ㅤ
「 Mereka. 」
ㅤ
Yang pertama kali Baskara lihat setelah membuka pintu masuk apartemennya adalah sepasang sepatu sneakers putih yang agak kumal, terletak rapi di atas rak sepatu.
Hal kedua yang Baskara tangkap setelah masuk ke dalam apartemen adalah harum mie instan yang merebak di seluruh ruangan. Sesekali, terdengar suara ketukan alat makan yang seakan beradu dengan panci. Seperti tengah mengaduk sesuatu.
Hal ketiga, kedua mata Baskara menangkap sosok tubuh jangkung yang tengah berdiri memunggunginya. Sebelah tangan berkacak di pinggang, sementara sebelah yang lainnya tengah mengaduk isi panci di atas kompor.
“Cak?”, panggil Baskara ragu. Namun detik setelahnya, ia yang tengah memunggungi segera membalikkan tubuh danㅡ sosok yang Baskara pikir tidak akan pernah kembali hadir di hadapannya, kini ada di sana.
Berdiri, dengan sendok di tangan kanan. Juga dengan kenaan putih serta jeans hitam yang sederhana namun tetap membuat hati Baskara berdegup kencang.
“Oh. Udah pulang?”
“Nggak kedengeran.”
“Duduk dulu, gih.”
“Hampir mateng, mienya.”
”...”
“Loㅡ kenapa di sini?”
“Buku gue masih banyak yang ketinggalan. Mau sekalian gue bawa keluar, sama bawa baju sisa di lemari.”
Ah. Benar, 'kan? Jangan pernah berharap. Cakrawala datang ke sini bukan karena ia ingin kembali kepada Baskara. Sedari awal, Baskara bukan siapa-siapa untuk Cakrawala. Untuk apa, sih, ia berharap banyak?
“Oh.” Balas Baskara dengan anggukan kecil, “gitu.”
“Kenapa?”
“Mau nahan gue lagi?”
“Nggak. Gue nggak akan tahan siapapun yang mau pergi,” ujar Baskara seraya bergerak menuju kulkas yang berada di samping tempat Cakrawala tengah memasak. “Kalau pergi, ya, pergi.”
“Aahㅡ”
Cakrawala mengangguk-angguk seraya memutar pematik kompor ke kanan, mematikannya. “ㅡjadi lo nggak mau barengan sama gue? Padahal kayaknya beberapa jam lalu, lo bilang cuma pengen sama gue.”
”...”
“Loㅡ denger?”
“Bukannya lo tidur?”
“Kebangun.” Jawab Cakrawala ringan seraya mengangkat bahunya. “Lagian, lo kalau genggam tangan orang tuh' jangan kekencengan. Siapa yang nggak bangun kalau lo genggam sebegitu kencengnya, coba?”
“Lo denger dari mana?”
Sekitar tiga detik diisi keheningan sebelum Cakrawala berujar singkat, “dari lo duduk sampe lo bangun lagi.”
“Semuanya?”
“Semuanya.”
Sumpah. Kepala Baskara rasanya langsung berputar cepat, pusing bukan main. Jadi, lelaki di hadapannya ini tahu perihal semua ucapannya yang dangdut dan mirip dialog film India itu?!
“Ngomong-ngomong, gue ketemu sama Rachel-Rachel itu. Di rumah Bang Tristan.”
Tuh.
Tuh, 'kan?
Belum juga rasa pusingnya selesai, realita seakan ingin menabraknya lebih jauh. Untuk apa Rachel menemui Cakrawala, coba? Bukankah di kafe tadi Baskara sudah meminta agar ia menjaga Cakrawala diam-diam? Kenapa malah blak-blakan begini, hah?!
“Rachel?”
Cakrawala mengangguk. “Gue dikasih tau kalau lo cuma cowok sewaan dia dan semua yang lo milikin di sini itu dari dia.”
Sialan.
Sejauh apa Rachel menjelaskan perihal dirinya, coba? Kenapa tidak sekalian saja jelaskan kalau dia memohon Rachel untuk menjaga Cakrㅡ
“Dia juga bilang lo minta dia buat jagain gue. Biayain gue sampe mampus dan pastiin gue bahagia.”
ㅡoh, sudah dijelaskan juga.
Rachel sialan.
“Oh ..” Baskara menggantungkan kalimatnya, tidak tahu harus berujar apa lagi. Malu? Sudah pasti. Kalau ada lubang yang bisa dimasukinya, Baskara pasti sudah merangkak ke sana. “.. yaaㅡ”
“Terus Rachel nanya, apa yang harus dia kasih biar gue bahagia? Berapa banyak duit yang harus dia transfer buat biayain gue?”
Benar. Tipikal Rachel sekali.
“Lo minta berapㅡ”
“Gue minta lo.”
”...”
“...”
“Hah?”
“Gue minta Baskara,
buat dimilikin Cakrawala.”
Tunggu.
Telinga Baskara tidak salah menangkap ucapan Cakrawala, 'kan? Barusan lelaki itu mengatakan bahwa ia menginginkan dirinya untuk dimiliki, bukan?
“Gimana?”
“Apanya?”
“.. Hah?”
“Hah. Hah. Hah, melulu.”
“Alih profesi jadi tukang jualan keong atau gimana, lo?”
“Nggak, bentar.”
Baskara beranjak mendekati Cakrawala, meraih kedua pundaknya dan mencengkeramnya agak kuat. “Gue beneran bingung. Coba lo jelasin pelan-pelan.”
Wajah mereka berdua hanya terpisah jarak minim. Memang tidak terlalu dekat, namun juga tidak bisa dikatakan terlalu jauh. Dari jarak sebegini, Baskara dapat melihat bagaimana wajah Cakrawala memerah.
Memerah?
Untuk apa?
“Lo suka gue?”, tanya Baskara. “Lo juga suka gue?”, tanyanya lagi. Kali ini dengan penekanan di kata 'juga' yang diucapkan.
Cakrawala tidak menjawab, namun Baskara dapat memastikan wajahnya semakin memerah. Bahkan hingga mencapai daun telinganya. “Makan dulu,” ujar Cakrawala seraya berusaha melepaskan diri dari cengkeraman tangan Baskara pada pundaknya. “Keburu mienya megar lagㅡ”
Berharap ingin mendapat jawaban secepatnya, Baskara memutar tubuh Cakrawala hingga akhirnya tersudut di dinding dapur. Membuat si yang lebih muda tidak dapat bergerak karena kungkungan tubuh si yang lebih tua. “Bas. Bas. Lo ngapain, siㅡ”
“Lo suka gue?”
“Jawab.”
Suara Baskara terdengar dalam, seperti menunjukkan seberapa seriusnya ia saat ini. Cakrawala mencoba menyudahi, “udah, lah. Ngomongin ini nanti aja. Gue malu. Lo juga pasti lapeㅡ”
“Lo suka gue?”
Masih diajukan pertanyaan yang sama dari Baskara. Menuntut jawaban dari Cakrawala. “Jawab.”
“...”
Cakrawala menatap lurus mata Baskara. Penuh keseriusan di sana, seakan meminta Cakrawala untuk segera menjawab atau jika tidak Baskara akan mati segera. Apa sepenting itu jawaban dari Cakrawala untuknya?
“Suka.”
“Lebih dari suka, malah.”
“Gue sayang ke lo, Bas.”
“Sayang banget.”
“Keterlaluan sayangnya.”
”...”
“...”
Baskara tidak berkata apa-apa, namun kungkungan tangannya pada tubuh Cakrawala segera mengendur. Kakinya terasa lemas bukan main hingga akhirnya si yang lebih tua jatuh terduduk di atas lantai dengan kedua tangan kini menutupi wajahnya. “Haha .. ha-ha ..”
Tertawa, namun bukan karena perasaan senang. Baskara tertawa karena terlalu tidak mempercayai segala yang terjadi beberapa waktu ke belakang. Perasaan aneh kepada Cakrawala yang baru ia simpulkan sebagai rasa cinta. Permintaan Rachel yang memintanya untuk menaikkan status hubungan ke jenjang pernikahan. Juga Cakrawala yang mengatakan bahwa ia menyukai Baskara.
Semua terlalu naik-turun hingga Baskara kebingungan harus merasakan apa.
“Kenapa ..”
“.. kenapa lo suka gue juga?”
Pertanyaan Baskara tidak dibalas jawaban oleh Cakrawala. Lelaki yang lebih muda itu hanya ikut berjongkok di hadapan Baskara, memperhatikan lelaki yang tengah menutupi wajah dengan kedua tangannya. “Kenapa apanya, Bas?”
“Semua bakal lebih mudah kalau lo nggak suka gue, Cak. Lo bisa nikmatin semua dari Rachel dengan tenang, nikah sama cewek pilihan lo. Punya keluarga bahagia.”
“Lo nggak akan ribet.”
“Kenapaㅡ lo juga suka gue?”
Cakrawala meraih kedua tangan Baskara, membiarkan wajah lelaki itu tidak lagi tertutupi. Tangan besar berjari lentik milik Baskara digenggam, tidak erat. Hanya disertai usapan kecil di punggung tangan, persis seperti yang dilakukan Baskara kepada Cakrawala di rumah Tristan. “Bas.”
“Kalau gue bisa milih, gue juga nggak mau sama lo. Sumpah.”
“Ngebayangin gue di posisi yang dikungkung sama lo, ngebayangin gue yang bakal disodok sama lo pas lagi ML, ngebayangin gue yang bakal pegang peranan cewekㅡ kalau bisa milih, gue juga nggak mau.”
Sebelah tangan Cakrawala terangkat, mengusapi rambut Baskara hingga berakhir elusan lembut di pipi kirinya. “Tapi gimana lagi? Gue nggak bisa bohong kalau gue rela lakuin apapun asalkan lo ada di samping gue. Hal sebego apapun itu, sebisa mungkin gue lakuin.”
“Bahkan ngebiarin lo nikah sama Rachel pun, gapapa.”
Baskara baru tahu bahwa tangan Cakrawala sehangat ini. Dulu, ia menganggap tangan Cakrawala sama lentik dan besar dengan tangannya, namun kiniㅡ ketika ia meraih tangan Cakrawala dan menggenggamnya erat, Baskara baru paham bahwa tangan lelaki itu kurus. Berbeda dengan tangannya sendiri yang besar.
“Gue mau minta ke Rachel.”
“Minta apa, hm?”, nada bicara Cakrawala tidak lagi terdengar ketus seperti biasanya. Kini nada bicaranya kepada Baskara terdengar hangat, penuh afeksi. “Lo mau minta apa ke Rachel?”
“Batalin pernikahaㅡ”
“Jangan.”
“Lo harus tetep lanjutin.”
”.. Kenapa?”
“Karena itu satu-satunya cara supaya kita bisa barengan tanpa dicaci orang, Bas.”
“Maksud lㅡ”
“Gue nggak mau pandangan orang ke lo berubah. Begitupun pandangan orang ke gue, ke keluarga gue, ke agama gue. Gue nggak mau mereka tau.”
”...”
“Lo mau ngajak baㅡ”
“Backstreet, iya.”
Baskara tidak tahu apakah ia harus senang atau sedih ketika mendengar ujaran Cakrawala. Karena jujur saja, Baskara sendiri tidak yakin apakah orang tua dan keluarganya dapat menerima orientasi seksualnya yang begini. Jujur saja, Baskara masih takut dengan tanggapan banyak pihak perihal ini. Jujur saja, terlalu banyak yang ia takuti.
Namun ia juga sedih karena Cakrawala seakan membangun jarak dengan dirinya. Agar tidak melaju terlalu jauh. Seperti mengurung kisah mereka dalam sebuah kotak yang dikunci rapat.
“Bas.”
“Gue sayang lo.”
“Sayang banget.” Cakrawala menggenggam tangan Baskara kuat-kuat, kemudian mengecupi punggung tangannya berkali-kali. “Tapi, Basㅡ gue harap lo bisa pikir dengan akal sehat. Lo sama gue, kita, tinggal di tempat yang anggap hal beginian tabu.”
“Gue pengen liat lo bahagia, Bas. Itu aja dulu. Dengan kemampuan lo buat sukses, dengan semua hal yang lo miliki buat jadi sosok terpandang.”
“Gue bahagia sama lo, Cak!”
“Itu aja cukup, sumpah!”
“Gue nggak butuh apa-apa lagi!”
“Ssshㅡ”, Cakrawala mendesis pelan, seperti meminta Baskara untuk mengendalikan emosinya. Badannya bergerak merengkuh tubuh Cakrawala, memeluk lelaki yang bertubuh lebih tegap darinya itu. Erat. “ㅡ gue paham. Gue juga begitu. Sebenernya, gue seneng banget kalau bisa berdua sama lo. Itu aja cukup.”
“Tapi, Bas. Dibanding semua itu, gue pengen liat lo yang sukses. Lo yang disegani. Lo yang dihormati. Dan gue nggak yakin, di tempat iniㅡ di negara ini, lo bakal dapetin semua kehormatan itu kalau lo ngaku bahwa lo gay.”
Pelukan Cakrawala terasa sangat nyaman. Belum lagi dengan usapan di puncak kepala dan tepukan menenangkan yang diberi di punggung Baskara, bisa-bisa membuatnya tertidur di pelukan yang lebih muda.
“Baskara.”
“Baskara.”
“Baskara.”
“Gue sayang lo.”
Cakrawala mengendurkan pelukannya dan menangkup pipi Baskara dengan kedua tangannya. “Perlu gue bilang berapa kali biar lo tau gue sayang, hm?”
“Banyak.”
“Berkali-kali.”
Baskara menjawab dengan senyum terulas tipis, membuat lesung di pipi kanannya terlihat sekilas. “Nggak ada habisnya.”
“Ucap terus.”
“Jangan pernah berhenti.”
“Bilang, selalu. Lo sayang gue.”
Wajah Cakrawala tidak lagi terlihat memerah. Mungkin sudah terbiasa dengan sosok Baskara di dekatnya seperti ini. “Gue sayang lo.”
“Gue sayang lo, banget.”
“Cakrawala sayang Baskara.”
“Cacak sayang Babaㅡ hhmh!”
Ujaran Cakrawala terputus karena Baskara sudah keburu meraih punggung lehernya dan mendaratkan ciuman pada bibir si yang lebih muda. Awalnya hanya ciuman layaknya biasa, hingga tanpa peringatan Cakrawala membuka mulut dan memberi akses kepada Baskara untuk melesakkan lidah ke dalam mulutnya.
Baru sekarang Cakrawala rasakan bagaimana bibir Baskara semanis itu. Pula cara lelaki itu memainkan lidah di dalam ruang mulutnya, juga bagaimana sesekali Baskara menggigiti bibir bawahnya kerap membuat Cakrawala merasa tubuhnya merinding.
Cakrawala tidak tahu sudah sebanyak apa bekas kemerahan di lehernya. Lelaki itu sepertinya terlalu menyukai leher Cakrawala. Lihat saja, bagaimana kini Baskara mengecupi bahkan menggigit kecil leher si yang lebih muda dengan agak tidak terkendali. Seakan ingin memilikinya hingga ke bagian terkecil.
Apalagi tatkala si yang lebih tua kini perlahan menaikkan kaus yang dikenakan oleh Cakrawala, hingga membuat tubuh bagian atas si yang lebih muda terekspos. “B-bas, bentar dulu. Kayaknya ini kecepetㅡ rrngh ..”
Cakrawala kira, jilatan Baskara pada lehernya sudah cukup membuat miliknya menegang bukan main. Namun ia salah besar, karena jilatan Baskara pada putingnya malah membuat ia ingin menangis.
Entah apa.
Entah bagaimana.
Entah. Entah apa yang Cakrawala rasakan saat ini namun Baskara berhasil membuatnya merasa seperti lacur yang menginginkan lebih dari sentuhan Baskara. Dalam waktu sesingkat ini, Baskara bisa membuat Cakrawala bertekuk lutut.
Maka tatkala tangan besar Baskara perlahan bergerak menuruni perut hingga akhirnya berhenti di daerah kejantanan Cakrawala yang masih terbungkus oleh celana jeans hitamnya, si yang masih dikungkung dalam kenikmatan berupa jilatan dari Baskara hanya bisa membiarkannya.
Tangan Cakrawala tidak menahan gerakan tangan Baskara yang tengah berusaha melepaskan kancing celananya. Tangan si yang lebih muda kini malah bergerak menyusuri rambut si pemberi kenikmatan, sebelum akhirnya menarik kepalanya untuk kembali naik ke atas dan melumat bibirnya dengan penuh keinginan untuk mendapat lebih.
Panas.
Seakan ada yang ingin membuncah dari bawah tubuh Cakrawala tatkala Baskara menggerakkan tangan naik turun di miliknya. “B-bas, pe— laanh .. hhhnㅡ”
“Nggak.” Baskara berganti mengulum daun telinga Cakrawala dengan seduktif sebelum akhirnya membisikkan setiap kalimatnya dengan nada berat. “Nggak akan gue berhentiin ..”
“.. keluar buat gue, Cak.”
Rasa panas yang dirasa oleh tubuh Cakrawala kini seakan berbeda dari segala panas yang pernah dialaminya. Bukan panas gerah, bukan panas karena pedas. Ini panas karenaㅡ Baskara.
“A-aanhㅡ Baaas ..”
“.. nhh, enak ..”
“Enak? Hm?”
Cakrawala mengangguk tanpa malu. Tatapannya bukan lagi tersipu, namun berubah menjadi keinginan untuk mendapatkan lebih. Egois, ingin memiliki Baskara untuknya sendiri.
Maka ketika Baskara menghentikan gerakan tangannya sendiri untuk membuka kancing celana miliknya, Cakrawala tidak mengatakan apapun. Tidak ingin memohon lebih, namun juga tidak menolak untuk melangkah ke tahap yang lebih jauh. Sudah kepalang tanggung, ia pun ingin merasakannya.
Merasakan bagaimana tubuhnya diberi kenikmatan tiada tara untuk pertama kalinya, oleh diaㅡ si pemilik raga jua jiwa.
Bernama; Baskara.