dontlockhimup

Krishna merebahkan diri ke kasur di kamar asramanya. Pandangan si lelaki menerawang ke langit-langit kamar, entah ditujukan ke mana fokusnya. Hilang, pandangan Krishna tidak terfokus ke manapun walaupun maniknya tertuju lurus ke bohlam lampu yang terpasang di langit-langit kamar.

Hingga perlahan, Krishna merasakan matanya sedikit perih karena terus-terusan memandang sinar lampu yang benderang. Punggung tangan menyeka kelopak mata, benar saja— matanya berair.

Oh, sebentar. Air matanya itu mungkin bukan mengalir keluar karena ia terlalu lama memandangi bohlam. Mungkin saja, itu muncul dari maniknya karena perbincangannya dengan Raesaka barusan. Perbincangan yang tidak sama seperti yang dulu pernah mereka lakukan, dua belas tahun lalu.

Mereka memang berbincang, namun kali ini Raesaka tidak memberi fokus sepenuhnya kepada Krishna. Mereka memang saling bertukar kalimat, namun mungkin Raesaka tidak merasakan antusias yang sama dengan ketika dulu lelaki itu menghubungi Krishna.

Sewaktu dulu, tidak pernah sekalipun Raesaka akan memutus perbincangan terlebih dahulu. Bahkan untuk alasan belajar sekalipun, Raesaka tidak akan mengucapkannya di depan Krishna. Lelaki itu akan lebih memilih untuk belajar seraya membalas chat si Kakak tingkat.

Sebegitu besarnya dulu perhatian yang diberi oleh Raesaka namun tidak pernah Krishna sadari sebelumnya. Dulu bagi Krishna, segala hal yang dilakukan oleh Raesaka tidak ubahnya seperti sebuah keharusan. Memang adalah hal yang semestinya dilakukan oleh si lelaki Danadyaksa.

'Toh, memang Raesaka yang menyukai Krishna terlebih dahulu. 'Toh, memang Raesaka yang berulang kali bilang kepada Krishna bahwa cintanya lebih besar daripada cinta si kakak tingkat dan ia tidak keberatan dengan hal itu. 'Toh, memang Raesaka yang berulang kali mengatakan kepada Krishna bahwa ia membutuhkan si lelaki Haliem untuk menemaninya.

Namun tatkala semua kejadian berbalik seperti sekarang, Krishna merasa dirinya benar-benar jahat karena tidak pernah memahami seperti apa sedih dan sakitnya sewaktu orang yang kita kasihi rupanya tidak memberi perhatian atau pengorbanan sebanding dengan yang pernah kita berikan.

Krishna merasa sakit dan sedih bukan main tatkala Raesaka berbincang dengannya dengan perhatian yang seakan diberi sambil lalu; tidak sepenuhnya terfokus pada perbincangan mereka berdua. Krishna merasa perasaannya tidak karuan tatkala Raesaka mengatakan ia harus belajar dan meninggalkan perbincangan mereka berdua.

Saka, aku pergi dulu! Dipanggil bos!“ “Sayang... sebentar lagi— bisa? Aku masih kangen..“ “Saka. Jangan manja kayak anak kecil gitu, lah!

Krishna terkekeh dalam nada miris ketika mengingat perbincangannya dengan Raesaka yang kerap terjadi di tahun kesembilan dan kesepuluh keduanya berpacaran. Krishna baru tersadar bahwa kesibukan di pekerjaannya kerap membuat ia melupakan Raesaka, padahal Raesaka selalu bersikap sama— ia masih memberi perhatian yang sama kepada Krishna, ia masih paling mengkhawatirkan Krishna dibandingkan apapun.

Namun Krishna— melupakan seberapa pentingnya sosok Raesaka karena tumpukan pekerjaan yang sebenarnya bisa saja ia tunda barang beberapa menit saja agar dapat berbincang lebih lama dengan Raesaka lewat panggilan telefon atau video.

Krishna menutupi matanya dengan punggung tangan. Dalam seketika, pandangan Krishna menjadi gelap karena cahaya kamar yang tertutupi oleh punggung tangannya sendiri. Perlahan, Krishna menarik nafas dalam-dalam kemudian mengembuskannya dalam tempo yang sama lambatnya. Hingga lama-kelamaan, tarikan nafasnya menjadi lebih pendek dan disusul oleh isak tangis kecil dari bibir.

Krishna, menangis. Ia rindu Raesakanya.

Raesaka yang akan selalu memberi rengkuh ketika dirinya merasa lelah. Raesaka yang pasti akan menggenggam tangan Krishna ketika lelaki itu merasa goyah dengan keputusan yang akan ia ambil. Raesaka yang akan selalu mengatakan percaya akan setiap hal yang Krishna katakan. Raesaka yang— selalu ada untuknya.

Dalam gelap yang Krishna buat sendiri, lagi-lagi ia kesulitan mencari oksigennya. Dalam gelap yang Krishna buat sendiri, ia baru menyadari bahwa keberadaan bintangnya amatlah sangat berpengaruh. Krishna membutuhkan Siriusnya, bintangnya.

Raesaka yang ada saat ini, bukanlah Raesakanya.

Lagi, Krishna merasa ragu. Apakah ia jatuh cinta pada sosok Raesaka atau hanya kepada Raesaka yang selalu siap menerima dirinya secara utuh? Di hadapannya sekarang ada Raesaka berusia dua puluh tahun— semestinya semua akan berjalan sama selayaknya dua belas tahun lalu. Lelaki yang menjadi kekasih Krishna selama sepuluh tahun dan lelaki yang sekarang berusia dua puluh tahun itu sama-sama Raesaka.

Namun mengapa semua berjalan jauh berbeda?

Padahal Krishna ingin sekali segera memeluk lelaki itu. Padahal Krishna ingin sekali mengeratkan lingkaran tangannya di pinggang lelaki itu, mengatakan rindu dan berbagai kalimat cinta lain. Padahal Krishna ingin sekali... ingin sekali begitu.

Apa Krishna bisa bertahan sekuat Raesaka sewaktu dulu untuk mendapatkan cinta lelaki itu lagi? Apa Krishna benar-benar selemah ini, padahal dulu mungkin saja Raesaka kerap menerima penolakan dengan cara yang lebih sinis dan dingin dari Krishna.

Ah, tentu berbeda. Jangan disamakan, kawan.

Dulu, Raesaka tidak perlu merasakan sakit hati dan sedih mendalam karena ditinggal secara mendadak dengan jutaan rasa bersalah seperti yang dialami Krishna usia tiga puluh empat tahun. Dulu, Raesaka tidak perlu merasakan rasa rindu dan keinginan untuk memeluk erat tanpa melepaskan lagi setiap kali melihat Krishna.

Mungkin, dulu Raesaka hanya jatuh cinta. Sekarang, Krishna— sedang terjun cinta.

Krishna tidak hanya jatuh. Ia sedang terjun. Terjun jauh, dalam.

Parah.


Oppie mengernyitkan dahinya tatkala melihat Krishna melakukan apa yang kemarin sempat ia sarankan. Menuliskan nomor ponsel alih-alih menandatangani buku si anak baru.

Awalnya, lelaki jangkung itu mengira Krishna memanggil Raesaka untuk memberi peringatan agar tidak bertindak sok ganteng atau semacamnya. Sungguh, sedikitpun sama sekali Oppie tidak menyangka bahwa Krishna akan menuliskan nomor ponselnya dan bukan memberi tanda tangan di buku catatan milik si anak baru.

Dengan pandangan yang disipitkan, Oppie terus memandangi Krishna yang sekarang sudah duduk kembali di bangku panjang yang mereka tempati sebelumnya. “Lo— mencurigakan,” gumam Oppie.

Krishna hanya mengangkat bahu dan memasang ekspresi wajah santai. “Gue cuma mau coba-coba dulu sebelum dipraktekin ke gebetan gue yang asli. Kalau emang nanti si anak baru itu ngechat gue duluan, berarti trik lo ini berhasil. Baru ketika itu gue bakal coba pake cara lo ini buat deketin gebetan gue.”

Mata Oppie yang semula menyipit, tiba-tiba menjadi sedikit membelalak. Tampak antusias, si lelaki jangkung itu menepuk pundak Krishna dengan semangat. “Weits, pinter juga cara lo. Emang, sih, butuh trial dulu! Ya udah, nanti kalau si anak baru itu ngechat lo duluan, lo kabarin gue! Lo wajib ngasih testi buat keberhasilan klinik cinta gue!”

Kalimat penuh semangat dari Oppie hanya dibalas dengan senyuman tipis dari Krishna. Oppie tidak tahu saja bahwa sekarang jantung Krishna berdebar tidak karuan, tangannya terus memegangi ponselnya sendiri.

sungguh, ia menanti setengah mati. Menanti Raesaka untuk menghubungi.

“Kak, serius deh. Lo kenapa?”

Krishna menerima sodoran lembar-lembar formulir mahasiswa tahun pertama yang akan mengikuti kegiatan Paskibra selama beberapa tahun ke depan dari tangan Tarendra. Rupanya Tarendra serius dengan ucapannya, ia masih percaya bahwa Krishna tengah dirasuki mahluk halus sehingga Krishna tidak diperbolehkan masuk ke dalam rumah.

Mereka berdua sekarang berdiri di depan pagar rumah megah Tarendra dengan Krishna yang juga terlihat enggan untuk turun dari sadel sepeda yang dikendarainya. “Gue nggak kenapa-kenapa. Lo sama Dewa dari tadi nanyain itu melulu, dah? Gue sehat,” jawab Krishna seraya memasukkan lembaran formulir pendaftaran di tangan ke dalam tas ransel hitam miliknya. “Gue cuma mau bantuin lo aja. Nggak boleh emangnya?”

“Ya itu yang bikin gue sama Dewa kebingungan dan mikir lo nggak sehat!” Tarendra merasa gemas sendiri dengan tingkah kakak tingkatnya ini. “Kayakㅡ lo, sejak kapan mau ngurusin hal yang bukan tugas lo, gitu lho?!”

“Ya...”, Krishna menutup retsleting tasnya dan kembali menyampirkan tali tas ke pundak. “...anggep aja gue abis kesambet petir? Makanya otak gue jadi rada bener.”

Tarendra mengernyitkan alis kemudian menyipitkan matanya. Pandangannya diarahkan lurus dan tajam ke arah Krishna yang berada di hadapannya. “Kak.. lo..”

Krishna menelan air liurnya dengan gugup. Tidak mungkin jika Tarendra tahu bahwa niatannya mengambil formulir pendaftaran ini adalah demi mendapatkan nomor ponsel Raesaka. Tidak mungkin Tarendra akan sadar!

“Lo pasti...”

Jangan sadar! Jangan sadar!

“Lo pasti stress gara-gara belum bisa moveon dari Jane makanya sikap lo sampe berubah 180 derajat begini, ya? Ampun, Kak. Jangan malu-maluin anggota Paskib GAMA dong! Anggota kita, tuh, dikenal ganteng! Banyak cewek yang doyan sama kita! Masa lo gagal moveon?!”

Sumpah. Barusan adalah momen yang paling menegangkan bagi Krishna sekaligus yang paling melegakan. Untung saja Tarendra tidak menyadari niatan sesungguhnya dari Krishna.

Krishna terkekeh kemudian menempatkan sebelah kakinya ke pengayuh sepeda, bersiap untuk kembali pulang ke asramanya. “Ya, apapun itu. Terserah lo mau anggepnya apa, Ren. By the way...”

Krishna tersenyum tipis sebelum melanjutkan kalimatnya. “...ada atau nggak cewek yang suka ke lo atau Dewa, kayaknya nggak bakalan guna juga. Toh' kalian nggak bakal nikah sama mereka.”

Tarendra kembali memasang ekspresi keheranan namun Krishna tidak mempedulikan dan memilih untuk mulai mengayuh sepedanya segera. “Bye! Nanti gue kirim rekapannya ke email lo!”

“KAK KRISHNA! WOY! MAKSUDNYA GUE NGGAK NIKAH SAMA MEREKA TUH APAAN?!? GUE NGGAK NIKAH SAMA CEWEK, GITU?! WOY!!! SETAN EMANG!!! TUKANG FITNAH!! KAK KRISHNAAAA!”


Krishna mondar-mandir di kamar asramanya, entah untuk yang keberapa kali. Tangannya masih menggenggam ponsel dengan erat sementara kedua maniknya terus memandangi layar penanda barisan angka.

Krishna sedang memutar otak untuk mengingat kembali nomor ponsel Raesaka sewaktu dulu. Nomor yang digunakan tatkala mereka bertukar pesan sepuluh tahun lalu. Sayangnya sekeras apapun usaha Krishna untuk mengingat, tidak ada pertanda baik. Tetap saja ia tidak ingat apapun.

Krishna tahu bahwa dirinya tidak bisa menanyakan perihal informasi Raesaka kepada Tarendra atau Nakuladewa. Dua adik tingkatnya itu sudah menaruh curiga semenjak awal perihal Krishna yang mereka anggap sangat jauh berbeda dengan Krishna biasanya. Wajar saja, Krishna sendiri pun merasa dirinya jauh berbeda dengan ia dua belas tahun lalu.

Krishna sadar sikapnya dua belas tahun lalu sangatlah dingin dan sinis. Tidak ada banyak orang yang betah berlama-lama untuk membuat diskusi dengan Krishna. Hingga akhirnya Raesaka datang ke hidup Krishna dan membuat si lelaki Haliem berupaya menjadi seseorang yang lebih hangat.

Sialnya, kehangatan sikapnya terbawa sampai sekarang. Sampai ke masa lalu yang didatanginya saat ini.

Masih, Krishna melangkahkan kakinya bolak balik dari pintu kamar asrama ke balkon kemudian kembali lagi ke pintu kamar. Sungguh, bagaimana caranya untuk mendapatkan nomor telefon Raesaka?!

“KAK KRISHNA!”

Suara Tarendra sangat lantang, bahkan lebih pantas disebut sebagai jerit bercampur teriakan dibandingkan dengan seruan untuk memanggil. Sontak, beberapa mahasiswa tahun pertama yang sudah berkumpul terlebih dahulu untuk mengikuti penyambutan anggota baru Paskibra Ganesha Mandala segera menatapi Tarendra kemudian mengalihkan pandangannya ke arah yang lambaiannya ditujukan oleh si kakak tingkat.

Krishna tidak datang terlambat. Masih ada sisa waktu sepuluh menit sebelum pembukaan latihan untuk menyambut anggota baru Paskibra GAMA dimulai. Jaket berwarna merah yang selayaknya dikenakan oleh para senior sebagai tanda pengenal di hadapan mahasiswa tahun pertama melekat di tubuh Krishna. Tampak sangat pas dipadukan dengan rambut tertata klimis dan kulit putih susu si danton sekaligus ketua Paskibra.

Jujur saja, Krishna sempat berlama-lama mematut diri di depan cermin kamar asramanya sehingga memakan waktu untuknya hingga bisa tiba di lapangan utama kampus Ganesha Mandala. Krishna berulang kali menampar pipinya sendiri di depan cermin hingga terasa sakit; membuktikan bahwa ia tidak sedang bermimpi. Berkali-kali juga Krishna melakukan kumur-kumur dengan mouthwash yang terasa pedas di mulut. Krishna berpikir jika pedasnya tidak terasa— berarti bisa jadi ia sedang bermimpi. Namun kenyataannya, terasa jelas.

Rasa pedas dari mouthwash. Rasa perih dari tamparan sendiri. Semua terasa sangat jelas.

Krishna juga berulang kali masuk-keluar dari asramanya. Ia benar-benar ragu apakah harus ke lapangan atau tidak, sebab jika ia berangkat ke sana maka ia akan bertemu dengan seseorang yang paling ia rindukan. Krishna takut ia tidak bisa mengatur emosinya sendiri dan melakukan hal gila di hadapan dia, Raesaka.

Namun Krishna juga tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk bertemu dengan si pujaan hati yang sudah lama tidak ia jumpai. Ah... tapi walaupun bertemu, apa lelaki itu bisa mengenali Krishna?

Dimakan oleh rasa bimbang dan ragu yang teramat sangat, pada akhirnya Krishna membuat satu keputusan. Sudah, coba berangkat saja! adalah suara hati yang memantapkan langkah kaki Krishna untuk berangkat dari kamar asramanya ke lapangan kampus Ganesha Mandala, tempat diadakannya latihan Paskibra yang pertama.

Sepanjang perjalanan Krishna ke lapangan utama dengan menaiki sepeda miliknya, ia tidak berhenti menghipnotis dirinya sendiri untuk terus mengingat fakta bahwa dirinya adalah sosok lelaki berusia tiga puluh empat tahun. Saat ini ia terjebak di tubuh Krishna Putra Haliem yang berusia dua puluh dua tahun dan harus segera mencari jawaban mengapa dirinya bisa berada di tahun 2021. Itu yang harus Krishna berusia tiga puluh empat tahun lakukan!

Namun ya, rencana rupanya hanya tinggal rencana.

Baru saja Krishna memarkirkan sepedanya di ruang khusus parkir, tiba-tiba suara Tarendra sudah menyambangi rungu. Suaranya pun bukan hanya sekedar memanggil, melainkan berteriak kencang. Alhasil, tidak hanya para senior berjaket merah yang mengalihkan pandangannya untuk berfokus kepada Krishna— mahasiswa tahun pertama yang baru akan mendaftarkan diri sebagai anggota Paskibra juga ikut menolehkan kepala; ingin mengetahui siapa oknum yang dipanggil oleh Tarendra dengan riang gembira begitu.

Sungguh demi apapun, barusan Krishna merasakan dadanya seperti berhenti berdegup untuk sepersekian detik ketika matanya menangkap sosok seorang lelaki berkulit kecoklatan dengan kaus putih yang duduk di barisan paling belakang antara mahasiswa tahun pertama.

Krishna menemukan sosok Raesaka di sana. Seseorang yang sangat Krishna rindukan kehadirannya, sekarang berada di hadapan Krishna. Hanya berjarak beberapa puluh meter, Krishna bisa merengkuh sosok yang selalu Krishna idam-idamkan kehangatannya.

Panggilan Tarendra yang diserukan dengan suara lantang memasuki rungu Krishna namun tampaknya kaki si lelaki tidak memberi respon kepada syaraf serta otaknya sendiri. Langkah kaki Krishna bukannya dibawa menuju ke barisan para senior, malah tanpa ia sadari melangkah ke arah barisan mahasiswa tahun pertama.

Maju, terus melangkah, hingga berhenti di hadapan ia; Raesaka.

Krishna dan Raesaka sekarang sedang berdiri berhadapan, mungkin hanya menyisakan jarak sekitar satu setengah meter saja. Di depan mata Krishna, berdiri sosok Raesaka yang masih terlihat kurus— berbeda jauh dengan ia yang menemani Krishna beberapa tahun setelahnya dengan badan kekar dan otot yang terbentuk. Di depan mata Krishna, berdiri sosok Raesaka yang memasang ekspresi terheran-heran karena mendapati salah seorang senior malah berdiri di hadapan dan bukannya bergabung dengan rekan seniornya yang lain.

Tangan kanan Krishna terus-terusan menggenggam tali tas slempang yang tersampir di pundaknya dengan kuat-kuat. Ia berusaha sekuat mungkin untuk tidak menghambur ke pelukan Raesaka. Sungguh, menahan keinginan seperti itu sangatlah menyulitkan. Selama dua tahun ke belakang, Krishna terus hidup dengan perasaan yang terus-menerus menyalahkan dirinya sendiri. Lalu sekarang, ketika sosok yang paling dirindukannya ada di depan mata... Krishna tidak bisa melakukan apa-apa.

Krishna hanya bisa berdiri lalu memandangi tanpa henti.

“Ada— apa, ya, Kak?”

Suara ujaran Raesaka barusan segera membuat Krishna tersadar dari lamunannya. Ia berusaha mendapatkan kembali fokusnya dengan berdehem beberapa kali kemudian menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal. “O-ooh.. nggak, gue cuma lagi pengen liatin anak-anak lain lebih deket aja. Bisa lo minggir? Lo ngehalangin pandangan gue.”

Krishna bisa menangkap alis Raesaka terangkat, menandakan rasa heran. Krishna tidak menyalahkan karena ia sendiri pun merasakan alasannya barusan sangatlah konyol. “Bisa minggir?”, ulang Krishna sekali lagi kepada Raesaka yang masih berdiri di hadapannya. Dengan sedikit memasang ekspresi tidak suka, Raesaka bergerak menyingkirkan dirinya ke samping kiri sehingga memberi ruang yang cukup bagi Krishna. “Hmm, oke— tahun ini lumayan banyak,” gumam Krishna; hanya sekedar berpura-pura untuk mendukung kebohongannya barusan.

“KAK KRISHNA!!!” Tepat setelah Krishna menyelesaikan ujarannya, suara lantang Tarendra segera menyambut. Lelaki yang menjabat sebagai wakil ketua Paskibra GAMA itu menggamit lengan Krishna kemudian menariknya dengan cepat ke barisan paling depan dimana senior lainnya sedang berkumpul.

“Duh, Ya Gusti! Alhamdulilah lo dateng juga!”, ujar Tarendra dengan volume suara yang sangat kecil — dapat dikatakan sambil mendesis. “Sumpah, gue udah mau nangis kalau sampe lo nggak dateng! Puji Tuhan lo dateng!”

Dari arah samping kiri, Nakuladewa melirik ke arah Tarendra dengan pandangan heran. “Heh, monyet! Lo agamanya apa, sih? Alhamdulilah iya, Puji Tuhan juga iya. Pilih satu!”, gertak Nakuladewa dan dibalas dengan kekehan tawa dari beberapa senior lain. Tidak terkecuali Krishna.

Jujur saja, ia rindu banyolan dari dua orang ini.

Akan tetapi, berbarengan dengan Krishna yang tertawa, tiba-tiba suasana di antara senior Paskibra GAMA menjadi hening dalam seketika. Tak urung, Krishna mengangkat pandangannya dan menatap teman-teman seniornya yang lain. “Kalian kenapa?”, tanya Krishna kebingungan.

“Kak..” Nakuladewa bersuara dengan nada ragu-ragu. “..lo barusan ketawa?”

Krishna mengangkat alisnya, keheranan. “Gue nggak boleh ketawa?” Sontak, pertanyaan Krishna segera membuat hampir seluruh anggota senior Paskibra segera menengadahkan tangan layaknya sedang berdoa sementara sisanya yang lain beristighfar.

“Ya Allah. Ini pasti kiamat besok, nih! Bacaan Qur-an gue belum khatam, anjir!”, ujar Topan; si senior yang satu angkatan dengan Krishna. “Krish, lo kalau mau tobat jangan mendadak begini, napa?! Gue belum khatam!”

“Kak!” Tarendra kini malah menepuki pipi Krishna kuat-kuat. “Kak! Kak Krishna! Lo denger gue, nggak? Lo lagi kesurupan setan di hutan Fakultas Peternakan, bukan?! Kan' udah gue bilang, jangan keseringan lewat sana! Banyak setannya!”

“Bentar! Bentar! Biar gue sembur dulu sambil bacain ayat kursi!”, ujar Nakuladewa seraya meraih botol air mineral yang hanya tinggal terisi setengah. Untungnya, sebelum Nakuladewa melancarkan aksinya, Nicky — si anggota senior yang lain segera menghalangi. “Anjir! Heh! Beda server anjir setannya! Masa' setan muslim bisa masuk ke badan orang kristen?!”

Bukannya membangun suasana yang mencekam, ulah beberapa senior yang berada di barisan paling depan malah menjadikan barisan para mahasiswa tahun pertama menjadi seperti tengah menonton pertunjukan komedi. Untung saja, Krishna adalah yang paling pertama menyadari suasana yang tidak semestinya tercipta saat ini. Segera, si putra Haliem memasang ekspresi sinisnya. “ADA YANG SURUH KALIAN KETAWA, HAH?!”

Kini tidak hanya para mahasiswa tahun pertama, bahkan seluruh senior yang ada di barisan depan segera memasang sikap sempurna dan memasang ekspresi serius. Mereka tersadar bahwa saat ini bukanlah waktunya untuk bercanda.

“KALIAN ENAK BANGET, YA? DATENG KE SINI BUAT KETAWA-KETAWA?!” Sepanjang Krishna menyerukan kalimatnya, mata si lelaki Haliem seringkali tertuju ke arah si lelaki berkulit kecoklatan yang sekarang berdiri di barisan tengah. Kepada Raesaka yang balas memberikan tatapan dengan tegas. “SAYA MAU KALIAN BERSIKAP TEGAS SEPERTI PASKIBRA YANG SEHARUSNYA! PAHAM?!”

“Siap! Paham!”

“MANA SUARANYA, DEK!? SUARA KALIAN BERPULUH-PULUH BEGINI, MASA' DIKALAHIN SAMA SUARA SAYA YANG SENDIRIAN?! PAYAH! YANG BEGINI MAU JADI PASKIBRA?! NGGAK SALAH?! JAWAB YANG TEGAS! PAHAM, TIDAK?!”

“SIAP, PAHAM!”

Matahari bersinar terik dan seakan membakar kulit. Hiperbolis, memang. Namun entah mengapa cuaca hari ini memang sangat membuat gerah. Baru juga beberapa belas menit Krishna menjelaskan beberapa poin perihal Paskibra Ganesha Mandala, tiba-tiba terdengar sebuah celetukan yang sialnya diucapkan ketika Krishna sedang berhenti berbicara untuk mengambil nafas. Sehingga celetukan itu terdengar sangat lantang.

“Duh, panas banget. Mau pingsan, rasanya.”

Tanpa perlu mencari lebih lanjut, Krishna sesungguhnya tahu bahwa yang berceletuk tadi adalah seorang mahasiswa yang ada di barisan paling kiri. Lelaki kurus dengan kacamata besar yang bertengger di ujung hidung. Namun Krishna tidak bisa menunjuk begitu saja, ia harus menanamkan satu sikap kepada adik tingkatnya.

Perihal jiwa KORSA.

Oh, sial. Dalam hati, Krishna terus menggerutu. Ia memahami situasi ini. Dulu, situasi seperti ini juga pernah terjadi. Dulu, ketika menjalani latihan pertama — Raesaka pernah angkat suara dan membuat Krishna naik pitam hingga memutuskan untuk memberikan hukuman kepada lelaki itu. Sekarang, Krishna mana tega menghukum lelaki yang sudah menjadi kekasihnya selama sepuluh tahun itu, coba?

Maka sebelum menyerukan kalimat selanjutnya, dalam hati dan dengan pengharapan semoga yang paling serius— Krishna terus berdoa, agar Raesaka tidak bersikap sok pahlawan lagi seperti yang ia lakukan sewaktu dulu. Krishna berharap, kali ini Raesaka hanya akan diam.

Agar dirinya tidak perlu menghukum kekasihnya itu.

Krishna tersadar di kamar asramanya. Semua tampak sama seperti yang ia ingat───barisan komik, gitar di pojok ruangan. Sungguh semuanya persis sama.

Kalaupun ada yang tidak sama, mungkin hanya satu hal. Adalah cincin perak di jari manis kiri Krishna yang melingkar; erat.

Krishna tidak bermimpi. Ini adalah dirinya sendiri. Dan hari ini, adalah hari pertamanya bertemu dengan Raesaka.

Gila!!!

“Untung nggak macet, ya, Mas. Biasanya di sini macet banget.”

Krishna yang semula memperhatikan jalan raya dari jendela bangku penumpang, tiba-tiba mengalihkan pandangannya ke arah si supir taksi yang tengah mengemudi. “Ya, Pak? Gimana? Maaf, nggak kedengeran tadi pertanyaannya apa.”

Jawaban dari Krishna dibalas dengan tawa ringan dari si supir taksi. “Aduh, Masnya jangan keseringan bengong, lho. Ini jalanannya agak angker, banyak kecelakaan di jalan tol ini. Kalau Masnya bengong, bisa-bisa kebawa sama apa gitu, 'kan.”

Dibawa ke dalam perbincangan yang agak sensitif tentu membuat Krishna merasa kurang nyaman, sehingga si lelaki hanya membalas ujaran si supir taksi dengan tawa kikuk dan gumaman kecil. “Iya, Pak. Makasih udah diingetin,” ucap Krishna.

“Tapi Masnya tau, nggak? Di sekitar sini pernah ada kecelakaan lumayan gede. Taksinya dari armada saya, bawa penumpang cowok gitu. Masih lumayan muda. Dua-duanya meninggal.”

Krishna sengaja berdehem dengan cukup keras. Separuh agar ia tidak mendengar penjelasan si supir taksi, separuhnya lagi agar si pembicara sadar bahwa ia tidak nyaman dengan topik pembicaraan yang sedang diangkat. Namun agaknya si supir taksi tidak menangkap gelagat tidak nyaman yang diberi oleh Krishna. Si pengemudi malah semakin sibuk menjelaskan. “Sempet jadi kabar gede di armada taksi saya, sih, Mas. Banyak yang menyayangkan juga, soalnya supir taksinya itu dikenal baik banget dan teladan gitu. Tapi yang namanya takdir, nggak bisa dilawan, ya, Mas?”

Krishna tidak memberi respon apapun. Lelaki Haliem itu malah beranjak merogoh saku tas hitam miliknya dan mengeluarkan earphone dari dalam sana. Dalam hati ia berharap si supir akan mengerti dengan sendirinya bahwa ia tidak ingin diajak berbincang mengenai hal ini.

Masih ada banyak trauma yang dipendam di dalam hati Krishna. Sesungguhnya memutuskan untuk menaiki armada taksi yang sama dengan yang ditumpangi Raesaka ketika mengalami kecelakaan dulu adalah bukan hal yang mudah bagi Krishna. Ia bahkan pernah menolak untuk menaiki armada taksi ini di awal-awal kepergian Raesaka. Setelah satu setengah tahun bertindak demikian, baru belakangan ini Krishna berupaya membiasakan diri untuk kembali menaiki armada taksi ini.

Sialnya, Krishna malah dibawa untuk mengenang hal yang sama sekali tidak ingin ia ingat. Krishna malah dipaksa untuk mendengar hal yang sangat ia benci; tentang kepergian Raesaka.

“Saya tau banget perasaan keluarganya yang ditinggalin, Mas.”

Satu kalimat dari si supir membuat Krishna menghentikan gerakan tangannya yang semula akan memasang salah satu earphonenya ke telinga. Tak urung, pandangan Krishna diarahkan ke kaca spion di dalam mobil sehingga ia sekilas bertukar pandang dengan si supir taksi. “Saya tau perasaan orang yang ditinggalin oleh para korban itu kayak gimana. Pasti mereka nyesel karena masih belum melakukan banyak hal sama orang tersayang yang jadi korban. Pasti mereka pengen banget bisa putar ulang waktu biar bisa ketemu lagi sama yang mereka sayang.”

Krishna terdiam. Pandangan si lelaki Haliem menjadi kabur karena air mata yang tiba-tiba menggenang di pelupuk matanya. Ucapan si supir taksi itu benar adanya. Krishna merasakan penyesalan bukan main karena belum sempat mengatakan cinta sejuta kali kepada Raesaka. Krishna menyesal karena tidak sempat melakukan segala hal yang selama ini kerap Raesaka minta namun tidak pernah terlaksana; entah karena Krishna yang terlalu gengsi atau karena Krishna yang terlalu sibuk.

Apapun alasannya, semua itu gara-gara Krishna.

Si supir taksi mengarahkan pandangannya ke kaca spion yang ada di dalam mobil. Ia memperhatikan Krishna yang kini menundukkan kepalanya dalam-dalam seraya menjambaki rambutnya sendiri. Tampak tidak bisa mengendalikan emosi.

“Mas,” panggil si supir taksi dengan nada bicara yang amat tenang. Krishna masih tidak mengangkat kepalanya, ia masih berupaya menenangkan diri dari segala rasa sesak yang seakan menyerang dirinya kuat-kuat. “Kalau Masnya punya kekuatan untuk kuasai waktu..”

“..apa Mas mau kembali ke masa lalu?”

Krishna merasakan nafasnya tidak bisa ia kendalikan. Terlalu cepat, namun etrasa sangat sesak. Bayang wajah Raesaka yang tersenyum ketika mereka menjalani kencan sederhana, suara tawa renyah si lelaki yang selalu bisa membuat Krishna bahagia, peluk hangat lelaki yang selalu Krishna sebut sebagai Siriusnya— semua menyerang Krishna tanpa henti.

“Apa Mas mau...temui dia lagi?”

Krishna menganggukkan kepala. Tangisnya berakhir pecah. “Saya mau balik lagi, Pak. Saya mau temui dia lagi. Saya mau perbaiki semua waktu yang terbuang percuma tanpa dia ketahui bahwa saya sayang ke dia sepenuh hati. Saya mau kembali ke masa lalu, Pak...”

Jangan sia-siakan, ya..

Awalnya, Krishna hanya sulit bernafas namun sekarang ia benar-benar tidak bisa bernafas. Sama sekali. Semua oksigen di sekeliling seakan ditarik tanpa bersisa. Krishna yang semula menundukkan kepala, tiba-tiba mengangkat kepalanya dengan panik. Seingatnya, tadi ia berada di dalam taksi yang akan membawanya ke Cikarang. Namun—kenapa sekarang ia berada dalam ruang serba putih yang seakan tiada ujungnya?

Ini di mana?


“Lho. Pak Krishna nggak naik mobil sendiri?”

Krishna memalingkan pandangan dari layar ponsel di genggaman tatkala kalimat barusan memasuki rungunya. Sekuriti bernama Dadang adalah yang barusan menyapa, sontak membuat Krishna mengulas senyum tipis dan anggukan kepala kecil. “Nggak, Pak Dadang. Saya mau ke Cikarang. Kalau nyupir sendiri keburu capek soalnya tadi abis meeting seharian, jadi mau naik taksi aja.”

“Oh, gitu 'toh. Makanya saya bingung kok tumben-tumbenan Pak Krishna naik taksi, biasanya selalu naik mobil sendiri,” balas Pak Dadang dengan tawa guyon yang bisa membuat siapapun ikut tertawa walaupun tidak ada hal yang bisa ditertawakan. “Taksinya masih lama, Pak Krishna? Kalau masih lama, duduk aja dulu di lobi. Nanti kalau udah dateng taksinya, Pak Dadang panggi—”

DDINN.

Tatkala perhatian Krishna teralih ke perbincangannya dengan Pak Dadang, satu unit mobil taksi berwarna biru berhenti tepat di depan keduanya. Jendela mobil taksi di bangku penumpang terbuka dan sosok si supir melongokkan kepala, ekspresinya ramah. “Permisi, Pak Krishna, ya? Saya taksi yang dipesan online tadi, Pak.”

Krishna mengangguk. “Iya, saya Krishna. Mari, Pak Dadang. Saya berangkat dulu, ya?” Ujaran pamit dari Krishna dibalas dengan anggukan serupa dan kalimat perpisahan, mengucapkan doa agar Krishna selamat di jalan. “Hati-hati, Pak Krishna.”

Selepas mobil taksi yang ditumpangi Krishna beranjak menghilang di tikungan, Pak Dadang berniat untuk kembali ke pos jaganya. Namun langkah si lelaki paruh baya terhenti ketika satu unit mobil taksi lainnya berhenti di depan pintu masuk kantor. “Pak. Permisi, saya mau jemput yang namanya Pak Krishna. Orangnya ngantor di sini, 'kan, ya?”

Pak Dadang mengerjapkan matanya berulang kali. “Pak Krishna? Lho, tadi dia udah dijemput taksi yang lain. Katanya dia juga nyari penumpang yang namanya Krishna. Mungkin Mas carinya Krishna di kantor lain, kali.”

Si supir taksi menggeleng cepat kemudian menyerahkan ponselnya kepada Pak Dadang, berupaya memperlihatkan bukti bahwa ia tidak salah jemput. “Ini titik penjemputannya di kantor Hyundae terus nama penumpangnya itu Krishna Putra Haliem.” Lagi, Pak Dadang tidak bisa melakukan apapun selain mengerjapkan mata dan menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal.

Jika taksi ini memang menjemput Krishna, lalu tadi Krishna menaiki taksi apa?!

Saka bilang, dia mau beli cincin yang desainnya sama dengan yang gue dan Rendra pakai sewaktu nikah kemarin, Kak. Dia bilang, besar harapan dia supaya kisah cinta dia berakhir sama kayak kami. Kayak gue dan Rendra.

Kak Krishna, lo inget kenapa kemarin pas gue ngechat lo buat ngabarin soal nikahan gue sama Dewa, gue sempet kayak curiga dan ngedesak soal hubungan lo sama Saka? Itu karena Saka udah jujur ke kami, Kak.

Dia sendiri yang bilang bahwa kalian pacaran.

Krishna memandangi kotak cincin berwarna merah yang sedari tadi ia genggam erat-erat. Kotak itu dibawa jauh-jauh dari Kanada oleh Tarendra dan Nakuladewa, semata-mata untuk menyampaikan pesan yang pernah ditinggalkan oleh Raesaka yang sudah berpulang selamanya.

Rangkaian bunga berisi penyampaian rasa duka cita terpajang di depan pagar menuju pintu masuk kediaman rumah Raesaka di Jakarta. Krishna merasa semakin sakit hati karena semua rangkaian bunga itu membuat dirinya menyadari bahwa sosok lelaki itu sudah tidak bisa lagi berada di sampingnya. Suara lantunan ayat suci terdengar dari dalam rumah sehingga menjadikan Krishna lebih memilih untuk duduk diam di bangku plastik berwarna merah yang ada di bawah tenda terpasang di depan rumah.

Rumah yang seluruh pemiliknya sudah berpulang ke pelukan sang Pencipta.

Ibu, Ayah, dan Raesaka. Ketiganya sudah berkumpul di surga yang terindah, kali ini bersama— bertiga. Dalam hati, Krishna terus membayangkan akan sebagaimana bahagianya Raesaka saat ini karena bisa berjumpa dengan sang Ibunda yang sudah lama ia rindukan. Ibunda yang sedari kecil tidak pernah bisa ia rasakan hangat pelukannya, kini bisa ia rengkuh kehangatannya— bahkan untuk selamanya tanpa tiada lagi yang bisa memisahkan.

Seulas senyum tipis terukir di bibir Krishna sementara tangannya masih menimang-nimang kotak cincin berwarna merah yang diberikan oleh Nakuladewa tadi. Semenjak menerima kotak itu, Krishna belum melihat apa yang ada di dalamnya.

Oh, isinya sudah pasti adalah cincin namun bentuknya bagaimana— Krishna belum sempat memeriksanya. Atau, Krishna belum siap untuk melihatnya?

Setelah menimbang untuk beberapa lama, akhirnya Krishna memberanikan diri untuk membuka kotak cincin di genggaman. Seusainya, Krishna merasa ingin mengutuk dirinya sendiri. Tatkala kotak cincin itu dibuka, dua cincin berwarna perak segera menyambut pandangannya. Tidak ada motif atau hiasan berlian, hanya cincin berwarna perak dengan garis hitam yang mengelilingi di bagian atas dan bawahnya.

Dengan tangan gemetar, Krishna meraih salah satu cincin yang ada di dalam kotak. Krishna mengira, hatinya sudah cukup dibuat sakit dengan kenyataan bahwa Raesaka membuatkan cincin untuk mereka berdua. Rupanya Raesaka memiliki caranya sendiri untuk membuat dada Krishna semakin sesak.

Krishna kira, cincin yang ada di dalam kotak itu polos— tanpa desain apapun, hanya berwarna perak saja. Namun ketika cincin itu berpindah dari dalam kotak ke genggaman tangannya, Krishna baru menyadari bahwa di salah satu bagian cincin yang ia pegang— ada ukiran yang menggambarkan arah mata angin serta bagian dalam lingkaran cincin yang diukiri kalimat mine, Krishna. Satu cincin yang lain, digambari bintang dengan bagian dalam lingkaran cincin yang diukir dengan manis. Yours, Raesaka.

Arah mata angin, menggambarkan kompas. Bintang, menggambarkan Sirius.

Lagi, Krishna menangis. Dalam-dalam, diam-diam.

Krishna mendengar suara denging panjang, entah dari mana asalnya. Padahal hingga beberapa detik lalu, ia masih bisa mendengar suara milik atasannya yang sedang menjelaskan beberapa plan untuk menambah pasar baru di kawasan lokal Indonesia.

Hingga beberapa detik lalu, semuanya baik-baik saja.

Akan tetapi pada saat ini, semuanya tampak gelap di hadapan Krishna. Kepalanya terasa pusing bukan main, dunianya seperti berputar tidak karuan. Semakin atasannya mengeluarkan suara, yang masuk ke dalam rungu Krishna hanyalah suara denging yang memekakkan telinga.

Krish.” “Krishna?”

Krishna tidak tahu bagaimana fisiknya memberi respon atas syaraf di dalam diri saat ini. Telinganya jelas-jelas mendengar suara panggilan dari beberapa rekan kerja yang duduk di samping namun Krishna tidak bisa menolehkan kepala atau sekedar untuk membuka mulut guna memberi balasan singkat. Tubuh Krishna seakan kaku; mati rasa.

Krishna, hei. Kamu nggak apa-apa?“ “Krishna, kamu kenapa nangis?

Krishna tidak menyadari hingga salah seorang kawannya membuka suara dan meraih lengan si lelaki Haliem. Tangan si kawan meraih dan menggoyang-goyangkan lengan Krishna yang tak urung membuat lelaki Haliem tersadar dari lamunannya. Hal yang paling pertama disadari oleh Krishna adalah satu; ia merasakan pelupuk matanya memanas. Air mata mengalir tanpa dirinya sadari sedikitpun.

Dadanya sesak, bukan main.

“Pak..” Dengan gerak yang amat perlahan dan lemah, Krishna bangkit dari bangkunya dan menopang tubuh dengan kedua tangan yang ditumpukan ke meja rapat. “Saya mohon izin..”

“Saya harus pergi sekarang juga.”


Jalanan Jakarta tidak pernah membuat Krishna semuak ini.

Krishna muak kepada seluruh pengguna kendaraan yang seenaknya memotong jalan. Krishna muak kepada semuanya yang membuat kemacetan total di jalan tol dari arah Jakarta menuju Cikarang hingga membuat mobil taksi yang ditumpangi olehnya tidak dapat bergerak maju sedikitpun.

“Ini mungkin macet karena lagi ngeberesin bekas kecelakaan tadi pagi, Pak. Tadi sempet ada taksi kami yang kecelakaan lumayan parah di sekitaran sini.” Sungguh, penjelasan dari supir taksi di bangku depan itu sama sekali tidak diperlukan oleh Krishna. Tanpa perlu dijelaskan, ia sudah tahu bahwa di sekitar sini pernah terjadi kecelakaan. Bahkan tanpa perlu diberitahu, Krishna sudah tahu siapa yang menjadi korban dari kecelakaan itu.

Kekasihnya, Raesaka.

Sepanjang perjalanan di dalam mobil taksi, Krishna tidak henti-hentinya menelefon Tania yang sudah lebih dulu berada di Rumah Sakit. Kakak sepupu Raesaka itu sudah berdomisili di daerah Kemang Jaya, Bekasi, semenjak beberapa tahun yang lalu sehingga memudahkannya untuk mengakses jalan lebih cepat ke Cikarang. Sementara Krishna, ia harus menempuh jarak cukup jauh agar bisa tiba di Rumah Sakit di mana Saka dirawat saat ini.

“Dia masih sadar tapi, 'kan, Tan?” Krishna bisa merasa bahwa suara dan tangannya yang sedang memegangi ponsel gemetaran bukan main. Bahkan sekarang untuk mengurangi kegugupannya Krishna malah menggigiti kuku jemarinya, sebuah kebiasaan yang sejujurnya sudah ia tinggalkan semenjak beberapa tahun yang lalu. “Dia... masih hidup, 'kan, Tania?”

Rungu Krishna berkerja keras untuk menyampaikan segala yang ia dengar ke otaknya sebab suara dan penjelasan yang diberi oleh Tania tidak tersampaikan dengan jelas. Tania sama histerisnya dengan Krishna. Ia menangis dan berbicara dengan nada tersedu-sedu; tidak jelas mana awal dan akhirannya.

Hingga akhirnya, suara Tania berganti menjadi suara berat khas laki-laki. “Halo, Krish? Ini Tommy. Tania kayaknya nggak bisa jelasin dengan tenang, lo bisa tanya ke gue aja.” Krishna sedikit merasa lega karena suami Tania, Tommy, tampaknya lebih bisa menguasai emosi dibanding si istri.

“Saka gimana, Tom? Dia masih sadar, 'kan?”

“Saka dibawa ke Rumah Sakit dalam kondisi udah kehilangan banyak darah, Krish. Awalnya Saka dibawa ke IGD tapi karena histori hemofilia yang dia punya, akhirnya dipindah ke ICU. Gue masih belum ketemu dokternya karena dia masih ada di dalem, ngurusin Saka.”

Krishna menggigiti bibir bawahnya kuat-kuat. Ia tidak mau menjerit histeris di dalam taksi walaupun sumpah demi apapun, dirinya ingin sekali menyerukan semua kesedihannya saat ini. “Tapi dia... masih bisa hidup, 'kan, Tom?”

“Dokter bilang peluang Saka buat hidup tetap tinggi, 'kan, Tom?”

Krishna belum sempat menyampaikan semua rasa sayangnya kepada Raesaka. Krishna bahkan belum sempat mengucapkan selamat untuk hari jadi mereka. Krishna belum memeluk Raesaka erat-erat. Krishna belum mengucap terima kasih kepada Raesaka karena sudah bersedia sabar untuk menghadapi dirinya selama ini.

“Masih bisa hidup, 'kan, Tom?”

Krishna mengulangi ucapannya berkali-kali karena tak kunjung mendapat jawaban dari Tommy di seberang sana. Alih-alih mendengar jawaban Tommy, Krishna malah mendengar raungan tangis Tania yang samar bisa ditangkap oleh rungu. Krishna merasakan jantungnya berdebar tidak karuan. Pikirannya membuat berbagai macam skenario.

Bodohnya, skenario yang dibuat dalam pikiran Krishna adalah segala hal yang baik. Otak Krishna membuat cerita bagaimana tangisan Tania barusan adalah teriakan senang dan bahagia karena Raesaka bisa sadar dan lukanya tidak terlalu parah. Atau skenario lainnya, bahwa Tania sekarang sedang memeluk Raesaka yang keluar dari ruang ICU dengan kakinya sendiri; dalam kondisi sehat.

Bodohnya, Krishna tidak bisa mengendalikan otaknya yang seakan menolak untuk membuat segala skenario terburuk. Tololnya, Krishna malah membuat harapan kosong yang logikanya sendiri tidak percayai.

Semestinya Krishna membuat segala kemungkinan terburuk agar hatinya sudah siap jika nanti Tommy berujar—

“Saka... udah nggak ada, Krish...”

—tidak. Ujaran Tommy barusan bukan pengandaian.

Ujaran Tommy yang barusan Krishna dengar dari speaker handphonenya dan suara raung tangisan Tania yang terus menyerukan nama Raesaka di ujung sana, semua bukanlah pengandaian atau sekedar angan dari skenario yang diciptakan oleh Krishna.

Semua nyata adanya. Raesaka, telah tiada.