July, 2031. SCBD, Jakarta Selatan.
“Kita bisa ketemu sebentar, 'kan?”
“Saka, please. Aku masih banyak kerjaan.”
“Aku lagi dalam perjalanan ke kantor kamu. Sebentar aja, aku nggak akan minta waktu kamu banyak-banyak. Serius, kasih aku waktu setengah jam aja. Bisa, 'kan?”
“Oh, c'mon! Setengah jam itu bisa kupakai waktunya buat selesaiin draft project yang lagi aku kerjain. Nanti aja kita ketemu di apartemen, okay? Mungkin besok aku bisa pulang ke apartemen, kamu tunggu aja di sana. Bisa jadi hari ini aku bakal stay di kantor. Aku sekarang lagi agak sibu— Ya, Pak? Bisa, Pak! Bisa saya kerjakan semuanya. Kalau Bapak butuh bantuan lainnya bisa beri ke saya saj—”
TUUUT. TUUUT.
Raesaka menghela nafas panjang-panjang sebelum mengembuskannya dalam satu dengusan pendek. Siapapun yang melihat tingkah si Tuan pasti dapat menebak bahwa lelaki berkulit kecoklatan yang duduk di bangku penumpang milik perusahaan taksi ternama di Indonesia itu sedang jengkel bukan main. Suara panggilan telefon yang diputuskan oleh pihak di seberang sana mungkin adalah salah satu penyebabnya.
Panggilan yang diputuskan oleh Krishna adalah penyebab kekesalannya.
Suara klakson yang dibunyikan panjang-panjang oleh supir taksi yang ditumpangi pun semakin membuat kepala Raesaka pusing bukan main. Pandangan si lelaki yang semula ditujukan ke layar ponsel kini dialihkan ke arah depan, memandangi situasi kemacetan kota Jakarta yang seakan tidak pernah mati. Manik hitam si lelaki berganti fokus ke arloji di pergelangan tangan kanan; pukul setengah lima sore, ditambah akhir pekan, rasanya semua seakan menjadi perpaduan mematikan bagi setiap pengguna jalan. Macet total.
“Selalu macet, ya, Pak.” Raesaka mencoba berbasa-basi dengan si supir taksi yang ditumpangi. Dari kaca spion bagian dalam, si supir taksi balas memandangi Raesaka dan mengulas senyum ramah. “Iya, Mas. Memang kalau hari Jum'at terus jam pulang kerja begini selalu aja macet. Namanya juga weekend, yo, Mas.”
Raesaka sempat mengangkat sebelah alisnya tatkala mendengar logat bicara si supir taksi yang terdengar tidak asing di rungu. “Pak, ngapunten— dari Jogja bukan, ya, Pak?“, tanya Raesaka dengan hati-hati agar tidak menyinggung yang ditanyai. “Logatnya Bapak kayak orang Jogja.”
Sekejap, pandangan si supir taksi segera berbinar cerah. “Iya, Mas! Saya asli Jogja. Masnya juga orang Jogja, po?” Si supir taksi tampak antusias sementara Raesaka hanya membalas dengan memberi senyum simpul. Butuh beberapa detik bagi Raesaka untuk membuka suara karena si supir sempat membuat perbincangan baru dalam bahasa Jawa, yang mana— sempat membuat Raesaka pusing sebab sudah tidak begitu fasih berbincang dalam bahasa itu.
“Saya dulu ngampusnya di UGAMA, Pak. Tapi udah lupa bahasa Jawa soalnya semenjak lulus dari UGAMA, hampir tiga tahun lebih saya habisin kuliah lagi di Korea— jadinya ini kepala udah kecampur bahasanya. Ngapunteun, ya, Pak.”
Jawaban Raesaka dibalas dengan gumaman kagum dari si lawan bicara. “Wih. Keren, yo, Masnya bisa kuliah di Korea. Ini udah pulang ke Indonesia berarti, ya, Mas? Baru pulang?”
“Nggak, Pak. Ini tahun ketiga saya di Indonesia semenjak pulang dari Korea. Sekarang saya kerja di perusahaan yang sama kayak merek handphonenya Bapak.” Ujaran Raesaka segera membuat si supir taksi menurunkan pandangan untuk memperhatikan ponsel miliknya sendiri. “Waaaah, mantap banget, Masnya. Berarti kerja di pabrik SUMSANG yang bikin hape ini, ya? Pabriknya di Jakarta, po?”
“Cikarang, Pak.”
“Lho, pabriknya di Cikarang tapi kok malah ke Jakarta begini? Lumayan jauh, 'kan? Mau main ke mall, Masnya?” Sontak, Raesaka membalas dengan kekehan kecil dan gelengan kepala. “Nggak, Pak. Saya mau ketemu sama pacar saya. Dia kerja di sini, Jakarta. HYUNDAE.”
“Waduh, keren banget itu. Masnya di SUMSANG, pacarnya di HYUNDAE.”
Kalimat si supir tak urung membuat hati Raesaka menjadi sedikit merasa terhibur. Ia teringat tatkala dirinya dan Krishna berpelukan erat dan bergembira bersama karena mendapat pemberitahuan diterima di dua perusahaan besar milik Korea Selatan. Walaupun ya, menit setelahnya, Raesaka dan Krishna segera murung sebab menyadari bahwa mereka berdua harus berpisah akibat tempat bertugas yang berbeda kota.
Awalnya, baik Raesaka dan Krishna menganggap semuanya akan baik-baik saja. Toh' mereka sudah menghabiskan masa lumayan lama untuk tinggal bersama-sama. Kuliah di UGAMA hingga keduanya lulus, kemudian menghabiskan masa tiga tahun di Korea Selatan demi mendapat gelar Master di bidang Teknik bersama-sama pula. Tujuh tahun, lebih. Selama itu mereka bersama.
Maka awalnya, Raesaka dan Krishna menganggap ini adalah waktu yang tepat untuk kembali melatih sisi mandiri mereka berdua. Maka pada akhirnya, Krishna dan Raesaka memilih untuk mengiyakan penawaran kerja di kedua perusahaan ternama itu. Raesaka di Cikarang, Krishna di Jakarta.
Satu tahun, semua berjalan sesuai dengan yang Raesaka perkirakan. Walaupun jarak lumayan membentang, Raesaka selalu mengusahakan untuk mengirimkan pesan kepada Krishna. Raesaka selalu berusaha menyediakan waktu untuk menelefon kala pagi sebelum mereka berangkat kerja juga sebelum keduanya terlelap.
Krishna? Entahlah. Krishna memang tidak pernah bersikap seakan ia tidak suka dengan sikap Raesaka. Selama hampir sepuluh tahun keduanya menjalin kasih, Krishna memang selalu begitu. Krishna akan lebih berada di pihak pasif, memberi perhatian secara diam-diam dan tidak bersikap seperti Raesaka yang sangat aktif serta menunjukkan afeksinya secara terang-terangan.
Sepuluh tahun, selalu berlalu seperti begitu.
Raesaka tahu dan sangat paham bahwa mungkin itu adalah salah satu cara Krishna untuk memperlihatkan rasa sayangnya. Sepuluh tahun mengenal Krishna dan menjalin hubungan sebagai kekasih, Raesaka mengerti bahwa ia tidak boleh berharap banyak kepada Krishna karena kekasihnya itu lebih mengutamakan logika dibanding hati. Berbanding terbalik dengan Raesaka yang kerapkali lebih dikuasai emosi sentimen.
“Berarti arah kita ini ke HYUNDAE, ya, Mas? Tadi Masnya bilang mau ke Apartemen District 8. Itu agak sedikit jauh dari HYUNDAE walaupun masih sama di daerah SCBD. Kalau Mas memang mau ketemu pacarnya duluan, saya arahin ke HYUNDAE aja, gimana?”
Pertanyaan si supir taksi dibalas dengan gelengan kepala Raesaka. Senyum tipis terulas di bibir si lelaki; membuat wajahnya yang sudah tampan jadi semakin mempesona saja. “Nggak, Pak. Jangan ke HYUNDAE, tetap aja ke apartemen yang saya bilang tadi, ya.”
Dalam hati, Raesaka bersyukur si supir taksi bukanlah tipikal yang serba ingin tahu dengan menanyakan alasan ujarannya barusan. Si lawan bicara hanya mengangguk, tanda mengiyakan ujaran Raesaka tanpa menanyakan hal lainnya. Bisa jadi, mungkin si supir taksi menangkap ekspresi murung Raesaka tatkala pandangannya tidak sengaja memandang kotak berwarna hijau tosca yang diletakkan di samping tempat duduk penumpang.
Di dalam kotak berwarna hijau tosca itu ada kue tart yang sudah dipersiapkan oleh Raesaka dari Cikarang; sengaja ia pesan dan bawa untuk diberikan kepada Krishna.
Kepada kekasih tersayang di hari jadi kesepuluh tahunnya mereka.
Namun, tampaknya Krishna benar-benar lupa bahwa hari ini adalah tanggal jadi mereka berdua. Semenjak pagi, Krishna tidak menghubungi untuk mengucapkan apapun. Jangankan mengucapkan selamat, bahkan ketika Raesaka mengatakan ia sudah dalam perjalanan menuju kantornya— Krishna tampak tidak mengindahkan.
Krishna tampak terganggu.
Tentu, Raesaka paham dengan jelas bahwa semua ini adalah tindak profesionalisme dalam berkerja. Akan tetapi, Raesaka bahkan nekad meminta izin dari atasannya yang dikenal sebagai orang Korea paling galak hanya agar ia bisa pulang lebih cepat dan mendatangi kantor Krishna sebelum jam kepulangannya.
Raesaka sudah melakukan sebanyak ini namun Krishna sama sekali tak peduli.
Pandangan si Tuan kini tertuju ke arah jalan raya yang dibelah oleh mobil taksi yang ditumpangi. Tangan kanan menopang dagu, memandangi barisan sepeda motor yang berdesakan ingin mencari celah agar bisa menjadi yang paling pertama di baris penantian lampu merah berganti ke lampu hijau. Beberapa kali pula Raesaka melihat banyak penjaja koran menghampiri mobil taksinya, menawarkan eksemplar koran yang mungkin sudah hampir tidak laku karena hari sudah menjelang petang.
Dalam hati, Raesaka mengutuk dirinya sendiri yang tidak membeli apapun dari mereka yang menjajakan dagangannya. Di usia yang menginjak kepala tiga, Raesaka seakan semakin sudah dibuat lupa untuk mendengarkan suara hatinya. Jika saja pemandangan saat ini dilihat oleh Raesaka di usia dua puluhan, pasti ia sudah mengeluarkan dompet untuk membeli semua surat kabar yang dijajakan karena tidak tega melihat mereka yang kesusahan.
Namun di usia tiga puluh seperti saat ini, Raesaka hanya mengibaskan tangannya; memberi tanda bahwa ia tidak berniat membeli walaupun si penjual memasang ekspresi memelas.
Sungguh, Raesaka membenci dirinya sendiri yang begini.
“Mas. Boleh saya gedein volume radionya, nggak, ya? Ini lagu kesukaan saya pas jaman dulu.” Di tengah lamunan Raesaka, si supir taksi memecah keheningan. Sontak, Raesaka mengalihkan pandangannya dari jendela mobil kemudian berupaya mendapatkan kembali fokusnya. “Oh. Gimana, Pak? Maaf, saya ngelamun tadi.”
“Ini, Mas. Ada lagunya Judika, saya suka lagunya. Boleh saya gedein, nggak, ya? Kalau Masnya ngerasa keganggu, nggak apa-apa.”
“Ohh,” Raesaka tertawa kecil. “Nggak apa-apa, Pak. Silahkan. Saya juga agak penging ini kupingnya dari tadi dengerin suara klakson terus,” kelakar si lelaki. Gayung bersambut, si supir taksi memutar tombol volume di radio mobil. Merasa bahwa lawan bicaranya tidak akan lagi membuka perbincangan, Raesaka kini kembali mengarahkan pandangannya ke jalanan di samping.
“Ini saya dulu seneng banget dengerin lagu ini, lho, Mas,” celetuk si supir taksi ketika lagu yang dinyanyikan oleh Judika berkumandang dari radio. “Putus Atau Terus, judulnya.”
Raesaka terlalu terbuai dalam lamunannya sendiri hingga tidak sempat menyahuti ujaran si supir taksi. Anehnya, lirik lagu yang dinyanyikan Judika seakan masuk ke dalam rungu; kemudian merasuk ke hati. Memberi tanya yang Raesaka sendiri tidak tahu apa jawabannya yang pasti.
Coba tanyakan lagi pada hatimu, apa sebaiknya kita putus atau terus... Kita sedang mempertahankan hubungan atau hanya sekedar menunda perpisahan..
Raesaka mendengus lalu tertawa miris. Sepertinya perjalanannya ke Jakarta ini, sia-sia.