dontlockhimup

July, 2031. SCBD, Jakarta Selatan.

“Kita bisa ketemu sebentar, 'kan?”

“Saka, please. Aku masih banyak kerjaan.”

“Aku lagi dalam perjalanan ke kantor kamu. Sebentar aja, aku nggak akan minta waktu kamu banyak-banyak. Serius, kasih aku waktu setengah jam aja. Bisa, 'kan?”

“Oh, c'mon! Setengah jam itu bisa kupakai waktunya buat selesaiin draft project yang lagi aku kerjain. Nanti aja kita ketemu di apartemen, okay? Mungkin besok aku bisa pulang ke apartemen, kamu tunggu aja di sana. Bisa jadi hari ini aku bakal stay di kantor. Aku sekarang lagi agak sibu— Ya, Pak? Bisa, Pak! Bisa saya kerjakan semuanya. Kalau Bapak butuh bantuan lainnya bisa beri ke saya saj—”

TUUUT. TUUUT.

Raesaka menghela nafas panjang-panjang sebelum mengembuskannya dalam satu dengusan pendek. Siapapun yang melihat tingkah si Tuan pasti dapat menebak bahwa lelaki berkulit kecoklatan yang duduk di bangku penumpang milik perusahaan taksi ternama di Indonesia itu sedang jengkel bukan main. Suara panggilan telefon yang diputuskan oleh pihak di seberang sana mungkin adalah salah satu penyebabnya.

Panggilan yang diputuskan oleh Krishna adalah penyebab kekesalannya.

Suara klakson yang dibunyikan panjang-panjang oleh supir taksi yang ditumpangi pun semakin membuat kepala Raesaka pusing bukan main. Pandangan si lelaki yang semula ditujukan ke layar ponsel kini dialihkan ke arah depan, memandangi situasi kemacetan kota Jakarta yang seakan tidak pernah mati. Manik hitam si lelaki berganti fokus ke arloji di pergelangan tangan kanan; pukul setengah lima sore, ditambah akhir pekan, rasanya semua seakan menjadi perpaduan mematikan bagi setiap pengguna jalan. Macet total.

“Selalu macet, ya, Pak.” Raesaka mencoba berbasa-basi dengan si supir taksi yang ditumpangi. Dari kaca spion bagian dalam, si supir taksi balas memandangi Raesaka dan mengulas senyum ramah. “Iya, Mas. Memang kalau hari Jum'at terus jam pulang kerja begini selalu aja macet. Namanya juga weekend, yo, Mas.”

Raesaka sempat mengangkat sebelah alisnya tatkala mendengar logat bicara si supir taksi yang terdengar tidak asing di rungu. “Pak, ngapunten— dari Jogja bukan, ya, Pak?“, tanya Raesaka dengan hati-hati agar tidak menyinggung yang ditanyai. “Logatnya Bapak kayak orang Jogja.”

Sekejap, pandangan si supir taksi segera berbinar cerah. “Iya, Mas! Saya asli Jogja. Masnya juga orang Jogja, po?” Si supir taksi tampak antusias sementara Raesaka hanya membalas dengan memberi senyum simpul. Butuh beberapa detik bagi Raesaka untuk membuka suara karena si supir sempat membuat perbincangan baru dalam bahasa Jawa, yang mana— sempat membuat Raesaka pusing sebab sudah tidak begitu fasih berbincang dalam bahasa itu.

“Saya dulu ngampusnya di UGAMA, Pak. Tapi udah lupa bahasa Jawa soalnya semenjak lulus dari UGAMA, hampir tiga tahun lebih saya habisin kuliah lagi di Korea— jadinya ini kepala udah kecampur bahasanya. Ngapunteun, ya, Pak.”

Jawaban Raesaka dibalas dengan gumaman kagum dari si lawan bicara. “Wih. Keren, yo, Masnya bisa kuliah di Korea. Ini udah pulang ke Indonesia berarti, ya, Mas? Baru pulang?”

“Nggak, Pak. Ini tahun ketiga saya di Indonesia semenjak pulang dari Korea. Sekarang saya kerja di perusahaan yang sama kayak merek handphonenya Bapak.” Ujaran Raesaka segera membuat si supir taksi menurunkan pandangan untuk memperhatikan ponsel miliknya sendiri. “Waaaah, mantap banget, Masnya. Berarti kerja di pabrik SUMSANG yang bikin hape ini, ya? Pabriknya di Jakarta, po?”

“Cikarang, Pak.”

“Lho, pabriknya di Cikarang tapi kok malah ke Jakarta begini? Lumayan jauh, 'kan? Mau main ke mall, Masnya?” Sontak, Raesaka membalas dengan kekehan kecil dan gelengan kepala. “Nggak, Pak. Saya mau ketemu sama pacar saya. Dia kerja di sini, Jakarta. HYUNDAE.”

“Waduh, keren banget itu. Masnya di SUMSANG, pacarnya di HYUNDAE.”

Kalimat si supir tak urung membuat hati Raesaka menjadi sedikit merasa terhibur. Ia teringat tatkala dirinya dan Krishna berpelukan erat dan bergembira bersama karena mendapat pemberitahuan diterima di dua perusahaan besar milik Korea Selatan. Walaupun ya, menit setelahnya, Raesaka dan Krishna segera murung sebab menyadari bahwa mereka berdua harus berpisah akibat tempat bertugas yang berbeda kota.

Awalnya, baik Raesaka dan Krishna menganggap semuanya akan baik-baik saja. Toh' mereka sudah menghabiskan masa lumayan lama untuk tinggal bersama-sama. Kuliah di UGAMA hingga keduanya lulus, kemudian menghabiskan masa tiga tahun di Korea Selatan demi mendapat gelar Master di bidang Teknik bersama-sama pula. Tujuh tahun, lebih. Selama itu mereka bersama.

Maka awalnya, Raesaka dan Krishna menganggap ini adalah waktu yang tepat untuk kembali melatih sisi mandiri mereka berdua. Maka pada akhirnya, Krishna dan Raesaka memilih untuk mengiyakan penawaran kerja di kedua perusahaan ternama itu. Raesaka di Cikarang, Krishna di Jakarta.

Satu tahun, semua berjalan sesuai dengan yang Raesaka perkirakan. Walaupun jarak lumayan membentang, Raesaka selalu mengusahakan untuk mengirimkan pesan kepada Krishna. Raesaka selalu berusaha menyediakan waktu untuk menelefon kala pagi sebelum mereka berangkat kerja juga sebelum keduanya terlelap.

Krishna? Entahlah. Krishna memang tidak pernah bersikap seakan ia tidak suka dengan sikap Raesaka. Selama hampir sepuluh tahun keduanya menjalin kasih, Krishna memang selalu begitu. Krishna akan lebih berada di pihak pasif, memberi perhatian secara diam-diam dan tidak bersikap seperti Raesaka yang sangat aktif serta menunjukkan afeksinya secara terang-terangan.

Sepuluh tahun, selalu berlalu seperti begitu.

Raesaka tahu dan sangat paham bahwa mungkin itu adalah salah satu cara Krishna untuk memperlihatkan rasa sayangnya. Sepuluh tahun mengenal Krishna dan menjalin hubungan sebagai kekasih, Raesaka mengerti bahwa ia tidak boleh berharap banyak kepada Krishna karena kekasihnya itu lebih mengutamakan logika dibanding hati. Berbanding terbalik dengan Raesaka yang kerapkali lebih dikuasai emosi sentimen.

“Berarti arah kita ini ke HYUNDAE, ya, Mas? Tadi Masnya bilang mau ke Apartemen District 8. Itu agak sedikit jauh dari HYUNDAE walaupun masih sama di daerah SCBD. Kalau Mas memang mau ketemu pacarnya duluan, saya arahin ke HYUNDAE aja, gimana?”

Pertanyaan si supir taksi dibalas dengan gelengan kepala Raesaka. Senyum tipis terulas di bibir si lelaki; membuat wajahnya yang sudah tampan jadi semakin mempesona saja. “Nggak, Pak. Jangan ke HYUNDAE, tetap aja ke apartemen yang saya bilang tadi, ya.”

Dalam hati, Raesaka bersyukur si supir taksi bukanlah tipikal yang serba ingin tahu dengan menanyakan alasan ujarannya barusan. Si lawan bicara hanya mengangguk, tanda mengiyakan ujaran Raesaka tanpa menanyakan hal lainnya. Bisa jadi, mungkin si supir taksi menangkap ekspresi murung Raesaka tatkala pandangannya tidak sengaja memandang kotak berwarna hijau tosca yang diletakkan di samping tempat duduk penumpang.

Di dalam kotak berwarna hijau tosca itu ada kue tart yang sudah dipersiapkan oleh Raesaka dari Cikarang; sengaja ia pesan dan bawa untuk diberikan kepada Krishna.

Kepada kekasih tersayang di hari jadi kesepuluh tahunnya mereka.

Namun, tampaknya Krishna benar-benar lupa bahwa hari ini adalah tanggal jadi mereka berdua. Semenjak pagi, Krishna tidak menghubungi untuk mengucapkan apapun. Jangankan mengucapkan selamat, bahkan ketika Raesaka mengatakan ia sudah dalam perjalanan menuju kantornya— Krishna tampak tidak mengindahkan.

Krishna tampak terganggu.

Tentu, Raesaka paham dengan jelas bahwa semua ini adalah tindak profesionalisme dalam berkerja. Akan tetapi, Raesaka bahkan nekad meminta izin dari atasannya yang dikenal sebagai orang Korea paling galak hanya agar ia bisa pulang lebih cepat dan mendatangi kantor Krishna sebelum jam kepulangannya.

Raesaka sudah melakukan sebanyak ini namun Krishna sama sekali tak peduli.

Pandangan si Tuan kini tertuju ke arah jalan raya yang dibelah oleh mobil taksi yang ditumpangi. Tangan kanan menopang dagu, memandangi barisan sepeda motor yang berdesakan ingin mencari celah agar bisa menjadi yang paling pertama di baris penantian lampu merah berganti ke lampu hijau. Beberapa kali pula Raesaka melihat banyak penjaja koran menghampiri mobil taksinya, menawarkan eksemplar koran yang mungkin sudah hampir tidak laku karena hari sudah menjelang petang.

Dalam hati, Raesaka mengutuk dirinya sendiri yang tidak membeli apapun dari mereka yang menjajakan dagangannya. Di usia yang menginjak kepala tiga, Raesaka seakan semakin sudah dibuat lupa untuk mendengarkan suara hatinya. Jika saja pemandangan saat ini dilihat oleh Raesaka di usia dua puluhan, pasti ia sudah mengeluarkan dompet untuk membeli semua surat kabar yang dijajakan karena tidak tega melihat mereka yang kesusahan.

Namun di usia tiga puluh seperti saat ini, Raesaka hanya mengibaskan tangannya; memberi tanda bahwa ia tidak berniat membeli walaupun si penjual memasang ekspresi memelas.

Sungguh, Raesaka membenci dirinya sendiri yang begini.

“Mas. Boleh saya gedein volume radionya, nggak, ya? Ini lagu kesukaan saya pas jaman dulu.” Di tengah lamunan Raesaka, si supir taksi memecah keheningan. Sontak, Raesaka mengalihkan pandangannya dari jendela mobil kemudian berupaya mendapatkan kembali fokusnya. “Oh. Gimana, Pak? Maaf, saya ngelamun tadi.”

“Ini, Mas. Ada lagunya Judika, saya suka lagunya. Boleh saya gedein, nggak, ya? Kalau Masnya ngerasa keganggu, nggak apa-apa.”

“Ohh,” Raesaka tertawa kecil. “Nggak apa-apa, Pak. Silahkan. Saya juga agak penging ini kupingnya dari tadi dengerin suara klakson terus,” kelakar si lelaki. Gayung bersambut, si supir taksi memutar tombol volume di radio mobil. Merasa bahwa lawan bicaranya tidak akan lagi membuka perbincangan, Raesaka kini kembali mengarahkan pandangannya ke jalanan di samping.

“Ini saya dulu seneng banget dengerin lagu ini, lho, Mas,” celetuk si supir taksi ketika lagu yang dinyanyikan oleh Judika berkumandang dari radio. “Putus Atau Terus, judulnya.”

Raesaka terlalu terbuai dalam lamunannya sendiri hingga tidak sempat menyahuti ujaran si supir taksi. Anehnya, lirik lagu yang dinyanyikan Judika seakan masuk ke dalam rungu; kemudian merasuk ke hati. Memberi tanya yang Raesaka sendiri tidak tahu apa jawabannya yang pasti.

Coba tanyakan lagi pada hatimu, apa sebaiknya kita putus atau terus... Kita sedang mempertahankan hubungan atau hanya sekedar menunda perpisahan..

Raesaka mendengus lalu tertawa miris. Sepertinya perjalanannya ke Jakarta ini, sia-sia.

“Kak...”

Raesaka melongokkan kepalanya ke dalam kamar tidur yang biasanya ditempati oleh dirinya dan Krishna. Tubuh si lelaki berkulit kecoklatan terbalut selimut yang disampirkan ke atas kepala dengan kedua tangan yang mengeratkan selimutnya ke tubuh. Manusia selimut. “Kak Krishna?”

Krishna duduk di bangku menghadap meja belajar yang ada di dalam kamar tidur. Lampu belajar menyala, memberi cahaya penerangan walau tidak begitu berpijar karena lampu utama di dalam kamar tidak dinyalakan. Tidak ada jawaban yang diberi oleh si yang lebih tua, hanya terdengar suara ketukan spidol snowman seharga seribu-lima-ratus dalam ritme yang berantakan. Sangat lantang di dalam ruangan yang sunyi ini.

Raesaka meneguk air liurnya, benar-benar merasa gugup. Krishna nampak seperti seseorang yang bisa menerkam siapapun kemudian menelannya bulat-bulat. Menyeramkan, sungguh.

“Kak Krishna, saya boleh masuk?”

Namun Raesaka sudah bertekad bulat. Ia harus menghibur kekasihnya itu dan tidak membiarkannya tertidur dalam perasaan yang kacau balau. Ya, penyebab dari Krishna yang berantakan seperti itu adalah akibat tindak dosen pembimbing skripsi yang ditemuinya sore hari tadi.

Raesaka tahu Krishna sudah berangkat pagi-pagi sekali dengan membawa dua jilid skripsinya yang sudah direvisi sekuat tenaga dan susah payah. Raesaka tahu sekeras apa upaya si kekasih untuk menyelesaikan kewajibannya karena terkadang ia melihat si kekasih duduk di bangku belajar dengan layar laptop yang masih menyala hingga menjelang subuh. Bahkan terkadang Krishna tertidur di depan laptop dengan masih mengenakan kacamata bacanya.

Raesaka tahu sekeras apa perjuangan Krishna untuk menyelesaikan segalanya.

Menjelang siang hari, Raesaka bersyukur Krishna mengajak dirinya pergi ke Gramedia untuk membelikan alat tulis yang diberikannya kepada gadis kecil yang disebut baru ditemuinya di Masjid Kampus. Bahkan hingga membelikannya makanan cepat saji dalam jumlah yang cukup banyak untuk dibawa pulang oleh si gadis kecil.

Raesaka paham walau ekspresi dingin dan sinis selalu menghiasi wajah Krishna, kekasihnya itu adalah lelaki dengan hati paling hangat. Raesaka ingat bagaimana dulu Krishna menangis setelah memarahi para adik tingkat Paskibranya di balik tembok gedung karena merasa terlalu jahat; ia sengaja mencari tempat bersembunyi agar tidak ada yang mengetahui.

Krishna adalah sosok yang sangat baik. Terlalu baik, malahan. Hanya saja gaya bicara dan ekspresi sinisnya kerap menutup hatinya yang terlalu lembut itu.

Dan hati yang lembut itu tersakiti tatkala ia menghadapi si dosen pembimbing di sore hari tadi. Si dosen mengatakan revisi dari skripsi yang dikerjakan oleh Krishna berantakan, padahal ketika menjalani sidang— si dosen yang bersangkutan mengatakan sangat puas akan hasil skripsi yang dikerjakan oleh Krishna.

Kalimat yang bertolak belakang itu membuat Krishna menekuk wajahnya, kusut; hingga membuat Raesaka harus menawarkan diri untuk mengendarai mobil. Raesaka takut Krishna termakan emosi dan memacu mobilnya dengan kecepatan paling maksimal sambil menekan klakson panjang-panjang.

Sepanjang perjalanan, Krishna hanya diam. Jilid skripsi yang sengaja Krishna cetak sudah berantakan dan kumal karena si kakak tingkat meremasnya tidak karuan. Selama menyetir, Raesaka melirik ke arah jilid skripsi yang tergeletak begitu saja di atas dashboard mobil. Raesaka melihat ada banyak coretan dari pena merah diantara kertas kumal yang sudah tidak jelas bentuknya itu.

Sesampainya di rumah, Krishna tidak mengucap terima kasih atau sapaan lainnya. Ia segera naik ke lantai dua, menuju kamar kemudian berteriak kuat-kuat. Tidak berisik karena kekasihnya itu berteriak sambil menenggelamkan wajahnya ke bantal.

Raesaka kira, Krishna bisa merasa lega dengan satu teriakan namun rupanya tidak demikian. Setelahnya, Krishna malah menyanyi lantang-lantang. Lagunya bermacam-macam; mulai dari lagu Indonesia, berganti ke lagu Barat, bahkan hingga soundtrack kartun Hamtaro dan Kapten Tsubasa dinyanyikan oleh Krishna.

Raesaka menawari minum, ditolak. Raesaka menawari makan, ditolak juga. Rasanya segala hal yang dilakukan Raesaka kepada Krishna tidak ada yang benar.

Tadinya Raesaka sudah memutuskan untuk membiarkan saja Krishna menenggelamkan emosinya sendiri. Toh' Krishna sendiri pernah bercerita bahwa jika ia sedang emosi— dirinya hanya butuh dibiarkan sendiri dan tidur. Esok harinya, ia akan baik-baik saja. Mengingat ucapan itu, Raesaka mengambil sisa selimut yang ada di lemari kemudian beranjak ke lantai satu. Raesaka berniat untuk tidur di sofa saja malam ini agar tidak mengganggu Krishna yang emosi.

Namun seiring waktu bergulir, Raesaka menyadari bahwa ia tidak bisa tinggal diam. Bagaimanapun juga, Krishna pasti mengharapkan ada seseorang datang menenangkannya. Maka, ya— begitulah. Jadilah Raesaka sekarang berdiri di belakang Krishna yang sedang duduk di bangkunya, masih kebingungan harus melakukan apa kepada si kekasih.

“Kak, mau saya bikinin minuman hangat? Nutrisari jeruk nipis kesukaan Kakak, mau? Atau mau segarsari pink, pakai es— biar kepalanya agak adem?”

Kalimat yang diujarkan Raesaka dibalas dengan gelengan Krishna dan pundak yang merosot ke permukaan meja belajar. Krishna membungkukkan tubuh dan membiarkan kepalanya terkulai lemah ke atas meja. “Nggak.. gue nggak mau apa-apa..”

“Gue cuma mau ini segera selesai..”, bisik Krishna dengan suara parau. Raesaka tahu, kekasihnya itu bisa dibilang sangat— stress dengan segala situasi yang dialaminya. “..tapi kok susah banget rasanya?”

Dengan langkah perlahan, Raesaka beranjak mendekati sosok si kekasih. Selimut yang semula terbalut di tubuhnya sendiri kini dilepaskan oleh Raesaka. Tanpa ada yang meminta, kini si yang lebih muda menyelimuti si yang lebih tua kemudian memeluk pundaknya dari belakang.

Raesaka melingkarkan lengannya ke pundak Krishna yang tubuhnya sekarang terbalut selimut yang ia sampiri.

“Kak..” Raesaka mengecupi punggung kepala Krishna yang ada di hadapannya, berkali-kali. Ia sendiri tidak menghitung berapa kali kecupan itu mendarat ke kepala Krishna, sebanyak apapun— jika itu bisa menenangkan Krishna maka Raesaka tidak keberatan untuk melakukannya. “..nggak apa-apa. Kalau Kakak mau nangis, nggak apa-apa.”

“Lakuin aja.”

Perlahan, Raesaka membiarkan tangan kanannya yang terlingkar di pundak Krishna ikut memberi usapan kecil ke daerah sekitar tulang selangka si yang lebih tua. “Kakak juga manusia biasa kayak saya dan puluhan juta mahasiswa lainnya. Kak Krishna bukan orang yang harus selalu jadi kuat..”

Walau tidak bersuara sama sekali, Raesaka paham bahwa Krishna sedang menunjukkan lelahnya. Pundak Krishna sedikit bergerak naik turun, suara isak sangat sedikit terdengar walau Raesaka tahu sebisa mungkin Krishna menyembunyikannya. “Sssh..”, masih dengan tangan yang mengusapi daerah sekitar tulang selangka Krishna, Raesaka mendesis— berupaya membuat si kekasih merasa lebih tenang. “..lepasin aja semua capek yang lagi Kak Krishna rasain.”

“Keluarin semua capeknya..” “Teriakin semua keselnya..” “Biar malem ini bisa tidur tenang dan besok berjuang lagi.”

“Ya, Kak?”

Jika semua ini diucapkan di hari-hari biasa, sudah pasti Krishna akan memasang ekspresi jijik akan setiap kalimat yang diucap Raesaka. Jika saja situasinya bukan seperti ini, tidak dengan Krishna yang benar-benar lelah dengan semuanya, pasti ia akan menjitak kepala Raesaka karena sebal melihat adik tingkatnya itu seenaknya memberi nasihat kepada ia yang lebih tua.

Sayangnya, situasi saat ini terlalu membuat Krishna lelah hingga tidak memiliki kemampuan untuk melemparkan argumen. Alih-alih mencibir, Krishna malah meraih tangan kanan Raesaka yang sedari tadi mengusapi ruang sekitar tulang selangkanya kemudian digenggam kuasanya erat-erat.

Krishna tidak ingin kehilangan Raesaka, pemberi oasis di tengah situasi yang membuatnya seperti berada di gurun tak berujung. Krishna ingin Raesaka tidak pernah pergi darinya. Karena Krishna butuh, memerlukan ia— Raesaka.

“Krishna hebat.” Raesaka tahu bahwa ia baru saja melakukan hal yang tidak sopan dengan memanggil si kakak tingkat tanpa embel-embel 'Kakak' namun sungguh, Raesaka merasa sosok kekasihnya sekarang terlihat seperti anak kecil yang perlu ditenangkan. Bukan sosok Krishna Putra Haliem, si mahasiswa tahun terakhir yang disegani oleh banyak mahasiswa Fakultas Teknik. “Krishna cuma perlu bertahan sedikit lagi, ya? Kalau Krishna mau lari, nggak apa-apa tapi lakuin larinya pelan-pelan biar nggak capek. Kalaupun nanti kamu capek dan mau jalan pelan-pelan, kamu tinggal tengok ke samping—”

”—aku ada di sana. Siap jalan bareng sama kamu, temenin setiap langkah kamu. Walau dalam langkah paling lambat sekalipun, aku bakal ada di samping kamu.”

“Paham, ya, Krishna?”

Krishna mengangguk kecil dan membuat senyum tipis terulas di bibir Raesaka. Ia merasa lega karena tangisan Krishna sekarang tidak begitu terdengar lagi.

“Ya udah, sekarang istirahat, ya? Kalau kamu maksain revisi di waktu pikiran kamu lagi nggak tentu begini, pasti jadinya nggak akan bener. Istirahat dulu, tidur. Ya?”

” ( .... ) “

Krishna menggumam dengan suara sangat pelan hingga membuat Raesaka sedikit kebingungan karena tidak bisa mendengar apapun. “Hah? Bilang apa? Aku nggak denger apapun..”

“Jangan tidur di bawah. Temenin gue di sini. Peluk, erat. Usap juga kepalanya sampai gue tidur.”

Walaupun masih diucapkan dalam gumam yang tidak jelas, kali ini Raesaka bisa menangkap kalimat yang Krishna ujarkan. Dan kalimat itu membuat si yang lebih muda menyunggingkan senyum lebar. Sangat lebar, malahan. “Iya..”

“Tidur bareng, ya? Biar Saka usap kepala Krishna sampai tidur, biar Saka peluk Krishna erat..”

”..biar Krishna tau, bahwa Krishna nggak pernah sendirian di setiap langkah yang Krishna buat.”

“Ya, Krishna?”

Lagi, malam hari ini ada kisah yang membuat Krishna menganggukkan kepalanya; menyatakan setuju atas janji yang Raesaka ikrarkan atas nama mereka berdua.

“Iya.” “Iya, Saka.” “Iya, sampai selanjutnya.” “Iya, sampai selamanya.”

Iya; selanjutnya, selamanya.

END

“Kak. Tadi Kak Andini mau minta foto doang, lho. Ya, masa' saya tolak? Nggak sopan, dong, namanya.”

Raesaka berjalan mengekor di belakang Krishna yang tengah melangkah menuju bak cuci piring di dapur. Sebenarnya melihat Krishna yang masuk ke daerah dapur untuk melakukan tugas selain memasak adalah kesempatan yang sangat langka. Si lelaki yang lebih tua kerap mengatakan berkali-kali bahwa ia enggan melakukan pekerjaan yang mereka namai cuci piring; alasannya? Krishna alergi sabun cuci piring, entah apapun merknya. Kena sedikit saja, bisa gatal-gatal.

Namun saat ini, Krishna tampaknya hendak melakukan hal yang selama ini dihindarinya. Tentu, hal itu membuat Raesaka sedikit membelalakkan mata tatkala melihat Krishna meraih spons cuci piring dan membuat gerakan seperti hendak menuangkan sabun pencuci piring ke spons di tangannya. “Heh! Kak, kamu ngapain?! Udah, cuci piring itu urusan saya. Kalau Kakak alergi lagi gimana, coba? Nggak usah. Biar saya aja yang cuci piringnya.”

Krishna melirik tajam ke arah Raesaka yang sekarang sedang berusaha mengambil spons di kuasanya. “Lepasin,” ujar Krishna singkat. “Terserah gue mau ngapain. Lo juga bebas 'kan mau ngapain aja? Foto sana sini, tebar pesona sana sini. Kenapa gue nggak boleh?”

Raesaka terdiam sejenak, hingga setelahnya senyum tipis terulas di bibir si lelaki yang lebih muda. Sekarang ia paham alasan mengapa kekasihnya bertindak aneh seperti ini. “Cemburu?”, tanya Raesaka dengan wajah yang didekatkan ke wajah Krishna; berniat ingin menggoda si lelaki yang amat dikasihinya itu. “Hm? Kak Krishna cemburu saya foto sama Kak Andini?”

Perlahan, Raesaka melingkarkan tangannya ke pinggang Krishna yang bisa dikatakan ramping untuk lelaki kebanyakan. Perlahan pula, Raesaka menarik tubuh Krishna untuk berada dalam jarak yang sangat dekat dengan dirinya. “Saya tadi sempet manggil Kakak, lho, buat foto bareng bertiga. Tapi Kakak juga sibuk ngobrol sama Kakak-Kakak pembina PPI yang lain... ya, saya jadinya foto berdua sama Kak Andini.”

“Jangan cemburu lagi,” bisik Raesaka dengan lembut. Bibir si yang lebih muda didekatkan ke leher Krishna, hingga akhirnya kecupan kecil didaratkan ke sana. Dua kali, dengan kecupan terakhir yang diakhiri gigitan kecil di putih jenjang milik Krishna. “Hm? Masa' cemburu sama orang yang jelas-jelas nggak selevel sama Kak Krishna?”

Krishna menggigit bibir bawahnya, sebisa mungkin ia berusaha agar tidak ada desah yang lolos; ia tidak ingin memberi lampu hijau bagi Raesaka. Gila saja, kekasihnya itu baru saja keluar dari Rumah Sakit beberapa hari yang lalu— tidak lucu jika mereka harus menghabiskan malam yang panas dengan kondisi Raesaka yang begini.

“N-nggak selevel apany—a?” Sungguh sangat sulit bagi Krishna untuk meloloskan kalimat itu dari bibirnya tanpa desah ikut mengiringi. Barusan saja, tetap ada sedikit desah yang dilafalkan; walau tidak terdengar jelas. “Udah jelas-jelas Kak Andini cantik banget..”

Raesaka mengangkat pandangannya, tidak lagi menjadikan leher putih Krishna sebagai fokus utama. Raesaka beralih menatapi wajah Krishna yang bibirnya sekarang sedang agak mengerucut. Lucu, gemas. Ingin sekali Raesaka memeluki Krishna erat-erat agar tidak pernah lepas dan pergi darinya. “Ah, masa' iya?”, tanya Raesaka seraya menuntun langkah Krishna untuk bergerak perlahan hingga akhirnya punggung si yang lebih tua tersudut di salah satu sisi dinding dapur. Krishna terkungkung, tidak bisa berkutik karena tubuhnya sekarang direngkuh erat oleh Raesaka. “Ka— jangan di sini, heh. Jangan sekarang juga! Lo masih sakit!”

“Nggak ada yang lebih cantik daripada Kak Krishna di mata saya.”

Kalimat yang diucapkan oleh Raesaka barusan membuat Krishna sontak bungkam. Ia tahu wajahnya sekarang pasti memerah tidak karuan. Ia tahu, tidak semestinya kata cantik menjadi sesuatu yang membuatnya merasa lemah— cantik tidak bisa diasosiasikan dengan kodrat lelaki! Semestinya Krishna menolak, semestinya Krishna memberi argumen!

Namun permasalahannya, kata keramat itu diucapkan oleh Raesaka. Seorang lelaki yang menyimpan seribu rahasia, seorang lelaki yang bisa tertawa manis namun tetap menyiratkan gurat kesedihan di dalamnya. Kata cantik itu diucapkan oleh lelaki yang matanya seteduh angkasa bertabur bintang terang bernama Raesaka.

Itu permasalahannya.

Maka tatkala bibir Raesaka perlahan menghampiri bibir Krishna, si yang lebih tua tidak memberi perlawanan berarti selain memiringkan sedikit wajah agar kecupan manis itu bisa berlabuh sempurna di bibirnya. Raesaka sendiri tidak kelimpungan ketika mendapati Krishna bisa takluk di kuasanya dalam waktu singkat; bukannya terlalu percaya diri namun dalam kegiatan seperti ini— Raesaka tahu dan paham di mana titik kelemahan seorang Krishna Putra Haliem.

Satu tatapan yang diberi pada waktu tepat, pasti Krishna tak akan memberi perlawanan yang membuat penat. Krishna pasti akan seperti sekarang, membuka mulutnya— meloloskan desah diantara lenguhannya seraya berharap Raesaka akan cukup peka untuk mengajak lidahnya bertaut.

“A-ahh.. K-Ka..” Krishna mengalungkan tangannya ke leher Raesaka, tatapannya sedikit sayu akibat pagut yang lama tidak terlepas dan tubuh bagian bawah si yang lebih muda terus saja digesekkan ke pinggang bawah Krishna. Memberi sensasi seakan keduanya tengah bersetubuh walau mereka masih mengenakan pakaian lengkap. “Lo masih sakit..”, bisik Krishna dengan suara parau. “..udah, ya?”

Ulasan senyum tipis disunggingkan pada wajah tampan si lelaki berkulit kecoklatan. Bukannya melepaskan pelukan di pinggang Krishna, Raesaka malah semakin mengeratkan rengkuhannya. Akan tetapi, sekarang tidak ada kecupan atau pagutan dalam di bibir— kini bibir Raesaka mendarat di kening Krishna yang tidak tertutupi oleh poni. Memberi kecupan yang disampaikan secara lama dan dalam.

Sepanjang bibir Raesaka memberi kecupan, Krishna hanya memejamkan matanya. Ia ingin menikmati sentuhan yang jarang ia rasakan; sentuhan tanpa nafsu, sentuhan yang benar-benar membuat Krishna merasa disayang secara tulus. “Kak Krishna,” bisik Raesaka dan dibalas dengan gumaman kecil dari si yang dipanggil. “Saya nggak akan pernah tinggalin Kak Krishna buat siapapun..”

“Nggak ada siapapun yang bisa gantiin posisi dan keberadaan Kak Krishna di hati sama otak saya,” lanjut Raesaka; kali ini seraya mengistirahatkan dagunya di pundak kanan si kekasih. Tak urung, Krishna membiarkan jemari kanannya menelusup ke sela-sela rambut Raesaka. Berupaya menyampaikan perasaan yang sama walau tidak terucap dalam kata, bahwa sesungguhnya Krishna juga tak akan membiarkan siapapun menggantikan posisinya di singgasana hati Raesaka.

“Jangan takut,” gumam Raesaka lagi. “Bagi saya, nggak ada yang lebih baik daripada Kak Krishna.”

Krishna paham, bahwa Raesaka juga melamatkan kalimat barusan bagi dirinya juga. Krishna tahu bahwa ada sedikit keinginan bagi Raesaka untuk meyakini dirinya sendiri untuk percaya ke isi kalimat yang barusan terucap.

Untuk merasa jangan takut.

Krishna mengecup sisi kiri kepala Raesaka yang berada paling dekat dengan bibirnya kemudian menepuki punggung si kekasih, perlahan. “Gue nggak takut sama apapun, kok, Saka.”

“Apapun itu, kalau emang hal itu harus gue lakuin buat jagain lo dan ngelindungin lo...”

”...gue nggak akan takut.”

Dari posisinya yang tengah bersandar di pundak Krishna, Raesaka tersenyum tipis. Walau ia sendiri tahu bahwa bisa jadi kalimat yang Krishna ucapkan tidak sepenuhnya benar, paling tidak Raesaka merasa bahwa sekarang ia tidak sendirian. Di dunia yang dipenuhi orang jahat, Raesaka bisa mempercayakan segalanya kepada Krishna.

“Gue selalu berusaha buat berjuang demi lo,” lanjut Krishna. Namun detik setelahnya, Raesaka menggeleng dan membuat Krishna sedikit heran. “Kenapa?”, tanya Krishna.

“Demi kita.”

Ucapan singkat dari bibir Raesaka membuat Krishna terkekeh kecil. Merasa gemas dengan tingkah si lelaki yang seakan lupa bahwa beberapa menit yang lalu ia sudah hampir membuat Krishna khilaf untuk bersetubuh. “Iya, iya..”, ujar Krishna, pasrah. “Demi kita.”

“Gue akan berjuang, demi kita.”

Lagi, satu janji terikrarkan. Dan kali ini, harus terwujudkan; apapun halangannya.

END

Gue terbiasa liat seorang Raesaka yang cengengesan dan ketawa lebar sampai matanya cuma tampak segaris. Gue nggak terbiasa liat Raesaka yang diam membisu dan melangkah di depan gue dengan sekantung plastik yang diisi botol air mawar sama beberapa buntalan bunga yang dimasukin ke kertas koran bekas.

Dia sempet nengok ke belakang, mungkin memastikan gue nggak ketinggalan langkahnya yang padahal nggak cepet-cepet banget. Dan jujur, gue nggak terbiasa liat matanya yang sendu kayak sekarang. Gue tau dengan jelas dia berusaha terlihat baik-baik aja tapi gue paham bahwa ada salah satu sisi di diri dia yang rapuh banget. Kayak— apa, ya? Kayak ditiup angin sedikit aja, pasti dia bakal terbang saking terlalu lemahnya.

Gue nggak tau dan nggak hafal di mana makam sang Laksamana Madya berada karena terakhir kali gue ke sini adalah ketika pemakaman beliau beberapa bulan lalu. Hampir mau setaun. Tapi Saka kayaknya hafal di luar kepala di mana keberadaan makam Ayahnya di tengah barisan banyak mendiang pahlawan yang beristirahat di sini. Dia tau ke mana harus belok, yang bahkan gue nggak paham ini nanti pas pulangnya mesti lewat mana. Nggak bakal nyasar, 'kan, ya?

“Itu, Kak. Yang itu.” Mungkin ekspresi kebingungan dan takut nyasar beneran tergambar jelas di muka gue, kali, ya? Sampai si Raesaka ngasih tau ke gue soal di mana letak Ayahnya. “Yang nisannya masih pakai kayu.”

Oh, iya. Ada satu makam yang masih dipakaiin nisan kayu sementara kebanyakan yang lain udah dipakaiin nisan dari batu berwarna abu. Sebenernya gue mau tanya alasannya masih dipakaiin kayu, sih... tapi kayaknya momentnya nggak enak, biar nanti gue tanya pas kami udah selesai ziarah, deh.

“Kakak mau ikut sampai ke sana? Nggak apa-apa kalau mau tunggu di sini juga. Mungkin agak sedikit lama soalnya saya mau baca doa juga...”

Gue gelengin kepala. “Nggak apa-apa, mungkin nggak bisa ikut doain pakai bacaan lo tapi gue juga mau ikut sampaiin doa buat Om. Lo nggak apa-apa kalo gue temenin?” Ya, nggak salah dong gue tanya begitu? Siapa tau mau ada perbincangan kecil yang sifatnya pribadi antara Raesaka sama Ayahnya?

Tapi Saka gelengin kepalanya juga. “Nggak apa-apa, Kak.”

Ya. Sejujurnya gue belum pernah punya pengalaman pribadi buat menghadiri situasi dimana temen deket gue atau seseorang yang spesial buat gue lagi ziarah ke makam orangtuanya. Ini kali pertama buat gue ngerasain semua ini. Kikuk? Iya. Bingung? Banget. Gue beneran nggak tau harus bersikap kayak gimana. Apa gue harus peluk dia biar nggak sedih? Apa gue harus tepuk pundaknya biar dia ngerasa dikuatin?

Tapi nyatanya niat cuma niat. Pada akhirnya nggak ada pelukan atau tepukan yang bisa gue sampaiin. Gue cuma berdiri di belakang Raesaka dengan kedua tangan yang gue genggam erat, saking nggak mau ganggu waktunya sama Ayahnya.

Selama ini gue selalu menganggap bahwa Raesaka adalah cowok yang keliatan dewasa karena cara ngomongnya, walau kadang banyak sikap dia yang masih kayak bocil, sih. Tapi sekarang— di waktu ini, ketika gue berdiri di belakang dia yang lagi jongkok di samping pusara Ayahnya, gue merasa pundak Raesaka ternyata sesempit ini. Ternyata Raesaka yang gue kira selalu keliatan kuat dengan kondisinya, cuma anak cowok biasa yang nggak bisa lakuin apapun di samping sosok Ayahnya yang dia sayang.

Gue tau yang dilafalin sama Raesaka sekarang dari bibirnya adalah bacaan-bacaan doa dalam ajaran agamanya. Maka gue juga ngelakuin hal yang sama. Gue juga meminta ke Tuhan gue buat sudi berbagi kebaikannya kepada Om Budi. Walau gue tau ini semua beda server tapi... nggak ada salahnya berharap hal yang baik, 'kan?

“Ayah, Kak Krishna ikut jenguk Ayah, lho.” Ketika gue masih berdiri di belakang, Raesaka tiba-tiba tolehin kepalanya ke arah gue. Dengan tangannya yang sekarang terus sentuh kayu nisan Om Budi, gue paham bahwa Raesaka lagi coba berbincang sama Ayahnya. Sehingga gue cuma bisa senyum tipis sambil menahan semua rasa sakit sama sedih yang tiba-tiba menyerang. Sumpah, gue nggak suka berada di situasi yang seperti ini. Situasi dimana gue pengen banget peluk Raesaka dan bilang bahwa dia hebat karena udah jadi anak yang kuat— tapi mana bisa? Gue cuma bisa senyum sambil bilang dengan suara yang tercekat. “Halo, Om. Maaf Krishna baru bisa ikut jenguk Om sekarang...”

Berbeda dengan gue yang udah ngerasa tercekat banget, Raesaka nggak nangis. Gue nggak tau darimana mental anak ini kayak berbeda banget dari orang kebanyakan. Gue inget kemaren dia sempet nangis kayak orang gila ketika dihadapin sama situasi orang yang nyebut dia anjing, tapi di situasi begini— dia malah nggak nangis. Sumpah, kadang gue nggak habis pikir sama pemikiran Raesaka kayak gimana.

“Om. Sakanya sehat-sehat terus, kok. Krishna sebisa mungkin selalu jagain Saka biar nggak kenapa-kenapa,” ucap gue sambil terus berusaha tahan air mata biar nggak turun. Cemen banget, anjir. Gue siapanya Om Budi, sih? Ketemu aja cuma sekali tapi malah gue yang jadi emosi sampe mau nangis begini. Anak kandungnya aja nggak nangis, Krishna! “Walau kadang tangannya suka biru-biru soalnya kebanyakan nangis, tapi Krishna usahain biar nggak terlalu sering nangisnya, ya, Om? Lama kelamaan pasti Krishna tau gimana caranya biar bisa bikin Saka sehat sepenuhnya.”

Kalimat tadi gue akhirin dengan usakan kecil di puncak kepala Raesaka. Dia yang lagi jongkok cuma balas dengan senyuman paling pilu yang pernah gue liat dari seseorang. Gue tau arti senyuman itu bukan senyuman bahagia walaupun kalimat yang gue ucapin bernada sangat positif. Gue tau, arti senyuman itu diisi banyak rasa kesedihan.

“Om..” Gue nggak tau apa yang mau gue ucapin, padahal. Tapi bibir gue kayak kebuka dan ngomong aja dengan sendirinya, sumpah. “..Om nggak usah khawatir, ya? Raesaka itu anak paling hebat yang pernah Krishna temui. Padahal dia lebih muda dari Krishna tapi Krishna banyak banget belajar dari Saka.”

Selama kalimat diucapin, gue nggak pernah lepasin tangan gue dari pundak kanan dia. Mungkin bakal lebih tepat kalau disebut cengkeraman, kali, ya? Gue pengen banget apa yang gue lakuin ini jadi sebuah rasa biar dia bisa bertahan, biar dia bisa tetep kuat.

Tapi kayaknya gue salah. Cengkeraman tangan gue di pundak Raesaka malah bikin dia tundukin kepala dalam-dalam. Tangannya yang pegang kayu nisan Ayahnya keliatan gemetar. Apa gue...lakuin hal yang nggak seharusnya?

“Saka, hei...” Gue beralih milih buat jongkok di samping Raesaka dan rangkul pundaknya. Kayaknya gue ngelakuin kesalahan besar. “Sorry, gue terlalu banyak ngomong, ya? Sumpah, gue nggak pernah ada di situasi begini dan— gue... sorry, kalau kalimat gue malah bikin lo sedih.”

Raesaka nggak nangis. Dia cuma tundukin kepalanya, tatap lekat-lekat bebatuan yang ada di atas pusara sang Ayah— yang sekarang ditaburi rangkaian bunga yang kami beli di pintu masuk Taman Pemakaman tadi. “Nggak, kok, Kak..”

“Nggak apa-apa.”

Gue tau, dia pasti kenapa-kenapa. Nggak mungkin kalau nggak kenapa-kenapa tapi ekspresinya semurung begini, orang gila pun pasti bisa tebak bahwa Raesaka beneran sedih. “Ssssh...” Pada akhirnya, tangan gue yang semula ada di pundaknya sekarang gue arahin buat berada ke kepalanya. Berharap tepukan kecil di punggung kepalanya bisa bikin dia ngerasa sedikit lebih tenang. “Gue ada di sini, kok. Bareng sama lo. Lo nggak sendirian.”

“Ya, Saka?”

Raesaka senyum, walau bukan senyum cengengesan yang sering gue liat sebelumnya tapi gue tau itu bukan senyum yang cuma diliputi kesedihan. Gue bisa rasain, ada niat yang terselip di dalam senyumnya bahwa dia mau lagi coba percaya dengan keberadaan gue yang bakal ada di sampingnya. “Iya, Kak..”

“Makasih, ya, Kak Krishna.”

Terkadang gue bingung. Perasaan gue ke Raesaka terlalu sulit untuk gue uraikan menjadi satu kesatuan yang mutlak. Terlalu banyak rasa yang menjadi campuran dari beberapa emosi di dalamnya. Kalau dibilang gue merasa bertanggung jawab buat ngejagain dia karena dia adalah anak dari orang yang nyelamatin keluarga gue di masa lalu, itu bener. Kalau dibilang gue ngerasa harus jagain dia karena dia adek tingkat gue di organisasi yang sama, itu juga bener.

Tapi jika dibilang gue ngerasa mau bikin dia selalu aman karena gue sayang dia sebagai manusia yang punya hati ke seseorang yang gue pengen jadiin sebagai tempat terakhir buat hati gue berlabuh, itu juga bener.

Perasaan gue ke dia bukan cuma perasaan sayang yang dipenuhin sama warna merah jambu. Perasaan gue ke Raesaka bukan cuma sekedar cinta, ada hal lainnya yang bikin gue merasa harus jagain dia lebih baik daripada siapapun.

“Kak Krishna.”

“Hm?”

“Saya bakal baik-baik aja, kan, walau sendirian?”

“Saka. Kata siapa lo sendirian? Ada gue di sini. Ada Tania, ada Pakdhe Budhe, bahkan gue yakin Papi Mami gue juga Ci Tiara bakal dengan tangan terbuka terima lo sebagai bagian keluarga.”

“Lo nggak sendirian, Saka.”

“Walaupun semua orang di dunia alihin wajahnya dari lo, walau semua orang di dunia menolak buat terima lo— lo bisa yakinin sesuatu. Bahwa gue, nggak akan pernah pergi. Entah takdir ke depannya bakal kasih cerita kayak gimana ke kita, tapi gue bisa pastiin...”

“Gue nggak akan berhenti peduliin lo.”

Mungkin ini adalah janji yang terlalu beresiko, buat meyakinkan seseorang agar nggak pernah kehilangan kepercayaannya ke kita. Bahwa kita nggak akan pergi dan nggak akan berhenti peduliin dia. Gue tau, apa yang gue ucapin barusan adalah hal yang sangat beresiko.

Tapi paling nggak, diantara banyaknya pahit dari cerita hidupnya— gue pengen jadi alasan senyuman buat dia. Biarpun itu sedikit aja, biarpun itu cuma ulas senyum paling tipis... tapi gue pengen... jadi bahagianya.


END

Gue terbiasa liat seorang Raesaka yang cengengesan dan ketawa lebar sampai matanya cuma tampak segaris. Gue nggak terbiasa liat Raesaka yang diam membisu dan melangkah di depan gue dengan sekantung plastik yang diisi botol air mawar sama beberapa buntalan bunga yang dimasukin ke kertas koran bekas.

Dia sempet nengok ke belakang, mungkin memastikan gue nggak ketinggalan langkahnya yang padahal nggak cepet-cepet banget. Dan jujur, gue nggak terbiasa liat matanya yang sendu kayak sekarang. Gue tau dengan jelas dia berusaha terlihat baik-baik aja tapi gue paham bahwa ada salah satu sisi di diri dia yang rapuh banget. Kayak— apa, ya? Kayak ditiup angin sedikit aja, pasti dia bakal terbang saking terlalu lemahnya.

Gue nggak tau dan nggak hafal di mana makam sang Laksamana Madya berada karena terakhir kali gue ke sini adalah ketika pemakaman beliau beberapa bulan lalu. Hampir mau setaun. Tapi Saka kayaknya hafal di luar kepala di mana keberadaan makam Ayahnya di tengah barisan banyak mendiang pahlawan yang beristirahat di sini. Dia tau ke mana harus belok, yang bahkan gue nggak paham ini nanti pas pulangnya mesti lewat mana. Nggak bakal nyasar, 'kan, ya?

“Itu, Kak. Yang itu.” Mungkin ekspresi kebingungan dan takut nyasar beneran tergambar jelas di muka gue, kali, ya? Sampai si Raesaka ngasih tau ke gue soal di mana letak Ayahnya. “Yang nisannya masih pakai kayu.”

Oh, iya. Ada satu makam yang masih dipakaiin nisan kayu sementara kebanyakan yang lain udah dipakaiin nisan dari batu berwarna abu. Sebenernya gue mau tanya alasannya masih dipakaiin kayu, sih... tapi kayaknya momentnya nggak enak, biar nanti gue tanya pas kami udah selesai ziarah, deh.

“Kakak mau ikut sampai ke sana? Nggak apa-apa kalau mau tunggu di sini juga. Mungkin agak sedikit lama soalnya saya mau baca doa juga...”

Gue gelengin kepala. “Nggak apa-apa, mungkin nggak bisa ikut doain pakai bacaan lo tapi gue juga mau ikut sampaiin doa buat Om. Lo nggak apa-apa kalo gue temenin?” Ya, nggak salah dong gue tanya begitu? Siapa tau mau ada perbincangan kecil yang sifatnya pribadi antara Raesaka sama Ayahnya?

Tapi Saka gelengin kepalanya juga. “Nggak apa-apa, Kak.”

Ya. Sejujurnya gue belum pernah punya pengalaman pribadi buat menghadiri situasi dimana temen deket gue atau seseorang yang spesial buat gue lagi ziarah ke makam orangtuanya. Ini kali pertama buat gue ngerasain semua ini. Kikuk? Iya. Bingung? Banget. Gue beneran nggak tau harus bersikap kayak gimana. Apa gue harus peluk dia biar nggak sedih? Apa gue harus tepuk pundaknya biar dia ngerasa dikuatin?

Tapi nyatanya niat cuma niat. Pada akhirnya nggak ada pelukan atau tepukan yang bisa gue sampaiin. Gue cuma berdiri di belakang Raesaka dengan kedua tangan yang gue genggam erat, saking nggak mau ganggu waktunya sama Ayahnya.

Selama ini gue selalu menganggap bahwa Raesaka adalah cowok yang keliatan dewasa karena cara ngomongnya, walau kadang banyak sikap dia yang masih kayak bocil, sih. Tapi sekarang— di waktu ini, ketika gue berdiri di belakang dia yang lagi jongkok di samping pusara Ayahnya, gue merasa pundak Raesaka ternyata sesempit ini. Ternyata Raesaka yang gue kira selalu keliatan kuat dengan kondisinya, cuma anak cowok biasa yang nggak bisa lakuin apapun di samping sosok Ayahnya yang dia sayang.

Gue tau yang dilafalin sama Raesaka sekarang dari bibirnya adalah bacaan-bacaan doa dalam ajaran agamanya. Maka gue juga ngelakuin hal yang sama. Gue juga meminta ke Tuhan gue buat sudi berbagi kebaikannya kepada Om Budi. Walau gue tau ini semua beda server tapi... nggak ada salahnya berharap hal yang baik, 'kan?

“Ayah, Kak Krishna ikut jenguk Ayah, lho.” Ketika gue masih berdiri di belakang, Raesaka tiba-tiba tolehin kepalanya ke arah gue. Dengan tangannya yang sekarang terus sentuh kayu nisan Om Budi, gue paham bahwa Raesaka lagi coba berbincang sama Ayahnya. Sehingga gue cuma bisa senyum tipis sambil menahan semua rasa sakit sama sedih yang tiba-tiba menyerang. Sumpah, gue nggak suka berada di situasi yang seperti ini. Situasi dimana gue pengen banget peluk Raesaka dan bilang bahwa dia hebat karena udah jadi anak yang kuat— tapi mana bisa? Gue cuma bisa senyum sambil bilang dengan suara yang tercekat. “Halo, Om. Maaf Krishna baru bisa ikut jenguk Om sekarang...”

Berbeda dengan gue yang udah ngerasa tercekat banget, Raesaka nggak nangis. Gue nggak tau darimana mental anak ini kayak berbeda banget dari orang kebanyakan. Gue inget kemaren dia sempet nangis kayak orang gila ketika dihadapin sama situasi orang yang nyebut dia anjing, tapi di situasi begini— dia malah nggak nangis. Sumpah, kadang gue nggak habis pikir sama pemikiran Raesaka kayak gimana.

“Om. Sakanya sehat-sehat terus, kok. Krishna sebisa mungkin selalu jagain Saka biar nggak kenapa-kenapa,” ucap gue sambil terus berusaha tahan air mata biar nggak turun. Cemen banget, anjir. Gue siapanya Om Budi, sih? Ketemu aja cuma sekali tapi malah gue yang jadi emosi sampe mau nangis begini. Anak kandungnya aja nggak nangis, Krishna! “Walau kadang tangannya suka biru-biru soalnya kebanyakan nangis, tapi Krishna usahain biar nggak terlalu sering nangisnya, ya, Om? Lama kelamaan pasti Krishna tau gimana caranya biar bisa bikin Saka sehat sepenuhnya.”

Kalimat tadi gue akhirin dengan usakan kecil di puncak kepala Raesaka. Dia yang lagi jongkok cuma balas dengan senyuman paling pilu yang pernah gue liat dari seseorang. Gue tau arti senyuman itu bukan senyuman bahagia walaupun kalimat yang gue ucapin bernada sangat positif. Gue tau, arti senyuman itu diisi banyak rasa kesedihan.

“Om..” Gue nggak tau apa yang mau gue ucapin, padahal. Tapi bibir gue kayak kebuka dan ngomong aja dengan sendirinya, sumpah. “..Om nggak usah khawatir, ya? Raesaka itu anak paling hebat yang pernah Krishna temui. Padahal dia lebih muda dari Krishna tapi Krishna banyak banget belajar dari Saka.”

Selama kalimat diucapin, gue nggak pernah lepasin tangan gue dari pundak kanan dia. Mungkin bakal lebih tepat kalau disebut cengkeraman, kali, ya? Gue pengen banget apa yang gue lakuin ini jadi sebuah rasa biar dia bisa bertahan, biar dia bisa tetep kuat.

Tapi kayaknya gue salah. Cengkeraman tangan gue di pundak Raesaka malah bikin dia tundukin kepala dalam-dalam. Tangannya yang pegang kayu nisan Ayahnya keliatan gemetar. Apa gue...lakuin hal yang nggak seharusnya?

“Saka, hei...” Gue beralih milih buat jongkok di samping Raesaka dan rangkul pundaknya. Kayaknya gue ngelakuin kesalahan besar. “Sorry, gue terlalu banyak ngomong, ya? Sumpah, gue nggak pernah ada di situasi begini dan— gue... sorry, kalau kalimat gue malah bikin lo sedih.”

Raesaka nggak nangis. Dia cuma tundukin kepalanya, tatap lekat-lekat bebatuan yang ada di atas pusara sang Ayah— yang sekarang ditaburi rangkaian bunga yang kami beli di pintu masuk Taman Pemakaman tadi. “Nggak, kok, Kak..”

“Nggak apa-apa.”

Gue tau, dia pasti kenapa-kenapa. Nggak mungkin kalau nggak kenapa-kenapa tapi ekspresinya semurung begini, orang gila pun pasti bisa tebak bahwa Raesaka beneran sedih. “Ssssh...” Pada akhirnya, tangan gue yang semula ada di pundaknya sekarang gue arahin buat berada ke kepalanya. Berharap tepukan kecil di punggung kepalanya bisa bikin dia ngerasa sedikit lebih tenang. “Gue ada di sini, kok. Bareng sama lo. Lo nggak sendirian.”

“Ya, Saka?”

Raesaka senyum, walau bukan senyum cengengesan yang sering gue liat sebelumnya tapi gue tau itu bukan senyum yang cuma diliputi kesedihan. Gue bisa rasain, ada niat yang terselip di dalam senyumnya bahwa dia mau lagi coba percaya dengan keberadaan gue yang bakal ada di sampingnya. “Iya, Kak..”

“Makasih, ya, Kak Krishna.”

Terkadang gue bingung. Perasaan gue ke Raesaka terlalu sulit untuk gue uraikan menjadi satu kesatuan yang mutlak. Terlalu banyak rasa yang menjadi campuran dari beberapa emosi di dalamnya. Kalau dibilang gue merasa bertanggung jawab buat ngejagain dia karena dia adalah anak dari orang yang nyelamatin keluarga gue di masa lalu, itu bener. Kalau dibilang gue ngerasa harus jagain dia karena dia adek tingkat gue di organisasi yang sama, itu juga bener.

Tapi jika dibilang gue ngerasa mau bikin dia selalu aman karena gue sayang dia sebagai manusia yang punya hati ke seseorang yang gue pengen jadiin sebagai tempat terakhir buat hati gue berlabuh, itu juga bener.

Perasaan gue ke dia bukan cuma perasaan sayang yang dipenuhin sama warna merah jambu. Perasaan gue ke Raesaka bukan cuma sekedar cinta, ada hal lainnya yang bikin gue merasa harus jagain dia lebih baik daripada siapapun.

“Kak Krishna.”

“Hm?”

“Saya bakal baik-baik aja, kan, walau sendirian?”

“Saka. Kata siapa lo sendirian? Ada gue di sini. Ada Tania, ada Pakdhe Budhe, bahkan gue yakin Papi Mami gue juga Ci Tiara bakal dengan tangan terbuka terima lo sebagai bagian keluarga.”

“Lo nggak sendirian, Saka.”

“Walaupun semua orang di dunia alihin wajahnya dari lo, walau semua orang di dunia menolak buat terima lo— lo bisa yakinin sesuatu. Bahwa gue, nggak akan pernah pergi. Entah takdir ke depannya bakal kasih cerita kayak gimana ke kita, tapi gue bisa pastiin...”

“Gue nggak akan berhenti peduliin lo.”

Mungkin ini adalah janji yang terlalu beresiko, buat meyakinkan seseorang agar nggak pernah kehilangan kepercayaannya ke kita. Bahwa kita nggak akan pergi dan nggak akan berhenti peduliin dia. Gue tau, apa yang gue ucapin barusan adalah hal yang sangat beresiko.

Tapi paling nggak, diantara banyaknya pahit dari cerita hidupnya— gue pengen jadi alasan senyuman buat dia. Biarpun itu sedikit aja, biarpun itu cuma ulas senyum paling tipis... tapi gue pengen... jadi bahagianya.

Dia lemah, itu bener. Mungkin beberapa dari kalian bakal mikir, “cowok kok gampang banget nangis, anjir?! jadi kuat dikit, lah!” Iya, gue nggak akan nyalahin pendapat kalian tentang hal itu. Mungkin emang udah dari sananya cowok harus disetarakan dengan kata tegas dan kuat tapi gue pengen sampaiin satu hal... dia pernah jadi seseorang yang paling kuat sampai akhirnya dia jadi seseorang yang lemah kayak begini.

Saka yang pernah gue denger ceritanya, dia pernah jadi sosok yang nggak pernah nangis di setiap malamnya walaupun Ayahnya sama sekali ajak ngobrol dia demi biar fokusnya ketika belajar nggak keganggu. Sekeliling ruang yang ditinggalin Saka cuma diisi buku dan suara detik jarum jam, katanya. Suara detik jarum jam itu yang jadi pengganti suara televisi, suara jarum jam itu yang temanin sosok anak kecil yang semestinya habisin waktu dengan main bersama temennya.

Saka bukan anak yang supel, walaupun gue tau banyak yang naksir dia tapi Saka payah banget soal bersosialisasi. Walaupun dia pernah jadi ketua OSIS dan ketua PASKIBRA, semua kemampuan dia nggak bisa terpakai buat bersosialisasi secara santai dengan temen-temen sebayanya. Kenapa? Karena Ayahnya selalu didik dia dalam cara militer yang paling disiplin. Makan tepat waktu, duduk tegak dengan sendok yang nyamperin mulut, nggak boleh bikin suara sekecil apapun dengan alat makan lo. Dia dididik begitu, jadi nggak heran kalau dia keliatan payah dalam berbincang sama temen sebayanya.

Tapi kenapa dia kaku banget? Saka nggak punya sahabat. Gue bisa jamin dengan telinga gue, Saka nggak punya sosok yang bisa ia anggap sebagai temen deket. Dia nggak kayak Tarendra yang punya Nakuladewa, dia nggak kayak gue yang punya Oppie. Kesehariannya cuma diisi oleh belajar, kehidupannya terus diawasi oleh Semeru dan Tania. Dia nggak punya temen buat diajak seru-seruan; dia nggak punya sosok yang bisa dijadiin temen buat bercanda. Please, tolong maklumin dia yang begitu.

Lo tau, nggak semua orang yang jadi ketua OSIS itu dipilih karena dia cakap dalam bertutur kata. Kadang seseorang bisa dipilih jadi pemimpin karena dia yang paling bisa dimanfaatkan — yang paling mau ambil segala hal sebagai tanggung jawab dia. Yang paling kaya. Yang paling bisa diporotin. Yang bisa dibully dan cuma bakal diem karena dia nggak mau ada masalah di organisasi yang dia pimpin. Saka adalah pemimpin yang begitu. Dia bakal lakuin apapun, asalkan tanggung jawabnya bisa terselesaikan.

Dia bego? Iya, berulang kali sering gue omongin hal itu ke dia, kok. Dia tolol? Gue sering ngomong begitu ke dia. Sering, banget.

Tapi tolong... tolong bantu gue buat jaga dia. Gue tau sekarang gue nggak punya hak penuh buat menjaga dia sebagai milik gue, gue tau sekarang dia adalah seseorang yang bebas— tapi gue masih memiliki tanggung jawab sebagai seseorang dari anak yang memiliki hutang budi ke Ayahnya dia. Gue masih pengen mastiin dia baik-baik aja.

Tolong gue, ketika ada hal yang mungkin berkaitan sama dia dan bikin dia keliatan aneh— please, please... kasih tau gue. Informasi dari kalian bakal sangat gue hargai, apapun itu. Gue nggak bisa 24/7 ada di sini, gue juga nggak selamanya bisa approach dia buat minta cerita secara jelas karena dia pun nggak suka ceritain masalahnya ke gue. (ya, lo semua tau soal kalimat gapapa kok, kak andalannya dia, kan?)

Gue tau dia udah dewasa, bentar lagi 20 tahun. Tapi gue harap, kalian— yang mungkin sekedar kenal atau emang sayang ke dia, bisa tetep bantu gue pantau kondisi dia. Gue serius ngerasa sakit banget ketika dia bilang dirinya rendah atau payah... walau gue tau sikapnya yang satu itu juga nggak boleh dibiarin, tapi gue paling nggak mau liat dia anggap dirinya begitu.

Gue janji, dengan status apapun itu— gue tetep bakal jadi Krishna yang bersedia buat jaga Saka. Gue janji bakal bisa jadi pribadi yang lebih tenang dan nggak akan emosian buat cari tau cerita segala sisi dengan lebih baik, jadi kalian yang mungkin punya informasi lebih tentang Saka atau apapun itu ketika dia punya masalah— laporin aja ke gue lewat DM atau apa, ya? Gue ga akan gegabah buat memihak atau apa, gue akan coba tenang dan menerima informasi kalian dengan baik.

Tolong, bantu gue jaga dia, ya?

Thanks.

— Krishna.

Singto menekan tombol kecil di sisi kanan dari ponsel yang tengah ia genggam. Layar ponsel tiba-tiba menjadi gelap dan memantulkan bayangan wajah Singto di sana. Perlahan, Singto menyentuh rambut poninya yang terangkat kemudian sedikit menyisirnya dengan jemari agar rambut bagian depannya itu terjuntai jatuh.

Singto, dengan rambut berponi. Mirip dengan seseorang; seseorang yang tengah mengaduh kesakitan di gudang tak berpenghuni karena tubuhnya babak belur sehabis dihajar oleh kawanan komplotan berandal sewaan Singto.

Singto sangat mirip dengan Kongpob. Dan dengan semua ini, ia akan menipu Arthit; lihat saja nanti.

Dua hari setelahnya..

“Ini berlebihan, Singto. Ngapain juga lo sampe kasih gue handphone baru kayak begini? Nggak usah! Handphone gue yang lama masih bagus, kok.”

Arthit menyodorkan kembali kotak ponsel dari brand ternama — seri keluaran terbaru, pula — kepada Singto yang sekarang duduk pada bangku yang berada di hadapannya.

Pagi ini, Singto memaksa Arthit untuk berjumpa sebentar; bahkan tanpa mendapat persetujuan, Singto sudah memarkirkan mobilnya di kediaman si kekasih. Sehingga mau tidak mau, Arthit merelakan waktu luang di harinya yang kosong karena tidak ada kelas mata kuliah untuk dihabiskan bersama Singto di salah satu Rumah Makan terdekat dari tempat tinggalnya yang sudah buka.

Walaupun sungguh, Singto terlihat sangat tidak cocok berada di rumah makan yang sederhana begini. Penampilan Singto yang mewah sungguh tampak timpang untuk berada di sini. Aneh, padahal Singto dan Kongpob itu kembar identik namun mengapa kesan keduanya sangat jauh berbeda?

“Ambil aja.” Singto mendorong kembali kotak handphone itu kepada Arthit. Nadanya terkesan memaksa, namun Arthit sedikit dibuat heran karena Singto tidak nampak begitu sinis. “Gue bakal pergi ke London seminggu lebih buat urusin pertemuan ini itu sama kolega bisnis bokap. Kalau gue tinggalin lo dengan kondisi handphone rongsokan yang susah dicharge, mana bisa gue tenang? Kalau gue mau hubungin lo dari London, gimana?”

Singto seperti membujuk. Sebuah hal yang sangat jarang Arthit temui sepanjang ia mengenal lelaki itu. “Tapi guenya nggak enak aja, gitu, To. Ini harganya pasti mahal banget, 'kan?”

“Murah. Lebih murah daripada biaya service satu mobil gue perbulan, malah.”

Arthit mengutuk dirinya sendiri. Buat apa dia membicarakan perihal materi di depan orang kaya raya seperti Singto, coba?!

“Ambil aja. Biar gue nggak susah buat hubungin lo dari London. Oke?” Singto meraih tangan Arthit kemudian digenggam erat; sangat. Sejujurnya Arthit ingin sekali menepis genggaman tangan Singto namun otaknya masih berkerja waras. Arthit paham, kepura-puraannya harus tetap terlaksana. Jika ia menepis tangan Singto, sama saja dengan ia cari mati dan membuat Kongpob berada di situasi yang sulit.

Pada akhirnya, Arthit membiarkan Singto menggenggam tangannya walau sejujur-jujurnya; Arthit enggan disentuh oleh Singto yang menurutnya sangat aneh.

Namun lama kelamaan, genggaman tangan Singto berubah. Dari yang semula menggenggam erat, kini menjadi cengkeraman yang kuat. Sontak, Arthit meringis kesakitan dan mau tak mau menepis tangan Singto. Akibat cengkeramannya, pergelangan tangan Arthit sampai memerah parah. “Singto! Lo ngapain, sih?”

Amarah Arthit tidak dibalas dengan pandangan berisi penyesalan dari Singto. Lelaki itu hanya mengangkat bahunya, ringan. “Gue terlalu sayang ke lo, makanya gue pengen genggam tangan lo erat-erat.”

Arthit sedikit menganga, jawaban Singto sama sekali tidak masuk akal!

Akhirnya karena tidak ingin berada di ruang yang sama dengan Singto lebih lama lagi, Arthit meraih kotak berisi ponsel baru pemberian Singto kemudian bangkit dengan segera dari bangkunya. “Gue pulang. Nggak usah dianter, biar gue pulang sendiri,” ucap Arthit ketus.

“Lho. Gue bakal ke London nanti sore, lho, Arthit. Seminggu lebih. Lo yakin nggak mau habisin waktu lebih lama sama gue?”, tanya Singto dengan punggung yang bersandar pada kursi juga sebelah kaki yang ditumpu di kaki lain. Tampak angkuh, apalagi dengan tangan yang kini bersedekap di depan dada. “Lo nggak bakal kangen sama gue, Arthit?”

Tanpa membalikkan tubuhnya, Krist berujar singkat. “Gue sibuk.” Langkah si lelaki Rojnapat benar-benar dibawa pergi meninggalkan rumah makan sederhana tempat keduanya berada hingga beberapa saat lalu. Membiarkan Singto duduk di bangkunya, masih dengan sebelah kaki yang bertumpu dan tangan yang bersedekap di depan dada.

Singto, tersenyum.

DDDRTT. DDDDRRRT.

Getar notifikasi yang menandakan ada chat yang masuk terdengar dan membuat Singto merogoh saku celana jeansnya. Sebuah ponsel dengan casing berwarna putih berada pada genggaman; dengan isi pesan yang terpampang jelas.

Krist dan Namtan adalah sahabat dekat. Bahkan saking dekatnya, Namtan memberikan Krist duplikat kunci apartemen berukuran studio miliknya. Dan Krist sangat bersyukur untuk hal itu; karena sekarang ia bisa membuka pintu apartemen Namtan tanpa terhalang apapun setelah ketukannya di pintu sama sekali tidak mendapat jawaban.

“Namtan!”

Krist bukan orang yang percaya akan namanya firasat. Krist percaya bahwa semua hal yang akan terjadi pasti tidak akan didahului oleh yang namanya pertanda. Namun kali ini sedikit berbeda. Krist merasa bahwa ada hal yang tidak baik tengah terjadi pada Namtan. Sahabatnya tidak sedang baik-baik saja.

“NAMTAN!” Krist berteriak seraya membuka pintu kamar milik si sahabat. Kosong, tidak ada siapapun di sana. Dengan sedikit panik, Krist merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponsel, kemudian memanggil nomor telefon Namtan. Kalau Namtan masih ada di apartemen, semestinya ponsel Namtan akan memberi notifikas—

DDDRRRT. DDDRTT.

Notifikasi getar terdengar samar. Krist menajamkan pendengarannya, sudah pasti suara itu berasal dari ruang sekitarnya. Ponsel pasti masih berada di kamar Namtan!

“NAMTAN!” Dengan gerak yang berantakan, Krist membuka pintu lemari pakaian; berpikir bahwa Namtan ada di sana, walau ia sendiri meragukannya. Hingga dengan harapan yang sangat rendah, Krist membuka pintu kamar mandi yang berada tidak jauh dari kamar tidur Namtan.

Yang menyambut pengelihatannya sekarang adalah Namtan yang tengah terbujur lemas dengan tubuh yang bersandar ke dinding kamar mandi. Tangannya tergeletak; di sebelah pergelangan tangannya ada garis melintang, warna merah berceran di lantai. Ponsel milik Namtan ada di sana, layarnya tidak terkunci dan memampangkan deret baris kalimat yang Krist kirimkan beberapa waktu yang lalu.

Krist lupa dengan apa yang ia lakukan kala itu. Yang pasti dan yang Krist ingat walaupun samar-samar, ia menekan nomor panggilan darurat dan meminta ambulans segera datang untuk memberi pertolongan. Krist bukannya tidak mau memberi pertolongan pertama namun rasa terhenyak terlalu menguasai diri; bahkan ketika meminta pertolongan untuk mendatangkan ambulans, Krist merasakan suaranya gemetar bukan main.

Hingga akhirnya, sadar kembali menguasai diri. Dengan langkah gemetar dan tangan yang juga tidak kalah gemetar serta terasa dingin, Krist mengambil handuk kecil yang ada di wastafel kamar mandi kemudian mengikatkannya ke lengan Namtan agar aliran darah dari lengan Namtan bisa berkurang. Walaupun Krist sendiri tidak tahu, sudah berapa lama Namtan dalam kondisi seperti begini. Walaupun Krist sendiri tidak tahu apakah tindakannya ini terlambat atau tidak.

Pandangan Krist menangkap botol obat berwarna coklat yang tergeletak begitu saja di atas lantai kamar mandi, dekat dengan kloset. Beberapa butir isinya jatuh tercecer tidak beraturan. Dengan takut-takut, Krist memperhatikan wajah Namtan — pucat, dengan bekas saliva mengalir di ujung mulut juga bercak dari serbuk berwarna putih ada di sana.

Krist jatuh terduduk, lemas.

Kenapa ia memperkenalkan Namtan ke si bajingan Mike? Kenapa sahabatnya sampai harus jadi begini? Kenapa...begini?

“Makan, belum? Gue udah beliin roti, ada di dalam dashboard. Kalau mau, makan aja.”

“Nggak apa-apa. Gue masih belum laper.”

“Kemarin tidur jam berapa?”

“Jam dua.”

“Ngapain? Kita 'kan selesai ngobrolnya jam dua belas-an.”

”...”

“Abis ngapain, Arthit?”

“Ngobrol sama Kongpob. Cuma bahas soal hazer, nggak perlu curiga.”

“Tch. Nggak mungkin. Ngapain ngomongin soal hazer sampe jam dua pagi?”

“Singto, please. Ini masih pagi, nggak perlu kita isi pake berantem. Gue hazer. Lo hazer. Kita punya tanggung jawab, fokus di situ dulu aja.”

“Lo sayang gue, nggak, Arthit?”

”...”

“Lo sayang gue, nggak, Arthit?” “Lo cinta nggak ke gue, Arthit?”

”...”

Arthit hanya memberi jawab dengan anggukan. Bibirnya bungkam, pandangannya masih dibawa menatapi jalan raya dari jendela mobil.

“Gue butuh jawaban. Bukan ngangguk-ngangguk doang kayak orang bisu, Arthit.”

Singto bisa merasakan genggamannya pada setir kemudi semakin dieratkan, bahkan tanpa otaknya perintahkan. Mungkin itu gerak alam bawah sadarnya agar tidak meledak saat ini juga.

“Gue nggak suka sebut hal cheesy kayak begitu, Singto. Lagian lo juga pasti tau, 'kan, gimana aslinya perasaan gue?”

Arthit menjawab dengan suara yang lesu, pandangannya juga semakin terlihat tidak berbinar. Tidak ada penggambaran bahwa Arthit sedang berbicara dengan seseorang yang ia sayang.

Singto tidak tahu tindak gila apa yang tengah ia lakukan ketika secara tiba-tiba ia menginjak pedal gas mobilnya dalam-dalam. Membuat mobil yang dikendarai olehnya melaju sangat kencang di jalan raya yang untungnya masih sepi karena waktu masih menunjukkan pukul subuh. Namun biarpun begitu, Arthit tentu saja terkejut bukan main karena dibawa melaju secepat ini tanpa peringatan.

“SINGTO! LO NGAPAIN, ANJING?! JANGAN NGEBUT!”

Arthit berseru, ekspresi wajahnya takut bukan main. Apalagi ketika ia melihat Singto di sampingnya, si kekasih tengah memasang ekspresi paling datar; tidak terlihat takut sama sekali.

“SINGTO!!! STOP!!!”

“Lo sayang gue, Arthit?” “Lo cinta gue, Arthit?” “Gue nggak akan pelanin mobil ini sampai gue dapet jawaban dari lo.”

Arthit mau menangis ketika kecepatan mobil dirasa semakin meningkat, apalagi sekarang terdengar suara dengung di telinganya karena dibawa dalam kecepatan sebegini cepatnya. “SINGTO!!!”

“Jawab, Arthit!!!”

“GUE SAYANG LO, SINGTO! GUE CINTA LO! SINGTO, STOP!!!”

“Lebih daripada Kongpob?!”

”...” Arthit terdiam, namun tidak bertahan lama karena Singto semakin menekan pedal gas hingga kecepatan mobilnya semakin meningkat. “ANJING, SINGTO!”

“LEBIH DARIPADA KONGPOB?!”

Maaf, Kong. Maaf. Maafin gue..

“IYA! LEBIH DARIPADA KONGPOB! LEBIH DARIPADA SIAPAPUN! SINGTO, GUE MOHON BERHENTI!”

Kecepatan mobil berkurang; berbarengan dengan Singto yang tertawa puas di balik setir kemudinya. Tertawa, terbahak. Seakan emosinya tidak bisa terkendali, bahkan sekarang ia menekan klakson mobilnya panjang-panjang ─── membuat Arthit menyeka air mata yang jatuh di pelupuk matanya.

“KONGPOB! LO NGGAK ADA APA-APANYA! GUE LEBIH HEBAT DARI LO! ARTHIT CUMA PUNYA GUE!”

Singto sudah tidak waras.