fluctuius

i leave my thoughts here.

katanya, butuh tiga hari bagi seseorang untuk terbiasa dengan suatu hal yang baru. ‎ ‎ ‎ ‎ rindou terbiasa dengan sarapan, tetapi tidak demikian dengqn sanzu. si surai merah muda itu lebih memilih menenggak segelas susu daripada harus menelan karbohidrat di pagi hari.

sarapan bukan suatu hal yang krusial baginya.

ia bisa saja melewati hal tersebut dengan mudahnya, sama seperti yang selalu ia lakukan—apalagi semenjak ia tinggal sendirian (dalam artian terpisah dengan orang tuanya), sanzu makin sering melewatkan sarapan.

hal ini menyebabkan rindou yang lebih sering memasak sarapan di pagi hari tidak repot-repot menawarkan sarapan pada teman serumahnya yang selalu berangkat terburu-buru dengan kotak perkakas berisi alat di tangannya, walaupun ia tidak akan telat sama sekali.

dan pagi ini rindou mendapati dirinya menyiapkan dua buah piring—serta gelas, garpu, sendok, dan tisu makan.

ia mengernyit memperhatikan benda-benda tersebut di atas meja seperti hal tersebut adalah hal yang tidak biasa ia lihat. suara pintu yang dibuka dari seberang dapur membuat fokusnya teralih dan kali ini mendapati sanzu dengan kotak perkakas di tangan kanan juga ponsel di tangan kiri, ranselnya tersampir di salah satu pundak, dan jaslab-nya dibiarkan menggantung pada lengannya.

butuh sepersekian sekon ketika rindou akhirnya menyadari bahwa mereka saling mengunci tatap, ia dari ujung meja dapur dan sanzu di depan pintu kamarnya yang berdebam menutup di belakang punggungnya.

“pagi, rin.”

sapaan itu seharusnya agak asing di hari-hari sebelum kemarin karena hampir jarang sekali waktu dan dunia mereka bersinggungan. apabila iya pun, keduanya tidak banyak bertukar kalimat. hanya sekadar gue duluan atau kalimat kecil yang tidak terlalu berarti sebenarnya.

“hai, selamat pagi. kesiangan?”

pertanyaan itu pun, tidak pernah terlontar sebelumnya. diingat-ingat sekeras apapun, tidak akan pernah ada memori secara literal yang mengingat bahwa ia pernah berucap seperti itu, maupun memori ototnya yang dengan refleks menuangkan omelet ke kedua piring di atas meja.

“enggak, sih. cuman nanti mau belajar dikit-dikit sama mikey dan koko.” sanzu menggeleng seraya membenarkan letak tasnya setelah menaruh ponsel di kantung celananya.

“sarapan dulu?”

yang kalau rindou bisa bicara dengan dirinya di masa lalu, maka ia akan menceritakan kepada dirinya sendiri tentang bagaimana pada hari senin, pukul tujuh lewat tiga belas pagi, di minggu ketiga bulan oktober—ada suara derit kursi yang di tarik dari dua arah yang berbeda, disusul dengan dentingan sendok yang beradu dengan piring, serta bagaimana dua gelas susu hangat tandas menyisakan bubuk yang tidak teraduk, juga ada bau omelet yang menguar memenuhi ruangan. ‎ ‎ ‎ ‎

dan ada sebuah afirmasi berbentuk kalimat, “iya, boleh.” ‎ ‎


‎ ‎

teman adalah suatu yang begitu berharga bagi sanzu dan ia bersumpah tidak akan pernah menukar teman-temannya kepada apapun, bahkan untuk kehidupan kekal di dunia.

manjiro dan hajime sudah mengenalnya sejak ia hanya seorang siswa sekolah atas yang menatap papan mading sekolah dengan wajah pasrah untuk mencari namanya di antara ratusan siswa lainnya pada hari pertama sekolah kala itu.

mereka berteman sejak hari itu, dengan sifat sanzu yang loyal terhadap kedua kawannya, mereka berhasil mempertahankan pertemanan itu hingga ke bangku perkuliahan yang lucunya mereka berada di jurusan yang sama sekarang.

tentu hal ini cukup untuk membuat manjiro dan hajime menyadari perubahan kecil pada temannya yang hari ini menolak untuk memakan roti kantin yang biasa mereka beli kala menunggu jadwal osce sesi pagi di koridor ruangan osce.

“ulangin lagi?”

sanzu menghela napasnya, “apa sih? gue bilang, gue kenyang karena tadi gue sarapan.”

“itu. itu aneh banget,” sahut manjiro seraya meneguk susu kotaknya.

“setuju.”

“apa sih yang aneh dari gue sarapan?” sanzu menjawab tidak acuh seraya membuka buku skill-nya untuk mengulang beberapa teori di sana, “lagian itu namanya gue menghargai teman serumah gue yang udah masak pagi-pagi.”

“dan hari ini lo nolak bareng sama gue,” ucap manjiro lagi.

“yeee, lo pikir gue mau terus-terusan jadi nyamuk lo sama kakucho? ogah mikiiii,” jawabnya yang mendapatkan helaan napas dari hajime yang turut melirik buku milik sanzu yang sudah penuh dengan coretan di sana-sini.

“gue setuju sama sanzu buat satu itu—eh zu, liat buku lo, dong.”

sanzu membiarkan bukunya diambil alih oleh hajime sementara ia kembali mengecek isi toolbox-nya.

“masih bingung sama lo,” ucap manjiro.

sanzu menghela napasnya, “kenapa, sih? ini kayak baru liat keajaiban dunia aja.”

“heran aja soalnya.” koko menyahuti, tetapi dengan fokus yang masih berada pada buku milik sanzu, seakan-akan berusaha menyerap isi buku itu dalam hitungan menit sebelum ujian dimulai.

“heran? harusnya gue yang heran ini lo berdua kenapa, sih?”

manjiro menggeleng dan menaruh kepalanya di pundak sanzu.

“kita yang harusnya heran, sanzu.”

kalimat selanjutnya terngiang-ngiang di kepala sanzu hingga gilirannya memasuki ruangan osce.

‎ ‎ ‎ ‎

‎ ‎ ‎

“lo berubah banyak banget dan lo sendiri enggak merasa terganggu atas perubahan itu. itu. itu semua hal baru yang pantas bikin satu dunia heran sekarang.


‎ ‎ ‎

rindou bukan tipikal yang memiliki banyak teman di hidupnya. semasa kecilnya ia habiskan bersama kakak laki-lakinya yang di kemudian hari, petualangan-petualangan berupa rumah pohon dan topi bajak laut di sore hari mengenalkannya kepada souya dan mitsuya.

ini adalah satu dari seribu alasan mengapa rindou berusaha menggenggam keduanya untuk tetap berada di hidupnya.

pada okasi tertentu, rindou rela meninggalkan suatu hal demi menemani mereka berdua. ia rela pergi di hari badai ketika mitsuya bilang tugasnya tidak akan tertolong dan ia belum tidur tiga hari. pun di hari yang sama ia rela menemani souya mencari keperluan mendadak untuk kuliahnya.

semuanya terbentuk dari kebiasaan-kebiasaan masa kecil mereka, di mana rindou yang secara usia lebih dewasa satu tahun dari keduanya, walaupun mereka berada di tingkat yang sama dalam pendidikan. ada hal yang menggelitik di dalam dada dan perut rindou setiap kali mitsuya dan souya membutuhkan bantuannya.

“sebenarnya lo enggak perlu repot-repot sampai pasang proyektor kayak gini.”

rindou mengendikkan pundaknya, “kenapa enggak, memangnya?” ucapnya retoris seraya membenarkan letak proyektor yang diarahkan kepada dinding kosong pada kamar indekos mitsuya.

“mau nonton apa, suya?”

“lady bird,” sahut mitsuya, menoleh kepada souya yang duduk di pinggir ranjangnya. “mau mengulik soal coming of age-nya,” tambahnya.

“jadi kita streaming ilegal?”

mitsuya menggangguk berat hati, tahu rindou akan mengomelinya, “mau enggak mau.”

ajaibnya, rindou tidak banyak berkomentar.

ini bertahan hingga akhir film, di mana ia kembali membantu mitsuya merapikan proyektor yang dipasang tadi. memang biasanya rindou tidak banyak berkomentar mengenai apapun yang terjadi di dalam film, tidak seperti mitsuya dan souya yang banyak mengomentari setiap adegan dengan apapun yang terlintas di pikiran mereka. namun, bukan berarti rindou sering bertingkah sediam ini.

“rin? enggak enak badan?”

gelengan menjadi afirmasi jawabannya sebersamaan dengan tangannya yang bergerak mengambil totebag milik souya, berisi peralatan menggambarnya, “lagi kepikiran tugas aja.”

ada beberapa hal yang rindou jarang lakukan—salah satunya berbohong. ini menyebabkan ia tidak terampil dalam melakukannya. namun, mitsuya membiarkan hal itu dengan pikiran nanti ia dapat mengkonfrontasi mengenai masalah tersebut di kemudian hari.

“pulang sekarang?” tanya rindou kepada souya yang sudah mengenakan jaket dan menyampirkan ranselnya di pundak.

“boleh.”

“pamit, mit.” rindou berujar seraya membuka pintu kamar indekos mitsuya, membiarkan souya melaluinya lebih dahulu seraya mengucapkan kalimat perpisahan juga sampai ketemu besok di kelas! serta ditutup dengan penyemangat untuk mengulas film yang baru saja mereka tonton tadi.

“kamu enggak banyak omong hari ini.” adalah ucapan pertama souya seiring ditutupnya pintu mobil dari kedua belah sisi.

rindou tidak menjawab ucapan itu dan memfokuskan diri menyetir keluar dari halaman depan indekos yang ditinggali mitsuya—souya membiarkannya. setelah mobil dapat dilajukan dengan lebih nyaman di jalan raya, baru souya mengulangi ucapannya, “kamu enggak banyak omong.”

“karena kamu enggak nyaman kalau aku bicara hari ini,” jawab rindou dengan tenang. “gelagat kamu, souya, jelas banget kalau kamu lagi enggak nyaman di sekitarku, apalagi setiap aku buka suara.”

“sejak kapan kamu bisa membaca hati orang?”

rindou menghela napasnya, “souya, aku selalu bisa tahu kalau kamu ataupun mitsuya sedang enggak ada di suasana hati yang bagus. menilai kamu nyaman atau enggak di sekitarku itu hal kecil buatku.”

“kalau begitu kamu tahu kenapa aku bisa enggak nyaman di dekatmu sekarang?”

“seperti katamu, memangnya aku bisa membaca isi hati seseorang? enggak, souya.” rindou menyalakan lampu sign menandakan ia akan berbelok di belokan, matanya melirik pada spion di luar mobil seraya berucap kembali, “pastikan seatbelt-mu sudah benar.”

“karena itu—” ucap rindou lagi, sesekali menoleh kepada souya yang duduk di kursi penumpamg tepat di sebelahnya, “—aku perlu tahu kenapa.”

“kamu...—” souya membuka suara, menghela napasnya sekali sebagai upaya menenangkan diri, “—kamu bukan rindou yang buat aku nyaman untuk berada di sekitarmu.”

“kamu asing buatku sekarang ini, rindou. aku enggak tahu bagaimana menurut mitsuya, tapi kamu seperti terbang dengan amunisi baru.”

rindou terdiam di sana, ia sesekali masih menoleh kepada souya yang tidak mau menatapnya dan lebih memilih untuk membuang wajahnya ke jendela di pundak kirinya, seakan-akan gemerlap lampu jalanan pada malam hari mampu membawa tenang untuknya.

“kamu seperti masih sedang bersandiwara,” ucapnya lagi.

“sudah selesai, souya. bukannya aku sendiri menjanjikan kepada kamu dan juga mitsuya bahwa semuanya berakhir di hari minggu?” ia membelok masuk ke dalam komplek di mana indekos tempat souya tinggal ada di sana.

“janjimu—” souya kali ini menoleh, “—enggak terasa seperti kamu penuhi.”

decit suara ban mobil yang beradu dengan aspal terdengar asing di telinga rindou malam itu.

“bilang pada aku, rindou,” tuntutnya.

rindou pun lantas lakukan hal yang sama, menoleh dengan lebih leluasa karena kali ini mobilnya telah berhenti di depan indekos dan ia tidak perlu melakukan ini dengan khawatir mengenai akan mencelakai mereka berdua.

“apa?” ucapnya pelan, dengan napas yang tercekat seakan enggan untuk menanyakan apa yang dituntut kepadanya.

“bilang kalau sandiwaranya sudah selesai dan kamu—” ucapannya digantung di sana sebelum dilanjutkan kembali, “—kamu akan kembali seperti rindou yang rindou, kawan kecilku dan mitsuya.”

katanya, butuh tiga hari bagi seseorang untuk terbiasa dengan hal baru.

“iya, souya. semuanya sudah selesai dan aku akan menjadi aku yang dulu. yang sama dengan yang diingat mitsuya ataupun kamu.”

namun, tidak ada yang pernah berkata mengenai menghilangkan kebiasaan yang dibentuk bertahun-tahun lamanya.


flyinswans.

“Si bungsu Haitani ternyata.”

Rindou mengulas senyum kecil di wajahnya seraya mengangguk sebagai jawaban dari pernyataan dari Tuan Akashi yang duduk tepat di depannya.

“Apa kabar ayahmu?”

“Baik, selalu sehat, Om.” Rindou menjawab, seraya meraih gelas yang disodorkan Nyonya Akashi dari sebelah tuan rumah. Gelas itu ia taruh di sisi piring Sanzu terlebih dahulu sebelum kembali beralih kepada Tuan Akashi, “terakhir saya hubungi kemarin masih sehat, darah tingginya enggak kambuh.”

Sudah bisa Rindou tebak kolega bisnis ayahnya itu akan tertawa mendengar hal itu. Bukanlah lagi penyakit darah tinggi ayahnya itu menjadi rahasia internal keluarga Haitani, hal ini kerap kali dibawa ke dalam lingkaran rapat yang dilaksanakan dan dalam beberapa okasi tertentu.

Candaan orang tua.

“Bagus. Saya dengar kakakmu sekarang mulai merintis di perusahaan keluarga?”

Rindou mengangguk lagi terhadap ucapan itu.

“Saya juga dengar kamu tidak mengikuti jejak kakakmu?”

Sanzu menggeliat tidak nyaman di kursinya, melirik Rindou sebentar sebelum beralih ke ayahnya dan berucap, “Papa...,” tegurnya pelan.

Rindou menoleh dan tertawa kecil sebelum menepuk tangan Sanzu yang terkepal lemah di atas meja makan, “Enggak apa-apa,” asurnya, kemudian mengembalikan atensinya pada tuan rumah di hadapannya. “Iya, saya lebih memilih mengambil hukum,” jawabnya seraya tertawa kecil di ujung kalimatnya.

“Orang tuamu setuju?”

“Awalnya enggak, bunda mau aku belajar bisnis, tapi saya enggak pernah mendebatkan keinginan saya,” jawab Rindou lagi. “Tapi sebelum pemilihan jurusan saat tes, bunda berubah pikiran, kalau ayah sedari awal enggak ikut campur.”

Rindou mengerti ke arah mana pembicaraan ini akan mengalir, sehingga ia melirik si bungsu yang duduk di sebelah kiri Sanzu.

“Adek dengarkan itu kata pacar kakakmu.”

Suara denting garpu dan sendok yang bergesekan dengan piring terdengar kurang ramah di indera pendengaran.

“Mama,” tegur Takeomi pertama kali, membuat Sanzu menoleh ke adiknya dengan gusar.

“Dek—”

“Loh ya kalau Mama sama Papa mau dengerin adek, enggak bakal tuh adek membantah?”

“Kata Mama, 'kan dicoba dulu, siapa tau kamu bisa jadi seperti Kak Ha—”

Kali ini suara derit kaki kursi yang beradu dengan lantai yang memotong pembicaraan di meja makan dan dengan itu Senju beranjak dari tempatnya tanpa mengucapkan apapun. Rindou menatap sekitarnya, melihat bagaimana Takeomi menghela napasnya pelan, Tuan Akashi yang melakukan hal sama, dan Nyonya Akashi dengan raut wajah tenangnya—hanya Sanzu yang mengerutkan keningnya, kentara merasa tidak enak membiarkan Rindou melihat pertengkaran di keluarganya.

“Mama, sesekali mama jangan keras kayak gitu ke adek.” Takeomi yang buka suara pertama kali.

Sanzu menghela napas, “harusnya kalian itu datengin adek dulu. Aku aja,” ucapnya seraya berdiri dari kursinya. Namun, belum ia beralih dari sana, pergelangan tangannya sudah dicekal oleh Rindou yang duduk di sebelah kanannya.

“Aku aja,” ucap Rindou tiba-tiba.

Ia berdiri dan membungkuk kepada Tuan dan Nyonya Akashi juga kepada si sulung di ujung meja. Kemudian mengusak surai pirang Sanzu dan menunduk sedikit untuk mengecup keningnya sebentar.

“Just enjoy your meal, okay? I'll go look for her.”

Sekali lagi ia membungkuk sekilas sebelum beranjak membawa kaki-kakinya melintasi lantai marmer yang membangun pondasi dari kediaman Akashi, meninggalkan Sanzu yang duduk memegang garpu makannya dengan wajah memerah sedang berusaha memproses apa yang baru saja terjadi dalam sepersekian detik yang lalu.

“Ooooh, gentleman,” ledek Takeomi seraya menyendokkan makanannya ke mulut.

“Duh. Diem, deh,” ucap Sanzu sebal.


“Knock knock.”

Rindou mengetuk angin di depan wajahnya seraya membeokan suara ketukan.

Gadis yang lebih muda darinya dengan selisih dua tahun tersebut menoleh dengan wajah masam. “Aku kira Kak Haru, he's always the one who look after me.”

“A good brother, isn't he?”

Senju mengangguk terhadap pertanyaan itu, membuat Rindou mengulas senyum sekilas mengingat beberapa menit yang lalu di meja makan yang pertama kali bereaksi adalah Sanzu dengan derit kursi yang beradu dengan lantai marmer.

“Can i join you?”

Tepukan pada sisi bagian kiri gazebo tersebut adalah pertanda bahwa ia dipersilahkan dan itu adalah bagaimana Rindou memposisikan dirinya duduk di sana, masih menjaga jarak dengan si bungsu keluarga Akashi.

“Maaf ya, Kak Rin. Aku enggak marah sama kakak, kok.”

Rindpu mengangguk dan membiarkan mereka jatuh dalam hening yang cukup canggung.

“Aku cuman kesal.” Senju bertutur memecah keheningan di antara mereka, kakinya dibawa naik untuk dilipat ke dalam dada dan menaruh dagunya di atas lutut.

Rindou tentu memperhatikan gerak-gerik itu dan mengulas senyum kecil karena menyadari itu merupakan kebiasaan kecil yang dibuat Sanzu setiap kali ia mulai menceritakan sesuatu yang membuatnya gelisah maupun risau.

“Dari kecil, hidupku disetir. Disetir oleh semua orang, bahkan oleh paman dan bibi,” lanjutnya. “Aku masih bisa menahan kesal jika hanya mama yang selama ini memaksaku untuk menjadi kebanggaan keluarga besar.” Senju menekuk wajahnya masam.

Ini juga sama dengan raut wajah Sanzu.

“Cuman Kak Haru yang enggak pernah sama sekali menuntut aku untuk jadi apapun itu yang mereka harapkan atau dia harapkan.”

Rindou mengayunkan kakinya seraya memandang bagaimana bulan memantulkan sinar mentari malam ini.

'Oh, sudah bulan purnama lagi.'

“Haruchiyo sering cerita soal kamu.”

“Oh ya?” Kali ini punggung kecil gadis itu dibuat tegak dan menoleh untuk menatap Rindou yang menumpukan beban tubuhnya dengan telapak tangan di dasar gazebo.

“Katanya, bungsu keluarganya itu punya ambisi yang besar dan ia bersinar dengan cantik.”

“Wow. Serius? Kalau di hadapanku, Kak Haru biasanya cuman mengingatkan untuk les dan sekolah yang benar.”

Rindou tertawa, “hei, abangku juga begitu, tahu.”

“Kak Rin punya abang?”

Rindou mengangguk, menoleh pada Senju dan memasang senyuman kecil di wajahnya.

“Punya. Aku juga bungsu, sama seperti Senju,” jawabnya.

“Bungsu selalu punya bebannya sendiri.” Rindou memulai seraya membenarkan letak kacamatanya yang melorot, “misalnya beban ekspektasi keluarga besar karena kamu adalah orang terakhir di keluargamu. Berat kalau orang-orang sebelum kamu sudah tumbuh menjadi orang hebat, contohnya abangku.”

“Kak Omi juga Kak Haru,” gumam Senju.

Rindou mengangguk tipis sebagai afirmasi setuju, “karena itu kadang jadinya suara dan keinginan kita enggak didengarkan oleh mereka yang mengatur semuanya. Apalagi, kamu dari keluarga terpandang, sesekali akan ada kalimat pengingat untuk enggak mempermalukan keluarga sendiri.”

Anggukan Senju itu sebagai pertanda setuju mengenai isi pikirannya maupun hatinya.

“Kadang, saking kesalnya pada hal-hal seperti itu, kita jadi lupa melihat bahwa ada orang-orang yang masih mendukung mimpi kita yang sebenarnya.”

“Kak Haru,” gumam Senju.

Rindou terkekeh, “abangku juga begitu,” ucapnya.

“Sejak itu jadinya aku lebih fokus untuk membuat diriku sendiri dan orang yang masih mendukung mimpiku di antara kemustahilan itu untuk bangga.”

“Berhasil?” tanya Senju.

“Ibuku ingin aku belajar bisnis,” ucap Rindou, ia mengalihkan kembali pandangannya pada bulan, “tapi sekarang aku belajar hukum.”

“Huh?” Senju memiringkan kepalanya.

Rindou tertawa kecil dan mengusak surai perak milik Senju perlahan, “waktu, Senju. Yang abangku butuhkan untuk membantuku meyakinkan ibu hanya waktu, lambat laun ibu setuju.”

“Aku yakin, kok, Haruchiyo dan Kak Omi juga akan melakukan yang sama untuk adik bungsu mereka,” tambah Rindou, membebaskan surai itu dari tangannya.

“Senju.”

Bukan. Bukan Rindou yang menyebut nama si bungsu akashi. Sontak, kedua anak bungsu tersebut menoleh ke belakang dan mendapati Sanzu berjalan lambat-lambat menuju yang lebih muda.

“Kak Haru?”

“Sudah selesai makannya?”

Sanzu merespons pada pertanyaan yang bersamaan itu dengan gelengan ketika netranya bersitubruk dengan milik Rindou, kemudian buru-buru beralih kepada Senju yang menatapnya bingung.

“Sini. Mau enggak?” tanyanya singkat seraya merentangkan tangannya sedikit.

Bungsunya.

Gadisnya.

Mau tidak mau. Seberapa sering pun ia bertengkar dengan Senju, meributkan hal-hal yang tidak penting atau apa sajalah itu yang dapat mereja jadikan bahan bertengkar—Senju Akashi itu tetaplah adik kecilnya. Gadis kecilnya. Yang besar bertahun-tahun bersamanya.

Dan ia, Haruchiyo Akashi, kakak kedua dari gadis itu. Yang selalu, selalu, dan selalu menjadi tempat pertama Senju berkeluh kesah bahkan di antara tengkar mereka yang tiada usai setiap hari.

Maka ketika Haruchiyo menghitung sampai angka tiga dalam hatinya, ada beban tubuh yang sama jatuh ke dalam pelukannya. Yang setengah mati telah ia hapal di luar kepala. Yang sedari kecil tetap menyeruakkan aroma yang sama tiap kali Sanzu menenggelamkan wajahnya pada surai-surai yang kerap berganti warna mengikuti miliknya.

“Drama lo.”

“Biarin.”

Rindou terkekeh pelan dan beranjak dari gazebo tersebut, berjalan mendekat ke Sanzu dan Senju yang masih betah berada di posisi tersebut.

“Masuk aja duluan, enggak apa-apa,” bisik Sanzu pelan, menuai anggukan dari Rindou yang kemudian mengusak kepala Sanzu sekali sebelum berlalu untuk kembali masuk ke dalam rumah, meninggalkan si tengah dan si bungsu untuk beberapa saat malam ini.

Karena, mungkin-mungkin saja matahari bersinar pula pada malam hari.

Untuk menerangi dan menghidupi dari orang-orang yang terkasih untuknya.


flyinswans.

Terlepas dari tingkah laku cerobohnya, Rindou tahu Sanzu itu tumbuh besar di lingkungan yang baik.

(lebih dari baik, ia rasa).

Dapat dilihat dari bagaimana ketika pintu mobil dibuka dan ia buru-buru bertanya, “Mama di dalam?” kepada pria yang berperawakan lebih tinggi darinya.

Rindou membungkukkan badannya sedikit untuk menyapa orang tersebut yang dibalas dengan anggukan ramah juga senyuman di wajahnya. Yang bisa Rindou tangkap adalah bagaimana sosok ini memiliki senyuman yang mirip dengan milik Sanzu.

“Terima kasih,” ucap orang itu, membuat Rindou menatapnya dengan alis yang ditukik bingung. “Sudah mau repot membantu Haruchiyo,” tambahnya.

Baru Rindou mengangguk setelah memahami hal tersebut, kemudian ia melihat bagaimana tangan dari pria itu terulur padanya yang kemudian ia sambut dengan hangat.

“Takeomi. Takeomi Akashi, kakak Haruchiyo.”

Oh. Si sulung.

“Rindou. Rindou Haitani.”

“Oh wow, si bungsu Haitani rupanya. Haruchiyo enggak pernah cerita kalau housemate-nya adalah Haitani.”

Rindou mengulas senyuman tipis, “sebenarnya, sehari sebelum ke sini Chiyo juga baru sadar saya itu Haitani.”

“Bener-bener deh anak itu,” ucap Takeomi seraya melepaskan jabatan tangannya dan menggelengkan kepalanya. “Maaf kalau tingkah lakunya agak aneh, anaknya me—”

“Kak!”

Buru-buru Sanzu menarik lengan Rindou seraya wajahnya ditoleh kepada kakaknya dengan ekspresi sebal.

“Stop menceritakan hal aneh-aneh soal gue.”

“Your whole life aja udah aneh, Haru.”

Kali ini yang menyahut adalah gadis yang tingginya mencapai pundak Sanzu. Rindou memperhatikan bagaimana delik mata dari si gadis, kemudian bagaimana gadis itu berucap juga mengenai gadis itu yang terlihat ceplas-ceplos.

Persis Sanzu.

“Bocil bocil bocil,” ledek Sanzu seraya mengusak rambut gadis tersebut.

“Haruchiyo!”

“Mama liat Senju panggil Haru enggak pakai 'Kak'!!”

“Ngaduan!!”

“Mama enggak bakal dengar kalian di sini,” lerai Takeomi dengan hela napas di ujung kalimatnya, sebelum menarik Senju agar mundur sedikit agak tidak membelakangi Rindou.

Rindou tersenyum tipis memperhatikan interaksi tiga kakak-beradik itu mengingat bagaimana ia dan kakaknya sendiri juga kerap kali beradu mulut jika sudah berada di rumah apalagi di depan ayah dan ibu mereka.

“Maaf Rin, kakak sama adek agak rese,” ucap Sanzu seraya melirik adik dan kakaknya bergantian.

Kemudian, Rindou mengulurkan tangannya ke arah Senju yang menyambut dengan senang hati.

“Rindou. Rindou Haitani.”

“Senju! Kawaragi Senju bisa, tapi aku rasa Kak Rin sudah tau soal keluarga Akashi? Jadi, Akashi Senju juga boleh!”

“Oke, Senju.”

“Enggak perlu terlalu kaku di sini!” ujar Senju lagi dengan ramah.

Rindou hanya mengulas senyum tipis seraya mengangguk dan memperhatikan lagi bagaimana si sulung dan si bungsu berinteraksi dengan Sanzu, walau Senju terlihat lebih banyak kemiripan dengan Sanzu, tetapi itu tidak menutupi fakta bahwa beberapa figur dari Takeomi juga turut ada di dalam keduanya, misal adalah bagaimana mereka tersenyum atau bagaimana ada kilatan yang sama di mata mereka.

“Oh, anyway, mama di halaman belakang, kali aja mau ajak Kak Rindou sekalian. Gue tinggal dulu ke kamar ya, permisi dulu Kak Rin!” ujar si bungsu seraya menangkupkan kedua tangannya dan buru-buru berbalik memasuki rumah.

“Gue juga masuk duluan ya, ada berkas yang gue bawa balik dan gue janji serahin lewat e-mail, ajak aja Rindou keliling rumah.” Takeomi mengucapkannya seraya menepuk pundak Rindou, “anggap aja rumah sendiri,” tambahnya lagi seraya mengikuti langkah Senju yang telah menghilang di balik pintu rumah.

Sanzu menghela napasnya, menghasilkan tawa dari Rindou yang menoleh dan mengambil alih toolbox dari tangannya. “Kenapa?” tanya Rindou.

“Masih belum siap-siap amat. Gue tau lo enggak bakal mengacaukan apa-apa, tapi masalahnya adalah di gue,” ucap Sanzu seraya menunjuk dirinya sendiri. “Gue enggak jago bohong kalau sama mama,” tambahnya.

“Tapi di depan kakak dan adek lo lumayan tuh?”

Sanzu mengernyitkan keningnya sedikit, kentara sekali tidak mengerti mengenai apa yang diucapkan Rindou, baru di sepersekian detik berikutnya wajahnya melunak dan tawa kecil meluncur dari ranumnya.

“Maaf, Rin! Gue lupa bilang, yang punya ide buat gini tuh sebenarnya Kak Omi, jadi sebenarnya mereka tau soal kita,” jelasnya. “No need to be so tense around them.” Sanzu berucap seraya mengulurkan tangannya.

Rindou mengulas senyum, “okay,” sahutnya seraya menyambut uluran tangan Sanzu, mengaitkan jemari-jemari mereka.

Yang lebih tinggi terdiam sebentar seraya mengerjapkan matanya sebanyak dua kali, kemudian melirik ke tangan mereka yang tertaut dengan nyaman.

Aneh.

“Rin, lo melamun. Pasti enggak dengar gue ngomong apa?”

Buru-buru Rindou menoleh menatap Sanzu yang menahan tawanya melihat Rindou terlihat linglung tiba-tiba. “Maaf,” ucapnya, “kenapa tadi?” tanyanya, berusaha mengembalikan fokus dan atensinya pada Sanzu dan sandiwara mereka.

“Ayo ketemu mama, you'll love her, even if you're not my real boyfriend. Everyone love her,” jawab Sanzu dengan ajakan dalam kalimatnya.

“Sure.”

Atau entah dengan bagaimana Rindou membiarkan langkahnya diseret oleh jemari-jemari yang bertautan dengan miliknya, seperti ini adalah kali pertama tangannya digenggam dan bertaut dengan yang lain.

Rasanya terlalu pas.


“Mama..., enggak usah dilihatin segitunya dong,” tegur Sanzu pelan, tidak nyaman ketika Nyonya Akashi memperhatikan Rindou dari atas hingga ke bawah berkali-kali, seperti tengah memastikan mengenai keberadaan kekasihnya ini.

Rindou menepuk pelan punggung tangan Sanzu, seakan mengatakan bahwa hal tersebut tidak apa-apa.

“He's good.”

Alisnya dibuat menukik bingung, “itu gimana maksudnya, mama?”

Akan tetapi, Nyonya Akashi lebih memilih tidak acuh dan beralih kepada Rindou yang mengulas senyum sopan seraya bertutur, “Selamat sore, tante. Semoga tante enggak keberatan makan malam kali ini ada tambahan satu orang lagi.”

“Enggak ada masalah sama sekali. Lebih banyak, lebih menyenangkan. Kamu punya alergi seafood?”

“Enggak ada, tante.”

“Bagus. Alergi pada serbuk bunga?”

“Enggak juga, tante.”

Paham dengan maksud dari pertanyaan itu, Rindou memberanikan beringsut mendekat pada Nyonya Akashi. Sanzu yang memperhatikan bergeming di tempatnya berdiri, masih memegangi toolbox miliknya di tangan kanan, netranya mengerjap beberapa kali memperhatikan bagaimana Rindou secara cepat mampu menyita perhatian mamanya dengan sangat mudah.

“Haruchiyo, kamu mending pergi ke kamar dan mandi. Masa pacarmu harum begini kamu masih bau keringat?”

Teguran dari mamanya membuat Sanzu kembali pada daratan, kemudian ia memberengut sebal, “aku enggak sebau itu, mama,” ucapnya.

“Mana mama percaya. Mandi dulu sana, pacarmu mama pinjam dulu.”

“Jangan diapa-apakan loh pacarku, mama.”

“Terserah mama, dong?”

Sanzu sekali lagi membuat wajah cemberut, kali ini menuai tawa kecil dari Rindou yang sedari tadi memperhatikan percakapan antara Nyonya Akashi dengan Sanzu.

“Chiyo sayang, kamu mandi aja dulu. Aku menemani tante dulu, ya? Kamu juga capek habis skill tadi, 'kan?”

Kali ini Sanzu terdiam, ingin membuka mulutnya, tetapi ia tutup kembali. Lengkap dengan kedua matanya yang mengerjap antara terkejut dan bingung dan satu tangan yang bebas mengusap tengkuknya.

Chiyo sayang.

Seharusnya, Sanzu tahu ini semua untuk sandiwara yang ia ciptakan sendir. Seharusnya, Sanzu tahu ini semua hanya akan terjadi satu kali di dalam hidupnya dalam upaya membuat mamanya senang dan tidak kecewa.

Seharusnya.

“O—oke..., kalau gitu aku tinggal ya, Rin. Mama jangan diapa-apakan pacar Haru, ya?”

“Seperti pacarmu akan mama makan saja. Sudah sana kamu mandi saja.”

“Sekalian istirahat,” tambah Rindou yang diangguki oleh Nyonya Akashi yang mengangguk setuju sebelum kembali pada bunga-bunga kesayangannya, meninggalkan Rindou dan Sanzu yang beradu tatapan seakan mereka bisa bicara melalui hal tersebut.

Sanzu yang pertama kali memutus kontak mata mereka, berucap permisi sekali lagi sebelum berbalik masuk ke dalam rumah menuju kamarnya sendiri dan melakukan perintah Nyonya Akashi juga kekasihnya.


“Haruchiyo itu..., sangat ceroboh.”

Rindou diam dan mengalihkan atensinya pada Nyonya Akashi yang pertama kali memecah keheningan di antara mereka. Wanita yang Rindou perkirakan usianya sudah berada di pertengahan golden age itu terlihat dengan santai menyapa bunga-bunga di halaman belakang kediaman Keluarga Akashi.

“Makanya tante awalnya enggak setuju anak itu hidup di apartemennya sendiri.” Wanita itu terkekeh sebentar seraya menoleh kepada Rindou, “tapi entah bagaimana kegigihan Haruchiyo bisa mengimbangi kecerobohannya dan dia berhasil memenuhi syarat dari tante dan papanya.”

“Haitani, 'kan? Si bungsu keluarga Haitani yang alih-alih belajar bisnis malah membelok ke hukum?”

Rindou mengerjap sebentar sebelum mengangguk mengiyakan. Jelas, ia bingung pada awalnya mengenai bagaimana Nyonya Akashi bisa mengetahui hal sederhana terkait dirinya, tetapi mengingat yang sedang menjadi lawan bicaranya adalah Nyonya Akashi, maka seharusnya ia tidak perlu heran lagi.

“Benar, tante.”

“Tenang saja, tante bukan menyewa orang untuk mencari tahu soal kamu atau apapun itu, kebetulan Haruchiyo bercerita sedikit mengenai teman serumahnya. Bahkan, tante baru tahu hari ini jikalau pacar Haruchiyo itu ternyata kamu.”

Wanita itu melangkah lagi menyusuri halaman belakang, membiarkan Rindou mengekorinya di belakang sembari tetap menjaga jarak.

“Haruchiyo itu..., dia selalu mengedepankan kebahagiaan saudara-saudaranya juga orang tuanya. Makanya, ketika dia memberi kabar ke rumah bahwa dia mulai berkencan dengan seseorang yang baik hati, tante sangat senang mendengarnya.”

Tanpa sadar, jemari-jemarinya saling meremat di belakang punggung. Hampir Rindou lupakan fakta mengenai mantan kekasih Sanzu beberapa bulan yang lalu ketika semuanya memang terlihat baik-baik saja.

“Tante juga lega mengetahui jikalau Haruchiyo berada di tangan yang baik dan tepat, kamu pasti tahu sendiri bagaimana cerobohnya dia, kan? Jujur, itu sangat mengkhawatirkan bagi orang-orang di rumah.”

“Chiyo—maksud saya Haruchiyo—”

“Panggil saja dia senyamanmu,” potong Nyonya Akashi dengan tawa di kalimatnya, membuat Rindou mengulum senyumnya.

“Chiyo itu seperti sinar matahari sore hari, untuk saya,” mulai Rindou, senyumnya mengingat kepada memori kala ia pertama kali bertemu dengan laki-laki bersurai pirang tersebut, “seperti angin musim panas juga, yang diharap-harapkan datang menyejukkan,” tambahnya.

“Kehadiran Chiyo disyukuri banyak orang, tante.” Rindou tersenyum, menatap wanita penyandang marga Akashi dan berstatus sebagai ibu kandung dari 'Akashi' Sanzu Haruchiyo yang ia kenal, “Chiyo orang yang baik dan seharusnya saya yang bersyukur dan lega dapat mengenalnya bahkan diberi kesempatan menjadi pacarnya.”

(Ia meyakinkan dirinya bahwa ia sudah menekankan kata terakhir itu).

Nyonya Akashi mengangguk dan tersenyum, menepuk pundak kanan Rindou satu kali dan berujar, “Terima kasih ya, Rindou.”

“Terima kasih kembali, tante.”

Semua kalimatnya bukanlah kebohongan. Memang benar bahwa apa yang tengah ia lakukan sekarang adalah sebuah sandiwara belaka. Namun, tidak pernah satu kali pun Rindou menyesali keputusan menjadi teman serumah Sanzu.

Pun, ia tidak menyesali keputusannya untuk membantunya kali ini.

Karena untuknya, Sanzu Haruchiyo hadir dan hadir kembali ke dalam hidupnya seperti musim panas yang abadi.


flyinswans.

dengan usaha yang baik, sanzu berhasil menyingkirkan ekspresi masam dan ingin menangis dari wajahnya. setelah dikabari oleh seishu mengenai bahwa drg. kuroo ingin menemuinya di poli mengenai suatu hal, maka ia buru-buru permisi sebentar kepada hanma yang masih membantunya mengotak-atik file milik BEM.

pintu poli diketuknya perlahan dan karena tidak ada sahutan maka ia menghela napas dan perlahan memutar knop pintu tersebut dan melangkah masuk.

“permisi. dokter? dokter kuroo?”

sanzu yang melongok ke dalam dan celingukan memperhatikan sekitarnya tidak menyadari kehadiran dari orang lain yang sengaja bersembunyi di balik pintu. ketika pintu ditutup, baru ia menoleh ke belakang tubuhnya dan memasang wajah kesal lagi ketika menyadari apa yang tengah terjadi.

“apa sih? aku masih sibuk, aku bilang.”

“sini dulu.”

rindou menarik tangan sanzu perlahan, awalnya yang lebih pendek beberapa senti sempat berontak, tetapi rindou berhasil menariknya ke dalam pelukannya. tangannya digunakan untuk membuat kepala sanzu beristirahat di pundaknya.

“maaf,” ujarnya. “tadi aku kelewatan banget. harusnya aku berhenti aja waktu hanma mulai nanya.”

tangannya dibawa untuk mengusap surai kekasihnya dan satu lagi tetap menahan tubuh sanzu yang pasrah memberikan bebannya.

“maaf ya, sayang?”

“aku kesel banget.”

rindou mengangguk, membiarkan sanzu menyamabkan posisinya dan merenggut bagian belakang kemeja yang dikenakannya hari ini.

“iya.”

“aku marah banget sama kamu.”

“iya, kamu berhak marah.”

“aku benci banget sama kamu.”

“yang itu kayaknya jangan deh, sayang.” rindou mengecup puncak kepala sanzu dan kali ini melingkarkan kedua lengannya untuk mendekap erat-erat tubuh sanzu, “aku sayang kamu banget. maaf tadi aku kelewatan. kamu mau aku ngapain untuk make it up to you?”

“enggak usah,” jawab sanzu. “tapi gini dulu aja sebentar, lima menit.”

“boleh.” rindou kembali lakukan hal yang sama seperti sebelumnya, yaitu mengusap surai sanzu perlahan kemudian bergantian dengan punggungnya untuk memberikan afeksi bahwa ia bebas untuk meluapkan rasa kesalnya sekarang.

jarang sekali sanzu dan rindou bisa melakukan hal ini di lingkungan kampus. imaji keduanya yang dianggap bermusuhan sejak menyandang titel mahasiswa baru sampai keduanya sama-sama duduk di semester empat ini membawa keduanya berhubungan secara backstreet atau diam-diam. sanzu dan rindou sepakat menyebutnya profesionalisme karena pekerjaan mereka di setiap proker selalu berada di sie yang berbeda sehingga terkadang mereka harus mengevaluasi satu sama lain.

“aku capek banget.”

“kalau nanti masih belum bisa, aku bantuin, ya.”

“katanya kamu mau bantuin oya....”

rindou tertawa dan melepas pelukannya, memegangi pundak sanzu dan memperhatikan bagaimana wajah yang tidak ditutupi masker itu memerah dan bibirnya mengerucut kecil pertanda sebal.

“kamu cemburu?”

“yang bener aja, haitani rindou,” kesalnya, matanya membulat memelototi rindou sebal.

rindou tertawa lagi kemudian kembali menarik sanzu ke dalam pelukannya, merematnya gemas seraya berucap, “pacarku gemas.”

“pacarmu ini hampir nangis tadi.”

“iya itu salahku bikin pacarku hampir nangis.”

sekali lagi rindou melepaskan pelukan dan menarik dirinya, masih memegangi bahu sanzu, ia teliti wajah kekasihnya itu, terlihat jauh lebih baik daripada ketika ia pertama kali menjejakkan kaki ke dalam poli tadi.

“bentar lagi rapat, kita rapat dulu, nanti aku bantuin hanma balikin datanya kali ini tanpa nyindirin kamu, ya? terus habis itu kita pulang, beli eskrim terus kita boboan. deal?”

“tapi kamu 'kan—”

“pacarku dulu. baru orang lain.” rindou memotong cepat dengan tatapan menuntut yang tentu tidak ingin dibantah. “deal?”

“deal.”

“tapi jangan kira aku bakal diem aja di rapat psdm, loh nyo.”

rindou tertawa, “you go, darl.”


flyinswans.

perubahan itu selalu ditakuti oleh manusia.

termasuk sanzu. ia takut dan merasa tidak enak hati mengamati setiap perubahan sikap dan sifat rindou selama hampir dua tahun belakangan. yang mana ia tahu betul kapan lelaki itu merasa tidak nyaman akan suatu hal.

sanzu masuk ke dalam apartemen tempat mereka berbagi tempat tinggal bertepatan ketika rindou keluar dari kamarnya dengan laptop yang dipeluk dan fokusnya yang berada di ponsel pintarnya sepenuhnya. jikalau orang-orang akan memasang kening yang mengernyit ketika dihadapkan dengan beberapa hal yang memusingkan, maka rindou alih-alih memilih untuk memasang tatapan lurus. seperti mencoba mengatakan jangan ganggu aku.

itu adalah alasan mengapa sanzu terdiam di depan pintu apartemen mereka, memperhatikan bagaimana rindou berjalan ke sofa di tengah-tengah rumah tempat biasanya mereka makan bersama (jikalau dua-duanya tidak sibuk).

“sanzu?”

ia mendongak ketika namanya disebut. rindou menatapnya dari sofa dengan kening mengernyit, membuat sanzu meringis kecil.

“halo, ini gue bawa tinta printernya.”

“maaf gue enggak sadar lo udah balik.”

dua kalimat itu diucapkan bersamaan, membuat rindou mendengus geli dan membiarkan sanzu melepaskan sepatu dan menaruh pada rak sebelum melangkah masuk. ia berjalan mendekat pada rindou dan menyerahkan kantung plastik berisi tinta printer yang tadi dibelinya.

“terima kasih, ya. nanti gue ganti tintanya habis ini,” ucap rindou setelah mengambil kantung plastik tersebut.

sanzu mengangguk dan menaruh toolbox yang dibawanya ke atas sofa tepat di samping rindou, begitu pula dengan ranselnya yang ditaruh di samping dari toolbox besar berwarna biru tersebut. setelah itu baru ia beranjak pergi ke dapur, meninggalkan rindou yang kembali berfokus pada ponsel di tangannya.

“kulkas kosong banget,” ucap sanzu setelah kembali dengan sebuah botol berisi air dingin di tangannya, “enggak sih, tapi kalau lo sama gue cuman mau makan sayur dan menjadi vegan sampai besok, ya... enggak apa-apa,” tambah sanzu ketika rindou menoleh dengan tatapan hah yang bener kepadanya.

“gue enggak memperhatikan lagi, sorry, lagi agak padat sama tugas.”

sanzu mengangguk-angguk, “santai aja, gue juga janji mau ngisi kulkas selama dua minggu kedepan 'kan.”

“itu serius?” tanya rindou, beralih lagi dari ponselnya.

“yaiyalah? kapan gue bercanda soal janji gue?” ucap sanzu santai seraya menaruh botol berisi air dingin tersebut ke atas meja, kemudian tangannya meraih toolbox miliknya sendiri dan membukanya.

jemarinya dengan gesit merapikan isi dari kotak perkakas tersebut, banyak alat dan bahan yang dijejalkan ke dalam sana secara acak setelah skill yang ia laksanakan di kampus tadi. selama merapikan isi kotak, ia berusaha menyusun kalimat yang ingin ia bicarakan dengan rindou yang tengah duduk dan fokus pada laptop di pangkuannya.

kejadian kulkas kosong dan tidak ada yang sadar, kemudian hal ini di mana keduanya sama-sama sibuk dengan dunia perkuliahan mereka masing-masing. bahkan, untuk mengetahui beberapa kebiasaan masing-masing saja. memang jarang sekali untuk keduanya bersinggungan secara langsung seperti sekarang ini. biasanya hanya ada percakapan melalui aplikasi tukar pesan pada ponsel mereka atau hanya sekadar “berangkat duluan, rindou!” oleh sanzu yang buru-buru dikarenakan tidak ingin terlambat menghadiri skill maupun praktikumnya atau “sanzu, gue duluan ya kelas dimajuin.” oleh rindou lengkap dengan setumpuk kertas folio bergaris di tangan.

dipikir-pikir lagi, interaksi mereka tidaklah pernah yang benar-benar bersinggungan selayaknya dua orang yang berbagi tempat tinggal. belum lagi sanzu yang lebih banyak menghabiskan harinya dengan belajar dan organisasi. berbanding terbalik dengan rindou yang lebih suka menulis paper dan mengkaji isu-isu di dalam bilik kamarnya.

sanzu meringis pelan menyadari fakta itu, membuat rindou menoleh dan buru-buru bertanya, “kenapa?” tanyanya.

buru-buru sanzu menggeleng dan membuat netranya menatap violet rindou yang baru sanzu sadari binarnya begitu terang di tengah kalutnya ekspresi lelaki tersebut.

“sebelum ngomong, aku mau tanya sesuatu dulu.” sanzu akhirnya bertutur, menarik napasnya singkat sebelum dihembuskan melalui labianya perlahan.

“silahkan,” sahut rindou, menatap netra berlian sanzu secara lurus seakan mengatakan bahwa seluruh atensinya diberikan kepada si pirang yang menjadi lawan bicaranya.

(dan demi Dewi Athena, tatapan itu cukup mengintimidasi).

sanzu memutus tatapan mereka dan bisa merasakan rindou masih menatapnya, ia menunduk sebentar untuk menutup dan mengunci kotak perkakas berisi alat-alat skill miliknya. kemudian ia kembali mengangkat pandangannya dan kali ini dengan berani mengunci violet rindou di sana.

“souya marah, enggak?”

reaksi pertama selalu menjadi penanda mengenai apakah lawan bicaramu nyaman mengenai topik yang dibawakan. sanzu memperhatikan perubahan ekspresi di sana dan mendapati rindou mengerutkan keningnya disusul alis yang tertaut perlahan. jelas sekali lelaki dengan surai dwi warna tersebut tidak mengerti mengapa sanzu tiba-tiba menanyakan hal ini—apalagi ia tidak mengenal souya sedalam itu.

“maksud gue, lo 'kan dekat nih sama dia. gue juga enggak tau lo pacaran apa enggak sama dia, tapi gue perhatikan kayaknya sejak kemarin lo gusar dan buru-buru nyamperin dia. gue takut aja di sini gue malah jadi pelakor, aduh, masa gue enggak ada upgrade sih di semester baru, malah jadi pelakor?” racau sanzu menambahkan buru-buru, takut rindou malah berpikir bahwa ia tengah menghakimi rindou dan souya secara sepihak.

“oh.” respon pertama rindou membuat sanzu diam-diam menghembuskan napasnya lega sedikit. otot-otot wajah rindou tidak terlihat menegang dan artinya topik ini tidak apa-apa untuk diangkat di antara mereka. “enggak, kok. kemarin sempat cekcok sedikit, tapi enggak ada apa-apa,” tambah rindou dengan jujur.

sanzu menghela napasnya secara gamblang kali ini, dadanya yang tadi terasa sesak karena dengan tidak sadar menahan napas itu rasanya seperti telah dilepaskan dari ikatan-ikatan yang membelenggu erat beberapa hari ini, pun sama dengan kepalanya—rasanya seperti ada potongan yang tidak sesuai itu lepas dari sana atau mungkin malah menyesuaikan diri sebagai informasi baru.

“oh juga, souya bukan pacar gue, kok.”

baru kali ini alisnya ditarik ke tengah dan keningnya ikut mengerut membentuk lipatan-lipatan kecil. ini menuai tawa yang meluncur dari ranum rindou.

“serius,” ujar rindou di ujung tawanya, “kebetulan aja kita kenal dari kecil karena rumah gue sama souya seberangan. bertiga sama mitsuya yang rumahnya pas banget di sebelah souya.”

sanzu mengangukkan kepalanya pertanda ia mengerti, kotak perkakas yang tadi masih di atas pangkuannya dipindahkan ke lantai tepat di sebelah kakinya yang hanya ditutupi kaos kaki berwarna hitam.

“gue panik banget sebenarnya beberapa hari ini, takut lo berantem sama gebetan atau cowok lo karena lo bantuin gue kayak gini.”

gelengan adalah bentuk afirmasi yang diberikan rindou, “enggak. tenang aja, sanzu.”

“oke, gue bisa bernapas lega sekarang.” sanzu berujar dengan hela napas kasar di ujung kalimatnya. ia menatap rindou yang hanya mengulas senyum di wajahnya.

“oh iya.” ucapan sanzu membuat rindou mengangkat satu alisnya, masih menatap lawan bicaranya, “kata koko, kita harus bikin batasan.”

“dalam hal?”

“PDA.” sanzu berucap, “gue oke sama segala macam PDA sih, selama lo enggak nyium gue di bibir aja, lagian enggak mungkin mama gue minta kita ciuman,” tambahnya dengan tawa pada ujung kalimatnya.

rindou membulatkan mulutnya seraya mengangguk, “benar juga. mau bikin safeword? yang sederhana aja, jadi setiap lo enggak nyaman soal sikap atau apapun yang gue lakukan selama gue pura-pura jadi pacar lo, lo selalu bisa bilang satu kata itu dan gue akan berhenti. begitu juga sebaliknya.”

sanzu menarik kakinya ke atas sofa dan melipatnya untuk duduk bersila, seraya memasang wajah berpikir. “oke..., gimana kalau daisy?”

alisnya kembali dinaikkan satu lagi, “boleh aja. tapi boleh gue tau kenapa?”

“tmi, it's one of my favorite flowers,” jawab sanzu, tersenyum mengingat kelopak bunga aster yang selalu ia patri dalam memorinya, “although my most favorite is baby's breath, tapi bakal kepanjangan sih kalau itu, jadi daisy aja cukup.”

“ada hubungan dengan artinya?” tanya rindou tiba-tiba, beringsut untuk menutup layar laptopnya sebelum ditaruh ke atas meja dan memberikan perhatian penuh pada sanzu. “walau gue juga enggak tau artinya. penasaran aja sedikit,” tambahnya.

sanzu menggelengkan kepalanya langsung sebagai jawaban, “enggak, kok. lo pernah beli buket bunga, rin?”

lantas rindou mengangguk sebagai jawaban, ia pernah membeli buket bunga dalam beberapa okasi tertentu sebagai salah satu bentuk menghargai dan formalitas.

“pernah lihat enggak baby's breath jadi buket sendiri?”

di kalimat pertanyaan itu ia bergeming.

sanzu mengulas senyuman tipis di wajahnya, “baby's breath enggak secantik mawar yang bisa menjadi buket sendiri,” ucapnya, menarik kedua kakinya untuk dilipat ke dada dan dipeluk dengan kedua lengannya.

“baby's breath ada di buket hanya sebagai pelengkap, rin. mereka enggak pernah jadi pemeran utama karena mereka enggak seberharga dan bersinar seperti bunga lainnya.”

“sanzu, you did remember what i told you about yourself waktu kita gitaran kemarin kan?”

sanzu mengangguk, “iya, ingat kok gue, tapi memang kayak gitu nyatanya, rin.”

sisi pelipisnya disandarkan pada lututnya dan netra berliannya menatap violet milik rindou. sanzu menyukai bagaimana ketika ia terlihat menyedihkan, rindou tidak pernah menyorot dirinya dengan tatapan kasihan atau apapun itu yang akan membuat dirinya semakin terasa menyedihkan.

“gue sama kayak baby's breath. enggak bersinar ataupun berharga.”


flyinswans.

sanzu suka membuat catatan mental mengenai daftar hal-hal yang patut disyukuri.

mengenal keluarga haitani adalah salah satunya.

sambutan hangat setelah iyo yang turut diajak dilepaskan ke dalam rumah, juga pelukan ramah yang rasanya seperti mantel di musim hujan adalah penyambut ketika ia menjejakkan kaki ke rumah yang familiar untuknya. selain selama satu tahun yang lalu ia merupakan kekasih dari si bungsu keluarga haitani, ia juga lumayan sering mampir sekadar bercengkerama dengan anggota divisi pengabdian masyarakat bem fakultas.

pikiran-pikiran negatif dan segala macam hal yang membuatnya khawatir itu seketika sirna dalam sekejap mata, membuatnya bisa bernapa lebih lega ketika nyonya haitani berseru, “sudah lama mama mau ketemu haruchiyo!”

tidak lupa sapaan dan sunggingan senyum usil di wajah si sulung dan kekasihnya ketika ia tengah bercengkerama dengan tuan haitani seraya menyirami bunga-bunga di pekarangan depan rumah tersebut. mitsuya membantu dengan mengangkat beberapa pot yang ingin dipindahkan, sementara sanzu hanya kebagian untuk menyirami setiap tanaman di sana.

yang membuat sanzu sedikit geli adalah bagaimana sosok rindou yang selalu terlihat bisa berdiri dengan kakinya sendiri itu berubah dengan begitu cepat menjadi seorang anak bungsu dari keluarga yang sederhana, tetapi kaya akan karakter dan moral yang hangat.

jujur, sanzu tidak pernah berada di rumah sehangat ini.

“mereka semua itu enggak bisa main catur,” tutur ayah haitani, seraya menatap ran, rindou, dan mitsuya satu-persatu. hal ini membuat sanzu tertawa dan membantu untuk menyusun setiap bidak di atas papannya.

“saya dulu selalu main catur, om. kalau enggak sama ayah, ya sama kakak saya.”

sebenarnya, untuk mengakui hal-hal kecil mengenai keluarganya sendiri, sanzu tidak begitu yakin untuk melakukannya. ia tidak pernah membuka diri kepada orang-orang, termasuk kawan-kawan karibnya mengenai hal-hal tersebut. sebatas menceritakan si adik bungsu keluarga akashi pun tidak pernah ia lakukan. namun, ada sesuatu yang magis dari hangatnya keluarga haitani yang mampu membuat sanzu menjadi lebih jujur dalam berkata.

bisa sanzu lihat ayah haitani tersenyum akan ucapan yang dilontarkannya tadi. “kalau nak haru menang, nanti saya traktir biji kopi dari kebun kakeknya rindou,” ucapnya dengan tawa di akhir kalimat.

“ayah...,” protes rindou, yang menuai tawa dari sanzu dan delikan dari ayahnya sendiri.

“hahaha, saya enggak sejago itu, om.”

ayah haitani tertawa dan berucap kembali, “tapi jangan mengalah, ya.”

dan begitu adalah bagaimana tiga putaran permainan catur itu dimainkan dalam kurun waktu satu jam setengah lamanya. untuk orang-orang, mungkin akan membosankan untuk menghabiskan waktu selama itu menonton orang bermain catur. namun, melihat bagaimana ayah haitani tiada hentinya berbicara dan sanzu yang selalu menanggapinya dengan senang hati—itu yang menarik.

lucu bagaimana ada seseorang yang mampu mengimbangi ayah haitani berbicara mengenai hal-hal ajaib yang kadang ran dan rindou tidak habis pikir untuk apa dibahas, tetapi bagaimana ada tawa juga ucapan serius dari cara sanzu menanggapi segala kalimat ayah haitani itu membuat keduanya tertegun sebentar dan takjub—menyadari cara berkomunikasi dengan ayah mereka sendiri.

permainan catur berakhir di permainan ketiga dan sanzu dibuat kalah hingga dua kali oleh ayah haitani.

ada tepukan hangat yang memberi sensasi menggelitik di abdomennya ketika ayah haitani melakukannya.

“besok-besok, kita main catur lagi.”

sanzu sering membuat catatan mental mengenai orang-orang yang harus ia jauhi dari kesehariannya. namun, dengan itu ia juga membuat catatan mental mengenai siapa saja yang bisa ia habiskan waktu bersama tanpa merasa dirinya kelelahan.

nyonya haitani masuk ke dalam daftar nomor dua.

ada sesuatu yang menyenangkan dari cara mama haitani menanyai sanzu apakah ia memiliki alergi pada seafood yang membuat sanzu terpana sebentar—karena untuk pertama kalinya sebuah keluarga peduli padanya.

atau juga ada sesuatu yang menggelitik rongganya ketika mama haitani menyodorkan sepiring nasi kepadanya, kemudian menanyai kehidupan perkuliahan sanzu—hanya sekadar apakah sanzu senang menjalaninya, kemudian menyerempet kepada hal-hal lain misalnya kegiatan di bem bersama kak ran, yang kemudian memicu pertengkaran kecil antara kakak-beradik haitani karena rindou yang meledek kakaknya yang sedang berbangga hati.

sepanjang makan malam pun tidak pernah satu kali pun sanzu tertinggal dari percakapan di dalamnya, selalu ada sesuatu yang dibuat mama haitani menjadi topik agar sanzu dapat diseret masuk ke dalam konversasi tiada habisnya tersebut. begitu pula dengan bagaimana saling mengoper lauk di meja makan dilakukan, secara tidak sadar tiba-tiba piring sanzu dipenuhi dengan gizi yang cukup dan sempurna.

“nak haru bisa memasak?”

“sedikit, tante,” jawab sanzu, setelah bersusah payah menelan makanannya buru-buru karena ingin segera menjawab, sungkan jikalau terlalu lama. ini menuai teguran pelan-pelan dari rindou yang duduk di seberangnya seraya menyodorkan segelas air kepadanya. “soalnya, saya 'kan merantau di sini, jadi mau enggak mau harus bisa masak sendiri,” tambahnya.

mama haitani mengangguk paham, kemudian percakapan mengalir kembali ke arah lain, seperti sebelumnya.

sanzu membantu menyuci piring secara sukarela bersama ran karena rindou dan mitsuya memiliki urusan dengan tugas kelompok milik mereka.

“mama kapan mau bikin dessertnya?”

“sebentar lagi,” jawab mama haitani yang tengah membereskan sisa-sisa remahan yang berhambur di dapur sisa memasak tadi.

“kalau di sini, dessert di makan dua jam setelah makan malam, zu,” jelas ran, tertawa seraya menyodorkan piring yang sudah digosok dengan sabun untuk sanzu ambil bagiannya yaitu membilas. “karena dulu gue sama rindou protes kalau habis makan malam banget, nanti kekenyangan,” jelasnya.

“gue can't relate, sih kak. di rumah makan dessert kalau pengen doang.” sanzu menyahuti seraya menaruh piring pada rak untuk meniriskan airnya.

kemudian mama haitani bergabung di dekat ran dan sanzu, menyahuti juga percakapan mereka. “tapi nak haru bisa buat kue? atau sejenisnya?”

“lumayan, tante,” jawab sanzu, menoleh pada wanita yang berada di pertengahan usia 40, tetapi masih bisa terlihat begitu prima kondisinya. “waktu kecil saya dan adek saya, cewek, sering ikut mama buat kue setiap pulang sekolah,” jelas sanzu. senyumnya mengenang jauh pada masa-masa saat semuanya terasa baik-baik saja.

mama haitani tersenyum dan menepuk-nepuk lengan atas sanzu dan ran bergantian kemudian berlalu dari dapur. sanzu tidak pernah tahu, ditanyai mengenai dirinya akan terasa sangat menyenangkan.

keluarga haitani begitu menyenangkan untuk sanzu.

mengenai dessert manis yang dimakan bersama di ruang tengah juga bagaimana ia mendapatkan bagian tambahan sebagai 'anggota baru' membuatnya tersipu malu-malu, tetapi tetap menghabiskannya (karena enak) juga menghormati hal tersebut.

“nak haru menginap saja,” mulai ayah haitani, seraya menyerahkan piring bekas dessert kepada rindou untuk ditaruh pada meja di tengah ruangan.

“bisa pakai baju aku aja dulu,” timpal rindou ketika sanzu baru saja ingin menolak. ia mendelik pada rindou yang menaikkan satu alis ke arahnya. iseng.

“bareng gue, zu,” tambah mitsuya. “makalah gue sama rindou juga belum selesai soalnya.”

mau tidak mau sanzu mengangguk mengiyakan seraya berucap maaf merepotkan yang menuai pukulan main-main di puncak kepalanya dengan sendok dari ran yang duduk di atas sofa.

“mama liat abang,” adu rindou.

“ngaduaaannn.”

sisa dessert bagian sanzu terasa semakin manis dan lumer di dalam mulut seraya suasana terasa semakin menghangat di sekitarnya.

sanzu dan rindou kebagian untuk menyuci sisa dessert tadi dan membereskannya karena ran dan mitsuya (dengan maksud pacaran pada awalnya) membantu mama haitani untuk membuat dan menyiapkan segala hal yang berhubungan dengan dessert mereka malam itu.

“adek sama abang jangan keseringan beli makan, loh. makanannya harus dijaga,” tutur mama haitani seraya mengembalikan piring yang sudah kering ke dalam rak piring dibantu oleh sanzu.

“iyaaa, ma. jarang, kok. abang sama adek sering gantian masak.” rindou menyahuti seraya mengeringkan tangannya dengan tisu di atas nakas dapur. “harusnya mama ngomong gitu ke haruchiyo, tuh, saking sibuknya kalau pulang makannya beli doang atau malah ga makan,” tambah rindou, menuding pada sanzu.

sanzu menoleh padanya dengan tatapan rin, yang bener aja deh???, tetapi mama haitani malah tertawa dan menimpali, “nak haru kalau sibuk dan capek nanti minta tolong rindou masak saja. biar sehat.”

“hahaha, enggak enak dong, tante.”

“jangan sungkan,” elak mama haitani seraya menutup lemari piring dan menatap rindou dan sanzu yang berdiri bersebelahan. ada senyuman di wajah nyonya haitani tersebut seraya ia berjalan mendekat pada sanzu dan rindou.

“nak haru..., mau bantu mama sama sesuatu?”

“bo—”

“kenapa, mama? adek aja, haruchiyo biar istirahat dulu.

sanzu menoleh pada rindou yang sudah lebih dahulu memotong ucapannya dengan satu tarikan napas. “kamu kenapa, sih,” tegurnya seraya menyentil kening rindou dengan pelan, yang menuai protesan dari yang lebih tinggi.

“boleh banget, tante.” sanzu berucap untuk menjawab tawaran tadi. “kamu sana ke mitsuya aja, tugasmu belum selesai 'kan? awas aku lihat khs kamu sampai ada yang C.”

mama haitani tertawa dengan interaksi tersebut dan setelah rindou akhirnya mengalah dan beranjak dari dapur, baru mama haitani memberikan atensi sepenuhnya pada sanzu.

“rindou cerita banyak soal kamu,” mulai mama haitani.

sanzu hanya dapat mengangguk untuk mengiyakan, tidak tahu akan ke arah mana pembicaraan ini mengalir. mama haitani selalu penuh kejutan dalam konservasinya, maka dari itu sanzu sama sekali tidak tahu apa yang akan meluncur dari ranum beliau pada menit selanjutnya.

“termasuk beberapa masalah kalian juga masalah nak haru.”

“tante....”

“mama saja, ya?” mama haitani tersenyum, begitu hangat sampai-sampai sanzu ingin protes kepada dewa atau dewi mana saja mengapa ada sebuah keluarga yang hangatnya begitu rata sampai-sampai rasanya jikalau sanzu terlahir kembali—ia ingin menjadi bagian dari keluarga ini saja.

sanzu terdiam sebentar sebelum mengangguk, “iya, mama.”

“rindou selalulah anak yang baik, peduli kepada sekitarnya walau terlihat tidak seperti itu. pernah sekali ran terkilir kakinya dan rindou yang tidak bisa tidur karena berjaga-jaga jika kakaknya kenapa-napa.”

sanzu tertawa atas tuturan itu. ia mengenal rindou cukup dalam, rupanya. sampai-sampai ia tahu apa yang diucapkan oleh mama haitani tidak hanya sekadar untuk membanggakan anaknya.

“dia juga penuh kasih sayang,” tambah mama haitani.

yang itu, aku tahu betul.

“dia selalu bercerita kepada mamanya ini tentang apapun di hidupnya.” mama haitani melanjutkan, kali ini menaruh kedua tangannya di kedua lengan atas sanzu. “termasuk nak haru,” tambah wanita itu.

“tempo hari, dia bercerita semuanya, termasuk kebingungannya harus bagaimana. katanya dia enggak mau kehilangan kamu lagi,” cerita wanita itu seraya tertawa di ujung kalimatnya, “aduh anak muda...,” tambah wanita tersebut.

sanzu meringis dan membuat catatan mental untuk menjitak kepala rindou setelah ini.

“dia juga membuat permintaan, yang mana sangat jarang dilakukan rindou. dia anaknya enggak suka merengek.”

“apa itu, ma?”

“soal kamu, haruchiyo....” mama haitani tersenyum di kalimat tersebut. sangat damai. sangat penuh dengan rasa reasuransi yang rasanya sudah sering sanzu dapatkan.

sanzu terdiam di sana.

“masalah keluarga tentu enggak akan selesai dalam satu hari, mungkin butuh waktu lama yang lama sekali, tapi enggak apa-apa ya haruchiyo? kamu masih punya keluarga satu lagi di sini.”

wanita itu mengusap lengan sanzu dengan gestur menyayangi, yang sanzu tidak pernah tahu bahwa ia akan sangat membutuhkan ini dari sosok orang dewasa yang ia damba dengan sepenuh hatinya; seorang ibu.

(karena terkadang dunia lupa bahwa ia hanyalah seorang remaja, yang berusaha melawan peliknya arus hidup dan kalutnya bertumbuh dewasa.)

“ada ayah, ada mama, ada abang ran dan takashi..., juga rindou. haruchiyo baik-baik dengan anak bungsu mama, ya?”

“iya, mama. terima kasih banyak, ya?”

jawaban selanjutnya dari mama haitani membuat sanzu pecah dalam tangisnya, yang ia rasa sudah terlalu sering ia biarkan untuk menyeruak keluar akhir-akhir ini. namun, pada okasi ini yang ia rasa adalah rasa hangat, lega, dan cinta yang begitu hebat.

apalagi ketika kedua tangan lembut itu merengkuhnya dalam sebuah peluk hangat—layaknya ibu sendiri. maka sanzu merasa pada akhirnya ia diizinkan dunia untuk beristirahat sejenak dari kalutnya bertumbuh menjadi seorang yang lebih baik. ketika punggungnya diusap lembut dan kepalanya dibawa bersandar pada pundak wanita dewasa ini, sanzu semakin tenggelam dalam hal tersebut—ia beristirahat, dengan damainya dan dengan perasaan disayangi.


“kamu nangis?” panik rindou ketika melihat bagaimana sembabnya mata sanzu begitu ia membukakan pintu kamar untuk yang terkasih.

“sedikit,” jawab sanzu tidak bertenaga. “aku boleh numpang keramas enggak?” tanyanya seraya menunjuk kamar mandi rindou.

rindou tentu tidak punya alasan untuk menolak, ia mengambilkan handuk bersih dan sepasang piyama untuk dikenakan oleh sanzu dan membiarkan lelaki itu membersihkan dirinya terlebih dahulu.

sanzu keluar dari dalam kamar mandi dengan handuk di leher dan rambut yang belum sepenuhnya kering. membuat rindou buru-buru duduk di sisi ranjangnya dan meminta sanzu untuk duduk di lantai agar ia dapat mengeringkan rambutnya.

“nanti kamu masuk angin....”

rindou dengan telaten menggosok rambut sanzu dengan handuk. “kamu ngobrol sama mama, ya?” tanya rindou.

sanzu mengangguk perlahan, “iya. mama hangat,” jawabnya.

“dipeluk?”

“iya....”

rindou terkekeh seraya tangannya berhenti untuk mengeringkan rambut sanzu, membuat si netra secerah biru langit itu menoleh ke belakang. rindou beringsut memberi tempat bagi sanzu dan menepuknya agar sanzu berpindah untuk duduk di sana.

“mama memang kayak begitu,” tutur rindou, seraya ia beranjak untuk menggantung handuk di balik pintu kamar mandi. “pelukan mama selalu yang paling hangat,” tambahnya.

sanzu mengangguk setuju. “oh, mama juga titip kamu ke aku.”

“begitu?”

sanzu mengangguk lagi, “katanya kamu nakal, harus dijaga.”

“heh, mana mungkin.”

maka setelah itu sanzu tertawa, membuat rindou turut tertawa dan kembali untuk berada di dekat sanzu. ia meminta sanzu untuk merebahkan diri di kasur dan menyelimutinya sebelum ikut masuk di sebelahnya. setelah itu baru kepala sanzu ditarik lembut untuk bersandar di pundaknya.

“aku sayang kamu,” ucap sanzu tiba-tiba.

“aku juga sayang kamu,” jawab rindou, mengambil jemari sanzu dan memainkannya dengan miliknya. “kalau aku bisa tukar kamu sama cheetos, enggak akan aku tukar.”

“yang bener aja deh, haitani rindou.”

rindou tertawa kemudian mengecup kening sanzu pelan sebelum turut menaruh kepalanya sendiri di puncak kepala sanzu seraya menautkan jemari-jemari mereka.

“kamu ngomong ya? sama mama?”

“iya. maaf enggak izin dulu, tapi mama bisa dipercaya, kok.”

“enggak apa-apa. aku malah harusnya terima kasih. jadi, terima kasih banyak ya?”

“kembali kasih, iyoo.”

“aku boleh nanya?”

rindou menyamankan posisinya sebelum menjawab, “tanya aja.”

“kenapa kamu mau sama aku? kayak, kenapa aku? klise, tapi aku penasaran. kamu sampai buat permintaan ke mama dan ayah, loh....”

rindou tertawa sebelum menjawab, ia memainkan jemari sanzu yang berada di genggamannya.

“karena kamu cuman satu di dunia. ya kali mau aku sia-siakan gitu aja?? aku sudah kepalang jatuh cinta sejatuh-jatuhnya, bahaya nih aphrodite ngasih dosisnya enggak nanggung.”

giliran sanzu yang tertawa, “yang bener dikit!”

“loh ini serius,” jawab rindou, kali ini bangkit dan menumpu tubuhnya dengan satu lengan, menyamping untuk menatap sanzu.

“karena kamu cuman satu dan aku sudah jatuh cinta sama kamu, makanya aku cuman mau kamum bahkan, kalau misalnya di universum lainnya, aku juga cuman mau sama kamu. sanzu haruchiyo.”

“makasih, ya?”

“iya, iyoo. selalu kembali kasih untuk kamu.”

sanzu tertawa dan ikut bangkit buru-buru dan mendaratkan kecupan di ujung bibir rindou. kemudian, baru ia buru-buru kembali merebahkan diri dan bergelung pada selimut, membelakangi rindou yang masih memproses hal yang baru saja terjadi.

“loh! curang!!”

“rindou udah! ayoo tidur aja!” seru sanzu, menahan malu, dan berusaha menahan rindou untuk tidak meminta yang aneh-aneh lagi.

ajaibnya, rindou menurut dan beringsut merebahkan diri di belakang sanzu, memeluknya dari belakang, dan mengecup tengkuknya sekilas.

“malam, haruchiyo.”

dan begitu adalah tentang bagaimana malam sanzu berakhir dalam sebuah peluk hangat yang mengantarnya pada tidur—beristirahat sejenak dari peliknya hidup yang kusut seperti benang, sebelum kembali memasang sikap untuk berperang di esok harinya.

juga bagaimana sanzu menutup harinya dengan satu kalimat yang terus diulang-ulang semenjak tadi.

“kamu adalah bagian dari keluarga ini juga. selalu. dan selamanya.”


fin.


🦢

“aku dulu pengecut....” sanzu menghela napasnya, melempar asal pandangannya ke sembarang arah asal tidak bersitatap dengan si empu netra ungu yang duduk di sebelahnya pada sofa di ruang tengah. menceritakan satu-persatu hal yang perlu ia tata dalam hidupnya kepada rindou membuat dirinya secara tidak sadar menahan napas sedikit lebih lama dari biasanya.

kakinya ditekuk ke dalam dadanya dan jemarinya yang gemetar pelan memegangi gelas bertangkai berisi teh hangat yang dibuatkan rindou tadi ketika ia diminta untuk membersihkan diri terlebih dahulu.

“sanzu, hadap sini.” suara itu menegurnya seperti tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka. itu menyebabkan sanzu menurutinya dan membuat tubuhnya duduk serong ke arah rindou. bisa ia lihat ada salep yang sempat ia beli di apotek tadi sebelum rindou menjemputnya berada di genggaman rindou dan sudah terbuka. “lebamnya diolesin salep dulu,” ucapnya seraya mencondongkan tubuhnya dan mulai mengusapkan salep ke bagian yang lebam di wajah sanzu.

refleks, sanzu memejamkan netranya ketika rasa dingin dari salep tersebut juga bagaimana usapan dari jemari rindou menari di atas kulitnya.

“rin.”

“hmm?” hanya gumaman yang didapat sanzu sebagai jawaban karena yang menjadi lawan bicaranya tengah sibuk dengan salep juga lebam di wajahnya.

“kamu mendengarkan, 'kan?”

jemari milik rindou berhenti di udara, sementara salep yang tadinya dipegang di tangan satunya diletakkan di sofa. “iya, aku mendengarkan semuanya,” jawab rindou, kali ini jari-jemarinya yang bebas menyentuh dagu sanzu untuk mempermudahnya melihat bagian wajah sanzu lainnya yang perlu diolesi oleh salep tersebut.

“semua?”

“kalau maksudmu dengan semua adalah termasuk mengenai yang kamu ceritakan di mobil dan mengenai alasan kenapa kita putus, maka iya. aku mendengarkan semuanya, sanzu.”

netranya membuka dan langsung bersitatap dengan milik rindou seiring yang tengah diselimuti rasa khawatir dan gusar itu menghentikan kegiatannya.

“kamu marah?”

ada hening di sana, rindou lebih memilih untuk kembali pada salep yang tadi ia letakkan di sofa dan menutupnya dengan telaten. sanzu memperhatikan gerak-gerik tersebut seraya menyadari perlahan bahwa pertanyaan yang ia lontarkan tadi benar-benar bodoh.

orang mana yang tidak marah setelah mendengar alasan paling tidak masuk akal untuk mengakhiri sebuah hubungan?

“aku marah? aku marah sekali.” rindou tiba-tiba berucap, membuat sanzu mengembalikan atensi dan kesadarannya pada lawan bicaranya. ini membuat sanzu tidak berani mempertemukan tatapnya pada milik rindou.

“aku marah pada fakta bahwa kamu saat itu enggak mempersilahkan aku untuk mencoba mengerti. walaupun aku mau.”

jemarinya mengudara, merapikan anak rambut yang jatuh di sisi pelipis sanzu dan menyelipkannya ke belakang. merapikannya agar pandangan milik sanzu tidak terganggu setelah nanti ia mengangkat kepalanya.

“aku marah pada fakta bahwa kamu merasa kamu enggak pantas untuk dicintai, padahal aku punya banyak cinta untuk diberikan.”

kini jemarinya ditaruh pada dagu sanzu, mengangkat wajah itu agar pandangan mereka bisa bertemu. maka ketika netra ungu adalah pemandangan satu-satunya yang bisa sanzu lihat, yang ingin sanzu ucapkan hanyalah seribu kata permohonan maaf yang mungkin sudah kelewat kedaluwarsa.

“tapi kamu tahu aku paling marah atas apa?”

sanzu terdiam di sana, menelan bulat-bulat ucapan maaf yang hampir ia lontarkan dengan takut. ia menggeleng dengan jemari rindou yang masih berada di dagunya.

“aku paling marah dengan diriku sendiri, sanzu.” kini jemarinya berlari untuk merapikan helai-helai yang jatuh pada kening sanzu. “tentang bagaimana aku sama egoisnya saat itu, bagaimana aku juga lebih memilih untuk melepaskan jemarimu alih-alih menggenggamnya lebih erat.”

hembusan demi hembusan kata selanjutnya terdengar begitu lembut dengan timbre yang sanzu rindu untuk didengar setiap harinya. yang pernah terasa begitu jauh. yang begitu memabukkan dan mampu menghipnotis segala indra yang ia miliki di tubuhnya.

“tentang bagaimana aku lebih memilih beranjak pergi daripada tetap berada di sisimu, itu membuatku lebih marah di atas segalanya, sanzu.”

“persetan kalau menurutmu aku punya banyak cinta untuk dibagikan kepada dunia kecuali padamu. yang aku mau itu kamu. cuman sanzu haruchiyo. aku cuman mau seorang sanzu haruchiyo untuk diberi cinta yang katamu begitu berlimpah itu.” rindou melanjutkan, kini menangkup sebelah wajah sanzu dengan telapak tangan kanannya, hal yang sangat ia sukai untuk lakukan.

masih begitu pas.

ibu jarinya mengusap lembut pipi yang terdiam tanpa kata mendengar ucapan demi ucapan rindou. hal ini membuat rindou mengulas senyuman kecil di wajahnya, berusaha memberikan reasuransi bahwa ia bicara tanpa amarah atau hal apapun yang melibatkan emosi menuju arah 'panas' yang dapat menyebabkan perkelahian tanpa ujung.

“dan kamu selalu pantas untuk dicintai sebegitu banyaknya. setiap detiknya. kamu itu berharga, jika enggak untuk orang lain, setidaknya kamu satu hal yang paling berharga untuk aku,” lanjut rindou.

rindou mengamati perubahan ekspresi sanzu yang melembut dan mulai mengembangkan senyum di sana. juga bagaimana beban di telapak tangannya memberat menandakan bahwa sanzu mengistirahatkan kepalanya di sana dan mengenai netranya yang kembali menutup seiring bulu mata lentik itu juga saling bertubrukan.

“begitu, ya?”

“iya,” jawab rindou cepat.

karena menurut rindou, hidup selalulah sesuatu yang diharuskan berpacu dengan waktu. ibaratnya saja kamu terlambat sedikit saja, maka kamu akan tertinggal dan kemungkinan paling buruk adalah—kamu kalah. begitu pula jika ia mengaitkan semuanya pada sanzu, terlambat sedikit saja ia untuk mengerti, terlambat sedikit saja ia untuk meyakinkan, terlambat sedikit saja ia berpacu dengan pikiran-pikiran buruk yang merayap di dalam pikiran yang terkasih—maka, tiada lagi kesempatan untuknya.

“selalu begitu, iyoo.”

terkadang begitu naif pikiran manusia. menelan bulat-bulat kata-kata paling bajingan yang pernah singgah untuk membenci. kemudian, mengabaikan fakta mengenai masih banyak kata-kata yang begitu baik dan penuh cinta yang juga turut singgah sebagai upaya menyingkirkan yang buruk.

sanzu membuka netranya, memperhatikan bagaimana rindou masih menatapnya dengan lekat. jika mereka berada di situasi yang lebih baik, mungkin sanzu akan mentertawakan rindou sebagai salah satu bentuk salah tingkah karena diperhatikan sebegitunya.

“aku..., aku minta maaf.” sanzu berucap pada akhirnya. “aku-”

“aku sayang kamu.”

sanzu terdiam pada kalimat tiba-tiba yang dilontarkan rindou. kemudian, rindou terkekeh seraya mengusap pola wajik di sudut bibir yang terkasih.

masih cantik.

“aku enggak peduli lagi soal masa-masa itu. aku cuman mau bilang, kalau ucapanku berbulan-bulan lalu itu benar adanya. aku masih sayang kamu. selalu. dan selamanya.”

kadang, hadirnya kata-kata yang begitu tulus dan penuh rasa kasih sayang itu menjadi salah satu penyebab menghangatnya setiap relung di dalam tubuh. tentang bagaimana kata-kata tersebut hadir dan mampu memberi semangat untuk hidup. juga bagaimana kata-kata tersebut dihembuskan dengan penuh rasa cinta yang begitu hangat melingkup pada tubuh yang haus akan rasa kasih sayang yang begitu didamba sejak dahulu kala.

maka, sanzu mengaku kalah di sini.

orang-orang bilang, waktu dapat menyembuhkan segala hal. namun, mereka lupa bahwa selain waktu, maka hati dari seseorang pun harus bisa bertindak akan sesuatu. memaafkan dan menerima misalnya. dengan melunaknya dua hati yang sama kerasnya pada awal hal destruktif terjadi, maka waktu juga dapat mengambil andil bagiannya sendiri untuk membantu kedua hati tersebut untuk sembuh. dan jikalau ada sisa keajaiban di dunia ini, mungkin waktu juga dapat membangun rasa percaya dan kasih sayang yang sama seperti sebelumnya.

atau mungkin, malah lebih kuat daripada yang dahulu.

“aku juga sayang kamu. selalu.”

dan begitu adalah bagaimana sanzu menangis, membuat rindou panik dibuatnya, buru-buru mengusap air mata yang belum sempat jatuh membasahi kedua pipinya atau bahkan menyentuh wajik di setiap sudut bibir yang sanzu miliki.

“hei, kenapa? ada yang sakit? atau aku ada salah sesuatu?”

sanzu buru-buru menggeleng membebaskan wajahnya dari telapak tangan rindou, mengusap sendiri air matanya kemudian terkekeh. tentu saja membuat rindou yang panik setengah mati menatapnya dengan bingung.

“hangat, rindou,” tutur sanzu setelah air matanya berhenti, kali ini menatap rindou di netranya, mencari reasuransi yang sudah lama hilang dari sisinya. “cintamu, rasanya masih sehangat yang dulu. aku kewalahan,” lanjutnya.

dan itu adalah bagaimana rindou ikut tertawa. kemudian menangkup kedua sisi rahang sanzu. mengunci dalam-dalam netra yang selalu berbinar itu. yang entah sudah berapa lama ia rindukan sampai sesak dibuatnya.

“aku sayang kamu.”

sanzu memejamkan kedua kelopak matanya, menghitung dari satu dengan sabar di dalam hatinya. pada hitungan kesebelas, kecupan hangat mampir di keningnya.

“aku sayang kamu.”

kecupan lembut lainnya mampir di kedua kelopaknya yang memejam secara bergantian.

di hitungan kedua belas, ia menyadari bahwa rindou masihlah ada di sini dan ia tidaklah lagi sendiri. sehingga, tak perlu ia meminta maaf atas sesuatu yang bukan merupakan hal yang dapat ia kendalikan dalam hidup.

“aku sayang kamu.”

kecupan lainnya hinggap di pucuk hidungnya, membuat senyuman di wajah sanzu melebar.

“aku sayang kamu.”

kemudian juga diberikan oleh rindou pada pipi kanannya dengan lembut.

“aku sayang kamu.”

tentu tidak luput yang kiri juga diberikan yang sama.

“aku sayang kamu.”

kali ini wajik di sebelah kiri yang diberi kecupan yang hangat.

“aku sayang kamu.”

itu adalah bagaimana wajik sebelah kanan diberikan pula kecupan hangat dan lembut yang kalau-kalau sanzu tidak memiliki kontrol diri, mungkin ia sudah menangis lagi saat ini.

“aku sayang kamu, sanzu haruchiyo.”

yang mana kali ini kecupan itu mampir di bibirnya yang menutup, hanya sebatas menempel dengan hangat. seperti tengah mencoba menyalurkan rasa cinta dan semangat yang tidak akan bosan untuk dibagikan kepada yang terkasih. membagi rasa cinta yang tentu tidak akan ada habisnya untuk diberikan kepada dirinya.

maka setelah bibir itu tidak lagi berada di sana, sanzu membuka kedua kelopak matanya. bertepatan dengan rindou menempelkan keningnya di sana dan juga bagaimana jemarinya meraih milik sanzu perlahan, menautkannya malu-malu seperti pertama kali ia menggenggam jemari-jemari tersebut. namun, tentu dengan penuh rasa hati-hati yang menggelitik hingga ke abdomen keduanya.

“aku sayang kamu. selalu. dan selamanya.”


“Because of you, I can feel myself slowly, but surely, becoming the me I have always dreamed of being.” – Tyler Knott Gregson.


🦢

sanzu tidak pernah menangis.

ketika ia menjejakkan kakinya sebagai seorang murid taman kanak-kanak dan terjatuh dari ayunan yang menyebabkan lututnya terluka—ia menahan isak tangisnya.

ketika ia menduduki bangku kelas dua sekolah dasar, ia dikata-katai karena luka di bibirnya—ia tidak menangis.

ketika ia gagal mengikuti study tour di kelas enam sekolah dasar karena salah satu temannya membuat dirinya jatuh ke sungai dan menyebabkan dirinya demam, pun ia tidak menangis.

ketika ia berhasil lulus dari sekolah menengah pertama dan berhasil menempati peringkat pertama sebagi lulusan dengan nilai terbaik, tetapi menurut keluarganya itu masih belum cukup, ia tetap tidak menangis.

ketika ia gagal mendapatkan jalur undangan yang ia nanti-nantikan semenjak pertama kali mengenakan seragam putih abu-abu, ia juga tidak menangis, walau ia diteriaki bodoh dan sebagai macamnya.

ketika ia alih-alih diterima di kedokteran gigi, bukannya kedokteran umum—dikata-katai tidak berguna dan sebagainya, ia tidak menangis.

“anak laki-laki tidak boleh menangis.”

hal itu ditanamkan pada dirinya semenjak kecil. oleh orang tuanya, oleh kakaknya, oleh lingkungan yang menemaninya tumbuh besar.

makanya, ketika teman-temannya menangis akan lelahnya ospek jurusan maupun lelahnya osce yang dilalui di setiap blok dari perkuliahan mereka—sanzu akan berada di sana menjadi seseorang yang pertama kali akan tertawa mengenai penderitaan dan kesulitan yang mereka lalui, kembali membuat yang lain merasa hidup dan merasa memiliki 'teman' untuk membantunya bangkit.

sanzu tidak pernah menangis.

“aku..., aku enggak pantas untuk dicintai, rindou.”

ucapan penuh putus asa itu mengudara sebagai pembuka dari percakapan.

“kamu bicara apa?” rindou bertanya gusar, berusaha membuat sanzu menatapnya. “aku minta maaf kalau aku memberi jarak selama beberapa hari ini. aku salah dalam melakukan hal itu, padahal kamu lagi ada masalah,” ucap rindou lagi. bukan tanpa alasan ia meminta maaf mengenai hal tersebut—jauh di dalam hatinya ia merasa bersalah menjaga jarak dengan sanzu yang sebenarnya membutuhkan seseorang untuk berada di sisinya.

“aku enggak tahu cara menjelaskannya,” ucapnya lagi, mengamati perubahan yang ada di sekitarnya sekarang.

kurang lebih hampir empat bulan lamanya sudah iyo menjadi bagian dari hidupnya—juga rindou. banyak yang terjadi dalam empat bulan, mulai dari ia yang membeli tower kucing untuk iyo, adanya mangkuk makan dan minum kucing itu di sudut ruangan, snack kesukaan yang disimpan di lemari tinggi dapur, juga bagaimana tetap ada wet food di dalam kulkasnya untuk berjaga-jaga jikalau iyo sakit.

banyak. banyak sekali perubahan.

ini juga berarti hubungannya dengan rindou telah mencapai bulan kesebelas.

banyak. banyak sekali perubahan.

tentu, perasaannya masih sama. namun, ada setitik rasa ragu di sana, mengenai banyak hal yang terjadi secara tiba-tiba di dalam hidupnya.

lo enggak berharga, haruchiyo.

kata-kata di dalam pesan dari sang kakak kala itu berputar-putar seperti kaset rusak di kepalanya. setiap jam. setiap hari. setiap minggu. mengganggu segala aktivitasnya—membuat dirinya merasa kecil sekali lagi.

”... aku enggak berharga, rindou.” sanzu menoleh, memetakan senyuman di wajahnya, kemudian kembali berucap, “bukan salahmu, aku tahu semua orang kadang butuh waktu. berhenti menyalahkan dirimu, ya?” kakinya berayun di ujung kalimatnya.

“kamu enggak mau coba cerita ke aku? sedikit saja, haruchiyo. sedikit saja dan aku akan mencoba untuk mengerti apapun masalah yang kamu hadapi.”

sanzu tertawa, bukan dengan maksud untuk meremehkan ucapan rindou, tetapi ia menertawakan fakta bahwa laki-laki ini, yang begitu baik dan tulus hatinya, harus jatuh cinta dengan seorang yang penuh luka dan berantakan sepertinya.

kasihan rindou, pikirnya.

“enggak, rindou. pelik. terlalu pelik bahkan jika harus diceritakan sebagian kecilnya.” sanzu kini melipat kakinya ke atas sofa, membiarkan rindou turut menyamankan posisi duduknya di sebelah sanzu. “hidupku bukan majas mars pro toto untuk diceritakan,” tambahnya seraya mengamati jemari kakinya yang baru ia potong kemarin sore kuku-kuku panjangnya.

“iyoo....”

jangan. jangan panggilan itu.

“haruchiyo. sanzu. dua itu. jangan iyoo, tolong,” pintanya lirih.

ia memperhatikan lewat ekor mata bagaimana rindou menegapkan pundaknya, juga bagaimana gestur tubuh yang terlihat tidak nyaman dari setiap kata yang terlontar. sanzu meringis merasa bersalah, begitu merasa bersalah sampai ia ingin menyerah pada rasa egois mengenai mempertahankan rindou untuk tetap berada di hidupnya.

“kamu orang baik. kamu penuh cinta, bahkan cintamu cukup untuk dibagikan ke seluruh isi dunia. aku yakin,” ucap sanzu seraya menarik kakinya ke dalam dada untuk didekap, ia taruh wajahnya di atas sana dengan posisi menoleh pada rindou, senyuman masih ada di sana- selalu terpeta walau runyam dan sedih nadanya.

“tapi enggak akan bisa untuk aku. aku labirin. hidupku berujung kepada ketidakmungkinan dan kemustahilan. belajar untuk mengerti diriku hanya akan membawa kamu pada sesat yang hampa.”

kalimat itu diucap dengan satu tarik napas hingga tenggorokannya tercekat minta diberi kebebasan untuk bernapas.

“haruchiyo, tarik napas, sayang.”

lihat, kan. betapa penuh cintanya lelaki ini?

“tetapi labirin pasti berujung, sayangku,” balas rindou, kali ini beringsut mendekat dan membawa wajah itu agar terangkat di dalam tangkupan tangannya.

hangat. penuh kasih sayang.

“labirin punya ujungnya. hanya perlu waktu untuk mencapai ujungnya. dan aku mampu, aku mau, aku bersedia untuk mempelajarinya perlahan. asal kamu beri aku kesempatan ya, cintaku?”

ada yang menyeruak, rindou. aku tidak tahu apa. mataku perih.

ada urgensi dingin yang menyelimuti abdomennya ketika ia melarikan tangan kanannya untuk menangkup tangan kiri rindou yang berada di wajahnya. ia mengistirahatkan kepalanya di sana seiring rindou memberikan usapan penuh reasuransi yang sebenarnya sangat ia butuhkan di kala hatinya benar-benar berantakan dan pikirannya yang penuh badai.

terakhir.

kemudian ia menggeleng setelah melepaskan tangkupan itu dari wajahnya, “enggak rindou,” ucapnya lagi, jemarinya meremat milik rindou di dalam genggamannya. “beribu kesempatan pun, enggak bakal ada jalan keluar darinya.”

untuk pertama kalinya hari ini sanzu mengunci netra ungu milik rindou, yang selalu menatapnya dengan penuh rasa puja dan cinta yang selalu ia damba kehadiran hal tersebut di hidupnya. netra yang membuatnya merasa punya tempat untuk bersandar, untuk beristirahat, untuk pulang. netra yang penuh rasa reasuransi yang menenangkan dirinya sampai ke sel-sel yang tercipta untuk bersedih.

diselimuti cinta ini. terakhir.

ketika dilihatnya rindou ingin membuka suara, buru-buru ia memotongnya dengan ucapan yang membuat seluruh tubuhnya lantas luluh lantak ke bagian terdalam dari dunia. yang mungkin tidak akan pernah lagi diberi rasa cinta yang begitu berlimpah. yang mungkin akan dibenci seumur hidup oleh lelaki yang penuh kasih sayang di hadapannya ini.

“kita berhenti saja, ya?”

aku mohon. berikan lelaki ini berada pada peluk yang pantas untuknya.

“haruchiyo, aku enggak mau seperti ini.”

“rindou,” panggilnya, ia sadar bahwa timbre suaranya tidaklah lagi setenang tiap kali ia mengutarakan pendapat di kelasnya atau sebersemangat ketika ia berusaha mengajari teman-temannya mengenai skill yang mereka lakukan. “aku juga enggak mau seperti ini, tapi kalau kamu terus menghabiskan detikmu bersama aku, kita seperti menjalani hubungan sendiri, rin. aku yang tiada habisnya berusaha mencari alasan untuk dicintai dan kamu yang selalu melimpahkan cintamu.”

“aku bisa menunggu. selalu, haruchiyo.”

sanzu menggeleng, menunduk untuk melihat telapak tangan yang selama sebelas bulan terakhir selalu berhasil membawa kupu-kupu beterbangan di dalam abdomen miliknya. ia buat jemari yang terbuka itu untuk bersikap seperti menggenggam.

“kamu punya dunia di genggamanmu,” bisiknya pelan. “jangan sampai kamu lepas untuk aku, ya? aku enggak seberharga itu, sayang.”

pergilah, lelaki dengan hati yang begitu baik. kamu pantas bersama yang lebih baik.

“haruchiyo....”

ia menggeleng lagi, mengatakan bahwa keputusan itu sudah bulat seraya melayangkan pandangan meyakinkan pada rindou yang juga sudah kehabisan kata malam ini.

“kalau itu mau kamu, aku enggak apa-apa. selama kamu bisa kembali jadi sanzu haruchiyo yang bahagia—dengan sejuta senyum di wajahnya, aku enggak apa-apa. tapi, tolong ingat ya? aku sayang kamu. selalu. selamanya.”

sanzu mengangguk. “aku ingat. selalu.” ia meyakinkan, lalu perlahan melepaskan jemari yang tidak pernah satu kalipun ia bayangkan harus ia lepas karena dirinya merasa kecil.

tetapi ini lebih baik.

“kalau begitu, aku pulang, ya?”

sanzu mengangguk lagi, “nanti aku kembalikan uang untuk makanan iyo, ya.”

“enggak perlu. itu untuk iyo.”

tuhan.

yang bisa sanzu lakukan hanya mengangguk sebagai afirmasi iya atas ucapan rindou. ia membiarkan rindou beranjak dari duduknya dan membenahi dirinya, kali ini netranya sendiri sudah berlarian ke mana asal tidak menatap sosok yang harus ia biarkan pergi untuk melalang buana di dunia ini.

ke mana pun. asal bukan kepadaku.

“sanzu,” panggil rindou. posisinya dibuat jadi berjongkok di depan sanzu, jemari tangan kanan sanzu dirematnya lembut kemudian ia buat menggenggam, persis seperti apa yang dilakukan sanzu, kemudian dikecup perlahan-lama, meninggalkan rasa sayang untuk menguatkan.

jangan kalimat itu. aku mohon.

“aku sayang kamu.”

itu. kalimat itu. yang selalu sanzu dengar setiap harinya akan berakhir. yang selalu akan ia dengar berulang kali di esok hari, lusa, dan seminggu ke depan. yang tidak pernah absen di dalam setiap percakapan mereka entah apapun kondisinya.

dan setelah kalimat itu mengudara tanpa respons apapun darinya, maka kaki-kaki jenjang itu kembali beranjak. punggung itu berada di pandangannya. semakin kecil.

maka, sanzu memejamkan matanya, menghitung dari satu dengan sabar.

di hitungan kesebelas ia rapal dalam hati, pintu itu memberi suara menutup yang pilu dan biru. yang membuatnya meraung dalam hati meminta maaf pada dunia dan membiarkan dewa-dewi yang mempermainkan hidupnya tertawa seraya menyesap anggurnya.

dalam hitungan kedua belas, ia tahu, ini adalah hal yang pantas untuk ia dapatkan dalam hidupnya.

kini, ia sendiri lagi. tanpa cinta. tanpa kasih sayang. hanya seorang sanzu haruchiyo yang tidak berharga dan tidak patut dicintai.

sanzu tidak pernah menangis.

(malam ini, dalam hitungan ketiga belas, ia menangis meminta maaf pada dunia karena telah menyakiti hati seorang lelaki yang penuh cinta pada dunia.)


🦢

“kamu bahagia, hajime?”

jika ada sesuatu yang bisa hajime jadikan hal nomor satu mengenai mengapa ia pernah jatuh cinta pada seishu inui, maka jawabannya adalah karena lelaki itu tidak mengenal basa-basi.

yang hajime lakukan hanyalah mengulas senyum dan membiarkan langkahnya dibawa lagi menyusuri lantai dansa. sejenak melupakan bahwa ia adalah pengurus dari acara pernikahan sepasang pengantin di atas panggung sana. lengannya dibiarkan melingkar menggantung pada leher seishu sementara pinggangnya dipegangi begitu erat.

(lucu, bagaimana dahulu jemari itu yang melepasnya pergi).

“hajime.”

dua, seishu inui tidaklah pernah seorang yang sabar wataknya ketika itu bersangkutan mengenai kokonoi hajime dan segala eksistensi yang memiliki relativitas dengan lelaki tersebut.

“menurutmu, apa aku bahagia?”

satu. dua. tiga.

seishu menggeleng. “aku enggak tahu, hajime.”

“kalau kamu tanya perasaanku saat ini, ya aku bahagia, seishu.” hajime menjawab seraya langkahnya dibawa seishu menuju pinggir lantai dansa, membiarkan keduanya lenyap dari kerumunan agar tetap bisa membicarakan hal ini. “tapi, jika kamu bertanya apakah aku bahagia mengenai pilihan yang terpaksa aku ambil dan bagaimana hari itu kamu melepas jemarimu dari milikku? jawabannya—”

netra itu mengerling langsung untuk menubruk netra pasangan dansanya. membuat seishu tertegun kala netra mereka saling mengunci. rasanya lama, lama sekali semenjak ia melihat kedua pasang netra yang membuatnya jatuh cinta sampai bodoh dibuatnya—netra itu, hanya satu di dunia, milik kokonoi hajime.

“—enggak, seishu.”

dan jawaban itu adalah bagaimana satu tangan seishu mengudara untuk menangkup sisi wajah yang begitu dirindu. tinggi mereka yang tidak berbeda jauh itu membuat seishu mudah untuk menempelkan keningnya dengan kening hajime. membiarkan deru napas hajime yang mulai tidak teratur tersebut menerpa wajahnya.

“aku...—aku enggak pernah bahagia dengan pilihan itu, seishu.”

“maaf.” seishu menggumamkannya berkali-kali, kali ini memejamkan netranya, takut untuk menatap cahaya yang redup dari netra lawan bicaranya. “maaf, maaf, maaf,” repetisinya sampai gila.

“kalau—” seishu membuka netranya, menghentikan langkahnya yang membuat hajime turut melakukan hal yang sama, “—kalau aku tahu keputusan itu sebegitu beratnya, aku enggak bakal melepaskan jemarimu saat itu.”

kali ini giliran hajime yang memejamkan netranya, mencoba mengatur napasnya yang mulai frantik.

“kalau aku tahu kamu tidak bahagia—” seishu menggantungkan kalimatnya di sana, mengusap pipi hajime sampai lelaki yang merupakan teman kecilnya itu membuka kembali netranya, sebelum melanjutkan ucapannya, “—enggak bakal, sampai kapanpun, sebagaimana pun sulitnya masa depan, enggak bakal pernah aku lepaskan jemari-jemarimu.”

hajime mendengus geli, menerpa wajah seishu dengan napasnya. seishu membiarkannya, tidak ambil pusing mengenai hal tersebut.

“aku minta maaf,” gumam hajime, tetapi masih bisa didengar seishu.

seishu menarik kepalanya—masih menatap hajime tepat di netranya, menggeleng, “bukan salahmu.”

yang dilakukan hajime adalah menyembunyikan wajahnya di perpotongan antara pundak dan leher seishu, mencari nyaman di sana, menghirup perlahan wewangian maskulin khas milik teman masa kecilnya itu.

“salah kita berdua.”

seishu juga masih dapat mendengarnya, walaupun suara itu teredam oleh nyaringnya musik pengalun tarian dan bagaimana orang-orang bercengkrama di sekitar mereka. namun, semenjak detik pertama seishu melihat hajime melangkahkan kakinya di aula ini untuk mengatur segala hal dari awal hingga acara dansa pernikahan ini, ia sudah menaruh atensinya pada lelaki ini—yang bahkan bau shampoonya tidak berganti setelah beberapa tahun berlalu.

“hmm,” gumam seishu, kemudian menyandarkan sisi kepalanya di atas kepala hajime, “baikan, ya?”

“iya. baikan.” hajime mengangkat wajahnya dari tempat persembunyian tadi, kemudian menatap netra seishu seraya tersenyum—tulus, tanpa ada dendam atau apapun yang menusuk jantung, dan penuh cinta.

tangan kanan milik seishu berlari menangkup wajah bagian kanan hajime, mengusap pipinya lembut menggunakan ibu jari, dan hajime mengistirahatkan kepalanya di sana—mengundang senyuman pula dari seishu.

“cantik.”

“kamu yang cantik.”

seishu tertawa, “boleh aku cium?” tanyanya di ujung tawa, mengamati perubahan raut wajah hajime juga bagaimana pipi itu berubah pula ronanya menjadi lebih merah.

“boleh,” bisiknya pelan.

ralat

jikalau memang ada sebuah daftar mengenai hal-hal yang bisa membuat hajime jatuh cinta lagi dan lagi pada sosok inui seishu—maka jawabannya adalah ia selalu jatuh dan hanyut pada bagaimana cara seishu memegangi rahangnya, menarik lembut wajahnya untuk mempertemukan bibir mereka dalam sebuah pagut dengan rasa kokoa khas yang menelisik masuk seperti nostalgia.

juga perihal bagaimana seishu tersenyum di dalam ciumannya—hajime jatuh cinta berulang kali.

ia bahagia.


🦢.

ekspresinya gusar ketika buru-buru turun dari ojek online yang ditumpanginya. setelah mengembalikan helm, ia buru-buru turun dan berlari-lari melewati parkiran rumah sakit hewan.

“iyo kenapa?” tanya sanzu, begitu ia melihat rindou berdiri di depan satu ruangan.

“rawat inap.” rindou menjawab sekenanya. “kata dokter bakal enakan setelah beberapa hari,” tambahnya dengan maksud menenangkan ekspresi yang makin-makin khawatir itu.

sanzu merosot untuk duduk di kursi tunggu di sana, wajahnya dibenam pada telapak tangan sebelum ia menepuk-nepuk pipinya sendiri dan kembali mendongak menatap rindou yang berdiri di sisi kanannya.

“mau lihat iyo?” tanya rindou.

buru-buru sanzu menggeleng, “enggak,” jawabnya. “takutnya gue enggak tega terus gue nangis,” jelasnya, ada tawa di ujung kalimatnya.

rindou mengangguk, “mau pulang aja kalau gitu?”

sanzu terlihat berpikir sebelum akhirnya mengiyakan, maka rindou berinisiatif melingkarkan tangannya di pergelangan tangan sanzu dan menariknya berdiri.

“gue anter. beli makan dulu, ya?”

sanzu yang diperlakukan seperti itu hanya mengangguk mengiyakan karena pikirannya sudah terlalu penuh dengan berbagai macam hal; rasanya seperti loteng tua yang dijejali dengan berbagai macam benda sampai penuh sesak tidak ada tempat untuk bernapas.

“eh, kalau rsh gini ada dikasih tau enggak nanti perkembangan iyo gimana?”

rindou yang sudah duduk di kursi kemudi mengangguk dan membiarkan sanzu menyesuaikan letak kursi penumpang dan memasang seatbelt.

“iya, udah gue kasih nomor gue tadi,” ucap rindou. “berangkat ya?” tanyanya.

anggukan diberikan sanzu sebagai afirmasi persetujuan dan membiarkan rindou menginjak pedal gas dan membawa mereka membelah jalanan kota yang lucunya cukup senggang di senja hari ini.

“mau makan apa?”

“geprek aja.” sanzu menjawab yakin, tahu betul laki-laki yang tengah menyetir tidak akan melayangkan protes banyak-banyak mengenai makanan yang diinginkannya.

selanjutnya hanya sanzu dan rindou yang duduk dalam diam, dengan siaran radio yang tengah memutar lagu yang sedang memuncak di tangganya, juga jalanan yang lenggang— sanzu memilih untuk menoleh ke jendela di samping kirinya, sesekali ikut mendendangkan beberapa bagian dari lagu tersebut.

rindou tidak butuh ada kata heran menjejaki bagian teratas pada pikirannya ketika melihat sanzu hanya diam seperti ini. ia tidak butuh bertanya atau apapun, satu tahun kemarin cukup membuatnya mengerti jikalau laki-laki dengan netra biru itu cenderung diam seribu bahasa jika di dalam pikirannya sudah tertumpuk hal-hal yang harus ia pegang.

karena sejatinya sanzu memang begini— sebagai seseorang yang kadang diabaikan eksistensinya oleh orang yang ia ingin buktikan kepada mereka dirinya itu, ia lebih banyak menghabiskan waktu untuk membuat dirinya sibuk.

mengisi loteng berdebu.

setahun bersama dengan sanzu yang sangat cepat beradaptasi, membuatnya mengetahui seluk-beluk laki-laki itu sampai ke bagian paling dalamnya— di mana disimpan sebuah rahasia yang bahkan ia ceritakan pada rindou dalam bisik, saking takutnya dunia mengetahui rahasia itu.

rahasia yang membuatnya menjadi kecil, membuatnya tidak lagi menjadi sanzu yang ditampakkan pada dunia—buatnya bukan lagi sanzu yang bisa mengatasi berbagai hal.

karena sejatinya— sejatinya, rindou bertemu dengan sanzu ketika laki-laki itu masih berbau perang dan darah yang anyir.