entuesday

Hari ini merupakan hari jadi Eren dan Mikasa yang ketiga tahun. Biasanya mereka selalu merayakan bersama, walaupun hanya dengan kejutan-kejutan kecil. Tetapi, malam ini cukup berbeda. Keduanya terlibat perang dingin.

Sudah dua hari mereka bertengkar tanpa ada yang mau mengalah. Karena tidak kuat dengan Mikasa yang terus mendiamkannya, Eren akhirnya mengalah untuk menurunkan egonya. Ia berusaha untuk mengajak kekasihnya itu berdamai.

“Mikasa” panggil Eren pelan

Gadis itu tetap diam tak menggubris panggilan Eren, menoleh pun tidak. Matanya tetap fokus pada layar TV, walaupun sebenarnya diam-diam Ia menunggu Eren melanjutkan perkataannya.

Laki-laki itu menggenggam tangan Mikasa, lalu mengusap-ngusapnya dengan lembut.

“Aku minta maaf ya?”

Mikasa tetap diam.

“Asa, mending kamu marahin aku daripada diem gini” ujar Eren dengan wajah memelas

Akhirnya Mikasa menoleh, menatap kekasihnya dengan tanpa ekspresi.

“Ayo ikut aku.” ajak Eren sambil menarik lengan gadis itu pelan.

Dengan perasaan bingung, Mikasa tetap mengikuti langkah kaki Eren yang membawanya ke dalam mobil. Hanya menggunakan pakaian tidur, mereka bergegas menuju tempat lampu Tokyo Tower berada.

Sesampainya disana Eren mengajak Mikasa untuk keluar, lalu keduanya berdiri sambil bersandar pada mobil.

“Kita ngapain kesini?” tanya Mikasa membuat Eren tersenyum lebar

“Akhirnya kamu ngomong juga” balas Eren dengan cengiran khas miliknya

Mikasa mendelik malas, tetapi kedua pipinya tidak berbohong. Gadis itu tersipu malu.

“Coba tebak kita ngapain disini?”

“Mana aku tau, kamu kira aku dukun?” balas Mikasa kesal

Eren lagi-lagi tertawa menanggapi kekasihnya yang terlihat semakin menggemaskan ketika kesal.

“Nunggu lampu Tower Tokyo mati”

“Kenapa harus ditungguin?” tanya Mikasa heran

“Katanya, pasangan kekasih yang liat lampu Tokyo Tower dipadamin waktu malam hari, mereka bakal tetap bersama selamanya.” jelas Eren

Mikasa tersentak mendengar jawaban Eren. Ia menoleh menatap kekasihnya meminta penjelasan.

“Aku tau itu cuma mitos, tapi apa salahnya kita coba kan?”

“Kenapa?”

“Soalnya aku mau sama kamu selamanya. Kamu mau ga?” tambah Eren

Mikasa memeluk tubuh Eren dengan erat, laki-laki itu bahkan merasakan bajunya mulai basah.

“Ko nangis?”

“Ga.”

“Maaf ya, kemarin aku udah bikin kamu nangis sama marah. Aku sayang kamu.” ujar Eren sambil mengusap lembut rambut Mikasa

“Diem aku ga mau makin nangis”

“Hahahaha”

Pada musim semi, pemandangan indah bunga sakura yang bermekaran dapat dinikmati dengan bebas di seluruh penjuru Jepang. Salah satunya di Sungai Meguro yang letaknya dekat dengan Stasiun Nakameguro.

Maka dari itu, Armin mengajak gadis berambut pirang itu untuk ikut bersamanya menikmati pemandangan bunga sakura di malam hari.

Dengan lampu-lampu indah, pohon-pohon sakura yang bermekaran disepanjang sisi sungai semakin terlihat menakjubkan. Membuat siapapun yang melihatnya merasakan bahagia.

“Annie” panggil Armin pada gadis yang sedari tadi hanya diam menutup mulutnya rapat-rapat.

Gadis bernama Annie itu menolehkan kepalanya, memperhatikan Armin yang kini sedang tersenyum manis.

“Sini duduk” ajaknya sambil menepuk sebelah ruang kosong pada bangku yang Ia duduki

Dengan kedua pipi memerah, gadis itu menuruti ajakan Armin. Sehingga keduanya duduk berdampingan tanpa menyisakan jarak.

Armin mengangkat kedua tangannya ketika beberapa kelopak bunga sakura berjatuhan.

“Satu”

Armin menghitung bunga yang terjatuh di telapak tangannya, sedangkan Annie menatapnya dengan penuh tanya.

“Dua”

“Tiga”

Setelah bunga ketiga, Armin menoleh kearah Annie sambil tersenyum lalu memejamkan kedua matanya berdoa dalam hati agar suatu saat nanti gadis di sampingnya mau membuka hati untuknya.

“Kamu ngapain?” tanya Annie

“Kamu tau mitos bunga sakura?” Armin balik bertanya

Gadis itu menggeleng pelan karena tidak pernah mendengar mitos tersebut.

“Katanya, keinginan kita tentang cinta akan terwujud kalau kita nangkap 3 kelopak bunga yang jatuh dari pohon sakura. Lucu ya?” jelas Armin sambil tertawa

“Kamu percaya?”

“Menurut Annie?”

“Engga, karena itu kan cuma mitos” balas Annie membuat Armin kembali tertawa

“Mau coba buktiin ga?”

“Gimana caranya?”

Armin terdiam beberapa detik lalu menatap Annie dengan pandangan serius, membuat gadis itu harus menahan detak jantungnya yang berdetak tidak beraturan.

“Armin suka sama Annie udah lama. Menurut Annie gimana? keberatan ga?”

Annie tiba-tiba menutup wajahnya dengan kedua tangannya agar laki-laki itu tidak melihat dirinya yang memerah seperti kepiting rebus. Walaupun Ia terkenal dengan sosok yng dingin, tetapi di depan Armin gadis itu sangat berbeda.

“Loh, Annie kenapa?”

“Malu”

“Hahahahaha”

“Armin jangan ketawa!”

“Yaudah liat sini dulu” ujar Armin sambil menarik pelan tangan Annie yang menutupi wajahnya

“Jadi gimana?”

“Engga”

“Eh, Armin ditolak?”

“Ih bukan. Maksudnya ga keberatan”

“Annie suka Armin juga?”

“Hm”

“Hm apa?”

“Ih Armin!”

“Hahahahahaha”

Musim salju adalah musim yang paling Pieck sukai. Warna putih yang mendominasi serta serpihan salju yang berjatuhan merupakan salah satu hal terindah yang pernah Ia lihat dalam hidupnya. Maka dari itu Ia sangat antusias ketika mendengar berita bahwa salju pertama di Korea akan turun hari ini.

Wanita bertubuh mungil itu kini duduk di bangku taman sambil memegang segelas kopi di tangannya.

“Permisi, saya boleh ikut duduk disini?”

Pieck menoleh ketika mendengar suara laki-laki dari arah sampingnya.

“Oh, boleh duduk aja” balas Pieck sambil tersenyum mempersilakan orang tersebut

“Terimakasih”

“Sama-sama”

Tiba-tiba laki-laki jangkung itu mengulurkan tangannya sambil tersenyum ramah

“Saya Jean”

“Pieck” balas Pieck sambil menjabat tangan Jean.

“Salam kenal ya”

Obrolan mereka berhenti sampai di sana karena keduanya kini tenggelam dalam dunianya masing-masing. Pieck yang sibuk memandangi sekeliling taman dan Jean yang sibuk mengutak-ngatik rubiknya.

Hingga serpihan salju yang turun membuat mereka serentak menatap langit sambil tersenyum bahagia.

Jean menoleh memperhatikan Pieck dengan tatapan hangat. Wanita itu terlihat lucu sekali di mata Jean, terutama ketika matanya yang berbinar saat melihat salju.

“Kamu tau tentang mitos salju pertama?” tanya Jean memecah keheningan diantara mereka

Pieck menoleh lalu mengangguk “The first snow is the snow of love”

“Katanya kalau confess atau lagi sama orang waktu salju pertama turun artinya these people will stay together for a long time” lanjut Pieck membuat ujung bibir Jean terangkat membentuk senyuman

“Kamu percaya?”

“Percaya ga percaya sih, tapi menurut aku liat salju pertama with or without someone tetep bisa bikin kita bahagia”

“Kamu percaya?” Pieck balik bertanya membuat laki-laki itu tertawa kecil

“Entah lah, tapi kalau pun itu benar aku tidak keberatan.” balas Jean membuat wanita itu ikut tertawa.

Siapa sangka orang yang baru pertama Ia temui saat salju pertama ini kini menjadi orang yang selalu Ia lihat ketika membuka mata di pagi hari.

Di Yotsuya, ada legenda tentang telepon umum emas. Di mana telepon itu dicat berwarna emas untuk memperingati sebuah parade pernikahan Pangeran Raja dan Putri Masako yang meninggal di telepon umum pada tahun 1993. Konon katanya, jika menelepon seseorang yang disayangi dengan koin 10 yen bertepi gerigi, maka akan menerima balasan. Tetapi, koin itu mungkin sudah jarang sekali ditemukan karena koin giza-jyu bertepi gerigi hanya diproduksi pada tahun 1951 sampai 1958.

Pemuda bersurai hitam itu tersenyum miring saat mendengar beberapa remaja menceritakan tentang telepon umum emas dengan penuh antusias. 

“Dasar anak-anak.” batinnya mengejek

Pemuda itu tak pernah percaya dengan legenda tersebut, lagipula untuk apa bersusah payah mencari koin langka dan telepon umum hanya untuk menyatakan cinta.

Hanya saja semuanya berubah ketika Ia harus melihat wanita yang Ia cintai secara diam-diam, tertawa lepas dengan pria lain.

Cemburu. Itu lah yang Ia rasakan. Tetapi, pemuda itu tidak punya hak untuk melarang karena untuk saat ini mereka hanya sebatas sahabat.

“Oi Levi, pesananmu ini sulit untuk dicari, jadi sudah seharusnya kau membayar lebih” ujar pemuda bernama Mike sambil menyodorkan koin 10 yen bertepi gerigi

“Ya.”

“Cih, sama-sama” sindir Mike membuat Levi mendelik malas


Sudah seharian Levi mengelilingi Yatsuya hanya untuk mencari telepon umum bewarna emas. Pemuda itu hampir putus asa, karena pada zaman sekarang telepon umum sudah sangat sulit ditemukan.

“Harus kemana lagi aku mencari” ujarnya dalam hati

Ia terus menjalankan mobilnya perlahan menelusuri malam ditemani cahaya rembulan.

Jarum jam hampir menunjuk angka 12 saat Levi menemukan telepon umum berwarna kuning disudut jalan yang cukup sepi. Ia memarkirkan mobilnya lalu membuang napasnya secara perlahan.

Levi memasukan koin tersebut dengan penuh harap, Ia mengetuk-ngetuk kakinya menunggu jawaban wanita di seberang sana.

“Halo?” sapa wanita itu dengan nada penuh tanya

“Hange”

“Levi?”

“Iya”

“Kamu kenapa telepon malem-malem gini? ini telepon rumah?” tanya wanita bernama Hange tersebut

“Telepon umum”

“Hah?”

“Ini aku lagi di Yatsuya”

Hange terdiam beberapa detik mencerna apa yang sebenarnya terjadi.

“Telepon umumnya warna apa?”

“Kuning emas”

“Koin gerigi?”

“Iya”

“Kamu percaya?”

“Engga”

“Terus kenapa dilakuin?”

“Aku mau bukti nyata buat percaya”

Keduanya kembali terdiam, wanita itu tidak tahu harus berkata apa.

“Hange”

“Iya?”

“Jadi menurut kamu legendanya bisa dipercaya atau engga?” tanya Levi

“Hahahaha”

“Kenapa ketawa?”

“Kamu lucu”

“Ck”

“Kayanya legenda telepon emasnya nyata untuk kita berdua” ujar Hange dengan kedua pipi memerah di seberang sana

“Han-” Levi kembaki menutup mulutnya ketika sadar telepon mereka terputus.

“Sialan” umpatnya lalu bergegas untuk menuju apartment Hange menggunakan mobilnya dengan kecepatan diatas rata-rata.

Levi masih tidak tahu apa legenda itu nyata atau tidak, tetapi untuk saat ini Ia percaya bahwa legenda itu nyata. Setidaknya untuk dia dan Hange.

Dan satu hal yang pasti, berkat telepon itu kini Ia bisa menyatakan perasaannya pada Hange.

Malam itu aku tak sengaja bertemu dengan Mikasa, perempuan yang pernah membuatku jatuh cinta diam-diam. Kami bertemu sebagai kawan lama, karena bagaimanapun aku dan Mikasa sama-sama telah memiliki seseorang yang kami cintai.

Aku memang pernah mencintai perempuan itu, tetapi itu dulu sebelum aku bertemu dengan Pieck.

“Apa kabar, Mikasa? gimana sama Eren aman?” tanyaku

“Aman belum berubah jadi monster dia” jawabnya sambil tertawa

“Sama Pieck gimana?” tanyanya membuatku tersenyum mengingat sosok gadis mungil berambut hitam panjang itu

“Aman lah, walaupun kadang suka ribut dikit. Dia gemesin kalau lagi marah-marah, suaranya lucu banget” jelasku dengan rasa bahagia

“Bucin banget ya sekarang”

“Ya sama lah, kaya kamu ke Eren” jawabku membuat kami tertawa bersama

Aku kembali berbincang menemani Mikasa yang menunggu Eren. Hingga, pandanganku tak sengaja melihat sosok yang sangat aku kenali sedang berdua dengan mantan kekasihnya.

Pikiranku menjadi kalut, rasa takut kembali menyerangku. Jujur saja, selama ini aku masih ragu apakah Pieck benar-benar mencintaiku atau hanya menjadikanku sebagai alat pelarian.

Bagaimanapun, aku masih sangat jauh jika dibandingkan dengannya yang telah mengenal Pieck dalam waktu lama.

Ya, aku cemburu. Bahkan sangat cemburu. Tetapi, aku bisa apa?

Sambil menjawab pertanyaan Mikasa, mataku tak pernah lepas memperhatikan mereka yang serius berbicara.

“Jean, itu Pieck bukan sih?” tanya Mikasa membuatku kembali tersadar lalu tersenyum paksa

“Iya”

“Sama mantannya?”

“Iya”

“Ga mau kamu samperin kesana? atau panggil kesini biar gabung”

Namun saat aku hendak memanggilnya, Ia terlebih dahulu pergi bersama Porco meninggalkan kafe.

Aku menghembuskan napasku kasar dan berpikir, mungkin Pieck nanti akan menjelaskan.

Namun, nyatanya Pieck hanya diam tak menjelaskan apapun dan Jean tidak pernah bertanya.

Malam itu aku tak sengaja melihat Jean bersama perempuan yang pernah memiliki hatinya. Perempuan yang diam-diam dicintai Jean dalam waktu lama. Ia tertawa lepas, seakan Ia adalah laki-laki paling bahagia di dunia.

Aku cemburu.

Tapi aku tidak punya keberanian untuk mengatakannya. Bagaimanapun perempuan itu adalah Mikasa. Sosok yang tidak bisa aku benci karena terlalu sempurna.

Diam-diam aku memperhatikan mereka dari jauh, pura-pura membaca koran hanya untuk menutupi wajahku.

Aku tidak tahu, apa yang aku lakukan sekarang wajar atau sudah keterlaluan. Apa aku salah jika meragukan kekasihku sendiri?

Rasanya terlalu sulit untuk meyakinkan diri sendiri bahwa Ia tulus menjalin hubungan denganku.

Hingga seseorang yang pernah menjadi masa laluku datang.

“Pieck” sapanya membuatku tersentak kaget

“Porco?”

“Kamu ngapain disini sendirian?” tanyanya lagi

Ia bahkan memandang sekeliling ruangan untuk melihat dengan siapa aku datang kesini. Aku hendak membuka mulutku, namun matanya terlebih dahulu melihat kehadiran Jean di meja lain.

“Itu bukannya Jean? pacar kamu?”

“Iya”

“Ko beda meja?”

“Dia ga tau aku disini” jawabku

“Kamu diem-diem ngikutin mereka?”

“Ya engga. Aku ga sengaja kesini terus ada Jean sama Mikasa”

“Kamu gapapa?”

“Emang aku kenapa?”

“Jean sama Mikasa berduaan depan mata kamu”

“Nanti juga Jean jelasin kenapa mereka bisa berdua disini” belaku

Nyatanya, sampai hubungan kami berakhir pun Jean tidak pernah menjelaskannya padaku.

Karena, Pieck tidak pernah bertanya.

Di ruangan yang sunyi, kedua insan saling menatap dengan pandangan penuh luka. Jarum jam terus berputar, namun keduanya masih tetap diam. Tak ada satu pun dari mereka yang membuka suara.

Gadis berambut hitam itu memejamkan kedua matanya, lalu menarik napas panjang untuk memberi dirinya kekuatan.

“Jean, ayo kita putus” katanya sambil memandang mata laki-laki bernama Jean itu. Tanpa Ia sadari, air matanya ikut terjatuh.

Gadis itu buru-buru menghapus air matanya dan mengalihkan pandangan. Menghindari tatapan mata Jean yang sedari tadi menatapnya dengan serius.

“Kenapa tiba-tiba?” tanya Jean

Gadis itu hanya diam tak menjawab, lidahnya terasa kelu. Bayangan kejadian beberapa hari kebelakang kembali berputar di otaknya seperti kaset rusak.

“Pieck?”

Gadis itu kembali tersadar, lalu mulai membuka suaranya.

“Harus kita akui, hubungan kita tidak akan pernah berhasil. Tentu saja, aku butuh kamu dan kamu butuh aku. Tapi, itu saja tidak cukup Jean. Kita tidak pernah saling mencintai.” jelas gadis bernama Pieck itu

Keduanya kembali terdiam, tenggelam dalam pikirannya masing-masing.

“Bukankah, selama ini kita saling mempertahankan hanya karena takut kesepian?” Pieck kembali memecah keheningan

Namun, laki-laki itu masih diam. Hingga, pertanyaan Pieck kali ini membuatnya membuka mulut untuk bersuara.

“Jujur saja, kamu masih mencintainya kan?”

“Dan kamu masih mencintainya?” Jean balik bertanya

Lagi-lagi keduanya terdiam.

“Oke fine, ayo kita putus.” sahut Jean memberikan jawaban atas permintaan gadis itu.

“Kita putus?” tanya Pieck memastikan kembali

“Bukankah itu yang kamu mau?”

Pieck tersenyum masam, lalu segera membereskan barang-barang miliknya.

“Terima kasih dan maaf untuk segalanya.” ujarnya sambil melangkah pergi meninggalkan Jean yang terdiam terpaku menatap punggung gadis itu yang semakin menjauh.

Saat gadis itu menutup pintu, Jean menendang kursi sofa miliknya. Kemudian Ia terduduk dengan krystal bening yang terjatuh dari pelupuk matanya.

Keduanya selalu tidak pernah mau menjelaskan jika tidak ada yang bertanya, tetapi mereka juga tidak pernah bertanya karena mengira bahwa itu akan membuat mereka akan merasa tidak nyaman. Bukankah kunci sebuah hubungan adalah komunikasi? lalu jika seperti ini siapa yang harus disalahkan?

Kita sekarang pacaran.. maaf kalau bikin kaget. – Hange dan Levi

Erwin. Kalau boleh jujur, saya sama sekali ga kaget. Hampir setiap hari saya sama mereka, dan hampir setiap hari juga saya liat mereka yang ga sadar sama perasaan masing-masing. Levi tuh kalau Hange lagi ngomong panjang lebar kaya yang ga peduli, padahal besoknya pasti bilang “Kata Hange-” “Hange bilang-” “Menurut Hange-”. Tapi biar mereka ga malu, saya bakal pura-pura kaget.

“Aduh saya kaget”

Mike. Duh, semua orang juga tau mereka saling suka. Cuma bego aja dua-duanya. Agak kaget sih, lebih tepatnya kaget karena mereka akhirnya bisa sadar. Kirain bakal sampe buyut pun mereka ga akan peka. Tapi ya ngikut Erwin sih, kasian kalau mereka malu. Jadi pura-pura kaget aja

“Omo kamjagiya”

Nanaba. Ya pikir aja sendiri. Mereka berdua kayanya lirik-lirikan beberapa detik sekali, sampe capek liatnya. Kalau satu ga ada, langsung panik. Levi tuh walaupun cuek sebenernya obvious banget naksir Hange. Yakin sih mereka soulmate, soalnya mereka bisa baca pikiran masing-masing. Kalau ditanya kaget? ya enggalah.

“Ga kaget.”

Moblit. Sama sekali ga kaget sih. Setiap ekspedisi saya selalu disuruh jagain ketua Hange, walaupun kadang saya harus muter otak dulu buat ngerti maksud omongannya. Terus kadang sampe rela nunggin ketua Hange penelitian sampe malem. Jadi ya ga kaget sih.

“Maaf ketua, tapi saya ga kaget”

Pieck langsung berlari ketika melihat sosok jangkung di hadapannya sedang duduk sambil memainkan ponselnya.

“Jean” panggil Pieck

Laki-laki itu langsung berdiri tegak ketika menyadari kedatangan Pieck.

“Gimana?” tanya Jean cemas

“Kalau dari video kamu, aku dateng kesini artinya apa?” balas Pieck

“Eh? kamu beneran mau?” Jean memastikan lagi

Gadis itu mengangguk cepat sambil tersenyum malu. Tanpa menunggu lama, Jean meraih tubuh mungil di hadapannya. Ia memeluk gemas gadis itu.

“Aduh pengen cium tapi ada mang cilor” bisik Jean membuat kedua pipi Pieck memerah lalu Ia memukul pelan Jean.

“Ih nanti kedengeran orang malu”

“Kalau malu kamu nanti aku peluk terus biar ga ada yang liat” balas Jean sambil tertawa

Yule Ball merupakan perayaan Natal formal, yang diadakan untuk siswa Sekolah Sihir yang berpartisipasi dalam Turnamen Triwizard, pada tanggal 25 Desember.

Perayaan ini sangat ditunggu-tunggu oleh hampir semua penghuni sekolah sihir. Banyak yang berharap ada yang mengajak mereka untuk pergi bersama.

Sedangkan Levi sebenarnya tidak berminat. Kalau saja Ia bukan peserta Turnamen kali ini, Ia mungkin lebih memilih untuk tidak menghadiri acara tersebut. Ia lebih memilih untuk menghabiskan malam Natalnya bersama Hange di tempat yang jauh dari keramaian. Hanya mereka berdua.

“Levi, apa dandananku aneh? kenapa semua orang menatapku” bisik Hange sambil merapatkan tubuhnya pada Levi.

“Tidak usah kau pedulikan, lagipula setiap hari pun kau memang aneh” balasnya datar

Suasana hati Levi benar-benar buruk, Ia tahu betul mengapa semua orang memandang Hange. Gadis itu terlihat lebih cantik dari biasanya, bahkan berkali lipat. Jika Ia tahu mereka akan seperti ini, lebih baik Ia tidak memberikan gaun itu pada Hange.

Levi tidak mengerti, mengapa Ia merasakan seperti ini. Ia hanya ingin menjadi satu-satunya yang melihat sisi lain Hange.

Harus Ia akui, di dalam hatinya Ia merasakan takut. Ya, seorang Levi Ackerman kini takut melihat gadis yang selalu bersamanya itu suatu saat akan menjadi milik orang lain.

“Levi, kau melamun?” tanya Hange sambil menepuk pelan bahu Levi.

“OI MR AND MRS. ACKERMAN”

Levi dan Hange menolehkan kepalanya mencari sumber suara. Mereka melihat Mike dan yang lain berjalan menuju tempat mereka berdiri.

“Kau dan Hange sudah resmi?” tanya Mike sambil menaik-turunkan sebelah alisnya

“Ya.” jawab Levi tegas

“Benarkah Hange?” Mike kembali memastikan

“Sejak kapan?” tambahnya

“Ya, sejak kemarin sore” Hange tersenyum malu, pipinya pun terlihat semakin memerah.

Walaupun status mereka hanya berpura-pura, tetapi Hange benar-benar menaruh hati pada pria itu.

“Pantas saja kau mau memakai gaun dan sedikit memakai polesan” ujar Nanaba murid tahun ke-6 yang disetujui oleh Pieck murid tahun ke-5 dari asrama Ravenclaw.

“Biasanya kau akan menolak mentah-mentah”

“Jangan mempermalukanku disini.” sahut Hange

“Jadi apa permintaanmu, Levi?” tanya Erwin

Semua menunggu Levi membuka suara.

“Tanya pada Hange”

“Aku?”

“Ya”

“Kenapa?”

“Aku tidak tertarik”

“Lalu aku harus apa?”

“Tidak tahu”

“Levi”

“Hange”

Keduanya berdecak malas

“Bisakah kalian tidak bertengkar seperti pengantin lama? kami sedang menunggu jawaban?”

“Diam.”

“Baiklah. Akan kami berikan kalian waktu untuk berdua” ujar Mike sambil mengedipkan sebelah matanya.

“Cih.”


“Kau yakin?” tanya Hange saat Levi mengajaknya keluar menuju tempat yang sering mereka kunjungi saat jam malam, Astronomy Tower.

“Ya, kau keberatan?”

“Tidak, hanya saja aku rasa kau perlu ada disana. Kau salah satu peserta”

“Aku tidak peduli, untuk saat ini aku hanya ingin bersamamu”

“Bahkan untuk seterusnya pun tetap sama”

Hange tidak memberikan respon sama sekali, wanita itu masih mencerna perkataan pria di sampingnya itu.

Saat ini mereka berjalan berdampingan tanpa beralas kaki. Tangan kiri Levi memegang heels Hange, sedangkan tangan kanannya menggenggam tangan wanita itu.

“Kau yakin tidak mau memakai sepatuku?” tanya Levi memastikan, membuat Hange kembali pada alam sadarnya.

“Sepertinya tidak akan cukup, melihat kau lebih pendek dariku”

“Cih. Lagi pula untuk apa kau memakai heels, apa tinggimu masih kurang?”

“Kau tidak perlu marah pada kenyataan”

“Cih”

Setibanya disana mereka berdua memutuskan untuk duduk, bersandar pada tembok yang kokoh. Keduanya hanya diam menikmati semilir angin yang menerpa wajah mereka.

“Levi”

“Hm”

“Aku menyukaimu, lebih dari teman. Apa kau keberatan?” ungkap Hange secara tiba-tiba

Tubuh Levi tersentak kaget. Pria itu tidak pernah menyangka Hange akan menyukainya dan mengatakannya lebih dahulu.

“Tidak”

“Kau menyukaiku?” tanya Hange lagi

“Aku tidak yakin tentang arti suka atau pun cinta. Tetapi jika ingin hidup bersamamu selamanya, cemburu mihatmu dengan pria lain dan tidak mau kehilanganmu dapat diartikan sebagai cinta, maka jawabannya aku mencintaimu.”

“Kau tahu? kemarin aku melihat dirimu dalam cermin Tarsah. Disana hanya ada kau dan aku, di bawah atap yang sama. Kau membuatkan aku teh setiap hari. Bahkan bentuk boggartku pun kematianmu.” tambah Levi

Tanpa disadari air mata Hange menetes, wanita itu tak pernah membayangkan akan menjadi orang terpenting di hidup Levi.

“Kau jelek sekali. Polesanmu akan luntur jika menangis seperti ini” ujar Levi sembari mengusap air mata Hange menggunakan kedua ibu jarinya.

“Kau membuatku menangis”

“Maaf”

“Aku menangis bahagia, bodoh”

“Kau bahagia?”

“Tentu saja. Aku mau hari ini kita resmi menjadi pasangan kekasih, tidak ada lagi pura-pura. Kau setuju?” ujar Hange

“Tentu”

Levi tersenyum tulus, matanya menatap Hange lembut.

“Kau tau, sudah sejak lama aku penasaran dengan rasa bibirmu”

Setelah itu kedua bibir mereka bertaut memberikan rasa asing namun memabukkan, senyuman indah tak pernah lepas dari bibir mereka.