Krishna merebahkan diri ke kasur di kamar asramanya. Pandangan si lelaki menerawang ke langit-langit kamar, entah ditujukan ke mana fokusnya. Hilang, pandangan Krishna tidak terfokus ke manapun walaupun maniknya tertuju lurus ke bohlam lampu yang terpasang di langit-langit kamar.
Hingga perlahan, Krishna merasakan matanya sedikit perih karena terus-terusan memandang sinar lampu yang benderang. Punggung tangan menyeka kelopak mata, benar saja— matanya berair.
Oh, sebentar. Air matanya itu mungkin bukan mengalir keluar karena ia terlalu lama memandangi bohlam. Mungkin saja, itu muncul dari maniknya karena perbincangannya dengan Raesaka barusan. Perbincangan yang tidak sama seperti yang dulu pernah mereka lakukan, dua belas tahun lalu.
Mereka memang berbincang, namun kali ini Raesaka tidak memberi fokus sepenuhnya kepada Krishna. Mereka memang saling bertukar kalimat, namun mungkin Raesaka tidak merasakan antusias yang sama dengan ketika dulu lelaki itu menghubungi Krishna.
Sewaktu dulu, tidak pernah sekalipun Raesaka akan memutus perbincangan terlebih dahulu. Bahkan untuk alasan belajar sekalipun, Raesaka tidak akan mengucapkannya di depan Krishna. Lelaki itu akan lebih memilih untuk belajar seraya membalas chat si Kakak tingkat.
Sebegitu besarnya dulu perhatian yang diberi oleh Raesaka namun tidak pernah Krishna sadari sebelumnya. Dulu bagi Krishna, segala hal yang dilakukan oleh Raesaka tidak ubahnya seperti sebuah keharusan. Memang adalah hal yang semestinya dilakukan oleh si lelaki Danadyaksa.
'Toh, memang Raesaka yang menyukai Krishna terlebih dahulu. 'Toh, memang Raesaka yang berulang kali bilang kepada Krishna bahwa cintanya lebih besar daripada cinta si kakak tingkat dan ia tidak keberatan dengan hal itu. 'Toh, memang Raesaka yang berulang kali mengatakan kepada Krishna bahwa ia membutuhkan si lelaki Haliem untuk menemaninya.
Namun tatkala semua kejadian berbalik seperti sekarang, Krishna merasa dirinya benar-benar jahat karena tidak pernah memahami seperti apa sedih dan sakitnya sewaktu orang yang kita kasihi rupanya tidak memberi perhatian atau pengorbanan sebanding dengan yang pernah kita berikan.
Krishna merasa sakit dan sedih bukan main tatkala Raesaka berbincang dengannya dengan perhatian yang seakan diberi sambil lalu; tidak sepenuhnya terfokus pada perbincangan mereka berdua. Krishna merasa perasaannya tidak karuan tatkala Raesaka mengatakan ia harus belajar dan meninggalkan perbincangan mereka berdua.
“Saka, aku pergi dulu! Dipanggil bos!“ “Sayang... sebentar lagi— bisa? Aku masih kangen..“ “Saka. Jangan manja kayak anak kecil gitu, lah!“
Krishna terkekeh dalam nada miris ketika mengingat perbincangannya dengan Raesaka yang kerap terjadi di tahun kesembilan dan kesepuluh keduanya berpacaran. Krishna baru tersadar bahwa kesibukan di pekerjaannya kerap membuat ia melupakan Raesaka, padahal Raesaka selalu bersikap sama— ia masih memberi perhatian yang sama kepada Krishna, ia masih paling mengkhawatirkan Krishna dibandingkan apapun.
Namun Krishna— melupakan seberapa pentingnya sosok Raesaka karena tumpukan pekerjaan yang sebenarnya bisa saja ia tunda barang beberapa menit saja agar dapat berbincang lebih lama dengan Raesaka lewat panggilan telefon atau video.
Krishna menutupi matanya dengan punggung tangan. Dalam seketika, pandangan Krishna menjadi gelap karena cahaya kamar yang tertutupi oleh punggung tangannya sendiri. Perlahan, Krishna menarik nafas dalam-dalam kemudian mengembuskannya dalam tempo yang sama lambatnya. Hingga lama-kelamaan, tarikan nafasnya menjadi lebih pendek dan disusul oleh isak tangis kecil dari bibir.
Krishna, menangis. Ia rindu Raesakanya.
Raesaka yang akan selalu memberi rengkuh ketika dirinya merasa lelah. Raesaka yang pasti akan menggenggam tangan Krishna ketika lelaki itu merasa goyah dengan keputusan yang akan ia ambil. Raesaka yang akan selalu mengatakan percaya akan setiap hal yang Krishna katakan. Raesaka yang— selalu ada untuknya.
Dalam gelap yang Krishna buat sendiri, lagi-lagi ia kesulitan mencari oksigennya. Dalam gelap yang Krishna buat sendiri, ia baru menyadari bahwa keberadaan bintangnya amatlah sangat berpengaruh. Krishna membutuhkan Siriusnya, bintangnya.
Raesaka yang ada saat ini, bukanlah Raesakanya.
Lagi, Krishna merasa ragu. Apakah ia jatuh cinta pada sosok Raesaka atau hanya kepada Raesaka yang selalu siap menerima dirinya secara utuh? Di hadapannya sekarang ada Raesaka berusia dua puluh tahun— semestinya semua akan berjalan sama selayaknya dua belas tahun lalu. Lelaki yang menjadi kekasih Krishna selama sepuluh tahun dan lelaki yang sekarang berusia dua puluh tahun itu sama-sama Raesaka.
Namun mengapa semua berjalan jauh berbeda?
Padahal Krishna ingin sekali segera memeluk lelaki itu. Padahal Krishna ingin sekali mengeratkan lingkaran tangannya di pinggang lelaki itu, mengatakan rindu dan berbagai kalimat cinta lain. Padahal Krishna ingin sekali... ingin sekali begitu.
Apa Krishna bisa bertahan sekuat Raesaka sewaktu dulu untuk mendapatkan cinta lelaki itu lagi? Apa Krishna benar-benar selemah ini, padahal dulu mungkin saja Raesaka kerap menerima penolakan dengan cara yang lebih sinis dan dingin dari Krishna.
Ah, tentu berbeda. Jangan disamakan, kawan.
Dulu, Raesaka tidak perlu merasakan sakit hati dan sedih mendalam karena ditinggal secara mendadak dengan jutaan rasa bersalah seperti yang dialami Krishna usia tiga puluh empat tahun. Dulu, Raesaka tidak perlu merasakan rasa rindu dan keinginan untuk memeluk erat tanpa melepaskan lagi setiap kali melihat Krishna.
Mungkin, dulu Raesaka hanya jatuh cinta. Sekarang, Krishna— sedang terjun cinta.
Krishna tidak hanya jatuh. Ia sedang terjun. Terjun jauh, dalam.
Parah.