edelwish

“Kak Akaashi.”

Akaashi, yang memainkan rambut Hinata, menaikkan sebelah alisnya. “Ya?”

Hinata mendongak ke atas. Posisi Akaashi sedang duduk di sofa sedangkan Hinata duduk di lantainya, sehingga Hinata bersender pada Akaashi dan Akaashi sendiri memainkan rambut oranye Hinata.

“Kak, pilih aku atau kak Bokuto?”

Akaashi mengerjab. Ia memperhatikan wajah Hinata yang menatapnya sungguh-sungguh. Senyum Akaashi tertarik, dalam hitungan detik, Akaashi sudah tertawa terbahak-bahak.

“Kak kok ketawa!!” Hinata melengkungkan bibirnya ke bawah.

“Yaaa kamu lah, kan kak Bokuto cuma klien aku.”

“Tapi kakak dari kemaren tuh gini terus, 'bentar ya Hinata mau ketemu kak Bokuto', 'Hinata ntar aja ya kakak mau ketemu kak Bokuto', huft jadi pacar kakak itu aku atau kak Bokuto?”

“Loh, kata kamu kemaren pacar kakak itu kamus?”

“Grrrr tau ah sebel banget sama kak Akaashi hufftt.”

Akaashi terkekeh. Ia mengusap kepala Hinata lembut, lalu berbisik, “Kamu, kan. Nomor satunya kakak.”

Muka Hinata memerah.

“Hmmm tuhkan salting hehehe.”

“Siapa yang salting!!”

“Itu mukamu merah.”

“Nggak.”

“Iya.”

“Nggak.”

“Iya.”

“Ngㅡ HMMMPH?????”

Tsukishima melirik ponselnya tiap 2 menit sekali. Matanya menelusuri tiap notif bar yang terpampang, mencari tahu apakah Yachi Hitoka sudah menghubunginya apa belum.

Sudah sekitar 2 jam lalu kekasihnya itu memberitahunya bahwa ia akan minum-minum dalam rangka merayakan suatu hal dengan teman satu kantornya. Entahlah, Tsukishima tidak ingat, yang ia ingat hanyalah saat itu Yachi memohon padanya agar mengizinkannya.

Tsukishima menghela napas. Ia cuma khawatir, karena kadar toleransi alkohol kekasihnya itu termasuk rendah, dan kekasihnya orang yang ceroboh. Sangat ceroboh.

Tapi, seceroboh apapun Yachi Hitoka, Tsukishima Kei akan tetap mencintainya.

Walau sampai sekarang dia heran, apa yang dilakukan dirinya di depan apartemen Yachi Hitoka, bersandar di dinding, sambil memeriksa ponselnya tiap 2 menit sekali? Padahal seingatnya, ia baru saja selesai berlatih dengan teman-teman setimnya.

Tsukishima akhirnya menaruh ponselnya di saku jaketnya. Ia menatap langit, menutup kelopak matanya, dan menenangkan pikirannya.

5 menit. Tsukishima dibuat kaget oleh getaran di sakunya. Tangannya dengan cepat meraih ponselnya dalam hitungan detik. Panggilan dari Yachi. Dengan terburu-buru, ia segera menggeser tombol hijau tersebut.

“Halo??? Kamu dimana???”

“Hwey, hehehe, kwamu siapa nelpon nelpon hah? Jangan telpon aku hik, aku punya pacar nwamanya Tsukishima Kei. Kamu pasti tau dia, dia galak!! Jangan macem macem sama dia!”

Tsukishima mengernyit. Ia menarik ujung bibirnya. “Kamu dimana?”

“Uh? Jangan tanya tanya dwasar kepo!!!!! Kamu tau ngga sih pwacarku galak?”

Tsukishima terkekeh. “Hitoka, ini Kei. Hitoka dimana?”

Terdengar cegukan dari seberang sana. “Keiiiiiiiii, heyyy, hik, i'm druuuunkkk, i need you now hik.”

Menutup mata pelan, Tsukishima bertanya lagi, “Kamu dimana?”

“Uh? Tadi aku minum-minum di tempat biasa hik, Keiiiiiiii.”

Tsukishima langsung bergegas pergi, ke tempat dimana Yachi biasanya minum dengan teman sekantornya. Ia mempercepat lariannya, walau ponsel masih setia di telinga kirinya.

Sampai disana, dia melihat Yachi yang berdiri di depan tempat minum. Tsukishima menghampiri, dan melihat Yachi sedang berdiri sambil mengutak-atik ponselnya dalam keadaan setengah sadar.

Tsukishima menghela napas. Lalu, dia mengusap pucuk kepala Yachi. “Hei, aku disini.”

Yachi mengadah. Lucu ketika mengingat seberapa perbedaan tinggi mereka. Tiba-tiba Yachi menyunggingkan senyum. Matanya menyipit, dan ia langsung memeluk Tsukishima.

“Keeiiiiii, hik, tau ngga sih aku sayaaaaang banget sama kamuu hik.”

Tsukishima melepas pelukan Yachi, dan berbalik, lalu menggendong Yachi di punggungnya.

Mereka meninggalkan tempat minum itu. Tsukishima, yang menggendong Yachi, tak henti-hentinya mendengar ocehan gadisnya.

“Keeeiiii, kwamu tau nggak hehehe hik, aku sayang kamuuuuuu bwanget. Sejak SMA, pokoknya aku sayang kamuuuuu banget hik. Kamu jelek.”

Tsukishima meringis. “Kamu lebih jelek.”

“Hehehehe tapi aku sayang Kei walau kamu jelek hik.”

“Iya aku juga sayang kamu.”

Yachi terkikik-kikik, Tsukishima takut seandainya ia membawa hantu di belakangnya, bukan Yachi.

“Keeeiiiiiiiiii.”

“Ya?”

“Rambut kwamu wangi heheheh.”

Tsukishima menggeram. 'Jangan gitu dong, aku ngga mau nyium kamu pas kamu mabuk gini.'

“Keeeeeeiiiiiiii.”

“Apalagi?”

“Aku sayangㅡ engga hik, aku cinta kamu!”

Tsukishima tersenyum, pipinya memerah.

“Kamu kok ngga jawab! Kamu nggak sayang aku?”

Gelengan. “Aku juga sayang kamuㅡ enggak, cinta kamu.”

Lalu, Yachi makin mengeratkan pelukannya ke Tsukishima, dan memendam wajahnya di punggung Tsukishima.

Beberaa menit kemudian, Tsukishima merasakan kalau Yachi sudah tertidur di belakangnya.

Hah. Dasar ceroboh.

Tapi walau ceroboh, Tsukishima tetap sayang.

Hinata mengerjabkan matanya saat melihat notifikasi telepon dari Atsumu. Ia lalu memencet tombol hijau dan menempelkan ponselnya ke telinganya.

“Halo.....?”

“Halo, dengan dek Hinata disini?”

Hinata terkekeh. “Iyap! Apa dengan oknum Miya Atsumu disini?”

Terdengar kekehan dari sebrang sana. “HAHAHA, suara kamu lucu juga, ya dek.”

“Masa sih?” Muka Hinata memerah.

Tanpa sadar, mereka sudah menghabiskan setengah jam untuk berbasa-basi. Atsumu banyak melempar candaan, Hinata banyak tertawa.

“Dulu waktu SMP, aku hampir ngga punya temen,” Hinata memulai. “Sampe aku ketemu orang yang nyambung sama aku,”

“Tapi walau pun kita ngomongnya nyambung, dia bisa dibilang tukang bully di sekolah. Aku ngga punya temen selain dia. Dia nyuruh aku gabung geng anak nakal kalo masih mau temenan sama dia. Aku ngga mau kehilangan temen makanya aku gabung....”

“Dan yaaa, aku terpengaruh. Aku mulai ikut-ikutan ngebully anak lain, aku bolos, astaga hahahaha dulu aku nakal juga, ya, kak Atsumu pasti jijik sama aku.”

Atsumu, “Dek, itu bukan salah lo, oke?”

“Di kelas sembilan, aku mulai sadar kalo aku udah berubah bukan diri aku yang sebenernya. Aku bilang ke temenku itu, dan dia malah mukul aku, bilang kalo udah sejauh ini kenapa berhenti. Aku marah, aku tanya, apa aku dari awal dianggep temen sama dia? Dia jawab kalo dari awal dia cuma mau nyari orang orang biar geng dia banyak anggotanya. Aku mukul dia abis itu,” sambil menatap langit-langit, Hinata menahan air matanya agar tidak jatuh. “Abis itu aku diskors deh sampe beberapa minggu hehehe.”

“Dek, kalo gue disitu, gue pengen meluk lo.”

Hinata mengangkat alisnya. “Hm?”

“Lo kuat banget. Masih bisa secerah ini ngadepin hal itu. Dek, lo berharga, gue harap lo inget itu sampai kapanpun, ya?”

“Kak...”

“Kalo ngga ada yang nerima masa lalu lo itu, gue bakal nerimanya.”

Dan dua jam berikutnya dihabiskan dengan Hinata yang menangis dan Atsumu yang disana, setia mendengarkan Hinata, walau hanya dengan telepon.

“Woi, mereka udah jadian tuh. Sekarang lo gimana lagi?”

“Hmmmm maksudnya gimana lagi gimana?”

“Ck. Lo jangan terlalu mikirin perasaan Yachi mulu. Pikirin juga perasaan lo.”

“Hehe gimana yaaa. Gue ngga pernah nuntut apa-apa dari dia. Gue cuma pengen dia seneng. Kalau sama Yamaguchi udah buat dia bahagia, gue rela.”

“Seharusnya lo pikirin juga kebahagiaan lo, bodoh.”

“Apaan sih, Kageyama, hah? Yang penting dia bahagia dulu, gue mah tahun monyet juga bisa.”

“Kalo gitu lo bahagia sama gue aja gimana?”

”..... maafin gue, Kageyama. Iya gue bakalan bahagia tolong janganㅡ”

“MAKSUD LO APAAN.”

“Gue pengen fokus voli aja.”

“Nah itu baru Hinata yang gue kenal.”

“Hehe. Kageyama, toss buat gue aja cepet. Gue pengen mukul sebanyak mungkin.”

“Iya iya, Hinata bodoh. Gue bakalan toss sebanyak apapun buat lo.”

“Hehe makasih, Kageyama!”

END.

Yachi selalu gugup kalau ngehadepin sesuatu.

Awal jadi manajer aja, dia gugupnya sampe tangannya berkeringat. Tapi disana ada kak Kiyoko, jadi dia bisa.

Tapi... kali ini ngga ada siapa-siapa. Dia harus berjuang sendiri. Dia ngga boleh ngerepotin Hinata lagi.

Jadi, pas istirahat, Yachi ngehampirin Yamaguchi yang lagi minum. “Yamaguchi, abis ini bisa ngomong sebentar.”

Yamaguchi mengangguk. “Aku juga mau bilang gitu tadi. Abis latihan?”

“Abis latihan.”

Yachi langsung berlari menjauh, mengambil minuman untuk yang lainnya.

Detak jantungnya berdenyut kencang.

“Jadi...”

Mereka berdua didepan pintu gym. Yachi menatap kakinya, tidak berani menatap mata Yamaguchi langsung.

Tangannya berkeringat, gugup. Jantungnya berkeringat dengan kencang.

Yachi membuka mulutnya, bersamaan dengan Yamaguchi, lalu mereka berbicara secara bersamaan.

“Yachi aku suka kamu.” “Yamaguchi suka aku ya?”

Yachi mendongak. Terkejut.

Dia menatap Yamaguchi, pipi mereka berdua memerah secara bersamaan. Lalu, mereka tertawa.

“Kamu beneran suka sama aku?”

“Um, emang ada yang bilang aku suka sama kamu sebelum sekarang?”

“Kata Tsukki sih...”

”...... astaga.”

“Yamaguchi, aku juga suka kamu...”

Wajahnya Yamaguchi memerah. “Iya?”

“Iya!”

“Astaga kenapa aku ngga bilang dari dulu coba biar ngga ribet gini...”

“Haha jadi, gimana?”

Yamaguchi tersenyum, mengusap kepala Yachi, lalu menatapnya. “Trus kamu sama Hinata gimana?”

Yachi mengerjab. Wajahnya memerah, lalu dia menceritakan semuanya pada Yamaguchi.

Yamaguchi mengangguk-angguk.

Yachi tersenyum malu. “Maaf ya...”

“Kamu ngga salah. Aku aja yang cupu.”

“Jadi... gimana?”

“Mau gimana?”

“Eng.... maksudnya...”

Yamaguchi tiba-tiba memeluk Yachi dengan erat. Membuat Yachi terkejut, wajahnya tambah memerah, dan jantungnya berdetak dengan kencang seakan bisa keluar dari tubuhnya sendiri.

Yamaguchi berbisik di telinganya. “Kamu mau jadi pacar aku?”

Yachi mengangguk. Lalu, membalas pelukan Yamaguchi sama eratnya dengan senyuman. “Iya!”

“Oi bodoh, mau sampe kapan lo ngintip?”

“Ssssht berisik Kageyama! Gue cuma mastiin mereka ngga ngapa-ngapain malem malem.”

“Lo kata Yamaguchi orang jahat. Udah deh ayo pulang aja.”

“Sebentar.”

“Apalagi?”

“Pinjemin pundak lo, gue mau galau semaleman.”

“Yaudah sini. Cepet. Jangan nyusahin tapi lo.”

“Iya.”

Yachi merasa akhir-akhir ini Yamaguchi tengah menghindarinya.

Mereka masih bertemu di gym atau berpapasan di lorong sekolah. Tapi Yamaguchi biasanya menyapa Yachi ketika dia ada disekitarnya. Tapi akhir akhir ini tidak.

Bahkan saat latihan pun, Yamaguchi sama sekali tidak menoleh ke arahnya. Sedikit pun tidak.

Saat mereka tidak sengaja mengambil bola yang sama, Yamaguchi bahkan menarik tangannya cepat-cepat dan membalikkan badan.

Selesai latihan, Yachi menghampiri Yamaguchi yang tengah minum, lalu Yachi memberinya handuk.

“Kamu ngehindarin aku ya?”

Yamaguchi terperangah. Dia terdiam. Membuat Yachi menundukkan kepalanya.

Yamaguchi menggeleng. “Udah mau pulang kan? Kalau bantuin Kageyama sama Hinata jangan pulang kemaleman ya.”

Dan pergi meninggalkan Yachi, yang menatap punggungnya dengan tatapan kosong.

Yachi merasakan matanya berair. Hinata, yang melihat kejadian itu langsung mendekat ke arah Yachi dan memeluknya erat.

Kageyama dan Hinata hanya berlatih sebentar. Sisanya, dihabiskan dengan Yachi yang menangis di bahu Hinata.

tw // major character death.

Miya Osamu cuma salah satu anak pendiam dari jurusan IPA.

Miya Osamu cuma kembaran versi introvert dari Miya Atsumu, si pangeran sekolah yang katanya most wanted.

Miya Osamu juga hanya punya segelintir kenalan di sekolahnya. Yang benar-benar dekat dengannya tak lain adalah kembarannya sendiri.

Tapi, tak ada yang tau kalau Miya Osamu membutuhkan teman bicara selain Atsumu, Miya Osamu cuma ingin ada orang yang mendengar semua keluh kesahnya mengenai semua hal selain Atsumu.

Miya Osamu hanya ingin mempunyai seorang pendengar.

Dan, saat Osamu mengecek ponselnya, ia melihat jam digitalnya telah berubah dari 11:10 menjadi 11:11.

Tak lama, Miya Osamu langsung memanjatkan doa, “Siapapun yang mendengarku, tolonglah, cuma teman bicara yang kuinginkan.”

Bodoh memang percaya pada hal seperti itu, namun Miya Osamu berdoa sungguh-sungguh.

Entah memang ini hari keberuntungannya apa gimana, saat membuka mata, ia melihat pria bermata sipit dihadapannya memandangnya lekat, lalu menunjuk case ponsel Keroppi miliknya, “Wah, udah segede ini masih ada yang suka Keroppi.”

Entah Tuhan atau siapapun yang mengabulkan doanya, Miya Osamu ingin berterimakasih.

“Samu!”

Osamu menengok, menemukan Suna Rintarou menyerukan namanya dari ujung lorong, Osamu melambai ke arah Suna, dan Suna berlari menuju Osamu.

“Kenapa, Rin?” Osamu mengernyit.

Suna menggaruk belakang kepalanya. Lalu, menunjukkan lembar kertas yang dibawanya ke Osamu. “Beberapa hari, lagi gue bakalan pergi.”

“Mau kemana?”

Suna terkekeh. “Hehe. Kalo itu kepo deh.”

“Trus maksut lo nunjukkin ke gue hal ini?”

“Ck, Samu.” Suna berkacak pinggang, lalu menarik lengan Osamu dan mendekatkan wajahnya ke wajah Osamu, “ayo kita seneng-seneng!'

Suna menarik Osamu pergi, menuju ke bagian samping sekolah. Osamu tiba-tiba membulatkan matanya. “LO MAU NGAJAK GUE BOLOS?”

“Shhht jangan teriak-teriak, nanti ketauan.”

“MAKSUT LO GIㅡ HMPH!”

Suna membekap mulut Osamu, dan mendekatkan bibirnya ke telinga Osamu, “Sodara lo setuju kok, kapan lagi kan Osamu yang taat aturan bolos gini?”

Osamu melotot.

Lalu, Suna menyuruh Osamu memanjat tembok di depannya. Osamu hanya diam dan mengiyakan. Setelah sampai diatas tembok, Osamu mengulurkan tangannya, menyuruh Suna naik dengan bantuan tangannya. Suna naik.

“HEH ITU NGAPAIN DISANA?”

Osamu menelan ludahnya.

“Cepet turun, Samu!” Teriak Suna, lalu Osamu dengan cepat turun diikuti Suna dengan mudah.

“Lari!” Dan Suna menggenggam tangan Osamu, membawanya lari sejauh mungkin dari sekolah.

Setelah dirasa jauh, Osamu melepaskan genggaman tangan Suna, “Maksutnya apa-apaan ini?!?!”

Suna terkekeh-kekeh. “Lo masih loding?”

“Gue lagi enak-enak ngadem lo tiba-tiba bilang mau pergi, dan narik gue seenaknya, dan nyuruh gue bolos, dan lari-lariㅡ”

“Dibilang ini namanya seneng-seneng.”

Osamu memutar bola matanya.

“Ke Meksidi dulu yuk, gue laper.”

“Sekarang jam sebelas!”

“Ya terus?”

“Ketauan kalo bolos dong?”

“Samu, Samu. Ngga masalah kok. Oh ya, btw tas lo sama gue ntar diambilin Atsumu, jadi ngga apa-apa.”

“Bukan itu masalahnya...”

“Heee? Terus?” Suna mendekatkan wajahnya ke depan Osamu, Osamu refleks menjauh, lalu menggelengkan kepala.

“Yaudah ayo Meksidi.”

“Lo beneran makan burger doang?”

Suna melihat Osamu yang mulai membuka plastik burgernya, lalu menggeleng sambil tersenyum, “oh ya gue inget, kan Miya Osamu penyuka burger keju.”

Osamu menunjuk Suna, “pokoknya lo yang bayar.”

“Heeh heeh. Dah gue makan dulu ya.”

Saat Suna sibuk dengan ayamnya, Osamu mengecek ponselnya. Tertera jam 11:11 di layarnya. Osamu tersenyum. Diam-diam ia berdoa, semoga waktu berjalan dengan lambat.

Sesudah itu, dia melihat notifikasi dari Atsumu yang bertuliskan, “Semoga kencannya lancar, gue kembaran yang baik, kan?”

Kencan apaan, sialan.

Osamu melirik Suna, baju sekolah yang keluar-keluaran, mata sipit seperti rubah, dan bibir yang mengunyah ayam seakan belum makan berhari-hari.

Suna, yang menyadari Osamu menatapnya, langsung mengangkat sebelah alisnya. “Kenapa?”

Osamu menggeleng, lalu menumpukkan wajahnya dengan tangan kirinya. “Gak apa-apa.”

Suna mengangkat bahu. Kembali memakan ayamnya.

Osamu harap, semoga ia boleh memanggil hal ini kencan.

“Lo mau ke gamezone?” Suna bertanya pada Osamu.

Osamu menggeleng, lalu mengangguk, lalu menggeleng lagi.

Suna terkekeh, lalu mengacak surai Osamu, “yang bener yang mana?”

“Terserah lo.”

“Cih padahal jauh-jauh ke gane center buat main game, lo malah ngga semangat gini?????”

“Kan lo yang mau kesini?”

“Ngga bisa! Pokoknya gue bakalan ajarin lo main game sampe jadi pro!”

“Kok lo maksa?”

“Heh. Kita kesini buat seneng-seneng, oke. Inget itu.”

“Gue inget kok.”

“TRUS KOK NGGA SEMANGAT?”

“Gue ngga tau cara main game.”

“Makanya sini gue ajarin!” Suna menarik Osamu ke tempat game arcade House of Dead, lalu mengambil pistolnya dan mengarahkannya ke Osamu. “Game ini cuma nembak-nembak. Ngalahin zombie sebanyak mungkin. Mau nyoba?”

Osamu melirik ke arah pistol tersebut, lalu mengangguk dan mengambil pistol di sebelah.

“Mulai ya?”

Dan mereka mulai memainkan game tersebut. Suna dengan cepat menembak zombie, namun saat ia melirik ke Osamu, terlihat Osamu lebih banyak menembak zombie bandingkan Suna.

Saat selesai, Suna menatap Osamu tak percaya. “Lo boong ya pas bilang ngga jago?”

“Emang ngga jago kok.”

“TRUS KOK LO BISA NGALAHIN GUE?”

“Ada triknya?”

“Yaudah ayo main yang lain!”

Suna mengajak Osamu memainkan Dance Dance Revolution. Osamu dan Suna bermain beriringan. Dan Suna terkejut saat ia mendapat hasil D sedangkan Osamu C.

“NGGA ADIL?”

Mereka mencoba banyak game. Air Hockey, Maximum Tune, Street Basketball, dll. Suna cuma memenangkan Street Fighter, sedangkan sisanya, Osamu lebih unggul.

Osamu menghampiri Crane Game saat Suna menangisi kekalahannya. “Main yang ini yuk?”

Suna mengerjab. Tersenyum, lalu mengangguk.

Pertama kali mencoba, Osamu tidak bisa mendapat bonekanya. Osamu mengernyit, dan berkata, “sekali lagi.”

Suna hanya tertawa.

Percobaan kedua, tidak menghasilkan apa-apa. Osamu menggeram, menengok ke Suna, “sekali lagi.”

Percobaan ketiga, keempat, dan kelima. Osamu tetap tidak bisa mengambil boneka Keroppi yang ada di dalamnya.

Suna tertawa keras. “Minggir, sekarang liat cara pro main.”

Suna mengaktifkan game itu, lalu memencet-mencet tombol dan tuas kendalinya, lalu mulai fokus mengambil boneka Keroppi.

Osamu mendecak. “Gue aja ngga bisa, apalagi lo?”

“Oh liat aja.”

Osamu menutup matanya, lalu saat membuka mata, ia terkejut karena Suna berhasil mengambil boneka Keroppi dalam sekali percobaan.

Suna memberi bonekanya ke arah Osamu.

Osamu menatap bonekanya dengan takjub. “Kok lo bisa?”

Suna membuat gaya pistol dengan jari telunjuk dan jempolnya, lalu menaruhnya di bawah dagunya.

Osamu menamparnya dengan boneka Keroppi yang baru didapatnya. Suna meringis, lalu mendelik, “kenapa sih?!”

Osamu tersenyum, “Makasih.”

“Ngga apa-apa. Karena buat lo bahagia itu tugas gue.”

Osamu tertawa.

Hari-hari berikutnya, mereka bolos lagi dan lagi, mengunjungi Meksidi, Game Center, kadang makan es krim setelahnya.

Pokoknya, Osamu menikmati segala hal saat ini.

Suatu hari, Osamu tak mendapati Suna berada di kelasnya selama dua hari.

“Ha? Suna Rintarou?”

Osamu mengangguk.

“Dia ngga masuk, dari kemaren malah.”

“Oh, makasih.”

Kenapa? Kenapa Osamu langsung lesu begini? Bukannya seharusnya dia biasa aja? Suna kan cuma temannya?

Cih. Teman apaan.

Teman apa yang saling manggil nama depan? Teman apa yang ngusap bibirnya waktu ada es krim disana? Teman apa yang tiba-tiba ngilang?

Osamu menghampiri Atsumu di IPS. Atsumu cuma mengerutkan keningnya saat Osamu menceritakan kepadanya perihal Suna yang hilang.

“Dia..... belum pamitan sama lo?”

Osamu terdiam. Dia menatap Atsumu. “Pamitan apa?”

“Loh, kemaren-kemaren dia bilang mau pergi kan? Nah, hari ini dia perginya.”

Osamu membulatkan matanya. Dia baru ingat.

“Dia pergi naik pesawat kan, Samu? Di bandara X kalo ngga salah, jam pemberangkatannya jam 11. Sayangnya, kita masih belaㅡ SAMU LO NGAPAIN?”

Osamu menarik Atsumu, membawanya ke bagian samping sekolah. Seketika Atsumu paham.

“Yaudah ayo kejar dia!”

Mereka berdua bolos.

Diam-diam, Atsumu menikmati saat ini. Ia menikmati saat kembarannya melanggar aturan dengannya, walau kembarannya melakukan ini demi orang yang disukainya, ngga apa-apa.

Setidaknya, Atsumu sangat menyayangi kembarannya.

Saat Osamu dan Atsumu sampai di bandara X, Atsumu langsung berkata bahwa dia akan menunggu di Sbux, dan Osamu mengangguk, langng pergi mencari Suna.

Atsumu tersenyum. Kembarannya ini ngga diduga, ya.

Sembari melangkah ke Sbux, Atsumu melihat seorang yang dikenalinya sedang duduk di salah satu meja Sbux. Sambil tersenyum, Atsumu menghampiri orang itu.

“Apakabar, Shoyou?”

Osamu mengelilingi bandara, bisa dibilang.

Sambil menanyakan ke beberapa orang, Osamu berlarian kesana-kemari, mencari keberadaan Suna.

“Loh, Samu?”

Osamu menengok kebelakang, melihat Suna Rintarou, berdiri dihadapannya sambil memasang wajah terkejut.

“Rintarou!” Teriak Osamu.

Suna mengerjab, lalu dia tersenyum, menghampiri Osamu, dan memeluknya. “Maaf ya.”

“Lo. Nggak. Bakal. Gue. Maafin.”

“Hahaha tau kok. Lo kesini sendiri?”

Osamu menggeleng.

“Sama Tsumu?”

Mengangguk.

Suna terkekeh, mengangkat kepala Osamu menghadapnya, dan menatap lekat-lekat mata Osamu.

“Kayak biasanya, mata lo indah, ya.”

Osamu menggeleng. Dalam hati, ia berkata bahwa mata Suna jauh lebih indah dari dirinya.

“Loh kok engga? Jelek dong HAHAㅡ SAKIT.”

Osamu gantian tertawa. Menertawai Suna yang meringis sehabis kena pukulannya.

“Curang! Lo kesini cuma mau mukul gue, ya?”

“Kenapa lo harus pergi?”

“Hm?” Suna tersenyum. “Lo ngga liat? Gue pindah sekolah.”

“Kenapa harus jauh banget?”

“Hmmm, kenapa ya?”

“Cih.”

“Hahaha enggak,” Suna memegang kedua bahu Osamu, menatap lurus-lurus ke matanya.

“Mau tau aja apa mau tau banget?”

Osamu memukulnya lagi.

“Heh lo tuh barbarisme banget dasar.”

“Lo bakalan balik lagi, kan?”

Suna tersenyum, mendekatkan wajahnya ke wajah Osamu.

Suna mencium Osamu.

Osamu mengerjab, mukanya memerah, dan wajahnya terasa panas.

“Tunggu gue pulang, ya?”

Osamu mengangguk. Lalu, ia mendengar pengumuman bahwa pesawat jam 11 segera lepas landas.

Suna mengacak surai Osamu. “Selamat tinggal!”

Dan pergi, meninggalkan Osamu yang menangis.

Sambil melirik jam di ponselnya, 11:11, Osamu memanjatkan doa. “Tolong biarin Suna kembali.”

Pernah suatu hari saat makan es krim setelah bermain game, Suna berkata, “Lo percaya ngga love at the first sight?”

Osamu menatapnya heran. “Ngga.”

“Hah kenapa?”

“Semuanya butuh proses.”

“Hah?”

“Jalan, lari, bicara, makan, belajar, semuanya butuh proses. Ngga bakalan ada bayi yang pas dilahirin tiba-tiba langsung bisa lari 1 meter kan? Jatuh cinta pun kayak gitu.”

“Hm, gue lupa kalo lo salah satu jenius dari IPA.”

“Ngga ada hubungannya.”

“Eeeeh, iyakah? Trus, gue tanya nih, terlepas dari pernyataan realistis lo, lo percaya ngga sama love at the first sight?”

Osamu diam, menatap es krimnya dengan pandangan kosong.

Dan tidak menjawab.

Sampai kapanpun, Osamu takkan pernah tau jawaban dari pertanyaan Suna.

“Oi, Samu.”

Osamu menengok ke arah Atsumu yang berada di depan kamarnya. Osamu melempar bantal ke arah Atsumu. “Kalo masuk kamar orang ketok dulu.”

Sudah 2 hari semenjak Suna menaiki pesawat.

“Ini urgent!”

“Urgent bukan berarti harus ngabaiin tata krama kan?”

“Lo belum liat berita hari ini?”

“Ngapain? Kayak lo liat berita aja?”

“Gue tanya, pesawatnya Suna itu airlines bukan....”

Osamu melotot, dia langsung pergi meninggalkan Atsumu dan pergi ke ruang keluarga, TV nya menyala, dan menampilkan sebuah berita.

'PESAWAT AIRLINES MENGALAMI KECELAKAAN. TOTAL PENUMPANG YANG SELAMAT: TIDAK ADA.'

Sebentar, apa yang terjadi?

Osamu buru-buru membuka kontaknya dan menelepon nomor Suna. Tidak ada jawaban.

Osamu menatap kosong TV di depannya, Atsumu datang dan memeluk Osamu.

Ini terlalu tiba-tiba.

“Lo pernah mikir ngga kalo kita pisah?”

Suatu hari, saat Osamu mengerjakan soal biologinya, Suna menanyakan hal itu padanya.

“Ngga.”

“Lo seharusnya mikir dong. Kalo gue pergi, nanti yang ngajak lo bergaul siapa?”

“Ngga perlu.”

“Heh lo makhluk sosial! Apa-apaan tuh ngga perlu ngga perlu, lo pikir lo bisa hidup tanpa orang lain?”

“Heeh.”

“Dasar anak IPA kesayangan guru.” Suna menggeleng. “Samu, kalau suatu saat gue ngga ada buat lo, lo harus belajar bersosialisasi, ya?”

Dua bulan semenjak kecelakaan pesawat.

Osamu bukan lagi Osamu yang biasanya. Yang duduk di taman hanya untuk menunggu Suna sambil membaca buku.

Bukan lagi ia yang suka bolos saat jam istirahat pertama sampai pulang, makan siang di Meksidi, lanjut ke Game Center sampai sore, makan es krim di kedai, lalu pulang sambil membicarakan banyak hal dengan Suna.

Bukan lagi Osamu yang tersenyum saat mendengar Suna bercerita tentang guru menyebalkan.

Seakan-akan, Miya Osamu telah kehilangan sinar yang selama ini menyinarinya.

“Mau sampai kapan lo gini terus?”

Atsumu berkata suatu malam.

Osamu hanya mengernyit. “Emang gue gimana?”

“Lo kayak ngga ada harapan hidup.”

“Hah?”

“Samu, maafin gue.”

“Loh?”

“Bahkan, waktu dia sampein perpisahan ke gue, dia cuma bilang kalo gue harus jagain lo.” Atsumu tersenyum.

“Ngga usah gitu. Makasih banyak udah jadi kembaran gue, Tsumu.”

“Lo masih punya gue, Samu. Lo tau kan?”

Osamu tau.

“Lo percaya sana 11:11?” Suna pernah menanyakan hal ini ke Osamu suatu hari.

Osamu mengangguk. Suna tertawa. “Gue ngga percaya kalo lo percaya sama hal-hal beginian. Keroppi, 11:11, lo unik, ya.”

Osamu menampol Suna dengan bukunya. “Ada alesannya.”

“Hm? Kenapa?” Suna menaruh kepalanya di kedua tangannya, lalu menatap Osamu ingin tau.

“Gue awalnya ngga percaya hal ginian.”

“Eeeeh, kok bisa sekarang malah bucin banget sama 11:11?”

“Karena saat itu, satu permintaan gue terkabul.”

“Wih, apatuh?”

Osamu memilih diam.

Dan Suna tidak pernah tau jawaban dari pertanyaannya sampai akhir hidupnya, bahwa Suna adalah permintaan Osamu yang terkabul.

Pertama kalinya, setelah satu tahun, Osamu mengunjungi pemakaman Suna Rintarou.

Setelah ia berdebat dengan batinnya sendiri, ia menghadiri pemakaman untuk orang-orang yang tak selamat dari kecelakaan tersebut, dan berhenti di depan nisan Suna Rintarou.

“Halo, Rin.”

“Rasanya kayak mimpi aja, ngga ada lo dalam setahun ini bener-bener bikin sepi juga, ya.”

“Rasanya gue pengen bangun dari mimpi ini. Dan bangun di keesokan hari, gue nemuin lo lari-lari di lorong buat nemuin gue.”

“Dasar Rintarou. Bahkan gue belum bilang kalo gue sayang sama lo dalam artian khusus. Gue bahkan ngerasa kalo hari-hari yang gue jalanin tanpa lo rasanya sesepi ini. Kayak ngga ada yang tiba-tiba ngerangkul gue pas lagi baca buku di taman.”

“Rintarou, lo pernah tanya, apakah gue percaya dengan love at the first time, terlepas dari pernyataan realistis gue? Jawabannya iya. Bahkan pas gue liat lo nunjuk case Keroppi gue, gue yakin gue debaran gue itu ngga biasa.”

“Lo pernah nanya juga, kan, apa permohonan gue yang terkabul dari 11:11? Itu lo, Rin.”

“Jadi, Rintarou. Makasih banyak pernah hadir di hidup gue dan jadi satu-satunya dari sekian makhluk sekolah yang negur gue. Makasih udah ngajak gue bersosialisasi. Makasih udah ngajakin gue ngerasain gimana bolos, walau gue kapok. Dan makasih, karena udah jadi manusia yang gue sayangi.”

“Andai gue bisa bales ciuman lo waktu itu... andai gue bilang kalau gue cinta lo... apa lo ngga bakalan pergi?”

“Hahaha gue kedengeran bodoh ya? Yaudah, gue pergi dulu, ya, Rin. Kelulusan udah di depan mata. Dan gue bakalan ngelanjutin hidup dan bersosialisasi.”

“Rintarou, gue sayang lo.”

“Gimana kalo gue bilang gue suka sama lo, Samu?”

“Dih, ngadi-ngadi ya lu.”

“Lo galak banget, pantes gue suka.”

“Jauh-jauh satu meter dari gue.”

“Hehehehe Samuuuuu.”

“DIBILANG JAUH JAUH SATU METER DARI GUE.”

“SAMU GALAK BANGET BUSET.”

“BODO AMAT.”

“OSAMU, GUE SUKA LOOOO.”

“AMIT-AMIT, JAUH-JAUH RINTAROU.”

“HAHAHAHA.”

Suna Rintarou, walau dia ngga disini, tapi dia akan selalu hidup di hati Miya Osamu.

END.

tw // blood, luka bakar.
warning slight nsfw

Napas saling beradu, kaki-kaki diujung kasur berusaha memeluk satu sama lain, kikikkan terdengar di bawah selimut, dan mereka tersenyum satu sama lain.

Shirabu menyari posisi senyaman mungkin dengan menyender ke bahu Semi, ia menggenggam tangan kiri Semi dengan tangan kanannya.

Semi mengarahkan pandangannya ke Shirabu yang menyender ke bahunya, menyibakkan poni yang lebih muda ke samping, sembari tersenyum hangat di bibirnya.

Yang lebih muda melongok ke atas, lalu terkekeh pelan sambil tersenyum.

Mereka tertawa bersama, masih dalam keadaan menyatu, tanpa sehelai benang pun, sambil memegang erat tangan satu sama lain bagai hari esok tidak pernah ada.

“Terimakasih.” Shirabu berkata lirih. Beruntung Semi mempunyai telinga yang tajam, atau mungkin ia tidak dapat mendengar Shirabu berkata demikian.

“Untuk apa?”

“Menerimaku apa adanya.”

Semi tersenyum, ia mengelus kepala Shirabu dengan penuh kasih sayang, bagaikan Shirabu adalah gelas kaca yang akan pecah jika ia salah menyentuh.

“All of you are just perfect.”

Mata Shirabu berkaca-kaca, ia mengangguk ke arah Semi. Lalu, ia membuka selimutnya dan mengekspos bekas luka bakar di pinggangnya. “Dulu, waktu umurku 7 tahun, aku pernah dapet luka bakar ini.”

Semi mengangguk, mempersilahkan Shirabu melanjutkan kisahnya. Karena, kapan lagi Shirabu yang dingin dan tertutup menceritakan kisah masa lalunya?

“Dulu, mamah orangnya ceroboh. Waktu kecil, keluarga kita bukan apa apa. Rumahku cuma ada satu petak sama kamar mandi. Jadi, makan, tidur, masak dilakuin di semua ruangan itu,”

Shirabu menghela napas, “Aku sampai sekarang ngga tau apa penyebab mama tiba tiba bisa numpahin air mendidih ke badanku, aku inget, dulu aku tiba-tiba bangun sambil nangis dan mamaku panik, beliau ngambil odol dan ngusapin itu ke bagian luka bakarku.”

“Odol?” Semi mengernyit.

Shirabu mengangguk. “Iya. Mungkin kurangnya edukasi, karena seharusnya luka bakar cuma harus dibersihin pakai alir mengalir, lalu lukanya ditutupin pake kain steril.”

“Lalu?”

“Bukannya sembuh, malah makin parah, aku masih inget dulu, panasnya terasa terperangkap di bagian luka. Akhirnya di bawa ke puskesmas,” Shirabu tersenyum sedih, ia menengok ke arah Semi, “Liat kan? Aku ngga sempurna. Aku jelek. Aku ngga berharga. Aku..... ngga layak dicintai.”

Semi terkekeh, ia menyibakkan kaki kanannya, lalu memperlihatkan lututnya ke Shirabu. “Nggak ada yang sempurna, Kenjirou.”

Shirabu melirik, ada bekas luka jahit di lutut Semi, kira-kira 7 sentimeter dengan arah horizontal. Ia tidak akan menyadarinya jika ia tidak memperhatikan baik-baik, karena bekas luka tersebut terlihat samar-samar.

Shirabu membenamkan kepalanya diantara dada Semi. Semi terkekeh, wajahnya memerah seiring dengan tangannya yang memeluk Shirabu dari samping. “Ini cerita lama.”

“Kok bisa kayak gitu?”

“Dulu, wilayah kampungku kotor, apalagi tempat penumpukan sampahnya. Banyak anak-anak yang kesitu buat main, padahal bahaya,” mata Semi memandang jauh, seakan memori lama kembali melintas didepannya. “Aku termasuk, sering malah mainnya.”

“Abis itu?”

“Ada kecelakaan kecil,” Semi kembali mengelus kepala Shirabu lembut. “Aku didorong sama temenku, kenceng banget dorongnya, lalu jatuh, dan lututku ngebentur pecahan beling. Lukanya dalem, berdarah banyak hampir bisa bikin genangan, salah satu orangtua temenku langsung dateng dan bopong aku ke rumah sakit,”

Shirabu memeluk Semi erat, menengok ke arah Semi, menatapnya lekat, terlihat rapuh, seakan-akan bisa menangis bila ia senggol sedikit.

Semi terkekeh, ia membalas tatapan Shirabu, “kalau nangis, ngga aku lanjutin nih?”

“Siapa yang nangis.”

“Hahaha, iya deh. Abis itu, di rumah sakit, aku langsung dijait, aku masih kecil, ngga terlalu inget. Pokoknya, waktu itu aku dijait dalam keadaan sadar, aku nangis, sambil teriak teriak, 'udah dokter cantik' 'dokter cantik jangan dijait lagi' hahaha dulu aku malu-maluin banget.”

Shirabu terkekeh. “Dari kecil ternyata udah berbakat ngegodain orang.”

“Ngga heh, aku kan cuma godain kamu.”

“Pft iya terserah Eita.”

“Denger, kan, Kenjirou? Ngga ada yang sempurna. Bahkan jalan tol aja ngga sempurna.”

“Kenapa jadi jalan tol!”

“Kok jadi bahas itu, hei. Aku cuma mau bilang kalau semua hal itu ngga ada yang sempurna, makanya jangan mandang rendah keenggak sempurnaan kamu itu. Kamu itu ngga jelek, kamu itu beharga. Sini mana orangnya yang bilang kalo kamu ngga layak dicintai, biar berantem sama aku.”

“Eita.”

“Apa?”

“Makasih banyak buat nerima aku apa adanya.”

“Seharusnya aku yang bilang makasih ke kamu.”

“Untuk?”

“Karena udah milih aku sebagai orang yang kamu suka.”

“Aku ngga suka sama kamu.”

“Loh, trus?”

“Aku cinta kamu.”

“Hahaha dek Kenjirou diajarin siapa, hm?”

Yang lebih tua menangkupkan wajah yang lebih muda, dan saat mereka saling memandang satu sama lain, Semi mengecup dahi Shirabu, lalu turun ke hidung, lalu turun lagi ke bibir. Ia menciumnya tanpa nafsu, cuma ciuman tulus yang berartikan terimakasih sudah selalu disini.

Semi menarik ciumannya. Ia mengecup pipi kanan dan kiri Shirabu. Satu kecupan, dua kecupan, dan kecupan terakhir di dahi Shirabu lagi.

Shirabu menutup matanya. Ia suka ketika Semi Eita mencium dahinya. Entahlah, mungkin karena di balik dahinya, ada berbagai memori manis yang ia alami bersama Semi selama ini.

“Eita.”

“Hm?”

“Thank you for loving all my past and my flaws.”

“No, I should say that.”

“Eita.”

“Apa, Kenjirou?”

“I love you.”

“I love you more.”

“If I showed you my flaws, If I couldn't be strong, Tell me honestly, would you still love me the same?”

“I'll always love you, even more.”