Ethanist00

-Backstreet-

“Heeseung ganteng banget”

Jay menoleh kearah pria blasteran yang tengah berjalan beriringan dengannya. Lalu mengalihkan pandangannya pada lapangan out door yang cukup ramai karena sedang diadakan pertandingan basket. Bukan pertandingan resmi memang, tapi siapa yang mau melewatkan kesempatan menonton pria tampan primadona sekolah itu? Siapaun rela menghabiskan waktu istirahat demi menonton nya—

“Apaan, gantengan juga gua”

—kecuali Jay.

“Hidih, ngaca dulu sana lo. Masa secakep Heeseung dibilang jelek” Jake —si pria blasteran— mencibir.

“Gua gak bilang dia jelek” Jay memutar bola matanya.

Memang benar kan? Heeseung tidak jelek, tapi menurutnya dibanding tampan Heeseung lebih cocok disebut imut. Bahkan dimata Jay, pria manis itu tetap terlihat menggemaskan meskipun dengan rambut yang basah karena keringat yang juga bercucuran sampai ke leher nya.

“Tuan putri nya udah nyamperin tuh”

Bahkan sebelum Jake mengatakan itu pun Jay sudah melihatnya. Seperti biasanya, Sunghoon disana, pria berkulit seputih susu yang dikenal baik oleh warga sekolah karena prestasi nya dalam bidang ice skating.

Tepat setelah pertandingan selesai, Sunghoon menghampiri Heeseung, memberikan handuk kecil dan minuman isotonik yang pria itu bawa. Dan Heeseung, yang memang tidak bisa berkata “tidak” pasti menerima nya sambil tersenyum hangat, juga berterimakasih tentunya.

Ekspresi Jay tetap datar, seperti biasanya.

“Kayanya bener deh gosip nya” ucap Jake.

“Gosip apaan?” jawab Jay malas.

“Mereka berdua pacaran”

“Kata siapa?” Jay mengangkat sebelah alisnya.

“Semua orang juga pada bilang gitu njir, kudet lo”

“Bukan kudet, tapi ngapain juga gua kurang kerjaan amat dengerin gosip, gaada waktu”

“Iya dah pak ketos, ngambis mulu” Jake mencibir.

Jay hanya mendengung sebagai jawaban.

Aneh, Heeseung dan Sunghoon itu sama-sama menggemaskan. Bagaimana bisa banyak yang menganggap mereka berpacaran? Ah oke, dimata orang lain Heeseung tampan dan gentle, tapi dimata Jay, Heeseung tetaplah menggemaskan. Walau begitu tak bisa dipungkiri jika ia juga sering merasa jengkel dan cemburu saat melihat kedekatan dua makhluk manis itu.

Jay kembali menatap kearah lapangan, matanya terfokus pada gerak-gerik Heeseung, lalu ia mengernyitkan dahinya. Entah tak ada yang menyadari atau memang Heeseung yang hebat dalam menyembunyikan ekspresi, yang jelas Jay bisa melihat Heeseung sedikit meringis saat berjalan, dan satu tangannya memegang pinggang nya.


Jay melirik Heeseung yang masih fokus pada laptop didepannya. Keduanya saat ini tengah berada di ruang OSIS, hanya berdua, karena yang lain sudah pulang beberapa menit lalu.

Jay menghela nafas lalu beranjak dari tempatnya. Ia menarik kursi disebelah Heeseung dan duduk disana. Pergerakan itu membuat Heeseung mengalihkan pandangannya ke samping, reflek ia membelalak lalu mengedarkan matanya menelusuri ruangan.

“Tenang aja udah pada pulang” Jay membuka suaranya, seakan tau apa yang Heeseung pikirkan.

Heeseung menghela nafas lega. Ia baru akan kembali melanjutkan tugasnya, namun urung karena Jay menahan tangannya.

“Kenapa diem aja?” tanya Jay.

“Hah?” Heeseung mengedipkan matanya.

Jay menghela nafas, satu tangannya terulur kearah perut Heeseung dan sedikit menyingkap seragam nya. Dan terpampang lah bagian pinggang Heeseung yang terdapat memar kecil disana. Heeseung membelalak, antara malu dan terkejut.

“Kenapa?” Jay bertanya lembut sambil menatap tepat kearah matanya.

Heeseung menggigit bibir bawahnya. Ia tau maksud dari pertanyaan Jay, ia hanya ragu untuk menjawabnya.

“Jawab, Hee” satu tangan Jay yang lain terangkat untuk mengusap bibir Heeseung, seakan menyuruh nya untuk berhenti menggigit bibirnya sendiri.

“Eung.. tadi gak sengaja ke-sikut pas lagi tanding”

“Sama siapa?”

“Dia udah minta maaf kok.. lagian juga gak sengaja”

“Bilang aja siapa..? Aku gak bakal aneh-aneh, paling nyuruh dia buat lebih hati-hati kalo main. Seenggaknya kalo emang gak sengaja, dia harusnya tetep bertanggung jawab, bawa kamu ke uks misalnya atau ambil es batu dikantin buat ngompres ini” Jay berucap lembut namun tegas.

“Aku gapapa Jay, ini gak sakit kok..”

Jay berdecak, lalu sedikit menekan luka memar itu. Heeseung meringis pelan.

“Katanya gak sakit” ucap Jay dengan nada yang agak menyebalkan di telinga Heeseung.

“Ih tapi jangan di teken juga” ucap Heeseung sambil mengerucutkan bibirnya.

Jay terkekeh. Gemas dengan kekasihnya yang benar-benar menggemaskan. Jay yang tidak tahan pun akhirnya mencubit pipi yang belakangan tambah chubby itu. Heeseung mengaduh dan malah makin mengerucutkan bibirnya.

“Yaudah kalo kamu gak mau ngasih tau aku, tapi lain kali jangan gini ya. Kalo kenapa-napa langsung ke uks. Aku tuh nahan diri banget buat gak nyamperin kamu, karena kalo aku nyamperin yang ada kamu marah sama aku seminggu”

“Aku kan takut orang-orang curiga..”

Jay menghela nafas.

“Ketua osis deket sama seketaris nya itu wajar, Hee”

Ya, alasan mereka backstreet adalah karena mereka berada dalam satu organisasi yang sama, alasan profesionalitas. Bukan peraturan resmi memang, hanya peraturan turun temurun OSIS.

Heeseung sempat menolak saat Jay mengungkapkan perasaannya, namun Jay adalah orang yang keras kepala dan pantang menyerah. Hingga akhirnya Heeseung tak bisa berkata “tidak” karena sebenarnya dia juga memiliki perasaan yang sama untuk si ketua OSIS.

Hubungan mereka sudah berjalan hampir 10 bulan, dan sama sekali tak ada yang menyadarinya. Semua orang tau Heeseung dan Jay dekat, namun yang mereka tau keduanya dekat karena jabatannya sebagai ketua dan seketaris OSIS.

“Ke dokter aja ya? Udah sampe biru gini, aku takut organ vital kamu kenapa-napa” ucap Jay menatap luka memar itu sebentar sebelum mendongakkan kepalanya.

Heeseung bisa melihat kekhawatiran dalam mata setajam elang itu. Dalam hati merasa senang karena menyadari Jay begitu memperhatikan nya.

“Gak usah, di kompres es batu aja, paling besok udah mendingan” tolak Heeseung lembut.

Jay menghela nafas. Tau jika kekasihnya pasti akan menolak.

“Yaudah, tapi kalo besok masih kayak gini harus ke dokter ya” Jay sedikit memicingkan matanya, untuk memberi kesan mengancam yang sayangnya tak membuat Heeseung takut.

“Iya iyaa” jawab Heeseung sambil terkekeh.

“Ayo pulang, proposal nya lanjut besok aja. Jangan kerjain dirumah, kamu harus istirahat” ucap Jay sambil memasukkan barang-barang Heeseung kedalam tas nya dengan telaten.

Heeseung hanya berdehem, ia mengulas senyum melihat perlakuan sederhana Jay yang menurutnya sangat manis.

Setelah selesai merapihkan barang-barang Heeseung, Jay mengambil tas miliknya lalu menyampirkan nya didepan dadanya. Ia sedikit berjongkok didepan Heeseung, membuat kekasihnya itu mengernyitkan dahinya.

“Kamu ngapain?”

“Ayo naik. Kamu lagi sakit, dan ruang OSIS ada dilantai 2. Daripada nanti kamu kenapa-napa mending aku gendong aja”

“Jangan bercanda”

Jay menghela nafas.

“Sekolah udah kosong Hee, tenang aja. Paling tinggal Pak Mamat, jam segini biasa dia lagi nyiram tanaman dibelakang” Jay berucap seakan tau apa yang Heeseung pikirkan.

“Y-ya tapi kan aku masih bisa jalan, yang sakit bukan kaki aku, Jay” entah kenapa ia tiba-tiba merasa gugup.

“Naik, atau aku gendong kamu didepan?”

Heeseung membelalak.

“I-iya ini naik!” Heeseung perlahan melingkarkan tangannya dileher Jay, dan Jay dengan cekatan menahan kedua lutut Heeseung.

Heeseung bisa mencium aroma yang menguar dari tubuh Jay. Bahkan saat hampir seharian berada disekolah, aroma itu masih tidak hilang. Aromanya selalu menenangkan, ia menyukainya. Seperti dihipnotis, Heeseung membenamkan wajahnya dileher Jay.

Jay sama sekali tak keberatan, ia malah tersenyum. Menikmati aliran listrik menyenangkan yang menyalur dari leher ke seluruh tubuhnya. Ia selalu ingin berada sedekat ini dengan Heeseung-nya. Ingin semua tau hubungan mereka. Ingin seluruh dunia tau kalau Heeseung adalah miliknya.

“Kamu wangi, aku suka” gumam Heeseung.

Jay hanya terkekeh pelan menanggapinya.

Ia berjalan menyusuri koridor dan tangga tanpa terburu-buru, seakan menikmati setiap detik yang berjalan. Hingga perlahan ia merasakan nafas teratur Heeseung menerpa lehernya. Jay menoleh sedikit, dan benar saja kekasih manisnya itu tertidur.

Jay tersenyum, Heeseung-nya pasti kelelahan. Selain seharian belajar, pria manis itu juga ikut tanding basket siang tadi, belum lagi ia masih harus mengerjakan proposal kegiatan OSIS sepulang sekolah. Jay terkadang khawatir dengan kekasihnya, ia pernah meminta pria manis itu untuk berhenti saja dari ekskul basket, namun sama seperti dirinya, Heeseung adalah orang yang keras kepala. Jadi tidak ada yang bisa Jay lakukan selain memberikan support dan perhatian penuh padanya.

Jay membuka pintu mobilnya, dan mendudukkan Heeseung di samping kursi kemudi perlahan. Berusaha tak membuat banyak gerakan agar tidur kekasihnyanya tidak terganggu. Jay melepas jaket yang dikenakannya untuk menyelimuti tubuh Heeseung, dan kemudian ia memasangkan seatbeltnya.

Sebelum menutup pintu ia menyempatkan untuk menatap wajah terlelap Heeseung. Tangannya terulur, menyingkap perlahan helaian rambut yang menutupi dahi kekasihnya.

“Sebentar lagi ya, Hee.. beberapa bulan lagi, saat kita udah lepas dari semua jabatan ini, aku pastiin semua orang tau kalo kamu cuma punya aku dan juga sebaliknya”

Jay menaruh jari telunjuk dan jari tengahnya diatas bibirnya sebentar, lalu setelahnya ia menempelkan kedua jari itu diatas bibir kekasihnya.

Jatuh cinta tidak pernah salah. Kau tidak bisa memilih kepada siapa hatimu akan jatuh. Namun terkadang, keadaan memaksamu jatuh pada tempat atau waktu yang salah. Pilihanmu, terus terjerumus dalam kesalahan atau menyerah dan mencari cinta yang lain. Dan setiap pilihan pasti memiliki resiko masing-masing.

#Perfect

Aula kampus dipenuhi mahasiswa dan mahasiswi yang sibuk dengan berbagai kegiatan. Ada yang bernyanyi, bermain alat musik, menari, atau sekedar berbincang dengan teman-teman yang lain. Biasanya mereka berlatih di ruangan masing-masing, namun hari ini sang ketua pelaksana mengajak untuk berkumpul dan berlatih bersama. Saat ini mereka tengah beristirahat untuk nanti kembali melanjutkan latihan.

Seminggu lagi kampus mereka akan mengadakan acara amal yang diselenggarakan diluar sekolah. Selain acara amal, mereka juga sepakat untuk melakukan kemah, karena kebetulan didekat area itu terdapat tempat yang cukup bagus untuk berkemah.

“Ini minum dulu”

Pria bersurai blonde dengan mata setajam elang menatap uluran botol didepannya, ia lalu mengangkat pandangannya. Pria manis bersurai coklat kemerahan adalah objek pertama yang ia lihat. Pupil matanya membesar dan tanpa sadar ia meneguk ludahnya gugup. Ia berdehem untuk menetralkan detak jantungnya, lalu tangannya menerima uluran botol dari si manis.

“Terimakasih, Heeseung” tangan mereka sedikit bersentuhan, membuat darah si surai blonde berdesir.

“Sama-sama. Semangat Jay!” jawabnya tak lupa dengan senyum manis yang terpatri dibibirnya.

Jay hanya membalas dengan deheman dan senyum tipis. Setelah itu Heeseung beranjak dari hadapan nya, membagikan air yang ia bawa pada teman-teman yang lain. Mata Jay terus mengikuti gerak-gerik Heeseung, melihat pria manis itu melakukan hal yang sama —memberi semangat dengan senyum manis— kepada yang lain. Jay menghela nafas, sedikit kecewa.

“Lo berharap apa sih? Lo pikir dia beliin minum buat lo doang? Dia kan emang baik sama semua orang” batin Jay.

Ya, begitulah Lee Heeseung, pemuda tampan dan juga manis yang sialnya teramat baik hati. Tak jarang orang salah paham dengan merasa diistimewakan olehnya, padahal ia memang baik pada semua orang. Salah satu orang itu adalah Park Jeongseong atau yang dikenal dengan nama Jay.

“Hoi! Kedip napa” pria bule yang sejak tadi duduk disampingnya mengusap wajah Jay dengan tangannya.

Jay memicingkan matanya kearah sahabat yang merangkap menjadi teman se-group nya itu, sedangkan yang ditatap tampak tidak peduli.

“Apa liat-liat? Suka lo sama gua? Oh iya lupa, kan lo sukanya sama Hee—”

Ucapan pria itu terputus karena Jay membekap mulutnya.

“Bisa diam gak sih?” tanya Jay, terselip nada jengkel dalam ucapannya.

Jake —si pria bule— menepis tangan Jay yang menutup mulutnya.

“Gua baru ngomong sekali, lagian itu fakta” sanggah nya.

“Sok tau”

“Dari cara lo ngeliat dia aja udah ketauan, Jay. Gua yakin dia juga sebenernya udah tau”

“Tau apaan?”

“Lo suka sama dia”

Jay terdiam, entah dia harus merespon bagaimana. Senang? Sedih? Atau malu?

“Makanya lo gerak napa, diem diem gini ntar giliran dia kecolong orang repot lo. Nih ya, menurut gua dia juga ada rasa sama lo, cuma dia jadi ragu karena setiap dia deketin duluan respon lo selalu cuma senyum tipis sama 'ham hem' doang” cerocos Jake.

“Dia emang baik sama semua orang, Jake. Gua gamau terlalu berharap dengan nganggep kalo gua itu dia istimewakan”

“Tapi nyatanya emang lo itu dia istimewakan”

Jay mengerutkan dahinya, bagian mana Heeseung terlihat mengistimewakan dia?

Jake menunjuk dengan dagunya kearah minuman dari Heeseung yang masih Jay pegang.

“Cuma lo yang dia beliin rasa lemon”

Jay melihat kearah minuman yang belum ia buka, lalu mengalihkan pandangannya kearah minuman digenggaman teman-teman nya yang lain. Benar. Heeseung membeli minuman berperisa jeruk untuk yang lain, hanya dia yang dibelikan minuman berperisa lemon. Heeseung tau ia lebih suka rasa lemon atau memang hanya sebuah kebetulan?

“Gua rasa ini bukan kebetulan, walaupun cukup sederhana sih, tapi gak salah juga kalo lo merasa diistimewakan karena itu. Lagian lo aneh, biasa juga pepetin cewe gak mikir-mikir dulu, sekarang malah tiba-tiba jadi menciut nyalinya. Udah sana mulai pdkt-in. Ya urusan diterima engga nya mah belakangan lah, yang penting usaha dulu” ucap Jake, seakan tau apa yang Jay pikirkan.

Kalau dipikir ucapan Jake ada benarnya. Kenapa Jay jadi terlihat seperti pengecut begini? Ia menghembuskan napasnya.

“Oke, gua bakal mulai berjuang buat dapetin dia”

“Gitu dong. Good luck, bro” Jake menepuk bahu Jay, menyemangati.


Seperti hari-hari sebelumnya, pria manis itu disana, berjongkok disamping halte dengan kucing kecil yang tengah makan dihadapan nya. Tangan si pria manis mengelus kepala anak kucing itu, senyumnya tak pernah luntur. Ia juga sesekali mengajak kucing kecil itu berbicara, walaupun tau kucing itu tak akan menjawab apa-apa.

Jay ikut tersenyum melihatnya. Lee Heeseung benar-benar seperti seorang malaikat. Ia tak hanya baik pada semua orang, tapi juga pada makhluk hidup lain. Ini bukan pertama kalinya Jay melihat interaksi dua makhluk manis —Heeseung dan kucing— itu.

Kucing kecil dekat halte itu mungkin hanya satu dari sekian banyak kucing yang mendapat perlakuan manis dari Heeseung. Tak jarang Jay melihat Heeseung memberi makan kucing liar, pria manis itu selalu membawa makanan kucing didalam tas nya. Dan entah kenapa pemandangan seperti itu selalu membuat hatinya menghangat.

Biasanya Jay yang pengecut hanya akan memperhatikan dari jauh, namun kali ini ia memberanikan diri untuk mendekat pada pria manis itu.

“Nemo, apa makanannya kurang?” Jay bisa mendengar suara lembut Heeseung.

“Namanya nemo?” suara Jay yang terlalu tiba-tiba membuat Heeseung sedikit berjengit karena terkejut.

Heeseung mendongak untuk melihat siapa oknum yang mengejutkan nya.

“Oh Jay, sedang apa disini?” tanya Heeseung dengan senyum manisnya.

“Gapapa, cuma pengen aja” ucap Jay, lalu ikut berjongkok disamping Heeseung.

Heeseung hanya mengerjap bingung.

“Namanya nemo?” Jay mengulang kembali pertanyaan nya.

Heeseung kembali menatap si kucing kecil sambil mengelus kepalanya.

“Iya! Karena dia lucu kayak nemo, coba liat, lucu kan?” ucap Heeseung teramat bersemangat, senyumnya merekah.

Jay menatap Heeseung dalam yang tentu saja tak disadari pria manis itu. Jay tanpa sadar tersenyum.

“Iya.. Lucu” reflek, kata yang ada diotaknya keluar begitu saja.

“Iya kan? Nemo memang lucu!” pekik Heeseung sambil terkekeh.

Jay tertawa pelan, lalu mengalihkan atensi nya dari Heeseung ke arah Nemo, tangannya terulur untuk mengelus bulu halus kucing itu.

“Lo suka kucing?” Jay kembali membuka suaranya.

“Iya suka!” jawab Heeseung dengan bersemangat lagi.

Jay melirik sebentar ke arah Heeseung sebelum kembali memperhatikan kucing kecil itu. Jay tersenyum tipis, sangat tipis sampai Heeseung tidak menyadarinya.

“Kamu?” tanya Heeseung.

“Hah?”

“Kamu suka kucing?” Heeseung memperjelas pertanyaan nya.

“Sebenernya gak terlalu suka. Tapi kayaknya gua mau belajar buat lebih suka kucing”

“Kenapa?”

Jay mengalihkan pandangannya, ternyata Heeseung juga tengah menatap kearahnya. Pandangan mereka bertemu, Jay menatap Heeseung dalam, lalu tersenyum.

“Karena katanya kalo mau menyukai seseorang, harus suka juga sama apa yang dia sukai”

Tanpa sadar Heeseung menahan napasnya, jantungnya juga ikut berdebar diluar batas normal. Heeseung tidak bodoh untuk paham maksud Jay. Tapi apa yang dimaksud pria itu adalah dirinya? Salahkah jika ia berharap?


Acara amal telah selesai dilaksanakan, sekarang semuanya tengah berkumpul mengelilingi api unggun yang beberapa menit lalu baru selesai dinyalakan. Agenda wajib dalam kemah, menghabiskan malam dibawah langit berbintang dengan api unggun yang menerangi. Beberapa diantara mereka tampil secara sukarela, dari mulai stand up comedy, bernyanyi, beatbox, dan lainnya.

Dan sebenarnya acara api unggun ini adalah acara yang ditunggu-tunggu oleh Jay. Walaupun tak bisa dipungkiri bahwa ia merasa gugup, juga takut jika rencananya gagal. Beruntung Jake selalu meyakinkan jika semuanya akan berjalan dengan baik, setidaknya itu bisa mengurangi sedikit rasa gugupnya.

Jay memusatkan pandangannya pada pria manis dengan hoodie berwarna jingga yang duduk cukup jauh dari tempatnya, siapa lagi kalau bukan Lee Heeseung.

Heeseung selalu indah, bahkan hanya dengan disinari cahaya bulan dan api unggun, dia tetap terlihat sangat sempurna. Matanya selalu berbinar antusias, pun bibirnya yang tak henti tertawa dan tersenyum, sesekali bergerak ikut bernyanyi.

Tambahan informasi, Heeseung adalah anggota club vokal kampus, pria manis itu memiliki suara yang sama indahnya dengan parasnya, siapapun bisa saja terhipnotis setelah mendengar suara menenangkan miliknya. Buktinya adalah apa yang tengah dialami Park Jay saat ini. Sejak beberapa menit lalu Heeseung dengan sukarela menyumbang sebuah lagu untuk mereka, sampai sekarang saat Heeseung kembali duduk ditempatnya. Seperti dihipnotis, Jay sama sekali tak bisa mengalihkan pandangannya dari pria manis itu.

“Heh, kesambet lo malem-malem bengong ditempat kek gini” Jake menoyor kepala temannya itu.

“Ah rese lo, ganggu aja” gerutu Jay.

Jake hanya mencibir.

“Siapa lagi nih yang mau nyumbang lagu?” tanya salah satu teman mereka yang beralih profesi menjadi mc dadakan dalam acara api unggun ini.

Jake dengan cepat mengangkat tangannya, Jay menatap temannya sedikit curiga.

“Sini lo, mau nyanyi apa?” tanya si mc.

“Bukan gua. Nih si Jay yang mau nyumbang” ucap Jake sambil mendorong bahu temannya.

Jay membelalak, lalu menatap Jake tajam.

“Rencananya kan gua nyanyi terakhir anjing, sekarang belom siap” bisik Jay penuh penekanan pada temannya.

“Udah sih sekarang aja, kelamaan kalo nanti. Cepet tuh doi lo nungguin”

Jay mengalihkan pandangannya kearah objek yang sejak tadi menjadi fokusnya, dan benar saja pria manis itu tengah memberi gestur semangat padanya dengan senyum yang merekah, lalu setelahnya bertepuk tangan kecil. Ah, kenapa Heeseung menggemaskan sekali, Jay jadi semakin gugup.

Jay mengatur nafas dan detak jantungnya —walaupun tidak membantu banyak—, lalu beranjak dari tempatnya. Tangannya meraih gitar milik temannya yang sudah disediakan untuk malam ini, lalu duduk sambil memangku gitarnya. Ia menghembuskan nafas lagi, lalu berdehem.

“Lee Heeseung..” satu nama yang keluar dari mulut Jay membuat semuanya sontak menatap kearah objek yang disebut.

Heeseung membelalak lucu, lalu mengedipkan matanya beberapa kali. Tolong tahan Jay agar tidak beranjak untuk mencubit pipi pria manis itu, atau mengusak kepalanya mungkin.

Jay melempar senyum tulus kearah Heeseung, pandangan mereka seakan terkunci.

“This song is for you” lirih Jay.

Jemari Jay mulai memetik gitar, sekedar informasi Jay merupakan anggota club band kampus, tidak heran jika ia lihai bermain alat musik terutama gitar.

I miss you already And you're not even gone I wanna call you We just hung up the phone

Baru satu bait lagu itu Jay nyanyikan, tapi sudah mengundang banyak sorakan, yang tentu saja didominasi dengan sorakan menggoda yang ditujukan untuk Heeseung.

Dalam keadaan remang pun, Jay tau jika wajah pria manis itu memerah. Keduanya masih belum memutus kontak satu sama lain, seakan tenggelam dalam netra masing-masing walaupun dengan jarak yang cukup jauh. Senyum tulus Jay semakin merekah saat sampai pada bagian reff lagu.

I love you more than the bad days ahead I love you more than the nights that we ended with slamming doors Oh I love you more

There will be times when your heart will forget But I'll say it over and over again So you know for sure Darlin' I love you...

Sorakan dari yang lain semakin menggema, namun baik Jay maupun Heeseung tak merasa terganggu sama sekali.

Jika Heeseung menganggap Jay tengah menyatakan cinta apakah itu artinya dia terlalu percaya diri? Tapi tatapan dan senyum pria itu begitu tulus, belum lagi bagaimana cara dia menyanyikan lagu itu, membuat Heeseung mau tak mau menaruh harapan besar.

I'll love you more as the years pass us by If you ever doubt it just look in my eyes And you'll know for sure

I love you more than the bad days ahead I love you more than the nights that we ended with slamming doors Oh I love you more

There will be times when your heart will forget I'll say it over and over again So you know for sure Darlin' I love you more

Penampilan Jay diakhiri dengan sorakan heboh dan tepuk tangan meriah.

“Terima! Terima!” sebuah suara tiba-tiba menginterupsi sorakan mereka, siapa lagi kalau bukan Jake.

Seperti diperintah, yang lain justru ikut menyorakkan satu kata yang sama.

“Dia gak nembak tau” ucap Heeseung dengan wajahnya yang memerah.

Ucapan Heeseung sontak membuat semuanya diam.

Jay sedikit membelakak lalu mengusap tengkuknya karena entah kenapa ia tiba-tiba merasa gugup. Sedangkan Heeseung mengedarkan matanya sembarang, kemanapun asal bukan kearah Jay.

“Ekhem. Sebelum itu, gua mau tau balesan lo dulu” ucap Jay.

“Eum, I love you too..” lirih Heeseung sambil menunduk, suaranya teramat pelan namun masih mampu Jay dengar karena suasana hening —semuanya memilih diam dan mulai fokus layaknya menonton drama—.

“Apa? Gua gak denger, coba sini” bohong Jay sambil menyuruh Heeseung untuk ikut berdiri.

“I love you too, Jay!” ulang Heeseung dengan suara yang lebih keras, namun masih belum beranjak dari tempatnya.

“Sini dulu, Hee” ucap Jay lembut.

Heeseung menghela nafas guna menetralkan detak jantungnya. Lalu berdiri dan beranjak mendekati Jay, masih dengan pandangan terarah kebawah.

Tepat saat Heeseung sampai dihadapan nya, Jay meraih kedua tangan Heeseung dan menggenggam nya. Heeseung sedikit berjengit, tangan nya dingin sedangkan tangan Jay hangat, kehangatan nya bahkan seakan menusuk sampai ke jantungnya.

“Hei, tatap gua” suara rendah Jay menyapa indra pendengaran nya.

Heeseung mengangkat kepalanya, dan disambut dengan Jay yang menatapnya sambil tersenyum.

“When I say I love you, your answer is you love me too. Then, if I ask will you be mine? what's your answer?”

Heeseung menelan ludahnya sendiri. Kegugupan nya menguap ketika ia merasakan Jay mengelus tangannya lembut. Heeseung lalu mengulas senyum.

“I'm yours”

Jay lalu menarik Heeseung kedalam pelukannya, dan Heeseung sama sekali tak menolak, ia justru menyamankan dirinya dalam pelukan hangat itu.

Suasana yang tadinya hening kembali ramai. Sorakan-sorakan tak henti dilemparkan untuk keduanya. Dan lagi, baik Heeseung maupun Jay tak merasa terganggu dengan itu semua. Mungkin benar kata orang, saat kau jatuh cinta, dunia seakan hanya ada kau dan dia.

#Perfect

Aula kampus dipenuhi mahasiswa dan mahasiswi yang sibuk dengan berbagai kegiatan. Ada yang bernyanyi, bermain alat musik, menari, atau sekedar berbincang dengan teman-teman yang lain. Biasanya mereka berlatih di ruangan masing-masing, namun hari ini sang ketua pelaksana mengajak untuk berkumpul dan berlatih bersama. Saat ini mereka tengah beristirahat untuk nanti kembali melanjutkan latihan.

Seminggu lagi kampus mereka akan mengadakan acara amal yang diselenggarakan diluar sekolah. Selain acara amal, mereka juga sepakat untuk melakukan kemah, karena kebetulan didekat area itu terdapat tempat yang cukup bagus untuk berkemah.

“Ini minum dulu”

Pria bersurai blonde dengan mata setajam elang menatap uluran botol didepannya, ia lalu mengangkat pandangannya. Pria manis bersurai coklat kemerahan adalah objek pertama yang ia lihat. Pupil matanya membesar dan tanpa sadar ia meneguk ludahnya gugup. Ia berdehem untuk menetralkan detak jantungnya, lalu tangannya menerima uluran botol dari si manis.

“Terimakasih, Heeseung” tangan mereka sedikit bersentuhan, membuat darah si surai blonde berdesir.

“Sama-sama. Semangat Jay!” jawabnya tak lupa dengan senyum manis yang terpatri dibibirnya.

Jay hanya membalas dengan deheman dan senyum tipis. Setelah itu Heeseung beranjak dari hadapan nya, membagikan air yang ia bawa pada teman-teman yang lain. Mata Jay terus mengikuti gerak-gerik Heeseung, melihat pria manis itu melakukan hal yang sama —memberi semangat dengan senyum manis— kepada yang lain. Jay menghela nafas, sedikit kecewa.

“Lo berharap apa sih? Lo pikir dia beliin minum buat lo doang? Dia kan emang baik sama semua orang” batin Jay.

Ya, begitulah Lee Heeseung, pemuda tampan dan juga manis yang sialnya teramat baik hati. Tak jarang orang salah paham dengan merasa diistimewakan olehnya, padahal ia memang baik pada semua orang. Salah satu orang itu adalah Park Jeongseong atau yang dikenal dengan nama Jay.

“Hoi! Kedip napa” pria bule yang sejak tadi duduk disampingnya mengusap wajah Jay dengan tangannya.

Jay memicingkan matanya kearah sahabat yang merangkap menjadi teman se-group nya itu, sedangkan yang ditatap tampak tidak peduli.

“Apa liat-liat? Suka lo sama gua? Oh iya lupa, kan lo sukanya sama Hee—”

Ucapan pria itu terputus karena Jay membekap mulutnya.

“Bisa diam gak sih?” tanya Jay, terselip nada jengkel dalam ucapannya.

Jake —si pria bule— menepis tangan Jay yang menutup mulutnya.

“Gua baru ngomong sekali, lagian itu fakta” sanggah nya.

“Sok tau”

“Dari cara lo ngeliat dia aja udah ketauan, Jay. Gua yakin dia juga sebenernya udah tau”

“Tau apaan?”

“Lo suka sama dia”

Jay terdiam, entah dia harus merespon bagaimana. Senang? Sedih? Atau malu?

“Makanya lo gerak napa, diem diem gini ntar giliran dia kecolong orang repot lo. Nih ya, menurut gua dia juga ada rasa sama lo, cuma dia jadi ragu karena setiap dia deketin duluan respon lo selalu cuma senyum tipis sama 'ham hem' doang” cerocos Jake.

“Dia emang baik sama semua orang, Jake. Gua gamau terlalu berharap dengan nganggep kalo gua itu dia istimewakan”

“Tapi nyatanya emang lo itu dia istimewakan”

Jay mengerutkan dahinya, bagian mana Heeseung terlihat mengistimewakan dia?

Jake menunjuk dengan dagunya kearah minuman dari Heeseung yang masih Jay pegang.

“Cuma lo yang dia beliin rasa lemon”

Jay melihat kearah minuman yang belum ia buka, lalu mengalihkan pandangannya kearah minuman digenggaman teman-teman nya yang lain. Benar. Heeseung membeli minuman berperisa apel untuk yang lain, hanya dia yang dibelikan minuman berperisa lemon. Heeseung tau ia lebih suka rasa lemon atau memang hanya sebuah kebetulan?

“Gua rasa ini bukan kebetulan, walaupun cukup sederhana sih, tapi gak salah juga kalo lo merasa diistimewakan karena itu. Lagian lo aneh, biasa juga pepetin cewe gak mikir-mikir dulu, sekarang malah tiba-tiba jadi menciut nyalinya. Udah sana mulai pdkt-in. Ya urusan diterima engga nya mah belakangan lah, yang penting usaha dulu” ucap Jake, seakan tau apa yang Jay pikirkan.

Kalau dipikir ucapan Jake ada benarnya. Kenapa Jay jadi terlihat seperti pengecut begini? Ia menghembuskan napasnya.

“Oke, gua bakal mulai berjuang buat dapetin dia”

“Gitu dong. Good luck, bro” Jake menepuk bahu Jay, menyemangati.


Seperti hari-hari sebelumnya, pria manis itu disana, berjongkok disamping halte dengan kucing kecil yang tengah makan dihadapan nya. Tangan si pria manis mengelus kepala anak kucing itu, senyumnya tak pernah luntur. Ia juga sesekali mengajak kucing kecil itu berbicara, walaupun tau kucing itu tak akan menjawab apa-apa.

Jay ikut tersenyum melihatnya. Lee Heeseung benar-benar seperti seorang malaikat. Ia tak hanya baik pada semua orang, tapi juga pada makhluk hidup lain. Ini bukan pertama kalinya Jay melihat interaksi dua makhluk manis —Heeseung dan kucing— itu.

Kucing kecil dekat halte itu mungkin hanya satu dari sekian banyak kucing yang mendapat perlakuan manis dari Heeseung. Tak jarang Jay melihat Heeseung memberi makan kucing liar, pria manis itu selalu membawa makanan kucing didalam tas nya. Dan entah kenapa pemandangan seperti itu selalu membuat hatinya menghangat.

Biasanya Jay yang pengecut hanya akan memperhatikan dari jauh, namun kali ini ia memberanikan diri untuk mendekat pada pria manis itu.

“Nemo, apa makanannya kurang?” Jay bisa mendengar suara lembut Heeseung.

“Namanya nemo?” suara Jay yang terlalu tiba-tiba membuat Heeseung sedikit berjengit karena terkejut.

Heeseung mendongak untuk melihat siapa oknum yang mengejutkan nya.

“Oh Jay, sedang apa disini?” tanya Heeseung dengan senyum manisnya.

“Gapapa, cuma pengen aja” ucap Jay, lalu ikut berjongkok disamping Heeseung.

Heeseung hanya mengerjap bingung.

“Namanya nemo?” Jay mengulang kembali pertanyaan nya.

Heeseung kembali menatap si kucing kecil sambil mengelus kepalanya.

“Iya! Karena dia lucu kayak nemo, coba liat, lucu kan?” ucap Heeseung teramat bersemangat, senyumnya merekah.

Jay menatap Heeseung dalam yang tentu saja tak disadari pria manis itu. Jay tanpa sadar tersenyum.

“Iya.. Lucu” reflek, kata yang ada diotaknya keluar begitu saja.

“Iya kan? Nemo memang lucu!” pekik Heeseung sambil terkekeh.

Jay tertawa pelan, lalu mengalihkan atensi nya dari Heeseung ke arah Nemo, tangannya terulur untuk mengelus bulu halus kucing itu.

“Lo suka kucing?” Jay kembali membuka suaranya.

“Iya suka!” jawab Heeseung dengan bersemangat lagi.

Jay melirik sebentar ke arah Heeseung sebelum kembali memperhatikan kucing kecil itu. Jay tersenyum tipis, sangat tipis sampai Heeseung tidak menyadarinya.

“Kamu?” tanya Heeseung.

“Hah?”

“Kamu suka kucing?” Heeseung memperjelas pertanyaan nya.

“Sebenernya gak terlalu suka. Tapi kayaknya gua mau belajar buat lebih suka kucing”

“Kenapa?”

Jay mengalihkan pandangannya, ternyata Heeseung juga tengah menatap kearahnya. Pandangan mereka bertemu, Jay menatap Heeseung dalam, lalu tersenyum.

“Karena katanya kalo mau menyukai seseorang, harus suka juga sama apa yang dia sukai”

Tanpa sadar Heeseung menahan napasnya, jantungnya juga ikut berdebar diluar batas normal. Heeseung tidak bodoh untuk paham maksud Jay. Tapi apa yang dimaksud pria itu adalah dirinya? Salahkah jika ia berharap?


Acara amal telah selesai dilaksanakan, sekarang semuanya tengah berkumpul mengelilingi api unggun yang beberapa menit lalu baru selesai dinyalakan. Agenda wajib dalam kemah, menghabiskan malam dibawah langit berbintang dengan api unggun yang menerangi. Beberapa diantara mereka tampil secara sukarela, dari mulai stand up comedy, bernyanyi, beatbox, dan lainnya.

Dan sebenarnya acara api unggun ini adalah acara yang ditunggu-tunggu oleh Jay. Walaupun tak bisa dipungkiri bahwa ia merasa gugup, juga takut jika rencananya gagal. Beruntung Jake selalu meyakinkan jika semuanya akan berjalan dengan baik, setidaknya itu bisa mengurangi sedikit rasa gugupnya.

Jay memusatkan pandangannya pada pria manis dengan hoodie berwarna jingga yang duduk cukup jauh dari tempatnya, siapa lagi kalau bukan Lee Heeseung.

Heeseung selalu indah, bahkan hanya dengan disinari cahaya bulan dan api unggun, dia tetap terlihat sangat sempurna. Matanya selalu berbinar antusias, pun bibirnya yang tak henti tertawa dan tersenyum, sesekali bergerak ikut bernyanyi.

Tambahan informasi, Heeseung adalah anggota club vokal kampus, pria manis itu memiliki suara yang sama indahnya dengan parasnya, siapapun bisa saja terhipnotis setelah mendengar suara menenangkan miliknya. Buktinya adalah apa yang tengah dialami Park Jay saat ini. Sejak beberapa menit lalu Heeseung dengan sukarela menyumbang sebuah lagu untuk mereka, sampai sekarang saat Heeseung kembali duduk ditempatnya. Seperti dihipnotis, Jay sama sekali tak bisa mengalihkan pandangannya dari pria manis itu.

“Heh, kesambet lo malem-malem bengong ditempat kek gini” Jake menoyor kepala temannya itu.

“Ah rese lo, ganggu aja” gerutu Jay.

Jake hanya mencibir.

“Siapa lagi nih yang mau nyumbang lagu?” tanya salah satu teman mereka yang beralih profesi menjadi mc dadakan dalam acara api unggun ini.

Jake dengan cepat mengangkat tangannya, Jay menatap temannya sedikit curiga.

“Sini lo, mau nyanyi apa?” tanya si mc.

“Bukan gua. Nih si Jay yang mau nyumbang” ucap Jake sambil mendorong bahu temannya.

Jay membelalak, lalu menatap Jake tajam.

“Rencananya kan gua nyanyi terakhir anjing, sekarang belom siap” bisik Jay penuh penekanan pada temannya.

“Udah sih sekarang aja, kelamaan kalo nanti. Cepet tuh doi lo nungguin”

Jay mengalihkan pandangannya kearah objek yang sejak tadi menjadi fokusnya, dan benar saja pria manis itu tengah memberi gestur semangat padanya dengan senyum yang merekah, lalu setelahnya bertepuk tangan kecil. Ah, kenapa Heeseung menggemaskan sekali, Jay jadi semakin gugup.

Jay mengatur nafas dan detak jantungnya —walaupun tidak membantu banyak—, lalu beranjak dari tempatnya. Tangannya meraih gitar milik temannya yang sudah disediakan untuk malam ini, lalu duduk sambil memangku gitarnya. Ia menghembuskan nafas lagi, lalu berdehem.

“Lee Heeseung..” satu nama yang keluar dari mulut Jay membuat semuanya sontak menatap kearah objek yang disebut.

Heeseung membelalak lucu, lalu mengedipkan matanya beberapa kali. Tolong tahan Jay agar tidak beranjak untuk mencubit pipi pria manis itu, atau mengusak kepalanya mungkin.

Jay melempar senyum tulus kearah Heeseung, pandangan mereka seakan terkunci.

“This song is for you” lirih Jay.

Jemari Jay mulai memetik gitar, sekedar informasi Jay merupakan anggota club band kampus, tidak heran jika ia lihai bermain alat musik terutama gitar.

I miss you already And you're not even gone I wanna call you We just hung up the phone

Baru satu bait lagu itu Jay nyanyikan, tapi sudah mengundang banyak sorakan, yang tentu saja didominasi dengan sorakan menggoda yang ditujukan untuk Heeseung.

Dalam keadaan remang pun, Jay tau jika wajah pria manis itu memerah. Keduanya masih belum memutus kontak satu sama lain, seakan tenggelam dalam netra masing-masing walaupun dengan jarak yang cukup jauh. Senyum tulus Jay semakin merekah saat sampai pada bagian reff lagu.

I love you more than the bad days ahead I love you more than the nights that we ended with slamming doors Oh I love you more

There will be times when your heart will forget But I'll say it over and over again So you know for sure Darlin' I love you...

Sorakan dari yang lain semakin menggema, namun baik Jay maupun Heeseung tak merasa terganggu sama sekali.

Jika Heeseung menganggap Jay tengah menyatakan cinta apakah itu artinya dia terlalu percaya diri? Tapi tatapan dan senyum pria itu begitu tulus, belum lagi bagaimana cara dia menyanyikan lagu itu, membuat Heeseung mau tak mau menaruh harapan besar.

I'll love you more as the years pass us by If you ever doubt it just look in my eyes And you'll know for sure

I love you more than the bad days ahead I love you more than the nights that we ended with slamming doors Oh I love you more

There will be times when your heart will forget I'll say it over and over again So you know for sure Darlin' I love you more

Penampilan Jay diakhiri dengan sorakan heboh dan tepuk tangan meriah.

“Terima! Terima!” sebuah suara tiba-tiba menginterupsi sorakan mereka, siapa lagi kalau bukan Jake.

Seperti diperintah, yang lain justru ikut menyorakkan satu kata yang sama.

“Dia gak nembak tau” ucap Heeseung dengan wajahnya yang memerah.

Ucapan Heeseung sontak membuat semuanya diam.

Jay sedikit membelakak lalu mengusap tengkuknya karena entah kenapa ia tiba-tiba merasa gugup. Sedangkan Heeseung mengedarkan matanya sembarang, kemanapun asal bukan kearah Jay.

“Ekhem. Sebelum itu, gua mau tau balesan lo dulu” ucap Jay.

“Eum, I love you too..” lirih Heeseung sambil menunduk, suaranya teramat pelan namun masih mampu Jay dengar karena suasana hening —semuanya memilih diam dan mulai fokus layaknya menonton drama—.

“Apa? Gua gak denger, coba sini” bohong Jay sambil menyuruh Heeseung untuk ikut berdiri.

“I love you too, Jay!” ulang Heeseung dengan suara yang lebih keras, namun masih belum beranjak dari tempatnya.

“Sini dulu, Hee” ucap Jay lembut.

Heeseung menghela nafas guna menetralkan detak jantungnya. Lalu berdiri dan beranjak mendekati Jay, masih dengan pandangan terarah kebawah.

Tepat saat Heeseung sampai dihadapan nya, Jay meraih kedua tangan Heeseung dan menggenggam nya. Heeseung sedikit berjengit, tangan nya dingin sedangkan tangan Jay hangat, kehangatan nya bahkan seakan menusuk sampai ke jantungnya.

“Hei, tatap gua” suara rendah Jay menyapa indra pendengaran nya.

Heeseung mengangkat kepalanya, dan disambut dengan Jay yang menatapnya sambil tersenyum.

“When I say I love you, your answer is you love me too. Then, if I ask will you be mine? what's your answer?”

Heeseung menelan ludahnya sendiri. Kegugupan nya menguap ketika ia merasakan Jay mengelus tangannya lembut. Heeseung lalu mengulas senyum.

“I'm yours”

Jay lalu menarik Heeseung kedalam pelukannya, dan Heeseung sama sekali tak menolak, ia justru menyamankan dirinya dalam pelukan hangat itu.

Suasana yang tadinya hening kembali ramai. Sorakan-sorakan tak henti dilemparkan untuk keduanya. Dan lagi, baik Heeseung maupun Jay tak merasa terganggu dengan itu semua. Mungkin benar kata orang, saat kau jatuh cinta, dunia seakan hanya ada kau dan dia.

#PerahuKertas

Seorang pria kecil yang manis duduk dipinggir danau, matanya memperhatikan objek beberapa meter dari tempatnya duduk, pria kecil lain yang tengah bersandar dibawah pohon sambil membaca buku. Terhitung satu minggu sejak kepindahan nya ke daerah ini, ia selalu melihat pria itu disana, duduk dengan tenang dengan bukunya.

“Hoonie mau ngajak kakak itu temenan, tapi gimana caranya ya?” ucapnya pada diri sendiri.

Sunghoon mengetuk telunjuknya didagu sambil menatap langit dan danau bergantian seperti mencari sebuah ide.

“Ah iya!” pekiknya saat merasa mendapat ide, matanya berbinar semangat. Lalu beranjak dari tempatnya dengan berlari.

Heeseung, pria kecil yang sedari tadi sibuk membaca mengangkat pandangannya, pekikan pria manis itu sedikit membuatnya terkejut. Ia memperhatikan bagaimana pria manis itu berlari menjauhi danau dengan semangat. Ia mengendikkan bahunya lalu kembali sibuk membaca bukunya.

Tak sampai 10 menit, Sunghoon kembali dengan membawa kertas dan pensil. Ia menulis beberapa kata pada kertas itu sebelum melipatnya menjadi sebuah perahu kertas. Ia masih sangat hafal bagaimana cara membuatnya, mengingat baru kemarin ibunya mengajarkannya.

Sunghoon menaruh perahu kertas nya diatas danau perlahan sambil sedikit mencuri-curi pandang kearah Heeseung. Setelah memastikan perahu kertasnya mengapung dengan baik, Sunghoon beranjak. Bukan untuk pergi, melainkan untuk bersembunyi dibalik pohon yang tak jauh dari sana.

Heeseung yang sedari tadi melihat lewat ekor matanya sebenarnya sedikit bingung, namun seperti ada sesuatu yang mendorongnya untuk beranjak. Rasa penasaran mungkin? Akhirnya ia menyudahi kegiatan membacanya, memasukkan bukunya kedalam tas lalu bangkit dan berjalan mendekat kearah perahu kertas yang mengapung itu.

Ia melirik kearah Sunghoon yang bersembunyi dibalik pohon lalu tanpa sadar tersenyum, “lucu sekali” pikirnya.

*Tangannya meraih perahu kertas itu, terdapat tulisan buka diluar lipatan kertas itu, ia mengerutkan dahinya tapi tangannya tetap bergerak untuk membukanya.*

Kakak! Mau jadi teman hoonie gak?:(

Heeseung terkekeh, lalu mengalihkan pandangannya kearah pria manis yang masih bersembunyi itu.

“Hei sini, ayo kita berkenalan dulu” panggil Heeseung.

Sunghoon terkejut karena ternyata persembunyian nya diketahui, ia mengedipkan matanya beberapa kali sebelum melangkah pelan sambil menunduk kearah pria yang masih tersenyum menatapnya.

“Siapa namamu?” tanya Heeseung lembut.

“N-namaku Sunghoon, aku kelas 1 sd” jawab Sunghoon masih sambil menunduk.

“Kalau berbicara itu harus menatap lawannya” ucapan Heeseung membuat Sunghoon seketika mengangkat pandangannya.

“M-maafin hoonie, kak”

Saat itulah untuk pertama kalinya kedua netra mereka bertemu, “cantik” adalah kata pertama yang muncul di pikiran Heeseung. Ia terkekeh, pria didepannya ini benar-benar lucu.

“Namaku Heeseung, aku kelas 3” ucapnya sambil mengulurkan tangannya.

Dengan ragu Sunghoon menerima uluran tangan itu.

“Sekarang kita teman” Heeseung berbicara dengan senyum yang terpatri indah dibibirnya.

“Yeey hoonie punya teman!” Sunghoon balas tersenyum sampai memperlihatkan deretan gigi nya yang rapih.

Heeseung sedikit tak percaya pria manis didepannya ini sudah bersekolah, karena demi apapun dia sangat menggemaskan seperti anak berumur 4 tahun.


“Sayang...”

“Apa?! Gausah sayang-sayang” ucap Sunghoon ketus pada pria disebrang sana.

“Jangan marah dong”

“Aku gak marah” ucapnya begitu, tapi bahkan dari nada bicaranya saja pria disebrang sana tau kalau kekasihnya tengah marah.

“Besok kita jalan-jalan deh, atau mau aku kerumah kamu aja terus cuddle seharian?”

“Kakak udah ngomong besok dari seminggu yang lalu ya, udah ah aku males. Besok juga paling gak jadi lagi terus bilang besok lagi, gituu aja teross sampe Gaeul bisa kayang”

Demi apapun, Heeseung disebrang sana berusaha menahan tawanya. Karena jika dia tertawa yang ada Sunghoon akan semakin marah.

“Kali ini beneran, besok aku gak ada jadwal kok. Mau yaa?”

“Gak, besok aku gak bisa”

“Kenapa? Besok kamu kan gak ada jadwal”

Sunghoon merutuki dirinya sendiri yang lupa bahwa kekasihnya itu sudah hafal betul dengan jadwal kuliahnya.

“Mau ngajarin Gaeul kayang!” ucap Sunghoon lalu mematikan sambungan secara sepihak.

Sunghoon membanting tubuhnya ke kasur lalu menendang-nendang udara kosong. Ia kesal, ralat, sangat kesal dengan kekasihnya itu. Sudah nyaris sebulan mereka tak bertemu, saling menghubungi pun jarang.

Seminggu yang lalu Heeseung mengajaknya bertemu, entah kemana pun ia tak tau, yang jelas ia sangat senang. Bahkan jika Heeseung hanya mengajaknya untuk sekedar duduk berdua diatas atap pun ia akan dengan senang hati menyetujuinya. Tapi malah Heeseung membatalkan janjinya karena mendapatkan shift tambahan. Sunghoon masih bisa memaklumi, resiko menjadi pacar dari calon dokter, ya Heeseung saat ini tengah berada dalam masa coass nya. Tapi hari ini lagi-lagi Heeseung membatalkan janjinya. Padahal hari ini adalah hari penting mereka, oh atau mungkin hanya Sunghoon yang menganggap ini penting?

“Masa kak Heeseung lupa sih?! Ishh kesel, pokoknya kesel banget sama kak Heeseung!!” teriakan Sunghoon teredam dalam bantal, ia bisa kena marah ibunya jika benar-benar berteriak.

Suara dering ponsel Sunghoon menginterupsi kegiatannya yang tengah menggerutu. Ia meraba-raba kasurnya guna mencari letak ponselnya, setelah ketemu ia melihat nama Wonie tertera disana, tanpa berpikir 2 kali ia menggeser ikon hijau.

Belum sempat Sunghoon menyapa, suara tangisan sudah terdengar dari sebrang sana, ia sontak terduduk.

“Eh eh kenapa nangis?” tanya Sunghoon sedikit panik.

“Kakak, Wonie abis diputusin, huaaa”

“Loh? Kok bisa? Kemarin masih baik-baik aja kok”

“Gatau lah, kakak tanya aja sama kak Jay nya tuh! Wonie kesel huaa”

Sunghoon semakin panik ketika tangisan Jungwon tambah kencang.

“Kamu mau cerita? Tapi jangan dirumah kamu, kakak lagi males ketemu kak Hee”

“Iyaa huaa kakak tau aja aku mau cerita, di danau ya kak, jam 7”

“Yakin malem-malem gitu? Emang gak diomelin kak Hee?”

“Enggaa kan kak Hee yang nyu— aduh kok aku dicubit sih kak!”

Tut

Sunghoon mengernyitkan dahinya bingung sambil menatap ponselnya yang sudah terputus dari panggilan. Tak lama sebuah pesan notifikasi muncul. Pengirim nya merupakan orang yang sama dengan orang yang menelfon nya barusan.

Wonie Jam 7 ya kak Di danau Kak Hee gak bakal marah kok Jangan lupaa

Sunghoon sedikit bingung dengan sikap aneh calon adik iparnya ini, tapi meskipun begitu jarinya tetap bergerak untuk membalas pesannya untuk menyetujui. Yaa setidaknya bertemu Jungwon mungkin akan sedikit menghibur dirinya sendiri yang masih kesal karena Heeseung.


Mulut Sunghoon terbuka lebar, ia mengedipkan matanya beberapa kali, lalu mengusapnya karena berpikir bahwa apa yang dilihat didepannya hanya ilusi. Atau mungkin dia salah tempat? Tapi tidak mungkin. Oh atau jangan-jangan ada orang lain yang akan memakai tempat ini? Tapi terasa aneh juga. Karena selama ini hanya dia, Heeseung, Jungwon, dan teman-teman mereka saja yang sering mengunjungi danau ini.

Sunghoon melangkah mendekat dengan diselimuti rasa penasaran. Diatas karpet kecil yang dikelilingi banyak lampu, terdapat sebuah perahu kertas yang sudah lusuh, jika lipatannya dibuka bisa dipastikan akan robek. Tapi tanpa dibuka pun Sunghoon tau jika perahu kertas itu adalah miliknya, perahu kertas yang ia buat pertama kali untuk kak Heeseung-nya. Matanya berkaca-kaca, ia tak percaya jika kekasihnya masih menyimpan perahu kertas ini.

Sunghoon mengedarkan pandangannya, berniat mencari keberadaan Heeseung, tapi yang ia temukan malah sebuah perahu kertas dengan hiasan hati diatasnya mengapung diatas danau. Sunghoon melangkah mendekat, tangannya meraih perahu kertas itu, lalu membukanya perlahan.

Hoonie! Mau jadi teman hidup kakak gak?:(

Tanpa sadar air matanya menetes, ia lalu terkekeh. Belum cukup sampai situ, Sunghoon kembali dikejutkan dengan tangan yang menutup kedua matanya. Hanya terkejut, karena ia tau kalau orang itu adalah kekasihnya.

“Hoonie tau kakak sembunyi”

“Seenggaknya aku lebih pinter sembunyi daripada kamu”

Sunghoon membalik tubuhnya setelah Heeseung menurunkan tangan yang menutupi kedua matanya. Sunghoon langsung mengalungkan tangannya dileher Heeseung dan membenamkan wajahnya disana.

Heeseung terkekeh dan balas memeluk pinggang Sunghoon. Heeseung bisa mendengar isakan kecil Sunghoon. Ia mengusap punggung Sunghoon lembut.

“Kok udah nangis sih, aku belum ngomong apa-apa padahal” ucap Heeseung ditengah kekehan nya.

“Diem, gak usah ngomong apa-apa, aku masih marah ya sama kakak”

Bukan karena tak mau mendengar apa yang akan Heeseung katakan, tapi jika Heeseung berbicara lagi ia pasti akan tambah menangis. Heeseung yang paham akhirnya memilih untuk menenangkan kekasih manisnya terlebih dahulu. Tapi sebelum itu ia membuka jaketnya, —sedikit susah karena Sunghoon tak mau melepas pelukannya— menyampirkan jaket itu ditubuh mungil kekasihnya lalu mengeratkan pelukannya agar Sunghoon-nya tak merasa kedinginan.

Setelah tangis Sunghoon mereda, Heeseung mulai membuka suaranya.

“Hoon, aku mau bilang makasih. Makasih karena kamu udah ada diantara milyaran manusia di dunia” bisik Heeseung dengan suara rendahnya.

Sunghoon hanya diam mendengarkan, tak sanggup untuk berbicara.

“Aku juga mau bilang kalo aku bersyukur banget, karena dari milyaran manusia itu, kamu adalah yang dikirim tuhan buat aku jaga. Maaf kalo dulu aku sempet gak peka sama perasaan kamu, gak peka sama perasaan aku sendiri. Aku dulu terlalu bodoh buat paham kalo aku sayang kamu lebih dari sekedar sahabat. Makasih kamu udah mau nunggu aku, aku gak tau gimana jadinya kalo kamu nyerah waktu itu”

Sunghoon terisak lagi, ia semakin melesakkan wajahnya pada perpotongan leher kekasihnya. Heeseung menghela nafas sebentar sebelum melanjutkan kalimat yang ingin dia utarakan.

“Happy anniversary yang ke 6 tahun, Hoonie sayang. Makasih udah bertahan sejauh ini, selalu sabar sama aku yang sering sibuk sampe lupa ngabarin kamu. Pokoknya makasih buat semuanya, terlalu banyak kalo aku sebutin satu-satu”

Heeseung menarik diri untuk melepas pelukannya, ia merapikan jaketnya yang tersampir ditubuh. Tangan Hesseung terangkat untuk mengusap air mata kekasihnya, matanya menatap tepat ke dalam netra Sunghoon, pun senyuman teduh yang tak pernah luntur dari wajahnya.

“Aku mungkin bukan laki-laki yang sempurna, diluar sana banyak yang lebih baik dari aku, tapi aku akan berusaha jadi yang terbaik buat kamu”

Heeseung menurunkan tangannya dari pipi Sunghoon, lalu mengeluarkan sesuatu yang sejak tadi disimpan dikantung celananya. Sebuah kotak beludru berwarna biru tua adalah benda yang Sunghoon lihat, ia membelalak tak percaya. Air matanya kembali turun saat Heeseung membuka kotak itu, sepasang cincin dengan mutiara kecil diatas salah satu cincinnya.

“Kamu akan jadi orang pertama yang aku liat ketika aku bangun pagi, orang terakhir yang aku liat ketika aku tidur malam, orang pertama yang tau semua masalah aku, dan orang yang menjadi alasan aku bahagia. Park Sunghoon, apa kamu mau jadi teman hidup aku?”

Sunghoon menangis, ia menutup mulutnya dengan tangan, lalu mengangguk cepat.

“Aku gak ngerti, jawab dong” Heeseung berniat menggodanya.

“I-iya aku mau, kakak nyebelin banget ih!” ucap Sunghoon cepat lalu kembali memeluk Heeseung erat.

“Ini cincin nya belum kamu pake” ucap Heeseung sambil terkekeh.

“Nanti aja, mukaku lagi jelek, cincin nya kebagusan aku insecure” ucap Sunghoon ditengah isakannya.

“Mana ada, bahkan danau ini aja insecure kalo liat kamu, soalnya kamu terlalu cantik”

“Diem. Gak usah ngomong lagi” Sunghoon semakin melesakkan wajahnya.

Heeseung kembali tertawa. Akhirnya setelah hampir 10 menit tangis Sunghoon reda, tapi pria manis itu masih tak melonggarkan pelukannya sedikit pun.

“Kakak ngelamar aku emang udah direstuin mama sama papa?” tanya Sunghoon.

“Udah dong, nanti setelah kamu lulus kita tinggal nentuin tanggal nikahnya”

“Kalo gitu aku gak bakal ngulang semester lagi”

“Makanya belajar yang rajin, jangan main mulu, dasar trio ubur-ubur”

“Omelin Jay sama Jake tuh yang ngajak main mulu, aku kan kalo diajak gak bakal nolak. Lagian aku ngulang semester bukan karena main mulu, tapi dosbing nya yang ngeselin”

“Hm iya deh, tapi kamu jangan terlalu maksain diri juga ya, belajar sewajarnya aja, jangan sampe sakit. Aku gak bakal kemana-mana kok, akan tetap disini, cuma buat kamu”

“Tuhkan ih kakak mah emang pengen aku nangis terus kayaknya”

“Hahaha iya nih aku diem”

“Kak..”

“Hm?”

“I love you” ucap Sunghoon, mengecup bibir Heeseung kilat lalu kembali membenamkan wajahnya dileher Heeseung.

Heeseung sedikit terkejut, tapi kemudian ia tersenyum, dan engeratkan pelukannya.

“I love you too, more than yesterday, but less than tomorrow” diakhiri dengan sebuah kecupan panjang di kening kekasih manisnya.