Sekuat apapun menjaga,
yang pergi akan tetap pergi.
Sekuat apapun kamu menolak,
yang datang akan tetap datang.
Semesta, memang kadang senang bercanda.
Didasari kelakar semesta, keduanya dipertemukan.
Pertemuan mereka, seperti ketidaksengajaan
yang telah diatur baik oleh Tuhan.
Kini hanya tinggal menunggu,
hingga datangnya waktu
bagi kelakar, jadi restu.
“Singto. Lo pernah kepikiran, nggak? Mungkin jodoh kita ada diantara ribuan orang ini. Mungkin jodoh kita lagi pake topi caping, kayak kita. Pake jas almamater UGAMA, kayak kita. Kali aja dia juga lagi—”
“—kelaperan dan ngantuk, kayak kita.”
Dialog barusan berasal dari dua mahasiswa yang salah satu diantaranya memakai topi caping berwarna kuning sementara satu mahasiswa lainnya bertopi caping merah. Si lelaki bertopi caping merah tidak mengenakan topinya dan hanya mengibas-ibaskan topi caping dengan ekspresi risih. Sesekali kerah bajunya dikepakkan, seakan berharap dengan cara begitu paling tidak ia bisa mengusir rasa panas yang menyerang. Biarpun pada akhirnya, semua percuma. Si lelaki bertopi caping merah tetap saja kepanasan. Gerah, bukan kepalang.
Perkenalkan mereka yang terlibat di kisah ini. Lelaki bercaping kuning, Tay. Lelaki bercaping merah, Singto. Mereka adalah sedikit dari ribuan mahasiswa baru Universitas Ganesha Mandala yang sedang menjalani ospek universitas bertempat di lapangan utama. Tay diterima di Fakultas Ekonomi dan Bisnis sementara Singto diterima sebagai mahasiswa Fakultas Hukum di Universitas negeri yang digadang-gadang sebagai universitas terbaik se-nasional.
Tay, lelaki berkulit kecoklatan dan rambut agak kemerahan akibat terlalu sering beraktivitas di alam terbuka, terlihat antusias memperhatikan sambutan dari para petinggi Universitas. Memang inilah mimpi Tay, berada diantara ribuan rekan seusia bertitel Mahasiswa Baru UGAMA. Maka tidak heran jika senyuman lebar tak pernah lepas dari wajah si lelaki.
Sementara Singto? Ia sama seperti Tay, sebenarnya. Menjadi satu dari sekian banyak mahasiswa yang diterima di Universitas kerakyatan ini adalah salah satu mimpinya pula. Biarpun jujur saja, lebih banyak /paksaan/ dari sang Ayah yang turut andil dalam pencapaiannya kali ini namun Singto tetap merasa bangga bisa berada diantara ribuan mahasiswa lainnya.
Bangga. Iya, hanya 'bangga' saja.
Perihal dijemur di lapangan hanya untuk mendengarkan sambutan ini itu, Singto tidak menyukainya. Bukan tidak menyukai, sih. Singto hanya— bagaimana mengatakannya? Gerah? Ya, katakanlah demikian. Cuaca kota yang terik seakan menusuk kulit. Belum lagi ditambah celana dengan bahan kain berwarna hitam, jas almamater yang dikenakan— ah, semakin membuat kegerahan saja.
“Lo yang semangat dikit, kek! Kita berdua perwakilan dari Pribadi, To!” Tay menyikut lengan Singto yang masih sibuk mengipasi wajahnya dengan topi caping di tangan. Singto melirik dengan sinis walau setengahnya tidak berarti serius. “Cuma kita berdua yang keterima di UGAMA! Lo mesti bawa nama baik SMA kita!”
“Gue semangat,” ujar Singto membalas perkataan Tay namun kalimat yang diucapkan sungguh berbanding terbalik dengan tindakan yang dilakukan olehnya sekarang. Singto menguap, lebar. “Hoaaaahmh. Gue sema-ngaaat— eeargh. Pinggang gue keram, Tay.” Singto merenggangkan pinggang ke kanan-kiri dalam posisi masih terduduk. Terlalu lama duduk di tanah lapangan bisa membuat pinggangnya sakit, ternyata.
Tay menggeleng-gelengkan kepalanya ketika melihat tindak Singto yang terlihat ogah-ogahan. Sedikit khawatir juga sebenarnya, sih. Siapa tahu ada kakak senior yang memperhatikan tindak Singto dan merasa sahabatnya itu sedang merendahkan petinggi UGAMA yang sedang berpidato di atas podium.
“To.” Setelah sempat diam untuk beberapa saat, Tay menyuarakan kalimatnya walau dibalas hanya dengan gumaman tidak peduli dari Singto. “Kita cuma berdua, ya, dari Pribadi.”
“Terus?”, tanya Singto dengan nada penuh curiga. “Kenapa emangnya kalau cuma berdua?”
“Iya gitu, To.”
“Apanya yang gitu?”
“Cuma lo sama gue di kota yang baru ini. Berarti kita harus saling jaga.”
”...” Singto sedikit menjauhkan jarak antara mereka berdua.
“Harus saling mengasihi.”
”...” Lagi, Singto menggeser posisi duduknya dari Tay.
“Mencinta—”
“Gue nggak demen lo.”
“Hah?” Tay menghentikan kalimatnya dan menatapi si sahabat semenjak di bangku SMAnya itu dengan pandangan sangat kebingungan. “Apaan, anjir? Kok jadi ngomongin demen-demen begini?”, tanya Tay.
“Biarpun di dunia ini cuma tersisa lo sama gue, nggak bakalan gue suka sama lo. Jadi jangan mentang-mentang cuma kita berdua yang keterima dari Pribadi, lo berharap bisa bikin cerita romace ala drama Korea sama gue.”
“Anjing. Gue dikira naksir lo? Najis, bangsat.” Tay tergelak. Singto merasa sedikit lega setelah melihat tawa dari bibir Tay. Itu tandanya segala kalimat Tay barusan tidak ada yang berarti jatuh cinta, bukan? “Gue mendingan sama kucing betina daripada sama lo, To,” lanjut Tay seraya mengusap ujung matanya yang berair, merasa geli karena ucapan Singto.
“Lagian..”, pandangan Tay tertuju ke depan, lurus memandangi punggung seorang lelaki lain dengan caping merah di tangan. Tindakan si lelaki bercaping merah yang lainnya itu /hampir/ mirip dengan Singto, mengipas-ngipaskan topi caping ke wajah. Tampaknya merasa kegerahan juga. “..ngapain gue naksir ke mahluk bejat kayak lo kalo masih ada malaikat jatuh dari surga. Di hadapanku..”
“EAAAAAA.” Singto refleks melanjutkan ucapan Tay dengan penggalan lagu Cowboy Junior. Bodohnya, Singto barusan berucap dengan volume suara yang agak keras. Akibatnya? Beberapa mahasiswa baru menoleh ke belakang, ingin mengetahui siapa oknum nekat yang berani bersuara sementara petinggi kampus sedang berpidato di depan sana. Singto dan Tay segera menundukkan kepalanya dalam-dalam, malu.
“Singto! Nyet! Lo sih, ah! Nggak bisa berhenti jadi kampungan, apa?” Tay mendesis seraya menutupi kepalanya dengan topi caping berwarna kuning di tangan seraya menyikut lengan Singto tanpa henti, merasa malu sekaligus kesal. Sementara Singto balas menyikut lengan Tay, tidak terima merasa disalahkan secara sepihak. “Lo yang sok jadi satria bergitar. Jijik gue denger kalimatnya, Tay!”
“Mampus! It gebetan gue ngeliatin ke sini!” Dari celah topi capingnya, Tay bisa melihat lelaki berkulit putih yang sedang memegang topi caping berwarna merah berjarak tidak jauh dari mereka berdua juga sedang menatap ke arah belakang. “Malu gue, Singto! Malu!”
“Peduli setan, nyet!” Singto dan Tay saling berujar dengan desisan namun tetap saja terdengar ramai. Apalagi ketika dengkul Tay sengaja menyenggol paha Singto dengan cukup keras.
Sepertinya masa perkuliahan mereka tidak akan pernah damai.
Masih PPSMB Hari Pertama
Auditorium Fakultas Ilmu Budaya UGAMA.
“Lo nguap terus, To. Ketauan senior, mampus.” Tay menyikut lengan Singto yang tengah menguap, lagi. Yang disikut lengannya hanya melirik balik dengan ekspresi malas. Merasa terganggu, lebih tepatnya. “Ya, namanya juga ngantuk,” jawab Singto seadanya.
“Ya nunduk, kek. Kalo mau nguap, ya, ditahan, kek. Apa, kek.” Kalimat Tay barusan dibalas dengan anggukan malas dari Singto. “Iya, gue nguap sambil nunduk, nih. Gue nguap sambil nunduk.” Kali ini Singto benar-benar membungkukkan badannya dan pura-pura menguap.
Ospek universitas yang diadakan di lapangan utama telah selesai. Kini para mahasiswa baru mendapat kesempatan untuk saling mengenal dengan teman-teman dari gugusnya masing-masing. Singto yang tergabung dalam gugus Hardjono 7 bergerak bersama teman-teman satu gugusnya menuju auditorium Fakultas Ilmu Budaya. Fakultas yang disebut paling tua di Universitas Ganesha Mandala sekaligus tempat dimana beberapa gugus lain akan mempelajari seluk beluk kampus yang akan menjadi kebanggaannya selama beberapa tahun kedepan.
Hampir semua anggota gugus terlihat kesenangan ketika diberi kesempatan untuk menjelajahi daerah perkuliahan secara lebih dekat. Oh, ralat. Tidak semuanya merasa senang karena ada satu orang yang sedang menekukkan wajahnya. Singto.
Singto menumpukan dagu dengan sebelah tangan seraya memandang ke arah podium yang ada di auditorium dengan pandangan kosong. Ia mencoba menahan kantuk sekaligus lapar yang terus menyerang tanpa henti sedari tadi. Sebenarnya Singto bukan individu pemalas yang ogah menjalani ospek hanya saja pertandingaan sepak bola yang disiarkan secara langsung menjelang subuh itulah yang menjadi alasannya merasakan kantuk bukan main.
Bahkan ketika para senior mengadakan games atau hiburan ringan, Singto sama sekali tidak menaruh perhatian. Sumpah demi apapun, ia hanya ingin tidur. Hanya itu saja.
“Mau lagi, nggaaaak?” Suara seorang senior dengan tingkah agak kemayu yang berdiri di podium auditorium terdengar lantang. Singto mendengus, ia sama sekali tidak menyukai aktivitas yang menurutnya sangat tidak jelas begini. Dibanding mengadakan games yang sama sekali tidak seru, bukankah lebih baik mereka dipulangkan saja?
Namun mana bisa Singto berujar demikian? Maka ia mengalihkan fokus sejenak sebelum akhirnya mengambil nafas dalam-dalam untuk menjawab basa-basi. “Maaa—”
“MALESSS!”
Hening, seketika. Suasana auditorium segera dilingkupi keheningan. Alasannya hanya satu; karena suara seruan seseorang yang menjawab pertanyaan si senior dengan jawaban yang tidak seharusnya.
“Siapa, sih?”
“Ih, ganteng tapi kok rada pe'a, sih?”
“Berani banget. Uyuhan, nggak takuteun.”
“Mantep, dihukum tuh pasti.“
Bisikan dari beberapa teman di gugusnya membuat Singto juga secara spontan ikut mengalihkan pandangan. Suara seseorang itu terdengar dari bangku belakang sementara Singto duduk di barisan depan. Oknum yang berteriak itu ada di barisan gugus Hardjono 8.Kulitnya putih bersih dengan hidung mancung dan rambut yang agak kemerahan karena dicat secara modis, terlihat sangat keren bak artis-artis ibukota.
“Anjir, duduknya di sebelah gebetan gue.” Bisikan Tay terdengar. Singto mengernyitkan alis kemudian menatap seseorang di samping si oknum 'kontroversial' itu lekat-lekat. Selain si oknum, Singto juga melihat seorang lelaki lain yang berkulit putih, hampir mirip dengan si pembuat onar. Bedanya, seseorang yang Tay sebut sebagai gebetan sekarang sedang menutupi wajahnya, seperti malu dengan tindakan si oknum yang barusan mencari masalah.
Para senior yang berdiri di podium meracau menahan kesal sementara si oknum itu hanya tertawa kecil, seakan tidak menyadari bahwa ia baru saja membuat masalah besar.
“KAMU! KE DEPAN!” Salah seorang senior berteriak, memanggil si oknum yang sekarang sedang melangkah maju dengan sangat santai. Sudah pasti ia harus menjalankan hukuman dari senior karena jawaban yang dikemukakan barusan. Tuh, 'kan. Benar saja, sekarang lelaki berkulit putih itu sedang diplonco ramai-ramai oleh para senior. Beberapa dari mahasiswa baru ada yang memberi tatapan kasihan ke si oknum pembuat masalah namun beberapa yang lainnya memilih untuk menundukkan kepala dalam-dalam karena tidak ingin menjadi target berikutnya.
Di sisi lain, Singto menatap kosong ke arah depan. Sesi hukuman seperti ini tidak menyenangkan baginya. Ia hanya ingin segera pulang lalu tidu— “Itu! Kamu! Yang di depan! Planga plongo melulu! Sini maju ke depan juga!”
Senior menunjuk ke arah barisan tempat Singto berada namun si lelaki berkulit kecoklatan itu malah menengok kesana kemari. “Maba yang tengak tengok! Kamu maju ke depan! Kenapa malah tengok kiri kanan?” Si senior lebih memperjelas posisi tunjukan jarinya ke arah Singto.
“Saya, Kak?”, tanya Singto seraya menunjuk dirinya sendiri. Si senior yang sudah kepalang kesal karena tindakan si oknum yang berteriak tadi akhirnya jadi lepas kendali, emosi. “Iya, kamu! Daritadi nguap terus, 'kan? Bengong terus, juga. Maju!”
“Lah, kok saya juga ikut dipangg—awwawaw! Tay! Sakit, bego!” Argumen Singto terhenti ketika Tay mencubiti paha sahabatnya dengan lumayan kencang. Setidaknya cukup perih untuk membuat Singto mengaduh. “Apaan sih lo, Tay?”
“Udah, maju aja, kenapa?! Bawel amat!”, desis Tay yang takut Singto akan mendapat masalah lebih jauh jika melemparkan argumen lebih jauh. Benar juga, sih. Singto tidak ingin memiliki masalah lebih banyak dengan menentang perkataan senior. Sudahlah, lagipula hukuman apa, sih, yang paling parah? Paling-paling hanya disuruh menyanyi atau menari. Tidak akan parah-parah sekali, 'kan?
Maka langkah Singto dibawa menuju ke arah podium kemudian berdiri bersebelahan dengan si lelaki yang membuat onar terlebih dahulu. “Nama kamu siapa?”, tanya si senior yang awalnya terlihat kemayu namun sekarang terlihat seperti bisa menerkam siapapun kapan saja.
“Singto, Kak.”
“Krist, Kak.”
Singto melirik dari ujung matanya. Lelaki berkulit putih ini sangat terlihat tidak takut dengan apapun. Setidaknya itu yang Singto pikirkan hingga akhirnya ia mendengar kalimat selanjutnya yang diujarkan oleh para senior. “Krist, kamu tembak dia,” ujar si senior seraya menunjuk ke arah Singto.
Singto segera terkesiap. “Loh, tapi kak—” Sontak, perkataan si senior berpenampilan kemayu segera membuat Singto membelalak. “—kok hukumannya begitu, sih? Mending disuruh squat jump atau sit up, deh!”
“CIYEEEEEE.” Teriakan serempak terdengar memenuhi seluruh auditorium. Mereka terlihat antusias menyaksikan tontonan yang tersuguh di atas podium. Singto menggaruk kepalanya, merasa sebal sepenuhnya dengan situasi yang terjadi.
“Udah, buruan tembak Singtonya, Krist. Yang so sweet, ya. Biar dia nggak ngantuk lagi. Kasian dia, pasti dari tadi nguap melulu karena nggak punya pacar.”
Singto menatap dengan pandangan sinis. Apa hubungannya menguap dengan statusnya yang tidak memiliki pacar, coba? Seniornya ini tolol atau bagaimana, sih?! Ingin rasanya Singto menyerukan berbagai argumen namun lagi-lagi semua hanya angan. Semua ucapannya tertahan di ujung lidah.
Awalnya Singto dan Krist, lelaki di sampingnya, hanya saling berdiri berdampingan namun entah senior /sialan/ mana yang mengambil inisiatif untuk mengubah posisi keduanya menjadi saling berhadapan.
Krist menunduk, menatap lantai panggung auditorium. Sementara Singto menatap lurus ke depan, benar-benar hanya lurus ke depan. Tidak sama sekali melirik Krist yang berdiri di hadapannya ini.
'Ah, lama amat, sih?!' Singto merutuk, tidak sabar. Tindakan si Krist ini terlalu lelet, padahal tadi dia bersikap sok jago dengan berseru kencang-kencang. Menciptakan masalah yang membuat keduanya jadi begini. Lagipula pa susahnya 'sih bilang suka? Toh' semua ini hanya bercanda, 'kan?
“Mana, Krist? Kok diem, sih?”, sindir seorang senior perempuan. Krist masih menundukkan kepalanya dalam-dalam sebelum akhirnya mengujarkan satu kalimat dengan sangat cepat; bahkan tidak sampai satu detik, sepertinya.
“Aku suka kamu!”, ujar Krist yang segera dibalas dengan seruan ramai dari semua mahasiswa yang duduk di bangkunya masing-masing. “TERIMA! TERIMA!”
“Gimana, Singto? Diterima cintanya Krist?”, pertanyaan dari senior perempuan dengan rambut dikuncir kuda itu membuat Singto sedikit melengos. Merasa pertanyaan itu benar-benar tidak penting untuk ditanyakan.
Lo kira sendiri, Kak?! Dikira gue bakal iyain?
“Hahaha,” Singto membalas dengan tawa kaku. Keki, lebih tepatnya. “Sekarang udah boleh duduk, Kak?” Singto sengaja tidak menjawab pertanyaan si senior, 'toh memang tidak penting untuk dibalas pula.
“Eh, diterima nggak? Jawab dulu!”, desak si senior.
“TERIMA! TERIMA!”, seru rekan-rekannya yang lain.
“Duh, Kak.” Singto melirik ke arah si lelaki di hadapannya, ia masih menunduk dalam. Benar-benar malu, sepertinya. “Ini anak orang disuruh duduk aja dulu, Kak. Kasian.”
“CIYEEE. KASIAN, KATANYA. CIYEEEE, PERHATIAN!” Setiap ujaran Singto rasanya seperti akan menjadi bumerang baginya. Bilang ini, diejek. Bilang itu, diejek juga. Norak, pikir Singto.
“Ya udah, Krist bakal disuruh duduk tapi sebagai gantinya, kamu..” Si senior melirik ke arah papan nama yang terkalung di leher si pemuda. “..Singto?”
“Iya, Kak. Singto.”
“Kamu, Singto, yang mesti gantian dapet hukuman. Gimana?”
Singto segera membelalakkan mata kemudian menggeleng dengan cepat. “Nggak jadi, Kak. Nggak mau.” Ya, jika beberapa dari kalian mengharapkan jawaban heroik nan romantis layaknya novel karangan Ayah Pidi Baiq, maaf mengecewakan harapan kalian. Bagi seorang Singto, terlepas dari hukuman konyol ini adalah hal yang paling utama.
“Makanya, jawab dulu, dong.”
Mampus. Jawab apaan, dah?
“Singto. Lelet, nih. Kasian Kristnya deg-degan nungguin jawaban kamu.”
Ahelah, Kak. Kok bacot amat, sih?
“Ayo, jawab! Acaranya jadi molor gara-gara kalian!”
Ya udah, udahin aja! Kenapa malah dilanjutin?!
“TERIMA. TERIMA. TERIMA.”
“Singto! Ayo, jawab!”
“TERIMA. TERIMA. TERIMA.”
“Kasian Kristnya, nih!”
“TERIMA! TERIMA! TERIMA!” Koor kompak terdengar semakin bersahutan. Apalagi ketika Singto menangkap sosok Tay sebagai salah satu dari mereka yang suaranya paling lantang. Si teman sialan itu pasti bahagia melihat Singto tersiksa seperti ini.
“Iya.” Akhirnya, Singto membuka suara. Para senior segera berdesis, memberi instruksi kepada mahasiswa baru lainnya untuk diam. “Sssst! Singtonya ngejawab! Ssssst! Apa, Singto?”
“Saya terima.”
“Apa? Nggak kedengeran!” Seakan ingin menggoda, para senior berpura-pura tidak mendengar ujaran Singto barusan. Singto mendengus kesal sebelum akhirnya menarik nafas dalam-dalam dan berseru kencang. “IYA, KAK! SAYA TERIMA, KAK. PERNYATAAN CINTANYA DIA, SAYA TERIMA. TERIMAAA! SAYA TERIMA DIA JADI PACAR SAYA!”
Suasana auditorium menjadi riuh, bukan main ramainya. Mengelukan jawaban Singto teruntuk si oknum (yang bahkan sudah Singto lupakan siapa namanya) itu.
“CIYEEEEEEEE.”
Mungkin hari itu adalah hari terburuk dari banyak hari tidak sempurna yang dilalui Singto. Hari itu, Singto bertekad bulat untuk tidak pernah terlibat dalam urusan apapun dengan si oknum pembuat onar itu.
Tidak untuk kemarin.
Tidak untuk sekarang.
Tidak untuk masa depan.
Hidup ini, ya, tentang menunggu.
Menunggu kita untuk menyadari :
kapan kita akan berhenti menunggu. ㅤ
“To. 'Kan kita sahabat.”
“Terus?”
“Kalo pacar kita sahabatan juga, pasti seru!”
“Kriiist!”
“Apa, New?”
“Nanti pacar kita harus deket!”
“Harus temenan!”
“Tay.”
“Apa, To?”
“New.”
“Iyaa, Krist?”
“Ngurusin lo satu aja gue udah pusing.”
“Cukup kamu aja, ya? Aku nggak butuh dua New.”
Mungkin saja, ini yang namanya karma.
Dua tahun telah berlalu. Entah apakah Tuhan ingin bergurau pada dua hati yang tengah risau, mereka lagi-lagi bertemu. Dengan semesta memberi restu, lagi, mereka bertemu. ㅤ
“Lo yakin, dia anak sini, Tay?”
“Yakin, To!”
“Kok gue nggak yakin, ya? Mukanya nggak kayak anak FK. Bukan, kali, ah.”
“Eh, si batok kelapa. Gue yakin dia anak sini! Gue udah muter-muterin UGAMA, To! Gue yakin dia anak sini setelah gue coba cari-cari informasi soal dia lagi.”
“Anjir. Lo stalker, apa? Bisa-bisa lo dilaporin polisi, Tay!”
“Gapapa. Gue rela masuk bui demi Nyai.” ㅤ
“Najis. Geli gue, Tay!”
Percakapan garis miring perdebatan diantara dua pemuda itu terjadi di dalam mobil Fortuner berwarna silver yang tengah terparkir beberapa meter sebelum memasuki pintu masuk Fakultas Kedokteran Universitas Ganesha Mandala. Singto dan Tay, oknumnya. Si mahasiswa Fakultas Hukum itu kini tengah memberi tumpangan kepada temannya, si mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis, yang sedang merasakan benih-benih cinta berbunga.
Ah, bahasanya terlalu rumit. Sederhana saja, Tay tengah jatuh cinta kepada seseorang yang bahkan belum ia kenali. Hanya berbekal nama yang ia dengar ketika tidak sengaja berpapasan dengan seseorang itu, Tay menghabiskan waktunya untuk berputar mengelilingi seluruh fakultas di UGAMA. Katanya, sih, namanya New.
Tay menelfoni Singto tanpa henti, mengajak si sahabat untuk menemaninya ke Fakultas Kedokteran guna menemui si seseorang yang (katanya, lagi) dimimpikan olehnya siang dan malam.
Singto? Menolak, tentu. Jabatannya sebagai Presiden Mahasiswa sudah dibuat sibuk oleh berbagai program kerja ini itu. Ia sibuk. Sangat sibuk, jika perlu digaris bawahi. Lagipula ia juga memiliki banyak tugas di tahun keduanya belajar di UGAMA. Singkat kata, Singto malas menemani Tay menemui si pujaan hati. Untuk pergi bolak-balik menghadiri kelas mata kuliahnya di kampus pun sudah jengah, apalagi ini— mengunjungi fakultas tetangga yang kerap dinamai gudangnya orang-orang tampan dan cantik dengan otak cemerlang? Cari mati saja, namanya.
“Gue nggak ikut, ya?”, ujar Singto seraya memarkirkan mobilnya ke pinggiran jalan. “Apanya yang nggak ikut?”, tanya Tay, seraya menatap Singto dengan dahi sedikit berkerut. Singto mengedikkan dagunya ke arah pintu masuk Fakultas Kedokteran, menjelaskan lebih lanjut mengenai makna ucapannya barusan. “Itu. Gue nggak ikut masuk ke FKnya, Bray.”
“KOK GITU?!” Tay berteriak histeris, seakan tidak terima dengan ucapan Singto barusan. “NGAPAIN GUE AJAK LO KALO LO NGGAK IKUT MASUK, NYET?!”
“Err—”, Singto menggumam singkat sebelum akhirnya menjawab dengan kedua bahu terangkat ringan. “—jagain mobil?”
“Eh, si anjir. Alasan lo nggak jelas amat. Masalah parkir mobil, gue yang bayar! Heran gue, anaknya TNI kok pelit banget, astaghfirullah. Ati-ati, lho, To. Ntar lo kena azab kuburan dihujani kertas parkir karena pelit semasa hidup pas mati ntar.”
Singto? Tidak bereaksi banyak namun sedikit terkekeh karena menganggap ucapan Tay sangat lucu. “Iya, ya Allah, iya. Tega amat, ngedoain gue mati kena azab gara-gara masalah parkir—ASTAGHFIRULLAH!”
BBUGHH!
Baru saja Singto akan menyalakan mesin mobilnya untuk beranjak memasuki kawasan Fakultas Kedokteran, tiba-tiba saja satu unit mobil berwarna merah metalik menghantam bagian belakang mobilnya. Menyebabkan tubuh kedua pemuda itu segera terpelanting ke depan, bahkan kepala Tay terbentur ke dashboard mobil Singto dan mengakibatkan kepala si lelaki berkulit agak kecoklatan itu sedikit terluka.
“Tay! Tay! Lo gapapa?!”
“Bentar! Bentar! Gue keliyeng-keliyeng, anjir. Pusing. Kepala gue nggak kenapa-kenapa? Kok panas?” Tay menoleh ke arah Singto, meminta agar si sahabat mengecek kondisi kepalanya yang terasa panas bukan main.
Singto segera membelalak, tidak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang. “BUSET. BERDARAH!” Hanya seeeeeedikit berdarah, namun Singto bertingkah berlebihan. “Anjir, siapa yang nabrak, sih?! Punya SIM kagak tuh orang, sialan!” Singto melirik ke arah mobil di belakangnya dari kaca spion dalam mobil. Di belakang sana ada mobil merah metalik namun tidak dapat terlihat siapa yang mengemudikannya karena gelapnya kaca yang terpasang di sana.
“Samperin, To! Lo 'kan anak hukum! Ini saatnya semua ilmu lo diterapkan! Pojokin itu orang sampe lo dapet ganti rugi! Samperin! Enak aja bikin kepala orang berdarah! Untung bukan muka gue yang kenapa-kenapa!”
Singto ingin menimpali, “Tay, kepala lo itu bukan bagian dari muka juga?”, kepada Tay namun segala tanyanya itu seakan menjadi prioritas kesekian karena emosi yang tidak bisa ia bendung. Segera saja, Singto keluar dari dalam mobil, begitupun dengan Tay yang mengikuti.
Ternyata, sudah ada banyak mahasiswa dan mahasiswi dari Fakultas Kedokteran maupun Fakultas Teknik, juga dari fakultas lain yang kebetulan lewat, sedang berkumpul memperhatikan dua mobil yang barusan bertabrakan itu. Mereka segera berbisik, saling berbincang rahasia ketika mengetahui bahwa salah satu oknum yang terlibat adalah Singto, si Presiden Mahasiswa yang lumayan dikenal.
“Eh, si anjir. Singto, tuh.”
“Bakal rame, nih.”
Singto seakan tidak peduli dengan suara bisikan yang membicarakan dirinya. Si pemuda berkulit coklat itu segera beranjak ke bagian belakang mobil untuk melihat sebagaimana parah kerusakan yang dialami mobilnya. Parah, sangat. Bemper bagian belakang mobilnya penyok, total.
“Buset! Penyok banget, ini, mah! Lo harus minta ganti rugi, To! Sama gue juga. Bilang aja gue mesti dijait, kepalanya! Ayo! Ayo! Gue udah siap akting!” Tanpa persetujuan siapapun, Tay kini memegangi kepalanya dan memasang ekspresi lemas. Seperti akan pingsan.
Singto? Tidak peduli apapun. Ia meninggalkan Tay yang (pura-pura) terlihat lemas dan beranjak dengan langkah tergesa menuju mobil merah metalik yang menabrak mobilnya barusan.
BUGH.
BUGH.
BUGH.
Singto menggedor pintu pengemudi mobil dengan tidak sabar. Ingin mengetahui siapa orang yang sudah membuat mobil kesayangannya hingga begitu. “Woi! Buka! Lo kalo udah nabrak, turun! Tanggung jawab! Jangan malah sembunyi begitu! Woi! Keluar lo! Turun!”
Jendela mobil turun perlahan dan yang menyambut pandangan Singto selanjutnya adalah seorang lelaki dengan senyum kikuk yang terulas pada wajah. “Hehehe, maafin, ya, Mas? Saya nggak sengaja.”
“A-aduh, To. Kepala gue, To. Aduh, kepala guㅡ EH!” Tay, yang baru saja datang menghampiri Singto dengan langkah terhuyung, segera tampak normal dan sehat bugar ketika mengetahui sosok seseorang yang menabrak mereka adalah New, sosok pujaannya. “EH! EH! GUE SEHAT, TO!”
Tentu, Singto paham bahwa kekuatan cinta dapat menyembuhkan apapun. Namun temannya ini berlebihan, bagaimana bisa ia baik-baik saja padahal darah masih mengalir dari pelipisnya akibat terbentur di dashboard?
“Maaf, ya, Mas. Saya nggak sengaja. Tadi saya buru-buru.” New, lelaki itu, mengatupkan kedua tangan dengan memasang wajah memelas. Membuat Singto sedikit tidak tega. Aduh, kelemahan Singto memang adalah sosok yang lemah lembut. “Maaf, Mas. Saya bener-bener minta maaㅡ”
“Yang salah dia, kok, New! Yang salah tuh' dia! Kenapa malah berhentiin mobil pas di tikungan?! Ya, wajar kalo ada yang nabrak, emang itu salahnya dia!”
Baru saja Singto akan mengiyakan permintaan damai dari New, tiba-tiba seruan dengan nada tinggi itu terdengar dari bangku penumpang dan sontak membuat Singto yang emosinya hampir surut kini kembali pasang. “Nggak usah minta maaf, New! Bukan lo yang salah! Itu mobil silver yang salah!”
“Lo, yang di bangku penumpang, turun lo.” Singto menundukkan kepalanya, mencoba mencari tahu siapa orang yang dengan seenaknya berujar demikian. Seorang lelaki lainnya dengan kulit putih seperti New, hanya saja ekspresi lelaki ini terlihat lebih sinis.
“Duh, Mas! Maafin temen saya juga! Krist, ih! Udahan!”
“Udahan, To. Gue yang ganti bempernya!”
Baik Tay dan New, keduanya terlihat panik. Mereka sibuk menahan kedua pihak agar tidak berseteru lebih lanjut. New menahan si lelaki di sebelahnya dengan mencengkeram tangannya sementara Tay berdiri di depan Singto, menahan agar si sahabatnya itu tidak bertindak gegabah. “To! Udah, To. Lo, ah, di fakultas orang tuh jangan cari masalah. Bisa-bisa sekarang bukan jabatan lo yang dicabut, status lo dicabut ntar! To, sabar! Istighfar!”
“Itu orang brengsek banget, anjir. Ngomong seenaknya! Bilang gue yang salah, Tay! Udah jelas-jelas dia yang salah, nabrak dari belakang! Nggak punya otak, apa?!”
“HEH! EMANG LO YANG SALAH, YA! LO ANAK MANA, SIH?! NGGAK TAU APA, YA, KALO DI DAERAH SINI TUH NGGAK BOLEH PARKIR SEMBARANGAN?!”
“Kriiist! Ih! Ya Allah, udahan! Itu Masnya mau damai tadi! Jangan malah dibikin semakin marah, atuh, ih!”
“HEH. LO MIKIR! YANG NABRAK TUH LO!”
“Ya Allah, Singto! Gue gimana mau pedekate sama New kalo lo nya begini? Ya Allah, sabar, To! Sabar!”
“YANG PARKIR SEMBARANGAN TUH LO!”
“HEH, BABI NGEPET! OTAK LO DIMANA? ORANG NABRAK TUH YA BILANG MAAF, BUKANNYA NYOLOT!”
“BABI NGEPET?! LO BUTO IJO! GENDERUWO!”
“APA LO BILANG?! BUTO IJO?! GENDERUWO?!”
“GENDERUWOOOOO!”
“APA?!”
“LO BUTO IJOOOO! LO GENDERUWOOOOO!”
Beberapa mahasiswa yang semula membayangkan akan adanya pertikaian yang sengit, malah menjadi terkekeh ketika dua pihak yang berseteru itu malah bersikap layaknya anak taman kanak-kanak. Kekanakkan sekali.
“Singto!”
“Krist!”
Suara seruan dari Tay dan New segera membuat Singto serta seseorang yang dipanggil Krist itu terdiam. Singto teringat kembali akan satu nama yang seakan tidak asing untuknya. Sepertinya lelaki itu pun demikian, buktinya mata seseorang itu terarah ke wajah Singto. Menatap lekat-lekat tanpa berkedip, hingga akhirnya memekik kencang dan berderap lari menuju mobil merah metalik yang ditumpanginya barusan.
”...” Singto terdiam, bingung akan reaksi yang diberi oleh si lelaki bernama Krist barusan. “Itu babi ngepet kenapa, sih? Udah nyebut gue buto ijo sama genderuwo terus teriak. Emang gue beneran genderuwo ap—”
“Ini Singto yang pernah ditembak pas Ospek Universitas, bukan?” Suara New memecah kebingungan Singto dan membuatnya mengalihkan perhatian penuh ke si pujaan sahabat karibnya itu. “Yang ditembak di aula FIB, ya?”
”...Iya,” jawab Singto.
New segera tersenyum lebar kemudian berlari menuju mobilnya lagi. Tepatnya ke bangku penumpang, mengetuki jendelanya dan berujar dengan semangat. “Krist! Itu Masnya yang pernah kamu tembak pas Ospek, lho! Krist! Ih, kok malah nunduk? Krist—! Itu, lho, ada Singto!”
Singto? Hanya bisa menganga tak percaya. Benar dugaannya. Ketika mendengar nama Krist, ia teringat akan seseorang yang (dipaksa) melakukan pernyataan cinta kepadanya. Singto tidak ingat akan wajah lelaki itu namun namanya masih ia ingat. Krist, dengan nama panjang entah apa namanya.
“AAAAAAAAAAㅡ! MAMPUS AJA LO! KENAPA LO MUNCUL DISINI?!”
Memang, suara Krist teredam karena berada di dalam mobil namun tetap saja Singto bisa mendengar teriakannya yang nyaring itu. New sedikit tersentak namun segera tersenyum kikuk ke arah Singto. “Maaf, ya, Mas. Kayaknya anaknya malu.”
Singto mengangguk, sama kikuknya. “Iya, nggak apa-apa. Ngomong-ngomong, soal mobil saya— coba omongin aja ke dia, ya?” Ujar Singto seraya menunjuk ke arah Tay yang tengah terpesona akan sosok New. “Dia yang ngurusin soal asuransi atau semuanya. Ngobrol sama dia aja.”
“Kok gue?!” Tersadar akan kalimat yang diucapkan oleh Singto, Tay segera menarik lengan si sahabat dan berdesis kebingungan. “Paham apa gue soal asuransi, Bambang?!”
“Udah, napa, sih. Ikutin aja. Gue kasih kesempatan biar lo bisa banyak ngobrol sama dia. Bagus, 'kan?”, balas Singto.
“Oh, iya, bener. Pinter juga lo, Bambang!”
“Bambang, Bambang. Pala lo Bambang! Udah sana, urusin 'tuh cowok lo.” Singto mendorong tubuh Tay agar bergerak menghampiri New yang terlihat kebingungan. Si lelaki yang tengah dimabuk asmara itu hanya tertawa bodoh seraya menggaruki kepalanya, terlihat salah tingkah. “Maaf, ya, New. Lama nunggu.”
“Lho, kok kamu tau nama aku? Kita 'kan belum kenalan. Aku juga nggak sebut nama, lho.” Dari belakang, Singto setengah mati menahan tawanya. Melihat Tay yang salah tingkah begitu sangat menggelikan.
Lupakan perihal Tay serta New, Singto tidak begitu tertarik mengurusi perihal cerita cinta si shabat. Si pemuda itu kini berjongkok, menghadapi bagian belakang mobilnya. Bemper mobil yang penyok parah menjadi fokus utamanya. “Ah, kampret. Mesti nelfon pihak asuransi ini, mah. Parah. Ah, ampun, ribet. Mesti bilang apa juga ke si Ayah? Mampu—”
“Woi.”
Singto melirik ke arah belakang, mencoba mengetahui sumber suara. Mengejutkan, kini sosok Krist yang beberapa saat lalu berseteru dengannya berdiri di sana. Dengan tangan terlipat di depan dada, memasang gaya angkuh. Singto melengos, tidak mengindahkan panggilannya.
“Woi.” Panggilan kedua namun Singto masih tidak menggubris. “Budeg, ya?! Woi!”
“Gue punya nama.”
Singto berujar tanpa menoleh ke belakang sementara tangan si pemuda berkulit kecoklatan itu masih memukul-mukuli bemper mobilnya yang penyok dengan tangan kanan. “Bokap gue ngasih nama ke gue nggak sembarangan, ngapain gue mesti nengok padahal lo nggak lagi manggil nama gue—”
”—Krist?” Kali ini Singto menoleh ke belakang namun tatapannya dingin. Krist? Terlihat tidak takut. Tatapannya sama dingin. Sedikit lebih dingin, malah. “Basi.” Ujar Krist, singkat. “Gue nggak mau ngeliat tingkah sok cool lo atau gimana. Gue cuma mau minta maaf,” lanjut sang tuan dan dibalas dengan kekehan sinis dari Singto. “Begitu emang sikap orang yang lagi minta maaf? Sambil ngelipet tangan? Bersikap kalo dia yang paling bener?”
Benar, Krist tengah bersikap demikian. Tangan terlipat, juga nada bicara yang sama sekali tidak menunjukkan penyesalan. “Lo kalo nggak niat minta maaf, mendingan nggak usah ngomong, dah,” ujar Singto dengan nada ketus.
“Gue ikhlas!” Krist menyela, kali ini dengan tangan yang tidak lagi terlipat di depan dada namun diistirahatkan di belakang tubuh. “Gue emang nada ngomongnya rada judes.” Krist menundukkan kepala, membuat Singto sedikit mengernyitkan dahi. Apa ini caranya meminta maaf?
“Tapi gue ikhlas, beneran.”
“Pft—” Singto menahan tawa sementara tatapannya masih tertuju pada Krist. “Lo bunglon amat. Tadi marah-marah ke gue, sekarang bisa minta maaf tapi malu-malu begini.”
“Gue nggak malu-mal—”
“Ya. Ya. Ya.” Singto menyela kalimat Krist dan bangkit dari posisi jongkoknya. Tubuhnya kini berhadapan dengan si lelaki kemudian mengulurkan tangan kanan. “Gue Singto.” Beberapa detik berlalu dengan Krist yang hanya memandangi uluran tangan Singto. Tidak membalas dan hanya berujar, “gue udah tau nama lo, ngapain ngenalin diri lagi?”
“Oh.” Sedikit tengsin, Singto menarik kembali uluran tangannya dan memasukkan dua kuasa ke dalam saku celana. “Jadi lo masih inget nama gue, gara-gara pernah nembak di depan anak-anak lain, ya?”
Gotcha. Singto langsung dapat menangkap wajah Krist memerah, padam. “Iya? Masih inget nama gue gara-gara kejadian itu? Hm?”, tanya Singto, sengaja diucapkan dengan nada sedikit menggoda.
Krist? Menolak untuk membalas tatapan Singto. Ia menundukkan kepalanya dalam-dalam. “Heh! Jangan ngerjain gue, ya? Gue serius mau minta maaf! Sekalian ngomongin soal mobil lo. Biaya service atau segala macemnya,” lanjut Krist, membuat Singto gantian melipat tangan di depan dada seraya menyenderkan tubuh ke mobilnya. “Lo mau ganti biaya servicenya? Emang punya duit berapa?”
Krist terdiam. Sekali tebak, Singto tahu bahwa lelaki ini pun hanya mahasiswa biaya yang memiliki limit dalam penggunaan uang saku.
“Udah, gue mau pake asuransi juga. Lo nggak usah mikirin. Nggak bakal gue minta ganti rugi ke lo atau Neㅡ”
Oh, benar. New.
“Eh, nggak, deh. Gue ralat sedikit.” Singto kini tidak lagi menyenderkan tubuhnya ke mobil. Tubuh si lelaki menjadi sedikit condong ke arah Krist. “Gue butuh bantuan lo. Sedikit.”
Krist segera memasang ekspresi wajah curiga. “Bantuan apaan?”
“Itu. New.”
“Oh. Lo naksir sohib gue?”
“Bukan gue! Sohib gue yang naksir!”
“Alah. Kalo emang lo juga nggak apa-apa.”
”... Ya, terserah lah lo nganggepnya apaan. Susah ngomong sama orang yang bebal,” ujar Singto ketus namun Krist hanya membalas dengan kekehan kecil. Krist pun paham, sebenarnya, siapa yang tengah jatuh cinta kepada New. Kerabat Singto, yang entah siapa namanya itu, adalah yang sedang mencinta. Lihat saja, bahkan lelaki itu tidak mempedulikan bagaimana rembesan darah dari pelipisnya mengalir dan masih memasang tawa bodoh ke setiap hal yang New ucapkan.
“Gue mesti bantu apa? Comblangin mereka biar jadian?”
Singto mengangguk. Memang, ia tidak ingin mencampuri hubungan ataupun kisah cinta Tay. Namun membayangkan bagaimana setiap malamnya akan diramaikan oleh berbagai cerita si sahabat mengenai “To! New begini. To! New begitu. To! New...” lebih baik Singto mencari cara agar sahabatnya itu cepat memiliki kekasih dan berhenti mengganggu ketenangan hidupnya.
“Kasih tau gue semua informasi soal New. Ke gue dan Tay. Biar itu anak bisa lebih peka sedikit buat pedekate.”
Krist berpikir sejenak sebelum akhirnya berujar singkat. “Dan masalah ini bakal lo anggap nggak pernah ada?”
“Apanya?”
“Soal biaya service?”
“Iya. Gue anggep nggak pernah ada.”
Lagi, Krist terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan. Terlihat ragu biarpun mungkin hanya sekilas. “Iya. Gue bantuin, kalo gitu.” ㅤ
Saat itu, Singto belum menyadari bahwa Krist adalah seseorang yang akan menjadi pengantar pena bagi Singto menuliskan kisah baru pada buku hidupnya. Saat itu, Singto belum menyadari bahwa Krist adalah ia yang selalu si pemuda nanti hadirnya sebagai pengisi hati.
Saat itu, Singto belum menyadari
bahwa Krist adalah satu pribadi
yang sedari dulu selalu ia cari-cari.
ㅤ Beberapa bulan setelahnya..
Fakultas Ilmu Budaya UGAMA
( Line ㅡ TAY )
Tay : Kelasnya diperpanjang, anjir!!
Tay : Tungguin aja di BonBin!!
Tay : Krist udah dateng?ㅤ
Singto mendesah ketika pandangannya menangkap barisan kalimat yang dikirim oleh Tay melalui aplikasi LINE ke ponselnya. Mendesah, berat. Tidak tahu harus berkata apa.
Bukan apa-apa namun kini Singto tengah duduk berdua, berhadapan dengan seorang lelaki yang kira kira beberapa bulan lalu berseteru dengannya di publik. Krist, kini sedang duduk di hadapan Singto dengan pandangan sibuk tertuju ke arah ponsel di tangan. Tidak menaruh perhatian kepada Singto, sama sekali.
Suasana kantin Fakultas Ilmu Budaya, atau kerap disebut BonBin, yang ramai seakan tidak menjadi pengganggu bagi Krist untuk tetap memfokuskan pandangan pada layar ponsel. Sebenarnya, Singto pun demikian. Ia tidak begitu masalah untuk duduk berhadapan dengan siapapun itu. Hanya saja, duh— bagaimana mengatakannya, ya? Seandainya saja Singto tidak mendengar beberapa gurauan dari teman-teman seorganisasi BEM-nya, ia juga pasti tidak akan merasa risih seperti begini.
Gurauan apa, tanyamu?
“Wehㅡ! Singto! Lo punya gandengan baru?!”
“Begitu, dong! Jangan jomblo terus!”
“Eh, halo! Ini Krist, 'kan?”
“Wiiih! Singto! Seleranya tinggi, beuh!”
“Anak FK, tjuy!”
“Traktiran, dong! Traktiran!”
“Yang langgeng, ya, kalian.”
Singto? Ingin membalas setiap ucapan mereka, namun tiada jeda di setiap kalimat dari kawannya. “Bangsat! Apaan pacar?!” Hanya potongan kata dari kalimat berisi penolakan atas segala yang para kawan ucapkan, itu yang diucapkan Singto. ㅤ
Sepeninggal kawannya, ya, di sinilah Singto. Duduk berhadapan dengan Krist, kikuk. Jemari tangan kanan mengetuk-ngetuk papan meja makan sebagai upaya menghilangkan suasana kaku diantara mereka walaupun nyatanya sama sekali tidak berhasil.
“Temen lo masih lama?”, tanya Krist tiba-tiba.
“Hah? Apa? Siapa? Gimana? Oh, si Tay? Kelasnya diperpanjang.”
Sial. Kenapa Singto malah jadi salah tingkah begini, sih? Bahkan jawabannya untuk pertanyaan Krist berkesan kikuk dan tidak fokus. Yah, memang tidak bisa dipungkiri bahwa lelaki di hadapan Singto ini dapat dikategorikan cantik. Sangat, malahan. Ah, Singto. Sadar diri!
“Jadi gue mesti nunggu di sini sampe kelas temen lo itu kelar?”, tanya Krist dengan nada dingin. Pandangannya tidak terlepas dari ponsel sementara jemarinya bergerak cepat. Sepertinya sedang memainkan game-online.
“Katanya, sih, begitu. Disuruh makan juga, kebetulan waktunya makan siang, 'kan?” Singto mencoba mencari cara agar dirinya dapat terpisah dari Krist dengan kedok memesan makan siang. Siapa tahu ketika mereka tengah meninggalkan bangku untuk memesan makanan, ada orang lain yang menempati bangkunya sehingga Singto dapat bebas dari tekanan batinnya kala duduk berhadapan dengan Krist?
“Lo nggak makan?”, tanya Singto dengan nada penuh harap terselip di dalamnya. Akan tetapi semuanya seakan hancur ketika Krist menggeleng ringan. “Nggak laper,” tambahnya singkat.
Singto mengangguk paham namun setelahnya kebingungan harus membawa topik perbincangan apa. Sebenarnya, Singto tidak usah repot-repot memikirkan topik perbincangan, sih. Toh' Krist pun asik dengan ponsel di tangan. Namun, ah— Singto merasa bersalah bukan main.
Krist sudah datang dari Fakultasnya ke kluster Soshum hanya untuk menepati janjinya demi memberi informasi mengenai New. Dalam misi membantu Tay untuk pedekate, tentunya. Tetapi yang memiliki urusan malah datang terlambat.
Jadi, Singto harus apa? Sumpah demi apapun, suasana diantara mereka berdua terlalu kaku hingga membuat Singto gatal. “Oh, ya, Krist—” Singto memanggil Krist, ingin berbincang tentang apapun, lah.
Namun SIAL-! Tiba-tiba Singto merasakan waktu seakan berputar lebih lambat ketika Krist yang sedari tadi menunduk kini mengangkat wajahnya. Menatap Singto lurus-lurus. Tatapannya dingin namun entah kenapa Singto yakin di balik tatapannya yang agak mengintimidasi itu ada sosok yang seperti lain dari kebanyakan. Sosok yang seperti menyenangkan di saat seseorang sudah mengenalinya lebih dekat.
Sekarang, Singto merasakan akibatnya. Tepat saat Krist menatap dirinya, Singto segera lupa dengan pertanyaan yang ingin ditanyakan. Singto terdiam, bingung harus mengatakan apa. Sementara Krist? Kini mengernyitkan dahi, bingung dengan kalimat yang ingin diutarakan oleh Singto.
“Apaan?”, tanya Krist, singkat.
Pada saat itu pula, Singto memutar otak. Sekeras mungkin memikirkan berbagai pertanyaan yang bisa dilemparkan kepada si lelaki di hadapan.
Lo berapa bersaudara?
KEPO AMAT, ANJIR. GANTI!
Kuliah apa kabar?
BANGSUL. PIKIRIN TUGAS LO! NGAPAIN NANYA ORANG LAIN?
Orangtua apa kabar?
LO SIAPANYA, BOLOHO? AH, ELAH.
Semacam ada perdebatan antara otak dengan batinnya, sehingga membuat Singto masih diam untuk beberapa saat hingga akhirnya ia berujar singkat tanpa disadari secara penuh, “— lo model iklan Ponds Whitening, ya?”
”...”
”...”
”...”
ADUH, SINGTO. LO BEGO AMAT JADI COWOK!?!
Jika memang hidup ini adalah sebuah animasi, Singto sudah menggambarkan sebuah bom atom menyerang kantin BonBin dan tepat mengenai dirinya. Apapun itu, asal Singto dapat menghilang dari situasi ini. Namun ini dunia nyata. Pada kenyataannya, Singto tidak bisa pergi kemana-mana dan hanya tersenyum kikuk. “Sorry. Kulit lo mencolok banget, soalnya.”
Mencolok? Tidak, bukan dari artian negatif. Singto ingin berujar, kulit lo putih banget, sebenarnya. Namun memuji seseorang adalah hal yang terlalu jarang dilakukan oleh seorang Singto. Sehingga anggaplah, kalimat itu adalah kalimat pujian dari Singto untuk Krist.
“Gue? Model Ponds Whitening? Pft—!” Krist tertawa, lantang. Bahkan hingga membuat beberapa mahasiswa melirik ke arahnya, heran dengan topik perbincangan apa yang bisa membuat seseorang tertawa sedemikian rupa. “Lo tuh', ya. Pertanyaannya ada-ada aja. Gue dibilang model Ponds. Ampun, ampun. Tobat, ah, gue.”
Hebat. Ini adalah rekor dimana Krist berujar dengan kalimat panjang kepada Singto dalam suasana hati yang tenang, tidak emosi. “Ya, sorry. Gue bingung aja mau nanya apaan dan yang keliatan cuma kulit lo. Jadi, ya— gue tanya itu.”
“Ada banyak hal yang bisa dibahas selain kulit, anjir. Lo jangan-jangan punya fetish ke hal-hal aneh, ya?”, tanya Krist dengan pandangan menyelidik dan langsung dibalas dengan Singto yang membelalak lebar. “Amit-amit jabang bayi! Heh! Omongan lo fitnah, wey!” Singto juga ikut tertawa bersama Krist.
Aneh, Singto juga tidak tahu bagaimana pastinya namun itu adalah kali pertama Singto tertawa di depan seseorang yang bukan kerabat dekat ataupun teman seorganisasinya. Singto adalah pribadi yang pendiam dan memiliki kesan ㅤtidak mudah untuk didekati. Namun, kini entah kapan dan entah bagaimana caranya, Singto merasa bebas untuk berekspresi di depan seseorang.
Dulu, dua tahun lalu, saat insiden pernyataan cinta di saat OSPEK itu terjadi Singto tidak pernah memperhatikan secara jelas bagaimana rupa seorang Krist. Namun sekarang, jelas. Las. Las. Las. Singto kini tahu bagaimana kulit putih lelaki itu bisa tampak merona disertai dengan rambut hitam yang terlihat amat halus. Bagaima—
“WOI! NUNGGU LAMA? SORI, DOSEN GUE KAMPRET! MASA KELAS UDAH 3 MATKUL, MASIH AJA DITAMBAH!? EH, NEW GIMANA?!”
Kampret, Tayyyyy! Bangsul, Tayyyyy! Mampus lo, Tayyyy! Nggak bisa banget liat orang lagi seneng, apa, Tayyy?
Singto mengutuki sahabat karibnya sejak SMA itu, berkali-kali. Tay selalu begitu, datang di saat yang tidak tepat. Bagaimana si pemuda itu selalu mengganggu setiap momen pentingnya membuat Singto pasrah. Dirinya sudah terlalu biasa hingga ia tidak bisa marah dan hanya memberi senyum tipis yang dipaksakan juga kalimat singkat, “Sabar, anjir. Orang yang lagi jatuh cinta mah apa-apa serba nggak mikir, ya? Lo yang telat, traktir kek. Siomay, kek.” ㅤ
“Lha, lo pada belom makan? Bilang, kek. Udah, sono, pada pesen siomay. Bilang aja gue yang bayar.” Tay memposisikan diri untuk duduk di samping Krist dan membuat Singto sedikit menyipitkan mata, entah karena alasan apa. “Gih, To. Pesen.”
Singto baru saja ingin menolak namun tawaran Tay memang menggoda. Lumayan, lah, seporsi siomay bisa saya membuatnya menghemat uang makan di hari ini. Singto bangkit dari bangku sebelum pada akhirnya memberi pertanyaan pada Krist, “Krist.”
“Lo mau sekalian dipesenin, nggak?”
Pertanyaan Singto sontak membuat Tay keheranan. Pandangannya bolak-balik bergantian menatapi Krist dan Singto yang entah sejak kapan terlihat dekat. “Boleh, deh. Batagor, ya.”
“Pake apaan aja?”, tanya Singto, lagi.
ㅤ “Samain aja, kayak punya lo.”
Tay hanya menganga sementara Singto mengangguk paham dan berjalan menuju kedai siomay batagor yang ada kantin BonBin milik Fakultas Ilmu Budaya UGAMA. Tay, demi apapun, tengah bingung setengah mati. Kenapa nuansanya jadi serba merah muda begini?! ㅤ
“Lo berdua ngapain aja selama gue nggak ada, wey? Kenapa tiba-tiba jadi deket begini?!”, tanya Tay dengan nada mendesak kepada Krist yang hanya balas tersenyum tipis namun nada bicaranya tetap terdengar sinis.
“Apaan, sih, Tay? Nggak deket, kok. Lo aja yang mikirnya demikian. Udah, ah. Gue agak sibuk, nih. Lo mau nanya apaan perihal New? Gue kasih tau sebisa gue aja, ya?”
“Ah, informasi sekecil apapun bakal gue terima, Krist! Tentang New ubanan apa kagak juga gue terima dengan senang hati.”
Krist terkekeh kecil, terkesan kaku, bingung bagaimana cara untuk menghadapi Tay yang tampaknya akan menjadi New kedua di hidupnya.
ㅤ
Singto : Krist.
Singto : Besok jadi?
Krist : 'Kan lo yang ngajak!
Krist : Kok' nanya gue?
Krist : Gue ngikut aja.
Singto : Oh, iya.
Singto : Oke, jadi, berarti?
Singto : Amplaz, jam 4.
Singto : Ketemu di Dunkin.
Krist : Oke.
Krist : Kalo gue telat, sori.
Krist : Mobil lagi diservis.
Singto : Lah, kasian amat. ㅤ
Singto : (is typing ...)
Singto : Mau gue jem_
Singto : Mau gue je_
Singto : Mau gue j_
Singto : Mau gue_
Singto : (is typing ...)
Singto : Naik gojek, berarti?
Krist : Iya, kali.
Krist : Liat situasi.
Krist : Palingan gojek.
Singto : Oh.
Singto : Rumah lo dimana, emang?
Singto : Kali searah sama gue. ㅤ
Krist : Lo dimana, emang?
Singto : Gue?
Singto : Kostan Pogung Baru.
Singto : Deket warung SS.
Krist : Oh. Jauh.
Krist : Gue naik gojek aja. ㅤ
ㅤ Singto : Oh, ya udah.
Krist : Lo pastiin aja
Krist : kali ini Tay nggak telat
Krist : Males nunggu, gue. ㅤ
Singto menatap barisan kalimat yang dikirim oleh Krist pada layar ponselnya dengan tatapan kosong. Melihat nama Tay membuat Singto secara otomatis merasa gugup. Kenapa, tanyamu? Karena Singto telah membohongi Krist dengan mengatakan bahwa Tay-lah yang meminta untuk bertemu dengan Krist guna membahas perihal New.
Padahal, tidak sama sekali. Bahkan Tay sama sekali tidak tahu menahu perihal pertemuan antara Singto dan Krist kali ini. Singto juga heran, mengapa ia tiba-tiba memiliki keinginan untuk berjumpa dengan Krist di luar forum mengenai New.
Entah, rasanya Singto— apa, ya? Rindu? Ingin berjumpa? Ingin menghabiskan waktu bersama? Perasaan aneh yang menelusup masuk ke dalam hati Singto beberapa waktu ke belakang benar-benar membuat si lelaki kerepotan.
Bayangkan saja, Singto bahkan sempat melihat-lihat profil instagram Krist hingga ke postingan paling awal. Hingga jam tiga pagi, malah.
“Ah, sialan! Kok ganteng, sih?!”
“Gila! Bibirnya merah banget..”
“Putih banget, bangsat.”
“Ah, atuhlah. Kumaha atuh, euㅡ”
( __singto menyukai foto kristtt )
”......”
“......”
“SI GOBLOOOOOOOK!”
“WOY! KEPENCET, BANGSAT!”
“KENAPA GUE MALAH NGELIKE?!”
“GOBLOK, SINGTO! MATI AJA LO!”
“LONCAT AJA GUE DARI JENDELA!”
“GOBLOK! INI 'KAN LANTAI SATUUU!”
“KETAUAN NGESTALK, BEGOOOO!”
Hikmah yang diambil dari kejadian ini, jangan stalk instagram di jam 3 pagi. Sekian, terima kasih.
Semenjak kejadian itu, Singto merasa bahwa ketertarikannya kepada Krist bukan hanya ketertarikan yang sekedar lewat. Singto ingin mengenal Krist lebih dekat lagi. Maka diambil jalan dengan berbohong kepada Krist, membawa nama Tay. Dalam hati, Singto berjanji akan mentraktir si sahabat karibnya itu menu sepuasnya di Warung SS nanti. Anggap saja sebagai ganti rugi karena sudah memakai namanya sembarangan. ㅤ
Hmm, besok pakai baju apa, ya, bagusnya?
ㅤ Keesokan harinya, Ambarukmo Plaza
( 1 6 . 2 3 WIB )
“NGGAK DATENG?!”
Singto tersenyum kikuk sementara tangan kanannya menggaruki tengkuk leher, terlihat kebingungan harus berujar apa. “Hehehe. Katanya si Tay sakit perut. Mencret gara-gara makan preksu deket UNY, gue juga nggak paham. Udah tau ada janji ketemu, malah makan preks—”
“Jangan suruh Tay ngedeketin New. Nggak gue restuin sahabat gue pacaran sama tukang ngebatalin janji seenak udel.” ㅤ
“WOY!” Singto segera menyela, baru sekarang menyadari bahwa kebohongannya bisa saja menimbulkan akibat buruk ke semua pihak. “Yaelah. Baperan amat, lo. Yang dideketin, kan, New. Kenapa lo yang sensi?”
“Udah, ah! Bete gue. Udah susah-susah cari tebengan buat ke sini malah nggak jadi ini janjinya. Ah, beneran— kesel gue sama temen lo itu.”
Singto? Sebisa mungkin ia mencoba menahan senyum gemasnya akan tingkah si lelaki di hadapan. Apakah Krist sadar, ketika sedang merengut karena kesal seperti barusan ia akan mengerucutkan bibir seraya berbicara dengan nada merajuk? Manis. Sangat.
“Ya udah, tenang dulu. Lo udah terlanjur sampe di sini, juga. Duduk dulu, gih. Pesen apaan g