faosh

Zora Ayana

Zora berlari setelah melihat jam yang menunjukan pukul 1 lewat, artinya dia terlambat.

“Mampus, ngapain ya pada ngumpul?” batin gue setelah melihat Mira dan yang lainnya.

Hari ini kan bukan Pak Hen yang ngurus duh dari belakang keliatan galak lagi. Mampus Zora mampus.

Mira melirik gue sebentar sebelum akhirnya fokus kembali mendengarkan penjelasan Laki-laki yang nggak gue tau itu siapa.

“Sekian dari gue, Ingat gue nggak suka ada kesalahan ya!” jelasnya tegas melihat

Semuanya mengangguk paham, kini tatapannya beralih kepada gue.

“Maaf pak telat.” ucap gue tanpa melihatnya.

Serem banget sumpah pengen gue colok tuh mata.

“Kenapa bisa terlambat?”

“Itu gojeknya lama.” dia memperhatikan gue dari ujung kepala sampe kaki.

Bayangin tegangnya jadi gue, oke rileks Zo dia nggak akan gigit ko.

“Dika, nama gue Dika. Nggak usah panggil pak. Tua amat gue.”

Gue mengangguk paham.

“Gue nggak suka orang lelet, besok jangan terlambat lagi.”

“Iya pak—eh Dika maksudnya.”

“Sana kerja.” perintah Dika masih dengan tatapan intimidasinya.

Sisil menghampiri gue. “Ganteng banget Zo yampun nggak kuat gue.”

“Galak gitu.”

“Bisa kali ya gue dapet dia.”

“Banyakin doa aja deh lo.” ujar gue berjalan merapikan meja dan kursi di Cafe.


Dika Aditama

Zora Ayana

Zora berlari setelah melihat jam yang menunjukan pukul 1 lewat, artinya dia terlambat.

“Mampus, ngapain ya pada ngumpul?” batin gue setelah melihat Mira dan yang lainnya.

Hari ini kan bukan Pak Hen yang ngurus duh dari belakang keliatan galak lagi. Mampus Zora mampus.

Mira melirik gue sebentar sebelum akhirnya fokus kembali mendengarkan penjelasan Laki-laki yang nggak gue tau itu siapa.

“Sekian dari gue, Ingat gue nggak suka ada kesalahan ya!” jelasnya tegas melihat

Semuanya mengangguk paham, kini tatapannya beralih kepada gue.

“Maaf pak telat.” ucap gue tanpa melihatnya.

Serem banget sumpah pengen gue colok tuh mata.

“Kenapa bisa terlambat?”

“Itu gojeknya lama.” dia memperhatikan gue dari ujung kepala sampe kaki.

Bayangin tegangnya jadi gue, oke rileks Zo dia nggak akan gigit ko.

“Dika, nama gue Dika. Nggak usah panggil pak. Tua amat gue.”

Gue mengangguk paham.

“Gue nggak suka orang lelet, besok jangan terlambat lagi.”

“Iya pak—eh Dika maksudnya.”

“Sana kerja.” perintah Dika masih dengan tatapan intimidasinya.

Sisil menghampiri gue. “Ganteng banget Zo yampun nggak kuat gue.”

“Galak gitu.”

“Bisa kali ya gue dapet dia.”

“Banyakin doa aja deh lo.” ujar gue berjalan merapikan meja dan kursi di Cafe.


Dika Aditama

Akhirnya gue dan Saga memutuskan membeli nasi goreng untuk kesekian kalinya karna cuman itu yang buka pagi buta gini.

Gue makan di mobil soalnya Saga nggak bisa suasana yang gerah gitu kulitnya bakalan jadi merah merah kalo gerah sedikit.

Mungkin saking putihnya jadi gitu. Sebentar gue menatap Saga kayak ada yang nggak beres ni.

“Gar lo sakit?” ucap gue sambil meletakkan telapak tangan di dahinya dan benar saja panas banget.

“Gapapa ih apansih Ra.”

“Pulang! Gue yang nyetir.” gue denger ocehan dia yang nggak terima tapi akhirnya dia terima


“Ra lo cantik lagi nyetir gini.” ucap dia bercanda

“Udah deh tidur aja lo nggak akan mati.”

Dia tertawa pelan, “Mati berdua ini, romantis.”

“Bisa nggak sih omongan lo tuh yang berbobot dikit?”

“Gue pusing Ra.”

“Nggak bercanda kan?”

Ck! Dia berdecak pelan

“Iya sebentar lagi sampe.”

“Gue mau di peluk.” ucap Saga

“Berhenti! Gue mau dipeluk Ra.” gue terpaksa berhenti di pinggir jalan lalu dia membawa tubuh gue ke pelukannya.

Gue bisa denger nafasnya yang nggak beraturan. Saga tuh tipe orang yang nggak pernah bilang kalo sakit. Katanya nanti juga sembuh. Dia selalu minta gue peluk kalo sakit, dasar bayi gede.

Selalu ngerepotin gue.