katanya, butuh tiga hari bagi seseorang untuk terbiasa dengan suatu hal yang baru. rindou terbiasa dengan sarapan, tetapi tidak demikian dengqn sanzu. si surai merah muda itu lebih memilih menenggak segelas susu daripada harus menelan karbohidrat di pagi hari.
sarapan bukan suatu hal yang krusial baginya.
ia bisa saja melewati hal tersebut dengan mudahnya, sama seperti yang selalu ia lakukan—apalagi semenjak ia tinggal sendirian (dalam artian terpisah dengan orang tuanya), sanzu makin sering melewatkan sarapan.
hal ini menyebabkan rindou yang lebih sering memasak sarapan di pagi hari tidak repot-repot menawarkan sarapan pada teman serumahnya yang selalu berangkat terburu-buru dengan kotak perkakas berisi alat di tangannya, walaupun ia tidak akan telat sama sekali.
dan pagi ini rindou mendapati dirinya menyiapkan dua buah piring—serta gelas, garpu, sendok, dan tisu makan.
ia mengernyit memperhatikan benda-benda tersebut di atas meja seperti hal tersebut adalah hal yang tidak biasa ia lihat. suara pintu yang dibuka dari seberang dapur membuat fokusnya teralih dan kali ini mendapati sanzu dengan kotak perkakas di tangan kanan juga ponsel di tangan kiri, ranselnya tersampir di salah satu pundak, dan jaslab-nya dibiarkan menggantung pada lengannya.
butuh sepersekian sekon ketika rindou akhirnya menyadari bahwa mereka saling mengunci tatap, ia dari ujung meja dapur dan sanzu di depan pintu kamarnya yang berdebam menutup di belakang punggungnya.
“pagi, rin.”
sapaan itu seharusnya agak asing di hari-hari sebelum kemarin karena hampir jarang sekali waktu dan dunia mereka bersinggungan. apabila iya pun, keduanya tidak banyak bertukar kalimat. hanya sekadar gue duluan atau kalimat kecil yang tidak terlalu berarti sebenarnya.
“hai, selamat pagi. kesiangan?”
pertanyaan itu pun, tidak pernah terlontar sebelumnya. diingat-ingat sekeras apapun, tidak akan pernah ada memori secara literal yang mengingat bahwa ia pernah berucap seperti itu, maupun memori ototnya yang dengan refleks menuangkan omelet ke kedua piring di atas meja.
“enggak, sih. cuman nanti mau belajar dikit-dikit sama mikey dan koko.” sanzu menggeleng seraya membenarkan letak tasnya setelah menaruh ponsel di kantung celananya.
“sarapan dulu?”
yang kalau rindou bisa bicara dengan dirinya di masa lalu, maka ia akan menceritakan kepada dirinya sendiri tentang bagaimana pada hari senin, pukul tujuh lewat tiga belas pagi, di minggu ketiga bulan oktober—ada suara derit kursi yang di tarik dari dua arah yang berbeda, disusul dengan dentingan sendok yang beradu dengan piring, serta bagaimana dua gelas susu hangat tandas menyisakan bubuk yang tidak teraduk, juga ada bau omelet yang menguar memenuhi ruangan.
dan ada sebuah afirmasi berbentuk kalimat, “iya, boleh.”
teman adalah suatu yang begitu berharga bagi sanzu dan ia bersumpah tidak akan pernah menukar teman-temannya kepada apapun, bahkan untuk kehidupan kekal di dunia.
manjiro dan hajime sudah mengenalnya sejak ia hanya seorang siswa sekolah atas yang menatap papan mading sekolah dengan wajah pasrah untuk mencari namanya di antara ratusan siswa lainnya pada hari pertama sekolah kala itu.
mereka berteman sejak hari itu, dengan sifat sanzu yang loyal terhadap kedua kawannya, mereka berhasil mempertahankan pertemanan itu hingga ke bangku perkuliahan yang lucunya mereka berada di jurusan yang sama sekarang.
tentu hal ini cukup untuk membuat manjiro dan hajime menyadari perubahan kecil pada temannya yang hari ini menolak untuk memakan roti kantin yang biasa mereka beli kala menunggu jadwal osce sesi pagi di koridor ruangan osce.
“ulangin lagi?”
sanzu menghela napasnya, “apa sih? gue bilang, gue kenyang karena tadi gue sarapan.”
“itu. itu aneh banget,” sahut manjiro seraya meneguk susu kotaknya.
“setuju.”
“apa sih yang aneh dari gue sarapan?” sanzu menjawab tidak acuh seraya membuka buku skill-nya untuk mengulang beberapa teori di sana, “lagian itu namanya gue menghargai teman serumah gue yang udah masak pagi-pagi.”
“dan hari ini lo nolak bareng sama gue,” ucap manjiro lagi.
“yeee, lo pikir gue mau terus-terusan jadi nyamuk lo sama kakucho? ogah mikiiii,” jawabnya yang mendapatkan helaan napas dari hajime yang turut melirik buku milik sanzu yang sudah penuh dengan coretan di sana-sini.
“gue setuju sama sanzu buat satu itu—eh zu, liat buku lo, dong.”
sanzu membiarkan bukunya diambil alih oleh hajime sementara ia kembali mengecek isi toolbox-nya.
“masih bingung sama lo,” ucap manjiro.
sanzu menghela napasnya, “kenapa, sih? ini kayak baru liat keajaiban dunia aja.”
“heran aja soalnya.” koko menyahuti, tetapi dengan fokus yang masih berada pada buku milik sanzu, seakan-akan berusaha menyerap isi buku itu dalam hitungan menit sebelum ujian dimulai.
“heran? harusnya gue yang heran ini lo berdua kenapa, sih?”
manjiro menggeleng dan menaruh kepalanya di pundak sanzu.
“kita yang harusnya heran, sanzu.”
kalimat selanjutnya terngiang-ngiang di kepala sanzu hingga gilirannya memasuki ruangan osce.
“lo berubah banyak banget dan lo sendiri enggak merasa terganggu atas perubahan itu. itu. itu semua hal baru yang pantas bikin satu dunia heran sekarang.
rindou bukan tipikal yang memiliki banyak teman di hidupnya. semasa kecilnya ia habiskan bersama kakak laki-lakinya yang di kemudian hari, petualangan-petualangan berupa rumah pohon dan topi bajak laut di sore hari mengenalkannya kepada souya dan mitsuya.
ini adalah satu dari seribu alasan mengapa rindou berusaha menggenggam keduanya untuk tetap berada di hidupnya.
pada okasi tertentu, rindou rela meninggalkan suatu hal demi menemani mereka berdua. ia rela pergi di hari badai ketika mitsuya bilang tugasnya tidak akan tertolong dan ia belum tidur tiga hari. pun di hari yang sama ia rela menemani souya mencari keperluan mendadak untuk kuliahnya.
semuanya terbentuk dari kebiasaan-kebiasaan masa kecil mereka, di mana rindou yang secara usia lebih dewasa satu tahun dari keduanya, walaupun mereka berada di tingkat yang sama dalam pendidikan. ada hal yang menggelitik di dalam dada dan perut rindou setiap kali mitsuya dan souya membutuhkan bantuannya.
“sebenarnya lo enggak perlu repot-repot sampai pasang proyektor kayak gini.”
rindou mengendikkan pundaknya, “kenapa enggak, memangnya?” ucapnya retoris seraya membenarkan letak proyektor yang diarahkan kepada dinding kosong pada kamar indekos mitsuya.
“mau nonton apa, suya?”
“lady bird,” sahut mitsuya, menoleh kepada souya yang duduk di pinggir ranjangnya. “mau mengulik soal coming of age-nya,” tambahnya.
“jadi kita streaming ilegal?”
mitsuya menggangguk berat hati, tahu rindou akan mengomelinya, “mau enggak mau.”
ajaibnya, rindou tidak banyak berkomentar.
ini bertahan hingga akhir film, di mana ia kembali membantu mitsuya merapikan proyektor yang dipasang tadi. memang biasanya rindou tidak banyak berkomentar mengenai apapun yang terjadi di dalam film, tidak seperti mitsuya dan souya yang banyak mengomentari setiap adegan dengan apapun yang terlintas di pikiran mereka. namun, bukan berarti rindou sering bertingkah sediam ini.
“rin? enggak enak badan?”
gelengan menjadi afirmasi jawabannya sebersamaan dengan tangannya yang bergerak mengambil totebag milik souya, berisi peralatan menggambarnya, “lagi kepikiran tugas aja.”
ada beberapa hal yang rindou jarang lakukan—salah satunya berbohong. ini menyebabkan ia tidak terampil dalam melakukannya. namun, mitsuya membiarkan hal itu dengan pikiran nanti ia dapat mengkonfrontasi mengenai masalah tersebut di kemudian hari.
“pulang sekarang?” tanya rindou kepada souya yang sudah mengenakan jaket dan menyampirkan ranselnya di pundak.
“boleh.”
“pamit, mit.” rindou berujar seraya membuka pintu kamar indekos mitsuya, membiarkan souya melaluinya lebih dahulu seraya mengucapkan kalimat perpisahan juga sampai ketemu besok di kelas! serta ditutup dengan penyemangat untuk mengulas film yang baru saja mereka tonton tadi.
“kamu enggak banyak omong hari ini.” adalah ucapan pertama souya seiring ditutupnya pintu mobil dari kedua belah sisi.
rindou tidak menjawab ucapan itu dan memfokuskan diri menyetir keluar dari halaman depan indekos yang ditinggali mitsuya—souya membiarkannya. setelah mobil dapat dilajukan dengan lebih nyaman di jalan raya, baru souya mengulangi ucapannya, “kamu enggak banyak omong.”
“karena kamu enggak nyaman kalau aku bicara hari ini,” jawab rindou dengan tenang. “gelagat kamu, souya, jelas banget kalau kamu lagi enggak nyaman di sekitarku, apalagi setiap aku buka suara.”
“sejak kapan kamu bisa membaca hati orang?”
rindou menghela napasnya, “souya, aku selalu bisa tahu kalau kamu ataupun mitsuya sedang enggak ada di suasana hati yang bagus. menilai kamu nyaman atau enggak di sekitarku itu hal kecil buatku.”
“kalau begitu kamu tahu kenapa aku bisa enggak nyaman di dekatmu sekarang?”
“seperti katamu, memangnya aku bisa membaca isi hati seseorang? enggak, souya.” rindou menyalakan lampu sign menandakan ia akan berbelok di belokan, matanya melirik pada spion di luar mobil seraya berucap kembali, “pastikan seatbelt-mu sudah benar.”
“karena itu—” ucap rindou lagi, sesekali menoleh kepada souya yang duduk di kursi penumpamg tepat di sebelahnya, “—aku perlu tahu kenapa.”
“kamu...—” souya membuka suara, menghela napasnya sekali sebagai upaya menenangkan diri, “—kamu bukan rindou yang buat aku nyaman untuk berada di sekitarmu.”
“kamu asing buatku sekarang ini, rindou. aku enggak tahu bagaimana menurut mitsuya, tapi kamu seperti terbang dengan amunisi baru.”
rindou terdiam di sana, ia sesekali masih menoleh kepada souya yang tidak mau menatapnya dan lebih memilih untuk membuang wajahnya ke jendela di pundak kirinya, seakan-akan gemerlap lampu jalanan pada malam hari mampu membawa tenang untuknya.
“kamu seperti masih sedang bersandiwara,” ucapnya lagi.
“sudah selesai, souya. bukannya aku sendiri menjanjikan kepada kamu dan juga mitsuya bahwa semuanya berakhir di hari minggu?” ia membelok masuk ke dalam komplek di mana indekos tempat souya tinggal ada di sana.
“janjimu—” souya kali ini menoleh, “—enggak terasa seperti kamu penuhi.”
decit suara ban mobil yang beradu dengan aspal terdengar asing di telinga rindou malam itu.
“bilang pada aku, rindou,” tuntutnya.
rindou pun lantas lakukan hal yang sama, menoleh dengan lebih leluasa karena kali ini mobilnya telah berhenti di depan indekos dan ia tidak perlu melakukan ini dengan khawatir mengenai akan mencelakai mereka berdua.
“apa?” ucapnya pelan, dengan napas yang tercekat seakan enggan untuk menanyakan apa yang dituntut kepadanya.
“bilang kalau sandiwaranya sudah selesai dan kamu—” ucapannya digantung di sana sebelum dilanjutkan kembali, “—kamu akan kembali seperti rindou yang rindou, kawan kecilku dan mitsuya.”
katanya, butuh tiga hari bagi seseorang untuk terbiasa dengan hal baru.
“iya, souya. semuanya sudah selesai dan aku akan menjadi aku yang dulu. yang sama dengan yang diingat mitsuya ataupun kamu.”
namun, tidak ada yang pernah berkata mengenai menghilangkan kebiasaan yang dibentuk bertahun-tahun lamanya.
flyinswans.