dontlockhimup

ㅤ        「   Klab Malam, Seoul.  」 ㅤ

LINE

Seungwoo, 한 : kau tahu, 'kan? Seungwoo, 한 : aku sayang kamu. Seungwoo, 한 : sangat. sangat.

aku tahu. : 최, Byungchan
aku juga, sangat. : 최, Byungchan fokus, sana. : 최, Byungchan semangat, ya? : 최, Byungchan

Seungwoo, 한 : iya. Seungwoo, 한 : kamu juga.

Han Seungwoo!“ “Sedang apa, kau?!“ “Cepat, bersiap!

Suara panggilan dari arah bawah panggung terdengar lantang. Jihoon, stage director abal-abal dari sebuah klab malam di pusat kota Seoul itulah yang barusan memanggilnya.

Memanggil Han Seungwoo, seorang lelaki bertubuh tegap dengan kenaan berupa jas yang membalut pakaian tipis di dalamnya. Entahlah. Seungwoo sendiri tidak paham bagaimana Eun-A, si penata busana di klab malam ini, malah memakaikannya pakaian seperti ini.

Seperti tidak berguna. 'Toh perut ratanya masih terlihat walaupun hanya sekelebat. Namun menurut Eun-A, itu adalah cara untuk menggoda mereka di luar sana agar lebih menginginkan Seungwoo.

Iya, mereka. Di balik tirai panggung yang tertutup, mereka menunggu dengan berbagai ekspektasi.

Para wanita dengan harta berlimpah. Para wanita yang rela mengeluarkan uang seberapapun hanya demi mendapatkan kepuasan dari lelaki yang menjajakan penampilan maupun diri di atas panggung yang disediakan. Para wanita yangㅡ ah, Seungwoo sendiri tidak paham bagaimana harus menyimpulkannya.

ATM malam ini kebanyakan para gadis muda. Kalian harus semangat! Paham?”

Oh, benar. Mereka adalah ATM. Pundi-pundi uang bagi Seungwoo dan rekan kerjanya yang menggantungkan nasib di klab malam ini. Anggap saja begitu, agar lebih mudah.

“Terutama kau, Seungwoo!”

Dipanggil namanya, membuat Seungwoo yang semula tengah mengancingkan pakaian tipis di dalam balutan jas hitamnya segera mengangkat kepala. Memandang Jihoon dengan tatapan sedikit heran. “Aku? Kenapa?”

“Banyak dari ATM yang menanyakanmu, brengsek!“, ujaran yang cukup kasar namun diucapkan dengan tawa renyah. Seungwoo tahu, Jihoon hanya bercanda ketika memanggilnya dengan panggilan barusan. “Sepertinya kau akan laku keras di lelang malam ini!”

Lelang.

Benar. Kalian tidak salah membaca. Seungwoo akan dilelang. Sesungguhnya tidak hanya Seungwoo, beberapa rekan kerja yang berprofesi sama sepertinya juga akan dilelang untuk menghabiskan waktu bersama salah satu dari ATM di luar panggung sana. Hanya dengan mereka yang berani menawar dengan harga tertinggi, tentu saja.

“Sudah jadi rahasia umum.” Seungsik, salah satu dari rekan kerja Seungwoo yang akan tampil di panggung yang sama kini berujar santai. “Seungwoo hyeong pasti akan laku paling keras lagi.”

“Taruhan. Lima ribu won.” Hanse, lelaki berambut hitam dengan tindikan di bibir sekaligus teman yang (juga) akan tampil dengan Seungwoo segera melanjutkan kalimat Seungsik. “Yang laku paling keras malam ini pasti Seungwoo hyeong ..”

“.. juga Byungchan.”

Air muka Seungwoo menjadi sedikit berubah setelah mendengar kalimat Hanse barusan. Byungchan, nama lelaki itu selalu bisa membuat Seungwoo merasakan perasaan yang berbeda tergantung di mana namanya diucapkan.

Biasanya, Seungwoo akan merasa seperti ada yang menggelitik di perutnya tatkala mendengar nama Byungchan di lain tempat selain klab. Akan tetapi mendengar nama Byungchan di sini dan dengan situasi begini, sama sekali tidak membuat Seungwoo senang. Seungwoo ingin marah, malahan.

“Sudah. Fokus! Fokus!” “Pikau para ATM!” “Bawa untung sebanyak-banyaknya! Nanti akan kuberikan bonus akhir tahun yang banyak! Paham?”

Ujaran Jihoon dibalas dengan anggukan semangat dari Hanse dan Seungsik. Sementara Seungwoo hanya mengangguk kecil seraya mengancingkan jas hitamnya, rapat. “Han Seungwoo?”

Lagi, panggilan Jihoon hanya dijawab dengan gumaman dari Seungwoo. “Hm? Apa?”

“Pastikan kau buka kancingmu. ATM pasti akan sangat suka melihat badanmu itu. Buat mereka tergila-gila denganmu. Bawa uang yang banyak untuk kita. Lakukan yang paling terbaiㅡ oh, Byungchan!”

Ucapan Jihoon terputus, kini tangan kanan si stage director melambai seperti memanggil seseorang untuk menghampirinya. “Kkkhhkㅡ”, Jihoon segera mendesis kagum ketika langkah kaki Byungchan terdengar mendekat. “ㅡlihat, sumber uangku tampan sekali malam ini.”

“Eun-A melakukan styling yang tepat untuk Byungchan malam ini.”

Langkah kaki yang awalnya terdengar mendekat, sekarang benar-benar berhenti di samping Jihoon.

Posisi Byungchan yang kini bersisian dengan Jihoon menjadi berhadapan dengan Seungwoo, Seungsik, dan Hanse. “Byungchan! Kau juga bisa beri uang yang banyak untukku, 'kan?”

“Kau akan laku dilelang dengan harga tinggi, 'kan?”

Dengan posisi berhadapan begini, Seungwoo bisa menatap dengan jelas sosok lelaki jangkung bertubuh lumayan kurus itu. Sosok Byungchan malam ini terlihat sangat cocok dengan kenaan dari bahan kain satin berwarna krem. Benar ucapan Jihoon, Eun-A melakukan kerja baik dengan tatanan penampilan Byungchan malam ini.

Jihoon berkata bahwa Byungchan terlihat tampan, namun di mata seorang Han Seungwooㅡ lelaki itu terlihat manis.

Selalu begitu. Tidak pernah berubah.

“Aku tidak akan pernah bisa mengalahkan Seungwoo hyeong. Pasti harga lelangnya akan lebih tinggi. Kau berharap saja ke Seungwoo hyeong, jangan kepadaku.” Byungchan berujar seraya mengibaskan tangan kanannya. Sekilas, ada kerlipan silau dari kelingking kanan lelaki jangkung itu.

Cincin yang tersemat di jari kelingkingnya, berkerlip. Cincin yang sama dengan yang dikenakan oleh Seungwoo, juga di jari kelingkingnya.

Jihoon menggelengkan kepala, seperti tidak setuju dengan ujaran Byungchan barusan. “Kau. Seungwoo. Seungsik. Juga Hanse, kalian adalah pundi-pundi uangku malam ini. Siapapun boleh menjadi yang paling banyak membawa uang.”

“Siapapun boleh.” “Jadi cepat keluar, kalian bertiga.” Jihoon menepuk pundak Seungwoo, Hanse, dan Seungsik dengan cukup kuat. “Lakukan yang terbaik!”

Hanse dan Seungsik segera melakukan persiapan sebelum naik ke atas panggung untuk tampil. Seungwoo mengambil posisi di barisan paling belakang dan melirik diam-diam ke samping, mencuri pandang ke arah Byungchan.

Byungchan masih diam di tempatnya, berdiri dengan tangan kanan yang kini sedikit terjulur. Paham dengan maksud tindakan lelaki itu, Seungwoo sedikit berjalan ke pinggir. Keluar dari barisan lurus yang semula dibentuk oleh Hanse dan Seungsik.

Seungwoo berjalan terlalu meminggir. Tujuannya hanya satu, agar dapat menggenggam tangan Byungchan barang sebentar saja.

Agar dapat menggenggam tangan kekasihnya. Agar dapat menyampaikan pesan bahwa apapun yang ia lakukan di luar sana, sama sekali tidak melibatkan perasaan atau emosi apapun.

“보지마.” ( Jangan lihat. ) “진짜로, 보지마.” ( Sungguh, jangan lihat. )

Seungwoo berujar demikian kepada Byungchan. Suaranya seperti mendesis, seperti tidak ingin kalimatnya barusan didengar oleh Seungsik dan Hanse. Sudah hampir dua tahun semenjak Seungwoo menjalani profesi ini. Begitupun dengan Byungchan yang sudah berkarir di bidang yang sama dalam kurun waktu yang lumayan mirip.

Semestinya mereka berdua sudah harus terbiasa dengan resiko karirnya. Semestinya Seungwoo tidak perlu melarang Byungchan melakukan ini itu.

Namun biar bagaimanapun, Seungwoo akan berada di luar sana. Diteriaki dengan penuh godaan seksual oleh para ATM, bahkan mungkin sesekali akan disentuh badannya sebagai bentuk uji coba.

Sungguh, Seungwoo tidak ingin membiarkan Byungchan melihatnya dalam kondisi begitu.

Akan tetapi, si lelaki yang bertubuh lebih kurus seperti tidak menghiraukan ucapan peringatan dari Seungwoo. Byungchan, ia malah tersenyum dan menggeleng kecil.

“괜찮아.” ( Tidak apa-apa. ) “난 너 믿어.” ( Aku percaya kamu. )

Byungchan mengucapkan kalimatnya dibarengi dengan genggaman tangan yang diperkuat. Ingin menyampaikan pesan kepada si kekasih bahwa dirinya tidak perlu khawatir perihal apapun. “Sudah, pergi sana.”

Hingga akhirnya genggaman tangan keduanya terlepas dengan perlahan, hingga akhirnya tirai panggung terbuka dan sosok para wanita yang mereka sebut sebagai ATM segera memandangi Seungwoo dengan penuh tatapan menilai, hingga akhirnya Byungchan memperhatikan segala tindak Seungwoo dari balik panggung ..

.. hingga akhirnya, semua berjalan begitu. Tanpa ada yang berbeda. Sedikitpun, tidak ada.

Hari mereka berdua, dimulai seperti ini lagi.

ㅤ     「   Hotel, keesokan paginya ..  」 ㅤ

Sakit?

Baskara berujar dengan nada sedikit khawatir ketika melihat Cakrawala yang tengah mencoba duduk dengan sangat berhati-hati. Sepertinya efek dari kegiatan mereka kemarin malam.

Terlalu .. apa, ya? Berapi-api? Bahkan untuk tidur, mereka berdua sampai harus pindah ke kamar sebelah yang dipesan oleh Cakrawala sebelumnya. Kenapa, tanyamu? Karena Cakrawala terlalu banyak keluar dan membuat sprei kasur hotel basah dengan cairan kenikmatannya.

“Menurut ngana?”

Cakrawala berujar dengan sedikit ketus. Terkadang Baskara heran dengan tindak si kekasih. Satu waktu, Cakrawala bisa menjadi lelaki paling manis dan penurut sementara di satu waktu yang lain Cakrawala bisa menjadi lelaki paling ketus seperti ini.

“Gila aja kalo gue kayak begini pas ke kantor. Dikira wasir, kali.” Cakrawala menggerutu seraya mencibirkan bibirnya. Entah, sepertinya berniat menyuarakan kekesalan namun di mata Baskara tetap saja terlihat menggemaskan.

Sorry.“ “Suruh siapa jadi orang tuh manis banget? Bikin gue pengen sodok terus-terusan tanpa pernah puas, coba?”

Baskara berujar dengan terlalu santai. Ia masih berbaring di kasur sementara kini Cakrawala sudah siap dengan kenaan rapi, “lo mau berangkat sekarang?”

Anggukan diberi dari si yang lebih muda. Cakrawala tengah membungkuk untuk mengikatkan tali sepatunya, “ada rapat buat acara lamaran orang.”

“Lo masih ikut rapat?” “Owner, lho. Semestinya lo leha-leha aja. Biarin karyawan yang persiapin semuanya.”

Cakrawala, kini sudah menjabat sebagai seorang pemilik dari sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa penyelenggaraan acara istimewa. Event Organizer, kata sederhananya.

Tentu, semua berkat bantuan dana dari Rachel sehingga Cakrawala bisa menanamkan modal usaha yang sudah berkembang pesat hingga seperti sekarang. Kini, perusahaan yang dikelola Cakrawala sudah mulai dikenal sebagai penyelenggara acara yang profesional.

“Gue nggak kayak lo.” “Bos yang kerjanya leha-leha.”

Sindiran dari Cakrawala tidak dimasukkan ke hati oleh Baskara karena memang kenyataannya demikian. Berbeda dengan Cakrawala, Baskara sangat memanfaatkan jabatannya sebagai seorang pemilik hotel bintang lima di beberapa kawasan Jakarta.

Sewajarnya seorang pemilik, tugas Baskara hanya mengawasi. Tidak perlu terjun langsung ke lapangan. Baskara lebih suka begitu.

“Gue yang ngegaji mereka. Ngapain juga mesti capek-capek mikirin hal yang semestinya dilakuin sama mereka yang digaji?”, celetuk Baskara seraya memperhatikan Cakrawala yang kini sudah berdiri menghadap cermin besar di dekat kamar mandi hotel.

“Cak.” Panggil Baskara.

“Hm?”, gumam Cakrawala tanpa mengalihkan pandangan dari arah cermin.

“Nggak mau kasih salam sama yang ini sebelum berangkat kerja?“, lanjut si yang lebih tua seraya menyibakkan selimut yang sedari tadi menutupi tubuh bagian bawahnya. Baskara masih telanjang bulat, sehingga miliknya kini terekspos dengan jelas.

Cakrawala menatap malas dari pantulan cermin. “Bodo amat,” ujar si yang lebih muda seraya merapikan kaus Polo yang dikenakannya. “Kocok sendiri, sana. Gue berangkat. Dah.”

Mata Baskara mengikuti langkah Cakrawala hingga akhirnya sosok si kekasih menghilang di balik pintu kamar hotel.

Kekasihnya selalu saja begitu. Bersikap sok-cool di situasi biasa namun ketika sudah di atas ranjang, ia menjadi sosok yang dapat memuaskan Baskara dengan tidak main-main.

“Hhh.” “Cak. Cak.” “Nyokap gue nangis kali kalo tau gue abis ML beberapa ronde sama lo.”

Baskara berujar kecil. Tatapannya kini terarah ke langit-langit kamar, mengingat kembali bagaimana kegiatan birahi antara ia dengan Cakrawala kemarin malam.

Persetan.

Kalau itu tentang Cakrawala, Baskara tidak peduli tanggapan orang-orang. Kalau itu Cakrawala, Baskara rela melepas semuanya yang dia miliki saat itu juga.

Asalkan itu Cakrawala.

Sayangnya, tidak demikian dengan Cakrawala.

Alasan mereka berdua masih merahasiakan hubungan adalah karena Cakrawala yang meminta demikian.

Cakrawala, takut. Cakrawala, ragu. Selalu saja begitu.

Padahal Baskara siap untuk melepaskan Rachel maupun semua materi yang dimilikinya sekarang asalkan bisa bersama Cakrawala. Cinta yang ia rasakan kepada si lelaki sudah masuk ke tahap terobsesi. Ingin memiliki tanpa terkecuali.

Berulang kali Baskara pernah meminta Cakrawala untuk memilih pergi bersamanya. Pergi ke tempat di mana hubungan sesama jenis layaknya mereka tidak akan dianggap hal tabu. Namun lagi dan lagi, Cakrawala selalu menolak.

Tunggu, Bas.“ “Gue punya Rembulan.“ “Bakal mikir apa dia kalau tau bokapnya gay?

SEMENJAK AWAL, BASKARA MENOLAK IDE KONYOL CAKRAWALA!

SEMENJAK AWAL, BASKARA SUDAH MENENTANG IDE SIALAN PERIHAL MENIKAH DENGAN PEREMPUAN HANYA DEMI MEMILIKI KETURUNAN!

SEMENJAK AWAL, BASKARA SUDAH TIDAK SUKA!

Namun Baskara bisa apa? Ia tidak bisa membentak si kekasih. Ia tidak bisa mengutarakan ketidaksukaannya secara gamblang. Sosok Baskara di kesehariannya berbeda dengan sosok Baskara ketika sudah berhadapan dengan Cakrawala di atas ranjang.

Baskara lebih suka memendam semuanya sendirian. Baskara memang pernah mengatakan tidak setuju akan ide Cakrawala namun tidak ia suarakan secara lantang. Hanya disuarakan menjadi bujuk rajuk tanpa tajuk.

“Bego banget lo jadi orang, Cak?”, gumam Baskara seraya menutupi matanya dengan sebelah lengan.

“Pergi tanpa matiin lampu.” “Silau, bego.”

ㅤ        「   Best Of Me. 」 ㅤ

Janji, lo.“ “Jangan gangguin gue.

Itulah kalimat pertama yang Cakrawala ucapkan ketika menyambut Baskara di depan pintu unit apartemennya. Iya, kalian tidak salah membaca. Unit apartemen, sekarang Cakrawala tinggal di sana. Siapa lagi jika bukan berkat Rachel yang dengan senang hati menawarkan si lelaki untuk tinggal di apartemen yang sama dengan Baskara.

Apartemennya, sama. Unitnya, berbeda.

Cakrawala yang meminta begitu. Kenapa, tanyamu? Karena ia tidak bisa fokus dengan keberadaan Baskara di sekelilingnya. Bukan karena si yang lebih tua kerap membuat ia berdebar lebih cepat atau bagaimana, namun Baskara selalu saja menciumi lehernya. Yang lebih parah lagi, terkadang Cakrawala juga tidak cukup kuat iman untuk tidak menikmati setiap sentuhan Baskara. Akhirnya, yaㅡ setiap kali mereka bersama pasti persediaan kondom berkurang.

Baskara mengangguk cepat ketika mendengar perkataan Cakrawala. Malam ini ia sudah bertekad untuk tidak mengganggu si kekasih. Ia hanya terlampau rindu, sumpah.

Padahal tadi pagi ia baru bertemu dengan si kekasih di lobi apartemen, namun mereka hanya sempat bertatapan dan berbalas senyum barang beberapa detik. Tidak ada kegiatan intim karena yaㅡ mereka tidak mau cari mati. Resepsionis lobi sangat berisik. Salah bicara atau bertindak sedikit pasti akan ada rumor yang bertebaran diantara pengurus apartemen.

Menyebalkan.

“Nggak akan ganggu.” “Janji.”

Tepat setelah mengucapkan kalimat itu, Baskara yang semula berjalan di belakang Cakrawala segera mengembangkan tangannya. Berniat untuk memeluk si kekasih, namun ..

“Nggak pake peluk-peluk.”

Hng. Gagal.

Namun, janji tetap janji. Baskara akhirnya menutup kembali rentangan tangannya dan hanya ikut berjalan di belakang Cakrawala menuju ruang tamu.

Di atas meja ruang tamu, satu unit laptop tampak terbuka. Di sekelilingnya ada banyak lembaran kertas dan kacamata Cakrawala, sepertinya si kekasih memang sedang serius.

“Sibuk banget, ya?”, tanya Baskara seraya mendudukkan diri di atas sofa ruang tamu. Cakrawala tidak duduk di sofa, ia duduk di lantai agar dapat berhadapan langsung dengan meja ruang tamu dan laptopnya.

“Ya, keliatannya gimana?”, Cakrawala balas bertanya dengan nada ketus. Heran, kekasihnya ini memang hanya berniat bertanya atau ingin membuatnya lebih kesal, sih? Sudah tahu situasi di atas mejanya begini, malah bertanya sedang sibuk atau tidak.

Baskara memilih untuk tidak menjawab. Cakrawala seperti sedang dalam mode senggol-bacok, ia tidak ingin membuat masalah lebih jauh. Maka Baskara hanya begini, menatapi punggung Cakrawala dari sofa.

“Sayang.”

”...”

“Sayang.”

”...”

“Sayㅡ”

“Lo mau gue usir dari sini?”

Baskara mengerucutkan bibir. Padahal biasanya Cakrawala senang dipanggil begitu. “Cak. Ngerjainnya di sini bisa, nggak?”, tanya Baskara seraya menepuk-nepuk ruang kosong di sofanya. “Di samping gue, sambil senderan.”

“Enak begini,” jawab Cakrawala seraya menggerakkan jari di atas kursor. “Lo jangan cari-cari kesempatan buat nyodok, ya.”

“Nggak. Sumpah.” “Gue nggak main raw.” “Nggak bawa kondom, gue.”

“Nih. Liat, nih.” Baskara merogoh saku celananya dan menarik kainnya keluar. Ingin menunjukkan ke si kekasih bahwa ia memang tidak memiliki niat aneh-aneh malam ini. “Kosong, 'kan?”

Cakrawala menoleh ke belakang. Memang benar, Baskara tidak membawa pengaman dan sepengetahuan Cakrawala lelakinya itu tidak suka bercinta tanpa memakai barang itu.

“Nggak pake cium-cium leher, ya?”

Baskara mendesis gemas. “Nggak percayaan banget ke pacar sendiri, sih?”, ujarnya dan dilanjut dengan si yang lebih tua yang kini sedikit menarik tubuh Cakrawala untuk bangkit. “Sini, deket-deket sama gue.”

“Kangen.” “Kangen banget.”

Padahal Cakrawala baru saja duduk di atas sofa dan meletakkan laptop di pangkuannya, namun Baskara langsung melingkarkan tangannya ke tubuh si yang lebih muda. “Cak.”

“Hm?”, balas Cakrawala seraya masih mengetikkan beberapa kalimat di lembar kerjanya. “Apa?”

“Gue baca di twitter.” “Katanya ada yang meninggal gara-gara nggak tidur seminggu penuh buat ngerjain skripsi.”

“Lo takut gue begitu?”, tanya Cakrawala seraya tertawa kecil. Pandangannya masih tidak lepas dari layar laptop, fokus. “Bas. Gimana gue bisa nggak tidur kalau lo setiap jam 12 malem selalu ngespam kakaotalk gue buat nyuruh tidur?”

Baskara tersenyum tipis ketika mendengar ujaran Cakrawala. “Siapa tau lo bohong, 'kan? Bilangnya tidur, padahal nggak.”

“Bas.” Cakrawala memanggil nama Baskara, terdengar sedikit memberi penekanan di sana. “Gue nggak akan bohong ke lo tentang apapun itu.”

“Mau itu hal baik atau buruk sekalipun, gue bakal jujur. Nggak akan gue bohong ke lo.”

Baskara mengangguk-angguk kecil. Ia paham bahwa Cakrawalanya tidak akan bertindak jahat. Ia paham bahwa Cakrawalanya tidak akan bohong, namun tetap sajaㅡ rasa khawatir selalu menghantui Baskara.

“Iya.” Baskara yang masih dalam posisi merangkul Cakrawala kini memandangi si kekasih dari samping. Lelakinya ini .. aduh, bagaimana mengungkapkan apa yang sedang ia rasakan? Rasanya setiap kali Baskara melihat Cakrawala, hatinya selalu meraung-raung. Ingin berteriak suka ribuan— ah, tidak! jutaan kali, kepada si yang lebih muda.

“Cak.”

“Hm?”

“Sayang gue, nggak?”

”...” “Jangan ganggu.”

“Ini nggak ganggu.” Baskara melepaskan rangkulannya. Posisinya kini sedikit tegak, menyamakan posisi dengan si kekasih yang seperti sengaja memilih untuk tidak menatapnya. “Sayang gue, nggak?”

“Ini ganggu namanyㅡ”

“Katanya lo nggak bakal bohong ke gue,” ucap Baskara dengan wajah sedikit merengut. Merajuk, sepertinya.

“Ya, nggak bakal bohong itu nggak berarti gue harus jawab semua pertanyaan lo yang udah jelas apa jawabannya, 'kan?”

“Nggak.” “Nggak jelas.”

“Nggak jelas apanya?”

“Jawaban lo.” “Sayang, nggak?”

“Ya Tuhan, Baskara.”

Cakrawala meletakkan laptop di pangkuannya ke samping. Tubuhnya dialihkan untuk menatap Baskara sementara kini kedua tangan yang lebih muda menangkup wajah si kekasih.

Cup.

Dengan cepat, Cakrawala mendaratkan sebuah kecupan di bibir Baskara. “Jelas, belum?”

Baskara tidak menjawab namun senyumnya terkembang lebar setelah mendapat kecupan dari si kekasih. “Hnnㅡ mau yang lebih jelas.”

Seakan tidak menunggu persetujuan dari Cakrawala, Baskara segera mengangkat tubuh si kekasih ke dalam gendongannya.

“Bas!” “Turunin, nggak?” “Gue mesti beresin skripsinya!”

Sumpah. Tindak Cakrawala saat ini persis seperti ikan yang diangkat ke daratan. Gelepak-gelepak di dekapan Baskara.

Tidak peduli, Baskara kini membaringkan Cakrawala di kasur dan segera ikut berbaring di sampingnya. “Udah. Tidur dulu.”

“Kantung mata lo item banget, nggak bohong. Lo begadang terus, 'kan, pasti?”

Rangkulan kembali diberi dari Baskara kepada yang terkasih. Tangan Cakrawala dituntun untuk memeluk pinggang Baskara sementara tangan si yang lebih tua kini tengah menepuk-nepuki punggung Cakrawala perlahan. “Tidur, ya, sayang?”

“Bas, skripsi gu—”

“Sssht.” “Besok lagi, ya?” “Gue temenin. Besok.” “Besoknya lagi.” “Besok dan besok seterusnya, bakal selalu gue temenin lo.”

“Sekarang tidur dulu.” “Ya?”

Cakrawala kalah telak. Ucapan Baskara terlalu menenangkannya sehingga ia merasa tidak takut akan apapun lagi. Pada akhirnya, Cakrawala mengangguk dan memilih untuk membenamkan kepalanya ke dada bidang si kekasih. Menghirup aroma apel bercampur jeruk dari si kekasih membuat Cakrawala merasa lebih nyaman.

Baskara tersenyum tipis ketika si kekasih mulai mendengkur halus. Secepat itu ia terlelap, pasti hari-harinya diisi dengan segala rutinitas padat sampai bisa terlelap semudah ini.

Sekilas, kecupan kecil didaratkan di puncak kepala Cakrawala. Baskara, ia sangat menyayangi lelaki dalam rengkuhannya sekarang.

Terlalu sayang. Teramat sayang. Terlampau sayang.

Malam ini, Cakrawala direngkuh Baskara.

END

ㅤ         「   Netflix & Chill.  」

Tonton filmnya.

Ucapan Byungchan sama sekali tidak dihiraukan. Lelaki bertubuh agak kurus itu kini sedang duduk di pangkuan lelaki bertubuh lebih kekar, Han Seungwoo, mencoba untuk tidak melepaskan fokus dari film yang kini tengah terputar di layar televisi.

The Umbrella Academy.

Byungchan sangat menyukai serial ini, menurutnya cerita yang diangkat dari serial ini sangat mengagumkan. Ingin berbagi hal kesukaan, Byungchan berinisiatif mengajak Seungwoo, kekasihnya, untuk menonton bersama.

Si kekasih terlalu suka menonton pertandingan sepak bola, sehingga sangat tidak mengikuti kabar perihal film atau serial seru terbaru.

Namun, bagaimana ini? Bukannya memfokuskan pandangan ke layar televisi, Seungwoo malah asyik mengecupi leher jenjang Byungchan dari belakang. Sesekali mengulum cuping telinga si lelaki yang lebih kurus, dan sialnyaㅡ seperti sengaja melenguh kecil. Mungkin berniat menggoda Byungchan yang masih berusaha memfokuskan pandangan.

Padahal aslinya, Byungchan sedang berusaha setengah mati agar tidak ikut terhanyut ke dalam godaan si kekasih. Bukan apa-apa, kondisinya sedang tidak begitu prima untuk disetubuhi oleh Seungwoo.

Lelakinya itu, kasar. Lelakinya itu, suka menuntut.

Byungchan sedang tidak dalam situasi yang dapat menuruti birahi Seungwoo. Pasti melelahkan.

“Kak.” Byungchan meraih tangan kanan Seungwoo yang kini tengah menelusup masuk ke dalam kaus santainya, seperti berniat mengelusi perut rata si yang lebih muda. “Udah, ah. Malam ini nonton aja, ya?”

Seungwoo tidak menjawab. Tidak memaksa untuk melanjutkan, namun juga tidak mengiyakan untuk berhenti. Lelaki bertubuh kekar itu hanya diam, masih mengecupi leher Byungchan namun kini mulai sedikit lebih berani dengan memberi hisapan dan gigitan kecil di kulit putih si kekasih.

Tangan Byungchan memang semula tengah memegangi tangan Seungwoo yang berusaha menelusup ke dalam kausnya, namun sekarang tangan Byungchan sudah tidak berpegang lagi ke sana.

Tangan Byungchan kini tengah memegangi rambut Seungwoo, mencoba menahan lenguh nikmat yang tengah ia rasakan.

“H-hhh ..”

Byungchan berusaha agar suara desahannya tidak terdengar. Seungwoo pernah berkata bahwa ketika lenguhannya terdengar, maka pada saat itu kewarasannya hilang.

Byungchan tidak boleh mendesah. Byungchan tidak boleh menunjukkan bahwa ia tengah menikmati tindakan Seungwㅡ

“A-ahhnh ..” “K-kaak ..”

Setan. Han Seungwoo memang setan.

Tekad Byungchan langsung luruh tatkala Seungwoo menaikkan usapan tangannya ke atas, kini memilin puting Byungchan dengan sedikit keras. Sumpah, demi apapunㅡ tangan Seungwoo tidak bisa membuat Byungchan menolak untuk tidak diperlakukan lebih jauh.

“Kak, j-jangaㅡ hmmh ..”

Ucapan Byungchan terputus. Bibir Seungwoo tidak lagi memberi kecupan di leher Byungchan. Si yang lebih tua sedikit memajukan kepalanya agar bisa mencium bibir Byungchan dari samping.

Bibir Byungchan mengatakan tidak. Ucapannya memberi penolakan, namun tindakannya tidak demikian. Lihat, bagaimana kini si yang lebih muda malah mengeluarkan lidahnya lebih dulu. “Hhnhㅡ Han Seungwoo ..”

Di sela ciuman dan lumatan antar bibir yang mereka lakukan, Byungchan mendesahkan nama Seungwoo.

Detik berikutnya, Seungwoo sedikit menjauhkan wajah dari si kekasih. “Hm? Kenapa, sayang?”, tanya si yang lebih tua seraya jemarinya masih memilin puting si kekasih dari balik kenaannya. “Beneran nggak mau lanjut, hm?”

Bagaimana bisa Byungchan mengatakan tidak kepada Han Seungwoo? Kepada seorang lelaki bertubuh tegap dengan dada bidang yang kini tengah menatapinya dengan pandangan memohon.

Memohon Byungchan untuk mengiyakan kegiatan mereka sekarang.

“Kak.” Byungchan membalikkan badannya, sehingga kini ia tengah berada di pangkuan Seungwoo namun dengan posisi saling berhadapan. Tangannya dikalungkan ke leher Seungwoo, menyisiri punggung kepalanya. “Coba, buka mulutnya.”

Ujaran Byungchan seperti titah. Apalagi pinggulnya kini tengah bergerak perlahan di atas milik Seungwoo yang masih dibalut celana jeans hitam. Seakan ingin menggoda si yang lebih tua secara perlahan.

Seungwoo tersenyum tipis sebelum akhirnya mengikuti perkataan Byungchan. Mulutnya perlahan dibuka, dan dibalas dengan tindak Byungchan yang sedikit menaikkan tubuhnya sehingga posisinya sedikit berada di atas Seungwoo. “Lidahnya, sayang. Julurin ..”

Lagi, titah dilaksanakan. Lidah Seungwoo terjulur, tanpa tahu apa yang akan dilakukan oleh Byungchan selanjutnya.

Tanpa aba-aba, Byungchan meneteskan salivanya ke lidah Seungwoo sehingga kini saliva si yang lebih muda mengalir turun ke dalam mulut si kekasih. Hanya berselang sepersekian detik, Byungchan merundukkan tubuhnya untuk menghisap lidah Seungwoo yang masih terjulur.

Seperti tengah memanjakan milik Seungwoo, Byungchan menghisapi lidah Seungwoo dengan liar. Seungwoo? Menikmati tindak yang diberi oleh Byungchan. Tubuhnya bersandar ke sofa sementara tangannya mulai bergerak meraba bokong si yang lebih muda.

Awalnya hanya memberi remasan dan tepukan kecil, namun lama-kelamaan tangan Seungwoo mulai menuntun Byungchan untuk menggerakkan pinggulnya dengan lebih cepat.

Nikmat, sangat. Padahal keduanya masih mengenakan kenaan bawah.

“A-nhh .. Ka—k ..” “Mau. Mau diisi sama Kakak.”

Byungchan lagi-lagi harus mengaku kalah di hadapan Seungwoo. Tekadnya untuk tidak disetubuhi pada akhirnya luruh, tidak bersisa. Pada akhirnya, Byungchan yang meminta untuk disakiti.

Seungwoo tidak menjawab apapun. Tidak mengiyakan, tidak pula menolak. Ia hanya sedikit menengadahkan kepalanya, menatap Byungchan yang kini sedang balas menatapnya dengan pandangan memohon. “Mau diapain?”

Byungchan tidak tahan. Seungwoo selalu begini. Si yang lebih tua selalu menggoda terlebih dulu, membuat Byungchan tergoda, lalu kemudian berpura-pura tidak pernah melakukan hal demikian.

Membuat Byungchan merasa seperti jalang yang haus belaian, padahal Seungwoo adalah dalang dari segala afeksi yang ia butuhkan.

“Kak ..” “.. mau diisi sama punya kamu. Mau dibikin enak sama punya kamu, Kak.”

Seungwoo mengangkat ujung bibirnya, sedikit saja. Merasa menang, sepertinya. “Punya aku?”

Pertanyaan diberi seraya tangan kanan Seungwoo bergerak mengusapi pipi Byungchan. Awalnya memberi usapan, namun kini jemari panjangnya mulai memasuki mulut si kekasih. Bergerak keluar-masuk seperti menggerakkan miliknya di sana. “Punya aku yang gimana, sayang?”

Byungchan sedikit tersengal. Jemari Seungwoo— panjang. Padahal hanya setengah yang baru masuk ke mulutnya namun Byungchan merasa ujung jari si yang lebih tua hampir mencapai tenggorokannya. “Hheukㅡ”

Hampir tersedak. Namun seakan tidak ingin mengaku kalah, Byungchan tidak berusaha menghentikan gerakan tangan Seungwoo. Ia malah meraih pergelangan tangan si kekasih dan berusaha memasukkannya lebih dalam. Di sela kegiatannya, Byungchan berujar, “punya Seungwoo .. yang enak ..”

“.. yang besar.” “Yang .. bikin ketagihan.”

“Sayang.” “Masukin aku, ya?”

Seungwoo puas akan jawaban yang diberi oleh Byungchan. Sudah cukup bermain-mainnya, kini saatnya mengabulkan permintaan si kekasih.

Seungwoo sedikit mengangkat pinggulnya agar celana jeans yang dikenakannya bisa dilepaskan setengah. Hanya terhenti di paha, memang. Namun cukup untuk membuat miliknya bebas. Byungchan? Ia juga melakukan hal yang sama. Kenaan bawahnya ditanggalkan, sebelum akhirnya kembali duduk di atas pangkuan Seungwoo.

Tadinya Byungchan sudah siap mengarahkan milik Seungwoo untuk mengisi dirinya. Namun si yang lebih tua menghalangi geraknya. Alih-alih membiarkan Byungchan mengambil alih permainan, Seungwoo meraih milik Byungchan kemudian menaik turunkan tangannya di sana.

“Udah nggak kuat?” “Nggak sabar?”

Perkataan Seungwoo terdengar sangat tenang, berbeda dengan ia yang tengah kesusahan nafas karena diburu rasa nikmat dari setiap sentuhan tangan yang lebih tua. Byungchan, tidak kuat menahan nikmat. “K-kaak .. jangan dimaininㅡ h-hhnh ..”

Tangan Byungchan terkalung ke leher Seungwoo, tubuhnya agak rumpang ke tubuh yang lebih tua. Nafasnya tersengal ketika gerak tangan Seungwoo mulai dipercepat. “Kak .. enakㅡ enak banget ..”

Tangan Byungchan kini meremat rambut belakang Seungwoo. Hampirㅡ ia hampir kelu ..

“Arrngh! Kak!” Byungchan kira, Seungwoo akan segera melesakkan miliknya saat ia hampir melakukan pelepasan. Biasanya Seungwoo begitu. Biasanya Seungwoo tidak akan mau membiarkan Byungchan merasa enak sendirian.

Namun kini, tidak demikian.

Alih-alih melesakkan miliknya, Seungwoo kini menggenggam miliknya dan milik Byungchan di satu genggaman tangan yang sama. Sehingga milik keduanya saling bergesekan dan membuat sensasi yang baru pertama kali mereka rasakan.

Tidak cukup sampai di situ. Sementara sebelah tangan Seungwoo mulai bergerak naik turun di milik mereka, sebelah tangannya yang lain meraih punggung leher Byungchan. Menarik untuk merundukkan wajah dan kembali melumat bibirnya, dalam.

“Hh- nhh, sayang ..” Bukan. Ini bukan suara Byungchan. Ini Seungwoo, yang tengah mempercepat gerakan tangannya naik turun. Memanjakan milik mereka dalam satu waktu yang sama. “.. enak, sayang?”

Byungchan tidak mampu menjawab. Terlalu nikmat. Sangat, teramat nikmat. Akhirnya, si yang lebih muda hany bisa menggigiti bibir bawahnya. Berusaha agar desahnya tidak terdengar dan mengundang curiga dari tetangga sebelah kamar mereka. “Hnnㅡ Kaak ..”

Tangan Seungwoo yang semula menekan punggung leher Byungchan kini beralih meraih remote kontrol TV yang masih memutar serial The Umbrella Academy.

Seungwoo paham, kekasihnya takut melenguh atau mendesah. Maka volume televisi sengaja ia naikkan agar Byungchan bisa lebih leluasa menyuarakan nikmatnya.

Berisik. Ruang yang mereka tempati sekarang, berisik.

Ayo, sayang.“ “Suarain.“ “Buat aku puas.

Byungchan tidak kuat. Ucapan Seungwoo, setiap tindakan yang dilakukan kekasihnya, semua terlalu memabukkan. Rematan pada rambut si yang lebih tua dieratkan, sementara tubuhnya semakin dirundukkan. Sengaja, Byungchan menyandarkan kepalanya ke pundak Seungwoo dan nafasnya yang tersengal disuarakan tepat ke telinga si lelaki tegap. “Fuck. Fuck. Fuck. S-sayaang ..”

“.. enak.” “Cuma mau sama kamu.” “Cuma mau dimainin kamu.” “Cuma sama Han Seungwoo.”

Byungchan, masih saja begitu. Selalu mudah dipuaskan. Selalu mudah mengaku kalah dalam pergumulan birahi antara keduanya. Namun, mau bagaimana lagi?

Diberi godaan apapun dari yang lain, Seungwoo hanya ingin melesakkan miliknya ke dalam Byungchan.

Hanya Byungchan. Choi Byungchan.

END.

ㅤ        「   Arka & Rembulan.  」

Jangan buru-buru.“ “Santai aja.

Arka, lelaki berambut coklat lumayan terang itu mengapitkan ponsel ke lehernya yang dimiringkan. Tangannya tidak ada yang bebas, keduanya masih sibuk mengangkati kotak coklat berukuran sedang yang di dalamnya diisi berbagai macam barang. “Aku nggak bisa jemput, ya? Nggak apa-apa?”

Suara lembut di seberang sambungan telefon terdengar sedikit samar, mungkin karena disisipi suara berisik klakson mobil yang berlalu lalang. Rembulan, pembicaranya. “Nggak apa-apa, Kak. Aku- uhuk! bisa sendiri, kok.”

“Kakak yang nggak apa-apa? Lagi beresin barang-barang sendirian, 'kan?”

“Nggak— apa-apㅡ” “Heeeugh!”

Suara Arka terdengar tersengal. Sebabnya, tengah kesusahan mengangkat satu boks yang terisi penuh oleh buku bacaannya. “Kak?”, panggil Rembulan. “Kak. Kak Arka? Udah, mendingan diem dulu, deh. Daripada encokmu kambuh lagi, coba?”

Sial, rutuk Arka. Gadis itu masih saja ingat dengan penyakit Arka yang sama sekali tidak elit ini.

“Nggak apa-apa. Bisa kok. Kamu hati-hati aja, jangan meleng.”

“Yakin bisa?”, suara Rembulan terdengar ragu. “Jangan dipaksain, lho.”

“Nggak, Embul. Enggaaak.”

“Kak! Ih!” “Jangan panggil Embul!”

“Abisnya, enak, sih.” “Kalau nggak mau dipanggil Embul, maunya dipanggil apa?”

“Maunya dipanggil ..”

...

Em-ul?

Kala menuju penghujung tahun 2024, sang Ayahanda membawa Arka ke Rumah Sakit. Bukan karena dirinya, sang Ayah, atau Ibundanya sakit. Tidak, bukan karena itu.

Yang Arka ingat (walaupun samar) adalah sang Ayah yang terlihat bahagia ketika menerima panggilan telefon dari seseorang. Ibunya juga sama, terlihat bahagia.

Perjalanan ke Rumah Sakit diisi dengan celotehan ramai dari Ayah dan Ibunda. Arka duduk di bangku belakang, sibuk menghisap botol susunya seraya menatap lurus ke depan.

Apa yang membuat mereka sebegitu bahagianya, coba?

Namun, setibanya di Rumah Sakitㅡ Arka segera digendong oleh sang Ibunda sementara sang Ayah sudah berderap terlebih dulu ke dalam ruangan. Ayahnya segera memeluk seorang lelaki lain, erat.

“Aka.”

Aka, panggilan akrab dari sang Ibunda maupun sang Ayah kepada si putra segera dibalas dengan pandangan polos. “Mau liat dedek bayi?”

“Dede?”, ulang Arka dengan agak terbata. “Bayi?”

Sang Ibunda mengangguk seraya menggendongnya menuju sebuah ruangan yang dipasangi kaca panjang. Di dalam sana, di ruangan yang seakan tidak diperbolehkan siapapun untuk masuk, ada kasur kecil yang didalamnya diisi oleh eksistensi sesuatu yang baru pertama kali dilihat oleh Arka.

“Aka. Liat, sayang.” “Ada dedek bayi.”

Jemari Ibunya menunjuk ke arah ia yang disebut sebagai bayi. Sangat kecil, bahkan lebih kecil daripada Arka.

“Namanya Rembulan.”

Tiba-tiba suara bernada berat itu terdengar dari arah belakang. Suara teman sang Ayah, Cakrawala. “Aku udah ngobrol sama Resty. Dia setuju kasih nama anak kami, Rembulan.”

“Rembulan ..” Ibunda Arka, Rachel, mengangguk-angguk kecil sebelum kembali menatap si bayi mungil di dalam ruangan sana. “.. lucu, namanya.”

Arka, artinya matahari. Rembulan, sesuai namanya .. bulan.

Mereka seperti tercipta untuk saling melengkapi satu sama lain. Apakahㅡ ini, kebetulan?

...

Kenapa barengan Embul terus, sih, Pa?

Arka sudah berusia 10 tahun. Tingginya sudah 145cm. Mahir bermain sepak bola, seperti sang Ayah. Tampan, warisan dari orang tuanya. Elegan, seperti sang Kakek.

Namun, kebiasaan merengeknya kepada sang Ayah tidak pernah hilang. Contohnya saja hari ini, Arka merengek di meja makan karena tidak ingin berangkat bersama Rembulan.

“Emangnya Kakak nggak mau berangkat bareng Embul?”, tanya sang Ayah, Baskara, dengan nada tenang. “Embul 'kan cewek, Kak. Kakak mesti jagain cewek, lho.”

Bukan. Arka bukannya tidak ingin berangkat bersama Rembulan karena anak perempuan itu menyebalkan atau bagaimana. Namun baru-baru ini Rembulan seperti tengah memperhatikan anak laki-laki lain. Arka tidak tahu perasaannya ini bagaimana, namun sungguhㅡ menyebalkan.

“Nggak mau.” “Aka nggak mau pergi ke sekolah sama Embul.”

“Ya udah.” “Aka sekalian aja pindah sekolah, ya? Biar nggak pernah ketemu Embul lagi.”

Arka segera terdiam. Omongan Ayahnya tidak pernah main-main. Bisa saja besok ia benar-benar dipindahkaㅡ

“Nggak mau!” “Aka berangkat!” “Mau sama Embul!” “Jangan pindahin Aka, Papa!”

Dalam hati, Baskara tertawa tergelak. Melihat Arka yang panik begini, sangat lucu. Baskara seperti melihat dirinya sendiri, beberapa tahun yang lalu.

Seperti melihat dirinya, yang gila untuk Cakrawala.

...

BUGH! “BRENGSEK!”

BUGH! “ANJING, LO!”

BUGH! “BANGSAㅡ”

“KAK ARKA! UDAHAN!”

Tinjuan Arka terhenti di udara. Suara Rembulan, penyebabnya. “Kak. Udah ..”

Arka menatap lelaki di hadapannya yang kini terduduk lemas di atas karpet koridor hotel. Sekeliling mereka ramai, bahkan beberapa dari mereka sibuk merekam perkelahian itu dengan ponsel masing-masing.

“Kak Arka ..” “.. udah, Kak. Please.”

“Kamu kasian sama bajingan yang udah nyakitin kamu begini, hah?” Arka berteriak, merasa kesal dengan Rembulan yang malah membela lelaki itu.

Lelaki yang barusan saja dihajarnya adalah kekasih Rembulan yang baru saja ketahuan tengah menginap di salah satu kamar hotel milik keluarga Arka. Parahnya lagi, ia menginap bersama perempuan panggilan.

Arka sejak awal sudah menaruh curiga akan tindak si lelaki. Naik pitam karena tidak suka Rembulan dibohongi oleh si lelaki, Arka segera menarik lelaki keluar dari kamarnya dan menghajarnya habis-habisan.

Rembulan baru saja tiba, dan hal yang pertama kali dilihatnya adalah Arka yang hilang kendali akan emosinya sendiri. Baru pertama kali Rembulan melihatnya begitu. “Kak. Udah, Kak.”

“Aku nggak kasihan ke dia.” “Aku kasihan ke Kak Arka.” “Udah, ya?” “Tangannya sakit, 'kan?”

Bohong. Bagaimana bisa Rembulan tidak sakit hati ketika mengetahui kekasihnya tengah menikmati waktu bersama perempuan panggilan? Apalagi lelaki itu adalah kekasih pertama di dua puluh tahun kehidupannya.

Rembulan sakit hati, pasti. Namun Arka tidak bisa dibiarkan begini. Arka yang tengah marah sungguh menyeramkan. Yang pertama harus ia lakukan adalah meredam emosi kakaknya ini.

Hasilnya? Lumayan berhasil.

Arka lumayan melunak setelah Rembulan berujar demikian. Ia juga mau diajak menjauh dari si kekasih Rembulan yang masih meringkuk lemas di atas lantai.

Takut akan hukum? Persetan. Arka punya kuasa, menghajar satu lelaki seperti barusan tidak akan berarti banyak.

Namun yang menyedihkan, dari sebanyak kuasa yang Arka milikiㅡ ia masih dan tetap tidak memiliki kuasa untuk merengkuh tubuh gadis yang tengah menarik tangannya ini.

Arka, masih tidak berani menyatakan suka kepada Rembulan.

Payah.

...

TING. TONG.

2050. Pukul 1 siang. Arka masih sibuk dengan berbagai tumpukan boks coklatnya. Namun suara bel yang berbunyi mengalihkan perhatiannya.

“Siapa?”, balas Arka dengan langkah sedikit tergesa menuju pintu. Apa mungkin itu Rembulaㅡ

“Pos!”

Oh. Bukan, rupanya.

Dengan langkah tergesa, pintu dibuka. Surat dengan nama lengkap Arka sebagai penerima kini telah berpindah tangan. “... Dasarㅡ”, Arka terkekeh ketika mengetahui bahwa surat itu adalah kiriman dari Ayah dan Ibunya yang sedang berbulan madu kedua di Hawaii.

“Anaknya lagi pindahan begini, malah asyik bikin adek baru,” ujar Arka seraya memasukkan kartu pos yang barusan diterimanya ke dalam saku celana. Nanti saja, ia akan baca nanti ketika semua barang sudah selesai dipindahkan.

Pukul 3 siang. Rembulan masih belum datang, namun boks coklat dari ruang tamu rumah Arka sudah berpindah satu demi satu ke dalam mobil hitam miliknya.

Sudah, ini boks terakhir.

“Hhㅡ selesai jug ..”

“Kok nggak nungguin aku, Kak?”

Suara familiar itu terdengar dari arah belakang Arka. Si lelaki berbalik dan menemukan pemilik paras ayu itu sudah berdiri di sana. Tersenyum, namun sedikit terlihat kesal. Mungkin karena Arka sudah menyelesaikan tugas tanpa menunggunya.

Di sana, berdiri Rembulan. Tunangannya.

”'Kan udah Kakak bilang ..” “.. bisa sendirian, kok ..” “.. Sayang?”

Arka berjalan menghampiri Rembulan kemudian segera mengusapi rambutnya, lembut. Senyum seakan tidak mau terhapus dari sana, dari wajah si lelaki dan perempuan yang baru seminggu lalu mengadakan prosesi pertunangan mereka.

Arka dan Rembulan, mereka berdua rencananya akan mulai menempati kondominium yang sudah mereka beli. Tidak! Mereka belum tinggal bersama, kok. Kondominium yang mereka beli ada dua unit dan mereka akan menempati kamar yang berbeda.

Rumah yang tengah Arka tempati ini akan direnovasi sehingga ketika mereka berdua sudah resmi menikah, rumah Arka sudah bisa ditempati dengan nyaman untuk keduanya.

“Ya udah,” Rembulan berujar seraya meraih tangan Arka yang tengah mengusapi rambutnya. “Kalau gitu, aku yang nyupir mobilnya, ya? Kakak tidur aja di bangku penumpang.”

“Kok gitu?” “Cowok nggak boleh disetirin loㅡ aaa! Aa! Sakit! Jangan dicubitin begitu! Iya, iya! Kamu yang nyetir, iya! Gapapa!”

Rembulan tertawa geli melihat Arka yang kini tengah meringis seraya mengusapi pipinya yang memerah.

Takdir mereka, manis. Mungkin Tuhan miris akan takdir Ayah mereka, yang berakhir tragis.

Sudahlah. Perih di waktu dulu, sedih di masa lalu, biarkan saja berlalu.

...

Embul.

Hm?

Kamu tau, nggak?

Apa, Kak?

Aku kepikiran kasih nama anak kita nanti Iwan. Biar dia bisa sayang ke sesamanya.

Iwan?“ “Lokal banget, Kak?

Iya. Iwan.“ “Kepanjangannya ..“ “.. IWAN NA BE YOURS.

HAHAHA!

“...”

HAHA ..

“...”

Ha ..

Turun dari mobil, kamu.

...

END.

ㅤ        「    1 / 7 : Bunga Matahari.  」 ㅤ

Dua puluh lima kilometer. Tiga jam perjalanan.

Namun semua terbayarkan tatkala Seungwoo menemui sosok ia yang berada di balik ruang kecil yang dikelilingi oleh lapisan kaca transparan, terlihat tidak kalah manis dengan berbagai bunga di sekitar. Bahkan jika boleh mengatakan kalimat gombal, Seungwoo tidak bisa membedakan mana bunga dan mana ia.

Ia, bernama Choi Byungchan. Anak pemilik toko bunga yang juga menjadi pelanggan setia pupuk alami olahan keluarga Seungwoo.

Hubungan mereka semestinya hanya sebatas penjual dan pelanggan. Namuㅡ ah, tidak! Ralat! Mungkin Byungchan menganggap demikian. Mungkin bagi Byungchan, sosok Seungwoo hanya lelaki pengantar pupuk dalam karung yang tidak perlu mendapat perhatian lebih. Bagi Byungchan mungkin demikian.

Namun bagi Seungwoo, tidak begitu. Bagi Seungwoo, perasaannya kepada ia di ruangan sana terbentuk dalam sebuah komposisi yang lebih rumit.

Apa, ya?

Apa kalian pernah merasakan perasaan seperti ingin bertemu terus menerus? Lagi dan lagi, seakan satu-dua pertemuan tidak pernah cukup untuk memuaskan perasaan dalam hati.

Atau, apa kalian pernah merasakan keinginan untuk menyentuh wajah seseorang hanya untuk melepaskan rasa penasaran? Rasa penasaran sepertiㅡ apa, ya? Ingin tahu apakah pipinya itu benar-benar empuk seperti yang kau pikirkan atau tidak.

Jika belum pernah, kalian mungkin akan bingung menyimpulkan perasaan yang Seungwoo rasakan sekarang.

Seungwoo merasakan begitu. Ingin bertemu Byungchan terus menerus. Jika bisa, ingin memegang pipi Byungchan karena penasaranㅡ akan bagaimana rasanya memegang lesung pipi milik lelaki itu.

Jarak perjalanan berpuluh kilometer pun tidak pernah menjadi sebuah keluhan bagi Seungwoo. Sepeda dengan keranjang kecil di depannya itulah yang menemani Seungwoo selama beberapa waktu ke belakang.

Bukan. Bukannya keluarga Seungwoo tidak memiliki mobil atau bagaimana. Dua unit mobil pick-up siap menjadi transportasi, kok.

Hanya saja, Seungwoo suka. Suka tatkala hembusan angin menerbangkan rambutnya. Suka tatkala kakinya mengayuh pedal dengan lebih cepat karena tidak sabar bertemu dengan lelaki yang selalu akan mengenakan apron berwarna coklat tua. Suka tatkala kepalanya bisa menengadah ke atas, menatap hamparan langit luas dengan awan yang terkadang menggambarkan siluet bayang seorang Choi Byungchan.

Hari ini pun demikian.

Seungwoo berangkat dari rumahnya di pinggiran kota pada pukul lima pagi. Sarapan berupa roti dengan selai stroberi pun tidak Seungwoo santap di meja makan. Ia tidak punya waktu untuk itu, iaㅡ ingin segera bertemu Byungchan.

Potongan roti dengan selai stroberi rencananya akan disantap oleh si lelaki dalam perjalanannya menuju pusat kota. Sedikit tergesa, sekarung pupuk alami yang diolah oleh keluarganya kini telah terikat kuat di jok penumpang bagian belakang.

Hari ini, langit masih cerah seperti biasa. Menyenangkan.

“Bukannya lebih baik kalau naik mobil saja, Seungwoo-ya?” Sang Ayah, muncul dari balik pintu rumah dengan sikat gigi di dalam mulut. Baru bangun tidur. “SIM-mu sudah tidak bisa dipakai?”

Seungwoo segera menggeleng, bibirnya mengulas senyum tipis. “Bisa, tapi cuacanya terlalu baik. Sayang kalau aku hanya diam di balik mobil, Yah.”

“Naik mobil lebih cepat.” “Tidak capek, memang?”

Lagi, gelengan diberi. Kali ini disertai senyum yang lebih lebar. “Ayah. Anak bungsumu ini punya tubuh kekar karena alasan. Olahraga. Anggap saja ini latihanku, bukankah itu bagus?”

Sang Ayah tidak dapat mengatakan apa-apa lagi. Putra bungsunya ini sangat pandai berbicara dan mencari-cari alasan. “Ya, sudahlah. Kalau kau maunya begitu, Ayah bisa apa?”

Seungwoo terkekeh kecil sebelum akhirnya menaikkan tiang penyangga sepeda dan segera naik ke jok. Bersiap berangkat.

“Aku pergi, Yah!”

Seungwoo pergi, menemui ia, si lelaki yang tiada pernah pergi bayang-bayangnya dari sisi hati.

Kling. Kling.

Suara lonceng yang terpasang di pintu masuk segera berbunyi tatkala Seungwoo mendorongnya untuk terbuka. Padahal suaranya tidak nyaring, namun entah mengapa terasa sangat berisik di tengah toko yang masih sepi.

Lihat. Memang sepertinya berisik. Buktinya si lelaki jangkung yang awalnya sedang serius menata karangan bunga kini segera mengalihkan pandangan ke arah pintu masuk. Detik setelahnya, Seungwoo merasa kakinya lemas.

Kenapa, tanyamu?

Karena lelaki jangkung itu kini menatapnya lurus kemudian tersenyum lebar, sehingga lesung di kedua pipinya terlihat jelas.

Sadar, Seungwoo! Jangan sampai karung pupuk di tanganmu ini jatuh!

“Seungwoo-ssi.” “Sudah datang?” “Pagi sekali.”

Byungchan berujar dengan ramah. Tangan kanannya meraih lap dan menyeka telapak yang sedikit kotor akibat tanah di pot kecil yang tengah ia tata. “Biasanya kau datang jam sepuluh.”

Seungwoo sudah tidak tahu bagaimana daya kerja jantungnya ketika Byungchan kini berjalan menghampiri dirinya.

Deg. Deg. Deg. Deg. Deg. Deg.

“Aku bisa sendiri!” “Tidak usah dibantu!”

Refleks, Seungwoo membalikkan badannya ketika Byungchan sudah akan mengulurkan tangan untuk memberikan bantuan menggotong karung pupuk.

Byungchan menaikkan alis, bingung. “Kelihatannya berat. Biar aku bantu, kemarikan.”

Percuma. Seungwoo kini malah berputar-putar di sekeliling pot bunga (yang-Seungwoo-tidak-ketahui-apa-namanya) berbatang panjang. Terlihat linglung dan tidak berani menatap Byungchan langsung. “Bisa. Aku bisa.”

“Ditaruh di tempat biasa saja, ya?”, ujar Seungwoo bahkan sebelum Byungchan sempat berkata lebih banyak. Seungwoo butuh waktu lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri agar tidak selalu gugup ketika berada di dekat Byungchan.

Tempat biasa yang Seungwoo sebut barusan adalah sudut dari toko, agak tersembunyi di dekat ruang kasir. Tempat Byungchan biasanya duduk menunggu pelanggan datang.

Oh, ngomong-ngomong, toko bunga milik keluarga Choi sangat laris. Bagaimana tidak? Yang menjaga kasirnya saja semanis ini?! Kalau saja Seungwoo perempuan, ia pasti sudah merelakan saldo di tabungannya habis untuk membeli semua bunga di toko ini demi agar Byungchan mengingat dirinya.

Ah. Kalau saja Seungwoo perempuan, ya? Sayangnya, tidak demikian.

Sayangnya, Seungwoo adalah laki-laki dan tidak akan berani melakukan hal ekstrem yang berputar di kepalanya sekarang.

“Seungwoo-ssi.”

Padahal Byungchan hanya memanggil namanya, namun Seungwoo sudah merasakan nafasnya sesak. Sangat berlebihan, tidak, sih?

“Ya?”, ujar Seungwoo seraya menurunkan karung pupuk dari tangannya ke tanah.

“Kenapa kau selalu naik sepeda? Ibu bilang, rumah keluargamu ada di pinggiran kota. Lumayan jauh, berarti.”

“Tidak lelah?”

Tidak. Begitu melihatmu, lelahku hilang begitu saja. Tidak apa.

Namun mana berani Seungwoo berujar demikian? Pada akhirnya, dia hanya menggeleng kecil seraya menjawab singkat. “Lumayan lelah, tapi masih bisa diatasi.”

Byungchan tidak membalas lagi. Ia hanya mengangguk-anggukkan kepala, menandakan paham akan ujaran Seungwoo. “Kalau memang lelah, kau bisa beristirahat di sini. Santai saja. Anggap rumah sendiri.”

Kalau ini rumahku sendiri, apa boleh aku menganggapmu sebagai pengantiㅡ HAN SEUNGWOO! OTAKMU! APA-APAAN, SIH?

“Tidak apa-apa. Sepertinya aku harus segera pulang, langitnya sudah agak mendung.”

Awalnya Seungwoo berujar demikian hanya untuk mencari alasan semata. Namun, siapa sangka tepat saat Seungwoo berujar demikianㅡ suara kilat menyambar tiba-tiba terdengar dan detik berikutnya hujan deras turun mengguyur bumi.

Sepertinya Seungwoo bisa melamar menjadi cenayang profesional. “.. Waㅡ”

“Wah.” “Ucapanmu tepat sekali.” “Padahal tadi langitnya masih cerah, tiba-tiba malah hujan sesuai ucapanmu.”

Ujaran Seungwoo dipotong oleh Byungchan yang kini tengah berdiri menghadap jendela ruangan, menatapi titik derai hujan yang turun. “Sewaktu aku ke sini, langit di daerah pinggiran kota sudah mulai mendung.”

“Aku bukan cenayang.”

Byungchan mengangguk-angguk lagi. Dari samping begini, Seungwoo bisa melihat bagaimana rahang lelaki itu terbentuk tajam. Namun anehnya, pipi Byungchan tetap terlihat tembam. Tuhan berpikiran apa ketika menciptakan lelaki ini, siㅡ

“Teh hangat atau kopi?”

Seungwoo mengerjapkan matanya beberapa kali. Seperti masih belum bisa memusatkan seluruh pikirannya dari lelaki di hadapan yang kini tengah melepaskan apron coklat tua kenaannya. “.. Ya?”

Byungchan menoleh sekilas ke arah Seungwoo sebelum akhirnya terkekeh kecil. “Kau tidak fokus, Seungwoo-ssi? Barusan kutanya, kau mau minum teh hangat atau kopi?”

Seungwoo baru saja akan menolak tawaran si putra pemilik toko, namun lawan bicaranya itu sudah keburu melanjutkan. “Kau tidak bisa pulang di tengah hujan dengan naik sepeda, bukan?”

Ah. Benar. Mana bisa dia pulang dengan situasi begini. Di tengah hujan deras yang seperti tidak akan berhenti dalam waktu cepat. Apalagi Seungwoo tidak membawa jas hujan.

“Jadi, teh hangat atau kopi?”

Seungwoo diam sejenak, menggaruki tengkuk lehernya yang tidak gatal sebelum akhirnya menjawab dengan suara pelan.

“Ada susu coklat hangat?”

Rasanya seperti ada di sebuah taman bunga, namun bedanyaㅡ ini adalah taman bunga dengan tembok yang mengelilingi.

Seungwoo terus-terusan berpikiran begitu ketika tengah duduk di meja makan di ruang tengah milik keluarga Choi. Rumah ini didesain minimalis, namun terasa luas. Mungkin karena tidak ada begitu banyak perabotan atau furniture yang dipakai. Berbagai sudut rumah dihiasi dengan pot bunga dengan berbagai jenis.

Seungwoo tidak tahu bunga-bunga apa yang ada di situ. Ia hanya putra dari keluarga pengolah pupuk. Ia lebih sering berurusan dengan kotoran yang biasa digunakan sebagai bahan pembuat pupuk, bukan malah bunga-bunga yang ditanam.

Tunggu, ngomong-ngomong pupukㅡ apa bau badannya sekarang tercium oleh Byungchan?

Sniff. Sniff.

“Ada apa, Seungwoo-ssi?”

Seungwoo yang semula sedang mengendus bau ketiaknya sendiri, segera menurunkan lengannya tergesa ketika Byungchan kembali dari dapur dengan membawa segelas susu coklat hangat di tangan. “Tidak! Tidak!”

“Tidak ada apa-apa, kok,” balas Seungwoo dengan senyum kikuknya. Anggukan kecil diberi ketika Byungchan meletakkan gelas berisi susu coklat ke atas meja. “Maaf, merepotkan.”

Byungchan mengibaskan tangan kanannya seraya menggelengkan kepala, menganggap ucapan Seungwoo sama sekali tidak perlu. “Ehei. Santai saja,” ujar Byungchan. Ia kini duduk di bangku meja makan yang berhadapan langsung dengan Seungwoo. Santai sekali, seperti tidak tahu bagaimana sekarang Seungwoo kebingungan harus mendaratkan tatapannya ke mana.

Seungwoo, ia tidak tahan menatap wajah manis itu berlama-lama, demi Tuhan.

Perlahan, minuman hangat dalam gelas mulai disesap. Aliran hangat segera memenuhi rongga tenggorokan Seungwoo. “Manis,” ujar si lelaki bertubuh lumayan kekar itu. Senyum tipis terulas di bibir. Rasa susu coklat itu benar-benar mengingatkannya akan sosok Byungchan.

“Syukurlah kalau kau suka. Kebetulan sekali masih ada sebungkus susu cair di dalam kulkas. Keluarga kami tidak biasa minum susu.”

Ujaran Byungchan dibalas dengan tarikan alis ke atas dari Seungwoo. “Oh, ya? Keluargaku selalu minum susu setiap pagi. Alasan klise, memang, tapi Ibuku bilang kami harus minum susu sebelum memulai aktivitas. Supaya, yaㅡ kuat?”

Byungchan hanya membalas dengan gumaman paham dan anggukan singkat. “Sekarang aku paham mengapa tubuhmu bisa kekar begitu.”

Dipuji begitu, bagaimana bisa Seungwoo tidak tersipu, coba?

“Kamu?”

“Hm?”

“Paling suka minum apa?”

Ada jeda tiga detik sebelum akhirnya Byungchan menjawab, “chamomile.”

”...” “Cha- apa?”

“Cha . Mo . Mile.” “Kau tahu?”

Apakah Seungwoo akan disebut bodoh jika mengatakan, “.. namanya seperti minyak bayi, ya?”

Oh. Sial. Sudah terucapkan.

Byungchan terdiam, lagi. Sebelum akhirnya tertawa terbahak. Oh. Gawat. Seungwoo sungguh penasaran, apakah ada diantara manusia di dunia yang merasakan hatinya berdegup kencang ketika melihat seseorang tengah tertawa?

Sumpah. Sesak. Sangat. Seungwoo ingin berteriak. Seungwoo sangat ingin menghamburkan dirinya untuk memeluk lelaki di hadapannya ini.

Bagaimana ini? Byungchan terlalu manis.

“Kau sudah jadi korban iklan, ya, Seungwoo-ssi? Sampai dengar nama bunga pun teringatnya dengan merk minyak untuk bayi.”

Bukan korban iklan. Aku korban senyumanmu.

“Lain kali akan kubuatkan teh chamomile untukmu. Biar kau tahu bahwa bunga itu tidak hanya untuk minyak bayi sajㅡ”

“Bunga.”

Bukannya Seungwoo tidak sopan. Namun, ia terlampau penasaran. Bunga apa yang paling disukai lelaki ini? Bunga apa yang disukai oleh lelaki yang eksistensinya saja seperti sudah mampu mengalahkan keindahan bunga manapun ini?

Lupakan alasan bahwa sesungguhnya Seungwoo tidak kuat melihat Byungchan yang tengah tertawa karena ARGH!!!! senyum lelaki itu jadi semakin mempesona!

“Kau paling suka bunga apa?”

“Bunga?”, Byungchan mengulangi pertanyaan dari Seungwoo. Dagunya ditangkup dengan jemari tangan kanan, berpikir cukup lama. “Hmm ..”

“.. bungaㅡ matahari?”

“Matahari?”

Seungwoo mengernyitkan alis. Bukankah untuk seorang putra dari pemilik toko bunga, jawaban Byungchan terlalu biasa? Padahal awalnya Seungwoo mengira lelaki ini akan menjawab nama bunga yang langka atau menyebutnya dengan nama ilmiah seperti parasposkos hibinius tralala, mungkin?

Byungchan? Tidak menangkap ekspresi heran dari wajah Seungwoo. Ia malah melanjutkan kalimat dengan semangat, seperti senang karena Seungwoo mengangkat topik pembicaraan perihal bunga.

“Bunga matahari ituㅡ apa, ya? Apa kau tidak menganggap bunga matahari itu keren?”

“Keren?”, ulang Seungwoo. “Bukan indah, tapi .. keren?”

Lagi, Byungchan mengangguk. “Keren. Apa kau tahu bahwa bunga Matahari itu selalu mengarah mengikuti ke mana matahari bergerak?”

Seungwoo pernah mendengarnya di pelajaran biologi ketika masih bersekolah dulu. Namun, entahlahㅡ ia rasa dulu gurunya tidak mampu menjelaskan sebaik dan semanis Byungchan saat ini sehingga ia tidak begitu ingat dengan materi yang dibahas kala itu. “Aku tahu ..”

”.. tapi tidak mendalami.”

Kini, jemari Byungchan terarah menuju pot berukuran cukup besar yang diletakkan persis di samping jendela balkon. “Lihat. Kemarin aku baru tanam bunga matahari itu di pot. Masih kecil, makanya masih bisa kutanam di pot. Kalau sudah tumbuh tinggi, harus kupindahkan ke luar ruangan.”

Seungwoo tidak tahu ke mana arah pandangannya sekarang. Awalnya memang terarah menuju ke pot bunga matahari yang ditunjuk oleh Byungchan, namun lama-kelamaan pandangannya terarah ke jendela balkon yang memantulkan bayangan mereka berdua.

Sosok Byungchan terpantul jelas di sana. Ah, kalian pasti bosan mendengarnyaㅡ namun Seungwoo seakan tidak pernah bosan untuk mengatakan ini :

Byungchan terlihat manis. Wajah antusiasnya ketika membicarakan bunga matahari terlihat sangat lucu. Seperti anak kecil yang semangat menceritakan perihal mainan kesukaannya.

“Bunga matahari, punya arti yang sangat bagus. Perasaan suka yang ceria. Kesetiaan. Perasaan ingin mengikuti sang matahari ke manapun ia pergi.”

Tak urung, Seungwoo ikut tersenyum. Apa yang sedang dibicarakan Byungchan rasanya sama persis seperti yang tengah Seungwoo rasakan.

Ia tengah merasakan rasa yang ceria. Ia tengah merasakan rasa yang bisa membuatnya mengucap sumpah setia saat ini juga. Ia pun siap mengikuti ke arah manapun Byungchan pergi, karena Byungchan mataharinyㅡ

Seperti Jinhyuk.

... Apa?

“Ah. Aku mulai bicara melantur. Maaf. Aku sepertinya sedang tidak fokus karena kurang tidur. Maaf, Seungwoo-ssi.”

... Jinhyuk?

“Lihat!” “Hujannya sudah berhenti.”

Jemari kanan Byungchan terunjuk ke arah luar, menunjuk suasana luar yang kini hanya diisi oleh hujan rintik-rintik. Tidak sederas barusan. Seungwoo tidak mengikuti arah telunjuknya. Kini ia hanya menggenggam gelas berisi susu coklatnya yang sudah dingin.

“Oh. Iya! Hampir saja lupa. Kau pasti menunggu uang bayaran untuk pupuk yang tadi, ya? Tunggu sebentar, Seungwoo-ssi. Biar kuambil dulu.”

Seiring Byungchan yang berlalu meninggalkan Seungwoo, pandangan si lelaki bertubuh agak kekar itu mengikuti langkahnya. Menatap punggung Byungchan dengan tatapan gamang.

Bunga matahari. Jinhyuk.

Apa ini tandanya ia harus patah hati sebelum sempat mulai melangkah sekalipun?

Apa iya, Seungwooㅡ harus begitu?

Menuju bunga kedua

ㅤ        「   X-FILE.   」

Lagi liatin apa?

Baskara baru saja keluar dari kamar mandi hotel yang mereka tempati. Errㅡ tidak juga, sih. Kata mereka tidak cukup tepat untuk menggambarkan situasi yang ada.

Kamar ini, kamar bernomor 1044 adalah kamar yang dipesan oleh Baskara. Sementara Cakrawala memesan kamar 1045, tepat di sebelah kamar si yang lebih tua.

Kenapa begitu, tanyamu?

Entah. Cakrawala yang meminta demikian. Katanya agar tidak ada pihak yang menaruh curiga. Baskara, nama lelaki itu sudah cukup dikenal sebagai pengusaha muda yang sukses. Akan bagaimana jadinya tanggapan orang ketika tahu jika si pengusaha muda yang tampan ini memesan kamar yang akan ditempati oleh dua orang laki-laki, coba?

Biarpun, sepertinya percuma saja. Karena buktinya sekarang Cakrawala sedang berbaring di atas kasur di kamar Baskara dengan hanya mengenakan celana pendek santainya. Tubuh bagian atas tidak mengenakan apapun, setengah telanjang. Gerah, katanya.

Untuk apa memesan dua kamar kalau akhirnya Cakrawala malah mendekam di sini, coba?

“Hm?” “Liat video.”

Cakrawala menjawab singkat, pandangannya sama sekali tidak beralih dari layar ponsel di genggaman. Terlihat serius. Baskara? Sedikit penasaran, tentu. Apalagi Cakrawala seperti sengaja memasang earphone ke sambungan ponselnya agar si yang lebih tua tidak mengetahui ia sedang menonton apa.

“Video apa?”, tanya Baskara sambil lalu. Tangan kanannya meraih cairan pelembab wajah di tas kecil milik Cakrawala. Bukan, bukan sebuah tindak feminin. Kulit wajahnya sama seperti Cakrawala, sangat sensitif. Melakukan perawatan begini bukan berarti menjadikan ia sosok yang feminin.

“Video kiriman Rachel.”

Jawaban singkat dari Cakrawala kali ini segera membuat Baskara menghentikan gerakan tangan yang semula sedang menepuk-nepuk wajahnya sendiri. Seperti tengah merekonstuksi adegan dalam sebuah drama, Baskara menolehkan kepalanya dengan teramat perlahan ke arah Cakrawala. “Video apㅡ”

“Lo. 2016.” “Jaman masih ngejual diri di klab.”

Mampus, Baskara. Mampus, kamu. Mampus.

“Ngapain nonton begituan, hm?” Lupakan cairan pelembab wajah yang belum meresap sepenuhnya. Baskara berusaha melunakkan nada bicaranya seraya beranjak menghampiri si kekasih yang terbaring di kasur. “Udah lama banget, lho, itu.”

“Enak banget, kayaknya, ya?” “Seneng banget, kayaknya, ya?” “Diteriakin banyak cewek.”

Gawat. Baskara tahu nada bicara Cakrawala yang begitu. Baskara tahu, bahwa si lelaki yang lebih muda ini tengah cemburu.

Dan Cakrawala yang tengah cemburu, sangat tidak menyenangkan. Sungguh.

“Sayang.” “Cakrawala.”

Baskara kini ikut membaringkan tubuhnya di sebelah Cakrawala. Tangan kekarnya segera menarik tubuh kurus Cakrawala untuk direngkuh, membuat wajah Baskara kini berada tepat di ceruk leher si kekasih. “Itu udah lama banget.”

“Hampir sepuluh tahun, lho.” Tangan Baskara yang semula merangkul pinggang Cakrawala, kini mulai berusaha memberi bujukan lewat gerakan seduktif. Bergerak turun, mengusapi paha si lelaki yang lebih muda. “Waktu aku belum ketemu kamu, malah.”

Iya. Aku-Kamu. Ketika Baskara sudah menggunakan kata pengganti itu, tandanya ia sedang membujuk. Memohon agar dimaafkan, atas alasan apapun.

“Sekarang 'kan aku di sini.” “Sama kamu. Sama Cacak.” “Baskara sekarang 'kan sama Cakrawalㅡ”

Lakuin.”

Ucapan Baskara terhenti karena selaan dari Cakrawala. Lelaki itu, kekasihnya, berujar dengan nada dingin. Bahkan tubuhnya sama sekali tidak bergidik ketika usapan tangan Baskara mulai menyentuh paha bagian dalamnya. Aneh. Biasanya ketika Baskara mendaratkan sentuhan sedikit saja, Cakrawala akan memberi respons menikmati.

“Hm?” “Lakuin apa?”

“Yang pernah lo lakuin di depan cewek-cewek di klab sewaktu dulu. Lakuin sekarang.”

“Di depan gue.”

Selama menjalin hubungan sekitar enam tahun dengan Cakrawala, Baskara tidak pernah membiarkan peranan diantara mereka berubah. Selama enam tahun yang terlewati, Baskara selalu memberi dominasi dan Cakrawala menjadi yang dijamah tanpa henti.

Baskara sendiri tidak suka jika Cakrawala membantah atau memberi perlawanan dalam hal kepuasan di ranjang. Cakrawala pun demikian, selama masa yang terlewatiㅡ ia tidak pernah mengungkap keberatan untuk disetubuhi secara kasar.

Lalu, sekarang? Maksudnya apa? Cakrawala punya hak apa untuk menyuruh Baskara melakukan ini-itu?

Pardon?

Baskara berujar dengan suara beratnya. Alisnya sedikit terangkat, seperti ingin meyakini bahwa barusan Cakrawala sedang memerintahnya. “Kamu bilang apa?”

Cakrawala? Ia tidak bodoh. Dia tahu bahwa dirinya baru saja membangunkan sisi paling gelap dari seorang Baskara. Namun, bagaimana lagi? Iaㅡ cemburu.

Baskaranya dulu pernah sebegitu aktif dalam menggoda pengunjung wanita di klab. Baskaranya dulu pernah membuat banyak perempuan tergila-gila. Baskaranya pernah begitu.

Iya, ini memalukan. Iya, ini tindak bodoh. Untuk apa cemburu dengan hal yang sudah lalu, coba?

Namun, sekali lagi ditekankanㅡ Cakrawa kesal. Cakrawala cemburu. Selama ini Baskara selalu menuntut untuk dipuaskan. Jika sekarang Cakrawala meminta hal yang sama, itu hal yang wajar, 'kan?

“Lakuin.” “Yang lo lakuin dulu.” “Sekaraㅡhhk! Hheuk!”

Baskara tidak melakukan apa yang diminta si kekasih hati. Alih-alih mengiyakan, Baskara kini mencekik leher Cakrawala dengan cukup kencang. Memang tidak sampai membuat Cakrawala kehabisan nafas namun cukup untuk membuat si yang lebih muda kesulitan bernafas dan memegangi tangan Baskara, seperti memohon agar cekikannya dikendurkan.

“B-bas, hheuk!”

Maaf.“ “Bilang maaf.

Gila. Gila.

Lo siapa?“ “Hah?“ “Lo siapa, anjing?

Punyanya Baskara.” “Jalangnya Baskara.” “Barang Baskara yang bisa dipakai semau hatㅡ

ah— haha .. haha ..“ “.. enak, Basㅡ hhh ..

Baskara memang gila. Namun Cakrawala tidak kurang gilanya daripada si lelaki yang tengah mendominasi. Lihat. Lihat, sekarang Cakrawala malah terkekeh senang di tengah nafasnya yang tersengal.

Seakan senang, dibuat sakit. Seakan senang, dianggap rendah. Seakan senang, hanya dianggap sebagai pemuas birahi semata.

Baskara memandangi Cakrawala di bawah kungkungannya dengan tatapan dingin sebelum menyunggingkan senyum puas. Cakrawalanya tunduk lagi.

Cekikan pada leher perlahan dikendurkan, namun tidak seluruhnya. “Enak?

Pertanyaan Baskara dijawab dengan anggukan penuh pandangan memohon dari Cakrawala.

Lupakan rasa cemburunya. Lupakan rasa kesalnya. Didominasi oleh Baskara setelah sekian lama sudah cukup untuk membuat Cakrawala lupa akan harga dirinya sendiri.

Kapan terakhir kali Baskara mengkungkung dirinya seperti ini? Yang pasti, sudah cukup lama hingga membuat Cakrawala tidak segan untuk segera meminta lebih.

“Enak, Bas.” “Dimainin sama kamu, selalu enak.”

Ini, yang Baskara nantikan. Pujian dari Cakrawala perihal segala tindakannya yang dapat memberi kepuasan kepada yang berucap. Belum juga Baskara selesai dengan euforianya, Cakrawala sudah meraih tangan kanan si kekasih yang bebas.

“Hmmh ..”

Cakrawala mengulum jemari lentik Baskara ke dalam mulutnya. Seduktif, dengan sesekali memberi gigitan kecil di ujung jemarinya. Baskara? Menganggap itu adalah sebuah kesempatan emas. Dilesakkan jemarinya lebih dalam ke mulut Cakrawala, tidak terpikirkan sama sekali di pikirannya bahwa si kekasih akan kesakitan atau tidak.

Malah bagus, jika Cakrawala kesakitan. Malah bagus, Baskara akan semakin suka melihat wajah kekasihnya yang kesakitan namun terus meminta lebih.

Ingin lagi. Lagi, disakiti.

“Hhㅡeeuhk!” Cakrawala gag, padahal Baskara baru hanya melesakkan setengah dari jemarinya ke dalam mulut si yang lebih muda.

“Udah?” “Segini doang?” “Baru jari gue yang masuk, jing. Lo udah gag? Payah, bangsat.”

Apakah Cakrawala pernah bilang? Ia memang senang didominasi atau diperlakukan seakan dirinya murahan. Namun, dianggap payah tidak masuk ke dalam hitungan.

Maka ketika Baskara berujar demikian, Cakrawala bangkit dari posisi berbaringnya dan segera mendorong tubuh Baskara untuk terbaring.

Mengubah alur permainan mereka.

“Nggak.” “Gue nggak payah.”

Dari posisi berbaringnya, Baskara bisa melihat bagaimana saliva terlihat berantakan di pinggiran bibir Cakrawala. Lelakinya itu, bahkan dengan tampilan sekotor ituㅡ tetap terlihat manis. Baskara sepertinya memang sudah gila.

“Nggak payah?” Baskara membuka belitan handuk yang menutupi tubuh bagian bawahnya hingga kini miliknya terekspos tanpa penghalang apapun.

Tangan kanannya bergerak naik turun di kejantanannya sendiri, sementara tangan kiri masih digunakan sebagai bantalan untuk kepalanya yang tersandar ke kepala tempat tidur. Senyum si yang lebih tua terulas culas, seperti ingin menantang Cakrawala. “Coba, tunjukin.”

“Sebaik apa gue punya lacur. Sehebat apa gue punya jalang buat muasin. Buktiin.”

Tidak. Tidak ada rasa malu-malu dari Cakrawala. Baskara yang begini, tanpa balutan apapun, adalah sebuah sajian yang terlampau istimewa. Maka bagai orang yang kesetanan, Cakrawala segera menyingkirkan tangan Baskara dari miliknya dan bergantian memberi kepuasan kepada si kekasih.

Baskara tidak pernah menyesal dengan keputusannya untuk menjalin hubungan dengan Cakrawala. Sedikitpun, tidak pernah.

Lihat saja, kepala si yang lebih muda kini bergerak naik turun di kejantanannya dengan cepat. Belum lagi usapannya pada buah zakar Baskara semakin membuatnya tidak mampu menahan lenguh kenikmatan.

“A-aah .. nhhhㅡ” “.. Cak-hmmh ..”

Sebelah tangan Cakrawala yang semula bebas, kini bergerak menurunkan celananya sendiri. Membiarkan miliknya bebas sebelum akhirnya ikut memberikan kenikmatan ke kejantanannya sendiri.

“Hm?”

Cakrawala menghentikan kuluman dan hisapannya pada milik Baskara ketika lelaki itu memanggil namanya. Cakrawala senang melihat Baskara yang begini, yang seakan merasakan nikmat tidak terkira dengan segala yang ia beri.

Ah. Lihat. Wajah Baskara memerah. Kulit putihnya memerah, hingga naik ke wajah. Lucu. Nafasnya juga tersengal, tidak teratur. Tatapannya sayu.

Cakrawala, suka.

Sebelah tangan Cakrawala masih bergerak naik turun di kejantanan Baskara, sementara sebelah tangannya yang lain tidak lagi memberi kenikmatan di miliknya sendiri.

Cakrawala bergerak menegakkan tubuhnya, dengan jemari yang kini ia masukkan ke mulutnya sendiri. Memasang ekspresi seduktif ke arah Baskara, diiringi senyum yang terangkat sebelah.

“Belajar dari mana buat pasang ekspresi begitu, hah?”, tanya Baskara dengan senyum puas. Siapa pula yang akan protes ketika melihat kekasihnya bisa bertindak liar seperti ini, coba?

Cakrawala tidak memberikan jawaban. Ia hanya diam seraya merangkak naik ke atas tubuh Baskara. Tubuh keduanya sudah tidak lagi dibungkus apapun, dan hal itu membuat Baskara merasa libidonya semakin naik.

Cakrawala pun sepertinya paham dengan nafsu Baskara yang membuncah. “Buat apa belajar? Ini semua berkat pacar gue yang jago bikin enak.”

Pagutan dari bibir ke bibir diberi. Cakrawala tidak pasif dalam hal berciuman. Ia sangat menyukai bibir Baskara yang tebal, belum lagi lidah si kekasihnya itu paham bagaimana harus bertindak. Suara kecapan dari ciuman mereka berdua terdengar jelas, dan semakin membuat Cakrawala merasa nikmat bukan main.

Setelah mendaratkan beberapa gigitan kecil dan hisapan pada lidah satu sama lain, Cakrawala mengakhiri ciumannya dengan Baskara.

Mereka berdua, berantakan.

Nafas yang tersengal akibat ciuman yang tanpa jeda. Saliva di pinggiran bibir yang ada akibat lidah mereka berdua bergumul hebat. Rambut yang acak-acakan karena saling diremat akibat nikmat.

Sudah. Mereka, berantakan.

“Bas.”

Cakrawala berujar dengan suara terlampau kecil, seperti mencicit. Baskara sampai harus sedikit menegakkan tubuhnya agar dapat mendengar ucapan si kekasih dengan lebih jelas. “Hm?”

“Jangan pergi.” “Gueㅡ nggak bisa sendiri.”

“Pft.” Baskara terkekeh kecil. Tangan kanannya meraih milik Cakrawala yang tepat berada di pangkuannya, kemudian bergerak naik turun. Memberikan pijatan sekaligus melumuri sisa batang kejantanan si kekasih yang belum basah. “Gue nggak terima situasi kita sekarang beralih jadi mellow.”

Cakrawala tidak bisa melawan. Lelakinya ini jarang memanjakan milik Cakrawala. Kalaupun iya, biasanya Baskara lebih senang melakukannya dengan kasar. Seperti ingin menyakiti Cakrawala.

Tidak pernah Baskara melakukannya seperti sekarang. Awalnya dengan tempo perlahan, namun lama-kelamaan menjadi intens hingga membuat Cakrawala kesulitan untuk menahan lenguhannya.

Baskara tidak pernah suka ketika Cakrawala mendesah karena tindakannya. Entah karena apa. Katanya, si lelaki yang lebih tua hanya ingin mendengar Cakrawala memohon. Meminta lebih. Tanpa desah atau lenguhan yang jelas atau keras.

“N-nnn ..” “Hhhㅡ”

Keluarin aja.“ “Lenguh. Desah.“ “Nggak apa-apa.

Coba. Coba jelaskan, bagaimana caranya Cakrawala bisa menahan lenguhannya ketika Baskara berujar demikianㅡ itupun diikuti dengan jilatan dan kuluman pada puting si yang lebih muda?! Bagaimana bisa?!

“A-hnnh ..” “Bassㅡ nggak kuat .. hhnh ..” “Cepetin, sayang .. lebiㅡ hhak!”

Cakrawala salah. Mana pernah Baskara akan membiarkannya keluar lebih dulu? Ketika Cakrawala memohon kepada Baskara untuk mempercepat gerakan tangannya, si yang lebih tua malah melesakkan miliknya ke lubang sempit milik Cakrawala.

Langsung. Sekaligus. Hingga membuat Cakrawala hampir menanamkan kuku jemarinya ke punggung Baskara, memberi cakaran. Kesakitan.

Siapa yang suruh lo nyuruh gue, hah?

Kalimat Baskara terpatah-patah karena gerakan pinggulnya yang bergerak cepat. Melesakkan miliknya dalam-dalam ke Cakrawala.

Lo nggak berhak nyuruh gue, Cak. Sekalipun, lo nggak pernah berhak.

Cakrawala tidak peduli dengan ujaran Baskara. Sumpah. Apapun yang dikatakan lelaki itu, Cakrawala sudah tidak dapat mendengarkan apa isinya. Ia diisi oleh milik Baskara, kasar. Namun nikmat.

Terlampau nikmat.

Karena lo ..“ “.. cuma lacur gue.”

X-FILE : END

ㅤ        「   기억할게, 항상.  」 ㅤ

Pegang di sini, Wooseok-a!

Kapal sudah benar-benar dalam posisi miring. Bahkan untuk sekedar berdiri dalam posisi tegak lurus pun sulit. Teramat sulit, garis bawahi itu.

Beberapa siswi mulai menangis, beberapa lagi berteriak ketakutan. Siswa yang berada di geladak kapal pun mulai kesulitan untuk mempertahankan pegangannya di bar pinggiran kapal.

“AIRNYA MASUK!” “BAGAIMANA INI?!”

“NAIK! NAIK!” “LARI KE PERMUKAAN!”

“SULIT!” “SUDAH TERLALU MIRING!”

“Wooseok-a!” “Pegangan ke sini!”

Seungyoun, lelaki yang barusan meneriakkan nama Wooseok kini mengulurkan tangannya. Tatapannya terlihat panik, namun sebisa mungkin ia coba untuk samarkan tatkala menatap lelaki di belakangnya. “Ayo. Kamu bisa. Pelan-pelan saja, kita punya cukup waktu.”

Tidak. Seungyoun berbohong. Tidak ada cukup waktu bagi mereka. Air laut masuk menerjang ke dalam kapal dengan teramat cepat. Memang hingga saat ini belum terlihat wujudnya, namun suara deras air yang masuk sudah dapat ditangkap oleh telinga telanjang. “Ayo, pegang tanganku. Kita naik ke atas.”

“Seungyoun-a!” “Teman-teman kita di sana! Kita tidak bisa pergi sendirian begini! Bantu mereka, kita keluar bersama!”

Bukannya Seungyoun egois. Dia juga tahu, menyelamatkan diri sendirian begini adalah hal yang memalukan. Ayah Seungyoun yang seorang tentara marinir angkatan laut Korea Selatan pasti akan malu jika mengetahui putra sulungnya yang paham perihal seluk-beluk kapal kini malah kabur tanpa berusaha menyelamatkan teman-temannya yang lain.

Namun, bagaimana?! Waktu yang ia miliki tidak cukup banyak untuk menyelamatkan teman-temannya!

Salahkan nahkoda kapal yang semula memberi pengumuman untuk tidak bergerak dari posisi masing-masing! Salahkan nahkoda kapal yang menjanjikan situasi sedang baik-baik saja! Salahkan nahkoda kapal yang malah menyelamatkan dirinya terlebih dahulu dan meninggalkan penumpangnya di sini, di kapal yang tengah akan tenggelam!

“Wooseok-a. Ayo.” “Pegang tanganku. Kumohon.” “Setidaknya, aku bisa menyelamatkanmu.”

Wooseok tidak munafik. Ia pun merasa takut bukan main. Membayangkan akan bagaimana nasibnya jika tenggelam bersama kapal ini sudah membuatnya lemas. Masih banyak mimpinya yang belum dapat terwujudkan. Masih banyak hadiah yang ingin ia berikan untuk Ibundanya. Masih banyak prestasi yang ingin ia banggakan di hadapan Ayahnya.

“Ayo.” “Cepat.”

Uluran tangan Seungyoun akhirnya dibalas oleh genggaman tangan Wooseok. Sumpah, demi apapunㅡ tangan Seungyoun benar-benar dingin. Wooseok sampai khawatir apakah kawan sebangkunya di kelas ini terkena serangan hipotermia atau apa.

Seungyoun tidak membuang waktu sedikitpun. Tangan Wooseok di genggamannya segera ditarik sehingga si lelaki yang bertubuh lebih kurus itu segera terangkat ke atas. Berada di atas bar kapal, berlawanan arah dengan jatuhnya posisi kapal yang miring ke kiri.

“Di sini. Berpegangan ke sini,” Seungyoun menuntun tangan Wooseok untuk menggenggam satu tiang penyangga kapal yang kokoh. “Jangan dilepas kecuali ketika aku bilang lepas. Paham?”

“Kapal akan semakin tenggelam, Wooseok-a. Kita harus melompat dari sini, berenang menjauhi kapal! Kalau kita ada di sini, pusaran air yang menenggelamkan kapal akan menarik kita turun.”

Ucapan Seungyoun tidak dibalas apapun oleh Wooseok. Lelaki bertubuh agak lebih kecil dari si pembicara itu menatap hamparan air laut di depan matanya dengan gamang. Tangannya yang tengah memegang tiang penyangga gemetar.

Tidakkah Seungyoun tahu bahwa ia takut dengan air laut? Tidakkah Seungyoun tahu bahwa ia tidak mahir berenang?

“Paham ucapanku, Wooseok-a? Paham? Paham, tidak?” Seungyoun meraih wajah Wooseok dan mengarahkan ke depan wajahnya sendiri. Memaksa si kawan sebangku untuk menatapnya lurus-lurus. “Wooseok-a?”

“Aku ..” “.. tidak bisa berenang.”

Bodoh. Seungyoun bodoh. Bagaimana bisa ia lupa bahwa Wooseok tidak bisa berenang? Bodoh! Padahal mereka teman sebangku dan saling berbagi rahasia satu sama lain. Bagaimana Seungyoun bisa lupa hal sepenting ini?

“Tidak apa-apa.” “Jangan khawatir.” “Kau tunggu di sini. Aku ambil pelampung di ruang nahkoda. Aku lihat ada satu tadi.”

“Waktunya ..”

“Cukup.” “Cukup, Wooseok-a.” “Percaya aku.” “Kau akan selamat.”

Seungyoun tidak memberikan waktu bagi Wooseok untuk menjawab apapun. Lelaki itu sudah berbalik dengan berpegangan ke bar di pinggiran kapal. Langkahnya terlihat kesulitan. Wajar saja, kapal ini miring sepenuhnya ke kiri. Untuk mempertahankan keseimbangan sudah teramat sulit, apalagi untuk berjalan seperti itu.

Wooseok mengalihkan pandangannya. Hamparan air laut terlalu menyeramkan baginya.

Pandangannya menyebar ke segala arah. Wooseok kira, di sana akan ada banyak sekoci yang siap menyelamatkan mereka. Namun, rupanya nihil. Hanya ada suara helikopter dari kejauhan. Berputar-putar tanpa memberi pertolongan apapun.

Kenapa tidak ada bantuan sama sekali? Tidak tahukah mereka bahwa banyak siswa-siswi yang tengah menunggu untuk diselamatkan?

Ketika Wooseok masih disibukkan dengan pemikirannya, tiba-tiba pandangannya terhalang oleh kalungan benda berwarna orange. Ban pelampung sudah terpasang di leher Wooseok dan suara akrab itu segera memasuki rungunya. “Ayo. Kamu aman.”

“Kamu akan selamat.” “Pasti selamat.”

Seungyoun terus berkata demikian seraya memasangkan sabuk pengait di pelampung milik Wooseok. Ditarik erat, memastikan tidak akan lepas dari tubuhnya.

“Ayo.” Seungyoun meraih tangan Wooseok yang masih menggenggam tiang penyangga dengan kuat. “Kamu bisa. Lompat, seperti biasa.”

“Seungyoun-a.” “Ini laut. Berenang di sini berbeda dengan berenang di kolam renang.”

“Bisa, Wooseok-a.”

Seungyoun perlahan menegakkan tubuhnya untuk berdiri di pinggiran bar kapal. Tangan Wooseok masih digenggam olehnya, kuat dan erat. “Kamu akan tenggelam sebentar. Sebentar, aku pastikan itu.”

“Nanti aku tarik kamu kembali ke permukaan. Hanya sebentar. Aku janji.”

Wooseok menatap Seungyoun untuk sekilas. Lelaki yang menjadi teman sebangkunya ini terlihat berbeda. Biasanya, Seungyoun akan memasang tampang jenaka disertai tawanya yang menggelikan. Namun kali ini, tidak ada tampang begitu di wajahnya.

Seungyoun terlihat serius, sangat. Sehingga Wooseok tidak memiliki pilihan apapun selain mempercayai perkataannya.

“Iya.” “Ayo, lompat.”

Detik berikutnya, yang Wooseok rasakan adalah tarikan tangan Seungyoun. Lalu kakinya yang melangkah menginjak udara kosong, suara tubrukan kencang sebelum akhirnya tubuhnya dihantam oleh air laut ketika terjun ke bawah.

Sesak. Gelap. Wooseok membuka matanya, terpaksa. Nafasnya benar-benar tidak bisa diatur. Ia, ada di dalam laut yang gelap. Sungguh, tidak terlihat apapun di sini. Tangannya menggapai-gapai ke atas, berusaha naik mencapai permukaan namun percuma.

Pelampung di tubuhnya seperti tidak berfungsi. Ia malah seperti ditarik ke bawah. Sesak. Nafasnya sesak!

Di saat Wooseok sudah tidak bisa menahan nafasnya lagi, tiba-tiba sesuatu seperti menubruknya dan tubuhnya beranjak naik ke atas menuju permukaan. Perlu beberapa detik hingga akhirnya Wooseok bisa merasakan oksigen di sekelilingnya.

Wooseok, berhasil naik ke permukaan. Nafasnya tersengal. Ditarik dalam-dalam seakan ingin menghirup segala oksigen yang ada.

“Wooseok-a!” “Kau tidak apa-apa?” “Baik-baik saja?”

Seungyoun! Itu suara Seungyoun!

Baru saja Wooseok akan mengucapkan terima kasih akan pertolongan yang diberi Seungyoun, matanya seakan ditusuk oleh benda tajam. Seungyoun memang ada di sana, di hadapan Wooseok dengan senyum jenaka dan mata sipitnya, namun kepalanya berdarah.

Darah mengucur deras dari sana. Dari kepala Seungyoun. Membuat aliran berwarna merah yang menyatu bersama air laut di sekeliling mereka.

“Seungyoun-a!” “Kepalamu!”

“A-ah!” “Jangan dipegang begitu.” “Sakit, hehehe.”

Wooseok merasa hatinya seakan ditusuk oleh ribuan jarum tidak kasat mata. Bagaimana ia bisa tertawa dengan kondisi begini?! Bagaimana bisa?!

“Kenapa—”

“Ah, itu ..”, Seungyoun berujar lirih. Tangannya tertunjuk ke pinggiran kapal, di mana ada sebuah gundukan di sana. “.. terbentur. Di sana.”

“S-seungyoun-a ..” “.. bagaimana ini?”

Wooseok tidak tahu mengapa suaranya bergetar hebat. Wooseok tidak tahu mengapa matanya terasa panas bukan main. Wooseok tidak tahu mengapa ia menangis.

“Hei. Hei.” “Jangan menangis begitu.” “Sudah kubilang, kamu akan selamat. Pasti. Aku jamin.”

Wooseok baru menyadari bahwa sedari tadi tangan Seungyoun terus memegangi pelampungnya. Bukan karena ingin ikut mengapung, namun seperti ingin memastikan bahwa Wooseok tidak akan tenggelam.

“Wooseok-a.” “Aku, pandanganku buram.” “Tapi aku mau kamu ikuti perkataanku. Paham?”

Tangis Wooseok semakin menjadi. Kepalanya terus menggeleng, tidak mau mendengar kelanjutan ucapan Seungyoun. “Tidak. Kamu juga akan selamat!”

“Kita akan selamat!” “Kamu dan aku!”

Seungyoun tersenyum, tipis. Namun Wooseok tahu, itu senyum tertulus dari si teman sebangku. “Iya. Kita pasti akan selamat.”

“Aku percaya setiap ucapanmu.” “Selalu percaya, Wooseok-a.”

“Jadi, agar kita selamat, ingat ucapanku ini. Paham?”

Wooseok masih menangis. Darah di kepala Seungyoun masih mengalir, seakan tidak berhenti. Namun bagaimana bisa lelaki itu masih berbicara seakan semuanya baik-baik saja?

“Jangan beri beban ke tubuhmu. Pelampung ini hanya membantumu mengapung. Kau lihat barang-barang di sana?”

Seungyoun menunjuk kumpulan koper milik siswa-siswi yang kini mengapung di atas laut. “Berenang ke sana. Berpegangan ke koper paling besar. Pastikan kamu tetap mengapung sampai helikopter penyelamat datang.”

“Ya?” “Wooseok-a? Paham, ya?”

Wooseok tidak dapat berkata apa-apa. Hatinya sakit bukan main. “Kita ke sana bersama, ya?”

Seungyoun menggeleng. Masih menyunggingkan senyum yang sama. “Berat, Wooseok-a.”

“Berat, membawa mayat.” “Kamu saja, ya?” “Hidup.” “Untukku juga.”

“Tidak!” “Kamu tidak akan jadi mayat! Kamu akan selamat! Aku akan buat kita selamat!”

“Wooseok-a.” “Kepalaku sakit.” “Pandanganku buram.” “Tapi, aku senang ..” “.. sebelum pandanganku hilang sepenuhnya, aku bisa melihat kamu.”

Wooseok terisak. Hebat. Tidak kuat mendengar perkataan Seungyoun. “Seungyoun-a ..”

“Wujudkan semua, ya?” “Semua mimpi yang dulu kamu bicarakan padaku. Wujudkan.”

“Buat aku bangga.” “Bangga, karena sudah menyelamatkan Kim Wooseok yang hebat.”

Ujaran Seungyoun berhenti di situ. Tatapannya seperti memudar, matanya terpejam perlahan. Tangannya masih menggenggam pelampung milik Wooseok sehingga tak urung membuat tubuh Wooseok sedikit oleng, bahkan hampir seakan ditarik kembali ke dalam lautan.

Tubuh Seungyoun, kaku.

Sebisa mungkin, Wooseok masih berusaha mengangkut tubuh Seungyoun agar ikut mengapung bersamanya. Namun, sulit. Lelaki ini bertubuh lebih besar darinya. Wooseok tidak bisa berenang dan tidak bisa mempertahankan lelaki ini untuk ikut mengapung di permukaan.

Sumpah, demi apapun, ia merasa jahat ketika perlahan melepaskan genggaman Seungyoun di pelampungnya. Wooseok merasa jahat ketika melihat tubuh teman sebangkunya kini tenggelam perlahan ke dalam air laut sementara ia tidak bisa melakukan apa-apa.

Kim Wooseok, membiarkan teman sebangkunya mati. Apalagi yang lebih jahat daripada itu?

Cho Seungyoun. Lelaki itu pergi ditelan dalam dan gelapnya air laut. Ia pergi, bersama sebuah rahasia yang ia bawa mati.

Rahasia, bahwa ia mencintai lelaki yang kini menangis terisak di permukaan sana. Rahasia, bahwa ia tidak ragu menukarkan nyawanya demi agar dapat melihat lelaki yang dicintainya dapat hidup.

Cho Seungyoun pergi, bersama cinta dalam hati.

END

ㅤ        「   대.다.나.다  」

Break dulu, ya, Kak?

Pusing. Mual.

Padahal Seungwoo baru saja membuka mata dari tidurnya yang tidak nyenyak. Namun alih-alih rasa kantuk yang sewajarnya kembali menyerang, hal pertama yang muncul di pikirannya adalah sosok lelaki jangkung yang sebulan lalu baru saja meminta waktu untuk berjalan masing-masing, Choi Byungchan.

Break?”

Iya, Kak.“ “Buat perbaikin diri.“ “Kita berdua.

Langit-langit kamar terasa sangat jauh di pandangan Seungwoo saat ini. Aneh, padahal langit-langit kamarnya hanya setinggi tiga meter. Semestinya tidak sebegini jauhnya.

Tangan kanan Seungwoo terangkat ke atas, meraba udara di kamar tidurnya. Membuat gerakan seperti tengah menggenggam sesuatu yangㅡ pasti nihil. Yang bisa digenggam olehnya di sana hanya ruang hampa. Kosong.

Apa nggak bisa kalau nggak begini? Jangan keputusan ini. Terlalu berat.

Kak.“ “Ini cuma break.“ “Kalau memang Kakak jodohnya ada di aku, pasti kita balik lagi.

Seungwoo percaya. Tanpa harus dipaksa oleh siapapun, Seungwoo percaya bahwa akhir dari segala perjalanan takdirnya akan berhenti di Byungchan.

Maka ketika Byungchan berkata demikian, Seungwoo percaya. Menganggap bahwa break yang dimaksud oleh si kesayangan hanyalah sekedar pengalihan dari ego keduanya yang terkadang muncul tanpa permisi.

Maka ketika Byungchan berkata demikian, Seungwoo menganggukkan kepala dan tersenyum getir, mempercayai pemikirannya yang bahkan sudah menggambarkan adegan ketika mereka berdua akan kembali bertemu dengan senyum bahagia. Saling meminta maaf atas keegoisan masing-masing. Saling berbagi peluk dan merengkuh erat.

Seungwoo percaya. Sangat, percaya.

Biarpun, yahㅡ sulit dan memalukan untuk diakui bahwa pada hari ketika Byungchan meminta break adalah hari dimana seorang Han Seungwoo mabuk berat dan menangis seperti anak kecil di rumah kerabat dekatnya, Wooseok.

Situasinya seperti apa? Ah, itu ..

“TTEUNGWU GAMO PISAH MA UCAN. HUWAAA. WUCOOOK.”

“Nggak ada yang namanya Wucok.”

“UCOOOOK.”

“Nggak ada yang namanya Ucok.”

“MO KETEMU UCAN.” “GAMO PICAAAAH.” “MAMAAAAAA.”

Ya, begitulah.

Yang bisa Seungwoo ingat, hari itu dirinya diusir oleh Wooseok karena terlalu berisik hingga berakhir diantar oleh kekasih si kerabat, Seungyoun.

Ketika diantar oleh Seungyoun, situasinya juga tidak membaik. Di dalam mobil, Seungwoo tidak berhenti menangis. Seungyoun juga tidak pandai menghibur si yang sedang patah hati. Bayangkan, bukannya memberi kalimat penyemangatㅡ Seungyoun malah menyalakan pemutar musik di dalam mobilnya dan memutar satu lagu : Cinta Pertama, milik Bunga Citra Lestari.

“BYUNGCHAN.” “BYUNGCHAN.” Ini nyanyian Seungyoun.

“MELIHATMU, MENYENTUHMU, ITU YANG KUMAU.” Masih nyanyian Seungyoun.

“KAU TAK SEMPAT TANYAKAN AKU ..” Masih, kok. Seungyoun.

CINTAKAH AKU PADAMUUUUU?Ini baru Seungwoo.

MANA BYUNGCHAN? MANA BYUNGCHANKU?

Skip. Skip. Semua yang terjadi hari itu terlalu memalukan. Belum lagi ada kejadian dimana Seungwoo muntah di dalam mobil Seungyoun. Ah, sudahlah. Terlalu menjijikkan untuk sekedar diingat.

Lampu yang terpasang di langit-langit kamar terasa berbeda dari biasanya. Entah apakah pengelihatan Seungwoo yang mulai memburuk atau memang lampu di kamarnya sudah meredup dan akan segera matㅡ

pats!

Oh, mati.

Lihat. Bahkan lampu kamarnya pun seakan enggan memberi pencerahan untuk si lelaki yang tengah dirundung patah hati ini.

Seungwoo tidak segera bergerak untuk bangkit. Badannya terasa berat, bahkan untuk sekedar bangun pun iaㅡ malas. Beruntung, memang, ini hari Minggu. Jika saja hari ini adalah hari kerja, mungkin sepanjang jam kerjanya Seungwoo akan merengut dan tidak bersemangat.

“Hhhㅡ” Lengan kanan Seungwoo kini menutupi matanya. Terpejam, namun tidak tidur. “ㅡbahkan gue telfon pun, nggak lo angkat.”

Layar ponsel yang tergeletak begitu saja di samping Seungwoo, mati. Tidak menyala. Namun bukan karena baterainya habis, Seungwoo tidak akan membiarkannya begitu.

Sebisa mungkin, Seungwoo tidak membiarkan ponselnya kehabisan baterai. Karena apa, tanyamu? Karena ia takut Byungchan menghubunginya di saat ponselnya kehabisan baterai. Maka dari itu, sebisa mungkinㅡ Seungwoo selalu membiarkan ponselnya menyala.

Walaupun apa yang ia harapkan berbanding terbalik dengan kenyataan yang ada. Byungchan tidak pernah menghubunginya, sekalipun dalam sebulan iniㅡ tidak pernah.

Sibuk? Mungkin.

Tidak. Sesungguhnya kemungkinan itu tidak ada, hanya saja Seungwoo selalu menghipnotis pikirannya agar mempercayai hal itu. Bahwa Byungchan tengah sibuk dengan kegiatannya. Bahwa ia terlalu lelah untuk bahkan mengirimkan pesan balasan kepada Seungwoo, atau sekedar mengangkat telefon darinya.

Byungchan sedang sibuk. Pasti, begitu.

Setelah menarik nafas dalam-dalam, Seungwoo menyingkirkan lengannya yang menutupi pandangan. Matanya tidak lagi terpejam, ia menatap langit-langit selama beberapa detik sebelum akhirnya mencoba untuk bangkit dari posisi berbaringnya.

Lapar. Orang patah hati, juga tetap butuh makan.

Diraihnya jaket hitam yang tergantung di dinding sebelum menyadari bahwa jaket itu adalah hadiah pemberian dari Byungchan di hari ulang tahunnya setahun lalu.

Ragu sempat merajai benak sebelum akhirnya Seungwoo memutuskan untuk memakai hoodie pemberian Kakak perempuannya saja.

Lebih baik begitu, daripada menangis lagi selama perjalanannya ke supermarket, coba?

Memalukan.

Entah apa yang Seungwoo pikirkan ketika melihat jejeran susu kotak stroberi di etalase pendingin supermarket dekat kediamannya.

Sedih? Sedikit. Senang? Mungkin. Rindu? Sangat.

Bukan apa-apa, Byungchan sangat menyukai susu stroberi.

Jika mereka tengah berbelanja berdua untuk keperluan di rumah Seungwoo, Byungchan pasti akan berjalan beriringan di samping Seungwoo seraya menyesapi isi dari susu kotak stroberinya. Padahal belum dibayar di kasir. Namun, mana bisa Seungwoo memarahinya jika senyum kekasihnya itu terlihat lebih manis dari segala perisa di dunia?

Seungwoo sedikit ragu. Dalam otaknya kini berputar segala rencana yang tidak sanggup ia wujudkan. Satu diantaranya, apakah akan lebih baik jika ia membeli banyak susu kotak stroberi ini dan membawakannya untuk Byungchan? Ah, membayangkan akan sebagaimana senangnya ia saja sudah membuat Seungwoo kegirangan.

Namun, apa Byungchan tidak akan marah? Lelaki itu bilang butuh waktu untuk memperbaiki dirinya. Waktu untuk saling melakukan intropeksi. Jika tiba-tiba Seungwoo mendatangi tempatnya, bukankah itu artinya ia melanggar janji?

Bukankah Byungchan akan marah? Tidakkah akan begitㅡ

Jangan jadi pengecut. Kalau bukan sekarang, kapan lagi?

Benar. Kapan lagi jika bukan sekarang? Akhirnya dengan berpegang pada tekad yang muncul tiba-tiba, Seungwoo bergerak menghampiri etalase pendingin dan mengulurkan tangannya untuk meraih kotak susu stroberi yang terpajang di sana.

Akan tetapi, ada tangan lain yang berniat meraih kotak susu yang sama dengan yang dituju oleh Seungwoo. “Oh, sorry!”

Suara itu tidak asing. Sangat familiar.

Cepat, Seungwoo mengangkat kepalanya dan menoleh ke arah samping. Benar saja, wajah yang sangat dirindukan olehnya ada di sana.

Tangan itu, wajah itu, milik Byungchan.

Saking terkejutnya, Seungwoo tidak mampu mengucapkan apapun. Bibirnya kelu, sangat.

“Kak Seungwㅡ”

Bibirnya memang kelu, namun syarafnya berkerja lebih baik dari semua organ yang ada. Seungwoo segera merengkuh tubuh Byungchan ke dalam peluknya, erat. Seakan tidak ingin melepaskan barang sedetikpun.

“Kak.” “Kak Seungwoo.” “Kak. Jangan begini.”

Seungwoo seakan tuli. Ucapan Byungchan sama sekali tidak didengar olehnya. Dekapannya masih erat, walaupun Seungwoo merasakan lelaki kurus di dalam pelukan ini seakan mendorong tubuhnya untuk menjauh.

“Kangen.” “Nggak bohong.” “Aku serius. Kangen banget.”

Sekelebat, indera penciuman Seungwoo dapat menangkap wangi sabun dan shampoo yang selalu digunakan Byungchan. Manis. Lelaki ini masih sama, bahkan wanginya pun tidak pernah berbeda. Membuat Seungwoo selalu ingin menghirupnya dalam-dalam, tidak ada puasnya.

“Kamu ke mana aja?” “Aku telfonin terus.” “Aku chat terus.” “Kenapa nggak dijawab?”

“Kamu baik-baik aja?” “Nggak sakit, 'kan?” “Masih sering sakit kaki, nggaㅡ”

Byungchan.

Di tengah pertanyaan yang dicecar oleh Seungwoo, suara itu seakan menyela dan memaksa untuk masuk.

Bukan. Bukan suara Byungchan.

Ada lelaki yang tidak dikenali olehnya. Tinggi, bahkan lebih tinggi daripada Byungchan sendiri. Dia siapㅡ

“Jinhyuk!”

Tubuh Seungwoo yang masih merengkuh Byungchan di dekapannya kini didorong paksa. Terpisah, atas paksaan.

Tubuh Seungwoo seakan kaku untuk sesaat. Syarafnya seperti tidak berfungsi tatkala melihat Byungchan yang panik, ketakutan.

Entah karena apa. Apa karena lelaki itu?

“Udah beli semuanya?”

Byungchan membalikkan tubuhnya, membelakangi Seungwoo dan berjalan menuju si lelaki yang barusan dipanggil Jinhyuk olehnya. Senyuman Byungchan, manis. Sama seperti senyum yang biasanya ia perlihatkan kepada Seungwoo.

Tapi kenapa sekarang malah diperlihatkan untuk lelaki itu?

Jinhyuk, masih berdiri di tempat kemudian segera mengusak kepala Byungchan ketika lelaki itu menghampirinya. Mereka tersenyum, seperti tidak menyadari ada pemilik hati yang tengah terkoyak ketika melihat pemandangan itu.

“Siapa?”, tanya Jinhyuk seraya melayangkan pandangan ke arah Seungwoo yang masih berdiri dengan tatapan kosong. Byungchan menoleh ke belakang, sempat terdiam sejenak ketika memandangi Seungwoo di sana.

Jawab, Byungchan. Kekasih. Jawab!

“Temen.” “Temen lama.” “Kebetulan ketemu.”

Oh. Teman. Teman lama, pula.

Jinhyuk yang mendengar ucapan Byungchan mengangguk-angguk kecil kemudian melemparkan senyum ke arah Seungwoo. Seperti tidak menaruh curiga sama sekali dan menganggap Seungwoo hanya kawan Byungchan. “Halo,” sapa lelaki jangkung itu kepada Seungwoo. “Jinhyuk.”

“Pacar Byungchan.”

Tidak. Seungwoo tidak merasa hatinya remuk, sekarang. Tidak juga merasa kepalanya panas hingga ingin meledak. Tidak. Sama sekali tidak.

Sumpah demi apapun. Seungwoo ingin tertawa. Menertawakan segalanya.

Byungchan? Dia diam. Berdiri di samping Jinhyuk dengan tangan yang memegangi ujung jaket yang dikenakan si lelaki jangkung. Kebiasaan tatkala merasa gugup, Byungchan selalu begitu.

“Halo.”

Akhirnya Seungwoo bisa membuka suara. Senyum tipis terulas di bibir. Bukan senyum getir, kini senyum Seungwooㅡ terlalu sulit untuk disimpulkan apa artinya. Hanya sudut bibir yang terangkat, terlihat sinis.

“Seungwoo.” Ujarnya singkat sebelum akhirnya menambahkan, “temen lamanya Byungchan.”

Jinhyuk mengangguk, paham. Senyumnya terpampang lebar, sepertinya merasa senang karena bisa kenal dengan salah satu kawan kekasihnya. “Kayaknya kalian deket, ya? Sampai pelukan begitu?”

Seungwoo terdiam untuk beberapa detik, begitupun Byungchan. Dari ujung matanya, Seungwoo dapat menangkap gelagat lelaki itu. Seperti ketakutan, takut ketahuan.

Bodoh.

“Iya,” jawab Seungwoo. “Deket, banget. Dulu.” Kalimat Seungwoo sempat menggantung sejenak sebelum akhirnya kembali dilanjutkan. “Mulai pacaran dari kapan?”

Jangan bilang. Jangan bilangㅡ

“Sebulan lalu.”

Oh. Semua sudah jelas. Terlalu sangat jelas, malah.

“Ah.” Seungwoo menggumam sebelum kembali menyunggingkan senyumannya. “Yang langgeng, ya?”

“Thanks.” Balas Jinhyuk, seakan tidak menangkap ada yang aneh dari ujaran lelaki yang baru dikenalinya barusan ini.

Tidak ada rasa sakit hati yang Seungwoo rasakan sekarang. Ataukah rasa sakitnya sudah teramat sangat parah sampai hatinya mati rasa seperti ini?

Entahlah. Ia, pusing.

“Sorry ganggu. Gue cuma kaget bisa ketemu pacar lo di sini.” Seungwoo perlahan menghampiri Jinhyuk kemudian menepuki bahunya, terlihat akrab. “Gue titip pesan ajaㅡ”

“ㅡjangan biarin Byungchan lepas dari jarak pandang lo. Dia bisa kabur begitu aja dan susah buat lo kejer lagi.”

“Ilang.” “Dan bersikap kayak nggak pernah terjadi apa-apa.”

Bukannya Seungwoo tidak dapat menangkap tatapan heran dan alis yang bertaut dari Jinhyuk ketika mendengar kalimat yang barusan ia ucapkan. Namun, sudahlah.

Tatapan Seungwoo teralih dari Jinhyuk ke Byungchan yang masih menunduk. Menolak bertatapan dengan Seungwoo. “Gue balik, ya. Sorry, tadi gue asal main peluk. Kaget. Nggak nyangka ..”

“.. bisa ketemu temen lama di sini.”

Sudah. Sudahlah. Lupakan. Biarkan.

Biarkan dia bermain dengan lelaki ini. Biarkan dia puas dengan cerita dan lelaki barunya. Biarkan, biarkan saja begitu.

Setidaknya, kali ini Seungwoo paham bahwa ada yang pergi dan tidak akan pernah kembali lagi.

Byungchan.

END

ㅤ    「   Jinhyuk & Seungwoo 」

“Seungwoo!”

Jinhyuk berseru tepat setelah kakinya baru melangkah keluar dari dalam rumah 88. Seungwoo, yang dipanggil, segera memfokuskan pandangan kepada si lelaki jangkung di seberang rumah. Membalas sapaan dengan senyuman tipis, karena tidak bisa balas berseru senang seperti Jinhyuk saat ini.

“Misi baru?”, tanya Jinhyuk seraya berjalan menghampiri kotak pos berwarna merah di depan rumahnya. Seungwoo, yang sudah terlebih dulu mengambil isi dari kotak pos miliknya, hanya balas menjawab dengan anggukan kecil.

“Lo juga?” “Berdua?”

“Belum tau.” “Ini baru mau liaㅡ oh, ada dua amplop.” Tangan Jinhyuk meraih isi kotak pos, dan mengeluarkan dua amplop dari dalam sana. “Tumben, Tuhan ngasih kita misi di waktu yang sama kayak begini.”

Seungwoo mengangguk. “Iya, tumben. Baru sekali, kayaknya. Biasanya misi kita selalu dikasih di waktu yang beda.”

Jinhyuk mengangkat bahu, namun senyum lebar tetap tersemat di wajahnya. “Yah, mungkin Tuhan mau bikin kita jadi lebih deket?”

Seungwoo? Tidak begitu terkesan dengan kalimat Jinhyuk. Ia tidak membalas dengan senyum yang sama seperti sebelumnya. Seungwoo, lelaki bertubuh tegap itu hanya mengibaskan tangannya. Seperti ingin memberi tahu Jinhyuk agar jangan pernah berharap hal yang dipikirkannya akan terjadi.

“Udah, Hyuk.” “Susah terwujud, itu.” “Lo tau sendiri kemarin Wooseok sampai ngomong apaan di grup chat, 'kan?”

Ekspresi wajah Jinhyuk sedikit berubah. Senyum lebarnya perlahan memudar.

”...” “Seungwoo.” “Wooseok, ada di dalam?”

Seungwoo mengangguk. “Ada di dalam, lagi baca koran. Kenapa? Mau masuk?”

“Boleh?!” “Kalian nggak pasang jimat di dalam rumah, 'kan? Kalau gue masuk, gue nggak akan kebakar, 'kan?”

Terkekeh. Seungwoo hanya bisa bertingkah demikian. Tidak habis pikir bahwa Jinhyuk menganggap rumah 66 seperti ladang setan yang akan menangkap malaikat dari surga untuk dijadikan mangsa santapan. “Nggak, lah.”

“Tapi bisa jadi lo kebakar sama omongan panasnya Wooseok, sih. Dia kalau ngomong kadang panasnya ampun-ampunan.”

“Masih mau masuk?”, tawar Seungwoo, lagi.

Jinhyuk terdiam sejenak. Satu detik, dua detik, tiga detikㅡ hingga akhirnya menjawab, “nanti.”

“Gue, deg-degan.”

“...” “Hah?” “Deg-degan?”

Jinhyuk mengangguk. Tangan kanannya perlahan terangkat, menyentuh dadanya sendiri yang tiba-tiba berdebar kencang tidak karuan. “Nggak tau.”

“Kok bisa tiba-tiba begini?”

Seungwoo mengernyitkan alis, sedikit heran. “Loㅡ punya berapa kasus lagi sampai bisa ke 100 kasus, Hyuk?”

“Tiga.”

“Oh.”

Respon yang diberikan oleh Seungwoo membuat Jinhyuk semakin bingung. Sesingkat itu?

“Oh?”

Seungwoo mengangguk, santai. “Kata Bang Dujun, ketika kasus lo udah mencapai angka paling minimalㅡ lo bakal dapetin berbagai sensasi yang baru pertama kali lo rasain.”

“Katanya, semacam apa, ya? Perjalanan buat ngebalikin ingatan lo yang ilang, Hyuk.”

“Mungkin, mungkin aja lo sama Wooseok saling kenal di kehidupan sebelumnya sebelum lo berdua mati? Tapi kalaupun iya kalian berdua kenal ..”

Jinhyuk masih sibuk mengelusi dadanya sendiri. Aneh, tiba-tiba ia merasa sesak bukan main. Ada apa, ini?

“Kenapa kalau gue kenal diㅡ”

“.. paling hubungannya tuh babu sama majikan. Iya, nggak, sih?”

”...” “Seungwoo.” “Lo mau ngetes kesabaran gue atau gimana? Ngelempar sandal jepit itu nggak termasuk dosa, kata Tuhan. Mau gue slepet lo bolak balik pakai sandal jepit, Woo? Barusan banget nginjek tai kucing, by the way.”

Seungwoo tidak terlihat panik. Masih santai mengangkat bahu sebelum akhirnya kembali berjalan masuk ke dalam rumah 66. “Good luck, Hyuk.”

“Buat apa?”

“Inget-inget soal majikan lo yang serumah sama gue.”

“Bangsaㅡ” “EH! AMPUN, TUHAN!” “NGGAK! NGGAK NGUMPAT KOK, TUHAN. SUMPAH.” “TADI MAU BILANG BANGSA DAN NEGARA TERCINTA, SUMPAH.”

kembali