun untuk memasuki liang kenikmatan milik Baskara.
Satu jari telunjuk saja sudah sulit untuk Cakrawala lesakkan ke liang milik Baskara. Sekilas, Cakrawala tersenyum. “Lo inget, omongan lo waktu pertama kali kita ML?”
“Sempit banget, Cak.“ “Sempit, enak banget jepit punya gue. Anjing. Cak. Enak banget, Cak. Fuck. Bangsatㅡ lo .. gue cuma mau ngewe sama lo.“
“Inget?”
Seiring ucapan Cakrawala diujarkan, jemari si yang lebih muda perlahan ditambah jumlahnya untuk dilesakkan satu persatu. Tidak bisa penuh hingga empat-atau-lima, bahkan untuk melesakkan jari ketiganya pun Cakrawala sudah kesusahan.
Cakrawala kesusahan. Baskara kebingungan.
Rasa panas di dalam tubuh Baskara seperti akan meledak ketika jari ketiga Cakrawala mencoba menembus liangnya. Sakit. Demi apapun, sakit. Baskara tidak habis pikir bagaimana Cakrawala bisa berujar enak ketika dihujam oleh miliknya, coba?
Tubuh Baskara melengkung sementara tangannya masih terentang di ikatan tali, saking tidak kuat menahan sakit juga nikmat yang menyerang bersamaan. Jemari Cakrawala juga tidak kalah panjangnya dengan jemari Baskara. Di saat begini, Baskara baru mengetahui sebagaimana panjangnya milik Cakrawala.
Lihat. Seperti ingin menggoda Baskara, Cakrawala terus menepuk-nepukkan kejantanannya ke paha si yang lebih tua. Keras. Kali ini, Baskara benar-benar merasa nafasnya sesak. Cakrawala tidak akan benar-benar memasukinya, bukan?
“Emang, ya.” “Susah banget dibikin keluar.”
Cakrawala berujar sementara jemarinya masih melesak dalam ke liang Baskara, juga diikuti sebelah tangan lainnya yang masih bergerak naik turun. Memfokuskan gerak di bagian kepala kejantanan Baskara. “Udah lama, padahal.”
Cakrawala tidak tahu, sedari tadi Baskara berusaha sebisa mungkin untuk tidak keluar. Ini harga dirinya yang terakhir. Untuk tidak keluar, untuk menunjukkan kepada Cakrawala bahwa ia tidak akan takluk di dalam permainannya.
Akan tetapi, Cakrawala bukan lelaki yang mudah menyerah, rupanya. Alih-alih menghentikan gerakannya, Cakrawala malah bergerak merangkak naik untuk mendekati wajah Baskara. Kuluman pada puting adalah yang diberi selanjutnya, masih dengan kedua tangan yang bergerak dengan aktivitasnya masing-masing.
Selama ini, Baskara selalu berujar bahwa melakukan senggama dengan Cakrawala sembari mengulum puting si yang lebih muda adalah aktivitas yang paling ia sukai. Rasanya seperti menjadi bayi yang tengah menikmati sajian sekaligus lelaki dewasa yang tengah memberi kepuasan kepada si kesayangan.
Baskara suka mengulum puting Cakrawala, namun tidak pernah menyangka akan menyukai suatu masa ketika putingnya dikulum oleh Cakrawala.
Geli. Sungguh, geli menggelitik.
“Caakㅡhh .. udah ..” “.. gue taku-t .. takut keluarrㅡ”
Baskara merengek. Diulangi, dengan tebal. Baskara merengek.
Rupanya kuluman pada puting Baskara lebih memberi efek lebih dibanding kocokan selama beberapa menit di kejantanan si lelaki. Lihat, lihat saja bagaimana kini kaki Baskara ditekuk saking nikmatnya. Lihat saja bagaimana kini Baskara tidak lagi mengepalkan tangan namun tengah mencengkeram kepala tempat tidur karena tidak kuat menahan nikmat yang diberi oleh si kesayangan?
Cakrawala menghentikan kulumannya dan menengadah sekilas, menatap Baskara yang berada di atasnya. “Apa, sayang?”
Dipanggil sayang adalah kelemahan Baskara yang lainnya. Baru sekarang Baskara merasakan panggilan sayang dari Cakrawala terdengar sebegini membuatnya berdebar.
“Udah—” “Lepasin ikatannya ..” “.. gue mau mainin lo, Cak.”
Baskara tersengal. Miliknya sudah sangat mengeras, jika dibiarkan masuk ke liang Cakrawala sebentar sajaㅡ Baskara yakin ia akan segera dapat melakukan pelepasan.
Senyum tipis Cakrawala terulas di bibir. Senang melihat ia yang biasanya bersikap kasar kini memohon untuk dibebaskan dari ikatan. “Lepasin?”
“Tolong lepasin.”
Semua seperti de javu. Cakrawala yang aktif. Baskara yang tidak bisa melakukan apa-apa. Seperti tengah mengulang sebuah kaset film berisi cerita yang sama namun dengan pemeran yang berbeda.
Sayangnya, Baskara adalah lelaki penuh rasa gengsi. Memohon kepada bawahannya perihal kegiatan di ranjang adalah hal yang tidak ia tolerir, Baskara tidak mau. Maka alih-alih mengucapkan kata tolong, Baskara menggelengkan kepalanya cepat.
“Nggak.” “Lo tau, gue nggak suka liat lo yang begini, Cak! Inget posisi lo, anjing.”
“Posisi?”, kata barusan diulang lambat-lambat oleh Cakrawala. Tubuhnya tidak lagi berada di atas Baskara namun kembali duduk menghadap ke arah kejantanan si kekasih. “Posisi, ya?”
“Bas.” “Inget tadi gue bilang apa?”
Belum juga Baskara sempat menjawab, Cakrawala sudah melanjutkan kalimatnya. “Gue mau kasih lo hadiah.” Kalimat diakhiri seraya kejantanan Cakrawala kini digesek-gesekkan ke pintu liang milik Baskara. “Lo tau apa seharusnya reaksi orang yang dikasih hadiah?”
“Makasih.“ “Bilang.“
Sakit. Sakit. Sakit.
Sakit, bajingan!
Ingin sekali Baskara meneriakkan kalimat itu namun bibirnya terkatup rapat. Lebih tepatnya, Baskara tidak bisa mengatakan apapun karena kini ia tengah menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Menahan sakit ketika milik Cakrawala perlahan menembus liangnya. “Cak! Ca-akk .. Udah, udah! Anjing, gue nggak kuat. Sakit banget, Caㅡa-annhhng ..”
Entah apa yang membuat Cakrawala seperti kesetanan. Perkataan Baskara sama sekali tidak dihiraukan. Si yang lebih muda berhasil melesakkan miliknya ke dalam Baskara dan perlahan mulai menggerakkan pinggul. Kedua tangannya memijat kejantanan Baskara, semakin membuat yang tangannya terikat semakin tersiksa.
“Bilang apa?“
“Hhnㅡ ah-nnhh, Caaak ..” “.. Sakit, Ca—k. Udahh ..”
Baskara tidak memberi jawaban yang Cakrawala inginkan. Menganggap bahwa setiap kesalahan harus diberi hukuman, Cakrawala menggerakkan miliknya dengan lebih cepat di dalam Baskara.
Dasar Baskara. Bibirnya saja yang berujar sakit, padahal kini laju kejantanan Cakrawala di dalam Baskara sudah mulai mulus. Baskara basah.
“Sakit?” “Tapi basah?” “Hah? Lonte.”
Kaki Baskara dilebarkan sehingga kini tubuh Cakrawala berada di atas si kekasih. Kedua tangannya bertumpu di masing-masing sisi tubuh Baskara sementara pinggulnya masih bergerak dengan tempo cukup cepat. “Hm? Kenapa nggak mau ngeliat gue begitu?”
Memang benar. Sekarang Baskara sedang menolak untuk menatap Cakrawala. Pandangannya dikesampingkan, juga bibirnya masih terkatup rapat. “Nggak suka—!”
Satu tumbukan dalam dan kuat dilesakkan oleh Cakrawala dan secara otomatis membuat Baskara mengerang, entah sakitㅡ entah karena perasaan lainnya.
“—gue!” Lagi. Tumbukan dalam, dari Cakrawala.
“—mainin begini, hah?!” Lagi. Membuat Baskara mau tidak mau menatap Cakrawala dan segera memberi pandangan yang (di mata Cakrawala) terlihat ambigu.
Perlahan, gerakan pinggul Cakrawala mulai menjadi lambat. Sebelum akhirnya berhenti sejenak dan membuat Baskara dapat mengatur nafasnya kembali.
“Kenapa, hm?”, Cakrawala menundukkan kepalanya untuk mencium bibir Baskara. “Sayangnya Cakrawala, kenapa? Mau keluar?”
Cakrawala dapat menebak arti dan maksud tatapan Baskara dengan tepat. Sedari tadi, Baskara mencoba mempertahankan sisa harga dirinya sebagai top di dalam hubungan mereka.
Diperlakukan begini, sedikit membuatnya tersinggung. Jujur saja, sesungguhnya ia bisa memaksa agar ikatan di pergelangan tangannya terlepas. Namun suguhan dari Cakrawala, senikmat itu.
Baskara ingin menikmati, namun ia takut. Takut Cakrawala akan menganggapnya remeh. Takut Cakrawala akan memiliki pandangan berbeda ketika mereka kembali bersenggama dengan status semula.
Takut. Baskara, takut.
Maka dari itu, Baskara selalu menolak untuk mengatakan enak. Maka dari itu, Baskara selalu mengatakan sakit. Padahal, tidak.
Enak. Sangat enak, malah. Memang sakit. Namun, sakitnya membuat candu.
Sedari tadi, Baskara ingin mengaku begitu namun ia malu. Malu mengakui bahwa ia juga ingin ditumbuk, malu mengakui bahwa ia ingin disebut dengan panggilan yang direndahkan.
Baskara mengangguk kecil dan segera dibalas dengan senyum berhias lesung pipi dari Cakrawala. “Mau keluar?”
Lagi. Pinggul Cakrawala kembali bergerak, kali ini dengan tempo perlahan yang lama-kelamaan dipercepat. “Buka mulutnya, sayang.”
Baskara sudah seperti kerbau yang dicocok hidungnya. Selain membuka mulut seperti yang diperintahkan Cakrawala, ia kini melingkarkan kakinya ke pinggang si kekasih. Sesekali menggerakkan pinggulnya berlawanan arah dengan gerak hujaman Cakrawala sehingga milik si yang lebih muda masuk lebih dalam daripada sebelumnya.
Bibir Baskara yang terbuka segera disambut dengan cium dan lumatan dari Cakrawala. Saling melilitkan lidah, bahkan tidak peduli ketika saliva keduanya berantakan di ujung bibir. “A-annhhng .. Caakㅡ punya lo .. punya lo enak banget, Cak.”
Mendengar pujian begitu membuat Cakrawala seperti semakin kesetanan. Tangan kanan si yang lebih muda kini memijat kejantanan Baskara sementara tangan kirinya memilin puting si kekasih. Lumayan merepotkan, namun semua seakan terbayar ketika melihat wajah putih Baskara yang kini merona merah.
Cantik. Baskara, cantik.
Bukan cantik layaknya seorang wanita. Namun cantik yang berarti indah dan layak untuk dipuja. Cakrawala baru menyadari bahwa kekasihnya secantik ini.
Sesempurna ini.
“B-bas ..” “Gue mau— mau nyampe.”
Baskara kira kegilaan Cakrawala sudah cukup sampai di tahap ini : dengan ia yang mencoba mendominasi. Baskara kira, Cakrawala hanya segila itu.
Namun tanggapannya harus berubah tatkala Cakrawala menarik kejantanannya dari liang Baskara. Detik berikutnya, si yang lebih muda sudah membiarkan milik Baskara mengisi lubangnya.
Gila. Cakrawala gila.
Baru beberapa detik tadi, ia bersikap seperti seseorang yang ingin membuat Baskara klimaks bagaimanapun caranya. Namun kini, di detik ini, Cakrawala tengah menaik turunkan pinggulnya. Sesekali memaju-mundur dan memutarkan pinggulnya di atas milik Baskara.
Baskara? Tersiksa.
Sumpah demi apapun, ia ingin sekali memeluk Cakrawala. Atau mencekik leher si kekasih seperti yang biasa ia lakukan di situasi begini. Baskara ingin, namun ia bisa apa dengan situasi begini?
“Tolong.”
Di tengah lenguhan Cakrawala yang tengah menikmati milik Baskara, si yang lebih tua berujar singkat. Tatapannya memohon, sangat. “Tolong bukain ikatan talinya, Cak.“
“Gue nggak kuat.” “Gue mau mainin lo.” “Gue mau bikin lo enak kayak lo bikin gue enak tadi.”
“Tolong.“ “Tolong bukain.“
Cakrawala menghentikan gerakan pinggulnya kemudian tersenyum kecil. Paham bahwa lelakinya sudah banyak tersiksa karena tindakannya malam ini. Sudahlah, mungkin permainan cukup sampai di sini.
Cairan kenikmatan berwarna putih terlihat membaluri kejantanan Baskara ketika Cakrawala menaikkan tubuhnya, berniat melepaskan ikatan tali.
Selama melepaskan ikatan tali, pandangan Baskara tidak pernah lepas dari Cakrawala. Lelakinya itu terlihat mempesona tanpa busana seperti sekarang. Lehernya yang panjang, kulit yang putih, juga setiap idenya di ranjang yang membuat Baskara tidak pernah bosan menjalani hari-hari bersamanya.
Baskara menyayanginya, sangat.
“Udah.” Ujaran dilontarkan dari Cakrawala tepat ketika ikatan simpul di tautan sebelah kiri berhasil ia lepaskan. Tanpa menunggu lama, Cakrawala kembali bergerak kembali menuju kejantanan si kekasih. Memberi kuluman untuk beberapa saat sebelum menempatkan lagi dirinya di atas milik Baskara.
Batang kejantanan Baskara digenggam erat untuk kemudian digesek-gesekkan ke lubang kenikmatan Cakrawala. Senyum tipis diulas dari si yang lebih muda sebelum akhirnya ia berujar dengan penuh nada menggoda.
“Masukin lagi, ya?”
. . . . .
bersambung ..