tw // major character death.
ㅡ
Miya Osamu cuma salah satu anak pendiam dari jurusan IPA.
Miya Osamu cuma kembaran versi introvert dari Miya Atsumu, si pangeran sekolah yang katanya most wanted.
Miya Osamu juga hanya punya segelintir kenalan di sekolahnya. Yang benar-benar dekat dengannya tak lain adalah kembarannya sendiri.
Tapi, tak ada yang tau kalau Miya Osamu membutuhkan teman bicara selain Atsumu, Miya Osamu cuma ingin ada orang yang mendengar semua keluh kesahnya mengenai semua hal selain Atsumu.
Miya Osamu hanya ingin mempunyai seorang pendengar.
Dan, saat Osamu mengecek ponselnya, ia melihat jam digitalnya telah berubah dari 11:10 menjadi 11:11.
Tak lama, Miya Osamu langsung memanjatkan doa, “Siapapun yang mendengarku, tolonglah, cuma teman bicara yang kuinginkan.”
Bodoh memang percaya pada hal seperti itu, namun Miya Osamu berdoa sungguh-sungguh.
Entah memang ini hari keberuntungannya apa gimana, saat membuka mata, ia melihat pria bermata sipit dihadapannya memandangnya lekat, lalu menunjuk case ponsel Keroppi miliknya, “Wah, udah segede ini masih ada yang suka Keroppi.”
Entah Tuhan atau siapapun yang mengabulkan doanya, Miya Osamu ingin berterimakasih.
ㅡ
“Samu!”
Osamu menengok, menemukan Suna Rintarou menyerukan namanya dari ujung lorong, Osamu melambai ke arah Suna, dan Suna berlari menuju Osamu.
“Kenapa, Rin?” Osamu mengernyit.
Suna menggaruk belakang kepalanya. Lalu, menunjukkan lembar kertas yang dibawanya ke Osamu. “Beberapa hari, lagi gue bakalan pergi.”
“Mau kemana?”
Suna terkekeh. “Hehe. Kalo itu kepo deh.”
“Trus maksut lo nunjukkin ke gue hal ini?”
“Ck, Samu.” Suna berkacak pinggang, lalu menarik lengan Osamu dan mendekatkan wajahnya ke wajah Osamu, “ayo kita seneng-seneng!'
Suna menarik Osamu pergi, menuju ke bagian samping sekolah. Osamu tiba-tiba membulatkan matanya. “LO MAU NGAJAK GUE BOLOS?”
“Shhht jangan teriak-teriak, nanti ketauan.”
“MAKSUT LO GIㅡ HMPH!”
Suna membekap mulut Osamu, dan mendekatkan bibirnya ke telinga Osamu, “Sodara lo setuju kok, kapan lagi kan Osamu yang taat aturan bolos gini?”
Osamu melotot.
Lalu, Suna menyuruh Osamu memanjat tembok di depannya. Osamu hanya diam dan mengiyakan. Setelah sampai diatas tembok, Osamu mengulurkan tangannya, menyuruh Suna naik dengan bantuan tangannya. Suna naik.
“HEH ITU NGAPAIN DISANA?”
Osamu menelan ludahnya.
“Cepet turun, Samu!” Teriak Suna, lalu Osamu dengan cepat turun diikuti Suna dengan mudah.
“Lari!” Dan Suna menggenggam tangan Osamu, membawanya lari sejauh mungkin dari sekolah.
Setelah dirasa jauh, Osamu melepaskan genggaman tangan Suna, “Maksutnya apa-apaan ini?!?!”
Suna terkekeh-kekeh. “Lo masih loding?”
“Gue lagi enak-enak ngadem lo tiba-tiba bilang mau pergi, dan narik gue seenaknya, dan nyuruh gue bolos, dan lari-lariㅡ”
“Dibilang ini namanya seneng-seneng.”
Osamu memutar bola matanya.
“Ke Meksidi dulu yuk, gue laper.”
“Sekarang jam sebelas!”
“Ya terus?”
“Ketauan kalo bolos dong?”
“Samu, Samu. Ngga masalah kok. Oh ya, btw tas lo sama gue ntar diambilin Atsumu, jadi ngga apa-apa.”
“Bukan itu masalahnya...”
“Heee? Terus?” Suna mendekatkan wajahnya ke depan Osamu, Osamu refleks menjauh, lalu menggelengkan kepala.
“Yaudah ayo Meksidi.”
ㅡ
“Lo beneran makan burger doang?”
Suna melihat Osamu yang mulai membuka plastik burgernya, lalu menggeleng sambil tersenyum, “oh ya gue inget, kan Miya Osamu penyuka burger keju.”
Osamu menunjuk Suna, “pokoknya lo yang bayar.”
“Heeh heeh. Dah gue makan dulu ya.”
Saat Suna sibuk dengan ayamnya, Osamu mengecek ponselnya. Tertera jam 11:11 di layarnya. Osamu tersenyum. Diam-diam ia berdoa, semoga waktu berjalan dengan lambat.
Sesudah itu, dia melihat notifikasi dari Atsumu yang bertuliskan, “Semoga kencannya lancar, gue kembaran yang baik, kan?”
Kencan apaan, sialan.
Osamu melirik Suna, baju sekolah yang keluar-keluaran, mata sipit seperti rubah, dan bibir yang mengunyah ayam seakan belum makan berhari-hari.
Suna, yang menyadari Osamu menatapnya, langsung mengangkat sebelah alisnya. “Kenapa?”
Osamu menggeleng, lalu menumpukkan wajahnya dengan tangan kirinya. “Gak apa-apa.”
Suna mengangkat bahu. Kembali memakan ayamnya.
Osamu harap, semoga ia boleh memanggil hal ini kencan.
ㅡ
“Lo mau ke gamezone?” Suna bertanya pada Osamu.
Osamu menggeleng, lalu mengangguk, lalu menggeleng lagi.
Suna terkekeh, lalu mengacak surai Osamu, “yang bener yang mana?”
“Terserah lo.”
“Cih padahal jauh-jauh ke gane center buat main game, lo malah ngga semangat gini?????”
“Kan lo yang mau kesini?”
“Ngga bisa! Pokoknya gue bakalan ajarin lo main game sampe jadi pro!”
“Kok lo maksa?”
“Heh. Kita kesini buat seneng-seneng, oke. Inget itu.”
“Gue inget kok.”
“TRUS KOK NGGA SEMANGAT?”
“Gue ngga tau cara main game.”
“Makanya sini gue ajarin!” Suna menarik Osamu ke tempat game arcade House of Dead, lalu mengambil pistolnya dan mengarahkannya ke Osamu. “Game ini cuma nembak-nembak. Ngalahin zombie sebanyak mungkin. Mau nyoba?”
Osamu melirik ke arah pistol tersebut, lalu mengangguk dan mengambil pistol di sebelah.
“Mulai ya?”
Dan mereka mulai memainkan game tersebut. Suna dengan cepat menembak zombie, namun saat ia melirik ke Osamu, terlihat Osamu lebih banyak menembak zombie bandingkan Suna.
Saat selesai, Suna menatap Osamu tak percaya. “Lo boong ya pas bilang ngga jago?”
“Emang ngga jago kok.”
“TRUS KOK LO BISA NGALAHIN GUE?”
“Ada triknya?”
“Yaudah ayo main yang lain!”
Suna mengajak Osamu memainkan Dance Dance Revolution. Osamu dan Suna bermain beriringan. Dan Suna terkejut saat ia mendapat hasil D sedangkan Osamu C.
“NGGA ADIL?”
Mereka mencoba banyak game. Air Hockey, Maximum Tune, Street Basketball, dll. Suna cuma memenangkan Street Fighter, sedangkan sisanya, Osamu lebih unggul.
Osamu menghampiri Crane Game saat Suna menangisi kekalahannya. “Main yang ini yuk?”
Suna mengerjab. Tersenyum, lalu mengangguk.
Pertama kali mencoba, Osamu tidak bisa mendapat bonekanya. Osamu mengernyit, dan berkata, “sekali lagi.”
Suna hanya tertawa.
Percobaan kedua, tidak menghasilkan apa-apa. Osamu menggeram, menengok ke Suna, “sekali lagi.”
Percobaan ketiga, keempat, dan kelima. Osamu tetap tidak bisa mengambil boneka Keroppi yang ada di dalamnya.
Suna tertawa keras. “Minggir, sekarang liat cara pro main.”
Suna mengaktifkan game itu, lalu memencet-mencet tombol dan tuas kendalinya, lalu mulai fokus mengambil boneka Keroppi.
Osamu mendecak. “Gue aja ngga bisa, apalagi lo?”
“Oh liat aja.”
Osamu menutup matanya, lalu saat membuka mata, ia terkejut karena Suna berhasil mengambil boneka Keroppi dalam sekali percobaan.
Suna memberi bonekanya ke arah Osamu.
Osamu menatap bonekanya dengan takjub. “Kok lo bisa?”
Suna membuat gaya pistol dengan jari telunjuk dan jempolnya, lalu menaruhnya di bawah dagunya.
Osamu menamparnya dengan boneka Keroppi yang baru didapatnya. Suna meringis, lalu mendelik, “kenapa sih?!”
Osamu tersenyum, “Makasih.”
“Ngga apa-apa. Karena buat lo bahagia itu tugas gue.”
Osamu tertawa.
ㅡ
Hari-hari berikutnya, mereka bolos lagi dan lagi, mengunjungi Meksidi, Game Center, kadang makan es krim setelahnya.
Pokoknya, Osamu menikmati segala hal saat ini.
ㅡ
Suatu hari, Osamu tak mendapati Suna berada di kelasnya selama dua hari.
“Ha? Suna Rintarou?”
Osamu mengangguk.
“Dia ngga masuk, dari kemaren malah.”
“Oh, makasih.”
Kenapa? Kenapa Osamu langsung lesu begini? Bukannya seharusnya dia biasa aja? Suna kan cuma temannya?
Cih. Teman apaan.
Teman apa yang saling manggil nama depan? Teman apa yang ngusap bibirnya waktu ada es krim disana? Teman apa yang tiba-tiba ngilang?
Osamu menghampiri Atsumu di IPS. Atsumu cuma mengerutkan keningnya saat Osamu menceritakan kepadanya perihal Suna yang hilang.
“Dia..... belum pamitan sama lo?”
Osamu terdiam. Dia menatap Atsumu. “Pamitan apa?”
“Loh, kemaren-kemaren dia bilang mau pergi kan? Nah, hari ini dia perginya.”
Osamu membulatkan matanya. Dia baru ingat.
“Dia pergi naik pesawat kan, Samu? Di bandara X kalo ngga salah, jam pemberangkatannya jam 11. Sayangnya, kita masih belaㅡ SAMU LO NGAPAIN?”
Osamu menarik Atsumu, membawanya ke bagian samping sekolah. Seketika Atsumu paham.
“Yaudah ayo kejar dia!”
Mereka berdua bolos.
Diam-diam, Atsumu menikmati saat ini. Ia menikmati saat kembarannya melanggar aturan dengannya, walau kembarannya melakukan ini demi orang yang disukainya, ngga apa-apa.
Setidaknya, Atsumu sangat menyayangi kembarannya.
ㅡ
Saat Osamu dan Atsumu sampai di bandara X, Atsumu langsung berkata bahwa dia akan menunggu di Sbux, dan Osamu mengangguk, langng pergi mencari Suna.
Atsumu tersenyum. Kembarannya ini ngga diduga, ya.
Sembari melangkah ke Sbux, Atsumu melihat seorang yang dikenalinya sedang duduk di salah satu meja Sbux. Sambil tersenyum, Atsumu menghampiri orang itu.
“Apakabar, Shoyou?”
ㅡ
Osamu mengelilingi bandara, bisa dibilang.
Sambil menanyakan ke beberapa orang, Osamu berlarian kesana-kemari, mencari keberadaan Suna.
“Loh, Samu?”
Osamu menengok kebelakang, melihat Suna Rintarou, berdiri dihadapannya sambil memasang wajah terkejut.
“Rintarou!” Teriak Osamu.
Suna mengerjab, lalu dia tersenyum, menghampiri Osamu, dan memeluknya. “Maaf ya.”
“Lo. Nggak. Bakal. Gue. Maafin.”
“Hahaha tau kok. Lo kesini sendiri?”
Osamu menggeleng.
“Sama Tsumu?”
Mengangguk.
Suna terkekeh, mengangkat kepala Osamu menghadapnya, dan menatap lekat-lekat mata Osamu.
“Kayak biasanya, mata lo indah, ya.”
Osamu menggeleng. Dalam hati, ia berkata bahwa mata Suna jauh lebih indah dari dirinya.
“Loh kok engga? Jelek dong HAHAㅡ SAKIT.”
Osamu gantian tertawa. Menertawai Suna yang meringis sehabis kena pukulannya.
“Curang! Lo kesini cuma mau mukul gue, ya?”
“Kenapa lo harus pergi?”
“Hm?” Suna tersenyum. “Lo ngga liat? Gue pindah sekolah.”
“Kenapa harus jauh banget?”
“Hmmm, kenapa ya?”
“Cih.”
“Hahaha enggak,” Suna memegang kedua bahu Osamu, menatap lurus-lurus ke matanya.
“Mau tau aja apa mau tau banget?”
Osamu memukulnya lagi.
“Heh lo tuh barbarisme banget dasar.”
“Lo bakalan balik lagi, kan?”
Suna tersenyum, mendekatkan wajahnya ke wajah Osamu.
Suna mencium Osamu.
Osamu mengerjab, mukanya memerah, dan wajahnya terasa panas.
“Tunggu gue pulang, ya?”
Osamu mengangguk. Lalu, ia mendengar pengumuman bahwa pesawat jam 11 segera lepas landas.
Suna mengacak surai Osamu. “Selamat tinggal!”
Dan pergi, meninggalkan Osamu yang menangis.
Sambil melirik jam di ponselnya, 11:11, Osamu memanjatkan doa. “Tolong biarin Suna kembali.”
ㅡ
Pernah suatu hari saat makan es krim setelah bermain game, Suna berkata, “Lo percaya ngga love at the first sight?”
Osamu menatapnya heran. “Ngga.”
“Hah kenapa?”
“Semuanya butuh proses.”
“Hah?”
“Jalan, lari, bicara, makan, belajar, semuanya butuh proses. Ngga bakalan ada bayi yang pas dilahirin tiba-tiba langsung bisa lari 1 meter kan? Jatuh cinta pun kayak gitu.”
“Hm, gue lupa kalo lo salah satu jenius dari IPA.”
“Ngga ada hubungannya.”
“Eeeeh, iyakah? Trus, gue tanya nih, terlepas dari pernyataan realistis lo, lo percaya ngga sama love at the first sight?”
Osamu diam, menatap es krimnya dengan pandangan kosong.
Dan tidak menjawab.
Sampai kapanpun, Osamu takkan pernah tau jawaban dari pertanyaan Suna.
ㅡ
“Oi, Samu.”
Osamu menengok ke arah Atsumu yang berada di depan kamarnya. Osamu melempar bantal ke arah Atsumu. “Kalo masuk kamar orang ketok dulu.”
Sudah 2 hari semenjak Suna menaiki pesawat.
“Ini urgent!”
“Urgent bukan berarti harus ngabaiin tata krama kan?”
“Lo belum liat berita hari ini?”
“Ngapain? Kayak lo liat berita aja?”
“Gue tanya, pesawatnya Suna itu airlines bukan....”
Osamu melotot, dia langsung pergi meninggalkan Atsumu dan pergi ke ruang keluarga, TV nya menyala, dan menampilkan sebuah berita.
'PESAWAT AIRLINES MENGALAMI KECELAKAAN. TOTAL PENUMPANG YANG SELAMAT: TIDAK ADA.'
Sebentar, apa yang terjadi?
Osamu buru-buru membuka kontaknya dan menelepon nomor Suna. Tidak ada jawaban.
Osamu menatap kosong TV di depannya, Atsumu datang dan memeluk Osamu.
Ini terlalu tiba-tiba.
ㅡ
“Lo pernah mikir ngga kalo kita pisah?”
Suatu hari, saat Osamu mengerjakan soal biologinya, Suna menanyakan hal itu padanya.
“Ngga.”
“Lo seharusnya mikir dong. Kalo gue pergi, nanti yang ngajak lo bergaul siapa?”
“Ngga perlu.”
“Heh lo makhluk sosial! Apa-apaan tuh ngga perlu ngga perlu, lo pikir lo bisa hidup tanpa orang lain?”
“Heeh.”
“Dasar anak IPA kesayangan guru.” Suna menggeleng. “Samu, kalau suatu saat gue ngga ada buat lo, lo harus belajar bersosialisasi, ya?”
ㅡ
Dua bulan semenjak kecelakaan pesawat.
Osamu bukan lagi Osamu yang biasanya. Yang duduk di taman hanya untuk menunggu Suna sambil membaca buku.
Bukan lagi ia yang suka bolos saat jam istirahat pertama sampai pulang, makan siang di Meksidi, lanjut ke Game Center sampai sore, makan es krim di kedai, lalu pulang sambil membicarakan banyak hal dengan Suna.
Bukan lagi Osamu yang tersenyum saat mendengar Suna bercerita tentang guru menyebalkan.
Seakan-akan, Miya Osamu telah kehilangan sinar yang selama ini menyinarinya.
ㅡ
“Mau sampai kapan lo gini terus?”
Atsumu berkata suatu malam.
Osamu hanya mengernyit. “Emang gue gimana?”
“Lo kayak ngga ada harapan hidup.”
“Hah?”
“Samu, maafin gue.”
“Loh?”
“Bahkan, waktu dia sampein perpisahan ke gue, dia cuma bilang kalo gue harus jagain lo.” Atsumu tersenyum.
“Ngga usah gitu. Makasih banyak udah jadi kembaran gue, Tsumu.”
“Lo masih punya gue, Samu. Lo tau kan?”
Osamu tau.
ㅡ
“Lo percaya sana 11:11?” Suna pernah menanyakan hal ini ke Osamu suatu hari.
Osamu mengangguk. Suna tertawa. “Gue ngga percaya kalo lo percaya sama hal-hal beginian. Keroppi, 11:11, lo unik, ya.”
Osamu menampol Suna dengan bukunya. “Ada alesannya.”
“Hm? Kenapa?” Suna menaruh kepalanya di kedua tangannya, lalu menatap Osamu ingin tau.
“Gue awalnya ngga percaya hal ginian.”
“Eeeeh, kok bisa sekarang malah bucin banget sama 11:11?”
“Karena saat itu, satu permintaan gue terkabul.”
“Wih, apatuh?”
Osamu memilih diam.
Dan Suna tidak pernah tau jawaban dari pertanyaannya sampai akhir hidupnya, bahwa Suna adalah permintaan Osamu yang terkabul.
ㅡ
Pertama kalinya, setelah satu tahun, Osamu mengunjungi pemakaman Suna Rintarou.
Setelah ia berdebat dengan batinnya sendiri, ia menghadiri pemakaman untuk orang-orang yang tak selamat dari kecelakaan tersebut, dan berhenti di depan nisan Suna Rintarou.
“Halo, Rin.”
“Rasanya kayak mimpi aja, ngga ada lo dalam setahun ini bener-bener bikin sepi juga, ya.”
“Rasanya gue pengen bangun dari mimpi ini. Dan bangun di keesokan hari, gue nemuin lo lari-lari di lorong buat nemuin gue.”
“Dasar Rintarou. Bahkan gue belum bilang kalo gue sayang sama lo dalam artian khusus. Gue bahkan ngerasa kalo hari-hari yang gue jalanin tanpa lo rasanya sesepi ini. Kayak ngga ada yang tiba-tiba ngerangkul gue pas lagi baca buku di taman.”
“Rintarou, lo pernah tanya, apakah gue percaya dengan love at the first time, terlepas dari pernyataan realistis gue? Jawabannya iya. Bahkan pas gue liat lo nunjuk case Keroppi gue, gue yakin gue debaran gue itu ngga biasa.”
“Lo pernah nanya juga, kan, apa permohonan gue yang terkabul dari 11:11? Itu lo, Rin.”
“Jadi, Rintarou. Makasih banyak pernah hadir di hidup gue dan jadi satu-satunya dari sekian makhluk sekolah yang negur gue. Makasih udah ngajak gue bersosialisasi. Makasih udah ngajakin gue ngerasain gimana bolos, walau gue kapok. Dan makasih, karena udah jadi manusia yang gue sayangi.”
“Andai gue bisa bales ciuman lo waktu itu... andai gue bilang kalau gue cinta lo... apa lo ngga bakalan pergi?”
“Hahaha gue kedengeran bodoh ya? Yaudah, gue pergi dulu, ya, Rin. Kelulusan udah di depan mata. Dan gue bakalan ngelanjutin hidup dan bersosialisasi.”
“Rintarou, gue sayang lo.”
ㅡ
“Gimana kalo gue bilang gue suka sama lo, Samu?”
“Dih, ngadi-ngadi ya lu.”
“Lo galak banget, pantes gue suka.”
“Jauh-jauh satu meter dari gue.”
“Hehehehe Samuuuuu.”
“DIBILANG JAUH JAUH SATU METER DARI GUE.”
“SAMU GALAK BANGET BUSET.”
“BODO AMAT.”
“OSAMU, GUE SUKA LOOOO.”
“AMIT-AMIT, JAUH-JAUH RINTAROU.”
“HAHAHAHA.”
ㅡ
Suna Rintarou, walau dia ngga disini, tapi dia akan selalu hidup di hati Miya Osamu.
END.