dontlockhimup

Singto masih ingat pertemuan pertamanya dengan Arthit.

Adalah ketika upacara penerimaan mahasiswa baru di Universitas Negeri yang akan menjadi rumah keduanya selama beberapa tahun ke depan. Sebetulnya pertemuan pertama Singto dan Arthit tidak begitu menyenangkan, sih.

Ketika itu, cuaca terik dan Singto memilih untuk berteduh di bawah pohon rindang yang ada di satu sudut lapangan; terpisah dari kelompoknya yang sekarang sedang sibuk berburu tanda tangan para senior.

Sebetulnya ada beberapa alasan bagi Singto untuk tidak ikut berkeliaran diantara para mahasiswa baru; yang pertama, Singto enggan berpanas-panasan. Yang kedua dan yang paling penting, Singto enggan secara tidak sengaja berpapasan dengan seseorang yang berwajah persis mirip seperti dirinya.

Singto enggan bertemu Kongpob.

Kalau diingat lagi, memang menyebalkan. Padahal semenjak mereka kanak-kanak hingga di akhir bangku Menengah Atas, Singto dan Kongpob tidak pernah berjumpa secara sering walaupun keduanya berstatus saudara kembar. Sekolah mereka berbeda, lingkup pertemanan mereka berbeda. Singto dan Kongpob bagai dua sisi koin yang berbeda — namun sekarang? Di bangku perkuliahan, mereka diterima di universitas yang sama. Singto mengutuk dirinya sendiri yang memilih masuk ke Universitas ini tanpa mencari tahu apakah Kongpob juga memiliki pemikiran serupa.

Sialnya semua keburu terlambat. Berbarengan dengan pengumuman kelulusan dan pemberitahuan masuk Universitas, Singto baru mengetahui bahwa Kongpob juga diterima di Universitas yang sama. Untungnya, fakultas mereka berbeda.

Dan Singto bersumpah, ia tidak akan pernah mau bersinggungan dengan Kongpob; sekalipun. Sampai kapanpun.

“Lo kok duduk-duduk aja, sih? Buruan cari tanda tangan! Nanti lo malah dibentak senior, lho!”

Baru ketika Singto berniat untuk mencari tempat berteduh yang lebih sejuk, tiba-tiba satu lengan menarik tangan kanan Singto dan memaksa dirinya untuk bangkit, kemudian masuk ke dalam kerumunan mahasiswa/i yang sibuk meminta tanda tangan para senior.

Singto bahkan belum sempat menyuarakan apapun namun sosok yang menarik tangannya barusan sudah sibuk mencari tempat diantara kerumunan, dengan tidak pernah sekalipun melepaskan genggamannya di tangan Singto. Dari arah belakang, Singto memperhatikan; sosok itu adalah seorang lelaki berkulit putih dengan rambut yang agak kemerahan akibat ditempa cahaya matahari terlalu lama. Kulit putihnya sekarang terlihat memerah, mungkin tidak biasa dengan cahaya terik yang bagaikan neraka bocor di atas mereka.

“KAK! KAK! MINTA TANDA TANGAN DI SINI JUGA, DONG!” Lelaki berkulit putih itu berseru kencang sehingga mendapat atensi dari si kakak tingkat. Tanpa menunggu lama, lelaki itu mengambil buku catatan milik Singto dan menyerahkannya ke si senior. “Di sini, Kak! Di sini juga! Tolong tanda tangan!”

Singto tidak memiliki banyak teman. Pribadinya dingin dan ketus. Kalaupun ada yang dekat dengan Singto, pasti mereka mendekati karena ingin mencicipi manisnya kucuran harta si lelaki. Jadi ketika si lelaki berkulit putih itu kembali menghampiri Singto kemudian menyerahkan kembali buku catatannya kepada si pemilik, Singto tanpa basa basi menyuarakan tanya. “Lo mau minta duit berapa?”

Lelaki berkulit putih itu mengernyitkan kening sebelum akhirnya tertawa renyah. “Apaan sih, lo? Ngapain juga gue minta duit lo? Udah, ayo kita cari lagi tanda tangan dari senior yang lain!”

Lagi. Lelaki itu lagi-lagi menggenggam lengan Singto dan menariknya ke kerumunan mahasiswa/i yang sedang mengerubungi senior yang lain. Entah sejak kapan dan bagaimana caranya, sentuhan tangan lelaki itu menyejukkan — padahal jelas-jelas matahari bersinar terik di atas kepala mereka. Lalu barusan otak Singto menggambarkan situasi ketika lelaki itu tertawa renyah; memabukkan.

Di tengah langkah keduanya, Singto berusaha untuk melihat papan nama yang tergantung di leher si lelaki berkulit putih. Identitas yang dimiliki para mahasiswa/i baru. Namanya Arth—

“Kak Arthit!”

Seruan terdengar, membuat Singto serta si lelaki berkulit putih juga beberapa mahasiswa/i menolehkan kepala ke arah sumber suara. Detik berikutnya, Singto mendengus kesal. Sosok yang paling tidak ingin diketemui olehnya malah menunjukkan diri.

Kongpob berdiri tidak jauh dari Singto dan si lelaki yang dipanggil Arthit. Di sisi lain, Arthit yang sedang menggenggam lengan Singto kini menatapi Singto dengan tidak percaya, kemudian beralih menatap Kongpob.

Lihat Kongpob. Lihat Singto. Ke Kongpob, lagi.

Hingga akhirnya tatapan seperti pukulan bola pingpong itu terhenti seiring dengan Arthit yang membalikkan posisi papan nama di leher Singto ( yang memang sejak awal tidak Singto tunjukkan dalam posisi yang benar karena ia tidak suka namanya disebut oleh siapapun ) dan segera menghentakkan tangan Singto; tatapannya gugup. “EH! SUMPAH GUE KIRA KONGPOB, TEMEN SEFAKULTAS GUE! LO MIRIP BANGET! SUMPAH, SORRY BANGET! GUE NGGAK TAU KALAU DARITADI GUE SALAH ORANG!”

Ketika tangan Singto dihentakkan oleh Arthit hingga terlepas, di saat itu Singto merasakan sebuah keinginan.

Untuk menggenggam tangan Arthit, lagi. Kali ini, tidak akan pernah ia lepaskan. Sekalipun, tidak akan.

“Nggak perlu saya antar sampai ke dalam?”

Singto menawarkan diri ketika Krist sedang membuka pengunci sabuk pengaman di tubuhnya. Keduanya baru saja tiba di Rumah Sakit bilangan kota Jakarta dengan mengendarai mobil BMW milik Singto yang memang biasa si lelaki simpan di hotel milik Jumpol, bukan karena alasan khusus — mobil Singto... terlalu banyak dan yang dikendarai oleh Singto sekarang adalah mobil dengan seri paling rendah dari semua mobil yang ada di garasi rumahnya.

Jadi daripada dibiarkan terparkir sembarangan di luar rumah maka Singto meminta izin dari si sahabat, Jumpol, untuk memarkirkan satu mobilnya di pelataran parkir hotel Tjandratika — yang tentu saja diiyakan tanpa banyak pertanyaan.

Singto menolak tawaran Foei yang bersedia mengantarkan sang Tuan dengan Krist ke tujuan. Walaupun Singto tahu Foei tidak akan berani mencampuri urusan pribadinya, Singto tidak senang jika Foei menaruh perhatian kepada Krist sepanjang perjalanan.

“Nggak apa-apa, kok. Saya udah sering banget ke sini,” jawab Krist seraya meletakkan sabuk pengaman di mobil Singto dengan sangat hati-hati agar tidak membentur interior di dalam mobil dan menimbulkan bekas gores atau semacamnya. “Seminggu mungkin tiga atau empat kali?”

Semenjak masuk ke dalam mobil, Krist terus-terusan merasa tegang. Bukan karena ia duduk di samping Singto yang tampak sangat mempesona ketika sedang menyetir namun karena Krist takut sepatu yang dikenakannya akan meninggalkan bekas debu atau tanah kering ke pijakan di bangku penumpang!

“Oh..”, Singto menggumam seraya memperhatikan bangunan dengan dominasi cat berwarna putih di sampingnya; nada bicaranya terdengar murung. “Kamu sering bolak-balik ke sini, ya?”

“Sering..” Pertanyaan Singto dibalas dengan jawaban singkat dari Krist yang masih duduk di bangkunya dengan posisi kedua tangan yang saling menggenggam. Sesungguhnya ia ingin segera turun dan terbebas dari suasana canggung ini namun bagaimana ia bisa turun jika Singto tampak masih ingin berbincang dengannya. “Keluarga saya dirawat di sini. Udah lumayan lama, sih. Sekitar... enam bulan?”

“Keluarga kamu sakit parah?”, tanya Singto. Nada bicaranya terdengar sedikit khawatir. “Dirawat di kamar mana? Boleh saya jenguk?”

“Nggak! Nggak usah!” Krist menggeleng seraya menggerakkan tangannya untuk mengisyaratkan bahwa Singto tidak usah ikut masuk ke dalam Rumah Sakit bersamanya. “Saya nggak mau ngerepotin. Tadi aja saya udah ngerepotin kamu dengan dibelanjain buah-buahan sebanyak ini..”

Mata Krist melirik ke arah jok penumpang di bagian belakang, ada satu keranjang berisi bermacam buah-buahan. Singto memang sempat mengajak Krist untuk mampir ke supermarket buah, di sana— Krist ditawari macam-macam dan berulang kali Krist harus melayangkan penolakan karena jika tidak... bisa jadi belanjaan mereka akan jadi satu mobil penuh. Walau pada akhirnya, Krist mengiyakan ketika Singto memaksa untuk menerima satu keranjang buah yang dibelikan. Krist tahu, dia yang ada di Rumah Sakit pasti akan senang memakan buah-buahan ini.

Mendengar penolakan Krist, Singto sempat terdiam sejenak hingga pada akhirnya mengeluarkan selembar cek kosong lagi dari saku kemejanya. Setelah membubuhkan tanda tangan basah di cek itu, Singto menyerahkannya kepada Krist. “Siapa tau lima ratus juta kurang, kamu bisa tarik lagi pakai yang ini.”

Krist membelalakkan mata. Kalau saja perbandingan langit dan bumi bisa diaplikasikan pada manusia, mungkin Krist dan Singto bisa dijadikan contoh paling sempurna. Bagaimana bisa lelaki ini dengan sangat mudah mengeluarkan uang lima ratus juta tanpa pikir panjang, coba?!

“Nggak usah! Nanti aja, nanti. Saya aja masih belum tau harus apa sama cek kosong yang kamu kasih kemarin.” Krist mendorong tangan Singto dan menjauhkan selembar cek di tangan si lelaki dari dirinya. “Yang kemarin kamu kasih itu lebih daripada cukup, kok.”

“Tapi..”, Singto menatap dalam-dalam paras Krist kemudian memajukan wajahnya hingga jarak diantara mereka berdua kini hanya berjarak beberapa sentimeter saja. “..aku mau kasih yang terbaik buat kamu,”

“Arthit.”

Semenjak berbincang dengan Krist, Singto terus menggunakan kata pengganti saya. Sementara ketika kini tatapannya kepada Krist dibarengi dengan nama Arthit, kata pemanggil yang diujarkan oleh Singto ikut berganti.

Aku.

Krist membeku. Ia sedikit terbuai dengan sikap Singto yang manis dan ramah hingga melupakan kenyataan bahwa lelaki itu hanya akan melihat dirinya sebagai Arthit. Bukan Krist.

Krist hampir lupa bahwa ia— hanya pengganti dari sosok yang bahkan tidak ia ketahui bagaimana rupanya dan wajahnya. Krist hampir lupa bahwa semua uang yang Singto beri bukanlah karena rasa tulus ingin membantu, namun sebagai bayaran agar Krist bisa melayaninya dengan baik...

...sebagai Arthit.

Paham bahwa hubungan mereka adalah sebatas simbiosis mutualisme, Krist yang semula bersikeras menolak tawaran cek kosong kedua dari Singto kini meraih selembar cek itu kemudian memasukkannya ke dalam saku celana yang dikenakan. Paham pula bahwa tidak ada yang diberi secara cuma-cuma, Krist melingkarkan tangannya ke leher Singto kemudian memberi cium pagutan dalam kepada si lelaki. Walau keduanya berada di dalam mobil yang terparkir di ruang terbuka, tidak menjadi masalah besar karena Krist tahu jendela mobil Singto dipasangi penghalang berwarna gelap. Siapapun tidak ada yang mengetahui tindak mereka berdua.

Diberi ciuman begitu, Singto membalas pagut dari bibir Krist dengan sama bernafsu. Bahkan lidahnya lagi-lagi meminta untuk dipuaskan secara lebih, meminta untuk bergumul lebih panas bahkan hingga Singto sedikit melepaskan lenguhan karena Krist mengulum daun telinganya dengan penuh seduktif.

Oh, ralat.

Hanya Singto yang bernafsu. Hanya Singto yang menikmati kontak fisik diantara bibir mereka berfua seraya menggumamkan nama Arthit lagi dan lagi. Krist? Dia memberi ciuman kepada Singto tanpa ekspresi, ia membalas lilitan lidah Singto tanpa merasakan apapun di dalam diri.

Dalam hatinya, Krist bertekad — hanya untuk saat ini saja ekspresinya akan seperti ini. Di pertemuan selanjutnya dengan Singto, Krist akan berperan lebih baik. Sebagai Arthit. Sebagai orang yang dicintai Singto sampai sebegininya.

Di lain kesempatan, Krist akan menjadi Arthit yang dicintai oleh Singto. Namun untuk kali ini, biarkan Krist mengutamakan egonya yang berteriak untuk tidak mengalah.

Kepada egonya yang berseru, bahwa ia sedang cemburu.

“Kamu biasa senyum begitu setiap kali chat sama orang-orang, ya?”

Krist baru saja akan berniat meletakkan ponselnya ke atas nakas dan beranjak bangun dari kasur untuk mandi namun kalimat yang diujarkan oleh lelaki yang semula Krist kira tengah tertidur itu tiba-tiba mengejutkannya. Entah sejak kapan, Singto sudah terbangun dan sedang menatapi Krist dari balik selimut yang menutupi diri hingga hanya tersisa matanya saja yang terlihat. Persis seperti foto Singto yang dikirimkan oleh Krist ke group chat miliknya dengan dua kawan, New dan Attaphan.

Krist mencoba mengulas senyum walau tipis. Niat untuk membersihkan diri diurungkan. Posisi tubuh yang semula tengah bersandar ke kepala tempat tidur kini direbahkan sepenuhnya dan dibuat menghadap ke arah Singto, sehingga mereka berdua tengah berbaring bersama dengan manik yang menatap satu sama lain. “Pagi, Singto,” ujar Krist seraya mengusapi helaian rambut hitam Singto.

Yang diberi usap hanya memberi anggukan kecil. Walaupun hampir seluruh wajah tertutupi oleh selimut, mata Singto yang sedikit membentuk bulan sabit membuat Krist paham bahwa lelaki itu juga mengulas sekilas senyum di balik selimutnya. “Pagi,” balas Singto dengan suara serak; sewajarnya suara laki-laki ketika baru bangun tidur. “Krist.”

Krist sedikit membulatkan matanya ketika mendengar Singto mengujarkan nama aslinya, bukan nama yang sedari kemarin ia ulang-ulang bagai potongan kaset rusak; Arthit.

“Saya... Krist?”, tanya Krist, terdengar ragu. “Bukan... Arthit?”

Singto menurunkan posisi selimut yang semula menutupi separuh wajahnya sehingga kini wajah si lelaki berkulit agak kecoklatan itu terpampang jelas di pandangan Krist. Oh, sial. Krist lupa bahwa kemarin malam mereka habis menyelesaikan malam yang panas sehingga di balik selimutnya, Singto hanya mengenakan celana boxer — itupun tanpa lapisan celana dalam lagi.

Krist mengutuk dirinya sendiri yang sekarang sedang memperhatikan batang kejantanan Singto yang menggunduk; besar dan padat. Krist bahkan jadi mengingat bagaimana kemarin malam ia hampir tersedak akibat batang gagah itu hampir menyentuh kerongkongannya padahal ia tidak memasukkan keseluruhan kejantanan Singto. Bayangkan, akan jadi sedalam apa jika Singto melesakkan kejantanannya itu ke diri Krist—? Bisa jadi senikmat apa jika Krist digagahi oleh lelaki tampan ini?

Fuck! Sadar, Krist! Masih pagi, nggak usah mikir macem-macem!

Tanpa sadar, Krist menjitaki kepalanya sendiri. Seperti memberi sugesti bahwa tidak semestinya ia berharap lebih; toh' ia yakin Singto pasti hanya menganggap dirinya satu dari sekian banyak insan pemuas nafsu yang mengisi malam-malam sepinya.

“Hei. Jangan dipukulin begitu kepalanya..” Singto meraih tangan Krist yang sedang menjitaki kepalanya sendiri kemudian digenggam erat. “Sakit, 'kan?”

Tangan Singto dingin. Entah apa sebabnya, Krist tidak bisa menyimpulkan. Apakah karena suhu di kamar yang memang dipasang dalam temperatur rendah? Atau karena tangan Krist yang terlalu hangat dalam garis miring panas akibat terlalu berdrbar karena digenggam kuat-kuat begini?

“M-Maaf, terlalu... deg-deg'an.” Sial! Bahkan sekarang Krist tergagap untuk sekedar mengucapkan kalimat?! Gila, efek seorang Singto rupanya separah ini. Krist sudah banyak menemani pelanggan dragonblue, bahkan yang hitungannya berwajah lebih tampan dari Singto juga pernah. Namun entah mengapa, Singto — yang memiliki tatapan teduh dan bibir merah — adalah yang pertama bisa membuat Krist seakan tidak bisa menahan segala degup yang bergemuruh di dadanya.

Singto tersenyum, kemudian mengecup punggung tangan Krist yang sedang ia genggam erat. “Krist..”, panggil Singto dengan sangat lembut hingga membuat Krist seakan lebur dalam semua imajinasinya yang paling liar. “..terima kasih buat yang kemarin malam, ya?”

“Oh, daripada terima kasih... mungkin semestinya saya minta maaf dulu, ya? Kemarin malam saya terlalu mabuk, makanya bertindak di luar kesadaran. Tindak yang kemarin, mungkin kamu nggak suka. Ketika saya panggil kamu dengan nama orang yang bahkan bukan diri kamu sendiri, kamu pasti kesal. Saya paham, maaf kalau kemarin saya terlalu memaksa kamu, ya?”

Krist merasakan wajahnya terasa panas, pasti sekarang pipinya sudah bersemu merah. Tutur kata Singto terlalu sopan dan santun, sungguh sesuatu yang tidak biasa Krist temui di sosok pelanggannya yang kebanyakan berujar dengan kalimat kasar.

“Kalau kamu merasa keberatan dengan semua tindak saya kemarin, kamu boleh tulis nominal semau yang kamu mau di cek kemarin. Kalau nggak salah, batas nominal maksimal yang bisa kamu tarik itu lima ratus juta. Cukup, 'kan?”

Krist ingin berteriak di depan wajah Singto saat itu juga, rasanya. Menanyakan kecukupan dari uang sejumlah lima ratus juta, apa Singto masih waras?!

Perlahan, Singto melepaskan genggaman tangannya di tangan Krist. Senyum manisnya masih terulas, membuat Krist tidak pernah bosan memandanginya lama-lama. “Oh, iya. Mungkin ini pertemuan pertama dan terakhir kita..”, ujar Singto dan membuat si lawan bicara terhenyak, sama sekali tidak memperkirakan. “..saya tahu kamu bukan dia yang namanya saya sebut kemarin. Kamu Krist. Dan, saya nggak mau bikin kamu ngerasa nggak nyaman karena tindakan saya kayak kemarin. Cukup sekali aja. Kamu bisa bilang ke atasan kamu buat kasih tau biaya yang harus saya transfer ke club, uang di cek yang kamu ambil nanti itu sepenuhnya buat kam—”

Singto tidak menyelesaikan kalimatnya karena Krist sudah keburu membungkam mulut si lelaki dengan bibirnya. Krist meraih punggung leher Singto kemudian menariknya mendekat, hanya untuk melabuhkan ciuman yang dalam.

Walau sempat terkejut, Singto tidak memberi perlawanan namun ia juga tidak memberi pagut cium sebagai balasan. Singto bersikap tenang dan hanya sedikit membuka ruang mulutnya ketika Krist berupaya melesakkan lidahnya untuk bermain dengan lidah Singto.

Singto bagai boneka, sementara Krist bagaikan orang yang dilanda nafsu sepenuhnya. Bahkan sekarang Krist beranjak memposisikan dirinya untuk berada di atas tubuh Singto, menggesekkan bokongnya untuk bersentuhan dengan gundukan kejantanan Singto yang masih terbalut celana boxer kemudian membuat sikap seakan-akan mereka tengah bersetubuh.

Seakan mereka sedang bercinta dengan Krist yang memimpin laju permainan.

“A-nnhh.. Singto—” Krist tidak tahu suaranya bisa membuat lenguhan seperti ini. Krist tidak pernah tahu suaranya bisa membuat rintihan seperti orang yang tengah disetubuhi oleh lelaki di video dewasa yang kerap ditontonnya. Krist tidak tahu ia bisa sebinal ini.

“Singto.. hnnh, enak— enak banget, sayang..”

Krist bermonolog, sementara Singto hanya memandanginya dari posisi berbaring; membiarkan Krist bertindak semaunya tanpa memberi respon dalam bentuk apapun. Singto tidak melenguh, Singto tidak mendesah. Singto— bersikap datar.

Beberapa menit berlalu tanpa Singto yang bersikap responsif akan tindak sensual pemberian Krist. Akhirnya, Krist berhenti melakukan tindakannya. Krist sekarang paham, ia tidak akan bisa menahan Singto untuk tidak pergi.

Krist melakukan semua tindakan barusan untuk menahan Singto agar tidak menjadikan semua ini sebagai pertemuan terakhir mereka. Semua dalam diri Krist seakan menolak lelaki ini untuk pergi. Entah karena alasan apa. Apakah karena kucuran harta yang siap dikeluarkan oleh Singto? Ataukah karena Krist menginginkan untuk disentuh oleh Singto seperti kemarin, ingin mendengar kalimat santunnya— lagi?

Akhirnya, Krist terdiam dengan posisi tubuh yang masih berada di atas pinggang Singto. Si lelaki yang berada di bawah memandangi Krist kemudian mengusap pipi kanan lelaki itu dengan lembut. “Krist, sedari awal saya nggak berminat buat terlibat di hubungan seperti begin—”

“Saya bisa jadi Arthit.”

Nama itu terucap dari bibir Krist. Singto sontak membatu, sama sekali tidak menyangka kalimat itu akan diujarkan oleh Krist; tidak menyangka penawaran itu akan menjadi hal yang diucap oleh Krist. “Krist, saya nggak minta—”

“Saya butuh uang kamu, Singto.”

Singto tidak tahu harus bertindak bagaimana. Kalimat yang diujarkan Krist barusan terlalu blak-blakan. Sepanjang menjalin hubungan dengan seseorang, Singto selalu mendapat kalimat dusta yang terbalut madu manis. Dari Jane, Singto pernah mendapat janji untuk selalu bersama dalam situasi sesulit apapun. Dengan Namtan, bahkan Singto dibuat bertekuk lutut karena Namtan berjanji untuk selalu ada sampai kapanpun.

Namun nyatanya, kalimat berbalur madu manis yang mereka ucap malah menjadi racun paling pahit. Pada akhirnya mereka pergi setelah mendapat sejumlah harta Singto yang mereka inginkan.

Pada akhirnya, semua orang yang mendekati Singto akan memiliki tujuan sama; merasakan manisnya harta milik si lelaki. Mungkin itu juga yang membuat Singto lebih nyaman berteman dengan Tawan dan Jumpol yang jelas-jelas kaya raya. Jika sudah sama-sama kaya, mereka tidak akan perlu menjatuhkan satu sama lain, bukan?

Tetapi sekarang, Krist mengatakan semuanya secara blak-blakan. Bahwa ia membutuhkan Singto. Bukan sebagai pribadi individu namun sebagai pemasok materi. Uang. Krist membutuhkan uang Singto.

“Kamu boleh panggil saya Arthit semau kamu. Kamu boleh meminta saya buat bertindak seperti Arthit. Saya bisa jadi Arthit buat kamu. Asalkan..”, Krist menghela nafasnya dalam-dalam. “..jangan jadiin ini pertemuan terakhir kita.”

“Saya butuh uang kamu. Saya.. butuh..” Krist menundukkan kepala seraya menumpukan tangannya di atas dada Singto. Ia menolak untuk mengangkat wajah, merasa malu dengan ujarannya sendiri yang dirasa tidak memiliki harga diri sedikitpun di dalamnya. “Saya nggak keberatan jadi Arthit buat kamu..”

Singto terdiam. Hanya sayup-sayup suara dering klakson dari mobil-mobil di jalan raya yang mengisi keheningan diantara keduanya. Hingga akhirnya, tangan Singto kembali tergerak untuk mengusapi pipi kanan Krist dengan teramat lembut. “Arthit..”, panggil Singto dengan suara seraknya. Bagai mendapat panggilan berupa titah, Krist mengangkat kepalanya hingga pandangan mereka berdua bertemu.

“Arthit?”, panggil Singto lagi; dengan kedua mata yang diarahkan lurus-lurus ke arah Krist. “Arthit..”

Krist tersenyum, menjawab panggilan Singto. “Ya, Singto?”

“Arthit..” Bagai potongan kaset rusak, Singto terus mengulang ucap nama itu dari bibirnya. Krist meraih tangan Singto yang masih berada di sebelah pipinya kemudian memberi genggam, walau tidak begitu erat. “Iya, Singto?”

“Arthit di sini..”, lanjut Krist. “Arthit lagi sama Singto.”

Singto tidak bisa lagi membedakan mana yang bohong dan yang nyata. Angannya dibawa berkhayal ke titik paling tertinggi, membayangkan bahwa yang ada di hadapannya sekarang adalah Arthit. Bukan Krist.

Singto seakan dibuat lagi percaya bahwa Arthit masih hidup, Arthit ada di hadapannya. Mengulas senyum yang manis, yang selalu bisa membuat Singto jatuh cinta.

“Arthit..”, panggil Singto lagi. “Kamu sayang aku, Arthit?”

Krist sempat terhenyak. Pertanyaan ini sama sekali tidak pernah ia perkirakan sebelumnya. Ini— menyangkut hati. Semestinya Krist tidak boleh bermain-main dengan apapun yang menyangkut hati.

Batas maksimal nominal penarikannya lima ratus juta.”

Oh, persetan. Krist membutuhkan uang itu daripada semua validasi perihal hati. Ada hati lain yang harus Krist selamatkan. Ada hati lain yang harus Krist pastikan detaknya tetap melaju di tengah sokongan selang medis yang menghalangi semua geraknya.

Krist membutuhkan uang Singto.

“Iya, Singto.” Krist berujar mantap sementara tubuhnya kini dibungkukkan agar bisa memberi kecup di bibir si lelaki yang tubuhnya ia kuasai. “Arthit sayang Singto..”

Kecup berubah menjadi pagutan yang dalam, hingga Krist harus kembali merelakan bajunya kembali tanggal karena Singto seakan lupa diri setiap kali Krist mengujarkan kalimat yang bagaikan mantra dari bibirnya.

“Arthit sayang Singto.” “Arthit cinta Singto.” “Arthit mau Singto.”

Krist, akan menjadi Arthit. Krist akan menjadi siapapun, asalkan Singto dan hartanya tidak pergi meninggalkan dirinya.


“Kamu biasa senyum begitu setiap kali chat sama orang-orang, ya?”

Krist baru saja akan berniat meletakkan ponselnya ke atas nakas dan beranjak bangun dari kasurnya untuk mandi, namun kalimat yang diujarkan oleh lelaki yang semula Krist kira tengah tertidur di sampingnya itu tiba-tiba mengejutkannya. Entah sejak kapan, Singto sudah terbangun dan sedang menatapi Krist dari balik selimut yang menutupi diri hingga hanya tersisa matanya saja yang terlihat. Persis seperti foto Singto yang dikirimkan oleh Krist ke group chat miliknya dengan dua kawan, New dan Attaphan.

Krist mencoba mengulas senyum, walau tipis. Niat untuk membersihkan diri diurungkan. Posisi tubuh yang semula tengah bersandar ke kepala tempat tidur kini direbahkan sepenuhnya dan dibuat menghadap ke arah Singto, sehingga kini mereka berdua tengah berbaring bersama dengan manik yang menatap satu sama lain. “Pagi, Singto,” ujar Krist seraya mengusapi helaian rambut hitam Singto.

Yang diberi usap hanya memberi anggukan kecil. Walaupun hampir seluruh wajahnya tertutupi oleh selimut, mata Singto yang sedikit membentuk bulan sabit membuat Krist paham bahwa lelaki itu juga mengulas sekilas senyum di balik selimutnya. “Pagi,” balas Singto dengan suara serak; sewajarnya suara laki-laki ketika baru bangun tidur. “Krist.”

Krist sedikit membulatkan matanya ketika mendengar Singto mengujarkan nama aslinya, bukan nama yang sedari kemarin ia ulang-ulang bagai potongan kaset rusak; Arthit.

“Saya... Krist?”, tanya Krist, terdengar ragu. “Bukan... Arthit?”

Singto menurunkan posisi selimut yang semula menutupi separuh wajahnya, sehingga kini wajah si lelaki berkulit agak kecoklatan itu terpampang jelas di pandangan Krist. Oh, sial. Krist lupa bahwa kemarin malam mereka habis menyelesaikan malam yang panas sehingga di balik selimutnya, Singto hanya mengenakan celana boxer — itupun tanpa lapisan celana dalam lagi.

Krist mengutuk dirinya sendiri yang sekarang sedang memperhatikan batang kejantanan Singto yang menggunduk; besar dan padat. Krist bahkan jadi mengingat bagaimana kemarin malam ia hampir tersedak akibat batang gagah itu hampir menyentuh kerongkongannya padahal ia tidak memasukkan keseluruhan kejantanan Singto. Bayangkan, akan jadi sedalam apa jika Singto melesakkan kejantanannya itu ke diri Krist—? Bisa jadi senikmat apa jika Krist digagahi oleh lelaki tampan ini?

Fuck! Sadar, Krist! Masih pagi, nggak usah mikir macem-macem!

Tanpa sadar, Krist menjitaki kepalanya sendiri. Seperti memberi sugesti bahwa tidak semestinya ia berharap lebih; toh' ia yakin Singto pasti hanya menganggap dirinya satu dari sekian banyak insan pemuas nafsu yang mengisi malam-malam sepinya.

“Hei. Jangan dipukulin begitu kepalanya..” Singto meraih tangan Krist yang sedang menjitaki kepalanya sendiri kemudian digenggam erat. “Sakit, 'kan?”

Tangan Singto dingin. Entah apa sebabnya, Krist tidak bisa menyimpulkan. Apakah karena suhu di kamar yang memang dipasang dalam temperatur rendah? Atau karena tangan Krist yang terlalu hangat dalam garis miring panas akibat terlalu berdrbar karena digenggam kuat-kuat begini?

“M-Maaf, terlalu... deg-deg'an.” Sial! Bahkan sekarang Krist tergagap untuk sekedar mengucapkan kalimat?! Gila, efek seorang Singto rupanya separah ini. Krist sudah banyak menemani pelanggan dragonblue, bahkan yang hitungannya berwajah lebih tampan dari Singto juga pernah. Namun entah mengapa, Singto — yang memiliki tatapan teduh dan bibir merah — adalah yang pertama bisa membuat Krist seakan tidak bisa menahan segala degup yang bergemuruh di dadanya.

Singto tersenyum, kemudian mengecup punggung tangan Krist yang sedang ia genggam erat. “Krist..”, panggil Singto dengan sangat lembut hingga membuat Krist seakan lebur dalam semua imajinasinya yang paling liar. “..terima kasih buat yang kemarin malam, ya?”

“Oh, daripada terima kasih... mungkin semestinya saya minta maaf dulu, ya? Kemarin malam saya terlalu mabuk, makanya bertindak di luar kesadaran. Tindak yang kemarin, mungkin kamu nggak suka. Ketika saya panggil kamu dengan nama orang yang bahkan bukan diri kamu sendiri, kamu pasti kesal. Saya paham, maaf kalau kemarin saya terlalu memaksa kamu, ya?”

Krist merasakan wajahnya terasa panas, pasti sekarang pipinya sudah bersemu merah. Tutur kata Singto terlalu sopan dan santun, sungguh sesuatu yang tidak biasa Krist temui di sosok pelanggannya yang kebanyakan berujar dengan kalimat kasar.

“Kalau kamu merasa keberatan dengan semua tindak saya kemarin, kamu boleh tulis nominal semau yang kamu mau di cek kemarin. Kalau nggak salah, batas nominal maksimal yang bisa kamu tarik itu lima ratus juta. Cukup, 'kan?”

Krist ingin berteriak di depan wajah Singto saat itu juga, rasanya. Menanyakan kecukupan dari uang sejumlah lima ratus juta, apa Singto masih waras?!

Perlahan, Singto melepaskan genggaman tangannya di tangan Krist. Senyum manisnya masih terulas, membuat Krist tidak pernah bosan memandanginya lama-lama. “Oh, iya. Mungkin ini pertemuan pertama dan terakhir kita..”, ujar Singto dan membuat si lawan bicara terhenyak, sama sekali tidak memperkirakan. “..saya tahu kamu bukan dia yang namanya saya sebut kemarin. Kamu Krist. Dan, saya nggak mau bikin kamu ngerasa nggak nyaman karena tindakan saya kayak kemarin. Cukup sekali aja. Kamu bisa bilang ke atasan kamu buat kasih tau biaya yang harus saya transfer ke club, uang di cek yang kamu ambil nanti itu sepenuhnya buat kam—”

Singto tidak menyelesaikan kalimatnya karena Krist sudah keburu membungkam mulut si lelaki dengan bibirnya. Krist meraih punggung leher Singto kemudian menariknya mendekat, hanya untuk melabuhkan ciuman yang dalam.

Walau sempat terkejut, Singto tidak memberi perlawanan namun ia juga tidak memberi pagut cium sebagai balasan. Singto bersikap tenang dan hanya sedikit membuka ruang mulutnya ketika Krist berupaya melesakkan lidahnya untuk bermain dengan lidah Singto.

Singto bagai boneka, sementara Krist bagaikan orang yang dilanda nafsu sepenuhnya. Bahkan sekarang Krist beranjak memposisikan dirinya untuk berada di atas tubuh Singto, menggesekkan bokongnya untuk bersentuhan dengan gundukan kejantanan Singto yang masih terbalut celana boxer kemudian membuat sikap seakan-akan mereka tengah bersetubuh.

Seakan mereka sedang bercinta dengan Krist yang memimpin laju permainan.

“A-nnhh.. Singto—” Krist tidak tahu suaranya bisa membuat lenguhan seperti ini. Krist tidak pernah tahu suaranya bisa membuat rintihan seperti orang yang tengah disetubuhi oleh lelaki di video dewasa yang kerap ditontonnya. Krist tidak tahu ia bisa sebinal ini.

“Singto.. hnnh, enak— enak banget, sayang..”

Krist bermonolog, sementara Singto hanya memandanginya dari posisi berbaring; membiarkan Krist bertindak semaunya tanpa memberi respon dalam bentuk apapun. Singto tidak melenguh, Singto tidak mendesah. Singto— bersikap datar.

Beberapa menit berlalu tanpa Singto yang bersikap responsif akan tindak sensual pemberian Krist. Akhirnya, Krist berhenti melakukan tindakannya. Krist sekarang paham, ia tidak akan bisa menahan Singto untuk tidak pergi.

Krist melakukan semua tindakan barusan untuk menahan Singto agar tidak menjadikan semua ini sebagai pertemuan terakhir mereka. Semua dalam diri Krist seakan menolak lelaki ini untuk pergi. Entah karena alasan apa. Apakah karena kucuran harta yang siap dikeluarkan oleh Singto? Ataukah karena Krist menginginkan untuk disentuh oleh Singto seperti kemarin, ingin mendengar kalimat santunnya— lagi?

Akhirnya, Krist terdiam dengan posisi tubuh yang masih berada di atas pinggang Singto. Si lelaki yang berada di bawah memandangi Krist kemudian mengusap pipi kanan lelaki itu dengan lembut. “Krist, sedari awal saya nggak berminat buat terlibat di hubungan seperti begin—”

“Saya bisa jadi Arthit.”

Nama itu terucap dari bibir Krist. Singto sontak membatu, sama sekali tidak menyangka kalimat itu akan diujarkan oleh Krist; tidak menyangka penawaran itu akan menjadi hal yang diucap oleh Krist. “Krist, saya nggak minta—”

“Saya butuh uang kamu, Singto.”

Singto tidak tahu harus bertindak bagaimana. Kalimat yang diujarkan Krist barusan terlalu blak-blakan. Sepanjang menjalin hubungan dengan seseorang, Singto selalu mendapat kalimat dusta yang terbalut madu manis. Dari Jane, Singto pernah mendapat janji untuk selalu bersama dalam situasi sesulit apapun. Dengan Namtan, bahkan Singto dibuat bertekuk lutut karena Namtan berjanji untuk selalu ada sampai kapanpun.

Namun nyatanya, kalimat berbalur madu manis yang mereka ucap malah menjadi racun paling pahit. Pada akhirnya mereka pergi setelah mendapat sejumlah harta Singto yang mereka inginkan.

Pada akhirnya, semua orang yang mendekati Singto akan memiliki tujuan sama; merasakan manisnya harta milik si lelaki. Mungkin itu juga yang membuat Singto lebih nyaman berteman dengan Tawan dan Jumpol yang jelas-jelas kaya raya. Jika sudah sama-sama kaya, mereka tidak akan perlu menjatuhkan satu sama lain, bukan?

Tetapi sekarang, Krist mengatakan semuanya secara blak-blakan. Bahwa ia membutuhkan Singto. Bukan sebagai pribadi individu namun sebagai pemasok materi. Uang. Krist membutuhkan uang Singto.

“Kamu boleh panggil saya Arthit semau kamu. Kamu boleh meminta saya buat bertindak seperti Arthit. Saya bisa jadi Arthit buat kamu. Asalkan..”, Krist menghela nafasnya dalam-dalam. “..jangan jadiin ini pertemuan terakhir kita.”

“Saya butuh uang kamu. Saya.. butuh..” Krist menundukkan kepala seraya menumpukan tangannya di atas dada Singto. Ia menolak untuk mengangkat wajah, merasa malu dengan ujarannya sendiri yang dirasa tidak memiliki harga diri sedikitpun di dalamnya. “Saya nggak keberatan jadi Arthit buat kamu..”

Singto terdiam. Hanya sayup-sayup suara dering klakson dari mobil-mobil di jalan raya yang mengisi keheningan diantara keduanya. Hingga akhirnya, tangan Singto kembali tergerak untuk mengusapi pipi kanan Krist dengan teramat lembut. “Arthit..”, panggil Singto dengan suara seraknya. Bagai mendapat panggilan berupa titah, Krist mengangkat kepalanya hingga pandangan mereka berdua bertemu.

“Arthit?”, panggil Singto lagi; dengan kedua mata yang diarahkan lurus-lurus ke arah Krist. “Arthit..”

Krist tersenyum, menjawab panggilan Singto. “Ya, Singto?”

“Arthit..” Bagai potongan kaset rusak, Singto terus mengulang ucap nama itu dari bibirnya. Krist meraih tangan Singto yang masih berada di sebelah pipinya kemudian memberi genggam, walau tidak begitu erat. “Iya, Singto?”

“Arthit di sini..”, lanjut Krist. “Arthit lagi sama Singto.”

Singto tidak bisa lagi membedakan mana yang bohong dan yang nyata. Angannya dibawa berkhayal ke titik paling tertinggi, membayangkan bahwa yang ada di hadapannya sekarang adalah Arthit. Bukan Krist.

Singto seakan dibuat lagi percaya bahwa Arthit masih hidup, Arthit ada di hadapannya. Mengulas senyum yang manis, yang selalu bisa membuat Singto jatuh cinta.

“Arthit..”, panggil Singto lagi. “Kamu sayang aku, Arthit?”

Krist sempat terhenyak. Pertanyaan ini sama sekali tidak pernah ia perkirakan sebelumnya. Ini— menyangkut hati. Semestinya Krist tidak boleh bermain-main dengan apapun yang menyangkut hati.

Batas maksimal nominal penarikannya lima ratus juta.”

Oh, persetan. Krist membutuhkan uang itu daripada semua validasi perihal hati. Ada hati lain yang harus Krist selamatkan. Ada hati lain yang harus Krist pastikan detaknya tetap melaju di tengah sokongan selang medis yang menghalangi semua geraknya.

Krist membutuhkan uang Singto.

“Iya, Singto.” Krist berujar mantap sementara tubuhnya kini dibungkukkan agar bisa memberi kecup di bibir si lelaki yang tubuhnya ia kuasai. “Arthit sayang Singto..”

Kecup berubah menjadi pagutan yang dalam, hingga Krist harus kembali merelakan bajunya kembali tanggal karena Singto seakan lupa diri setiap kali Krist mengujarkan kalimat yang bagaikan mantra dari bibirnya.

“Arthit sayang Singto.” “Arthit cinta Singto.” “Arthit mau Singto.”


“Jangan ke mana-mana dulu, dong. Kamu belum ke room sama aku, lho, Singto.”

Hiruk pikuk dan hingar bingar dari dentum suara musik yang memekakkan telinga membuat Singto enggan untuk berada di ruangan ini lebih lama lagi. Kerlap-kerlip lampu juga orang-orang yang berdansa tanpa gerakan yang terbentuk pasti semakin membuat lelaki itu merasa muak. Ia sangat tidak suka berada di tempat yang ramai begini, namun ajakan dari salah satu koleganya yang memiliki pasokan saham cukup besar di salah satu bursa efek membuat Singto tidak kuasa memberi penolakan. Godaan materi memang sangat memikat, bahkan hingga membuat Singto yang benci keramaian rela untuk masuk ke salah satu klab malam di kawasan Kemang demi hanya untuk membuat perbincangan lebih lama dengan kolega yang ia yakini bisa memberi pasokan pundi uang lebih banyak ke bisnisnya.

“Singto, ke room sama aku, ya?”

Seorang wanita dengan potongan pakaian sangat minim melingkarkan tangannya ke leher Singto yang berada di lantai dansa, berdesakan dengan pengunjung klab malam lainnya; hal yang seakan menjadi keuntungan untuk si wanita karena kini ia bisa menggesekkan belahan dadanya yang sintal ke dada Singto. Menggoda, agar lelaki yang ia ketahui sebagai pengusaha muda bisa luluh di bawah jamuan tubuhnya ketika berada di ranjang nanti. “Sayang, ya? Kita ke room dulu. Aku punya kamar khusus di lantai tiga...”

Dentuman musik membuat Singto sakit kepala. Rasanya gendang telinga sang tuan seperti dipukul-pukuli dari dalam kepala, membuatnya ingin muntah. Si wanita yang sedari tadi menggoda terlihat kesal karena tidak mendapat respon yang diinginkan dari sang tuan sehingga tanpa persetujuan siapapun ia mendaratkan bibirnya ke bibir Singto. Memberi pagut kemudian dengan lihai menelusupkan lidahnya ke ruang mulut Singto yang tanpa sadar memberi balas kecup serta lumatan, walau sekilas. Kepala Singto pening bukan main, dan jujur saja— ciuman dari wanita itu sempat memberi ketenangan untuk sekejap.

Hingga akhirnya tangan si wanita meraba bagian bawah tubuh Singto, barulah si lelaki sadar bahwa ia tidak bisa melanjutkan semua ini lebih lama lagi. Ketenangan yang semula dirasakan dari pagut ciuman si gadis berubah menjadi rasa takut yang melingkupi diri Singto. Entah bagaimana, sayup-sayup Singto bisa mendengar suara tawa dari seseorang yang ia ketahui telah pergi.

Singto mendengar suara tawa Arthit di tengah dentuman musik yang bertabuh keras di seluruh ruangan klab. Singto mendengar suara Arthit dan entah bagaimana caranya, sang tuan merasakan dadanya sakit bukan main. Jantungnya seakan ditusuki oleh ribuan jarum tak kasat mata; memberi sayatan yang kemudian mengoyak jantungnya hingga berdarah.

Dengan sisa kesadaran yang dimiliki, Singto menghempaskan lingkaran tangan si wanita penggoda dari lehernya. Kemudian dengan langkah yang agak gontai, ia berusaha menyeruak untuk keluar dari kerumunan orang-orang yang masih dimabuk nikmatnya dentuman musik disko dan buaian alkohol di gelasnya masing-masing. Lupakan soal perbincangannya dengan kolega pemilik saham segunung di bursa efek, Singto lebih ingin bisa terlepas dari semua kebisingan ini!

DDIINN. DDDIIN.

Ketika Singto membuka pintu keluar klab, yang menyambutnya sekarang adalah suara klakson dari kendaraan yang melaju di jalan raya depan klab. Nafas Singto memburu, merasa lega karena bisa keluar dari tempat semenyesakkan itu.

“Tuan!” Seorang lelaki bertubuh jangkung dengan jenggot yang tumbuh di sekitar dagu juga dengan kacamata hitam yang membingkai netranya menghampiri Singto dengan tergesa. Bahkan walaupun separuh dari wajahnya tertutupi oleh kacamata hitam, siapapun bisa menangkap ekspresi khawatir dari si lelaki yang menghampiri Singto. “Tuan! Tuan tidak apa-apa? Perlu saya bawa ke Rumah Sakit?”

Foei, supir pribadi Singto, berusaha memapah tubuh majikannya agar tidak terjatuh ke atas tanah. Dengan langkah hati-hati, Foei memapah langkah Singto untuk kembali ke mobil milik sang Tuan.

“Tuan, kita ke Rumah Sakit?”, ulang Foei dengan nada lebih khawatir dari sebelumnya karena ia melihat Singto tengah mencengkeram bagian dada sebelah kiri. Sesuatu yang Foei ketahui sebagai perihal fatal. Singto menggelengkan kepalanya kemudian berusaha meraih kotak icebox berukuran kecil yang dimodifikasi untuk terpasang di salah satu bagian bangku penumpang. Dengan tangan gemetar, Singto membuka salah satu kotak kecil berisi pil obat berwarna putih, mengeluarkan isinya kemudian menenggaknya tanpa air.

Perlu beberapa waktu hingga akhirnya nafas Singto bisa kembali terembus normal, tidak lagi memburu. Foei masih memandangi Singto dari balik bangku kemudi dengan khawatir namun tetap memasang siaga dengan perintah apabila sang Tuan meminta ia untuk berangkat menuju Rumah Sakit.

“Udah, nggak apa-apa.” Kalimat yang diujarkan Singto segera membuat si lelaki berkacamata mengembuskan nafas lega. Sementara itu, Singto masih diam di tempat dengan tangan kanan yang mencengkeram dada kirinya.

Jantungnya masih berdebar cepat dan keras. Entah apa maksudnya, entah apa maunya. Singto tidak pernah tahu apa mau dari organ ini; karena sedari awal, memang bukan Singto pemiliknya.

“Foei.”

“Ya, Tuan?”

“Kita ke Tjandratika, hotelnya Jumpol.”

Namun entah mengapa, jantungnya seakan memberi ujaran kepada Singto untuk pergi ke tempat itu. Ke sana, tempat yang sejak awal ia janjikan sebagai tempat temu dengan seseorang yang dibicarakan oleh Jumpol. Singto melirik arloji di pergelangan tangannya. Pukul delapan malam lebih lima belas menit, sudah lewat tiga jam dari janji pertemuan mereka pukul lima sore.

Semoga saja, dia masih menunggu di sana.


Krist tidak tahu atas dasar apa semua tindakannya ini terlaksana.

Sekarang Krist sedang meletakkan tangannya di kancing kemeja dari lelaki yang barusan mengetuk pintu kamar hotel yang ia kediami, berupaya untuk membuka kaitannya satu persatu hingga akhirnya semua kaitan kancing kemeja di tubuh lelaki itu tanggal sepenuhnya. Tubuh kekar lelaki di hadapannya terpampang jelas, otot dadanya yang bidang membuat Krist sempat menelan ludah; gugup. Selama ini, ia biasa menemani lelaki paruh baya yang bertubuh tambun dengan perut yang maju. Tidak atletis sama sekali.

Namun sekarang, lelaki yang ada di hadapannya memiliki bentuk tubuh yang sangat menggoda. Membuat Krist sendiri tidak sabar untuk menyentuhnya tanpa terhalang kain selembarpun.

“Arthit..”

Lagi. Lagi-lagi lelaki ini memanggil Krist dengan panggilan begitu. Dari semenjak Krist membukakan pintu hotel, lelaki itu memandangi diri Krist dengan tatapan tidak percaya. Seperti melihat sesuatu yang tidak mungkin ada di hadapannya. Bahkan Krist hampir tercekik dan tidak bisa bernafas ketika lelaki itu tiba-tiba menghambur ke pelukannya, merengkuh Krist erat-erat seraya menyuarakan satu nama. “Arthit..”

“Arthit.. aku rindu kamu..”

Kalau kita putar kejadiannya ke beberapa belas menit yang lalu, semuanya benar-benar abstrak. Krist tidak tahu siapa itu Arthit. Jangankan Arthit, bahkan Krist sudah lupa dengan nama lelaki yang memeluknya sekarang padahal Earth sudah memberitahu lewat chat di whatsapp tadi sore. Belum juga Krist menyuarakan tanya akan siapa sosok yang lelaki ini panggil sebagai Arthit, tiba-tiba lelaki yang— oh, Krist ingat! Nama lelaki ini Singto! — Singto mencium bibirnya dengan penuh nafsu.

Iya. Penuh nafsu. Karena alih-alih memberi pagutan kecil untuk mengawali ciuman, Singto segera meraup bibir Krist dan menelusupkan lidahnya ke ruang mulut si lelaki di dekapan. Krist sebisa mungkin mendorong tubuh Singto untuk menjauh, tidak ingin diperlakukan seenaknya begini. Namun lelaki ini seakan tidak menghiraukan tindak penolakan dari Krist. Ia masih memberi cium, bahkan sekarang mengecupi dan menghisapi tengkuk leher Krist dengan seduktif.

“Hei! Di perjanjian kita nggak ada tindakan begini! Saya ke sini cuma buat temani kamu! Nggak buat dipakai sama kamu!” Sebisa mungkin Krist berupaya tetap mengutamakan sopan santun dalam berucap walaupun ia tahu bahwa sepantasnya ia bisa saja meneriakkan kalimat caci-maki karena diciumi tanpa konsiderasi. Agaknya, tindakan Krist lumayan memberi hasil. Singto yang awalnya tengah mengulum cuping telinga Krist kini menghentikan tindakannya.

Krist hampir saja mengutuki dirinya sendiri yang merasa lemas di bagian kaki ketika ditatapi lurus-lurus oleh Singto. Ia baru menyadari sekarang bahwa lelaki di hadapannya itu sangat tampan. Tatapannya teduh. Bibirnya merah. Apa betul bibir indah itu sudah mendarat di bibir Krist? Bahkan si pemilik bibir juga tidak mempercayainya.

“Berapa?”

Pertanyaan Singto segera membuat Krist mengerjapkan matanya untuk beberapa kali, kebingungan dengan maksud kalimat yang didengarnya barusan. “Berapa yang harus saya bayar biar kamu mau tidur dengan saya?”

“Berapa jumlah yang kamu mau biar kamu mau diam ketika saya panggil kamu dengan nama Arthit?”

Krist mendengus kecil. Ia merasa lelaki ini terlalu meremehkannya dengan menawarkan nominal secara bebas. Apa dia kira Krist semudah itu untuk dirayu? “Saya nggak tahu Arthit itu siapa. Saya bukan Arthit dan saya nggak punya kewajiban untuk diam ketika kamu panggil saya dengan nama it—” Ujaran Krist terhenti ketika Singto mengeluarkan dompet dari saku celananya dan menarik selembar kertas berwarna putih agak keabu-abuan dari dalam sana.

“Ini cek kosong. Silahkan tulis jumlah uang yang kamu mau dapatin di sini. Saya nggak akan kasih limit buat nominalnya.” Krist membelakakkan matanya, tidak percaya dengan kalimat yang diujarkan Singto. “Dengan satu syarat.”

“Selama kamu ada di depan saya...” Singto mengusapi pipi kanan Krist dengan sebelah tangannya yang bebas, “...kamu adalah Arthit.”

Krist meneguk ludahnya. Lelaki ini berhasil menemukan titik terlemah yang dimiliki oleh Krist. Materi, uang, harta. Semua hal itu bisa membuat Krist bertekuk lutut dan memuja siapapun yang memilikinya, lalu sekarang— Singto memiliki semua itu.

Singto memiliki harta. Singto memiliki uang. Singto memiliki segala yang diperlukan Krist.

“Arthit?”

Krist tersadar dari lamunannya ketika Singto memanggil nama itu kepadanya. Gerak tangan Krist yang masih berada di kancing kemeja Singto terhenti karena lamunannya tadi sempat menguasai diri. Singto meraih dagu Krist kemudian menatapi mata si lelaki dengan lurus, seakan ingin mengetahui apa yang lelaki itu pikirkan. “Kamu kenapa, Arthit?”

Krist tersenyum tipis. “I'm okay..“, bisik Krist kemudian melanjutkan tindakannya untuk melepaskan kemeja hitam itu dari tubuh kekar Singto. Setelahnya, Krist menciumi dada kiri dan kanan Singto. Memberi kesan bahwa ia tengah memuja, entah memuja diri si pemilik raga atau memuja isi lembar nominal harta yang dimiliki lelaki di hadapannya.

“Arthit..” Singto lagi-lagi memanggil nama itu dan membuat Krist mengerlingkan matanya untuk menatap si lelaki yang berada di atasnya. Ciuman yang semula dilabuhkan pada dada perlahan mulai merambat naik ke tengkuk leher, hingga akhirnya Krist memagut bibir Singto dengan lihai. Walaupun selama ini belum pernah melayani pelanggannya secara pemberian nikmat birahi berbentuk fisik, Krist adalah pencium yang ulung. Lihat saja, Krist bahkan sudah menguasai permainan lidah dengan Singto yang dianggapnya sangat mahir untuk menuntun naiknya libido si lawan.

Hingga akhirnya ciuman mereka diputus oleh Krist. Singto tampak kecewa namun itu hanya sesaat karena sekarang Krist tengah berjongkok di depan kemaluan Singto yang masih terbungkus celana panjang. Dengan perlahan, ikat pinggang si lelaki dilonggarkan hingga celana panjang itu terlepas dan Krist disambut dengan tonjolan kejantanan Singto di balik celana boxernya.

“Singto..”, Krist berujar pelan dengan kepala yang menengadah. “Boleh Arthit hisap punyanya Singto?”

Krist merinding ketika menyebut dirinya sendiri dengan panggilan Arthit, sosok yang bahkan tidak ia kenali sama sekali. Namun rupanya nama itu benar-benar memiliki dampak yang sangat signifikan pada tingkat birahi Singto. Bahkan dari posisi begini, Krist bisa melihat bagaimana kejantanan Singto sekarang menjadi naik dan tegang hingga membuat Krist sendiri takjub. “Ya, Singto? Boleh, ya, Arthit main sama punyanya Singto?”

“Sama punyanya Singto...” Krist beranjak membuka celana boxer yang dikenakan Singto dan disambut dengan kejantanan si lelaki yang sudah menyeruak, tampak tidak sabar untuk segera dipuaskan. “...yang besar. Yang udah pasti bisa bikin enak di lubangnya Arthit. Ya? Sayang.. Singto, ya?”

Krist belajar banyak perihal kalimat berisi ujaran kotor dari Attaphan yang kerap melakukan voice call sex dengan si kekasih, Jumpol. Namun ia tidak menyangka, ketika dipraktikkan secara langsung, rupanya yang bisa merasakan birahinya naik tidak hanya Singto — Krist juga ikut merasakan euphoria yang serupa.

Jadi walaupun ini baru pertama, Krist bisa dengan luwes memainkan kejantanan Singto di tangannya. Bahkan ketika batang kejantanan yang gagah itu berada di mulut Krist dan hampir membuatnya tersedak karena Singto terus memaju-mundurkan pinggul di mulutnya, Krist tidak merasa keberatan.

“A-annghh.. Arthit, mulut kamu enak banget, Sayang...”

Krist ingin menyerukan ketidak-setujuannya akan nama yang dipanggil Singto jika saja ia tidak mengingat ada selembar cek kosong yang bisa ia isi dengan nominal besar di akhir sesi bercinta mereka. Maka semua argumen yang ingin disuarakan, Krist telan bulat-bulat. Arthit, adalah nama yang harus Krist dengar dan harus ia terima sebagai balas pujian atas semua jamuan yang ia beri kepada Singto saat ini.

Hingga Singto mencapai putihnya di wajah Krist, ia juga harus mendengar nama Arthit terus diserukan oleh si lelaki. Hingga Krist ditarik ke kamar mandi oleh Singto untuk melanjutkan sesi bercinta mereka, kali ini dengan kejantanan Krist yang menjadi objek untuk dinikmati oleh Singto, ia masih harus mendengar nama Arthit.

Arthit.

Di penghujung titik pencapaian putihnya, Krist mempertanyakan semua hal itu. Siapa Arthit?!

Berita terkini. Beberapa pasien dari Rumah Sakit Dr. Soetomo dikabarkan bertindak diluar kendali para tim medis. Banyak pasienyang masih belum diketahui penyebabnya. Disinyalir bahwa hal tersebut adalah akibat menyebarnya—”

PATS.

“Jangan nonton hal yang direkayasa cuma buat tutupi tindakan bejat pemerintah, Singto. Nggak baik, kamu bisa ikutan kena doktrin.” Seorang lelaki paruh baya tampak mengarahkan remote control di tangannya ke arah televisi yang ada di ruang tamu. Sementara seorang lelaki remaja tengah duduk di sofa yang menghadap ke televisi; masih memeluki bantal kecil di dekapan, walau sekarang pandangannya terarah ke si lelaki paruh baya. Tampak menyuarakan sedikit protes walau tidak sepenuhnya diucapkan secara verbal.

“Ini berita, lho, Ayah,” ujar si lelaki remaja yang dipanggil Singto oleh lelaki paruh baya bernama Bunrood, Ayahnya. “Terlepas dari itu kamuflase yang dibuat pemerintah, paling nggak kita harus tahu, 'kan, soal perkembangan dunia di luar sana?”

Penjelasan Singto barusan tidak begitu diindahkan oleh Bunrood. Sang Ayah lebih memilih untuk duduk di bangku meja makan kemudian mengutak-atik radio usang yang ada di atas permukaan meja. Suara gemerisik yang sedikit memekakkan telinga terdengar dari speaker radio namun Bunrood tampak tidak terganggu sementara Singto melirik sinis dari ujung pinggiran matanya, seakan menghakimi tindakan sang Ayah yang dianggapnya sangat aneh.

“Udah tahun ketiga Ayah coba perbaiki radio itu tapi nggak pernah bisa,” ujar Singto dengan nada sedikit menyindir. Tangannya kini meraih surat kabar yang ada di atas nakas sebelah sofa kemudian membaca isinya, lagi, ketiga kali dalam satu hari ini; saking ia tidak diizinkan menonton televisi oleh Ayahnya. “Kalau emang udah rusak, ya, nggak usah dipaksain, 'kali, Yah.”

Bunrood memberi jawaban dengan suara yang amat tenang. “Malah kebalikannya, Singto,” ujarnya singkat. Singto mengalihkan pandangannya dari barisan kalimat di surat kabar yang tengah ia baca untuk memfokuskan perhatian kepada sang Ayah. Merasa sedang diperhatikan, Bunrood melanjutkan kalimatnya. “Setiap hari Ayah cek frekuensi radio ini buat memastikan bahwa nggak ada siaran yang berlangsung.”

“Karena jika ada siaran dari frekuensi ini,” Bunrood menggantungkan kalimatnya sebelum kembali melanjutkan. “Itu tandanya dunia kita nggak lagi baik-baik saja.”

Singto mengernyitkan alis. “Dunia kita?“, tanya Singto dengan nada penuh selidik. “Ayah paling suka bikin penasaran, deh. Kalau jelasin sesuatu jangan setengah-setengah begitu, dong!”, cecar Singto dengan bibir yang sedikit mengerucut; tanda merasa sebal akibat ucapan Ayahnya yang memang selalu penuh tanya.

Sang Ayah, Bunrood, hanya terkekeh kecil sebelum akhirnya meletakkan kembali radio usang di tangannya ke atas meja makan. Persis, hal yang selalu dilakukannya selama tiga tahun ke belakang; mengecek salah satu frekuensi radio, membiarkan suara gemerisik yang lumayan memekakkan telinga yang bersumber dari radio itu terdengar selama beberapa menit, kemudian mematikannya lagi.

Selalu saja siklusnya begitu.

“Nanti Ayah jelaskan kalau waktunya sudah tepat,” ujar Bunrood dan segera dibalas dengan dengusan kecil dari Singto. Ayahnya selalu mengatakan demikian namun waktu yang disebut sebagai waktu yang tepat itu tidak pernah datang. Singto masih saja tidak tahu tentang hal yang dijelaskan oleh sang Ayah.

“Maunya apa, sih?!”

“Kak. Dengerin aku dulu..”

“Kapan, sih, kamu paham bahwa aku nggak suka sama tindakan kamu yang begini, Ka?! Kapan kamu bisa ngerti?! Mau bikin aku marah sampai kapan?!”

“Sayang.. sebentar..” “Dengerin aku dulu.”

“Perlu berapa kali lagi aku dengerin omongan kamu yang begini terus?! Capek tau, Ka! Capek! Ngertiin aku, coba!”

“Kak Krishna..”

“Diem! Gue nggak mau ngomong lagi sama lo! Sekarang jalanin aja dulu kehidupan kita sendiri-sendiri! Capek gue!”

Krishna tahu, tidak semestinya ia marah hanya perihal hal yang sepele begini. Krishna paham bahwa di situasi ini, dirinya adalah pihak yang salah.

Krishna tahu, namun ia terlalu tinggi hati untuk mengakui semuanya. Jadi setelah beberapa hari berlalu semenjak pertengkarannya dengan Raesaka dan beberapa hari juga mereka saling tidak berbicara, Krishna menyelipkan sepucuk surat di antara buku jurnal di tas ransel kekasihnya.

Menjelaskan perihal hati yang tidak bisa tersampaikan lewat kata-kata darinya. Menyampaikan sesuatu yang semestinya tersampaikan semenjak awal alih-alih teriakan berisi emosi tidak beralasan.

Semoga saja, Raesaka membacanya.

Untuk Kak Krishna,

Walaupun pagi ini kamu cemberut sampai bibir kamu manyun lima senti, di mata aku— kamu tetap paling manis. Walaupun pagi ini kamu nggak bikinin aku bekal, aku seneng banget karena tau Kakak masih masukin permen kopiko ke saku tasku soalnya Kakak inget kalau hari ini aku ada kelas Park Gyosunim yang ngebosenin setengah mati. Kakak masukin permen kopiko biar aku nggak ngantuk. Aku tau itu.

Dan walau kamu marah ke aku, walaupun kamu masih belum minta maaf ke aku— aku udah maafin semuanya, Kak. Semua hal yang kamu omongin kemarin, nggak pernah aku masukin ke hati.

Aku tau, Krishna yang aku kenal adalah seseorang yang susah atur emosinya kalau udah kesal. Krishna yang jadi pacarku adalah seseorang yang bisa lupa diri ketika emosinya naik. Aku tau. Aku paham.

Aku nggak tau apakah Kakak sadar atau nggak tapi Kakak udah banyak berubah semenjak kali pertama kita ketemu, lho. Walau masih sering emosi, aku tau Kak Krishna udah berusaha banyak buat mengubah sikap juga sifat Kakak. Jadi Kakak nggak usah ngerasa bersalah, ya? Aku udah maafin Kakak walaupun sebenernya nggak usah ada yang dimaafin, sih.

Toh' hal begitu emang keluar dari insting dan naluri, nggak, sih?

Kak Krishna.

Inget nggak hari ini tanggal berapa? Lima tahunannya kita, yeay! Hehehe. Cepet, ya, Kak? Kayaknya baru kemarin ketika Kakak peluk aku di kamar sehabis aku nangis juga ngamuk besar akibat Mas Meru. Kayaknya baru kemarin ketika kita omongin rencana buat S2 barengan ke KAIST Korea, eh— tau-tau ini udah setahun lewat semenjak kita kuliah di KAIST.

Kak Krishna, aku bahagia banget bisa ketemu sama Kakak diantara banyaknya orang-orang di dunia. Diantara banyak manusia yang cuma mikir antara hitam dan putih, benar dan salah, aku dipertemuin sama Kak Krishna yang berpikiran sama kayak aku; beragam warna.

Kak Krishna bisa jadi merah yang menggebu-gebu. Kak Krishna bisa jadi pink yang malu-malu. Kak Krishna bisa jadi mendung kelabu tapi bisa jadi matahari paling cerah diantara langit biru.

Kak Krishna itu satu diantara sejuta. Eh, bukan. Satu diantara milyaran manusia di dunia. Kak Krishna terlahir di dunia sebagai anugerah terbaik buat orang tua Kakak, kemudian Kakak tumbuh sebagai seorang penyelamat buat aku yang pernah tersesat di hutan belantara.

Kak Krishna, utaraku.

Nggak ada yang mau aku minta dari Kakak. Kakak udah lebih dari cukup buat aku. Walaupun Kakak kadang suka susah buat bilang sayang, walaupun gengsinya Kak Krishna masih lebih tinggi daripada langit khayangan— aku masih mau dan nggak akan nyerah buat mengerti Kak Krishna lebih jauh. Buat memahami segala hal tentang Kakak, buat tau apapun yang bahkan mungkin belum Kak Krishna sadari.

Sayangku, Krishna.

Lima tahun yang kita lewatin kemarin bukan waktu yang sebentar. Ada banyak tangis, ada banyak duka, ada banyak cerita yang nggak selalu bahagia tapi semua itu masih jadi hal yang paling aku syukuri...

...karena seburuk apapun situasinya, aku tahu bahwa Kak Krishna akan selalu ada di samping aku. Kak Krishna akan selalu kembali buat aku dan buat aku sendiri, aku nggak akan punya tempat untuk berpulang selain ke Kak Krishna.

Aku bangga ke diriku sendiri yang dulu nggak pernah nyerah buat kejar Kakak walau penolakan dari sana sini selalu bikin aku capek banget. Aku nggak nyesel sama sekali, sekalipun nggak pernah.

Aku bahagia. Sangat bahagia. Karena radarku berhasil menemukan kamu, Krishna.

Aku sayang kamu, Kak. Terlalu sayang, sampai rasanya aku bisa peluk kamu sampai besok tanpa lepasin walau itu cuma sebentar. Hehehe.

Selamat lima tahun bersama, kesayangan. Semoga nggak capek buat berada di samping cowok yang suka ngebanyol nggak jelas ini, ya, sayangku? Aku cinta kamu. Aku sayang kamu. Aku mau menjaga kamu sampai aku nggak bisa lagi ngapa-ngapain. Aku cuma kamu kamu.

Kamu, Krishna.

P.S : makan malem nanti mau kalguksu, nggak? Aku mau makan yang anget-anget ㅜㅜ ya, Kak? Kalau mau, kita ketemu di asrama dulu, ya? Ehehe. Aku sayang Kakak!!!

yang selalu sayang kamu, Raesaka.

Dek.

Maaf, ya, lima tahunan kita malah diisi dengan argumen yang begini. Maaf kalau aku masih punya ego yang terlalu tinggi buat ucapin semua ini di depan kamu secara langsung. Maaf, aku masih banyak kurangnya buat kamu.

Dek, aku sayang kamu. Sayang banget, sampai aku bingung gimana ceritanya aku, yang selama ini mengira bahwa aku ini bukan tipe orang yang romantis, bisa kepikiran banyak hal yang manis ketika sama kamu.

Ketika sama kamu, rasanya aku pengen peluk kamu erat. Nggak mau aku lepasin. Ketika sama kamu, rasanya aku bisa sebut aku sayang kamu sampai ribuan kali, sampai kamu bosen. Aku heran, gimana bisa aku berubah separah ini?

Lima tahun sama kamu, aku ngerasa banyak hal yang sangat— sangat luar biasa. Banyak hal yang baru kujalani di kali pertama, banyak cerita yang bisa kujadiin sesuatu yang tersimpan sebagai memori paling terbaik. Lima tahun sama kamu, aku belajar jadi pribadi yang lebih baik — walaupun, ya... buat kali ini, aku masih nggak berani buat menghadapi kamu secara langsung karena aku pikir kita butuh waktu untuk tenangin diri sendiri agar bisa berpikir dengan otak lebih dingin.

Dek. Saka. Sayangku. Sirius, paling terang.

Selama ini, dari awal sampai dengan sekarang... kamu masih jadi yang terindah. Kamu masih jadi yang paling terang di mataku. Walaupun awal pertemuan kita nggak berawal baik, aku selalu panjatin doa ke Tuhan setiap hari — aku berdoa, semoga di akhir cerita kita berdua akan ada tawa. Entah sebagai apapun itu, entah cerita apa yang nantinya menyambut kita di akhir halaman, aku berharap akan ada tawa buat kita.

Raesaka.

Makasih banyak karena selalu jadi sosok yang ngasih lelucon nggak lucu di malam-malamku yang capek. Makasih banyak karena nggak pernah memaksa aku buat cerita tentang hal yang nggak mau aku bicarain, makasih banyak— karena kamu nggak pernah bersikap sok tau atau memaksa aku berbagi hal yang diri aku pikir akan lebih baik jika aku konsumsi sendiri. Makasih karena kamu selalu percaya bahwa aku udah cukup dewasa buat pilah pilih hal yang baiknya kita konsumsi berdua atau hal yang baiknya hanya diketahui buat aku sendiri.

Makasih karena kamu mengajarkan bahwa di tengah dunia yang diisi oleh kita, tetap ada satu sisi yang diisi oleh kata aku. Yang cuma diisi oleh aku, tanpa ada siapapun yang boleh menginterupsi, termasuk kamu sendiri. Makasih karena udah mau mengerti, Saka.

Makasih yang unik, ya? Hahaha. Aku bingung mau makasih buat apa, soalnya. Kalau makasih buat hal-hal yang umum, terlalu mainstream. Jadi aku ucapin makasih buat ini aja, ya?

Saka.

Aku bukan penulis romantis. Mungkin ketika kamu baca surat ini, kamu malah bakal kerutin dahi— saking bingung di mana kata romantis yang kamu harap buat baca. Maaf kalau kamu nggak bisa temuin hal itu di sini, ya?

Tapi Saka, aku mau bilang satu hal : aku minta maaf kalau omonganku kemarin bikin kamu sakit hati atau sedih. Maaf kalau aku belum cukup dewasa buat ucapin ini semua di depan kamu. Maaf, egoku masih menguasai diri.

Saka. Raesaka.

Aku tunggu di asrama, ya? Kita pergi ke kalguksu-jib yang ada di deket gedung B. Aku yang traktir. Aku harap, ketika kamu ketemu aku nanti— kita bisa berbincang dengan baik. Kayak aku dan kamu yang biasanya.

Yang saling sayang. Yang saling percaya.

Aku sayang kamu, Saka.

Si bego soal hal romantis,Krishna.

Sekuat apapun menjaga, yang pergi akan tetap pergi. Sekuat apapun kamu menolak, yang datang akan tetap datang. Semesta, memang kadang senang bercanda.

Didasari kelakar semesta, keduanya dipertemukan. Pertemuan mereka, seperti ketidaksengajaan yang telah diatur baik oleh Tuhan.

Kini hanya tinggal menunggu, hingga datangnya waktu bagi kelakar, jadi restu.


“Singto. Lo pernah kepikiran, nggak? Mungkin jodoh kita ada diantara ribuan orang ini. Mungkin jodoh kita lagi pake topi caping, kayak kita. Pake jas almamater UGAMA, kayak kita. Kali aja dia juga lagi—”

“—kelaperan dan ngantuk, kayak kita.”

Dialog barusan berasal dari dua mahasiswa yang salah satu diantaranya memakai topi caping berwarna kuning sementara satu mahasiswa lainnya bertopi caping merah. Si lelaki bertopi caping merah tidak mengenakan topinya dan hanya mengibas-ibaskan topi caping dengan ekspresi risih. Sesekali kerah bajunya dikepakkan, seakan berharap dengan cara begitu paling tidak ia bisa mengusir rasa panas yang menyerang. Biarpun pada akhirnya, semua percuma. Si lelaki bertopi caping merah tetap saja kepanasan. Gerah, bukan kepalang.

Perkenalkan mereka yang terlibat di kisah ini. Lelaki bercaping kuning, Tay. Lelaki bercaping merah, Singto. Mereka adalah sedikit dari ribuan mahasiswa baru Universitas Ganesha Mandala yang sedang menjalani ospek universitas bertempat di lapangan utama. Tay diterima di Fakultas Ekonomi dan Bisnis sementara Singto diterima sebagai mahasiswa Fakultas Hukum di Universitas negeri yang digadang-gadang sebagai universitas terbaik se-nasional.

Tay, lelaki berkulit kecoklatan dan rambut agak kemerahan akibat terlalu sering beraktivitas di alam terbuka, terlihat antusias memperhatikan sambutan dari para petinggi Universitas. Memang inilah mimpi Tay, berada diantara ribuan rekan seusia bertitel Mahasiswa Baru UGAMA. Maka tidak heran jika senyuman lebar tak pernah lepas dari wajah si lelaki.

Sementara Singto? Ia sama seperti Tay, sebenarnya. Menjadi satu dari sekian banyak mahasiswa yang diterima di Universitas kerakyatan ini adalah salah satu mimpinya pula. Biarpun jujur saja, lebih banyak /paksaan/ dari sang Ayah yang turut andil dalam pencapaiannya kali ini namun Singto tetap merasa bangga bisa berada diantara ribuan mahasiswa lainnya.

Bangga. Iya, hanya 'bangga' saja.

Perihal dijemur di lapangan hanya untuk mendengarkan sambutan ini itu, Singto tidak menyukainya. Bukan tidak menyukai, sih. Singto hanya— bagaimana mengatakannya? Gerah? Ya, katakanlah demikian. Cuaca kota yang terik seakan menusuk kulit. Belum lagi ditambah celana dengan bahan kain berwarna hitam, jas almamater yang dikenakan— ah, semakin membuat kegerahan saja.

“Lo yang semangat dikit, kek! Kita berdua perwakilan dari Pribadi, To!” Tay menyikut lengan Singto yang masih sibuk mengipasi wajahnya dengan topi caping di tangan. Singto melirik dengan sinis walau setengahnya tidak berarti serius. “Cuma kita berdua yang keterima di UGAMA! Lo mesti bawa nama baik SMA kita!”

“Gue semangat,” ujar Singto membalas perkataan Tay namun kalimat yang diucapkan sungguh berbanding terbalik dengan tindakan yang dilakukan olehnya sekarang. Singto menguap, lebar. “Hoaaaahmh. Gue sema-ngaaat— eeargh. Pinggang gue keram, Tay.” Singto merenggangkan pinggang ke kanan-kiri dalam posisi masih terduduk. Terlalu lama duduk di tanah lapangan bisa membuat pinggangnya sakit, ternyata.

Tay menggeleng-gelengkan kepalanya ketika melihat tindak Singto yang terlihat ogah-ogahan. Sedikit khawatir juga sebenarnya, sih. Siapa tahu ada kakak senior yang memperhatikan tindak Singto dan merasa sahabatnya itu sedang merendahkan petinggi UGAMA yang sedang berpidato di atas podium.

“To.” Setelah sempat diam untuk beberapa saat, Tay menyuarakan kalimatnya walau dibalas hanya dengan gumaman tidak peduli dari Singto. “Kita cuma berdua, ya, dari Pribadi.”

“Terus?”, tanya Singto dengan nada penuh curiga. “Kenapa emangnya kalau cuma berdua?”

“Iya gitu, To.”

“Apanya yang gitu?”

“Cuma lo sama gue di kota yang baru ini. Berarti kita harus saling jaga.”

”...” Singto sedikit menjauhkan jarak antara mereka berdua.

“Harus saling mengasihi.”

”...” Lagi, Singto menggeser posisi duduknya dari Tay.

“Mencinta—”

“Gue nggak demen lo.”

“Hah?” Tay menghentikan kalimatnya dan menatapi si sahabat semenjak di bangku SMAnya itu dengan pandangan sangat kebingungan. “Apaan, anjir? Kok jadi ngomongin demen-demen begini?”, tanya Tay.

“Biarpun di dunia ini cuma tersisa lo sama gue, nggak bakalan gue suka sama lo. Jadi jangan mentang-mentang cuma kita berdua yang keterima dari Pribadi, lo berharap bisa bikin cerita romace ala drama Korea sama gue.”

“Anjing. Gue dikira naksir lo? Najis, bangsat.” Tay tergelak. Singto merasa sedikit lega setelah melihat tawa dari bibir Tay. Itu tandanya segala kalimat Tay barusan tidak ada yang berarti jatuh cinta, bukan? “Gue mendingan sama kucing betina daripada sama lo, To,” lanjut Tay seraya mengusap ujung matanya yang berair, merasa geli karena ucapan Singto.

“Lagian..”, pandangan Tay tertuju ke depan, lurus memandangi punggung seorang lelaki lain dengan caping merah di tangan. Tindakan si lelaki bercaping merah yang lainnya itu /hampir/ mirip dengan Singto, mengipas-ngipaskan topi caping ke wajah. Tampaknya merasa kegerahan juga. “..ngapain gue naksir ke mahluk bejat kayak lo kalo masih ada malaikat jatuh dari surga. Di hadapanku..”

“EAAAAAA.” Singto refleks melanjutkan ucapan Tay dengan penggalan lagu Cowboy Junior. Bodohnya, Singto barusan berucap dengan volume suara yang agak keras. Akibatnya? Beberapa mahasiswa baru menoleh ke belakang, ingin mengetahui siapa oknum nekat yang berani bersuara sementara petinggi kampus sedang berpidato di depan sana. Singto dan Tay segera menundukkan kepalanya dalam-dalam, malu.

“Singto! Nyet! Lo sih, ah! Nggak bisa berhenti jadi kampungan, apa?” Tay mendesis seraya menutupi kepalanya dengan topi caping berwarna kuning di tangan seraya menyikut lengan Singto tanpa henti, merasa malu sekaligus kesal. Sementara Singto balas menyikut lengan Tay, tidak terima merasa disalahkan secara sepihak. “Lo yang sok jadi satria bergitar. Jijik gue denger kalimatnya, Tay!”

“Mampus! It gebetan gue ngeliatin ke sini!” Dari celah topi capingnya, Tay bisa melihat lelaki berkulit putih yang sedang memegang topi caping berwarna merah berjarak tidak jauh dari mereka berdua juga sedang menatap ke arah belakang. “Malu gue, Singto! Malu!”

“Peduli setan, nyet!” Singto dan Tay saling berujar dengan desisan namun tetap saja terdengar ramai. Apalagi ketika dengkul Tay sengaja menyenggol paha Singto dengan cukup keras.

Sepertinya masa perkuliahan mereka tidak akan pernah damai.


Masih PPSMB Hari Pertama Auditorium Fakultas Ilmu Budaya UGAMA.

“Lo nguap terus, To. Ketauan senior, mampus.” Tay menyikut lengan Singto yang tengah menguap, lagi. Yang disikut lengannya hanya melirik balik dengan ekspresi malas. Merasa terganggu, lebih tepatnya. “Ya, namanya juga ngantuk,” jawab Singto seadanya.

“Ya nunduk, kek. Kalo mau nguap, ya, ditahan, kek. Apa, kek.” Kalimat Tay barusan dibalas dengan anggukan malas dari Singto. “Iya, gue nguap sambil nunduk, nih. Gue nguap sambil nunduk.” Kali ini Singto benar-benar membungkukkan badannya dan pura-pura menguap.

Ospek universitas yang diadakan di lapangan utama telah selesai. Kini para mahasiswa baru mendapat kesempatan untuk saling mengenal dengan teman-teman dari gugusnya masing-masing. Singto yang tergabung dalam gugus Hardjono 7 bergerak bersama teman-teman satu gugusnya menuju auditorium Fakultas Ilmu Budaya. Fakultas yang disebut paling tua di Universitas Ganesha Mandala sekaligus tempat dimana beberapa gugus lain akan mempelajari seluk beluk kampus yang akan menjadi kebanggaannya selama beberapa tahun kedepan.

Hampir semua anggota gugus terlihat kesenangan ketika diberi kesempatan untuk menjelajahi daerah perkuliahan secara lebih dekat. Oh, ralat. Tidak semuanya merasa senang karena ada satu orang yang sedang menekukkan wajahnya. Singto.

Singto menumpukan dagu dengan sebelah tangan seraya memandang ke arah podium yang ada di auditorium dengan pandangan kosong. Ia mencoba menahan kantuk sekaligus lapar yang terus menyerang tanpa henti sedari tadi. Sebenarnya Singto bukan individu pemalas yang ogah menjalani ospek hanya saja pertandingaan sepak bola yang disiarkan secara langsung menjelang subuh itulah yang menjadi alasannya merasakan kantuk bukan main.

Bahkan ketika para senior mengadakan games atau hiburan ringan, Singto sama sekali tidak menaruh perhatian. Sumpah demi apapun, ia hanya ingin tidur. Hanya itu saja.

“Mau lagi, nggaaaak?” Suara seorang senior dengan tingkah agak kemayu yang berdiri di podium auditorium terdengar lantang. Singto mendengus, ia sama sekali tidak menyukai aktivitas yang menurutnya sangat tidak jelas begini. Dibanding mengadakan games yang sama sekali tidak seru, bukankah lebih baik mereka dipulangkan saja?

Namun mana bisa Singto berujar demikian? Maka ia mengalihkan fokus sejenak sebelum akhirnya mengambil nafas dalam-dalam untuk menjawab basa-basi. “Maaa—”

MALESSS!”

Hening, seketika. Suasana auditorium segera dilingkupi keheningan. Alasannya hanya satu; karena suara seruan seseorang yang menjawab pertanyaan si senior dengan jawaban yang tidak seharusnya.

Siapa, sih?” “Ih, ganteng tapi kok rada pe'a, sih?” “Berani banget. Uyuhan, nggak takuteun.” “Mantep, dihukum tuh pasti.

Bisikan dari beberapa teman di gugusnya membuat Singto juga secara spontan ikut mengalihkan pandangan. Suara seseorang itu terdengar dari bangku belakang sementara Singto duduk di barisan depan. Oknum yang berteriak itu ada di barisan gugus Hardjono 8.Kulitnya putih bersih dengan hidung mancung dan rambut yang agak kemerahan karena dicat secara modis, terlihat sangat keren bak artis-artis ibukota.

“Anjir, duduknya di sebelah gebetan gue.” Bisikan Tay terdengar. Singto mengernyitkan alis kemudian menatap seseorang di samping si oknum 'kontroversial' itu lekat-lekat. Selain si oknum, Singto juga melihat seorang lelaki lain yang berkulit putih, hampir mirip dengan si pembuat onar. Bedanya, seseorang yang Tay sebut sebagai gebetan sekarang sedang menutupi wajahnya, seperti malu dengan tindakan si oknum yang barusan mencari masalah.

Para senior yang berdiri di podium meracau menahan kesal sementara si oknum itu hanya tertawa kecil, seakan tidak menyadari bahwa ia baru saja membuat masalah besar.

“KAMU! KE DEPAN!” Salah seorang senior berteriak, memanggil si oknum yang sekarang sedang melangkah maju dengan sangat santai. Sudah pasti ia harus menjalankan hukuman dari senior karena jawaban yang dikemukakan barusan. Tuh, 'kan. Benar saja, sekarang lelaki berkulit putih itu sedang diplonco ramai-ramai oleh para senior. Beberapa dari mahasiswa baru ada yang memberi tatapan kasihan ke si oknum pembuat masalah namun beberapa yang lainnya memilih untuk menundukkan kepala dalam-dalam karena tidak ingin menjadi target berikutnya.

Di sisi lain, Singto menatap kosong ke arah depan. Sesi hukuman seperti ini tidak menyenangkan baginya. Ia hanya ingin segera pulang lalu tidu— “Itu! Kamu! Yang di depan! Planga plongo melulu! Sini maju ke depan juga!”

Senior menunjuk ke arah barisan tempat Singto berada namun si lelaki berkulit kecoklatan itu malah menengok kesana kemari. “Maba yang tengak tengok! Kamu maju ke depan! Kenapa malah tengok kiri kanan?” Si senior lebih memperjelas posisi tunjukan jarinya ke arah Singto.

“Saya, Kak?”, tanya Singto seraya menunjuk dirinya sendiri. Si senior yang sudah kepalang kesal karena tindakan si oknum yang berteriak tadi akhirnya jadi lepas kendali, emosi. “Iya, kamu! Daritadi nguap terus, 'kan? Bengong terus, juga. Maju!”

“Lah, kok saya juga ikut dipangg—awwawaw! Tay! Sakit, bego!” Argumen Singto terhenti ketika Tay mencubiti paha sahabatnya dengan lumayan kencang. Setidaknya cukup perih untuk membuat Singto mengaduh. “Apaan sih lo, Tay?”

“Udah, maju aja, kenapa?! Bawel amat!”, desis Tay yang takut Singto akan mendapat masalah lebih jauh jika melemparkan argumen lebih jauh. Benar juga, sih. Singto tidak ingin memiliki masalah lebih banyak dengan menentang perkataan senior. Sudahlah, lagipula hukuman apa, sih, yang paling parah? Paling-paling hanya disuruh menyanyi atau menari. Tidak akan parah-parah sekali, 'kan?

Maka langkah Singto dibawa menuju ke arah podium kemudian berdiri bersebelahan dengan si lelaki yang membuat onar terlebih dahulu. “Nama kamu siapa?”, tanya si senior yang awalnya terlihat kemayu namun sekarang terlihat seperti bisa menerkam siapapun kapan saja.

“Singto, Kak.”

“Krist, Kak.”

Singto melirik dari ujung matanya. Lelaki berkulit putih ini sangat terlihat tidak takut dengan apapun. Setidaknya itu yang Singto pikirkan hingga akhirnya ia mendengar kalimat selanjutnya yang diujarkan oleh para senior. “Krist, kamu tembak dia,” ujar si senior seraya menunjuk ke arah Singto.

Singto segera terkesiap. “Loh, tapi kak—” Sontak, perkataan si senior berpenampilan kemayu segera membuat Singto membelalak. “—kok hukumannya begitu, sih? Mending disuruh squat jump atau sit up, deh!”

“CIYEEEEEE.” Teriakan serempak terdengar memenuhi seluruh auditorium. Mereka terlihat antusias menyaksikan tontonan yang tersuguh di atas podium. Singto menggaruk kepalanya, merasa sebal sepenuhnya dengan situasi yang terjadi.

“Udah, buruan tembak Singtonya, Krist. Yang so sweet, ya. Biar dia nggak ngantuk lagi. Kasian dia, pasti dari tadi nguap melulu karena nggak punya pacar.”

Singto menatap dengan pandangan sinis. Apa hubungannya menguap dengan statusnya yang tidak memiliki pacar, coba? Seniornya ini tolol atau bagaimana, sih?! Ingin rasanya Singto menyerukan berbagai argumen namun lagi-lagi semua hanya angan. Semua ucapannya tertahan di ujung lidah.

Awalnya Singto dan Krist, lelaki di sampingnya, hanya saling berdiri berdampingan namun entah senior /sialan/ mana yang mengambil inisiatif untuk mengubah posisi keduanya menjadi saling berhadapan.

Krist menunduk, menatap lantai panggung auditorium. Sementara Singto menatap lurus ke depan, benar-benar hanya lurus ke depan. Tidak sama sekali melirik Krist yang berdiri di hadapannya ini.

'Ah, lama amat, sih?!' Singto merutuk, tidak sabar. Tindakan si Krist ini terlalu lelet, padahal tadi dia bersikap sok jago dengan berseru kencang-kencang. Menciptakan masalah yang membuat keduanya jadi begini. Lagipula pa susahnya 'sih bilang suka? Toh' semua ini hanya bercanda, 'kan?

“Mana, Krist? Kok diem, sih?”, sindir seorang senior perempuan. Krist masih menundukkan kepalanya dalam-dalam sebelum akhirnya mengujarkan satu kalimat dengan sangat cepat; bahkan tidak sampai satu detik, sepertinya.

“Aku suka kamu!”, ujar Krist yang segera dibalas dengan seruan ramai dari semua mahasiswa yang duduk di bangkunya masing-masing. “TERIMA! TERIMA!”

“Gimana, Singto? Diterima cintanya Krist?”, pertanyaan dari senior perempuan dengan rambut dikuncir kuda itu membuat Singto sedikit melengos. Merasa pertanyaan itu benar-benar tidak penting untuk ditanyakan.

Lo kira sendiri, Kak?! Dikira gue bakal iyain?

“Hahaha,” Singto membalas dengan tawa kaku. Keki, lebih tepatnya. “Sekarang udah boleh duduk, Kak?” Singto sengaja tidak menjawab pertanyaan si senior, 'toh memang tidak penting untuk dibalas pula.

“Eh, diterima nggak? Jawab dulu!”, desak si senior.

“TERIMA! TERIMA!”, seru rekan-rekannya yang lain.

“Duh, Kak.” Singto melirik ke arah si lelaki di hadapannya, ia masih menunduk dalam. Benar-benar malu, sepertinya. “Ini anak orang disuruh duduk aja dulu, Kak. Kasian.”

“CIYEEE. KASIAN, KATANYA. CIYEEEE, PERHATIAN!” Setiap ujaran Singto rasanya seperti akan menjadi bumerang baginya. Bilang ini, diejek. Bilang itu, diejek juga. Norak, pikir Singto.

“Ya udah, Krist bakal disuruh duduk tapi sebagai gantinya, kamu..” Si senior melirik ke arah papan nama yang terkalung di leher si pemuda. “..Singto?”

“Iya, Kak. Singto.”

“Kamu, Singto, yang mesti gantian dapet hukuman. Gimana?”

Singto segera membelalakkan mata kemudian menggeleng dengan cepat. “Nggak jadi, Kak. Nggak mau.” Ya, jika beberapa dari kalian mengharapkan jawaban heroik nan romantis layaknya novel karangan Ayah Pidi Baiq, maaf mengecewakan harapan kalian. Bagi seorang Singto, terlepas dari hukuman konyol ini adalah hal yang paling utama.

“Makanya, jawab dulu, dong.”

Mampus. Jawab apaan, dah?

“Singto. Lelet, nih. Kasian Kristnya deg-degan nungguin jawaban kamu.”

Ahelah, Kak. Kok bacot amat, sih?

“Ayo, jawab! Acaranya jadi molor gara-gara kalian!”

Ya udah, udahin aja! Kenapa malah dilanjutin?!

“TERIMA. TERIMA. TERIMA.”

“Singto! Ayo, jawab!”

“TERIMA. TERIMA. TERIMA.”

“Kasian Kristnya, nih!”

“TERIMA! TERIMA! TERIMA!” Koor kompak terdengar semakin bersahutan. Apalagi ketika Singto menangkap sosok Tay sebagai salah satu dari mereka yang suaranya paling lantang. Si teman sialan itu pasti bahagia melihat Singto tersiksa seperti ini.

“Iya.” Akhirnya, Singto membuka suara. Para senior segera berdesis, memberi instruksi kepada mahasiswa baru lainnya untuk diam. “Sssst! Singtonya ngejawab! Ssssst! Apa, Singto?”

“Saya terima.”

“Apa? Nggak kedengeran!” Seakan ingin menggoda, para senior berpura-pura tidak mendengar ujaran Singto barusan. Singto mendengus kesal sebelum akhirnya menarik nafas dalam-dalam dan berseru kencang. “IYA, KAK! SAYA TERIMA, KAK. PERNYATAAN CINTANYA DIA, SAYA TERIMA. TERIMAAA! SAYA TERIMA DIA JADI PACAR SAYA!”

Suasana auditorium menjadi riuh, bukan main ramainya. Mengelukan jawaban Singto teruntuk si oknum (yang bahkan sudah Singto lupakan siapa namanya) itu.

“CIYEEEEEEEE.”

Mungkin hari itu adalah hari terburuk dari banyak hari tidak sempurna yang dilalui Singto. Hari itu, Singto bertekad bulat untuk tidak pernah terlibat dalam urusan apapun dengan si oknum pembuat onar itu.

Tidak untuk kemarin. Tidak untuk sekarang. Tidak untuk masa depan.


Hidup ini, ya, tentang menunggu. Menunggu kita untuk menyadari : kapan kita akan berhenti menunggu. ㅤ

“To. 'Kan kita sahabat.” “Terus?” “Kalo pacar kita sahabatan juga, pasti seru!”

“Kriiist!” “Apa, New?” “Nanti pacar kita harus deket!” “Harus temenan!”

“Tay.” “Apa, To?”

“New.” “Iyaa, Krist?”

“Ngurusin lo satu aja gue udah pusing.”

“Cukup kamu aja, ya? Aku nggak butuh dua New.”

Mungkin saja, ini yang namanya karma.

Dua tahun telah berlalu. Entah apakah Tuhan ingin bergurau pada dua hati yang tengah risau, mereka lagi-lagi bertemu. Dengan semesta memberi restu, lagi, mereka bertemu. ㅤ

“Lo yakin, dia anak sini, Tay?”

“Yakin, To!”

“Kok gue nggak yakin, ya? Mukanya nggak kayak anak FK. Bukan, kali, ah.”

“Eh, si batok kelapa. Gue yakin dia anak sini! Gue udah muter-muterin UGAMA, To! Gue yakin dia anak sini setelah gue coba cari-cari informasi soal dia lagi.”

“Anjir. Lo stalker, apa? Bisa-bisa lo dilaporin polisi, Tay!”

“Gapapa. Gue rela masuk bui demi Nyai.” ㅤ

“Najis. Geli gue, Tay!”

Percakapan garis miring perdebatan diantara dua pemuda itu terjadi di dalam mobil Fortuner berwarna silver yang tengah terparkir beberapa meter sebelum memasuki pintu masuk Fakultas Kedokteran Universitas Ganesha Mandala. Singto dan Tay, oknumnya. Si mahasiswa Fakultas Hukum itu kini tengah memberi tumpangan kepada temannya, si mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis, yang sedang merasakan benih-benih cinta berbunga.

Ah, bahasanya terlalu rumit. Sederhana saja, Tay tengah jatuh cinta kepada seseorang yang bahkan belum ia kenali. Hanya berbekal nama yang ia dengar ketika tidak sengaja berpapasan dengan seseorang itu, Tay menghabiskan waktunya untuk berputar mengelilingi seluruh fakultas di UGAMA. Katanya, sih, namanya New.

Tay menelfoni Singto tanpa henti, mengajak si sahabat untuk menemaninya ke Fakultas Kedokteran guna menemui si seseorang yang (katanya, lagi) dimimpikan olehnya siang dan malam.

Singto? Menolak, tentu. Jabatannya sebagai Presiden Mahasiswa sudah dibuat sibuk oleh berbagai program kerja ini itu. Ia sibuk. Sangat sibuk, jika perlu digaris bawahi. Lagipula ia juga memiliki banyak tugas di tahun keduanya belajar di UGAMA. Singkat kata, Singto malas menemani Tay menemui si pujaan hati. Untuk pergi bolak-balik menghadiri kelas mata kuliahnya di kampus pun sudah jengah, apalagi ini— mengunjungi fakultas tetangga yang kerap dinamai gudangnya orang-orang tampan dan cantik dengan otak cemerlang? Cari mati saja, namanya.

“Gue nggak ikut, ya?”, ujar Singto seraya memarkirkan mobilnya ke pinggiran jalan. “Apanya yang nggak ikut?”, tanya Tay, seraya menatap Singto dengan dahi sedikit berkerut. Singto mengedikkan dagunya ke arah pintu masuk Fakultas Kedokteran, menjelaskan lebih lanjut mengenai makna ucapannya barusan. “Itu. Gue nggak ikut masuk ke FKnya, Bray.”

“KOK GITU?!” Tay berteriak histeris, seakan tidak terima dengan ucapan Singto barusan. “NGAPAIN GUE AJAK LO KALO LO NGGAK IKUT MASUK, NYET?!”

“Err—”, Singto menggumam singkat sebelum akhirnya menjawab dengan kedua bahu terangkat ringan. “—jagain mobil?”

“Eh, si anjir. Alasan lo nggak jelas amat. Masalah parkir mobil, gue yang bayar! Heran gue, anaknya TNI kok pelit banget, astaghfirullah. Ati-ati, lho, To. Ntar lo kena azab kuburan dihujani kertas parkir karena pelit semasa hidup pas mati ntar.”

Singto? Tidak bereaksi banyak namun sedikit terkekeh karena menganggap ucapan Tay sangat lucu. “Iya, ya Allah, iya. Tega amat, ngedoain gue mati kena azab gara-gara masalah parkir—ASTAGHFIRULLAH!”

BBUGHH!

Baru saja Singto akan menyalakan mesin mobilnya untuk beranjak memasuki kawasan Fakultas Kedokteran, tiba-tiba saja satu unit mobil berwarna merah metalik menghantam bagian belakang mobilnya. Menyebabkan tubuh kedua pemuda itu segera terpelanting ke depan, bahkan kepala Tay terbentur ke dashboard mobil Singto dan mengakibatkan kepala si lelaki berkulit agak kecoklatan itu sedikit terluka.

“Tay! Tay! Lo gapapa?!”

“Bentar! Bentar! Gue keliyeng-keliyeng, anjir. Pusing. Kepala gue nggak kenapa-kenapa? Kok panas?” Tay menoleh ke arah Singto, meminta agar si sahabat mengecek kondisi kepalanya yang terasa panas bukan main.

Singto segera membelalak, tidak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang. “BUSET. BERDARAH!” Hanya seeeeeedikit berdarah, namun Singto bertingkah berlebihan. “Anjir, siapa yang nabrak, sih?! Punya SIM kagak tuh orang, sialan!” Singto melirik ke arah mobil di belakangnya dari kaca spion dalam mobil. Di belakang sana ada mobil merah metalik namun tidak dapat terlihat siapa yang mengemudikannya karena gelapnya kaca yang terpasang di sana.

“Samperin, To! Lo 'kan anak hukum! Ini saatnya semua ilmu lo diterapkan! Pojokin itu orang sampe lo dapet ganti rugi! Samperin! Enak aja bikin kepala orang berdarah! Untung bukan muka gue yang kenapa-kenapa!”

Singto ingin menimpali, “Tay, kepala lo itu bukan bagian dari muka juga?”, kepada Tay namun segala tanyanya itu seakan menjadi prioritas kesekian karena emosi yang tidak bisa ia bendung. Segera saja, Singto keluar dari dalam mobil, begitupun dengan Tay yang mengikuti.

Ternyata, sudah ada banyak mahasiswa dan mahasiswi dari Fakultas Kedokteran maupun Fakultas Teknik, juga dari fakultas lain yang kebetulan lewat, sedang berkumpul memperhatikan dua mobil yang barusan bertabrakan itu. Mereka segera berbisik, saling berbincang rahasia ketika mengetahui bahwa salah satu oknum yang terlibat adalah Singto, si Presiden Mahasiswa yang lumayan dikenal.

“Eh, si anjir. Singto, tuh.” “Bakal rame, nih.”

Singto seakan tidak peduli dengan suara bisikan yang membicarakan dirinya. Si pemuda berkulit coklat itu segera beranjak ke bagian belakang mobil untuk melihat sebagaimana parah kerusakan yang dialami mobilnya. Parah, sangat. Bemper bagian belakang mobilnya penyok, total.

“Buset! Penyok banget, ini, mah! Lo harus minta ganti rugi, To! Sama gue juga. Bilang aja gue mesti dijait, kepalanya! Ayo! Ayo! Gue udah siap akting!” Tanpa persetujuan siapapun, Tay kini memegangi kepalanya dan memasang ekspresi lemas. Seperti akan pingsan.

Singto? Tidak peduli apapun. Ia meninggalkan Tay yang (pura-pura) terlihat lemas dan beranjak dengan langkah tergesa menuju mobil merah metalik yang menabrak mobilnya barusan.

BUGH. BUGH. BUGH.

Singto menggedor pintu pengemudi mobil dengan tidak sabar. Ingin mengetahui siapa orang yang sudah membuat mobil kesayangannya hingga begitu. “Woi! Buka! Lo kalo udah nabrak, turun! Tanggung jawab! Jangan malah sembunyi begitu! Woi! Keluar lo! Turun!”

Jendela mobil turun perlahan dan yang menyambut pandangan Singto selanjutnya adalah seorang lelaki dengan senyum kikuk yang terulas pada wajah. “Hehehe, maafin, ya, Mas? Saya nggak sengaja.”

“A-aduh, To. Kepala gue, To. Aduh, kepala guㅡ EH!” Tay, yang baru saja datang menghampiri Singto dengan langkah terhuyung, segera tampak normal dan sehat bugar ketika mengetahui sosok seseorang yang menabrak mereka adalah New, sosok pujaannya. “EH! EH! GUE SEHAT, TO!”

Tentu, Singto paham bahwa kekuatan cinta dapat menyembuhkan apapun. Namun temannya ini berlebihan, bagaimana bisa ia baik-baik saja padahal darah masih mengalir dari pelipisnya akibat terbentur di dashboard?

“Maaf, ya, Mas. Saya nggak sengaja. Tadi saya buru-buru.” New, lelaki itu, mengatupkan kedua tangan dengan memasang wajah memelas. Membuat Singto sedikit tidak tega. Aduh, kelemahan Singto memang adalah sosok yang lemah lembut. “Maaf, Mas. Saya bener-bener minta maaㅡ”

“Yang salah dia, kok, New! Yang salah tuh' dia! Kenapa malah berhentiin mobil pas di tikungan?! Ya, wajar kalo ada yang nabrak, emang itu salahnya dia!”

Baru saja Singto akan mengiyakan permintaan damai dari New, tiba-tiba seruan dengan nada tinggi itu terdengar dari bangku penumpang dan sontak membuat Singto yang emosinya hampir surut kini kembali pasang. “Nggak usah minta maaf, New! Bukan lo yang salah! Itu mobil silver yang salah!”

“Lo, yang di bangku penumpang, turun lo.” Singto menundukkan kepalanya, mencoba mencari tahu siapa orang yang dengan seenaknya berujar demikian. Seorang lelaki lainnya dengan kulit putih seperti New, hanya saja ekspresi lelaki ini terlihat lebih sinis.

“Duh, Mas! Maafin temen saya juga! Krist, ih! Udahan!”

“Udahan, To. Gue yang ganti bempernya!”

Baik Tay dan New, keduanya terlihat panik. Mereka sibuk menahan kedua pihak agar tidak berseteru lebih lanjut. New menahan si lelaki di sebelahnya dengan mencengkeram tangannya sementara Tay berdiri di depan Singto, menahan agar si sahabatnya itu tidak bertindak gegabah. “To! Udah, To. Lo, ah, di fakultas orang tuh jangan cari masalah. Bisa-bisa sekarang bukan jabatan lo yang dicabut, status lo dicabut ntar! To, sabar! Istighfar!”

“Itu orang brengsek banget, anjir. Ngomong seenaknya! Bilang gue yang salah, Tay! Udah jelas-jelas dia yang salah, nabrak dari belakang! Nggak punya otak, apa?!”

“HEH! EMANG LO YANG SALAH, YA! LO ANAK MANA, SIH?! NGGAK TAU APA, YA, KALO DI DAERAH SINI TUH NGGAK BOLEH PARKIR SEMBARANGAN?!”

“Kriiist! Ih! Ya Allah, udahan! Itu Masnya mau damai tadi! Jangan malah dibikin semakin marah, atuh, ih!”

“HEH. LO MIKIR! YANG NABRAK TUH LO!”

“Ya Allah, Singto! Gue gimana mau pedekate sama New kalo lo nya begini? Ya Allah, sabar, To! Sabar!”

“YANG PARKIR SEMBARANGAN TUH LO!”

“HEH, BABI NGEPET! OTAK LO DIMANA? ORANG NABRAK TUH YA BILANG MAAF, BUKANNYA NYOLOT!”

“BABI NGEPET?! LO BUTO IJO! GENDERUWO!”

“APA LO BILANG?! BUTO IJO?! GENDERUWO?!”

“GENDERUWOOOOO!”

“APA?!”

“LO BUTO IJOOOO! LO GENDERUWOOOOO!”

Beberapa mahasiswa yang semula membayangkan akan adanya pertikaian yang sengit, malah menjadi terkekeh ketika dua pihak yang berseteru itu malah bersikap layaknya anak taman kanak-kanak. Kekanakkan sekali.

“Singto!”

“Krist!”

Suara seruan dari Tay dan New segera membuat Singto serta seseorang yang dipanggil Krist itu terdiam. Singto teringat kembali akan satu nama yang seakan tidak asing untuknya. Sepertinya lelaki itu pun demikian, buktinya mata seseorang itu terarah ke wajah Singto. Menatap lekat-lekat tanpa berkedip, hingga akhirnya memekik kencang dan berderap lari menuju mobil merah metalik yang ditumpanginya barusan.

”...” Singto terdiam, bingung akan reaksi yang diberi oleh si lelaki bernama Krist barusan. “Itu babi ngepet kenapa, sih? Udah nyebut gue buto ijo sama genderuwo terus teriak. Emang gue beneran genderuwo ap—”

“Ini Singto yang pernah ditembak pas Ospek Universitas, bukan?” Suara New memecah kebingungan Singto dan membuatnya mengalihkan perhatian penuh ke si pujaan sahabat karibnya itu. “Yang ditembak di aula FIB, ya?”

”...Iya,” jawab Singto.

New segera tersenyum lebar kemudian berlari menuju mobilnya lagi. Tepatnya ke bangku penumpang, mengetuki jendelanya dan berujar dengan semangat. “Krist! Itu Masnya yang pernah kamu tembak pas Ospek, lho! Krist! Ih, kok malah nunduk? Krist—! Itu, lho, ada Singto!”

Singto? Hanya bisa menganga tak percaya. Benar dugaannya. Ketika mendengar nama Krist, ia teringat akan seseorang yang (dipaksa) melakukan pernyataan cinta kepadanya. Singto tidak ingat akan wajah lelaki itu namun namanya masih ia ingat. Krist, dengan nama panjang entah apa namanya.

“AAAAAAAAAAㅡ! MAMPUS AJA LO! KENAPA LO MUNCUL DISINI?!”

Memang, suara Krist teredam karena berada di dalam mobil namun tetap saja Singto bisa mendengar teriakannya yang nyaring itu. New sedikit tersentak namun segera tersenyum kikuk ke arah Singto. “Maaf, ya, Mas. Kayaknya anaknya malu.”

Singto mengangguk, sama kikuknya. “Iya, nggak apa-apa. Ngomong-ngomong, soal mobil saya— coba omongin aja ke dia, ya?” Ujar Singto seraya menunjuk ke arah Tay yang tengah terpesona akan sosok New. “Dia yang ngurusin soal asuransi atau semuanya. Ngobrol sama dia aja.”

“Kok gue?!” Tersadar akan kalimat yang diucapkan oleh Singto, Tay segera menarik lengan si sahabat dan berdesis kebingungan. “Paham apa gue soal asuransi, Bambang?!”

“Udah, napa, sih. Ikutin aja. Gue kasih kesempatan biar lo bisa banyak ngobrol sama dia. Bagus, 'kan?”, balas Singto.

“Oh, iya, bener. Pinter juga lo, Bambang!”

“Bambang, Bambang. Pala lo Bambang! Udah sana, urusin 'tuh cowok lo.” Singto mendorong tubuh Tay agar bergerak menghampiri New yang terlihat kebingungan. Si lelaki yang tengah dimabuk asmara itu hanya tertawa bodoh seraya menggaruki kepalanya, terlihat salah tingkah. “Maaf, ya, New. Lama nunggu.”

“Lho, kok kamu tau nama aku? Kita 'kan belum kenalan. Aku juga nggak sebut nama, lho.” Dari belakang, Singto setengah mati menahan tawanya. Melihat Tay yang salah tingkah begitu sangat menggelikan.

Lupakan perihal Tay serta New, Singto tidak begitu tertarik mengurusi perihal cerita cinta si shabat. Si pemuda itu kini berjongkok, menghadapi bagian belakang mobilnya. Bemper mobil yang penyok parah menjadi fokus utamanya. “Ah, kampret. Mesti nelfon pihak asuransi ini, mah. Parah. Ah, ampun, ribet. Mesti bilang apa juga ke si Ayah? Mampu—”

“Woi.”

Singto melirik ke arah belakang, mencoba mengetahui sumber suara. Mengejutkan, kini sosok Krist yang beberapa saat lalu berseteru dengannya berdiri di sana. Dengan tangan terlipat di depan dada, memasang gaya angkuh. Singto melengos, tidak mengindahkan panggilannya.

“Woi.” Panggilan kedua namun Singto masih tidak menggubris. “Budeg, ya?! Woi!”

“Gue punya nama.”

Singto berujar tanpa menoleh ke belakang sementara tangan si pemuda berkulit kecoklatan itu masih memukul-mukuli bemper mobilnya yang penyok dengan tangan kanan. “Bokap gue ngasih nama ke gue nggak sembarangan, ngapain gue mesti nengok padahal lo nggak lagi manggil nama gue—”

”—Krist?” Kali ini Singto menoleh ke belakang namun tatapannya dingin. Krist? Terlihat tidak takut. Tatapannya sama dingin. Sedikit lebih dingin, malah. “Basi.” Ujar Krist, singkat. “Gue nggak mau ngeliat tingkah sok cool lo atau gimana. Gue cuma mau minta maaf,” lanjut sang tuan dan dibalas dengan kekehan sinis dari Singto. “Begitu emang sikap orang yang lagi minta maaf? Sambil ngelipet tangan? Bersikap kalo dia yang paling bener?”

Benar, Krist tengah bersikap demikian. Tangan terlipat, juga nada bicara yang sama sekali tidak menunjukkan penyesalan. “Lo kalo nggak niat minta maaf, mendingan nggak usah ngomong, dah,” ujar Singto dengan nada ketus.

“Gue ikhlas!” Krist menyela, kali ini dengan tangan yang tidak lagi terlipat di depan dada namun diistirahatkan di belakang tubuh. “Gue emang nada ngomongnya rada judes.” Krist menundukkan kepala, membuat Singto sedikit mengernyitkan dahi. Apa ini caranya meminta maaf?

“Tapi gue ikhlas, beneran.”

“Pft—” Singto menahan tawa sementara tatapannya masih tertuju pada Krist. “Lo bunglon amat. Tadi marah-marah ke gue, sekarang bisa minta maaf tapi malu-malu begini.”

“Gue nggak malu-mal—”

“Ya. Ya. Ya.” Singto menyela kalimat Krist dan bangkit dari posisi jongkoknya. Tubuhnya kini berhadapan dengan si lelaki kemudian mengulurkan tangan kanan. “Gue Singto.” Beberapa detik berlalu dengan Krist yang hanya memandangi uluran tangan Singto. Tidak membalas dan hanya berujar, “gue udah tau nama lo, ngapain ngenalin diri lagi?”

“Oh.” Sedikit tengsin, Singto menarik kembali uluran tangannya dan memasukkan dua kuasa ke dalam saku celana. “Jadi lo masih inget nama gue, gara-gara pernah nembak di depan anak-anak lain, ya?”

Gotcha. Singto langsung dapat menangkap wajah Krist memerah, padam. “Iya? Masih inget nama gue gara-gara kejadian itu? Hm?”, tanya Singto, sengaja diucapkan dengan nada sedikit menggoda.

Krist? Menolak untuk membalas tatapan Singto. Ia menundukkan kepalanya dalam-dalam. “Heh! Jangan ngerjain gue, ya? Gue serius mau minta maaf! Sekalian ngomongin soal mobil lo. Biaya service atau segala macemnya,” lanjut Krist, membuat Singto gantian melipat tangan di depan dada seraya menyenderkan tubuh ke mobilnya. “Lo mau ganti biaya servicenya? Emang punya duit berapa?”

Krist terdiam. Sekali tebak, Singto tahu bahwa lelaki ini pun hanya mahasiswa biaya yang memiliki limit dalam penggunaan uang saku.

“Udah, gue mau pake asuransi juga. Lo nggak usah mikirin. Nggak bakal gue minta ganti rugi ke lo atau Neㅡ”

Oh, benar. New.

“Eh, nggak, deh. Gue ralat sedikit.” Singto kini tidak lagi menyenderkan tubuhnya ke mobil. Tubuh si lelaki menjadi sedikit condong ke arah Krist. “Gue butuh bantuan lo. Sedikit.”

Krist segera memasang ekspresi wajah curiga. “Bantuan apaan?”

“Itu. New.”

“Oh. Lo naksir sohib gue?”

“Bukan gue! Sohib gue yang naksir!”

“Alah. Kalo emang lo juga nggak apa-apa.”

”... Ya, terserah lah lo nganggepnya apaan. Susah ngomong sama orang yang bebal,” ujar Singto ketus namun Krist hanya membalas dengan kekehan kecil. Krist pun paham, sebenarnya, siapa yang tengah jatuh cinta kepada New. Kerabat Singto, yang entah siapa namanya itu, adalah yang sedang mencinta. Lihat saja, bahkan lelaki itu tidak mempedulikan bagaimana rembesan darah dari pelipisnya mengalir dan masih memasang tawa bodoh ke setiap hal yang New ucapkan.

“Gue mesti bantu apa? Comblangin mereka biar jadian?”

Singto mengangguk. Memang, ia tidak ingin mencampuri hubungan ataupun kisah cinta Tay. Namun membayangkan bagaimana setiap malamnya akan diramaikan oleh berbagai cerita si sahabat mengenai “To! New begini. To! New begitu. To! New...” lebih baik Singto mencari cara agar sahabatnya itu cepat memiliki kekasih dan berhenti mengganggu ketenangan hidupnya.

“Kasih tau gue semua informasi soal New. Ke gue dan Tay. Biar itu anak bisa lebih peka sedikit buat pedekate.”

Krist berpikir sejenak sebelum akhirnya berujar singkat. “Dan masalah ini bakal lo anggap nggak pernah ada?”

“Apanya?”

“Soal biaya service?”

“Iya. Gue anggep nggak pernah ada.”

Lagi, Krist terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan. Terlihat ragu biarpun mungkin hanya sekilas. “Iya. Gue bantuin, kalo gitu.” ㅤ

Saat itu, Singto belum menyadari bahwa Krist adalah seseorang yang akan menjadi pengantar pena bagi Singto menuliskan kisah baru pada buku hidupnya. Saat itu, Singto belum menyadari bahwa Krist adalah ia yang selalu si pemuda nanti hadirnya sebagai pengisi hati.

Saat itu, Singto belum menyadari bahwa Krist adalah satu pribadi yang sedari dulu selalu ia cari-cari.


Beberapa bulan setelahnya.. Fakultas Ilmu Budaya UGAMA

( Line ㅡ TAY ) Tay : Kelasnya diperpanjang, anjir!! Tay : Tungguin aja di BonBin!! Tay : Krist udah dateng?ㅤ

Singto mendesah ketika pandangannya menangkap barisan kalimat yang dikirim oleh Tay melalui aplikasi LINE ke ponselnya. Mendesah, berat. Tidak tahu harus berkata apa.

Bukan apa-apa namun kini Singto tengah duduk berdua, berhadapan dengan seorang lelaki yang kira kira beberapa bulan lalu berseteru dengannya di publik. Krist, kini sedang duduk di hadapan Singto dengan pandangan sibuk tertuju ke arah ponsel di tangan. Tidak menaruh perhatian kepada Singto, sama sekali.

Suasana kantin Fakultas Ilmu Budaya, atau kerap disebut BonBin, yang ramai seakan tidak menjadi pengganggu bagi Krist untuk tetap memfokuskan pandangan pada layar ponsel. Sebenarnya, Singto pun demikian. Ia tidak begitu masalah untuk duduk berhadapan dengan siapapun itu. Hanya saja, duh— bagaimana mengatakannya, ya? Seandainya saja Singto tidak mendengar beberapa gurauan dari teman-teman seorganisasi BEM-nya, ia juga pasti tidak akan merasa risih seperti begini.

Gurauan apa, tanyamu?

“Wehㅡ! Singto! Lo punya gandengan baru?!” “Begitu, dong! Jangan jomblo terus!” “Eh, halo! Ini Krist, 'kan?” “Wiiih! Singto! Seleranya tinggi, beuh!” “Anak FK, tjuy!” “Traktiran, dong! Traktiran!” “Yang langgeng, ya, kalian.”

Singto? Ingin membalas setiap ucapan mereka, namun tiada jeda di setiap kalimat dari kawannya. “Bangsat! Apaan pacar?!” Hanya potongan kata dari kalimat berisi penolakan atas segala yang para kawan ucapkan, itu yang diucapkan Singto. ㅤ

Sepeninggal kawannya, ya, di sinilah Singto. Duduk berhadapan dengan Krist, kikuk. Jemari tangan kanan mengetuk-ngetuk papan meja makan sebagai upaya menghilangkan suasana kaku diantara mereka walaupun nyatanya sama sekali tidak berhasil.

“Temen lo masih lama?”, tanya Krist tiba-tiba.

“Hah? Apa? Siapa? Gimana? Oh, si Tay? Kelasnya diperpanjang.”

Sial. Kenapa Singto malah jadi salah tingkah begini, sih? Bahkan jawabannya untuk pertanyaan Krist berkesan kikuk dan tidak fokus. Yah, memang tidak bisa dipungkiri bahwa lelaki di hadapan Singto ini dapat dikategorikan cantik. Sangat, malahan. Ah, Singto. Sadar diri!

“Jadi gue mesti nunggu di sini sampe kelas temen lo itu kelar?”, tanya Krist dengan nada dingin. Pandangannya tidak terlepas dari ponsel sementara jemarinya bergerak cepat. Sepertinya sedang memainkan game-online.

“Katanya, sih, begitu. Disuruh makan juga, kebetulan waktunya makan siang, 'kan?” Singto mencoba mencari cara agar dirinya dapat terpisah dari Krist dengan kedok memesan makan siang. Siapa tahu ketika mereka tengah meninggalkan bangku untuk memesan makanan, ada orang lain yang menempati bangkunya sehingga Singto dapat bebas dari tekanan batinnya kala duduk berhadapan dengan Krist?

“Lo nggak makan?”, tanya Singto dengan nada penuh harap terselip di dalamnya. Akan tetapi semuanya seakan hancur ketika Krist menggeleng ringan. “Nggak laper,” tambahnya singkat.

Singto mengangguk paham namun setelahnya kebingungan harus membawa topik perbincangan apa. Sebenarnya, Singto tidak usah repot-repot memikirkan topik perbincangan, sih. Toh' Krist pun asik dengan ponsel di tangan. Namun, ah— Singto merasa bersalah bukan main.

Krist sudah datang dari Fakultasnya ke kluster Soshum hanya untuk menepati janjinya demi memberi informasi mengenai New. Dalam misi membantu Tay untuk pedekate, tentunya. Tetapi yang memiliki urusan malah datang terlambat.

Jadi, Singto harus apa? Sumpah demi apapun, suasana diantara mereka berdua terlalu kaku hingga membuat Singto gatal. “Oh, ya, Krist—” Singto memanggil Krist, ingin berbincang tentang apapun, lah.

Namun SIAL-! Tiba-tiba Singto merasakan waktu seakan berputar lebih lambat ketika Krist yang sedari tadi menunduk kini mengangkat wajahnya. Menatap Singto lurus-lurus. Tatapannya dingin namun entah kenapa Singto yakin di balik tatapannya yang agak mengintimidasi itu ada sosok yang seperti lain dari kebanyakan. Sosok yang seperti menyenangkan di saat seseorang sudah mengenalinya lebih dekat.

Sekarang, Singto merasakan akibatnya. Tepat saat Krist menatap dirinya, Singto segera lupa dengan pertanyaan yang ingin ditanyakan. Singto terdiam, bingung harus mengatakan apa. Sementara Krist? Kini mengernyitkan dahi, bingung dengan kalimat yang ingin diutarakan oleh Singto.

“Apaan?”, tanya Krist, singkat.

Pada saat itu pula, Singto memutar otak. Sekeras mungkin memikirkan berbagai pertanyaan yang bisa dilemparkan kepada si lelaki di hadapan.

Lo berapa bersaudara? KEPO AMAT, ANJIR. GANTI!

Kuliah apa kabar? BANGSUL. PIKIRIN TUGAS LO! NGAPAIN NANYA ORANG LAIN?

Orangtua apa kabar? LO SIAPANYA, BOLOHO? AH, ELAH.

Semacam ada perdebatan antara otak dengan batinnya, sehingga membuat Singto masih diam untuk beberapa saat hingga akhirnya ia berujar singkat tanpa disadari secara penuh, “— lo model iklan Ponds Whitening, ya?”

”...”

”...”

”...”

ADUH, SINGTO. LO BEGO AMAT JADI COWOK!?!

Jika memang hidup ini adalah sebuah animasi, Singto sudah menggambarkan sebuah bom atom menyerang kantin BonBin dan tepat mengenai dirinya. Apapun itu, asal Singto dapat menghilang dari situasi ini. Namun ini dunia nyata. Pada kenyataannya, Singto tidak bisa pergi kemana-mana dan hanya tersenyum kikuk. “Sorry. Kulit lo mencolok banget, soalnya.”

Mencolok? Tidak, bukan dari artian negatif. Singto ingin berujar, kulit lo putih banget, sebenarnya. Namun memuji seseorang adalah hal yang terlalu jarang dilakukan oleh seorang Singto. Sehingga anggaplah, kalimat itu adalah kalimat pujian dari Singto untuk Krist.

“Gue? Model Ponds Whitening? Pft—!” Krist tertawa, lantang. Bahkan hingga membuat beberapa mahasiswa melirik ke arahnya, heran dengan topik perbincangan apa yang bisa membuat seseorang tertawa sedemikian rupa. “Lo tuh', ya. Pertanyaannya ada-ada aja. Gue dibilang model Ponds. Ampun, ampun. Tobat, ah, gue.”

Hebat. Ini adalah rekor dimana Krist berujar dengan kalimat panjang kepada Singto dalam suasana hati yang tenang, tidak emosi. “Ya, sorry. Gue bingung aja mau nanya apaan dan yang keliatan cuma kulit lo. Jadi, ya— gue tanya itu.”

“Ada banyak hal yang bisa dibahas selain kulit, anjir. Lo jangan-jangan punya fetish ke hal-hal aneh, ya?”, tanya Krist dengan pandangan menyelidik dan langsung dibalas dengan Singto yang membelalak lebar. “Amit-amit jabang bayi! Heh! Omongan lo fitnah, wey!” Singto juga ikut tertawa bersama Krist.

Aneh, Singto juga tidak tahu bagaimana pastinya namun itu adalah kali pertama Singto tertawa di depan seseorang yang bukan kerabat dekat ataupun teman seorganisasinya. Singto adalah pribadi yang pendiam dan memiliki kesan ㅤtidak mudah untuk didekati. Namun, kini entah kapan dan entah bagaimana caranya, Singto merasa bebas untuk berekspresi di depan seseorang.

Dulu, dua tahun lalu, saat insiden pernyataan cinta di saat OSPEK itu terjadi Singto tidak pernah memperhatikan secara jelas bagaimana rupa seorang Krist. Namun sekarang, jelas. Las. Las. Las. Singto kini tahu bagaimana kulit putih lelaki itu bisa tampak merona disertai dengan rambut hitam yang terlihat amat halus. Bagaima—

“WOI! NUNGGU LAMA? SORI, DOSEN GUE KAMPRET! MASA KELAS UDAH 3 MATKUL, MASIH AJA DITAMBAH!? EH, NEW GIMANA?!”

Kampret, Tayyyyy! Bangsul, Tayyyyy! Mampus lo, Tayyyy! Nggak bisa banget liat orang lagi seneng, apa, Tayyy?

Singto mengutuki sahabat karibnya sejak SMA itu, berkali-kali. Tay selalu begitu, datang di saat yang tidak tepat. Bagaimana si pemuda itu selalu mengganggu setiap momen pentingnya membuat Singto pasrah. Dirinya sudah terlalu biasa hingga ia tidak bisa marah dan hanya memberi senyum tipis yang dipaksakan juga kalimat singkat, “Sabar, anjir. Orang yang lagi jatuh cinta mah apa-apa serba nggak mikir, ya? Lo yang telat, traktir kek. Siomay, kek.” ㅤ

“Lha, lo pada belom makan? Bilang, kek. Udah, sono, pada pesen siomay. Bilang aja gue yang bayar.” Tay memposisikan diri untuk duduk di samping Krist dan membuat Singto sedikit menyipitkan mata, entah karena alasan apa. “Gih, To. Pesen.”

Singto baru saja ingin menolak namun tawaran Tay memang menggoda. Lumayan, lah, seporsi siomay bisa saya membuatnya menghemat uang makan di hari ini. Singto bangkit dari bangku sebelum pada akhirnya memberi pertanyaan pada Krist, “Krist.”

“Lo mau sekalian dipesenin, nggak?”

Pertanyaan Singto sontak membuat Tay keheranan. Pandangannya bolak-balik bergantian menatapi Krist dan Singto yang entah sejak kapan terlihat dekat. “Boleh, deh. Batagor, ya.”

“Pake apaan aja?”, tanya Singto, lagi.

ㅤ “Samain aja, kayak punya lo.”

Tay hanya menganga sementara Singto mengangguk paham dan berjalan menuju kedai siomay batagor yang ada kantin BonBin milik Fakultas Ilmu Budaya UGAMA. Tay, demi apapun, tengah bingung setengah mati. Kenapa nuansanya jadi serba merah muda begini?! ㅤ

“Lo berdua ngapain aja selama gue nggak ada, wey? Kenapa tiba-tiba jadi deket begini?!”, tanya Tay dengan nada mendesak kepada Krist yang hanya balas tersenyum tipis namun nada bicaranya tetap terdengar sinis.

“Apaan, sih, Tay? Nggak deket, kok. Lo aja yang mikirnya demikian. Udah, ah. Gue agak sibuk, nih. Lo mau nanya apaan perihal New? Gue kasih tau sebisa gue aja, ya?”

“Ah, informasi sekecil apapun bakal gue terima, Krist! Tentang New ubanan apa kagak juga gue terima dengan senang hati.”

Krist terkekeh kecil, terkesan kaku, bingung bagaimana cara untuk menghadapi Tay yang tampaknya akan menjadi New kedua di hidupnya.


ㅤ Singto : Krist. Singto : Besok jadi?

Krist : 'Kan lo yang ngajak! Krist : Kok' nanya gue? Krist : Gue ngikut aja.

Singto : Oh, iya. Singto : Oke, jadi, berarti? Singto : Amplaz, jam 4. Singto : Ketemu di Dunkin.

Krist : Oke. Krist : Kalo gue telat, sori. Krist : Mobil lagi diservis.

Singto : Lah, kasian amat. ㅤ Singto : (is typing ...) Singto : Mau gue jem_ Singto : Mau gue je_ Singto : Mau gue j_ Singto : Mau gue_ Singto : (is typing ...) Singto : Naik gojek, berarti?

Krist : Iya, kali. Krist : Liat situasi. Krist : Palingan gojek.

Singto : Oh. Singto : Rumah lo dimana, emang? Singto : Kali searah sama gue. ㅤ

Krist : Lo dimana, emang?

Singto : Gue? Singto : Kostan Pogung Baru. Singto : Deket warung SS.

Krist : Oh. Jauh. Krist : Gue naik gojek aja. ㅤ

ㅤ Singto : Oh, ya udah.

Krist : Lo pastiin aja Krist : kali ini Tay nggak telat Krist : Males nunggu, gue. ㅤ

Singto menatap barisan kalimat yang dikirim oleh Krist pada layar ponselnya dengan tatapan kosong. Melihat nama Tay membuat Singto secara otomatis merasa gugup. Kenapa, tanyamu? Karena Singto telah membohongi Krist dengan mengatakan bahwa Tay-lah yang meminta untuk bertemu dengan Krist guna membahas perihal New.

Padahal, tidak sama sekali. Bahkan Tay sama sekali tidak tahu menahu perihal pertemuan antara Singto dan Krist kali ini. Singto juga heran, mengapa ia tiba-tiba memiliki keinginan untuk berjumpa dengan Krist di luar forum mengenai New.

Entah, rasanya Singto— apa, ya? Rindu? Ingin berjumpa? Ingin menghabiskan waktu bersama? Perasaan aneh yang menelusup masuk ke dalam hati Singto beberapa waktu ke belakang benar-benar membuat si lelaki kerepotan.

Bayangkan saja, Singto bahkan sempat melihat-lihat profil instagram Krist hingga ke postingan paling awal. Hingga jam tiga pagi, malah.

“Ah, sialan! Kok ganteng, sih?!” “Gila! Bibirnya merah banget..” “Putih banget, bangsat.” “Ah, atuhlah. Kumaha atuh, euㅡ”

( __singto menyukai foto kristtt )

”......” “......” “SI GOBLOOOOOOOK!” “WOY! KEPENCET, BANGSAT!” “KENAPA GUE MALAH NGELIKE?!” “GOBLOK, SINGTO! MATI AJA LO!” “LONCAT AJA GUE DARI JENDELA!” “GOBLOK! INI 'KAN LANTAI SATUUU!” “KETAUAN NGESTALK, BEGOOOO!”

Hikmah yang diambil dari kejadian ini, jangan stalk instagram di jam 3 pagi. Sekian, terima kasih.

Semenjak kejadian itu, Singto merasa bahwa ketertarikannya kepada Krist bukan hanya ketertarikan yang sekedar lewat. Singto ingin mengenal Krist lebih dekat lagi. Maka diambil jalan dengan berbohong kepada Krist, membawa nama Tay. Dalam hati, Singto berjanji akan mentraktir si sahabat karibnya itu menu sepuasnya di Warung SS nanti. Anggap saja sebagai ganti rugi karena sudah memakai namanya sembarangan. ㅤ

Hmm, besok pakai baju apa, ya, bagusnya?


Keesokan harinya, Ambarukmo Plaza ( 1 6 . 2 3 WIB )

“NGGAK DATENG?!”

Singto tersenyum kikuk sementara tangan kanannya menggaruki tengkuk leher, terlihat kebingungan harus berujar apa. “Hehehe. Katanya si Tay sakit perut. Mencret gara-gara makan preksu deket UNY, gue juga nggak paham. Udah tau ada janji ketemu, malah makan preks—”

“Jangan suruh Tay ngedeketin New. Nggak gue restuin sahabat gue pacaran sama tukang ngebatalin janji seenak udel.” ㅤ

“WOY!” Singto segera menyela, baru sekarang menyadari bahwa kebohongannya bisa saja menimbulkan akibat buruk ke semua pihak. “Yaelah. Baperan amat, lo. Yang dideketin, kan, New. Kenapa lo yang sensi?”

“Udah, ah! Bete gue. Udah susah-susah cari tebengan buat ke sini malah nggak jadi ini janjinya. Ah, beneran— kesel gue sama temen lo itu.”

Singto? Sebisa mungkin ia mencoba menahan senyum gemasnya akan tingkah si lelaki di hadapan. Apakah Krist sadar, ketika sedang merengut karena kesal seperti barusan ia akan mengerucutkan bibir seraya berbicara dengan nada merajuk? Manis. Sangat.

“Ya udah, tenang dulu. Lo udah terlanjur sampe di sini, juga. Duduk dulu, gih. Pesen apaan g