fluctuius

i leave my thoughts here.


Gini.

Bertambah usia bagi Yunanda itu suatu hal krusial. Di kampung halamannya, ia tidak pernah melewatkan satu tahun pun untuk merayakan ulang tahunnya. Belum lagi tumbuh besar sebagai seorang anak di sebuah keluarga yang hangat— kasih sayang untuknya begitu melimpah.

Semua berubah ketika hidupnya masih sekian tahun sebelum menginjak satu per lima abad. Di mana ia harus bisa membiasakan diri untuk hidup sendiri di tanah orang dengan segala budaya baru dan apapun itu yang sebelumnya tidak pernah terlintas di pikirannya akan terjadi padanya.

Tahun ini usianya 25.

Yang kalau dipikir-pikir, ternyata usianya sudah mencapai satu per empat abad. Yang kalau ditelaah lebih jauh, ia sudah mengorbankan hampir 6 tahunnya untuk berdiam di perantauan untuk menjadi seorang dokter gigi—yang bahkan tidak pernah ia pikirkan.

'Sekarang pukul 3 pagi,' pikirnya dalam diam, tetapi kemudian matanya bergulir menatap hasil carving gigi yang selalu ia latih terus-menerus walau sekarang sudah menginjak masa penghujung dirinya bertitel sebagai dokter gigi muda alias coass gigi.

Lama ia melamun baru ia mengerjap beberapa kali dan meraih ponselnya di nakas sebelah di mana ia meletakkan benda pipih itu untuk diisi dayanya sedari tadi.

Raut lelahnya berganti dengan senyuman yang melebar ketika mendapati banjir notifikasi dari orang-orang terdekatnya. Beres membalas pesan dari kedua orang tuanya dan keluarganya di kampung halaman sana yang berjanji akan mengiriminya beberapa camilan khas sana agar ia tidak terlalu rindu, baru ia buru-buru membuka kolom percakapan berisikan ia dan delapan orang lainnya, seperti biasa para bungsu (yang Yunanda masih herankan bagaimana mereka benar-benar dipersatukan oleh takdir mengenai tanggal lahir) berkelahi dan ditengahi oleh entah itu oleh Kak Hagi atau Kak Nanjul. Sementara itu, seperti biasa Kak Ardenius dan Kak Sadewa akan memanas-manasi si kembar tiga itu dan Rashad yang tertawa-tawa dengan mengirimkan beberapa sticker untuk menunjukkan ekspresinya.

Ketika ruang itu ia gulir dan menemukan sebuah tanda pergantian hari, senyumnya sekali lagi semakin melebar melihat bagaimana Kian —si bungsu nomor 2 di antara mereka— sekali lagi menjadi pengucap pertama Selamat Ulang Tahun, Kak Yun! selama empat tahun belakangan Yunanda mengenalnya ketika anak itu baru saja menjadi mahasiswa baru di fakultasnya.

Disusul dengan Rashad, kawan seumurannya yang hanya berbeda dua pintu kos denagnnya, mengirimkan sticker 'Happy Birthday' dan disusul dengan teks berisi doa untuknya yang buru-buru diaminkan dalam hati.

Kak Sadewa menyusul dengan ㅎㅁㅎ khas miliknya yang membuat Yunanda tertawa kecil, tetapi tetap mengucap terima kasih karena apapun yang diucapkan Kak Sadewa memang selalu tulus.

Kak Hagi dan Kak Nanjul memberikan pesan singkat dan beberapa petuah mengenai dirinya yang berada di penghujung masa koas, Rashad juga mendapatkan hal itu, yang berbeda adalah dirinya turut didoakan untuk menjadi pribadi yang lebih baik kedepannya.

Yonathan dan Naravit (sejujurnya Yunanda lebih suka memanggilnya Apit) bergantian mengirimkan pesan selamat ulang tahun beserta doa yang sambung-menyambung, yang kemudian diprotes Kian karena ia tidak diajak untuk melakukan hal yang sama.

Terakhir, Kak Ardenius dengan teksnya yang begitu panjang dengan ucapan selamat bertambah umur, doa-doa baik, dan beribu terima kasih yang Yunanda tidak mengerti kenapa ia diberi terima kasih di hari ulang tahunnya.

Kala ia mencapai penghujung ruang virtual tempat mereka bertukar cerita itu, hatinya mau tidak mau menghangat dengan kalimat yang dilontarkan oleh masing-masing dari mereka dengan inti yang sama:

Selamat hari lahir Yunanda, terima kasih telah menjadi Yunanda yang kami kenal selama ini.

—dan Yunanda pikir, ini sama sepadannya dengan apapun.

[ a ppomong short fanfiction ]

[ tw // mention of death ]


Untuk Shinwon Terkasih

Salju pertama sudah turun.

Setiap sudut rumah enggan melupakanmu, mereka tetap berbisik dalam heningnya ketak-ketik waktu, mengatakan bahwa kamu ingin mandi air hangat.

Fotomu yang tergantung di dalam pigura pada ruang tengah itu juga enggan membuatku bersedih perihal bisik kasak-kusuk memori yang menyeruak, soalnya kamu tersenyum begitu lebar.

Oh, benar. Tadi aku bilang salju pertama sudah turun.

Belum begitu dingin, tapi kamu biasanya sudah beranjak dari kasur di kamar menuju sofa ruang tengah dengan selimut dan satu bantal di dalam pelukanmu, buru-buru menyalakan televisi yang berakhir tidak diperhatikan dan mengajakku untuk saling menghangatkan diri di sofa yang bahkan terlalu pendek untuk tubuhmu. Biasanya, aku akan bercerita tentang bagaimana hariku di klinik berlangsung dan kamu akan bercerita tentang harimu di stasiun televisi tempatmu bekerja.

Sisanya, kamu akan mengajakku bermain tebak-tebakan dan sebelum kantuk membawaku larut ke dalam dunia kapuk, kamu berjanji padaku dengan mencium kedua kelopak mataku seraya mengucapkan, “Hari esok akan lebih baik lagi.”

Hari ini aku kedatangan pasien dengan gigi yang berlubang, ketika aku akan memeriksanya, dia bilang ini salah teddy bear-nya yang memaksanya memakan persediaan cokelat di kulkas. Aku tertawa, bukan sebatas formalitas, tapi anak kecil ini mengingatkanku padamu yang akan menyalahkan entah perabot rumah mana jikalau ketahuan menghabiskan jatah camilanku.

Salju pertama sudah turun.

Aku menghabiskan waktuku di klinik, menatap bagaimana orang-orang bersuka cita menatap butiran-butiran lembut yang dingin itu perlahan turun untuk menutupi bumi sekali lagi di tahun ini.

Salju pertama sudah turun.

Ia jatuh di pundakku. Tidak dingin, kok, toh jatuhnya di coat abu-abu yang selalu kamu ingatkan padaku agar tidak lupa dibawa ke mana-mana ketika mendekati musim dingin.

Salju pertama sudah turun.

Dan aku enggan untuk menghapuskan bagaimana memori-memori musim dingin ini aku habiskan bersamamu. Namanya saja sudah 'dingin', tetapi aku menemukan kehangatan di baliknya.

Kamu.

Kamu yang datang di saat salju pertama turun dengan sebatang bunga matahari yang sembarang kamu beli karena kamu tidak mengerti arti dari bunga-bunga (pun aku, haha).

Kamu yang datang dengan senyuman lebar dan mengucapkan selamat karena aku sukses membuka klinik sendiri, setelah bertahun-tahun perjuangan jatuh dan bangunku bersamamu.

Salju pertama sudah turun.

Aku ingat rasa permen karet chocomint yang kanu makan sebelum menciumku.

Ciuman yang ujungnya aku protes karena rasa chocomint menempel di mulutku dalam waktu yang lama.

Ciuman yang aku sesali tidak sempat dan tidak akan pernah bisa aku balas.

Ciuman yang mana aku tahu akan menjadi salam perpisahan yang bahkan kata 'sampai jumpa' tidak pernah tertutur baik darimu maupun dari diriku.

Salju pertama sudah turun.

Aku ingat bagaimana salju berubah warna menjadi merah seiring dengan decit kendaraan yang saling bertubruk. Aku ingat bagaimana tubuhku mati rasa dan otakku mati saat itu juga.

Salju pertama sudah turun.

Dan aku mendapati diriku menulis surat lagi kepadamu yang terkasih, Shinwon.

Semuanya rindu padamu, enggan menolak kepergianmu. Mereka rajin datang ke tempatmu beristirahat sekarang, memberikanmu karangan bunga terbaik yang bisa mereka beli. Sementara aku, aku akan datang dengan snelli-ku, menenteng tas kerjaku dan duduk di sana berkisah tentang hari yang aku jalani.

Untuk Shinwon yang terkasih, aku harap kamu bisa meyakinkan malaikat-malaikat di sana bahwa hari esok akan selalu lebih baik. Sama seperti apa yang selalu kamu janjikan padaku.

Salju pertama sudah turun.

Kamu berjanji hari esok akan lebih baik, jadi aku percaya akan hal itu.

Salju pertama sudah turun.

Aku rindu padamu.

Tertanda, Changgu.


fluctuius.

[ a ppomong short fict ]

cw // kiss


Ketika Shinwon kecil, orang-orang bilang pernikahan bukanlah hal yang bisa dipermainkan. Pun orang-orang bilang pernikahan melibatkan banyak emosi yang benar-benar menggaruk dinding sanubari.

Shinwon setuju.

Kala dari ujung sana ia melihat bagaimana Changgu dipegang tangannya dengan erat oleh (calon) ayah mertuanya, kakinya terasa berubah menjadi jelly berbentuk bintang favorit keponakannya.

Ia bertukar tatap dengan Changgu sesaat, laki-laki itu yang ia tidak sengaja temukan eksistensinya empat tahun lalu di perpustakaan pusat kampusnya, dari sorot matanya yang selalu bicara jujur itu ia bisa lihat kalau Changgu bilang tunggu di sana. Maka dengan cara yang sama, Shinwon mengatakan iya.

Ketika pembawa acara (atau apapun itu yang diurus oleh Hongseok) bilang Changgu dan ayahnya sudah bisa berjalan masuk menyusuri jalan mirip dengan jalan setapak yang disusun dari batu-batu cantik, Shinwon mau tidak mau merasakan ada sesuatu yang membuncah di dadanya—seperti mau meledak.

Tamu undangan yang hanya terdiri dari beberapa teman dekat mereka juga beberapa keluarga yang tidak akan sembarangan menuding berdiri, memperhatikan Changgu dari atas sampai bawah dan mengikuti ia dan ayahnya berjalan menuju altar, tempat di mana Shinwon sudah menunggu dengan keringat yang terus mengalir dari balik kemeja dan jasnya.

Kedua matanya kembali bertemu dengan milik Changgu.

Dan semuanya rasanya berhenti di sana.

Dari mata itu diputar banyak sekali memori yang sudah dihabiskan bersama, yang paling Shinwon ingat adalah ketika mata itu memantulkan bintang-bintang imajiner yang cantik dalam ciuman pertama mereka yang berujung pada omelan Changgu karena Shinwon baru saja selesai makan eskrim mintchoco dan rasanya masih menempel. Namun, yang paling Shinwon suka adalah ketika kedua mata itu berbinar penuh bahagia setiap ia melakukan sesuatu yang kecil terhadap si empunya—seperti memegang tangan, mengusap kepala, bertukar cerita, makan bubur diaduk, atau menuang sereal dulu baru susu.

Ini.

Ini yang membuat Shinwon tahu sejak kali pertama ia jatuh cinta pada sosok yang punya seribu satu keajabian ini—bahwa memang ialah satu-satunya yang bisa memenjara Shinwon dalam dunianya.

Dari sana jugalah Shinwon tahu kalau dia mau. Dia mau Changgu. Dia mau Changgu untuk dirinya sendiri.

Kalau ditanya apakah dia mau Changgu di dunia ini atau Changgu versi lain di dunia yang lain, tidak akan ia repot-repot mau menjawab.

Karena dirinya versi manapun, di semesta manapun—akan selalu jatuh pada pesona si penyandang marga Yeo.

Karena itulah, ketika Changgu dan ayahnya semakin dekat, Shinwon hampir-hampir menangis. Ia bukan tipe yang melankolis, bukan juga tipe yang membiarkan perasaannya dibuka pada dunia.

Tapi, ini Changgu.

Ketika tangannya diulur untuk mengajak Changgu bergabung di altar, tatapannya beralih kepada ayah Changgu. Ada sorot sedih, tetapi bangga dan penuh haru. Shinwon hanya pernah sekali mengikhlaskan orang untuk menikah, itu kakak perempuannya, berbeda sekali dengan apa hang dirasakan oleh calon mertuanya sekarang yang harus melepaskan anak laki-laki satunya—itulah mengapa ia memberikan tatapan dan senyuman reasuransi yang dibalas dengan anggukan.

Dan Shinwon menangis.

Changgu tertawa pelan dan mengusap air mata itu dengan jemarinya yang sudah berkali-kali melakukan hal yang sama dalam jatuh bangunnya.

“Nanti make-up-nya kacau, loh,” tenangnya. Shinwon ikut tertawa dan mengusap air matanya sendiri sebelum menggenggam jemari-jemari milik Changgu.

Pagi itu, semuanya berjalan lancar. Altar mereka yang dibangun di luar ala-ala film 'Twilight' itu memberikan kesan pendukung yang membuat jantung Shinwon rasanya mencelos ketika sumpahnya dan Changgu diucap. Padahal keduanya tidak berdiri di rerumputan, tetapi rasanya kakinya tengah digelitik lembut sama seperti ketika ia bermain di bukit bersama Changgu.

Pupil mata khas anak anjing yang tidak pernah bisa Shinwon tolak pesona dan binarnya itu, berbinar lebih indah hari ini. Atau mungkin ini karena ia membiarkan perasaannya tumpah ruah khusus hari ini? Entahlah.

Yang ia tahu, ketika ia dipersilahkan mencium Changgu—ciuman mereka rasanya seperti plastisin yang pernah tidak sengaja ia makan ketika umurnya lima tahun. Changgu tersenyum di dalam ciuman mereka dan Shinwon tidak menemukan dirinya keberatan untuk tetap mencium senyum itu. Sorak-sorai, tepuk tangan, dan beberapa siulan yang diyakini dari kawan-kawannya itu memenuhi indera. Namun dalam detik selanjutnya ketika yang dilakukan Changgu adalah memiringkan kepalanya, semuanya luluh lantak dan inderanya melumpuh.

Dan itu bagaimana dunianya melebur satu bertubrukan entah dengam dimensi yang mana saja, Shinwon tidak peduli.

Toh, ini Changgu.


warm hugs and kisses, fluctuius.

[ a short fict karena kangen nulis aja ]


Kalau ditanya apa saja kelakuan random dari pacarnya, Changgu pikir dia bisa menulis sebuah buku untuk diterbitkan dengan judul 1001 Kisah Go Shinwon.

Membuktikan jikalau pacarnya memang se-random itu.

Semenjak kali pertama Changgu mengenalnya, pacarnya itu memang banyak tingkahnya. Banyak pula ucapannya yang nyeleneh, tapi anehnya lucu. Saat kelulusan angkatannya pun, ia mendapatkan suara paling banyak untuk kategori si kocak yang bahkan Changgu tidak tahu jikalau kategori itu eksis di sekolah mereka selama ini.

Read more...

[ fiksi penggemar yang ditulis untuk meramaikan tagar BKPP Universe Fest pekan keempat ]
[ mungkin bakal cheesy banget, jadi please bear with me. failed attempt on comedy too i guess? idk what else, so just let's see what i write here.... ]
enjoy!

Take it easy with me, please Take your time, make it slow


Tahun terakhir sekolah menengah atas adalah masa yang mendebarkan bagi mereka yang menjalaninya.

Selain disibukkan dengan ujian yang menyerbu datang bak bangsa yunani yang menghadiahi kuda troja pada bangsa romawi, juga disibukkan dengan tugas sekolah dan kegiatan lainnya yang tidak habis ditelan masa, mereka juga dibuat berdebar dengan acara di penghujung tahun ajaran.

Read more...

[ sebuah fiksi penggemar yang ditulis untuk meramaikan pekan ketiga tagar BKPP Universe Fest ]
[ content warning // insecurity, harsh words, broken home, and others. ] – boleh banget jika ada yang tertinggal, akunya diingatkan, ya. demi kenyamanan para pembaca. terima kasih! semoga kalian suka!

“You're enough. Maybe, not for the others, but for yourself you're always more than enough.”


Hela napas sekali lagi keluar dari ranumnya seiring langkahnya semakin jauh masuk ke dalam kediamannya sendiri.

“Berantakan lagi,” gumamnya.

Read more...

[ sebuah fiksi penggemar yang ditulis dalam rangka turut meramaikan tagar BKPPUniverseFest pekan kedua ]

[ keju, keju banget malah, jangan lupa siapkan kantung muntahnya ya. oh, mohon diingat ini hanyalah fiksi semata! ]

enjoy!!


PP tidak begitu mengerti kenapa setiap hari dalam satu bulan belakangan, ia selalu mendapati sekotak yoghurt stroberi di lokernya. Minuman itu akan selalu ada di lokernya lengkap dengan sebuah post-it bertuliskan 'Semangat, calon dokter! :)' yang ditempelkan pada kotak yoghurtnya; bahkan terkadang ia juga akan mendapati sebungkus roti atau cemilan kesukaannya turut menemani sekotak yoghurt itu.

Read more...

[ sebuah fiksi penggemar pendek dengan ide klise untuk turut meramaikan tagar BKPPUniverseFest ]


Namanya Billkin.

Sosok remaja berusia 17 tahun yang hobinya mengajak aku keliling kota ditemani dengan si vespa kuning yang ia beri nama pulpy. Dia juga punya hobi lainnya— seperti membangunkan aku pada pukul empat pagi hanya untuk mengajak aku jalan-jalan berkeliling komplek, sembari sesekali ia melontarkan lelucon (yang kalau aku boleh jujur, leluconnya sama sekali tidak lucu, tetapi melihat bagaimana ia tertawa mau tidak mau aku tertular).

Read more...

[ ohmnon #1 — bagian narasi #1 ]

[ cw // bahas soal kematian hewan (kucing), kata-kata kasar, dan keju yang berlebihan ]


Ohm yang hari ini kebagian membantu adik-adik kelasnya dalam pengarahan latihan basket pekan kedua langsung dirundung panik ketika kembaran sahabat kecilnya mendatanginya dan bertanya—

“Wat, lo liat Nanon, enggak?”

Read more...

[ untuk meramaikan tagar sotayounjin di twt ]


Hari ini panas.

Daripada panas, Seungyoun akan lebih suka memanggilnya dengan terik. Matahari di atas sana benar-benar sedang dalam keadaan hati yang bagus, rupanya. Sinarnya begitu terang dan panas— terlampau panas, malah.

Read more...