dontlockhimup

ㅤ        「   HOUSE 88, Keesokan harinya ..  」

“ONE!”

“TWO!”

“THREE!”

“FOUR!”

I WANT YOU!!“ “I NEED YOU!!“ “I LOVE YOU!!

HEAVY ROTATION!!

Jinhyuk, menggunakan tongkat pel sebagai mikrofon. Byungchan, tengah menjadikan gagang sapunya sebagai gitar. Agenda mereka berdua pagi hari ini adalah membersihkan rumah, katanya. Namun entah bagaimana dan siapa yang mengusulkan, tiba-tiba lagu Heavy Rotation milik grup AKB48 sudah berkumandang ramai di penjuru rumah bernomor 88 ini.

“KAPAN SELESAINYA?”, tanya Byungchan dengan nafas agak tersengal ketika lagu Heavy Rotation yang mereka putar sudah terulang sebanyak 3 kali berturut-turut.

“NGGAK TAU.” “LO YANG MUTER 'KAN?”

“NGGAK.”

“CAPEK.” “TAPI NGGAK MAU BERHENTI GOYANG.”

“SAMA.”

I WANT YOU!!“ “I NEED YOU!!“ “I LOVE YOU!!

HEAVY ROTATION!!

DING DONG DING DONG DING DONG

I FEEL YOU!!“ “I TOUCH YOU!!“ “I LOVE YOU!!

PERASAAN INㅡ!!

ctak

Lagu terhenti secara tiba-tiba. Byungchan dan Jinhyuk saling bertatapan, saling bertatapan dan menebak siapa yang berani-beraninya mengganggu waktu senang-senang merekㅡ

DDDRTTT. DDDRTTT.

Notifikasi dari ponsel mereka, rupanya. Ada satu chat yang belum dibaca di ruang obrolan grup 88 dengan 66.

Oh. Oke, Tuhan.

“Gue yang ambil.”

Iya, kali ini Jinhyuk tidak berbicara dengan penuh semangat menggebu. Kecapaian setelah menyanyikan lima lagu Heavy Rotation berturut-turut.

Byungchan? Tengahㅡ apa, ya? Ngesot, menuju kulkas.

Lagi, hari di rumah 88 dimulai dengan semangat.

ㅤ      「   HOUSE 66, keesokan harinya ..   」

“Wooseok.” “Mau selai?”

Hanya gelengan kepala singkat yang diberikan Wooseok atas pertanyaan yang dilayangkan Seungwoo. Lelaki bertubuh kurus itu masih memfokuskan pandangannya ke lembaran koran di tangan, sibuk membaca berbagai peristiwa di dunia manusia.

Seungwoo tidak bertanya dua kali. Detik setelah penolakan diterima, Seungwoo mengoleskan selai stroberi dari toples kecil di atas meja ke selembar roti yang ia pegang.

Digigit kecil kemudian dikunyah perlahan. Tidak terburu-buru. Entah ingin menikmati setiap rasa yang ada atau memang kebiasaannya seperti itu.

Suasana rumah bernomor 66 selalu begini di setiap paginya. Dua sosok lelaki, duduk di meja makan, saling berhadapan, tanpa berbincang.

Wooseok dan Seungwoo, mereka, begitu.

DING DONG. DING DONG. DING DONG.

Suara bel dengan nada yang terdengar khas itu terdengar di segala penjuru ruang dari rumah 66. Baik Seungwoo dan Wooseok, keduanya tidak terlihat terkejut sama sekali.

Seakan sudah sangat terbiasa dengan segala sesuatunya.

Wooseok sedikit mengalihkan pandangannya dari lembaran koran yang tengah ia baca, menatap Seungwoo biarpun sekilas. “Gue? Lo?”

Seungwoo meletakkan potongan dari selembar roti yang belum sempat ia habiskan ke atas piring. Menepuk-nepuk remahan roti yang jatuh ke atas celana, sebelum akhirnya bangkit dari kursinya. “Gue aja yang ambil.”

Mengambil misi yang harus mereka selesaikan. Suara bel barusan adalah pertanda bahwa ada misi yang Tuhan kirimkan ke kotak pos berwarna merah yang tertanam di depan halaman rumah.

Tuhan mengirimkan misi untuk mereka berempat setiap beberapa hari sekali. Target tujuan keempatnya selalu berbeda. Tidak pernah sama.

Setidaknya, sejauh ini begitu.

Wooseok mengangguk ketika mendengar ujaran Seungwoo. Tidak ada ucapan terima kasih bernada ramah dari bibirnya. Ya sudahlah, Seungwoo juga tidak pernah mengharapkan itu dari seorang Kim Wooseok.

Baik dirinya dan Wooseok, mereka hanya malaikat pungutan dari neraka. Terlalu banyak halaman kelam di diri mereka.

Menjadi ramah dan ceria, bukanlah mereka.

Now playing ㅡ GB9, JOA

       ㅤ       「   Voice Call :   Kakao talk. 」 ㅤ

“Kak.”

“...”

tuh, 'kan. diem lagi.

“Kak Seungwoo.” “Marah, bukan?”

“Nggak.”

apanya yang nggak?! jutek begitu! pasti lagi manyun di sana. ㅤ “Kakak.” “Sayangnya aku.” “Udah makan, belum?”

“Udah.”

Ya Tuhan! aku lagi ngomong sama gunung es, apa, ya?

“Aku nggak ditanya, Kak?”

“Udah makan?”

”...” “Kok jutek, Kak?”

“Nggak.” “Biasa aja, kok.”

BIASA DARI HONGKONG?!

“Kak.” “Aku ada salah, ya?”

“Nggak.” “Nggak ada salah.”

“Kok jutek ..?”

“Nggak jutek.” “Perasaan kamu aja.”

“Hnn ..” “Ya udah, iya.” “Kakak di kamar sendirian?”

“Iya.” “Kenapa?” “Mau liat Wooseok?” “Seungyoun? Hangyul?” “Yohan? Minhee?”

aduh. kalau jawab iya marah nggak, ya? ah, jangan, deh.

“Nggak, Kak.” “Aku kangennya sama Kakak.” “Kak Seungwoo-ku.”

biasanya dia ketawa kalau digombalin begini. ayo, cepetan ketawㅡ

“Oh.”

DIH. BEGITU DOANG?

“Kak. Akuㅡ ganggu, ya?”

“Nggak.”

“Kok kayak nggak mau ngobrol gitu, Kak? Kalau Kakak mau istirahat, nggak apa-apa. Aku nggak akan ganggu. Tadi aku juga tonton fancam penampilan Kakakㅡ keren, kok.”

“Pacar aku, selalu keren.”

“Hm-mm.”

MAU NANGIS. JUTEK BANGET, IH!

“Kak ..” “.. maaf, ya?”

“Buat apa?”

nah, iya. buat apaan, coba? aku punya salah apa?

“Nggakㅡ tau.” “Tapi mau minta maaf.” “Buat apapun itu ..” “.. maaf.”

aduh, mau nangis.

“Kamu lagi ngapain?”

“Hm?” “Nggak lagi ngapa-ngapain.” “Ngobrol aja, sama Kakak.”

“Nggak ada tugas?”

“Nggak ada, Kak.” “Kenapa?”

“Video call, ya?” “Itu. Kakak mauㅡ ㅡmau sampaiin sesuatu.”

”...”

nah, lho. apaan, coba? jangan-jangan .. .. PUTUS?!

“Tentang apa, Kak?”

“Video call, ya?” “Boleh?”

ah, mungkin emang udah waktunya bangun dari mimpi indah ini.

“Penting, ya, Kak?”

orang biasa kayak aku, mana bisa lama pacaran sama artis kayak seorang Han Seungwoo, coba?

“Iya.” “Penting.”

“Boleh?”

udah, terima aja. mungkin ini udah waktunya.

“Iya, Kak.” “Boleh.”

↳ akhir dari narasi. kembali ke tweet untuk menonton video kelanjutan kisah. 😊

Now Playing ㅡ Sex101

      「   Pagi.  」

“Cak.” “Ikut, 'kan?”

“Sumpah, Bas.” “Sekali lagi lo nanya begitu, gue sumpel mulut lo pake sempak yang belum lo cuci dari kemarin.”

“Iya, gue ikut. Iya.” “Bayi bener, ngajak anjing jalan-jalan aja sampai harus ditemenin.”

Baskara, lelaki bertubuh tegap yang kini tengah menyandarkan tubuh setengah telanjangnya ke kepala tempat tidur, hanya memasang senyum tipis tatkala mendengar ucapan Cakrawala.

Penampilan Cakrawala tidak jauh berbeda dengan Baskara. Bedanya, lelaki bertubuh lebih kurus itu tidak mengenakan kenaan apapun dan hanya membelitkan sepotong handuk di pinggangnya. Rambut masih basah, karena baru saja dibasuh air kamar mandi di kamar utama unit apartemen Baskara.

Keramas, karena merasa gatal bukan main. Kenapa, tanyamu? Keringat.

Keringat apa? Yaaㅡ

“Cak.” “Cacak.”

“Hm?”, Cakrawala hanya membalas dengan gumaman ringan seraya memilih baju miliknya yang kini sudah ia simpan di lemari baju milik Baskara. Keduanya, tinggal bersama. Sehingga sudah tidak ada lagi batas antara ╱kamar Baskara╱ dengan ╱kamar Cakrawala╱. “Apaan? Ngomong jangan setengah-setengah.”

“Suka.”

“...” Cakrawala terdiam sejenak. Bingung dengan ujaran Baskara. “Suka apaan?”

“Semua.” “Semuanya dari Cakrawala ..” “.. Baskara suka.”

Belum juga Cakrawala dapat mencerna segala kalimat yang diucap Baskara, si lelaki yang lebih tua itu sudah keburu bangkit dari posisi bersandarnya. Berdiri di belakang Cakrawala, sebelum akhirnya memeluk erat si yang lebih muda dalam rengkuhan.

“B-bas. Hei.” “Gue udah mandi.”

Cakrawala berusaha menghentikan gerakan tangan Baskara yang kini bergerak turun, menelusup ke dalam handuk yang membelit pinggangnya. “A-ahh, Bas. Uda-ah .. kemarin 'kan .. hnnhㅡ udah keluar banya-k ..”

Percuma. Baskara masih saja menggerakkan tangannya di milik Cakrawala dari belakang. Tubuh setengah telanjang Cakrawala membuat Baskara lebih leluasa memberi tindak kenikmatan untuk si yang lebih muda. Untuk kekasihnya.

Kecupan serta jilatan, juga sedikit gigitan kecil ditinggalkan oleh Baskara di leher Cakrawala. Jemarinya bergerak luwes di puting Cakrawala, sesekali mencubiti kecil sehingga membuat si yang lebih muda melenguh.

Entah kesakitan. Entah merasa nikmat.

“Itu 'kan kemarin.” “Lo tau sendiriㅡ” “ㅡpacar lo ini banyak maunya.”

Cakrawala ingin melawan, sungguh. Bukan apa-apa, kemarin malam Baskara seperti orang kesetanan. Pulang dari dinas kantornya, lelaki itu segera menciumi Cakrawala dengan penuh nafsu. Bahkan seperti tidak memberi kesempatan bagi Cakrawala untuk bernafas. Lilitan lidahnya, hisapan bibirnyaㅡ Cakrawala sampai harus memohon untuk berhenti sejenak untuk mengambil nafas.

Sialnya, Baskara memang menghentikan ciuman dan memberinya waktu untuk bernafas. Namun malah beralih membuat Cakrawala kesulitan mengatur panas di dalam tubuhnya.

Lelaki itu, Baskara, segera menurunkan celana pendek yang Cakrawala kenakan dan memperlakukan miliknya seakan mainan yang bisa ia perlakukan seenaknya. Cakrawala ingat bagaimana ia hampir berteriak ketika Baskara menggenggam miliknya dengan kuat kemudian menggerakkan tangannya naik turun di sana dengan cepat, sebelum akhirnya mengulum juga menghisap miliknya hingga Cakrawala ingin menangis.

Menangis, karena nikmat yang tidak terduga.

Baskara. Cakrawala kira, lelaki itu tidak akan segila itu dalam hubungan intim. Apalagi dengan Cakrawala yang notabene adalah seorang laki-laki. Mereka berdua pernah ragu untuk memulai, namun ketika sudah dimulaiㅡ kenapa Baskara tidak pernah ragu untuk menyakiti Cakrawala?

“B-baasㅡ” “ㅡsayanggh ..” “.. udahan, sayㅡhhh ..”

Baskara, saat ini, pagi ini, dengan Cakrawala yang hanya terbalut sepotong handuk di pelukan, sama sekali tidak mengindahkan lenguhan Cakrawala yang memintanya untuk berhenti.

Semakin Cakrawala meminta untuk berhenti, semakin Baskara ingin lebih. Menyakiti? Tidak. Memberi kenikmatan, itu lebih tepatnya.

“Sayang.” “Cakrawala.”

Tangan Baskara masih menggenggam milik Cakrawala, tidak menggerakkan. Hanya mencengkeram, agak kuat. Namun Baskara yakin, itu sudah cukup membuat kekasihnya sesak nafas.

Suka, sungguh. Baskara suka melihat Cakrawala yang begini. Lihat, pantulan bayangan mereka berdua dari cermin besar di lemari kamarnya semakin membuat Baskara menggila.

Lihat, wajah Cakrawala yang memerah. Lihat, Cakrawala mendongakkan kepalanyaㅡ membuat lehernya terlihat semakin jenjang dan bekas kemerahan yang Baskara tinggalkan dari tindakannya kemarin dan sekarang menjadi terlihat jelas.

Lihat. Tangan Cakrawala bergerak, meremas rambut Baskara. Lihat, dia melenguh dengan nafas tersengal.

“Basㅡ”

“Hm?” “Kenapa, sayang?”

“Gerakin, tangannya.”

Baskara tersenyum tipis sebelum kembali mengecupi leher Cakrawala. Tangannya yang semula menggenggam milik Cakrawala, kini diperkuat dan membuat Cakrawala menjinjitkan kaki. Kesakitan, sepertinya.

Tolong.“ “Tolong gerakin.

Cakrawala tidak kuat. Bukan karena cengkeraman tangan Baskara di miliknya semakin diperkuat, namun karena situasi dimana Baskara membuatnya merasa didominasi. Merasa kecil. Membuatnya sesak bukan main.

Namun itu yang ia suka. Disakiti, Cakrawala suka.

Tolong.“ “Tolong gerakin, Bas.

Baskara tersenyum. Cakrawalanya sangat penurut. Cakrawalanya sangat baik. Cakrawalanya sangat pantas diperlakukan begini.

“Pinter.” “Pacarnya Baskara, pinter.”

Seiring pujian yang diucapkan, tangan Baskara mulai bergerak perlahan hingga akhirnya menjadi gerakan intens di milik Cakrawala. Si yang lebih muda terus melenguh, menyuarakan kenikmatan yang didapat. Sementara yang lebih tua terus mengulum daun telinga lelaki di rengkuhan, sesekali menggeramㅡ menyuarakan sebagaimana ia ingin lelaki yang tengah diberi kenikmatan olehnya ini harus terus tunduk kepadanya.

Tetap menjadi miliknya. Tanpa terkecuali.

“Baaㅡs .. hhn ..” “Udah. Ud-anjing, enak banget, Basㅡ enak banget kocokannya, sayang ..”

“Lacur siapa?”

Cakrawala tidak bisa memfokuskan pendengarannya. Tidak bisa, sama sekali. Tindakan Baskara terlalu membuatnya dimabuk kenikmatan tiada tara. Tanpa bandingan.

Lacur siapa, bangsat?“ “JAWAB!!

Cakrawala suka. Semuanya, tentang Baskara.

Lacur Baskara.“ “Punya Baskara.“ “Cumaㅡ Baskara.

Tidak masalah. Semuanya, tidak akan mengapa.

Dianggap jalang, dianggap binatang, tidak apa-apa.

Sungguh, bagi Cakrawala semuanya tidak mengapa.

Asalkan itu, Baskara.

END

ㅤ        「   Pesawat Kertas.   」 ㅤ

“Udah kepikiran mau pilih ke mana, Minhee?”

bibirnya .. .. anjing, apaan sih?!

“Ya, Pak?”

“...” “Ucapan saya nggak didengerin?”

“Maaf, Pak.” “Nggak fokus.”

gimana bisa fokus, jir?!

“Kamu, jadi pilih universitas mana?”

“Oh.” “Ya, kayak yang sering saya bilang ke Bapak. Sayaㅡ ikutin omongan orangtua. Beliau berdua nggak izinin saya pergi jauh-jauh. Takut sakit, katanya.”

“Pftㅡ”

ketawa? dia? hah?

”... kenapa, Pak?”

“ㅡtante nggak berubah, ya?” “Masih aja manjain anaknya.”

... anjir.

“Pak. Saya kira, kita nggak boleh bertingkah begini di lingkungan sekolah. Bapak sendiri yang ngomong waktu itu.”

“Ya udah, lah.” “Toh ini udah jam pulang.” “Lo juga murid terakhir yang gue dengerin buat konsultasi hari ini.”

”... boleh?” “Panggilㅡ Kak?”

“Boleh.” “Santai aja.”

YES! YES!

“AHHHHH!” “ANJIR! AKHIRNYA!”

“Tapi nggak pake teriak.”

”...” “Oke, sorry.”

yee, gimana sih? ngasih enak tapi setengah-setengah.

“Gimana kabar Tante?”

“Baik.” “Tapi masih aja lebay.”

“Masih suka buatin bekal?”

anjir, masih inget, dia.

“Masih.”

dih, dih, dih! bentar! LO NGAPAIN KENDURIN DASI, NYET?! HEH! APAAN!?

“Gapapa, 'kan?”

“A-apaan?”

“Buka dasi begini.” “Pengap, gue.”

MAU BIKIN ANAK ORANG PENGAP APA GELEPAKAN DI LANTAI RUANG BK, HAN SEUNGWOO?!

“Yaㅡ terserah.” “Dasi ya dasi lo, Kak.” “Badan juga badan lo.” “Ngapain nanyanya ke gue?”

anjir. bentar. muka gue merah nggak, ini?!

“Hm-mm. Oke.” “Tante masih buka usaha catering? Atauㅡ punya usaha lain?”

“Masih catering.” “Papa juga masih ternak lele.” “Suka nanyain lo melulu, Kak. Katanya, Seungwoo nggak main ke sini, yang? Suruh main. Mau Mama buatin makanan kesukaan dia.”

“Aah.” “Kangen masakan Tante.” “Selalu enak, sumpah.”

iya, enak. bibir lo juga kayaknya enaㅡ FSJAJWKAKAKA! KANG MINHEE! FOKUS! FOKUS! FOKUS!

“Emang. Enak.” “Makanya masih buka catering sampai sekarang, 'kan?”

“Oh. Anywayㅡ ㅡmasih dipanggil yayang?”

BANGSAT NGGAK PAKE DISEBUT JUGA!

”...”

“Woi.” “Malah ngelamun.”

”...” “Masih.”

“Yayang.” “Yayang Minhee.” “Anjir. Dulu gue juga manggil lo begitu, ya? Waktu kita masih tetanggaan. Kebiasa, kayaknya. Nyokap, pembantu, semua orang manggil lo begitu makanya gue ikutan. Sekarang sih amit-amit, ya?”

iya, amit-amit. soalnya kalo lo yang ngomong, rasanya gue mau mati!

“Ya, udah.” “Jangan panggil gitu.”

“Tapi enak, sih.” “Yayang.” “Yayang?” “Yayang!”

GUE PUNYA CUTTER DI TAS, PERASAAN. BOLEH GUE PAKE BUAT TEBAS MULUT INI ORANG, NGGAK, SIH? ANJIR. JANTUNG GUE BISA KELUAR LEWAT MULUT!

“Apaan, sih, Kak?” “Umur udah mau 30.” “Jangan suka ngejailin anak kecil.”

“Lo?” “Kecil dari mana?” “Tinggi kita sama.”

dih, dih, dih! ngapain lo narik gue berdiri? dih, dih, dih! ngapain lo deketin gue, heh?! dih, dih, dih! MAU NGAPAIN LO?!

“Nih.” “Tinggi kita sama.” “Jidat lo, sejidat gue.”

... oh, mau ukur tinggi doang.

“Gue tinggi.” “Tapi umur gue masih 17.” “Baru kemaren bikin KTP.”

“Bahaha! Mana, KTPnya?” “Muka lo ancur pasti.”

“Anjir.” “Heh! Gue idola sekolah.” “Cewek-cewek naksir gue, Kak.”

“Pret.” “Lo nggak inget?”

“Apaan?”

“Jaman dulu, lo bilang mau nikah sama gue. Jaman kapan, ya? Lo baru lima taun, kayaknya.”

... bangsat. masih diinget?

“Kapan gue pernah begitu?” “Nggak inget, gue. Fitnah, lo.”

“Iya, sih. Gue juga lupa-lupa inget. Pokoknya yang gue inget, waktu itu lo bawa bungaㅡ bunga apaan, nggak inget. Bunga dapet metik di halaman, bukan, sih? Lo lari-lari nemuin gue yang mau berangkat sekolah. Tiba-tiba bilang, kak uwu .. mini mau nikah sama kakaㅡ”

“WOI. ANJIR.” “UDAH JAM SEGINI, MAMEN!” “LES GUE! LES! TELAT, INI!” “GUE PAMIT, KAK!” “NANTI GUE SALAMIN KE MAMA!” “DADAH, KAK!” “EH, KAK? PAK!” “PERMISI!”

lari. lari. sejauh mungkin, lari.

kenapa gue harus lari? karena ...

kemarin, di tempat les.

“Sayang banget, woy.”

“Apaan?”

“Itu, kertasnya.” “Malah lo jadiin pesawat-pesawatan. Kertas apaan, sih, itu?”

“Undangan nikah.”

“Siapa?”

Cinta pertama gue.

seandainya, ya .. seandainya aja dulu gue bukan tetangga dia, apa segalanya bakal berbeda? seandainya umur kami cuma kepisah sekitar satu-dua taun, dia nggak bakal anggep gue adek doang, kali, ya?

kak uwu.“ “kenapa, yayang?“ “mini mau nikah sama kak uwu! mau tinggal bareng kak uwu!“ “kok mau sama kakak?“ “nggak tau.“ “lho, kok?“ “soalnya, kata Mamaㅡ Mama sayang ke Papa tanpa alasan! mini juga sama! mini nggak tau alasannya, tapi mini maunya sama kak uwu.“ “kak uwu mau nikah sama mini, 'kan?“ “iya, boleh.“ “nanti kalau udah gede, mini nikah sama kakak, ya?“ “yey! asik!

seandainya, ya .. seandainya gue nggak berpegang ke omongan dia selama belasan tahun ini.. ..mungkin nggak bakal sesakit ini, rasanya, ya?

mungkin, nggak akan sekosong ini rasanya ketika gue ngeliat dia udah pakai cincin di jari manis kanan, ya?

ah, Kang Minhee .. bego amat, lo. sumpah.

“Woy!” “Woy!” “Mau ke mana?” “Gurunya sebentar lagi masuk!”

“Bentar doang.” “Mau buang sial.”

iya. buang perasaan gue. sejauh mungkin. sedalam mungkin.

“Lebay bener. Nerbangin pesawat kertas doang, padahal.”

“Gue denger, ya, lo ngomong apaan, Hwang Yunseong!”

“Ya. Ya. Ya!” “Sana buang, sana.” “Buruan.” “Gue tungguin.”

“Tungguin apaan?” “Lebay, emang.”

cih, jinjjaㅡ nggak jelas, emang, ini anak.

“Bangsat.” “Disebut nggak jelas.” “Padahal gue mau..”

Klik di sini

ㅤ        「   halu.   」

“Byungchan.”

“Hm?”

”...”

“Kenapa, Kak?”

aku suka kamu

“Kak Seungwoo?”

“Ituㅡ”

“Hm?”

lesung pipimu manis

“Kalau ada yang perlu dibantu soal desain acara atau semacamnya, bilang aja, Kak.”

“Nggak.” “Bukan soal acara.”

ini soal hati yang memendam rasa entah semenjak kapan, padamu.

“Apa, dong?”

“Ituㅡ” “ㅡaku ..”

“Hm?”

boleh aku peluk kamu? boleh aku .. cium kamu?

“Boleh, kok.”

“Hah?” “Apanya, yang boleh?”

apa suara hatiku bisa didengar?!

“Apapun itu.” “Yang Kakak mau minta, apapunㅡ boleh.”

“Semuanya?”

kalau aku minta kamu, hanya untukku .. apa boleh?

“Boleh.”

bolehkah? bolehkaㅡ

“Bahagia, ya?”

cincin ituㅡ terlihat sempurna di jemarimu, sangat.

senyum itu, senyum yang terpampang setiap kali kau menatapnyaㅡ sangat .. indah.

“Hm?”

“Sejun.” “Bahagiaㅡ bareng dia.”

lihat, kau tersenyum lagi. lihat, kau tersipu lagi. lihat, kau patahkan hatiku lagi.

“Pasti.” “Pasti, bahagia.” “Kakak juga. Bahagia.” “Ya?”

aku tidak mau mengangguk. aku tidak mau mengiyakan. namun, aku bisa apa?

“Kak Seungwoo, udah makan siang? Mau makan bareng kami di kantin fakultas?”

“Kami?”

kamu danㅡ

“Sejun.”

oh, pasti dia. sudah pasti dia.

“Nggak. Nggak apa-apa.” “Masih kenyang, kok.” “Sarapan banyak.” “Tadi pagi.”

dia bahkan tidak bertanya dua kali. dia bahkan tidak memaksa untuk ikut. dia bahkanㅡ tidak mempedulikanku lagi.

“Ya, udah, Kak.” “Aku masih ada kelas.” “Desain buat dekorasinya begini, ya, Kak. Kalau ada yang mau ditanyain, kabarin aja.” “Atau kalau ada yang mau diomongin atau dibantuin soal acara, kabarin aja, ya?”

takut. aku takut, jatuh lagi. aku takut, candu lagi. aku takut, terus ingin lagi. aku takut, sumpah.

“Iya.” “Pasti bilang.”

kamu tersenyum lagi. hentikan .. .. aku sakit.

“Kak Seungwoo.” “Makasih, ya?”

“Hm?” “Buat apa?”

“Udah jadi pelajaran terbaik buat aku. Udah jadi seseorang yang jadi alasan buat aku semakin jadi dewasa. Udah jadiㅡ seseorang yang pernah bikin aku bahagia.”

pernah sejak kapan kata itu jadi kosakata yang mampu membuat hati seakan dirajam jutaan pisau tak kasat mata?

“Aku nggak pernah nyesel ketemu Kakak. Sekalipun, nggak pernah. Kakakㅡ masih, dan akan selalu jadi orang yang paling aku sayang.”

“Paling?”

sebelum Sejuㅡ

“Sehabis Sejun.”

ah ..

“Dasar.” “Bucin.”

kamu tertawa lagi. apa yang lucu, Byungchan? apaㅡ yang lucu .. .. tolong, ini sakit.

“Kakak nggak ada kelas?” “Atau urus semprop?”

“Nggak.” “Ke kampus buat ketemu kamu doang. Karena kamu ngomong ada hal penting yang mau diomongin.”

dan hal penting itu ternyata kabar bahwa kamu dan Sejun berpacaran. bahwa kamu berhasil melangkah dari masa lalu lebih cepat daripada aku.

“Aiiihㅡ” “Kasian.” “Kamu kan' kebo banget.” “Sorry, ya. Sorry banget!”

kenapa menggenggam tanganku? dulu kamu menggenggam tanganku karena merajuk ingin ditemani. dulu kamu menggenggam tanganku karena meminta perhatian lebih, memaksaku untuk tidak menaruh fokus ke tumpukan tugas.

sekarangㅡ kamu menggenggam tanganku, untuk apa? maaf?

“Gapapa.” “Santai.” “Di kost juga bosen.”

“Lutut? Masih sakit?” “Rajin kontrol, 'kan?” “Kalo sakit, bilang.” “Minta dianter Kak Seungsik. Atau Kak Chan. Atauㅡ siapapun, deh. Yang penting, berangkat periksa kalau sakit. Oke?”

Kak Seungsik. Kak Chan. kenapa tidak ada namamu di sana? kenapa tidak ada kalimatmu yang memintaku untuk menghubungimu jika sakit di lutut ini kembali kurasa? kenapa ..

“Ya, Kak?”

“Iya.”

iya, untuk tidak menghubungimu lagi.

“Janji, ya, Kak?”

“Janji.”

janji, untuk tidak mengharapkan dirimu lagi.

“Bahagia, ya, Kak?”

”...”

“Kak?”

bagaimana bisa bahagia ..

“Kak Seungwoo?”

.. kalau kau bawa separuh hati ini bersamamu, bodoh?

“Iya.”

di dalam mimpiku, aku akan bahagia. di dalam khayalku, kamu dan aku bersama. di dalam halukuㅡ kamu milikku.

“Pasti bahagia ..”

.. di dalam mimpiku. khayalku. haluku.

END

ㅤ      「 2019 」

“Gue kepengen punya bayi.”

Hampir saja. Hampir saja Baskara menyemburkan orange juice yang sedang ia tenggak ke wajah Cakrawala yang duduk di hadapannya. Beruntung, Baskara segera mengambil inisiatif untuk menelannya sehingga minuman itu tidak tersembur.

Namun akibatnya, ia terbatuk-batuk seraya menepuki dadanya sendiri. Tersedak.

“Lo mau apa?”, tanya Baskara, berusaha memastikan ucapan Cakrawala. “Coba ulangin.”

“Bayi.” “Anak.”

“Maksudnya, lo sama gue?” “Jeruk sama jeruk?” “Bikin bayi?”

”...” “Iya juga, ya.” “Gue nggak mau hamil.”

“Bayi tabung?” “Maksud lo begitu?”

“Bukan ..” “.. gue nggak mau begitu.” “Kalo kita bikin bayi tabung, sama aja kita bongkar rahasia kita, 'kan?”

Di penghujung tahun 2019, Baskara dan Cakrawala sudah meresmikan hubungan mereka sebagai sepasang kekasih. Beberapa bulan berlalu, keduanya masih bersikap layaknya pasangan pada umumnya. Kalaupun ada satu yang berbeda, mereka tidak mengakui kepada dunia bahwa mereka saling memiliki hati satu sama lain.

Sembunyi, dalam sunyi. Mereka, begitu.

Kali ini pun demikian. Hari Sabtu, Cakrawala dan Baskara memilih untuk menghabiskan penghujung minggu di Lippo Kemang Mall. Menonton film, juga menyantap makan malam bersama. Tidak ada yang melihat atau menganggap keduanya sepasang kekasih karena fisik keduanya yang terlalu memikat hati para kaum hawa.

Jangankan menganggap mereka pasangan kekasih, yang ada malah beberapa perempuan dengan agresif menghampiri mereka berdua untuk menanyakan kontak pribadi dan menanyakan status keduanya.

“Sorry. Udah punya pacar.” Itu kata Cakrawala. “Sorry. Bentar lagi married.” Itu kata Baskara.

Tidak ada yang berbohong, memang. Cakrawala, adalah kekasih Baskara. Sementara Baskara, masih adalah barang kepemilikan Rachel yang akan berubah status menjadi seorang lelaki beristri dalam waktu beberapa bulan ke depan.

Rachel tidak keberatan 'membagi' Baskara dengan Cakrawala. Janji secara lisan sudah diucapkan, bahwa selama Rachel di Parisㅡ Baskara adalah milik Cakrawala.

Baskara? Tidak keberatan. Apapun itu, asalkan bisa bersama Cakrawala untuk sedetik lebih lama pun tidak masalah.

Awalnya, semua berjalan tanpa masalah apapun. Film yang mereka tonton berakhir dengan menyenangkan, makanan yang mereka santap sekarang terasa nikmat. Hingga akhirnya secara tiba-tiba, Cakrawala berujar demikian.

Ingin memiliki anak.

“Bas.” “Lo pernah ngebayangin, nggak?”

“Apa?”, tanya Baskara, singkat.

“Ada anak dengan muka mirip kayak kita. Mirip, penggabungan lo sama gue. Pernah ngebayangin itu?”

“Belum pernah.” Jawab Baskara seraya memotong kembali daging steak di hotplatenya menjadi potongan kecil kemudian meletakkannya ke piring milik Cakrawala. “Tapi kalau pun gue ngebayangin, kayaknyaㅡ seneng.”

“Gue juga.” “Kayaknya bakal seneng.” “Seneng banget.”

“Cak.” Baskara melipat tangannya ke atas meja, sedikit memajukan tubuhnya dan memfokuskan segala pusat atensinya ke si lelaki di hadapan. “Lo tau, kan, semenjak awal tuh perihal beginian udah bakal jadi hal mustahil buat kita.”

“Gue tau.” “Gue paham.” “Tapi ..” “.. gue kepengen.”

Baskara merasa hatinya sedikit sakit ketika mendengar Cakrawala berujar demikian. Bukan, bukan sakit karena sedih atau apaㅡ namun karena Cakrawala mengucapkannya seraya merajuk. Bibirnya sedikit mengerucut. Tuhan, manis sekali.

Jika saja mereka bukan berada di restoran yang ramai pengunjung, ingin sekali Baskara mengecup bibir kekasihnya ini dalam-dalam.

“Iya, Cak.” “Gue paham, kok.” “Tapi ini mustahㅡ”

“Ada, caranya.” “Gue kepikiran satu hal, Bas.”

“Hm? Apa?”

“Ini terlalu beresiko.” “Tapi gue bisa pastiin kalau lo dan gue sama-sama jaga hati, semua ini bakal jadi hal yang mudah buat dijalanin.”

Baskara semakin mengernyitkan alis. Heran sekaligus bingung. “Maksudnya?”

“Lo nikah sama Rachel.” “Gue nikah sama cewek laiㅡ”

“Heh!” “Apaan?!” “Nggak! Nggak bisa!” “Lo lupa sama janji kita?” “Gue sama Rachel cuma cover doang buat nutupin hubungan dia sama Sherly. Aslinya, gue sama lo! Apaan, kok lo malah nikah sama cewek lain jugㅡ”

“Hei. Hei.” “Gue belum selesai ngomong.” “Dengerin gue dulu, Bas. Bisa?”

Baskara merasa emosinya naik ke ubun-ubun. Kesal. “Ya, tapi lo ngomongnya begitu. Maksudnya apa?”

“Maksud gue, gue bakal nikah sama orang yang nggak cinta sama gue, Bas.”

“...” Baskara semakin bingung. “Kenapa?”

“Karena gue cuma pengen punya anak dari pernikahan gue sama cewek yang gue nikahin nanti.”

“Anak?” “Sama dia?” “Bukan sama gue?”

“Iya.” “Sama dia.” “Dan lo, sama Rachel.”

“...” “Cak. Gue ML sama Rachel selalu pake kondom karena gue nggak pernah mau kebablasan.”

“Please.” “Sekali aja.” “Sekali aja, bablasin.”

“...” Sumpah. Baskara semakin kebingungan dengan arah pembicaraan Cakrawala. “Kenapa? Maksud pembicaraan lo apa, sih?”

“Lo punya anak laki-laki.” “Gue punya anak perempuan.”

“Cak.” “Lo bukan Tuhan.” “Gimana lo tau anak lo bakal perempuan atau nggak?”

“Bisa, Bas.” “Bisa.” “Percaya gue.”

Baskara tidak dapat membalas apapun jika Cakrawala sudah bersikeras seperti ini. Maka Baskara membiarkan Cakrawala menjelaskan 'ide'nya secara lebih lanjut. “Terus?”

“Setelah kita punya anak cewek dan cowok, lo mau ngapain?”

Cakrawala tersenyum, kembali menampakkan lesung di kedua pipinya. Terlampau manis, membuat Baskara kembali jatuh hati tanpa henti.

“Setelah itu ..”

kembali

ㅤ      「 Mereka. 」 ㅤ

Yang pertama kali Baskara lihat setelah membuka pintu masuk apartemennya adalah sepasang sepatu sneakers putih yang agak kumal, terletak rapi di atas rak sepatu.

Hal kedua yang Baskara tangkap setelah masuk ke dalam apartemen adalah harum mie instan yang merebak di seluruh ruangan. Sesekali, terdengar suara ketukan alat makan yang seakan beradu dengan panci. Seperti tengah mengaduk sesuatu.

Hal ketiga, kedua mata Baskara menangkap sosok tubuh jangkung yang tengah berdiri memunggunginya. Sebelah tangan berkacak di pinggang, sementara sebelah yang lainnya tengah mengaduk isi panci di atas kompor.

“Cak?”, panggil Baskara ragu. Namun detik setelahnya, ia yang tengah memunggungi segera membalikkan tubuh danㅡ sosok yang Baskara pikir tidak akan pernah kembali hadir di hadapannya, kini ada di sana.

Berdiri, dengan sendok di tangan kanan. Juga dengan kenaan putih serta jeans hitam yang sederhana namun tetap membuat hati Baskara berdegup kencang.

“Oh. Udah pulang?” “Nggak kedengeran.” “Duduk dulu, gih.” “Hampir mateng, mienya.”

”...” “Loㅡ kenapa di sini?”

“Buku gue masih banyak yang ketinggalan. Mau sekalian gue bawa keluar, sama bawa baju sisa di lemari.”

Ah. Benar, 'kan? Jangan pernah berharap. Cakrawala datang ke sini bukan karena ia ingin kembali kepada Baskara. Sedari awal, Baskara bukan siapa-siapa untuk Cakrawala. Untuk apa, sih, ia berharap banyak?

“Oh.” Balas Baskara dengan anggukan kecil, “gitu.”

“Kenapa?” “Mau nahan gue lagi?”

“Nggak. Gue nggak akan tahan siapapun yang mau pergi,” ujar Baskara seraya bergerak menuju kulkas yang berada di samping tempat Cakrawala tengah memasak. “Kalau pergi, ya, pergi.”

“Aahㅡ” Cakrawala mengangguk-angguk seraya memutar pematik kompor ke kanan, mematikannya. “ㅡjadi lo nggak mau barengan sama gue? Padahal kayaknya beberapa jam lalu, lo bilang cuma pengen sama gue.”

”...” “Loㅡ denger?” “Bukannya lo tidur?”

“Kebangun.” Jawab Cakrawala ringan seraya mengangkat bahunya. “Lagian, lo kalau genggam tangan orang tuh' jangan kekencengan. Siapa yang nggak bangun kalau lo genggam sebegitu kencengnya, coba?”

“Lo denger dari mana?”

Sekitar tiga detik diisi keheningan sebelum Cakrawala berujar singkat, “dari lo duduk sampe lo bangun lagi.”

“Semuanya?”

“Semuanya.”

Sumpah. Kepala Baskara rasanya langsung berputar cepat, pusing bukan main. Jadi, lelaki di hadapannya ini tahu perihal semua ucapannya yang dangdut dan mirip dialog film India itu?!

“Ngomong-ngomong, gue ketemu sama Rachel-Rachel itu. Di rumah Bang Tristan.”

Tuh. Tuh, 'kan? Belum juga rasa pusingnya selesai, realita seakan ingin menabraknya lebih jauh. Untuk apa Rachel menemui Cakrawala, coba? Bukankah di kafe tadi Baskara sudah meminta agar ia menjaga Cakrawala diam-diam? Kenapa malah blak-blakan begini, hah?!

“Rachel?”

Cakrawala mengangguk. “Gue dikasih tau kalau lo cuma cowok sewaan dia dan semua yang lo milikin di sini itu dari dia.”

Sialan. Sejauh apa Rachel menjelaskan perihal dirinya, coba? Kenapa tidak sekalian saja jelaskan kalau dia memohon Rachel untuk menjaga Cakrㅡ

“Dia juga bilang lo minta dia buat jagain gue. Biayain gue sampe mampus dan pastiin gue bahagia.”

ㅡoh, sudah dijelaskan juga. Rachel sialan.

“Oh ..” Baskara menggantungkan kalimatnya, tidak tahu harus berujar apa lagi. Malu? Sudah pasti. Kalau ada lubang yang bisa dimasukinya, Baskara pasti sudah merangkak ke sana. “.. yaaㅡ”

“Terus Rachel nanya, apa yang harus dia kasih biar gue bahagia? Berapa banyak duit yang harus dia transfer buat biayain gue?”

Benar. Tipikal Rachel sekali. “Lo minta berapㅡ”

“Gue minta lo.”

”...” “...” “Hah?”

“Gue minta Baskara, buat dimilikin Cakrawala.”

Tunggu. Telinga Baskara tidak salah menangkap ucapan Cakrawala, 'kan? Barusan lelaki itu mengatakan bahwa ia menginginkan dirinya untuk dimiliki, bukan?

“Gimana?” “Apanya?” “.. Hah?”

“Hah. Hah. Hah, melulu.” “Alih profesi jadi tukang jualan keong atau gimana, lo?”

“Nggak, bentar.” Baskara beranjak mendekati Cakrawala, meraih kedua pundaknya dan mencengkeramnya agak kuat. “Gue beneran bingung. Coba lo jelasin pelan-pelan.”

Wajah mereka berdua hanya terpisah jarak minim. Memang tidak terlalu dekat, namun juga tidak bisa dikatakan terlalu jauh. Dari jarak sebegini, Baskara dapat melihat bagaimana wajah Cakrawala memerah.

Memerah? Untuk apa?

“Lo suka gue?”, tanya Baskara. “Lo juga suka gue?”, tanyanya lagi. Kali ini dengan penekanan di kata 'juga' yang diucapkan.

Cakrawala tidak menjawab, namun Baskara dapat memastikan wajahnya semakin memerah. Bahkan hingga mencapai daun telinganya. “Makan dulu,” ujar Cakrawala seraya berusaha melepaskan diri dari cengkeraman tangan Baskara pada pundaknya. “Keburu mienya megar lagㅡ”

Berharap ingin mendapat jawaban secepatnya, Baskara memutar tubuh Cakrawala hingga akhirnya tersudut di dinding dapur. Membuat si yang lebih muda tidak dapat bergerak karena kungkungan tubuh si yang lebih tua. “Bas. Bas. Lo ngapain, siㅡ”

“Lo suka gue?” “Jawab.”

Suara Baskara terdengar dalam, seperti menunjukkan seberapa seriusnya ia saat ini. Cakrawala mencoba menyudahi, “udah, lah. Ngomongin ini nanti aja. Gue malu. Lo juga pasti lapeㅡ”

“Lo suka gue?” Masih diajukan pertanyaan yang sama dari Baskara. Menuntut jawaban dari Cakrawala. “Jawab.”

“...” Cakrawala menatap lurus mata Baskara. Penuh keseriusan di sana, seakan meminta Cakrawala untuk segera menjawab atau jika tidak Baskara akan mati segera. Apa sepenting itu jawaban dari Cakrawala untuknya?

“Suka.” “Lebih dari suka, malah.” “Gue sayang ke lo, Bas.” “Sayang banget.” “Keterlaluan sayangnya.”

”...” “...” Baskara tidak berkata apa-apa, namun kungkungan tangannya pada tubuh Cakrawala segera mengendur. Kakinya terasa lemas bukan main hingga akhirnya si yang lebih tua jatuh terduduk di atas lantai dengan kedua tangan kini menutupi wajahnya. “Haha .. ha-ha ..”

Tertawa, namun bukan karena perasaan senang. Baskara tertawa karena terlalu tidak mempercayai segala yang terjadi beberapa waktu ke belakang. Perasaan aneh kepada Cakrawala yang baru ia simpulkan sebagai rasa cinta. Permintaan Rachel yang memintanya untuk menaikkan status hubungan ke jenjang pernikahan. Juga Cakrawala yang mengatakan bahwa ia menyukai Baskara.

Semua terlalu naik-turun hingga Baskara kebingungan harus merasakan apa.

“Kenapa ..” “.. kenapa lo suka gue juga?”

Pertanyaan Baskara tidak dibalas jawaban oleh Cakrawala. Lelaki yang lebih muda itu hanya ikut berjongkok di hadapan Baskara, memperhatikan lelaki yang tengah menutupi wajah dengan kedua tangannya. “Kenapa apanya, Bas?”

“Semua bakal lebih mudah kalau lo nggak suka gue, Cak. Lo bisa nikmatin semua dari Rachel dengan tenang, nikah sama cewek pilihan lo. Punya keluarga bahagia.”

“Lo nggak akan ribet.” “Kenapaㅡ lo juga suka gue?”

Cakrawala meraih kedua tangan Baskara, membiarkan wajah lelaki itu tidak lagi tertutupi. Tangan besar berjari lentik milik Baskara digenggam, tidak erat. Hanya disertai usapan kecil di punggung tangan, persis seperti yang dilakukan Baskara kepada Cakrawala di rumah Tristan. “Bas.”

“Kalau gue bisa milih, gue juga nggak mau sama lo. Sumpah.”

“Ngebayangin gue di posisi yang dikungkung sama lo, ngebayangin gue yang bakal disodok sama lo pas lagi ML, ngebayangin gue yang bakal pegang peranan cewekㅡ kalau bisa milih, gue juga nggak mau.”

Sebelah tangan Cakrawala terangkat, mengusapi rambut Baskara hingga berakhir elusan lembut di pipi kirinya. “Tapi gimana lagi? Gue nggak bisa bohong kalau gue rela lakuin apapun asalkan lo ada di samping gue. Hal sebego apapun itu, sebisa mungkin gue lakuin.”

“Bahkan ngebiarin lo nikah sama Rachel pun, gapapa.”

Baskara baru tahu bahwa tangan Cakrawala sehangat ini. Dulu, ia menganggap tangan Cakrawala sama lentik dan besar dengan tangannya, namun kiniㅡ ketika ia meraih tangan Cakrawala dan menggenggamnya erat, Baskara baru paham bahwa tangan lelaki itu kurus. Berbeda dengan tangannya sendiri yang besar.

“Gue mau minta ke Rachel.”

“Minta apa, hm?”, nada bicara Cakrawala tidak lagi terdengar ketus seperti biasanya. Kini nada bicaranya kepada Baskara terdengar hangat, penuh afeksi. “Lo mau minta apa ke Rachel?”

“Batalin pernikahaㅡ”

“Jangan.” “Lo harus tetep lanjutin.”

”.. Kenapa?”

“Karena itu satu-satunya cara supaya kita bisa barengan tanpa dicaci orang, Bas.”

“Maksud lㅡ”

“Gue nggak mau pandangan orang ke lo berubah. Begitupun pandangan orang ke gue, ke keluarga gue, ke agama gue. Gue nggak mau mereka tau.”

”...” “Lo mau ngajak baㅡ”

“Backstreet, iya.”

Baskara tidak tahu apakah ia harus senang atau sedih ketika mendengar ujaran Cakrawala. Karena jujur saja, Baskara sendiri tidak yakin apakah orang tua dan keluarganya dapat menerima orientasi seksualnya yang begini. Jujur saja, Baskara masih takut dengan tanggapan banyak pihak perihal ini. Jujur saja, terlalu banyak yang ia takuti.

Namun ia juga sedih karena Cakrawala seakan membangun jarak dengan dirinya. Agar tidak melaju terlalu jauh. Seperti mengurung kisah mereka dalam sebuah kotak yang dikunci rapat.

“Bas.” “Gue sayang lo.” “Sayang banget.” Cakrawala menggenggam tangan Baskara kuat-kuat, kemudian mengecupi punggung tangannya berkali-kali. “Tapi, Basㅡ gue harap lo bisa pikir dengan akal sehat. Lo sama gue, kita, tinggal di tempat yang anggap hal beginian tabu.”

“Gue pengen liat lo bahagia, Bas. Itu aja dulu. Dengan kemampuan lo buat sukses, dengan semua hal yang lo miliki buat jadi sosok terpandang.”

“Gue bahagia sama lo, Cak!” “Itu aja cukup, sumpah!” “Gue nggak butuh apa-apa lagi!”

“Ssshㅡ”, Cakrawala mendesis pelan, seperti meminta Baskara untuk mengendalikan emosinya. Badannya bergerak merengkuh tubuh Cakrawala, memeluk lelaki yang bertubuh lebih tegap darinya itu. Erat. “ㅡ gue paham. Gue juga begitu. Sebenernya, gue seneng banget kalau bisa berdua sama lo. Itu aja cukup.”

“Tapi, Bas. Dibanding semua itu, gue pengen liat lo yang sukses. Lo yang disegani. Lo yang dihormati. Dan gue nggak yakin, di tempat iniㅡ di negara ini, lo bakal dapetin semua kehormatan itu kalau lo ngaku bahwa lo gay.”

Pelukan Cakrawala terasa sangat nyaman. Belum lagi dengan usapan di puncak kepala dan tepukan menenangkan yang diberi di punggung Baskara, bisa-bisa membuatnya tertidur di pelukan yang lebih muda.

“Baskara.” “Baskara.” “Baskara.”

“Gue sayang lo.” Cakrawala mengendurkan pelukannya dan menangkup pipi Baskara dengan kedua tangannya. “Perlu gue bilang berapa kali biar lo tau gue sayang, hm?”

“Banyak.” “Berkali-kali.”

Baskara menjawab dengan senyum terulas tipis, membuat lesung di pipi kanannya terlihat sekilas. “Nggak ada habisnya.”

“Ucap terus.” “Jangan pernah berhenti.” “Bilang, selalu. Lo sayang gue.”

Wajah Cakrawala tidak lagi terlihat memerah. Mungkin sudah terbiasa dengan sosok Baskara di dekatnya seperti ini. “Gue sayang lo.”

“Gue sayang lo, banget.” “Cakrawala sayang Baskara.” “Cacak sayang Babaㅡ hhmh!”

Ujaran Cakrawala terputus karena Baskara sudah keburu meraih punggung lehernya dan mendaratkan ciuman pada bibir si yang lebih muda. Awalnya hanya ciuman layaknya biasa, hingga tanpa peringatan Cakrawala membuka mulut dan memberi akses kepada Baskara untuk melesakkan lidah ke dalam mulutnya.

Baru sekarang Cakrawala rasakan bagaimana bibir Baskara semanis itu. Pula cara lelaki itu memainkan lidah di dalam ruang mulutnya, juga bagaimana sesekali Baskara menggigiti bibir bawahnya kerap membuat Cakrawala merasa tubuhnya merinding.

Cakrawala tidak tahu sudah sebanyak apa bekas kemerahan di lehernya. Lelaki itu sepertinya terlalu menyukai leher Cakrawala. Lihat saja, bagaimana kini Baskara mengecupi bahkan menggigit kecil leher si yang lebih muda dengan agak tidak terkendali. Seakan ingin memilikinya hingga ke bagian terkecil.

Apalagi tatkala si yang lebih tua kini perlahan menaikkan kaus yang dikenakan oleh Cakrawala, hingga membuat tubuh bagian atas si yang lebih muda terekspos. “B-bas, bentar dulu. Kayaknya ini kecepetㅡ rrngh ..”

Cakrawala kira, jilatan Baskara pada lehernya sudah cukup membuat miliknya menegang bukan main. Namun ia salah besar, karena jilatan Baskara pada putingnya malah membuat ia ingin menangis.

Entah apa. Entah bagaimana. Entah. Entah apa yang Cakrawala rasakan saat ini namun Baskara berhasil membuatnya merasa seperti lacur yang menginginkan lebih dari sentuhan Baskara. Dalam waktu sesingkat ini, Baskara bisa membuat Cakrawala bertekuk lutut.

Maka tatkala tangan besar Baskara perlahan bergerak menuruni perut hingga akhirnya berhenti di daerah kejantanan Cakrawala yang masih terbungkus oleh celana jeans hitamnya, si yang masih dikungkung dalam kenikmatan berupa jilatan dari Baskara hanya bisa membiarkannya.

Tangan Cakrawala tidak menahan gerakan tangan Baskara yang tengah berusaha melepaskan kancing celananya. Tangan si yang lebih muda kini malah bergerak menyusuri rambut si pemberi kenikmatan, sebelum akhirnya menarik kepalanya untuk kembali naik ke atas dan melumat bibirnya dengan penuh keinginan untuk mendapat lebih.

Panas. Seakan ada yang ingin membuncah dari bawah tubuh Cakrawala tatkala Baskara menggerakkan tangan naik turun di miliknya. “B-bas, pe— laanh .. hhhnㅡ”

“Nggak.” Baskara berganti mengulum daun telinga Cakrawala dengan seduktif sebelum akhirnya membisikkan setiap kalimatnya dengan nada berat. “Nggak akan gue berhentiin ..”

“.. keluar buat gue, Cak.”

Rasa panas yang dirasa oleh tubuh Cakrawala kini seakan berbeda dari segala panas yang pernah dialaminya. Bukan panas gerah, bukan panas karena pedas. Ini panas karenaㅡ Baskara.

“A-aanhㅡ Baaas ..” “.. nhh, enak ..”

“Enak? Hm?”

Cakrawala mengangguk tanpa malu. Tatapannya bukan lagi tersipu, namun berubah menjadi keinginan untuk mendapatkan lebih. Egois, ingin memiliki Baskara untuknya sendiri.

Maka ketika Baskara menghentikan gerakan tangannya sendiri untuk membuka kancing celana miliknya, Cakrawala tidak mengatakan apapun. Tidak ingin memohon lebih, namun juga tidak menolak untuk melangkah ke tahap yang lebih jauh. Sudah kepalang tanggung, ia pun ingin merasakannya.

Merasakan bagaimana tubuhnya diberi kenikmatan tiada tara untuk pertama kalinya, oleh diaㅡ si pemilik raga jua jiwa.

Bernama; Baskara.

ㅤ      「 Baskara. 」

“Kamu nggak mau pesen yang lain lagi, Bas?”, tanya Rachel ketika menyadari bahwa lelaki di hadapannya hanya memesan segelas espresso tanpa ditemani kudapan ringan apapun. “Kamu belum sempet makan, 'kan? Kayaknya di apartemen, aku nggak liat ada bekas kamu masak.”

“Nggak, Chel.” Senyum tipis terulas di bibir Baskara, terlihat ada sedikit rasa ketir di sana. “Aku nggak begitu laper.”

“Tadi udah makan siang?”, tanya Rachel lagi tanpa mengalihkan pandangan dari kue yang tengah ia potong. Setelah menjadi dua bagian, setengahnya ia letakkan ke piring kecil di hadapan Baskara. “Belum, 'kan? Makan dulu, yㅡ”

“Chel.” “Kayaknya aku gay.”

”...” Gerakan tangan Rachel yang tengah berniat menyantap kue miliknya, segera terhenti di udara. Tatapannya tidak tertuju ke Baskara, namun ujarannya tetap terucap walau dengan volume pelan. “Apa, Bas?”

“Gay. Aku.” “Aku suka cowok.” “Baru aja aku ungkapin perasaan ke dia sebelum temuin kamu sekarang.”

“Oh.” Akhirnya, tangan Rachel turun dari udara dan sepotong kecil kue di garpunya masuk ke dalam mulut. Dikunyah perlahan, membuat sosok si gadis semakin terlihat anggun. “Gitu, ya, Bas?”

“Dia kayaknya nggak bakal terima aku, Chel. Aku tau, aku udah pasti bakal ditolak sama dia tapiㅡ”

“Tapi?”

“ㅡaku cuma mau sama dia. Entah barengan atau nggak, aku cuma pengen hati ini buat dia.”

Rachel terkekeh kecil. Garpu yang tadi digunakan untuk menyendok kuenya kini hanya didiamkan di dalam mulut, mengemut seraya tatapannya tertuju ke Baskara. “Bas. Bas.”

“Dunia nggak adil, ya?”

Alis Baskara berkerut, heran. “Gimana, Chel?”

“Iya. Nggak adil.” “Kamu yang ganteng begini, gay. Aku juga yakin yang kamu taksir itu juga ganteng. Iya, 'kan?”

Sontak, bayangan Cakrawala kembali menghampiri pikiran Baskara. Sekilas, senyum kembali tergurat tipis di bibir Baskara. “Nggak, Chel. Dia lebih bisa disebut manis daripada ganteng.” ㅤ Rachel mengangguk-angguk kecil. “Hm, jadiㅡ kalau boleh tau, alasan kamu ngomong begini tuh apa, Bas?”

“Err ..” “.. soal kontrak kitㅡ”

“Aku lesbian.” “Aku punya cewek di Paris.”

“...” Belum juga Baskara sempat menyuarakan keterkejutannya, Rachel sudah keburu melanjutkan ujaran. “Kami selalu ML kayakㅡ setiap ada waktu. Dia juga lebih jago bikin aku klimaks daripada kamu, Bas.”

“...” “Oㅡke.”

“Tapi sayangnya, orangtua aku bisa mati berdiri kalau tau anak perempuan semata wayangnya ini lesbian, Baskara.”

“Jadi kalau kamu minta kontrak kita diselesaiin sampai di sini, aku nggak bisa terima.”

“Semenjak awal, aku cuma tameng?”

Tanpa ragu, Rachel mengangguk. Terlihat tidak keberatan dengan tanggapan yang barusan diberi oleh Baskara. “Kamu cuma pengalih biar semua tahu Rachel ini straight. Suka sama cowok.”

“Coba bayangin. Kalau aku emang straight, mana rela aku tinggalin cowok seganteng kamu selama enam bulan dan biarin kamu bebas selama aku nggak di Indonesia.”

“Iya, 'kan, Bas?”

Memang benar. Selama ini Baskara kerap merasa heran perihal Rachel yang selalu membebaskan dirinya untuk bergaul dengan siapapun ketika gadis itu tidak berada di Indonesia.

Namun selama ini, Baskara hanya mengira bahwa Rachel memiliki banyak lelaki lain yang tersebar di berbagai negara. Selama ini, ia mengira demikian. Mana pernah Baskara mengira gadis yang dulu sempat membuat klimaks di senggamanya berkali-kali ini ternyata memiliki orientasi seksual yang berbeda, coba?

“Mas Hendro udah hubungin kamu, Bas?”, tanya Rachel dan dibalas dengan anggukan si lelaki. “Aku mau kamu jadi suami aku. Akhir-akhir ini Papa aku pengen jodohin aku terus sama anak laki-laki koleganya. Aku nggak mau.”

“Chel.” “Bukannya aku nggak mau.” “Tapi ini, nikah ..” “.. hal yang sakraㅡ”

“Aku bebasin kamu minta apapun, Bas.” Rachel menyela kalimat Baskara, bahkan memang ekspresi seperti tidak ingin menerima penolakan dalam bentuk apapun. “Apapun, bahkan hal yang sekira kamu nggak masuk akal. Aku usahain buat kabulkan.”

“Asal kamu bantu aku.” “Aku cuma mau kamu.” “Buat jadi barangku selamanya.”

Barang. Barang. Barang.

Alasan yang benar-benar berbeda dengan apa yang dirasakan oleh Baskara kepada Cakrawala. Baskara juga ingin selamanya bersama Cakrawala jika bisa, namun bukan sebagai barang.

Sebagai pasangan yang saling menjaga juga saling mendukung ketika semua terasa mengkungkung.

Saling dekap ketika semua terasa gelap. Saling kecup ketika semua terasa redup. Baskara ingin kehidupannya begitu dengan Cakrawala.

“Semua?” Akan tetapi, kata 'semua' menggoyahkan semua idealisme yang dimiliki Baskara. Semestinya Baskara mengatakan tidak kepada Rachel yang memperlakukannya seperti binatang tanpa akal. Semestinya ia menolak dan kembali berlari kepada Cakrawala. Mengucapkan maaf, mengatakan bahwa ia tidak ingin berpisah walau hanya sejenak.

Semestinya semudah itu jika Baskara berpegang teguh pada idealismenya. Namun, 'semua' yang diucap Rachel terlalu menggiurkan.

Sejauh apa Rachel bisa mengabulkan permintaannya, Baskara penasaran akan hal itu.

Rachel mengangguk, ringan. “Semua, Baskara.”

Lihat. Lihat bagaimana gadis itu mengangguk dengan ringan, seakan permintaan segila apapun yang diminta oleh Baskara akan menjadi hal mudah untuk ia kabulkan.

“Namanya Cakrawala.” “Biayain dia sampai mati, tanpa kurang satu apapun.”

“Cakrawala?” “Orang yang kamu suka?”

Baskara mengangguk. “Dia orang yang aku suka. Keluarganya cuma ibu tiri yang punya warung kelontong kecil di kampung. Dia dapet beasiswa di kampus dan hidup serba hemat.”

“Biayain dia.” “Kasih dia materi tanpa kamu bilang kalau itu dari aku. Gimanapun caranya, aku mau itu.”

“Cuma itu?” Rachel mencoba memastikan, karena yahㅡ coba saja pikir dengan akal sehat : siapa yang akan rela lepaskan kesempatan meminta lebih jika disuruh lagi dan lagi, sih?

Namun, Baskara berbeda.

Ia menggeleng pelan, tidak mengajukan permintaan apapun lagi. “Aku udah nggak butuh apa-apa lagi, Chel.”

“Berkat kamu, Ibu dan dua kakak aku bisa lepas dari ayahku dan hutang keluarga yang sewaktu dulu nggak ada habisnya. Berkat kamu, sekarang mereka hidup dengan wajar. Nggak berlebihan tapi juga nggak kekurangan. Itu aja udah cukup buat aku.”

“Kamu sendiri?” “Nggak butuh materi lagi?”

Lagi, gelengan diberi. “Nggak, Chel.” “Mungkin kedengarannya bakal jadi kalimat yang jijik bukan main, tapi ..”

“.. dibanding materi, aku cuma pengen Cakrawala bahagia dan nggak kekurangan apapun lagi.”

“Bahagiaku sekarang itu dengan lihat dia bahagia, Chel. Tahu Cakrawala hidup dengan tenang pun kayaknya bakal jadi kabar paling bahagia buat aku.”

Rachel tersenyum tipis, bukan senyum culas yang meremehkan namun senyum tulus sekaligus sedikit miris. Perlahan, tangan si gadis terulur untuk meraih tangan Baskara. Digenggamnya erat, seakan ingin menyampaikan semangat dari sana.

“Aku usahain, ya, Bas?”

“Aku tau rasanya, kok.” “Ketika perasaan cinta kita ke seseorang dianggap nggak normal. Ketika orang-orang anggap kita aneh karena ngerasain perasaan yang bikin kita berbunga-bunga ke orang yang 'sama' kayak kita.”

“Susah, pasti.” “Sakit, pasti.” “Aku paham banget rasanya.”

“Baskara,” ujar Rachel seraya mengusapi punggung tangan kanan Baskara dengan lembut. “Makasih, ya, udah mau bantu aku.”

“Aku nggak tau apa kamu bantu aku karena tergiur sama tawaran materi dari aku atau gimana tapi apapun ituㅡ aku beneran mau makasih ke kamu.”

Baskara tidak memandang Rachel balik. Ia hanya tertunduk dalam, menatapi cangkir kecil berisi espresso miliknya yang masih tersisa lebih dari setengah. Tidak memberi respon berupa kalimat apapun.

“Aku usahain, ya, Bas?” “Aku usahain jaga Cakrawala.” “Aku usahain jaga dia, buat kamu.”

Baskara tidak menangis. Ia juga tidak memasang wajah sedih maupun muram. Baskara tersenyum, walaupun teramat tipis. Tangannya yang diusapi oleh Rachel coba dikepalkan, seperti ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada si gadis walaupun tersirat. “Makasih, ya, Chel?”

“Sama-sama, Bas.”

Tidak bisa bersama memang menyakitkan. Namun, setidaknya Cakrawala bisa hidup tenang tanpa kekurangan satu apapun. Itu sudah cukup bagi Baskara.

Bahkan lebih daripada cukup.

Cakrawala, bahagia, ya?

ㅤ      「 Mereka. 」

ㅤ Kediaman Tristan. Pondok Indah, Jakarta Selatan.

Entah sudah berapa lama semenjak terakhir kali Baskara menginjakkan kaki di kediaman Tristan. Rekan kantornya itu terlahir dari keluarga yang cukup berada. Errㅡ ralat. Tidak hanya 'cukup' namun juga 'berlebih', mungkin.

Rumah dua lantai dengan desain minimalis namun mewah di bilangan kawasan Pondok Indah tentu tidak bisa dibeli dengan uang tabungan Baskara. Terkecuali dibelikan oleh Rachel, tidak akan Baskara bisa bermimpi tinggal di rumah mewah begini.

Semua di kediaman Tristan tidak terlihat banyak yang berubah. Tanaman hias masih terpajang di sana sini, membuat kesan sejuk di sekeliling rumah. Beberapa pembantu rumah tangga di kediaman Tristan memberi salam, tahu bahwa Baskara adalah kawan si majikan.

“Mas Baskara.” “Makin ganteng aja, e.”

Bi Tarsiyah, salah satu pembantu rumah tangga di kediaman Tristan yang paling senior juga yang paling dekat dengan Baskara, memberi salam dan dibalas dengan angguka kecil juga senyum tipis dari Baskara. “Sehat, ya, Bi?”

“Alhamdulilah sehat, Mas.” “Mas Baskara gimana?”

“Puji Tuhan, sehat.”

“Mau ada acara, ya, Mas?” “Temen Den Tristan juga ada di dalem. Tetangga pas jaman dulu, namanya Cakrawala.” “Mau pesta begitu, ya, Mas?”

Hati Baskara seakan jatuh dari tempatnya ketika mendengar nama lelaki itu. Ia menjadi teringat akan isi pesan di chat kakaotalk yang ditinggalkan oleh Cakrawala, berisi pengakuan bahwa ia menyesal dan sama sekali tidak pernah merasakan bahagia semenjak bertemu dengan Baskara.

Pesan yang membuat Baskara segera keluar dari unit apartemen dengan hanya berpakaian seadanya dan melajukan mobil menuju kampus Cakrawala. Ingin meluruskan semuanya, ingin memberi tahu perihal segalanya.

“Cakrawalanya ada di dalam, Bi?”

“Ada, Mas.” “Lagi tidur di sofa.” “Dateng subuh, dia.” “Mungkin masih ngantuk.”

“Mau masuk, Mas?”

“Boleh, Bi.” “Makasih.”

Dilepaskan alas kaki sebelum kaki Baskara masuk ke dalam kediaman Tristan. Sedikit, ia menghela nafas perlahan namun agak lamaㅡ seperti berusaha memantapkan diri serta niat untuk menemui lelaki itu.

Cakrawala.

Benar saja. Untung barusan Baskara menghela nafas dalam-dalam sehingga pasokan oksigennya mencukupi tatkala matanya menangkap sosok Cakrawala yang terbaring di sofa.

Lelaki itu tertidur dengan hembusan nafas yang teratur. Tidak mendengkur, berbeda dengan Baskara yang melakukan demikian walaupun tidak begitu keras.

Perlahan. Seakan tidak ingin membuat suara sedikitpun yang dapat membangunkan Cakrawala, Baskara melangkah mendekati sofa panjang yang diletakkan di ruang tamu kediaman Tristan. Ingin menghampirinya. Ingin melihatnya dengan lebih dekat.

Kini, ketika Baskara sudah ada di dekat Cakrawala, ia malah kebingungan harus berlaku apa.

Cakrawala .. bagaimana menjelaskannya?

Lelaki itu terlihat damai, walaupun Baskara dapat dengan jelas melihat bengkak di sekitar matanya. Pipi Cakrawala yang memang sudah tirus, kini semakin terlihat tirus. Apa lelaki itu belum makan? Sejak kapan? Apa Tristan tidak memaksanya makan?

Memandangnya dari jarak segini, rupanya masih dianggap kurang oleh Baskara. Lagi, sedikit demi sedikit langkah kaki si yang lebih tua bergerak. Mendekati Cakrawala hingga akhirnya memilih untuk duduk di lantai, bersebelahan dengan sofa.

“Lo liat, ya?”

Baskara berbisik, seraya jemari tangan kanannya mengusapi pipi kanan Cakrawala. Pipi lelaki ini, lembut. Demi apapun, apakah ketika menciptakan Cakrawalaㅡ Tuhan sedang sangat berbaik hati dengan memberikan apapun ke lelaki ini, ya?

“Kaget, pasti.” “Iya, 'kan?”

Nafas Cakrawala masih terembus teratur. Masih nyenyak, sepertinya. “Wajar.”

“Wajar, kok, Cak.” “Lo pasti kaget liat ada cowok yang gaspol ngedeketin lo, ngajak lo tinggal bareng, ngebeliin ini itu yang lo mau, perhatiin loㅡ”

“ㅡtapi nyatanya malah ML sama cewek lain.”

Kini Baskara tidak lagi mengusapi pipi Cakrawala. Ia beralih menggenggam tangan kanan si yang lebih muda dan mengusapi punggung tangannya, masih sama lembut. “Wajar kalau lo kaget.”

“Tapi, Cak ..” “.. gue nggak bohong.”

“Apa yang gue lakuin dulu ke lo, perhatian apapun yang gue kasih ke lo, rasa deg-degan gue setiap deket sama lo, serta semua tawa yang gue keluarin ketika barengan sama lo ..”

”.. itu tulus, Cak.”

“Tulus, banget.” “Gue nggak bohong.”

“Berani sumpah, Cak.” “Gue seneng ketemu sama lo. Gue bahagia kenal sama lo. Gue nggak pernah nyesel bisa deket sama lo. Juga ngerasain semua rasa yang ngebingungin dan kadang bikin gue sesak bukan main.”

“Awalnya, gue bingung.” “Wajar, kan, ya, Cak?”

“Gue bingung, kenapa gue ngerasain rasa begini ke cowok. Ini kali pertama gue ngerasain begini.”

“Sampe beberapa waktu lalu, gue percaya kalau gue normal. Gue cuma suka cewek dan perasaan gue ke lo cuma perasaan nyaman, kayak sahabat pada umumnya.”

Usapan di punggung tangan Cakrawala masih diberi dari tangan Baskara. Walaupun terkadang diselingi dengan kaitan jemari si lebih tua di tengah sela jemari Cakrawala. Baskara, memainkan jari Cakrawala denganㅡ lembut. Seakan takut menyakiti.

“Tapi gue sadar ketika gue baca chat dari lo, perasaan gue ke lo bukan sekedar nyaman.”

“Gue takut lo pergi begitu aja. Gue nggak mau kehilangan lo. Buat sebentar pun, nggak mau. Buat sekejap pun, gue nggak bersedia, Cak.”

“Gue pengen sama lo.” “Cuma sama lo.” “Cuma lo.”

Perlahan, usapan pada tangan Cakrawala berakhir menjadi cengkeraman kuat. Baskara tidak kuasa menahan sakit di dadanya. Sesak, sungguh.

Rasanya sesak, karena menahan rasa ini sendirian. Rasanya sesak, karena ia sendiri tahu dirinya tidak pantas untuk menjaga Cakrawala. Baskara ingin bersama dengan Cakrawala, namun ia paham tidak akan ada guna bagi ia bersikeras berada di sisi Cakrawala.

Cakrawala hanya akan merasa sakit. Cakrawala hanya akan menemukan kesedihan, lagi dan lagi. Semua itu karena Baskara.

Hidup Baskara sudah terlalu berantakan. Kontraknya dengan Rachel bukan sesuatu yang bisa ia hentikan sesuka hati. Lagi, ia pun tidak ingin Cakrawala hanya dijadikan pilihan atau pelarian.

Semua perasaan Baskara sesulit itu untuk disimpulkan.

“Cak.” “Alasan gue ke sini cuma satu.” “Gue mau liat lo, buat terakhir kalinya. Gue mau liat lo, sebelum akhirnya gue bakal bener-bener ngejauh dari hidup lo.”

“Gue sadar.” “Gue cuma bakal jadi beban buat lo. Gue cuma bakal jadi hal yang bikin lo tersiksa, Cak.” “Nggak akan ada positifnya buat lo sama gue kalau terus barengan kayak sekarang.”

“Maaf.” Baskara mendekatkan tangan Cakrawala yang ia genggam agar dapat dikecup olehnya. Sekali saja, namun segala perasaannya tertumpah di sana. “Maafin gue.”

“Gue janji.” “Gue nggak akan jatuh cinta ke siapapun lagi, Cak. Semua yang gue rasain terlalu melimpah buat lo.”

“Saking melimpahnya, gue nggak yakin bisa suka ke orang lain sesuka gue ke lo.”

“Sesayang gue ke lo.” “Seenggak jelas ini, ke lo, Cakrawala.”

“Makasih.” “Makasih buat semua.” “Buat waktu singkat yang kita lewatin barengan, tapi bisa bikin gue ngerasain rasa yang teramat sulit gue jelaskan.”

“Cakrawala.” “Gue sayang lo.” “Sayang, banget.”

Tangan Baskara mengusak rambut Cakrawala pelan, tidak ingin membangunkan si yang lebih muda. “Lo harus bahagia, ya, Cak?”

“Sama siapapun itu.” “Lo harus bahagia.”

Tepat setelah mengucapkan kalimatnya, Baskara bangkit dari posisi duduk. Setelahnya, ia menaikkan selimut yang membalut tubuh bawah Cakrawala agar naik ke dadanya sebelum diakhiri dengan mendaratkan kecupan kecil ke kening si lelaki.

“Gue pergi, ya, Cak?”

Baskara tidak lagi menoleh ke belakang. Langkahnya terarah lurus, tanpa satu kali pun melihat Cakrawala yang terbaring di atas kasur.

Baguslah. Baguslah, kalau begitu.

Kenapa, tanyamu? Karena Baskara tidak mengetahui bagaimana Cakrawala kini meneteskan air mata dalam pejamannya. Karena Baskara tidak mengetahui bagaimana tangan laki-laki itu terkepal kuat, menahan agar tidak terisak histeris.

Baskara. Baskara. Baskara.

Bagaimana jika yang kau harapkan untuk bahagia, ternyata hanya ingin bahagia bersamamu? Selayaknya kamu yang ingin bersamanya untuk sepanjang masa, dia juga mengharapkan hal yang terlampau sama.

Baskara. Baskara. Baskara.

Seandainya kamu tahu, dia yang kau genggam tangannya ternyata tidak sedang tertidurㅡ apa pilihanmu bisa berubah?

Baskara. Baskara. Baskara.

Seandainya kamu tahu, dia yang kau usapi pipinya ternyata sekuat tenaga tengah berusaha agar tidak menitikkan air mata ketika mendengar pengakuanmuㅡ apa pilihanmu bisa berubah?

Baskara. Baskara. Baskara.

Seandainya kamu tahu, yang kau sayangi ternyata menyayangimu dengan sama besarnyaㅡ dengan sama tulusnya, dengan sama inginnya untuk bersama ..

.. apa pilihanmu bisa berubah?